perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan atas

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN ATAS
SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN
SIMPANAN
(Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan)
SKRIPSI
OLEH :
NINING ANALITA
E1A008318
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
ii
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN ATAS
SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN
SIMPANAN
(Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan)
Disusun Oleh :
NINING ANALITA
E1A008318
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman pada Rabu, 29 Agustus 2012
MENGETAHUI
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Penguji,
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. Dr. Sulistyandari, S.H., M.Hum MI. Wiwik Yuni Hastuti, S.H., M.H.
NIP. 19520603 198003 2 001
NIP. 19600426 198702 2 001
MENGETAHUI
DEKAN,
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S.
NIP. 19600526 198703 2 003
NIP. 19520603 198003 2 001
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN ATAS
SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN
SIMPANAN (Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan)
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenaranya.
Apabila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk
pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto,
Agustus 2012
Nining Analita
E1A008318
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) berjudul “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN ATAS SIMPANANNYA
YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
(Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan)”.
Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syaratsyarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum pada
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari
begitu banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, untuk itu penulis dengan
besar hati menerima saran dan kritik yang membangun.
Penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari
bimbingan, arahan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua
pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan
pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Hj. Rochani Urip Salami, SH, M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana
dalam meningkatkan kualitas Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para
alumninya, sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah meluangkan
v
waktunya kepada penulis untuk membimbing, mengarahkan dan memberi
masukan yang sangat berguna kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
penulis selesaikan.
2.
Edi Waluyo, SH., Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
3.
Dr. Sulistyandari, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas segala
bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya
skripsi ini.
4.
MI. Wiwik Yuni Hastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
5.
Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang mana telah
mengajarkan dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6.
Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para
pegawai di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7.
Love of the light, Relly Ade Saderi to inspire me. Menghabiskan seluruh
harinya untuk penulis agar tetap bersemangat dan selalu sabar membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terimakasih atas
kesabaranmu dan telah bersedia menungguku sejauh ini. Ik hou van jou.
8.
Specifically for my lovely parents Bpk. Dedi Zubaedi dan Bpk. Karyadi,
Mamah Juminah dan Mamah Lilis yang telah memberikan do‟a, cinta dan
vi
kasih sayang kepada penulis sejak lahir sampai saat ini. Semoga apa yang
tengah terjadi di antara kita akan indah pada akhirnya.
9.
Semua keluargaku yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima
kasih atas do‟a dan semangatnya.
10. Sahabat terbaikku Santi Gombong, Nindu, de Miftha, Dwiaji, Ike, febri,
Farah, serta seluruh teman seperjuangan angkatan 2008, teman-teman PMAT,
teman-teman UKI FH, teman-teman PLKH Pidana, Perdata, PTUN, temanteman KKN Lomanis RW 1, dan yang tidak bisa Penulis sebut satu per satu,
terimakasih atas dukungannya kawan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang
telah diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi)
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan
akademis, praktisi serta masyarakat umum.
Purwokerto, Agustus 2012
Penulis,
Nining Analita
vii
MOTTO :
If you want one year of prosperity, grow grain. If you
want ten years of prosperity, grow trees. And if you
want one hundred years of prosperity, grow people
PERSEMBAHAN :
Penulisan hukum yang jauh dari sempurna ini
penulis persembahkan kepada :
Allah SWT yang selalu ada bagi umat-Nya
Nabi Muhammad SAW atas suri tauladannya
Seseorang yang selalu memberiku motivasi
Bpk. Dedi Zubaedi dan Bpk. Karyadi, Mamah Juminah dan
Mamah Lilis, serta seluruh keluarga besarku
Sahabat-sahabat terbaikku
viii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan
mengenai perlindungan hukum nasabah penyimpan atas simpanannya yang tidak
dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan, serta tanggung jawab bank terhadap
Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil
penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank
Untuk menganalisis hal tersebut dilakukan penelitian normatif yang bersifat
deskriptif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tertier. Bersifat deskriptif maksudnya menggambarkan
bagaimana keadaan-keadaan atau fakta yang terjadi dimasyarakat sehingga
didapatkan data yang seakurat mungkin. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah teknik kepustakaan dan teknik dokumenter.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tidak semua
simpanan nasabah akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan, artinya ada
simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan pada dasarnya haruslah dapat
melindungi dana nasabah. Dengan adanya lembaga yang menjamin simpanan
masyarakat, maka apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang
akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut.
Melalui pembayaran premi oleh bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan maka
telah terjadi peralihan risiko dari bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
namun dengan adanya simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga
Penjamin Simpanan menyebabkan nasabah yang simpanannya termasuk kategori
yang tidak dijamin tersebut akan menghadapi risiko, yaitu apabila bank tempat
mereka menempatkan simpanannya dicabut izin usahanya, maka ada
kemungkinan simpanan nasabah tersebut tidak dikembalikan, maka sebagai
perlindungan hukumnya Undang-Undang LPS memberikan hak kepada nasabah
penyimpan tersebut bahwa untuk simpanan yang tidak dijamin karena
simpanannya melebihi maksimal penjaminan yaitu Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) akan akan mendapatkan pembayaran dari hasil pencairan aset bank
dalam proses likuidasi dengan urutan ke enam sesuai ketentuan Pasal 54 ayat (1)
Undang-Undang LPS, serta untuk simpanan yang tidak dijamin karena memenuhi
ketentuan Pasal 19 Undang-Undang LPS dapat mengajukan keberatan kepada
LPS atau mengajukan gugatan ke Pengadilan. Adapun tanggung jawab bank
terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari
hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi
bank, maka tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban tersebut menjadi
tanggung jawab pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi
Bank Gagal, tentunya dengan memperhatikan bentuk hukum bank yang
bersangkutan.
x
ABSTRACT
This study aims to examine and answer the question of legal protection for
customers' storage savings are not guaranteed by the Deposit Insurance
Corporation, as well as responsibility for the bank to deposit the Depositor is not
being met right from the sale of bank assets in the event of revocation of business
license and bank liquidation
To analyze these studies are descriptive with the normative use of primary
legal materials, legal materials secondary, and tertiary legal materials.
Descriptive meaning describing how the circumstances or facts occurring in the
community so that the data obtained are as accurate as possible. The data
collection techniques used is the technique of literary and documentary
techniques.
From the results of research conducted result that not all customer deposits
would be guaranteed by the Deposit Insurance Agency, which means that there
are customer deposits are not insured by the Deposit Insurance Corporation.
Establishment of LPS basically be able to protect customer funds. With the
institutions that guarantee public deposits, so if the bank fails, the agency that
would replace the public funds deposited in the bank failed. Through the payment
of premiums by the bank to the Deposit Insurance Agency has been a shift of risk
from the bank to the Deposit Insurance Agency. but with the customer deposits
are not insured by the Deposit Insurance Corporation has customer deposits are
not guaranteed category will be at risk, ie when the bank where they put their
savings license has been revoked, it is possible that customer deposits are not
returned, then the legal protection LPS Act entitles depositors is that for savings
are not guaranteed because of the savings exceeds the maximum guarantee of Rp.
2,000,000,000.00 (two billion dollars) will be getting payments from the melting
of the bank's assets in the liquidation process to sixth in accordance with Article
54 paragraph (1) of Law LPS, as well as for savings are not guaranteed by the
provisions of Article 19 LPS Act may submit objection to LPS or filed with the
Court. The responsibility of the bank to deposit the Depositor unfulfilled rights of
the sale of bank assets in the event of revocation and liquidation of the bank, then
the responsibility to meet those obligations is the responsibility of the old
shareholders were shown to cause the bank to Bank Failure, of course with
respect to the legal form of the bank concerned
.
Keywords: Protection Law, are not guaranteed deposits, the Deposit Insurance
Corporation.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI............................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 9
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Terhadap Perbankan................................................. 10
B. Tinjauan Menganai Perlindungan Hukum dan Nasabah .................... 38
C. Tinjauan Mengenai Lembaga Penjamin Simpanan ................................... 47
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ..................................................................... 64
B. Spesifikasi Penelitian .......................................................................... 65
C. Sumber Bahan Hukum ......................................................................... 65
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ......................................................... 67
E. Metode Penyajian Bahan Hukum.......................................................... 67
F. Metode Analisis .................................................................... 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ........................................................................... 70
B. Pembahasan ......................................................................................... 80
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .............................................................................................. 126
B. Saran ........................................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri perbankan merupakan salah satu komponen sangat penting
dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan, kemajuan dan
kesatuan ekononomi nasional. Hal ini dikarenakan kegiatan perekonomian suatu
negara tidak pernah terlepas dari lalu lintas pembayaran uang, di mana industri
perbankan memegang peranan yang sangat strategis sehingga dapat dikatakan
sebagai pusat dari sistem perekonomian.
Peran stategis yang dimiliki perbankan dalam perekonomian nasional
telah mendorong lahirnya berbagai kebijakan, tetapi tidak semua
kebijakan dan aturan yang pernah diterapkan terhadap dunia perbankan
nasional membawa dampak yang positif. Pada tahun 1988 pemerintah
mengeluarkan Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1988). Paket
deregulasi ini sangat memberikan kemudahan bagi pertumbuhan bankbank swasta. Materi yang diatur oleh Pakto 1988 adalah :
1. Pendirian bank umum dan bank pembangunan swasta dibebaskan
dengan syarat mempunyai modal setor hanya sebesar Rp.
50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
2. Seluruh bank nasional dapat membuka kantor cabangnya di seluruh
wilayah Indonesia asalkan memenuhi persyaratan 24 (dua puluh
empat) bulan terakhir tergolong sehat.
3. Perluasan kesempatan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat dan
memperluas kewenangannya.
4. Mempermudah pengakuan atau pemberian status kepada bank devisa.
5. Mempermudah bank asing untuk membuka cabang-cabangnya di 5
(lima) kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan
dan Ujung Pandang.
6. Mempermudah pendirian bank-bank campuran (patungan) di 5 (lima)
kota besar tersebut.1
1
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern Kesatu, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.
2
Keterkaitan dan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan
merupakan pilar dan unsur utama yang harus dijaga dan dipelihara. Kepercayaan
ini dapat diperoleh dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan dan
pengawasan bank serta penjaminan simpanan nasabah bank untuk meningkatkan
kelangsungan usaha bank secara sehat. Dengan demikian maka bagi pemerintah
dan kalangan perbankan perlu sekali untuk tetap selalu membangkitkan
pemahaman yang benar dari masyarakat terhadap industri perbankan. Hal itu telah
diatur dan merupakan satu kewajiban yang tercantum dalam Undang-Undang
Perbankan.
Kegiatan pokok bank yang menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan tujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan
pertumbuhan ekonomi serta stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat Indonesia secara menyeluruh. Jika industri perbankan dalam kondisi yang
stabil dan baik, tentunya ini akan memberikan pengaruh positif terhadap
perekonomian suatu negara, namun jika yang terjadi adalah sebaliknya maka akan
memberikan pengaruh negatif terhadap perekonomian suatu negara bahkan
meluas kepada sektor lainnya.
Pada awal Juli 1997, terjadi depresiasi mata uang Baht Thailand yang
memberikan dampak berupa proses penularan regional (contagion effect) ke
negara-negara Asia lainnya seperti Korea, Malaysia, dan Filipina tak terkecuali
Indonesia. Keadaan ini mengakibatkan krisis yang meluas kepada seluruh sektor
3
kehidupan, termasuk krisis perbankan yaitu melemahnya nilai tukar rupiah
tehadap mata uang Baht, Peso dan Ringgit.
Dampak dari krisis perbankan menyebabkan 16 bank dinilai oleh otoritas
perbankan tidak mungkin lagi dipertahankan eksistensinya, sehingga
dicabut izin usahnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (sebelum direvisi dengan Undng-Undang Nomor 10
Tahun 1998), yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan
mencabut izin usaha bank adalah Menteri Keuangan berdasarkan
rekomendasi dari Bank Indonesia.2
Pencabutan izin usaha bank tersebut mengakibatkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi terpuruk .
Sebagai tindak lanjut dari pencabutan izin usaha, dilakukan pembubaran
badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank. Likuidasi bank
terhadap 16 bank tersebut, pada saat itu ternyata menimbulkan domino
effect antara lain didahului dengan adanya rush disektor perbankan
sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi
terpuruk.3
Keadaan ini memperlihatkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan perlu diperkuat, yaitu perlu diberikan jaminan atas dana yang
disimpannya.
Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diperkuat. Untuk itu
perlu diberikan jaminan atas dana yang disimpannya. Keberadaan suatu
sistem penjaminan simpan yang diatur secara tegas dan disusun secara
lengkap dan meningkatkan kepercayaan pada akhirnya memperkuat
seluruh sistem perbankan.4
Keinginan tersebut merupakan salah satu wujud perlindungan hukum
yang diberikan terhadap nasabah penyimpan dana melalui sistem perbankan
Indonesia.
Adrian Sutedi, 2007, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi,
dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 131-132.
3
Ibid.
4
Zulkarnain Sitompul, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, hlm. 140
2
4
Perlindungan hukum memiliki arti sebagai upaya atau tindakan yang
diberikan oleh hukum dalam arti peraturan perundang-undangan untuk
melindungi subyek hukum dari adanya pelanggaran atas hak dan
kewajiban para pihak yang terdapat dalam sebuah hubungan hukum.
Perlindungan hukum nasabah penyimpan dana adalah perlindungan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau hukum positif yang
berlaku bagi nasabah penyimpan dana. Perlindungan hukum bagi
nasabah penyimpan dana bertujuan untuk melindungi kepentingan dari
nasabah penyimpan dan simpanannya yang disimpan di suatu bank
tertentu terhadap suatu resiko kerugian.5
Di tataran undang-undang maupun Peraturan Bank Indonesia terdapat
pengaturan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi nasabah.
Sehingga hukum sebagai alat rekayasa social (Law as a tool of social
engineering) terlihat aktualisasinya di sini.
Menurut sistem perbankan di Indonesia, perlindungan terhadap nasabah
penyimpan dana dapat dilakukan melalui dua cara yakni perlindungan
secara implisit dan eksplisit. Perlindungan secara implisit adalah
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank
yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank.
Sedangkan perlindungan secara eksplisit yaitu perlindungan melalui
pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat,
sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan
mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal
tersebut.6
Berdasarkan hal tersebut, sekaligus untuk menghambat melemahnya nilai
tukar rupiah, Pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan untuk memberikan
jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat
(Blanket Guarantee), namun waktu itu disadari, bahwa penjaminan yang
demikian merupakan kebijakan yang bersifat sementara, karena jika keadaan
sudah memungkinkan penjaminan harus dibatasi.
5
Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm. 124.
6
Ibid., hlm. 123.
5
Pelaksanaan penjaminan oleh pemerintah atas seluruh kewajiban bank
(blanket guarantee) terbukti dapat menghentikan arus penarikan dana
masyarakat dari sistem perbankan dan secara perlahan menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun
demikian luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah membebani
anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya tindakan kurang
hati-hati terhadap resiko yang terjadi (moral hazard) baik dari pengelola
bank maupun dari masyarakat, yaitu pengelola bank menjadi kurang hatihati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli
untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin
secara penuh oleh pemerintah. Dengan demikian program penjaminan
atas seluruh kewajiban bank kurang mendorong terciptanya disiplin
pasar.7
Upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan
rasa aman dan nyaman bagi nasabah penyimpan dana serta menjaga stabilitas
sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas tersebut perlu digantikan
dengan sistem penjaminan yang terbatas dan diperlukan sebuah lembaga yang
independen, transparan dan akuntabel untuk menjamin simpanan nasabah
penyimpan dana.
Seakan disadarkan akan pentingnya mengatur penjaminan dana nasabah
penyimpan oleh adanya peristiwa krisis moneter, serta mengingat sistem
penjaminan yang tengah berjalan pada waktu itu (Blanket Guarantiee), dilakukan
penyesuaian terhadap Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
melalui pengundangan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut Undang-Undang Perbankan). Pasal 37B ayat (1) Undang-Undang
Perbankan menentukan:
7
http://www.lps.go.id, diakses tanggal 28 Januari 2012.
6
“Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank
yang bersangkutan”.
Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru tersebut,
kewajiban manjamin simpanan nasabah penyimpan merupakan kewajiban yang
diletakkan kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan antara bank dengan
nasabah.
Pasal 37B ayat (2) Undang- Undang Perbankan menyebutkan bahwa:
“Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan”.
Masalahnya, pemerintah masih kesulitan untuk menentukan momentum
yang tepat untuk melaksanakan amanat pasal 37B ayat (2) Undang- Undang
Perbankan di atas serta mengakhiri program penjaminan Blanket Guarantee,
mengingat pada Tahun 1998 masih terus terjadi gelombang likuidasi berikutnya
sehingga praktis ini menyebabkan Blanket Guarantee harus diperpanjang.
Sebagai palaksanaan dari amanat Pasal 37B ayat (2) tersebut, pada
tanggal 22 September 2004 dibentuk secara resmi suatu lembaga tetap yang
bertugas untuk menjamin keamanan dana nasabah dibank yaitu dengan
dikeluarkannya UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai beroperasi pada tanggal 22 September
2005.
Dengan adanya Undang-Undang LPS yang mewajibkan kepada setiap
bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia menjadi
peserta Penjaminan (sebagaimana dituangkan dalam Pasal 8 (1) Undang-Undang
7
LPS), maka kewajiban menjamin simpanan nasabah yang semula terletak pada
bank (sebagaimana dituangkan dalam Pasal 37B Undang-Undang Perbankan),
namun bank tersebut dicabut izin usahanya akan beralih menjadi kewajiban LPS
dengan pembayaran premi oleh bank kepada LPS sebagai jaminan atas simpanan
nasabah yang diperalihkan itu.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS, nilai simpanan yang
dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah), namun sejak tanggal 13 Oktober 2008 yaitu dengan
diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran
Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, nilai simpanan yang
dijamin oleh LPS menjadi Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Dengan
demikian terhadap nasabah yang simpanannya melebihi Rp. 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) tidak dijamin oleh Undang-Undang LPS.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian jamin
(menjamin) adalah menanggung atau berjanji akan memenuhi kewajiban orang
lain yang membuat perjanjian apabila perjanjian itu tidak ditepati. Dengan
demikian, tidak dijamin berarti tidak ditanggung atau tidak dipenuhi kewajiban
orang lain yang membuat perjanjian apabila perjanjian itu tidak ditepati.
Berdasarkan pengertian tersebut, simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh UU
LPS dapat diartikan sebagai simpanan nasabah yang tidak ditanggung oleh LPS,
sehingga menimbulkan pertanyaan bagi penulis, bagaimana perlindungan hukum
terhadap nasabah penyimpan atas simpanan yang tidak dijamin oleh UU LPS.
8
Berkaitan dengan kondisi apabila bank kehilangan kepercayaan dari
masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank tidak dapat dilanjutkan, maka
bank tersebut menjadi Bank Gagal yang berakibat dicabut izin usahanya yang
kemudian ditindaklanjuti dengan likuidasi bank yang bersangkutan, jika dalam
proses likuidasi penjualan aset telah habis namun masih ada nasabah penyimpan
yang belum mendapat hak atas simpanannya, muncul pertanyaan bagaimana
tanggung jawab bank terhadap nasabah yang demikian.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih mendalam guna menyusun skripsi dengan judul:
”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH ATAS
SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN
SIMPANAN (Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan atas
simpanannya yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan?
2. Bagaimanakah tanggung jawab bank terhadap nasabah penyimpan atas
simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal
terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank?
9
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui mengenai perlindungan hukum bagi simpanan nasabah yang
tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab bank terhadap nasabah penyimpan atas
simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal
terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dapat memberikan
masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam
dunia akademis, khususnya literatur tentang perlindungan hukum bagi
simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
2. Kegunaan Praktis
Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
mengenai perlindungan hukum bagi simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh
Lembaga Penjamin Simpanan. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini
diharapkan dapat di jadikan refrensi, bacaan yang bermanfaat, dan sumber
informasi bagi penelitian selanjutnya.
10
BAB II
TINJAUAN PUS TAKA
A. Tinjauan Umum Terhadap Perbankan
1. Pengertian dan Sumber Hukum Perbankan Indonesia
1.1 Pengertian Perbankan
Definisi perbankan secara yuridis terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka
1 Undang-Undang Perbankan, yaitu:
“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.”
Hukum yang mengatur tentang perbankan disebut dengan hukum
perbankan, namun untuk memberikan definisi hukum perbankan secara
operasional sangat sulit. Oleh karena itu, perlu dikemukakan beberapa
pengertian hukum perbankan dari para ahli hukum perbankan.
Definisi Hukum Perbankan menurut Muhamad Djumhana adalah:
“Kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan
bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan
eksistensinya serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.
Dari rumusan tersebut akan terungkap bahwa pengaturan di bidang
perbankan, akan menyangkut diantaranya:
1. Dasar-dasar perbankan, yaitu menyangkut asas-asas kegiatan
perbankan seperti: norma efisiensi, keefektifan, kesehatan bank,
profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga
perbankan, serrta hubungan, hak dan kewajibannya.
2. Kedudukan hukum pelaku di bidang perbankan seperti: kaidahkaidah mengenai pengelolanya seperti dewan komisaris, direksi,
karyawan maupun pihak yang terafiliasi, juga mengenai bentuk dan
badan hukum pengelolanya, serta mengenai kepemilikannya.
3. Kaidah-kaidah perbankan yang secara khusus yang memperhatikan
kepentingan umum seperti kaidah-kaidah yang mencegah persaingan
11
yang tidak wajar, antitrust, perlindungan terhadap konsumen
(nasabah), dan lain-lainnya. Di Indonesia bahkan mempunyai
kekhususan tersendiri, yaitu bahwa perbankan nasional harus
memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan unsurunsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional.
4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi, yang
mendukung kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah, seperti
Dewan Moneter, dan Bank Sentral.
5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan kehidupan perekonomian yang
berupa dasar-dasar untuk perwujudan tujuan-tujuan yang hendak
dicapainya melalui penetapan sanksi, insentif, dan sebagainya.
6. Keterkaitan satu sama lainnya dari ketentuan dan kaidah-kaidah
hukum tersebut sehingga tidak mungkin berdiri sendiri, malahan
keterkaitannya merupakan hubungan logis dari bagian-bagian
lainnya.”8
Menurut Munir Fuady dalam bukunya Hukum Perbankan Modern
mendefinisikan hukum perbankan adalah:
“Serangkaian kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundangundangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang
mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek
kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu
bank, prilaku petugas-petugasnya, hak, kewajuban, tugas, dan tanggung
jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan
lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan tersebut.”9
Hukum Perbankan Indonesia berbeda dengan Hukum Perbankan negara
lain, karena memiliki karakteristik yang menjdi ciri khas dari Hukum
Perbankan yang berlaku di negara lain.
Bentuk dan jenis sesuatu sangat dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi
lingkungan, baik dari segi sosial budaya maupun dari segi alam, dan
sejarah perkembangannya. Demikian pula corak perbankan Indonesia
mempunyai kekhasan karakterisyik yang mungkin sedikit berbeda
8
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung PT. Citra Aditya
12
Bakti, hlm. 1-2.
9
Munir Fuady, 1999, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan UU Th 1998) Buku Kesatu,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm. 14.
http://hasibah.wordpress.com/2010/11/05/hukum-perbankan/html diakses tanggal 17 Mei
2012.
10
13
dengan corak perbankan yang lazim dinegara lain, tetapi secara
umumnya corak perbankan di Nusantara tatap sama dengan yang berlaku
menyeluruh di belahan dunia manapun. Kekhasan ini banyak dipengaruhi
oleh ideologi Pancasila, yang kemudian dijabarkan lagi dalam Keputusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Garis-Garis Basar Haluan
Negara. Kekhasan yang terlihat jelas dalam kehidupan perbankan
Indonesia, di antaranya:
1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Fungsi utamanya adalah sebagai penghimpun dan pengatur dana
masyarakat, dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka menigkatkan pemerataan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional kearah penigkatan kesejahteraan
rakyat banyak (Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan);
2. Perbankan Indoensia sebagai sarana pembagunan nasional, juga guna
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan mekmur
berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945, pelaksaan
perbankan Indonesia harus nayak memperhatikan keserasian,
keselarasan, dan kesemimbangan unsur-unsur Trilogi Pembangunan;
3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi, dan tanggung
jawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergarak cepat
guna menghadapi tantangan yang semakin berat dan luas dalam
perkembangan perekonomian nasional maupun internasional.10
1.2 Sumber Hukum Perbankan
Sumber hukum Perbankan Indonesia yang dimaksud meliputi sumber
hukum dalam arti material maupun sumber hukum dalam arti formal. Sumber
hukum dalam arti material adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum
itu sendiri, yang terdiri dari jenis-jenisnya sehingga bergantung dari sudut
mana dilakukan peninjauannya, apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah,
sosiologi, filsafat, dan lain sebagainya. Dalam bidang hukum, hal yang
terpenting dalam pelaksanaan kehidupan hukum adalah sumber hukum formal,
14
adapun sumber hukum dalam arti material baru diperhatikan jika dianggap
perlu untuk diketahui asal-usul kaidah hukum tersebut.
Sumber hukum formal Perbankan Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 (terutama Pasal 33);
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang pokok dibidang Perbankan dan undang-undang sektoral
yang terkait, seperti:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan;
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar;
d. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata),
terutama ketentuan Buku II dan Buku III mengenai hukum jaminan
dan perjanjian;
e. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang),
terutama ketentuan Buku I mengenai surat-surat berharga;
f. Faillisement Verordening (Peraturan Kepailitan) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
15
Nomor 1 Tahun 1998 yang disahkan menjadi Undang-Undang
menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998;
g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
h. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
i. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing World Organization;
j. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
k. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
l. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah;
4. Peraturan Pemerintah, seperti:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program
Rekapitulasi Bank Umum;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan
Penyehatan Perbankan Nasional;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan
Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri.
5. Keputusan Presiden, seperti:
a. Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Penerbitan
Sertifikat Bank Indonesia;
16
b. Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat;
c. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1998
tentang Bidang/Jenis Usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan
Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka untuk Usaha Menengah atau Usaha
Besar Dengan Syarat Kemitraan;
d. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Umum;
Selain itu kita ketahui pula, bahwa di samping sumber hukum formal
terdapat faktor-faktor lain yang membantu pembentukan hukum
perbankan, yaitu diantaranya perjanjian, yurisprudensi, dan doktrin.11
2. Asas, Fungsi, dan Tujuan Perbankan
2.1 Asas Perbankan
Kegiatan operasional lembaga perbankan perlu dilandasi dengan asas
hukum.
Asas hukum merupakan dasar atau Ratio Legis bagi debentuknya suatu
norma hukum, demikian pula sebaliknya norma hukum harus dapat
dikembalikan kepada asas hukumnya. Asas hukum adalah dasr normatif
pembentukan hukum, tanpa asas hukum positif tidak memiliki makna
dan kehilangan watak normatif, dan untuk menjadi aturan suatu asas
memerlukan bentuk yuridis.12
Asas-asas yang dikenal dalam Perbankan Indonesia yaitu: Asas
Demokrasi Ekonomi, Asas Kehati-hatian (Prudential Principle), Asas
Ibid., hlm. 11.
Djuhaendah Hasan, Asas-Asas dan Norma Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia, Makalah,
Bandung, Tanpa Tahun, hlm. 10.
11
12
16
Kepercayaan (Fiduciary Principle), Asas Kerahasiaan (Confidential Principle),
dan Asas Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle).
a. Asas Demokrasi Ekonomi
Salah satu Asas Perbankan yang dianut di Indonesia ini dapat diketahui
dari ketentuan Pasal 2 Undang-U ndang Perbankan yang mengemukakan
bahwa:
“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.
Asas demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah demokrasi ekonomi
yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini terdapat dalam
penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan.
Berkaitan dengan itu, umtuk memperoleh pengertian mengenai makna
demokrasi ekonomi Indonesia itu, dalam ceramahnya di Gedung
Kebangkitan Nasional angga 16 Mei 1981, ahli ekonomi Universitas
Gadjah Mada Mubyarto merumuskan bahwa demokrasi ekonomi
Indonesia sebagai Demikrasi ekonomi Pancasila mempunyai ciri-ciri
sebagaiberikut: pertama, dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi ialah
siko guru perekonomian; kedua, perekonomian Pancasila digerakkan
oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan yang paling penting
ialah moral; ketiga, perekonomian Pancasila ada hubungannya dengan
Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam Pancasila terdapat solidaritas
sosial; keempat, perkonomian Pancasila berkaitan dengan persatuan
Indonesia, yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi.
Sedangkan sist em perekonomi an kapit alis pada dasarnya
kosmopolitanisme, sehingga dalam mengejar keuntungan tidak mengenal
batas-batas negara; kelima, sistem perkonomian Pancasila tegas dan jelas
adanya keseimbangan antara perencanaan sentral (nasional) dengan
tekanan pada desentralisasi di dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi.13
13
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 19.
b. Asas Kehati-hatian (Prudential Principle)
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan juga mengatur bahwa asas
demokrasi ekonomi sebagaimana diuraikan di atas dilakukan dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Adapun mengenai prinsip kehati-hatian
tersebut tidak ada penjelasan secara resmi, tetapi kita dapat mengemukakan
bahwa bank dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, terutama dalam
membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya wajib
menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing secara cermat, teliti, dan
profesional sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat.
Asas kehati-hatian menurut Zulfi Diane Zaini dalam bukumya
Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah adalah:
Asas kehati-hatian (Prudential Principle) adalah: suatu asas yang
menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan
usahanya wajib menerapkan Prinsip Kehati-hatian dalam rangka
melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.14
Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini adalah agar bank selalu
dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi seluruh
ketentuan dan norma hukum yang berlaku di dunia perbankan secara konsisten
dengan didasari oleh itikad baik. Prinsip kehati-hatian ini tercermin dalam
Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Zulfi Diane Zaini, 2012, Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah,
Bandung: CV. Keni Media, hlm. 56.
14
18
c. Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Asas Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle) adalah suatu asas yang
melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank.
Asas Kepercayaan adalah: Suatu asas yang menyatakan bahwa usaha
bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabah.
Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan
padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus
menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan
kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan masyarakat untuk
menyimpan sebagian uangnya dibank, semata-mata dilandasi oleh
kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperolehnya kembali pada
waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan disertai
dengan imbalan.15
Asas Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle) ini tercermin dalam
Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perbankan, yaitu:
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan
transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”.
d. Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)
Asas Kerahasiaan adalah (Confidential Principle) adalah: Asas yang
mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank menurut
kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan kerahasiaan tersebut
adalah: Untuk kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan
kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya dibank.16
Asas Kerahasiaan (Confidential Principle) tercermin dalam Pasal 1
angka 28 dan Pasal 40 sampai dengan Pasal 44A Undang-Undang Perbankan.
Menurut Pasal 40 Undang-Undang Perbankan, bank wajib merahasiakan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam
15
16
Ibid, hlm. 55.
Ibid, hlm. 56.
19
ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian.
Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan dalam hal-hal untuk kepentingan
pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara
(UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara
perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar
informasi antar bank yang kesemuanya itu atas permintaan, persetujuan/kuasa
dari nasabah penyimpan/ahli warisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
41A, 42, 43, 44 dan 44A Undang-Undang Perbankan.
e. Asas Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle).
Asas mengenal nasabah (Know Your Customer Principle) adalah asas
yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui nasabah,
memantau kegiatan transaksi termasuk melaporkan setiap transaksi yang
mencurigakan. Asas ini tercermin dalam Peraturan Bank Indonesia No.
3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Tujuan yang
hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah
meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam
menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan
lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang
dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.
20
2.2 Fungsi Perbankan
Fungsi Perbankan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang
Perbankan yang mengemukakan bahwa:
“Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat”.
Ketentuan di atas menunjukkan fungsi utama perbankan yaitu sebagai
“Financial Intermediary” yaitu perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan
dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dana (lock of
funds) serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran.
Fungsi utama ini akan terasa dengan memperhatikan ilustrasi sebagai berikut:
dalam masyarakat pihak-pihak yang kelebihan dana dan tidak dapat
mengelolanya, demi mengamankan dana tersebut kemudian menyimpannya
dibank, selanjutnya dana yang terhimpun dibank tersebut oleh bank akan
disalurkan kepada pihak yang kekurangan dana. Katakanlah pihak yang
kekurangan dana adalah sebuah perusahaan yang kegiatan usahanya
memproduksi barang, dengan demikian dana yang disalurkan tersebut akan
lebih meningkat kegunaannya yaitu kegiatan produksi perusahaan tersebut
dapat terus berjalan sehingga menyelamatkan pula nasib para pegawai dengan
memberikan gaji yang normal.
2.3 Tujuan Perbankan
Perbankan di Indonesia mempunyai tujuan yang strategis dan tidak
semata-mata berorientasi ekonomis, tetapi juga berorientasi kepada hal-
21
hal yang non-ekonomis seperti masalah menyangkut stabilitas nasional
yang mencakup antara lain stabilitas politik dan stabilitas sosial.17
Mengenai tujuan perbankan secara lengkap diatur dalam ketentuan Pasal
4 Undang-Undang Perbankan yang mengemukakan bahwa:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak”.
Seluruh pengaturan operasional perbankan dan hal-hal lain yang terkait
dengan itu, seperti asas dan fungsi perbankan, pada dasarnya dimaksudkan
untuk mencapai tujuan perbankan sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan di atas.
Fungsi pengaturan perbankan secara umum terbagi atas:
a. Fungsi untuk tujuan moneter, ditujukan untuk mendorong stabilitas
moneter di Indonesia. Oleh karena masih dominannya perbankan di
Indonesia sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi.
b. Fungsi untuk tujuan pengawasan terhadap kegiatan usaha perbankan.
Pengaturan ini ditujukan dalam rangka menjaga keamanan dan
kesehatan bank maupun kesehatan sistem keuangan secara
keseluruhan, sehingga diharapkan agar bank melaksanakan praktikpraktik perbankan yang sehat serta menjaga persaingan yang sehat
diantara pelaku perbankan.
c. Fungsi untuk tujuan pencapaian program pembangunan Indonesia.18
Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, diharapkan lembaga
perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya dapat melindungi
kepentingan masyarakat penyimpan dana khususnya, serta menunjang
kegiatan ekonomi pada umumnya, terutama dalam lingkup dunia usaha
dapat menunjang perkembangan sektor riil yang lebih baik dan dapat
berperan dalam mengembangkan perekonomian nasional. Lembaga
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 20.
Heru Soepraptomo, Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan, Newsletter No.
28/VII/Maret/1997, Jakarta, 1997, hlm. 1-2.
17
18
22
perbankan dituntut mampu menciptakan stabilitas nasional dalam arti
yang seluas-luasnya.19
3. Pengertian Bank
Untuk memberikan pengertian tentang bank dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang. Untuk itu sebagai gambaran umum, berikut adalah beberapa
pengertian bank, yakni :
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian bank adalah
sebagai berikut:
Bank adalah usaha dibidang keuangn yang menarik dan mengeluarkan uang
dimasyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang.20
Prof. G. M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik memberikan
pendapat mengenai bank, yang disitir oleh Thomas Suyatno sebagai berikut:
Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan
kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang
diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat
penukar baru berupa uang giral.21
Menurut Hermansyah, dalam bukunya, Hukum Perbankan Nasional
Indonesia, mengatakan bahwa:
Pada dasarnya bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan untuk
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada
Zulfi Diane Zaini, Op. Cit., hlm. 57.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2008, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional: Balai Pustaka.
21
Thomas Suyatno, 1997, Kelembagaan Perbankan, Bandung: Gramedia, hlm. 1.
19
20
23
pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.22
Definisi Bank menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perbankan yaitu:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak”.
4. Jenis-Jenis Bank
4.1 Dilihat dari bidang usahanya
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, bank menurut jenisnya dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Pasal
1 angka 3 Undang-Undang Perbankan).
2) Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perbankan).
4.2 Dilihat dari kepemilikannya
Dilihat dari kepemilikannya bank dikelompokkan ke dalam dua golongan
yaitu :
1) Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat didirikan
berdasarkan undang- undang.
2) Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan
menjalankan usahanya setelah mendapatkan izin dari pimpinan
Bank Indonesia.
3) Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersamaan oleh
satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan
22
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 19.
24
didirikan oleh warga Negara Indonesia dan atau badan hukum
Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleg warga Negara Indonesia,
dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.
4) Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank Pembangunan
Daerah.23
4.3 Dilihat Dari Status dan Kedudukannya
Status dan kedudukan bank diukur dari kemampuannya dalam melayani
masyarakat yang terdiri dari jumlah produk yang ditawarkan, modal, serta
kualitas pelayanannya. Terdiri dari:
1) Bank Devisa, yaitu bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar
negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing, misalnya
transfer ke luar negeri, inkaso ke luar negeri, travelers cheque,
pembukaan dan pembayaran Letter of Credit, dan transaksi lainnya.
2) Bank Non Devisa, yaitu bank yang belum memiliki ijin untuk
melaksanakan transaksi ke luar negeri seperti yang dilakukan oleh
Bank Devisa. Sehingga transaksi yang dilakukan oleh bank ini
meliputi transaksi dalam negeri.24
4.4 Dilihat Dari Aspek Cara Menentukan Harga;
Jenis bank dilihat dari aspek menentukan harga, baik harga beli maupun
harga jual dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Bank Konvensional, yaitu bank yang melaksanakan prinsip
konvensional yang menggunakan dua metode, yaitu:
a) menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan
seperti giro, tabungan, deposito berjangka, maupun produk
pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingakt bunga
tertentu.
b) untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan atau
menerapkan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase
tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based.
2) Bank Syariah (bank bagi hasil), yaitu bank yang beroperasi dengan
prinsip-prinsip syariah Islam. 25
Widjanarto, 2003, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, hlm. 56-58.
24
Martono, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, hlm. 30.
25
Ibid, hlm. 30-31.
23
25
5. Bentuk Hukum Bank
Persyaratan untuk memperoleh izin biasanya diikuti oleh berbagai syarat
dan salah satu syaratnya adalah bentuk hukum bank yang akan didirikan. Ada
beberapa bentuk hukum bank yang dapat dipilih jika ingin mendirikan bank.
Adapun bentuk hukum bank di Indonesia mengacu pada jenis bank itu sendiri.
Untuk bentuk hukum Bank Umum menurut Pasal 21 ayat 1 Perbankan dapat
berupa salah satu dari bentuk hukum berikut ini:
a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi, atau
c. Perusahaan Daerah
Ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang baru sedikit
berbeda dengan ketentuan dalam pasal yang sama dalam Undang-Undang
Perbankan yang sebelumnya, di mana dalam ketentuan yang baru tidak mengakui
Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagai salah satu bentuk hukum Bank
Umum, meski kenyataannya sampai saat ini bank-bank negara masih tetap
memakai nama PT PERSERO tanpa perbedaan perlakuan apapun dengan
Perseroan Terbatas yang biasa. Hal ini dapat difahami bahwa nama PERSERO itu
sampai saat ini masih dipakai karena sudah terlanjur terdaftar sebagai
korespondennya di luar negeri dan apabila hendak merubahnya bukan sesuatu
yang sederhana dilakukan.
Sedangkan bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat menurut Pasal 21 ayat
(2) Undang-Undang Perbankan dapat berupa salah satu dari bentuk hukum berikut
ini:
26
a. Perusahaan Daerah
b. Koperasi
c. Perseroan Terbatas
d. Atau bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Perbankan yang baru tidak mengalami
perbedaan dengan ketentuan pasal yang sama dalam Undang-Undang Perbankan
sebelumnya seperti halnya Pasal 21 ayat (1) di atas dan sampai saat ini masih
berlaku untuk bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Adanya bentuk hukum lain yang akan diatur oleh Peraturan Pemerintah
adalah dimaksudkan untuk memberikan wadah kepada lembaga penyelenggara
perbankan yang lebih kecil dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), seperti Bank
Desa, Lumbung Desa, Badan Kredit Desa, dan lembaga-lembaga lainnya.
6. Kegiatan Usaha Bank
Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan menunjukkan kegiatan usaha
yang dapat dilakukan oleh Bank Umum, yaitu sebagai berikut :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang
masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam
perdagangan surat-surat dimaksud;
2) surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa
berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan suratsurat dimaksud;
3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5) obligasi;
27
6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana
kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu kontrak;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
k. membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam
hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan
ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali
amanat;
m. menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan
prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas,
berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Perbankan kegiatan usaha yang dapat
dilakukan oleh Bank Umum adalah sebagai berikut :
a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank antara perusahaan lain
dibidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan
efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan,
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagalan kredit atau kegagalan pembiayan berdasarkan Prinsip Syariah,
dengan syarat harus menarik kembali penyertaanny, dengn memenuhi
etentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
d. bertindak sebagai pendiri dana pensiunan dan pengurus dana pensiunan
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana
pensiunan yang berlaku.
28
Bank Umum dilarang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 Undang-Undang Perbankan, yaitu:
a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf c;
b. melakukan usaha perasuransin;
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang Perbankan, di mana dalam ketentuan huruf c Undang-Undang
Perbankan yang baru diganti sehingga berbunyi:
“Menyediakan pembiayaan dan penempatan uang berdasarkan prinsip
Syari‟ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”
Berdasarkan hal di atas, usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagaimana
diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Perbankan adalah:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
b. Memberikan kredit;
c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan uang berdasarkan prinsip
Syari‟ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan dalam bank lain.
Kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang terutama ditujukan
untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan perlu
disesuaikan dengan adanya batasan jenis-jenis pelayanan yang dapat diberikan
oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Untuk itu, dalam Pasal 14 Undang-Undang
Perbankan ditentukan bahwa:
29
“Bank Perkreditan Rakyat dilarang:
a. Menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran;
b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. Melakukan penyertaan modal;
d. Melakukan usaha perasuransian;
e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.”
7. Tinjauan Umum Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
7.1 Dasar Hukum Bank Indonesia
Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai BI) adalah Bank Sentral
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 D Undang-Undang
Dasar tahun 1945. BI pertama kali diatur oleh Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, yang kemudian
digantikan oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 1968 tentang Bank sentral.
Seiring perkembangan zaman, keberadaan Undang-Undang Nomor 13
tahun 1968 tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi, diantaranya
belum menjamin seutuhnya kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga
independen. Berkaitan dengan hal tersebut, dirasakan perlunya UndangUndang tentang Bank Sentral yang dapat memberikan landasan hukum kuat
bagi terselenggaranya tugas bank sentral secara efektif. Undang-Undang
Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang diundangkan tanggal 17
Mei 1999 diharapkan dapat menjadi landasan kokoh bagi terselenggaranya
bank sentral yang efektif dan independen. Kemudian di tahun 2004
diundangkan Undang-Undang No 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia atas
perubahan Undang-Undang No 23 tahun 1999 (selanjutnya disebut sebagai
Undang-Undang BI). Dilakukan perubahan guna dilaksanakannya prinsip
30
keseimbangan antara independensi BI dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dengan pengawasan dan tanggung jawab atas kinerjanya serta
akuntabilitas publik yang transparan.
Di tahun 2008, Indonesia terkena dampak krisis global sebagai akibat
krisis keuangan di Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia berupaya
membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga
stabilitas sistem keuangan tetap terpelihara. Salah satu dengan cara
merubah kriteria agunan yang dij aminkan oleh bank untuk memperoleh
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank
Indonesia.26
Pemerintah menilai kebutuhan perubahan kriteria tersebut merupakan
keadaan kepentingan yang memaksa sehingga presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan
kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2009 pada
tanggal 13 Januari 2009.
7.2 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Tujuan BI secara tegas dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) UndangUndang BI, yaitu:
“Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah”
Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah
terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain, dan
31
Suryo Pranoto, Analisis dan Krisis Global terhadap Perbankan Syariah,Tersedia :
http://Suryodsign.wordpress.com (25 September 201 1),2009,hlm 37.
26
Abdul Kadir Muhammad & Rilda Murniati, 2004, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 38.
27
31
kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.27
Demikian tujuan BI saat ini sesuai dengan Undang-Undang BI
adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk
mencapai tujuan tersebut BI mempunyai tiga tugas utama, yaitu menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Hal ini sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang BI.
1. Tugas Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan moneter
Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai
rupiah, fungsi menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan moneter tercermin
dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang BI menegaskan bahwa:
“Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Bnk Indonesia berwenang:
a. menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan
sasaran laju inflasi;
b. melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan caracara
yang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1) operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta
asing;
2) penetapan tingkat diskonto;
3) penetapan cadangan wajib minimum;
4) pengaturan kredit atau pembiayaan.”
a) Peran Bank Indonesia sebagai Lender of Last Resort
Peran pokok BI yang tetap dan tidak berubah dari ketentuan
Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 adalah sebagai pemberi pinjaman
Abdul Kadir Muhammad & Rilda Murniati, 2004, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 38.
27
32
dalam keadaan darurat (lender of last resort) kepada bank yang
mengalami krisis kesulitan pendanaan jangka pendek.
Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya membantu dengan kriteria
mengalami mismatch yang disebabkan oleh risiko kredit dan risiko
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, risiko kredit atau risiko
pasar. Bank Indonesia memberikan fasilitas pembiayaan darurat
yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu
bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistematis
dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem
keuangan.28
Untuk mencegah penyalahgunaan kredit dari Bank Indonesia
tersebut maka pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah dibatasi selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari dan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah itu harus dijamin dengan surat
berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, bila kredit dari
Bank Indonesia tersebut tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank
Indonesia berhak mencairkan agunan yang dikuasainya.
Transaparansi Bank Indonesia akan dinilai dari akuntabilitas yang
terukur dalam menerapkan formula atau mengkategorikan lembaga
keuangan yang patut memperoleh fasilitas pertolongan darurat.
Formula seperti itu penting diungkapkan secara terbuka agar publik
mempunyai kesempatan menilai kondisi suatu bank sebelum
dikategorikan insolvent, bangkrut, mengalami mismatch atau ada
indikasi moral hazard dijajaran pengurus atau pemiliknya. Di
samping itu juga untuk menepis berkembangnya isu atau desasdesus tidak jelas yang tidak menguntungkan upaya menciptakan
sistem perbankan yang sehat, transparan dan kompetitif. Selain itu,
juga untuk menagkal penilaian subjektif seperti ketakutan yang
tidak proporsional hanya atas dasar alih penutupan atau pencabutan
izin suatu bank akan membawa risiko sistematik berupa domino
33
28
Hermansyah, Op.cit., hlm. 47.
Abdul Kadir Muhammad & Rilda Murniati, 2004, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 38.
27
33
effect yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
perbankan yang menjadi runtuh.29
b) Pengendalian Moneter
Bank Indonesia dalam hal dalam menetapkan sasaran-sasaran
moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh
pemerintah, dimana dalam menetapkannya pemerintah berkoordinasi
dengan Bank Indonesia.
Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter dengan prinsip
kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta sistem
perbankan dan keuangan yang sehat dalam rangka mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah.30
Dalam hal nilai tukar, BI melaksanakan kebijakan nilai tukar yang
ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden. Fungsi BI dalam
hal ini adalah hanya terbatas sekedar memberi usulan kepada pemerintah
dan hanya bertugas menjalankan kebijakan nilai tukar yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Kewenangan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan nilai
tukar itu antara lain :
1) Devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing dalam sistem
nilai tukar tetap (fixed rate)
2) Intervensi pasar dalam sistem nilai tukar mengambang (floating
rate)
3) Penetapan nilai tukar harian serta lebar peta intervensi dalam
sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating
rate).31
Didik J. Rachbini, dkk., Op. cit., hlm. 173.
O. P. Simorangkir, 2000, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Jakarta:
Ghalia Indonesia, hlm. 23.
31
Malayu S. P. Hasibuan, 2001, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 34.
29
30
34
BI juga berwenang melakukan pengendalian moneter melalui
operasi pasar terbuka di pasar uang baik berupa rupiah maupun valuta
asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum,
pengaturan kredit atau pembiayaan.
2. Tugas Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
Kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 23 UndangUndang BI. Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, Bank Indonesia berwenang untuk melaksanakan dan memberikan
persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran,
mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan
laporan kegiatannya serta menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Kewajiban menyampaikan laporan secara berkala dimaksudkan agar BI
dapat memantau penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan, penetapan
alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam
masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna, termasuk
membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehatihatian.
Tuntutan yang mengemuka di masa depan adalah bagaimana Bank
Indonesia mampu melengkapi instrumentasi dan keahliannya agar dapat
mengikuti atau menselaraskan kepesatan kemajuan teknologi dan derivat
sistem pembayaran yang telah berkembang demikian canggih dan
mengglobal.32
32
Didik J. Rachbini, Op. Cit., hlm. 178.
35
a) Sistem dan Penyelenggaraan kliring
Bank Indonesia bertugas dalam hal memperluas, memperlancar serta
mengatur lalu lintas pembayaran giral antar bank, yaitu kegiatan bayarmembayar dengan warkat bank yang diperhitungkan atas beban dan
untuk kepentingan nasabah bank yang telah ditetapkan.33
Penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank serta penyelesaian akhir
transaksi pembayaran antar bank dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak
lain yang mendapat persetujuan Bank Indonesia, dan Bank Indonesia akan
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia dalam menetapkan mekanisme untuk
meminimalkan risiko kegagalan pemenuhan kewajiban bank dalam
penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank.
b) Mengeluarkan dan Mengedarkan uang
Salah satu fungsi bank sentral yang cukup vital adalah kewenangannya
dalam menerbitkan uang dari suatu Negara (note issue), dan ini adalah
kewenangan yang memonopoli dari bank sentral.34
Sesuai amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bank
Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk
mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah. Bank Indonesia
mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang
logam yang merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.35
Kewenangan itu adalah mencabut, menarik serta memusnahkan uang,
menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang
digunakan dan penentuan tanggal mulai berlakunya sebagai alat
pembayaran yang sah. Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut,
maka Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat
dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas memadai.36
33
Thomas Suyatno, Op. Cit., hlm. 72.
Munir Fuady, Op. Cit. hlm. 118.
Thomas Suyatno, Op.Cit., hlm. 19.
36
Malayu S. P. Hasibuan, Loc. cit.
34
35
36
Uang yang dikeluarkan oleh BI dibebaskan dari bea materai dan
mencabut atau menarik uang rupiah dari peredaran dengan memberikan
penggantian yang sama nilainya. Dalam hal ini, Bank Indonesia memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penukaran uang dalam
pecahan yang sama.
3. Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank
Pengaturan dan Pengawasan Bank merupakan salah satu tugas Bank
Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang BI. Dalam
rangka melaksanakan tugas ini, BI melakukan hal sebagaimana diatur dalam
Pasal 24 Undang-Undang BI mengatur sebagai berikut:
“Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan
mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank,
melaksanakan pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang BI
berwenang menetapkan ketentuan ketentuan perbankan yang memuat prinsip
‐
kehati hatian.
‐
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, Bank Indonesia
memiliki kewenangan yang diatur dalam pasal 26 Undang-Undang BI, yaitu :
a. memberikan dan mencabut izin usaha bank;
b. memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor
bank;
c. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;
d. memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan kegiatan
usaha tertentu.
‐
37
Bank Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap bank baik
dengan cara pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak
langsung (off-site supervision). Pengawasan tidak langsung adalah dalam
bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank.
Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul
dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pada dasarnya, pemeriksaan yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara berkala sekurangkurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu,
pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu jika dipandang perlu, untuk
meyakinkan pengawasan hasil tidak langsung dan apabila terdapat
indikasi adanya penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat.37
Bank Indonesia berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan
laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan
induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila
diperlukan (Pasal 28 Undang-Undang BI).
Pemeriksaan terhadap bank dilakukan secara berkala maupun setiap
waktu apabila diperlukan dan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk,
perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila
diperlukan. Bank dan pihak lain tersebut wajib memberikan kepada pemeriksa:
a. keterangan dan data yang diminta;
b. kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sarana fisik
yang berkaitan dengan kegiatan usahanya;
c. hal hal lain yang diperlukan seperti salinan dokumen yang diperlukan dan
‐
lain lain (Pasal 29 Undang-Undang BI).
‐
37
Ibid.
Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank (Pasal 30 UndangUndang BI) Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan
sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut
penilaian Bank Indonesia transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di
bidang perbankan (Pasal 31 Undang-Undang BI).
Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia
membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau
membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan sebagaimana diatur dalam undang undang tentang Perbankan yang
‐
berlaku (Pasal 33 Undang-Undang BI).
B. Tinjauan Mengenai Perlindungan Hukum dan Nasabah
1. Perlindungan Hukum
Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk
menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam
hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat
dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan
manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan
peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif,
umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara
melaksanakan kepatuhan pada kaedah.38
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek
hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak
38
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm.
39.
39
dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh
hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan
kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan
sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan
mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang
bersangkutan merasa aman.
Sehubungan dengan hal di atas, menurut Hermansyah:
Perlindungan hukum memiliki arti sebagai upaya atau tindakan yang
diberikan oleh hukum dalam arti peraturan perundang-undangan untuk
melindungi subyek hukum dari adanya pelanggaran atas hak dan kewajiban
para pihak yang terdapat dalam sebuah hubungan hukum. Perlindungan
hukum nasabah penyimpan dana adalah perlindungan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan atau hukum positif yang berlaku bagi
nasabah penyimpan dana. Perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan
dana bertujuan untuk melindungi kepentingan dari nasabah penyimpan dan
simpanannya yang disimpan di suatu bank tertentu terhadap suatu resiko
kerugian.39
Sulistyandari dalam bukunya Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum
terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia,
mengemukakan bahwa:
Perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan
yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek
hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan
terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan
haknya tersebut.40
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 124.
Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Melalui
Pengawasan Perbankan di Indonesia, Sidoarjo: Laros, hlm. 283.
39
40
40
Mengenai hak dan kewajiban Nicolai memberikan pengertian sebagai
berikut:
“Een recht hould in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde
feitelijk handeling te verichten of na te laten, of de (rechtens gegeven)
aanspraak op het verichten van een handeling door een ander. Een plicht
implieert een verplichting om een bepaalde handeling te verichten of na
laten”
(Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak meakukan
tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan
tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu).41
Perlindungan hukum tersebut dapat bersifat preventif maupun bersifat
rep resif sebagaimana pendapat Philipus M. Hadjon yang disitir oleh
Sulistyandari, yaitu:
Dalam menganalisis perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia Philipus
M. Hadjon mengatakan bahwa ada dua macam perlindungan hukum bagi
rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif yang
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Di dalam perlindungan hukum
bagi rakyat ini minimal ada dua pihak, di mana perlindungan hukum
difokuskan pada salah satu pihak, pemerintah disatu pihak dengan
tindakn-tindakannya, berhadapan dengan rakyat yang dikenai tidakantindakan pemerintah tersebut.42
41
42
Nicolai dalam Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 283.
Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 283-284.
41
2. Pengertian Nasabah
Nasabah dapat didefenisikan sebagai pihak yang menggunakan jasa suatu
bank. Nasabah dibagi atas nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah
penyimpan dapat didefenisikan sebagai nasabah yang menyimpan dana dibank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-U ndang
Perbankan yang menyebutkan bahwa:
“Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank
dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank sebagaimana dalam
undang-Undang yang berlaku.”
Sementara nasabah debitur didefenisikan sebagaimana dimaksud dalam
Ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan
bahwa:
“Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.”
Adapun nasabah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nasabah
penyimpan.
3. Hubungan Hukum antara Bank dengan Nasabah Penyimpan
Undang-Undang Perbankan tidak mengatur secara tegas mengenai
hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan, namun dari beberapa
ketentuan dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara bank dengan
nasabah adalah berdasarkan suatu perjanjian penyimpanan. Hal ini dapat
disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan :
42
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito,
Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu”.
Perjanjian penyimpanan dana merupakan dasar hubungan hukum antara
bank dengan nasabah penyimpan. H ubungan hukum antara bank dengan nasabah
menurut Munir Fuady terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1) hubungan kontraktual, dan
2) hubungan non kontraktual.43
Lebih lanjut Munir Fuady memberikan penjelasan hubungan hukum antara
bank dengan nasabah sebagai berikut:
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah bersumber dari ketentuanketentuan buku III (Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya
disingkat KUH Perdata), didasarkan atas ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagai aturan
yang bersifat umum. Selain itu didasarkan atas aturan-aturan yang bersifat
khusus mengenai pinj am pakai habis Pasal 1754 sampai dengan Pasal
1769 KUH Perdata44.
Ketentuan mengenai hubungan hukum di atas juga menunjukkan bahwa
hubungan antara bank dengan nasabah yang berdasarkan hubungan kontraktual
berlaku hampir terhadap semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan,
ataupun nasabah non-deposan non-debitur sebagai berikut:
Terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan atas
suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana)
dengan pihak debitur (peminjam dana).
43
44
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 102.
Ibid.
43
Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah
debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUH Perdata tentang kontrak
(buku ketiga). Sebab, menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undangundang bagi kedua belah pihak.
Namun demikian, selain dari ketentuan umum mengenai kontrak berlaku
untuk semua jenis kontrak, sebagaian sarjana berpendapat bahwa perjanjian
kredit bank diatur juga oleh ketentuan khusus mengenai “pinjam pakai
habis” (Verbruiklening) vide Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KU H
Perdata.45
Hubungan kontraktual terhadap nasabah deposan ataupun nasabah nondeposan non-debitur adalah:
Berbeda dengan nasabah debitur, maka untuk nasabah deposan atau nasabah
non-debitur, tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur untuk kontrak
jenis ini dalam KUH Perdata. Karena itu kontrak-kontrak untuk nasabah
seperti itu hanya tunduk kepada ketentuan-ketentuan umum dari KUH
Perdatamengenai kontrak. Di samping itu, berbeda dengan kontrak untuk
nasabah debitur, in casu kontrak kredit yang seringkali diatur cukup
komprehensif, maka untuk kontrak antara bank dengan nasabah deposan
atau nasabah non-deposan non-debitur lazimnya hanya diatur dalam bentuk
kontrak yang sangat simpel.46
Hubungan hukum kontraktual tersebut dapat terjadi dalam tiga jenis, yaitu:
1) sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah);
2) sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya
sekedar hubungan antara debitur dengan kreditur;
3) sebagai hubungan implied contract yaitu hubungan kontrak yang
tersirat.47
Hubungan hukum anatara bank dengan nasabah di samping hubungan
kontraktual, adalah hubungan non kontraktual. Menurut Munir Fuady ada enam
jenis hubungan kontraktual, yaitu:
1)
2)
3)
4)
Hubungan Fidusia (fiduciary relation),
Hubungan Konfidensial,
Hubungan Bailor-Bailee,
Hubungan Principal-Agent,
Ibid.
Ibid, hlm 102-103.
47
Ibid, hlm.103.
45
46
44
5) Hubungan Mortgagor-Mortgagee,
6) Hubungan Trustee-Beneficiary.48
Berhubung hukum di Indonesia tidak dengan tegas mengakui hubunganhubungan tersebut, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat dilaksanakan
jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak untuk hal tersebut. Atau setidaktidaknya ada kebiasaan dalam praktek perbankan untuk mengakui eksistensi
kedua hubungan tersebut.
Sedangkan mengenai pengertian hubungan non kontraktual dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Yang dimaksud dari hubungan non kontraktual ini adalah bahwa hubungan
nasabah penyimpan dengan bank itu muncul bukan karena adanya
kontrak/perjanjian, melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya
hukum tertulis/peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau
hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang
mengaturnya. Dalam peraturan perundangan perbankan di Indonesia,
hubungan non kontraktual ini bisa dilihat antara lain dalam UU Perbankan,
UU BI, berserta peraturan pelaksananya.49
Sulistyandari mengemukakan hubungan non kontraktual dilihat antara lain
dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang BI, Undang-Undang LPS,
serta peraturan pelaksananya sebagai hubungan kepercayaan, hubungan kehatihatian, hubungan kerahasiaan, hubungan menjamin dana simpanan, hubungan
kepedulian terhadap risiko nasabah, hubungan kepedulian terhadap pengaduan
nasabah.
Lebih lanjut mengenai inti masing-masing hubungan di atas yang
merupakan hubungan non kontraktual, adalah sebagai berikut:
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 104.
Sulistyandari, Aspek Hukum Pembobolan Uang Nasabah Bank (Bagian II), Senin, 11 April
2011, tersedia: http://gagasanhukum.wordpress.com diakses tanggal 24 Mei 2012.
48
49
45
1. Hubungan kepercayaan, dapat diuraikan sebagai berikut:
Bank adalah lembaga perantara/intermediasi (intermediary institution), di
mana bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, di
sini muncul hubungan hukum antara bank (debitur) dengan nasabah
penyimpan (kreditur), nasabah penyi mpan mempercayakan dana
simpanannya kepada bank untuk dikelola, untuk itu nasabah penyimpan
berhak atas pengembalian simapanan denga bunga. Kemudian oleh bank
dana tersebut disalurkan kepada nasabah peminjam, di sini muncul juga
hubungan hukum antara bank (kreditur) dengan nasabah peminjam
(debitur), bank menyalurkan dana simpanan kepada nasabah peminjam
dalam bentuk kredit (kata kredit dari bahasa Romawi „credere‟ artinya
percaya), yang artinya bank juga mempercayakan dana itu kepada nasabah
peminjam untuk dikelola, dan untuk itu bank berhak atas pengembalian
dana yang dipinjamkan dengan bunganya.50
2. Hubungan hubungan kehati-hatian, dapat diuraikan sebagai berikut:
Dalam melakukan kegiatan usaha, artinya dalam melaksanakan kegiatan
usaha seperti pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, bank harus hati-hati dengan memperhatikan 2 (dua) hal yaitu: (1)
Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan. Untuk memperoleh kayakinan atas kemampuan nasabah
debitur/peminjam untuk melunasi utangnya bank harus melakukan anlisis
atau penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan
(capacity), modal (capital), agunan (colateral), dan prospek usaha
(condition of economy) dari nasabah debitur. Di sini agunan hanya
merupakan salah satu unsur yang harus dianalisis dalam pemberian kredit,
maka apabila berdasarkan unsur lain bank sudah memperoleh keyakinan
bahwa nasabah debitur akan mampu melunasi utangnya, agunan dapat
hanya berupa barang proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit
yang bersangkutan. Bank tidak wajib meminta berupa barang yaang tidak
berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan
agunan tambahan. (2) Bank wajib memperhatikan mengenai ketentuan
maksimum pemberian kredit atau kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 Undang-Undang
Perbankan.51
50
51
Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 304.
Ibid, hlm. 308.
46
3. Hubungan kerahasiaan, dapat diuraikan sebagai berikut:
Hubungn kerahasiaan diatur dalam Pasal 40 dan diatur lebih lanjut dalam
Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 42A, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal
47, Pasal 47A, Pasal 51 Undang-Undang Perbankan.
Pasal 40 menentukan bahwa (1) Bank wajib merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal
44, dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud berlaku pula bagi
Pihak Terafiliasi.52
4. Hubungan menjamin dana simpanan, dapat diuraikan sebagai berikut:
Hubungan ini diatur dalam Pasal 37B Undang-Undang Perbankan bahwa:
(1) setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank
yang bersangkutan; (2) untuk menjamin simpanan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan; (3)
Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berbentuk badan hukum Indonesia; (4) ketentuan mengenai penjaminan
dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.53
5. Hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah, dapat diuraikan sebagai berikut:
Hubungan ini diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perbankan
dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan
Data Pribadi Nasabah, tanggal 20 Januari 2005.
Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perbankan mengatakan bahwa untuk
kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank.54
6. Hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah, dapat diuraikan sebagai
berikut:
Dari Pasal 2 PBI Nomor 7/7/PBI/2005 dapat diketahui bahwa ada hubungan
hukum antara bank dengan nasabah penyimpan, di mana bank mempunyai
kewajiban menyelesaikan setiap pengaduan yang diajukan nasabah dan atau
52
Ibid, hlm. 311.
47
53
54
Ibid, hlm. 316
Ibid, hlm. 323.
55
Ibid, hlm. 326.
48
perwakilan nasabah, sebaliknya nasabah mempunyai hak intuk penyelesaian
dari set iap pengaduannya kepada bank.55
C. Tinjauan Mengenai Lembaga Penjamin Simpanan
1. Sejarah dan Pengertian Lembaga Penjaminan Simpanan
1.1 Sejarah Lembaga Penjaminan Simpanan
Pertengahan tahun 1997, di Indonesia terjadi krisis moneter di mana
salah satu sektor yang paling parah terkena imbasnya adalah sektor perbankan.
Untuk mengatasi krisis tersebut, salah satu kebijakan yang diambil oleh
Pemerintah adalah mencabut izin usaha 16 bank swasta, yang selanjutnya
disebut dengan Bank Dalam Likuidasi (BDL), kemudian ditindaklanjuti
dengan pembubaran badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank.
Likuidasi 16 bank swasta nasional tersebut ternyata membwa dampak
yang sangat luas dikalangan masyarakat. Peristiwa ini membuat panik
masyrakat, sehingga menyebabkan runtuhnya kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan nasional terutama kepada kelompok bank swasta nasional
dengan ditandai terjadinya penarikan dana secara besar-besaran dan signifikan.
Tidak sedikit masyarakat kemudian menarik dananya di bank, sebagian
memang ada yang memindahkannya ke bank lain, terutama bank pemerintah,
karena dianggap lebih aman. Namun ada juga yang disimpan di dalam safe
deposit box sehingga menjadi dana mati yang tidak berputar, atau bahkan ada
juga yang menyimpan dananya di “bawah bantal”.
4
9
Untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan, maka pada tahun 1998 Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
memberikan jaminan atas dana nasabah atau kewajiban pembayaran oleh bank,
termasuk simpanan masyarakat yang berupa penjaminan 100 persen (blanket
guarantee). Hal ini merupakan satu-satunya cara yang harus dilakukan
Pemerintah untuk menghentikan penarikan dana oleh deposan yang
dikhawatirkan akan terus berlanjut, mengingat pada waktu itu tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan sudah berada pada titik
nol.
Meski demikian Pemerintah sebenarnya sadar bahwa kebijakan tersebut
hanyalah bersifat sementara, yaitu sampai kembalinya kepercayaan
masyarakat. Dan memang terbukti, blanket guarantee dapat mengembalikan
kembali kepercayaan masyarakat terhap industri perbankan, namun ini justru
menimbulkan masalah baru, yaitu dikarenakan ruang lingkup penjaminan yang
terlalu luas yakni penjaminan 100 persen atas dana nasabah menyebabkan
timbulnya tindakan kurang hati-hati terhadap resiko yang terjadi (moral
hazard) baik dari pengelola bank maupun dari masyarakat, yaitu pengelola
bank menjadi kurang hati-hati dalam mengelola dana masyarakat, sementara
nasabah tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena
simpanannya dijamin secara penuh oleh pemerintah.
Selain itu, dalam sistem blanket guarantee, terdapat tiga perrmasalahan
utama yang akan dihadapi sistem perbankan, pertama, adalah
ketidakjelasan tentang siapa yang dilindungi masyarakat deposan ataukah
bankir? Kedua, akan selalu muncul ketidakprofesionalan dalam
5
0
pengelolaan bank, tanggung jawab manajemen bank cenderung rendah
serta yang ketiga, risiko kerugian negara akan cenderung tinggi.56
Oleh karena itu pemerintah harus segera mengakhiri sistem blanket
guarantee yang memang sejak semula hanya direncanakan untuk sementara
dan menggantinya dengan sistem penjaminan yang dibatasi.
Terdapat beberapa hal positif yang dapat dicapai dengan dihapuskannya
program blanket guarantee, yakni:
b. Mengurangi biaya yang harus dikeluarkan pemerintah;
c. Meminimalkan moral hazard bagi pemilik dan pengelola bank; dan
d. Meningkatkan disiplin pasar.57
Dari sinilah sejarah terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan dimulai.
Pemerintah mulai mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keppres
Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Perkreditan Rakyat.
Seiring dengan mulai pulihnya kepercayaan masyarakat untuk
menyimpan dananya di bank, maka Pemerintah mulai menyiapkan langkah
untuk keluar dari program penjaminan perbankan oleh Pemerintah dengan
membentuk suatu lembaga untuk melaksanakan sistem penjaminan yang lebih
permanen.
Tahun 2004 industri perbankan ditandai dengan mulai dihapuskannya
program penjaminan yang populer dengan sebutan blanket guarantee dan
diganti dengan sistem penjaminan yang lebih permanen. Secara bertahap
program tersebut dikurangi cakupannya dan diturunkan jumlah maksimal
yang dijaminkan. Blanket Guarantee merupakan kebijakan sementara
yang diberlakukan pemerintah sejak Tahun 1998 yang didasarkan pada
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 (Keppres No. 26/1998).
Program penjaminan tersebut pada saat itu dilaksanakan oleh Badan
Adrian Sutedi, 2010, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, (Jakarta: Sinar Grafika),
hlm. 5.
57
Zulfi Diane Zaini, Op. Cit., hlm 165.
56
5
1
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sudah berakhir masa
kerjanya di Tahun 2004.58
Berakhirnya masa kerja BPPN membuka kesempatan Lembaga Penjamin
Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang diamanatkan dalam Pasal 37B
Undang-Undang Perbankan, yang menetapkan bahwa setiap bank wajib
menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan,
untuk segera dibentuk. Maka dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut
Undang-Undang LPS) menandakan sudah dibentuknya secara resmi suatu
lembaga tetap yang bertugas untuk menjamin keamanan dana nasabah dibank.
Terhitung sejak tanggal 22 september 2005 LPS telah beroperasi dan
Pemerintah telah mengangkat anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan melalui Keputusan Presiden Nomor 161/M Tahun 2005.
Adanya lembaga penjamin simpanan nasabah, maka Bank Sentral di
Indonesia dapat membatasi bantuannya kepada lembaga perbankan,
khususnya dalam hal penjaminan dana para nasabah penyimpan
dana/deposan. Kemudian, dengan adanya lembaga penjamin simpanan
nasabah tersebut dapat memberikan rasa tanggung jawab yang lebih
besar kepada para pemilik dan pengelola bank, karena bank-bank yang
dikelolanya harus selalu likuid dan selalu dijaga tingkat kesehatannya,
yang semuanya bertumpu pada etika dan moral dari para pemilik dan
pengelola bank tersebut.59
1.2 Pengertian Lembaga Penjaminan Simpanan
Amanat untuk membentuk LPS telah ditindaklanjuti dengan intensif oleh
Pemerintah dan dilaksanakan bersama oleh Departemen Keuangan
(DepKeu), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan Bank
Indonesia. Bahkan rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai LPS
telah diserahkan pemerintah kepada DPR menjelang akhir tahun 2003.
Hal ini menunjukkan bahwa LPS sangat diperlukan dalam upaya
5
2
Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Bandung: Books Terrace & Library,
hlm. 315.
59
Ibid, hlm. 198-199.
58
53
menopang sistem perbankan. Karena itulah sistem perbankan yang
merupakan simpul terlemah, diperlukan adanya keberadaan LPS. Dengan
demikian LPS harus dipandang sebagai salah satu pilar dalam
mendukung peningkatan stabilitas sistem keuangan tersebut. Pilar yang
lain mencakup pengaturan dan pengawasan bank, lender of last resort,
sistem pembayaran dan dukungan fiskal.60
Berdasarkan Undang-Undang LPS sebagaimana dimuat dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4420, LPS adalah lembaga yang
independen, transparan dan akuntabel, melaksanakan tugas dan wewenangnya
bertanggung jawab kepada Presiden yang mempunyai fungsi menjamin
simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas
sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya.
2 Fungsi, Tugas dan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan
2.1 Fungsi dan Tugas Lembaga Penjamin Simpanan
Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
4 Undang-undang LPS adalah:
Fungsi LPS dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang LPS
adalah:
a. Menjamin simpanan nasabah penyimpan.
b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai
dengan kewenangannnya.
Fungsi menjamin simpanan nasabah sebagaimana dimaksud dalam dalam
ketentuan Pasal 4 huruf a Undang-Undang LPS di atas tidak terlepas dari
52
sejarah pendirian LPS yang pada dasarnya dilakukan sebagai upaya
memberikan perlindungan terhadap dua risiko yaitu irrational run terhadap
bank dan systemic risk. Dalam menjalankan usaha bank biasanya hanya
menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk berjaga-jaga
apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sementara, bagian terbesar dari
simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini
menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dalam jumlah
besar dengan segera atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi
penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar.
Tugas Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
5 ayat (1) dan (2) Undang-undang LPS yang menyebutkan bahwa:
1) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, LPS mempunyai tugas:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan
simpanan.
b. Melaksanakan penjaminan simpanan.
2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif
memelihara stabilitas sistem perbankan.
b. Marumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan
penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik.
c. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
2.2 Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan
Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-undang LPS yang menyebutkan bahwa:
1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. menetapkan dan memungut premi penjaminan.
b. menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali
menjadi peserta.
53
c. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
d. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan
keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang
tidak melanggar kerahasiaan bank.
e. melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data
tersebut pada angka 4.
f. menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
g. menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk
bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna
melaksanakan sebagian tugas tertentu.
h. melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang
penjaminan simpanan.
i. menjatuhkan sanksi administratif.
2) LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal
dengan kewenangan:
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang
pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
b. menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang
diselamatkan;
c. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah
setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan
dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan
d. menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur
dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
3 Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Lembaga Penjamin Simpanan
Nasabah Penyimpan
Lembaga Penjamin Simpanan didirikan berdasarkan Undang-Undang LPS
yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan (dalam bentuk giro,
deposito, sertifikat desposito dan tabungan atau bentuk lainnya atau yang
dipersamakan dengan itu). Lembaga Penjamin Simpanan juga harus turut aktif
dalam memelihara stabilitas sistem perbankan nasional. Untuk itu, lembaga
penjamin simpanan memiliki kewenangan antara lain untuk menetapkan dan
memungut premi penjaminan dari bank-bank (yang dikumpulkan menjadi dana
lembaga penjamin simpanan). Dengan pembayaran premi yang dilakukan oleh
bank peserta penjaminan kepada Lembaga Penjamin Simpanan, maka dalam hal
54
terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank, pelaksanaan kewajiban bank
terhadap nasabah atas simpanannya beralih menjadi tanggung jawab Lembaga
Penjamin Simpanan.
Lembaga Penjamin Simpanan merupakan penyempurnaan dari program
penjaminan pemerintah terhadap seluruh kewajiban bank (blanket
guarantee) yang berlaku di masa lalu (tahun 1998 sampai dengan 2005).
Kebijakan blanket guarantee disatu sisi dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan, namun disisi lain kebijakan tersebut telah
membebani keuangan negara dan dapat menimbulkan moral hazard bagi
pelaku perbankan dan nasabah.61
Adrian Sutedi dalam bukumya Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan
mengemukakan mengenai simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin
Simpanan adalah sebagai berikut :
1. Simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito, sertifikat deposito,
tabungan, dan atau bentuk lain yang dipesamakan dengan itu.
2. Simpanan nasabah bank berdasarkan Prinsip Syariah yang dijamin
meliputi:
a. Giro berdasarkan Prinsip Wadiah,
b. Tabungan berdasarkan Prinsip Wadiah,
c. Tabungan berdasarkan Prinsip Muharabah muthlaqah atau Prinsip
Mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank,
d. Deposito bardasarkan Prinsip Muharabah muthlaqah atau Prinsip
Mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank,
e. Simpanan berdasarkan Prinsip Syariah lainnya yang ditetapkan
oleh Lembaga Penjamin Simpanan setelah mandapat pertimbangan
Lembaga Pengawas Perbankan.
3. Simpanan yang dijamin merupakan simpanan yang berasal dari
masyarakat, termasuk yang berasal dari bank lain.
4. Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan mencakup
saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank.
5. Saldo tersebut berupa:
a. Pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah, untuk
Simpanan yang memiliki komponen bagi hasil yang timbul dari
transaksi dengan prinsip syariah;
b. Pokok ditambah bunga yang telah menjadi hak nasabah, untuk
Simpanan yang memiliki komponen bunga;
61
Adrian Sutedi, Aspek Hukum, hlm. 11.
55
c. Nilai sekarang per tanggal pencabutan izin usaha dengan
menggunakan tingkat diskonto yang tercatat pada bilyet, untuk
Simpanan yang memiliki komponen diskonto.
6. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank adalah hasil
penjumlahan saldo seluruh rekening simpanan nasabah pada bank
tersebut, baik rekening tunggal maupun rekening rekening gabungan
(joint ccount).
7. Untuk rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang
diperhitungkan bagi satu nasabah adalah saldo rekening gabungan
tersebut yang dibagi secara prorata denggan jumlah pemilik rekening.
8. Dalam hal nasabah memiiki rekening tunggal dan rekening gabungan
(joint account), saldo rekening yang terlebih dahulu diperhitungkan
adalah sakdo rekening tunggal.
Dalam hal nasabah memiiki rekening yang dinyatakan secara tertulis
diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain (beneficary), maka saldo
rekening tersebut diperhitungkan sebagai saldo rekening pihak lain
(beneficary) yang bersangkutan.62
Nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank yang
semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS ditetapkan
paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), kemudian
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 tersebut diubah
menjadi paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) wajib membayar klaim penjaminan kepada
nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya.63
Selain apabila nilai simpanan nasabah penyimpan melebihi batas maksimal
yang akan dijamin oleh LPS, LPS juga tidak akan membayar klaim penjaminan
kepada nasabah penyimpan apabila memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 19
ayat (1) Undang-undang LPS, yang menetapkan:
“Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak bayar apabila berdasarkan hasil
rekonsiliasi dan/atau verifikasi:
a. Data simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank
b. Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak
wajar; dan/atau
c. Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank
menjadi tidak sehat”
Ibid, hlm. 68-70.
Zulfi Diane Zaini, Op. Cit., hlm. 200.
62
63
56
4. Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Lembaga yang Turut Aktif
Memelihara Stabilitas Sistem Perbankan
LPS mempunyai tugas berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang LPS
dalam rangka melakukan fungsi memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai
dengan kewenangannya. Tugas LPS yang dimaksud adalah:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif
memelihara sistem perbankan.
b. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian
bank gagal yang tidak berdampak sistemik.
c. melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang LPS memberikan pengertian Bank
Gagal, yaitu:
“Bank gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan
keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan
tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP)
sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.”
Proses penanganan bank gagal dalam upaya penyelamatannya dilakukan
oleh LPS setelah mendapatkan pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagai
lembaga pengawas perbankan, bahwa ada suatu bank bermasalah yang sedang
dalam upaya penyehatan. Kemudian LPS akan melakukan tindakan konkret
setelah Komite Koordinasi menetapkan suatu bank menjadi bank gagal
berdampak sistemik atau bank gagal tidak berdampak sistemik dan
menyerahkannya kepada L PS.
57
a. Penyelesaian Bank Gagal tidak Berdampak Sistemik
Penyelesaian bank gagal tidak berdampak sistemik dilakukan LPS
dengan cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf a
Undang-Undang LPS, yaitu:
1. melakukan penyelamatan; atau
2. tidak melakukan penyelamatan bank gagal tersebut
LPS dapat menyelamatkan bank gagal yang tidak berdampak sistemik
apabila terpenuhi seluruh prasyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 10
Peraturan LPS Nomor 4/PLPS/2006 tentang Penyelesaian Bank Gagal yang
tidak Berdampak Sistemik, yaitu sebagai berikut:
a. Perkiraan biaya penyelamatan paling tinggi sebesar 60% dari
perkiraan biaya tidak menyelamatkan;
b. Bank masih memiliki prosepek usaha yang baik, dengan indikator:
1) Setelah diselamatkan atau setelah dilakukan penambahan modal
oleh LPS:
i. Non Performing Loan (NPL) netto lebih kecil dari 5%;
ii. tidak terdapat pelanggaran dan atau pelampauan Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Posisi Devisa
Netto (PDN).
2) Pada saat bank dinyatakan sebagai Bank Gagal:
i. Predikat tingkat kesehatan bank paling rendah Kurang Sehat
dengan Peringkat Kompo sit 4 untuk Bank Umum dan Kurang
Sehat dengan Rating 3 untuk Bank Perkreditan Rakyat yang
ditetapkan oleh LPP;
ii. terdapat direksi bank yang memenuhi persyaratan fit &
proper test;
iii. masih melakukan kegiatan usaha sebagai bank kecuali
dibatasi oleh ketentuan; dan
iv. terdapat investor potensial yang dibuktikan dengan adanya
kesepakatan sebelumnya dengan bank dan terdapat setoran
dana yang disimpan dalam escrow account.
c. Terdapat pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya
memuat kesedian untuk:
i. menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS;
ii. menyerahkan kepengurusan bank kepada LPS;
58
iii. tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila
proses penyelamatan yang dilakuka LPS melakukan tugasnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
iv. menyerahkan surat kuasa dari seluruh pemegang saham
kepada LPS untuk melakukan penjualan atas seluruh saham
yang dimiliki masing-masing pemegang saham.
d. Bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai:
i. Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia dan
agunan yang diserahkan;
ii. data keuangan nasabah debitur;
iii. struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 tahun
terakhir; dan
iv. informasi lainnya yang dibutuhkan LPS terkait dengan aset,
kewajiban, dan permodalan bank.
Jika seluruh prasyarat terpenuhi, RUPS menyerahkan segala hak dan
wewenangnya kepada LPS. Selanjutnya LPS dapat melakukan upaya
penyelamatan dengan Penyertaan Modal Sementara (PMS), mengganti
pengurus bank, mere strukturisasi aset dan kewajiban, serta upaya-upaya lain
yang diperlukan. Sedangkan dalam hal prasyarat penyelamatan tidak
terpenuhi, LPS merekomendasikan kepada Bank Indonesia untuk mencabut
izin usaha bank gagal tersebut.
Terhadap bank yang telah dicabut izin usahanya, LPS melakukan
verifikasi dan rekonsiliasi data simpanan nasabah untuk menetapkan
simpanan yang layak bayar untuk selanjutnya dilakukan pembayaran klaim
penjaminan simpanan melalui bank pembayar. Selain membayar klaim
penjaminan, LPS juga membentuk tim likuidasi untuk membereskan aset
dan kewajiban bank, serta membagikan hasil likuidasi bank tersebut kepada
nasabah penyimpan yang simpanannya tidak dijamin, kreditur, serta para
pemegang saham.
59
b. Penyelesaian Bank Gagal Berdampak Sistemik
Penyelesaian atau penanganan bank gagal yang berdampak sistemik
dilakukan LPS dengan cara sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal
22 ayat (1) huruf b Undang-Undang LPS, yaitu:
1. penyelamatan dengan mengikutsertakan pemegang saham; atau
2. penyelamatan tanpa mengikutsertakan pemegang saham
LPS mengikutsertakan pemegang saham dalam upaya penanganan
bank gagal sistemik apabila terpenuhi seluruh prasyarat yang diatur dalam
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang LPS, yaitu sebagai berikut:
a. pemegang saham menyetor sekurang-kurangnya 20% dari
perkiraan biaya penanganan;
b. ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat
kesediaan untuk:
1) menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS;
2) menyerahkan kepada LPS kepengurusan bank; dan
3) tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal
proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak
yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c. bank menyerahkan kepada LPS, dokumen mengenai:
1) penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;
2) data keuangan Nasabah Debitur;
3) struktr permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun
terakhir; dan
4) informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan
permodalan bank, yang dibutuhkan LPS.
Selanjutnya, dalam penanganan Bank Gagal yang diakukan oleh LPS
dengan mengikutsertakan pemegang saham, maka dalam waktu 1 hari
setelah ditetapkan sebagai Bank Gagal pemegang saham dan pengurus bank
melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hak, kepemilikan,
kepengurusan dan/ atau kepentingan lainnya.
60
Setelah pemegang saham bank melakukan penyetoran modal perlu
diperhatikan keadaan ekuitas bank, jika:
1. Ekuitas bank bernilai positif, LPS dan pemegang saham lama membuat
perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham bank.
Dalam perjanjian tersebut diatur mengenai penggunaan hasil penjualan
saham bank dengan urutan sebagai berikut:
a. Pengembalian seluruh biaya penanganan yang telah dikeluarkan LPS.
b. Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada
posisi sesaat setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran
modal.
c. Jika setelah penggunaan hasil penjualan saham bank masih ada sisa
maka akan dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang
saham lama.
2. Ekuitas bank bernilai nol atau negatif, maka pemegang saham lama tidak
memiliki hak atas hasil penjualan saham bank.
Sedangkan dal am hal penanganan B ank G agal dengan
mengikutsertakan pemegang saham tidak dapat dilakukan, LPS melakukan
penanganan Bank Gagal tanpa mengikutsertakan pemegang saham.
Berdasarkan Undang-Undang LPS mengambilalih segala hak, kepemilikan,
kepengurusan dan/ atau kepentingan lainnya.
Setelah segala hak, kepemilikan, kepengurusan dan/ atau kepentingan
lainnya dalam penanganan Bank Gagal dengan maupun tanpa
mengikutsertakan pemegang saham menjadi kewenangan LPS, selanjutnya
61
LPS melakukan upaya penanganan dengan penyetoran modal sementara
(PMS), mengganti pengurus bank, merestrukturisasi aset dan kewajiban
bank, serta upaya lain yang diperlukan.
Jika ekuitas bernilai positif pada saat penyerahan bank kepada LPS,
maka dibuat perjanjian mengenai penggunaan hasil penjualan saham bank
dengan ketentuan:
1. Pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan
oleh LPS.
2. Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada
saat penyerahan.
3. Jika masih ada sisa dari hasil penjualan saham, maka sisa tersebut
akan dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham
lama.
Namun jika ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat
penyerahan bank kepada LPS, maka pemegang saham lama tidak memiliki
hak atas hasil penjualan saham bank setelah penanganan.
Berdasarkan uraian di atas, penanganan Bank Gagal berdampak
sistemik pada dasarnya bermuara kepada penjualan aset bank yang
bersangkutan, oleh karena itu LPS wajib untuk menjual saham bank yang
dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-Undang LPS, yaitu:
1) LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling
lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan Bank Gagal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
62
2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan
tingkat pengembalian yang opimal bagi LPS.
Likuidasi bank gagal yang izin usahanya telah dicabut dapat dilakukan
oleh LPS dan pemegang saham. Tindakan yang dilakukan LPS dalam
melikuidasi bank gagal adalah :
1) melakukan semua kewenangan dalam hal penyelesaian dan
penanganan bank gagal;
2) memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang
terutang dan talangan pesangon pegawai sebesar jumlah minimum
pesangon sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan;
3) melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan
aset bank sebelum proses likuidasi dimulai; dan
4) memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim
likuidasi, dan menyatakan status bank sebagai bank dalam
likuidasi. Sedangkan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya atas
permintaan pemegang sahamnya sendiri dilakukan oleh pemegang
saham yang bersangkutan. Dalam hal ini, LPS tidak membayar
klaim penjaminan nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin
usahanya atas permintaan pemegang saham.
Berkaitan dengan fungsi turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem
perbankan oleh LPS, Zulkarnain Sitompul memberikan pendapatnya yaitu:
Lembaga penjamin simpanan (LPS) dapat berfungsi untuk mengatur
keamanan dan kesehatan bank secara umum. Di samping itu lembaga
63
penjamin simpanan juga dapat berfungsi sebagai pengawas yang
dilakukan dengan cara memantau neraca, praktik pemberian pinjaman
dan strategi investasi dengan maksud untuk melihat tanda-tanda financial
distress yang mengarah kepada kebangkrutan bank. Oleh sebab itulah
keberadaan lembaga penjamin simpanan sebagai bagian dari sistem
perbankan menjadi penting guna mencegah kepanikan nasabah dengan
jalan menyakinkan nasabah tentang keamanan simpanan sekalipun
kondisi keuangan bank memburuk.64
64
64
Makalah_lps.pdf , by Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LL.M, Op. Cit., hlm.6-7.
65
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Soerjono Soekanto
mengemukakan bahwa:
Penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.65
Penelitian yuridis normatif ini menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu suatu usaha
pendekatan terhadap masalah yang diteliti dengan fokus dan sekaligus tema
sentral penelitian terhadap berbagai aturan hukum, dimana hukum sebagai
sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat yaitu :
a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait satu dengan lain secara logis.
b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada
kekurangan hukum.
c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.66
65
14.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers), 2007, hlm. 13-
66
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang diguakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian
deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam
bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan, sebagai berikut:
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau
gejala-gej ala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya
tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.67
C. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan / atau dibuat secara resmi
oleh suatu lembaga Negara, dan / atau badan-badan pemerintahan yang
demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan
secara resmi pula oleh aparat Negara. Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi.68
Dalam penelitian ini peraturan perundang-undangan yang akan ditelaah
terkait isu hukum tentang perlindungan hukum bagi simpanan nasabah yang tidak
dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan,
67
67
68
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 10.
Johnny Ibrahim, Op. Cit. hal. 141.
68
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 1998 tentang Bank Indonesia,
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan
Perbankan Nasional,
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank,
6. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai
Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan,
7. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan perlindungan nasabah
penyimpan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bukubuku, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, artikel koran serta internet serta
bahan lain yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap simpanan
nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
c. Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, terdiri dari Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).
69
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam melakukan penelitian ini, pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan
metode sebagai berikut :
1. Metode kepustakaan; yaitu pengumpulan bahan hukum dengan melakukan
penelusuran terhadap bahan pustaka, dalam hal ini adalah literatur-literatur
yang ada relevansinya dengan isu hukum perlindungan hukum terhadap
simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan;
2. Metode dokumenter; yaitu pengumpulan bahan hukum dengan cara
pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen
pemerintah maupun non-pemerintah, dalam penelitian ini yang digunakan
adalah dokumen yang diperoleh dari internet yang menyediakan website
terkait segala hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap
simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
E. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian bahan hukum dalam penulisan ini adalah deskriptif analitif
atau disajikan secara sistematis. Untuk bahan hukum sekunder akan disajikan
sesuai dengan kebutuhan analisis namun tidak menghilangkan maksud yang
terkandung dalam bahan hukum tersebut. Penyajian bahan ini dapat
ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis.
70
F. Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam menganalisis bahan hukum adalah normatif
kualitatif, yaitu dengan menginterpretasikan isu hukum merujuk kepada
ketentun-ketentuan Hukum Perbankan Indonesia. Adapun langkah-langkah
yang akan dilakukan dalam menganalisis atau menelaah bahan hukum adalah
sebagai berikut:
1. Mula-mula dihimpun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti.
Bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan, menelaah
terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah, dan
internet.
2. Terhadap bahan hukum primer, dipelajari dan diidentifikasi dengan norma
hukum yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan,
menganalisis masalah dengan maksud mencari dalil.
3. Dari hasil identifikasi tersebut dapat dianalisa dan dideskripsikan, serta
dinilai untuk menjawab isu hukum yang diajukan.
4. Semua hasil yang diperoleh dari bahan-bahan hukum tersebut di atas,
berikut mencari hubungannya antara satu dengan yang lain dengan
menggunakan penalaran deduktif induktif untuk menghasilkan proposisi dan
konsep, baik berupa definisi, deskripsi, maupun klasifikasi sebagai hasil
penelitian.
Melalui langkah-langkah analisis bahan hukum tersebut diharapkan ditemukan
jawaban ilmiah atas tema pokok penelitian ini, yakni “perlindungan hukum
71
terhadap nasabah penyimpan atas simpanannya yang tidak dijamin oleh
Lembaga Penjamin Simpanan, dan tanggung jawab bank terhadap nasabah
penyimpan atas simpanannya yang tidak terpenuhi haknya dari hasil aset
bank”.
72
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Simpanan Nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin
Simpanan dalam Likuidasi Bank IFI (Bahan Hukum Sekunder)
PT. Bank IFI Berdiri pada Tahun 1955 sebagai Lembaga Keuangan
Bukan Bank (LKBB) yang dikenal dengan nama Finance and Investment
Company. PT. IFI berubah menjadi bank umum pada Februari 2003 dan
mengganti nama menjadi PT. Bank IFI, dengan pemegang saham Yayasan
Kesejahteraan Pegawai BTN, PT. Pengelola Investama Mandiri, dan Grup
Ramako.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank
Indonesia No.
1 1/19/KEB.GBI/2009 tanggal 17 April 2009, Bank Indonesia memutuskan
untuk mencabut izin usaha PT. Bank IFI, karena tidak bisa menambah modal
dan menjaga likuiditasnya. Pencabutan izin usaha dilakukan sesuai dengan
mekanisme dan prosedur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/9/PBI/2004
tanggal 26 Maret 2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan
Status Bank sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Bank Indonesia No. 10/27/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008. Beberapa
pertimbangan pencabutan izin usaha Bank IFI oleh Bank Indonesia adalah:
1. Sejak Tahun 2002, Bank IFI masuk dalam pengawasan intensif Bank
Indonesia. Pada Tahun 2008, status pengawasan intensif tersebut
73
meningkat menjadi pengawasan khusus. Aset Bank IFI hanya sebesar Rp.
440 Miliar atau 0,01% dari total aset industri perbankan nasional;
2. Dari sisi kecukupan modal atau (Capital Adequacy Ratio/CAR), Bank IFI
di bawah 8%, sebagaimana ditetapkan oleh Bank for International
Settlements (BIS) dengan menerbitkan dokumen International
Convergence of Capital Measurement and Capital Standards pada Juli
1988 atau dikenal sebagai Accord 88 (Basel I), hal tersebut
menggambarkan bahwa kian kecil modal kian besar potensi risiko yang
bakal dihadapi bank;
3. Dari sisi ratio kredit bermasalah atau non performing aloan (NPL),
angkanya mencapai 24%, jauh melewati ambang batas yang
dipersyaratkan Bank Indonesia sebesar 5%. Dengan NPL yang demikian
tinggi, bank wajib menetapkan cadangan (penyisihan, penghapusan
aktiva produktif atau PPAP) yang sangat besar. Cadangan ini akan
menggerus modal yang tercermin pada CAR. Masalahnya, CAR Bank IFI
jauh di bawah ambang batas 8% yang membuatnya tidak mampu
bertahan di tengah persaingan industri perbankan.
Dalam likuidasi Bank IFI terdapat simpanan nasabah yang tidak dijamin
oleh LPS. Data LPS per 31 Maret 2009 menunjukkan, simpanan nasabah Bank
IFI di atas Rp 2 miliar adalah Rp 19 1,2 miliar yang terdiri atas 30 rekening.
Bank IFI memiliki 9.600 rekening simpanan dan jumlah total rekening yang
memiliki simpanan di bawah Rp 2 miliar sebesar Rp 160,4 miliar, berdasarkan
posisi saat dilikuidasi. Simpanan yang dijamin adalah simpanan total setiap
72
orang di satu bank maksimal Rp 2 miliar, dengan suku bunga simpanan
maksimal sesuai yang ditetapkan LPS, sebesar 7,75 persen (17 Maret 2009).
Sehingga bila nantinya, ada satu orang lebih dari satu rekening simpanan
dengan total lebih dari Rp 2 miliar, hal itu tidak dijamin oleh LPS. Dana
sebesar itu pasti tidak dijamin LPS.69
2. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur mengenai Perlindungan
Hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas Simpanannya (Bahan Hukum
Primer)
2.1 Menurut Undang-Undang Perbankan
Kewajiban menjamin simpanan nasabah
Pasal 37B Undang-Undang Perbankan
Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank
yang bersangkutan, sedangkan untuk melaksanakan penjaminan simpanan
itu akan dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
2.2 Menurut Undang-Undang LPS
2.2.1 Fungsi LPS
Pasal 4 Undang-Undang LPS
Fungsi LPS adalah:
a. Menjamin simpanan Nasabah Penyimpan; dan
b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai
dengan kewenangannya.
2.2.2 Kepesertaan LPS
Pasal 8 Undang-Undang LPS
1) Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara
Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan.
69
http://www.radarbuton.com.html diakses tanggal 28 Mei 2012.
73
2) Kewajiban bank menjadi peserta Penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk Badan Kredit Desa.
2.2.3 Pembayaran kewajiban bank kepada kreditur
2.2.3.1 Pasal 53 Undang-Undang LPS
Likuidasi bank dilakukan dengan cara:
a. Pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para
debitur diikuti dengan pembayaran kewajiban bank
kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau
penagihan tersebut; atau
b. Pengalihan aset dan kewajiban bank kepada pihak lain
berdasarkan persetujuan LPS.
2.2.3.2 Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS
Kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan
dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53,
dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai
yang terutang;
b. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon
pegawai;
c. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang,
dan biaya operasional kantor;
d. Biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau
pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus
dibayarkan oleh LPS;
e. Pajak yang terutang;
f. Bagian Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak
dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari Nasabah
Penyimpan yang tidak dijamin; dan
g. Hak dari kreditur lainnya.
74
2.3 Menurut Undang-Undang BI
Tugas BI
Pasal 8 Undang-Undang BI
Bank Indonesia mempunyai 3 (tiga) tugas, yaitu:
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
2. Mengatur dan menjaga sistem pembayaran
3. Mengatur dan mengawasi bank.”
2.4 Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005
sebagaimana telah dirubah Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/10/PBI/2008 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
2.4.1 Pasal 2 ayat (1)
Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan
Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah.
2.4.2 Pasal 6 ayat (1)
Bank wajib menerima setiap Pengaduan yang diajukan oleh
Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah yang terkait dengan
Transaksi Keuangan yang dilakukan oleh Nasabah.
2.4.3 Pasal 10 ayat (1)
Bank wajib menyelesaikan Pengaduan paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan Pengaduan tertulis.
2.4.4 Pasal 12
Bank wajib menginformasikan status penyelesaian Pengaduan
setiap saat Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah meminta
penj elasan kepada Bank mengenai Pengaduan yang diajukannya.
75
3. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur mengenai Tanggung
Jawab Bank terhadap Nasabah Penyimpan (Bahan Hukum Primer)
3.1 Tanggung jawab pengembalian simpanan nasabah apabila seluruh
aset bank telah habis
Pasal 54 ayat (5) Undang-Undang LPS
Apabila seluruh aset bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih
terdapat kewajiban bank terhadap pihak lain, maka kewajiban tersebut
wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan
bank menjadi Bank Gagal.
3.2 Tanggung jawab pemegang saham menurut bentuk hukum bank
3.2.1 Bentuk hukum bank menurut Undang-Undang Perbankan
Pasal 21 Undang-Undang Perbankan
1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah
satu dari:
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas;
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
76
3.3 Tanggung jawab pemegang saham pada bank sesuai bentuk
hukumnya
3.3.1 Perseroan Terbatas
3.3.1.1 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas
1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab
secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian
Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku apabila:
a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum
atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung
maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Perseroan; atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung
maupun tidak langsung secara melawan hukum
menggunakan
kekayaan
Perseroan,
yang
77
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak
cukup untuk melunasi utang Perseroan.
3.3.1.2 Pasal 104
1) Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan
pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga
sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan
harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh
kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap
anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari
harta pailit tersebut.
3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai
yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan.
78
4) Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas
kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) apabila dapat membuktikan:
a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik,
kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik
langsung maupun tidak
d. Langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan;
dan
e. Lelah mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kepailitan
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Direksi dari
Perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan
pihak ketiga
3.3.2 Koperasi
3.3.2.1 Keanggotaan Koperasi
Pasal 17 Undang-Undang Nomor Nomor 25 Tahun1992
tentang Perkoperasian
79
1) Anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus
pengguna jasa Koperasi.
2) Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar
anggota
3.3.2.2 Tanggung jawab pengurus koperasi
Pasal 34 Undang-Undang Nomor Nomor 25 Tahun1 992
tentang Perkoperasian
1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri,
menanggung kerugian yang diderita Koperasi, karena
tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau
kelalaiannya.
2) Disamping penggantian kerugian tersebut, apabila
tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan, tidak
menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk
melakukan penuntutan.
3.3.3 Perusahaan Daerah
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah
1) Termasuk anggota Direksi dalam kedudukan selaku demikian,
yang tidak dibebani tugas penyimpanan uang, surat-surat berharga
dan barang-barang persediaan, yang karena tindakan melawan
hukum atau karena melalaikan kewajiban dan tugas yang
dibebankan kepada mereka dengan langsung atau tidak langsung
80
telah menimbulkan kerugian bagi Perusahaan Daerah, diwajibkan
mengganti kerugian tersebut.
B. Pembahasan
1. Perlindungan Hukum terhadap Nasabah atas Simpanannya yang Tidak
dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan
Sebagai palaksanaan dari amanat Pasal 37B ayat (2) Undang-Undang
Perbankan, pada tanggal 22 September 2004 dibentuk secara resmi suatu
lembaga tetap yang bertugas untuk menjamin keamanan dana nasabah dibank
yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai beroperasi
pada tanggal 22 September 2005.
Dengan adanya Undang-Undang LPS yang mewajibkan kepada setiap
bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia menjadi
peserta Penjaminan (sebagaimana dituangkan dalam Pasal 8 (1) UndangUndang LPS), maka kewajiban menjamin simpanan nasabah yang semula
terletak pada bank (sebagaimana dituangkan dalam Pasal 37B Undang-Undang
Perbankan), dengan pembayaran premi oleh bank kepada LPS akan beralih
menjadi kewajiban LPS untuk menjamin simpanan nasabah ketika bank
tersebut dicabut izin usahanya.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS, nilai simpanan yang
dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah), namun sejak tanggal 13 Oktober 2008 yaitu dengan
81
diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran
Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, nilai simpanan
yang dijamin oleh LPS menjadi Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dengan demikian terhadap nasabah yang simpanannya melebihi Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) tidak dijamin oleh Undang-Undang LPS.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian jamin
(menjamin) adalah menanggung atau berjanji akan memenuhi kewajiban orang
lain yang membuat perjanjian apabila perjanjian itu tidak ditepati. Dengan
demikian, tidak dijamin berarti tidak ditanggung atau tidak dipenuhi kewajiban
orang lain yang membuat perjanjian apabila perjanjian itu tidak ditepati.
Berdasarkan pengertian tersebut, simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh
UU LPS dapat diartikan sebagai simpanan nasabah yang tidak ditanggung oleh
LPS, sehingga menimbulkan pertanyaan bagi penulis, bagaimana perlindungan
hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak dijamin oleh
UU LPS. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan
pembahasan guna mendapat jawaban mengenai perlindungan hukum terhadap
Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak dijamin oleh Undang-Undang
LPS.
Salah satu misi dunia usaha perbankan adalah menerima simpanan baik
berupa giro, deposito, sertifikat desposito dan tabungan atau bentuk lainnya
atau yang dipersamakan dengan itu. Dana ini dibutuhkan bank dalam
menjalankan usahanya, yang tidak mungkin hanya diandalkan dari modal bank
82
sendiri. Untuk itu, dalam rangka menarik dana segar dari masyarakat, bank pun
terus melakukan pembaharuan dalam menawarkan layanan jasa perbankan.
Kepercayaan merupakan inti dari perbankan sehingga sebuah bank harus
mampu menjaga kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai alat
rekayasa social (Law as a tool of social engineering) terlihat aktualisasinya di
sini. Di tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan dalam rangka
untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat
memberikan perlindungan hukum bagi nasabah.
Berkaitan dengan hal di atas, Hermansyah mengemukakan:
Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung
kepada kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, tanpa adanya
kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu
menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Sehingga tidaklah
berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga
kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum
terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah bank
yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, dalam rangka untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kekurangan kepercayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah gencar
melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka
perlindungan hukum bagi Nasabah Penyimpan terhadap kemungkinan
terhadap terjadinya kerugian sangat diperlukan.70
Perlindungan hukum harus mutlak diberikan kepada Nasabah Penyimpan
dana, yaitu untuk melindungi haknya. Para Nasabah Penyimpan dana akan
lebih mengharapkan bank yang aman untuk menyimpan dananya daripada
bank yang memberikan bunga tinggi tetapi juga sangat berisiko untuk
menyimpan dana. Padahal jika telah ada perlindungan yang pasti terhadap para
70
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 132.
83
Nasabah Penyimpan, akan mendorong mereka yang mempunyai dana lebih
untuk menyimpan di bank.
Perlindungan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk dari
pendapat Sulistyandari yang mengemukakan sebagai berikut:
Perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan
keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap
subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan
keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk
mempertahankan haknya tersebut.71
Mengenai hak dan kewajiban Nicolai memberikan pengertian sebagai
berikut:
“Een recht hould in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde
feitelijk handeling te verichten of na te laten, of de (rechtens gegeven)
aanspraak op het verichten van een handeling door een ander. Een plicht
implieert een verplichting om een bepaalde handeling te verichten of na
laten”
(Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak meakukan
tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan
tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu).72
Selanjutnya Sulistyandari yang menyatakan bahwa hubungan hukum
bank dengan Nasabah Penyimpan dana adalah hubungan kontraktual dan
Sulistyandari, Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Melalui
Pengawasan Perbankan di Indonesia, (Sidoarjo: Laros), 2012, hlm. 283.
72
Nicolai dalam Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 283.
71
84
hubungan non kontraktual, di mana hubungan kontraktual muncul berdasarkan
perjanjian atau kontrak yang disebut dengan Perjanjian Penyimpanan,
sedangkan hubungan non kotraktual yang sering disebut dengan asas-asas
khusus dari hubungan nasabah dengan bank, muncul bukan karena adanya
perjanjian atau kontrak, melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya
hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan/atau
hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang
mengaturnya, maka hubungan hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini
adalah hubungan hukum kontraktual dan hubungan hukum non kontraktual.
Pendapat di atas menekankan bahwa perlindungan hukum bukan hanya
dalam arti sebagai upaya atau tindakan yang diberikan oleh hukum dalam arti
peraturan perundang-undangan saja, melainkan upaya yang diberikan oleh
hukum dalam arti Perjanjian atau kontrak jika hubungan hukum antara bank
dengan nasabah lahir dari sebuah perjanjian atau kontrak untuk melindungi
subyek hukum dari adanya pelanggaran atas hak dan kewajiban para pihak
yang terdapat dalam sebuah hubungan hukum. Hal ini merupakan bentuk
konsistensi dari hubungan hukum antara bank dengan nasabah yaitu hubungan
kontraktual dan hubungan nonkontraktual.
Dalam hubungan hukum kontraktual, hubungan hukum antara bank
dengan Nasabah Penyimpan dana didasarkan atas Perjanjian Penyimpanan,
yang mengandung arti bahwa hubungan antara bank dengan nasabah timbul
dari Perjanjian Penyimpanan yang melahirkan perikatan sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban, yaitu kewajiban bank untuk mengembalikan
85
simpanan nasabah beserta bunga yang diperjanjikan, dengan demikian maka
kewajiban bank tersebut merupakan hak bagi nasabah, yaitu untuk memperoleh
pengembalian simpanannya beserta bunga.
Menurut R. Subekti yang disitir oleh Sentosa Sembiring dalam bukunya
Hukum Perbankan mendefinisikan bahwa:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melakukan suatu hal. Perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya”.73
Dalam hubungan hukum non kontraktul, hubungan hukum antara bank
dengan nasabah didasarkan karena adanya hukum tertulis atau peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya, yang mengandung arti bahwa
perikatan lahir sebagai akibat dari hubungan antara bank dengan nasabah yang
diatur dalam undang-undang, dengan demikian hak dan kewajiban yang
ditimbulkan juga lahir dari undang-undang, dalam hal ini antara lain kewajiban
bank untuk menjamin dana nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 37 B
Undang-Undang Perbankan, hal ini tujuannya agar simpanan nasabah dapat
dikembalikan apapun yang terjadi pada bank, dengan demikian maka
kewajiban bank untuk menjamin simpanan nasabah tersebut merupakan hak
bagi Nasabah Penyimpan.
Selanjutnya mengenai nasabah yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Nasabah Penyimpan, yang dapat didefenisikan sebagai nasabah yang
73
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2000, hlm. 61.
86
menyimpan dana di bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1
angka 17 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan bahwa:
“Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank sebagaimana
dalam undang-Undang yang berlaku.”
Sedangkan simpanan yang dimaksud adalah Simpanan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan, yaitu:
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan Perjanjian Penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito,
Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.”
Sehubungan dengan perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan
dana yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu perlindungan hukum
terhadap Nasabah Penyimpan yang tidak dijamin oleh LPS, maka akan
diuraikan terlebih dahulu mengenai perlindungan hukum terhadap Nasabah
Penyimpanan berdasarkan hubungan kontraktuan dan hubungan non
kontraktual.
Perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanannya
yang tidak dij amin oleh LPS berdasarkan hubungan kontraktual dan hubungan
non kontraktual akan dibahas dengan menghubungkannya dengan menguraikan
mengenai simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh LPS dalam hubungan
kontraktual dan dalam hubungan non kontraktual.
87
Simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh LPS dalam hubungan
kontraktual antara bank dengan Nasabah Penyimpan, maka ketika kewajiban
bank untuk mengembalikan simpanan Nasabah Penyimpan baru dibayar
sebagian (hanya sebatas kewajiban yang beralih kepada LPS yaitu maksimal
Rp.2.000.000,00 (dua miliar rupiah)), sisanya inilah dalam hubungan
kontraktual antara bank dengan nasabah, tetap menjadi kewajiban bank.
Sebagaimana diuraikan di depan, bahwa hubungan hukum antara bank
dengan Nasabah Penyimpan dana adalah didasarkan atas Perjanjian
Penyimpanan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan). Dalam Hukum
Perdata, Perjanjian Penyimpanan termasuk dalam bentuk perjanjian tidak
barnama, yaitu perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi
terdapat di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Sulistyandari
yang mengemukakan sebagai berikut:
Perjanjian Penyimpanan dana merupakan perjanjian yang tidak mendapat
pengaturan secara khusus dalam KUH Perdata, KUHD, maupun UndangUndang Perbankan, oleh karena ketentuan umum perrjanjian dalam KUH
Perdata tersebut berlaku bagi semua perjanjian, maka termasuk berlaku
pula bagi Perjanjian Penyimpanan dana.74
Pendapat senada yang menegaskan bahwa Perjanjian Penyimpanan
termasuk dalam bentuk perjanjian tak barnama juga dikemukakan oleh Daniel
Djoko Tarliman dalam Disertasinya yang berjudul “Lembaga Penjamin
Simpanan dalam Penyelesaian Bank Gagal di Indonesia” sebagai berikut:
74
Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 296.
88
Perjanjian Penyimpanan dana terrmasuk jenis perjanjian tidak bernama
yang sifatnya sui generis dalam arti tunduk pada ketentuan umum dari
suatu perjanjian sedangkan ketentuan perjanjian bernama dipakai secara
analogi.75
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa
Perjanjian
Penyimpanan sebagai perjanjian tidak bernama tunduk pada KUHPerdata
khususnya Buku III tentang Perikatan, khususnya Bab I, II, IV yang merupakan
ketentuan umum perjanjian, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya
perikatan, macam macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus terdapat
dalam Bab V sampai Bab XVII memuat peraturan-peraturan yang mengenai
perjanjian-perjanjian bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang banyak di pakai
dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya
jual beli, Sewa menyewa, pinjam meminjam, perjanjian perburuan, pemberian
(shenking) dan sebagainya.
Pasal 1233 KUH Perdata menyebutkan:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena
undang-undang”
Selanjutnya dalam Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan:
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Daniel Djoko Tarliman, 2008, “Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penyelesaian Bank
Gagal di Indonesia”, Ringkasan Disertasi yang tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas
75
Airlangga Surabaya.
89
Perjanjian Penyimpanan antara bank dengan Nasabah Penyimpan dalam
praktiknya merupakan perjanjian standar atau baku yang isinya ditentukan oleh
pihak bank.
Hubungan antara Nasabah Penyimpan dengan bank berdasarkan
hubungan kontraktual, di mana dalam hubungan kontraktual ini hak-hak
Nasabah Penyimpan lahir dari kontrak/Perjanjian Penyimpanan dana
yang dibuat oleh bank dengan Nasabah Penyimpan sendiri. Selain itu
hak-hak Nasabah Penyimpan juga diatur/diberikan oleh KUH Perdata
maupun ketentuan Hukum Perbankan, hanya saja Perjanjian
Penyimpanan dana dalam praktik isinya ditentukan oleh pihak bank
seperti berapa besar perhitungan bunga/jasa simpanan, biaya-biaya yang
harus dikeluarkan oleh Nasabah Penyimpan dan biasanya Perjanjian
Penyimpanan dana merupakan perjanjian standar/baku yang biasanya
terdapat ketentuan yang lebih menguntungkan pihak bank. 76
Dengan demikian, hak dan kewajiban Nasabah Penyimpan merupakan
perikatan yang lahir dari Perjanjian Penyimpanan dana, maka ketika bank
dicabut izin usahanya dan hak Nasabah Penyimpan baru dibayar sebagian
(sebesar jaminan yang dilakukan oleh LPS), sisanya tetap menjadi hak nasabah
dan merupakan kewajiban bank atas dasar Perjanjian Penyimpanan, jika bank
tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan, maka bank
telah melakukan tindakan wanprestasi.
Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
a. Tidak malakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.77
Bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi maka ada akibat hukum
baginya, menurut Abdulkadir Muhammad akibat hukum tersebut berupa :
76
77
Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 300.
Subekti, 1995, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa. hlm. 1.
90
a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata);
b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata);
c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal
1237 ayat (2) KUHPerdata);
d. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal
181 ayat (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu
dikalahkan dalam perkara.78
Sedangkan akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi menurut Nindyo
Pramono adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
Membayar kerugian yang diderita kreditur;
Pembatalan perjanjian;
Peralihan resiko;
Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka
hakim.79
Selanjutnya dalam Pasal 1236 KUH Perdata dirumuskan bahwa:
“Si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga
kepada si berpiutang apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan
tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah membawa
dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya,
atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”.
Dari uraian di atas, maka Nasabah Penyimpan dana selaku penggugat
dapat menuntut biaya, rugi dan bunga yaitu simpanan dan bunganya juga biaya
lain termasuk ganti biaya atas biaya berperkara di pengadilan.
78
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm.
20-21.
79
Nindyo Pramono, 2003, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, Cet. 1, hlm. 2.22.
91
Simpanan nasabah yang tidak dijamin dalam hubungan non kontraktual
maksudnya adalah bahwa simpanan nasabah tersebut tidak dij amin berdasarkan
Undang-Undang L PS.
Pasal 16 Undang-Undang L PS yang menentukan:
“LPS wajib membayar klaim penjaminan kepada Nasabah Penyimpan
dari bank yang dicabut izin usahanya”
Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas
tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Dalam hal bank tidak
dapat melanjutkan usahanya dan harus dicabut izin usahanya, lembaga
penjamin simpanan bertanggung jawab membayar simpanan setiap nasabah
bank tersebut sampai jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin,
akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Hal ini disebabkan bank yang
melakukan kegiatan usaha adalah sebagai peserta penjaminan.
Nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank yang
semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS ditetapkan
paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), kemudian
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 tersebut diubah
menjadi paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) wajib membayar klaim penjaminan kepada
Nasabah Penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya.80
Selain apabila nilai simpanan Nasabah Penyimpan melebihi batas
maksimal yang akan dijamin oleh LPS, LPS juga tidak akan membayar klaim
penjaminan kepada Nasabah Penyimpan apabila memenuhi syarat dalam
ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang LPS, yang menetapkan:
“Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak bayar apabila berdasarkan
hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi:
80
Zulfi Diane Zaini, Op. Cit., hlm. 200.
92
a. Data simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank
b. Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak
wajar; dan/atau
c. Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan
bank menjadi tidak sehat”
Berdasarkan hal di atas, maka simpanan nasabah yang tidak dijamin
dalam hubungan non kontraktual berdasarkan Undang-Undang LPS adalah
sebagai berikut:
1. Simpanan nasabah yng melebihi nilai Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah);
2. Simpanan nasabah yang berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi
memenuhi ketentuan Pasal 19 U ndang-U ndang L PS.
Berdasarkan identifikasi simpanan nasabah di atas, muncul pertanyaan
bagaimana hukum memberikan perlindungan terhadap Nasabah Penyimpan
atas simpanan yang tidak dijamin tersebut.
Dari data nomor 2.1 Pasal 37 B Undang-Undang Perbankan mengenai
kewajiban menjamin simpanan dana nasabah, apabila dihubungkan dengan
data nomor 2.2.2 Pasal 8 Undang-Undang LPS mengenai kepesertaan LPS,
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Perbankan mengenai penjaminan simpanan,
Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perbankan mengenai kewajiban bank
menyedikan informasi bagi nasabah dan dihubungkan dengan pendapat
Sulistyandari, maka dapat dideskripsikan bahwa simpanan dana nasabah di
bank harus dijamin melaui LPS sebagai bentuk perlindungan eksplisit terhadap
nasabah atas simpanannya.
93
Adanya simpanan yang tidak dijamin oleh LPS menyebabkan nasabah
yang simpanannya termasuk kategori yang tidak dijamin tersebut akan
menghadapi risiko, yaitu apabila bank tempat mereka menempatkan
simpanannya ditutup.
Menurut Undang-Undang LPS, fungsi LPS selain menjamin simpanan
Nasabah Penyimpan juga turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem
perbankan sesuai dengan kewenangannya, dalam fungsinya turut aktif dalam
memelihara stabilitas sistem perbankan, LPS mempunyai tugas merumuskan
dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas
sistem perbankan; merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan
penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik;
dan melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik (Pasal 5
ayat (2)). LPS juga mempunyai kewenangan mengambil alih dan menjalankan
segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang
RUPS; menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang
diselamatkan; meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah
setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak
ketiga yang merugikan bank; dan menjual dan/atau mengalihkan aset bank
tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur
(Pasal 6 ayat (2)).
Berkaitan dengan Pasal 6 ayat (2) di atas, LPS mempunyai kewenangan
untuk melakukan likuidasi terhadap Bank Gagal yang sudah dicabut izin
94
usahanya. Likuidasi bank tersebut dilakukan dengan cara yang ditentukan
dalam Pasal 53 Undang-Undang LPS, yaitu:
a. pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti
dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil
pencairan dan/atau penagihan tersebut; atau
b. pengalihan aset dan kewajiban bank kepada pihak lain berdasarkan
persetujuan LPS.
Sedangkan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil
pencairan dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
dilakukan dengan urutan yang ditentukan dalam Pasal 54 Undang-Undang
LPS, yaitu sebagai berikut:
a. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;
b. penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai;
c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya
operasional kantor;
d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran
atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS;
e. pajak yang terutang;
f. bagian Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dibayarkan
penjaminannya dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak
dijamin; dan
g. hak dari kreditur lainnya.
Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS mengenai urutan
pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur di atas, dapat disimpulkan
bahwa bagi nasabah yang memiliki simpanan dengan kategori tidak dijamin
oleh LPS, yaitu:
1.
Simpanan nasabah yang melebihi nilai Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah);
2.
Simpanan nasabah yang berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau
verifikasi memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang LPS.
95
Simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh LPS pada angka 1 adalah
urutan huruf f pada Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS, akan mendapatkan
pembayaran dari hasil pencairan aset bank dalam proses likuidasi sesuai
dengan urutannya yaitu urutan ke enam. Sedangkan untuk simpanan yang tidak
dijamin karena memenuhi Pasal 19 Undang-Undang LPS, maka berdasarkan
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang LPS, Nasabah Penyimpan yang merasa
dirugikan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada LPS yang didukung
dengan bukti nyata dan jelas atau melakukan upaya hukum melalui pengadilan.
Mengenai upaya hukum melalui pengadilan dilakukan dengan mengajukan
tuntutan ganti rugi atas dasar Perbuatan Melawan Hukum, hal ini dikarenakan
pihak LPS tidak memenuhi kewajiban yang telah diamanatkan oleh undangundang sehingga nasabah tidak memperoleh jaminan sebagaimana yang
ditentukan dalam Undang-Undang LPS. Dasar gugatannya adalah Pasal 1365
KUH Perdata.
Berdasarkan hal di atas, Nasabah Penyimpan yang simpanannya tidak
dijamin berdasarkan hubungan non kontraktual berdasarkan Undang-Undang
L PS khususnya pada Pasal 19 U ndang-U ndang L PS, dapat mengaj ukan upaya
hukum ke Pengadilan dengan mengajukan gugatan atas dasar Perbuatan
Melawan Hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata dirumuskan bahwa:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
96
Upaya hukum yang ditempuh dengan pengajuan gugatan ke Pengadilan
Negeri. Apabila Nasabah Penyimpan dana yang merasa dirugikan dan
mengajukan gugatan kepada LPS hanya satu orang, tentu bukanlah suatu
masalah. Tetapi bagaimana jika yang mengajukan gugatan tersebut puluhan,
ratusan, hingga ribuan orang. Tentu gugatan tersebut kurang efektif.
Apabila yang mengajukan gugatan/penggugatnya banyak orang,
memiliki kesamaan peristiwa, memiliki dasar hukum dan memiliki kesamaan
tuntutan, sedangkan pihak yang digugat/tergugat hanya satu, alangkah lebih
efisiennya apabila diajukan gugatan perwakilan kelompok. Berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, yang dimaksud dengan gugatan perwakilan kelompok
adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih
yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka
sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak,
yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud. Dengan mengajukan gugatan secara perwakilan
dapat diharapkan beberapa keuntungan, diantaranya :
1. Proses jauh lebih murah. Tidak perlu mengeluarkan beberapa kali biaya
untuk hal yang sama.
2. Putusan Majelis hakim yang saling bertentangan seandainya gugatan
diajukan sendiri-sendiri, dapat dihindari.
3. Pelaku pelanggaran akan semakin berhati-hati dan diharapkan jera karena
apabila melakukan pelanggaran yang sama ia akan berhadapan tidak hanya
satu orang tetapi banyak orang.81
97
Nasabah Penyimpan dana yang memiliki kesamaan peristiwa, memiliki dasar
hukum dan memiliki kesamaan tuntutan dapat bersama-sama mengajukan
gugatan dengan diwakili oleh wakil kelompok, wakil kelompok ini juga harus
menderita kerugian yang sama dengan anggota kelompok. Tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk Nasabah Penyimpan dana untuk mengajukan
gugatannya sendiri terlebih bila tidak terdapat kesamaan peristiwa, tidak
memiliki dasar hukum yang sama dan tidak memiliki kesamaan tuntutan. Dasar
hukum yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan adalah Perbuatan
Melawan Hukum atas hubungan non kontraktual.
Berdasarkan segala uraian mengenai perlindungan hukum terhadap
nasabah atas simpanannya yang tidak dijamin oleh LPS sebagaimana telah
diuraikan di atas, maka simpanan nasabah PT. Bank IFI yang tidak dijamin
oleh LPS dikarenakan nilai simpanannya melebihi batas maksimal penjaminan
yang ditentukan, yaitu Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), yang terdiri
atas 30 rekening dengan total jumlah adalah Rp 191,2 (seratus sembilan puluh
satu miliar koma dua rupiah), seharusnya mendapat perlindungan hukum, yaitu
tetap akan dibayarkan setelah pencairan aset bank yang dilikuidasi yaitu
menjadi tanggung jawab PT. Bank IFI. Jika pemegang saham PT. Bank IFI
tidak melaksanakan tanggung jawab yang menjadi kewajibannya, maka
Nasabah Penyimpan dapat melakukan upaya hukum sebagai berikut:
1. Berdasarkan hubungan kontraktual, Nasabah Penyimpan dapat
mengajukan upaya hukum ke Pengadilan dengan mengajukan gugatan
atas dasar wanprestasi. Hal ini dikarenakan pihak PT. Bank IFI tidak
98
memenuhi prestasi seperti yang telah diperjanjikan sebelumnya, yaitu
melakukan wanprestasi dengan tidak mengembalikan dana simpanan
nasabah beserta bunganya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
Dasar gugatannya adalah Pasal 1236 KUH Perdata.
2. Berdasarkan hubungan non kontraktual, Nasabah Penyimpan PT. Bank
IFI yang merupakan kategori ke 2 yaitu simpanannya melebihi Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), akan mendapatkan pembayaran
dari pencairan aset PT. Bank IFI dalam likuidasi dengan urutan ke enam
dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS.
2. Tanggung Jawab Bank terhadap Nasabah Penyimpan atas Simpanan
yang tidak Terpenuhi Haknya dari Hasil Penjualan Aset Bank dalam Hal
Terjadi Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi Bank
Likuidasi Bank Gagal oleh LPS berkaitan dengan kondisi apabila bank
kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank
tidak dapat dilanjutkan, maka bank tersebut menjadi Bank Gagal yang
berakibat dicabut izin usahanya yang kemudian ditindaklanjuti dengan
likuidasi bank yang bersangkutan. Dalam hal terjadi demikian, LPS sebagai
Lembaga Penjamin Simpanan para nasabah (sebagai akibat menerima premi
dari nasabah) tentu menjamin uang Nasabah Penyimpan, namun tentu sesuai
dengan kriteria syarat-syarat penjaminannya. Kriteria tersebut diantaranya
adalah jumlah maksimal uang deposan per orang nasabahnya, dan bunga
maksimal yang masih berada di ambang penjaminannya. Dalam arti kata,
99
deposito yang diberikan bunga melebihi ketentuan penjaminan LPS tentunya
tidak termasuk yang dijamin pengembaliannya.
Kerugian dan kewajiban bank yang lainnya, yang berada diluar uang
nasabah serta hutang-piutang dari bank yang dilikuidasi itu bukan merupakan
kewajibannya LPS. Kewajiban itu akan dibayarkan dari hasil likuidasi asset
dan kekayaan bank yang dilikuidasi tersebut. Kewajiban ini adalah likuidasi
bank oleh Pemegang Saham. Hal ini berarti tanggung jawab dikembalikan
kepada bank, dan keadaan demikian menimbulkan pertanyaan bagi Penulis
bagaimana tanggung jawab bank yang bersangkutan, mengingat bentuk hukum
bank itu berbeda-beda, oleh karena itu perlu dilakukan pembahasan guna
mendapatkan jawabannya.
Dalam rangka melaksanakan tugas BI yang ketiga yaitu mengatur dan
mengawasi bank sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang BI,
salah satunya adalah mencabut izin usaha bank. Hal ini dapat disimpulkan dari
ketentuan Pasal 33 Undang-Undang BI bahwa dalam hal keadaan suatu bank
menurut penilaian BI membahayakan kelangsungan usaha bank yang
bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan
perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat
melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang undang tentang
‐
Perbankan yang berlaku, dalam hal ini melakukan pencabutan izin usaha bank
yang bersangkutan.
Pencabutan izin usaha merupakan tindakan yang dilakukan oleh BI
dikarenakan bank tersebut tidak dapat mengatasi kesulitannya atau keadaan
100
bank yang bersangkutan membahayakan sistem perbankan nasional. Dikatakan
keadaan bank yang bersangkutan membahayakan kelangsungan usahanya
apabila berdasarkan penilaian BI, kondisi usaha bank semakin memburuk,
antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas,
dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan
prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Pencabutan ijin usaha bank merupakan langkah akhir dari usaha
menyehatkan bank yang terkena kesulitan. Sebelumnya telah ditempuh
langkah-langkah oleh BI agar :
1. Pemegang saham menambah modal;
2. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau Direksi bank;
3. Bank menghapusbukukan kredit yang macet, dan memperhitungkan
kerugian bank dengan modalnya;
4. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
5. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban. (Pasal 37 ayat (1)) Undang-Undang Perbankan.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa apabila bank kehilangan
kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank tidak dapat
dilanjutkan, maka bank tersebut menjadi Bank Gagal. Selanjutnya LPS akan
melakukan penyelesaian, baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak
berdampak sistemik. LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal yang tidak
berdampak sistemik atau yang tidak berdampak sistemik setelah LPP atau
Komite Koordinasi menyerahkan penyelesaiannya kepada LPS (Pasal 21 ayat
101
(2) UU LPS). Komite Koordinasi adalah komite yang beranggotakan Menteri
Keuangan, LPP, Bank Indonesia dan LPS yang memutuskan kebijakan
penyelesaian dan penanganan suatu Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Penyelesaian atau penanganan Bank Gagal dilakukan oleh LPS terdapat
dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) U U L PS yaitu dengan cara sebagai berikut:
a. Penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan
dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan
terhadap Bank Gagal dimaksud.
b. Penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan
melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham
lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.
Ketika tindakan penyelamatan yang dilakukan LPS tidak berhasil, maka
dilakukanlah tindakan likuidasi. Undang-Undang Perbankan dalam Pasal 37
dan 37A maupun penjelasannya tidak memberikan perumusan istilah, definisi,
karakter (ciri-ciri), dan struktur hukum dari “likuidasi”.
Likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban
bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum
bank. Jadi likuidasi bank bukanlah sekedar pencabutan izin usaha dan
pembubaran badan hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses
penyelesaian segala hak dan kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin
usahanya. Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan lagi
dengan proses pembubaran badan hukum bank yang bersangkutan, dan
seterusnya dilakukan proses pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak
dan kewajiban (piutang dan utang) bank sebagai akibat dari pencabutan
izin usaha dan pembubaran badan hukum bank.82
Kemudian dalam perkembangannya, terdapat beberapa istilah yang ada
kaitannya dengan likuidasi, yaitu :
1. Dissolution, ya itu rang ka ia n pros es ya ng terdiri dari proses
pemberhentian badan hukum dan bisnis perusahaan, penjualan aset,
pembagian hasil penjualan aset kepada para pihak yang berhak dan dalam
Eko Purwoningsih, 2005, Pencabutan Izin Usaha Dan Likuidasi PT Bank Asiatic:Kajian Yuridis
Praktis, Jakarta : Sripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 57.
82
proses ini dilakukan juga proses pembubaran. Terdapat 3 (tiga) macam
dissolusi, yaitu :
a. Dissolusi Sukarela (voluntary dissolution), yaitu disolusi yang
dilakukan atas rekomendasi dari salah satu atau lebih organ perseroan
dan diputus oleh RUPS.
b. Dissolusi Administrasi (administrative dissolution), yaitu dissolusi
yang dilakukan atas perintah pemerintah karena perusahaan tidak
memenuhi prosedur hukum tertentu atau karena alasan demi
kepentingan umum. Dissolusi ini dilakukan tidak secara sukarela
sehingga disebut juga involuntary dissolution.
c. Dissolusi judisial (judicial dissolution), merupakan salah satu
involuntary dissolution yang diperintahkan oleh Pengadilan karena
permohonan dari pemegang saham, kreditor atau negara karena
alasan-alasan khusus.
2. Winding up, yaitu suatu proses dimana perusahaan yang sudah
diputuskan untuk dilikuidasi diangkat likuidatornya, asetnya
dikumpulkan dan dibagikan kepada para kreditor, pemegang saham atau
kepada pihak lainnya yang berhak. Istilah ini di beberapa negara
disamakan dengan likuidasi, seperti halnya likuidasi disamakan dengan
dissolusi.
3. Termination, merupakan pengakhiran suatu perusahaan setelah proses
likuidasi selesai. Pengertian ini dapat disamakan dengan pembubaran
menurut hukum Indonesia. 83
Pengertian likuidasi tidak terbatas pada pencabutan izin usaha bank akan
tetapi lebih luas lagi termasuk tindakan pembubaran (outbinding) badan hukum
bank dan penyelesaian atau pemberesan (vereffening) seluruh hak dan
kewajiban bank sebagai akibat dibubarkannya badan hukum bank tersebut atau
dari bank yang dilikuidasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan terakhir dilakukan penyelesaian terhadap seluruh hak dan kewajiban yang
ditimbulkan oleh bank yang dilikuidasi tersebut. Dengan demikian istilah
likuidasi ini mencakup lembaga pembubaran dan pemberesan.
Selanjutnya berikut ini akan diuraikan mengenai tanggung jawab bank
menurut bentuk hukumnya, yang merupakan bentuk analisis lebih lanjut
Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, cet. I, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, hlm. 180.
83
103
mengenai tanggung jawab bank terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan
yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi
pencabutan izin usaha dan likuidasi bank, namun sebelum lebih jauh mebahas
mengenai tanggung jawab bank tersebut, ada baiknya memberi batasan dari
kata tanggung jawab itu sendiri.
Mengenai pengertian tanggung jawab, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) memberi pengertian sebagai keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya. Dalam hal ini, tanggung jawab timbul karena telah diterima
wewenang. Tanggung jawab juga membentuk hubungan tertentu antara
pemberi wewenang dan penerima wewenang. Jadi tanggung jawab dalam
pengertian ini seimbang dengan wewenang.
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah
hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau
tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin
meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial
seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang
menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility
berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan
termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga
kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk
pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan
yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik.84
Menurut W.J.S. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu yang
menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibalas dan
sebagainya. Dengan demikian kalau terjadi sesuatu maka seseorang yang
dibebani tanggung jawab wajib menanggung segala sesuatunya. Dengan
kata lain, tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku
atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
http://sonny-tobelo.blogspot.com/2010/12/teori-pertanggungjawaban.html diakses pada
tanggal 8 Mei 2012.
84
104
Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan
kewajibannya.85
Adapun dalam karya ilmiah ini tanggung jawab dibatasi pada tanggung
jawab dalam konteks liability, yaitu tanggung jawab bank menyangkut
kewajiban secara aktual dalam hubungannya dengan Nasabah Penyimpan
untuk melaksanakan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa hubungan hukum
antara bank dengan Nasabah Penyimpan adalah hubungan kontraktual dan
hubungan non kontraktual. Hubungan kontraktual yaitu didasarkan pada
Perjanjian Penyimpanan antara bank dengan Nasabah Penyimpan. Apabila
ditilik lebih dalam lagi mengenai jenis perjanjian, maka perjanjian ini
merupakan perjanjian tak bernama. Layaknya perjanjian pada umumnya,
Perjanjian Penyimpanan tunduk pada KUHPerdata khususnya Buku III tentang
Perikatan, di mana selain mengatur tentang perjanjian bernama Buku III juga
berlaku bagi perjanjian tak bernama, namun karena tidak diatur secara khusus
dalam KUHPerdata, maka perjanjian itu selain mengikuti peraturan umum (lex
generalis) yaitu Buku III KUHPerdata juga tunduk pada peraturan khususnya
(lex specialis) yaitu Undang-Undang Perbankan.
Ketentuan umum Perikatan dalam Buku III KUHPerdata antara lain
adalah sebagaimana yang dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata mengenai kekuatan mengikatnya perjanjian. Mengikat artinya
masing-masing para pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan
http://deqoer.blogdetik.com/2010/07/08/arti-tanggung-jawab/.html diakses pada tanggal 8
Mei 2012.
85
105
melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan isi perjanjian. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak
semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap
beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta
moral.
Tunduknya Perjanjian Penyimpanan pada ketentuan KUHPerdata
menghendaki pula tunduk pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata,
maka jika terjadi pelanggaran hak Nasabah Penyimpan oleh bank seharusnya
perlindungan hukum diberikan oleh Perjanjian Penyimpanan dana itu sendiri
karena perjanjian adalah undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta
sunt servanda).
Selanjutnya hubungan antara bank dengan Nasabah Penyimpan adalah
hubungan non kontraktual, dalam hubungan ini hak-hak Nasabah Penyimpan
terhadap bank muncul karena adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis,
biasanya hubungan kontraktual ini tercipta pada saat hubungan praktek antara
pihak bank dengan pihak nasabah. Hubungan non kontraktual yang diatur
dalam hukum tertulis yaitu Undang-Undang Perbankan dan peraturan
pelaksananya yaitu hubungan kepercayaan, hubungan kehati-hatian, hubungan
kerahasiaan, hubungan menjamin dana simpanan, hubungan kepedulian
terhadap risiko nasabah, hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah.
Seperti halnya dalam hubungan kontraktual, dalam hubungan non
kontraktual ini juga terdapat pengaturan perlindungan hukum terhadap
Nasabah Penyimpan dana, yaitu:
106
1. Dalam hubungan kepercayaan, perlindungan hukum diatur dalam Pasal 8
Undang-Undang Perbankan tentang pemberian kredit, Pasal 16 UndangUndang Perbankan tentang perizinan dan 29 Undang-Undang Perbankan
tentang pembinaan dan pengawasan perbankan
2. Dalam hubungan kehati-hatian, perlindungan hukum berupa pengenaan
sanksi kepada bank berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang
Perbankan yang berupa teguran tertulis, dan pelanggaran itu dapat
diperhitungkan dengan komponen tingkat kesehatan bank, bahkan bank
dapat diberikan sanksi pencabutan izin usaha, dan dengan adanya ketentuan
Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan maka Direksi dari
bank yang bersangkutan dapat diadukan oleh nasabah sebagai telah
melaksanakan tindak pidana dan dijatuhi sanksi pidana.
3. Dalam hubungan kerahasiaan, perlindungan hukum diatur dalam berupa
pengenaan sanksi kepada bank berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Perbankan.
4. Dalam hubungan menjamin simpanan nasabah, Hubungan ini ditur dalam
Pasal 37 B Undang-Undang Perbankan, bahwa (1) setiap bank wajib
menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan;
(2) untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan; (3)
Lembaga Penjamin Simpann sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berbentuk badan hukum Indonesia
107
5. Dalam hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah, perlindungan
hukum berupa pengenaan sanksi administratif kepada bank berdasarkan
ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Perbankan yang berupa teguran tertulis,
dan pelanggaran itu dapat diperhitungkan dengan komponen tingkat
kesehatan bank, namun jika pelanggaran dilakukan dengan sengaja oleh
anggota Direksi dan pegawai dari bank yang bersangkutan dapat diadukan
oleh nasabah karena telah melakukan tindak pidana dan dijatuhi sanksi
pidana berdasarkan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan
Selanjutnya membahas mengenai tanggung jawab bank terhadap
Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil
penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank,
perlu diuraikan terlebih dahulu bahwa dalam proses Likuidasi suatu bank,
terhadap pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur yang diperoleh dari
hasil pencairan dan/atau penagihan piutang, maka terdapat 3 (tiga)
kemungkinan hasil likuidasi adalah sebagai berikut:
1. Aset Positif (Hak > Kewajiban); Dalam hal ini masih terdapat sisa hasil
likuidasi dan/atau sisa aset setelah pelaksanaan likuidasi selesai.
2. Aset Nol (Hak = Kewajiban); Dalam hal ini tidak terdapat sisa hasil
likuidasi dan/atau sisa aset setelah pelaksanaan likuidasi selesai maupun
tidak lagi terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh bank.
3. Aset Negatif (Hak < Kewajiban); Dalam hal ini seluruh aset bank telah
habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban bank terhadap
pihak lain.
108
Dari 3 (tiga) kemungkinan hasil likuidasi di atas, kemungkinan yang
ketigalah yang menuntut adanya tanggung jawab bank untuk memenuhi hak
pihak lain (dalam hal ini Nasabah Penyimpan) atas simpanannya yang harus
dikembalikan.
Berdasarkan data nomor 2.2.4 Pasal 54 ayat (5) Undang-Undang LPS
dapat diketahui bahwa tanggung jawab bank yang berupa kewajiban
pengembalian simpanan nasabah akibat likuidasi oleh pemegang saham, dalam
hal seluruh aset bank telah habis dalam proses likuidasi namun masih terdapat
kewajiban bank terhadap pihak lain, maka kewajiban tersebut wajib dibayarkan
oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi Bank
Gagal, ini berarti bahwa tanggung jawab itu dikembalikan kepada bank.
Munir Fuady mengemukakan sebagai berikut:
Adanya kewajiban pemegang saham lama untuk membayar kewajiban
terhadap pihak lain ini merupakan suatu bentuk dari pelaksanaan suatu
doktrin piercing the corporate veil yang berasal dari sistem hukum
common law. Doktrin ini diartikan sebagai suatu proses untuk
membebani tanggung jawab ke pundak orang atau PT lain atas perbuatan
hukum yang dilakukan oleh suatu PT (badan hukum), tanpa melihat
kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh PT
yang bersangkutan.86
Pendapat Munir Fuady di atas dikaitkan dengan data 2.2.4, tampak
bahwa pemegang saham lama dapat dimintai pertanggungjawaban bila ia
terbukti sebagai penyebab bank menjadi Bank Gagal. Adapun yang dimaksud
pemegang saham adalah orang-orang, baik perseorangan (Natuurlijke
Persoon), maupun badan hukum (Rechtspersoon), yang menyetorkan sejumlah
109
modal untuk suatu jumlah saham tertentu yang diambil bagian olehnya. Ketika
penyelesaian kewajiban bank terhadap hak-hak Nasabah Penyimpan Dana yang
tidak dapat terpenuhi dalam proses likuidasi, maka pemegang saham bank
wajib mengganti semua kerugian nasabah dengan menyita seluruh asset-aset
pribadi pemegang saham karena kegagalan bank dikarenakan pemegang
saham.
Berkaitan dengan hal bahwa kerugian yang dialami oleh Nasabah
Penyimpan tidak lepas dari kesalahan yang dilakukan oleh bank, ada dua
macam teori mengenai hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian,
yaitu :
1. Teori Conditio Sine Qua Non, Oleh Von Buri, yang mengemukakan
suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan terjadi
jika sebab itu tidak ada.
2. Teori Adequate Veroorzaking, Oleh Von Kries, yang menyatakan
bahwa suatu hal baru dapat dikatakan sebab dari suatu akibat jika
menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu
bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.87
Teori di atas paralel dengan pendapat Zulkarnain Sitompul yang
menyatakan sebagai berikut:
Kegagalan bank tidak terlepas dari Kelemahan internal industri
perbankan terutama juga disebabkan oleh rendahnya kualitas pengelolaan
internal yang tercermin dari konsentasi kredit yang berlebihan pada satu
grup atau individu, serta campur tangan pemilik yang berlebihan dalam
manajemen bank. 88
Dengan demikian, kerugian yang dialami oleh Nasabah Penyimpan
sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh bank maka pihak bank wajib
87
Shofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT.
110
Citra Aditya Bandung, hlm. 26.
88
Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan, Op. Cit. hlm. 21.
Munir Fuady (b), 2002, Doktrin-doktrin dalam Corporate Law dan Eksistensinya di
Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 8
86
mengganti semua kerugian nasabah, namun karena badan hukum bank itu
dibubarkan oleh LPS dalam rangka melakukan likuidasi Bank Gagal
sebagaimana diatur dalam Pasal 43 huruf d Undang-Undang LPS, maka dalam
Pasal 54 ayat (5) Undang-Undang LPS ditentukan bahwa kewajiban bank
terhadap pihak lain yang belum terpenuhi dari hasil penjualan aset bank dan
telah habis dalam proses likuidasi tersebut, wajib dibayarkan oleh pemegang
saham lama yang terbukti menyebabkab bank menjadi Bank Gagal.
Membahas mengenai tanggung jawab pemegang saham lama, maka perlu
memperhatikan bentuk hukum dari bank yang bersangkutan untuk mengetahui
batasan tanggung jawab pemegang sahamnya. Berkaitan dengan hal tersebut,
dalam Undang-Undang Perbankan dikenal beberapa bentuk hukum bank, maka
tanggung jawab pemegang saham lama pun harus memperhatikan bentuk
hukum bank dimaksud, oleh karena itu berikut ini akan diuraikan mengenai
tanggung jawab bank menurut bentuk hukum yang dimungkinkan menurut
Undang-Undang Perbankan yaitu bank dengan bentuk hukum Perseroan
Terbatas (PT), bank dengan bentuk hukum Koperasi, maupun bank dengan
bentuk hukum Perusahaan Daerah.
1. Perseroan Terbatas (PT)
Undang-Undang Perbankan mengatur bahwa salah satu bentuk hukum
Bank Umum ataupun BPR adalah Perseroan Terbatas (Pasal 21 UndangUndang Perbankan). Oleh sebab itu, konstruksi hukum organ Perseroan
Terbatas Perbankan sudah tentu sama dengan yang diatur di dalam Undang-
111
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya
disebut Undang-Undang PT).
Dalam Undang-Undang PT, ada keadaan di mana suatu perusahaan yang
berbadan hukum PT mengalami kepailitan. Undang-Undang Perbankan juga
memungkinkan terjadinya keadaan di mana suatu bank dinyatakan pailit.
Kepailian bagi bank dimungkinkan sebagaimana terdapat dalam Pasal 9
ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
“Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan pada
bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib
dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan”. Akan tetapi, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut tidak memuat
ketentuan lebih lanjut sehingga harus berdasarkan peraturan yang berlaku
umum.89
Dari sinilah muncul adanya kebutuhan pemberesan kewajiban bank yang
berbadan hukum PT menggunakan Undang-Undang PT.
Berdasarkan data nomor 3.3.1.1 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PT,
Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas
perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas
kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki, namun masih ada
kemungkinan pemegang saham harus bertanggung jawab hingga menyangkut
kekayaan pribadinya berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PT, yang
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk
kepentingan pribadi;
89
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 234.
112
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan,
yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk
melunasi utang Perseroan.
Berkaitan dengan data nomor 3.3.1.1 mengenai batas tanggung jawab
pemegang saham di atas, data nomor 3.3.1.2 Pasal 104 ayat (2) UndangUndang PT mengatur bahwa dalam hal kepailitan disebabkan karena kesalahan
atau kelalaian Direksi, maka pelaksanaan segala kewajiban Perseroan menjadi
tanggung jawab Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut,
termasuk kewajiban terhadap para kreditur.
Mengenai pengertian Direksi, Menurut teori Organisme dari Otto von
Gierke sebagaimana yang dikutip oleh Syuiling adalah sebagai berikut:
Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya
manusia mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan
seterusnya dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau
diperintahkan oleh otak manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas
Direksi badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum
sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari badan hukum itu
sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung
mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum.90
Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein langsung mengatakan bahwa
Direksi mewakili badan hukum PT.
Direksi adalah merupakan salah satu organ perseroan terbatas yang
memiliki tugas serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
Nindyo Pramono, 2007, Tanggung Jawab Dan Kewajiban Pengurus PT ( Bank Menurut UU
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin Hukum dan Kebanksentralan,
Volume 5 nomr 3 Tahun 2007, hlm.15.
90
113
untuk kepentingan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar. Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam
paradigma perseroan terbatas. Hal ini karena Direksiyang akan
menjalankan fungsi pengurusan dan perwakilan perseroanterbatas.91
Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum, sehingga
ini merupakan tugas utama Direksi. Adapun hakikat dari perwakilan adalah
bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain
atas tanggung jawab orang itu.
Di samping tugas utama Direksi tersebut, Rudhi Prasetya menyatakan
bahwa termasuk sebagai tugas Direksi dalam perbuatan dan kejadian sehari-hari
tersebut, menurut anggaran dasar:
1. menandatangani saham-saham yang dikeluarkan, bersama-sama
komisaris;
2. menyusun laporan neraca untung rugi perseroan pada akhir tahun, sebagai
pertanggungjawaban Direksi, dengan menyampaikannya dan meminta
untuk disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Sahara (RUPS);
3. melakukan pemanggilan RUPS dan memimpin RUPS (khusus untuk
PT terbuka RUPS dipimpin oleh komisaris).92
Tugas dan wewenang Direksi tersebut di atas penting untuk diketahui
sebelum menganalisis mengenai tanggung jawab Direksi.
Rudhi Prasetya menyatakan bahwa :
Jika berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka dapat dilihat dari segi
hubungan ekstern dan segi hubungan intern. Tanggung jawab ekstern
adalah tanggung jawab sebagai dampak dalam hubungan dengan pihak
luar. Sedangkan tanggung jawab intern adalah dampak dari hubungan si
pengurus sebagai organ terhadap organ lainnya, yaitu institusi komisaris
dan/atau rapat umum pemegang saham . Sedangkan jika dilihat dari
91
M.Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi
pertama, cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 225.
92
Ibid, hlm. 227.
93 Ibid.
115
substansinya, maka tanggung jawab Direksi perseroan terbatas dibedakan
setidak-tidaknya menjadi empat kategori, yakni:
1. tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty toskill
and care;
2. tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam
(indoor manajement rule);
3. tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra vires; dan
4. tanggung jawab berdasarkan prinsip piercieng the corporate veil.93
1. Tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty to skill and care:
yang dimaksud dengan tugas fiduciary duties dari seorang Direksi dalam hal
ini adalah tugas yang terbit secara hukum (by the operation of law) dari
suatu hubungan fidusia antara Direksi dan perusahaan yang dipimpinnya,
sehingga seorang Direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan
(duty of skill and care). Oleh karena kedudukannya sebagai fidusia maka
tanggung jawab Direksi menjadi sangat tinggi (high degree).
2. Tanggung jawab berdasarkan dokt rin manaj em en ke dal am
(indoor manajement rule ): Doktrin manajemen ke dalam merupakan
doktrin kontemporer yang mengajarkan bahwa jika pihak yang menjalankan
tugas-tugas perusahaan dalam menjalankan tugas-tugasnya konsisten
dengan isi anggaran dasar perseroan, maka pihak perusahaan terikat dengan
pihak ketiga atas segala tindakan yang telah dilakukan oleh perusahaan
tersebut.
3. Tanggung jawab berdasarkan prinsip ultra vires: Yang dimaksud dengan
rinsip ultra vires adalah pelampaun kewenangan perusahaan. Konsekuensi
dari pelanngaran ini akan menyebabkan perbuatan tersebut menjadi tidak
116
sah dan batal demi hukum, dan jika ada pihak yang merasa dirugikan, maka
pihak Direksilah yang mesti bertanggung jawan secara pribadi.
4. Tanggung jawab Direksi berdasarkan prinsip piercieng the corporate veil:
Dalam ilmu hukum, prinsip penyingkapan tirai perusahaan (piercing the
corporate veil) diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung
jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas tindakan hukum yang
dilakukan oleh perusahaan pelaku, tanpa mempertimbangkan bahwa
sebenarnya perbuatan tersebut dilakukan oleh/atas nama perseroan pelaku.
Dari data nomor 3.3.1.1 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang PT
mengenai batas tanggung jawab pemegang saham, dikaitkan dengan data
nomor 3.3.1.2 2 Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang PT mengenai tanggung
jawab Direksi, dan dihubungkan dengan pendapat Rudhi Prasetya dapat
disimpulkan bahwa apabila bank berbentuk atau berbadan hukum PT, maka
tanggung jawab terletak pada pemegang saham yaitu sebesar saham yang
dimilikinya (kecuali jika pemegang saham memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat
(2) Undang-Undang PT, maka tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab
pribadi untuk keseluruhan) atau jika bank yang bersangkutan dicabut izin
usahanya karena kesalahan atau kelalaian Direksi, maka pelaksanaan segala
kewajiban Perseroan menjadi tanggung jawab Direksi yang melakukan
kesalahan atau kelalaian tersebut.
2. Koperasi
Bentuk hukum Bank Umum ataupun BPR dalam yang dimungkinkan
menurut Pasal 21 Undang-Undang Perbankan setelah Perseroan Terbatas
116
adalah Koperasi, maka konstruksi hukum organ Koperasi Perbankan sudah
tentu sama dengan konstruksi hukum organ Koperasi secara umum.
Pengaturan mengenai badan hukum koperasi di Indonesia terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya
disebut Undang-Undang Perkoperasian). Koperasi dapat dibedakan dari badan
usaha lainnya, karena adanya:
1. Sifat kesukarelaan dalam keanggotaan koperasi.
Sifat ini mengandung arti bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh
dipaksakan siapapun, sifat kesuka relaan ini juga mengandung arti
bahwa seorang anggota dapat mengundurkan diri dari koperasi sesuai
dengan syarat yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Koperasi.
2. Adanya prinsip demokrasi.
Prinsip ini menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakukan atas
kehendak dan keputusan para anggotanya.
3. Pembagian sisa hasil usaha berdasar atas prinsip keadilan dan asas
kekeluargaan.
Sisa hasil usaha koperasi tidak dibagi semata-mata atas dasar modal
yang dimiliki anggota dalam koperasi, tetapi juga atas dasar
perimbangan jasa usaha mereka terhadap koperasi.
4. Koperasi bukan merupakan akumulasi modal.
Meskipun koperasi bukan merupakan suatu akumulasi modal, tetapi
koperasi memerlukan modal pula untuk menjalankan kegiata
usahanya.
5. Prinsip Kemandirian dari koperasi.
Ini mengandung arti bahwa koperasi harus dapat berdiri sendiri, tanpa
bergantung kepada pihak lain yang dilandasi oleh kepercayaan kepada
pertimbangan, keputusan, kemampuan dan usaha sendiri.
6. Selain lima prinsip tersebut, dalam pengembangan dirinya koperasi
juga melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan perkoperasian dan
bekerja sama dengan antar koperasi.94
Koperasi yang merupakan badan hukum dimana dalam pengelolaan
kegiatan sehari-harinya dilaksanakan oleh pengurus, maka dalam hal
pertanggungjawaban kepada rapat anggota maupun kepada anggotanya sendiri
1
17
tentunya bergantung kepada perbuaan yang dilakukan oleh pengurus koperasi
tersebut, sebab dalam mengelola koperasi kepada para pengurus ini diberikan
beberapa kewenangan, tugas dan kewajiban sebagaimana yang ditentukan
dalam anggaran koperasi yang bersangkutan.
Mengenai tanggung jawab koperasi terhadap para krediturnya hanya
terbatas pada harta kekayaan koperasi itu sendiri. Dalam hal kekayaan koperasi
tidak cukup untuk menutupi semua tuntutan yang diajukan oleh para kreditur,
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Perkoperasian yang
menentukan bahwa anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna
jasa Koperasi, maka para anggota koperasi diminta secara perorangan untuk
bertanggung jawab bagi hutang-hutang koperasi jika terjadi pembubaran.
Tanggung jawab para anggota bagi hutang-hutang koperasi hanya dapat
berlaku berdasarkan dua syarat, yaitu:
1. Dalam hal pemburan koperasi
2. Dalam hal harta kekayaan koperasi tidak cukup untuk menutupi
semua tuntutan yangdiajukan oleh para kreditur.
Mengenai pembubaran bentuk hukum Koperasi, Pasal 46 UndangUndang Perkoperasian mengaturnya yang menyatakan bahwa pembubaran
Koperasi dapat dilakukan berdasarkan:
a. keputusan Rapat Anggota, atau
b. keputusan Pemerintah
118
Selanjutnya keputusan pembubaran koperasi disampaikan oleh pengurus,
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Firdaus dan Agus Edhi
Susanto sebagai berikut:
Sebagai perangkat organisasi yang memegang kedaulatan tertinggi dalam
koperasi, maka melalui pengurus koperasi memberitahukan secara
tertulis keputusan pembubaran koperasi tersebut kepada semua kreditur
dan pemerintah dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal keputusan
rapat anggota pembubaran.95
Sebagai perangkat organisasi yang diberikan wewenang untuk
melakukan tindakan dan upaya hukum untuk dan atas nama koperasi yang
bersangkutan, pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan
pengelolaan koperasi dan usahanya kepada rapat anggota dan rapat anggota
luar biasa.
Selanjutnya masalah penyelesaian setelah dikeluarkannya keputusan
pembubaran koperasi, maka segera dilakukan penyelesaian. Penyelesaian
diatur dalam Pasal 51 Undang-undang Perkoperasian, yakni:
Untuk kepentingan kreditur dan para anggota koperasi terhadap
pembubaran koperasi dilakukan penyelesaian pembubaran yang
selanjutnya disebut penyelesaian.
Dari data nomor 3.3.2 Pasal 34 Undang-undang Perkoperasian mengenai
tanggung jawab pengurus menanggung kerugian yang diderita koperasi karena
tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya, dihubungkan
dengan pendapat Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto
mengemukakan bahwa pengurus koperasi adalah perangkat organisasi yang
memegang kedaulatan tertinggi dalam koperasi, maka dapat dideskripsikan
bahwa tanggung jawab bank yang berbadan hukum Koperasi adalah tanggung
jawab setiap anggota Koperasi atau jika kerugian disebabkan karena kesalahan
pengururs, maka pengurus tersebut yang harus bertanggung jawab.
3. Perusahaan Daerah
Sampai saat ini pengaturan mengenai Perusahaan Daerah masih
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang merupakan produk Orde
Lama yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
(yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perusahaan Daerah). Pada dasarnya
tujuan dari pengaturan Perusahaan Daerah dalam suatu Undang-Undang adalah
untuk melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945 (yang belum diamandemen)
dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah swatantra yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Mengenai Perusahaan Daerah sebagai salah satu bentuk hukum
Perusahaan yang diizinkan untuk berusaha di bidang perbankan, semula
ketentuannya mengacu pada kewenangan daerah berdasarkan Undang-Undang
No 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan
Daerah, di mana Peraturan Daerah (Perda) yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memberikan wewenang pada Pemerintah
Daerah (Pemda) untuk mendirikan Perusahaan Daerah yang berusaha di bidang
perbankan. Ketentuan ini sekarang memperoleh nuansa yang baru, yakni
dengan berlakunya Otonomi Daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
120
Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan. Dalam hal ini, pendirian bank daerah baik milik Pemda maupun
Swasta Daerah sangat bermanfaat bagi daerah, karena selain memperlancar
aktivitas keuangan daerah juga untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
Definisi Perusahaan Daerah ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Perusahaan Daerah, yaitu :
”Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan Perusahaan
Daerah ialah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undangundang ini yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian
merupakan kekayaan Daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan
lain dengan atau berdasarkan Undang-undang.”
Sebagai salah satu bentuk hukum, Perusahaan Daerah memiliki modal,
yang sebagian atau seluruh permodalan Perusahaan Daerah berasal dari
kekayaan daerah yang dipisahkan dan seperti halnya PT, modal PD terdiri dari
saham-saham. Dalam UU PD, diatur bahwa saham-saham tersebut digolongkan
dalam 2 jenis, yaitu saham prioriteit yang hanya dapat dimiliki oleh daerah,
dan saham biasa yang dapat dimiliki oleh daerah, warganegara, dan/atau badan
hukum Indonesia.
Organ Perusahaan daerah meliputi :
a. RUPS;
b. Direksi; dan
c. Badan Pengawas.
Pada sutau Perusahaan Daerah fungsi Rapat Pemegang Saham tidak
selalu sebagai pengambil keputusan akhir dalam perjalanan roda perusahaan,
121
hal ini dibatasi bahwa keputusan Rapat Pemegang Saham harus diambil dengan
permufakatan seluruh pemegang saham, manakala tidak tercapai permufakatan
atas suatu hal yang akan diputuskan maka Kepala Daerah memiliki
kewenangan untuk memutus masalah tersebut dengan tetap memperhatikan
pendapat pendapat yang berkembang dalam RUPS, hal mana diatur didalam
Bab VI tentang Rapat Pemegang Saham pada Pasal 18 Undang-undang Nomor
5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang menyatakan :
1) Tata-tertib rapat pemegang saham/saham prioritet dan rapat umum
pemegang saham (prioritet dan biasa) diatur dalam peraturan
pendirian Perusahaan Daerah.
2) Keputusan dalam rapat pemegang saham/saham prioriteit dan rapat
umum pemegang saham (prioritet dan biasa) diambil dengan kata
mufakatan.
3) Jika kata mufakat termaksud pada Ayat (2) tidak tercapai maka pendapatpendapat yang dikemukakan dalam musyawarah disampaikan kepada
Kepala Daerah dari Daerah yang mendirikan Perusahaan Daerah.
4) Kepala Daerah termaksud pada Ayat (3) mengambil keputusan dengan
memperhatikan pendapat-pendapat termaksud.
Pengurusan Perusahaan Daerah dilakukan oleh suatu Direksi, jumlah
anggota serta susunan Direksi diatur didalam peraturan daerah yang merupakan
peraturan pendiriannya, pengangkatan anggota Direksi pada Perusahaan
Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah setelah mendengar pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah yang mendirikan Perusahaan Daerah,
mengenai pengangkatan anggota Direksi terdapat dua mekanisme, Kepala
Daerah memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan anggota
Direksi jika modal badan usaha tersebut seluruhnya berasal dari kekayaan
daerah yang dipisahkan. Pengangkatan anggota Direksi Perusahaan Daerah
1
22
dilakukan dari usulan pemegang saham prioritas, bagi badan usaha yang
modalnya sebahagian dari kekayaan daerah yang dipisahkan.
Undang-undang Perusahaan Daerah juga mengatur tentang pengawasan
Perusahaan Daerah, Pasal 19 menyatakan bahwa Direksi dalam menjalankan
pengurusannya terhadap perusahaan berada di bawah pengawasan Kepala
Daerah bagi Perusahaan daerah yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemda.
Fungsi pengawasan dilaksanakan oleh Pemegang Saham atau Pemegang
Saham Prioritas mana kala saham-saham perusahaan tersebut dimiliki oleh
lebih dari satu pegang saham. Pengawasan juga dapat dilakukan oleh badan
yang dibentuk atau ditunjuk dengan diberikan mandat untuk melakukan
pengawasan oleh Kepala Daerah atau Pemegang Saham.
Biasanya tugas pengawasan yang diserahkan kepada suatu Dewan/Badan
terhadap suatu perusahaan yang besarnya ditunjuk satu badan, yang
menjalankan pengawasan umum terhadap perusahaan sedang untuk
perusahaan-perusahaan yang kecil ditunjuk hanya satu badan untuk melakukan
pengawasan.
Selanjutnya hal penting yang perlu diperhatikan dalam mencermati
ketentuan Undang-Undang Perusahaan Daerah adalah bahwa Kepala Daerah
sebagai pemegang saham prioriteit. Hal ini dapatdilihat dalam Pasal 8 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Peruahaan Daerah.
1) Saham-saham Perusahaan Daerah terdiri atas saham-saham prioritet
dan sahamsaham biasa.
2) Saham-saham prioritet hanya dapat dimiliki oleh Daerah
.
123
Kaitannya dengan tanggung jawab pemegang saham, terdapat teori
piercing the corporate veil yang mengatakan bahwa adakalanya pemegang
saham bertanggung jawab tidak sebatas saham yang dimilikinya, hal ini sejalan
dengan pendapat Widjaja Gunawan, yaitu:
Teori piercing the corporateveil berarti hukum tidak memberlakukan
prinsip terpisahnya tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum
dari tanggung jawab dan kekayaan pemegang saham. Sungguh pun
secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu
perseroan terbatas untuk menjadi badan hukum telah sempurna
dilakukan, cadar yang membatasi badan hukum dengan pemegang saham
dapat dikoyak, jadi kemungkinan berdasarkan teori ini pemegang saham
dalam hal-hal tertentu ikut bertanggung jawab sampai kepada harta
pribadinya atas tidakan yang dilakukan oleh dan atas nama perseroan.
Hapusnya pertanggung jawaban akibat terjadinya piercing the
corporateveil adalah perlakuan oleh pemegang saham bahwa harta
perseroan adalah harta kekayaan pribadi, sehingga yang bersangkutan
mempergunakan harta perseroan untuk kepentingan pribadi.96
Dalam kaitanya dengan teori piercing the corporate veil, Kepala Daerah
sebagai pemegang saham prioriteit dapat dimintai pertanggung jawaban
manakala melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian pada Perusahaan
Daerah. Ketika Perusahaan Daerah tersebut berbentuk Perseroan Terbatas,
berbeda dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah yang tidak mengatur hal yang demikian itu, sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Selanjutnya mengenai tanggung jawab pegawai terdapat dalam data
nomor 3.3.3 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Perusahaan Daerah yang
menentukan:
1
24
“Semua pegawai Perusahaan Daerah, termasuk anggota Direksi dalam
kedudukan selaku demikian, yang tidak dibebani tugas penyimpanan
uang, surat-surat berharga dan barang-barang persediaan, yang karena
tindakan melawan hukum atau karena melalaikan kewajiban dan tugas
yang dibebankan kepada mereka dengan langsung atau tidak langsung
telah menimbulkan kerugian bagi Perusahaan Daerah, diwajibkan
mengganti kerugian tersebut.”
Dari data nomor 3.3.3 di atas, dikaitkan dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Perusahaan Daerah, serta dihubungkan dengan pendapat
Widjaja Gunawan, dapat dideskripsikan bahwa tanggung jawab Perusahaan
daerah merupakan tanggung jawab Kepala Daerah sebagai pemegang saham
prioriteit, apabila kerugian Perusahaan Daerah karena akibat kesalahan
pegawai, maka pegawai itulah yang bertanggung jawab.
Bank IFI yang berbadan hukum PT, maka dalam hal seluruh aset telah
habis dalam likuidasi sedangkan masih terdapat kewajiban terhadap Nasabah
Penyimpan, maka tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban tersebut terletak
pada para pemegang saham PT. Bank IFI sebatas pada saham yang
ditanamnya, namun jika Bank Gagal terjadi karena kesalahan atau kelalaian
Direksi PT. Bank IFI, maka Direksi PT. Bank IFI bertanggung jawab atas
seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
Bardasarkan segala uraian mengenai tanggung jawab bank terhadap
Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil
penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin uaha dan likuidasi bank,
maka tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban tersebut menjadi tanggung
jawab pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi Bank
1
25
Gagal, tentunya dengan memperhatikan bentuk hukum bank yang
bersangkutan.
a. Apabila bank berbentuk atau berbadan hukum PT, maka tanggung jawab
terletak pada pemegang saham yaitu sebesar saham yang dimilikinya
(kecuali jika pemegang saham memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang PT, maka tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab
pribadi untuk keseluruhan) atau jika bank yang bersangkutan dicabut izin
usahanya karena kesalahan atau kelalaian Direksi, maka pelaksanaan segala
kewajiban Perseroan menjadi tanggung jawab Direksi yang melakukan
kesalahan atau kelalaian tersebut.
b. Apabila bank berbadan hukum Koperasi, tanggung jawab terletak pada
setiap anggota Koperasi atau jika kerugian disebabkan karena kesalahan
pengururs, maka pengurus tersebut yang harus bertanggung jawab.
c. Apabila bank berbadan hukum Perusahaan Daerah, berdasarkan merupakan
tanggung jawab Kepala Daerah sebagai pemegang saham prioriteit, apabila
kerugian Perusahaan Daerah karena akibat kesalahan pegawai, maka
pegawai itulah yang bertanggung jawab.
1
26
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanannya yang
tidak dijamin oleh LPS dapat dibagi menurut hubungan hukum bank dengan
Nasabah Penyimpan.
a. Berdasarkan hubungan kontraktual, perlindungan hukumnya diatur dalam
Pasal 1236 KUH Perdata, yaitu simpanan yang tidak dijamin tetap menjadi
hak nasabah dan merupakan kewajiban bank atas dasar Perjanjian
Penyimpanan, jika bank tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang
diperjanjikan, maka bank telah melakukan tindakan Wanprestasi, sehingga
Nasabah Penyimpan dapat menuntut bank berdasarkan ketentuan tersebut.
b. Berdasarkan hubungan non kontraktual, perlindungan hukumnya adalah :
1. Simpanan nasabah yang melebihi nilai Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah); perlindungan hukumnya diatur dalam Pasal 54 ayat (1)
huruf g Undang-Undang LPS, yaitu akan mendapatkan pembayaran
dari hasil pencairan aset bank dalam proses likuidasi dengan urutan ke
enam;
2. Simpanan nasabah yang memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang
LPS, perlindungan hukumya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang
LPS, yaitu dapat mengajukan keberatan kepada LPS atau melakukan
1
27
upaya hukum melalui pengadilan atas dasar Perbuatan Melawan
Hukum.
2. Tanggung jawab bank terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak
terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan
izin usaha dan likuidasi bank, berdasarkan Pasal 54 ayat (5) Undang-Undang
LPS merupakan tanggung jawab pemegang saham lama yang terbukti
menyebabkan bank menjadi Bank Gagal, dengan memperhatikan bentuk
hukum bank yang bersangkutan.
a. Apabila bank berbentuk atau berbadan hukum PT, berdasarkan Pasal 3 ayat
(1) Undang-Undang PT maka tanggung jawab terletak pada pemegang
saham yaitu sebesar saham yang dimilikinya (kecuali jika pemegang saham
memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PT, maka tanggung
jawabnya menjadi tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan) atau jika
bank yang bersangkutan dicabut izin usahanya karena kesalahan atau
kelalaian Direksi, berdasarkan Pasal 104 Undang-Undang PT maka
pelaksanaan segala kewajiban Perseroan menjadi tanggung jawab Direksi
yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut.
b. Apabila bank berbadan hukum Koperasi, berdasarkan Pasal 34 Undangundang Perkoperasian tanggung jawab terletak pada setiap anggota Koperasi
atau jika kerugian disebabkan karena kesalahan pengururs, maka pengurus
tersebut yang harus bertanggung jawab.
c. Apabila bank berbadan hukum Perusahaan Daerah, berdasarkan Pasal 8
ayat (1) dan (2) jo. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Perusahaan Daerah
1
28
tanggung jawab Perusahaan daerah merupakan tanggung jawab Kepala
Daerah sebagai pemegang saham prioriteit, apabila kerugian Perusahaan
Daerah karena akibat kesalahan pegawai, maka pegawai itulah yang
bertanggung jawab.
B. Saran
1. Upaya hukum bagi Nasabah Penyimpan atas simpanannya yang tidak
dijamin oleh LPS masih kurang melindungi hak-haknya dikarenakan harus
melalui proses yang tidak banyak diketahui oleh masyrakat, maka
seharusnya pemerintah segera membuat peraturan mengenai tata cara
tentang likuidasi atas keinginan pemegang saham dan juga tata cara
mengenai upaya hukum atau pengajuan gugatan bagi Nasabah Penyimpan
dana yang dana simpanannya belum kembali setelah bank dilikuidasi dan
aset bank telah habis;
2. Bagi pihak bank, diharapkan untuk selalu mengumumkan keadaan atau
kesehatan masing-masing bank, baik melalui media massa atau melalui
website. Hal ini dimaksudkan agar para nasabah bank mengetahui risiko
terhadap dana simpanannya, serta hendaknya pula pihak bank memberikan
perlakukan yang sama terhadap Nasabah Penyimpan dana baik yang kecil
maupun yang besar, sehingga tidak ada nasabah yang tidak mendapatkan
pengembalian simpanannya dengan alasan aset telah habis sedangkan
pemegang saham tidak dapat diharapkan.
DAFTAR PUS TAKA
LITERATUR
Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir, 1999, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Cet. I, Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir, 2003, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan UU Th 1998)
Buku kesatu , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Harahap, Krisna, 2007, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrase &
Alternatif serta Mediasi, Cet. 5, Bandung: PT. Grafitri Budi Utami.
Hasibuan, Malayu S. P., 2001, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Bumi Aksara.
Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana.
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan MetodologiPenelitian Hukum Normatif, Jawa
Timur: Bayumedia Publishing.
Martono, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia.
Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.
Muhammad, Abdul Kadir & Rilda Murniati, 2004, Segi Hukum Lembaga
Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Pramono, Nindyo, 2003, Hukum Komersil, Cet. 1, Jakarta: Pusat Penerbitan UT.
Sembiring, Sentosa, 2000, Hukum Perbankan, Bandung: CV. Mandar Maju.
Simorangkir, O. P., 2000, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sitompul, Zulkarnain, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
, 2005, Problematika Perbankan, Bandung: Books Terrace
& Library.
Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers.
Subekti, 1995, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa.
Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah
Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Sidoarjo: Laros.
Sutedi, Adrian, 2007, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika.
___________ , 2010, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, Jakarta: Sinar
Grafika.
Suyatno, Thomas, 1997, Kelembagaan Perbankan, Bandung: Gramedia.
Tarliman, Daniel Djoko, 1983 Lembaga Penjamin Simpanan dalam
311y1DfDIDX/DCACk DIDl d Q32CefID' , Ringkasan Disertasi yang tidak
diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.
,
“
Widjanarto, 2003, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti.
Zaini, Zulfi Diane, 2012, Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank
Bermasalah, Bandung: CV. Keni Media.
HARIAN/ MAKALAHK/KARYA ILMIAH
Brahmandita, 2004, Penjamin Simpanan dan Fasilitas Likuiditas (Bersama
Menopang Simpul Terlemah), Media Indonesia, 16 Februari 2004.
Hasan, Djuhaendah , Tanpa Tahun, Asas-Asas dan Norma Hukum dalam Sistem
Hukum Indonesia, Makalah, Bandung.
Purwoningsih, Eko, 2005, Pencabutan Izin Usaha Dan Likuidasi PT Bank
Asiatic:Kajian Yuridis Praktis, Jakarta : Sripsi pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Soepraptomo, Heru, 1997, Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan,
Newsletter No. 28/VII/Maret/1997, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1998 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan
Perbankan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan
yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan
WEBSITE
Hasibah,
Hukum
Perbankan,
5
November
2010,
tersedia:
http://hasibah.wordpress.com/2010/11/05/hukum-perbankan/html diakses
tanggal 17 Mei 2012.
Manyawa, Sonny Tobelo, Tanggung Jawab, tersedia : http://sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teori-pertanggungjawaban.html diakses pada
tanggal 8 Mei 2012.
Pranoto, Suryo, 2009, Analisis dan Krisis Global terhadap Perbankan Syariah,
Tersedia : http://Suryodsign.wordpress.com , 25 September 2011.
Purwanto, Adi, Arti Tanggung Jawab, Selasa, 8 Juli 2010, tersedia:
http://deqoer.blogdetik.com/2010/07/08/arti-tanggung-jawab/.html diakses
pada tanggal 8 Mei 2012.
Sulistyandari, Aspek Hukum Pembobolan Uang Nasabah Bank (Bagian II), Senin,
11 April 2011, tersedia: http://gagasanhukum.wordpress.com diakses
tanggal 24 Mei 2012.
Download