10 TINJAUAN PUSTAKA Kota What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran orang-orang yang berdomisili di dalamnya. Bagaimana orang-orang yang tinggal didalamnya, maka itulah sebenarnya wajah kota. Kota adalah kumpulan orangorang yang berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota tidak akan nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi lingkungannya. Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana masyarakatnya memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi dengan membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilainilai yang dianut masyarakatnya (Budiharjo, 1997) . Fungsi kota sebagai pusat pelaya nan (service center) membawa konsekuensi areal kota akan dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan komersial dan sosial, selain kawasan perumahan dan permukiman. Pembangunan ruang kota bertujuan untuk: (1) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat berusaha dan tempa t tinggal, baik dalam kualitas maupun kuantitas; (2) Memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera. (Budiharjo, 1997). Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk lebih meningkatkan produktif itas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik dari segi prasarana dan sarana maupun dari lapangan pekerjaan. 11 Penataan Ruang Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terjadi inefisiensi dalam pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang serta dapat mendorong kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Seiring dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, baik ditingkat pus at maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan (Sastrowihardjo et al., 2001). Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertum buhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah. Hal ini dipandang strategis mengingat bahwa kondisi aktual pemanfaatan ruang di suatu wilayah pada dasarnya merupakan gambaran hasil akhir dari interaksi antara aktivitas kehidupan manusia dengan alam lingkungannya, baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Jika tidak direncanakan, maka sejalan dengan pertumbuhan pembangunan, laju pertumbuhan penduduk, serta aktivitas masyarakat yang semakin dinamis, pemanfaatan sumberdaya akan cenderung mengikuti suatu mekanisme yang secara alamiah akan mengejar maksimalisasi ekonomi, namun eksploitatif dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Mekanisme tersebut menciptakan iklim kompetisi yang pada akhirnya akan menggeser aktivitas yang intensitas pemanfaatan ruangnya lebih rendah dengan aktivitas lain yang lebih produktif. Meskipun mekanisme alamiah tersebut dapat saja menciptakan efisiensi secara ekonomi, namun belum tentu sejalan dengan 12 pencapaian tujuan dari pembangunan. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan masalah polarisasi kemampuan yang berkembang di masyarakat dalam menikmati pemerataan manfaat pembangunan (Sastrowihardjo e t al., 2001). Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang dide finisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Lebih lanjut pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentuka n berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Dengan demikian penyusunan RTRW harus memperhatikan aspek administratif dan kawasan fungsional. Kawasan terbagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung meliputi hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan kawasan sekitar waduk/danau, sungai, sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana. Kawasan budidaya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan. Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota (kecuali kawasan tertentu), koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh gubernur. Selanjutnya bagian dari masing-masing kawasan dipadukan dan menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Selain berdasarkan kawasan fungsional, sesuai dengan amanat Pasal 19, 20 dan 21, maka penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota mengacu pada rencana tata ruang 13 yang lebih tinggi, dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Provinsi (UU 24 Tahun 1992). Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang. Adapun yang dimaksud struktur pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierarkis dan saling berhubungan satu dengan lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, air, udara dan sumberdaya alam lainnya. Rencana tata ruang merupakan produk kebijakan koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, sehingga penyusunannya harus bertolak pada data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku (Sastrowihardjo e t al., 2001). RTRW kabupaten/kota menurut UU 24 Tahun 1992 merupakan pedoman yang digunakan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar sektor secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, serta menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Penatagunaan tanah merupakan bagian dari penataan ruang yang meliputi pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan mengacu pada RTRW, maka langkah-langkah dalam penatagunaan tanah meliputi kegiatankegiatan penyerasian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan RTRW yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Sastrowihardjo et al., 2001). Oleh karena itu, kebijakan yang harus dirumuskan adalah bagaimana 14 mewujudkan penggunaan tanah yang pada saat ini tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi sesuai dan serasi dengan rencana tata ruang. Terkait dengan perencanaan, penyusunan RTRW diharapkan dapat mengakomodasikan perencanaan. berbagai RTRW perubahan kabupaten/kota dan perkembangan disusun berdasarkan di wilayah perkiraan kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya. Tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Sasaran dari perencanaan tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang RTRW Provinsi Lampung) adalah: a. Terkendalinya pembangunan di wilayah, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat; b. Terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan budidaya; c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di wilayah; d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah; e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan. Fungsi dari rencana tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang RTRW Provinsi Lampung) adalah: § Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah; § Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di daerah; § Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah dan antar kawasan serta keserasian antar sektor ; § Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta; § Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan; § Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang dan pemberian izin lokasi. Gambar 5 menunjukkan bahwa RTRW kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan RTRW provinsi. Selanjutnya RTRW kabupaten/kota dan Rencana 15 Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) kabupaten/kota menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kabupaten/kota. Selain itu RTRW kabupaten/kota perlu dirinci dalam rencana yag lebih detail, yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Teknik Ruang (RTR). RPJP NASIONAL RPJP PROVINSI RPJP KAB/KOT RTRW NASIONAL RTRW KWS TERTENTU NASIONAL RTRW PROVINSI RTRW KWS TERTENTU PROVINSI RTRW KAB/KOTA RTRW KWS TERTENTU KAB/KOTA RDTR KAWASAN RPJM PROVINSI RPJM KAB/KOTA RENCANA TEKNIK RUANG (RTR) Keterangan: = Produk yang saat ini belum tersedia, tetapi dimungkinkan tersedia Sumber: RTRW Provinsi Lampung tahun 2000 Gambar 5 RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang 16 merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang ke dalam bentuk programprogram pemanfaatan ruang oleh sektor-sektor pembangunan yang secara teknis didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Dari usaha pemanfaatan ruang ini diharapkan dapat tercapai keseimbangan lingkungan serta mencerminkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Tujuan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam didalamnya secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup (PP 47 Tahun 1997). Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui penyiapan program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama, sesuai dengan rencana tata ruang ya ng telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan pengawasan dan penertiba n pemanfaatan ruang. Untuk menjamin penataan ruang dapat terlaksana dan mampu mengakomodasi kepentingan stakeholder, diperlukan peranserta aktif masyarakat dalam penataan ruang, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan amanat UU 24 Tahun 1992 dan ditindaklanjuti dengan PP 69 Tahun 1996 serta diperjelas dengan Permendagri No 9 Tahun 1998 tentang Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Perencanaan partisipatif dalam penataan ruang merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang sistematis dengan menggunakan berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perencanaan tata ruang serta keseluruhan proses manajemen dalam suatu siklus manajemen. 17 Menurut PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN, kawasan andalan didefinisikan sebagai bagian dari kawasan budidaya yang diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya. P usat Kegiatan Nasional (PKN) didefinisikan sebagai kota yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional, pusat ekonomi perkotaan (jasa & industri) nasional dan simpul transportasi yang melayani nasional dan atau beberapa provinsi. Pusat Kegiatan Wilayah/Regional (PKW/PKR) adalah kota sebagai pusat aktivitas ekonomi perkotaan (jasa dan industri) regional dan simpul transportasi yang melayani provinsi dan beberapa Kabupaten di sekitarnya. Manajemen Kota di Negara Berkembang Kemurnian konsep manajemen kota adalah mengkompilasi berbagai isu perkotaan dalam kaitannya dengan masalah kelembagaan, untuk dapat menghasilkan suatu strategi yang tepat dan tanggap terhadap struktur pelaksanaan yang terintegrasi dalam suatu manajemen kota. Pengujian proses manajemen kota harus dilihat sebagai provision infrastruktur. Hal ini tidak akan hanya mendukung perkembangan ekonomi, tetapi juga distribusi spasial dari pertumbuhan kota (McGill, 1998). Arti sebenarnya dari manajemen kota adalah: • Perencanaan untuk menyediaka n dan memelihara infrastruktur serta pelayanan kota. • Memberikan keyakinan bahwa pemerintah kota dalam keadaan baik secara organisasional maupun finansial. Substansi esensi dari manajemen kota adalah: • Pengembangan lokasi yang efisien • Tersedianya air bersih • Sanitasi yang baik • Jalanan yang terpelihara • Penertiban/minimalisasi permukiman ilegal • Pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan. 18 Keluaran-keluaran tersebut harus dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat, misalnya berkurangnya kemiskinan dan tercapainya kondisi lingkungan yang semakin baik. Hal inilah yang saat ini menjadi fokus dari program manajemen kota (McGill,1998). Ketimpangan Pembangunan Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah adalah: 1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) wilayah maju; 2) wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang; dan 4) wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Ciri lain adalah tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor industri, jasa dan komersil. Wilayah yang sedang berkembang dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, ka rena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal, yaitu: 1) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah sulit berkembang dan mengalami pertumbuhan; b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya 19 tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tida k memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah (Anwar, 2005). Indikator lain dalam perkembangan wilayah adalah tingkat interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunya i tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding daerah lain yang belum berkembang. Interaksi ini sendiri terjadi karena adanya faktor aksesibilitas daerah itu ke daerah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembanga n suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya, terutama terhadap pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang berdekatan dengan pusat umumnya akan lebih terpacu perkembangannya, dan umumnya akan sangat terpegaruh oleh pusat dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan akan lebih berkembang menjadi hinterland yang menyangga wilayah pusat (Anwar, 2005). Analisa Spasial Berbeda dengan ahli geografi yang memandang spasial sebagai segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat dan menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial yang dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya, analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola -pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pema haman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut, Haining (Rustiadi et al., 2004) mendefinisikan analisa pasial sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilainilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik 20 berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya. Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah : 1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat da n akurat. 2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi. 3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis. Para perencana dapa t menggunakan sebuah model sebagai alat untuk mempermudah melakukan analisis spasial. Dengan pendekatan sebuah model akan mempermudah penggambaran dalam menganalisis suatu obyek serta kejadian untuk tujuan diskripsi, penjelasan, peramalan dan untuk keperluan perencanaan. Model spasial adalah model yang digunakan untuk mengolah data spasial dan data atribut/variabel. Menurut Wegener, terdapat tiga kategori model spasial, yaitu model skala, model konseptual dan model matematik. Model skala adalah model yang merepresentasikan kondisi fisik yang sebenarnya, seperti data ketinggian. Model konseptual adalah model yang menggunakan pola -pola aliran dari komponen-komponen sistem yang diteliti dan menggambarkan hubungan antar kedua komponen tersebut. Model matematik digunakan dalam model konseptual yang merepresentasikan beberapa komponen dan interaksinya dengan hubungan matematik (Wegener, 2001). Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan 21 dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan da n pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data (Prahasta , 2005). SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meleta kkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005). Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks. Salah satu contoh aplikasi SIG adalah dalam Sistem Pendukung Keputusan (DSS). Dalam sistem ini SIG digunakan untuk mengevaluasi skenario pertumbuhan/perkembangan kota. DSS akan mengevaluasi pelaksanaan Tata Guna Tanah (TGT) dan infrastruktur serta memberikan alternatif solusi terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi (Marquez, 1996). Salah satu metode dalam SIG adalah teknik tumpang tindih (overlay). Jika pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data (peta dan data atribut) untuk kemudian memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat ketelitian cukup baik dan prosesnya 22 dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.