keyakinan hakim terhadap keterangan saksi

advertisement
Page |1
KEYAKINAN HAKIM TERHADAP KETERANGAN SAKSI
TESTIMONIUM DE AUDITU
(WITNESS STATEMENT OF FAITH JUDGE DE AUDITU
TESTIMONIUM)
PENULIS
ANDI HALALUDDIN, SH
A.21212084
ABSTRAK
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ternyata ditemui adanya kasus kesusilaan
terhadap anak di bawah umur atas nama terdakwa IRFAN AFTARI ALS IFAN
BIN ALL IZHAR (ALM) yang diputus bebas(Vrijspraak) oleh Majelis Hakim
Pengadilan
Negeri
Pontianak
berdasarkan
putusan
Nomor
375/Pid.Sus/2014/PN.PTK dengan pertimbangan bahwa keterangan
dibeerikan oleh para
saksi
dipersidangan
:
yang
merupakan keterangan saksi
Testimonium de audito sehingga bukan merupakan alat bukti tetapi merupakan
alat bukti tambahan atas alat bukti yang sah. Sehingga menyebabkan Majelis
Hakim meragukan kebenaran keterangan korban dikarenakan korban masih
merupakan anak kecil sehingga tidak dapat dijadikan saksi karena tidak didukung
oleh alat bukti lainnya. Adapun permasalahan penelitian tesis ini adalah
bagaimana kekuatan pembuktian saksi testimonium de auditu dalam pertimbangan
hakim memutus perkara dalam tindak pidana kesusilaan terhadap anak.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dan dari hasil
penelitian diketahui bahwa faktor yang menjadi pertimbangan putusan bebas
dikarenakan Majelis Hakim berpendapat hanya semata-mata tidak adanya saksi
Page |2
yang melihat langsung kejadian sehingga Hakim berpendapat tidak ada saksi yang
bias menyakinkan hakim untuk menyatakan kesalahan dari terdakwa, sementara
alat bukti lain diabaikan oleh hakim karena hakim beranggapan, tidak ada
keterangan saksi yang berdukung alat bukti yang lain.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Sebaiknya Hakim dalam menilai harus secara
obyektif mengenai fakta-fakta yang terungkap di persidangan agar Hakim tidak
bersandar pada keyakinan semata namun harus didukung dengan minimal 2 alat
bukti sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Page |3
ABSTRACT
Based on the sections 183 in KUHAP, it is stated that “a judge may sentence
someone in condition that there are at least two proves stating that the person does
commit the crime”.
In connection with the above, it was found that the case against the morals of
minors in the name of defendant IRFAN BIN ALL AFTARI ALS IFAN Izhar
(ALM) is acquitted (Vrijspraak) by District Court Judge Pontianak by decision
No. 375 / Pid. sus / 2014 / PN.PTK on the basis that the information dibeerikan by
witnesses in court is testimonium de audito witness testimony that is not evidence,
but an additional evidence on valid evidence. Thus causing the judges to doubt the
truth of the victim because the victim's testimony is still a small child so it can not
be a witness because it was not supported by other evidence. The research
problem of this thesis is how the strength of evidence of witnesses testimonium de
auditu in consideration of the judge deciding the case of a criminal offense against
a child morality.
This study used a normative juridical approach, and the results of research it is
known that factors into consideration acquittal because the judges argued merely
the absence of witnesses who saw the incident so that the judge believes there was
no witness who assured a judge to declare a bias error of the accused, while other
evidence is ignored by the judge because the judge thought, no witness testimony.
Based on the foregoing, Should Judges must objectively assess the facts revealed
in court that the judge did not rely on faith alone, but must be supported by at least
two items of evidence as provided for in Section 183 Criminal Procedure Code.
KEY NOTE : TESTIMONIUM DE AUDITU
Page |4
A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), artinya
adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk
mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum
acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada
hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya
saja hukum acara pidana atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana
formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
Sedangkan hukum pidana materiil lebih tertuju pada peraturan hukum yang
menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa
yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu
memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban,
keamanan, keadilan dan kesejahteraan, namun pada kenyataannya masih tetap
terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara
sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-penyimpangan
hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang tegas dan
melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah : “untuk
mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan
untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
Page |5
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.1
Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang
melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana,
selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena
menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang
terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dan untuk
membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan
diperlukan adanya suatu pembuktian.
Menurut Subekti, membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukan dalam suatu persengketaan.2
Darwin Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah
pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa yang
bersalah melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya.3
Sedangkan menurut Sudikno Martokusumo pembuktian adalah :
“ Pembuktian secara juridis tidak lain merupakan pembuktian secara
historis. Pembuktian yang bersifat juridis ini mencoba menetapkan apa
yang telah terjadi secara konkret. Baik dalam pembuktian secara juridis
maupun
ilmiah,
maka
membuktikan
pada
hakikatnya
berarti
mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu
dianggap benar ”.4
Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa
ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi
hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang
1
Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8, LN Nomor 76
Tahun 1981, TLN. Nomor 3258.
2
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramita, 2001, halaman 1.
3
Darwin Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta : Djambatan, 1998, halaman
133.
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty,
1999,
halaman 109.
Page |6
ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah
dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.5
Dalam KUHAP Pasal 183 dinyatakan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Sedangkan mengenai alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP dinyatakan :
Alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi ;
b. Keterangan ahli ;
c. Surat ;
d. Petunjuk ;
e. Keterangan terdakwa.
Mengenai alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk
secara umum sudah lebih dikenal oleh pihak dan pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dan tidak banyak menimbulkan permasalahan dalam
penerapannya dipersidangan. Lain halnya dengan alat bukti keterangan terdakwa
yang kadang kala masih sering menimbulkan permasalahan, baik mengenai
eksistensinya sebagai alat bukti yang sah, masalah kekuatan nilai pembuktian dan
penerapannya di persidangan, maupun kedudukannya sebagai alat bukti terakhir
di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
5
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP ( Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Jakarta : Sinar Grafika, , 2006,
halaman 273.
Page |7
Dalam persidangan sering dijumpai perkara dimana tidak ada saksi yang
melihat kejadian secara pasti dan hanya mendengar kejadian tersebut dari
korbannya saja. Hal ini tentu saja menyulitkan dalam hal pembuktian yang
dilakukan oleh terdakwa, klarena sakis yang mendengarkan keterangan dari orang
didalam KUHAP tidak dapat dijadikan saksi, dan saksi tersebut disebut saksi
Testmonium De auditu. Namun kalo kita lihat lagi kasus perkasus, sangfat jarang
suatu kasus yng tertangkap tangan, dan kebanyakan kasus-kasus masih melibatkan
keterangan saksi yang mendengar pengakuan dari korban.
Berdasarkan hal tersebut diatas, di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Pontianak terdapat kasus asusila atas nama terdakwa IRFAN AFTRAI ALS
IRFAN BIN IZHAR dengan nomor perkara : 375/PID.SUS /2013/PN.PTK bahwa
hakim dalam putusannya membebaskan terdakwa dari tuntutan Jaksa dengan
pertimbangan bahwa tidak ada saksi yang melihat terjadinya tindak pidana asusila
yang dilakukan oleh terdakwa IRFAN AFTARI ALS IRFAN BIN IZHAR.
Page |8
B. MASALAH
Mengacu pada uraian latar belakang masalah diatas penulis merumuskan
masalah tesis sebagai berikut :
1. Apakah keterangan saksi testimonium de auditu dapat dijadikan alat bukti
apabila ada alat bukti lain yang mendukung dikaitkan dalam tindak pidana
keasusilaan terhadap anak ?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi testimonium de auditu dalam
pertimbangan hakim memutus perkara dalam tindak pidana kesusilaan
terhadap anak ?
Page |9
C. PEMBAHASAN
Testimonium de Auditu, atau hearsay evidence (Inggris) berasal dari
“tesmonium” yang berarti 1. (getuigenis) kesaksian, penyaksian, keterangan;
2. (getuigschift) surat keterangan, sedangkan “tesmonium de auditu” adalah
keterangan yang hanya dari mendengar saja, penyaksian menurut kata orang,
keterangan tangan kedua6 Wikipedia menyebutnya sebagai kesaksian
berdasarkan desas-desus.
Apakah testimonium de auditu dapat menjadi alat bukti yang sah,
dalam perkara pidana ? Pasal 185 Ayat (1) UU No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau biasa disebut KUHAP menyatakan, keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan, “Dalam keterangan saksi tidak
termasuk yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”. Oleh
karenanya ketentuan KUHAP tidak menempatkan testimonium de auditu
sebagai alat bukti yang sah.
R. Soesilo juga menyatakan bahwa “kesaksian harus didengar
dilihat dan dialami sendiri disertai alasan-alasan pengetahuannya.
Kesaksian yang hanya berdasarkan cerita orang lain atau hanya
merupakan kesimpulan saja dari saksi yang mendengar, melihat dan
mengalami sendiri saja tidak cukup. Selanjutnya untuk dianggap sah
harus dikemukakan di depan persidangan pengadilan, bukan di hadapan
polisi, jaksa, kecuali ditentukan UU lain, serta saksi tersebut harus
disumpah terlebih dahulu”.7
Namun, atas kesaksian yang hanya berdasarkan orang lain, menurut
Andi Hamzah (2008) perlu didengar keterangannya oleh hakim, walaupun
tidak memiliki nilai sebagai alat bukti melalui pengamatan hakim, mungkin
melalui alat bukti petunjuk, yang penilaiannya diserahkan kepada hakim.
Wirjono (1967) juga memandang demikian, bahwa kesaksian tersebut tidak
6
7
Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, hlm. 418)
Teknik Berita acara (proses Herbal) ilmu bukti dan laporan, Politea, Bogor, 1980
P a g e | 10
selalu dapat dikesampingkan dan mungkin mendengar peristiwa orang lain
berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.
Dari yurisprudensi yang pernah ada di Indonesia tidak dapat
dirumuskan secara jelas kesaksian de auditu diterima atau tidaknya, tetapi
tergantung dari kenyataan-kenyataan kasus per kasus. Beberapa putusan
menunjukkan kesaksian de auditu diterima juga baik dalam putusan sebelum
kemerdekaan Indonesia, maupun setelah kemerdekaan. Sedangkan di Belanda
juga, terjadi hal yang sama bahwa kesksian terebut tidak diterima, tetapi dalam
beberapa kasus diterima. Mr. S Amien menunjukkan penyimpangan tersebut
dalam Putusan H.R. 20 Desember 1926 (W. 11601, N.J. 1927, 85) dengan
memberikan daya bukti kesaksian yang hanya berasal orang lain.
Pengertian saksi sendiri pernah diuji materinya ke Mahkamah
Konstitusi (MK). “Saksi” sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 26 dan angka
27 juncto Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1)
huruf a KUHAP, menurut Mahkamah, pengertian saksi yang menguntungkan
dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan
mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP saja. Pengertian saksi
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP
memberikan pembatasan bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka
atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya karena
frasa “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan
bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami
sendiri suatu perbuatan/tindak pidana yang dapat diajukan sebagai saksi yang
menguntungkan. Padahal, konteks pembuktian sangkaan atau dakwaan bukan
hanya untuk membuktikan apakah tersangka atau terdakwa melakukan atau
terlibat perbuatan/tindak pidana tertentu; melainkan meliputi juga pembuktian
bahwa suatu perbuatan/tindak pidana adalah benar-benar terjadi.
Dalam konteks pembuktian apakah tindak pidana benar-benar terjadi
dan apakah tersangka/ terdakwa benar-benar benar-benar melakukan atau
terlibat perbuatan/tindak pidana dimaksud, peran saksi alibi menjadi penting,
meskipun hanya testimonium de auditu. Perumusan saksi dalam Pasal 1 angka
P a g e | 11
26 dan angka 27 KUHAP tidak meliputi pengertian saksi alibi, dan secara
umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi lain yang dapat digolongkan
sebagai saksi yang menguntungkan (a de charge) bagi tersangka atau
terdakwa,
antara
lain,
saksi
yang
kesaksiannya
dibutuhkan
untuk
mengklarifikasi kesaksian saksi-saksi sebelumnya.
Oleh karena itu, arti penting saksi bukan terletak pada kesaksian
mengalami sendiri, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara
pidana yang sedang diproses terkait dengan permasalahan siapa pihak yang
memiliki kewenangan untuk menilai apakah saksi yang diajukan tersangka
atau terdakwa memiliki relevansi dengan sangkaan atau dakwaan, Penyidik
tidak dibenarkan menilai keterangan ahli dan/atau saksi yang menguntungkan
tersangka atau terdakwa, sebelum benar-benar memanggil dan memeriksa ahli
dan/atau saksi yang bersangkutan. Kewajiban penyidik untuk memanggil dan
memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka tidak berpasangan
dengan kewenangan penyidik untuk menilai apakah saksi yang diajukan
memiliki relevansi atau tidak dengan perkara pidana yang disangkakan,
sebelum saksi dimaksud dipanggil dan diperiksa (didengarkan kesaksiannya).
Begitu pula dengan kewenangan jaksa penuntut umum dan hakim adalah sama
dengan kepolisian.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pengaturan atau pengertian saksi
dalam KUHAP, sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang dimohonkan
pengujian menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas
umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana. Ketentuan yang
multitafsir dalam hukum acara pidana dapat mengakibatkan ketidakpastian
hukum bagi warga negara, karena dalam hukum acara pidana berhadapan
antara penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memiliki kewenangan untuk
memeriksa dengan tersangka atau terdakwa yang berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum.
Pengaturan mengenai keterangan saksi yang dinyatakan dalam Pasal
185 KUHAP selengkapnya, adalah sebagai berikut :
P a g e | 12
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku
apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang
sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang
lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu.
Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja, bukan merupakan keterangan saksi.
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain ;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain ;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan tertentu ;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu
dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah
dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa dalam
keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain
atau testimonium de auditu. Terdapat adanya batas nilai suatu kesaksian
berdiri sendiri dari seorang saksi, yang disebut unus testis nullus testis (satu
saksi bukan saksi). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.8 Hal tersebut pada ayat (2) tidak berlaku apabila ada alat bukti
yang sah lainnya. Pengecualian terhadap satu orang saksi saja yang berlaku
apabila ada alat bukti yang sah lainnya sesuai dengan sistem pembuktian yang
dianut.
8
Andi Hamzah, Op.Cit, halaman 247.
P a g e | 13
D. PENUTUP
Kesimpulan
1.
Faktor yang menjadi dasar pertimbangan putusan bebas (Vrijspraak)
terhadap Tindak Pidana Kesusilaan Nomor Putusan : 375 / Pid.Sus / 2013
/ PN.PTK tanggal 19 Desember 2013 karena Majelis Hakim berpendapat
bahwa keterangan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan
Testimonium De Auditu, sehingga bukan merupakan alat bukti tetapi
merupakan alat bukti tambahan atas alat bukti yang sah. Sehingga
menyebabkan Majelis Hakim meragukan kebenaran keterangan korban
dikarenakan korban masih merupakan anak kecil sehingga tidak dapat
dijadikan saksi karena tidak didukung oleh alat bukti lainnya.
2.
Saksi Testimonium de auditu dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti apabila didukung oleh alat bukti yang lain. Hal ini sangat
bergantung pada kasus perkasus. Apabila ada alasan yang kuat untuk
mempercayai kebenaran dari saksi Testomonium de auditu. Jadi paling
tidak keterangan saksi testimonium de auditu dapat dipakai sebagai
petunjuk
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka dapat diajukan
saran sebagai berikut :
1.
Sebaiknya Hakim dalam menilai harus secara obyektif mengenai faktafakta yang terungkap di persidangan agar Hakim tidak bersandar pada
keyakinan semata namun harus didukung dengan minimal 2 alat bukti
sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP.
2.
Sebaiknya Hakim dalam menilai keterangan saksi Testimonium De
auditu harus berlandaskan pada kekuatan pembuktian yang diatur dalam
hukum
acara
pidana
sehingga
Hakim
mampu
menilai
dan
mempertimbangkan keterangan saksi testimonium de auditu dikaitkan
dengan alat bukti lain yang ada, sehingga mendapatkan pertimbanganpertimbangan yang mantap.
P a g e | 14
E. DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto. 2005. Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum. Jakarta : Granit.
Anwar, H.A.K. Moch. 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II Jilid
I), Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Apeldoorn, L.J. van. 1985. Inleiding tot de Studie van Het Nederlands Recht,
Terjemahan Oetarid Sadino. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta :
PT.Pradnya Paramita.
D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E.PH. Sutorus. 1995. Hukum Pidana.
Yogyakarta : Liberty.
Harahap, M Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan
Kembali. Jakarta : Sinar Grafika.
Hari Sasangka, dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.
2003. Bandung : Mandar Maju.
Hanitijo, Ronny. 1985. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada
Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana.
I.S Susanto. 1994. Kajian Sosiologis Terhadap Polisi. Semarang : Simposium
Nasional Polisi Indonesia.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka.
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur
Mahasiswa, Tanpa Kota, Tanpa Tahun, halaman 74.
Mertokusumo, Sudikno. 1997. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti.
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta :
Liberty.
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara.
Moeljatno. 1977. Hukum Acara Pidana. Tanpa Penerbit.
P.A.F, Lamintang. 1984. Hukum Panitensier Indonesia. Bandung : Armico.
Poernomo, Bambang. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana. Yogyakarta : Liberty.
Poloma, Margaret M. 1984. Teori Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Prakoso, Djoko. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian.
Prinst, Darwin. 1998.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1990. Komentar Atas KUHAP. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1984. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung :
Sumur.
Rahardjo, Satjipto. 2008. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi.
Yogyakarta : Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto. 1989. Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan
Budaya Hukum. Jakarta : BPHN. Majalah Hukum Nasional Nomor 1.
P a g e | 15
Rahardjo, Satjipto. Tanpa Tahun. Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan
Sosiologis). Bandung : Sinar Baru.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Rahardjo, Slamet. Rangkuman Kuliah Sistem Peradilan Pidana (SPP).
Sadjijono. 2008. Polri Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia. Yogyakarta :
Laksbang Pressindo.
Samidjo dan A. Sahal. 1986. Tanya Jawab Pengantar Ilmu Hukum. Bandung :
Armico.
Sidharta, Bernard Arief. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung :
Mandar Maju.
Simanjuntak, Osman. 1999. Teknik Penuntutan Dan Upaya Hukum., Jakarta :
Cetakan ke-4.
Soejono, Tegoeh. 2006. Penegakan Hukum Demi Keadilan Dan Kepastian
Hukum, termuat dalam buku Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta :
Prestasi Pustaka Publisher.
Soekanto, Soerjono. 1988. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta : Rajawali. Cetakan Kedua.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologis Hukum. Jakarta : Rajawali.
Soesilo, R. 1984. Saksi dan Bukti Ilmu Bukti Dalam Proses Perkara Pidana
Menurut KUHAP. Bogor : Politea.
Subekti, R. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramita.
Sudarsono. Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Syahrani. Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prestasi Pustaka
Publisher.
William J. Cham Bliss & Robert B. Seidman. 1971. Law, Order and Power.
Reading. Mass Addison Wesly. Baca juga Robert Seidman. 1972. Law
and Development. A General Model.
Munir Fuadi. 2006. Teori Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramita.
Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor : 375/Pid.Sus/2014/PN.PTK
tanggal 09 Desember 2013.
Download