45 VIRULENSI JAMUR Beauveria bassiana (Bals.) Vuill

advertisement
Jurnal HPT Volume 4 Nomor 1
Januari 2016
ISSN : 2338 - 4336
VIRULENSI JAMUR Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (HYPOCREALES:
CORDYCIPITACEAE) DENGAN PEMURNIAN KEMBALI PADA SERANGGA
(PASSAGE INSECT) TERHADAP Plutella xylostella Linnaeus
(LEPIDOPTERA: PLUTELLIDAE)
Rina Rachmawati, Derra Marhaendar Mayang, Toto Himawan
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
Jln. Veteran, Malang 65145, Indonesia
ABSTRACT
Fungi Beauveria bassiana (Hypocreales: Cordycipitaceae) is a prominent biological
control agents that is known to have broad spectrum of insect hosts. However, in several
cases, the management of insect pest using this fungi in the field is known to be less
effective. This due to repeated subculture on artificial media or long time storage. One
alternative to improve the quality of B. bassiana is by insect-passage method. Insects have
kithins and proteins that are beneficial to entomopathogen fungi. The purpose of this
research was to determine the effect of the insect-passage of fungi B. bassiana toward the
quality of the spores and fungal virulence against Plutella xylostella. Two time repetitive
passage through insect was the best treatment to enhance spore density, that was 2,47x107
spore/ml. One time passage and two time passage through insect had the same effect on
the viability of spore, and had the higher viability compared to non-passage treatment.
The best mortality occured at twice passage through insect with the percentage of
mortality of P.xylostela reached 75,63% at 144 hours after application. Passage through
insects did not have significant effect on average time of death.
Keywords : Beauveria bassiana, Passage insect, Plutella xylostella
ABSTRAK
Penggunakan Beauveria bassiana (Hypocreales: Cordycipitaceae) merupakan agens
hayati yang populer dan diketahui mempunyai kisaran inang yang luas. Namun pada
beberapa kasus, ketika di lapang efektivitasnya mudah menurun. Subkultur yang berlebih
(lebih dari empat kali) atau pengawetan dalam jangka panjang dalam media buatan
diketahui akan mengakibatkan virulensi jamur menurun. Salah satu alternatif untuk
meningkatkan kualitas spora B. bassiana adalah dengan pemurnian kembali melalui
serangga inang. Serangga memiliki senyawa kitin dan protein yang bermanfaat bagi
jamur entomopatogen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pemurnian kembali jamur B. bassiana ke serangga, sehingga dapat meningkatkan kualitas
spora dan virulensi jamur B. bassiana terhadap hama P. xylostella. Pemurnian kembali
pada serangga sebanyak dua kali mampu meningkatkan kerapatan spora jamur B.
bassiana menjadi 2,47x107 spora/ml. Viabilitas spora pada pemurnian ke serangga
sebanyak 1 kali dan pemurnian ke serangga sebanyak 2 kali memiliki pengaruh yang
sama terhadap viabilitas spora, dan mempunyai viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan tanpa pemurnian kebali ke serangga. Mortalitas P. xylostella terbaik terjadi
pada perlakuan pemurnian ke serangga sebanyak 2 kali dengan persentase kematian
mencapai 75,63% pada 144 jam setelah aplikasi. Pemurnian kembali pada serangga tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rerata waktu kematian P. xylostella.
Kata Kunci : Beauveria bassiana, pemurnian kembali pada serangga, Plutella xylostella
45
Rachmawati et al., Virulensi Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill...
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Jamur Beauveria bassiana (Bals.)
(Vuill.) (Hypocreales: Cordycipitaceae)
merupakan jenis jamur yang banyak
digunakan sebagai pengendali hama. Hama
P. xylostella merupakan hama utama
tanaman kubis. Perkembangan yang singkat
dengan keperidian yang tinggi menyebabkan hama ini sangat berbahaya terhadap
produk pertanian famili Brassicaceae
(Ulmer dkk, 2001). Subkultur berulang
pada media buatan akan menurunkan
kerapatan dan viabilitas spora dari B.
bassina. Pemurnian dengan serangga inang
(passage insect) dapat meningkatkan
virulensi jamur entomopatogen (Brownbridge dkk, 2001). Cangkang kering
arthropoda rata-rata mengandung 20-50%
kitin (Kusumaningsih dkk., 2004). Protein
dan kitin berfungsi sebagai substrat yang
dapat meningkatkan enzim kitinase dan
protease pada jamur B. bassiana. Jamur B.
bassiana yang di-subkultur dua kali dalam
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
dengan nyata menurunkan virulensi,
sedangkan B. bassiana yang disubkultur
dalam media Malt Agar (MA) dapat
meningkatakan virulensi dan aktivitas
toksin yang dihasilkan, namun demikian
virulensi dan daya racun tertinggi diperoleh
setelah jamur B. bassiana dimurnikan
sebanyak dua kali pada nimfa Locusta
migratoria (Moraga dan Vey, 2003). Salah
satu serangga yang dapat dipakai dalam
pemurnian adalah larva T. molitor karena
rentan terhadap jamur entomopatogen
(Zimmermann 1986 dalam Meyling 2007).
Oleh sebab itu dilakukan penelitian
mengenai peningkatkan kualitas jamur B.
Bassiana terhadap hama P. xylostella
dengan pemurnian ke serangga (passage
insect) tersebut. Pemurnian dengan
menggunakan serangga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas spora dari jamur
entomopatogen dalam perbanyakan in vitro
sehingga dalam pengendalian hama dapat
tercapai dengan maksimal.
Pemurnian Kembali pada Serangga
Permurnian kembali pada serangga
dilakukan dengan pembuatan suspensi B.
bassiana 10 ml (kerapatan 1x107
spora/ml), lalu diletakkan pada cawan
petri diameter 9 cm. Kemudian 10 ekor
larva T. molitor dicelupkan selama 5 detik
dan diletakkan pada botol kaca steril
dengan tissue yang dibasahi aquades steril
pada bagian bawah botol dan pada
penutup botol. Inkubasi dilakukan selama
3-7 hari pada kelembaban 90% dan pada
temperatur 22-30˚C tanpa pemberian
makanan. Pada larva yang terinfeksi
dilakukan sterilisasi permukaan denan
metode Safavi et al. (2005). Permurnian
serangga dua kali dilakukan berulang
sesuai dengan metode sebelumnya.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL), terdiri dari 3 perlakuan dengan 8
ulangan. Perlakuan terdiri dari Kontrol
(tanpa pemurnian isolat pada larva T.
molitor), perlakuan dengan 1 kali pemurnian isolat pada larva T. molitor, dan
perlakuan dengan 2 kali pemurnian isolat
pada larva T. molitor.
Penyediaan Tanaman Inang
Tanaman kubis untuk serangga uji
P. xylostela disiapkan dengan menanam
bibit tanaman kubis hingga berumur 2 - 3
minggu. Bibit lalu dipindah tanam ke
polybag ukuran 1 liter yang telah berisi
campuran tanah dan pupuk kandang
dengan perbandingan 2 : 1. Setelah
tanaman kubis berumur ± 6 minggu sejak
pindah tanam ke polybag, tanaman kubis
siap digunakan.
Perbanyakan Serangga Uji
Perbanyakan
dilakukan
pada
kurungan kain kasa berukuran 40 x 40 x 40
cm, yang berisi cairan madu 10 % yang
dioleskan pada kapas yang digantung pada
atas kurungan yang berfungsi sebagai
46
Jurnal HPT
Volume 4 Nomor 1
makan imago P. xylostella. Selanjutnya,
daun kubis yang dicelupkan pada botol
yang berisi air dimasukkan ke dalam
kurungan kain kasa sebagai tempat bertelur
P. xylostella. Larva yang baru menetas
dipelihara dalam toples yang berisi daun
kubis. Larva yang digunakan untuk
perlakuan adalah larva instar 3.
Januari 2016
Dimana C adalah kerapatan spora per ml
larutan, t adalah jumlah total spora dalam
kotak sampel yang diamati, n adalah
jumlah kotak sampel (5 kotak besar x 16
kotak kecil), dan x adalah 0,25 faktor
koreksi penggunaan kotak sampel skala
kecil pada haemocytometer.
Viabilitas Spora. Media EKG
dituangkan di atas gelas benda dan
diratakan hingga terbentuk lapisan tipis.
Suspensi jamur B. bassiana diteteskan
sebanyak 0,01 ml pada kaca preparat
berlapis media EKG dan diratakan
kemudian diinkubasikan selama 24 jam
pada suhu kamar. Selanjutnya diamati di
bawah mikroskop dengan pembesaran
400x. Viabilitas spora dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Gabriel
dan Riyatno, 1989):
Persiapan Media
Media yang digunakan adalah PDA
(Potato Dextrose Agar) dan EKG (Ekstrak
Kentang Gula). Kentang dikupas dan cuci
bersih, kemudian dipotong menjadi kotak
kecil sebesar 2x2 cm. Potongan kentang
direbus dalam 500 ml akuades. Ekstrak
kentang dicampur dengan destrosa 20 gr
dan agar teknis 20 gr, kemudian
dipanaskan dan diaduk hingga homogen.
Ditambahkan aquades hingga diperoleh
volume akhir 1000 mL dan atur pH
menjadi 6-7. Kemudian disterilisasi pada
suhu 121oC, 1 atm, selama 30 menit.
Sebelum
digunakan
media
PDA
ditambahkan 500 mg clorampenicol (anti
bakteri) untuk 1 liter media. Media Ekstrak
Kentang Gula (EKG) dibuat hampir sama
dengan media PDA perbedaan pada
sumber glukosa yakni menggunakan gula
pasir, dan tanpa penambahan agar.
V = g/(g + u) x 100 %
Dimana V adalah perkecambahan spora, g
adalah jumlah spora yang berkecambah,
dan u adalah jumlah spora yang tidak
berkecambah.
Uji Virulensi B. bassiana yang telah
dimurnikan dengan serangga terhadap
hama P. xylostella
Suspensi B. Bassiana 10 ml
(kerapatan 1x107 spora/ml) diletakkan
pada cawan petri berdiameter 9 cm
kemudian 20 larva P. xylostella dicelupkan selama 5 detik. Larva tersebut
dipelihara dalam toples yang ditutup kain
kasa dan diberi pakan daun kubis.
Pemberian pakan diganti setiap hari.
Sebagai perlakuan kontrol larva dicelupkan dengan aquades steril 10 ml.
Pengamatan dilakukan setiap hari selama
7 hari. Mortalitas larva dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Prijono,
1989):
Pengukuran Kerapatan dan Viabilitas
Konida Jamur B. bassiana
Kerapatan spora. Spora diambil
dengan menggunakan jarum ose pada
cawan petri. Kemudian dilarutkan ke
dalam air steril dalam tabung reaksi
(ukuran 10 ml) dan dikocok hingga
tercampur merata (10 menit). 0,01 ml
suspensi diteteskan pada haemocytometer
kemudian dihitung kerapatan spora di
bawah mikroskop dengan perbesaran 400
kali dan dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut Gabriel dan
Riyatno (1989).
Ζ© 𝑳𝒂𝒓𝒗𝒂 π‘΄π’‚π’•π’Š
% Larva Mati = Ζ© π‘Ίπ’†π’Žπ’–π’‚ 𝑳𝒂𝒓𝒗𝒂 x 100%
C = t/(n.x) x 106
47
Rachmawati et al., Virulensi Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill...
Jika pada kontrol terjadi kematian kurang
dari 20%, maka persentase kematian P.
xylostella dikoreksi dengan rumus sebagai
berikut (Abbot, 1987):
P=
𝑋−π‘Œ
𝑋
Analisis Data
Analisis data menggunakan uji
Anova satu arah menggunakan batas
kepercayaan 95% (α:0,05). Jika terdapat
perbedaan nyata, maka dilakukan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT). Pengamatan
dilakukan dengan menghitung kerapatan,
viabilitas, persentase kematian larva P.
xylostella akibat infeksi B. bassiana dan
rerata waktu kematian P. xylostella.
x 100%
Dimana P adalah persentase kematian
larva P. xylostella yang telah dikoreksi, X
adalah persentase kematian larva P.
xylostella pada control, dan Y adalah
persentase kematian larva P. xylostella
pada perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemurnian Kembali pada
Serangga Terhadap Kerapatan Spora
B. bassiana.
Kerapatan spora diuji pada jamur B.
bassiana usia 14 hari setelah inokulasi
(HSI). Pemurnian serangga pada B.
bassiana menunjukkan pengaruh yang
nyata terhadap kerapatan spora (Tabel 1).
Kerapatan spora B. bassiana tanpa
pemurnian
ke
serangga
memiliki
kerapatan yang terendah. Subkultur
berulang sebanyak 4 kali pada perlakuan
tanpa pemurnian ke serangga mengakibatkan penurunan kerapatan spora.
Herlinda (2006) menyatakan bahwa
subkultur dapat menurunkan kerapatan
spora jamur B. bassiana terutama pada
jamur B. bassiana yang dibiakan pada
media tanpa pengkayaan. Hasil terbaik
dalam peningkatan kerapatan spora adalah
pada pemurnian sebanyak 2 kali. Hal
tersebut dikarenakan nutrisi pada media
PDA berbeda dengan T. molitor. PDA
mengandung protein dan karbohidrat yang
dominan dan rendah kittin, sedangkan T.
molitor mengandung nutrisi yang beragam
Waktu Kematian
Waktu kematian diamati setiap hari
selama 7 hari. Perhitungan rerata waktu
kematian dihitung dengan metode Edde
dan Amatobi (2003) dalam El-Hawary
dan El-Salam (2009), sebagai berikut:
Rerata waktu =
kematian (hari)
X1Y1 + X2Y2 + XnYn
Total larva mati
Dimana X adalah jumlah kematian larva
yang terjadi pada hari tertentu, Y adalah
jumlah hari saat pengamatan (hari
pertama, hari kedua, hingga hari ke-n
yaitu akhir pengamatan).
Isolasi Jamur B. bassiana dari P.
xylostella yang terinfeksi
Isolasi dilakukan pada P. xylostella
yang terinfeksi jamur B. bassiana dengan
melakukan sterilisasi permukaan dan
penanaman pada media PDA. Inkubasi
dilakukan selama 7 hari untuk kemudian
diidentifikasi makroskopis dan mikroskopis dengan perbesaran 400x.
Tabel 1. Rata-rata kerapatan spora B. bassiana akibat pemurnian kembali pada serangga
Kerapatan spora jamur B. bassiana
Perlakuan
(106spora/ml)
Tanpa pemurnian ke serangga
3,76 a
Pemurnian ke serangga 1 kali
19,66 b
Pemurnian ke serangga 2 kali
24,71 c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berarti berbeda nyata pada uji
BNT (P<0,05).
48
Jurnal HPT
Volume 4 Nomor 1
Januari 2016
Tabel 2. Rata-rata viabilitas spora B. bassiana setelah pemurnian kembali pada serangga
Perlakuan
Viabilitas spora B. bassiana (%)
Tanpa pemurnian ke serangga
11,64 a
Pemurnian ke serangga 1 kali
63,98 b
Pemurnian ke serangga 2 kali
69,50 b
Keterangan: - Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berarti berbeda nyata pada uji
BNT (P<0,05),
- Uji lanjut berdasarkan data hasil tranformasi Arsin π‘₯
seperti protein, kittin, glukosa, dan
karbohidrat. Menurut Pujiastutik dkk.
(2006) kerapatan spora dipengaruhi oleh
perbedaan jenis media, pada media yang
mengandung protein dan karbohidrat akan
berbeda pada media yang mengadung
nutrisi yang lebih beragam seperti
karbohidrat, protein, glukosa dan kitin.
mengandung kitin dan protein sehingga
dapat meningkatkan viabilitas spora.
Kerapatan dan Viabilitas Spora B.
bassiana pada Setiap Fase
Pemurnian kembali pada serangga
berpengaruh nyata terhadap kerapatan
spora pada setiap fase perlakuan.
Pemurnian serangga pada setiap fase
perlakuan memiliki nilai kerapatan spora
yang lebih tinggi dibandingkan pada
jamur B. bassiana yang terus disubkultur
pada media PDA (Tabel 3).
Pemurnian serangga 1 kali, Subkultur pemurnian serangga 1 kali,
Subkultur pemurnian serangga 2 kali dan
Pemurnian serangga 2 kali tidak memiliki
pengaruh yang berbeda terhadap kerapatan spora, sedangkan pada kerapatan
spora jamur B. bassiana yang disubkultur
pada media PDA terus mengalami
penurunan.
Berdasarkan hasil analisis statistik,
pemurnian kembali pada serangga pada
jamur B. bassiana pada setiap fase
perlakuan memiliki pengaruh yang nyata
terhadap viabilitas spora. Pemurnian
serangga memiliki nilai viabilitas spora
yang tinggi dibandingkan pada jamur B.
bassiana yang terus disubkultur pada
media PDA (Tabel 3).
Pemurnian
serangga
memiliki
pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan
dengan subkultur. Moraga dan Vey,
(2003) dalam penelitiannya melaporkan
bahwa jamur B. bassiana yang
disubkultur dua kali dalam media
Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
Pengaruh Pemurnian Kembali pada
Serangga Terhadap Viabilitas Spora B.
bassiana
Viabilitas spora diuji pada B.
bassiana usia 14 HSI. Pemurnian kembali
jamur B. bassiana pada serangga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
viabilitas spora (Tabel 2).
Jamur B. bassiana tanpa pemurnian
ke serangga memiliki persentase viabilitas
spora yang terendah. Subkultur berulang
sebanyak empat kali pada perlakuan tanpa
pemurnian mengakibatkan penurunan
viabilitas spora. Menurut Herlinda (2006)
semakin banyak subkultur akan menurunkan viabilitas spora B. bassiana karena
energi dalam yang tersimpan didalam
spora semakin rendah, penurunan energi
disebabkan kandungan kitin dan protein
rendah.
Hasil uji BNT (P<0,05) antara
perlakuan pemurnian pada serangga satu
kali dan pemurnian pada serangga dua
kali tidak memiliki pengaruh yang
berbeda terhadap viabilitas spora (Tabel
2). Pemurnian kembali B. bassiana pada
T. molitor diduga dapat meningkatkan
senyawa kitin dan protein di dalam spora
karena
pada
serangga
tersebut
49
Rachmawati et al., Virulensi Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill...
Tabel 3. Kerapatan dan viabilitas spora jamur B. bassiana setiap fase perlakuan
Fase perlakuan
Kerapatan spora B.
Viabilitas spora B.
6
bassiana (10 spora/ml)
bassiana (%)
Subkultur 1 kali
16,49 c
38,11 b
Subkultur 2 kali
9,29 b
24,31 b
Subkultur 3 kali
4,98 a
32,74 b
Subkultur 4 kali
3,76 a
11,64 a
Pemurnian serangga 1 kali
22,83 de
65,52 c
Subkultur PS 1 kali
22,39 de
66,32 c
Subkultur PS 2 kali
19,66 cd
63,98 c
Pemurnian serangga 2 kali
24,71 e
69,50 c
Keterangan: - PS: Pemurnian ke serangga
- Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, berarti tidak berbeda nyata pada
uji DMRT (P<0,05)
berpengaruh dalam menurunkan virulensi
secara nyata, sedangkan B. bassiana yang
disubkultur dalam media Malt Agar (MA)
meningkatakan virulensi dan aktivitas
toxikgenitas, tetapi daya virulensi dan
toksigenitas yang paling baik diperoleh
pada B. bassiana yang dimurnikan
sebanyak dua kali pada nimfa L.
migratoria. Sesuai dengan Adames dkk.
(2011) pengulangan penginfeksian pada
inang yang sesuai dapat menghasilkan
pelekatan spora dan perkecambahan yang
cepat saat infasi pada inang.
Pupa yang terinfeksi menunjukkan
gejala yang mirip dengan larva yang
terinfeksi yakni pupa berwarna hijau
kekuningan, tubuh akan mengeras dan
mengerut seperti mumi, selanjutnya muncul
hifa jamur berwarna putih pada pupa, dan
selanjutnya hifa menyelimuti seluruh
bagian pupa. Sesuai dengan penelitian
Wicaksono dkk. (2015), pupa yang mati
ditunjukkan dengan tumbuhnya spora dan
hifa berwarna putih di permukaan tubuh
pupa.
Pemurnian jamur B. bassiana
kembali ke serangga berpengaruh nyata
terhadap
mortalitas
P.
xylostella.
Pengamatan 24 jam setelah aplikasi (JSA)
belum terjadi kematian P. xylostella pada
ketiga perlakuan. Mortalitas P. xylostella
terjadi pada perlakuan pemurnian ke
serangga 1 kali dan pemurnian ke
serangga 2 kali pada pengamatan 48 JSA,
sedangkan pada perlakuan tanpa pemurnian
ke serangga belum terjadi kematian (Tabel
4).
Pengamatan 96 JSA, pada perlakuan
tanpa pemurnian ke serangga mulai terjadi
mortalitas P. xylostella akibat infeksi B.
bassiana. Berdasarkan uji lanjut BNT
(P<0,05) perlakuan pemurnian ke
serangga 1 kali dan 2 kali memiliki
pengaruh yang sama terhadap mortalitas.
Mortalitas P. xylostella
Larva yang terinfeksi menunjukkan
gejala larva berwarna hijau kekuningan,
larva mati, tubuh akan mengeras dan
mengerut seperti mumi, dan selanjutnya
akan muncul hifa berwarna putih dan
setelah diinkubasi larva akan terselimuti
oleh miselium. Menurut Soetopo dan
Indrayani (2007), serangga yang terbunuh
tubuhnya akan berwarna putih karena
ditumbuhi spora B. bassiana. B. bassiana
memproduksi toksin yang disebut
beauvericin,
antibiotik
ini
dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi
hemolimfa dan nukleus serangga,
sehingga mengakibatkan pembengkakan
yang disertai pengerasan pada serangga
yang terinfeksi.
50
Jurnal HPT
Volume 4 Nomor 1
Januari 2016
Tabel 4. Rata-rata mortalitas P. xylostella akibat virulensi Jamur B. bassiana setelah
perlakuan
Perlakuan
Tanpa pemurnian
ke serangga
48 JSA
0a
72 JSA
0a
96 JSA
5,63 a
120 JSA
10 a
144 JSA
20 a
168 JSA
20,63 a
Pemurnian ke
serangga 1 kali
0,63 a
8,13 a
23,7 b
29,38 b
53,75 b
55,63 b
Pemurnian ke
serangga 2 kali
6,88 a
23,75 b
35,00 b
54,38 c
75,63 c
75,63 c
Keterangan: - JSA: Jam Setelah Aplikasi
- Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda nyata pada
uji BNT (P<0,05).
- Uji lanjut berdasarkan data hasil tranformasi Arsin
Mortalitas tertinggi terjadi pada
pengamatan 144 JSA yang terjadi pada
pemurnian kembali pada serangga dengan
mortalitas mencapai 75,63%. Mortalitas
pada pemurnian kembali pada serangga
memiliki nilai yang tetap hingga
pengamatan 168 JSA. Hasil mortalitas P.
xylostella selama 168 JSA terlihat
perlakuan pemurnian ke serangga 2 kali
menunjukkan mortalitas tertinggi dan
perlakuan tanpa pemurnian kembali pada
serangga menunjukan tingkat mortalitas
yang terendah (Tabel 4).
Dalam tubuh serangga diduga
banyak mengandung kitin dan protein,
substrat tersebut merupakan sumber
energi bagi jamur entomopatogen. Protein
dan kitin sebagai substrat yang dapat
merangsang enzim kitinase dan protease
pada jamur B. bassiana yang dibutuhkan
untuk menginfeksi serangga. Leger (1991)
dalam penelitiannya menjelaskan tingkat
enzim pada spora M. anisopliae yang
menginfeksi larva Manduca sexta lebih
tinggi dari spora yang dipanen dari media
SDA (Sabauraud dextrose agar) dimana
enzim diperlukan untuk degradasi
serangga inang.
Waktu Kematian Jamur B. bassiana
setelah Pemurnian pada Serangga
terhadap P. xylostella
Pemurnian serangga pada B.
bassiana menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang nyata akibat pemurnian
kembali pada serangga pada rerata waktu
kematian P. xylostella (Tabel 5).
Menurut Rusli dan Trizelia (2008)
jamur
B.
bassiana
membutuhkan
beberapa tahapan dalan menginfeksi
serangga. Perbedaan waktu untuk masingmasing tahap ini bervariasi tergantung
pada jenis jamur, inang, dan lingkungan.
Selain itu perbedaan waktu dari infeksi
sampai
kematian
serangga
juga
dipengaruhi oleh virulensi jamur tersebut.
Tabel 5. Rata-rata waktu kematian P. xylostella akibat virulensi jamur B. bassiana
setelah perlakuan
Perlakuan
Hari
Tanpa pemurnian ke serangga
5,04 a
Pemurnian ke serangga 1 kali
4,94 a
Pemurnian ke serangga 2 kali
4,43 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, berarti tidak berbeda nyata
pada uji BNT (P<0,05).
51
Rachmawati et al., Virulensi Jamur Beauveria bassiana (Bals.) Vuill...
Identifikasi Jamur B. bassiana pada P.
xylostella
P. xylostella yang telah mengalami
kematian akibat infeksi jamur B. bassiana
dilakukan identifikasi morfologi jamur B.
bassiana secara makroskopis dan
mikroskopis. Hasil identifikasi morfologi
secara makroskopis, menunjukkan ciri
yakni koloni berwarna putih seperti kapas,
dan pada bawah permukaan cawan petri
berwarna putih kekuningan, biakan yang
telah bersporulasi menghasilkan kumpulan spora seperti tepung. Menurut
Wahyudi (2008) koloni jamur B. bassiana
pada media PDA cawan petri akan
membentuk lapisan seperti tepung, jarang
membentuk sinema dan koloni bagian
pinggir berwarna putih dan menjadi
kuning pucat, terkadang sedikit kemerahmerahan.
Morfologi mikroskopis B. bassiana
yakni spora berbentuk bulat, dengan
warna hialin, dan spora muncul ujung
percabangan konidiofor. Menurut Barnett
dan Hunter (1998) miselium B. bassiana
bersekat dan berwarna putih, konidiofor
bercabang-cabang dengan pola zig-zag/
sympodial, spora berbentuk bulat
berwarna putih (hialin), bersel satu (tanpa
sekat), spora muncul dari setiap ujung
percabangan konidiofor.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot WS. 1987. A Method of
Computing The Effectivenes Of An
Insecticide. Jurnal of American
Mosquito control Association. 3(2):
302-307.
Adames M, MF Ruvalcaba, GP Chora,
and Victor. 2011. Effects Of
Passages Through A Suitable Host
Of The Fungus, Metarhizium
anisopliae, On The Virulence Of
Acaricide-Susceptible and Resistant
Strains of The Tick, Rhipicephalus
microplus. Journal Of Insect
Science. 11(21): 1-13.
Barnett HL, BB Hunter. 1998. Ilustrated
General pf Imperfect Fungi. Ed-4.
Macnillan Publishing Company.
New York. p: 90-95.
Brownbridge M, S Costa dan ST Jaronski.
2001. Effects of in vitro passage of
Beauveria bassiana on virulence of
Bemisia argentifolii Journal of
Invertebrate Pathology 77: 280–283.
Gabriel BP dan Riyatno. 1989.
Metarhizium anisopliae (Metch)
Sor: Taksonomi, Patologi, Produksi
dan
Aplikasinya.
Direktorat
Perlindungan Tanaman Perkebunan.
Departemen Pertanian. Jakarta: 1521.
Herlinda MD Utama, Y Pujiastuti, dan
Suwandi. 2006. Kerapatan dan
Viabilitas Spora Beauveria bassiana
(Bals.) Akibat Subkultur Dan
Pengayaan
Media,
Serta
Virulensinya
Terhadap
Larva
Plutella xylostella (Linn.). J. HPT
Tropika. 6( 2): 70 – 78.
Kusumaningsih TA, Masykur dan U
Arief. 2004. Pembuatan Kitosan
Dari Kitin Cangkang Bekicot
(Achatina f ulica) Synthesis Of
Chitosan From Chitin Of Escargot
(Achatina Fulica). Biofarmasi. 2(2):
1-15.
KESIMPULAN
Kerapatan spora terbaik pada
perlakuan pemurnian kembali pada T.
molitor dua kali yakni 24,71x 106
spora/ml. Interval banyaknya pemurnian
kembali pada T. molitor memiliki
pengaruh yang sama terhadap viabilitas
spora. Mortalitas terbaik pada perlakuan
pemurnian kembali pada serangga dua
kali dengan tingkat mortalitas mencapai
75,63% pada pengamatan 144 JSA.
Namun pemurnian kembali pada serangga
tidak berpengaruh nyata terhadap rerata
waktu kematian P. xylostella.
52
Jurnal HPT
Volume 4 Nomor 1
Leger RJ, MS Goettel, DW Roberts, RC
Staples. 1991. Prepenetration events
during infection of host cuticle by
Metarhizium anisopliae. J. Invertebr
Pathol. 58: 168-179.
Moraga dan Vey. 2003. Intra-specific
Variation in Virulence and In Vitro
Production of Macromolecular
Toxins Active Against Locust
Among Beauveria bassiana Strains
and Effects of In Vivo and In Vitro
Passage
on
These
factors.
Biocontrol Science and Technology.
13: 323-340.
Rusli dan Trizelia. 2008. Perbanyakan
Beauveria Bassiana Pada Limbah
Organik, Formulasi Dan Uji
Efektivitasnya
Sebagai
Bioinsektisida Untuk Pengendalian
Hama Spodoptera exigua Hubner
(Lepidoptera: Noctuidae). Fakultas
Petanian. Universitas Andalas: 1-20.
Safavi, Farooq A. Shah, Aziz K. Pakdel,
G. Reza Rasoulian, Ali R. Bandani
and Tariq M. Butt. 2005. Nutrition
influences growth and virulence of
the
insect-pathogenic
fungus
Metarhizium anisopliae, FEMS
Microbiol. Lett. 251: 259-266.
Januari 2016
Soetopo dan Indrayani. 2007. Status
Teknologi dan Prospek Beauveria
bassiana
Untuk
Pengendalian
Serangga
Hama
Tanaman
Perkebunan
Yang
Ramah
Lingkungan 6(1):29-46.
Ulmer B, C Gillott, D Woods, M
Erlandson. 2001. Diamondback
moth, Plutella xylostella (L) feeding
and oviposition preferences on
glossy and waxy Brassica rapa (L)
lines. Crop Protection 21: 327-331.
Wahyudi. 2008. Enkapsulasi Propagul
Jamur Entomopatogen Beauveria
bassiana Menggunakan Alginat dan
Pati Jagung Sebagai Produk
Mikoinsektisida.
Jurnal
Ilmu
Kefarmasian Indonesia 6(2): 5-56.
Wicaksono, AL Latief, dan A Aminudin.
2015. Uji Efektivitas Metode
Aplikasi Jamur Entomopatogen
Beauveria
bassiana
(Bals.)
Vuillemin
Terhadap
Pupa
Bactrocera Carambolae Drew &
Hancock (Diptera: Tephritidae): 3989.
53
Download