BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kronis didefinisikan World Health Organization (WHO) sebagai penyakit dengan durasi yang lama dan biasanya menunjukkan progesifitas yang lambat (Singh, 2008). Penyakit kronis berupa penyakit jantung, stroke, kanker, PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis), dan diabetes menempati urutan tertinggi sebesar 61% di Indonesia sebagai penyebab kematian pada tahun 2002 (WHO, 2002). Prevalensi ini terus meningkat jika tidak diberikan tindakan nyata berupa pencegahan. Penyakit kronis memerlukan terapi obat seumur hidup termasuk perubahan gaya hidup. Obat-obat yang digunakan berfungsi tidak untuk menyembuhkan namun untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencegah terjadinya komplikasi. Terapi seumur hidup dengan menggunakan obat tentu akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat bebas yang mungkin digunakan oleh pasien. (Handayani dkk, 2006) Berbeda dengan pasien dengan penyakit akut, pasien dengan penyakit kronis membutuhkan terapi obat dalam jangka panjang, pemantauan outcome terapi dan kualitas hidup dan perubahan pola hidup untuk menunjang pengobatan yang dijalani (Lewis dkk, 1997). Keseluruhan faktor tersebut merupakan kebutuhan bagi pasien penyakit kronis yang harus dipenuhi tenaga kesehatan dalam menunjang keberhasilan terapi, termasuk oleh apoteker. Apoteker 1 2 diharapkan mengambil peran dalam membantu pasien mengatasi penyakit kronisnya (Ogweno dan Glice, 2012). Seorang apoteker agar dapat mengontrol penggunaan obat yang rasional oleh pasien harus mengoptimalkan perannya dalam komunikasi langsung dengan pasien. Dalam hal ini peran apoteker untuk memberi konsultasi informasi obat dan edukasi kepada pasien sangat penting. Namun demikian, pelayanan kefarmasian saat ini pemberian informasi biasanya hanya terbatas mengenai cara dan aturan pakai obat yang diberikan oleh asisten apoteker, bukan oleh apoteker (Handayani dkk, 2006). Layanan informasi maupun konsultasi obat di apotek, selain menjadi tuntutan profesional apoteker juga dapat dilihat sebagai faktor yang menarik minat konsumen terhadap pembelian obat di apotek. Dalam Kepmenkes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek tercantum bahwa apoteker harus memberikan konseling dan informasi obat, terutama kepada pasien dengan penyakit kronis. Saat ini layanan informasi dan konsultasi obat di apotek masih belum banyak dipraktekkan, dan kalau pun ada beberapa yang telah melakukannya kemungkinan masih belum optimal (Sari, 2001). Informasi obat tersebut dapat diperoleh konsumen di apotek, dimana salah satu bentuk pelayanan apotek yang wajib diberikan oleh tenaga farmasi adalah pelayanan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat (Anief, 2001). Handayani dkk (2006) menemukan ada indikasi 3 kesenjangan antara kesiapan apoteker untuk memberi informasi obat dengan kebutuhan informasi konsumen apotek. Belum adanya professional fee terhadap jasa pemberian informasi obat oleh apoteker menjadi salah satu faktor mengapa belum banyak apoteker farmasi komunitas di Indonesia memberikan layanan yang optimal terhadap pasien. Berdasarkan data dari Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), terdapat sekitar 200 apotek di kota Yogyakarta. Namun, pemberian informasi belum optimal meskipun jumlah apotek cukup banyak. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui penilaian konsumen apotek mengenai pemberian informasi obat oleh apoteker di Kota Yogyakarta dan mengetahui karakteristik konsumen apotek yang berpengaruh pada penilaian konsumen apotek terhadap informasi obat. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini yaitu : 1. Informasi obat apa saja yang telah dipahami, diinginkan dan menjadi hambatan oleh konsumen apotek dengan penyakit kronis untuk diperoleh dari apoteker? 2. Informasi obat apa saja yang telah dipenuhi oleh apoteker menurut penilaian konsumen apotek? 3. Apakah konsumen apotek bersedia untuk membayar jasa informasi tentang obat yang diberikan oleh apoteker? 4 4. Karakteristik konsumen apotek seperti apakah yang berhubungan dengan penilaian konsumen apotek? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui informasi obat yang telah dipahami, diinginkan dan menjadi hambatan oleh konsumen apotek dengan penyakit kronis untuk diperoleh dari apoteker . 2. Mengetahui informasi obat yang telah dipenuhi oleh apoteker menurut penilaian konsumen apotek. 3. Mengetahui kesediaan pasien dengan penyakit kronis untuk membayar jasa informasi obat yang diberikan oleh apoteker. 4. Mengetahui karakteristik konsumen apotek apa saja yang memiliki hubungan dengan penilaian konsumen apotek. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi apoteker, penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran penilaian konsumen apotek dengan penyakit kronis terhadap pelayanan informasi obat sehingga diharapkan dapat menjadi evaluasi bagi apoteker dan upaya peningkatan peran apoteker. 5 2. Bagi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) selaku organisasi profesi, penelitian ini diharapkan menjadi sarana evaluasi bagi organisasi profesi dalam pengembangan peran apoteker terutama pelayanan informasi obat di apotek. 3. Bagi mahasiswa farmasi, penelitian diharapkan menjadi wacana baru permasalahan pelayanan informasi obat oleh apoteker dan memotivasi untuk melakukan pelayanan dengan lebih baik. E. 1. Tinjauan Pustaka Penyakit Kronis Penyakit kronis didefinisikan WHO sebagai penyakit dengan durasi yang lama dan biasanya menunjukkan progesifitas yang lambat (Singh, 2008). Penyakit kronis memerlukan terapi obat seumur hidup termasuk perubahan pola hidup (Handayani dkk., 2006). Ada 4 jenis penyakit kronis utama, yaitu penyakit kardiovaskular (jantung koroner dan stroke), kanker, diabetes melitus, dan pernafasan kronis (asma dan PPOK) (WHO, 2002). Tidak seperti penyakit akut yang dirawat baik pada rawat jalan maupun rawat inap, pasien dengan penyakit kronis membutuhkan pemantauan outcome dan kualitas hidup pasien, follow-up, pengobatan dengan jangka waktu yang panjang dan perubahan pada gaya hidup untuk menunjang pengobatan yang dijalani (Lewis dkk., 1997). 6 2. Perkembangan Prevalensi Penyakit Kronis Degeneratif Penyakit kronis menahun akan mempengaruhi kualitas hidup serta produktifitas seseorang (Brunner dan Suddarth, 2002). Perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan pola penyakit di masyarakat yaitu meningkatnya prevalensi penyakit kronis dan degeneratif (Depkes RI, 2001). Penyakit kronis dan degeneratif memerlukan terapi seumur hidup selain perubahan pola hidup. Terapi seumur hidup dengan menggunakan obat akan meningkatkan risiko adanya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat bebas yang mungkin digunakan (Handayani dkk, 2006). Perkembangan penyakit kronis dapat dilihat dengan dua cara yaitu melalui proyeksi dari data laporan WHO pada Global Burden of Disease and Risk Factors dan dari individual dan data survei observasi seluruh wilayah yang didapatkan dari statistik negara resmi. WHO menunjukkan peningkatan pada penyakit dan kematian akibat penyakit kronis pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah di negara berkembang hingga 2030 (Nugent, 2008). Berdasarkan data WHO (2002), penyakit kronis menyebabkan 61% dari kematian di Indonesia pada tahun 2002, dimana total kematian di Indonesia sebanyak 1.626.000 jiwa dengan kematian akibat penyakit kronis sebanyak 986.000 jiwa. Penyakit kronis yang tertinggi prevalensinya di Indonesia adalah penyakit kardiovaskular 28%, diikuti dengan kanker 12%, penyakit pernafasan kronis 7%, diabetes 3% dan penyakit kronis lainya 11% (gambar 1). Data lain Riskesdas (2013) menunjukkan prevalensi penyakit kronis di Indonesia adalah hipertensi 26,5%, asma 4,5%, penyakit jantung 2,43%, dan diabetes melitus 1,5%. 7 Gambar 1. Penyebab kematian di Indonesia tahun 2002 (WHO, 2002) Meningkatnya prevalensi penyakit kronis di negara berkembang, khususnya di Indonesia, terutama disebabkan selain karena faktor ekonomi, juga karena perubahan gaya hidup terkait diet makanan yang dikonsumsi, misalnya makanan olahan yang mengandung lemak, garam dan gula yang lebih tinggi akan berdampak signifikan bagi disposisi penyakit kronis. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh adalah aktivitas fisik yang menurun seiring urbanisasi dan modernisasi, dan juga menurunnya pelayanan kesehatan (Nugent, 2008). 3. Contoh Penyakit Kronis a. Hipertensi Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. 8 Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (Kemenkes, 2013). Meskipun hipertensi bukan merupakan suatu penyakit, namun hipertensi merupakan faktor risiko yang penting untuk beberapa komplikasi yang berakhir pada kerusakan akhir organ (Thomas, 2003). Jika hipertensi tidak terkontrol, maka dapat berdampak besar pada kualitas hidup. Manajemen hipertensi membutuhkan metode non farmakologi disamping metode farmakologi (Chobanian dkk., 2003). b. Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa. Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah, 9 kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun (Kemenkes, 2013). c. Asma Asma merupakan gangguan inflamasi kronis di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap rokok) atau saat sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau 10 menjelang pagi dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur <40 tahun (usia serangan terbanyak) (Kemenkes, 2013). Apoteker dapat berperan aktif pada konseling pasien terkait dengan monitoring diri sendiri, perubahan pola hidup dan penggunaan bentuk sediaan khusus obat seperti MDI (metered dose inhaler), dry powder inhalation, spacer, dan lain sebagainya (Palain dkk, 2006). d. Penyakit Jantung Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden. 1) Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan 11 kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat. 2) Penyakit Gagal Jantung Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak. Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai bawah bengkak (Kemenkes, 2013). 4. Informasi Obat Informasi mengenai obat terutama obat-obat baru saat ini sangat banyak membanjiri profesi medik dan jumlah maupun isinya terus berkembang setiap waktu. Idealnya, informasi-informasi seperti ini harusnya objektif netral dan berasal dari lembaga ilmiah yang tidak mempunyai kepentingan langsung maupun tidak langsung dalam pemasaran obat dan mudah untuk mencarinya sehingga efisien dalam penyampaiannya. Untuk mencapai keadaan ideal perlu tersedia alat 12 panduan pelayanan informasi obat yang memenuhi kriteria informasi ideal seperti diatas (Santoso dkk, 1996). Undang-undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 7 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab, sedangkan dalam pasal 8 menyatakan setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan (Depkes, 2009). Dengan demikian, informasi obat di apotek merupakan wujud dari pemenuhan hak-hak pasien. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1027 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek tercantum bahwa informasi obat yang disampaikan kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Kemenkes, 2004). Sedangkan guideline konseling dari The Omnibus Budget Reconciliation Act (OBRA) 1990 mencantumkan bahwa informasi obat yang harus disampaikan oleh apoteker kepada pasien pada saat konseling meliputi nama dan deskripsi obat, bentuk sediaan, petunjuk khusus atau perhatian saat penyiapan, penghantaran obat, manfaat, efek samping, interaksi, kontra indikasi, yang harus dilakukan jika terjadi hal diatas, monitoring diri sendiri, penyimpanan yang tepat, dan apa yang harus dilakukan jika lupa minum obat. 13 5. Peran Apoteker Farmasi Komunitas Peran apoteker dalam farmasi komunitas sangat bervariasi, diantaranya dapat meliputi konseling obat terkait penyelesaian drug related problems baik untuk obat over the counter (OTC) maupun resep. Selain itu dapat pula turut serta dalam farmakoepidemiologi yang bergerak dalam bidang uji klinik obat yang berorientasi pada keselamatan pasien. Apoteker juga dapat berperan dalam pemantauan penyakit tertentu melalui konseling, seperti tuberkolusis, AIDS, dan penyakit genital. Selain itu, peran nyata apoteker dalam komunitas juga bisa dalam bentuk konseling bagi pasien dengan penyalahgunaan alkohol dan obatobatan, meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap makanan dan lingkungan karsinogenik, dan konsumsi nutrisi (Saini dan Rai, 2012). Apoteker pada praktek komunitas memiliki kesempatan untuk membantu mengoptimalkan terapi pengobatan dan mencapai outcome terapi. Institusi Kedokteran menemukan bahwa apoteker sebagai penyedia layanan kesehatan dapat membantu pasien memperbaiki penggunaan obat (Kucukarslan, 2012). Penggunaan obat yang tepat juga menjadi fokus tersendiri bagi apoteker di komunitas, sebagai contoh adalah pasien geriatri. Pasien geriatri yang menderita penyakit kronis sangat terkait dengan ketepatan penggunaan obat yang sedang dijalankan (Lipton dkk, 1988). Pasien geriatri harus memiliki kepatuhan terhadap beberapa regimen obat. Sebuah penelitian terhadap pasien geriatri dengan umur lebih dari 60 tahun menyatakan bahwa setiap individu bisa mendapatkan rata-rata 5 obat setiap harinya, dimana hal tersebut berarti mendapatkan obat 3 kali lebih banyak dari populasi umum (Golden dkk, 1999; Patterson dkk, 1999). 14 Apoteker hendaknya mampu menggalang komunikasi dengan tenaga kesehatan lain, termasuk kepada dokter. Termasuk memberi informasi tentang obat baru atau tentang produk obat yang sudah ditarik. Hendaknya aktif mencari masukan tentang keluhan pasien terhadap obat-obat yang dikonsumsi. Apoteker mencatat reaksi atau keluhan pasien untuk didiskusikan bersama dengan dokter, dengan cara demikian ikut berpartisipasi dalam pelaporan efek samping obat (ISFI, 2003). Apoteker juga dalam pelayanan di farmasi komunitas harus memberikan konseling. Konseling pasien merupakan bagian dari Komunikasi Informasi Edukasi (KIE). Kriteria pasien yang memerlukan pelayanan konseling diantaranya penderita penyakit kronis seperti asma, diabetes, kardiovaskular, penderita yang menerima obat dengan indeks terapi sempit, pasien lanjut usia, anak-anak, penderita yang sering mengalami reaksi alergi pada penggunaan obat dan penderita yang tidak patuh dalam meminum obat. Konseling hendaknya dilakukan di ruangan tersendiri yang dapat terhindar dari berbagai interupsi (Rantucci, 1997; SHP, 1993). Pelayanan konseling dapat dipermudah dengan menyediakan leaflet atau booklet yang isinya meliputi patofisiologi penyakit dan mekanisme kerja obat (Purwanti dkk, 2004). Di negara maju seperti Amerika Serikat pelayanan farmasi meliputi antara lain mendidik pasien tentang kebiasaan/pola hidup yang mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan, memberi informasi mengenai program pengobatan yang harus dijalani pasien, memonitor hasil pengobatan dan juga bekerja sama dengan 15 profesi lainnya (dokter) untuk mencapai kualitas hidup yang optimal bagi pasien (Morgan dan Cohan, 1995; Sierralta dan Scott, 1995). Di Indonesia, peran apoteker farmasi komunitas telah tertuang dalam No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, tuberkolusis, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. 6. Peran Apoteker sebagai Sumber Informasi Obat Apoteker telah mengalami perubahan paradigma, dari product oriented menjadi drug oriented. Apoteker menjadi sumber informasi obat kepada dokter dan sesama tenaga kesehatan. Tugas ini merupakan tugas kewajiban profesi. Apoteker adalah profesi dalam tim kesehatan yang mengelola obat dengan potensi yang besar (Anief, 2001). Dalam menjaga dan memajukan kesehatan, pemberian informasi yang cukup mengenai obat pada pasien yang memerlukan informasi menjadi tugas seorang apoteker yang memang memiliki tanggung jawab pada ranah tersebut (Anief, 2001). Memberikan informasi kepada pasien dan bertindak sebagai caregiver adalah sebuah usaha untuk memasikan keamanan dan pengobatan yang tepat sebagai tanggung jawab profesional bagi apoteker (Krueger, 2011). 16 Kepmenkes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek tercantum bahwa apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. 7. Peran Apotek sebagai Lembaga Informasi Obat Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat resep dan yang berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di rumah. Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien, apakah obat yang diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya serta ada tidaknya efek samping yang merugikan (Anief, 2001). Salah satu peranan Apoteker Pengelola Apoteker (APA) di apotek yang terpenting adalah sebagai informan obat kepada masyarakat dan segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Oleh karena itu APA harus menguasai segala macam pengetahuan tentang obat (Hartono, 1987). F. Penelitian yang Pernah Dilakukan Machali (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ―Penilaian Konsumen Apotek terhadap Pelayanan Informasi Obat di Apotek-Apotek di Kabupaten Sleman‖ mengemukakan bahwa presentase kesesuaian antara harapan dan kepuasan konsumen dalam menerima informasi obat di apotek berkisar 82-93%. Namun dalam penelitian ini dilakukan kepada konsumen apotek secara general, 17 tidak tertuju khusus kepada konsumen apotek dengan penyakit kronis. Penelitian tersebut mengambil tempat di kabupaten Sleman, sedangkan penelitian ini difokuskan pada masyarakat kota Yogyakarta. Handayani dkk (2006) menemukan ada indikasi kesenjangan antara kesiapan apoteker untuk memberi informasi obat dengan kebutuhan informasi konsumen apotek. Namun dalam penelitian ini tidak spesifik untuk penyakit kronis, sehingga dari penelitian tersebut, dikembangkan penelitian ini dimana hasilnya akan mengemukakan kebutuhan informasi konsumen apotek dengan penyakit kronis. G. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran penilaian konsumen apotek (masyarakat) dengan penyakit kronis yang diderita mengenai pemberian informasi yang dibutuhkan yang telah maupun belum diberikan oleh apoteker di Kota Yogyakarta. Selain itu, didapatkan juga gambaran kesediaan konsumen apotek untuk membayar biaya atas jasa apoteker yang telah memberikan pelayanan informasi beserta nominalnya, serta faktor karakteristik responden yang berhubungan dengan penilaian konsumen apotek.