Jurnal keperawatan dan Kebidanan ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI Surya Mustika Sari1), Titiek Idayanti2), Vera Virgia3) Program Studi Kebidanan, STIKES Dian Husada, Email : [email protected] 2) Program Studi Kebidanan, STIKES Dian Husada, Email : [email protected] 3) Program Studi Kebidanan, STIKES Dian Husada, Email : [email protected] 1) ABSTRAK Kemajuan suatu bangsa dimulai dari sumber daya manusia yang berkualitas, untuk menciptakan harus dimulai sejak dini. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah pemberian ASI pada satu jam pertama kelahiran atau sering disebut dengan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Pelaksanaan IMD merupakan awal kerhasilan dalam pemberian ASI eksklusif (Roesli, 2008). Dua puluh empat jam pertama setelah ibu melahirkan adalah saat yang sangat penting untuk keberhasilan menyusui selanjutnya. Pada jam-jam pertama setelah melahirkan dikeluarkan hormon oksitosin yang bertanggung jawab terhadap produksi ASI. Waktu pertama kali mendapatkan ASI segera setelah lahir secara bermakna meningkatkan kesempatan hidup bayi. Rancangan penelitian yang digunakan adalah case control dengan pendekatan retrospektif. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bayi usia 0-23 bulan yang memenuhi kriteria penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan IMD dan pelaksanaan IMD. Pengolahan data penelitian dilakukan dengan tahap editing, coding, scoring dan tabulating. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) digunakan uji regresi menggunakan aplikasi SPSS for windows. Dari hasil penelitian, untuk faktor predisposisi (predisposing factor) yang berpengaruh terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bayi usia 0-23 bulan, diantaranya adalah umur ibu, pengetahuan ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan pendapatan keluarga. Untuk faktor pendukung (enabling factor) yang berpengaruh terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bayi usia 0-23 bulan, diantaranya adalah informasi tentang IMD, tempat bersalin, kondisi bayi dan, kondisi kolostrum (keluar / tidak keluar). Sedangkan untuk faktor pendorong (reinforcing factor), budaya yang dianut ibu berpengaruh terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bayi usia 0-23 bulan. Dibutuhkan kerjasama berbagai pihak untuk dapat mensukseskan program inisiasi menyusu dini mengingat persaingan pada level produsen susu formula bergitu gencar dilakukan. Untuk itu dibutuhkan adanya pemahaman dari segi petugas pelayanan kesehatan untuk sebisa mungkin membantu ibu bersalin dalam melakukan IMD. Penyusunan dan pembentukan aturan untuk pelaksanaan IMD merupakan salah satu bentuk dukungan yang dapat dilakukan pemerintah sebagai salah satu pihak yang paling bertanggung jawab terhadap derajat kesehatan ibu dan anak Kata kunci : Inisiasi Menyusu Dini, ibu, bayi Halaman | 134 Jurnal Keperawatan dan Kebidanan PENDAHULUAN Kemajuan suatu bangsa dimulai dari sumber daya manusia yang berkualitas, untuk menciptakan harus dimulai sejak dini. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah pemberian ASI pada satu jam pertama kelahiran atau sering disebut dengan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Pelaksanaan IMD merupakan awal kerhasilan dalam pemberian ASI eksklusif (Roesli, 2008). Dua puluh empat jam pertama setelah ibu melahirkan adalah saat yang sangat penting untuk keberhasilan menyusui selanjutnya. Pada jam-jam pertama setelah melahirkan dikeluarkan hormon oksitosin yang bertanggung jawab terhadap produksi ASI. Waktu pertama kali mendapatkan ASI segera setelah lahir secara bermakna meningkatkan kesempatan hidup bayi. Jika bayi mulai menyusui dalam waktu 1 jam setelah lahir, 22 % bayi yang meninggal dalam 28 hari pertama (setara dengan sekitar satu juta bayi baru lahir setiap tahun di dunia) sebenarnya dapat dicegah. Jika proses menyusui ini dimulai dalam satu hari pertama, maka hanya 16 % bayi yang dapat diselamatkan. Inisiasi menyusu dini adalah proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan, dimana bayi dibiarkan mencari puting susu ibunya sendiri (tidak disodorkan ke puting susu). Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi kehangatan saat menyusu menurunkan risiko kematian karena hypothermia (kedinginan). Selain itu juga, bayi memperoleh bakteri tak berbahaya dari ibu, menjadikannya lebih kebal dari bakteri lain di lingkungan. Dengan kontak pertama, bayi memperoleh kolostrum, yang penting untuk kelangsungan hidupnya, dan bayi memperoleh ASI (makanan awal) yang tidak mengganggu pertumbuhan, fungsi usus, dan alergi sehingga bayi akan lebih berhasil menyusu ASI eksklusif dan mempertahankan menyusui. Sedangkan manfaat bagi ibu adalah menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum). Pemerintah Indonesia mendukung kebijakan WHO dan Unicef yang merekomendasikan inisiasi menyusu dini sebagai tindakan “penyelamatan kehidupan”, karena inisiasi menyusu dini dapat menyelamatkan 22% dari bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan. Maka diharapkan semua tenaga kesehatan di semua tingkatan pelayanan kesehatan dapat mensosialisasikan program tersebut. Hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa persentase proses mulai mendapat ASI kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini) pada anak umur 0-23 bulan di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 34,5%. Persentase proses mulai mendapat ASI antara 1 – 6 jam sebesar 35,2%, persentase proses mulai mendapat ASI antara 7– 23 jam sebesar 3,7%, sedangkan persentase proses mulai mendapat ASI antara 24 – 47 jam sebesar 13,0% dan persentase proses mulai mendapat ASI lebih dari 47 jam sebesar 13,7% (Kemenkes, 2014) Menurut Mahardika (2010 dikutip dalam Nastiti, 2013), keberhasilan inisiasi menyusu dini dipengaruhi olah faktor kesehatan ibu dan anak, motivasi pada ibu, peran orang terdekat dan sikap bidan dalam pelaksanaan inisiasi menyusu dini. Dari hasil observasi juga diketahui bahwa ibu melahirkan tidak dapat langsung memberikan air susunya pada bayi, dikarenakan air susu ibu tidak bisa keluar. Terdapatnya bayi yang mengalami BBLR sehingga inisiasi menyusu dini tidak dapat dilakukan karena bayi harus mengalami penanganan khusus. Ketidaktahuan dan kurangnya informasi menyusu dini membuat ibu kurang termotivasi untuk melakukan inisiasi menyusu dini dan kurangnya peran orang terdekat dalam hal ini ibu, saudara perempuan atau teman perempuan dalam sosialisasi menyusu dini membuat ibu tidak percaya dan takut untuk melakukan inisiasi menyusu dini. Dalam proses inisiasi menyusu dini, bidan tidak menunggu sampai bayi benar-benar menyusu pada ibu, namun hanya sebatas prosedur melahirkan saja. Setelah bayi lahir, bidan meletakkan bayi di atas dada ibu kemudian saat bayi menangis bayi langsung di angkat untuk di bersihkan dan dikeringkan. Berbagai program dan pelatihan mengenai inisiasi menyusu dini sudah dilakukan oleh pemerintah baik kepada bidan maupun kepada masyarakat / ibu. Namun pada kenyataannya masih ada ibu-ibu yang mempunyai bayi pada saat melahirkan tidak dilakukan IMD. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini yang rendah karena dipengaruhi oleh faktor pendidikan ibu yang rendah, tidak ada dorongan atau motivasi untuk mengetahui perkembangan zaman, kurangnya ketersediaan informasi maupun fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan dari orang Halaman | 135 Jurnal keperawatan dan Kebidanan terdekat, dukungan dari tenaga kesehatan, kebudayaan, dan belum adanya promosi Insiasi Menyusui Dini (Rosita, 2008). Selain itu, gencarnya promosi susu formula yang ditawarkan melalui media informasi yang ada menjadikan ibu cenderung beralih menggunakan susu formula dibandingkan dengan ASI Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Pada Bayi usia 0-23 Bulan. TINJAUAN TEORI 1. Definisi Inisiasi Menyusu Dini Inisiasi menyusu dini (IMD) dalam istilah asing sering di sebut early inisiation adalah memberi kesempatan pada bayi baru lahir untuk menyusu sendiri pada ibu dalam satu jam pertama kelahirannya (Roesli, 2008). Ketika bayi sehat di letakkan di atas perut atau dada ibu segera setelah lahir dan terjadi kontak kulit (skin to skin contact) merupakan pertunjukan yang menakjubkan, bayi akan bereaksi oleh karena rangsangan sentuhan ibu, dia akan bergerak di atas perut ibu dan menjangkau payudara. Inisiasi menyusu dini disebut sebagai tahap ke empat persalinan yaitu tepat setelah persalinan sampai satu jam setelah persalinan, meletakkan bayi baru lahir dengan posisi tengkurap setelah dikeringkan tubuhnya namun belum dibersihkan, tidak dibungkus di dada ibunya segera setelah persalinan dan memastikan bayi mendapat kontak kulit dengan ibunya, menemukan puting susu dan mendapatkan kolostrum atau ASI yang pertama kali keluar. Inisiasi menyusu dini adalah proses menyusu bukan menyusui yang merupakan gambaran bahwa inisiasi menyusu dini bukan program ibu menyusui bayi tetapi bayi yang harus aktif sendiri menemukan putting susu ibu. Setelah lahir bayi belum menujukkan kesiapannya untuk menyusu. Reflek menghisap bayi timbul setelah 20-30 menit setelah lahir. Roesli (2008), menyatakan bayi menunjukan kesiapan untuk menyusu 30-40 menit setelah lahir. Kesimpulan dari berbagai pengertian di atas, inisiasi menyusu dini adalah suatu rangkaian kegiatan dimana bayi segera setelah lahir yang sudah terpotong tali pusatnya secara naluri melakukan aktivitas-aktivitas yang diakhiri dengan menemukan puting susu ibu kemudian menyusu pada satu jam pertama kelahiran. 2. Prinsip Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Prinsip dasar inisiasi menyusui dini adalah tanpa harus dibersihkan dulu, bayi diletakkan di dada ibunya dengan posisi tengkurap dimana telinga dan tangan bayi berada dalam satu garis, sehingga terjadi kontak kulit dan secara alami bayi mencari payudara ibu dan mulai menyusu. Prinsip dasar IMD adalah tanpa harus dibersihkan terlebih dahulu, bayi diletakkan di dada ibunya dan secara naluriah bayi akan mencari payudara ibu, kemudian mulai menyusu (Rosita, 2008). 3. Manfaat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Rosita (2008), menyatakan bahwa IMD bermanfaat bagi ibu dan bayi baik secara fisiologis maupun psikologis yaitu sebagai berikut : a. Ibu. Sentuhan dan hisapan payudara ibu mendorong keluarnya oksitoksin. Oksitoksin menyebabkan kontraksi pada uterus sehingga membantu keluarnya plasenta dan mencegah perdarahan. Oksitoksin juga menstimulasi hormonhormon lain yang menyebabkan ibu merasa aman dan nyaman, sehingga ASI keluar dengan lancar. b. Bayi. Bersentuhan dengan ibu memberikan kehangatan, ketenangan sehingga napas dan denyut jantung bayi menjadi teratur. Bayi memperoleh kolostrum yang mengandung antibodi dan merupakan imunisasi pertama. Di samping itu, kolostrom juga mengandung faktor pertumbuhan yang membantu usus bayi berfungsi secara efektif, sehingga mikroorganisme dan penyebab alergi lain lebih sulit masuk ke dalam tubuh bayi. 4. Langkah–langkah pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) Rosita (2008), menyatakan terdapat 10 langkah yang harus dilakukan untuk terlaksananya IMD yaitu : a. Ibu perlu ditemani seseorang yang dapat memberikan rasa nyaman dan aman saat melahirkan, baik itu suami, ibu, teman atau saudara yang lain. b. Membantu proses kelahiran dengan upaya-upaya di luar obat seperti pijatan, aromaterapi dan lain-lain kecuali jika dokter sudah memutuskan untuk menggunakan obat atau alat pemicu. c. Memberikan posisi yang nyaman bagi ibu saat proses persalinan atau Halaman | 136 Jurnal Keperawatan dan Kebidanan memberikan posisi melahirkan sesuai keinginan ibu, karena tidak semua ibu merasa nyaman dengan posisi terlentang. d. Mengeringkan tubuh bayi dengan handuk halus segera setelah lahir tanpa dimandikan terlebih dahulu, biarkan cairan alami yang menyelimuti kulit bayi. e. Meletakkan bayi di dada ibu dalam posisi tengkurap. f. Membiarkan kulit bayi bersentuhan dengan kulit ibu hingga bayi menemukan puting susu ibu kemudian menyusunya. g. Membiarkan bayi bergerak secara alami mencari payudara ibu jangan arahkan menuju salah satu puting tetapi pastikan bayi dalam posisi nyaman untuk mencari puting susu ibu. h. Ibu yang melahirkan dengan secio caesar juga harus segera bersentuhan dengan bayinya setelah melahirkan yang tentu prosesnya membutuhkan perjuangan yang lebih. i. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu kenyamanan bayi seperti menimbang dan mengukur harus dilakukan setelah bayi bisa melakukan inisiasi menyusu dini. j. Jangan memberikan cairan atau makanan lain pada bayi kecuali ada indikasi medis. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan IMD. a. Faktor-faktor pendukung. Terdiri dari faktor internal dan eksternal. Pengetahuan, sikap, pengalaman dan persepsi ibu merupakan faktor internal sedangkan fasilitas kesehatan, petugas penolong persalinan, keluarga dan orang terdekat serta lingkungan merupakan faktor eksternal b. Faktor-faktor penghambat. Roesli (2008), menyatakan faktorfaktor penghambat Inisiasi Menyusu Dini adalah adanya pendapat atau persepsi ibu, masyarakat dan petugas kesehatan yang salah atau tidak benar tentang hal ini, yaitu sebagai berikut : 1) Bayi akan kedinginan. Bayi berada dalam suhu yang aman jika melakukan kontak kulit dengan sang ibu, suhu payudara ibu akan meningkat 0,5 derajat dalam dua menit jika bayi diletakkan di dada ibu. Berdasarkan hasil penelitian Dr. Niels 2) 3) 4) 5) 6) 7) Bergman (2005) ditemukan bahwa suhu dada ibu yang melahirkan menjadi 1°C lebih panas dari suhu dada ibu yang tidak melahirkan. Jika bayi yang diletakkan di dada ibu ini kepanasan, suhu dada ibu akan turun 1°C. Jika bayi kedinginan, suhu dada ibu akan meningkat 2°C untuk menghangatkan bayi. Jadi dada ibu merupakan tempat yang terbaik bagi bayi yang baru lahir dibandingkan tempat tidur yang canggih dan mahal. Ibu kelelahan. Memeluk bayinya segera setelah lahir membuat ibu merasa senang dan keluarnya oksitoksin saat kontak kulit ke kulit serta saat bayi menyusu dini membantu menenangkan ibu. Tenaga kesehatan kurang tersedia. Penolong persalinan dapat melanjutkan tugasnya sementara bayi masih didada ibu dan menemukan sendiri payudara ibu. Libatkan ayah atau keluarga terdekat untuk menjaga bayi sambil memberi dukungan pada ibu. Kamar bersalin atau kamar operasi sibuk. Ibu dapat dipindahkan ke ruang pulih atau kamar perawatan dengan bayi masih didada ibu, berikan kesempatan pada bayi untuk meneruskan usahanya mencapai payudara dan menyusu dini. Ibu harus di jahit. Kegiatan merangkak mencari payudara terjadi di area payudara dan lokasi yang dijahit adalah bagian bawah ibu. Suntikan vitamin K dan tetes mata untuk mencegah penyakit gonore harus segera diberikan setelah lahir. Menurut American college of obstetrics and Gynecology dan Academy Breastfeeding Medicine (2007), tindakan pencegahan ini dapat ditunda setidaknya selama satu jam sampai bayi menyusu sendiri tanpa membahayakan bayi. Bayi harus segera dibersihkan, dimandikan, ditimbang, dan diukur. Menunda memandikan bayi berarti menghindarkan hilangnya panas badan bayi. Selain itu, kesempatan vernix meresap, melunakkan, dan melindungi kulit bayi lebih besar. Bayi dapat dikeringkan segera setelah lahir. Penimbangan dan pengukuran Halaman | 137 Jurnal keperawatan dan Kebidanan dapat ditunda sampai menyusu awal selesai. 8) Bayi kurang siaga. Pada 1-2 jam pertama kelahirannya, bayi sangat siaga. Setelah itu, bayi tidur dalam waktu yang lama. Jika bayi mengantuk akibatnya obat yang diasup oleh ibu, kontak kulit akan lebih penting lagi karena bayi memerlukan bantuan lebih untuk bonding. 9) Kolostrum tidak keluar atau jumlah kolostrom tidak memadai sehingga diperlukan cairan lain. Kolostrum cukup dijadikan makanan pertama bayi baru lahir. Bayi dilahirkan .dengan membawa bekal air dan gula yang dapat dipakai pada saat itu. 10) Kolostrum tidak baik, bahkan berbahaya untuk bayi. Kolostrom sangat diperlukan untuk tumbuhkembang bayi. Selain sebagai imunisasi pertama dan mengurangi kuning pada bayi baru lahir, kolostrum melindungi dan mematangkan dinding usus yang masih muda. Selain faktor-faktor penghambat di atas menurut Kristiyansari (2009) ada beberapa mitos yang menjadi penghambat pelaksanaan IMD yaitu : Kolostrum tidak baik dan berbahaya bagi bayi, bayi memerlukan cairan lain sebelum menyusu, kolostrom dan ASI saja tidak mencukupi kebutuhan minum bayi, bayi akan kedinginan saat dilakukan IMD, setelah melahirkan ibu terlalu lelah untuk menyusui bayi, IMD merupakan prosedur yang merepotkan bagi petugas kesehatan dokter, perawat, bidan METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian case control dengan pendekatan retrospektif. Penelitian ini dilakukan di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto selama bulan Juli – Agustus 2016. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bayi usia 0-23 bulan yang memenuhi kriteria penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan IMD, dan pelaksanaan IMD. Data dikumpulkan melalui kegiatan wawancara dan observasi secara langsung. Untuk pengumpulan data digunakan lembar kuesioner. Pengolahan data penelitian dilakukan dengan tahap editing, coding, scoring dan tabulating. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) digunakan uji regresi menggunakan aplikasi SPSS for windows. Data hasil penelitian selanjutnya ditabulasi dan dideskripsikan sebagai hasil penelitian HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik responden Tabel 1. Karakteristik responden No 1 2 3 4 5 6 Variabel Umur ibu Remaja akhir (17-25 tahun) Dewasa awal (26-35 tahun) Pengetahuan tentang IMD Kurang Baik Pendidikan terakhir Pendidikan dasar Pendidikan menengah Pekerjaan ibu Tidak bekerja (IRT) Bekerja Pendapatan keluarga Dibawah UMR Sesuai / Diatas UMR Tempat bersalin BPM / RB Odds Ratio Estimate Low Upper N % 18 30 37,5 62,5 25,50 2,98 217,81 0,000 20 28 41,7 58,3 34,20 3,96 294,88 0,000 19 29 39,6 60,4 12,04 2,33 62,13 0,001 35 13 72,9 27,1 48,00 5,31 433,95 0,000 27 21 56,3 43,7 3,81 1,13 12,90 0,029 28 58,3 6,81 1,88 24,69 0,003 Sig Halaman | 138 Jurnal Keperawatan dan Kebidanan 7 8 9 10 11 12 Rmah sakit / Puskesmas Informasi tentang IMD Belum pernah mendapatkan Pernah mendapatkan informasi Kunjungan ANC Tidak teratur (< 4 kali) Teratur (4 kali / lebih) Kondisi bayi BBL Rendah BBL Normal Kondisi kolostrum Belum keluar Sudah keluar Budaya masyarakat Tidak mendukung IMD Mendukung IMD Pelaksanaan IMD Melakukan IMD Tidak melakukan IMD 20 41,7 26 22 54,2 45,8 3,26 0,97 10,88 0,049 9 39 18,8 81,2 1,39 0,30 6,39 0,671 19 29 39,6 60,4 12,04 2,33 62,14 0,001 26 22 54,2 45,8 4,82 1,38 16,75 0,011 27 21 56,3 43,8 5,69 1,61 20,14 0,005 19 29 39,6 60,4 Dari tabel diatas, sebagian besar responden termasuk dalam kategori dewasa awal (26-35 tahun) yaitu sebanyak 30 responden (62,5%), untuk pengetahuan tentang IMD, lbih dari separuh responden memiliki pengetahuan baik tentang IMD yaitu sebanyak 28 responden, untuk latar belakang pendidikan yang dimiliki sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan menengah yaitu sebanyak 29 responden (60,4%), untuk pekerjaan responden dalam penelitian ini sebagian besar tidak bekerja (IRT) sebanyak 35 responden (72,9%) 2. Faktor predisposisi (predisposing factor) Untuk umur ibu, dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 25.50, nilai common odds ratio lower bound sebesar 2.98 dan common odds ratio upper sebesar 217.81, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0.000. Dari hasil odds ratio lower bound didapatkan bahwa resiko ibu untuk tidak melakukan IMD sebesar 2,9 kali. Dari hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang berarti umur ibu memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Dari hasil penelitian pengetahuan ibu tentang IMD didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 34.20, nilai common odds ratio lower bound sebesar 3.96 dan common odds ratio upper sebesar 294.88, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0.001. Dari hasil odds ratio lower bound didapatkan bahwa resiko ibu untuk tidak melakukan IMD sebesar 3,9 kali. Dari hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,001 yang berarti pengetahuan ibu tentang IMD memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Dari hasil penelitian tentang pendidikan ibu didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 12.04, nilai common odds ratio lower bound sebesar 2.33 dan common odds ratio upper sebesar 62.13, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,001. Dari hasil tersebut nampak bahwa latar belakang pendidikan ibu memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Dari hasil penelitian tentang pekerjaan ibu didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 48.00, nilai common odds ratio lower bound sebesar 5.31 dan common odds ratio upper sebesar 433.95, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,000. Dari hasil tersebut nampak bahwa aktivitas pekerjaan yang dilakukan ibu memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Dari hasil penelitian tentang pendapatan keluarga didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 3.81, nilai common odds ratio lower bound sebesar 1.13 dan common odds ratio upper sebesar 12.90, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,029. Dari hasil tersebut nampak bahwa Halaman | 139 Jurnal keperawatan dan Kebidanan pendapatan keluarga ibu memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD 3. Faktor pendukung (enabling factor) Dari hasil penelitian tentang informasi IMD, didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 3.26, nilai common odds ratio lower bound sebesar 0.97 dan common odds ratio upper sebesar 10.88, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,003. Dari hasil tersebut nampak bahwa informasi tentang IMD yang diterima ibu memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Dari hasil penelitian tentang tempat bersalin didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 6.81, nilai common odds ratio lower bound sebesar 1.88 dan common odds ratio upper sebesar 24.69, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,049. Dari hasil tersebut nampak bahwa tempat bersalin yang dipilih ibu memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD Dari hasil penelitian tentang kunjungan ANC didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 1.39, nilai common odds ratio lower bound sebesar 0.30 dan common odds ratio upper sebesar 6.39, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,671. Dari hasil tersebut nampak bahwa jumlah kunjungan ANC yang dilakukan ibu tidak memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD Dari hasil penelitian tentang kondisi bayi didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 12.04, nilai common odds ratio lower bound sebesar 2.33 dan common odds ratio upper sebesar 62.14, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,001. Dari hasil tersebut nampak bahwa kondisi bayi yang dilahirkan memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Dari hasil penelitian tentang kolostrum didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 4.82, nilai common odds ratio lower bound sebesar 1.38 dan common odds ratio upper sebesar 16.75, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,011. Dari hasil tersebut nampak bahwa kondisi kolostrum (keluar / tidak keluar) memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD 4. Faktor pendorong (reinforcing factor) Dari hasil penelitian mengenai budaya yang dianut ibu didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 5.69, nilai common odds ratio lower bound sebesar 1.61 dan common odds ratio upper sebesar 20.14, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chi-square sebesar 0,005 Dari hasil tersebut nampak bahwa budaya yang dianut ibu setelah persalinan memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD PEMBAHASAN Secara umum beberapa faktor yang mempengaruhi tindakan IMD (inisiasi menyusui dini) diantaranya adalah : 1. Faktor predisposisi (predisposing factor) a. Umur ibu Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 25.50, nilai common odds ratio lower bound sebesar 2.98 dan common odds ratio upper sebesar 217.81, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0.000. Dari hasil odds ratio lower bound didapatkan bahwa resiko ibu untuk tidak melakukan IMD sebesar 2,9 kali. Dari hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang berarti umur ibu memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan sekarang. Penentuan umur dilakukan dengan menggunakan hitungan tahun (Chaniago, 2002). Menurut Elisabeth yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin tinggi umur yang dimiliki oleh ibu maka akan semakin matang pula pola berpikir yang dimiliki ibu terutama dalam menyikapi praktik pelaksanaan inisiasi menyusu dini. Seorang ibu yang telah matang dalam usia, akan berusaha sebaik mungkin untuk dapat memberikan yang terbaik kepada anak yang dimiliki semisal melaksanakan IMD pada awal kehidupan bayi. Namun dari hasil analisa data penelitian didapatkan nilai common odds ratio lower bound sebesar 2.98. Dari hal tersebut nampak bahwa ibu dengan usia 26-35 tahun sekurang-kurangnya memiliki resiko sebesar 2,9 kali lipat untuk tidak melakukan IMD. Hal ini dapat terjadi karena ibu dengan usia dewasa memiliki persepsi bahwa IMD yang dilakukan Halaman | 140 Jurnal Keperawatan dan Kebidanan belum tentu memberikan jaminan kesehatan yang dimiliki oleh anaknya. Seorang ibu lebih mempercayai penolong persalinan untuk sesegera mungkin melakukan tindakan yang dibutuhkan daripada mementingkan melakukan IMD. Persepsi negatif seperti ini dimungkinkan dapat menurunkan kesempatan bagi ibu dan bayi untuk melakukan IMD. b. Pengetahuan ibu tentang IMD Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 34.20, nilai common odds ratio lower bound sebesar 3.96 dan common odds ratio upper sebesar 294.88, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0.001. Dari hasil odds ratio lower bound didapatkan bahwa resiko ibu untuk tidak melakukan IMD sebesar 3,9 kali. Dari hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,001 yang berarti pengetahuan ibu tentang IMD memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Bloom, 1908 dikutip dalam Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan yang dimiliki seorang ibu mengenai IMD secara tidak langsung akan memberikan pengaruh kepada perilaku ibu untuk melakukan IMD itu sendiri. Seorang ibu yang pernah mendapatkan informasi mengenai IMD, secara tidak langsung dalam diri ibu akan terjadi proses untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali atau recall terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Selanjutnya ibu akan mencoba untuk memahami mengenai IMD itu sendiri dan berusaha untuk menjelaskan kepada dirinya sendiri secara benar tentang objek yang diketahui dan berusaha untuk menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Berikutnya ibu akan mencoba untuk mengaplikasikan tindakan yang telah dipelajari dengan memperhitungkan baik dan buruknya melakukan IMD. Dari hal ini nampak bahwa seorang ibu yang pernah mendapatkan informasi mengenai IMD cenderung akan berperilaku positif dalam pelaksanaan IMD c. Pendidikan ibu Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 12.04, nilai common odds ratio lower bound sebesar 2.33 dan common odds ratio upper sebesar 62.13, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,001. Dari hasil tersebut nampak bahwa latar belakang pendidikan ibu memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD. Pendidikan adalah usaha dasar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Mudyaharjo, 2008) Pendidikan adalah salah satu metode untuk meningkatkan skill dan kemampuan yang dimiliki seseorang. Selain itu, pendidikan adalah upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan transfer informasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki seorang ibu maka akan semakin matang pula cara berpikir yang dimiliki. Seorang ibu dengan latar belakang pendidikan yang memadai akan menimbang dan berpikir mengenai baik atau buruknya IMD terutama bagi bayi yang dimiliki. Hal ini terjadi karena selama menempuh pendidikan, seseorang akan diajak untuk berpikir secara logis mengenai hal yang baik dan buruk. d. Pekerjaan ibu Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 48.00, nilai common odds ratio lower bound sebesar 5.31 dan common odds ratio upper sebesar 433.95, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,000. Dari hasil tersebut nampak bahwa aktivitas pekerjaan yang dilakukan ibu memiliki Halaman | 141 Jurnal keperawatan dan Kebidanan pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD. Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan upah atas jasa yang telah dilakukan. Pekerjaan itu sendiri memiliki pengaruh pada pengetahuan seseorang. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Contohnya, seseorang yang mempunyai pekerjaan di bidang kesehatan lingkungan tentunya akan lebih memahami bagaimana cara menjaga kesehatan di lingkungannya, termasuk tentang pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini jika dibandingan dengan orang yang bekerja diluar bidang kesehatan Pekerjaan yang dimiliki ibu secara tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh ibu tersebut, dan pengetahuan yang dimiliki ibu akan memberikan motivasi terhadap ibu untuk melakukan IMD. Dengan bekerja ibu akan memiliki kesempatan lebih luas untuk mendapatkan berbagai informasi yang bermanfaat bagi kesehatannya. Namun dilain pihak ibu yang bekerja akan memiliki sedikit waktu untuk dapat berkunjung ke pusat pelayanan kesehatan terdekat untuk sekedar mendapatkan informasi yang bermanfaat bagi derajat kesehatannya dan keluarga yang dimiliki. Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio lower bound sebesar 5.31. Dari hal ini nampak bahwa ibu yang bekerja beresiko 5 kali lipat untuk tidak melakukan IMD. Resiko ini muncul karena ibu yang bekerja terkadang akan memikirkan pekerjaan yang dimilikinya terutama setelah persalinan terjadi. Tidak semua pekerjaan yang dimiliki ibu memberikan kesempatan kepada ibu untuk bisa menyusui secara eksklusif. Hal ini secara tidak langsung akan menjadi beban bagi ibu sehingga ibu melupakan untuk bisa melakukan IMD setelah persalinan terjadi. e. Pendapatan keluarga Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 3.81, nilai common odds ratio lower bound sebesar 1.13 dan common odds ratio upper sebesar 12.90, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,029. Dari hasil tersebut nampak bahwa pendapatan keluarga ibu memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan yang diperoleh karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan produksi. Secara konkritnya pendapatan keluarga berasal dari : 1) Usaha itu sendiri : misalnya berdagang, bertani, membuka usaha sebagai wiraswastawan, 2) Bekerja pada orang lain: misalnya sebagai pegawai negeri atau karyawan, 3) Hasil dari pemilihan: misalnya tanah yang disewakan dan lain-lain. Pendapatan bisa berupa uang maupun barang misal berupa santunan baik berupa beras, fasilitas perumahan dan lain-lain. Pada umumnya pendapatan manusia terdiri dari pendapatan nominal berupa uang dan pendapatan riil berupa barang (Gilarso, 2008). Apabila pendapatan lebih ditekankan pengertiannya pada pendapatan rumah tangga, maka pendapatan merupakan jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, informal dan pendapatan subsistem. Pendapatan formal adalah segala penghasilan baik berupa uang atau barang yang diterima biasanya sebagai balas jasa. Pendapatan informal berupa penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan tambahan diluar pekerjaan pokoknya. Sedangkan pendapatan subsistem adalah pendapatan yang diperoleh dari sektor produksi yang dinilai dengan uang dan terjadi bila produksi dengan konsumsi terletak disatu tangan atau masyarakat kecil (Nugraheni, 2007). Seorang ibu dari keluarga dengan ekonomi menengah keatas cenderung tidak akan memikirkan mengenai pembiayaan baik selama kehamilan, persalinan maupun pasca persalinan. Hal ini dikarenakan ibu dari keluarga dengan perekonomian menengah keatas akan mampu untuk memenuhi segala kebutuhannya. Namun dari hasil penelitian didapatkan 27 ibu (56,3%) Halaman | 142 Jurnal Keperawatan dan Kebidanan dengan pendapatan dibawah UMR. Dariu hasil analisa data didapatkan odds ratio lower sebesar 1,13 yang berarti setiap ibu dengan pendapatan dibawah UMR memiliki resiko 1,1 kali lipat untuk tidak melakukan IMD. Rendahnya angka resiko ini menunjukkan bahwa ibu dengan perekonomian menengah kebawah cenderung akan berusaha untuk meminimalkan kebutuhan pengeluaran yang harus dikeluarkan dengan cara mengoptimalkan segala sesuatu hal yang bermanfaat bagi dirinya dan bayi yang dimiliki. Dengan mengikuti setiap advice yang diberikan seperti melakukan IMD, maka resiko untuk mengeluarkan dana lebih akan semakin dapat diminimalkan karena kondisi bayi dan ibu dalam kondisi optimal. 2. Faktor pendukung (enabling factor) a. Informasi tentang IMD Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 3.26, nilai common odds ratio lower bound sebesar 0.97 dan common odds ratio upper sebesar 10.88, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,003. Dari hasil tersebut nampak bahwa informasi tentang IMD yang diterima ibu memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Informasi adalah sesuatu yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi, merangsang pikiran dan kemampuan, informasi yang diperoleh dalam menyampaikan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang memperoleh informasi, maka cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih luas (Notoadmodjo, 2005). Informasi merupakan pemberitahuan secara kognitif baru bagi penambah pengetahuan. Tujuan pemberian informasi pada dasarnya adalah untuk menggugah kesadaran ibu hamil terhadap suatu motivasi yang berpengaruh terhadap pengetahuan. Ibu hamil yang diberikan informasi mengenai IMD secara tidak langsung dalam diri ibu akan terjadi transfer informasi mengenai IMD itu sendiri. Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Informasi yang tepat dan disampaikan oleh orang yang tepat akan semakin mempercepat proses transfer informasi yang terjadi. Namun dari hasil penelitian yang dilakuan didapatkan nilai odds ratio lower 0,97 yang berarti bahwa ada kemungkinan sebesar 0,9 kali lipat bahwa ibu yang telah mendapatkan informasi tidak akan mau untuk melakukan IMD. Untuk itu perlu dipahami oleh semua tenaga kesehatan bahwa penggunaan bahasa yang tepat dan penyampaian yang benar akan memiliki pengaruh yang sangat berbeda kepada tingkat pemahaman yang dimiliki oleh ibu terutama mengenai IMD. b. Tempat bersalin Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 6.81, nilai common odds ratio lower bound sebesar 1.88 dan common odds ratio upper sebesar 24.69, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,049. Dari hasil tersebut nampak bahwa tempat bersalin yang dipilih ibu memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD Tempat bersalin merupakan tempat terbaik untuk ibu melahirkan bayinya dimana ibu merasa paling aman dan nyaman. Semakin baik pikiran dan tubuh sang ibu, maka akan semakin rileks dan baik pula respon persalinannya. Banyak sekali pertimbangan yang harus dipikirkan oleh pasangan suami istri yang akan mempunyai anak, seperti pertimbangan menghadapi kehamilan anak pertama, pertimbangan kehamilan anak ke empat atau lebih, pertimbangan karena kehamilan sang istri disertai dengan berbagai penyakit (darah tinggi, kencing manis, kurang darah, obesitas dan lainlain), posisi bayi yang tidak sesuai dengan tempatnya atau sungsang (breech), letak ari-ari yang berada di depan bayi (placenta previa) dimana hal tersebut sangat berbahaya bagi kandungannya dan lain-lain (Anonim, 2013) Momen bersalin adalah tonggak awal, setiap ibu memulai perjalanannya. Untuk itu, seorang ibu bersama dengan suami atau keluarganya harus tepat Halaman | 143 Jurnal keperawatan dan Kebidanan memilih tempat bersalin. Aspek-aspek yang harus menjadi pertimbangan adalah lokasi, biaya persalinan dan perawatan sesuai budget, fasilitas dan peralatan memadai, keandalan bidan, dokter dan tenaga medis berpraktik, reputasi dan tentu saja kenyamanan. Cara yang benar untuk melakukan pemilihan tempat bersalin adalah pilih tempat bersalin yang ramah terhadap ibu dan bayi, periksa bagaimana dokter/bidan dan perawat di tempat bersalin (rumah bersalin/rumah sakit ibu dan anak/rumah sakit umum), pastikan apakah tersedia peralatan lengkap untuk mengatasi masalah gawat darurat (terutama jika kehamilan yang dialami merupakan kehamilan yang beresiko) atau ketersediaan ruang NICU bila bayi bermasalah, periksa apakah temat bersalin mendukung program ASI ekslusif seperti tersedianya fasilitas rooming-in, program IMD (Inisiasi Menyususi Dini), staf yang mengajarkan ibu untuk menyusui pertama kali. Secara umum tidak ada tempat bersalin yang sempurna. Pilihan terbaik adalah yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan ibu dan bayi. Dari hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,049. Dari nilai signifikasi tersebut nampak bahwasanya tempat bersalin hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap ibu dalam melakukan IMD karena setiap tempat bersalin dianggap memiliki fasilitas dan pelayanan yang sama apalagi dewasa ini persalinan yang terjadi sudah dibebankan kepada organisasi pembiayaan BPJS sehingga tampak bahwa tempat bersalin hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap pelaksanaan IMD c. Kunjungan ANC Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 1.39, nilai common odds ratio lower bound sebesar 0.30 dan common odds ratio upper sebesar 6.39, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,671. Dari hasil tersebut nampak bahwa jumlah kunjungan ANC yang dilakukan ibu tidak memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD Kunjungan Antenatal Care adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan antenatal care (ANC), petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine, serta ada tidaknya masalah atau komplikasi (Saifuddin, 2002). Kunjungan ibu hamil atau ANC adalah pertemuan antara bidan dengan ibu hamil dengan kegiatan mempertukarkan informasi ibu dan bidan serta observasi selain pemeriksaan fisik, pemeriksaan umum dan kontak sosial untuk mengkaji kesehatan dan kesejahteraan umumnya (Salmah, 2006). Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah kontak ibu hamil dengan pemberi perawatan atau asuhan dalam hal mengkaji kesehatan dan kesejahteraan bayi serta kesempatan untuk memperoleh informasi dan memberi informasi bagi ibu dan petugas kesehatan (Henderson, 2006) Kunjungan ANC pada dasarnya adalah komunikasi yang dilakukan antara tenaga kesehatan (bidan, perawat, dokter) dengan ibu hamil. Dalam kunjungan ANC tenaga kesehatan diharuskan untuk memberikan advice kepada ibu hamil terkait dengan kehamilan yang dialami, persiapan persalinan, dan persiapan pasca persalinan. Dengan memberikan informasi kepada ibu hamil maka antara tenaga kesehatan dengan ibu hamil terjadi proses transfer informasi. Salah satu yang harus disampaikan adalah mengenai pelaksanaan IMD. Ibu hamil yang mendapatkan informasi mengenai manfaat IMD secara tidak langsung dalam diri ibu akan terjadi proses awarenes (kesadaran), dimana ibu menyadari manfaat dari melakukan IMD, selanjutnya ibu hamil akan merasa interest (tertarik) terhadap pelaksanaan IMD. Kemudian ibu hamil akan melakukan evaluation (menimbangnimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut (IMD) bagi dirinya dan bayi yang dimiliki. Sampai dengan tahap ini dapat dipastikan ibu hamil akan berusaha untuk melakukan IMD pada saat persalinan nantinya. Namun dari hasil uji statistik chi-square didapatkan Halaman | 144 Jurnal Keperawatan dan Kebidanan nilai signifikasi sebesar 0,671 yang berarti jumlah kunjungan ANC yang dilakukan ibu tidak memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD. Terkadang dimungkinkan kondisi persalinan yang dialami ibu hamil menjadikan ibu hamil mengalami nyeri yang hebat sehingga melupakan sesuatu hal yang pernah didapatkan sebelumnya termasuk keinginan ibu untuk melakukan IMD. Untuk menghindarkan hal ini penolong persalinan harus melakukan tindakan untuk menurunkan / meredakan nyeri persalinan yang dialami ibu sehingga ibu bisa melakukan IMD setelah persalinan terjadi d. Kondisi bayi Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 12.04, nilai common odds ratio lower bound sebesar 2.33 dan common odds ratio upper sebesar 62.14, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,001. Dari hasil tersebut nampak bahwa kondisi bayi yang dilahirkan memiliki pengaruh yang kuat dalam penerapan praktik IMD Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat badan lahir 2500 gram sampai dengan 4000 gram (Kristiyansari, 2009). Bayi baru lahir merupakan individu yang sedang bertumbuh dan baru saja mengalami trauma kelahiran serta harus dapat melakukan penyesuaian diri dari kehidupan kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin (Dewi, 2011). Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bayi baru lahir merupakan bayi lahir yang dapat melakukan penyesuaian diri dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin Bayi baru lahir tidak semuanya dalam kondisi normal. Beberapa kelahiran bayi seringkali mengalami penyulit seperti terjadinya asfiksia, penyakit kuning dan lain sebagainya. Bahkan bayi baru lahir bisa mengalami BBLR (kurang dari 2500 gram). Bayi dengan gangguan biasanya akan segera dilakukan tindakan asuhan yang bertujuan agar bayi segera mengalami kenaikan berat badan dan berada pada kondisi normal. Dari hasil analisa didapatkan nilai odds ratio lower bound sebesar 2.33. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan gangguan akan beresiko 2,3 kali lipat tidak melakukan IMD pada awal kehidupan bayi. Selain itu kebiasaan penolong persalinan untuk secepatnya melakukan pemotongan tali pusat dan membersihkan bayi kemudian menyelimuti bayi menjadikan ibu bayi tidak memiliki kesempatan untuk melakukan IMD e. Kondisi kolostrum Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 4.82, nilai common odds ratio lower bound sebesar 1.38 dan common odds ratio upper sebesar 16.75, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,011. Dari hasil tersebut nampak bahwa kondisi kolostrum (keluar / tidak keluar) memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD Kolostrum diproduksi pada beberapa hari pertama setelah bayi dilahirkan. Wujudnya sangat kental dan jumlahnya sangat sedikit. Pada masa awal menyusui, kolostrum yang keluar mungkin hanya satu sendok teh. Beberapa ciri penting yang menyertai produksi kolostrum diantaranya adalah : 1) Komposisi kolostrum mengalami perubahan secara berangsurangsur setelah bayi lahir, 2) Kolostrum adalah cairan kental berwarna kekuningan dan lebih kuning daripada ASI mature, 3) Kolostrum bertindak sebagai laksatif yang berfungsi membersihkan dan melapisi mekonium usus bayi, serta mempersiapkan saluran pencernaan bayi untuk menerima makanan selanjutnya, 4) Kolostrum lebih banyak mengandung protein (sekitar 10% protein) dibanding ASI mature, 5) Pada kolostrum terdapat beberapa protein yakni Immunoglobulin A (Ig.A), laktoferin dan sel-sel darah putih untuk pertahanan tubuh bayi dari serangan penyakit, 6) Total energi (lemak dan laktosa) berjumlah sekitar 58 kalori/100 ml kolostrum, 7) Kolostrum mengandung banyak mengandung vitamin A, mineral Natrium (Na) dan seng (Zn), 8) Lemak dalam kolostrum lebih banyak mengandung kolesterol dan ASI mature, 9) Pada kolostrum terdapat ASI inhibitor, sehingga hidrolisis protein dalam usus Halaman | 145 Jurnal keperawatan dan Kebidanan bayi menjadi kurang sempurna, yang menyebabkan peningkatan kadar antibodi pada bayi, 10) Volume kolostrum sekitar 150-300 ml/24 jam (Kristiyansari, 2009) Beberapa masyarakat Indonesia menganggap ASI yang keluar pertama kali adalah kotor dan harus dibuang serta tidak diperbolehkan untuk diberikan kepada bayi karena dapat mengganggu kesehatan bayi. Namun anggapan ini adalah salah. ASI yang keluar pertama kali merupakan kolostrum yang memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi daripada ASI biasa. ASI itu sendiri terbagi menjadi beberapa tahap yaitu kolostrum (keluar pertama kali), ASI peralihan (transitional milk) dan ASI matang (mature milk). Masingmasing tahap produksi ASI memiliki kandungan tersendiri dan memiliki manfaat tersendiri bagi bayi. Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio lower bound sebesar 1.38 yang berarti bahwa ibu bersalin yang kolostrumnya belum keluar setelah persalinan memiliki resiko sebesar 1,3 kali lipat untuk tidak melakukan IMD. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan perawatan payudara terutama pada masa kehamilan dan memperhatikan pola makan pada ibu hamil. Dengan adanya perhatian pada pola makan serta perawatan payudara selama kehamilan, maka kesempatan ibu untuk melakukan IMD akan semakin besar 3. Faktor pendorong (reinforcing factor) a. Budaya yang dianut Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio dengan nilai estimate sebesar 5.69, nilai common odds ratio lower bound sebesar 1.61 dan common odds ratio upper sebesar 20.14, dan nilai signifikasi dari hasil uji statistik chisquare sebesar 0,005 Dari hasil tersebut nampak bahwa budaya yang dianut ibu setelah persalinan memiliki pengaruh dalam penerapan praktik IMD Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap manusia terhadap berbagai masalah (Azwar, 2011) Beberapa masyarakat di Indonesia setelah bayi baru lahir biasanya akan sesegera mungkin untuk membersihkan bekas tali pusat bayi (ari-ari). Ari-ari secara medis merupakan sebuah organ yang berfungsi untuk menyalurkan berbagai nutrisi dan oksigen dari ibu ke janin di dalam rahim. Lewat ari-ari juga zat-zat antibodi, berbagai hormon dan gizi disalurkan sehingga janin bisa tumbuh dan berkembang menjadi bayi. Bagi orang jawa, ari-ari memiliki “jasa” yang cukup besar sebagai batir bayi (teman bayi) sejak dalam kandungan. Oleh karena itu sejak fungsi utama ari-ari berakhir ketika bayi lahir, organ ini akan tetap dirawat dan dikubur sedemikian rupa agar tidak dimakan binatang ataupun membusuk di tempat sampah. Upacara mendhem ari-ari ini biasanya dilakukan oleh sang ayah, berada di dekat pintu utama rumah, diberi pagar bambu dan penerangan berupa lampu minyak selama 35 hari (selapan). Kebiasaan seperti ini secara tidak langsung akan menjadikan keluarga lebih berfokus kepada ari-ari bayi daripada untuk memberikan dukungan kepada ibu dalam melakukan IMD. Dari hasil penelitian didapatkan nilai odds ratio lower bound sebesar 1.61. Dari analisa ini nampak bahwa masyarakat yang memegang beberapa tradisi kuno memiliki resiko 1,6 kali lipat tidak melakukan IMD. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan pendekatan kepada ibu hamil dan anggota keluarganya bahwa setelah bayi lahir hal terpenting yang harus diperhatikan adalah melakukan IMD. Selanjutnya setelah ibu melakukan IMD maka tradisi budaya untuk membersihkan ari-ari segera dapat dilakukan SIMPULAN 1. Dari hasil penelitian, untuk faktor predisposisi (predisposing factor) yang berpengaruh terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bayi usia 0-23 bulan, diantaranya adalah umur ibu dengan nilai signifikasi sebesar 0.000, pengetahuan ibu tentang IMD dengan nilai signifikasi sebesar 0.001 pendidikan ibu dengan nilai signifikasi sebesar 0.001, pekerjaan ibu dengan nilai signifikasi sebesar 0. dan pendapatan keluarga dengan nilai signifikasi sebesar 0.029. 2. Dari hasil penelitian, untuk faktor pendukung (enabling factor) yang Halaman | 146 Jurnal Keperawatan dan Kebidanan berpengaruh terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bayi usia 0-23 bulan, diantaranya adalah informasi tentang IMD dengan nilai signifikasi sebesar 0.003, tempat bersalin dengan nilai signifikasi sebesar 0.049, kondisi bayi dengan nilai signifikasi sebesar 0.001, kondisi kolostrum (keluar / tidak keluar) dengan nilai signifikasi sebesar 0.011. 3. Dari hasil penelitian, untuk faktor pendorong (reinforcing factor) yang berpengaruh terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bayi usia 0-23 bulan adalah budaya yang dianut ibu dengan nilai signifikasi sebesar 0.005 DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2013). Pemilihan Tempat Bersalin Ideal. Diakses dari : https://indonesiana.tempo.co/read/4865/2 013/11/09/Pemilihan-Tempat-BersalinIdealAprillia, Y., (2010). Analisis Sosialisasi Program Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif kepada Bidan di Kabupaten Klaten (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro). Azwar, Saifuddin. (2007). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, edisi 2, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Chaniago, Amran, Y. S. (2002). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Bandung : Pustaka Setia Dewi, Sunarsih. (2011). Asuhan Kehamilan untuk Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika Gilarso, T. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro, Edisi 5. Yogyakarta : Kanisius Henderson, C. (2006). Buku Ajar Konsep Kebidanan (Essential Midwifery). Jakarta : EGC Kemenkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta ; Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Kristiyansari, W. (2009). ASI : Menyusui dan Sadari. Yogyakarta : Nuha Medika Mudyahardjo, Redja. (2008). Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo Persada Nastiti, Budi Puji. (2013). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Praktek Inisiasi Menyusu Dini Di Wilayah Kerja Puskesmas Pangkah Kabupaten Tegal Tahun 2012. Semarang ; Universitas Negeri Semarang. Diunduh dari http://lib.unnes.ac.id/18274/1/ 6450407008.pdf Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta ; Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam. (2003). Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : Salemba Medika Roesli, U. 2008. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif .Jakarta : Pustaka Bunda Rosita, S. 2008. ASI untuk Kecerdasan Bayi. Yogyakarta : Ayyana Saifuddin, A.B. (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Salmah. (2006). Asuhan Kebidanan Antenatal. Jakarta : EGC Halaman | 147