Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang

advertisement
10
TINJAUAN PUSTAKA
Kota
What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare
mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran
orang-orang yang berdomisili di dalamnya. Bagaimana orang-orang yang tinggal
didalamnya, maka itulah sebenarnya wajah kota. Kota adalah kumpulan orangorang yang berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota
tidak akan nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi
lingkungannya. Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana
masyarakatnya memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi
dengan membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilainilai yang dianut masyarakatnya (Budiharjo, 1997) .
Fungsi kota sebagai pusat pelaya nan (service center) membawa konsekuensi
areal kota akan dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan komersial dan sosial, selain
kawasan perumahan dan permukiman. Pembangunan ruang kota bertujuan untuk:
(1) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat berusaha dan tempa t tinggal,
baik dalam kualitas maupun kuantitas; (2) Memenuhi kebutuhan akan suasana
kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera.
(Budiharjo, 1997).
Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk
lebih meningkatkan produktif itas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor
perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan
ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan
sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan
perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang
berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap
lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga
diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin
pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik
dari segi prasarana dan sarana maupun dari lapangan pekerjaan.
11
Penataan Ruang
Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak terbatas. Bila
pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terjadi inefisiensi
dalam pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang serta dapat mendorong
kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta kelestarian
lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur
pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi,
kualitas ruang dan estetika lingkungan. Oleh karena pengelolaan subsistem yang
satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Seiring
dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, baik ditingkat pus at
maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan. Dengan demikian pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan
rencana tata ruang yang sudah ditetapkan (Sastrowihardjo et al., 2001).
Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang
dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk
menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan
dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan
pertum buhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah. Hal ini
dipandang strategis mengingat bahwa kondisi aktual pemanfaatan ruang di suatu
wilayah pada dasarnya merupakan gambaran hasil akhir dari interaksi antara
aktivitas kehidupan manusia dengan alam lingkungannya, baik direncanakan
maupun tidak direncanakan. Jika tidak direncanakan, maka sejalan dengan
pertumbuhan pembangunan, laju pertumbuhan penduduk, serta aktivitas
masyarakat yang semakin dinamis, pemanfaatan sumberdaya akan cenderung
mengikuti suatu mekanisme yang secara alamiah akan mengejar maksimalisasi
ekonomi, namun eksploitatif dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada.
Mekanisme tersebut menciptakan iklim kompetisi yang pada akhirnya akan
menggeser aktivitas yang intensitas pemanfaatan ruangnya lebih rendah dengan
aktivitas lain yang lebih produktif. Meskipun mekanisme alamiah tersebut dapat
saja menciptakan efisiensi secara ekonomi, namun belum tentu sejalan dengan
12
pencapaian tujuan dari pembangunan. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan
masalah polarisasi kemampuan yang berkembang di masyarakat dalam menikmati
pemerataan manfaat pembangunan (Sastrowihardjo e t al., 2001).
Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang dide finisikan
sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan
serta
memelihara
kelangsungan
hidupnya. Sedangkan
wilayah
didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administratif dan atau aspek fungsional. Lebih lanjut pengertian wilayah
terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentuka n
berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan dan wilayah yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan.
Dengan demikian penyusunan RTRW harus memperhatikan aspek administratif
dan kawasan fungsional.
Kawasan terbagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Kawasan lindung meliputi hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan
resapan air, sempadan pantai, sempadan kawasan sekitar waduk/danau, sungai,
sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan
lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman
wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan
bencana. Kawasan budidaya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian,
kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata,
kawasan tempat pertahanan keamanan.
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota (kecuali
kawasan tertentu), koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan
oleh gubernur. Selanjutnya bagian dari masing-masing kawasan dipadukan dan
menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Selain berdasarkan
kawasan fungsional, sesuai dengan amanat Pasal 19, 20 dan 21, maka penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota mengacu pada rencana tata ruang
13
yang lebih tinggi, dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
Provinsi (UU 24 Tahun 1992).
Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan kebijakan
dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana
setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk
kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun
berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu,
berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. (b)
keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur
dan pola pemanfaatan ruang. Adapun yang dimaksud struktur pemanfaatan ruang
adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierarkis dan saling
berhubungan satu dengan lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan pola
pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam
lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, air, udara
dan sumberdaya alam lainnya. Rencana tata ruang merupakan produk kebijakan
koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun
masyarakat, sehingga penyusunannya harus bertolak pada data, informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
berlaku (Sastrowihardjo e t al., 2001).
RTRW kabupaten/kota menurut UU 24 Tahun 1992 merupakan pedoman
yang digunakan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan
perkembangan antar sektor secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, serta
menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan.
Penatagunaan tanah merupakan bagian dari penataan ruang yang meliputi
pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan mengacu
pada RTRW, maka langkah-langkah dalam penatagunaan tanah meliputi kegiatankegiatan penyerasian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai
dengan RTRW yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Sastrowihardjo et al.,
2001). Oleh karena itu, kebijakan yang harus dirumuskan adalah bagaimana
14
mewujudkan penggunaan tanah yang pada saat ini tidak sesuai dengan rencana
tata ruang menjadi sesuai dan serasi dengan rencana tata ruang.
Terkait dengan perencanaan, penyusunan RTRW diharapkan dapat
mengakomodasikan
perencanaan.
berbagai
RTRW
perubahan
kabupaten/kota
dan
perkembangan
disusun
berdasarkan
di
wilayah
perkiraan
kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya. Tujuan
dari perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang
memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan,
efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam
penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dari perencanaan tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001
tentang RTRW Provinsi Lampung) adalah:
a. Terkendalinya pembangunan di wilayah, baik yang dilakukan oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat;
b. Terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan budidaya;
c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di
wilayah;
d. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha di wilayah;
e. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan.
Fungsi dari rencana tata ruang wilayah (Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang
RTRW Provinsi Lampung) adalah:
§
Sebagai matra keruangan dari pembangunan daerah;
§
Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di daerah;
§
Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah
dan antar kawasan serta keserasian antar sektor ;
§
Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah,
masyarakat dan swasta;
§
Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan;
§
Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang dan pemberian izin lokasi.
Gambar 5 menunjukkan bahwa RTRW kabupaten/kota disusun dengan
memperhatikan RTRW provinsi. Selanjutnya RTRW kabupaten/kota dan Rencana
15
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) kabupaten/kota menjadi dasar dalam
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kabupaten/kota.
Selain itu RTRW kabupaten/kota perlu dirinci dalam rencana yag lebih detail,
yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Teknik Ruang (RTR).
RPJP
NASIONAL
RPJP
PROVINSI
RPJP
KAB/KOT
RTRW
NASIONAL
RTRW KWS
TERTENTU
NASIONAL
RTRW
PROVINSI
RTRW KWS
TERTENTU
PROVINSI
RTRW
KAB/KOTA
RTRW KWS
TERTENTU
KAB/KOTA
RDTR
KAWASAN
RPJM
PROVINSI
RPJM
KAB/KOTA
RENCANA TEKNIK
RUANG (RTR)
Keterangan:
= Produk yang saat ini belum tersedia, tetapi dimungkinkan tersedia
Sumber: RTRW Provinsi Lampung tahun 2000
Gambar 5 RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan
Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan
pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah
ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang
16
merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang ke dalam bentuk programprogram pemanfaatan ruang oleh sektor-sektor pembangunan yang secara teknis
didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara
dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan
pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah
diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Dari usaha
pemanfaatan ruang ini diharapkan dapat tercapai keseimbangan lingkungan serta
mencerminkan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Tujuan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang secara berdaya guna
dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya
alam didalamnya secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar
wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta
peningkatan kualitas lingkungan hidup (PP 47 Tahun 1997).
Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui penyiapan
program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan
ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama, sesuai dengan rencana tata ruang ya ng telah
ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan
pengawasan dan penertiba n pemanfaatan ruang.
Untuk
menjamin
penataan
ruang
dapat
terlaksana
dan
mampu
mengakomodasi kepentingan stakeholder, diperlukan peranserta aktif masyarakat
dalam penataan ruang, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan maupun
pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan amanat UU 24 Tahun
1992 dan ditindaklanjuti dengan PP 69 Tahun 1996 serta diperjelas dengan
Permendagri No 9 Tahun 1998 tentang Bentuk dan Tata Cara Peranserta
Masyarakat dalam Penataan Ruang. Perencanaan partisipatif dalam penataan
ruang merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang sistematis dengan
menggunakan berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan
melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perencanaan tata ruang serta
keseluruhan proses manajemen dalam suatu siklus manajemen.
17
Menurut PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN, kawasan andalan
didefinisikan sebagai bagian dari kawasan budidaya yang diarahkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di
sekitarnya. P usat Kegiatan Nasional (PKN) didefinisikan sebagai kota yang
mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional,
pusat ekonomi perkotaan (jasa & industri) nasional dan simpul transportasi yang
melayani nasional dan atau beberapa provinsi. Pusat Kegiatan Wilayah/Regional
(PKW/PKR) adalah kota sebagai pusat aktivitas ekonomi perkotaan (jasa dan
industri) regional dan simpul transportasi yang melayani provinsi dan beberapa
Kabupaten di sekitarnya.
Manajemen Kota di Negara Berkembang
Kemurnian konsep manajemen kota adalah mengkompilasi berbagai isu
perkotaan dalam kaitannya dengan masalah kelembagaan, untuk dapat
menghasilkan suatu strategi yang tepat dan tanggap terhadap struktur pelaksanaan
yang terintegrasi dalam suatu manajemen kota. Pengujian proses manajemen kota
harus dilihat sebagai provision infrastruktur. Hal ini tidak akan hanya mendukung
perkembangan ekonomi, tetapi juga distribusi spasial dari pertumbuhan kota
(McGill, 1998).
Arti sebenarnya dari manajemen kota adalah:
•
Perencanaan untuk menyediaka n dan memelihara infrastruktur serta pelayanan
kota.
•
Memberikan keyakinan bahwa pemerintah kota dalam keadaan baik secara
organisasional maupun finansial.
Substansi esensi dari manajemen kota adalah:
•
Pengembangan lokasi yang efisien
•
Tersedianya air bersih
•
Sanitasi yang baik
•
Jalanan yang terpelihara
•
Penertiban/minimalisasi permukiman ilegal
•
Pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan.
18
Keluaran-keluaran tersebut harus dapat dirasakan dampaknya oleh
masyarakat, misalnya berkurangnya kemiskinan dan tercapainya kondisi
lingkungan yang semakin baik. Hal inilah yang saat ini menjadi fokus dari
program manajemen kota (McGill,1998).
Ketimpangan Pembangunan
Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
disparitas antar wilayah adalah: 1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya
alam (resource endowment); 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan
sumberdaya manusia (human capital); 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan
dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6)
perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan
karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) wilayah maju; 2)
wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang; dan 4) wilayah tidak
berkembang.
Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya
dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan
penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Ciri lain
adalah tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia
yang tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor
industri, jasa dan komersil. Wilayah yang sedang berkembang dicirikan oleh
pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari
wilayah maju, ka rena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap
wilayah maju. Wilayah belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan
yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif, namun memiliki
potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini
masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan
tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang
dicirikan oleh dua hal, yaitu: 1) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi
baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah
sulit berkembang dan mengalami pertumbuhan; b) wilayah tersebut sebenarnya
memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya
19
tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung
dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat
kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah,
tingkat pendapatan yang rendah, tida k memiliki infrastruktur yang lengkap, dan
tingkat aksesibilitas yang rendah (Anwar, 2005).
Indikator lain dalam perkembangan wilayah adalah tingkat interaksi antara
satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah yang lebih berkembang pada
dasarnya mempunya i tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding daerah lain
yang belum berkembang. Interaksi ini sendiri terjadi karena adanya faktor
aksesibilitas daerah itu ke daerah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang
cukup penting dalam mendukung perkembanga n suatu wilayah. Wilayah dengan
akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan
wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang
mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya, terutama terhadap pusat
ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang berdekatan dengan pusat umumnya akan
lebih terpacu perkembangannya, dan umumnya akan sangat terpegaruh oleh pusat
dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan akan lebih berkembang
menjadi hinterland yang menyangga wilayah pusat (Anwar, 2005).
Analisa Spasial
Berbeda dengan ahli geografi yang memandang spasial sebagai segala hal
yang menyangkut lokasi atau tempat dan menekankan pada bagaimana
mendeskripsikan fenomena spasial yang dikaji tanpa harus mendalami
permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya, analisis spasial lebih terfokus
pada kegiatan investigasi pola -pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam
studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan
untuk meningkatkan pema haman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut,
Haining (Rustiadi et al., 2004) mendefinisikan analisa pasial sebagai sekumpulan
teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian
geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis
atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilainilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik
20
berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana
atribut-atribut melekat di dalamnya.
Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis,
tujuan analisis spasial adalah :
1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk
deskripsi pola) secara cermat da n akurat.
2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau
obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang
menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.
3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis.
Para perencana dapa t menggunakan sebuah model sebagai alat untuk
mempermudah melakukan analisis spasial. Dengan pendekatan sebuah model
akan mempermudah penggambaran dalam menganalisis suatu obyek serta
kejadian untuk tujuan diskripsi, penjelasan, peramalan dan untuk keperluan
perencanaan. Model spasial adalah model yang digunakan untuk mengolah data
spasial dan data atribut/variabel. Menurut Wegener, terdapat tiga kategori model
spasial, yaitu model skala, model konseptual dan model matematik. Model skala
adalah model yang merepresentasikan kondisi fisik yang sebenarnya, seperti data
ketinggian. Model konseptual adalah model yang menggunakan pola -pola aliran
dari komponen-komponen sistem yang diteliti dan menggambarkan hubungan
antar kedua komponen tersebut. Model matematik digunakan dalam model
konseptual yang merepresentasikan beberapa komponen dan interaksinya dengan
hubungan matematik (Wegener, 2001).
Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan
komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan
menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis
merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut
Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan
21
dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran,
manajemen data (penyimpanan da n pemanggilan data) serta analisis dan
manipulasi data (Prahasta , 2005).
SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi,
posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu
dengan SIG pengguna dapat membawa, meleta kkan dan menggunakan data yang
menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur
permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik
secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query
atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan
kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005).
Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data,
menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan
dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan
sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana
dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang
sangat kompleks. Salah satu contoh aplikasi SIG adalah dalam Sistem Pendukung
Keputusan (DSS). Dalam sistem ini SIG digunakan untuk mengevaluasi skenario
pertumbuhan/perkembangan kota. DSS akan mengevaluasi pelaksanaan Tata
Guna Tanah (TGT) dan infrastruktur serta memberikan alternatif solusi terbaik
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi (Marquez, 1996).
Salah satu metode dalam SIG adalah teknik tumpang tindih (overlay). Jika
pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan
beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya
pengguna dapat menganalisis kedua data (peta dan data atribut) untuk kemudian
memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta
juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut
adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan
akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya
dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna
memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya
dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat ketelitian cukup baik dan prosesnya
22
dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam
berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Download