Volume 04 | Januari - April 2012 Opinio Juris Volume 4 ini merupakan Jurnal Hukum terbitan awal tahun 2012 ini oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI. Seiring dengan pergantian tahun, Tim Opinio Juris terus berusaha untuk melakukan perbaikan, pembenahan dan penyempurnaan pada substansi maupun sajian Opinio Juris demi meningkatkan kualitas, tampilan isu aktual dan ketertarikan para pembaca. Untuk itu, Tim Opinio Juris berupaya memperoleh akreditasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia serta mendapatkan Mitra Bestari guna menyempurnakan kualitas artikel dalam Jurnal ini. Jurnal Opinio Juris terbit setiap empat bulan sekali dan sejak tahun 2009 hingga 2011 Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI telah menerbitkan 9 (sembilan) edisi. Mulai dari edisi ke 7 (tujuh) yaitu pada tahun 2011, Opinio Juris telah memperoleh ISSN dari Perpustakaan Nasional. Melalui kesempatan ini pula, kami ingin menginformasikan bahwa mulai terbitan pertama tahun 2011 penomoran volume Opinio Juris akan berurut berdasarkan jumlah volume Opinio Juris yang diterbitkan. Pengelola Opinio Juris dalam terbitan kali ini maupun pada terbitan mendatang akan berupaya untuk menyajikan rangkaian tulisan yang memiliki kesamaan tema dalam suatu edisi khusus agar para pembaca dapat memahami isu tertentu secara komprehensif. Pada Volume 4 ini, Opinio Juris menitik beratkan pembahasannya pada kajian tentang hukum perjanjian internasional. Terdapat 3 (tiga) tulisan yang memiliki nuansa hukum perjanjian internasional yang di tulis oleh mereka yang sering berkutat dengan isu tersebut. Tulisan yang pertama yaitu mengenai Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional, “Mengais Latar Belakang dan Dinamika OPINIO JURIS Pasal 11 UUD 1945”. Penulis bermaksud untuk menggali sejarah dan latar belakang rumusan pasal 11 UUD 1945 dan mencoba memberikan perspektif yang utuh mengapa rumusan ini menjadi dimaknai seperti yang dipraktikkan oleh Indonesia sampai saat ini. Pada tulisan kedua yaitu tentang “Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD 1945”, penulis menjelaskan bahwa substansi yang terdapat perjanjian internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan. Artikel terakhir yang membahas tentang hukum perjanjian internasional yaitu “Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia”. Penulis artikel ini menggaris bawahi bahwa UU Pengesahan perjanjian internasional bukan bentuk dari transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum nasional di Indonesia karena fungsi dari UU Pengesahan tersebut hanya sebagai bentuk persetujuan DPR kepada Presiden yang akan meratifikasi perjanjian internasional. Selain 3 (tiga) tulisan di atas, terdapat pula resensi terhadap salah satu buku penyumbang artikel pada Opinio Juris Volume 4 yaitu Damos Dumoli Agusman SH., MA. Buku yang berjudul Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek di Indonesia patut mendapat perhatian, karena selain mengangkat permasalahan klasik hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional juga menawarkan suatu solusi terhadap hubungan tersebut yang tentu saja masih dapat diperdebatkan. Walaupun demikian, terdapat 3 (tiga) tulisan lainnya yang tidak memiliki kaitan dengan hukum perjanjian internasional, namun penting untuk diketahui oleh para pembaca mengingat tema yang diangkat merupakan permasalahan ii OPINIO JURIS yang saat ini cukup aktual. Salah satu dari 3 (tiga) tulisan tersebut yaitu mengenai “Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia”. Penulis menjelaskan bahwa sampai saat ini hukuman mati masih menjadi bagian pokok dalam hukum pidana Indonesia baik dalam KUHP maupun di luar KUHP. Hal ini telah menimbulkan perdebatan antara yang setuju dengan yang tidak setuju terhadap penerapan hukuman mati dalam sistem pidana seiring dengan desakan masyarakat internasional untuk menghapuskan hukuman mati. Selanjutnya, terdapat pula tulisan mengenai Can Trials Help Victim-Witnesses of Mass Atrocity Heal? dimana penulis melakukan pembahasan tentang batasan-batasan dan kelemahan international court dalam menangani kasus-kasus mass atrocity. Jurnal Opinio Juris ini juga memuat Glossary Hukum yang secara umum mendeskripsikan berbagai istilah hukum yang dipilih secara khusus dan lazim digunakan sebagai terms Volume 04 | Januari - April 2012 pada kajian Hukum Internasional. Untuk memudahkan para pembaca setia Opinio Juris, Pengelola telah memuat Opinio Juris yang pernah terbit terdahulu pada Perpustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu yang dapat di akses melalui http://pustakahpi. kemlu.go.id/content.php. Pada kesempatan ini, Pengelola Opinio Juris secara terus menerus mengajak para pembaca untuk turut menyumbangkan tulisan, memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang. Akhir kata, Tim Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Terima kasih dan selamat membaca. iii OPINIO JURIS Volume 04 | Januari - April 2012 DASAR KONSTITUSIONAL PERJANJIAN INTERNASIONAL MENGAIS LATAR BELAKANG DAN DINAMIKA PASAL 11 UUD 1945 Damos Dumoli Agusman, SH., MA Perjanjian internasional di Indonesia telah melintasi 3 phase rejim hukum yang berbeda. Pertama periode 1945-1960 dimana perjanjian internasional didasarkan pada 3 UUD yang berlaku berturut-turut pada periode itu, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD 1950. Periode kedua adalah antara tahun 1960-2000, dimana sekalipun berlandaskan UUD 1945 perjanjian internasional tunduk pada ketentuan seperti yang diatur pada Surat Presiden 2826 tahun 1960. Periode terakhir adalah sejak tahun 2000 sampai saat ini yang ditandai dengan mulai berlakunya UU No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional. Secara keseluruhan perjalanan sejarah Indonesia, dasar konstitusional untuk perjanjian internasional adalah pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Sekalipun dasar konstitusional untuk perjanjian internasional telah mengalami rangkaian phase rejim hukum yang berbeda, rumusan pasal 11 UUD 1945 yang mendasari perjanjian internasional tidak pernah berubah. Untuk itu artikel ini bermaksud menggali sejarah dan latar belakang rumusan pasal 11 UUD 1945 dan mencoba memberikan perspektif yang utuh mengapa rumusan ini menjadi dimaknai seperti yang dipraktikkan oleh Indonesia sampai saat ini. Pasal ini tidak secara khusus mengatur tentang perjanjian internasional namun menempatkannya senafas dengan kekuasaan Presiden lainnya dalam bidang hubungan luar negeri yaitu menyatakan perang dan membuat perdamaian. Aturan ini sangat singkat dan menurut penulis tidak dimaksudkan untuk mengatur tentang pembuatan perjanjian internasional itu sendiri melainkan hanya mengidentifikasi kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara1 antara lain dalam membuat perjanjian internasional. Para ahli mengalami kesulitan untuk menemukan latar belakang dirumuskannya pasal yang singkat. Alasan bahwa bahwa UUD 45 dibuat secara kilat oleh perancangnya (BPUPKI) mengakibatkan mungkin tidak tersedia praktik maupun referensi yang dapat membantu merumuskan Pasal 11. Ko Swan Sik2 menyatakan bahwa kemungkinan besar para perumus UUD 1945 lebih banyak menggunakan referensi dari Belanda dan mungkin sedikit sekali menggunakan model Amerika Serikat mengingat pada waktu itu Konstitusi Amerika Serikta tidak terlalu dikenal oleh elit Indonesia. Sedangkan ahli sejarah Indonesia seperti A. Arthur3 menduga model Amerika Serikat merupakan inspirasi utama bagi perumus UUD 1945. 1 1 2 3 Menurut penjelasan UUD 1945, pasal ini masuk dalam kategori kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara. Lihat misalnya Ko Swan Sik, The Indonesian Law of Treaties (1945-1990), Martinus Nijhohf, hal. 3. A. Arthur, The Formation of Federal Indonesia, 1945-1949, the Hague, 1955, at 19. 1 Volume 04 | Januari - April 2012 Dari berbebagai perdebatan seperti yang terkuak dalam dokumen BPUPKI ternyata beberapa konstitusi sering disebut-sebut sebagai referensi, yaitu Konstitusi Perancis, Belanda, Weimar (Jerman), dan Meiji (Jepang)4. Dalam perdebatan terlihat bahwa para perumus tidak terlalu menyukai semangat yang terkandung dalam konstitusi-kontitusi Negara Barat karena dinilai terlalu liberal dan individualisme dan lebih mengarah ke Timur yaitu pada semangat yang terkandung pada Konstitusi Meiji5. Sekalipun demikian, para perumus tidak secara keseluruhan menolak konsep-konsep Barat karena pada kenyataannya juga mengadopsi prinsip rechstaat seperti yang terkandung pada Konstitusi Weimar. Dari analisa komparatif terhadap konstitusi yang berlaku pada periode kemerdekaan RI, terkait dengan kekuasaan presiden di bidang luar negeri, para perumus tampaknya menggunakan Konstitusi Meiji 1889. Pasal 13 menyatakan: The Emperor declares war, makes peace, 1 4 OPINIO JURIS and concludes treaties6 . Catatan diskusi tentang pasal-pasal kekuasaan Presiden hampir seluruhnya mengambil pasal-pasal yang sama pada Konstitusi Meiji. Bahkan pada tahun 1942, Supomo, Subardjo dan Maramis sebelum mulai persidangan BPUPKI pernah mengusulkan suatu draft UUD yang pada umumnya adalah “copy paste” dari Konstitusi Meiji7. Pasal 9 draft mereka bahkan mengusulkan rumusan “Kepala Negara menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dalam perdebatan awal di BPUPKI rumusan ini tetap dipertahankan dengan menggunakan istilah yang berbeda untuk kepala Negara menjadi Dewan Negara8. Teks ini kemudian berkembang dalam perdebatan dan terjadi berbagai modifikasi sehingga istilah Dewan Negara menjadi Presiden. Dalam perdebatan selanjutnya, pasal ini tidak termasuk pasal yang kontroversi sehingga dengan cepat dapat diterima dengan hanya penambahan kalimat “dengan persetujuan DPR” agar selaras dengan prinsip “check and Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (“Preparatory Documents to the Constitution of 1945”), Vol. I, at 291. 5 Soekarno dalam pidatonya pengantarnya mendesak agar jiwa konstitusi yang akan dibuat adalah berdasarkan falsafah yang hidup (volkgeist) dan menolak model konstitusi Negara Barat yang individualis dan liberalis yang telah menciptakan imperialism dan konflik internasional. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, 287-298. 6 English text dari Konstitusi Meiji 1889 dapat diakses pada http://www.ndl.go.jp/ constitution/e/etc/ c02. html. Konstitusi Meiji 1889 mengambil model Konstitusi Prussia 1850, Pasal 13 ini sama dengan pasal 48 Konstitusi Prussian: “the king shall have power to declare war and make peace, and to conclude other treaties with foreign governments. The latter require for their validity the assent of the chambers in so far as they are commercial treaties, or impose burdens on the State, or obligations on the individual subjects”. English text dapat diakses pada http://en.wikisource.org/wiki/Constitution_of_the_Kingdom_of_Prussia. Menurut sejarah, ahli hukum Jerman, Rudolp Gneist, yang membantu perancangan Konstitusi Meiji, Kaisar Jepang harus diberikan kekuasaan absolut di bidang luar negeri, pertahanan dan legislasi. Itulah sebabnya berbeda dengan Konstitusi Prussia, Konstitusi Meiji tidak mensyaratkan persetujuan Diet untuk pembuatan perjanjian internasional, Beckmann, George M, The Making of the Meiji Constitution, University Kansas Press, 1957, 71. 7 Yamin, Vol. I, 784-793. 8 Draft Awal yang disampaikan ke BPUPKI pada tanggal 15 Juni 1945. Yamin, ibid, 713-716. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar, Buku IV, Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 15. 2 OPINIO JURIS balances” yang mendominasi pola pikir para perumus UUD 1945 pada waktu itu. Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan kekuasaan prerogatif Presiden juga mengambil rumusan yang sama dari Konstitusi Meiji, misalnya: Pasal 5 : The President exercises the legislative power with the consent of the Parliament (Article 5 of the Meiji Constitution) Pasal 10 : The President is the supreme commander of the Army, Navy and the Air Force (Article 11 of the Meiji Constitution) Pasal 12: The President may declare a state of emergency. The conditions for such a declaration and its effects shall be determined by law (Article 14 of the Meiji Constitution). Pasal 14: The President grants pardon, amnesty, commutation of punishment, rehabilitation (Article 16 of the Meiji Constitution). Pasal 15: The President confers ranks, orders and other marks of honour (Article 15 of the Meiji Constitution). Penggunaan Konstitusi Meiji sebagai referensi untuk kewenangan prerogratif Presiden dapat dipahami dengan beberapa pertimbangan. Pertama BPUPKI adalah ciptaan dan gagasan Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia sehingga dapat dipahami jika referensi Jepang juga diharapkan dapat menjadi pedoman utama. Para perumus tidak melirik konstitusi Belanda atau Negara Barat lainnya karena tingginya sentimen anti penjajahan Belanda dan imperialisme9, serta tidak melirik Volume 04 | Januari - April 2012 Konstitusi dari Negara-negara Asia karena ketiadaan referensi dalam bahasa yang dapat dipahami. Kedua, 7 dari 62 anggota BPUPKI adalah tentara Jepang10 dan sangat mungkin dalam memberikan kontribusinya mereka merujuk pada Konstitusi yang mereka pahami. Ketiga, Sukarno sebagai Ketua Tim Perumus telah mengindikasikan orientasinya terhadap Pan East Asia yang dipimpin oleh Dai Nippon Teikoku (Japan) sehingga model Jepang menjadi sangat relevan dan menjanjikan. Pasal 11 ini memang bukan pasal yang menarik perhatian pada masa pembahasan11. Di tengah-tengah situasi PD II dan masa-masa perang mulainya perang kemerdekaan, para perumus UUD 1945 tidak mengharapkan adanya perdebatan yang berlarut-larut tentang pasal ini dan lebih tertarik pada pembahasan yang lebih kontroversial seperti dasar Negara. Perdebatan di BPUPKI lebih banyak diwarnai oleh pertentangan padangan ideologi antara kelompok Islam yang mendesak terbentuknya Negara Islam dengan kelompok nasionalis yang menentangnya12. Namun demikian, patut pula dicatat bahwa penggunaan Konstitusi Meiji sebagai referensi UUD 1945 tidak pernah disebut-sebut dalam literatur sejarah Indonesia. Berbagai catatan dan buku-buku sejarah yang ditulis oleh para mantan perumus UUD 1945 juga tidak pernah secara gamblang mengakui Konstitusi Meiji sebagai bahan dasar perumusan UUD 1945 di bidang hak prerogratif Presiden. Beberapa per- 1 9 Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951, 505. 10 Poesponegoro, Marwati Djoenoed, Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional Indonesia (“History of Indonesia”), Balai Pustaka Jakarta, 1992, 122. 11 Ko Swan Sik menilai bahwa para perumus banyak berlatar belakang hukum namun tidak hukum internasional, Ko Swan Sik, opcit, 4. 12 Yamin, Muhammad, Vol I, 376-396. 3 Volume 04 | Januari - April 2012 timbangan politik mungkin mendasari adanya kecenderungan untuk tidak menguak fakta sejarah ini. Pertama, sejak kemerdekaan RI terdapat semangat nasionalisme yang sangat tinggi yang memotret bahwa Indonesia memperoleh kemerdekaan melalui usahanya sendiri dan menekankan bahwa UUD 1945 adalah ciptaan lokal yang berakar pada nilai filosofis bangsa Indonesia. Pandangan bahwa UUD 1945 mengambil rujukan dari konstitusi asing merupakan pandangan yang tabu pada waktu itu dan di tengah-tengah nasionalisme yang tinggi. Itulah sebabnya, pembahasan akademis tentang UUD 1945 lebih banyak didominasi oleh persoalan pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila, yang memang secara original merupakan produk pemikiran asli para pendiri bangsa Indonesia. Kedua, sejak masuknya Jepang, para pendiri Negara telah telah terpecah dengan adanya tawaran Jepang untuk memerdekakan Indonesia dengan terbentuknya BPUPKI. Beberapa tokoh memilih berada diluar dan sebagian lain bersikap kooperatif. Persoalan menjadi sensitif jika terdapat pandangan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “hadiah” dari Jepang sehingga terdapat sentimen trauma jika ada indikasi yang mengarah pada referensi Je- OPINIO JURIS pang. Tuduhan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah restu Jepang memang akhirnya telah menjadi perdebatan dalam literatur hukum internasional13. Selain itu, Orde Baru juga menempatkan UUD 1945 sebagai dokumen yang sakral sehingga tidak dibuka ruang untuk adanya pandangan lain tentang Konstitusi ini apalagi mengaitkannya dengan konstitusi asing. Pasal 11 UUD 1945 sangat sederhana dan hanya mengatur kekuasaan Presiden. Pasal ini tidak menyentuh sama sekali tentang persoalan perjanjian internasional itu sendiri dan sangat merefleksikan sikap tradisional negara-negara terhadap hukum internasional14, apa lagi Negara-negara yang baru merdeka15. Seperti halnya Konstitusi Meiji 1889 16 , pasal 11 UUD 1945 sangat “low profile” terhadap hukum internasional karena memang masih sangat asing bagi pendiri Negera. Selain itu, konstitusi-konstitusi negara yang mengatur tentang hukum internasional pada masa itu masih terbatas dan hanya didominasi oleh konstitusi negara-negara Barat seperti Weimar Constitution 1919 dan Spanish Constitution 1931. Bahkan Belanda sendiri sebagai Negara kolonial yang seyogianya mempengaruhi para perumus UUD 1945 baru pada pada tahun 1938 mengatur perjanjian internasional secara rinci17. 1 13 Sastroamidjojo, Ali and Robert Delson, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49 Columbia Law Review 3, 1949 at 344-361, Heyde, Charles, Cheney, The Status of the Republic of Indonesia in International Law, 49 Columbia Law Review 7, at 956. Dokumente zur Entstehungder Vereinigten Staaten von Indonesien,Vorbemerkung, 13 ZaoRV 1950, at 433. 14 Pada tahun 1923, Quincy Right menyatakan bahwa “the traditional treatment of international law almost if not wholly dissociated it from constitutional law, Right, Quincy, International Law in its Relations to Constitutional Law, 17 AJIL 1923, at 234. 15 Deener menilai bahwa konstitusi Negara-negara pasca PD II tidak tertarik pada hukum internasional, Deener, David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951, 526. 16 Jepang baru membuka diri terhadap dunia dan hukum internasional sejak 1850. Japan and International Law: Past, Present and Future, Ando, Nusiko (Ed), Kluwer Law International, 2001, 350. 4 OPINIO JURIS Dengan demikian pasal 11 UUD 1945 tidak mungkin dapat menjelaskan tentang berbagai permasalahan yang mengemuka dewasa ini, seperti apa yang dimaksud dengan perjanjian, membuat perjanjian serta apa bentuk formal dari persetujuan DPR. Pasal ini jauh dari mampu untuk menjelaskan tentang bagaimana kedudukan hukum perjanjian dalam sistem hukum nasional Indonesia. Ketidakjelasan Pasal 11 ini tentunya melahirkan kesulitan dalam praktik Indonesia. Amandemen UUD 1945 bukanlah opsi yang tersedia pada periode sebelum reformasi sehingga guna mengatasi kesulitan ini dikeluarkan kebijakan yang tertuang dalam produk legislasi di luar UUD 1945. Pertama adalah Surat Presiden 2826 tahun 1960 yang intinya memuat kriteria tentang perjanjian yang perlu mendapat persetujuan DPR dan yang tidak. Menurut Surat Presiden tersebut maka perjanjian internasional yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah yang mengandung materi sebagai berikut: • Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti halnya perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), dan perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas. • Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik Volume 04 | Januari - April 2012 luar negeri negara. • Hal-hal yang menurut UUD atau berdasarkan sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-Undang, seperti masalah kewarganegaraan dan masalah-masalah kehakiman. Menurut pengamatan penulis, surat ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya pembuatan perjanjian sampai tahun 1960 18 sehingga dinilai tidak praktis dan membatasi keleluasaan bergerak dalam menjalankan hubungan internasional jika semua perjanjian internasional harus melalui proses persetujuan DPR sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945. Surat ini juga dibayangi oleh pengalaman pahit akibat norma Pasal 120 UUDS yang lebih ketat mensyaratkan persetujuan DPR karena secara tegas menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh disahkan kecuali ditentukan lain oleh UndangUndang. Penulis membayangkan bahwa ketatnya aturan ini serta pesatnya pembuatan perjanjian pada periode tersebut telah19 menyulitkan Presiden dalam proses pembuatan perjanjian internasional dan inilah antara lain yang memicu keluarnya Surat Presiden tersebut. Dengan kriteria ini maka tidak semua perjanjian harus mendapat perstujuan DPR dan oleh para ahli dinilai telah terjadi amandemen substantive yang terselubung terhadap pasal 11 UUD 1945. Semula Pasal ini bahwa perjanjian harus mendapat persetujuan DPR telah diubah 1 17 Verzijl, J.H.W. International Law in Historical Perspective, Sijthoff Leiden, Vol I, 1968, 106. Berdasarkan catatan Treaty Room Kementerian Luar Negeri, sampai tahun 1960 Indonesia telah membuat sekitar 152 perjanjian internasionl, dan khusus tahun 1960 pada saat keluarnya Surat Presiden tersebut, Indonesia telah membuat 36 perjanjian, angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 19 Catatan Treaty Room menunjukkan bahwa tahun 1959-1960 saja terdapat 56 perjanjian internasional dan hanya 7 Perjanjian yang disampaikan untuk mendapatkan persetujuan DPR. 18 5 Volume 04 | Januari - April 2012 menjadi hanya perjanjian tertentu. Kedua, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang pada hakekatnya adalah kodifikasi dari praktik Indonesia yang dipedomani oleh Surat Presiden 2826 tersebut. Penetapan kriteria untuk menentukan perjanjian yang harus mendapat persetujuan DPR bukanlah praktik yang tidak lazim. Belanda telah menerapkan kriteria ini dan bahkan telah diadopsi dalam Konstitusi RIS dan UUD 1950. Surat Presiden 2826 sangat dipengaruhi oleh Konstitusi dan Praktik Belanda pada periode itu yang sangat mempengaruhi pemikiran hukum para birokrat di lingkungan Kabinet dan khususnya Kementerian Luar Negeri. Persoalannya adalah, UUD 1945 tidak mengenal pembedaan ini karena memang konstitusi rujukannya (Konstitusi Meiji) tidak memerlukan kriteria ini. Kaisar Jepang berdasarkan Konstitusi Meiji berwenang penuh untuk membuat perjanjian tanpa persetujuan Diet, sehingga tidak perlu membedakan jenis perjanjian. Sisipan kalimat “dengan persetujuan DPR” pada pasal 11 UUD 1945 mengakibatkan jiwa pasal ini menjadi berbeda dengan Konstitusi Meiji. Akibatnya, dalam praktek DPR menjadi kewalahan untuk menangani banyaknya perjanjian yang dibuat pada pasca perang kemerdekaan. Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia melirik pada Konstitusi Belanda yang memang membuat kriteria tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan parlemen. Dalam hal ini, telah terjadi transpalansi terhadap hukum dan praktik Indonesia, yaitu menggunakan dasar konstitusional Jepang (Meiji) namun mengembangkannya dengan menggunakan model Konstitusi Belanda. Keruwetan dasar konstitusional ini seharusnya dapat diselesaikan melalui amandemen UUD 1945 yang intensif dilakukan sejak 6 OPINIO JURIS reformasi. Kesempatan emas ini telah muncul pada perubahan (amandemen) ketiga UUD 1945 yang diputuskan pada tahun 2001. Namun sayangnya perubahan yang dilakukan tidak menyentuh akar masalah melainkan kembali berkutat pada masalah kewenangan Presiden vis a vis DPR. Pada perubahan ketiga, Pasal 11 mendapat tambahan 2 ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga Pasal ini secara lengkap berbunyi: (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (2)Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3)Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang Amandemen ini tentunya tidak mengubah apa pun tentang dasar konsitutional perjanjian internasional karena hanya menambah pasal yang menekankan adanya kewenangan DPR untuk memberi persetujuan terhadap perjanjian lainnya yang dibuat dengan organisasi internasional. Penambahan pasal ini juga tidak berdampak dalam praktik karena belum satu pun perjanjian dalam rangka ayat 2 ini yang pernah dibuat dan mendapat persetujuan DPR. Akibatnya, amandemen ini tidak menyelesaikan permasalahan klasik yang lahir akibat keterbatasan pengaturan pasal 11 UUD 1945. Penulis menyarankan agar amandemen UUD 1945 berikutnya, pasal 11 mendapat gili- OPINIO JURIS ran yang signifikan dan diamandemen secara proporsional sehingga memberi dasar konstitusional yang kuat bagi perjanjian yang dibuat oleh Indonesia. Pasal ini harus mengatur tentang kewenangan membuat perjanjian, kriteria perjanjian yang harus mendapat Volume 04 | Januari - April 2012 persetujuan DPR, serta kedudukan perjanjian dalam sistem hukum Indonesia. Pengujian konstitusionalitas Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi sejak 2011 merupakan contoh pahit dari keterbatasan pasal UUD 1945. 7 Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945 Dr. Harjono, SH., MCL Pendahuluan Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara oleh karenanya pembuatan perjanjian internsional yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaran negara sudah seharusnya didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai fondasi dalam penyusunan sistem hukum negara, oleh karena itu pembuatan perjanjian international juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik di antara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara pemerinrtahan negara mengenai dasar-dasar konstitusional yang mengatur pembuatan perjanjian internasional. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang perjanjian internasional. Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan perjanjian international menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat; “There are wholes, they have elements and those elementshave relations which form structure “. Lebih lanjut dinyatakan; ” Sourse – based system have legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority or validity to higher rules. These relations are classically formed into a pyramidal and hierrarical structure with one ultimate rule, ‘basic norm‘ or ‘legal science fiat‘ at the top. The wholeness factor is provided by the structure itself and by its function of providing the authoritative basis for all law in community“1. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagimana di atas uraian di bawah ini akan meninjau perjanjian internasioanal dalam sistem UUD 1945. Dasar Hukum Dasar hukum perjanjian international dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan: • Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain • Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. • Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 tersebut satu-satunya pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan di dalamnya adanya kata “perjanjian internasional“. Oleh karena itu perlu dikaji lebih 1 1 8 Charles Sampford “ The Disorder of Law , a Critique of Legal Theory “, Basil Blackwell 1989, h. 16 OPINIO JURIS dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal perjanjian internasional. Pasal 11 UUD 1945 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam susbstansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD 1945 ini mengalami perubahan yang sangat signifikan dibandingkan dengan Bab III UUD 1945 sebelum perubahan. Di samping perubahan isi pasalpasal, perubahan UUD 1945 juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu; Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C. Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain“, dan setelah perubahan UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD 1945 setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan; ”Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat“, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi; ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat“. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan berbunyi; ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan UU dari tangan Presiden ke DPR. Perubahan demikian juga menyebab- Volume 04 | Januari - April 2012 kan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi; • kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), • kekuasaan membentuk UU (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan), kekuasaan sebagai kepala negara. Setelah perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi dua kekuasaan saja yaitu: • kekuasaan eksekutif • kekuasaan sebagai kepala negara. Bab III UUD 1945 megandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 di mana di dalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut, UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili negara dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Pasal 11 UUD 1945 memang tidak dimaksudkan untuk menentukan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional tetapi semata-mata menetapkan bahwa Presidenlah, dan bukan lembaga negara yang lain, yang mewakili negara Indonesia untuk melakukan hubungan dengan negara lain . Bentuk hukum Sebuah perjanjian internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam 9 Volume 04 | Januari - April 2012 hal ini antar negara yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah perjanjian internasional terceminkan kehendak dua pihak. Setiap negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili negara tersebut dan dari wakil itu pulalah pihak negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden-lah akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya negara lain tersebut tidak perlu berhubungan dengan lembaga negara Indonesia yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden. Pasal 11 UUD 1945 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah undang-undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan undang-undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila 10 OPINIO JURIS Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dalam bentuk hukum undang-undang. Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain diwadahi bentuk hukum UU maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan undang-undang dan hal yang demikian tersebut akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain mempunyai karakterikstik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian tepaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan UU harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu rancangan undang-undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak. Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan perjanjian in- OPINIO JURIS ternasional diwadahi dalam bentuk UU. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan di antara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan UU menimbulkan persoalan. UU adalah bagian dari hukum nasional sedangkan perjanjian dengan negara lain merupakan kesepakatan antar negara yang berada di luar ranah urusan internal negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh UU apakah ini tidak berarti bahwa kehendak negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal negara lain karena digantungkan kepada pengesahan UU. Bagi pihak lain yang diperkukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan UU. Praktik pengesahan perjanjian internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebelum disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya. Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari perjanjian internasional. Dalam sebuah perjanjian internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran perjanjian internasional yang telah disepakati, maka diper- Volume 04 | Januari - April 2012 lukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila perjanjian internasional dituangkan dalam bentuk hukum UU dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan antara naskah yang telah disetujui oleh wakil masing-masing negara dengan yang disahkan dalam UU apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran UU tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalam UU Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah perjanjian internasional yang dilampirkan dalam UU ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal UU telah diundangkan sebagaimana mestinya. Karena perjanjian internasional diberi bentuk hukum UU tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan UU juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan perjajian internasional. Dalam ketentuan UUD 1945, Pasal 20 ayat (5) menyatakan, ”Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah mengajukan naskah perjanjian internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanise pembuatan UU, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi UU terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian me11 Volume 04 | Januari - April 2012 nyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam perjanjian internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian. Bentuk perjanjian dalam UU juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan perjanjian internasioanl dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan UU. Dalam banyak undang-undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usualan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk UU, sebagai misal pengangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di negara lain tidak selalu memberi bentuk perjanjian internasional sebagai undang-undang atau statute/law. Amerika Serikat menentukan dalam konstitusi bahwa perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk UU, karena UU dibuat oleh Congres namun demikian perjanjian internasional tetap mengikat negara tersebut. Persetujuan DPR Dalam Pembuatan Perjanjian Internasional Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. 12 OPINIO JURIS Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat perjanjian internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek hukum internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara pemerintah Indonesia dengan negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia. Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga negara maupun warganya. Ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal. Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Di samping membuat perdamaian dan membuat penjanjian dengan negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat “perjanjian internasional lainnya“ yang; (1) menimbulkan akibat yang luas dan mendasar OPINIO JURIS bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara perjanjian internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan negara sebagai subyak hukum perdata. UUD 1945 mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat perjanjian internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah perjanjian internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional lainnya. Pengertian “ yang lain “tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan negara lain“. Dengan demikian termasuk dalam pengertian perjanjian internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan subyek hukum internasional lain selain negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan subyek hukum internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara“. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik hukum internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demiki- Volume 04 | Januari - April 2012 an karena menyangkut kepentingan bangsa. Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan organisasi internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena pihaknya bukan negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu perjanjian internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasional lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian hukum publik internasional. Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan negara atau bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan financial negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Kekuatan Mengikat Perjanjian internasional. Perjanjian internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari kewajiban untuk terikat adalah kehen13 Volume 04 | Januari - April 2012 dak masing-masing pihak. Di sisi lain masingmasing negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili negara tersebut dalam berhubungan dengan negara lain. Perjanjian internasional yang lahir atas dasar kesepakatan menempatkan para pihak dalam posisi setara dan oleh karenanya perjanjian international mempunyai dasar “good faith“ antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudian disepakati bersama. Apabila suatu perjanjian internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip “good faith and mutual trust“ antar pihaknya, dengan demikian “pacta sunt servanda“ menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada perjanjian international yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pi14 OPINIO JURIS hak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya perjanjian internasinoal tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum perjanjian internasional di dalam negeri, asas pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas resiprosity yaitu bahwa pelaksanaan perjanjian internasinal tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan perjanjian internasional yang bersangkutan di negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara resiprosity ini dapat dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada negara yang bersangkutan melalui jalur diplomatic. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai perjanjian international hanya membebani kewajian secara sepihak saja. Pemberlakukan perjanjian international ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi. Pemberian tempat perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi . Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai The Law of Treaty, dasar mengikat perjanjian internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan perjanjian internasional diwadahi dalam OPINIO JURIS bentuk undang-undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan perjanjian internasional dengan negara lain dan menerima ketentuan The Law of Treaty sebagai acuannya, maka The Law of Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber hukum international. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-udangan yang ada. Sementara itu, hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur. Oleh karena itu, hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu di antaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat international. Perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh negara- negara di dunia, maka secara sub- Volume 04 | Januari - April 2012 stantive dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak negara, oleh karenanya hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam perjanjian interasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu perjanjian internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil. Dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh hukum nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Di samping sumber hukum materiil, hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah undang-undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman hakim bahkan wajib untuk mendasakan putusannya pada undang-undang. Kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum bagi hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil perjanjian internasional yaitu undangundang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan perjanjian international secara substantive telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat perjanjian internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat perjanjian internasional sebagai 15 Volume 04 | Januari - April 2012 sumber hukum didasarkan atas bentuk formil undang-undang padahal bukan. Status perjanjian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi lah yang menjadikan perjanjian internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau statute yang dibuat oleh Congres merupakan sumber hukum bagi hakim, sedangkan perjanjian international tidak dituangkan dalam bentuk law atau statute yang dibuat oleh Congres, tetapi perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat. Namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa perjanjian internasional sebagai the law of the land. Meskipun perjanjian internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang terdapat dalam perjanjian internasional. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari perjanjian internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau article III dari Convention on Recognation and Enforcement of Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi, ”Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article“. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnya hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusan arbitrasi asing asalkan dilaksanakan “under the condition laid down in the following article“ sebagaimana disyaratkan Article III tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda den16 OPINIO JURIS gan pelaksanaan dari article yang terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan, ”Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish asa criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income“. Pasal atau article ini tidak dapat diterapkan oleh hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah legislative lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat public yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya. Pengetahuan hakim tentang perjanjian internasional diperlukan manakala hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan perjanjian internasional. Kesimpulan Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum perjanjian international dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain. 2. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi OPINIO JURIS perjanjian internasional adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan UU. 3. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk perjanjian internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-hal yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan UU, bukan didasarkan atas pembedaan antara perjanjian internasional publik dan privat. 4.Perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan men- Volume 04 | Januari - April 2012 jadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU, sehingga perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UU. 5. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat perjianjian internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan. 6.Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk atau wadah UU menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru. 17 Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS MEMAHAMI ARTI UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. Pendahuluan Dalam filosofi pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional, baik Montesqiueu maupun L. Friedman menganasirkan bahwa ada hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dalam teori pemisahan kekuasaan, Montesqiueu dengan tegas memisahkan antara tugas legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, di dalam praktik ketatanegaraan, teori ini tidak dapat diimplementasikan secara murni karena berbagai hal terkait dengan kepentingan-kepentingan nasional yang strategis dan kekuasaan. Terkait dengan perjanjian internasional, ada pembagian kewenangan yang nyata antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, di mana lembaga eksekutif yang diwakili oleh Presiden atau Perdana Menteri memiliki kewenangan dalam hal external affairs, sedangkan lembaga legislatif/parlemen lebih memiliki kewenangan di bidang internal affairs. Dengan kata lain, Presiden atau Perdana Menteri memiliki kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional, sedangkan untuk lembaga legislatif/parlemen berwenang untuk menyetujui atau menyetujui dengan syarat atau menolak perjanjian internasional yang dibuat dan telah diratifikasi oleh Presiden atau Perdana Menteri. Teori Montesquieu ini sejalan dengan pemahaman sistem hukum yang diungkapkan oleh L. Friedman, yang mana ia menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu substansi, struktur dan kultur1. Hukum internasional pun merupakan sebuah sistem hukum yang terdiri dari tiga komponen di atas. Hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif/parlemen dalam kaitannya dengan perjanjian internasional terimplikasi dalam komponen kedua, yaitu struktur, di mana secara struktur hukum internasional dan hukum nasional memiliki kedudukan yang sejajar atau ko-ordinasi, bukan sub-ordinasi, sehingga setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh lembaga eksekutif tidak serta merta dapat berlaku di dalam sistem hukum nasional suatu negara sebelum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif/parlemen2. Di Indonesia, jika mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia melalui proses transformasi, di mana Pasal 9 Ayat 2 UU ini menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- 1 1 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, hlm. 16. 2 Hasil analisis penulis setelah berdiskusi dengan para ahli hukum terkait dengan permasalahan filosofi hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional dikaitkan dengan pendapat dari L. Friedman. 18 OPINIO JURIS undang atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden]. Secara filosofis, aplikasi UU ini merupakan kelanjutan dari Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain. Hal yang janggal dari Surat Presiden ini adalah di dalam beberapa literatur hukum tata negara maupun hukum internasional ditegaskan bahwa Surat Presiden ini merupakan hasil intepretasi hukum atas Pasal 11 UUD 1945. Hal ini tentu saja sangat mengganggu karena secara substansial menyalahi tatanan yang berlaku di dalam teori Montesqiueu di mana kewenangan untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan peraturan hukum baik nasional maupun internasional adalah lembaga yudikatif. 3 Lepas dari ketidakjelasan ini, dalam pengintegrasian perjanjian internasional di Indonesia, dari sisi implementasi, khususnya di pengadilan, masih banyak hakim yang belum paham atau mungkin tidak mengerti apakah perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dapat digu- Volume 04 | Januari - April 2012 nakan di pengadilan atau tidak. Pendapat dari Hj. Suparti Hadhyono dalam artikelnya yang berjudul Praktik Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim menjelaskan bahwa hakim tidak terikat secara mutlak oleh perjanjian internasional bila tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia maupun tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia.4 Di dalam tulisan ini ada beberapa hal yang dibahas dan sekaligus meluruskan beberapa persepsi yang [mungkin] keliru terkait arti undang-undang pengesahan perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR melalui undang-undang, atau yang dibuat oleh Presiden saja melalui keputusan presiden [baca: peraturan presiden], apakah undang-undang pengesahan ini secara ipso facto membuat perjanjian internasional yang bersangkutan berlaku di Indonesia atau tidak. Selain itu, pembahasan ini juga berusaha menjawab kebingungan para hakim terhadap eksistensi hukum internasional di Indonesia, apakah dapat digunakan secara langsung ataukah seke- 1 3 Pendapat penulis setelah membaca beberapa makalah termasuk disertasi hukum milik Dr. Harjono M.C.L. dari Universitas Airlangga di mana beliau memuat kata-kata “...lembaga eksekutif menafsirkan Pasal 11 UUD 1945...” 4 Hj. Suparti Hadhyono, “Praktek Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim, diambil dari http://www.scribd.com pada tanggal 21 Juni 2010. Kelemahan dari hakim-hakim di Indonesia adalah kata-kata seperti tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia, tidak didukung oleh kasus-kasus yang konkrit yang menunjukkan bahwa ini tidak sesuai dengan ini dan seterusnya. Kelemahan ini akhirnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu seperti melanggengkan kekuasaan atau tidak mematuhi kewajiban-kewajiban yang menjadi beban suatu pihak dengan menggunakan salah satu alasan tersebut di atas. Dengan tidak adanya contoh konkrit maka kriterianya menjadi subyektif dari hakim sehingga dapat memunculkan konspirasi di antara para pihak dengan hakim-hakim. Berbeda dengan di Amerika Serikat, kasus Laminoirs-Trefileries-Cableries de lens v. Southwire Company, pengadilan Georgia memutus bahwa bunga bank sebesar 14,5% dan 15,5% per tahun adalah melanggar ketertiban umum di negara bagian Georgia dan tidak dapat dilaksanakan karena nilai bunga bank yang diakui di negara bagian Georgia adalah 9,5% dan 10,5%. 19 Volume 04 | Januari - April 2012 dar a help tool bagi para hakim untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional. Ketiadaan Pengaturan Kedudukan Perjanjian Internasional di dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Lainnya Mencirikan Ke-dualisme-an Indonesia Dua aliran yang seringkali berdebat dalam pembahasan perjanjian internasional adalah aliran monisme dan aliran dualisme. Pembahasan kedua aliran ini hingga saat ini belum berakhir, bahkan semakin melebar. Dr. Melda Kamil dari UI berpendapat bahwa Indonesia adalah negara monisme karena di dalam UU Pengesahan selalu dilampirkan perjanjian internasionalnya sehingga perjanjian internasional tersebut dapat digunakan oleh para hakim di pengadilan sebagai sumber hukum formal dalam menyelesaikan perkara5. Berpendapat sama tetapi berbeda pertimbangan, Dr. Damos Dumoli Agusman dari Kementerian Luar Negeri, beliau melihat beberapa hakim secara berani menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai dasar hukum untuk memutus perkara6. Pernyataan menarik ditegaskan oleh Dr. Eddy Pratomo, Duta Besar Indonesia untuk Jerman, OPINIO JURIS menyampaikan teori kombinasi antara teori monisme dan dualisme karena beliau menganggap tidak ada negara yang secara murni mengaplikasikan teori-teori tersebut dengan baik.7 Jika melihat praktik di negara-negara lain, pada kenyataannya negara-negara tidak melaksanakan faham yang dianut secara kaku tetapi lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi nasional dan kepentingan rakyat serta tradisi hukum yang telah berkembang lama di negara-negara tersebut. Amerika Serikat selalu menganggap dirinya sebagai negara monisme karena Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat menentukan bahwa “...all Treaties... shall be the supreme law of the land.” 8 Namun demikian, dalam kondisi praktiknya, Amerika Serikat cenderung dualisme karena ketika menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional, Senat selalu mencantumkan RUDs yang mana salah satunya menyatakan bahwa perjanjian internasional tersebut bersifat non-self-executing sehingga tidak dapat berlaku di pengadilan nasional Amerika Serikat9. Hal ini dilakukan untuk melindungi peraturan-peraturan federal yang telah dibuat sebelumnya dan menjaga tradisi hukum yang 1 5 Diungkapkan kepada penulis dalam sebuah diskusi kecil di Fakultas Hukum Universitas Surabaya pada tahun 2009. 6 Diungkapkan kepada penulis dalam beberapa diskusi di Surabaya, termasuk pada pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel Novotel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011. 7 Diungkapkan kepada penulis pada saat pertemuan Kelompok Ahli tentang “Kajian Posisi Dasar Kebijakan Luar Negeri terkait Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional dan Tantangan Globalisasi”, di Hotel Novotel, Surabaya, pada 25 Nopember 2011. 8 Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, 2000, International Law and Litigation in the U.S., West Group, U.S.A., hlm. 219-220. 9 Pendapat penulis setelah melakukan penelitian tentang implementasi perjanjian internasional di pengadilan nasional Amerika Serikat dengan menelaah filosofi dari Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat. 20 OPINIO JURIS telah berkembang lama di Amerika Serikat.10 Sebagai contoh adalah ICCPR di mana pada saat Senat menyetujui keinginan Presiden untuk meratifikasi ICCPR, Senat mengajukan reservasi terhadap Pasal 6 Ayat 5 agar Pemerintah Amerika Serikat tetap dapat mengeksekusi mati pelaku kejahatan di bawah umur. Selain itu, Senat juga melampirkan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa “[t]o clarify that the Covenant will not create a private cause of action in U.S. courts.” Makna dari deklarasi ini adalah bahwa ICCPR tidak dapat digunakan secara langsung oleh hakim-hakim di pengadilan-pengadilan Amerika Serikat sebelum Kongres membuat implementing legislation yang berupa peraturan hukum federal terkait dengan ketentuan-ketentuan yang ada di ICCPR.11 Perancis dan Belanda juga merupakan negara-negara monisme karena kedudukan hukum internasional dengan jelas diatur di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka. Pasal 55 Konstitusi Perancis 1958 menentukan “Treaties or agreements duly ratified or approved shall upon publication, prevail over Acts of Parliament,...” Selanjutnya, Pasal 94 Konstitusi Belanda (Grundwet) menyatakan “Statutory legislations in force within the Kingdom shall not be applicable if such application is in conflict with provisions of the treaties that are binding on all persons or resolutions by international organizations.” Demikian pula dengan Konstitusi Rusia, di mana Pasal 15 Ayat 4 menetapkan bahwa: “The general recognized principles and norms 1 Volume 04 | Januari - April 2012 of international law and the international treaties of the Russian Federation shall constitute part of its legal system. If an international treaty of the Russian Federation established other rules than those stipulated by the law, the rules of international treaty shall apply.” Dari keempat contoh negara-negara di atas, dari sisi teori dapat ditarik garis lurus bahwa ke-monisme-an keempat negara tersebut terlihat dari adanya pengaturan kedudukan hukum internasional di dalam konstitusi masing-masing negara, yang mana keutamaan diberikan pada hukum internasional. Sebaliknya, ada negara-negara yang memang tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka karena keutamaan diberikan kepada hukum nasional, seperti Australia, Kanada dan Jerman, namun hakim tetap diberi keleluasaan menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang secara substansial tidak jelas atau bertentangan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Bagi negara-negara ini, pemberlakuan perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus melalui proses transformasi, di mana hukum internasional ditransformasikan ke dalam hukum nasional terlebih dahulu sebelum dapat digunakan di pengadilan. Istilah lain yang sering digunakan adalah pemberlakuan- 10 Lori Fisler Damrosch, 1991, “The Role of the U.S. Senate concerning “Self-Executing and Non-SelfExecuting” Treaties”, 67 Chi-Kent L. Rev., hlm. 520. 11 Chrissy Fox, 2003, Implication of the U.S.’ Reservations and NSE Declaration to the ICCPR for Capital Offenders and Foreign Relations, Comments, 11 Tul. J. Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of International and Comparative Law, hlm. 304-308. 21 Volume 04 | Januari - April 2012 nya harus menggunakan implementing legislation. Makna implementing legislation itu sendiri berupa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif/parlemen yang merupakan hasil dari proses transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Baik di Australia, Kanada dan Jerman, hasil transformasi dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan disetujui oleh lembaga legislatif/parlemen adalah berupa peraturan hukum federal. Secara umum, keutamaan hukum di ketiga negara ini adalah hukum nasional, bukan hukum internasional, sehingga hukum internasional tidak dapat digunakan oleh para hakim sebagai sumber hukum langsung dalam memutus perkara, kecuali ada implementing legislation-nya.12 Proses transformasi dan penggunaan implementing legislation tersebut merupakan ciri khusus dari ke-dualisme-an negara-negara tersebut di atas. Selain itu pula, ketiadaan pengaturan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka juga menjadi ciri lain dari sifat dualisme ketiga negara tersebut. Penjelasan lain seringkali dapat ditelaah dari putusanputusan pengadilan ketika hakim memutuskan konflik antara hukum internasional dan hukum nasional dalam kasus-kasus, seperti kasus P.P. OPINIO JURIS v. Wah Ah Jee13 di Malaysia, di mana Pengadilan menyimpulkan bahwa “The Courts here must take the law as they find it expressed in the Enactment. It is not the duty of a judge or magistrate to consider whether the law so set forth is contrary to international law or not.” 14 Di Indonesia pernah terjadi kerancuan dalam memahami istilah implementing legislation, dan anehnya yang tidak paham arti implementing legislation adalah Mahkamah Agung sendiri ketika menangani kasus PT. Nizwar v. NMB pada tahun 1981. Ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyetujui sita eksekutorial yang diajukan oleh NMB atas putusan Pengadilan Arbitrase London, Pengadilan mendasarkan pada pertimbangan bahwa Konvensi Jenewa 1927 yang diratifikasi oleh Pemerintah Belanda, juga berlaku di Indonesia. Kemudian, PT. Nizwar mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung menganulir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menyatakan “Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tidak serta merta membuat Konvensi New York 1958 berlaku di Indonesia sebelum ada peraturan pelaksananya (implementing legislation).”15 Pembentukan implementing legislation atau peraturan pelaksana menjadi kewenangan penuh dari lembaga legislatif/parlemen 1 12 Hasil penelitian penulis ketika menulis disertasi hukum yang berjudul “Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional” di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13 Lihat: P.P. v. Wah Ah Jee, FMS Supreme Court (1919) 2 FMSLR 193. 14 Abdul Ghafur Hamid & Khin Maung Sein, “Judicial Application of International Law in Malaysia: A Critical Analysis”, The 2nd Asian Law Institute (ASLI) Conference, Chulalongkorm University, Bangkok, Thailand, tanggal 26-27 Mei 2005, hlm. 8. 15 Sudargo Gautama, 1992, Indonesia dan Arbitrase Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 68-71. 22 OPINIO JURIS karena peraturan pelaksana selalu berupa undang-undang atau Acts of Parliament. Sebenarnya Mahkamah Agung telah benar ketika menyatakan bahwa Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 bukan peraturan pelaksana dari Konvensi New York 1958 karena fungsi dari UU Pengesahan tersebut bukan untuk membuat Konvensi New York 1958 berlaku di Indonesia, tetapi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak keliru karena Pengadilan menggunakan Konvensi Jenewa 1927 dan Konvensi New York 1958 sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional dan memahami kewajiban-kewajiban internasional yang diemban oleh Indonesia melalui kedua perjanjian internasional tersebut. Kekeliruan Mahkamah Agung adalah membuat PERMA Nomor 1 Tahun 1990 dan menyatakannya sebagai peraturan pelaksana dari Konvensi New York 1958 karena pembentukan peraturan pelaksana atau implementing legislation bukan kewenangan dari Mahkamah Agung, melainkan kewenangan dari DPR. Di Indonesia, Pasal 11 UUD 1945 sama sekali tidak memberikan pernyataan apapun terkait dengan kedudukan hukum internasional di dalam sistem hukum nasional dan konflik di antara kedua sistem hukum tersebut. Pasal 11 UUD 1945 hanya mengatur tentang hubungan antara Presiden dan DPR dalam hal membuat perjanjian internasional dengan negara lain, di mana Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR ketika membuat perjanjian internasional dengan negara-negara lain. Penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian internasional seperti apa yang harus mendapat persetujuan dari DPR Volume 04 | Januari - April 2012 diatur di dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan dilanjutkan dengan Pasal 11 terkait dengan perjanjian-perjanjian tertentu yang boleh melalui keputusan presiden [baca: peraturan presiden] seperti yang diatur di dalam Pasal 9 Ayat 2 UU ini. Selanjutnya, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan juga tidak mencantumkan hukum internasional di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang mana Pasal 7 dari UU ini hanya menetapkan UUD 1945, Tap MPR, UU/PERPPU, PP, Perpres, Perda Propinsi dan Perda kabupaten/kota. Ketidakhadiran hukum internasional secara eksplisit di dalam UUD 1945 maupun UU sebenarnya menjelaskan ke-dualisme-an Indonesia karena keutamaan hukum yang digunakan sebagai sumber hukum formal bagi hakim adalah hukum nasional, bukan hukum internasional. Jika banyak komentar dari berbagai pihak bahwa hukum internasional tidak berlaku di Indonesia karena tidak pernah atau jarang digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum dalam memutus perkara adalah tidak benar. Kondisi ketatanegaraan di Indonesia, menurut penulis, adalah sangat unik karena Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan secara murni tetapi juga tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan secara checks and balances. Indonesia punya model sistem pemisahan kekuasaan tersendiri yang jika ditelaah secara mendalam, model tersebut agak “melenceng” dari model yang ada dan dianut di berbagai negara.16 Sebagai contoh perbandingan adalah Kanada di mana negara ini menggunakan sistem pe- 1 16 Kata “melenceng” dari penulis merupakan penekanan atas fungsi tiga (3) lembaga tinggi negara yang saling tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangannya, yang mana Pemerintah Eksekutif melakukan penafsiran hukum, DPR melakukan fungsi layaknya Pemerintah Eksekutif, dan Pengadilan membuat peraturanperaturan hukum seperti DPR. 23 Volume 04 | Januari - April 2012 misahan kekuasaan secara murni, yang mana kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional atau persetujuan-persetujuan lain selain perjanjian internasional dimiliki oleh Pemerintah Federal tanpa sedikitpun keterlibatan Parlemen Federal. Namun demikian, Pemerintah Federal tidak dapat memaksakan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi untuk diberlakukan di wilayah Kanada tanpa adanya persetujuan dari Parlemen Federal atau Propinsi jika menyangkut kepentingan-kepentingan wilayah propinsi.17 Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan sistem pemisahan kekuasaan checks and balances, di mana Presiden hanya sampai tahap membuat perjanjian internasional atau persetujuan internasional lainnya selain perjanjian internasional, namun pada saat tahap ratifikasi, Presiden harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Senat, jika itu perjanjian internasional (treaty), dan mendapat persetujuan dari Kongres, jika itu executive agreements18. Indonesia kurang lebih mirip dengan Amerika Serikat dalam proses tahap awal, yaitu persetujuan dari DPR ketika Presiden akan meratifikasi perjanjian internasional, tetapi agak kehilangan checks and balances-nya ketika proses persetujuannya menggunakan keputusan presiden [baca: peraturan presiden] karena tidak ada proses kontrol di awal dari DPR meskipun dalam penjelasan Pasal 11 UU Nomor 24 tahun 2000 memberikan kewenangan kepada DPR untuk meminta pembatalan dari perjanjian internasional yang dipandang OPINIO JURIS merugikan kepentingan nasional, dan Pasal 18 huruf (h) UU yang sama. Akan tetapi, ini adalah hal yang sulit untuk dilakukan apalagi jika perjanjian internasional tersebut telah berlaku karena pembatalan secara unilateral suatu perjanjian internasional merupakan pelanggaran prinsip pacta sunt servanda dan dapat memunculkan pertanggungjawaban negara. Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional dan Keputusan Presiden [baca: Peraturan Presiden] bukan merupakan Landasan Hukum bagi Berlakunya Perjanjian Internasional di Indonesia Keunikan dari sistem ketatanegaraan Indonesia terkait dengan pengintegrasian perjanjian internasional adalah terletak pada UU Pengesahan Perjanjian Internasional di mana UU Pengesahan ini, menurut banyak pakar, baik hukum tata negara maupun hukum internasional, merupakan landasan hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia, meskipun dalam kenyataannya ternyata tidak. Jika menelaah Pasal 9 Ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden], maka keputusan presiden [baca: peraturan presiden] pun juga bukan merupakan landasan hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia. Penjelasan filosofis untuk keputusan presiden [baca: peraturan presiden] ini agak sulit karena keberadaan keputusan presiden [baca: 1 17 18 George Slyz, 1997, “International Law in National Courts”, 28 N.Y.U. J. Int’l. & Pol. 65, hlm. 77-82. Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, loc. cit. 24 OPINIO JURIS peraturan presiden] ini sama sekali tidak sesuai dengan sistem checks and balances seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 hanya menjelaskan mengenai perjanjian-perjanjian yang dianggap penting (treaties) yang memerlukan persetujuan dari DPR, sedangkan perjanjian-perjanjian yang dianggap tidak penting (agreements) akan disampaikan kepada DPR untuk diketahui. Substansi yang ditulis di dalam Surat Presiden tersebut sebenarnya tidak benar juga karena dalam diskusi dengan Dr. Damos Dumoli Agusman, yang namanya perjanjian internasional itu tidak dapat dilihat sampul mukanya saja atau nomeclature-nya tetapi harus melihat isinya atau merit-nya sehingga persetujuanpersetujuan (agreements) atau risalah-risalah rapat (agreed minutes) atau yang lainnya pun bisa dianggap perjanjian internasional jika substansinya memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara. Sebagai contoh adalah kasus antara Qatar v. Bahrain pada tahun 1990 di mana dalam risalah rapat yang ditandatangani oleh para Menteri Luar Negeri negara Qatar, Bahrain dan Arab Saudi menyetujui bahwa Qatar dan Bahrain setuju untuk melanjutkan good offices dari Arab Saudi atas sengketa dua Masjid Suci sampai dengan bulan Mei 1991. Selanjutnya, setelah masa tenggang waktu good offices selesai maka para pihak setuju untuk memasukkan permohonan kepada ICJ. Setelah Mei 1991, Qatar memasukkan permohonan kepada ICJ tetapi ditolak oleh Bahrain karena Bahrain menganggap bahwa Risalah Rapat (Minutes) 1990 tidak dapat dikategorikan sebagai instrumen internasional yang bersifat mengikat negara, dengan bersikap bahwa “Bahrain maintains that the 1990 Minutes do not Volume 04 | Januari - April 2012 constitute a legally binding instrument. It was no more that a simple record of negotiations… did not rank as an international agreement.” Namun, ICJ menolak sikap Bahrain dengan merujuk pada kasus Aegean Sea Continental Shelf pada tahun 1978 dengan menyatakan: “…The Minutes are not a simple record of a meeting; they do not merely give an account of discussion and summarize points of agreement and disagreement. They enumerate the commitments to which the Parties have consented. They thus create rights and obligations in international law for the Parties. They constitute an international agreement.” Pada akhirnya, ICJ berkesimpulan bahwa “the Minutes of 25 December 1990, like the exchange of letters of December 1987, constitute an international agreement creating rights and obligations for the parties.” Kasus yang menarik terkait dengan UU Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia adalah ketika Pemerintah RI c.q. Kementerian Luar Negeri RI digugat oleh beberapa LSM di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pemohon tertarik untuk mengajukan constitutional review terhadap UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN karena, menurut pemohon, keberadaan UU Pengesahan ini telah membuat norma-norma hukum di dalam Piagam ASEAN telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Pengajuan constitutional review terhadap UU Pengesahan ini menjadi bukti adanya ketidakpahaman dari pihak-pihak tertentu atas status hukum dari UU Pengesahan Perjanjian Internasional. Selain itu, permohonan ini juga mengindikasikan mengenai ketidakpahaman pihak-pihak tertentu tersebut terhadap mak25 Volume 04 | Januari - April 2012 na dari Pasal 11 UUD 1945 dan keberadaan UU Pengesahan Perjanjian Internasional ini di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.19 UU Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia sama sekali tidak berhubungan langsung dengan pemberlakuan norma-norma hukum internasional ke dalam bagian hukum nasional Indonesia karena UU Pengesahan ini hanyalah merupakan, jika kita melihat Pasal 11 UUD 1945 juncto Pasal 9 Ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000, bentuk formal dari persetujuan DPR kepada Presiden dalam kaitannya dengan treaty-making power, bukan Pasal 20 UUD 1945 dalam hal legislative power. Kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional mutlak dimiliki oleh Presiden, tetapi ketika Presiden akan meratifikasi, Presiden wajib mendapat persetujuan dari DPR. Persetujuan ini memiliki implikasi yang besar karena DPR pasti tidak hanya menyetujui keinginan Presiden begitu saja, namun DPR dapat mengajukan persetujuan dengan syarat, seperti reservations, understandings dan declarations, atau bahkan DPR dapat menolak keinginan Presiden tersebut. Prosedur pendaftaran dan penyimpanan dokumen ratifikasi, seperti yang diatur di dalam Pasal 102 Piagam PBB, tidak serta merta dapat membuat perjanjian internasional berlaku di 1 19 OPINIO JURIS negara yang bersangkutan karena ada kalanya pendaftaran dan penyimpanan tersebut hanya untuk membuat perjanjian internasional tersebut entry into force atau istilah lainnya ratification in international sense, namun bisa juga pendaftaran dan penyimpanan dokumen ratifikasi tersebut merupakan awal berlakunya perjanjian internasional tersebut di negara yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain, seperti adanya deklarasi non-self-executing treaty atau kewajiban untuk mempublikasikan terlebih dahulu pada lembaran negara dan sebagainya20. Substansi dalam UU Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia sangat singkat, hanya terdiri dari dua (2) pasal, kemudian di dalam UU Pengesahan tersebut terdapat lampiran berupa perjanjian internasional. Hal yang menarik di dalam UU Pengesahan ini adalah substansi Pasal 2 yang menyatakan bahwa UU ini berlaku pada saat tanggal diundangkan. Kata “berlaku” di sini menimbulkan berbagai macam interpretasi akademik di kalangan akademisi, khususnya hukum tata negara dan hukum internasional. Ada yang beranggapan bahwa kata “berlaku” menunjukkan bahwa UU Pengesahan ini yang memberikan kekuatan hukum pada perjanjian internasional sehingga dengan dilampirkannya perjanjian internasional di dalam UU Pengesahan tersebut maka hakim-hakim dapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 perihal Pengujian UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap UUD 1945. 20 Praktik di Perancis dan Belanda di mana perjanjian internasional yang telah disetujui oleh Parlemen dan didaftarkan untuk disimpan di Sekretariat Jenderal PBB atau di tempat yang ditentukan, tetap tidak dapat diterapkan oleh hakim-hakim sebelum dipublikasikan di dalam lembaran negara di masing-masing negara. Demikian pula praktik di Amerika Serikat, jika Senat menyatakan bahwa perjanjian internasional tersebut bersifat non-self-executing maka hakim-hakim di Amerika Serikat tidak dapat menggunakannya sebelum adanya implementing legislation yang berupa peraturan hukum federal yang dikeluarkan oleh Kongres. 26 OPINIO JURIS menggunakan perjanjian internasional tersebut sebagai dasar hukum untuk memutus perkara, dengan kata lain, Indonesia adalah negara monisme. Selanjutnya, kata “berlaku” ada yang memaknai bahwa UU Pengesahan ini baru berlaku bagi Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi pada tanggal yang ditetapkan tersebut, dengan kata lain, setelah disahkan maka UU Pengesahan tersebut dijadikan legal basis bagi Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi. Filosofi sistem ketatanegaraan Indonesia dalam hubungannya dengan perjanjian internasional sebenarnya sangat jelas dan tegas bahwa praktik yang dianut oleh Indonesia adalah sistem dualisme sehingga perjanjian internasional apapun yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat diberlakukan secara langsung oleh hakim di pengadilan karena harus ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk peraturan perundangundangan yang diakui di Indonesia, dalam hal ini adalah undang-undang. Dengan kata lain, semua perjanjian internasional bersifat non-self-executing sehingga pemberlakuannya harus menggunakan implementing legislation yang berupa undang-undang. Dengan demikian, kata “berlaku” yang terdapat 1 Volume 04 | Januari - April 2012 di dalam Pasal 2 UU Pengesahan sebenarnya ditujukan kepada Pemerintah dan DPR, yang mana ketika kedua lembaga tinggi negara ini berkolaborasi dalam pembuatan rancangan undang-undang, mereka harus mengingat kembali dan melihat bahwa ada norma-norma hukum internasional yang telah mereka setujui bersama yang harus diberlakukan di Indonesia21. Sebagai contoh adalah ketentuan-ketentuan dari Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 yang kemudian dijabarkan di dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan materi-materi dalam UN Convention on Climate Change yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 6 Tahun 1994 mulai berlaku efektif setelah diundangkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.22 Dari kedua contoh tersebut maka semakin jelas ke-dualisme-an Indonesia bahwa perjanjian internasional tidak dapat digunakan secara langsung di pengadilan tetapi implementing legislation-nya yang digunakan oleh para hakim untuk memutus perkara. Meskipun demikian, kaidah-kaidah hukum internasional tetap boleh 21 Pemahaman penulis saat menelaah substansi undang-undang pengesahan dan keputusan presiden [baca: peraturan presiden] terkait dengan pengesahan perjanjian internasional dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hukum internasional dikenal dengan istilah transformasi soft dan hard, dan praktik Indonesia lebih mengarah pada transformasi hard karena kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan hukum di tangan DPR, meskipun inisiasi pembentukannya juga bisa dilakukan oleh Pemerintah. Ini merupakan salah satu penemuan hukum penulis ketika menulis disertasi hukum di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 22 Contoh-contoh ini disampaikan dalam slideshow powerpoint di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Keterangan Ahli yang mewakili Pemerintah c.q. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pemahaman ini juga merupakan hasil diskusi dengan Bapak Abdul Kadir dan Bapak Rahmat Budiman di Direktorat Perjanjian Internasional di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 27 Volume 04 | Januari - April 2012 digunakan oleh hakim-hakim sebagai alat bantu untuk melakukan interpretasi hukum terhadap pasal-pasal dalam undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari perjanjian internasional, seperti masalahmasalah yang terkait dengan hukuman atas pelanggaran perikanan di ZEE negara pantai, di mana pasal 73 Ayat 3 UNCLOS 1982 menentukan bahwa “Coastal State penalties for violation of fisheries laws and regulations in the EEZ may not include imprisonment, in the absence of agreements to the contrary by the States concerned, or any other form of corporal punishment.” Namun, jika peraturan hukum dari suatu negara terkait dengan pelanggaran perikanan tersebut memberikan sanksi pidana kurungan atau penjara, maka hakim dapat menggunakan UNCLOS 1982, jika mau, sebagai a help tool untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak sesuai tersebut.23 Implementasi Kaidah-Kaidah Hukum Internasional di Pengadilan Nasional Indonesia: Hukum Internasional sebagai A Help Tool bagi Hakim-Hakim untuk Melakukan Interpretasi Hukum Berbicara implementasi kaidah-kaidah hukum internasional di Indonesia sebenarnya tidak terlalu menjadi beban bagi para hakim di Indonesia karena para hakim memang tidak diwajibkan untuk menggunakan hukum internasional sebagai salah satu sumber hukum yang dipakai untuk memutus perkara karena tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia, khususnya di dalam OPINIO JURIS Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, jika hakim-hakim mau, hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tetapi belum ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang, mereka dapat menggunakan pasal-pasal di dalam perjanjian internasional tersebut sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak linier dengan kewajibankewajiban internasional yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Jika tidak mau, maka kaidah-kaidah hukum internasional tersebut tidak mungkin dapat diterapkan dan tentu saja tidak berlaku secara efektif di pengadilan-pengadilan nasional Indonesia. Yang menjadi ironi adalah pengetahuan hakim-hakim tentang perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, khususnya bagi mereka yang berada jauh sekali dari pusat pemerintahan, apakah mereka memahami tentang kewajibankewajiban internasional yang diemban oleh Indonesia sebagai konsekuensi dari peratifikasian perjanjian-perjanjian internasional tersebut. Tugas hakim adalah tugas yang sangat mulia karena seluruh pertanggungjawaban atas putusan-putusannya kepada Tuhan. Bahkan ada adagium yang mengatakan bahwa putusan hakim tidak pernah salah alias selalu benar karena hakim berusaha mendapatkan kebenaran yuridis, bukan kebenaran empiris, sehingga yang dapat menganulir putusan hakim adalah hakim yang memiliki kedudukan lebih tinggi, bukan pendapat masyarakat. Namun demikian, fungsi 1 23 Hasil diskusi dengan Prof. Craig Allen, University of Washington Law School, Seattle, W.A. – U.S.A. 28 OPINIO JURIS hakim tidak hanya untuk menegakkan hukum saja, tetapi juga menegakkan keadilan24. Profesor Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum itu tidak berada pada ruang yang hampa25. Orang mencuri pasti ada alasannya sehingga konstruksi berfikir dalam menegakkan hukum tentu saja sangat berbeda dengan konstruksi berfikir dalam menegakkan keadilan, jika konstruksi berfikir menegakkan hukum melihat dari sisi perbuatan, sedangkan konstruksi berfikir menegakkan keadilan menelaah dari sisi alasanalasan mengapa perbuatan tersebut dilakukan26. Hakim dalam memutus perkara harus mendasarkan pada konstruksi berfikir hukum yang obyektif, bukan pada ketenaran atau kepentingan pribadi. Seringkali ketika hakim-hakim di Indonesia harus memberi vonis hukuman mati kepada terdakwa, mereka selalu mengatakan bahwa kami sangat berhati-hati memutus dan telah menjalankan sholat tahajud dan istiqarah semalaman. Bagi saya, hal tersebut sama sekali sekali tidak ada kaitannya dengan putusan hukum mati karena saya yakin bahwa Tuhan tidak akan datang dan membisikkan sesuatu kepada hakim-hakim tersebut. Tanpa harus menjalankan ibadah seperti itu, hakim-hakim sah-sah saja memberikan putusan mati kepada seorang terdakwa, jika putusan tersebut obyektif dan mem- Volume 04 | Januari - April 2012 pertimbangkan dan menelaah putusan-putusan hakim dalam kasus-kasus sebelumnya yang serupa sehingga vonis mati tersebut memang pantas dan tidak melanggar rasa keadilan. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat semua kategori first degree murders pasti akan mendapatkan hukuman mati meskipun pelakunya adalah anak-anak karena Pasal 6 Ayat 5 ICCPR telah direservasi oleh Senat Amerika Serikat ketika memberikan persetujuan kepada Presiden saat akan meratifikasi Kovenan tersebut. Kasus Suresh27 di Kanada menunjukkan bahwa hakim memiliki peran yang sangat vital dalam mengimplementasikan norma-norma hukum internasional dan memiliki kebebasan dalam membuat interpretasi hukum sehingga peraturan-peraturan hukum nasional Kanada yang substansinya tidak sesuai dengan hukum internasional dapat dianulir dan dinyatakan tidak berlaku oleh hakim28. Demikian pula di Perancis, dalam kasus Cinar, ketika ada peraturan hukum nasional yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dalam hukum internasional, hakim di Pengadilan Kasasi Perancis (Counseil d’Etat) tidak segan-segan menganulir putusan pengadilan di bawahnya karena tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang diatur di dalam Pasal 3 Ayat 1 Konvensi 1 Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence)-Kasus Hakim Bismar Siregar, Citra Aditya Sakti, Bandung, hlm. 44-45. 25 Ibid., hlm. 51-53. 26 Pemahaman penulis setelah membaca berbagai macam literatur hukum yang membahas sociological legal jurisprudence dan pure legal theory. 27 Lihat: Suresh v. Canada, 2002, SCC 1. File No. 27790. 28 Hugh M. Kindred, The Challenge of Internalizing International Convention Law: The Expereince of Australia, England and Canada with Ratified Treaties, dalam Christopher P.M. Waters (Ed.), 2006, British and Canadian Perspectives on International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden/Boston, hlm. 402-403. 24 29 Volume 04 | Januari - April 2012 Hak Anak, khususnya pada bagian “the best interest of the child”29 Selanjutnya, dalam beberapa kasus di Australia, beberapa hakim menolak menggunakan hukum internasional, seperti kasus Chow Hung Ching 30 di mana hakim Dixon mengatakan bahwa “International law is not part but is one of the source of our law.”31 Kemudian kasus Chung Chi Cheung32 di mana hakim Starke menyatakan bahwa agar peraturan hukum internasional menjadi sah sebagai bagian dari hukum nasional maka peraturan hukum internasional tersebut harus “be accepted and adopted by our domestic law.”33 Ke-dualisme-an Australia ini diulang oleh hakim Kirby dalam kasus Jago 34 dan kasus Chacia35, di mana ia berpendapat hukum bahwa: “It would be an “error” to incorporate international human rights law, as such, into Australian domestic law, it was appropriate to use statements of international law as a “source” of filling a lacuna in the common law of Australia or for guiding the courts as to practice of Australian courts as to proper construction of the legislature provision in question.” 36 Namun, dengan ke-dualisme-an Australia 1 OPINIO JURIS tersebut tidak berarti bahwa hukum internasional tidak berkembang dengan baik karena hukum internasional tetap menjadi rujukan bagi hakim untuk menginterpretasikan peraturan-peraturan hukum di Australia. Salah satu kasus yang cukup menarik terkait dengan hukum internasional adalah kasus Teoh37 pada tahun 1995 di mana hukum nasional Australia diinterpretasikan oleh hakim Mason dan hakim Deane linier dengan Konvensi Hak Anak, dengan pertimbangan bahwa hukum keimigrasian Australia harus sesuai dengan ketentuanketentuan hukum internasional yang telah disetujui dan diterima oleh Pemerintah Commonwealth Australia meskipun Konvensi Hak Anak belum disetujui oleh Parlemen Commonwealth Australia dan ditransformasikan ke dalam peraturan hukum federal Australia. 38 Adapun alasan-alasan hukum dari High Court dalam kasus tersebut antara lain: “(1) Where a statute or sub-ordinate legislation is ambigious, the courts should favor that construction which accords with Australia’s obligations under a treaty or international convention to which Australia is a party, dan (2) The provisions Roger Errera, 1997, “Convention on the Rights of the Child-Distinction between Self-Executing and NonSelf-Executing Articles”, Case Comment, P.L. 1997, Win, 723-725, hlm. 723-724. 30 Lihat: Chow Hung Ching v. R., (1948) 77 CLR 449. 31 Rosaline Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard Piotrowicz & Martin Tsamenvi (Ed.), 2005, Public International Law: An Australian Perspective, Second Edition, Oxford University Press, Victoria, hlm. 117-118. 32 Lihat: Chung Chi Cheung v. R., (1938) AC 160. 33 Rosaline Balkin, op. cit., hlm. 118. 34 Lihat: Jago v. NSW, (1989) 168 CLR 23. 35 Lihat: Cachia v. Hanes, (1991) 23 NSWLR 304. 36 Rosaline Balkin, op. cit., hlm. 119. 37 Lihat: Teoh v. Commonwealth, (1995) 128 ALR 353. 38 Michael Legg, 2002, “Indigenous Australians and International Law: Racial Discrimination Genocide and Reparations”, 20 Berkeley J. Int’l L. 387, hlm. 392. 29 30 OPINIO JURIS of an international convention to which Australia is a party, especially one which declares universal fundamental rights, may be used by the courts as a legitimate guide in developing the common law.” 39 Sistem peradilan nasional Indonesia harus berubah dan berkembang ke arah yang lebih baik karena saat ini batas antar negara sudah semakin terbuka, artinya bahwa keluar masuknya barang, jasa dan orang dari satu negara ke negara lain semakin mudah sehingga memerlukan hakim-hakim yang mampu dan memiliki pengetahuan hukum yang berdimensi internasional. Hakim-hakim di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan peraturan-peraturan hukum nasional karena kasus-kasus yang berdimensi internasional yang ada di Indonesia semakin banyak, apalagi Indonesia terlibat dalam komunitas ASEAN, AFTA dan GATT serta berbagai kerjasama internasional lainnya. Oleh karena itu, hakim-hakim harus memperkaya diri mereka dengan kemampuan hukum internasional dengan mengetahui perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga para hakim juga memahami kewajiban-kewajiban internasional yang harus diemban oleh Indonesia sebagai negara pihak dari perjanjian-perjanjian tersebut. Kesimpulan Ke-dualisme-an Indonesia tercermin dari tidak diaturnya kedudukan hukum internasional di dalam UUD 1945 dan UU sehingga ini secara tidak langsung mendudukkan hukum nasional sebagai primat utama dalam sistem 1 Volume 04 | Januari - April 2012 peradilan nasional di Indonesia. Lebih lanjut, ke-dualisme-an Indonesia terlihat dari sumber hukum formal bagi hakim-hakim di Indonesia untuk memutus perkara yang terdapat dalam Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada akhirnya, ke-dualisme-an Indonesia tampak dari pentransformasian perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum nasional melalui metode hard transformation. UU Pengesahan perjanjian internasional bukan bentuk dari transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan hukum nasional di Indonesia karena fungsi dari UU Pengesahan tersebut hanya sebagai bentuk persetujuan DPR kepada Presiden yang akan meratifikasi perjanjian internasional. Selain itu, dengan UU Pengesahan ini, Presiden dapat memanfaatkannya sebagai legal basis untuk membuat dokumen ratifikasi. Kata “berlaku” yang selalu tercantum pada Pasal 2 UU Pengesahan memiliki makna, bukan bagi rakyat atau lembaga yudikatif, bagi Pemerintah dan DPR bahwa ada perjanjian internasional yang telah mereka setujui bersama yang mana ketentuan-ketentuannya harus ditransformasikan ke dalam sebuah peraturan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, permohonan pembatalan terhadap UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi adalah tidak benar karena UU Pengesahan ini merupakan praktik dari treaty-making power antara Presiden dengan DPR yang diatur di dalam Pasal 11 UUD 1945, bukan Pasal 20 UUD 1945 dalam kaitannya dengan legislative power. Ketidakhadiran ketentuan-ketentuan hukum 39 ibid. 31 Volume 04 | Januari - April 2012 internasional di dalam sistem peradilan nasional Indonesia bukan berarti mengurangi arti peratifikasian Pemerintah Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional karena sebagian besar peraturan-peraturan hukum internasional telah digejahwantahkan ke dalam berbagai macam undang-undang. Namun demikian, bagi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang belum ditransformasikan ke dalam bentuk 32 OPINIO JURIS undang-undang, adalah menjadi kewenangan hakim-hakim Indonesia, jika mau, sebagai a help tool untuk melakukan interpretasi hukum atas semua peraturan hukum nasional yang substansinya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan awal dari perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Jika tidak mau, maka ketentuan-ketentuan hukum internasional tersebut menjadi tidak dapat diterapkan (inapplicable). OPINIO JURIS Volume 04 | Januari - April 2012 PERKEMBANGAN ISU HUKUMAN MATI DI INDONESIA Elmar I. Lubis, SH Pendahuluan Sampai saat ini hukuman mati masih menjadi bagian dalam hukum pidana Indonesia baik dalam KUHP maupun di luar KUHP1. Hal ini telah menimbulkan perdebatan antara yang setuju dengan yang tidak setuju dengan penerapan hukuman mati dalam sistem pidana seiring dengan desakan masyarakat internasional untuk menghapuskan hukuman mati. Sampai saat ini 68 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia, 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan penghapusan terhadap hukuman mati. Pada tanggal 11 November 2010, Komite III SMU ke-65 PBB telah mengadopsi ranres 65/206 mengenai Moratarium on the Use of the Death Penalty melalui pemungutan suara sebagai berikut: Mendukung 107 negara, Menolak 38 negara, dan abstain 36 negara. Indonesia termasuk dalam negara yang menolak ranres tersebut. Indonesia dan sebagian negara lainnya masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukumnya dengan mengemukakan berbagai argumen filsafat, hukum, politik dan bahkan agama yang tidak kalah absahnya dibandingkan yang menolak hukuman mati. Karena isu hukuman mati mencakup ruang lingkup yang sangat luas, maka tulisan ini hanya berupaya untuk menggambarkan pertentangan yang terjadi di Indonesia tentang pemberlakuan hukuman mati dan yang terpenting adalah anali- 1 2 Ancaman hukuman mati dalam KUHP terdapat dalam pasal-pasal : Makar membunuh Kepala Negara (Pasal 104); Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia [Pasal 111 ayat (2)]; memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (Pasal 124 ayat 3); Membunuh Kepala Negara negara sahabat [Pasal 140 ayat (1)]; Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu [Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340]; Pencurian dengan kekerasan ... yang mengakibatkan luka berat atau kematian [Pasal 365 ayat (4)]; Pembajakan ...sehingga ada orang mati (Pasal 444); Dalam waktu perang menganjurkan huru hara (pasal 124 bis); Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127 dan pasal 129); Pemerasan dengan pemberatan [pasal 368 ayat (2)]; Dalam memori penjelasan disenutkan bahwa negara berhak untuk menjalankan semua peraturan atau ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, termasuk pidana mati sebagai “kriterium keharusan” dengan maksud negara dapat memenuhi kewajibannya untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum. Peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang mencantumkan ancaman pidana mati : UU Nomor 12 Drt Tahun 1951 tentang Senjata Api, Amunisi, Bahan Peledak, Senjata Pemukul, Senjata Penikam atau Senjata Penusuk; UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM); UU Nomor 15 dan 16 Tahun 2003 jo Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 33 Volume 04 | Januari - April 2012 sa terhadap argumen yang dikemukakan oleh Pemerintah untuk tetap mempertahankannya. Latar belakang Sejarah dan Perkembangan hukuman mati Perdebatan tentang pidana mati pada intinya terbagi dalam dua arus pemikiran utama; pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara keseluruhan. Selebihnya hanyalah upaya untuk tetap mempertahankan pemberlakukan hukuman mati dengan cara pandang hukuman mati sebagai upaya akhir yang harus diperlakukan secara khusus, ketat dan terbatas. Secara anthopologis hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang sudah dikenal sejak lama di berbagai kebudayaan dan bangsa dan dapat dianggap sebagai bentuk hukuman berat yang paling tua. Hukuman mati juga dikenal dan diakui oleh berbagai agama. Walaupun demikian, dalam perkembangannya penafsiran terhadap hukuman mati termasuk dalam agama juga mengalami perubahan-perubahan. Pemikiran filsafat sosial-politik dan hukum yang terus berkembang juga mendorong perubahan cara pandang terhadap hukuman mati. Landasan pemikiran yang bermuara pada ajaran agama, filsafat sosial-politik dan hukum tersebut pada akhirnya bercampurbaur yang kemudian tercermin dalam berbagai aturan dalam hukum positif. Seringkali hukuman mati diberlakukan hanya sekedar untuk memenuhi kepentingan penguasa (raja) atau pemerintahan kolonial. Namun contoh tersebut tidak dapat mengabaikan banyaknya hukuman mati di berlakukan atas dasar kehendak demokratis dari masyarakat itu sendiri. 34 OPINIO JURIS Salah satu landasan pemikiran yang utama dan mungkin tertua yang mendukung adanya hukuman mati adalah teori pembalasan. Berdasarkan teori pembalasan, pidana mati dijatuhkan karena pidana hukuman mati merupakan upaya untuk mempertahankan dan menegakkan kesusilaan dan keadilan. Pidana dijatuhkan bukan karena mempromosikan suatu tujuan atau kebaikan namun semata-mata adalah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang sehingga kesusilaan dan keadilan dalam bentuk keseimbangan yang mutlak tetap tercapai. Dalam perkembangannya, teori pembalasan ini mengalami transformasi dan memasukkan tujuan-tujuan ideal lainnya seperti unsur upaya preventif dan efek jera dan menghilangkan sumber ancaman. Di lain pihak, penolakan terhadap pidana hukuman mati menilai bahwa hukuman mati bertolak belakang dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Negara dan kekuasaan apapun tidak memiliki kewenangan untuk mencabut hak hidup seseorang. Pandangan ini juga menjelaskan bahwa efek jera dan upaya preventif terbukti tidak berhasil dan juga tidak memperbaiki kesalahan yang terjadi. Pemikiran ini dilandasi semangat humanisme yang berkembang di Eropa Barat setelah mengalami peperangan dan kehancuran ejak perang perang di Eropa selama abad 19 dan abad 20 yang diakhiri dengan Perang Dunia I dan II. Penolakan terhadap hukuman mati juga banyak diakibatkan oleh kenyataan bahwa banyak hukuman mati dilaksanakan terhadap orang-orang yang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan penguasa tanpa ada alasan kuat apapun yang dapat mendukung pelaksanaan mati tersebut harus dilakukan dan OPINIO JURIS hanya sekedar penolakan atau penghilangan hak hidup orang tersebut. Selain itu, banyak bentuk hukuman mati dilaksanakan dengan menggunakan metoda hukuman yang sangat kejam dan cenderung sadis dan menyebabkan penderitaan dan rasa sakit luar biasa.2 Pengakuan terhadap hak asasi manusia secara langsung mempengaruhi cara pandang terhadap keabsahan hukuman mati. Pembatasan ruang gerak apa yang tidak dan dapat dilakukan oleh negara terhadap individu dan perubahan-perubahan besar dalam cara pandang terhadap kekuasaan dan politik secara relative telah mendorong semakin kuatnya dorongan untuk menghapuskan bentuk hukuman mati. Perkembangan isu hukuman mati di lingkup global diwarnai dengan tuntutan moratorium dan penghapusan hukuman mati. Dapat dicatat bahwa kebanyakan negara yang telah menghapuskan hukuman mati adalah negara-negara anggota Uni Eropa. Adapun di kelompok negara ASEAN, hanya Filipina yang telah menghapuskan hukuman mati. Sementara itu, terdapat beberapa negara yang masih mengakui dan melaksanakan hukuman mati namun dengan cara yang sangat selektif dikenal sebagai retentionist, seperti misalnya Indonesia yang melaksanakan hukuman mati dalam jumlah yang sangat rendah dan hanya dipergunakan untuk tindak pidana berat tertentu saja. Atas tren penghapusan hukuman mati tersebut, negara-negara yang telah menghapus hukuman mati secara rutin mendorong isu penghapusan hukuman mati di ber- Volume 04 | Januari - April 2012 bagai kesempatan, termasuk dalam Sidang Majelis Umum (SMU) PBB. Secara rutin, rancangan resolusi (ranres) tentang moratorium penerapan hukuman mati yang didukung oleh kelompok negara-negara Uni Eropa diajukan di SMU PBB sejak tahun 2007. Di Inggris dan beberapa negara bagian Amerika Serikat, hukuman mati telah dihapuskan. Sedangkan di beberapa negara lainnya tetap berlaku tetapi tidak pernah digunakan. Di lain pihak, upaya penghapusan hukuman mati di India telah berlangsung sejak jaman kolonial Inggris saat Gaya Prasad Singh pada tahun 1931 mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) kepada Dewan Legislatif untuk menghapuskan hukuman mati, namun mengalami penolakan dari Pemerintah yang berkuasa. Kemudian setelah India merdeka, rancangan yang serupa kembali diusulkan kepada Parlemen India oleh Mukand Lal Agarwal, pada tahun 1956, dan tetap mengalami penolakan dari Pemerintah. Pada tanggal 21 Oktober 2010, di kesempatan SMU PBB ke-65, delegasi Gabon dan Micronesia telah menyelenggarakan konsultasi informal pertama tentang rancangan resolusi (ranres) “Moratorium on the use of the death penalty”. Walaupun diketahui secara luas bahwa dibalik pemrakarsa resolusi tersebut adalah Uni Eropa, namun selalu diciptakan kesan bahwa resolusi ini merupakan prakarsa negara-negara lintas kawasan. Sebagai catatan, pada tahun 2007 ranres ini diusulkan oleh Italia dan Chile, serta pada tahun 2008 ranres ini diusulkan oleh Chile dan Angola. 1 2 Beberapa cara hukuan mati yang dikenal di Eropa, Timur Tengah dan Asia Pasifik antara lain : diikat di roda berpaku, direndam dalam air mendidih, dirajam dengan lemparan batu, ditusuk dari dubur ke mulut, diinjak gajah atau benda berat, ditarik oleh beberapa kuda kearah yang berlawanan, pemotongan anggota badan, dibakar, di potong dengan gergaji, ditembakkan dari dalam meriam, memotong daging secara perlahan. 35 Volume 04 | Januari - April 2012 Pada tanggal 11 November 2010, Komite III SMU ke-65 PBB telah mengadopsi ranres 65/206 mengenai Morotarium on the use of the Death Penalty melalui pemungutan suara sebagai berikut: Mendukung 107 negara, Menolak 38 negara, dan abstain 36 negara. Indonesia termasuk dalam negara yang menolak ranres tersebut. Pernyataan Catherine Ashton dan Thorbjørn Jagland, Secretary-General of the Council of Europe dapat kiranya secara singkat menggambarkan argumen utama atas penolakan hukuman mati Uni Eropa. Catherine Ashton menyatakan bahwa sejarah menunjukkan pelaksanaan hukuman mati tidak pernah dapat mencegah peningkatan tindak kriminal, maupun memberikan keadilan bagi korban tidak kriminal tersebut. Pada saat yang sama, karena tidak satupun sistem hukum yang kebal dari kesalahan, maka hukuman mati yang telah dilaksanakan tidak mungkin untuk dibatalkan atau mengembalikan nyawa terpidana mati. Dengan demikian hukuman mati hendaknya dihapuskan karena : n Hukuman mati tidak memberikan dampak jera maupun preventif terhadap terjadinya tindak kriminal n Hukuman mati tidak memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya bagi korban n Hukuman mati tidak mungkin untuk diperbaiki jika terjadi kesalahan dalam sistem peradilan yang akan selalu tidak sempurna n Hukuman mati dinilai bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan posisi yang menghendaki tetap adanya hukuman mati beralasan : n Hukuman mati merupakan tindakkan pembalasan dan pembentukan keadilan n Hukuman mati merupakan upaya efek jera dan 36 OPINIO JURIS preventif terhadap terjadinya tindak pidana Hukuman mati ditujukan untuk menghilangkan ancaman terhadap keselamatan dan kepentingan umum. n Alasan-alasan yang dikemukakan diatas dilandasi 3 argumen dasar, yaitu : Teori Absolut, digunakan sebagai landasan untuk melakukan pembalasan. Pidana dimaksudkan untuk mencapai tujuan praktis dan juga untuk menimbulkan nestapa bagi orang tersebut. Jadi menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana dan harus ada akibat mutlak dalam bentuk pembalasan untuk mencapai kesimbangan dan keadilan. Teori Relatif, menyatakan bahwa pidana merupakan alat untuk mencegah adanya kejahatan dan bagian dari upaya menjaga kepastian hukum dan tata tertib masyarakat. Dengan demikian pidana dalam teori ini merupakan alat pencegahan untuk menakut-nakuti, memperbaiki dan membuat pelaku kejahatan tidak berdaya lagi. Jadi menurut teori ini pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat baik bagi pelaku kejahatan maupun masyarakat. Dasar pembenaran dari teori ini adalah terletak pada tujuannya, yaitu supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi. Teori Gabungan, yaitu pidana merupakan pembalasan yang pelaksanaannya menjamin terciptanya keadilan yang setimpal dan untuk menegakkan tata tertib hukum. Den- OPINIO JURIS gan demikian, tindakan pembalasan adalah asas hukum pidana untuk menciptakan keadilan dan juga tetap memberikan dampak positif yang antara lain untuk menjaga kepastian hukum dan tata tertib dalam masyarakat serta sebagai prevensi general. 3 Terhadap ke tiga teori tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan4. Dengan demikian, fungsi hukuman mati yang hanya ditujukan pada upaya legitimasi kekuasaan sudah sama sekali ditinggalkan. Asumsi paling dasar yang digunakan adalah fungsi hukum itu sendiri tidak lain demi kepentingan masyarakat sendiri dan bukan untuk kepentingan penguasa. Pendekatan positivisme hukum dalam penerapan sanksi pidana dengan menggunakan asas legalitas, yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale”, terkadang juga dikemukakan oleh sebagian kalangan di Indonesia untuk mempertahankan pemberlakukan hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia. Menurut Wiryono Prodjodikoro, bahwa tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan kemudian ditambahkan oleh para sarjana hukum, tujuan hukum pidana adalah: 5 n Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general preven- Volume 04 | Januari - April 2012 tie) maupun menakut-nakuti orang-orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (specialle preventie). n Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar orang menjadi baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Dalam RUU KUHP yang baru disebutkan, bahwa tujuan pemidanaan adalah: n Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. n Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna. n Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. n Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dalam Pasal 10 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur jenis-jenis Pidana atau hukuman yang meliputi antara lain pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda; serta pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Sementara itu, Taufik Makaro menilai bahwa hukuman mati dapat membuat jera 1 3 4 5 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hal:10. Widodo Supriyadi S.H., MM, Efektifitas Hukuman mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia W. Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1981, hal: 27. 37 Volume 04 | Januari - April 2012 pelaku kejahatan maupun orang lain agar tidak berbuat atau melakukan kejahatan/tindakpidana yang sama; dan juga untuk mengurangi tindak pidana/kejahatan dalam masyarakat serta untuk menegakkan hukum di Indonesia.6 Andi Hamzah menyatakan bahwa hukuman mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, sehingga hanya diancamkan kepada kejahatan-kejahatan yang amat berat saja yaitu perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain yang diserang dan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya besar atau mempunyai akibat-akibat yang berpengaruh besar terhadap perikehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya serta ketahanan nasional7. Pandangan ini menempatkan hukuman mati sebagai upaya khusus yang hanya dibunakan sebagai langkah terakhir. Dalam penjelasan KUHP dikatakan bahwa pidana mati masih diperlukan karena kondisi spesifik Indonesia saat ini seperti masih adanya bahaya gangguan atas ketertiban hukum, wilayah Indonesia yang sangat luas, penduduknya terdiri dari berbagai macam golongan yang mudah bentrok, sedangkan alat-alat Kepolisian tidak begitu kuat.8 Hukuman mati di Indonesia Sebagai negara demokratis yang memiliki komitmen untuk memajukan HAM, Indonesia memandang positif perdebatan tentang penghapusan, atau penangguhan dan mempertahankan hukuman mati di Indonesia. Kelompok penentang hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati harus diha- 1 6 OPINIO JURIS puskan karena bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 yang mengakui hak untuk hidup. {andangan ini berpendapat bahwa bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan dan tidak ada satu lembagapun memiliki hak membunuh seseorang dengan alasan apapun. Sistem hukuman mati yang ada sekarang oleh kelompok penentang dinilai tidak dapat membuktikan keberhasilan efek jera maupun sebagai faktor pencegah kejahatan karena dalam kenyataannya tindakan kriminal tetap ada dan pada saat tertentu bahkan mengalami peningkatan baik jumlah maupun kualitasnya. Dalam konsep Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang baru, dirumuskan bahwa pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus (pidana exceptional) dan tidak termasuk lagi dalam pidana pokok, karena diterapkan terhadap tindak pidana yang bersifat “the most serious crime” Penerapan hukuman mati di Indonesia berfungsi antara lain sebagai pembalasan, prevensi umum/khusus, pendidikan, menakut-nakuti, menciptakan efek jera, bahkan membinasakan bagi pelaku tindak pidana tertentu. Dalam perundang-undangan, baik KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP, beberapa tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dapat digolongkan sebagai tindak pidana yang berat/khusus. Oleh karena itu tepat kiranya untuk menyimak arti pentingnya pencantuman pidana mati tersebut, baik melalui maksud dan tujuan pemidanaan yang lebih mengarah pada pembalasan dan prevensi umum/khusus atau efek jera, juga melalui filosofi dan maksud Taufik Makaro, dkk., Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003, hal: 78. Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,1983, hal: 32 8 Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, hal:17. 7 38 OPINIO JURIS diundangkannya undang-undang dimaksud disesuaikan dengan kemauan politik (political will) pemerintah melalui pembentukan UU9. Pidana mati di Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah kasus tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal ini, terpidana mati memiliki hak untuk melakukan upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, untuk meminta keringanan atas hukuman tersebut. Upaya dimaksud adalah Peninjauan Kembali (PK) dan Grasi, yang merupakan upaya hukum terakhir bagi terpidana. Dalam proses PK yang diajukan terpidana, Mahkamah Agung berkewajiban mempertimbangkan unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan politis suatu kasus, yang memperbesar kemungkinan pemberian keringanan atas putusan hukuman mati. Dengan demikian, tampak jelas bahwa hukum Indonesia menempatkan hukuman mati dalam posisi yang sangat khusus dan hanya diperuntukan bagi upaya terakhir yang hanya dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Upaya Proses pemulihan yang dapat dilakukan oleh terpidana antara lain adalah remisi, grasi, abolisi, amnesti yang merupakan wewenang presiden yaitu: n Remisi menurut Pasal 1 ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun 1999, adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang telah Volume 04 | Januari - April 2012 berkelakuan baik selama menjalani pidana.10 n Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana yang diberikan oleh Presiden. Yang dapat diajukan permohonan grasi yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun (UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi Pasal 2 ayat (2). 11 n Abolisi adalah keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, ketika pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan. n Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh 1 9 Widodo Supriyadi S.H., MM, Efektifitas Hukuman mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia Remisi dan asimilasi, tertuang kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Di pasal 34 ayat (3) disebutkan narapidana yang masuk kategori tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan yakni berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. 11 Hal ini juga diatur dalam Keppres RIS No. 156/1950, yang menyatakan bahwa jika selama 5 tahun berturut-turut sejak memperoleh grasi terhukum berkelakuan baik, mereka berhak mendapat remisi, yaitu hukuman penjara maksimal 20 tahun. 10 39 Volume 04 | Januari - April 2012 suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan. n Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim, di mana dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula. Atau bahkan, ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Dalam UUD 1945 pasal 14 disebutkan bahwa presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Sedangkan terkait pemberian amnesti dan abolisi, disebutkan presiden dapat memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut data dari Kejaksaan Agung, per Januari 2011, terdapat 118 orang terpidana mati di seluruh Indonesia. Saat ini, berkurang lima, yang terdiri empat menjadi seumur hidup dan 1 menjadi 12 tahun. Dari 113 sisanya, belum ada yg dieksekusi mengingat upaya hukum belum selesai. Berdasarkan data dari Sekretariat Negara RI, pengajuan grasi sejak tahun 2000 yang telah mendapat putusan Presiden berjumlah 29, dan Presiden memberikan Amnesti dan Abolisi untuk setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka melalui Keppres No. 22 tahun 2005. Seluruh terpidana mati di Indonesia adalah orang dewasa, karena diatur dalam pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 bahwa “Penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak boleh dikenakan kepada anak-anak yang melanggar hukum”. 40 OPINIO JURIS Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak argumen utama yang dikemukakan oleh Indonesia dalam mempertahankan pemberlakuan hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia. Argumen-argumen tersebut dikemukakan oleh berbagai instansi terkait di Indonesia baik di pemerintah maupun lembaga peradilan dan kalangan akademisi dan cendikiawan. Namun demikian, bila ditelaah lebih mendalam, terdapat beberapa argumen yang seringkali dikemukakan oleh Indonesia yang menurut penulis sebagai argumen yang kuat maupun argumen yang lemah yang suatu saat akan merugikan Indonesia sendiri dan sebaiknya dihindari untuk digunakan yang antara lain adalah : Argumen lemah untuk mempertahankan hukuman mati n Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tentang tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan Hak konstitusionalitas (Kedudukan Hukum WNA) “Hukuman Mati”. Salah satu keputusan penting yang dapat digunakan sebagai salah satu rujukan penting yang menunjukkan posisi Indonesia dalam kaitannya dengan hukuman mati adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tentang tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan konstitusionalitas “Hukuman Mati”. Dalam keputusannya MK menyatakan bahwa Ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU OPINIO JURIS Narkotika, sepanjang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang diajukan para Pemohon perkara 2/PUU-V/2007 (Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran, Andrew Chan) dan Pemohon perkara 3/PUU-V/2007 (Scott Anthony Rush). Mengingat pentingnya Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tersebut untuk digunakan sebagai rujukan bagi posisi Indonesia terhadap hukuman mati, maka perlu kiranya untuk ditelaah lebih lanjut isi keputusan tersebut serta dampaknya bagi Indonesia di masa mendatang dan melihat kemungkinan celahcelah yang dapat menjadi kekuatan atau melemahkan dan merugikan Indonesia di kemudian hari, baik yang terkait secara langsung dengan hukuman mati itu sendiri maupun dengan sistem hukum pidana Indonesia secara keseluruhan. Adapun celah dan kelemahan argumen dalam keputusan MK tersebut antara lain adalah Penolakan MK terhadap kedudukan hukum pemohon WNA untuk mengajukan permohonan pengujian perundangan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tahun 1997 dalam putusan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) telah menolak permohonan warga negara asing Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott An- Volume 04 | Januari - April 2012 thony Rush terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) dan menyatakan bahwa para Pemohon yang berkewarganegaraan asing tidaklah mempunyai kedudukan hukum. Dengan demikian permohonan agar MK melakukan pengujian UU No. 22 tidak dapat diterima. Para Pemohon WNA asing yang telah dipidana mati tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika. Penulis berpandangan bahwa alasan ini kurang dapat dipertahankan. Argumen pemohon yang menyatakan bahwa hak konstitusionalnya dilanggar oleh UU Narkotika perlu dicermati secara lebih dalam terutama kaitannya dengan jiwa dari Pembukaan dan UUD 45. Hak konstitusional yang digunakan para pemohon WNA tersebut dapat ditafsirkan sebagai salah satu wujud dari hak hak asasi manusia yang bersifat universal. Hak-hak yang asasi ini sejalan dengan jiwa dari Pembukaan dan batang tubuh UUD 45 serta bangunan ketatanegaraan Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Dalam konteks penghormatan dan perlindungan HAM, sejalan dengan kecenderungan di masyarakat internasional saat ini, perlindungan HAM tersebut akan secara relative melampaui batas-batas negara dan kewarganegaraan dan bersifat universal. Dengan demikian, kedudukan hukum pemohon WNA tersebut seharusnya diterima karena hukum pidana Indonesia mengakui hak hak asasi manusia bersifat universal dan setiap individu diperlaku41 Volume 04 | Januari - April 2012 kan sama di depan hukum. Penolakan terhadap prinsip tersebut berarti juga penolakan terhadap pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian perundangan ke MK harus dibedakan secara substantive dengan putusan hukuman mati itu sendiri. Perlu juga dipertimbangkan sifat universalitas hukum pidana yang menempatkan individu dalam posisi yang sama adalah suatu ketidakadilan bila hukum pidana diberlakukan terhadap WNA dan pada saat yang sama WNA tersebut tidak memiliki hak tertentu yang terkait dengan hukum pidana yang dijatuhkan padanya dengan alasan kewarganegaraan. Oleh karena itu argumen yang menolak kedudukan hukum seseorang dalam kaitannya dengan hak konstitusionalnya sebaiknya tidak lagi digunakan oleh MK maupun lembaga peradilan Indonesia dalam menghadapi kasus yang sejenis di kemudian hari.12 b. Hukuman Mati tetap berlaku karena merupakan bagian dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia Argumen ini seringkali digunakan dengan menyebutkan bahwa hukuman mati masih berlaku di Indonesia karena memang hukuman mati masih merupakan bagian dalam hukum pidana Indonesia. Pandangan yang sangat positivist ini dirasakan sulit untuk dipertahankan karena dengan dianutnya prinsip-prinsip HAM dan demokrasi dalam hukum mod1 12 42 OPINIO JURIS ern saat ini, hukum bukan menjadi hukum bila hukum tersebut tidak mewakili atau bertentangan dengan moralitas yang hidup dalam masyarakat seperti misalnya HAM, demokrasi dan rasa keadilan. Walaupun aliran positivisme menenkankan pentingnya adanya kepastian hukum untuk menjamin ketertiban, namun alas an ini tidak dapat diberlakukan secara terpisah dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang dikandung oleh hukum itu sendiri, seperti rasa keadilan, demokrasi dan HAM. Argumen kuat untuk mempertahankan hukuman mati Hukuman mati masih mewakili rasa keadilan yang dituntut oleh masyarakat Selain unsur efek jera, efek preventif, pada dasarnya unsur pembalasan merupakan argumen kuat yang tidak dapat diabaikan yang merupakan jelmaan unsur rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai negara yang demokratis, hukum yang berlaku harus dapat mencerminkan dan mewakili rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia menilai bahwa hukum pidana mati masih tetap merupakan bagian dari hukum pidana Indonesia karena masyarakat Indonesia masih menginginkan adanya hukuman mati tersebut. Hal ini sangat penting karena adanya bias pandangan yang menilai bahwa hukuman mati tetap diberlakukan hanyalah demi kepentingan penguasa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang dilaksanakan demi kepentin- Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California Press Berkeley, Hal 67. OPINIO JURIS gan masyarakat dan bukan penguasa. Dengan demikian, landasan hukum yang demokratis ini sama sekali berbeda dengan bentuk pelaksanaan hukum yang dalam sejarah memang sering digunakan hanya demi kepentingan penguasa. Oleh karena itu, lembaga yudikatif, eksekutif dan legislative dan perangkat lembaga negara lainnya harus tetap menghormati keinginan rakyat tersebut. Hanya saja memang hukum Volume 04 | Januari - April 2012 tersebut tidak secara otomatis dilaksanakan hanya sebagai pelaksanaan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat, hal ini ditunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia saat ini hanya diberlakukan sebagai upaya paling akhir yang bersifat khusus dan hanya dilaksanakan untuk bentuk-bentuk pidana tertentu saja yang dipandang membahayakan dan mengancam kepentingan masyarakat luas dan negara. 43 Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS CAN TRIALS HELP VICTIM-WITNESSES OF MASS ATROCITY HEAL? Pangky B.P Saputra, SH What can man do ‘gainst such reckless hate? – Théoden King ‘The Two Towers’, J.R.R. Tolkien Fiat justitia ruat Caelum Let justice be done though the sky may fall In the years since the end of the Cold War, the field of international law has been expanded greatly in specific relation to tribunals, courts and the application of international legal standards. The impetus for this expansion of jurisprudence was no academic inquiry or exercise, rather the proliferation of mass atrocity committed globally. In the wake of conflict and repression, the international community and various domestic agencies sort to apply international legal standards through various means as methods of stabilising, securing and sanitising new or emergent societies, to pursue transgressors and ultimately guard against the reoccurrence of violence. Perhaps sufficient time since the instigation of these methods has elapsed so now there is an opportunity to review and critique their appropriateness, especially in relation to how they treat the people involved and left behind after the violence has passed. Do trials help people to heal? The crimes of recent years have been, in intensity and diversity, perhaps the most brutal ever seen. Indeed the emphasis there is on seen as with the proliferation of personal media access, more and more people can have a front row seat for more and more of the worst of what man can do to his fellow man. From the Southern Europe to Southern Africa; Australasia to the Andes; conflict, oppression, and our access to it, has been increasingly phenomenal. The response to this from the Western world has, in column inches and public indignation, been great. As what is thought by the governments and political actors of the Western world is often the opinion most forcibly expressed, the international community sort to ‘do something’ about what they saw. What has thusly been enacted is a vast schema of legal bodies, tribunals, courts and commissions. Seen by a large number of commentators [including the author] as a sop to the guilt-ridden West for its inaction during actual conflicts and repressions, the legal redress system in international politics has never-the-less become entrenched, and by a further number applauded The two major UN instituted legal bodies are:1 The International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia since 1991, [more comn 1 1 “… the establishment of the Hague Tribunal was an act of tokenism by the world community … creating an institution that would give the appearance of moral concern”, Gary J Bass (2000) “Stay the Hand of Vengeance: The politics of War Crimes Tribunals”; pp 207. Quoted in Fletcher and Weinstein, pp 584. 44 OPINIO JURIS monly and hereafter known as the ICTY]. The International Criminal Tribunal for Rwanda [ICTR]. These two are the premier examples of traditional legal methods of redress being extrapolated out onto the international level. The follow in direct succession from the post World War Two [WWII] war crimes trials instigated by the Allies to try suspected war criminals in both Germany and Japan, known as the Nuremburg Trials and the Tokyo Trials. The ICTY, ICTR, Nuremburg and Tokyo Trials are all examples of law applied through procedure and readily recognizable methods, such as; judge/s sitting in session, defendants’ presumed innocence, the calling of witnesses, documentary evidence submitted, the involvement of lawyers and advocates, judicial sentencing and right to appeal. United Nations Security Council [UNSC] Resolution 955 gives three reasons for the establishment of the ICTR: Maintenance of peace, effective redressing of violations and promoting national reconciliation. The first two are inline with the mandates of the ICTY, with the ICTR being the first to have been explicitly set up to foster national reconciliation (Barria and Roper 2005). The maintenance of peace is in the larger context a moot point, as the inauguration of these two bodies has not stopped current conflicts or even prevented violence from spreading further. Perhaps the UNSC demonstrated a level of prescience when the ICTY was set up to “[prosecute] persons responsible for serious violations of international humanitarian law n Volume 04 | Januari - April 2012 committed … between 1 January 1991 and a date to be determined by the Security Council upon the restoration of peace …” . This left an open ended commitment necessary as the violence spread to Kosovo in 1999.2 The ICTR’s area of competence spreads only over a 12month period, from 1 January 1994 – 31 December 1994. This was in response to the perceived notion that the genocide committed had run its course within in the confines of the calendar year, with violence being halted within Rwanda proper by the intervention of the RPF and the overthrow of the Hutu extremist regime3. Yet this narrow competence does not address the contravention of human rights standards before and after this time, nor the current conflict in the Kivu-Nord region of the Democratic Republic of Congo, which is a direct successor of the Genocide (Weiss 2000). There are crimes and victims not being heard by these courts simply due to this. “Furthermore, the arbitrary setting of spatio-temporal borders will affect the overall story and narrative that the courts look to establish.” (Dembour and Haslam 2004: 169) In judicial trials, which the ICTY and ICTR represent, the immediate aim has to be to decide the guilt or innocence of the accused. But as noted by Dembour and Haslam, international criminal tribunals have or should have extra functions that are in competition with each other. The basic tension is between black-letter legal standards and human experience: The need to focus narrowly on the accused whilst establishing the wider historical record of what happened; the 1 2 UNSC Resolution 827; at http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N93/306/28/ IMG/N9330628. pdf?OpenElement Accessed 05/01/2009 3 UNSC Resolution 955; at http://www.un.org/ictr/english/Resolutions/955e.htm Accessed 05/01/2009 45 Volume 04 | Januari - April 2012 adherence to legal strictures whilst also looking to the suffering of the victim; and the need to focus on harrowing past events whilst also setting out a hopeful vision for the future (Dembour and Haslam:152). It is these tensions that are of grave concern for those who see the legal procedures of standard black-letter law as inappropriate and damaging to those who testify and the societies they come from and represent. The field of post-conflict studies greatly lacks empirical research into some of the basic assumptions surrounding international criminal trials (Fletcher and Weinstein 2002:585). Surveys, questionnaires and substantive interviews with former victim-witnesses and survivors in their locales would and can be extremely valuable for the evaluation of the success of trials. What work has been done had been illuminating. From a study of Bosnian legal professionals [lawyers, advocates and judges], Fletcher and Weinstein have sort to dispel a number of assumptions and myths relating specifically to social repair and reconciliation that advocates of trials would support as truth (Fletcher and Weinstein 2002:586). Firstly, the need for discovering and publishing ‘the truth’, and that international criminal trials are the place to do this. This is based on the myth that “authoritative rendering of the truth is possible only as a result of judicial inquiry, and [that] major prosecutions can generate a comprehensive record of past violations”4. This however denies the basic intuition of the nature of ‘facts’. The old saying ‘there are two sides to every story’ is actually false; there are infinite sides to one story, mul- OPINIO JURIS tiplied by the number of people involved and affected by that story: “The truth is constituted of multiple facts, each of which is vulnerable to distortion, denial, rationalisation, and refutation”(Fletcher and Weinstein 2002:588). The courts are trying cases where one defendant sits in the dock and victim-witnesses are called to ascertain the guilt of the accused. More often than not those testifying will be from different, if not polar opposite [in relation to the ICTY] ethnic polity to the accused. The option to dismiss the narrative developed by the courts, who is guilty of what, out of hand exists and is used, as seen in Fletcher and Weinstein’s study of Bosniak legal professionals; “… universally individuals indentified their national group as victims … [the Bosniak legal professionals] looked to war crimes trials to reaffirm the victimisation of their own national group. There was no evidence that respondents acknowledged that war crimes were committed in their name”. (Fletcher and Weinstein 2002: 581) Whilst it may be difficult to believe professional men and women, when presented with the ‘facts’ as rendered, would choose not to believe them, it does not take much to situate this phenomenon in real-life instances, be they much less serious than war-crimes. During the writing of this essay, Steven Gerrard, the Liverpool Football Club captain, was arrested and charged with assault.(BBC 2008). Any trial has yet to take place, but I know that if he were to be found guilty I, as a Liverpudlian and LFC fan, would find it hard to accept, and I may well offer my own explanations as to why the verdict 1 4 46 Diane Orentlicher, quoted in Fletcher and Weinstein 2002, pp 587 OPINIO JURIS said one thing, but the ‘truth’ was and is another. A twee example, but the thought processes involved no less real than in post-conflict societies. The bias of ethnocentrism is inescapable. A further consideration the competency of trials to discover and publicize ‘the truth’ is concerning what ‘type’ of facts are listened to and accepted. Throughout Stover’s remarkable book, and Dembour and Haslam’s article, there are references to the courts’ having to disregard a lot of what those testifying are saying because it is not relevant to prosecution of justice in that trial (Stover 2007) (Dembour and Haslam 2004). The need to remove emotion and give grey, accountable facts to the court: “Lawyers learn to consider as facts only those that are precise, pedantic, quantifiable, thus structured within a true/false dichotomy … [the questions asked by the lawyers] appear objective. They privilege the sense of sight. Emotions, impressions, general reminiscences, renditions of atmosphere, and interrogations of a philosophical or ethical nature carry little authority in the courtroom.” (Dembour and Haslam:163) The fact is the impressions and emotions of the witnesses are important to their narrative and understanding of what happened, even if it is of no concern of the court. “The focus on literal facts constrains the manner in which witnesses are able to tell their stories and produces a truth that is only ever partially representative. This alone should cast doubts upon the wisdom of attributing too much authority to legal story telling.” (Dembour and Haslam:164) Facts are as stated not solid, immovable objects of verifiable reality. They are mutable Volume 04 | Januari - April 2012 and flexible, and recollections of events, especially traumatic events, can be coloured by a number of factors relating to stress and exposure, as covered by Loftus’ work. The general proposition is that emotive factors play a too important role in memory and recollection to be dismissed or ignored (Loftus 1996). Wilson has a slightly more nuanced approach, in specific relation to the ICTY (Wilson 2005). He accepts that history writing and legal accounts can be at loggerheads traditionally, but the application of ‘international’ judicial procedure, specifically the use of collective criminal definitions, has created a new type of narrative. By using the crime of genocide, which emphasizes the collective nature of crimes against humanity, individual criminal events are situated in a long term narrative, a teleological understanding of crime. And by being international, it avoids negative colouration of meaning by national biases. I would contend that this may be slightly pre-emptive. The tension of collective vs. individual is unresolved, and the international is no clean and clear point of view. In fact, the biases on the international are potentially destructive. It was the international that allowed genocide to happen and only became involved when forced to by domestic consideration. Yet, as a potential and a hope, this is an idea I take comfort in nonetheless. Another function, as specifically spelt out in the UNSC Resolutions, is to punish those responsible for crimes committed. Doing so is meant to alleviate the suffering of victims, as justice is ‘being done’. Also it is meant to reinforce the accepted societal norms and behaviours, to get a society back to the solid ground of normal social interactions. This then suppos47 Volume 04 | Januari - April 2012 edly acts as a deterrence to further criminal acts. The limitations here are, as stated and constantly to be noted, the complete lack of empirical evidence. Again, the focus on individual perpetrators for legally definable criminal acts does not speak to the great truth of what happened. If the political and military leadership alone are prosecuted, then the run-of-the-mill murderers, looters, rapists and genocidaires are left out of the picture. If the opposite is true, the courts become bogged down in massive litigation, and the principal architects of the crimes are left free. This speaks to greater discussion over the collectivisation or individualisation of guilt. We have seen above that ethnocentrism will play a part in what people are willing to belief. What is also at stake here is the narrow conception of roles that legal justice methods ascribe to people. The basic classifications of Perpetrator, Victim, and Bystander, do not add up. Perpetrators can take refuge in believing their own victimhood vis-à-vis a different socio-ethnic group. Victims can be perpetrators in the first instance themselves, as well as carrying guilt over having survived, or not doing enough for their neighbours and loved ones. Bystanders can grant themselves victimhood, being unable for reasons their own to act, to assuage any guilt over sins of commission and omission (Stover 2007:4). Thirdly, these courts are seen to promote the rule of law, and the social stability that entails. They are to be powerful symbols, breaking with the past, looking to the future: “Trials are effective symbols because a legitimate judicial process is the antithesis of violence” (Fletcher and Weinstein 2005:596). But as stated, by focusing on the past trauma it is difficult to make positive 48 OPINIO JURIS sense of the future. Also, the nature of the societies into which these courts are to pour judicial legitimacy is important. Post conflict, indeed post genocide societies, cannot be stabilized, secured and sanitized through judicial procedure alone, when there is continuing violence, massive destruction of infrastructure, economic uncertainty, refugee problems and general disarray. The promotion of the rule of law requires a solid society/state, however imagined locally, as a contingent part of its success: “… the equivocal nature of the peace [means] that the post-war government [is] dominated by the same political parties [that] controlled the combatants during the conflict” (Fletcher and Weinstein 2002:591). There will inevitably be members of the Hutu majority in Rwanda who have prosaic disagreements with Paul Kagame’s political leadership, where the Tutsi minority still is the minority, despite political cooperation between the communities, and attempts to removed ethnic barriers in the country. Fourthly, the great thrust of these trials is in promoting reconciliation. Trials help societies come to terms with their violent pasts and heal, so goes the myth. But as we have seen, the focus of judicial procedure on individuals and the slippery definition of ‘truth’ allows for a general ignorance of the courts’ efforts. So too is the reliance, based on no empirical evidence, on model vocabulary of ‘reconciliation’ and ‘healing’. These medical and religious connotations do not flow from evidence, but rather are presumed prima facie. Finally and most importantly, trials are seen to respond to the needs of victims. The cathartic release in a courtroom will dampen feelings of vengeance, engender feelings of justice OPINIO JURIS being served, publically acknowledge suffering and promote healing and reconciliation [those words again]. Again there is a lack of empirical evidence, and an understanding of other cultural modes of interpretation of traumatic events: truth and reconciliation being very much centred in the Western Christian tradition of personal and ritual absolution. Rwanda is a Catholic country, but an African one primarily, the former Yugoslavia a melting pot of Catholic, Orthodox and Islamic traditions. Indeed, the belief in cathartic release through vocalization is thought to be a poor reading of psychology (Fletcher and Weinstein 2002:592-5). Any feeling is brief at best, diminishing when returning to broken homes and lives (Stover 2007:131-2). It is also found that vengeful feelings do not last the length of the plane ride to The Hague. The reasons given by those testifying in Stover’s book revolved more around the personal: wanting to look the accused in the eye, loyalty to the memory of the dead who cannot themselves testify, but most of all looking to find out “why” the perpetrators of crimes against humanity did what they did (Stover 2007:134). Being unable to have this question answered in a courtroom is citied as a major obstacle to the psychological healing of those who testify. Further issues with the court based approach are to do with procedure. As stated, the judges are unfortunately unable and uninterested in hearing the stories of witnesses, preferring to stick to legal facts, and with these ‘facts’ the court promotes a history of violence, which will therefore be lacking in substance (Dembour and Haslam:176). This narrative is then open to dismissal by disinclined parties, as noted above. Those who testify also Volume 04 | Januari - April 2012 complain of a lack of contact with the courts, which develops to a feeling of uselessness and abandonment. When verdicts are overturned, and appeals upheld, this feeling multiplies. With no explanation from the courts, people understandably despair (Stover 2007:135). Stover concludes with a number of suggestions for future development of legal trials that focus on the needs of both the prosecution and defence witnesses (Stover 2007:150-153). As a fan of what these courts can do for post conflict societies, he argues that the UN should convene broad-based committees and councils to promulgate new codes of conduct for dealing with witnesses. Such discussions should include: protection and psychological services; safe conduct of witnesses; compensations issues; relocation of protected witnesses [witnesses who fear reprisals and give testimony in closed session]; training for tribunal/court staff; codes of ethics and professionalism; and adjustments to state laws allowing participation in the International Criminal Court [ICC]. The UN should increase funding for the courts established, and those newly established. The workings of both the ICTY and ICTR have been lamentably hamstrung by tight budgets. Measures to keep witnesses fully informed and debriefed at all stages of pre- and posttrail should be implemented. Those fearing reprisals for testimony should be given protection. The psychological needs of those who testify are of paramount importance. Training to court staff in dealing with witnesses in the first instance is of importance. Also bridging the gaps in relation to use of common and civil legal principles should be attempted, not only for legal staff, but for 49 Volume 04 | Januari - April 2012 the better informing of those who testify. Judges should be mindful of their role in protecting the dignity of the witness during trial. Attempts to badger or defame the witness should be dealt with severally, as should revealing of the names of protected witnesses, punishable by contempt of court. Dembour and Haslam also note that judges should refrain from making ill thought out and twee remarks in session5. Courts should develop outreach programmes that seek to ‘get the story out there’, to the communities and people the rulings of the courts affect. By developing a dialogue with these people, the court can sidestep the accusation of high-handedness and irrelevance, and counter any attempts to propagandize the courts’ narratives in favour of sectional interests. Involvement in non-legal narratives, art production, literature, movies and research are not beyond the pale, but could be part of a greater holistic approach to narrative formation. The final clarion call of Stover’s is in relation to the international community. It, and indeed we, must shed the old beliefs and runof-the-mill practices in relation to courts and trials. What scant research has been done as seen that the curative and therapeutic effect of testimony is exaggerated, and one-size-fits-all application of international legal standards are not promoting heal, individually or collectively. The international community must take the opportunity to affect a new set of ideals that focus on the curative functions of trials whilst shedding the old, useless and damaging critiques. OPINIO JURIS I take great comfort from this, as with Wilson’s ideas stated above. The belief that a) the international is a stage that can be influenced and affected for the common good [the author’s jaded bias notwithstanding], and b) that holistic, victim/survivor/witness centred approaches to criminal trials could help in healing, reconciliation, rebuilding and prevent further bloodshed. In stark contrast to the efforts of the ‘international’ judicial trials, the government of Rwanda sort to increase the turn over of criminal trials. The small yet densely populated country had experienced great violence during the events of the genocide and beyond, and had a great deal to do. During the genocide perhaps up to 1,000,000 were killed, mainly Tutsi’s, but moderate Hutu’s and opponents of the regime also. According to the 2002 Census, the Rwandan population was 8,128,553, allowing for growth, it could now be up to 10,000,000 6 strong . An estimate of those who could be held criminally responsible for the genocide is approximately 1,000,000 people. As the current population were not all alive in 1994 or were too young to be held responsible, this figure translates to perhaps one third of the adult population (Schabas 2005:881-2). To attempt to grapple with this huge number, a system of community justice was instituted. Gacaca, coming from the word for ‘lawn’ or ‘grass’, is a system based in traditional methods of conflict resolution, where the entire local community sits in judgement, usually on a lawn in their cellule [the ba- 1 5 “I hope your father will come back.” Judge Riad to Mr Husic, who testified at The Hague, and related how his father had been disappeared, and did not know if he was dead or alive. From Dembour and Haslam 2004; pp 151. 6 Population size and growth taken from http://www.statisticsrwanda.gov.rw /Publications/English/Census_2002_ in_%20brief.pdf. Pp 5. Accessed 10/01/2011 50 OPINIO JURIS sic unit of political organization in Rwanda; constituency or parish] (Schabas:893). Usually of around 500 people, this forms the basis for recruitment to the Gacaca courts. Schabas describes the formulation as such: A General Assembly of all inhabitants aged 18 years or more. From this Assembly, 24 persons aged 21 or more, of high moral character, are elected. Of theses, five go to represent the cellule at the regional General Assembly. The remaining 19 act as the Bench of the Court. Five of the Bench act simultaneously as the Coordinating Committee. All considered, perhaps 250,000 elected officials are required country-wide (Schabas:893) Gacaca Courts seek to site the pursuit of justice in the local communities; “…to shed light on the truth of what happened, to recreate the social fabric and promote reconciliation.” (Fierens 2005:915). These sentiments are echoes of what is said about the ICTY and ICTR, and indeed perhaps all judicial trials. But we can see, through a number of criticisms of Gacaca that societal repair and victim/survivor healing may be at a premium. There are issues of legality to contend with. Firstly, the Rwandan Constitution and basic democratic practice bans the creation of ‘special courts’ as a safeguard of liberty. This is side stepped by weighing the impact on the public good the creation of such a court may or may not. Rwanda has decided in favour. Secondly, the old maxim of nulla poena sine lege is a stumbling block. The original law instituting Gacaca is from 1996, with the courts Volume 04 | Januari - April 2012 seeking to punish crimes from 1990 to the end of 1994. By various methods, including referring to a previous ruling outlawing genocide, and the adoption of the Geneva Conventions previous to the violence, are used to sidestep this issue as well. Thirdly, the worry was that, through the wording of the laws, the Gacaca would cover crimes not only limited to the genocide of the Tutsis, but previous crimes, including events concerning the civil war with the RPF. This has been mainly ignored. Fourthly, arguments over what constitutes “intention to commit genocide” raged, mainly due to the unclear wording in subsequent national laws. Most tellingly though, there are concerns over procedure. How impartial can the court be, if it is made up of the local community, the victims and the perpetrators? The judges in the cases are involved in evidence collection as part of the communities themselves. The accused are not given council, and can not be defended by another, only by themselves. The right to silence is ignored; accused are compelled to speak. Victims of violence, especially sexual, have to bare all to their neighbours, a considerably difficult thing to do. Those elected as representatives and members of the Bench are usually older males, thus more traditional and conservative socially, reinforcing old stereotypes and social reproductions. These trials can take a long time to start; the indicted right to speedy trial is denied. And finally, the relation to the government is unclear; who has the legitimate power? Where is the process of appeal? (Fierens:905-15) Despite the questions of legality and a lack of empirical research, the Gacaca experiment represents a willingness to tackle two major is51 Volume 04 | Januari - April 2012 sues: the huge number of trials to conduct, and the need to have substantive justice in order to facilitate the healing of individuals and societies. It is a bold move, and one centred directly in the traditions of the society from which it comes. As alien it maybe to the international communities’ predilection fro civil-common 1 7 52 Last line of Jacques Fierens 2005; pp 919. OPINIO JURIS legal traditions, this does not render it obsolete. By no means perfect, it does offer options and potential debate for future systems of reconciliation, and hopefully can engender healing in post conflict societies. As Jacques Fierens concludes; “It is still better to do justice, albeit unsatisfactorily, than not do justice at all”7. OPINIO JURIS Volume 04 | Januari - April 2012 RESENSI BUKU Judul Pengarang Penerbit Pembuat Resensi : Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek di Indonesia : Damos Dumoli Agusman SH., MA : Refika Aditama, Bandung, 2010 : Eka An Aqimuddin Sejak pertengahan tahun 1980-an volume perdagangan internasional terus bertambah dan seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional, arbitrase internasional menjadi sebuah hal yang menarik untuk ditelaah oleh banyak praktisi hukum terutama lawyer di berbagai negara. Arbitrase komersial internasional merupak- an sebuah metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa karena bersifat fleksibel dan efektif. Arbitrase dapat dilakukan di luar negara Di sela keringnya wacana dan penerbitan buku soal hukum internasional di Indonesia, buku karangan Damos Dumoli Agusman ini patut diberikan apresiasi. Buku tersebut patut mendapat perhatian dikarenakan selain mengangkat permasalahan klasik hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional juga menawarkan suatu solusi yang tentu saja masih bisa diperdebatkan. Relasi antara hukum internasional dengan hukum nasional memang belum diatur dengan jelas meskipun telah ada UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Hal ini erat kaitanya dengan tidak tegasnya politik hukum yang dianut oleh Indonesia. Ada dua teori besar yang dikenal untuk mengatur hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu; monisme dan dualisme. Teori monisme menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi melainkan inkorporasi sehingga tidak dibutuhkan legislasi nasional yang sama untuk memberlakukan hukum internasional dalam hukum 53 Volume 04 | Januari - April 2012 nasional. Karena merupakan kesatuan sistem hukum maka terdapat kemungkinan adanya konflik antara hukum internasional dengan hukum nasional. Dengan demikian ada dua percabangan dari teori ini; lebih mengutamakan hukum internasional dibandingkan hukum nasional (primat hukum internasional) atau sebaliknya (primat hukum nasional) (hlm.97) Teori dualisme menempatkan hukum internasional sebagai sistem yang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua sistem tersebut. Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum internasional menjadi hukum nasional berdasarkan peraturan-perundangundangan. Dengan adanya transformasi tersebut, maka kaidah hukum internasional diubah menjadi kaidah hukum nasional untuk berlaku sehingga tunduk pada dan masuk pada tata urutan perundangan nasional. Karena merupakan dua sistem yang berbeda maka tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya (hlm.97) Berdasarkan kedua teori tersebut, apakah politik hukum yang diambil Indonesia? Monisme? Dualisme? atau campuran? Titik penting yang diangkat dalam buku ini adalah terkait dengan posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia. Politik hukum Indonesia soal posisi perjanjian internasioal dalam hukum nasional mula-mula dapat dilacak dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi : n Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. n Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan 54 OPINIO JURIS perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan DPR n Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka diperlukan persetujuan DPR untuk membuat perjanjian dengan negara lain atau perjanjian internasional lainnya. Definisi perjanjian internasional lain diartikan menurut penulis sebagai perjanjian antara Indonesia dengan organisasi internasional. Meskipun telah mensyaratkan perlu persetujuan DPR dalam membuat perjanjian internasional, namun pasal tersebut belum berbicara dengan jelas posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional. Pada tataran praktek, setidaknya terdapat tiga tahap pergeseran yang signifikan soal kata “persetujuan DPR” yaitu : n Periode awal kemerdekaan hingga tahun 1974, persetujuan DPR dituangkan dalam suatu produk UU, namun UU dalam kaitan ini dimaknai sebagai UU yang bersifat mengesahkan persetujuan DPR. n Periode 1974-Orde Baru, sekalipun tidak konsisten, UU yang mengesahkan persetujuan DPR ini kemudian dimaknai UU dalam arti formil dan bersifat penetapan n Sejak adanya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, UU yang mengesahkan bergeser menjadi UU yang mengesahkan perjanjian itu sendiri sehingga UU ini adalah UU dalam arti materil dan bersifat mengatur. (hlm.137) Pergeseran makna “persetujuan DPR” dalam praktek tersebut terjadi karena memang belum jelas politik hukum yang diambil oleh Indonesia terkait perjanjian internasional. UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional awalnya disusun untuk mengatur secara terperinci soal posisi perjanjian in- OPINIO JURIS ternasional dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi politik hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme dan dualisme dalam UU tersebut. Terkait soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal 9 menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut (ayat 1); Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undangundang atau keputusan presiden. (ayat 2).” Pengesahan sebagai definisi ratifikasi dalam pasal 9 tersebut mencampuradukan arti ratifikasi sebenarnya dalam hukum internasional. Padahal makna ratifikasi dapat diposisikan sebagai tindakan internal maupun eksternal suatu negara terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dalam hukum internasional (eksternal) diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian. Dengan adanya ratifikasi maka suatu negara mulai terikat dengan suatu perjanjian internasional. Hukum internasional tidak mempersoalkan bagaimana mekanisme internal suatu negara dalam memberlakukan perjanjian internasional. Pencampuradukan makna pengesahan (ratifikasi) eksternal dengan internal dalam Pasal 9 di atas, maka dapat dibenarkan bahwa pengesahan perjanjian internasional melalaui UU/Keppres, Jika demikian, apakah UU/ Keppress ratifikasi menandakan bahwa perjanjian internasional telah mengikat Indonesia atau perlu kah dibuat UU/Keppres untuk Volume 04 | Januari - April 2012 mentransformasi perjanjian internasional Poin inilah yang coba dielaborasi dengan baik oleh Damos Dumoli Agusman dalam buku-nya. Sebagai wacana pemikiran, Damos Dumoli Agusman mengajak pembaca untuk menguji beberapa usulan beliau yang berkaitan dengan persoalan bagaimana seharusnya politik hukum Indonesia soal perjanjian internasional diarahkan. Setidaknya ada 3 wacana yang digulirkan, yaitu : 1. Monisme sebagai pilihan politik hukum karena mempercepat proses pembentukan hukum. 2. Monisme akan mempercepat karena hanya menginkorporasi perjanjian internasional melalui ratifikasi sehingga tidak perlu membuat UU yang terpisah yang akan menghabikan waktu dan biaya. Jika memilih dualisme, maka akan membebani Indonesia dengan proses legislasi 3. Alasan historis, karena M. Hatta telah menyatakan lebih mengarah ke supremasi perjanjian internasional 4. Sistem hukum Indonesia bercermin ke eropa continental yang umumnya berkarakter monisme. Tentu saja usulan-usulan tersebut harus diapresiasi sebagai bagian pertukaran wacana soal hukum internasional di Indonesia. Dengan adanya pelemparan wacana ini, maka diharapkan akan terlahir antitesa yang berujung pada sintesa yaitu suatu politik hukum perjanjian internasional Indonesia yang memihak kepada publik. 55 Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS GLOSSARY HUKUM Treaty An International Agreement concluded between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. Treaty merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh Negara dan Organisasi Internasional dalam bentuk tertulis yang diatur oleh hukum internasional, baik yang dibuat dalam satu instrumen atau lebih dan dengan penyebutan apapun. Perjanjian internasional dalam bentuk lisan tidak dapat dimasukkan kedalam jenis treaty, walaupun perjanjian secara lisan itu melahirkan kewajiban internasional. Treaty dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai Traktat. Treaty sebenarnya adalah nama generik dari perjanjian internasional (international agreement). Adapun nomenklatur treaty ini dapat berbentuk antara lain convention, protocol, MOU dan agreement. Full Powers Full Powers means a document emanating from the competent authority of a State designating a person or persons to represent the State for negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty, for expressing the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty. Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang 56 memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional. Reservation Reservation means a unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of the treaty in their application to that State. Reservation adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Perjanjian internasional biasanya memuat pasal-pasal mana yang boleh di ratifikasi dan pasal-pasal mana yang tidak boleh. Ratification Ratification is a n act by which a State signifies an agreement to be legally bound by the terms of a particular treaty. To ratify a treaty, the State first signs it and then fulfils its own national legislative requirements. Once the appropriate national organ of the country Parliament, Senate, the Crown, Head of State or Governmen t, or a combination of these follows domestic OPINIO JURIS constitutional procedures and makes a formal decision to be a part y to the treaty. Ratifikasi sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya untuk mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian internasional. Accession Accession is an act by which a State signifies its agreement to be legally bound by the terms of a particular treaty. It has the same legal effect as ratification, but is not preceded by an act of signature. The formal procedure for accession varies according to the national legislative requirements of the State. A method by which a nation that is not among a treaty’s original signatories becomes a party to it. Aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta keseluruhan perjanjian dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali reservasi-reservasi terhadap suatu klausula. Aksesi meliputi keikutsertaan dalam perjanjian dengan status yang sama dengan penandatangan-penandatangan asli. Aksesi dalam Perjanjian Internasional bahwa suatu negara tidak pernah ikut Volume 04 | Januari - April 2012 perundingan tetapi ingin ikut dalam perjanjian maka negara tersebut ikut menandatangani dan tunduk pada isi perjanjian. Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt means that third parties receive neither rights nor duties from contracts, is common to municipal legal systems, and finds expression in international law in article 34 of the Vienna Convention on the Law of Treaties: ‘A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent’. Asas Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt, suatu perjanjian tidak memberikan hak atau membebani kewajiban kepada pihak-pihak yang tidak terikat kepada perjanjian itu. Asas itu berarti bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban. 57 Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS CURRICULUM VITAE Damos Dumoli Agusman, SH., MA, Setelah menyelesaikan studi hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tahun1987, penulis memulai kariernya di Kementerian Luar Negeri. Melalui Kementerian ini penulis kemudian menempuh pendidikan lanjutan di University of Hull Inggris dan berhasil meraih gelar Master di bidang Hukum Internasional dan Politik pada tahun 1991. Ketertarikan penulis pada ilmu hukum internasional demikian besar sehingga pada tahun 1995 menyempatkan diri untuk mengikuti program hukum internasional pada The Hague Academy of International Law, Den Haag, Belanda. Penulis menduduki jabatan Direktur Perjanjian ekonomi dan Sosial Budaya pada Kementerian Luar Negeri tahun 2006-2010. Saat ini penulis bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankrut. Dr. Harjono, SH., MCL, Lahir di Nganjuk, Jawa Timur 31 Maret 1948, lulusan Doktor Hukum Tata Negara UNAIR ini sebelumnya menjabat anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang membahas amandemen UUD 1945. Saat ini menjabat sebagai Hakim Konstitusi Republik Indonesia. 58 Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M Dosen Hukum Perjanjian Internasional di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pendidikan S-2 pertama di Macquarie University Law Faculty, Sydney, N.S.W., Australia, pendidikan S-2 kedua di University of Washington Law School, Seattle, W.A., U.S.A., dan pendidikan S-3 di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Elmar I. Lubis, SH, Lulusan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan tahun 1987, mengikuti International Social Studies Den Haag. Yang bersangkutan pernah ditempatkan di Perwakilan RI di Bangkok, Bogota dan Stockholm. Pangky B.P Saputra, SH, Lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Telah menyelesaikan pendidikan Sekdilu angkatan 33 di Kementerian Luar Negeri. Saat ini sedang mengambil pendidikan Master di Newcastle University-United Kingdom mengambil jurusan Hukum Internasional dan pengambilan kebijakan.