ANALISIS KATA menō BERDASARKAN SURAT 1 YOHANES

advertisement
22
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
ANALISIS KATA menō BERDASARKAN
SURAT 1 YOHANES
Nyoman Lisias Fernand Dju1)*
1)
Alumni Magister Teologi Sekolah Tinggi Theologia Jaffray
*)
Penulis korespondensi: [email protected]
Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah mengetahui makna kata menō dalam surat 1
Yohanes melalui pendekatan studi eksegesis yaitu analisis leksikal, analisis
gramatikal, analisis konteks dan analisis historis. Perjanjian Baru menggunakan
kata menō digunakan dalam hubungan dengan Allah, berarti menekankan
sifatnya, sementara dalam hubungan dengan doktrin Kristen, kata ini
digunakan secara kiasan menunjuk kepada ketetapan hidup sebagai umat yang
diselamatkan. Secara gramatikal, bentuk yang menyatakan bahwa suatu
tindakan (peristiwa) sedang terjadi, subjeknya melakukannya secara aktif dan
tindakan/peristiwa itu merupakan suatu realitas. Penulis surat ini, Yohanes
menyatakan dengan serius bahwa hal yang paling mungkin bagi seseorang
untuk tinggal dalam Anak dan Bapa adalah harus tetap tinggal di dalam firman
yang “telah kamu dengar dari mulanya.” Sedangkan pendekatan analisis
konteks arti menō adalah orang yang lahir dari Allah dan berada di dalam Dia
memiliki potensi untuk menjauhkan diri dari dosa karena benih ilahi tinggal
tetap di dalamnya dan karena mereka mengenal Dia. Dalam konteks historis
penggunaan kata menō yang di dalamnya terkandung pengajaran dan nasihat
yang mendasar mengenai doktrin dan praktika hidup Kristen jelas
menunjukkan bahwa secara historis teologis kata ini merupakan kata yang
penting dalam pergumulan iman dan perkembangan doktrin dalam komunitas
Kristen mula-mula.
Kata-kata kunci: menō, tinggal, Yohanes, Kristus, eksegesis, leksikal, konteks, 1
Yohanes.
The purpose of this writing is to understand the meaning of the word menō in
the first letter of John through the approach of exegetical study—that is, lexical
analysis, grammatical analysis, contextual analysis, and historical analysis. The
New Testament uses the word menō in relation to God to emphasize His nature.
At the same time, in relation to Christian doctrine, this word is used
figuratively to point to the life statutes of the people of God who have been
saved. Grammatically, the form of the word used states that an action (event) is
in progress, the subject is actively doing the action, and the action/event is a
reality. The writer of this letter, John, states with seriousness, that the most
important possible thing for someone to live in the Son and the Father, is to
keep living in His Word that “you have heard from the beginning.” Meanwhile,
from the approach of contextual analysis, the meaning of menō is that a person
22
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
who has been born from God and abides in Him has the potential to abstain
from sin because of the divine seed living in him/her, and because they are close
to Him. From an historical context, the use of the word menō consists of
teaching and counsel that is foundational to Christian doctrine and practical
Christian living. It is clear from an historical theological perspective that this
word was very important in the struggles of faith and the development of
Christian doctrine in the early Christan community.
Keywords: menō, abide, John, Christ, Exegesis, Lexical, Context, 1 John
Pendahuluan
Alkitab menggunakan berbagai narasi, argumentasi, ilustrasi atau
kiasan-kiasan bahkan kata-kata tertentu untuk menjelaskan dan
menyatakan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan karya keselamatan
itu. Meski terkadang terdapat kata-kata yang sulit, ini bukanlah berarti
bahwa setiap kata-kata dalam Alkitab merupakan kata-kata yang asing
yang tidak pernah digunakan atau dikenal oleh manusia, tetapi
sebaliknya, kata-kata itu merupakan kata-kata yang biasa dipakai, dapat
dimengerti dan dipahami oleh manusia.1
Penulis surat 1 Yohanes memiliki kekhasan dalam tulisannya. Secara
keseluruhan, Injil Yohanes dan surat 1 Yohanes memiliki kesamaan
dalam penggunaan kata-kata. Artinya, kata-kata yang sering muncul
atau digunakan dalam Injil Yohanes dan surat 1 Yohanes memiliki
keterkaitan dan kemiripan yang sangat dekat. John Drane menyatakan
bahwa ada banyak persamaan yang dekat antara Injil Yohanes dan Surat
1 Yohanes. Keduanya memakai bahasa dengan cara yang sama,
mengkontraskan antara terang dan gelap, kehidupan dan kematian,
kebenaran dan kesesatan, semuanya ditemukan baik dalam Kitab Injil
maupun suratnya.2
Dari sekian banyak kesamaan, khususnya dalam hal penggunaan
kata, salah satu kata yang sangat menonjol dan sering digunakan baik
dalam Injil maupun dalam surat 1 Yohanes adalah kata menō. Kata ini
digunakan 118 kali dalam seluruh Perjanjian Baru, 40 kali dalam Injil
Yohanes dan 24 kali dalam Surat 1 Yohanes.3 Ini berarti, Rasul Yohanes
sebagai penulis kitab Injil dan Surat 1 Yohanes menggunakan kata ini
dalam tulisannya sebanyak 64 kali (lebih banyak dari pada Paulus dalam
1
Bandingkan Daniel Ronda, Dasar Teologi yang Teguh: Panduan Teologi Sistematika di
Perguruan Tinggi (Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2013), 18-19.
2
John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), 519.
3
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani – Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru: Jilid II: Konkordansi Perjanjian Baru (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia,
2002), 510.
Analisis Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
22
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 201623
tulisan-tulisannya). Uniknya, surat 1 Yohanes yang lebih singkat/pendek
dari Injil Yohanes menggunakan setengah dari banyaknya pengunaan
kata tersebut dalam Injil. Memerhatikan keunikan ini, penulis
berkeyakinan bahwa terdapat makna atau pengajaran teologis bagi
orang Kristen yang hendak dinyatakan oleh Rasul Yohanes dalam
tulisannya. Para ahli Perjanjian Baru mengakui bahwa Yohanes mampu
memberi pemahaman dan teologi yang dalam meskipun hanya dengan
memakai istilah atau kata yang sederhana.4
Pentingnya pemahaman yang memadai mengenai kata menō telah
disadari oleh seorang rohaniawan terkemuka Andrew Murray. Ia
mengatakan bahwa:
Yang ditakutkan, makna kata ini sangat tersembunyi - bagi banyak
pengikut Yesus yang sungguh-sungguh. Sementara percaya pada
Juruselamat mereka untuk pengampunan dan pertolongan, dan berusaha
menanti-Nya sampai tingkat tertentu, mereka hampir tidak menyadari
kedekatan kesatuan, keintiman persekutuan dan keindahan kesatuan
hidup yang Dia mengundang mereka untuk mengalaminya ketika Dia
berkata, “Tinggallah dalam Aku.” Ini bukan hanya kehilangan yang tak
terkatakan bagi mereka, tetapi gereja dan dunia juga mengalami
5
kehilangan.
Berdasarkan pandangan ini, maka dapat ditegaskan bahwa kata
menō perlu diselidiki dan dipelajari dengan seksama agar dapat
menghasilkan atau merumuskan pemahaman yang memadai yang
berguna untuk pertumbuhan iman orang Kristen masa kini. Mereka yang
kurang atau tidak memiliki pemahaman akan sebuah pemahaman dari
kebenaran yang diajarkan Alkitab diharapkan dapat memiliki pengertian
yang benar yang berguna bagi perjalanan dan pengalaman rohani dalam
mengikut Yesus.
Analisis Kata µenw
enw (menō) dalam Surat 1 Yohanes
Genre Sastra Surat 1 Yohanes
Menurut Sitompul dan Beyer, dalam Perjanjian Baru ada tiga jenis
sastra besar (genre), yaitu naratif (narrative), tulisan (epistle) dan
wahyu (apocalypse).6 Surat 1 Yohanes termasuk dalam kategori tulisan
(epistle). Beberapa ahli Perjanjian Baru memperdebatkan bahwa 1
4
Walter A. Elwell, ed., Evangelical Dictionary of Theology (Michigan: Baker Book
House, 1989), 586.
5
Andrew Murray, Tinggal di Dalam Kristus (Jakarta: Light Publishing, 2014), 7.
6
A. A. Sitompul dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012), 227.
24
22
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
Yohanes tidak dapat dikatakan sebagai suatu surat sebagai mana
lazimnya,7 karena struktur dokumen ini hampir tidak memenuhi unsurunsur sebuah surat sebagaimana mestinya.8
Gaya penyusunan 1 Yohanes adalah paraklese indicative. Dalam
Perjanjian Baru, surat-surat kiriman (epistolary literature) pada umumnya
memakai pola paranese imperative dan atau paraklese indicative.9 Dalam
kaitannya dengan penggunaan kata meno, cara penyusunan yang bersifat
paranese indicative dapat diterima karena terbukti bahwa nas-nas tersebut
lebih sering menggunakan modus indicative.
Ditinjau dari sudut retoris, pandangan terbaik yang diakui
sehubungan dengan genre sastra surat ini adalah bahwa surat ini ( dan 2
Yohanes) merupakan sebuah homili deliberatif, sementara 3 Yohanes
bersifat epideiktik.10 Sebagai sebuah tulisan deliberatif (yang berusaha
meyakinkan pembaca untuk melakukan sesuatu) maka sangat sesuai jika
surat ini lebih cenderung memakai modus indicative (linear), walau
terdapat juga modus lainnya dalam surat ini.
Konteks kehidupan (setting in life/sitz im leben) dari surat ini
adalah tradisi apologetis–parakletis. Hal ini dapat dilihat dalam karakter
surat ini yang menyatakan kebenaran dengan cara yang bersifat apologia
(persuasif). Dalam melawan dan membantah ajaran sesat yang dihadapi,
penulis surat ini memilih untuk menyatakan hal-hal positif mengenai
kebenaran yang asasi, jauh dari sikap kasar dan arogan. Nuansa
kedewasaan iman dan keyakinan penulis mengenai kebenaran itu dalam
surat sangat kuat. Dengan kata lain, penulis memilih mempertahankan
keyakinannya akan kebenaran dengan berusaha memahami dan
mendalami dasar kebenaran itu dalam konsep-konsep yang fundamental
dari pada menyerang kesesatan dengan cara-cara yang frontal dan
profan.
Struktur Surat 1 Yohanes
Ahli-ahli Perjanjian Baru tidak memiliki kesepakatan yang sama
mengenai struktur surat ini. Masing-masing memiliki pola dan prinsip
sendiri dalam merumuskan struktur surat tersebut. Hal ini dapat
dimaklumi mengingat alur surat ini yang memang tidak linear tetapi
7
Bandingkan Everret F. Harrison, Introduction to The New Testament (Michigan: Wm.
B. Eerdmans Publishing Company, 1965), 414.
8
Struktur surat lihat Hasan Sutanto, Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang:
Literatur SAAT, 2011), 416-418.
9
John Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), 56.
10
William W. Klein, Craig L. Blomberg, and Robert L. Hubbard, Introduction to
Biblical Interpretation (Malang: Literatur Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2013), 395-398.
22
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016 25
Analisis
Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
lebih berpola spiral yang progresif sifatnya. Namun, tetap diperlukan
suatu stuktur yang berguna untuk memberi gambaran yang
komprehensif mengenai isi surat ini.
Menurut Tenney, struktur atau ikhtisar surat ini adalah sebagai
berikut:11
Tema: Kepastian akan Kehidupan Kekal
I. Pembukaan: Perwujudan Sejarah Kehidupan 1:1-4
II. Kepastian Melalui Berjalan di dalam Terang
1:5-2:29
Dalam Sikap Rohani Pribadi
1:5-26
Dalam Hubungan Kemasyarakatan
2:7-11
Dalam Memisahkan Diri dari Dunia ini
2:12-17
Dalam Berpegang dalam Kebenaran
2:18-29
III. Kepastian Melalui Tinggal di Dalam Kasih
3:1-4:21
Bukti Etika dari Kasih
3:1-12
Bukti Sosial dari Kasih
3:13-24
Bukti Teologis dari Kasih
4:1-6
Bukti Emosi dari Kasih
4:7-21
IV. Kepastian melalui Perbuatan Iman
5:1-12
V. Penutup
5:13-21
Penulis sendiri mengusulkan sebuah struktur sebagai berikut:
I. Dasar pengajaran dan nasihat yang diberikan dan tujuan
penulisan surat
1:1-4
II. Pernyataan kebenaran yang utama: Allah adalah
Terang dan Kebenaran
1:5-10
Pengajaran mengenai Kristus: Kristus sebagai Pengantara 2:1-5
III. Nasihat untuk hidup dalam Kasih (1) : Mengasihi Sesama
dan mengasihi Tuhan
2:7-17
IV. Peringatan mengenai ajaran sesat (1): Anti-Kristus
2:18-27
V. Nasihat untuk hidup sebagai Anak-anak Allah
2:28-3:10
3:11-18
VI. Nasihat untuk hidup dalam kasih (2)
VII. Pengajaran mengenai Keyakinan akan Allah
3:19-24
VIII. Peringatan mengenai ajaran sesat (2): Anti-Kristus 4:1-6
IX. Nasihat untuk hidup dalam kasih (3)
4:7-21
X. Pengajaran mengenai iman dan keyakinan akan
Anak Allah
5:1-5
XI. Pengajaran mengenai keyakinan akan hidup yang kekal 5:6-21
Berdasarkan struktur di atas, dapat dilihat bahwa surat ini sangat
menekankan tentang keyakinan akan Kristus sebagai Pengantara, Anak
Allah dan jaminan keselamatan bagi orang percaya serta perlunya hidup
11
Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2003), 467.
22
26
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
dalam kasih sebagai tanda/ciri khas kehidupan anak-anak Allah. Kedua
tema besar ini dibahas secara progresif seperti sebuah spiral; yang selalu
berkaitan antara satu dengan lainnya. Yang satu menjadi dasar bagi yang
lain dan yang lain tidak dapat dilepaskan dari yang satu itu. Gaya
pembahasan Yohanes juga mungkin dapat digambarkan seperti orang
yang merenda, mengaitkan benang renda sedemikian rupa berbolakbalik, terlihat seperti tumpang tindih, tetapi sebenarnya menghasilkan
suatu rajutan yang sungguh menawan dan kuat.
Analisis Kata menō dalam Surat 1 Yohanes
Metode Analisis
Ada berbagai pola studi eksegesis yang telah dikembangkan oleh
para ahli biblika. Salah satunya adalah yang dikemukan oleh Milton S.
Terry dalam bukunya Biblical Hermenutics.12 Pada dasarnya, studi eksegesis
tidak lepas dari analisis leksikal, analisis gramatikal, analisis konteks
dan analisis historis. Prinsip-prinsip dasar inilah yang penulis terapkan
dalam analisis bagian ini. Penulis juga mempertimbangkan dan
mengkolaborasi prinsip-prinsip umum hermeneutik dan eksegese,
termasuk yang khusus yang berkaitan dengan Perjanjian Baru seperti
yang dikemukakan oleh Gordon D. Fee dalam bukunya New Testament
Exegesis.13 Pandangan-pandangan D. A. Carson dalam bukunya Exegetical
Fallacies14 menjadi rambu-rambu bagi penulis dalam melakukan analisis
ini. Oleh sebab itu, agar pembahasan kajian ini konsisten, penulis
menyusun poin-poin studi eksegesis yang ditempuh dalam bagian ini
sebagai berikut: Analisis Leksikal (uraian tentang primary meaning of words
serta variasi penggunaan kata dimaksud), Analisis Gramatikal (uraian
tentang bentuk-bentuk gramatikal kata tersebut) dan Analisis Konteks
(bagaimana makna kata tersebut dalam konteksnya), dan Analisis
Historis (menelusuri perkembangan kata dalam konteks sejarah).
Analisis Leksikal
Kata menō dalam Alkitab
Kata menō berarti to remain in a place, to tarry sebagai lawan dari to go
away.15 Kata ini juga berarti await, remain, lodge, sojourn, dwell, continue,
12
Milton S. Terry, Biblical Hermeneutics: A Treatise on The Interpretation of The Old and
New Testaments (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1974), 173-174;203-209.
13
Gordon D. Fee, New Testament Exegesis (Kentucky: John Konx Press, 2002)
14
D. A. Carson, Exegetical Fallacies (Grand Rapids: Baker Book House, 1996), 10-67.
15
TDNT, 574-575. Dalam Kejadian 24:55 (LXX) kata ini memiliki arti “tinggal di
dalam rumah”. Pada umumnya, LXX menggunakan kata ini dengan arti to last, to remain,
to endure, to remain alive.
22
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016 27
Analisis
Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
endure.16 Kata menō bila digunakan untuk manusia atau benda menunjuk
kepada suatu keadaan atau posisi tertentu yang tidak berpindah atau
bergerak atau beranjak. Sementara ketika digunakan dalam
hubungannya dengan Allah, kata ini dipakai untuk menunjukkan sifat
Allah yang tidak berubah-ubah. Sifat ini adalah sifat Allah yang
incomunicable. Allah adalah Allah yang tetap dalam janji dan firman-Nya.
Ia adalah Allah yang setia dari kekal sampai kekal.
Secara umum, Perjanjian Baru menggunakan kata menō untuk: Ini
berarti, kata ini ketika digunakan dalam hubungan dengan Allah, berarti
menekankan sifatnya, sementara dalam hubungan dengan doktrin
Kristen, kata ini digunakan secara kiasan menunjuk kepada ketetapan
hidup sebagai umat yang diselamatkan. 17 Akan tetapi, dalam Injil-injil
dan Kisah Para Rasul, kata ini lebih sering digunakan dalam pengertian
literal yaitu yang juga digunakan dalam Perjanjian Lama; tinggal dalam
suatu tempat tertentu dalam arti sebenarnya seperti di rumah (lih. Luk.
8:27; 24:29; Kis. 28:16). Sedangkan dalam Surat-surat Kiriman kata ini
lebih banyak digunakan dalam konteks kiasan dari pada harfiah,
berkaitan dengan pengajaran mengenai iman, keselamatan dan
kehidupan Kristen.
Kata menō dalam tulisan-tulisan Yohanes
Kata menō termasuk salah satu kata yang menjadi karakter tersendiri
dalam tulisan-tulisan Yohanes. Kata ini digunakan 118 kali dalam seluruh
Perjanjian Baru, sekitar 71 kali dalam tulisan-tulisan Yohanes; 40 kali
dalam Injil Yohanes, 24 kali dalam surat 1 Yohanes dan 3 kali dalam surat
2 Yohanes, 1 kali dalam kitab Wahyu. Dari fakta ini dapat dikatakan
bahwa Yohanes memiliki perhatian tersendiri dalam penggunaan kata
ini. Yohanes sanggup menggunakan dan menempatkan suatu kata yang
kelihatannya hanya kata biasa menjadi kata yang penting dan bermakna
sesuai dengan tujuan dan maksud tulisannya yang mulia.
John Hepp menunjukkan dua kecenderungan penggunaan kata menō
dalam Perjanjian Baru, dan bagaimana tulisan-tulisan Yohanes sendiri
menggunakan kata itu. Ia menjelaskan bahwa:
Menō simply means “to stay, remain, continue” in a place, condition, or
existence. Most writers use it only in literal sense: for physical or mental
remaining. We will call this literal sense “sense A.” John, however also
16
International Standard Bible Encyclopaedia, Electronic Database Copyright (c)1996
by Biblesoft. Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa “In the OT the abiding of God and the
thing and persons relating to God is of religious and theological significance. As
distinct from the imutability and transitoriness of everything earthly and human, God
is characterised by the fact that He endure.”
17
International Standard Bible Encyclopaedia, 575-576.
22
28
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
use meno in a non-literal sense for a moral or spiritual remaining. We
will call this –“sense B.” in either sense, meno extends an activity or status
that already exists; it does not start a new one. For example, to stay in a
place only extends being there; it is not a special kind of relationship…
Every New Testament use of menō outside of John’s writing is in sense A.
John also sometimes uses it that way, as in the following examples from
his Gospel… Now consider to sense B, to continue morally or spiritually.
Over half the time in his Gospel and usually ih his epistle, John uses menō
this way. 18
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa Yohanes menggunakan
kata menō lebih sering dan lebih luas dalam tulisan-tulisannya. Ia tidak
saja menggunakan kata ini dalam pengertian dasarnya tetapi juga
mengembangkannya sedemikian rupa sehingga kata tersebut memberi
pemahaman rohani yang lebih dalam bagi orang-orang percaya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Yohaneslah satu-satunya penulis
Perjanjian Baru yang menggunakan kata menō paling banyak dan paling
luas dalam tulisan-tulisannya. Mengacu pada fakta ini, kata menō dalam
tulisan-tulisan Yohanes menjadi menarik dan penting untuk dipelajari
dan didalami. Pendalaman dan pemahaman yang baik melalui
penggunaan kata ini dalam setiap konteksnya akan menolong orang
percaya untuk kuat dalam kebenaran Kristiani, memiliki keyakinan yang
pasti akan Kristus, dan hidup sebagai umat yang diselamatkan.
Bagi Yohanes, kata menō dapat menjelaskan bukan saja pengertian
literal mengenai suatu peristiwa atau keadaan, tetapi juga menjelaskan
suatu hubungan yang pasti yang terjadi antara satu pihak (seseorang)
dengan pihak lain. Penggunaan menō dalam tulisan-tulisan Yohanes
mencakup hal-hal tersebut, yang menjadi dasar penting dalam ajaran dan
praktik hidup Kristen. Penggunaan kata ini dalam Injil Yohanes 1:38-39
telah menimbulkan pertanyaan apakah yang dimaksud menyangkut
ranah fisik atau ranah rohani telah menjadi problematika tersendiri bagi
para penafsir. Sebagian besar cenderung pada pengertian yang terakhir
sementara bagi yang lain, konteksnya tidak menunjukkan demikian.19
Analisis Gramatikal
Meno dalam Bentuk Present Active Indicative
Kata menō dalam bentuk present active indicative merupakan bentuk
tenses yang paling banyak digunakan dalam surat 1 Yohanes. Bentuk
18
John Hepp, “Meno and The Doctrine of Abiding,” Diakses 21 Maret 2015,
http://www.kingdominbible.com/assets/Abiding.pdf.
19
Lihat Grant S. Osborne, Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif bagi Penafsiran
Alkitab (Surabaya: Momentum 2012), 113.
22
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016 29
Analisis Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
tenses ini digunakan 18 kali dalam surat tersebut. Bentuk menei (3rd
person singular) digunakan sebanyak 15 kali, bentuk menomen (1st person
plural) 1 kali, bentuk menete (2nd person plural) 2 kali. Mengingat
karakter sastra surat ini yang bersifat paranese indicative, penggunaan
tenses semacam ini semakin memperkuatnya.
Bentuk present active indicative adalah bentuk tenses yang
menekankan pada tindakan yang dilakukan sedang dilakukan, atau
peristiwa yang sedang berlangsung.20 Modus indicative merupakan
pernyataan secara objektif dari suatu pekerjaan, atau tindakan atau
perbuatan ataupun peristiwa.21 Bentuk ini dikenal juga dengan istilah
linier (suatu tindakan progresif atau kegiatan yang terus menerus).22
Dengan demikian, maka bentuk present active indicative adalah bentuk yang
menyatakan bahwa suatu tindakan (peristiwa) sedang terjadi, subjeknya
melakukannya secara aktif dan tindakan/peristiwa itu merupakan suatu
realitas.
Penulis surat 1 Yohanes menggunakan tenses sebanyak ini dalam
tulisannya mengindikasikan bahwa apa yang dinasihatkan kepada
pembacanya seharusnya menjadi suatu tindakan yang sifat realitas,
bukan sebuah kemungkinan atau berandai-andai saja. Tersirat pula
kesan bahwa apa yang dikatakan (seperti mengasihi sesama) seharusnya
menjadi tindakan yang terus berlangsung, suatu tindakan yang sifatnya
progresif. Tindakan-tindakan semacam itu harus menjadi fakta realitas
yang objektif.
Ayat-ayat yang menggunakan bentuk ini merujuk kepada implikasi
rohani dari hubungan seseorang dengan Allah (vertikal) dan kemudian
hubungannya dengan sesamanya (horizontal). Paling banyak dipakai
dalam hubungan dengan Allah (2:10, 27;3:9, 17, 24;4:12, 15-16). Satu ayat
yang menyatakan keadaan, yaitu “tetap di dalam maut” di mana ini
dihubungkan pada tindakan mengasihi sesama. Orang yang tidak
mengasihi dianggap sebagai orang yang belum berpindah hidupnya dari
maut ke dalam hidup.
Menō dalam Bentuk Participle
Kata menō dalam bentuk participle digunakan sebanyak 3 kali dalam
surat 1 Yohanes, yaitu dalam ayat pasal 3 (3:6,15) dan pasal 4 (4:16).
Ketiga ayat ini menggunakan meno dalam bentuk participle dengan infleksi
20
Ruth Schäffer, Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan
Teks Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 9.
21
Ferdinan K. Suawa¸ Memahami Grammatika Dasar Bahasa Yunani Koine (Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 2009), 38.
22
Ray Summers, Yang Pokok dalam Bahasa Yunani Perjanjian Baru (Yogyakarta: STII,
1988), 12.
22
30
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
kata menōn (2 kali, 3:6 dan 4:16) menousan (1 kali, 3:15). Menurut Nathan
E. Han, participle23 mengikuti sifat kata benda dengan memiliki deklensi,
disertai objek, kata keterangan dan sebagainya.24 Tense participle dalam
bahasa Yunani hanya ada empat yaitu present, aorist, future dan perfect.
Present participle menyatakan tindakan yang terjadi bersamaan waktu
dengan tindakan kata kerja pokok, aorist participle menyatakan tindakan
yang mendahului kata kerja pokok, future participle menyatakan tindakan
yang terjadi mengikuti (sesudah) tindakan kata kerja pokok, dan perfect
participle menyatakan tindakan yang menjelaskan keadaan sesuatu.25
Surat 1 Yohanes menggunakan kata menō dalam bentuk present
participle. Ini berarti bentuk kata ini menekankan bahwa pada waktu
yang sama terjadi tindakan yang sama antara apa yang dilakukan kata
kerja dengan tindakan yang dinyatakan dalam bentuk participle. Dalam
pasal 3:6, participle menō menyatakan bahwa orang yang tetap tinggal di
dalam Allah tidak berbuat dosa lagi (dan seterusnya). Berdasarkan
penggunaan participle maka tindakan tinggal di dalam Dia seharusnya
tidak berbuat dosa. Tidak jarang penekanan pada kata ho hamartanōn
dalam bentuk present ditonjolkan karena alasan dogmatis (tidak berdosa
terus-menerus). Pandangan seperti ini bisa saja mungkin, mengingat
bentuk gramatikalnya memang demikian, tetapi harus juga dimaknai
pada kalimat selanjutnya bahwa pada saat yang sama subjek juga
disebutkan “… tidak melihat dan mengenal Dia”. Sementara itu 4:16 tidak
menghubungkannya dengan dosa tetapi menekankan hubungan dengan
Allah dan Allah di dalam orang itu.
Di bagian lain dalam 3:15 digunakan bentuk participle accusative
singular feminim. Nas ini dikaitkan dengan tindakan membenci saudara,
bahwa seseorang yang membenci saudara adalah seorang pembunuh dan
bahwa seorang pembunuh tidak tetap memiliki hidup yang kekal di
dalam dirinya. Dalam ayat ini pengenaan participle berada dalam frasa
“tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal
dalam dirinya.” Bentuk akusatif adalah bentuk objek langsung atau
penderita langsung. Dapat dikatakan nas ini mengindikasikan bahwa
seorang pembunuh tidak memiliki keyakinan yang tetap akan hidup
yang kekal. Dalam konteks lengkapnya, membenci saudara berarti
23
Nathan E. Han, A Parsing Guide to The New Testament (Scottdale, Pensylvania:
Herald Press, 1994), 15. Kata menōn merupakan participle present active moninative singular
masculine, sedangkan kata meousan merupakan participle present active accusative singular
feminime. Participle adalah a verb adjective in addition to its characteristic as a verb.
24
Ruth Schäuffer, Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan
Teks Perjanjian Baru , 212. Biasanya participle diingkari dengan kata ingkar kata Yunani mê.
25
Summers, 95.
Analisis
Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
22
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016 31
membunuh dan bagi seorang pembunuh ia tidak memiliki ketetapan
keyakinan akan hidup yang kekal atau lebih tepatnya keraguan akan
mengacaukan dirinya karena tindakannya itu.
Menō dalam Bentuk Infinitive
Dalam surat Yohanes, menō hanya sekali digunakan dalam bentuk
infinitive. Kata ini terdapat dalam ayat 6 pasal 2, “Barangsiapa
mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti
Kristus telah hidup.” 26 Dari terjemahan ini dapat diketahui bahwa LAI
menerjemahkan kata meno dengan arti “ada.” Terjemahan KJV memakai
kata “abide.” Dalam hal ini, terjemahan KJV cukup baik dengan kata abide,
karena menerangkan suatu keadaan yang tetap dan tidak berpindahpindah.
Dalam surat 1 Yohanes 2:6 bentuk infinitive yang dipakai adalah
present active infinitive, yaitu menein. Ini berarti penulis surat 1 Yohanes
menekankan aspek berulang atau terus menerus dari kata yang
digunakan. Artinya, Yohanes hendak menyatakan bahwa seseorang yang
percaya yang tetap/berada di dalam Kritus terus menerus/berkelanjutan,
bukan sebentar saja (momentary).
Menō dalam Bentuk Pluperfect
Tense pluperfect untuk kata menō dalam surat 1 Yohanes digunakan
satu kali. Bentuk ini digunakan satu kali dalam pasal 2:19, di mana kata
yang dimaksud dalam hal ini adalah kata memenêkeisan. Kata menō dengan
bentuk seperti ini hanya digunakan satu kali dalam seluruh Perjanjian
Baru, yaitu di dalam surat 1 Yohanes ini.
Menurut Wenham, arti tense pluperfect juga serupa dengan arti tense
perfect, hanyalah baik apa yang dilakukan itu maupun keadaan yang
diakibatkannya dianggap sudah selesai (semuanya pada waktu
lampau).27
26
Bentuk infinitive adalah sebuah nomina verba, yang tidak mempunyai subjek,
tetapi sering ada sebuah kata dalam akusatif yang berfungsi seolah-olah ia adalah
subjeknya. Infinitive dapat digunakan dengan lima cara, dan infinitive sering
menyempurnakan sebuah ide yang penting.
27
J. W. Wenham, Bahasa Yunani Koine (Malang: SAAT, 1987), 123. Terkadang dalam
hasil penerjemahan, tidak mudah membedakannya dengan tense aorist. Untuk itu,
seorang penerjemah harus memperhatikan dengan baik signifikansi dari kedua tenses
ini agar sedapat mungkin dibuat terjemahan yang paling dekat dengan arti dimaksud.
Dalam nas ini, dikatakan bahwa “Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi
mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguhsungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita....”
(LAI). Kata memenêkeisan diterjemahkan dengan frasa “… niscaya mereka tetap bersamasama…” Terjemahan KJV berbunyi: “… they would no doubt have continued with us.”
22
32
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
Berdasarkan tense pluperfect, kalimat ini mengandung makna bahwa
mereka (yang menyangkal Kristus) dulu adalah bagian dari anggota
umat Tuhan dan selama kurun waktu tertentu, tetapi kurun waktu itu
telah lewat dan mereka tidak lagi menjadi anggota dari persekutuan
umat saat itu. Semuanya itu telah terjadi pada waktu lampau.28 Hal ini
cocok dengan penjelasan kalimat berikutnya “Tetapi hal itu terjadi,
supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh
termasuk pada kita.”
Menō dalam Bentuk Imperative
Bentuk imperative dari kata menō juga digunakan hanya sekali dalam
surat 1 Yohanes. Kata menō dalam bagian ini terdapat dalam 1 Yohanes
2:24 yang digunakan sebanyak 3 kali dalam bentuk imperative (Yunani:
menetō), aorist subyungtif (Yunani: meinê), dan future active indicative (Yunani:
meneite). Tidak ada cara lain yang lebih kuat dalam bahasa Yunani untuk
mengatakan kepada seseorang agar melakukan sesuatu, dari pada sebuah
imperatif sederhana. Ketika perintah itu diberikan berkaitan dengan
situsi tertentu orang yang memberikan perintah tersebut memandang
dirinya sendiri sebagai figur yang berkuasa yang mengharapkan mereka
yang disapanya melakukan dengan tepat seperti yang ia perintah.29
Dalam surat 1 Yohanes, bentuk imperative ini digunakan dalam frasa
“Dan kamu, apa yang telah kamu dengar dari mulanya, itu harus tetap
tinggal di dalam kamu.” Nas ini berbicara tentang pembaca surat ini
yang telah mendengar kebenaran Kristen sebelumnya, sehingga penulis
surat ini menyatakan suatu bentuk imperative agar kebenaran itu tetap
tinggal di dalam kehidupan mereka. Bagi penulis surat 1 Yohanes, hal ini
sangat penting dan tidak bisa ditawar-tawar sehingga ia menggunakan
bentuk tenses yang dengan kuat dan meyakinkan untuk melakukan hal
tersebut.
Menō dalam Bentuk Aorist Subyungtive
Penggunaan aorist subyungtive dari kata menō dalam surat 1 Yohanes
terdapat dalam 1 Yohanes 2:24, “Jika apa yang telah kamu dengar dari
28
Bandingkan dengan penggunaan kata ebeblhto (diletakkan) dalam kisah Lazarus
(Luk. 16:20).
29
Mounce, Basic, 254. Bandingkan Ernest D. Burton, Moods and Tenses of New
Testament Greek, (Chicago: Chicago University, 1987), 89. Sementara itu, menurut
Burton, tense imperative is used in commands, exhortations, entreatise and petitions, and also used to
express consentor merely to propose an hypothesis. Any tense in imperative may be used in positive
commands, on the other hand, the use of the imperative is confined almost entirely to the Present tense.
22
JURNAL
Analisis Kata menō… (Nyoman Lisias Fernand
Dju) JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 201633
mulanya tetap tinggal di dalam kamu….”30 Aorist subjungtive dibentuk dari
stem kala aoris tak ber-augment; aspek adalah satu-satunya yang penting.
Subjungtive tidak menggambarkan apa adanya, tetapi bagaimana
seharusnya. Dengan kata lain, ini bukanlah modus mengenai realita
tetapi mengenai kemungkinan (probabilitas).31
Berdasarkan prinsip gramatikal di atas, maka kalimat “Jika apa yang
telah kamu dengar dari mulanya tetap tinggal di dalam kamu” utamanya
bukan memberi kesan prasyarat, tetapi menekankan apa yang
seharusnya. Keharusan sebagai kemungkinan yang semestinya mendapat
perhatian atau tekanan dua kali dalam bagian ini dengan penggunaan
imperative dan subjungtive. Penulis surat ini menyatakan dengan serius
bahwa hal yang paling mungkin bagi seseorang untuk tinggal dalam
Anak dan Bapa adalah harus tetap tinggal di dalam firman yang “telah
kamu dengar dari mulanya.”
Analisis Konteks
Analisis konteks32 yang dimaksud di sini adalah analisis setiap ayat
mengacu pada konteks di mana ayat itu berada. Dalam ilmu Hermenutik
dan atau eksegesis, konteks dapat dipahami sebagai, pertama, konteks
kitab yang di dalamnya berbicara mengenai latar belakang kitab secara
keseluruhan dan kedua, konteks di mana kata atau frasa atau bahkan
ayat itu berada.33 Analisis konteks berfokus pada bagian yang
berdekatan dengan ayat-ayat yang ditafsir, karena tidak ada penafsir
yang dapat menjelaskan suatu bagian Alkitab tanpa memerhatikan
konteks. Pemaparan analisis dalam bagian ini mengklasifikasikan
kesamaan konteks ayat di mana kata menō terdapat di dalamnya.
Dengan memerhatikan struktur surat 1 Yohanes ini, maka pokok
yang sering dibicarakan dalam surat ini adalah berkaitan dengan
hubungan dengan Kristus dan hubungan dengan sesama. Nas-nas yang
menggunakan kata menō pun berbicara selalu dalam hal sama, yakni
30
Scauffer, 117-120. Terjemahan KJV berbunyi: “If that which ye have heard from the
beginning shall remain in you…” Tense aorist adalah tense yang menyatakan perbuatan atau
peristiwa terjadi secara sesaat, dipakai untuk mengekspresikan perbuatan atau
peristiwa yang ingresif (diawali), efektif (diselesaikan) dan kompleksif (dipandang sebagai
kesatuan). Terjemahan KJV berbunyi: “If that which ye have heard from the beginning shall
remain in you…”
31
Mounce, 236-237.
32
Konteks berasal dari dua kata Latin, yaitu con (yang berarti “bersama-sama” atau
“menjadi satu”) dan textus (yang berarti “tersusun”). Lihat Walter C. Kaiser, Toward an
Exegetical Theology (Grand Rapids: Baker Book House, 1981), 71.
33
Hasan Susanto memakai istilah “konteks dekat” dan “konteks jauh” untuk
kedua hal ini. Lihat Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab
(Malang: Literatur SAAT, 2011), 299.
22
34
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
bagaimana hubungan pribadi anak-anak Tuhan dan bagaimana implikasi
hubungan itu dalam hubungannya dengan sesama. Kedua bentuk
hubungan ini selalu berkaitan dan saling berdampak antara yang satu
dengan yang lainnya.
Konteks pertama dari kata menō adalah berbicara mengenai
hubungan antara orang percaya dengan Tuhan, yang diukur dalam
perspektif orang percaya terhadap firman Tuhan. Dalam hal ini menō
digunakan dalam konteks ketaatan orang percaya dalam melakukan
firman Tuhan. Pasal 3:24 dengan sangat jelas menunjukkan bahwa setiap
orang yang menuruti firman Tuhan, “ia diam di dalam Allah” (Yunani: en
autō menei) dan “Dia di dalam kita” (Yunani: menei en hêmin). Kehadiran
Allah ini direpresentasikan dalam “Roh (Yunani: pneumatos) yang telah Ia
karuniakan kepada kita.”
Dalam cakrawala hubungan antara firman Allah dengan orang
percaya, ayat lain yang berbicara 2:14. Dalam bagian ini dinyatakan
bahwa “firman Allah diam di dalam kamu” dengan konteks khusus
“kamu” yaitu orang-orang muda. Orang-orang muda yang dimaksud
mungkin adalah orang-orang yang lebih muda, di mana kekuatan yang
menjadi ciri khas mereka diperlukan untuk mengalahkan yang jahat.34
Tingkatan usia jasmani yang digunakan di sini dipakai sebagai analogi
untuk tingkat kedewasaan rohani yang ada dalam jemaat penerima surat
ini.
Pentingnya pembaca untuk tetap tinggal di dalam firman Allah
sebagai ukuran tinggal di dalam Allah dinyatakan dalam 2:24. Dalam
bagian ini firman Tuhan yang telah diperdengarkan kepada pembaca
surat ini diharapkan tetap tinggal di dalam mereka. Jika firman itu ada di
dalam kehidupan mereka, maka itu menjadi suatu ukuran bahwa mereka
tinggal di dalam Anak dan di dalam Bapa. Gambaran kehadiran Allah
dan Kristus dalam ayat ini direpresentasikan dalam kehadiran firman
dalam kehidupan orang percaya. Sejajar dengan ayat ini, ayat 27 dalam
pasal yang sama juga mengindikasikan bahwa jika firman kebenaran itu
ada dalam kehidupan mereka, maka mereka tidak perlu mendengar
pengajaran lain (yang salah). Ayat ini menghubungkan konteksnya
dengan pengajar sesat yang ajarannya adalah ajaran anti-Kristus.
Tetap tinggal di dalam firman memiliki dampak yang signifikan. Hal
ini berkaitan erat dengan pengakuan terhadap Kristus sebagai Anak
Allah (4:15), komitmen atau kesungguhan sebagai bagian dari komunitas
umat Allah (2:19) dan keberanian untuk percaya dan tidak malu pada
hari kedatangan-Nya (2:28). Mereka yang tidak tinggal di dalam firman
(berpegang teguh pada firman) tidak akan dapat mengaku bahwa
34
Charles F. Pfeiffer, Everett F. Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliff Vol.3: Perjanjian Baru
(Malang: Gandum Mas, 2001), 1045.
22
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 201635
Analisis Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
Kristus adalah anak Allah. Mereka juga tidak dapat menjadi anggota
komunitas Allah yang sejati. Orang yang di luar Kristus juga tidak
memiliki keberanian untuk percaya dan untuk menghadapi hari
kedatangan-Nya. Penghiburan yang indah terdapat dalam 2:17 di mana
dikatakan bahwa “orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup
selama-lamanya.” Upah ketaatan pada firman adalah kehidupan yang
kekal.
Konteks kedua dari penggunaan kata menō dalam surat ini adalah
berkaitan dengan hubungan mereka (orang-orang yang tinggal di dalam
firman atau di dalam Kristus) dengan sesamanya. Dalam hal ini, kata
penting yang dipakai konteks ini adalah kasih. Ditegaskan pertama-tama
bahwa mereka yang tinggal di dalam Dia “wajib hidup sama seperti
Kristus hidup.” Keseluruhan hidupnya adalah pernyataan kasih termurni
dan sempurna yang pernah ada. Sama seperti Kristus hidup menyatakan
kasih, orang yang tinggal di dalam Dia seharusnya demikian.
Mengasihi sesama (saudara) merupakan salah satu ciri khas orang
yang tinggal di dalam terang, yang di dalamnya tidak ada kegelapan atau
penyesatan (2:10). Dengan kata lain, salah satu bukti nyata orang yang
hidup dalam terang adalah mengasihi saudaranya. Kasih kepada saudara
juga merupakan bukti bahwa seseorang telah berpindah dari maut ke
dalam hidup (3:14). Orang yang membenci saudaranya adalah orang
masih hidup dalam maut (kegelapan) dan orang yang demikian tidak
tetap memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya (3:15). Begitu pula
orang yang menutup matanya terhadap saudaranya yang menderita
kekurangan tidak dapat mengatakan bahwa kasih Allah ada (tetap,
tinggal) di dalam dirinya (3:17). Hanya dengan saling mengasihi, orang
percaya dapat menunjukkan bahwa Allah tinggal di dalam mereka (4:12)
dan mereka di dalam Allah (4:13, 16).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat dikatakan bahwa dengan
menggunakan kata menō, Yohanes menunjukkan bahwa aspek kasih
merupakan hal yang sangat signifikan dalam kehidupan orang percaya.
Dalam konteks ini, menō menjadi sebuah ungkapan yang penting di mana
kehadiran Allah dan kehidupan seseorang diukur melalui implementasi
kasih dalam realitas kehidupannya. Kasih bukanlah pernyataan katakata semata tetapi tindakan yang nyata. Orang yang tidak mengasihi
diasosiasikan dengan kehidupan yang lama, di mana penyesatan
(kegelapan), maut, dan ketidakpastian akan keselamatan menjadi hal
yang tidak dapat dielakkan.
Akhirnya kata menō digunakan dalam kaitannya dengan (perilaku)
dosa. Dikatakan bahwa “setiap orang yang tetap berada di dalam Dia
tidak berbuat dosa lagi, sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia” (3:6, 9).
Di sini yang ditekankan adalah suatu keadaan, di mana kehadiran ilahi
menjadi sumber kekuatan untuk menjauhi dosa. Dilematika interpretasi
22
36
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
sehubungan dengan hal ini banyak menyoroti bagaimanakah mungkin
seseorang tidak dapat berdosa sama sekali setelah ia menjadi anak-anak
Allah. Jawaban yang muncul dan yang paling sering diterima adalah
bahwa bagian ini harus diartikan dengan tidak berdosa secara terus
menerus (indikatif). Secara gramatikal, bisa saja berarti demikian,
mengingat bentuk gramatikalnya mendukung. Tetapi pandangan ini
akan cenderung memberi legitimasi pada tindakan dosa, hal mana yang
mungkin tidak dimaksudkan penulis. Mengartikannya secara harafiah
akan mengindikasikan suatu keadaan surgawi (yang jauh dari dosa), di
mana Yohanes sesungguhnya tidak memaksudkan demikian (suatu
keadaan yang sempurna tanpa dosa), tetapi ia hendak menunjukkan
ketidakcocokan dari pada ketidakmungkinan seseorang berdosa.35 Pada
hakikatnya, orang yang lahir dari Allah dan berada di dalam Dia memiliki
potensi untuk menjauhkan diri dari dosa karena benih ilahi tinggal tetap
di dalamnya dan karena mereka mengenal Dia.
Analisis Historis
Analisis historis pada bagian ini bertujuan untuk melihat korelasi
dan signifikansi penggunaan kata menō dalam surat 1 Yohanes bagi
pembacanya saat itu. Sebagaimana telah disebutkan bahwa surat 1
Yohanes ditulis bagi sejumlah jemaat di Asia, maka dengan demikian
dapatlah dianalisis hubungan historis antara penerima surat ini dengan
konten surat itu sendiri. Selain itu, melalui analisis ini juga dapat
diperoleh gambaran mengenai penggunaan kata ini dalam keseluruhan
konteks historis tulisan Yohanes. Agar pembahasan tidak meluas, maka
dalam bagian ini penulis menyoroti eksistensi Johannine community dalam
kaitan dengan konsep kata menō dalam surat 1 Yohanes.
Johannine Community adalah teori yang dikemukakan para ahli
Perjanjian Baru bahwa ada suatu komunitas yang menjadi latar belakang
utama dan sangat berperan/dominan di balik keempat tulisan Yohanes.
Sarjana modern yang sangat populer dengan teori ini adalah Raymond E.
Brown di mana ia memopulerkan teori ini lewat bukunya yang berjudul
The Community of The Beloved Disciple. Selain itu ada juga ahli Perjanjian Baru
lainnya seperti Georg Richter, Herman Hendrickx, David Rensberger
dan Adele Reinhartz yang juga tertarik membahas teori yang sama
walaupun dengan pendekatannya masing-masing.
Paul Anderson, profesor bidang studi Alkitab di George Fox
University mengatakan bahwa Johannine Community adalah:
A network of churches located in Asia Minor responsible for the production
of the four New Testament writings: the Gospel of John and the three letters
35
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012), 867.
22
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016 37
Analisis Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
known as 1 John, 2 John and 3 John. Together those books reveals how a
particular Christian community dealt with religious tensions during the last
few decades of the first century. The Johannine community may have
included Christians who migrated to Asia Minor from Palestine after the
36
destruction of Jerusalem in 70 C.E.
Kesan mengenai adanya suatu komunitas tersendiri yang ingin
ditonjolkan dalam tulisan-tulisan Yohanes, terlihat dalam redaksi Injil
Yohanes 1:19-29 dan 3:22-25. Dalam Injil Sinoptis, redaksi kemunculan
Yohanes Pembaptis berkaitan dengan persiapan pelayanan Yesus dan
pertobatan, sementara dalam Injil Yohanes lebih kepada pertanyaan
mengenai apakah Yohanes Pembaptis adalah Mesias yang dijanjikan.
Dalam pasal 3, tensi antara komunitas tersebut dengan Yudaisme terasa
semakin meningkat. Dialektika antara komunitas khusus ini dengan
komunitas lainnya seperti Yudaisme dan lainnya terasa dalam sepanjang
narasi Injil Yohanes dan juga tulisan-tulisan Yohanes.37
Menurut Raymond Brown, sejarah perkembangan Johannine
Community terbagi atas empat fase utama, yaitu Masa Awal (pertengahan
tahun 50-80), Masa Injil (sekitar tahun 90), Masa Surat-surat (sekitar
tahun 100), dan Masa sesudah Injil-Injil (sekitar abad II). Penjelasan
mengenai hal ini disarikan di bawah ini: 38
Fase Pertama, yaitu masa awal merupakan masa mula-mula lahirnya
kelompok ini. Pada masa ini komunitas ini terdiri dari orang Yahudi,
termasuk murid-murid Yohanes Pembaptis yang menerima Yesus tanpa
keraguan sedikitpun. Di antara kelompok ini terdapat seseorang yang
kemudian diperkenalkan sebagai “murid yang terkasih”. Kelompok ini
kemudian berkembang menjadi kelompok yang menempatkan Yesus
sebagai Tuhan yang kemudian menimbulkan konflik dengan Yudaisme.
Kelompok ini tetap mempertahankan keyakinan mereka dan dalam
situasi ini “murid yang terkasih” memainkan perannya untuk benarbenar menyatakan Yesus sebagai Anak Allah, Mesias dan Juruselamat
manusia.
Fase Kedua atau masa Injil merupakan masa di mana tensi dengan
Yudaisme benar-benar memuncak. Akibatnya terjadi diaspora dan Yesus
diberitakan keluar Palestina. Penolakan oleh orang Yunani dan
36
Paul Anderson, The Johannine Community, Diakses 2 April 2015, www.bible
odyssey.org/en/people/ related-article/johannine-community.
37
Bdk. David L. Barr, “As the Father Has Sent Me”: Community Dialogues in John 20,
www.wright.edu/~dbarr/absart.htm Lihat juga Adele Reinhartz, The Johannine Community
and its Jewish Neighbors: A Reappraisal, www.thefisherofmenministries.com/The%20
Johannine%20Community%20and%20its%20Jewish%20Neighbors.pdf
38
Raymond E. Brown, The Community of The Beloved Disciple, www.institute
ofchatolicculture.org/wp-content/uploads/2015/04/Brown-Johannine-Community.pdf.
22
38
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
penganiayaan oleh orang Yahudi membawa komunitas ini meyakini
bahwa mereka adalah pengikut Yesus yang sejati, Israel baru yang
kemudian membentuk persekutuannya sendiri (gereja). Pada masa inilah
mereka dikenal dengan sebutan Kristen yang artinya pengikut Kristus.
Pada masa ini, pertentangan mengenai Yesus semakin kuat dan
meningkat.
Fase Ketiga, yaitu Masa Surat-surat, perbedaan pandangan mengenai
Yesus sudah tidak dapat dipersatukan lagi dengan cara apapun. Pada
masa ini perpecahan terjadi, yaitu satu kubu yang mempertahankan
pengajaran tentang Yesus sesuai dengan pengajaran para rasul dan satu
kubu yang mencoba merumuskan Yesus menurut pemahaman
pengetahuan dan filsafat manusia. Di sini terjadilah pembedaan antara
mereka yang disebut “anak-anak Allah” dan mereka yang disebut
“penyesat/bidat/sekte”.
Masa Keempat yakni masa sesudah Surat-surat adalah masa di mana
dua aliran yang terpecah tadi menempuh jalannya sendiri-sendiri. Kubu
pertama bersatu dan membentuk gereja sebagai sebuah persekutuan
umat (Chatolic Church), sementara yang lainnya menempuh jalan yang
dikenal dengan Gnostisisme (yang di dalamnya terdapat docetisme,
gnostisisme, montanisme, dan lain-lain).
Memerhatikan periodisasi yang dikemukakan Brown di atas, dapat
dikatakan bahwa Johannine Community mengalami perkembangan
sedemikian rupa yang pada akhirnya memperhadapkan mereka pada
sebuah pilihan yaitu mempertahankan keyakinan akan Yesus melalui
suatu komunitas orang percaya yang boleh disebut gereja. Banyaknya
perdebatan mengenai Yesus sebagai pusat keyakinan dan pengajaran
membuat komunitas ini harus mempertajamkan pemahaman mereka
mengenai keilahian Yesus. Untuk tujuan pembedaan antara komunitas
yang benar dan salah, maka, Johannine community is the community developed a
strong dualistic against the world, and eventually against all those within their own
community that disagreed with them. Everything was either black or white, good or
evil, to the point that one could not even pray for those in the darkness.39
Tidak dipungkiri lagi bahwa polemik Kristologi merupakan
problematika yang paling dominan dihadapi oleh komunitas ini.
Kejatuhan Yerusalem disinyalir sebagai salah satu situasi yang
menyebabkan krisis iman dan menimbulkan trauma serta pertanyaan
krusial mengenai kepercayaan Kristen itu sendiri. Interpretasi mengenai
ajaran Yesus menjadi penting di mana doktrin dan etika harus mendapat
39
Pat Perriello, Vatican II and The Lessons of The Johannine Community,
www.ncronline.org/blogs/ncr-today/vatican-ii-and-the-lessons-johannine-communityhtm.
22
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 201639
Analisis Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
fondasi yang kokoh.40 Tulisan-tulisan Yohanes jelas menunjukkan suatu
pergumulan yang sifatnya internal maupun eksternal. Surat 1 Yohanes
secara implisit menunjukkan pergumulan internal komunitas ini.41
Permasalahan mengenai Kristologi dan praktika hidup Kristen jelas
terlihat dalam surat 1 Yohanes. Keilahian Kristus dan Kasih terhadap
sesama merupakan pokok yang sering ditekankan dalam surat ini.
Nasihat-nasihat Yohanes yang bersifat ke dalam menunjukkan bahwa
secara internal komunitas Kristen pada saat itu sedang goncang sehingga
mereka membutuhkan penguatan bagi diri mereka sendiri. Pengajaran
mengenai hakikat dan karya Yesus ditekankan berulang, demikian pula
dengan pengajaran tentang kasih.
Untuk menjawab dan mengantisipasi semua permasalahan dalam
komunitas Kristen, termasuk komunitas ini, maka diperlukan paranese
indikatif yang deliberatif sifatnya di mana keunggulan dan keotentikan
ajaran Kristen dipertahankan. Penulis surat 1 Yohanes memilih
menggunakan sebuah homili di mana fondasi iman Kristen dapat
dijabarkan sedemikian rupa sehingga pengajaran sesat dapat dibendung
dan kebenaran dapat tetap bertahan. Penggunaan kata menō dalam
tulisan-tulisan Yohanes dapat dipahami untuk mencapai tujuan ini.
Mengingat makna yang terkandung dalam kata ini, maka sejarah
perkembangan komunitas Kristen dalam pergumulannya akan
kebenaran di dalamnya telah terdapat indikasi yang kuat di mana kata
menō menjadi salah satu kata penting yang digunakan untuk menjelaskan
dasar iman dan keyakinana Kristen yang sejati.
Dengan demikian maka siginfikansi penggunaan kata menō dalam
konteks historis berkaitan dengan Johannine community menunjukkan
bahwa terdapat relevansi yang kuat. Penggunaan kata ini yang di
dalamnya terkandung pengajaran dan nasihat yang mendasar mengenai
doktrin dan praktika hidup Kristen jelas menunjukkan bahwa secara
historis teologis kata ini merupakan kata yang penting dalam
pergumulan iman dan perkembangan doktrin dalam komunitas Kristen
perdana.
Kesimpulan
Perjanjian Baru menggunakan kata menō digunakan dalam hubungan
dengan Allah, berarti menekankan sifatnya, sementara dalam hubungan
dengan doktrin Kristen, kata ini digunakan secara kiasan menunjuk
kepada ketetapan hidup sebagai umat yang diselamatkan.
40
Herman Hendrickx, The Johannine Community, Theology Annual Vol. 12
David Rensberger, Johannine Faith and Liberating Community (Philadelphia:
Westminster Press, 1988), 41-48.
41
40
22
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
Secara gramatikal, bentuk yang menyatakan bahwa suatu tindakan
(peristiwa) sedang terjadi, subjeknya melakukannya secara aktif dan
tindakan/peristiwa itu merupakan suatu realitas. Penulis surat ini,
Yohanes menyatakan dengan serius bahwa hal yang paling mungkin bagi
seseorang untuk tinggal dalam Anak dan Bapa adalah harus tetap tinggal
di dalam firman yang “telah kamu dengar dari mulanya.”
Sedangkan pendekatan analisis konteks arti menō adalah orang yang
lahir dari Allah dan berada di dalam Dia memiliki potensi untuk
menjauhkan diri dari dosa karena benih ilahi tinggal tetap di dalamnya
dan karena mereka mengenal Dia.
Dalam konteks historis penggunaan kata menō yang di dalamnya
terkandung pengajaran dan nasihat yang mendasar mengenai doktrin
dan praktika hidup Kristen jelas menunjukkan bahwa secara historis
teologis kata ini merupakan kata yang penting dalam pergumulan iman
dan perkembangan doktrin dalam komunitas Kristen mula-mula.
Kepustakaan
Anderson, Paul. “The Johannine Community.” Diakses 2 April 2015.
http://www.bibleodyssey.org/en/people/related-article/johanninecommunity.
Barr, David L. “As the Father Has Sent Me”: Community Dialogues in John 20.
Diakses 2 April 2015. http://www.wright.edu/~dbarr/absart.htm.
Brown, Raymond E. “The Community of The Beloved Disciple.” Diakses
2 April 2015. http://www.instituteofchatolicculture.org/wpcontent/uploads/2015/04/Brown-Johannine-Community.pdf.
Burton, Ernest D. Moods and Tenses of New Testament Greek. Chicago:
Chicago University, 1987.
Carson, D. A. Exegetical Fallacies. Grand Rapids: Baker Book House, 1996.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis – Teologis. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996.
Elwell, Walter A. ed., Evangelical Dictionary of Theology. Michigan: Baker
Book House, 1989.
Fee, Gordon D. New Testament Exegesis. Kentucky: John Konx Press, 2002.
Han, Nathan E. A Parsing Guide to The New Testament. Scottdale,
Pensylvania: Herald Press, 1994.
Harrison, Everret F. Introduction to The New Testament. Michigan:Wm. B.
Eerdmans Publishing Company, 1965.
Hayes, John dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996.
Hendrickx, Herman. The Johannine Community. Theology Annual Vol. 12,
1990.
22
Analisis Kata menō… (Nyoman Lisias FernandJURNAL
Dju)
JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016 41
Hepp, John. “Menō and The Doctrine of Abiding,” diaskes 21 Maret 2015,
http://www.kingdominbible.com/assets/Abiding.pdf.
Kaiser, Walter C. Toward an Exegetical Theology. Grand Rapids: Baker
Book House, 1981.
Klein, William W., Craig L. Blomberg, and Robert L. Hubbard,
Introduction to Biblical Interpretation. Malang: Literatur Seminari
Alkitab Asia Tenggara, 2013.
Mounce, William D. Basics of Biblical Greek: Dasar-Dasar Bahasa Yunani
Biblika. Malang: Literatur Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2011.
Murray, Andrew. Tinggal di Dalam Kristus. Jakarta: Light Publishing, 2014.
Osborne, Grant S. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif bagi Penafsiran
Alkitab. Surabaya: Momentum 2012.
Perriello, Pat. “Vatican II and The Lessons of The Johannine
Community.” Diakses 2 April 2015.http://
www.ncronline.org/blogs/ncr-today/vatican-ii-and-the-lessonsjohannine-community-htm.
Pfeiffer, Charles F., Everett F. Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliff Vol.3:
Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2001.
Reinhartz, Adele. “The Johannine Community and its Jewish Neighbors:
A Reappraisal.” Diakses 2 April 2015.
http://www.thefisherofmenministries.com/The%20Johannine%20C
ommunity%20and%20its%20Jewish%20Neighbors.pdf.
Rensberger, David. Johannine Faith and Liberating Community. Philadelphia:
Westminster Press, 1988.
Ronda, Daniel. Dasar Teologi yang Teguh: Panduan Teologi Sistematika di
Perguruan Tinggi. Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2013.
Schäffer, Ruth. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan
Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Sitompul, A. A. dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012.
Suawa¸ Ferdinan K. Memahami Grammatika Dasar Bahasa Yunani Koine
Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009.
Summers, Ray. Yang Pokok dalam Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Yogyakarta:
STII, 1988.
Sutanto, Hasan. Perjanjian Baru Interlinear Yunani – Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru: Jilid II: Konkordansi Perjanjian Baru. Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, 2002.
Sutanto, Hasan. Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Malang: Literatur
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2011.
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2012.
22
42
JURNAL JAFFRAY, Vol. 14, No. 1, April 2016
Tenney, Merril C. Survey PerjanjianBaru. Malang: Gandum Mas, 2003.
Terry, Milton S. Biblical Hermeneutics: A Treatise on The Interpretation of The
Old and New Testaments. Grand Rapids: Zondervan Publishing House,
1974.
Wenham, J. W. Bahasa Yunani Koine. Malang: Literatur Seminari Alkitab
Asia Tenggara, 1987.
Download