Page |1 KEYAKINAN HAKIM TERHADAP KETERANGAN SAKSI TESTIMONIUM DE AUDITU (WITNESS STATEMENT OF FAITH JUDGE DE AUDITU TESTIMONIUM) PENULIS ANDI HALALUDDIN, SH A.21212084 ABSTRAK Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ternyata ditemui adanya kasus kesusilaan terhadap anak di bawah umur atas nama terdakwa IRFAN AFTARI ALS IFAN BIN ALL IZHAR (ALM) yang diputus bebas(Vrijspraak) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak berdasarkan putusan Nomor 375/Pid.Sus/2014/PN.PTK dengan pertimbangan bahwa keterangan dibeerikan oleh para saksi dipersidangan : yang merupakan keterangan saksi Testimonium de audito sehingga bukan merupakan alat bukti tetapi merupakan alat bukti tambahan atas alat bukti yang sah. Sehingga menyebabkan Majelis Hakim meragukan kebenaran keterangan korban dikarenakan korban masih merupakan anak kecil sehingga tidak dapat dijadikan saksi karena tidak didukung oleh alat bukti lainnya. Adapun permasalahan penelitian tesis ini adalah bagaimana kekuatan pembuktian saksi testimonium de auditu dalam pertimbangan hakim memutus perkara dalam tindak pidana kesusilaan terhadap anak. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dan dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor yang menjadi pertimbangan putusan bebas dikarenakan Majelis Hakim berpendapat hanya semata-mata tidak adanya saksi Page |2 yang melihat langsung kejadian sehingga Hakim berpendapat tidak ada saksi yang bias menyakinkan hakim untuk menyatakan kesalahan dari terdakwa, sementara alat bukti lain diabaikan oleh hakim karena hakim beranggapan, tidak ada keterangan saksi yang berdukung alat bukti yang lain. Berdasarkan hal tersebut di atas, Sebaiknya Hakim dalam menilai harus secara obyektif mengenai fakta-fakta yang terungkap di persidangan agar Hakim tidak bersandar pada keyakinan semata namun harus didukung dengan minimal 2 alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP. Page |3 ABSTRACT Based on the sections 183 in KUHAP, it is stated that “a judge may sentence someone in condition that there are at least two proves stating that the person does commit the crime”. In connection with the above, it was found that the case against the morals of minors in the name of defendant IRFAN BIN ALL AFTARI ALS IFAN Izhar (ALM) is acquitted (Vrijspraak) by District Court Judge Pontianak by decision No. 375 / Pid. sus / 2014 / PN.PTK on the basis that the information dibeerikan by witnesses in court is testimonium de audito witness testimony that is not evidence, but an additional evidence on valid evidence. Thus causing the judges to doubt the truth of the victim because the victim's testimony is still a small child so it can not be a witness because it was not supported by other evidence. The research problem of this thesis is how the strength of evidence of witnesses testimonium de auditu in consideration of the judge deciding the case of a criminal offense against a child morality. This study used a normative juridical approach, and the results of research it is known that factors into consideration acquittal because the judges argued merely the absence of witnesses who saw the incident so that the judge believes there was no witness who assured a judge to declare a bias error of the accused, while other evidence is ignored by the judge because the judge thought, no witness testimony. Based on the foregoing, Should Judges must objectively assess the facts revealed in court that the judge did not rely on faith alone, but must be supported by at least two items of evidence as provided for in Section 183 Criminal Procedure Code. KEY NOTE : TESTIMONIUM DE AUDITU Page |4 A. PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), artinya adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana materiil lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut. Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-penyimpangan hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah : “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Page |5 pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.1 Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian. Menurut Subekti, membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukan dalam suatu persengketaan.2 Darwin Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya.3 Sedangkan menurut Sudikno Martokusumo pembuktian adalah : “ Pembuktian secara juridis tidak lain merupakan pembuktian secara historis. Pembuktian yang bersifat juridis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Baik dalam pembuktian secara juridis maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar ”.4 Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang 1 Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN. Nomor 3258. 2 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramita, 2001, halaman 1. 3 Darwin Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta : Djambatan, 1998, halaman 133. 4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1999, halaman 109. Page |6 ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.5 Dalam KUHAP Pasal 183 dinyatakan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sedangkan mengenai alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan : Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi ; b. Keterangan ahli ; c. Surat ; d. Petunjuk ; e. Keterangan terdakwa. Mengenai alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk secara umum sudah lebih dikenal oleh pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dan tidak banyak menimbulkan permasalahan dalam penerapannya dipersidangan. Lain halnya dengan alat bukti keterangan terdakwa yang kadang kala masih sering menimbulkan permasalahan, baik mengenai eksistensinya sebagai alat bukti yang sah, masalah kekuatan nilai pembuktian dan penerapannya di persidangan, maupun kedudukannya sebagai alat bukti terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP ( Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Jakarta : Sinar Grafika, , 2006, halaman 273. Page |7 Dalam persidangan sering dijumpai perkara dimana tidak ada saksi yang melihat kejadian secara pasti dan hanya mendengar kejadian tersebut dari korbannya saja. Hal ini tentu saja menyulitkan dalam hal pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa, klarena sakis yang mendengarkan keterangan dari orang didalam KUHAP tidak dapat dijadikan saksi, dan saksi tersebut disebut saksi Testmonium De auditu. Namun kalo kita lihat lagi kasus perkasus, sangfat jarang suatu kasus yng tertangkap tangan, dan kebanyakan kasus-kasus masih melibatkan keterangan saksi yang mendengar pengakuan dari korban. Berdasarkan hal tersebut diatas, di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pontianak terdapat kasus asusila atas nama terdakwa IRFAN AFTRAI ALS IRFAN BIN IZHAR dengan nomor perkara : 375/PID.SUS /2013/PN.PTK bahwa hakim dalam putusannya membebaskan terdakwa dari tuntutan Jaksa dengan pertimbangan bahwa tidak ada saksi yang melihat terjadinya tindak pidana asusila yang dilakukan oleh terdakwa IRFAN AFTARI ALS IRFAN BIN IZHAR. Page |8 B. MASALAH Mengacu pada uraian latar belakang masalah diatas penulis merumuskan masalah tesis sebagai berikut : 1. Apakah keterangan saksi testimonium de auditu dapat dijadikan alat bukti apabila ada alat bukti lain yang mendukung dikaitkan dalam tindak pidana keasusilaan terhadap anak ? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi testimonium de auditu dalam pertimbangan hakim memutus perkara dalam tindak pidana kesusilaan terhadap anak ? Page |9 C. PEMBAHASAN Testimonium de Auditu, atau hearsay evidence (Inggris) berasal dari “tesmonium” yang berarti 1. (getuigenis) kesaksian, penyaksian, keterangan; 2. (getuigschift) surat keterangan, sedangkan “tesmonium de auditu” adalah keterangan yang hanya dari mendengar saja, penyaksian menurut kata orang, keterangan tangan kedua6 Wikipedia menyebutnya sebagai kesaksian berdasarkan desas-desus. Apakah testimonium de auditu dapat menjadi alat bukti yang sah, dalam perkara pidana ? Pasal 185 Ayat (1) UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut KUHAP menyatakan, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan, “Dalam keterangan saksi tidak termasuk yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”. Oleh karenanya ketentuan KUHAP tidak menempatkan testimonium de auditu sebagai alat bukti yang sah. R. Soesilo juga menyatakan bahwa “kesaksian harus didengar dilihat dan dialami sendiri disertai alasan-alasan pengetahuannya. Kesaksian yang hanya berdasarkan cerita orang lain atau hanya merupakan kesimpulan saja dari saksi yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri saja tidak cukup. Selanjutnya untuk dianggap sah harus dikemukakan di depan persidangan pengadilan, bukan di hadapan polisi, jaksa, kecuali ditentukan UU lain, serta saksi tersebut harus disumpah terlebih dahulu”.7 Namun, atas kesaksian yang hanya berdasarkan orang lain, menurut Andi Hamzah (2008) perlu didengar keterangannya oleh hakim, walaupun tidak memiliki nilai sebagai alat bukti melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat bukti petunjuk, yang penilaiannya diserahkan kepada hakim. Wirjono (1967) juga memandang demikian, bahwa kesaksian tersebut tidak 6 7 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, hlm. 418) Teknik Berita acara (proses Herbal) ilmu bukti dan laporan, Politea, Bogor, 1980 P a g e | 10 selalu dapat dikesampingkan dan mungkin mendengar peristiwa orang lain berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa. Dari yurisprudensi yang pernah ada di Indonesia tidak dapat dirumuskan secara jelas kesaksian de auditu diterima atau tidaknya, tetapi tergantung dari kenyataan-kenyataan kasus per kasus. Beberapa putusan menunjukkan kesaksian de auditu diterima juga baik dalam putusan sebelum kemerdekaan Indonesia, maupun setelah kemerdekaan. Sedangkan di Belanda juga, terjadi hal yang sama bahwa kesksian terebut tidak diterima, tetapi dalam beberapa kasus diterima. Mr. S Amien menunjukkan penyimpangan tersebut dalam Putusan H.R. 20 Desember 1926 (W. 11601, N.J. 1927, 85) dengan memberikan daya bukti kesaksian yang hanya berasal orang lain. Pengertian saksi sendiri pernah diuji materinya ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Saksi” sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, menurut Mahkamah, pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP saja. Pengertian saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP memberikan pembatasan bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya karena frasa “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan/tindak pidana yang dapat diajukan sebagai saksi yang menguntungkan. Padahal, konteks pembuktian sangkaan atau dakwaan bukan hanya untuk membuktikan apakah tersangka atau terdakwa melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana tertentu; melainkan meliputi juga pembuktian bahwa suatu perbuatan/tindak pidana adalah benar-benar terjadi. Dalam konteks pembuktian apakah tindak pidana benar-benar terjadi dan apakah tersangka/ terdakwa benar-benar benar-benar melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana dimaksud, peran saksi alibi menjadi penting, meskipun hanya testimonium de auditu. Perumusan saksi dalam Pasal 1 angka P a g e | 11 26 dan angka 27 KUHAP tidak meliputi pengertian saksi alibi, dan secara umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi lain yang dapat digolongkan sebagai saksi yang menguntungkan (a de charge) bagi tersangka atau terdakwa, antara lain, saksi yang kesaksiannya dibutuhkan untuk mengklarifikasi kesaksian saksi-saksi sebelumnya. Oleh karena itu, arti penting saksi bukan terletak pada kesaksian mengalami sendiri, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses terkait dengan permasalahan siapa pihak yang memiliki kewenangan untuk menilai apakah saksi yang diajukan tersangka atau terdakwa memiliki relevansi dengan sangkaan atau dakwaan, Penyidik tidak dibenarkan menilai keterangan ahli dan/atau saksi yang menguntungkan tersangka atau terdakwa, sebelum benar-benar memanggil dan memeriksa ahli dan/atau saksi yang bersangkutan. Kewajiban penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka tidak berpasangan dengan kewenangan penyidik untuk menilai apakah saksi yang diajukan memiliki relevansi atau tidak dengan perkara pidana yang disangkakan, sebelum saksi dimaksud dipanggil dan diperiksa (didengarkan kesaksiannya). Begitu pula dengan kewenangan jaksa penuntut umum dan hakim adalah sama dengan kepolisian. Menurut Mahkamah Konstitusi, pengaturan atau pengertian saksi dalam KUHAP, sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana. Ketentuan yang multitafsir dalam hukum acara pidana dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi warga negara, karena dalam hukum acara pidana berhadapan antara penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dengan tersangka atau terdakwa yang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Pengaturan mengenai keterangan saksi yang dinyatakan dalam Pasal 185 KUHAP selengkapnya, adalah sebagai berikut : P a g e | 12 i. ii. iii. iv. v. vi. vii. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain ; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain ; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu ; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Terdapat adanya batas nilai suatu kesaksian berdiri sendiri dari seorang saksi, yang disebut unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.8 Hal tersebut pada ayat (2) tidak berlaku apabila ada alat bukti yang sah lainnya. Pengecualian terhadap satu orang saksi saja yang berlaku apabila ada alat bukti yang sah lainnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut. 8 Andi Hamzah, Op.Cit, halaman 247. P a g e | 13 D. PENUTUP Kesimpulan 1. Faktor yang menjadi dasar pertimbangan putusan bebas (Vrijspraak) terhadap Tindak Pidana Kesusilaan Nomor Putusan : 375 / Pid.Sus / 2013 / PN.PTK tanggal 19 Desember 2013 karena Majelis Hakim berpendapat bahwa keterangan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan Testimonium De Auditu, sehingga bukan merupakan alat bukti tetapi merupakan alat bukti tambahan atas alat bukti yang sah. Sehingga menyebabkan Majelis Hakim meragukan kebenaran keterangan korban dikarenakan korban masih merupakan anak kecil sehingga tidak dapat dijadikan saksi karena tidak didukung oleh alat bukti lainnya. 2. Saksi Testimonium de auditu dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti apabila didukung oleh alat bukti yang lain. Hal ini sangat bergantung pada kasus perkasus. Apabila ada alasan yang kuat untuk mempercayai kebenaran dari saksi Testomonium de auditu. Jadi paling tidak keterangan saksi testimonium de auditu dapat dipakai sebagai petunjuk Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut : 1. Sebaiknya Hakim dalam menilai harus secara obyektif mengenai faktafakta yang terungkap di persidangan agar Hakim tidak bersandar pada keyakinan semata namun harus didukung dengan minimal 2 alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP. 2. Sebaiknya Hakim dalam menilai keterangan saksi Testimonium De auditu harus berlandaskan pada kekuatan pembuktian yang diatur dalam hukum acara pidana sehingga Hakim mampu menilai dan mempertimbangkan keterangan saksi testimonium de auditu dikaitkan dengan alat bukti lain yang ada, sehingga mendapatkan pertimbanganpertimbangan yang mantap. P a g e | 14 E. DAFTAR PUSTAKA Adi, Rianto. 2005. Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum. Jakarta : Granit. Anwar, H.A.K. Moch. 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II Jilid I), Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Apeldoorn, L.J. van. 1985. Inleiding tot de Studie van Het Nederlands Recht, Terjemahan Oetarid Sadino. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT.Pradnya Paramita. D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E.PH. Sutorus. 1995. Hukum Pidana. Yogyakarta : Liberty. Harahap, M Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. Hari Sasangka, dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. 2003. Bandung : Mandar Maju. Hanitijo, Ronny. 1985. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia. Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana. I.S Susanto. 1994. Kajian Sosiologis Terhadap Polisi. Semarang : Simposium Nasional Polisi Indonesia. Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Kota, Tanpa Tahun, halaman 74. Mertokusumo, Sudikno. 1997. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Mertokusumo, Sudikno. 1999. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty. Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara. Moeljatno. 1977. Hukum Acara Pidana. Tanpa Penerbit. P.A.F, Lamintang. 1984. Hukum Panitensier Indonesia. Bandung : Armico. Poernomo, Bambang. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana. Yogyakarta : Liberty. Poloma, Margaret M. 1984. Teori Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Prakoso, Djoko. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian. Prinst, Darwin. 1998. Prodjohamidjojo, Martiman. 1990. Komentar Atas KUHAP. Jakarta : Pradnya Paramita. Prodjohamidjojo, Martiman. 1984. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung : Sumur. Rahardjo, Satjipto. 2008. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi. Yogyakarta : Genta Publishing. Rahardjo, Satjipto. 1989. Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum. Jakarta : BPHN. Majalah Hukum Nasional Nomor 1. P a g e | 15 Rahardjo, Satjipto. Tanpa Tahun. Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis). Bandung : Sinar Baru. Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Rahardjo, Slamet. Rangkuman Kuliah Sistem Peradilan Pidana (SPP). Sadjijono. 2008. Polri Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia. Yogyakarta : Laksbang Pressindo. Samidjo dan A. Sahal. 1986. Tanya Jawab Pengantar Ilmu Hukum. Bandung : Armico. Sidharta, Bernard Arief. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju. Simanjuntak, Osman. 1999. Teknik Penuntutan Dan Upaya Hukum., Jakarta : Cetakan ke-4. Soejono, Tegoeh. 2006. Penegakan Hukum Demi Keadilan Dan Kepastian Hukum, termuat dalam buku Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher. Soekanto, Soerjono. 1988. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : Rajawali. Cetakan Kedua. Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologis Hukum. Jakarta : Rajawali. Soesilo, R. 1984. Saksi dan Bukti Ilmu Bukti Dalam Proses Perkara Pidana Menurut KUHAP. Bogor : Politea. Subekti, R. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramita. Sudarsono. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Syahrani. Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher. William J. Cham Bliss & Robert B. Seidman. 1971. Law, Order and Power. Reading. Mass Addison Wesly. Baca juga Robert Seidman. 1972. Law and Development. A General Model. Munir Fuadi. 2006. Teori Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramita. Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor : 375/Pid.Sus/2014/PN.PTK tanggal 09 Desember 2013.