Jurnal HPT Volume 4 Nomor 1 Januari 2016 ISSN : 2338 - 4336 VIRULENSI JAMUR Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (HYPOCREALES: CORDYCIPITACEAE) DENGAN PEMURNIAN KEMBALI PADA SERANGGA (PASSAGE INSECT) TERHADAP Plutella xylostella Linnaeus (LEPIDOPTERA: PLUTELLIDAE) Rina Rachmawati, Derra Marhaendar Mayang, Toto Himawan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jln. Veteran, Malang 65145, Indonesia ABSTRACT Fungi Beauveria bassiana (Hypocreales: Cordycipitaceae) is a prominent biological control agents that is known to have broad spectrum of insect hosts. However, in several cases, the management of insect pest using this fungi in the field is known to be less effective. This due to repeated subculture on artificial media or long time storage. One alternative to improve the quality of B. bassiana is by insect-passage method. Insects have kithins and proteins that are beneficial to entomopathogen fungi. The purpose of this research was to determine the effect of the insect-passage of fungi B. bassiana toward the quality of the spores and fungal virulence against Plutella xylostella. Two time repetitive passage through insect was the best treatment to enhance spore density, that was 2,47x107 spore/ml. One time passage and two time passage through insect had the same effect on the viability of spore, and had the higher viability compared to non-passage treatment. The best mortality occured at twice passage through insect with the percentage of mortality of P.xylostela reached 75,63% at 144 hours after application. Passage through insects did not have significant effect on average time of death. Keywords : Beauveria bassiana, Passage insect, Plutella xylostella ABSTRAK Penggunakan Beauveria bassiana (Hypocreales: Cordycipitaceae) merupakan agens hayati yang populer dan diketahui mempunyai kisaran inang yang luas. Namun pada beberapa kasus, ketika di lapang efektivitasnya mudah menurun. Subkultur yang berlebih (lebih dari empat kali) atau pengawetan dalam jangka panjang dalam media buatan diketahui akan mengakibatkan virulensi jamur menurun. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas spora B. bassiana adalah dengan pemurnian kembali melalui serangga inang. Serangga memiliki senyawa kitin dan protein yang bermanfaat bagi jamur entomopatogen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemurnian kembali jamur B. bassiana ke serangga, sehingga dapat meningkatkan kualitas spora dan virulensi jamur B. bassiana terhadap hama P. xylostella. Pemurnian kembali pada serangga sebanyak dua kali mampu meningkatkan kerapatan spora jamur B. bassiana menjadi 2,47x107 spora/ml. Viabilitas spora pada pemurnian ke serangga sebanyak 1 kali dan pemurnian ke serangga sebanyak 2 kali memiliki pengaruh yang sama terhadap viabilitas spora, dan mempunyai viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemurnian kebali ke serangga. Mortalitas P. xylostella terbaik terjadi pada perlakuan pemurnian ke serangga sebanyak 2 kali dengan persentase kematian mencapai 75,63% pada 144 jam setelah aplikasi. Pemurnian kembali pada serangga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rerata waktu kematian P. xylostella. Kata Kunci : Beauveria bassiana, pemurnian kembali pada serangga, Plutella xylostella 45 Rachmawati et al., Virulensi Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill... PENDAHULUAN METODE PENELITIAN Jamur Beauveria bassiana (Bals.) (Vuill.) (Hypocreales: Cordycipitaceae) merupakan jenis jamur yang banyak digunakan sebagai pengendali hama. Hama P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis. Perkembangan yang singkat dengan keperidian yang tinggi menyebabkan hama ini sangat berbahaya terhadap produk pertanian famili Brassicaceae (Ulmer dkk, 2001). Subkultur berulang pada media buatan akan menurunkan kerapatan dan viabilitas spora dari B. bassina. Pemurnian dengan serangga inang (passage insect) dapat meningkatkan virulensi jamur entomopatogen (Brownbridge dkk, 2001). Cangkang kering arthropoda rata-rata mengandung 20-50% kitin (Kusumaningsih dkk., 2004). Protein dan kitin berfungsi sebagai substrat yang dapat meningkatkan enzim kitinase dan protease pada jamur B. bassiana. Jamur B. bassiana yang di-subkultur dua kali dalam media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) dengan nyata menurunkan virulensi, sedangkan B. bassiana yang disubkultur dalam media Malt Agar (MA) dapat meningkatakan virulensi dan aktivitas toksin yang dihasilkan, namun demikian virulensi dan daya racun tertinggi diperoleh setelah jamur B. bassiana dimurnikan sebanyak dua kali pada nimfa Locusta migratoria (Moraga dan Vey, 2003). Salah satu serangga yang dapat dipakai dalam pemurnian adalah larva T. molitor karena rentan terhadap jamur entomopatogen (Zimmermann 1986 dalam Meyling 2007). Oleh sebab itu dilakukan penelitian mengenai peningkatkan kualitas jamur B. Bassiana terhadap hama P. xylostella dengan pemurnian ke serangga (passage insect) tersebut. Pemurnian dengan menggunakan serangga diharapkan dapat meningkatkan kualitas spora dari jamur entomopatogen dalam perbanyakan in vitro sehingga dalam pengendalian hama dapat tercapai dengan maksimal. Pemurnian Kembali pada Serangga Permurnian kembali pada serangga dilakukan dengan pembuatan suspensi B. bassiana 10 ml (kerapatan 1x107 spora/ml), lalu diletakkan pada cawan petri diameter 9 cm. Kemudian 10 ekor larva T. molitor dicelupkan selama 5 detik dan diletakkan pada botol kaca steril dengan tissue yang dibasahi aquades steril pada bagian bawah botol dan pada penutup botol. Inkubasi dilakukan selama 3-7 hari pada kelembaban 90% dan pada temperatur 22-30ΛC tanpa pemberian makanan. Pada larva yang terinfeksi dilakukan sterilisasi permukaan denan metode Safavi et al. (2005). Permurnian serangga dua kali dilakukan berulang sesuai dengan metode sebelumnya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 3 perlakuan dengan 8 ulangan. Perlakuan terdiri dari Kontrol (tanpa pemurnian isolat pada larva T. molitor), perlakuan dengan 1 kali pemurnian isolat pada larva T. molitor, dan perlakuan dengan 2 kali pemurnian isolat pada larva T. molitor. Penyediaan Tanaman Inang Tanaman kubis untuk serangga uji P. xylostela disiapkan dengan menanam bibit tanaman kubis hingga berumur 2 - 3 minggu. Bibit lalu dipindah tanam ke polybag ukuran 1 liter yang telah berisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1. Setelah tanaman kubis berumur ± 6 minggu sejak pindah tanam ke polybag, tanaman kubis siap digunakan. Perbanyakan Serangga Uji Perbanyakan dilakukan pada kurungan kain kasa berukuran 40 x 40 x 40 cm, yang berisi cairan madu 10 % yang dioleskan pada kapas yang digantung pada atas kurungan yang berfungsi sebagai 46 Jurnal HPT Volume 4 Nomor 1 makan imago P. xylostella. Selanjutnya, daun kubis yang dicelupkan pada botol yang berisi air dimasukkan ke dalam kurungan kain kasa sebagai tempat bertelur P. xylostella. Larva yang baru menetas dipelihara dalam toples yang berisi daun kubis. Larva yang digunakan untuk perlakuan adalah larva instar 3. Januari 2016 Dimana C adalah kerapatan spora per ml larutan, t adalah jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati, n adalah jumlah kotak sampel (5 kotak besar x 16 kotak kecil), dan x adalah 0,25 faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil pada haemocytometer. Viabilitas Spora. Media EKG dituangkan di atas gelas benda dan diratakan hingga terbentuk lapisan tipis. Suspensi jamur B. bassiana diteteskan sebanyak 0,01 ml pada kaca preparat berlapis media EKG dan diratakan kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu kamar. Selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Viabilitas spora dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Gabriel dan Riyatno, 1989): Persiapan Media Media yang digunakan adalah PDA (Potato Dextrose Agar) dan EKG (Ekstrak Kentang Gula). Kentang dikupas dan cuci bersih, kemudian dipotong menjadi kotak kecil sebesar 2x2 cm. Potongan kentang direbus dalam 500 ml akuades. Ekstrak kentang dicampur dengan destrosa 20 gr dan agar teknis 20 gr, kemudian dipanaskan dan diaduk hingga homogen. Ditambahkan aquades hingga diperoleh volume akhir 1000 mL dan atur pH menjadi 6-7. Kemudian disterilisasi pada suhu 121oC, 1 atm, selama 30 menit. Sebelum digunakan media PDA ditambahkan 500 mg clorampenicol (anti bakteri) untuk 1 liter media. Media Ekstrak Kentang Gula (EKG) dibuat hampir sama dengan media PDA perbedaan pada sumber glukosa yakni menggunakan gula pasir, dan tanpa penambahan agar. V = g/(g + u) x 100 % Dimana V adalah perkecambahan spora, g adalah jumlah spora yang berkecambah, dan u adalah jumlah spora yang tidak berkecambah. Uji Virulensi B. bassiana yang telah dimurnikan dengan serangga terhadap hama P. xylostella Suspensi B. Bassiana 10 ml (kerapatan 1x107 spora/ml) diletakkan pada cawan petri berdiameter 9 cm kemudian 20 larva P. xylostella dicelupkan selama 5 detik. Larva tersebut dipelihara dalam toples yang ditutup kain kasa dan diberi pakan daun kubis. Pemberian pakan diganti setiap hari. Sebagai perlakuan kontrol larva dicelupkan dengan aquades steril 10 ml. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7 hari. Mortalitas larva dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Prijono, 1989): Pengukuran Kerapatan dan Viabilitas Konida Jamur B. bassiana Kerapatan spora. Spora diambil dengan menggunakan jarum ose pada cawan petri. Kemudian dilarutkan ke dalam air steril dalam tabung reaksi (ukuran 10 ml) dan dikocok hingga tercampur merata (10 menit). 0,01 ml suspensi diteteskan pada haemocytometer kemudian dihitung kerapatan spora di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali dan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut Gabriel dan Riyatno (1989). Ζ© π³ππππ π΄πππ % Larva Mati = Ζ© πΊππππ π³ππππ x 100% C = t/(n.x) x 106 47 Rachmawati et al., Virulensi Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill... Jika pada kontrol terjadi kematian kurang dari 20%, maka persentase kematian P. xylostella dikoreksi dengan rumus sebagai berikut (Abbot, 1987): P= π−π π Analisis Data Analisis data menggunakan uji Anova satu arah menggunakan batas kepercayaan 95% (α:0,05). Jika terdapat perbedaan nyata, maka dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Pengamatan dilakukan dengan menghitung kerapatan, viabilitas, persentase kematian larva P. xylostella akibat infeksi B. bassiana dan rerata waktu kematian P. xylostella. x 100% Dimana P adalah persentase kematian larva P. xylostella yang telah dikoreksi, X adalah persentase kematian larva P. xylostella pada control, dan Y adalah persentase kematian larva P. xylostella pada perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemurnian Kembali pada Serangga Terhadap Kerapatan Spora B. bassiana. Kerapatan spora diuji pada jamur B. bassiana usia 14 hari setelah inokulasi (HSI). Pemurnian serangga pada B. bassiana menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kerapatan spora (Tabel 1). Kerapatan spora B. bassiana tanpa pemurnian ke serangga memiliki kerapatan yang terendah. Subkultur berulang sebanyak 4 kali pada perlakuan tanpa pemurnian ke serangga mengakibatkan penurunan kerapatan spora. Herlinda (2006) menyatakan bahwa subkultur dapat menurunkan kerapatan spora jamur B. bassiana terutama pada jamur B. bassiana yang dibiakan pada media tanpa pengkayaan. Hasil terbaik dalam peningkatan kerapatan spora adalah pada pemurnian sebanyak 2 kali. Hal tersebut dikarenakan nutrisi pada media PDA berbeda dengan T. molitor. PDA mengandung protein dan karbohidrat yang dominan dan rendah kittin, sedangkan T. molitor mengandung nutrisi yang beragam Waktu Kematian Waktu kematian diamati setiap hari selama 7 hari. Perhitungan rerata waktu kematian dihitung dengan metode Edde dan Amatobi (2003) dalam El-Hawary dan El-Salam (2009), sebagai berikut: Rerata waktu = kematian (hari) X1Y1 + X2Y2 + XnYn Total larva mati Dimana X adalah jumlah kematian larva yang terjadi pada hari tertentu, Y adalah jumlah hari saat pengamatan (hari pertama, hari kedua, hingga hari ke-n yaitu akhir pengamatan). Isolasi Jamur B. bassiana dari P. xylostella yang terinfeksi Isolasi dilakukan pada P. xylostella yang terinfeksi jamur B. bassiana dengan melakukan sterilisasi permukaan dan penanaman pada media PDA. Inkubasi dilakukan selama 7 hari untuk kemudian diidentifikasi makroskopis dan mikroskopis dengan perbesaran 400x. Tabel 1. Rata-rata kerapatan spora B. bassiana akibat pemurnian kembali pada serangga Kerapatan spora jamur B. bassiana Perlakuan (106spora/ml) Tanpa pemurnian ke serangga 3,76 a Pemurnian ke serangga 1 kali 19,66 b Pemurnian ke serangga 2 kali 24,71 c Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berarti berbeda nyata pada uji BNT (P<0,05). 48 Jurnal HPT Volume 4 Nomor 1 Januari 2016 Tabel 2. Rata-rata viabilitas spora B. bassiana setelah pemurnian kembali pada serangga Perlakuan Viabilitas spora B. bassiana (%) Tanpa pemurnian ke serangga 11,64 a Pemurnian ke serangga 1 kali 63,98 b Pemurnian ke serangga 2 kali 69,50 b Keterangan: - Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berarti berbeda nyata pada uji BNT (P<0,05), - Uji lanjut berdasarkan data hasil tranformasi Arsin π₯ seperti protein, kittin, glukosa, dan karbohidrat. Menurut Pujiastutik dkk. (2006) kerapatan spora dipengaruhi oleh perbedaan jenis media, pada media yang mengandung protein dan karbohidrat akan berbeda pada media yang mengadung nutrisi yang lebih beragam seperti karbohidrat, protein, glukosa dan kitin. mengandung kitin dan protein sehingga dapat meningkatkan viabilitas spora. Kerapatan dan Viabilitas Spora B. bassiana pada Setiap Fase Pemurnian kembali pada serangga berpengaruh nyata terhadap kerapatan spora pada setiap fase perlakuan. Pemurnian serangga pada setiap fase perlakuan memiliki nilai kerapatan spora yang lebih tinggi dibandingkan pada jamur B. bassiana yang terus disubkultur pada media PDA (Tabel 3). Pemurnian serangga 1 kali, Subkultur pemurnian serangga 1 kali, Subkultur pemurnian serangga 2 kali dan Pemurnian serangga 2 kali tidak memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kerapatan spora, sedangkan pada kerapatan spora jamur B. bassiana yang disubkultur pada media PDA terus mengalami penurunan. Berdasarkan hasil analisis statistik, pemurnian kembali pada serangga pada jamur B. bassiana pada setiap fase perlakuan memiliki pengaruh yang nyata terhadap viabilitas spora. Pemurnian serangga memiliki nilai viabilitas spora yang tinggi dibandingkan pada jamur B. bassiana yang terus disubkultur pada media PDA (Tabel 3). Pemurnian serangga memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan subkultur. Moraga dan Vey, (2003) dalam penelitiannya melaporkan bahwa jamur B. bassiana yang disubkultur dua kali dalam media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) Pengaruh Pemurnian Kembali pada Serangga Terhadap Viabilitas Spora B. bassiana Viabilitas spora diuji pada B. bassiana usia 14 HSI. Pemurnian kembali jamur B. bassiana pada serangga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap viabilitas spora (Tabel 2). Jamur B. bassiana tanpa pemurnian ke serangga memiliki persentase viabilitas spora yang terendah. Subkultur berulang sebanyak empat kali pada perlakuan tanpa pemurnian mengakibatkan penurunan viabilitas spora. Menurut Herlinda (2006) semakin banyak subkultur akan menurunkan viabilitas spora B. bassiana karena energi dalam yang tersimpan didalam spora semakin rendah, penurunan energi disebabkan kandungan kitin dan protein rendah. Hasil uji BNT (P<0,05) antara perlakuan pemurnian pada serangga satu kali dan pemurnian pada serangga dua kali tidak memiliki pengaruh yang berbeda terhadap viabilitas spora (Tabel 2). Pemurnian kembali B. bassiana pada T. molitor diduga dapat meningkatkan senyawa kitin dan protein di dalam spora karena pada serangga tersebut 49 Rachmawati et al., Virulensi Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill... Tabel 3. Kerapatan dan viabilitas spora jamur B. bassiana setiap fase perlakuan Fase perlakuan Kerapatan spora B. Viabilitas spora B. 6 bassiana (10 spora/ml) bassiana (%) Subkultur 1 kali 16,49 c 38,11 b Subkultur 2 kali 9,29 b 24,31 b Subkultur 3 kali 4,98 a 32,74 b Subkultur 4 kali 3,76 a 11,64 a Pemurnian serangga 1 kali 22,83 de 65,52 c Subkultur PS 1 kali 22,39 de 66,32 c Subkultur PS 2 kali 19,66 cd 63,98 c Pemurnian serangga 2 kali 24,71 e 69,50 c Keterangan: - PS: Pemurnian ke serangga - Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, berarti tidak berbeda nyata pada uji DMRT (P<0,05) berpengaruh dalam menurunkan virulensi secara nyata, sedangkan B. bassiana yang disubkultur dalam media Malt Agar (MA) meningkatakan virulensi dan aktivitas toxikgenitas, tetapi daya virulensi dan toksigenitas yang paling baik diperoleh pada B. bassiana yang dimurnikan sebanyak dua kali pada nimfa L. migratoria. Sesuai dengan Adames dkk. (2011) pengulangan penginfeksian pada inang yang sesuai dapat menghasilkan pelekatan spora dan perkecambahan yang cepat saat infasi pada inang. Pupa yang terinfeksi menunjukkan gejala yang mirip dengan larva yang terinfeksi yakni pupa berwarna hijau kekuningan, tubuh akan mengeras dan mengerut seperti mumi, selanjutnya muncul hifa jamur berwarna putih pada pupa, dan selanjutnya hifa menyelimuti seluruh bagian pupa. Sesuai dengan penelitian Wicaksono dkk. (2015), pupa yang mati ditunjukkan dengan tumbuhnya spora dan hifa berwarna putih di permukaan tubuh pupa. Pemurnian jamur B. bassiana kembali ke serangga berpengaruh nyata terhadap mortalitas P. xylostella. Pengamatan 24 jam setelah aplikasi (JSA) belum terjadi kematian P. xylostella pada ketiga perlakuan. Mortalitas P. xylostella terjadi pada perlakuan pemurnian ke serangga 1 kali dan pemurnian ke serangga 2 kali pada pengamatan 48 JSA, sedangkan pada perlakuan tanpa pemurnian ke serangga belum terjadi kematian (Tabel 4). Pengamatan 96 JSA, pada perlakuan tanpa pemurnian ke serangga mulai terjadi mortalitas P. xylostella akibat infeksi B. bassiana. Berdasarkan uji lanjut BNT (P<0,05) perlakuan pemurnian ke serangga 1 kali dan 2 kali memiliki pengaruh yang sama terhadap mortalitas. Mortalitas P. xylostella Larva yang terinfeksi menunjukkan gejala larva berwarna hijau kekuningan, larva mati, tubuh akan mengeras dan mengerut seperti mumi, dan selanjutnya akan muncul hifa berwarna putih dan setelah diinkubasi larva akan terselimuti oleh miselium. Menurut Soetopo dan Indrayani (2007), serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi spora B. bassiana. B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin, antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. 50 Jurnal HPT Volume 4 Nomor 1 Januari 2016 Tabel 4. Rata-rata mortalitas P. xylostella akibat virulensi Jamur B. bassiana setelah perlakuan Perlakuan Tanpa pemurnian ke serangga 48 JSA 0a 72 JSA 0a 96 JSA 5,63 a 120 JSA 10 a 144 JSA 20 a 168 JSA 20,63 a Pemurnian ke serangga 1 kali 0,63 a 8,13 a 23,7 b 29,38 b 53,75 b 55,63 b Pemurnian ke serangga 2 kali 6,88 a 23,75 b 35,00 b 54,38 c 75,63 c 75,63 c Keterangan: - JSA: Jam Setelah Aplikasi - Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada uji BNT (P<0,05). - Uji lanjut berdasarkan data hasil tranformasi Arsin Mortalitas tertinggi terjadi pada pengamatan 144 JSA yang terjadi pada pemurnian kembali pada serangga dengan mortalitas mencapai 75,63%. Mortalitas pada pemurnian kembali pada serangga memiliki nilai yang tetap hingga pengamatan 168 JSA. Hasil mortalitas P. xylostella selama 168 JSA terlihat perlakuan pemurnian ke serangga 2 kali menunjukkan mortalitas tertinggi dan perlakuan tanpa pemurnian kembali pada serangga menunjukan tingkat mortalitas yang terendah (Tabel 4). Dalam tubuh serangga diduga banyak mengandung kitin dan protein, substrat tersebut merupakan sumber energi bagi jamur entomopatogen. Protein dan kitin sebagai substrat yang dapat merangsang enzim kitinase dan protease pada jamur B. bassiana yang dibutuhkan untuk menginfeksi serangga. Leger (1991) dalam penelitiannya menjelaskan tingkat enzim pada spora M. anisopliae yang menginfeksi larva Manduca sexta lebih tinggi dari spora yang dipanen dari media SDA (Sabauraud dextrose agar) dimana enzim diperlukan untuk degradasi serangga inang. Waktu Kematian Jamur B. bassiana setelah Pemurnian pada Serangga terhadap P. xylostella Pemurnian serangga pada B. bassiana menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata akibat pemurnian kembali pada serangga pada rerata waktu kematian P. xylostella (Tabel 5). Menurut Rusli dan Trizelia (2008) jamur B. bassiana membutuhkan beberapa tahapan dalan menginfeksi serangga. Perbedaan waktu untuk masingmasing tahap ini bervariasi tergantung pada jenis jamur, inang, dan lingkungan. Selain itu perbedaan waktu dari infeksi sampai kematian serangga juga dipengaruhi oleh virulensi jamur tersebut. Tabel 5. Rata-rata waktu kematian P. xylostella akibat virulensi jamur B. bassiana setelah perlakuan Perlakuan Hari Tanpa pemurnian ke serangga 5,04 a Pemurnian ke serangga 1 kali 4,94 a Pemurnian ke serangga 2 kali 4,43 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, berarti tidak berbeda nyata pada uji BNT (P<0,05). 51 Rachmawati et al., Virulensi Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill... Identifikasi Jamur B. bassiana pada P. xylostella P. xylostella yang telah mengalami kematian akibat infeksi jamur B. bassiana dilakukan identifikasi morfologi jamur B. bassiana secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil identifikasi morfologi secara makroskopis, menunjukkan ciri yakni koloni berwarna putih seperti kapas, dan pada bawah permukaan cawan petri berwarna putih kekuningan, biakan yang telah bersporulasi menghasilkan kumpulan spora seperti tepung. Menurut Wahyudi (2008) koloni jamur B. bassiana pada media PDA cawan petri akan membentuk lapisan seperti tepung, jarang membentuk sinema dan koloni bagian pinggir berwarna putih dan menjadi kuning pucat, terkadang sedikit kemerahmerahan. Morfologi mikroskopis B. bassiana yakni spora berbentuk bulat, dengan warna hialin, dan spora muncul ujung percabangan konidiofor. Menurut Barnett dan Hunter (1998) miselium B. bassiana bersekat dan berwarna putih, konidiofor bercabang-cabang dengan pola zig-zag/ sympodial, spora berbentuk bulat berwarna putih (hialin), bersel satu (tanpa sekat), spora muncul dari setiap ujung percabangan konidiofor. DAFTAR PUSTAKA Abbot WS. 1987. A Method of Computing The Effectivenes Of An Insecticide. Jurnal of American Mosquito control Association. 3(2): 302-307. Adames M, MF Ruvalcaba, GP Chora, and Victor. 2011. Effects Of Passages Through A Suitable Host Of The Fungus, Metarhizium anisopliae, On The Virulence Of Acaricide-Susceptible and Resistant Strains of The Tick, Rhipicephalus microplus. Journal Of Insect Science. 11(21): 1-13. Barnett HL, BB Hunter. 1998. Ilustrated General pf Imperfect Fungi. Ed-4. Macnillan Publishing Company. New York. p: 90-95. Brownbridge M, S Costa dan ST Jaronski. 2001. Effects of in vitro passage of Beauveria bassiana on virulence of Bemisia argentifolii Journal of Invertebrate Pathology 77: 280–283. Gabriel BP dan Riyatno. 1989. Metarhizium anisopliae (Metch) Sor: Taksonomi, Patologi, Produksi dan Aplikasinya. Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta: 1521. Herlinda MD Utama, Y Pujiastuti, dan Suwandi. 2006. Kerapatan dan Viabilitas Spora Beauveria bassiana (Bals.) Akibat Subkultur Dan Pengayaan Media, Serta Virulensinya Terhadap Larva Plutella xylostella (Linn.). J. HPT Tropika. 6( 2): 70 – 78. Kusumaningsih TA, Masykur dan U Arief. 2004. Pembuatan Kitosan Dari Kitin Cangkang Bekicot (Achatina f ulica) Synthesis Of Chitosan From Chitin Of Escargot (Achatina Fulica). Biofarmasi. 2(2): 1-15. KESIMPULAN Kerapatan spora terbaik pada perlakuan pemurnian kembali pada T. molitor dua kali yakni 24,71x 106 spora/ml. Interval banyaknya pemurnian kembali pada T. molitor memiliki pengaruh yang sama terhadap viabilitas spora. Mortalitas terbaik pada perlakuan pemurnian kembali pada serangga dua kali dengan tingkat mortalitas mencapai 75,63% pada pengamatan 144 JSA. Namun pemurnian kembali pada serangga tidak berpengaruh nyata terhadap rerata waktu kematian P. xylostella. 52 Jurnal HPT Volume 4 Nomor 1 Leger RJ, MS Goettel, DW Roberts, RC Staples. 1991. Prepenetration events during infection of host cuticle by Metarhizium anisopliae. J. Invertebr Pathol. 58: 168-179. Moraga dan Vey. 2003. Intra-specific Variation in Virulence and In Vitro Production of Macromolecular Toxins Active Against Locust Among Beauveria bassiana Strains and Effects of In Vivo and In Vitro Passage on These factors. Biocontrol Science and Technology. 13: 323-340. Rusli dan Trizelia. 2008. Perbanyakan Beauveria Bassiana Pada Limbah Organik, Formulasi Dan Uji Efektivitasnya Sebagai Bioinsektisida Untuk Pengendalian Hama Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae). Fakultas Petanian. Universitas Andalas: 1-20. Safavi, Farooq A. Shah, Aziz K. Pakdel, G. Reza Rasoulian, Ali R. Bandani and Tariq M. Butt. 2005. Nutrition influences growth and virulence of the insect-pathogenic fungus Metarhizium anisopliae, FEMS Microbiol. Lett. 251: 259-266. Januari 2016 Soetopo dan Indrayani. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan 6(1):29-46. Ulmer B, C Gillott, D Woods, M Erlandson. 2001. Diamondback moth, Plutella xylostella (L) feeding and oviposition preferences on glossy and waxy Brassica rapa (L) lines. Crop Protection 21: 327-331. Wahyudi. 2008. Enkapsulasi Propagul Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana Menggunakan Alginat dan Pati Jagung Sebagai Produk Mikoinsektisida. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 6(2): 5-56. Wicaksono, AL Latief, dan A Aminudin. 2015. Uji Efektivitas Metode Aplikasi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin Terhadap Pupa Bactrocera Carambolae Drew & Hancock (Diptera: Tephritidae): 3989. 53