Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Ju

advertisement
Volume 04 | Januari - April 2012
Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Jurnal Hukum terbitan awal tahun 2012 ini oleh
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI. Seiring dengan pergantian tahun, Tim Opinio Juris
terus berusaha untuk melakukan perbaikan,
pembenahan dan penyempurnaan pada substansi maupun sajian Opinio Juris demi meningkatkan kualitas, tampilan isu aktual dan ketertarikan para pembaca. Untuk itu, Tim Opinio Juris
berupaya memperoleh akreditasi dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia serta mendapatkan
Mitra Bestari guna menyempurnakan kualitas
artikel dalam Jurnal ini.
Jurnal Opinio Juris terbit setiap empat bulan sekali dan sejak tahun 2009 hingga 2011
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI telah
menerbitkan 9 (sembilan) edisi. Mulai dari edisi ke 7 (tujuh) yaitu pada tahun 2011, Opinio
Juris telah memperoleh ISSN dari Perpustakaan
Nasional. Melalui kesempatan ini pula, kami
ingin menginformasikan bahwa mulai terbitan
pertama tahun 2011 penomoran volume Opinio
Juris akan berurut berdasarkan jumlah volume
Opinio Juris yang diterbitkan.
Pengelola Opinio Juris dalam terbitan kali
ini maupun pada terbitan mendatang akan berupaya untuk menyajikan rangkaian tulisan yang
memiliki kesamaan tema dalam suatu edisi khusus agar para pembaca dapat memahami isu tertentu secara komprehensif. Pada Volume 4 ini,
Opinio Juris menitik beratkan pembahasannya
pada kajian tentang hukum perjanjian internasional. Terdapat 3 (tiga) tulisan yang memiliki
nuansa hukum perjanjian internasional yang di
tulis oleh mereka yang sering berkutat dengan
isu tersebut. Tulisan yang pertama yaitu mengenai Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional, “Mengais Latar Belakang dan Dinamika
OPINIO JURIS
Pasal 11 UUD 1945”. Penulis bermaksud untuk
menggali sejarah dan latar belakang rumusan
pasal 11 UUD 1945 dan mencoba memberikan perspektif yang utuh mengapa rumusan ini
menjadi dimaknai seperti yang dipraktikkan
oleh Indonesia sampai saat ini. Pada tulisan
kedua yaitu tentang “Perjanjian Internasional
dalam Sistem UUD 1945”, penulis menjelaskan bahwa substansi yang terdapat perjanjian
internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan. Artikel terakhir
yang membahas tentang hukum perjanjian internasional yaitu “Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia”. Penulis artikel ini menggaris bawahi
bahwa UU Pengesahan perjanjian internasional
bukan bentuk dari transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum nasional
di Indonesia karena fungsi dari UU Pengesahan
tersebut hanya sebagai bentuk persetujuan DPR
kepada Presiden yang akan meratifikasi perjanjian internasional.
Selain 3 (tiga) tulisan di atas, terdapat pula
resensi terhadap salah satu buku penyumbang
artikel pada Opinio Juris Volume 4 yaitu Damos Dumoli Agusman SH., MA. Buku yang
berjudul Hukum Perjanjian Internasional
Kajian Teori dan Praktek di Indonesia patut
mendapat perhatian, karena selain mengangkat permasalahan klasik hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional juga
menawarkan suatu solusi terhadap hubungan
tersebut yang tentu saja masih dapat diperdebatkan.
Walaupun demikian, terdapat 3 (tiga) tulisan lainnya yang tidak memiliki kaitan dengan
hukum perjanjian internasional, namun penting
untuk diketahui oleh para pembaca mengingat
tema yang diangkat merupakan permasalahan
ii
OPINIO JURIS
yang saat ini cukup aktual. Salah satu dari 3
(tiga) tulisan tersebut yaitu mengenai “Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia”. Penulis menjelaskan bahwa sampai saat ini hukuman mati masih menjadi bagian pokok dalam
hukum pidana Indonesia baik dalam KUHP
maupun di luar KUHP. Hal ini telah menimbulkan perdebatan antara yang setuju dengan yang
tidak setuju terhadap penerapan hukuman mati
dalam sistem pidana seiring dengan desakan
masyarakat internasional untuk menghapuskan hukuman mati. Selanjutnya, terdapat pula
tulisan mengenai Can Trials Help Victim-Witnesses of Mass Atrocity Heal? dimana penulis
melakukan pembahasan tentang batasan-batasan dan kelemahan international court dalam
menangani kasus-kasus mass atrocity.
Jurnal Opinio Juris ini juga memuat Glossary Hukum yang secara umum mendeskripsikan berbagai istilah hukum yang dipilih secara
khusus dan lazim digunakan sebagai terms
Volume 04 | Januari - April 2012
pada kajian Hukum Internasional.
Untuk memudahkan para pembaca setia
Opinio Juris, Pengelola telah memuat Opinio
Juris yang pernah terbit terdahulu pada Perpustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu
yang dapat di akses melalui http://pustakahpi.
kemlu.go.id/content.php. Pada kesempatan ini,
Pengelola Opinio Juris secara terus menerus
mengajak para pembaca untuk turut menyumbangkan tulisan, memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris
di masa mendatang.
Akhir kata, Tim Opinio Juris berharap agar
jurnal ini dapat menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan
wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum
dan perjanjian internasional yang berkaitan
dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
Terima kasih dan selamat membaca.
iii
OPINIO JURIS
Volume 04 | Januari - April 2012
DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945
Damos Dumoli Agusman, SH., MA
Perjanjian internasional di Indonesia telah
melintasi 3 phase rejim hukum yang berbeda.
Pertama periode 1945-1960 dimana perjanjian
internasional didasarkan pada 3 UUD yang berlaku berturut-turut pada periode itu, yaitu UUD
1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD 1950.
Periode kedua adalah antara tahun 1960-2000,
dimana sekalipun berlandaskan UUD 1945
perjanjian internasional tunduk pada ketentuan
seperti yang diatur pada Surat Presiden 2826
tahun 1960. Periode terakhir adalah sejak tahun
2000 sampai saat ini yang ditandai dengan mulai berlakunya UU No. 24 Tahun 2000 tentang
perjanjian internasional.
Secara keseluruhan perjalanan sejarah Indonesia, dasar konstitusional untuk perjanjian
internasional adalah pasal 11 UUD 1945 yang
berbunyi:
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain”.
Sekalipun dasar konstitusional untuk perjanjian internasional telah mengalami rangkaian phase rejim hukum yang berbeda, rumusan pasal 11 UUD 1945 yang mendasari
perjanjian internasional tidak pernah berubah.
Untuk itu artikel ini bermaksud menggali sejarah dan latar belakang rumusan pasal 11 UUD
1945 dan mencoba memberikan perspektif
yang utuh mengapa rumusan ini menjadi dimaknai seperti yang dipraktikkan oleh Indonesia sampai saat ini.
Pasal ini tidak secara khusus mengatur tentang perjanjian internasional namun menempatkannya senafas dengan kekuasaan Presiden lainnya dalam bidang hubungan luar negeri yaitu
menyatakan perang dan membuat perdamaian.
Aturan ini sangat singkat dan menurut penulis tidak dimaksudkan untuk mengatur tentang
pembuatan perjanjian internasional itu sendiri
melainkan hanya mengidentifikasi kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara1 antara
lain dalam membuat perjanjian internasional.
Para ahli mengalami kesulitan untuk menemukan latar belakang dirumuskannya pasal yang
singkat. Alasan bahwa bahwa UUD 45 dibuat
secara kilat oleh perancangnya (BPUPKI)
mengakibatkan mungkin tidak tersedia praktik
maupun referensi yang dapat membantu merumuskan Pasal 11. Ko Swan Sik2 menyatakan
bahwa kemungkinan besar para perumus UUD
1945 lebih banyak menggunakan referensi dari
Belanda dan mungkin sedikit sekali menggunakan model Amerika Serikat mengingat pada
waktu itu Konstitusi Amerika Serikta tidak terlalu dikenal oleh elit Indonesia. Sedangkan ahli
sejarah Indonesia seperti A. Arthur3 menduga
model Amerika Serikat merupakan inspirasi
utama bagi perumus UUD 1945.
1
1
2
3
Menurut penjelasan UUD 1945, pasal ini masuk dalam kategori kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara.
Lihat misalnya Ko Swan Sik, The Indonesian Law of Treaties (1945-1990), Martinus Nijhohf, hal. 3.
A. Arthur, The Formation of Federal Indonesia, 1945-1949, the Hague, 1955, at 19.
1
Volume 04 | Januari - April 2012
Dari berbebagai perdebatan seperti yang
terkuak dalam dokumen BPUPKI ternyata beberapa konstitusi sering disebut-sebut sebagai
referensi, yaitu Konstitusi Perancis, Belanda,
Weimar (Jerman), dan Meiji (Jepang)4. Dalam
perdebatan terlihat bahwa para perumus tidak
terlalu menyukai semangat yang terkandung
dalam konstitusi-kontitusi Negara Barat karena
dinilai terlalu liberal dan individualisme dan
lebih mengarah ke Timur yaitu pada semangat
yang terkandung pada Konstitusi Meiji5. Sekalipun demikian, para perumus tidak secara keseluruhan menolak konsep-konsep Barat karena
pada kenyataannya juga mengadopsi prinsip
rechstaat seperti yang terkandung pada Konstitusi Weimar.
Dari analisa komparatif terhadap konstitusi
yang berlaku pada periode kemerdekaan RI,
terkait dengan kekuasaan presiden di bidang
luar negeri, para perumus tampaknya menggunakan Konstitusi Meiji 1889. Pasal 13 menyatakan:
The Emperor declares war, makes peace,
1
4
OPINIO JURIS
and concludes treaties6 .
Catatan diskusi tentang pasal-pasal kekuasaan Presiden hampir seluruhnya mengambil
pasal-pasal yang sama pada Konstitusi Meiji.
Bahkan pada tahun 1942, Supomo, Subardjo dan Maramis sebelum mulai persidangan
BPUPKI pernah mengusulkan suatu draft UUD
yang pada umumnya adalah “copy paste” dari
Konstitusi Meiji7. Pasal 9 draft mereka bahkan mengusulkan rumusan “Kepala Negara
menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan Negara lain. Dalam perdebatan awal di BPUPKI rumusan ini tetap dipertahankan dengan menggunakan istilah yang
berbeda untuk kepala Negara menjadi Dewan
Negara8. Teks ini kemudian berkembang dalam
perdebatan dan terjadi berbagai modifikasi sehingga istilah Dewan Negara menjadi Presiden.
Dalam perdebatan selanjutnya, pasal ini
tidak termasuk pasal yang kontroversi sehingga dengan cepat dapat diterima dengan hanya
penambahan kalimat “dengan persetujuan
DPR” agar selaras dengan prinsip “check and
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (“Preparatory Documents to the Constitution of 1945”), Vol. I, at 291.
5
Soekarno dalam pidatonya pengantarnya mendesak agar jiwa konstitusi yang akan dibuat adalah berdasarkan falsafah yang hidup (volkgeist) dan menolak model konstitusi Negara Barat yang individualis dan liberalis
yang telah menciptakan imperialism dan konflik internasional. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang
Undang Dasar 1945, 287-298.
6
English text dari Konstitusi Meiji 1889 dapat diakses pada http://www.ndl.go.jp/ constitution/e/etc/ c02.
html. Konstitusi Meiji 1889 mengambil model Konstitusi Prussia 1850, Pasal 13 ini sama dengan pasal 48
Konstitusi Prussian: “the king shall have power to declare war and make peace, and to conclude other treaties
with foreign governments. The latter require for their validity the assent of the chambers in so far as they are
commercial treaties, or impose burdens on the State, or obligations on the individual subjects”. English text
dapat diakses pada http://en.wikisource.org/wiki/Constitution_of_the_Kingdom_of_Prussia. Menurut sejarah,
ahli hukum Jerman, Rudolp Gneist, yang membantu perancangan Konstitusi Meiji, Kaisar Jepang harus diberikan kekuasaan absolut di bidang luar negeri, pertahanan dan legislasi. Itulah sebabnya berbeda dengan
Konstitusi Prussia, Konstitusi Meiji tidak mensyaratkan persetujuan Diet untuk pembuatan perjanjian internasional, Beckmann, George M, The Making of the Meiji Constitution, University Kansas Press, 1957, 71.
7
Yamin, Vol. I, 784-793.
8
Draft Awal yang disampaikan ke BPUPKI pada tanggal 15 Juni 1945. Yamin, ibid, 713-716. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar, Buku IV, Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 15.
2
OPINIO JURIS
balances” yang mendominasi pola pikir para
perumus UUD 1945 pada waktu itu.
Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan kekuasaan prerogatif Presiden juga mengambil rumusan yang sama dari Konstitusi Meiji, misalnya:
Pasal 5 : The President exercises the legislative
power with the consent of the Parliament (Article 5 of the Meiji Constitution)
Pasal 10 : The President is the supreme commander of the Army, Navy and the Air Force
(Article 11 of the Meiji Constitution)
Pasal 12: The President may declare a state of
emergency. The conditions for such a declaration and its effects shall be determined by law
(Article 14 of the Meiji Constitution).
Pasal 14: The President grants pardon, amnesty, commutation of punishment, rehabilitation
(Article 16 of the Meiji Constitution).
Pasal 15: The President confers ranks, orders
and other marks of honour (Article 15 of the
Meiji Constitution).
Penggunaan Konstitusi Meiji sebagai referensi untuk kewenangan prerogratif Presiden
dapat dipahami dengan beberapa pertimbangan. Pertama BPUPKI adalah ciptaan dan gagasan Jepang yang menjanjikan kemerdekaan
Indonesia sehingga dapat dipahami jika referensi Jepang juga diharapkan dapat menjadi
pedoman utama. Para perumus tidak melirik
konstitusi Belanda atau Negara Barat lainnya
karena tingginya sentimen anti penjajahan Belanda dan imperialisme9, serta tidak melirik
Volume 04 | Januari - April 2012
Konstitusi dari Negara-negara Asia karena
ketiadaan referensi dalam bahasa yang dapat
dipahami. Kedua, 7 dari 62 anggota BPUPKI
adalah tentara Jepang10 dan sangat mungkin dalam memberikan kontribusinya mereka
merujuk pada Konstitusi yang mereka pahami.
Ketiga, Sukarno sebagai Ketua Tim Perumus
telah mengindikasikan orientasinya terhadap
Pan East Asia yang dipimpin oleh Dai Nippon
Teikoku (Japan) sehingga model Jepang menjadi sangat relevan dan menjanjikan.
Pasal 11 ini memang bukan pasal yang menarik perhatian pada masa pembahasan11. Di
tengah-tengah situasi PD II dan masa-masa
perang mulainya perang kemerdekaan, para perumus UUD 1945 tidak mengharapkan adanya
perdebatan yang berlarut-larut tentang pasal ini
dan lebih tertarik pada pembahasan yang lebih
kontroversial seperti dasar Negara. Perdebatan
di BPUPKI lebih banyak diwarnai oleh pertentangan padangan ideologi antara kelompok Islam yang mendesak terbentuknya Negara Islam
dengan kelompok nasionalis yang menentangnya12.
Namun demikian, patut pula dicatat bahwa
penggunaan Konstitusi Meiji sebagai referensi
UUD 1945 tidak pernah disebut-sebut dalam
literatur sejarah Indonesia. Berbagai catatan
dan buku-buku sejarah yang ditulis oleh para
mantan perumus UUD 1945 juga tidak pernah
secara gamblang mengakui Konstitusi Meiji
sebagai bahan dasar perumusan UUD 1945 di
bidang hak prerogratif Presiden. Beberapa per-
1
9
Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law
Review, 1951, 505.
10
Poesponegoro, Marwati Djoenoed, Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional Indonesia (“History of Indonesia”), Balai Pustaka Jakarta, 1992, 122.
11
Ko Swan Sik menilai bahwa para perumus banyak berlatar belakang hukum namun tidak hukum internasional, Ko Swan Sik, opcit, 4.
12
Yamin, Muhammad, Vol I, 376-396.
3
Volume 04 | Januari - April 2012
timbangan politik mungkin mendasari adanya
kecenderungan untuk tidak menguak fakta
sejarah ini. Pertama, sejak kemerdekaan RI
terdapat semangat nasionalisme yang sangat
tinggi yang memotret bahwa Indonesia memperoleh kemerdekaan melalui usahanya sendiri
dan menekankan bahwa UUD 1945 adalah
ciptaan lokal yang berakar pada nilai filosofis bangsa Indonesia. Pandangan bahwa UUD
1945 mengambil rujukan dari konstitusi asing
merupakan pandangan yang tabu pada waktu
itu dan di tengah-tengah nasionalisme yang
tinggi. Itulah sebabnya, pembahasan akademis tentang UUD 1945 lebih banyak didominasi oleh persoalan pembukaan UUD 1945
yang memuat Pancasila, yang memang secara
original merupakan produk pemikiran asli para
pendiri bangsa Indonesia.
Kedua, sejak masuknya Jepang, para pendiri Negara telah telah terpecah dengan adanya
tawaran Jepang untuk memerdekakan Indonesia dengan terbentuknya BPUPKI. Beberapa
tokoh memilih berada diluar dan sebagian lain
bersikap kooperatif. Persoalan menjadi sensitif
jika terdapat pandangan bahwa kemerdekaan
Indonesia adalah merupakan “hadiah” dari Jepang sehingga terdapat sentimen trauma jika
ada indikasi yang mengarah pada referensi Je-
OPINIO JURIS
pang. Tuduhan bahwa kemerdekaan Indonesia
adalah restu Jepang memang akhirnya telah
menjadi perdebatan dalam literatur hukum internasional13. Selain itu, Orde Baru juga menempatkan UUD 1945 sebagai dokumen yang
sakral sehingga tidak dibuka ruang untuk adanya pandangan lain tentang Konstitusi ini apalagi mengaitkannya dengan konstitusi asing.
Pasal 11 UUD 1945 sangat sederhana dan
hanya mengatur kekuasaan Presiden. Pasal ini
tidak menyentuh sama sekali tentang persoalan
perjanjian internasional itu sendiri dan sangat
merefleksikan sikap tradisional negara-negara
terhadap hukum internasional14, apa lagi Negara-negara yang baru merdeka15.
Seperti halnya Konstitusi Meiji 1889 16 ,
pasal 11 UUD 1945 sangat “low profile” terhadap hukum internasional karena memang masih sangat asing bagi pendiri Negera. Selain itu,
konstitusi-konstitusi negara yang mengatur tentang hukum internasional pada masa itu masih
terbatas dan hanya didominasi oleh konstitusi
negara-negara Barat seperti Weimar Constitution 1919 dan Spanish Constitution 1931. Bahkan Belanda sendiri sebagai Negara kolonial
yang seyogianya mempengaruhi para perumus
UUD 1945 baru pada pada tahun 1938 mengatur perjanjian internasional secara rinci17.
1
13
Sastroamidjojo, Ali and Robert Delson, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49
Columbia Law Review 3, 1949 at 344-361, Heyde, Charles, Cheney, The Status of the Republic of Indonesia
in International Law, 49 Columbia Law Review 7, at 956. Dokumente zur Entstehungder Vereinigten Staaten
von Indonesien,Vorbemerkung, 13 ZaoRV 1950, at 433.
14
Pada tahun 1923, Quincy Right menyatakan bahwa “the traditional treatment of international law almost if
not wholly dissociated it from constitutional law, Right, Quincy, International Law in its Relations to Constitutional Law, 17 AJIL 1923, at 234.
15
Deener menilai bahwa konstitusi Negara-negara pasca PD II tidak tertarik pada hukum internasional, Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review,
1951, 526.
16
Jepang baru membuka diri terhadap dunia dan hukum internasional sejak 1850. Japan and International
Law: Past, Present and Future, Ando, Nusiko (Ed), Kluwer Law International, 2001, 350.
4
OPINIO JURIS
Dengan demikian pasal 11 UUD 1945 tidak mungkin dapat menjelaskan tentang berbagai permasalahan yang mengemuka dewasa
ini, seperti apa yang dimaksud dengan perjanjian, membuat perjanjian serta apa bentuk formal dari persetujuan DPR. Pasal ini jauh dari
mampu untuk menjelaskan tentang bagaimana
kedudukan hukum perjanjian dalam sistem hukum nasional Indonesia.
Ketidakjelasan Pasal 11 ini tentunya melahirkan kesulitan dalam praktik Indonesia.
Amandemen UUD 1945 bukanlah opsi yang
tersedia pada periode sebelum reformasi sehingga guna mengatasi kesulitan ini dikeluarkan kebijakan yang tertuang dalam produk legislasi di luar UUD 1945. Pertama adalah Surat
Presiden 2826 tahun 1960 yang intinya memuat
kriteria tentang perjanjian yang perlu mendapat
persetujuan DPR dan yang tidak. Menurut Surat Presiden tersebut maka perjanjian internasional yang harus disampaikan kepada DPR
untuk mendapatkan persetujuan adalah yang
mengandung materi sebagai berikut:
• Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat
mempengaruhi haluan politik luar negeri
seperti halnya perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan
(aliansi), dan perjanjian-perjanjian tentang
perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
• Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik
Volume 04 | Januari - April 2012
luar negeri negara.
• Hal-hal yang menurut UUD atau berdasarkan sistem perundang-undangan kita harus
diatur dengan Undang-Undang, seperti masalah kewarganegaraan dan masalah-masalah kehakiman.
Menurut pengamatan penulis, surat ini
dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya
pembuatan perjanjian sampai tahun 1960 18
sehingga dinilai tidak praktis dan membatasi keleluasaan bergerak dalam menjalankan
hubungan internasional jika semua perjanjian
internasional harus melalui proses persetujuan
DPR sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945. Surat
ini juga dibayangi oleh pengalaman pahit akibat norma Pasal 120 UUDS yang lebih ketat
mensyaratkan persetujuan DPR karena secara
tegas menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh
disahkan kecuali ditentukan lain oleh UndangUndang. Penulis membayangkan bahwa ketatnya aturan ini serta pesatnya pembuatan perjanjian pada periode tersebut telah19 menyulitkan
Presiden dalam proses pembuatan perjanjian
internasional dan inilah antara lain yang memicu keluarnya Surat Presiden tersebut.
Dengan kriteria ini maka tidak semua perjanjian harus mendapat perstujuan DPR dan
oleh para ahli dinilai telah terjadi amandemen
substantive yang terselubung terhadap pasal 11
UUD 1945. Semula Pasal ini bahwa perjanjian
harus mendapat persetujuan DPR telah diubah
1
17
Verzijl, J.H.W. International Law in Historical Perspective, Sijthoff Leiden, Vol I, 1968, 106.
Berdasarkan catatan Treaty Room Kementerian Luar Negeri, sampai tahun 1960 Indonesia telah membuat
sekitar 152 perjanjian internasionl, dan khusus tahun 1960 pada saat keluarnya Surat Presiden tersebut, Indonesia telah membuat 36 perjanjian, angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
19
Catatan Treaty Room menunjukkan bahwa tahun 1959-1960 saja terdapat 56 perjanjian internasional dan
hanya 7 Perjanjian yang disampaikan untuk mendapatkan persetujuan DPR.
18
5
Volume 04 | Januari - April 2012
menjadi hanya perjanjian tertentu. Kedua, UU
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang pada hakekatnya adalah kodifikasi
dari praktik Indonesia yang dipedomani oleh
Surat Presiden 2826 tersebut.
Penetapan kriteria untuk menentukan perjanjian yang harus mendapat persetujuan DPR
bukanlah praktik yang tidak lazim. Belanda
telah menerapkan kriteria ini dan bahkan telah
diadopsi dalam Konstitusi RIS dan UUD 1950.
Surat Presiden 2826 sangat dipengaruhi oleh
Konstitusi dan Praktik Belanda pada periode
itu yang sangat mempengaruhi pemikiran hukum para birokrat di lingkungan Kabinet dan
khususnya Kementerian Luar Negeri.
Persoalannya adalah, UUD 1945 tidak mengenal pembedaan ini karena memang konstitusi
rujukannya (Konstitusi Meiji) tidak memerlukan kriteria ini. Kaisar Jepang berdasarkan Konstitusi Meiji berwenang penuh untuk membuat
perjanjian tanpa persetujuan Diet, sehingga tidak perlu membedakan jenis perjanjian. Sisipan
kalimat “dengan persetujuan DPR” pada pasal
11 UUD 1945 mengakibatkan jiwa pasal ini
menjadi berbeda dengan Konstitusi Meiji. Akibatnya, dalam praktek DPR menjadi kewalahan
untuk menangani banyaknya perjanjian yang
dibuat pada pasca perang kemerdekaan. Untuk
mengatasi masalah ini, Indonesia melirik pada
Konstitusi Belanda yang memang membuat
kriteria tentang mana perjanjian yang harus
mendapat persetujuan parlemen. Dalam hal ini,
telah terjadi transpalansi terhadap hukum dan
praktik Indonesia, yaitu menggunakan dasar
konstitusional Jepang (Meiji) namun mengembangkannya dengan menggunakan model Konstitusi Belanda.
Keruwetan dasar konstitusional ini seharusnya dapat diselesaikan melalui amandemen UUD 1945 yang intensif dilakukan sejak
6
OPINIO JURIS
reformasi. Kesempatan emas ini telah muncul
pada perubahan (amandemen) ketiga UUD
1945 yang diputuskan pada tahun 2001. Namun
sayangnya perubahan yang dilakukan tidak
menyentuh akar masalah melainkan kembali
berkutat pada masalah kewenangan Presiden
vis a vis DPR. Pada perubahan ketiga, Pasal 11
mendapat tambahan 2 ayat yaitu ayat (2) dan
ayat (3), sehingga Pasal ini secara lengkap berbunyi:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain
(2)Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan Undang-Undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
(3)Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian
internasional diatur dengan Undang-Undang
Amandemen ini tentunya tidak mengubah
apa pun tentang dasar konsitutional perjanjian
internasional karena hanya menambah pasal
yang menekankan adanya kewenangan DPR
untuk memberi persetujuan terhadap perjanjian
lainnya yang dibuat dengan organisasi internasional. Penambahan pasal ini juga tidak berdampak dalam praktik karena belum satu pun
perjanjian dalam rangka ayat 2 ini yang pernah
dibuat dan mendapat persetujuan DPR. Akibatnya, amandemen ini tidak menyelesaikan permasalahan klasik yang lahir akibat keterbatasan
pengaturan pasal 11 UUD 1945.
Penulis menyarankan agar amandemen
UUD 1945 berikutnya, pasal 11 mendapat gili-
OPINIO JURIS
ran yang signifikan dan diamandemen secara
proporsional sehingga memberi dasar konstitusional yang kuat bagi perjanjian yang
dibuat oleh Indonesia. Pasal ini harus mengatur tentang kewenangan membuat perjanjian, kriteria perjanjian yang harus mendapat
Volume 04 | Januari - April 2012
persetujuan DPR, serta kedudukan perjanjian dalam sistem hukum Indonesia. Pengujian konstitusionalitas Piagam ASEAN di
Mahkamah Konstitusi sejak 2011 merupakan contoh pahit dari keterbatasan pasal UUD
1945.
7
Volume 04 | Januari - April 2012
OPINIO JURIS
PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945
Dr. Harjono, SH., MCL
Pendahuluan
Konstitusi merupakan hukum tertinggi
dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu
negara oleh karenanya pembuatan perjanjian internsional yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaran negara sudah seharusnya
didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam
konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi
sebagai fondasi dalam penyusunan sistem hukum negara, oleh karena itu pembuatan perjanjian international juga menjadi bagian dalam
sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat
perbedaan pendapat baik di antara pakar hukum
maupun praktisi penyelenggara pemerinrtahan
negara mengenai dasar-dasar konstitusional
yang mengatur pembuatan perjanjian internasional. Perbedaan yang menyebabkan pandangan
yang beragam tersebut mempunyai implikasi
baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar
pengaturan tentang perjanjian internasional.
Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturan konstitusional
pembuatan perjanjian international menurut
UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles
Sampford melihat bahwa ada pandangan yang
umum mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem
terdapat; “There are wholes, they have elements
and those elementshave relations which form
structure “. Lebih lanjut dinyatakan; ” Sourse –
based system have legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority or validity to higher rules. These relations
are classically formed into a pyramidal and hierrarical structure with one ultimate rule, ‘basic norm‘ or ‘legal science fiat‘ at the top. The
wholeness factor is provided by the structure itself and by its function of providing the authoritative basis for all law in community“1. Dengan
berdasar pada pengertian sistem sebagimana di
atas uraian di bawah ini akan meninjau perjanjian internasioanal dalam sistem UUD 1945.
Dasar Hukum
Dasar hukum perjanjian international
dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami
perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:
• Presiden
dengan
persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang,
membuat
perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain
• Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
• Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Pasal 11 UUD 1945 tersebut satu-satunya
pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan
di dalamnya adanya kata “perjanjian internasional“. Oleh karena itu perlu dikaji lebih
1
1
8
Charles Sampford “ The Disorder of Law , a Critique of Legal Theory “, Basil Blackwell 1989, h. 16
OPINIO JURIS
dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal perjanjian internasional.
Pasal 11 UUD 1945 termasuk dalam Bab
III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan
Negara yang di dalam susbstansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem
UUD 1945. Bab III UUD 1945 ini mengalami perubahan yang sangat signifikan dibandingkan dengan Bab III UUD 1945 sebelum
perubahan. Di samping perubahan isi pasalpasal, perubahan UUD 1945 juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu;
Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C.
Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat
yang berbunyi: ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain“, dan setelah perubahan UUD 1945, ketentuan yang terdapat
dalam pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11
tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya.
Kedudukan Presiden dalam UUD 1945
setelah perubahan berbeda dengan kedudukan
Presiden sebelum perubahan. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5
ayat (1) UUD 1945. Sebelum perubahan Pasal
5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan; ”Presiden
memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat“, sedangkan setelah perubahan Pasal
tersebut menjadi berbunyi; ”Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat“. Pasal 20
ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan berbunyi; ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan
membentuk
undang-undang”.
Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan UU dari tangan Presiden ke DPR.
Perubahan demikian juga menyebab-
Volume 04 | Januari - April 2012
kan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh
Bab III UUD 1945. Sebelum perubahan
UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi;
• kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945),
• kekuasaan membentuk UU (vide Pasal 5
ayat (1) UUD sebelum perubahan), kekuasaan sebagai kepala negara.
Setelah perubahan UUD 1945, Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III
menjadi hanya meliputi dua kekuasaan saja yaitu:
• kekuasaan eksekutif
• kekuasaan sebagai kepala negara.
Bab III UUD 1945 megandung substansi
yang berhubungan dengan lembaga Presiden
dalam sistem UUD 1945 di mana di dalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk
menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain. Kedudukan
Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu
sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala
negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut, UUD
1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili negara dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Pasal 11 UUD 1945 memang
tidak dimaksudkan untuk menentukan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional tetapi semata-mata menetapkan
bahwa Presidenlah, dan bukan lembaga negara
yang lain, yang mewakili negara Indonesia untuk melakukan hubungan dengan negara lain .
Bentuk hukum
Sebuah perjanjian internasional pada
hakekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam
9
Volume 04 | Januari - April 2012
hal ini antar negara yang membuat perjanjian
tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah perjanjian internasional terceminkan kehendak
dua pihak. Setiap negara mempunyai aturan
yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk
mewakili negara tersebut dan dari wakil itu
pulalah pihak negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu
dan mengadakan kesepakatan dengan wakil
yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal
11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden-lah
akan menyatakan, membuat perdamaian dan
perjanjian. Pihak negara lain secara prima
facie dan secara hukum dapat memastikan
bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya negara
lain tersebut tidak perlu berhubungan dengan
lembaga negara Indonesia yang lain untuk
mengetahui maksud atau kehendak negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan
pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum
dari pernyataan negara yang ditujukan ke luar
tersebut seharusnya adalah pernyataan dari
Presiden dan dalam sistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat
diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya
bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden.
Pasal 11 UUD 1945 mensyaratkan bahwa
pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan
Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk undang-undang. Pasal 11
UUD 1945 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah undang-undang,
meskipun ada kemiripan antara prosedur yang
disyaratkan dalam pembuatan undang-undang
dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila
10
OPINIO JURIS
Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,
namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
harus dalam bentuk hukum undang-undang.
Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain diwadahi bentuk hukum UU maka artinya proses
pembuatannya pun harus sesuai dengan tata
cara pembuatan undang-undang dan hal yang
demikian tersebut akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
mempunyai karakterikstik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian tepaksa
ditempuh jalan dengan peperangan, apakah
Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk
menyatakan perang, padahal situasinya sangat
kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau
proses pembuatan UU harus dilakukan tentu
saja akan menunggu waktu yang cukup lama
dan keinginan perang tersebut telah diketahui
oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat
merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah
pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara
cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana
membahas suatu rancangan undang-undang,
hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan
membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak.
Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara negara Indonesia
dengan negara lain khususnya dalam perjanjian
bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama
ini dilakukan yaitu pengesahan perjanjian in-
OPINIO JURIS
ternasional diwadahi dalam bentuk UU. Kedua
pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut
dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan di antara keduanya adalah pernyataan
masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa
mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang
berakibat mengikat kepada kedua belah pihak.
Praktik pengesahan dengan UU menimbulkan
persoalan. UU adalah bagian dari hukum nasional sedangkan perjanjian dengan negara lain
merupakan kesepakatan antar negara yang berada di luar ranah urusan internal negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh UU
apakah ini tidak berarti bahwa kehendak negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal negara lain karena digantungkan kepada pengesahan UU. Bagi pihak lain
yang diperkukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan UU.
Praktik pengesahan perjanjian internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebelum
disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah
mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal
negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu
disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari
yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah
tepat karena perjanjian dengan negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya.
Hal berikutnya menyangkut naskah otentik
dari perjanjian internasional. Dalam sebuah
perjanjian internasional termasuk hal yang
penting untuk diperjanjikan adalah penentuan
naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini
penting karena kalau sampai timbul sengketa
antar pihak mengenai penafsiran perjanjian internasional yang telah disepakati, maka diper-
Volume 04 | Januari - April 2012
lukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila perjanjian
internasional dituangkan dalam bentuk hukum
UU dan kemudian karena suatu sebab terjadi
perbedaan antara naskah yang telah disetujui
oleh wakil masing-masing negara dengan yang
disahkan dalam UU apakah kemudian pihak
Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang
terdapat dalam lampiran UU tersebut sebagai
naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalam UU Indonesia sebagai
naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa
artinya kalau kemudian naskah perjanjian internasional yang dilampirkan dalam UU ternyata
tidak diakui sebagai naskah otentik padahal
UU telah diundangkan sebagaimana mestinya.
Karena perjanjian internasional diberi bentuk hukum UU tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan UU juga harus
diberlakukan terhadap proses pembuatan perjajian internasional. Dalam ketentuan UUD 1945,
Pasal 20 ayat (5) menyatakan, ”Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga
puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.” Sebagai sebuah ilustrasi dapat
diajukan dalam kasus ini. Presiden telah mengajukan naskah perjanjian internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui
rancangan tersebut. Karena mekanisme yang
berlaku adalah mekanise pembuatan UU, maka
ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat.
Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi UU terjadilah suatu
perubahan materiil yang menyangkut materi
dari perjanjian tersebut dan hal demikian me11
Volume 04 | Januari - April 2012
nyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk
tidak mempertahankan kesepakatan yang telah
diambil dalam perjanjian internasional karena
dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar
dan kemungkinan juga pihak negara lain juga
berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan
Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian.
Bentuk perjanjian dalam UU juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan negara
lain yang harus dilakukan dengan cepat karena
adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri
atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk
Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam
pembuatan perjanjian internasioanl dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan UU.
Dalam banyak undang-undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usualan Presiden namun bentuk hukumnya
tidak dalam bentuk UU, sebagai misal pengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima
TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Praktik yang terjadi di negara lain tidak selalu
memberi bentuk perjanjian internasional sebagai undang-undang atau statute/law. Amerika
Serikat menentukan dalam konstitusi bahwa
perjanjian internasional dibuat oleh Presiden
dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk UU, karena UU dibuat
oleh Congres namun demikian perjanjian internasional tetap mengikat negara tersebut.
Persetujuan DPR Dalam Pembuatan Perjanjian Internasional
Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945.
12
OPINIO JURIS
Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar
sistem Presidensil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri
dalam hal ini membuat perjanjian internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi
internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek hukum internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat
ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara
pemerintah Indonesia dengan negara lain yang
mengadakan perjanjian dengan Indonesia.
Apabila secara internal Presiden telah
melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut
adalah perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat
hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah
berarti mengikat secara sah pula baik terhadap
lembaga negara lain termasuk subyek hukum
yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa
yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah
negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga negara maupun warganya. Ketentuan ini tidak diatur dalam UUD
tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.
Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya
untuk melakukan hubungan dengan negara
lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian
yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD
mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan
merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Di samping membuat
perdamaian dan membuat penjanjian dengan
negara lain sebagaimana dinyatakan dalam
ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat “perjanjian internasional lainnya“ yang; (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
OPINIO JURIS
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara perjanjian internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan negara sebagai subyak
hukum perdata. UUD 1945 mempertimbangkan
bahwa apabila Presiden membuat perjanjian internasional lain (demikian UUD menyebutnya)
yang menimbulkan akibat luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban
negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11
ayat (2) menggunakan istilah perjanjian internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang
disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan perjanjian
internasional lainnya. Pengertian “ yang lain
“tentunya yang bukan perjanjian perdamaian,
dan bukan perjanjian dengan negara lain“.
Dengan demikian termasuk dalam pengertian
perjanjian internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan subyek hukum internasional lain selain negara. Namun demikian
disyaratkan bahwa perjanjian dengan subyek
hukum internasional lain yang memerlukan
persetujuan DPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara“. Perlu digarisbawahi bahwa
alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah
alasan internal dan bukan didasarkan alasan
eksternal apalagi diukur dengan praktik hukum
internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, adalah
murni pertimbangan pembuat konstitusi yang
didasari pemikiran perlunya legitimasi yang
lebih luas terhadap perjanjian yang demiki-
Volume 04 | Januari - April 2012
an karena menyangkut kepentingan bangsa.
Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan organisasi internasional yang
menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena pihaknya bukan negara dan karena bersifat perdata. Alasan
demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak
atau mengenai hal apa materi suatu perjanjian
internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban yang
mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut
yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga
tidak menjadi relevan pertimbangan institusi
apa yang akan mempunyai wewenang untuk
memutus perselisihan andai saja di kemudian
hari timbul perselisihan antara negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi
kewenangan International Court of Justice
ataukah akan menjadi kewenangan lembaga
internasional lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga
bukan menjadi bagian hukum publik internasional. Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada negara dan
bangsa, baik berdampak dalam hukum publik
maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk
membayar hutang atau denda sebagai hukuman
yang dibebankan kepada negara selaku badan
hukum perdata tetap mempunyai dampak pada
kehidupan negara atau bangsa karena jelas
akan mengurangi kemampuan financial negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.
Kekuatan Mengikat Perjanjian internasional.
Perjanjian internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum yang bebas
untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan
diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak.
Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari kewajiban untuk terikat adalah kehen13
Volume 04 | Januari - April 2012
dak masing-masing pihak. Di sisi lain masingmasing negara mempunyai ketentuan di dalam
hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga
atau organ negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili negara tersebut dalam
berhubungan dengan negara lain. Perjanjian
internasional yang lahir atas dasar kesepakatan menempatkan para pihak dalam posisi setara dan oleh karenanya perjanjian international
mempunyai dasar “good faith“ antar para pihak.
Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara
voluntair menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu
pihak berkebaratan maka dapat menolak atau
membuat suatu kesepakatan baru yang kemudian disepakati bersama. Apabila suatu perjanjian
internasional membebani kewajiban maka pihak
yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya sedangkan pihak lain percaya bahwa
kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian
internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip “good faith and
mutual trust“ antar pihaknya, dengan demikian
“pacta sunt servanda“ menjadi dasar mengapa
para pihak terikat dengan yang diperjanjikan.
Dari segi internal negara yang menjadi
pihak dalam perjanjian internasional, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh lembaga atau organ negara
yang secara hukum diberi wewenang oleh
konstitusi untuk mewakili negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau negara lain.
Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga negara yang lain termasuk juga lembaga
peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada perjanjian international yang dibuat
oleh lembaga yang berwenang serta dengan
prosedur menurut hukum yang disyaratkan.
Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt
servanda saja seringkali dapat menimbulkan
persoalan karena kemungkinan adanya pi14
OPINIO JURIS
hak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati
oleh wakilnya, namun hanya karena adanya
itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya perjanjian internasinoal
tersebut secara otomatis. Untuk menentukan
apakah akan tetap memberikan akibat hukum
perjanjian internasional di dalam negeri, asas
pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan
asas resiprosity yaitu bahwa pelaksanaan perjanjian internasinal tersebut di Indonesia akan
digantungkan pada pelaksanaan perjanjian internasional yang bersangkutan di negara lain
sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian
penerapan secara resiprosity ini dapat dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada negara yang bersangkutan melalui jalur diplomatic.
Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu
jangan sampai perjanjian international hanya
membebani kewajian secara sepihak saja.
Pemberlakukan perjanjian international ke
dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di
dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar
pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada
Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang
mewakili negara dalam hubungan luar negeri.
Apabila Presiden telah menggunakan wewenang
sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai
konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional karena dengan demikian
akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi. Pemberian tempat perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional merupakan
salah satu pencerminan penegakan konstitusi .
Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam
Konvensi Wina mengenai The Law of Treaty,
dasar mengikat perjanjian internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan perjanjian internasional diwadahi dalam
OPINIO JURIS
bentuk undang-undang. Kalau toh Indonesia
belum pernah melakukan akseptasi terhadap
The Law of Treaty tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk
memberlakukan perjanjian internasional dalam
hukum nasionalnya. Bagi negara yang tidak
pernah melakukan akseptasi terhadap The Law
of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan perjanjian internasional dengan negara lain
dan menerima ketentuan The Law of Treaty sebagai acuannya, maka The Law of Treaty dapat
dianggap secara substansi yang telah menjadi
kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber hukum international.
Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan
Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber
hukum dalam pengertian materiil dan sumber
hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya
hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk
memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia
substansi hukum yang memadai pada sumber
hukum formil, yaitu peraturan perundang-udangan yang ada. Sementara itu, hakim dilarang
menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur. Oleh
karena itu, hakim harus menemukan hukum.
Penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan
dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di
masyarakat yang salah satu di antaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang
tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat
dianggap sebagai sesuatu hal yang memang
selayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal
dan nasional tetapi juga di masyarakat international. Perjanjian internasional yang bersifat
multilateral dan kemudian banyak diratifikasi
oleh negara- negara di dunia, maka secara sub-
Volume 04 | Januari - April 2012
stantive dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak negara,
oleh karenanya hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam perjanjian interasional tersebut sebagai sumber hukum bagi
putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya
yaitu perjanjian internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk
kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya
negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti
bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima
sebagai sesuatu yang layak dan adil. Dengan
demikian kebiasaan internasional tersebut dapat
dirujuk oleh hukum nasional dalam rangka
memberi rasa keadilan melalui putusannya.
Di samping sumber hukum materiil, hakim
dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai
sumber hukum formil, yang utamanya adalah
undang-undang. Sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman hakim bahkan wajib untuk mendasakan putusannya pada undang-undang. Kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai
sumber hukum bagi hakim untuk memutus
perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum
formil perjanjian internasional yaitu undangundang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan perjanjian international secara substantive telah disetujui oleh lembaga yang secara
konstitusional diberi kewenangan untuk membuat perjanjian internasional yaitu Presiden
dengan memenuhi prosedur yang ditentukan.
Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional
atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain
yang terpisah dari undang-undang. Praktik di
Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai
15
Volume 04 | Januari - April 2012
sumber hukum didasarkan atas bentuk formil
undang-undang padahal bukan. Status perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan
ketentuan konstitusi lah yang menjadikan perjanjian internasional tersebut menjadi sumber
hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau statute
yang dibuat oleh Congres merupakan sumber
hukum bagi hakim, sedangkan perjanjian international tidak dituangkan dalam bentuk law
atau statute yang dibuat oleh Congres, tetapi
perjanjian internasional dibuat oleh Presiden
dengan persetujuan Senat. Namun demikian
Konstitusi Amerika menyatakan bahwa perjanjian internasional sebagai the law of the land.
Meskipun perjanjian internasional karena
sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya
dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah
dilihat sifat masing-masing norma yang terdapat dalam perjanjian internasional. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan
oleh pasal-pasal dari perjanjian internasional
mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang
berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik
disini pasal atau article III dari Convention on
Recognation and Enforcement of Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi, ”Each contracting state shall recognize arbitral award as
binding and enforce them in accordance with
the rule of procedure territory where the award
is relied upon under the condition laid down in
the following article“. Apabila Konvensi ini
diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya
mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnya hakim menerapkan langsung isi Pasal ini
jika ada permintaan pelaksanaan putusan arbitrasi asing asalkan dilaksanakan “under the
condition laid down in the following article“
sebagaimana disyaratkan Article III tersebut.
Hal demikian tentunya akan berbeda den16
OPINIO JURIS
gan pelaksanaan dari article yang terdapat
dalam United Nations Convention Against
Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam
UU No 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini
yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan,
”Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State
Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary
to establish asa criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment, that is,
a significant increase in the assets of public
official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income“.
Pasal atau article ini tidak dapat diterapkan oleh hakim karena jelas bahwa ketentuan
ini mewajibkan pemerintah untuk mengambil
langkah legislative lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai
perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan
kekayaan pejabat public yang sangat mencolok
yang tidak dapat diterangkan secara masuk
akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya.
Pengetahuan hakim tentang perjanjian
internasional diperlukan manakala hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada
kaitannya dengan perjanjian internasional.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian konstitusi tentang
kedudukan hukum perjanjian international
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden
karena Presiden adalah wakil negara
dalam berhubungan dengan negara lain.
2. Adanya klausula persetujuan DPR
dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi
OPINIO JURIS
perjanjian internasional adalah UU,
oleh karena itu diperlukan pengaturan
tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan UU.
3. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan
adanya persetujuan DPR untuk perjanjian
internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-hal yang berakibat pada
beban negara atau yang mengakibatkan
perlunya pembentukan dan perubahan UU,
bukan didasarkan atas pembedaan antara
perjanjian internasional publik dan privat.
4.Perjanjian internasional mempunyai
kekuatan hukum mengikat dan men-
Volume 04 | Januari - April 2012
jadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena
diwadahi dalam bentuk UU, sehingga
perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UU.
5. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi
yang terdapat perjianjian internasional
yang menimbulkan hak dan bersifat
self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan.
6.Pengesahan perjanjian internasional
dalam bentuk atau wadah UU menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya
perlu segera dibuat aturan yang baru.
17
Volume 04 | Januari - April 2012
OPINIO JURIS
MEMAHAMI ARTI UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL DI INDONESIA
Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.
Pendahuluan
Dalam filosofi pengintegrasian perjanjian
internasional ke dalam sistem hukum nasional,
baik Montesqiueu maupun L. Friedman menganasirkan bahwa ada hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.
Dalam teori pemisahan kekuasaan, Montesqiueu dengan tegas memisahkan antara tugas
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, di
dalam praktik ketatanegaraan, teori ini tidak
dapat diimplementasikan secara murni karena
berbagai hal terkait dengan kepentingan-kepentingan nasional yang strategis dan kekuasaan. Terkait dengan perjanjian internasional,
ada pembagian kewenangan yang nyata antara
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, di
mana lembaga eksekutif yang diwakili oleh
Presiden atau Perdana Menteri memiliki kewenangan dalam hal external affairs, sedangkan lembaga legislatif/parlemen lebih memiliki
kewenangan di bidang internal affairs. Dengan
kata lain, Presiden atau Perdana Menteri memiliki kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional, sedangkan
untuk lembaga legislatif/parlemen berwenang
untuk menyetujui atau menyetujui dengan
syarat atau menolak perjanjian internasional
yang dibuat dan telah diratifikasi oleh Presiden
atau Perdana Menteri. Teori Montesquieu ini
sejalan dengan pemahaman sistem hukum yang
diungkapkan oleh L. Friedman, yang mana ia
menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari
tiga komponen, yaitu substansi, struktur dan
kultur1. Hukum internasional pun merupakan
sebuah sistem hukum yang terdiri dari tiga
komponen di atas. Hubungan kasualitas antara
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif/parlemen dalam kaitannya dengan perjanjian internasional terimplikasi dalam komponen kedua,
yaitu struktur, di mana secara struktur hukum
internasional dan hukum nasional memiliki
kedudukan yang sejajar atau ko-ordinasi, bukan sub-ordinasi, sehingga setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh lembaga eksekutif
tidak serta merta dapat berlaku di dalam sistem
hukum nasional suatu negara sebelum mendapat
persetujuan dari lembaga legislatif/parlemen2.
Di Indonesia, jika mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengintegrasian perjanjian internasional
ke dalam sistem hukum nasional Indonesia melalui proses transformasi, di mana Pasal 9 Ayat
2 UU ini menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-
1
1
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation,
New York, hlm. 16.
2
Hasil analisis penulis setelah berdiskusi dengan para ahli hukum terkait dengan permasalahan filosofi hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional dikaitkan dengan pendapat dari L. Friedman.
18
OPINIO JURIS
undang atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden]. Secara filosofis, aplikasi UU
ini merupakan kelanjutan dari Surat Presiden
Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960
tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan
Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain. Hal
yang janggal dari Surat Presiden ini adalah di
dalam beberapa literatur hukum tata negara
maupun hukum internasional ditegaskan bahwa Surat Presiden ini merupakan hasil intepretasi hukum atas Pasal 11 UUD 1945. Hal ini
tentu saja sangat mengganggu karena secara
substansial menyalahi tatanan yang berlaku di
dalam teori Montesqiueu di mana kewenangan
untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan peraturan hukum baik nasional maupun internasional adalah lembaga yudikatif. 3
Lepas dari ketidakjelasan ini, dalam
pengintegrasian perjanjian internasional di Indonesia, dari sisi implementasi, khususnya di
pengadilan, masih banyak hakim yang belum
paham atau mungkin tidak mengerti apakah
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dapat digu-
Volume 04 | Januari - April 2012
nakan di pengadilan atau tidak. Pendapat dari
Hj. Suparti Hadhyono dalam artikelnya yang
berjudul Praktik Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim menjelaskan
bahwa hakim tidak terikat secara mutlak oleh
perjanjian internasional bila tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan
tertib hukum Indonesia maupun tidak sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia.4
Di dalam tulisan ini ada beberapa hal yang
dibahas dan sekaligus meluruskan beberapa
persepsi yang [mungkin] keliru terkait arti undang-undang pengesahan perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden bersama-sama
dengan DPR melalui undang-undang, atau
yang dibuat oleh Presiden saja melalui keputusan presiden [baca: peraturan presiden], apakah undang-undang pengesahan ini secara ipso
facto membuat perjanjian internasional yang
bersangkutan berlaku di Indonesia atau tidak.
Selain itu, pembahasan ini juga berusaha menjawab kebingungan para hakim terhadap eksistensi hukum internasional di Indonesia, apakah
dapat digunakan secara langsung ataukah seke-
1
3
Pendapat penulis setelah membaca beberapa makalah termasuk disertasi hukum milik Dr. Harjono M.C.L.
dari Universitas Airlangga di mana beliau memuat kata-kata “...lembaga eksekutif menafsirkan Pasal 11 UUD
1945...”
4
Hj. Suparti Hadhyono, “Praktek Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim, diambil dari
http://www.scribd.com pada tanggal 21 Juni 2010.
Kelemahan dari hakim-hakim di Indonesia adalah kata-kata seperti tidak sesuai dengan kondisi Indonesia,
tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia, tidak
didukung oleh kasus-kasus yang konkrit yang menunjukkan bahwa ini tidak sesuai dengan ini dan seterusnya.
Kelemahan ini akhirnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu seperti melanggengkan kekuasaan
atau tidak mematuhi kewajiban-kewajiban yang menjadi beban suatu pihak dengan menggunakan salah satu
alasan tersebut di atas. Dengan tidak adanya contoh konkrit maka kriterianya menjadi subyektif dari hakim sehingga dapat memunculkan konspirasi di antara para pihak dengan hakim-hakim. Berbeda dengan di Amerika
Serikat, kasus Laminoirs-Trefileries-Cableries de lens v. Southwire Company, pengadilan Georgia memutus
bahwa bunga bank sebesar 14,5% dan 15,5% per tahun adalah melanggar ketertiban umum di negara bagian
Georgia dan tidak dapat dilaksanakan karena nilai bunga bank yang diakui di negara bagian Georgia adalah
9,5% dan 10,5%.
19
Volume 04 | Januari - April 2012
dar a help tool bagi para hakim untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional.
Ketiadaan Pengaturan Kedudukan Perjanjian Internasional di dalam UUD
1945 dan Undang-Undang Lainnya
Mencirikan Ke-dualisme-an Indonesia
Dua aliran yang seringkali berdebat dalam
pembahasan perjanjian internasional adalah aliran monisme dan aliran dualisme. Pembahasan
kedua aliran ini hingga saat ini belum berakhir,
bahkan semakin melebar. Dr. Melda Kamil dari
UI berpendapat bahwa Indonesia adalah negara monisme karena di dalam UU Pengesahan
selalu dilampirkan perjanjian internasionalnya sehingga perjanjian internasional tersebut
dapat digunakan oleh para hakim di pengadilan
sebagai sumber hukum formal dalam menyelesaikan perkara5. Berpendapat sama tetapi berbeda pertimbangan, Dr. Damos Dumoli Agusman dari Kementerian Luar Negeri, beliau
melihat beberapa hakim secara berani menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional
sebagai dasar hukum untuk memutus perkara6. Pernyataan menarik ditegaskan oleh Dr. Eddy
Pratomo, Duta Besar Indonesia untuk Jerman,
OPINIO JURIS
menyampaikan teori kombinasi antara teori
monisme dan dualisme karena beliau menganggap tidak ada negara yang secara murni mengaplikasikan teori-teori tersebut dengan baik.7
Jika melihat praktik di negara-negara
lain, pada kenyataannya negara-negara tidak
melaksanakan faham yang dianut secara kaku
tetapi lebih disesuaikan dengan situasi dan
kondisi nasional dan kepentingan rakyat serta
tradisi hukum yang telah berkembang lama
di negara-negara tersebut. Amerika Serikat
selalu menganggap dirinya sebagai negara
monisme karena Pasal 6 Konstitusi Amerika
Serikat menentukan bahwa “...all Treaties...
shall be the supreme law of the land.” 8 Namun
demikian, dalam kondisi praktiknya, Amerika
Serikat cenderung dualisme karena ketika menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi
perjanjian internasional, Senat selalu mencantumkan RUDs yang mana salah satunya menyatakan bahwa perjanjian internasional tersebut bersifat non-self-executing sehingga tidak
dapat berlaku di pengadilan nasional Amerika Serikat9. Hal ini dilakukan untuk melindungi
peraturan-peraturan federal yang telah dibuat
sebelumnya dan menjaga tradisi hukum yang
1
5
Diungkapkan kepada penulis dalam sebuah diskusi kecil di Fakultas Hukum Universitas Surabaya pada
tahun 2009.
6
Diungkapkan kepada penulis dalam beberapa diskusi di Surabaya, termasuk pada pertemuan Kelompok Ahli
tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan
Tantangan Globalisasi”, di Hotel Novotel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011.
7
Diungkapkan kepada penulis pada saat pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan
Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel Novotel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011.
8
Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, 2000, International Law and Litigation in the U.S.,
West Group, U.S.A., hlm. 219-220.
9
Pendapat penulis setelah melakukan penelitian tentang implementasi perjanjian internasional di pengadilan
nasional Amerika Serikat dengan menelaah filosofi dari Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat.
20 OPINIO JURIS
telah berkembang lama di Amerika Serikat.10 Sebagai contoh adalah ICCPR di mana
pada saat Senat menyetujui keinginan Presiden
untuk meratifikasi ICCPR, Senat mengajukan
reservasi terhadap Pasal 6 Ayat 5 agar Pemerintah Amerika Serikat tetap dapat mengeksekusi
mati pelaku kejahatan di bawah umur. Selain
itu, Senat juga melampirkan sebuah deklarasi
yang menyatakan bahwa “[t]o clarify that the
Covenant will not create a private cause of action in U.S. courts.” Makna dari deklarasi ini
adalah bahwa ICCPR tidak dapat digunakan
secara langsung oleh hakim-hakim di pengadilan-pengadilan Amerika Serikat sebelum Kongres membuat implementing legislation yang
berupa peraturan hukum federal terkait dengan ketentuan-ketentuan yang ada di ICCPR.11
Perancis dan Belanda juga merupakan negara-negara monisme karena kedudukan hukum
internasional dengan jelas diatur di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka. Pasal 55 Konstitusi Perancis 1958 menentukan “Treaties
or agreements duly ratified or approved shall
upon publication, prevail over Acts of Parliament,...” Selanjutnya, Pasal 94 Konstitusi Belanda (Grundwet) menyatakan “Statutory legislations in force within the Kingdom shall not be
applicable if such application is in conflict with
provisions of the treaties that are binding on all
persons or resolutions by international organizations.” Demikian pula dengan Konstitusi Rusia, di mana Pasal 15 Ayat 4 menetapkan bahwa:
“The general recognized principles and norms
1
Volume 04 | Januari - April 2012
of international law and the international treaties of the Russian Federation shall constitute
part of its legal system. If an international
treaty of the Russian Federation established
other rules than those stipulated by the law,
the rules of international treaty shall apply.”
Dari keempat contoh negara-negara di
atas, dari sisi teori dapat ditarik garis lurus
bahwa ke-monisme-an keempat negara tersebut terlihat dari adanya pengaturan kedudukan hukum internasional di dalam konstitusi masing-masing negara, yang mana
keutamaan diberikan pada hukum internasional.
Sebaliknya, ada negara-negara yang memang
tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam
konstitusi-konstitusi negara mereka karena
keutamaan diberikan kepada hukum nasional, seperti Australia, Kanada dan Jerman,
namun hakim tetap diberi keleluasaan menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional
sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan
peraturan hukum nasional yang secara substansial tidak jelas atau bertentangan dengan
maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh
perjanjian internasional yang telah diratifikasi.
Bagi negara-negara ini, pemberlakuan
perjanjian internasional yang telah diratifikasi
harus melalui proses transformasi, di mana
hukum internasional ditransformasikan ke
dalam hukum nasional terlebih dahulu sebelum dapat digunakan di pengadilan. Istilah lain
yang sering digunakan adalah pemberlakuan-
10
Lori Fisler Damrosch, 1991, “The Role of the U.S. Senate concerning “Self-Executing and Non-SelfExecuting” Treaties”, 67 Chi-Kent L. Rev., hlm. 520.
11
Chrissy Fox, 2003, Implication of the U.S.’ Reservations and NSE Declaration to the ICCPR for Capital
Offenders and Foreign Relations, Comments, 11 Tul. J. Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of International
and Comparative Law, hlm. 304-308.
21
Volume 04 | Januari - April 2012
nya harus menggunakan implementing legislation. Makna implementing legislation itu
sendiri berupa peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh lembaga legislatif/parlemen
yang merupakan hasil dari proses transformasi
perjanjian internasional ke dalam peraturan
perundang-undangan nasional. Baik di Australia, Kanada dan Jerman, hasil transformasi dari
perjanjian internasional yang telah diratifikasi
dan disetujui oleh lembaga legislatif/parlemen
adalah berupa peraturan hukum federal. Secara
umum, keutamaan hukum di ketiga negara ini
adalah hukum nasional, bukan hukum internasional, sehingga hukum internasional tidak
dapat digunakan oleh para hakim sebagai sumber hukum langsung dalam memutus perkara,
kecuali ada implementing legislation-nya.12
Proses transformasi dan penggunaan implementing legislation tersebut merupakan
ciri khusus dari ke-dualisme-an negara-negara
tersebut di atas. Selain itu pula, ketiadaan pengaturan hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka juga menjadi ciri lain dari
sifat dualisme ketiga negara tersebut. Penjelasan lain seringkali dapat ditelaah dari putusanputusan pengadilan ketika hakim memutuskan
konflik antara hukum internasional dan hukum
nasional dalam kasus-kasus, seperti kasus P.P.
OPINIO JURIS
v. Wah Ah Jee13 di Malaysia, di mana Pengadilan menyimpulkan bahwa “The Courts here
must take the law as they find it expressed in
the Enactment. It is not the duty of a judge or
magistrate to consider whether the law so set
forth is contrary to international law or not.” 14
Di Indonesia pernah terjadi kerancuan
dalam memahami istilah implementing legislation, dan anehnya yang tidak paham arti
implementing legislation adalah Mahkamah
Agung sendiri ketika menangani kasus PT.
Nizwar v. NMB pada tahun 1981. Ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyetujui sita
eksekutorial yang diajukan oleh NMB atas
putusan Pengadilan Arbitrase London, Pengadilan mendasarkan pada pertimbangan bahwa
Konvensi Jenewa 1927 yang diratifikasi oleh
Pemerintah Belanda, juga berlaku di Indonesia. Kemudian, PT. Nizwar mengajukan kasasi
dan Mahkamah Agung menganulir putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menyatakan “Dengan dikeluarkannya Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tidak serta
merta membuat Konvensi New York 1958
berlaku di Indonesia sebelum ada peraturan
pelaksananya (implementing legislation).”15
Pembentukan implementing legislation
atau peraturan pelaksana menjadi kewenangan penuh dari lembaga legislatif/parlemen
1
12
Hasil penelitian penulis ketika menulis disertasi hukum yang berjudul “Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional” di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
Lihat: P.P. v. Wah Ah Jee, FMS Supreme Court (1919) 2 FMSLR 193.
14
Abdul Ghafur Hamid & Khin Maung Sein, “Judicial Application of International Law in Malaysia: A Critical Analysis”, The 2nd Asian Law Institute (ASLI) Conference, Chulalongkorm University, Bangkok, Thailand, tanggal 26-27 Mei 2005, hlm. 8.
15
Sudargo Gautama, 1992, Indonesia dan Arbitrase Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 68-71.
22
OPINIO JURIS
karena peraturan pelaksana selalu berupa
undang-undang atau Acts of Parliament. Sebenarnya Mahkamah Agung telah benar ketika
menyatakan bahwa Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 bukan peraturan pelaksana
dari Konvensi New York 1958 karena fungsi
dari UU Pengesahan tersebut bukan untuk
membuat Konvensi New York 1958 berlaku
di Indonesia, tetapi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak keliru karena Pengadilan menggunakan Konvensi Jenewa 1927 dan
Konvensi New York 1958 sebagai alat bantu
untuk menginterpretasikan peraturan hukum
nasional dan memahami kewajiban-kewajiban
internasional yang diemban oleh Indonesia
melalui kedua perjanjian internasional tersebut. Kekeliruan Mahkamah Agung adalah
membuat PERMA Nomor 1 Tahun 1990 dan
menyatakannya sebagai peraturan pelaksana
dari Konvensi New York 1958 karena pembentukan peraturan pelaksana atau implementing
legislation bukan kewenangan dari Mahkamah Agung, melainkan kewenangan dari DPR.
Di Indonesia, Pasal 11 UUD 1945 sama
sekali tidak memberikan pernyataan apapun
terkait dengan kedudukan hukum internasional
di dalam sistem hukum nasional dan konflik di
antara kedua sistem hukum tersebut. Pasal 11
UUD 1945 hanya mengatur tentang hubungan
antara Presiden dan DPR dalam hal membuat
perjanjian internasional dengan negara lain, di
mana Presiden harus mendapat persetujuan dari
DPR ketika membuat perjanjian internasional
dengan negara-negara lain. Penjelasan lebih
lanjut mengenai perjanjian internasional seperti
apa yang harus mendapat persetujuan dari DPR
Volume 04 | Januari - April 2012
diatur di dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, dan dilanjutkan dengan Pasal 11 terkait dengan perjanjian-perjanjian tertentu yang boleh melalui
keputusan presiden [baca: peraturan presiden]
seperti yang diatur di dalam Pasal 9 Ayat 2 UU ini.
Selanjutnya, UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan juga tidak mencantumkan hukum
internasional di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang mana
Pasal 7 dari UU ini hanya menetapkan UUD
1945, Tap MPR, UU/PERPPU, PP, Perpres,
Perda Propinsi dan Perda kabupaten/kota.
Ketidakhadiran hukum internasional secara
eksplisit di dalam UUD 1945 maupun UU sebenarnya menjelaskan ke-dualisme-an Indonesia karena keutamaan hukum yang digunakan
sebagai sumber hukum formal bagi hakim
adalah hukum nasional, bukan hukum internasional. Jika banyak komentar dari berbagai pihak bahwa hukum internasional tidak berlaku di
Indonesia karena tidak pernah atau jarang digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum dalam
memutus perkara adalah tidak benar. Kondisi
ketatanegaraan di Indonesia, menurut penulis,
adalah sangat unik karena Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan secara murni tetapi juga tidak menganut sistem pemisahan
kekuasaan secara checks and balances. Indonesia punya model sistem pemisahan kekuasaan
tersendiri yang jika ditelaah secara mendalam,
model tersebut agak “melenceng” dari model yang ada dan dianut di berbagai negara.16
Sebagai contoh perbandingan adalah Kanada di mana negara ini menggunakan sistem pe-
1
16
Kata “melenceng” dari penulis merupakan penekanan atas fungsi tiga (3) lembaga tinggi negara yang saling tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangannya, yang mana Pemerintah Eksekutif melakukan penafsiran hukum, DPR melakukan fungsi layaknya Pemerintah Eksekutif, dan Pengadilan membuat peraturanperaturan hukum seperti DPR.
23
Volume 04 | Januari - April 2012
misahan kekuasaan secara murni, yang mana
kewenangan untuk membuat dan meratifikasi
perjanjian internasional atau persetujuan-persetujuan lain selain perjanjian internasional
dimiliki oleh Pemerintah Federal tanpa sedikitpun keterlibatan Parlemen Federal. Namun
demikian, Pemerintah Federal tidak dapat
memaksakan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi untuk diberlakukan
di wilayah Kanada tanpa adanya persetujuan
dari Parlemen Federal atau Propinsi jika menyangkut kepentingan-kepentingan wilayah
propinsi.17
Berbeda dengan Amerika Serikat yang
menggunakan sistem pemisahan kekuasaan
checks and balances, di mana Presiden hanya
sampai tahap membuat perjanjian internasional
atau persetujuan internasional lainnya selain perjanjian internasional, namun pada saat tahap ratifikasi, Presiden harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Senat, jika itu perjanjian internasional (treaty), dan mendapat persetujuan
dari Kongres, jika itu executive agreements18.
Indonesia kurang lebih mirip dengan
Amerika Serikat dalam proses tahap awal, yaitu persetujuan dari DPR ketika Presiden akan
meratifikasi perjanjian internasional, tetapi
agak kehilangan checks and balances-nya
ketika proses persetujuannya menggunakan
keputusan presiden [baca: peraturan presiden]
karena tidak ada proses kontrol di awal dari
DPR meskipun dalam penjelasan Pasal 11 UU
Nomor 24 tahun 2000 memberikan kewenangan kepada DPR untuk meminta pembatalan
dari perjanjian internasional yang dipandang
OPINIO JURIS
merugikan kepentingan nasional, dan Pasal
18 huruf (h) UU yang sama. Akan tetapi, ini
adalah hal yang sulit untuk dilakukan apalagi
jika perjanjian internasional tersebut telah berlaku karena pembatalan secara unilateral suatu
perjanjian internasional merupakan pelanggaran prinsip pacta sunt servanda dan dapat
memunculkan pertanggungjawaban negara.
Undang-Undang Pengesahan Perjanjian
Internasional dan Keputusan Presiden
[baca: Peraturan Presiden] bukan merupakan Landasan Hukum bagi Berlakunya Perjanjian Internasional di Indonesia
Keunikan dari sistem ketatanegaraan Indonesia terkait dengan pengintegrasian perjanjian internasional adalah terletak pada UU
Pengesahan Perjanjian Internasional di mana
UU Pengesahan ini, menurut banyak pakar,
baik hukum tata negara maupun hukum internasional, merupakan landasan hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia,
meskipun dalam kenyataannya ternyata tidak.
Jika menelaah Pasal 9 Ayat 2 UU Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengesahan perjanjian internasional dapat
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden], maka
keputusan presiden [baca: peraturan presiden]
pun juga bukan merupakan landasan hukum
bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia. Penjelasan filosofis untuk keputusan
presiden [baca: peraturan presiden] ini agak sulit karena keberadaan keputusan presiden [baca:
1
17
18
George Slyz, 1997, “International Law in National Courts”, 28 N.Y.U. J. Int’l. & Pol. 65, hlm. 77-82.
Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, loc. cit.
24 OPINIO JURIS
peraturan presiden] ini sama sekali tidak sesuai
dengan sistem checks and balances seperti yang
berlaku di Amerika Serikat. Dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 hanya menjelaskan
mengenai perjanjian-perjanjian yang dianggap
penting (treaties) yang memerlukan persetujuan dari DPR, sedangkan perjanjian-perjanjian
yang dianggap tidak penting (agreements) akan
disampaikan kepada DPR untuk diketahui.
Substansi yang ditulis di dalam Surat
Presiden tersebut sebenarnya tidak benar juga
karena dalam diskusi dengan Dr. Damos Dumoli Agusman, yang namanya perjanjian internasional itu tidak dapat dilihat sampul mukanya
saja atau nomeclature-nya tetapi harus melihat
isinya atau merit-nya sehingga persetujuanpersetujuan (agreements) atau risalah-risalah
rapat (agreed minutes) atau yang lainnya pun
bisa dianggap perjanjian internasional jika
substansinya memberikan hak dan kewajiban
kepada negara-negara. Sebagai contoh adalah
kasus antara Qatar v. Bahrain pada tahun 1990
di mana dalam risalah rapat yang ditandatangani oleh para Menteri Luar Negeri negara Qatar, Bahrain dan Arab Saudi menyetujui bahwa
Qatar dan Bahrain setuju untuk melanjutkan
good offices dari Arab Saudi atas sengketa dua
Masjid Suci sampai dengan bulan Mei 1991.
Selanjutnya, setelah masa tenggang waktu
good offices selesai maka para pihak setuju
untuk memasukkan permohonan kepada ICJ.
Setelah Mei 1991, Qatar memasukkan permohonan kepada ICJ tetapi ditolak oleh Bahrain
karena Bahrain menganggap bahwa Risalah
Rapat (Minutes) 1990 tidak dapat dikategorikan
sebagai instrumen internasional yang bersifat
mengikat negara, dengan bersikap bahwa “Bahrain maintains that the 1990 Minutes do not
Volume 04 | Januari - April 2012
constitute a legally binding instrument. It was
no more that a simple record of negotiations…
did not rank as an international agreement.”
Namun, ICJ menolak sikap Bahrain dengan
merujuk pada kasus Aegean Sea Continental
Shelf pada tahun 1978 dengan menyatakan:
“…The Minutes are not a simple record of a
meeting; they do not merely give an account
of discussion and summarize points of agreement and disagreement. They enumerate the
commitments to which the Parties have consented. They thus create rights and obligations in international law for the Parties.
They constitute an international agreement.”
Pada akhirnya, ICJ berkesimpulan bahwa “the Minutes of 25 December 1990, like
the exchange of letters of December 1987,
constitute an international agreement creating rights and obligations for the parties.”
Kasus yang menarik terkait dengan UU
Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia adalah ketika Pemerintah RI c.q. Kementerian Luar Negeri RI digugat oleh beberapa
LSM di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pemohon tertarik untuk mengajukan
constitutional review terhadap UU Nomor 38
Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN karena, menurut pemohon, keberadaan UU
Pengesahan ini telah membuat norma-norma
hukum di dalam Piagam ASEAN telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia.
Pengajuan constitutional review terhadap UU
Pengesahan ini menjadi bukti adanya ketidakpahaman dari pihak-pihak tertentu atas status hukum dari UU Pengesahan Perjanjian
Internasional. Selain itu, permohonan ini juga
mengindikasikan mengenai ketidakpahaman
pihak-pihak tertentu tersebut terhadap mak25
Volume 04 | Januari - April 2012
na dari Pasal 11 UUD 1945 dan keberadaan
UU Pengesahan Perjanjian Internasional ini
di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.19
UU Pengesahan Perjanjian Internasional
di Indonesia sama sekali tidak berhubungan
langsung dengan pemberlakuan norma-norma
hukum internasional ke dalam bagian hukum
nasional Indonesia karena UU Pengesahan ini
hanyalah merupakan, jika kita melihat Pasal 11
UUD 1945 juncto Pasal 9 Ayat 1 UU Nomor
24 Tahun 2000, bentuk formal dari persetujuan DPR kepada Presiden dalam kaitannya
dengan treaty-making power, bukan Pasal 20
UUD 1945 dalam hal legislative power. Kewenangan untuk membuat dan meratifikasi
perjanjian internasional mutlak dimiliki oleh
Presiden, tetapi ketika Presiden akan meratifikasi, Presiden wajib mendapat persetujuan
dari DPR. Persetujuan ini memiliki implikasi
yang besar karena DPR pasti tidak hanya
menyetujui keinginan Presiden begitu saja,
namun DPR dapat mengajukan persetujuan
dengan syarat, seperti reservations, understandings dan declarations, atau bahkan DPR
dapat menolak keinginan Presiden tersebut.
Prosedur pendaftaran dan penyimpanan
dokumen ratifikasi, seperti yang diatur di dalam
Pasal 102 Piagam PBB, tidak serta merta dapat
membuat perjanjian internasional berlaku di
1
19
OPINIO JURIS
negara yang bersangkutan karena ada kalanya
pendaftaran dan penyimpanan tersebut hanya
untuk membuat perjanjian internasional tersebut entry into force atau istilah lainnya ratification in international sense, namun bisa juga
pendaftaran dan penyimpanan dokumen ratifikasi tersebut merupakan awal berlakunya perjanjian internasional tersebut di negara yang
bersangkutan, kecuali ditentukan lain, seperti
adanya deklarasi non-self-executing treaty atau
kewajiban untuk mempublikasikan terlebih dahulu pada lembaran negara dan sebagainya20.
Substansi dalam UU Pengesahan perjanjian
internasional di Indonesia sangat singkat, hanya terdiri dari dua (2) pasal, kemudian di dalam
UU Pengesahan tersebut terdapat lampiran
berupa perjanjian internasional. Hal yang menarik di dalam UU Pengesahan ini adalah substansi Pasal 2 yang menyatakan bahwa UU ini
berlaku pada saat tanggal diundangkan. Kata
“berlaku” di sini menimbulkan berbagai macam
interpretasi akademik di kalangan akademisi,
khususnya hukum tata negara dan hukum internasional. Ada yang beranggapan bahwa kata
“berlaku” menunjukkan bahwa UU Pengesahan ini yang memberikan kekuatan hukum pada
perjanjian internasional sehingga dengan dilampirkannya perjanjian internasional di dalam UU
Pengesahan tersebut maka hakim-hakim dapat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 perihal Pengujian UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations
(Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap UUD 1945.
20
Praktik di Perancis dan Belanda di mana perjanjian internasional yang telah disetujui oleh Parlemen dan
didaftarkan untuk disimpan di Sekretariat Jenderal PBB atau di tempat yang ditentukan, tetap tidak dapat
diterapkan oleh hakim-hakim sebelum dipublikasikan di dalam lembaran negara di masing-masing negara.
Demikian pula praktik di Amerika Serikat, jika Senat menyatakan bahwa perjanjian internasional tersebut
bersifat non-self-executing maka hakim-hakim di Amerika Serikat tidak dapat menggunakannya sebelum adanya implementing legislation yang berupa peraturan hukum federal yang dikeluarkan oleh Kongres.
26 OPINIO JURIS
menggunakan perjanjian internasional tersebut
sebagai dasar hukum untuk memutus perkara,
dengan kata lain, Indonesia adalah negara monisme. Selanjutnya, kata “berlaku” ada yang
memaknai bahwa UU Pengesahan ini baru berlaku bagi Presiden untuk membuat dokumen
ratifikasi pada tanggal yang ditetapkan tersebut,
dengan kata lain, setelah disahkan maka UU
Pengesahan tersebut dijadikan legal basis bagi
Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi.
Filosofi sistem ketatanegaraan Indonesia
dalam hubungannya dengan perjanjian internasional sebenarnya sangat jelas dan tegas
bahwa praktik yang dianut oleh Indonesia
adalah sistem dualisme sehingga perjanjian
internasional apapun yang telah diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat diberlakukan secara langsung oleh hakim di pengadilan karena harus ditransformasikan terlebih
dahulu ke dalam bentuk peraturan perundangundangan yang diakui di Indonesia, dalam
hal ini adalah undang-undang. Dengan kata
lain, semua perjanjian internasional bersifat
non-self-executing sehingga pemberlakuannya harus menggunakan implementing legislation yang berupa undang-undang. Dengan demikian, kata “berlaku” yang terdapat
1
Volume 04 | Januari - April 2012
di dalam Pasal 2 UU Pengesahan sebenarnya
ditujukan kepada Pemerintah dan DPR, yang
mana ketika kedua lembaga tinggi negara ini
berkolaborasi dalam pembuatan rancangan
undang-undang, mereka harus mengingat kembali dan melihat bahwa ada norma-norma hukum internasional yang telah mereka setujui
bersama yang harus diberlakukan di Indonesia21. Sebagai contoh adalah ketentuan-ketentuan dari Berne Convention for the Protection
of Literary and Artistic Works yang disahkan
melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun
1997 yang kemudian dijabarkan di dalam UU
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan
materi-materi dalam UN Convention on Climate Change yang diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia melalui UU Nomor 6 Tahun 1994
mulai berlaku efektif setelah diundangkan
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.22
Dari kedua contoh tersebut maka semakin
jelas ke-dualisme-an Indonesia bahwa perjanjian internasional tidak dapat digunakan secara
langsung di pengadilan tetapi implementing legislation-nya yang digunakan oleh para hakim
untuk memutus perkara. Meskipun demikian,
kaidah-kaidah hukum internasional tetap boleh
21
Pemahaman penulis saat menelaah substansi undang-undang pengesahan dan keputusan presiden [baca:
peraturan presiden] terkait dengan pengesahan perjanjian internasional dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hukum
internasional dikenal dengan istilah transformasi soft dan hard, dan praktik Indonesia lebih mengarah pada
transformasi hard karena kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan hukum di tangan DPR, meskipun
inisiasi pembentukannya juga bisa dilakukan oleh Pemerintah. Ini merupakan salah satu penemuan hukum
penulis ketika menulis disertasi hukum di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
22
Contoh-contoh ini disampaikan dalam slideshow powerpoint di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
sebagai Keterangan Ahli yang mewakili Pemerintah c.q. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pemahaman ini juga merupakan hasil diskusi dengan Bapak Abdul Kadir dan Bapak Rahmat Budiman di Direktorat
Perjanjian Internasional di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
27
Volume 04 | Januari - April 2012
digunakan oleh hakim-hakim sebagai alat bantu untuk melakukan interpretasi hukum terhadap pasal-pasal dalam undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
dari perjanjian internasional, seperti masalahmasalah yang terkait dengan hukuman atas
pelanggaran perikanan di ZEE negara pantai, di
mana pasal 73 Ayat 3 UNCLOS 1982 menentukan bahwa “Coastal State penalties for violation of fisheries laws and regulations in the EEZ
may not include imprisonment, in the absence
of agreements to the contrary by the States
concerned, or any other form of corporal punishment.” Namun, jika peraturan hukum dari
suatu negara terkait dengan pelanggaran perikanan tersebut memberikan sanksi pidana kurungan atau penjara, maka hakim dapat menggunakan UNCLOS 1982, jika mau, sebagai a
help tool untuk menginterpretasikan peraturan
hukum nasional yang tidak sesuai tersebut.23
Implementasi Kaidah-Kaidah Hukum Internasional di Pengadilan Nasional Indonesia:
Hukum Internasional sebagai A Help Tool
bagi Hakim-Hakim untuk Melakukan Interpretasi Hukum
Berbicara implementasi kaidah-kaidah hukum internasional di Indonesia sebenarnya tidak terlalu menjadi beban bagi para hakim di
Indonesia karena para hakim memang tidak diwajibkan untuk menggunakan hukum internasional sebagai salah satu sumber hukum yang
dipakai untuk memutus perkara karena tidak
dikenal dalam hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia, khususnya di dalam
OPINIO JURIS
Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Namun, jika hakim-hakim mau, hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia tetapi belum ditransformasikan ke
dalam bentuk undang-undang, mereka dapat
menggunakan pasal-pasal di dalam perjanjian internasional tersebut sebagai alat bantu
untuk menginterpretasikan peraturan hukum
nasional yang tidak linier dengan kewajibankewajiban internasional yang diatur dalam
perjanjian internasional tersebut. Jika tidak
mau, maka kaidah-kaidah hukum internasional tersebut tidak mungkin dapat diterapkan
dan tentu saja tidak berlaku secara efektif di
pengadilan-pengadilan nasional Indonesia.
Yang menjadi ironi adalah pengetahuan
hakim-hakim tentang perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, khususnya bagi mereka yang
berada jauh sekali dari pusat pemerintahan,
apakah mereka memahami tentang kewajibankewajiban internasional yang diemban oleh Indonesia sebagai konsekuensi dari peratifikasian
perjanjian-perjanjian internasional tersebut.
Tugas hakim adalah tugas yang sangat mulia
karena seluruh pertanggungjawaban atas putusan-putusannya kepada Tuhan. Bahkan ada
adagium yang mengatakan bahwa putusan hakim tidak pernah salah alias selalu benar karena
hakim berusaha mendapatkan kebenaran yuridis, bukan kebenaran empiris, sehingga yang
dapat menganulir putusan hakim adalah hakim
yang memiliki kedudukan lebih tinggi, bukan
pendapat masyarakat. Namun demikian, fungsi
1
23
Hasil diskusi dengan Prof. Craig Allen, University of Washington Law School, Seattle, W.A. – U.S.A.
28
OPINIO JURIS
hakim tidak hanya untuk menegakkan hukum
saja, tetapi juga menegakkan keadilan24. Profesor Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum itu tidak berada pada ruang yang hampa25. Orang mencuri pasti ada alasannya sehingga
konstruksi berfikir dalam menegakkan hukum
tentu saja sangat berbeda dengan konstruksi
berfikir dalam menegakkan keadilan, jika konstruksi berfikir menegakkan hukum melihat dari
sisi perbuatan, sedangkan konstruksi berfikir
menegakkan keadilan menelaah dari sisi alasanalasan mengapa perbuatan tersebut dilakukan26.
Hakim dalam memutus perkara harus mendasarkan pada konstruksi berfikir hukum yang
obyektif, bukan pada ketenaran atau kepentingan pribadi. Seringkali ketika hakim-hakim di
Indonesia harus memberi vonis hukuman mati
kepada terdakwa, mereka selalu mengatakan
bahwa kami sangat berhati-hati memutus dan
telah menjalankan sholat tahajud dan istiqarah
semalaman. Bagi saya, hal tersebut sama sekali
sekali tidak ada kaitannya dengan putusan hukum mati karena saya yakin bahwa Tuhan tidak
akan datang dan membisikkan sesuatu kepada
hakim-hakim tersebut. Tanpa harus menjalankan ibadah seperti itu, hakim-hakim sah-sah saja
memberikan putusan mati kepada seorang terdakwa, jika putusan tersebut obyektif dan mem-
Volume 04 | Januari - April 2012
pertimbangkan dan menelaah putusan-putusan
hakim dalam kasus-kasus sebelumnya yang serupa sehingga vonis mati tersebut memang pantas dan tidak melanggar rasa keadilan. Sebagai
perbandingan, di Amerika Serikat semua kategori first degree murders pasti akan mendapatkan hukuman mati meskipun pelakunya adalah
anak-anak karena Pasal 6 Ayat 5 ICCPR telah
direservasi oleh Senat Amerika Serikat ketika memberikan persetujuan kepada Presiden saat akan meratifikasi Kovenan tersebut.
Kasus Suresh27 di Kanada menunjukkan
bahwa hakim memiliki peran yang sangat vital dalam mengimplementasikan norma-norma
hukum internasional dan memiliki kebebasan
dalam membuat interpretasi hukum sehingga
peraturan-peraturan hukum nasional Kanada
yang substansinya tidak sesuai dengan hukum
internasional dapat dianulir dan dinyatakan tidak berlaku oleh hakim28. Demikian pula di
Perancis, dalam kasus Cinar, ketika ada peraturan hukum nasional yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dalam hukum
internasional, hakim di Pengadilan Kasasi
Perancis (Counseil d’Etat) tidak segan-segan
menganulir putusan pengadilan di bawahnya
karena tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
yang diatur di dalam Pasal 3 Ayat 1 Konvensi
1
Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu
Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence)-Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya Sakti, Bandung, hlm.
44-45.
25
Ibid., hlm. 51-53.
26
Pemahaman penulis setelah membaca berbagai macam literatur hukum yang membahas sociological legal
jurisprudence dan pure legal theory.
27
Lihat: Suresh v. Canada, 2002, SCC 1. File No. 27790.
28
Hugh M. Kindred, The Challenge of Internalizing International Convention Law: The Expereince of Australia, England and Canada with Ratified Treaties, dalam Christopher P.M. Waters (Ed.), 2006, British and
Canadian Perspectives on International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden/Boston, hlm. 402-403.
24
29
Volume 04 | Januari - April 2012
Hak Anak, khususnya pada bagian “the best
interest of the child”29 Selanjutnya, dalam
beberapa kasus di Australia, beberapa hakim
menolak menggunakan hukum internasional,
seperti kasus Chow Hung Ching 30 di mana hakim Dixon mengatakan bahwa “International
law is not part but is one of the source of our
law.”31 Kemudian kasus Chung Chi Cheung32
di mana hakim Starke menyatakan bahwa agar
peraturan hukum internasional menjadi sah
sebagai bagian dari hukum nasional maka peraturan hukum internasional tersebut harus “be
accepted and adopted by our domestic law.”33
Ke-dualisme-an Australia ini diulang oleh hakim Kirby dalam kasus Jago 34 dan kasus Chacia35, di mana ia berpendapat hukum bahwa:
“It would be an “error” to incorporate
international human rights law, as such,
into Australian domestic law, it was appropriate to use statements of international
law as a “source” of filling a lacuna in
the common law of Australia or for guiding the courts as to practice of Australian courts as to proper construction of
the legislature provision in question.” 36
Namun, dengan ke-dualisme-an Australia
1
OPINIO JURIS
tersebut tidak berarti bahwa hukum internasional tidak berkembang dengan baik karena
hukum internasional tetap menjadi rujukan
bagi hakim untuk menginterpretasikan peraturan-peraturan hukum di Australia. Salah
satu kasus yang cukup menarik terkait dengan
hukum internasional adalah kasus Teoh37 pada
tahun 1995 di mana hukum nasional Australia
diinterpretasikan oleh hakim Mason dan hakim Deane linier dengan Konvensi Hak Anak,
dengan pertimbangan bahwa hukum keimigrasian Australia harus sesuai dengan ketentuanketentuan hukum internasional yang telah
disetujui dan diterima oleh Pemerintah Commonwealth Australia meskipun Konvensi Hak
Anak belum disetujui oleh Parlemen Commonwealth Australia dan ditransformasikan
ke dalam peraturan hukum federal Australia. 38
Adapun alasan-alasan hukum dari High
Court dalam kasus tersebut antara lain:
“(1) Where a statute or sub-ordinate legislation is ambigious, the courts should favor that construction which accords with
Australia’s obligations under a treaty or
international convention to which Australia is a party, dan (2) The provisions
Roger Errera, 1997, “Convention on the Rights of the Child-Distinction between Self-Executing and NonSelf-Executing Articles”, Case Comment, P.L. 1997, Win, 723-725, hlm. 723-724.
30
Lihat: Chow Hung Ching v. R., (1948) 77 CLR 449.
31
Rosaline Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard Piotrowicz & Martin
Tsamenvi (Ed.), 2005, Public International Law: An Australian Perspective, Second Edition, Oxford University Press, Victoria, hlm. 117-118.
32
Lihat: Chung Chi Cheung v. R., (1938) AC 160.
33
Rosaline Balkin, op. cit., hlm. 118.
34
Lihat: Jago v. NSW, (1989) 168 CLR 23.
35
Lihat: Cachia v. Hanes, (1991) 23 NSWLR 304.
36
Rosaline Balkin, op. cit., hlm. 119.
37
Lihat: Teoh v. Commonwealth, (1995) 128 ALR 353.
38
Michael Legg, 2002, “Indigenous Australians and International Law: Racial Discrimination Genocide and
Reparations”, 20 Berkeley J. Int’l L. 387, hlm. 392.
29 30 OPINIO JURIS
of an international convention to which
Australia is a party, especially one which
declares universal fundamental rights,
may be used by the courts as a legitimate
guide in developing the common law.” 39
Sistem peradilan nasional Indonesia harus
berubah dan berkembang ke arah yang lebih
baik karena saat ini batas antar negara sudah semakin terbuka, artinya bahwa keluar masuknya
barang, jasa dan orang dari satu negara ke negara lain semakin mudah sehingga memerlukan
hakim-hakim yang mampu dan memiliki pengetahuan hukum yang berdimensi internasional. Hakim-hakim di Indonesia tidak bisa hanya
mengandalkan peraturan-peraturan hukum
nasional karena kasus-kasus yang berdimensi
internasional yang ada di Indonesia semakin
banyak, apalagi Indonesia terlibat dalam komunitas ASEAN, AFTA dan GATT serta berbagai
kerjasama internasional lainnya. Oleh karena
itu, hakim-hakim harus memperkaya diri mereka dengan kemampuan hukum internasional
dengan mengetahui perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga para hakim juga memahami kewajiban-kewajiban internasional yang
harus diemban oleh Indonesia sebagai negara
pihak dari perjanjian-perjanjian tersebut.
Kesimpulan
Ke-dualisme-an Indonesia tercermin dari tidak diaturnya kedudukan hukum internasional di dalam UUD 1945 dan UU sehingga ini
secara tidak langsung mendudukkan hukum
nasional sebagai primat utama dalam sistem
1
Volume 04 | Januari - April 2012
peradilan nasional di Indonesia. Lebih lanjut,
ke-dualisme-an Indonesia terlihat dari sumber
hukum formal bagi hakim-hakim di Indonesia
untuk memutus perkara yang terdapat dalam
Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada akhirnya, ke-dualisme-an Indonesia tampak dari pentransformasian perjanjian
internasional ke dalam peraturan hukum nasional melalui metode hard transformation.
UU Pengesahan perjanjian internasional
bukan bentuk dari transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum nasional
di Indonesia karena fungsi dari UU Pengesahan tersebut hanya sebagai bentuk persetujuan
DPR kepada Presiden yang akan meratifikasi
perjanjian internasional. Selain itu, dengan UU
Pengesahan ini, Presiden dapat memanfaatkannya sebagai legal basis untuk membuat dokumen ratifikasi. Kata “berlaku” yang selalu tercantum pada Pasal 2 UU Pengesahan memiliki
makna, bukan bagi rakyat atau lembaga yudikatif, bagi Pemerintah dan DPR bahwa ada perjanjian internasional yang telah mereka setujui
bersama yang mana ketentuan-ketentuannya
harus ditransformasikan ke dalam sebuah peraturan hukum di Indonesia. Oleh karena itu,
permohonan pembatalan terhadap UU Nomor
38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam
ASEAN di Mahkamah Konstitusi adalah tidak
benar karena UU Pengesahan ini merupakan
praktik dari treaty-making power antara Presiden dengan DPR yang diatur di dalam Pasal
11 UUD 1945, bukan Pasal 20 UUD 1945
dalam kaitannya dengan legislative power. Ketidakhadiran ketentuan-ketentuan hukum
39
ibid.
31
Volume 04 | Januari - April 2012
internasional di dalam sistem peradilan nasional Indonesia bukan berarti mengurangi arti
peratifikasian Pemerintah Indonesia terhadap
perjanjian-perjanjian internasional karena sebagian besar peraturan-peraturan hukum internasional telah digejahwantahkan ke dalam berbagai macam undang-undang. Namun demikian,
bagi ketentuan-ketentuan hukum internasional
yang belum ditransformasikan ke dalam bentuk 32
OPINIO JURIS
undang-undang, adalah menjadi kewenangan
hakim-hakim Indonesia, jika mau, sebagai a
help tool untuk melakukan interpretasi hukum
atas semua peraturan hukum nasional yang
substansinya tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan awal dari perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Jika tidak mau,
maka ketentuan-ketentuan hukum internasional tersebut menjadi tidak dapat diterapkan
(inapplicable).
OPINIO JURIS
Volume 04 | Januari - April 2012
PERKEMBANGAN ISU HUKUMAN MATI DI INDONESIA
Elmar I. Lubis, SH
Pendahuluan
Sampai saat ini hukuman mati masih menjadi bagian dalam hukum pidana Indonesia
baik dalam KUHP maupun di luar KUHP1.
Hal ini telah menimbulkan perdebatan antara
yang setuju dengan yang tidak setuju dengan
penerapan hukuman mati dalam sistem pidana
seiring dengan desakan masyarakat internasional untuk menghapuskan hukuman mati.
Sampai saat ini 68 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia, 88
negara yang telah menghapuskan hukuman
mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori
kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan
moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan penghapusan terhadap hukuman mati. Pada
tanggal 11 November 2010, Komite III SMU
ke-65 PBB telah mengadopsi ranres 65/206
mengenai Moratarium on the Use of the Death
Penalty melalui pemungutan suara sebagai
berikut: Mendukung 107 negara, Menolak 38
negara, dan abstain 36 negara. Indonesia termasuk dalam negara yang menolak ranres tersebut.
Indonesia dan sebagian negara lainnya masih mempertahankan hukuman mati dalam
sistem hukumnya dengan mengemukakan
berbagai argumen filsafat, hukum, politik dan
bahkan agama yang tidak kalah absahnya
dibandingkan yang menolak hukuman mati.
Karena isu hukuman mati mencakup ruang
lingkup yang sangat luas, maka tulisan ini hanya
berupaya untuk menggambarkan pertentangan
yang terjadi di Indonesia tentang pemberlakuan
hukuman mati dan yang terpenting adalah anali-
1
2
Ancaman hukuman mati dalam KUHP terdapat dalam pasal-pasal :
Makar membunuh Kepala Negara (Pasal 104); Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia [Pasal 111 ayat
(2)]; memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (Pasal 124 ayat 3); Membunuh Kepala
Negara negara sahabat [Pasal 140 ayat (1)]; Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu [Pasal 140 ayat (3)
dan Pasal 340]; Pencurian dengan kekerasan ... yang mengakibatkan luka berat atau kematian [Pasal 365 ayat (4)];
Pembajakan ...sehingga ada orang mati (Pasal 444); Dalam waktu perang menganjurkan huru hara (pasal 124 bis);
Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127 dan pasal 129); Pemerasan
dengan pemberatan [pasal 368 ayat (2)];
Dalam memori penjelasan disenutkan bahwa negara berhak untuk menjalankan semua peraturan atau ketentuan
pasal-pasal tersebut di atas, termasuk pidana mati sebagai “kriterium keharusan” dengan maksud negara dapat
memenuhi kewajibannya untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum.
Peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang mencantumkan ancaman pidana mati :
UU Nomor 12 Drt Tahun 1951 tentang Senjata Api, Amunisi, Bahan Peledak, Senjata Pemukul, Senjata Penikam
atau Senjata Penusuk; UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM); UU Nomor 15
dan 16 Tahun 2003 jo Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
33
Volume 04 | Januari - April 2012
sa terhadap argumen yang dikemukakan oleh
Pemerintah untuk tetap mempertahankannya.
Latar belakang Sejarah dan Perkembangan
hukuman mati
Perdebatan tentang pidana mati pada intinya terbagi dalam dua arus pemikiran utama;
pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya ketentuan yang berlaku, dan
kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara keseluruhan. Selebihnya hanyalah upaya untuk tetap mempertahankan pemberlakukan hukuman mati dengan cara pandang
hukuman mati sebagai upaya akhir yang harus
diperlakukan secara khusus, ketat dan terbatas.
Secara anthopologis hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang sudah
dikenal sejak lama di berbagai kebudayaan dan
bangsa dan dapat dianggap sebagai bentuk hukuman berat yang paling tua. Hukuman mati
juga dikenal dan diakui oleh berbagai agama.
Walaupun demikian, dalam perkembangannya
penafsiran terhadap hukuman mati termasuk
dalam agama juga mengalami perubahan-perubahan. Pemikiran filsafat sosial-politik dan
hukum yang terus berkembang juga mendorong perubahan cara pandang terhadap hukuman mati. Landasan pemikiran yang bermuara
pada ajaran agama, filsafat sosial-politik dan
hukum tersebut pada akhirnya bercampurbaur yang kemudian tercermin dalam berbagai
aturan dalam hukum positif. Seringkali hukuman mati diberlakukan hanya sekedar untuk
memenuhi kepentingan penguasa (raja) atau
pemerintahan kolonial. Namun contoh tersebut tidak dapat mengabaikan banyaknya hukuman mati di berlakukan atas dasar kehendak demokratis dari masyarakat itu sendiri.
34
OPINIO JURIS
Salah satu landasan pemikiran yang utama dan mungkin tertua yang mendukung
adanya hukuman mati adalah teori pembalasan. Berdasarkan teori pembalasan, pidana
mati dijatuhkan karena pidana hukuman mati
merupakan upaya untuk mempertahankan dan
menegakkan kesusilaan dan keadilan. Pidana
dijatuhkan bukan karena mempromosikan
suatu tujuan atau kebaikan namun semata-mata
adalah untuk membalas kejahatan yang telah
dilakukan oleh seseorang sehingga kesusilaan
dan keadilan dalam bentuk keseimbangan yang
mutlak tetap tercapai. Dalam perkembangannya, teori pembalasan ini mengalami transformasi dan memasukkan tujuan-tujuan ideal
lainnya seperti unsur upaya preventif dan efek
jera dan menghilangkan sumber ancaman.
Di lain pihak, penolakan terhadap pidana
hukuman mati menilai bahwa hukuman mati
bertolak belakang dengan nilai-nilai dasar
kemanusiaan. Negara dan kekuasaan apapun
tidak memiliki kewenangan untuk mencabut
hak hidup seseorang. Pandangan ini juga
menjelaskan bahwa efek jera dan upaya preventif terbukti tidak berhasil dan juga tidak
memperbaiki kesalahan yang terjadi. Pemikiran ini dilandasi semangat humanisme yang
berkembang di Eropa Barat setelah mengalami peperangan dan kehancuran ejak perang
perang di Eropa selama abad 19 dan abad 20
yang diakhiri dengan Perang Dunia I dan II.
Penolakan terhadap hukuman mati juga
banyak diakibatkan oleh kenyataan bahwa
banyak hukuman mati dilaksanakan terhadap
orang-orang yang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan penguasa tanpa ada
alasan kuat apapun yang dapat mendukung
pelaksanaan mati tersebut harus dilakukan dan
OPINIO JURIS
hanya sekedar penolakan atau penghilangan
hak hidup orang tersebut. Selain itu, banyak
bentuk hukuman mati dilaksanakan dengan
menggunakan metoda hukuman yang sangat kejam dan cenderung sadis dan menyebabkan penderitaan dan rasa sakit luar biasa.2
Pengakuan terhadap hak asasi manusia secara langsung mempengaruhi cara pandang terhadap keabsahan hukuman mati. Pembatasan
ruang gerak apa yang tidak dan dapat dilakukan oleh negara terhadap individu dan perubahan-perubahan besar dalam cara pandang terhadap kekuasaan dan politik secara relative
telah mendorong semakin kuatnya dorongan
untuk menghapuskan bentuk hukuman mati.
Perkembangan isu hukuman mati di lingkup
global diwarnai dengan tuntutan moratorium
dan penghapusan hukuman mati. Dapat dicatat bahwa kebanyakan negara yang telah
menghapuskan hukuman mati adalah negara-negara anggota Uni Eropa. Adapun di
kelompok negara ASEAN, hanya Filipina
yang telah menghapuskan hukuman mati.
Sementara itu, terdapat beberapa negara yang masih mengakui dan melaksanakan hukuman mati
namun dengan cara yang sangat selektif dikenal sebagai retentionist, seperti misalnya Indonesia yang melaksanakan hukuman mati dalam
jumlah yang sangat rendah dan hanya dipergunakan untuk tindak pidana berat tertentu saja.
Atas tren penghapusan hukuman mati
tersebut, negara-negara yang telah menghapus hukuman mati secara rutin mendorong isu penghapusan hukuman mati di ber-
Volume 04 | Januari - April 2012
bagai kesempatan, termasuk dalam Sidang
Majelis Umum (SMU) PBB. Secara rutin,
rancangan resolusi (ranres) tentang moratorium penerapan hukuman mati yang didukung oleh kelompok negara-negara Uni Eropa diajukan di SMU PBB sejak tahun 2007.
Di Inggris dan beberapa negara bagian
Amerika Serikat, hukuman mati telah dihapuskan. Sedangkan di beberapa negara lainnya
tetap berlaku tetapi tidak pernah digunakan. Di
lain pihak, upaya penghapusan hukuman mati
di India telah berlangsung sejak jaman kolonial Inggris saat Gaya Prasad Singh pada tahun
1931 mengusulkan rancangan undang-undang
(RUU) kepada Dewan Legislatif untuk menghapuskan hukuman mati, namun mengalami
penolakan dari Pemerintah yang berkuasa. Kemudian setelah India merdeka, rancangan yang
serupa kembali diusulkan kepada Parlemen India oleh Mukand Lal Agarwal, pada tahun 1956,
dan tetap mengalami penolakan dari Pemerintah.
Pada tanggal 21 Oktober 2010, di kesempatan SMU PBB ke-65, delegasi Gabon
dan Micronesia telah menyelenggarakan konsultasi informal pertama tentang rancangan
resolusi (ranres) “Moratorium on the use of
the death penalty”. Walaupun diketahui secara luas bahwa dibalik pemrakarsa resolusi
tersebut adalah Uni Eropa, namun selalu diciptakan kesan bahwa resolusi ini merupakan prakarsa negara-negara lintas kawasan. Sebagai
catatan, pada tahun 2007 ranres ini diusulkan
oleh Italia dan Chile, serta pada tahun 2008
ranres ini diusulkan oleh Chile dan Angola.
1
2
Beberapa cara hukuan mati yang dikenal di Eropa, Timur Tengah dan Asia Pasifik antara lain : diikat di roda
berpaku, direndam dalam air mendidih, dirajam dengan lemparan batu, ditusuk dari dubur ke mulut, diinjak gajah
atau benda berat, ditarik oleh beberapa kuda kearah yang berlawanan, pemotongan anggota badan, dibakar, di potong
dengan gergaji, ditembakkan dari dalam meriam, memotong daging secara perlahan.
35
Volume 04 | Januari - April 2012
Pada tanggal 11 November 2010, Komite III
SMU ke-65 PBB telah mengadopsi ranres 65/206
mengenai Morotarium on the use of the Death
Penalty melalui pemungutan suara sebagai
berikut: Mendukung 107 negara, Menolak 38
negara, dan abstain 36 negara. Indonesia termasuk dalam negara yang menolak ranres tersebut.
Pernyataan Catherine Ashton dan Thorbjørn Jagland, Secretary-General of the Council of Europe dapat kiranya secara singkat menggambarkan argumen utama atas penolakan hukuman
mati Uni Eropa. Catherine Ashton menyatakan
bahwa sejarah menunjukkan pelaksanaan hukuman mati tidak pernah dapat mencegah peningkatan tindak kriminal, maupun memberikan
keadilan bagi korban tidak kriminal tersebut.
Pada saat yang sama, karena tidak satupun
sistem hukum yang kebal dari kesalahan, maka
hukuman mati yang telah dilaksanakan tidak
mungkin untuk dibatalkan atau mengembalikan nyawa terpidana mati. Dengan demikian
hukuman mati hendaknya dihapuskan karena :
n
Hukuman
mati
tidak
memberikan dampak jera maupun preventif terhadap terjadinya tindak kriminal
n
Hukuman mati tidak memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya bagi korban
n
Hukuman mati tidak mungkin untuk diperbaiki jika terjadi kesalahan dalam sistem
peradilan yang akan selalu tidak sempurna
n
Hukuman mati dinilai bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan
posisi
yang
menghendaki
tetap adanya hukuman mati beralasan :
n
Hukuman mati merupakan tindakkan
pembalasan dan pembentukan keadilan
n
Hukuman mati merupakan upaya efek jera dan
36
OPINIO JURIS
preventif terhadap terjadinya tindak pidana
Hukuman
mati
ditujukan
untuk
menghilangkan
ancaman
terhadap
keselamatan dan kepentingan umum.
n
Alasan-alasan yang dikemukakan diatas dilandasi 3 argumen dasar, yaitu :
Teori Absolut, digunakan sebagai landasan
untuk melakukan pembalasan. Pidana dimaksudkan untuk mencapai tujuan praktis dan
juga untuk menimbulkan nestapa bagi orang
tersebut. Jadi menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana dan harus
ada akibat mutlak dalam bentuk pembalasan
untuk mencapai kesimbangan dan keadilan.
Teori Relatif, menyatakan bahwa pidana merupakan alat untuk mencegah adanya kejahatan
dan bagian dari upaya menjaga kepastian hukum
dan tata tertib masyarakat. Dengan demikian
pidana dalam teori ini merupakan alat pencegahan untuk menakut-nakuti, memperbaiki dan
membuat pelaku kejahatan tidak berdaya lagi.
Jadi menurut teori ini pidana bukanlah sekedar
untuk melakukan pembalasan kepada orang
yang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu
yang bermanfaat baik bagi pelaku kejahatan
maupun masyarakat. Dasar pembenaran dari
teori ini adalah terletak pada tujuannya, yaitu
supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi.
Teori Gabungan, yaitu pidana merupakan
pembalasan yang pelaksanaannya menjamin terciptanya keadilan yang setimpal dan
untuk menegakkan tata tertib hukum. Den-
OPINIO JURIS
gan demikian, tindakan pembalasan adalah
asas hukum pidana untuk menciptakan keadilan dan juga tetap memberikan dampak positif yang antara lain untuk menjaga
kepastian hukum dan tata tertib dalam masyarakat serta sebagai prevensi general. 3
Terhadap ke tiga teori tersebut dapat ditarik
suatu kesimpulan, bahwa sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku,
dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi
sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan4. Dengan
demikian, fungsi hukuman mati yang hanya
ditujukan pada upaya legitimasi kekuasaan sudah sama sekali ditinggalkan. Asumsi paling
dasar yang digunakan adalah fungsi hukum itu
sendiri tidak lain demi kepentingan masyarakat
sendiri dan bukan untuk kepentingan penguasa.
Pendekatan positivisme hukum dalam
penerapan sanksi pidana dengan menggunakan asas legalitas, yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenale”, terkadang juga dikemukakan
oleh sebagian kalangan di Indonesia untuk mempertahankan pemberlakukan hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia.
Menurut Wiryono Prodjodikoro, bahwa tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi
rasa keadilan kemudian ditambahkan oleh para
sarjana hukum, tujuan hukum pidana adalah: 5
n
Untuk menakut-nakuti orang agar jangan
sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general preven-
Volume 04 | Januari - April 2012
tie) maupun menakut-nakuti orang-orang
tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (specialle preventie).
n
Untuk mendidik atau memperbaiki
orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar
orang menjadi baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam RUU KUHP yang baru disebutkan, bahwa tujuan pemidanaan adalah:
n
Untuk mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
n
Untuk memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
n
Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
n
Untuk membebaskan rasa bersalah pada
terpidana.
Dalam Pasal 10 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur jenis-jenis Pidana
atau hukuman yang meliputi antara lain pidana
pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda; serta
pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu dan pengumuman putusan hakim.
Sementara itu, Taufik Makaro menilai
bahwa hukuman mati dapat membuat jera
1
3
4
5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hal:10.
Widodo Supriyadi S.H., MM, Efektifitas Hukuman mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia
W. Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1981, hal: 27.
37
Volume 04 | Januari - April 2012
pelaku kejahatan maupun orang lain agar tidak
berbuat atau melakukan kejahatan/tindakpidana yang sama; dan juga untuk mengurangi
tindak pidana/kejahatan dalam masyarakat
serta untuk menegakkan hukum di Indonesia.6
Andi Hamzah menyatakan bahwa hukuman mati adalah pidana yang terberat dari
semua pidana, sehingga hanya diancamkan
kepada kejahatan-kejahatan yang amat berat saja yaitu perbuatan yang mengakibatkan
matinya orang lain yang diserang dan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan
bahaya besar atau mempunyai akibat-akibat
yang berpengaruh besar terhadap perikehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya serta ketahanan nasional7. Pandangan ini menempatkan
hukuman mati sebagai upaya khusus yang
hanya dibunakan sebagai langkah terakhir.
Dalam penjelasan KUHP dikatakan bahwa pidana mati masih diperlukan karena
kondisi spesifik Indonesia saat ini seperti
masih adanya bahaya gangguan atas ketertiban hukum, wilayah Indonesia yang sangat
luas, penduduknya terdiri dari berbagai macam golongan yang mudah bentrok, sedangkan alat-alat Kepolisian tidak begitu kuat.8
Hukuman
mati
di
Indonesia
Sebagai negara demokratis yang memiliki
komitmen untuk memajukan HAM, Indonesia memandang positif perdebatan tentang
penghapusan, atau penangguhan dan mempertahankan hukuman mati di Indonesia.
Kelompok penentang hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati harus diha-
1
6
OPINIO JURIS
puskan karena bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 yang mengakui hak
untuk hidup. {andangan ini berpendapat bahwa
bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan dan tidak ada satu lembagapun memiliki
hak membunuh seseorang dengan alasan apapun. Sistem hukuman mati yang ada sekarang
oleh kelompok penentang dinilai tidak dapat
membuktikan keberhasilan efek jera maupun
sebagai faktor pencegah kejahatan karena
dalam kenyataannya tindakan kriminal tetap
ada dan pada saat tertentu bahkan mengalami
peningkatan baik jumlah maupun kualitasnya.
Dalam konsep Rancangan Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang
baru, dirumuskan bahwa pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus (pidana exceptional) dan tidak termasuk lagi dalam pidana
pokok, karena diterapkan terhadap tindak
pidana yang bersifat “the most serious crime”
Penerapan hukuman mati di Indonesia berfungsi antara lain sebagai pembalasan, prevensi
umum/khusus, pendidikan, menakut-nakuti,
menciptakan efek jera, bahkan membinasakan
bagi pelaku tindak pidana tertentu. Dalam
perundang-undangan, baik KUHP maupun
perundang-undangan di luar KUHP, beberapa
tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati dapat digolongkan sebagai tindak pidana
yang berat/khusus. Oleh karena itu tepat kiranya untuk menyimak arti pentingnya pencantuman pidana mati tersebut, baik melalui maksud
dan tujuan pemidanaan yang lebih mengarah
pada pembalasan dan prevensi umum/khusus
atau efek jera, juga melalui filosofi dan maksud
Taufik Makaro, dkk., Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003, hal: 78.
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo,1983,
hal: 32
8
Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, hal:17.
7
38
OPINIO JURIS
diundangkannya undang-undang dimaksud
disesuaikan dengan kemauan politik (political
will) pemerintah melalui pembentukan UU9.
Pidana mati di Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah kasus tersebut mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal ini,
terpidana mati memiliki hak untuk melakukan
upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar
biasa, untuk meminta keringanan atas hukuman tersebut. Upaya dimaksud adalah Peninjauan Kembali (PK) dan Grasi, yang merupakan upaya hukum terakhir bagi terpidana.
Dalam proses PK yang diajukan terpidana,
Mahkamah Agung berkewajiban mempertimbangkan unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan
politis suatu kasus, yang memperbesar kemungkinan pemberian keringanan atas putusan
hukuman mati. Dengan demikian, tampak jelas
bahwa hukum Indonesia menempatkan hukuman mati dalam posisi yang sangat khusus dan
hanya diperuntukan bagi upaya terakhir yang
hanya dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
Upaya Proses pemulihan yang dapat
dilakukan oleh terpidana antara lain
adalah remisi, grasi, abolisi, amnesti yang
merupakan
wewenang
presiden
yaitu:
n
Remisi menurut Pasal 1 ayat 1 Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun
1999, adalah pengurangan masa pidana yang
diberikan kepada narapidana yang telah
Volume 04 | Januari - April 2012
berkelakuan baik selama menjalani pidana.10
n
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana yang diberikan
oleh Presiden. Yang dapat diajukan permohonan grasi yaitu pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, dan pidana penjara
paling rendah 2 (dua) tahun (UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi Pasal 2 ayat (2). 11
n
Abolisi adalah keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan
suatu perkara, ketika pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap
perkara tersebut. Presiden memberikan
abolisi dengan pertimbangan demi alasan
umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa
dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
n
Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam
suatu tindak pidana untuk meniadakan
suatu akibat hukum pidana yang timbul
dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini
diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum
diadakan pengusutan atau pemeriksaan
terhadap tindak pidana tersebut. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh
1
9
Widodo Supriyadi S.H., MM, Efektifitas Hukuman mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia
Remisi dan asimilasi, tertuang kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan
atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Di pasal 34 ayat (3) disebutkan narapidana yang masuk kategori tindak pidana terorisme, narkotika dan
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan yakni berkelakuan baik
dan
telah menjalani 1/3 masa pidana.
11
Hal ini juga diatur dalam Keppres RIS No. 156/1950, yang menyatakan bahwa jika selama 5 tahun berturut-turut
sejak memperoleh grasi terhukum berkelakuan baik, mereka berhak mendapat remisi, yaitu hukuman penjara maksimal 20 tahun.
10
39
Volume 04 | Januari - April 2012
suatu negara diberikan terhadap delik yang
bersifat politik seperti pemberontakan.
n
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan
Presiden dalam rangka mengembalikan
hak seseorang yang telah hilang karena
suatu keputusan hakim, di mana dalam
waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang
tersangka tidak seberapa dibandingkan
dengan perkiraan semula. Atau bahkan,
ia ternyata tidak bersalah sama sekali.
Dalam UUD 1945 pasal 14 disebutkan
bahwa presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Sedangkan terkait
pemberian amnesti dan abolisi, disebutkan
presiden dapat memberi amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Menurut data dari Kejaksaan Agung,
per Januari 2011, terdapat 118 orang terpidana mati di seluruh Indonesia. Saat ini,
berkurang lima, yang terdiri empat menjadi seumur hidup dan 1 menjadi 12 tahun.
Dari 113 sisanya, belum ada yg dieksekusi mengingat upaya hukum belum selesai.
Berdasarkan data dari Sekretariat Negara
RI, pengajuan grasi sejak tahun 2000 yang telah
mendapat putusan Presiden berjumlah 29, dan
Presiden memberikan Amnesti dan Abolisi untuk
setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh
Merdeka melalui Keppres No. 22 tahun 2005.
Seluruh terpidana mati di Indonesia adalah
orang dewasa, karena diatur dalam pasal 66
ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
bahwa “Penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak boleh dikenakan
kepada anak-anak yang melanggar hukum”.
40
OPINIO JURIS
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak
argumen utama yang dikemukakan oleh Indonesia dalam mempertahankan pemberlakuan
hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia. Argumen-argumen tersebut dikemukakan oleh berbagai instansi terkait di Indonesia
baik di pemerintah maupun lembaga peradilan dan kalangan akademisi dan cendikiawan.
Namun demikian, bila ditelaah lebih mendalam, terdapat beberapa argumen yang seringkali dikemukakan oleh Indonesia yang menurut
penulis sebagai argumen yang kuat maupun argumen yang lemah yang suatu saat akan merugikan Indonesia sendiri dan sebaiknya dihindari
untuk digunakan yang antara lain adalah :
Argumen lemah untuk mempertahankan
hukuman mati
n
Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tentang tafsir UUD 1945
oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan Hak konstitusionalitas (Kedudukan Hukum WNA) “Hukuman Mati”.
Salah satu keputusan penting yang
dapat digunakan sebagai salah satu rujukan penting yang menunjukkan posisi Indonesia dalam kaitannya dengan hukuman
mati adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tentang tafsir UUD 1945
oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan konstitusionalitas “Hukuman Mati”.
Dalam keputusannya MK menyatakan
bahwa Ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a,
ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81
ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (1) huruf a,
ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU
OPINIO JURIS
Narkotika, sepanjang mengenai ancaman
pidana mati, tidak bertentangan dengan
Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD
1945.Hal tersebut dinyatakan Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan
putusan permohonan pengujian UU No.
22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU
Narkotika) yang diajukan para Pemohon
perkara 2/PUU-V/2007 (Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran, Andrew Chan) dan Pemohon perkara
3/PUU-V/2007 (Scott Anthony Rush).
Mengingat pentingnya Keputusan
Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tersebut untuk digunakan sebagai rujukan
bagi posisi Indonesia terhadap hukuman
mati, maka perlu kiranya untuk ditelaah
lebih lanjut isi keputusan tersebut serta
dampaknya bagi Indonesia di masa mendatang dan melihat kemungkinan celahcelah yang dapat menjadi kekuatan atau
melemahkan dan merugikan Indonesia
di kemudian hari, baik yang terkait secara langsung dengan hukuman mati itu
sendiri maupun dengan sistem hukum
pidana Indonesia secara keseluruhan.
Adapun celah dan kelemahan argumen dalam keputusan MK tersebut antara lain adalah Penolakan MK terhadap
kedudukan hukum pemohon WNA untuk mengajukan permohonan pengujian
perundangan ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi tahun 1997
dalam putusan permohonan pengujian
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) telah menolak
permohonan warga negara asing Myuran
Sukumaran, Andrew Chan dan Scott An-
Volume 04 | Januari - April 2012
thony Rush terkait dengan kedudukan
hukum (legal standing) dan menyatakan
bahwa para Pemohon yang berkewarganegaraan asing tidaklah mempunyai kedudukan hukum. Dengan demikian
permohonan agar MK melakukan pengujian UU No. 22 tidak dapat diterima.
Para Pemohon WNA asing yang telah
dipidana mati tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika.
Penulis berpandangan bahwa alasan
ini kurang dapat dipertahankan. Argumen pemohon yang menyatakan bahwa
hak konstitusionalnya dilanggar oleh
UU Narkotika perlu dicermati secara
lebih dalam terutama kaitannya dengan jiwa dari Pembukaan dan UUD 45.
Hak konstitusional yang digunakan
para pemohon WNA tersebut dapat ditafsirkan sebagai salah satu wujud dari hak
hak asasi manusia yang bersifat universal.
Hak-hak yang asasi ini sejalan dengan
jiwa dari Pembukaan dan batang tubuh
UUD 45 serta bangunan ketatanegaraan
Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Dalam
konteks penghormatan dan perlindungan
HAM, sejalan dengan kecenderungan di
masyarakat internasional saat ini, perlindungan HAM tersebut akan secara relative
melampaui batas-batas negara dan kewarganegaraan dan bersifat universal.
Dengan demikian, kedudukan hukum pemohon WNA tersebut seharusnya
diterima karena hukum pidana Indonesia
mengakui hak hak asasi manusia bersifat
universal dan setiap individu diperlaku41
Volume 04 | Januari - April 2012
kan sama di depan hukum. Penolakan
terhadap prinsip tersebut berarti juga penolakan terhadap pembukaan dan batang
tubuh UUD 45. Kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian perundangan ke
MK harus dibedakan secara substantive
dengan putusan hukuman mati itu sendiri.
Perlu juga dipertimbangkan sifat universalitas hukum pidana yang menempatkan individu dalam posisi yang sama
adalah suatu ketidakadilan bila hukum
pidana diberlakukan terhadap WNA dan
pada saat yang sama WNA tersebut tidak memiliki hak tertentu yang terkait
dengan hukum pidana yang dijatuhkan
padanya dengan alasan kewarganegaraan.
Oleh karena itu argumen
yang
menolak
kedudukan
hukum
seseorang dalam kaitannya dengan hak
konstitusionalnya
sebaiknya
tidak
lagi digunakan oleh MK maupun lembaga peradilan Indonesia dalam menghadapi kasus yang sejenis di kemudian hari.12
b. Hukuman Mati tetap berlaku karena merupakan bagian dalam hukum
positif yang berlaku di Indonesia
Argumen ini seringkali digunakan
dengan menyebutkan bahwa hukuman
mati masih berlaku di Indonesia karena
memang hukuman mati masih merupakan bagian dalam hukum pidana Indonesia. Pandangan yang sangat positivist
ini dirasakan sulit untuk dipertahankan
karena dengan dianutnya prinsip-prinsip
HAM dan demokrasi dalam hukum mod1
12
42
OPINIO JURIS
ern saat ini, hukum bukan menjadi hukum bila hukum tersebut tidak mewakili
atau bertentangan dengan moralitas yang
hidup dalam masyarakat seperti misalnya HAM, demokrasi dan rasa keadilan.
Walaupun aliran positivisme menenkankan pentingnya adanya kepastian hukum
untuk menjamin ketertiban, namun alas an
ini tidak dapat diberlakukan secara terpisah
dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar
yang dikandung oleh hukum itu sendiri,
seperti rasa keadilan, demokrasi dan HAM.
Argumen kuat untuk mempertahankan hukuman mati
Hukuman mati masih mewakili rasa
keadilan yang dituntut oleh masyarakat
Selain unsur efek jera, efek preventif, pada
dasarnya unsur pembalasan merupakan argumen kuat yang tidak dapat diabaikan yang
merupakan jelmaan unsur rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Sebagai negara yang
demokratis, hukum yang berlaku harus dapat
mencerminkan dan mewakili rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia menilai bahwa hukum pidana mati masih tetap merupakan bagian dari hukum pidana
Indonesia karena masyarakat Indonesia masih
menginginkan adanya hukuman mati tersebut. Hal ini sangat penting karena adanya bias
pandangan yang menilai bahwa hukuman mati
tetap diberlakukan hanyalah demi kepentingan
penguasa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa
hukuman mati merupakan salah satu bentuk
hukuman yang dilaksanakan demi kepentin-
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California Press Berkeley, Hal 67.
OPINIO JURIS
gan masyarakat dan bukan penguasa. Dengan
demikian, landasan hukum yang demokratis ini
sama sekali berbeda dengan bentuk pelaksanaan hukum yang dalam sejarah memang sering
digunakan hanya demi kepentingan penguasa.
Oleh karena itu, lembaga yudikatif, eksekutif
dan legislative dan perangkat lembaga negara
lainnya harus tetap menghormati keinginan
rakyat tersebut. Hanya saja memang hukum
Volume 04 | Januari - April 2012
tersebut tidak secara otomatis dilaksanakan
hanya sebagai pelaksanaan rasa keadilan yang
ada dalam masyarakat, hal ini ditunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia saat ini hanya
diberlakukan sebagai upaya paling akhir yang
bersifat khusus dan hanya dilaksanakan untuk bentuk-bentuk pidana tertentu saja yang
dipandang membahayakan dan mengancam
kepentingan masyarakat luas dan negara.
43
Volume 04 | Januari - April 2012
OPINIO JURIS
CAN TRIALS HELP VICTIM-WITNESSES OF MASS ATROCITY HEAL?
Pangky B.P Saputra, SH
What can man do ‘gainst such reckless hate? –
Théoden King
‘The Two Towers’, J.R.R. Tolkien
Fiat justitia ruat Caelum
Let justice be done though the sky may fall
In the years since the end of the Cold War,
the field of international law has been expanded greatly in specific relation to tribunals,
courts and the application of international legal standards. The impetus for this expansion
of jurisprudence was no academic inquiry or
exercise, rather the proliferation of mass atrocity committed globally. In the wake of conflict
and repression, the international community
and various domestic agencies sort to apply
international legal standards through various
means as methods of stabilising, securing and
sanitising new or emergent societies, to pursue
transgressors and ultimately guard against the
reoccurrence of violence. Perhaps sufficient
time since the instigation of these methods has
elapsed so now there is an opportunity to review and critique their appropriateness, especially in relation to how they treat the people
involved and left behind after the violence
has passed. Do trials help people to heal?
The crimes of recent years have been, in intensity
and diversity, perhaps the most brutal ever seen.
Indeed the emphasis there is on seen as with the
proliferation of personal media access, more
and more people can have a front row seat for
more and more of the worst of what man can do
to his fellow man. From the Southern Europe to
Southern Africa; Australasia to the Andes; conflict, oppression, and our access to it, has been
increasingly phenomenal. The response to this
from the Western world has, in column inches
and public indignation, been great. As what is
thought by the governments and political actors
of the Western world is often the opinion most
forcibly expressed, the international community sort to ‘do something’ about what they saw.
What has thusly been enacted is a vast schema
of legal bodies, tribunals, courts and commissions. Seen by a large number of commentators
[including the author] as a sop to the guilt-ridden West for its inaction during actual conflicts
and repressions, the legal redress system in international politics has never-the-less become
entrenched, and by a further number applauded
The two major UN instituted legal bodies are:1
The International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law Committed in the Territory of the
Former Yugoslavia since 1991, [more comn 1
1
“… the establishment of the Hague Tribunal was an act of tokenism by the world community … creating an institution that would give the appearance of moral concern”, Gary J Bass (2000) “Stay the Hand of Vengeance: The
politics of War Crimes Tribunals”; pp 207. Quoted in Fletcher and Weinstein, pp 584.
44
OPINIO JURIS
monly and hereafter known as the ICTY].
The International Criminal Tribunal for
Rwanda [ICTR].
These two are the premier examples of
traditional legal methods of redress being extrapolated out onto the international level. The
follow in direct succession from the post World
War Two [WWII] war crimes trials instigated by
the Allies to try suspected war criminals in both
Germany and Japan, known as the Nuremburg
Trials and the Tokyo Trials. The ICTY, ICTR,
Nuremburg and Tokyo Trials are all examples
of law applied through procedure and readily
recognizable methods, such as; judge/s sitting
in session, defendants’ presumed innocence,
the calling of witnesses, documentary evidence
submitted, the involvement of lawyers and advocates, judicial sentencing and right to appeal.
United Nations Security Council [UNSC]
Resolution 955 gives three reasons for the
establishment of the ICTR: Maintenance
of peace, effective redressing of violations and promoting national reconciliation.
The first two are inline with the mandates of
the ICTY, with the ICTR being the first to
have been explicitly set up to foster national reconciliation (Barria and Roper 2005).
The maintenance of peace is in the larger context a moot point, as the inauguration of these
two bodies has not stopped current conflicts or
even prevented violence from spreading further. Perhaps the UNSC demonstrated a level
of prescience when the ICTY was set up to
“[prosecute] persons responsible for serious
violations of international humanitarian law
n
Volume 04 | Januari - April 2012
committed … between 1 January 1991 and a
date to be determined by the Security Council upon the restoration of peace …” . This
left an open ended commitment necessary
as the violence spread to Kosovo in 1999.2
The ICTR’s area of competence spreads
only over a 12month period, from 1 January
1994 – 31 December 1994. This was in response to the perceived notion that the genocide
committed had run its course within in the confines of the calendar year, with violence being
halted within Rwanda proper by the intervention of the RPF and the overthrow of the Hutu
extremist regime3. Yet this narrow competence
does not address the contravention of human
rights standards before and after this time, nor
the current conflict in the Kivu-Nord region of
the Democratic Republic of Congo, which is a
direct successor of the Genocide (Weiss 2000).
There are crimes and victims not being heard by these courts simply due to this.
“Furthermore, the arbitrary setting of spatio-temporal borders will affect the overall
story and narrative that the courts look to establish.” (Dembour and Haslam 2004: 169)
In judicial trials, which the ICTY and ICTR represent, the immediate aim has to be to decide the
guilt or innocence of the accused. But as noted
by Dembour and Haslam, international criminal
tribunals have or should have extra functions
that are in competition with each other. The
basic tension is between black-letter legal standards and human experience: The need to focus
narrowly on the accused whilst establishing the
wider historical record of what happened; the
1
2
UNSC Resolution 827; at http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N93/306/28/ IMG/N9330628.
pdf?OpenElement Accessed 05/01/2009
3
UNSC Resolution 955; at http://www.un.org/ictr/english/Resolutions/955e.htm Accessed 05/01/2009
45
Volume 04 | Januari - April 2012
adherence to legal strictures whilst also looking
to the suffering of the victim; and the need to
focus on harrowing past events whilst also setting out a hopeful vision for the future (Dembour and Haslam:152). It is these tensions that
are of grave concern for those who see the legal
procedures of standard black-letter law as inappropriate and damaging to those who testify
and the societies they come from and represent.
The field of post-conflict studies greatly
lacks empirical research into some of the basic
assumptions surrounding international criminal trials (Fletcher and Weinstein 2002:585).
Surveys, questionnaires and substantive interviews with former victim-witnesses and
survivors in their locales would and can be
extremely valuable for the evaluation of the
success of trials. What work has been done
had been illuminating. From a study of Bosnian legal professionals [lawyers, advocates
and judges], Fletcher and Weinstein have sort
to dispel a number of assumptions and myths
relating specifically to social repair and reconciliation that advocates of trials would support
as truth (Fletcher and Weinstein 2002:586).
Firstly, the need for discovering and publishing ‘the truth’, and that international criminal trials are the place to do this. This is based
on the myth that “authoritative rendering of
the truth is possible only as a result of judicial inquiry, and [that] major prosecutions
can generate a comprehensive record of past
violations”4. This however denies the basic intuition of the nature of ‘facts’. The old saying
‘there are two sides to every story’ is actually
false; there are infinite sides to one story, mul-
OPINIO JURIS
tiplied by the number of people involved and
affected by that story: “The truth is constituted of multiple facts, each of which is vulnerable to distortion, denial, rationalisation, and
refutation”(Fletcher and Weinstein 2002:588).
The courts are trying cases where one defendant sits in the dock and victim-witnesses
are called to ascertain the guilt of the accused.
More often than not those testifying will be
from different, if not polar opposite [in relation
to the ICTY] ethnic polity to the accused. The
option to dismiss the narrative developed by the
courts, who is guilty of what, out of hand exists and is used, as seen in Fletcher and Weinstein’s study of Bosniak legal professionals;
“… universally individuals indentified
their national group as victims … [the Bosniak legal professionals] looked to war
crimes trials to reaffirm the victimisation
of their own national group. There was no
evidence that respondents acknowledged
that war crimes were committed in their
name”. (Fletcher and Weinstein 2002: 581)
Whilst it may be difficult to believe professional men and women, when presented with
the ‘facts’ as rendered, would choose not to
believe them, it does not take much to situate
this phenomenon in real-life instances, be they
much less serious than war-crimes. During the
writing of this essay, Steven Gerrard, the Liverpool Football Club captain, was arrested and
charged with assault.(BBC 2008). Any trial has
yet to take place, but I know that if he were to
be found guilty I, as a Liverpudlian and LFC
fan, would find it hard to accept, and I may well
offer my own explanations as to why the verdict
1
4
46
Diane Orentlicher, quoted in Fletcher and Weinstein 2002, pp 587
OPINIO JURIS
said one thing, but the ‘truth’ was and is another. A twee example, but the thought processes
involved no less real than in post-conflict societies. The bias of ethnocentrism is inescapable.
A further consideration the competency
of trials to discover and publicize ‘the truth’ is
concerning what ‘type’ of facts are listened to
and accepted. Throughout Stover’s remarkable
book, and Dembour and Haslam’s article, there
are references to the courts’ having to disregard a lot of what those testifying are saying
because it is not relevant to prosecution of justice in that trial (Stover 2007) (Dembour and
Haslam 2004). The need to remove emotion
and give grey, accountable facts to the court:
“Lawyers learn to consider as facts
only those that are precise, pedantic, quantifiable, thus structured within a true/false
dichotomy … [the questions asked by the
lawyers] appear objective. They privilege
the sense of sight. Emotions, impressions,
general reminiscences, renditions of atmosphere, and interrogations of a philosophical or ethical nature carry little authority in
the courtroom.” (Dembour and Haslam:163)
The fact is the impressions and emotions of
the witnesses are important to their narrative and understanding of what happened,
even if it is of no concern of the court.
“The focus on literal facts constrains
the manner in which witnesses are able to
tell their stories and produces a truth that
is only ever partially representative. This
alone should cast doubts upon the wisdom
of attributing too much authority to legal
story telling.” (Dembour and Haslam:164)
Facts are as stated not solid, immovable objects of verifiable reality. They are mutable
Volume 04 | Januari - April 2012
and flexible, and recollections of events, especially traumatic events, can be coloured by
a number of factors relating to stress and exposure, as covered by Loftus’ work. The general proposition is that emotive factors play
a too important role in memory and recollection to be dismissed or ignored (Loftus 1996).
Wilson has a slightly more nuanced approach, in specific relation to the ICTY (Wilson 2005). He accepts that history writing and
legal accounts can be at loggerheads traditionally, but the application of ‘international’
judicial procedure, specifically the use of collective criminal definitions, has created a new
type of narrative. By using the crime of genocide, which emphasizes the collective nature of
crimes against humanity, individual criminal
events are situated in a long term narrative, a
teleological understanding of crime. And by being international, it avoids negative colouration
of meaning by national biases. I would contend
that this may be slightly pre-emptive. The tension of collective vs. individual is unresolved,
and the international is no clean and clear point
of view. In fact, the biases on the international
are potentially destructive. It was the international that allowed genocide to happen and only
became involved when forced to by domestic
consideration. Yet, as a potential and a hope,
this is an idea I take comfort in nonetheless.
Another function, as specifically spelt out
in the UNSC Resolutions, is to punish those
responsible for crimes committed. Doing so is
meant to alleviate the suffering of victims, as
justice is ‘being done’. Also it is meant to reinforce the accepted societal norms and behaviours, to get a society back to the solid ground
of normal social interactions. This then suppos47
Volume 04 | Januari - April 2012
edly acts as a deterrence to further criminal acts.
The limitations here are, as stated and constantly to be noted, the complete lack of empirical
evidence. Again, the focus on individual perpetrators for legally definable criminal acts does
not speak to the great truth of what happened.
If the political and military leadership alone are
prosecuted, then the run-of-the-mill murderers,
looters, rapists and genocidaires are left out of
the picture. If the opposite is true, the courts
become bogged down in massive litigation, and
the principal architects of the crimes are left free.
This speaks to greater discussion over the
collectivisation or individualisation of guilt.
We have seen above that ethnocentrism will
play a part in what people are willing to belief. What is also at stake here is the narrow
conception of roles that legal justice methods ascribe to people. The basic classifications of Perpetrator, Victim, and Bystander,
do not add up. Perpetrators can take refuge
in believing their own victimhood vis-à-vis a
different socio-ethnic group. Victims can be
perpetrators in the first instance themselves,
as well as carrying guilt over having survived,
or not doing enough for their neighbours and
loved ones. Bystanders can grant themselves
victimhood, being unable for reasons their
own to act, to assuage any guilt over sins of
commission and omission (Stover 2007:4).
Thirdly, these courts are seen to promote the
rule of law, and the social stability that entails.
They are to be powerful symbols, breaking with
the past, looking to the future: “Trials are effective symbols because a legitimate judicial process is the antithesis of violence” (Fletcher and
Weinstein 2005:596). But as stated, by focusing
on the past trauma it is difficult to make positive
48
OPINIO JURIS
sense of the future. Also, the nature of the societies into which these courts are to pour judicial
legitimacy is important. Post conflict, indeed
post genocide societies, cannot be stabilized,
secured and sanitized through judicial procedure alone, when there is continuing violence,
massive destruction of infrastructure, economic
uncertainty, refugee problems and general disarray. The promotion of the rule of law requires
a solid society/state, however imagined locally, as a contingent part of its success: “…
the equivocal nature of the peace [means] that
the post-war government [is] dominated by
the same political parties [that] controlled the
combatants during the conflict” (Fletcher and
Weinstein 2002:591). There will inevitably
be members of the Hutu majority in Rwanda
who have prosaic disagreements with Paul
Kagame’s political leadership, where the Tutsi
minority still is the minority, despite political
cooperation between the communities, and attempts to removed ethnic barriers in the country.
Fourthly, the great thrust of these trials is
in promoting reconciliation. Trials help societies come to terms with their violent pasts
and heal, so goes the myth. But as we have
seen, the focus of judicial procedure on individuals and the slippery definition of ‘truth’
allows for a general ignorance of the courts’
efforts. So too is the reliance, based on no
empirical evidence, on model vocabulary of
‘reconciliation’ and ‘healing’. These medical
and religious connotations do not flow from
evidence, but rather are presumed prima facie.
Finally and most importantly, trials are
seen to respond to the needs of victims. The cathartic release in a courtroom will dampen feelings of vengeance, engender feelings of justice
OPINIO JURIS
being served, publically acknowledge suffering
and promote healing and reconciliation [those
words again]. Again there is a lack of empirical
evidence, and an understanding of other cultural modes of interpretation of traumatic events:
truth and reconciliation being very much centred in the Western Christian tradition of personal and ritual absolution. Rwanda is a Catholic country, but an African one primarily, the
former Yugoslavia a melting pot of Catholic,
Orthodox and Islamic traditions. Indeed, the
belief in cathartic release through vocalization
is thought to be a poor reading of psychology
(Fletcher and Weinstein 2002:592-5). Any feeling is brief at best, diminishing when returning
to broken homes and lives (Stover 2007:131-2).
It is also found that vengeful feelings do not
last the length of the plane ride to The Hague.
The reasons given by those testifying in Stover’s book revolved more around the personal:
wanting to look the accused in the eye, loyalty
to the memory of the dead who cannot themselves testify, but most of all looking to find
out “why” the perpetrators of crimes against
humanity did what they did (Stover 2007:134). Being unable to have this question answered
in a courtroom is citied as a major obstacle to
the psychological healing of those who testify.
Further issues with the court based approach are to do with procedure. As stated, the
judges are unfortunately unable and uninterested in hearing the stories of witnesses, preferring to stick to legal facts, and with these
‘facts’ the court promotes a history of violence,
which will therefore be lacking in substance
(Dembour and Haslam:176). This narrative
is then open to dismissal by disinclined parties, as noted above. Those who testify also
Volume 04 | Januari - April 2012
complain of a lack of contact with the courts,
which develops to a feeling of uselessness and
abandonment. When verdicts are overturned,
and appeals upheld, this feeling multiplies.
With no explanation from the courts, people
understandably despair (Stover 2007:135).
Stover concludes with a number of suggestions for future development of legal trials
that focus on the needs of both the prosecution
and defence witnesses (Stover 2007:150-153).
As a fan of what these courts can do for
post conflict societies, he argues that the UN
should convene broad-based committees and
councils to promulgate new codes of conduct
for dealing with witnesses. Such discussions
should include: protection and psychological
services; safe conduct of witnesses; compensations issues; relocation of protected witnesses
[witnesses who fear reprisals and give testimony in closed session]; training for tribunal/court
staff; codes of ethics and professionalism; and
adjustments to state laws allowing participation in the International Criminal Court [ICC].
The UN should increase funding for the
courts established, and those newly established.
The workings of both the ICTY and ICTR have
been lamentably hamstrung by tight budgets.
Measures to keep witnesses fully informed
and debriefed at all stages of pre- and posttrail should be implemented. Those fearing
reprisals for testimony should be given protection. The psychological needs of those
who testify are of paramount importance.
Training to court staff in dealing with witnesses in the first instance is of importance.
Also bridging the gaps in relation to use of
common and civil legal principles should
be attempted, not only for legal staff, but for
49
Volume 04 | Januari - April 2012
the better informing of those who testify.
Judges should be mindful of their role in protecting the dignity of the witness during trial. Attempts to badger or defame the witness should
be dealt with severally, as should revealing of
the names of protected witnesses, punishable
by contempt of court. Dembour and Haslam
also note that judges should refrain from making ill thought out and twee remarks in session5.
Courts should develop outreach programmes that seek to ‘get the story out there’,
to the communities and people the rulings of
the courts affect. By developing a dialogue
with these people, the court can sidestep the
accusation of high-handedness and irrelevance,
and counter any attempts to propagandize the
courts’ narratives in favour of sectional interests. Involvement in non-legal narratives, art
production, literature, movies and research
are not beyond the pale, but could be part of a
greater holistic approach to narrative formation.
The final clarion call of Stover’s is in relation to the international community. It, and
indeed we, must shed the old beliefs and runof-the-mill practices in relation to courts and
trials. What scant research has been done as
seen that the curative and therapeutic effect of
testimony is exaggerated, and one-size-fits-all
application of international legal standards are
not promoting heal, individually or collectively.
The international community must take the opportunity to affect a new set of ideals that focus
on the curative functions of trials whilst shedding the old, useless and damaging critiques.
OPINIO JURIS
I take great comfort from this, as with Wilson’s ideas stated above. The belief that a) the
international is a stage that can be influenced
and affected for the common good [the author’s
jaded bias notwithstanding], and b) that holistic,
victim/survivor/witness centred approaches to
criminal trials could help in healing, reconciliation, rebuilding and prevent further bloodshed.
In stark contrast to the efforts of the ‘international’ judicial trials, the government
of Rwanda sort to increase the turn over of
criminal trials. The small yet densely populated country had experienced great violence
during the events of the genocide and beyond,
and had a great deal to do. During the genocide
perhaps up to 1,000,000 were killed, mainly
Tutsi’s, but moderate Hutu’s and opponents of
the regime also. According to the 2002 Census, the Rwandan population was 8,128,553,
allowing for growth, it could now be up to
10,000,000 6 strong . An estimate of those who
could be held criminally responsible for the
genocide is approximately 1,000,000 people.
As the current population were not all alive
in 1994 or were too young to be held responsible, this figure translates to perhaps one third
of the adult population (Schabas 2005:881-2).
To attempt to grapple with this huge number, a system of community justice was instituted. Gacaca, coming from the word for
‘lawn’ or ‘grass’, is a system based in traditional methods of conflict resolution, where
the entire local community sits in judgement,
usually on a lawn in their cellule [the ba-
1
5
“I hope your father will come back.” Judge Riad to Mr Husic, who testified at The Hague, and related how his
father had been disappeared, and did not know if he was dead or alive. From Dembour and Haslam 2004; pp 151.
6
Population size and growth taken from http://www.statisticsrwanda.gov.rw /Publications/English/Census_2002_
in_%20brief.pdf. Pp 5. Accessed 10/01/2011
50
OPINIO JURIS
sic unit of political organization in Rwanda;
constituency or parish] (Schabas:893). Usually of around 500 people, this forms the
basis for recruitment to the Gacaca courts.
Schabas describes the formulation as such:
A General Assembly of all inhabitants aged
18 years or more.
From this Assembly, 24 persons aged 21
or more, of high moral character, are elected. Of theses, five go to represent the cellule at the regional General Assembly. The
remaining 19 act as the Bench of the Court.
Five of the Bench act simultaneously as the
Coordinating Committee.
All considered, perhaps 250,000 elected officials are required country-wide (Schabas:893)
Gacaca Courts seek to site the pursuit of
justice in the local communities; “…to shed
light on the truth of what happened, to recreate the social fabric and promote reconciliation.” (Fierens 2005:915). These sentiments
are echoes of what is said about the ICTY
and ICTR, and indeed perhaps all judicial trials. But we can see, through a number of criticisms of Gacaca that societal repair and victim/survivor healing may be at a premium.
There are issues of legality to contend
with. Firstly, the Rwandan Constitution and
basic democratic practice bans the creation of
‘special courts’ as a safeguard of liberty. This
is side stepped by weighing the impact on the
public good the creation of such a court may
or may not. Rwanda has decided in favour.
Secondly, the old maxim of nulla poena sine
lege is a stumbling block. The original law instituting Gacaca is from 1996, with the courts
Volume 04 | Januari - April 2012
seeking to punish crimes from 1990 to the end
of 1994. By various methods, including referring to a previous ruling outlawing genocide,
and the adoption of the Geneva Conventions
previous to the violence, are used to sidestep
this issue as well. Thirdly, the worry was that,
through the wording of the laws, the Gacaca
would cover crimes not only limited to the
genocide of the Tutsis, but previous crimes,
including events concerning the civil war with
the RPF. This has been mainly ignored. Fourthly, arguments over what constitutes “intention
to commit genocide” raged, mainly due to the
unclear wording in subsequent national laws.
Most tellingly though, there are concerns
over procedure. How impartial can the court
be, if it is made up of the local community,
the victims and the perpetrators? The judges in
the cases are involved in evidence collection
as part of the communities themselves. The
accused are not given council, and can not be
defended by another, only by themselves. The
right to silence is ignored; accused are compelled to speak. Victims of violence, especially
sexual, have to bare all to their neighbours,
a considerably difficult thing to do. Those
elected as representatives and members of
the Bench are usually older males, thus more
traditional and conservative socially, reinforcing old stereotypes and social reproductions.
These trials can take a long time to start; the
indicted right to speedy trial is denied. And
finally, the relation to the government is unclear; who has the legitimate power? Where
is the process of appeal? (Fierens:905-15)
Despite the questions of legality and a lack
of empirical research, the Gacaca experiment
represents a willingness to tackle two major is51
Volume 04 | Januari - April 2012
sues: the huge number of trials to conduct, and
the need to have substantive justice in order to
facilitate the healing of individuals and societies. It is a bold move, and one centred directly
in the traditions of the society from which it
comes. As alien it maybe to the international
communities’ predilection fro civil-common
1
7
52
Last line of Jacques Fierens 2005; pp 919.
OPINIO JURIS
legal traditions, this does not render it obsolete.
By no means perfect, it does offer options and
potential debate for future systems of reconciliation, and hopefully can engender healing
in post conflict societies. As Jacques Fierens
concludes; “It is still better to do justice, albeit
unsatisfactorily, than not do justice at all”7.
OPINIO JURIS
Volume 04 | Januari - April 2012
RESENSI BUKU
Judul
Pengarang
Penerbit Pembuat Resensi
: Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek
di Indonesia
: Damos Dumoli Agusman SH., MA
: Refika Aditama, Bandung, 2010
: Eka An Aqimuddin
Sejak pertengahan tahun 1980-an volume perdagangan internasional terus bertambah dan seiring dengan meningkatnya
perdagangan internasional, arbitrase internasional menjadi sebuah hal yang menarik untuk ditelaah oleh banyak praktisi hukum terutama lawyer di berbagai negara.
Arbitrase komersial internasional merupak-
an sebuah metode penyelesaian sengketa di
luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa karena bersifat fleksibel dan efektif. Arbitrase dapat dilakukan di
luar negara Di sela keringnya wacana dan
penerbitan buku soal hukum internasional
di Indonesia, buku karangan Damos Dumoli
Agusman ini patut diberikan apresiasi. Buku
tersebut patut mendapat perhatian dikarenakan selain mengangkat permasalahan klasik
hubungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional juga menawarkan suatu solusi yang tentu saja masih bisa diperdebatkan.
Relasi antara hukum internasional dengan hukum nasional memang belum diatur
dengan jelas meskipun telah ada UU No. 24
tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Hal ini erat kaitanya dengan tidak tegasnya
politik hukum yang dianut oleh Indonesia. Ada
dua teori besar yang dikenal untuk mengatur
hubungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional, yaitu; monisme dan dualisme.
Teori monisme menempatkan hukum
internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum
internasional berlaku dalam lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi
melainkan inkorporasi sehingga tidak dibutuhkan legislasi nasional yang sama untuk memberlakukan hukum internasional dalam hukum
53
Volume 04 | Januari - April 2012
nasional. Karena merupakan kesatuan sistem
hukum maka terdapat kemungkinan adanya
konflik antara hukum internasional dengan hukum nasional. Dengan demikian ada dua percabangan dari teori ini; lebih mengutamakan
hukum internasional dibandingkan hukum
nasional (primat hukum internasional) atau
sebaliknya (primat hukum nasional) (hlm.97)
Teori dualisme menempatkan hukum
internasional sebagai sistem yang terpisah
dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua sistem
tersebut. Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum internasional menjadi hukum
nasional berdasarkan peraturan-perundangundangan. Dengan adanya transformasi tersebut, maka kaidah hukum internasional diubah
menjadi kaidah hukum nasional untuk berlaku
sehingga tunduk pada dan masuk pada tata urutan perundangan nasional. Karena merupakan
dua sistem yang berbeda maka tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya (hlm.97)
Berdasarkan kedua teori tersebut,
apakah politik hukum yang diambil Indonesia? Monisme? Dualisme? atau campuran?
Titik penting yang diangkat dalam buku ini
adalah terkait dengan posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia.
Politik hukum Indonesia soal posisi perjanjian internasioal dalam hukum nasional mula-mula dapat dilacak
dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi :
n
Presiden
dengan
persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan
perjanjian
dengan
negara
lain.
n
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan
54
OPINIO JURIS
perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan DPR
n
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka
diperlukan persetujuan DPR untuk membuat
perjanjian dengan negara lain atau perjanjian
internasional lainnya. Definisi perjanjian internasional lain diartikan menurut penulis sebagai
perjanjian antara Indonesia dengan organisasi
internasional. Meskipun telah mensyaratkan
perlu persetujuan DPR dalam membuat perjanjian internasional, namun pasal tersebut
belum berbicara dengan jelas posisi perjanjian
internasional dalam sistem hukum nasional.
Pada tataran praktek, setidaknya terdapat tiga tahap pergeseran yang signifikan soal kata “persetujuan DPR” yaitu :
n
Periode awal kemerdekaan hingga tahun 1974, persetujuan DPR dituangkan
dalam suatu produk UU, namun UU dalam
kaitan ini dimaknai sebagai UU yang
bersifat mengesahkan persetujuan DPR.
n
Periode 1974-Orde Baru, sekalipun tidak
konsisten, UU yang mengesahkan persetujuan DPR ini kemudian dimaknai UU
dalam arti formil dan bersifat penetapan
n
Sejak adanya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan,
UU yang mengesahkan bergeser menjadi
UU yang mengesahkan perjanjian itu sendiri sehingga UU ini adalah UU dalam arti
materil dan bersifat mengatur. (hlm.137)
Pergeseran makna “persetujuan DPR”
dalam praktek tersebut terjadi karena memang
belum jelas politik hukum yang diambil oleh
Indonesia terkait perjanjian internasional.
UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional awalnya disusun untuk mengatur
secara terperinci soal posisi perjanjian in-
OPINIO JURIS
ternasional dalam sistem hukum Indonesia.
Akan tetapi, lagi-lagi politik hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme
dan dualisme dalam UU tersebut. Terkait
soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal
9 menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian
internasional tersebut (ayat 1); Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undangundang atau keputusan presiden. (ayat 2).”
Pengesahan sebagai definisi ratifikasi
dalam pasal 9 tersebut mencampuradukan arti
ratifikasi sebenarnya dalam hukum internasional. Padahal makna ratifikasi dapat diposisikan sebagai tindakan internal maupun eksternal
suatu negara terhadap perjanjian internasional.
Ratifikasi dalam hukum internasional (eksternal)
diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu
negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian. Dengan adanya ratifikasi maka suatu negara
mulai terikat dengan suatu perjanjian internasional. Hukum internasional tidak mempersoalkan bagaimana mekanisme internal suatu negara
dalam memberlakukan perjanjian internasional.
Pencampuradukan makna pengesahan
(ratifikasi) eksternal dengan internal dalam
Pasal 9 di atas, maka dapat dibenarkan bahwa
pengesahan perjanjian internasional melalaui UU/Keppres, Jika demikian, apakah UU/
Keppress ratifikasi menandakan bahwa perjanjian internasional telah mengikat Indonesia atau perlu kah dibuat UU/Keppres untuk
Volume 04 | Januari - April 2012
mentransformasi perjanjian internasional Poin
inilah yang coba dielaborasi dengan baik oleh
Damos Dumoli Agusman dalam buku-nya.
Sebagai wacana pemikiran, Damos
Dumoli Agusman mengajak pembaca untuk menguji beberapa usulan beliau yang
berkaitan dengan persoalan bagaimana seharusnya politik hukum Indonesia soal perjanjian internasional diarahkan. Setidaknya ada 3 wacana yang digulirkan, yaitu :
1. Monisme sebagai pilihan politik hukum
karena mempercepat proses pembentukan
hukum.
2. Monisme akan mempercepat karena hanya
menginkorporasi perjanjian internasional
melalui ratifikasi sehingga tidak perlu membuat UU yang terpisah yang akan menghabikan waktu dan biaya. Jika memilih
dualisme, maka akan membebani Indonesia
dengan proses legislasi
3. Alasan historis, karena M. Hatta telah menyatakan lebih mengarah ke supremasi perjanjian internasional
4. Sistem hukum Indonesia bercermin ke eropa continental yang umumnya berkarakter
monisme.
Tentu saja usulan-usulan tersebut harus diapresiasi sebagai bagian pertukaran wacana soal
hukum internasional di Indonesia. Dengan adanya pelemparan wacana ini, maka diharapkan
akan terlahir antitesa yang berujung pada sintesa yaitu suatu politik hukum perjanjian internasional Indonesia yang memihak kepada publik.
55
Volume 04 | Januari - April 2012
OPINIO JURIS
GLOSSARY HUKUM
Treaty
An International Agreement concluded
between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether
embodied in a single instrument or in
two or more related instruments and
whatever its particular designation.
Treaty merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh Negara dan
Organisasi Internasional dalam bentuk
tertulis yang diatur oleh hukum internasional, baik yang dibuat dalam satu instrumen atau lebih dan dengan penyebutan
apapun. Perjanjian internasional dalam
bentuk lisan tidak dapat dimasukkan kedalam jenis treaty, walaupun perjanjian
secara lisan itu melahirkan kewajiban internasional. Treaty dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai Traktat.
Treaty sebenarnya adalah nama generik
dari perjanjian internasional (international agreement). Adapun nomenklatur
treaty ini dapat berbentuk antara lain convention, protocol, MOU dan agreement.
Full Powers
Full Powers means a document emanating from the competent authority of a
State designating a person or persons to
represent the State for negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty,
for expressing the consent of the State to
be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty.
Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat
yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang
56
memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang untuk menandatangani atau
menerima naskah perjanjian, menyatakan
persetujuan negara untuk mengikatkan
diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam
pembuatan perjanjian
internasional.
Reservation
Reservation means a unilateral statement,
however phrased or named, made by a
State, when signing, ratifying, accepting,
approving or acceding to a treaty, whereby it purports to exclude or to modify the
legal effect of certain provisions of the
treaty in their application to that State.
Reservation adalah pernyataan sepihak
suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian
internasional, dalam rumusan yang dibuat
ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian
internasional yang bersifat multilateral.
Perjanjian internasional biasanya memuat
pasal-pasal mana yang boleh di ratifikasi
dan pasal-pasal mana yang tidak boleh.
Ratification
Ratification is a n act by which a State
signifies an agreement to be legally bound
by the terms of a particular treaty. To ratify a treaty, the State first signs it and then
fulfils its own national legislative requirements. Once the appropriate national organ of the country Parliament, Senate, the
Crown, Head of State or Governmen t, or
a combination of these follows domestic
OPINIO JURIS
constitutional procedures and makes a
formal decision to be a part y to the treaty.
Ratifikasi sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan
kesediaannya untuk mengikatkan diri
ke dalam suatu perjanjian internasional.
Accession
Accession is an act by which a State signifies its agreement to be legally bound
by the terms of a particular treaty. It has
the same legal effect as ratification, but
is not preceded by an act of signature.
The formal procedure for accession varies according to the national legislative
requirements of the State. A method by
which a nation that is not among a treaty’s
original signatories becomes a party to it.
Aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta
keseluruhan perjanjian dengan penerimaan
penuh dan utuh atas semua ketentuannya
kecuali reservasi-reservasi terhadap suatu
klausula. Aksesi meliputi keikutsertaan
dalam perjanjian dengan status yang sama
dengan
penandatangan-penandatangan
asli. Aksesi dalam Perjanjian Internasional bahwa suatu negara tidak pernah ikut
Volume 04 | Januari - April 2012
perundingan tetapi ingin ikut dalam perjanjian maka negara tersebut ikut menandatangani dan tunduk pada isi perjanjian.
Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt
Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt
means that third parties receive neither rights nor duties from contracts, is
common to municipal legal systems, and
finds expression in international law
in article 34 of the Vienna Convention
on the Law of Treaties: ‘A treaty does
not create either obligations or rights
for a third State without its consent’.
Asas Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt,
suatu perjanjian tidak memberikan hak atau
membebani kewajiban kepada pihak-pihak
yang tidak terikat kepada perjanjian itu.
Asas itu berarti bahwa suatu perjanjian
tidak memberikan hak maupun kewajiban
kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut
dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah
perjanjian tidak dapat memiliki hak dan
tidak dapat dimintai pertangung jawaban.
57
Volume 04 | Januari - April 2012
OPINIO JURIS
CURRICULUM VITAE
Damos Dumoli Agusman, SH., MA,
Setelah menyelesaikan studi hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tahun1987, penulis memulai
kariernya di Kementerian Luar Negeri. Melalui
Kementerian ini penulis kemudian menempuh
pendidikan lanjutan di University of Hull Inggris dan berhasil meraih gelar Master di bidang
Hukum Internasional dan Politik pada tahun
1991. Ketertarikan penulis pada ilmu hukum
internasional demikian besar sehingga pada tahun 1995 menyempatkan diri untuk mengikuti
program hukum internasional pada The Hague
Academy of International Law, Den Haag,
Belanda. Penulis menduduki jabatan Direktur
Perjanjian ekonomi dan Sosial Budaya pada
Kementerian Luar Negeri tahun 2006-2010.
Saat ini penulis bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankrut.
Dr. Harjono, SH., MCL,
Lahir di Nganjuk, Jawa Timur 31 Maret 1948,
lulusan Doktor Hukum Tata Negara UNAIR
ini sebelumnya menjabat anggota Panitia Ad
Hoc I Badan Pekerja MPR yang membahas
amandemen UUD 1945. Saat ini menjabat sebagai Hakim Konstitusi Republik Indonesia.
58
Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M
Dosen Hukum Perjanjian Internasional di
Fakultas Hukum Universitas Surabaya, menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pendidikan S-2 pertama di Macquarie University Law
Faculty, Sydney, N.S.W., Australia, pendidikan
S-2 kedua di University of Washington Law
School, Seattle, W.A., U.S.A., dan pendidikan
S-3 di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Elmar I. Lubis, SH,
Lulusan
Fakultas
Hukum
Universitas
Parahyangan tahun 1987, mengikuti International Social Studies Den Haag. Yang bersangkutan pernah ditempatkan di Perwakilan RI di
Bangkok, Bogota dan Stockholm.
Pangky B.P Saputra, SH,
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Telah menyelesaikan pendidikan Sekdilu
angkatan 33 di Kementerian Luar Negeri. Saat
ini sedang mengambil pendidikan Master di
Newcastle University-United Kingdom mengambil jurusan Hukum Internasional dan pengambilan kebijakan.
Download