Religiusitas, Pajanan Media Pornografi, Dan Pola Asuh Permisif Orangtua Sebagai Prediktor Perilaku Seksual Remaja Kristen Di Klasis Sabu Barat Raijua Ditinjau Dari Jenis Kelamin Daniel Hendrik, Christiana H Soetjiningsih, A. Ign. Kristijanto PROGDI MAGISTER SAINS PSIKOLOGI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016 Religiusitas, Pajanan Media Pornografi, Dan Pola Asuh Permisif Orangtua Sebagai Prediktor Perilaku Seksual Remaja Kristen Di Klasis Sabu Barat Raijua Ditinjau Dari Jenis Kelamin Daniel Hendrik, Christiana H Soetjiningsih, A. Ign. Kristijanto Program Pasca Sarjana Magister Sains Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana ABSTRACT The aim of this research is to find out about the effect of religiousity, media pornography exposure,and permissive parenting style simultaneously towards sexual behavior of Christian adolescent in West Savu and Raijua. Samples of this research are 258 of middle and late adolescent. Data was collected by spreading psychological scale. There were four scales, which were sexual behavior scale (Soetjiningsih, 2008a), religiousity scale (Azam et al.,2012), media pornography exposure scale (Soetjiningsih, 2008a), and permissive parenting style scale (Robinson et al., 1995). All data is analyzed with multivariate double linear regression analysis by SPSS Windows 17.0 program. The result showed that religiousity,media pornography exposure, and permissive parenting style simultaneously affected sexual behavior of adolescent in West Savu and Raijua (R2 = 0,448, Fhitung = 30,882; in significance level 0,000 < 0,05) for male adolescent, and R2 = 0,611 Fhitung = 66,975; in significance level 0,000 < 0,05) for female adolescent. Keywords: Religiousity,media pornography exposure, permissive parenting style, sexual behavior. 1 PENDAHULUAN Dalam teori-teori perkembangan individu, masa remaja selalu diindentifikasi sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa yang diikuti dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007), di mana yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki), dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2013). Menurut Soejoeti (2001), perkembangan fisik berjalan sangat cepat, sehingga pada masa remaja berakhir mereka sudah memiliki organ seksual primer maupun sekunder sebagaimana halnya orang dewasa. Ada suasana baru yang harus dihadapi remaja terkait perubahan biologis yang drastis, termasuk tuntutan-tuntutan baru yang harus dijalani. Perubahan-perubahan ini memengaruhi kedewasaan pikiran dan sikap, penerimaan diri, dan pergaulan dalam lingkungan sosialnya (Cole, 1959), yang menjadikan remaja sangat dekat dengan permasalahan seputar seksual (Pratiwi & Basuki, 2011), dan rentan mengarah pada masalah perilaku seks pranikah (Muzayyanah, 2008). LATAR BELAKANG Sebagai periode di mana perkembangan hormonal dan seksual menuju kematangan, remaja mengalami dorongan kuat untuk memanifestasikan dorongan seksual yang dirasakan dalam bentuk perilaku seksualnya. Menurut Haryanto dan Suarayasa (2013) banyaknya remaja yang terlibat dalam aktivitas seksual seringkali menimbulkan ancaman terhadap kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang beresiko pada remaja, serta menjadi salah satu penghambat upaya peningkatan kualitas remaja (Soetjiningsih, 2008b). Menurut Sarwono (2013), masalah perilaku seksual pada remaja seringkali mencemaskan orangtua, pendidik, pejabat pemerintah, dan bahkan bagi remaja sendiri sebagai individu. Padahal remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa, di mana mereka seyogianya mulai mempersiapkan diri menuju kehidupan dewasa, termasuk dalam aspek seksualnya. Oleh karena itu perhatian pada membentuk perilaku seksual yang positif menjadi sebuah kebutuhan untuk membentuk pribadi-pribadi usia remaja yang lebih produktif, sehat, dan bertanggungjawab. 2 Beberapa dampak perilaku seksual remaja menurut Sanderowitz dan Paxman (1985, dalam Sarwono, 2013), misalnya kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil, terjadi cemoohan dan penolakan masyarakat sekitar, terganggunya kesehatan dan resiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi. Hasil penelitian dari Prihatin (2007) memperlihatkan bahwa dampak fisik hubungan seksual pranikah pada remaja adalah sebagian partisipan telah hamil dan menikah di usia dini, di samping itu dampak psikologis yang dialami adalah mayoritas mengalami kecemasan terutama yang hamil dan kemudian harus menikah karena mereka harus mengurus keluarga sendiri, dengan kemampuan ekonomi yang masih pas-pasan. Perilaku seksual remaja juga bisa menimbulkan permasalahan baru yang akan dihadapi oleh remaja dan lingkungannya seperti aborsi, penularan penyakit seksual menular, HIV/AIDS, pelacuran dan tindakan-tindakan asusila jika dibiarkan terus menerus (Saputra, 2014). Proses transmisi HIV/AIDS yang semakin meningkat menjadi ancaman tersendiri bagi remaja yang merupakan salah satu fase yang mempunyai kerentanan tinggi terhadap penularan HIV-AIDS, suatu masa yang mempunyai mobilitas sosial yang paling tinggi dibandingkan masa usia lainnya (Pratiwi & Basuki, 2011). Menurut Yuningsih (2014), praktik aborsi diduga meningkat sekitar 15 persen setiap tahun. Berdasarkan data BKKBN tahun 2010 kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa per tahun. Yang mengawatirkan adalah terdapat 1-1,5 juta kasus aborsi di antaranya dilakukan oleh remaja. Sesuai Laporan yang diterima Center for Disease Control and Prevention (CDCP) dari 30 negara, tahun 2000 ditemukan 2.900 kasus HIV baru pada remaja dengan rentang usia 15-24 tahun. Tahun 2006, 57,8% kasus AIDS yang teridentifikasi terjadi pada remaja (Rokhmah & Khoiron, 2015). Dampak yang ditimbulkan dari perilaku seksual remaja yang tidak terkontrol merupakan sebuah persoalan serius bagi remaja. Sementara itu, di sisi lain perilaku seksual remaja secara kuantitas menunjukkan peningkatan. Studi di Amerika menyatakan bahwa banyak remaja telah melakukan hubungan seks di SMA (Singh & Darroch, 1999). Setiap tahun 900.000 remaja perempuan di Amerika mengalami kehamilan (340.000 diantaranya berusia 17 tahun). Hasil lainnya menunjukkan bahwa 47% pelajar SMA pernah melakukan hubungan seksual, 7,4 % diantaranya melakukan hubungan seksual sebelum usia 13/14 tahun (Escobar-Chaves dkk., 2005). 3 Studi sebelumnya di Indonesia tentang perilaku seks remaja, memperoleh hasil sekitar 25% - 51% remaja telah berhubungan seks pranikah (Utomo & McDonald, 2009). Penelitian di Bandung tahun 1991 menunjukkan dari pelajar SMP, 10,53 persen pernah melakukan ciuman bibir, 5,6 persen melakukan ciuman dalam, dan 3,86 persen pernah berhubungan seksual (Pratiwi & Basuki, 2010).Tahun 2005-2006 di kotakota besar di Indonesia, angka hubungan seks pra nikah pada remaja sebesar 47,54%. Hasil Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007 (BKKBN, 2010) menunjukkan sebesar 6,4% remaja laki-laki dan 1,3% remaja perempuan telah melakukan hubungan seks pranikah, sekitar 51 % remaja di wilayah Jabodetabek sudah tidak perawan. Sebanyak 4% responden yang mengaku melakukan hubungan seksual sejak usia 16-18 tahun, 16 % melakukan pada usia 13-15 tahun. Kejadian seks pranikah di Surabaya mencapai 47%, di Bandung dan Medan 52% (Banum dan Setyorogo, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak tahun 2007 (dalam Dhira, 2010) di 12 provinsi di Indonesia, khususnya pada kotakota besar menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan dimana 93,7 % anak SMP dan SMU telah melakukan petting (menempelkan alat kelamin), ciuman, dan oral seks (seks melalui mulut), 62, 7% anak SMP sudah tidak perawan, 21,2 % remaja SMA telah melakukan aborsi dan sekitar 97 % pelajar SMP maupun SMA sering menonton film porno. Menurut survai yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2010, sebanyak 32% remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia pernah berhubungan seksual. Terdapat banyak faktor yang berkontribusi dan menjadi penyebab perilaku seks remaja. Menurut Brown (2008, dalam Pratiwi & Basuki, 2010), sejumlah faktor memengaruhi keputusan remaja tentang perilaku seks, diantaranya, komunikasi orangtua dalam keluarga, norma-norma teman, prinsip-prinsip religiusitas, dan norma-norma komunitas. Selain itu termasuk juga faktor ras, kemiskinan, minuman keras dan alkohol, pengaruh teman sebaya, dan pengaruh pengasuhan (Escobar-Chaves dkk., 2005). Demikian pula faktor lingkungan, dorongan rasa ingin tahu untuk mencoba (Pratiwi & Basuki, 2010), status ekonomi keluarga, pemukiman padat, kontrol orangtua, etnik, dan media (Adeboyejo & Onyeonoru, 2003; 4 Rwenge, 2003; Mberu, 2008;), usia pubertas, pengetahuan, sikap, status perkawinan orang tua, pola asuh orang tua, jumlah pacar, lama pertemuan dengan pacar, paparan media elektronik dan media cetak (Nursal, 2008), religiusitas, pajanan media pornografi, tekanan teman sebaya, hubungan orangtua anak (Soetjiningsih, 2008b). Awalnya remaja ingin tahu tentang aktivitas seksual, lalu mencoba, lalu ketagihan dan menganggap seksulitas pranikah itu biasa. Terkait peran peubah religiusitas, penelitian yang dilakukan oleh Penhollow dkk. (2005) menunjukkan bahwa peubah religiusitas merupakan prediktor yang signifikan pada perilaku seksual remaja. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) menunjukkan bahwa tingkat religiusitas (remaja) memiliki dampak pada perilaku remaja, termasuk perilaku seksual pranikah. Studi yang dilakukan Aini (2011) di SMA 1 Bangsal Mojokerto memperlihatkan hubungan yang signifikan antara faktor religiusitas dan perilaku seksual remaja. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Azinar (2013), dan Soetjiningsih (2008ᵇ ) yang menunjukkan adanya pengaruh langsung (negatif) religiusitas terhadap perilaku seksual remaja. Selain itu, dampak perkembangan globalisasi terhadap sikap dan pembentukan perilaku seksual remaja tidak bisa diabaikan. Sesuai hasil dari beberapa penelitian, nampak bahwa pajanan media pornografi juga memiliki pengaruh bagi perilaku seksual remaja. Strasburger (2010), lewat sembilan studi longitudinal menunjukkan bahwa tujuh studi diantaranya membuktikan pajanan konten seksual di televisi atau media lainnya dapat berdampak ganda pada perilaku seksual remaja. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Viatonu dan Oladipupo-Okorie (2014). Sudhana dkk. (1991, dalam Soejoeti, 2001) melakukan penelitian tahun 1991 terhadap perilaku seksual menyimpang pada remaja dan membuktikan bahwa faktor lingkungan dan film porno sangat dominan pengaruhnya. Penelitian yang dilakukan Soetjiningsih (2008ᵇ ) menunjukkan bahwa pajanan media pornografi berpengaruh langsung terhadap perilaku seksual remaja. Pengaruh pajanan media pornografi terhadap perilaku seksual remaja tidak terlepas dari semakin meningkatnya remaja meng-akses media massa secara bebas. Di Amerika, para remaja menghabiskan 6-7 jam sehari bersama salah satu media massa (Brown & Keller, 2000) dimana semua memiliki televisi di kamar masing-masing. Bahkan studi terbaru yang 5 dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), pemerintah dan didukung UNICEF menemukan rata-rata anak-anak Indonesia menonton acara TV hingga 45 jam per minggu (Kearney, 2010). Secara keseluruhan, 75% remaja mengakses internet di rumah, 60% di sekolah, dan 41 % akses di tempat lain. Kondisi ini dilengkapi hasil penelitian Strasburger (2010), yaitu 75% program di media selalu berisi konten seksual, dan didalamnya hanya 14 % yang berbicara tentang resiko dan tanggungjawab dari aktivitas seksual. Di samping itu juga majalah-majalah rata-rata menyediakan 2,5 halaman bagi isu-isu seputar seks, seperti bagaimana meningkatkan kehidupan seks, bagaimana mencapai orgasme, maupun bagaimana terlihat seksi. Data menunjukkan dari remaja usia 12-18 tahun, 16% mendapat informasi seputar seks dari teman, 35% dari film porno, dan hanya 5% dari orang tua (Pratiwi & Basuki, 2010). Remaja dan perilaku seksual mereka merupakan bagian dari perkembangan individu. Proses yang diperhadapkan dengan berbagai hal seiring makin luasnya lingkungan interaksi sosial mereka. Oleh karena itu orangtua yang paling dekat dengan remaja, harus menjadi filter dan benteng terhadap pengaruh nilai-nilai dan norma dari luar, terutama yang berasal dari tayangan-tayangan televisi (Aguma dkk., 2012). Bagaimana bentuk pengasuhan yang diberikan orangtua berdampak pada perkembangan dan perilaku seksual anak. Kesalahan dalam penerapan pola asuh menyebabkan terjadinya perilaku seksual yang menyimpang (Farisa dkk., 2013) Beberapa penelitian telah membuktikan dampak pola asuh bagi perilaku seksual remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Aguma dkk. (2012) terhadap 177 remaja membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dengan perilaku seks beresiko pada remaja. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setiyati (2006) dan Wulandari (2010), di mana masing-masing penelitian membuktikan adanya hubungan signifikan antara pola asuh dan perilaku seksual remaja. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayah dan Maryatun (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan perilaku seksual remaja. Secara khusus pengaruh pola asuh permisif terhadap perilaku seksual remaja, beberapa penelitian telah membuktikan hasil yang signifikan. Penelitian yang dilakukan Yuanita dan Herani (2014) di kota Malang, 6 maupun penelitian dari Niron dkk. (2012) di kota Kupang menunjukkan terdapat pengaruh positif antara pola asuh permisif dengan perilaku seksual remaja. Demikian pula hasil penelitian dari Marza (2010) di SMK Cendana Padang Panjang. Sebaliknya, hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Marbun (2011) bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh dengan perilaku seksual remaja. Faktor jenis kelamin juga memiliki dampak pada perilaku seksual remaja. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan usia kematangan seksual remaja laki-laki dan remaja perempuan. Menurut Papalia dan Feldman (2014), pada remaja laki-laki, tanda utama kematangan seksual adalah produksi sperma, di mana ejakulasi pertama atau spermache terjadi diusia sekitar 13 tahun (ditandai dengan mimpi basah). Sementara itu, tanda utama kematangan seksual pada anak perempuan adalah menstruasi yang terjadi bisa sangat beragam, mulai dari usia 10 hingga 16½ tahun. Menurut Hurlock (1980) rata-rata laki-laki lebih lambat matang daripada remaja perempuan, maka laki-laki mengalami periode awal masa remaja yang lebih singkat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan usia kematangan seksual berpengaruh pada perilaku seksual remaja. Penelitian yang dilakukan Nursal (2008) di kota Padang menunjukkan bahwa faktor jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap perilaku seksual remaja. Menurut Amin (2014) ada perbedaan yang sangat signifikan pada perilaku seks bebas antara remaja laki-laki dan perempuan, di mana rata-rata perilaku seks remaja laki-laki lebih besar daripada remaja perempuan. di mana rata-rata perilaku seks bebas remaja laki-laki lebih tinggi (rerata = 197.339) dibandingkan remaja perempuan (rerata = 166.370). Hasil sebaliknya ditunjukkan oleh Anesia dan Notobroto (2013) bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku seksual remaja. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Apakah religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua merupakan prediktor bagi perilaku seksual remaja Kristen ditinjau dari jenis kelamin di klasis Sabu Barat Raijua. 7 KAJIAN PUSTAKA Perilaku Seksual Remaja Perilaku seksual didefinisikan sebagai manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati secara langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap- tahap perilaku seksual, dari tahap yang paling ringan hingga yang paling berat (Purnomowardani & Kuncoro, 2000). Sementara menurut Thoernburg (1982), seksualitas meliputi karakteristik fisik dan kapasitas untuk berperilaku seks yang dipadukan dengan hasil proses belajar psikososial (nilai, sikap, dan norma) sehubungan dengan perilaku tersebut. Pada kesempatan yang lain, Sarwono (2013) mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenisnya maupun sesama jenisnya. Sementara perilaku seksual pra nikah adalah tingkah laku yang berhubungan dengan dorongan seksual bersama lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan sebelum adanya tali perkawinan yang sah baik secara hukum maupun agama. Sejalan dengan itu, Soetjiningsih (2008ᵇ ) mendefinisikan perilaku seksual remaja pranikah sebagai segala tingkah laku seksual yang didiorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja sebelum mereka menikah. Untuk kepentingan penelitian ini, penulis menggunakan dua belas tahapan perilaku seksual yang disampaikan dalam Diagram Group (1983, dalam Soetjiningsih, 2008a): berpegangan tangan, memeluk/dipeluk dibahu, memeluk/dipeluk dipinggang, ciuman bibir, ciuman bibir sambil pelukan, meraba atau diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian, mencium atau dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, meraba atau diraba daerah erogen tanpa pakaian, mencium atau dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa pakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa pakaian, hubungan seksual. Religiusitas Glock dan Stark (1968, dalam Reitsma dkk., 2006) mengartikan religiusitas berasal dari kata religi yaitu sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku, yang terlembagakan yang terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang dimaknai. Menurut 8 Djarir (2005), religiusitas menunjuk pada suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious), dan bukan sekedar mengaku mempunyai agama (having religion). Studi terbaru lainnya tentang religiusitas lebih fokus pada multidimensi religiusitas yang mencakup konsep-konsep seperti, subyektif kognitif, dimensi perilaku, sosial, dan budaya. Penjelasan lain tentang dimensi religiusitas dipaparkan oleh Glock dan Stark (1965, dalam Azam dkk., 2012; Reitsma dkk., 2006), yang mengidentifikasi lima dimensi dari religiusitas, yaitu: 1. Religious Knowledge (The Intellectual Dimension): Dimensi ini berkaitan dengan pengetahuan atau informasi-informasi yang diperoleh seseorang berkaitan dengan dasar-dasar imannya. 2. Religious Practise (The Ritualistic Dimension): Dimensi ini berkaitan dengan perilaku seseorang dalam menyatakan kepercayaannya terhadap agama. Perilaku yang dimaksudkan di sini mengacu pada perilakuperilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti keanggotaan gereja, frekuensi kehadiran, tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, dan berpuasa atau menjalankan ritual-ritual tertentu pada hari tertentu. 3. Religious Feeling (The Experiental Dimension). Dimensi ini berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama. Dalam Psikologi dikenal dengan istilah religious experience. Setiap agama mengharapkan bahwa setiap penganut agama mengalami langsung pengalaman dengan Ilahi yang melibatkan emosi, termasuk di dalamnya adalah perasaan, persepsi, dan sensasi-sensasi yang dirasakan saat mengalami suatu “komunikasi” dengan Ilahi. 4. Religious Belief (The Ideological Dimension). Dimensi ini berkaitan dengan apa yang dipercayai seseorang sebagai suatu kebenaran yang berkaitan dengan agama yang dianutnya. Hal inilah yang membedakan satu agama dengan agama yang lainnya. Isi (content) dan ruang lingkupnya (scope) berbeda-beda pada tiap agama dan dapat didekati dari perspektif doktrin agama. 5. Religious Effects (The Consequential Dimension): Dimensi ini berkaitan dengan efek dari keempat dimensi yang lain termasuk di dalamnya adalah bagaimana agama yang diyakini, secara langsung maupun tak langsung, menjadi petunjuk dalam bertingkah laku atau bersikap dalam 9 kehidupan sehari-hari individu, baik dalam kehidupan personal, maupun dalam kehidupan sosialnya. Pajanan Media Pornografi Media massa didefinisikan sebagai media-media yang didesain untuk dikonsumsi oleh khalayak luas lewat teknologi (Asekun-Olarinmoye dkk., 2014). Menurut Nurudin (2003), media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Sementara itu Media exposure atau pajanan media menurut Rosengren (1974, dalam Rakhmat, 2004), adalah penggunaan media terdiri dari jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media, jenis isi media, media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan. Sementara itu terkait penjelasan tentang pornografi, menurut Cline (1986, dalam Soetjiningsih, 2008a) pornografi merupakan materi yang berisi pesan-pesan seksual secara eksplisit yang terutama diharapkan menimbulkan gairah seksual. Lebih lanjut menurut Cline pornografi dapat dimuat dalam berbagai media seperti film, majalah, koran, tabloid, CD/DVD, radio, televisi, internet, HP, serta dapat berwujud foto, pahatan, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi dan suara). Oleh karena itu Cline (1986, dalam Soetjiningsih, 2008a) membagi pronografi dalam dua bentuk, yakni: Pertama, softcore pornography, yakni berupa materi atau gambar-gambar terlanjang dan adegan-adegan yang sexual suggestive. Kedua, hardcore pornography, atau confidential pornography, yakni gambar-gambar close up alat-alat kelamin dan aktivitas hubungan seksual termasuk penetrasi yang menimbulkan rangsangan. Cline (1986, dalam Soetjiningsih, 2008a) memberi perhatian pada dua dimensi penting terkait pajanan media pornografi yakni yang disebut sebagai dimensi perhatian, dan dimensi penerimaan. Dalam penelitian ini, kedua dimensi yang diperkenalkan Cline menjadi acuan penulis dalam mengukur variabel pajanan media pornografi. 10 Pola Asuh Permisif Secara umum terdapat banyak definisi tentang pola asuh orangtua. Menurut Wulandari (2012) pola asuh adalah segala sesuatu yang dilakukan orangtua (pengasuh) terhadap anak (yang diasuh) yang meliputi kegiatan seperti memelihara, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan anak tersebut serta cara orangtua mengkomunikasikan sikap dan kepercayaan kepada anak-anaknya. Pola perilaku ini dapat dapat dirasakan anak, baik dari segi positif maupun negatif (Petranto, 2006). Secara khusus tentang definisi pola asuh permisif, Bee dan Boys (2007) mengartikan pola asuh permisif sebagai pola asuh yang di dalamnya ada kehangatan dan toleran terhadap anak, orang tua tidak memberikan batasan, tidak menuntut, tidak terlalu mengontrol dan cenderung kurang komunikasi. Hurlock (1980) menambahkan bahwa pola asuh permisif tidak memiliki konsekuensi, peraturan dan hukuman bagi anak atas perbuatannya serta pola komunikasi yang terjadi hanya satu arah saja yaitu dari anak karena orang tua hanya mengikuti saja. Pola asuh permisif dipahami sebagai pola asuh yang tidak tegas dan cenderung membiarkan anak dalam pertumbuhan dan perilakunya. Dengan berpijak pada tiga tipologi pola asuh Baumrind tahun 1971, menurut Kopko (2007) pola asuh permisif memiliki karakteristik-karakteristik tertentu: a. Sangat peramah dan tidak menuntut b. Merupakan pola asuh yang sangat sabar dan cenderung pasif c. Jarang mengatakan “tidak” yang dapat mengecewakan anak-anak mereka d. Membiarkan anak-anak mengambil keputusan sendiri dianggap sebagai cara menunjukkan rasa cinta mereka. Sebagai pola asuh yang cenderung pasif, remaja yang bertumbuh dalam pola asuh seperti ini menjadi pribadi yang mengambil keputusankeputusan penting sendiri tanpa campur tangan atau masukan-masukan dari orangtua (Kopko (2007). Di sisi lain, orang tua tidak melihat diri mereka sebagai bagian penting dalam lingkungan tumbuh kembang anak untuk mengarahkan perilakunya. Identifikasi yang cukup berbeda ditunjukkan oleh Robinson dkk. (1995). Meskipun tetap berpijak pada tiga tipologi pola asuh yang disampaikan oleh Baumrind, menurut Robbinson dkk., pola asuh permisif memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: 11 a. Kurangnya tindak lanjut dari apa yang disampaikan. Dalam hal ini hukuman hanya sebatas diucapkan tanpa ditindaklanjuti. b. Mengabaikan saja perilaku-perilaku anak yang tidak baik c. Rasa percaya diri. Karakter ini berkaitan dengan keraguan orangtua dalam bersikap karena berbagai pertimbangan, misalnya takut anakanak tidak menyukainya, meragukan kemampuannya sendiri sebagai orang tua, merasa kesulitan menyelesaikan persoalan anak. Dari berbagai karakteristik pola asuh permisif yang ada, dalam penelitian ini penulis menggunakan karakteristik pola asuh permisif yang disampaikan oleh Robbinson dkk. (1995) untuk mengembangkan skala pengukuran variabel pola asuh permisif. METODE PENGUMPULAN DATA Hipotesis penelitian Hipotesis penelitian ini adalah, terdapat pengaruh secara simultan antara religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua ditinjau dari jenis kelamin, dimana perilaku seksual remaja laki-laki lebih tinggi remaja perempuan. Subjek Penelitian Pengambilan data dalam penelitian ini mengunakan teknik proportionate stratified random sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja Kristen di klasis Sabu Barat Raijua yang berjumlah 2.585, yang terdiri dari remaja pertengahan dan remaja akhir. Dari populasi yang ada sampel yang diambil adalah 258 remaja. Uji kelayakan validitas dan reliabilitas aitem untuk peubah tak gayut dilakukan dengan melihat corrected item-total correlations dengan batasan ≥ 0,30 (Azwar, 2015) dan uji reliabel, nilai koefisien Cronbach Alpha yang dianggap reliabel adalah jika memenuhi nilai minimal 0,70. Hasil pengujian mengunakan SPSS Windows 17.0. Pada peubah perilaku seksual remaja yang menggunakan skala Guttman, metode yang penulis gunakan untuk menguji daya diskriminasi aitem adalah dengan metode Skalogram atau analisis skala (scale analysis). 12 Secara khusus penulis menggunakan program SKALO berdasarkan Program Microsoft Excel 2007 yang dibuat oleh Widhiarso (2011). Syarat penerimaan nilai koefisien reprodusibiltas yaitu apabila koefisien reprodusibiltas memiliki nilai >0,90. Syarat penerimaan nilai koefisien skalabilitas yaitu apabila koefisien skalabilitas memiliki nilai > 0,60. Sedangkan uji reliabilitas menggunakan rumus Kuder Richardson 21 (K21), sebagai berikut: r11 = ( )( ( ) Keterangan: r11 = reliabilitas instrumen k = banyaknya butir soal atau pertanyaan M = rata-rata skor total Vt = varians total Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data mengunakan skala psikologi. Skala religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua dibuat dalam skala Likert dengan lima kategori pilihan jawaban yaitu: SS, S, N, TS, dan STS. Sedangkan skala perilaku seksual menggunakan skala kumulatif atau Guttman yaitu subjek yang telah melakukan tahapan perilaku seksual tertentu diasumsikan pula telah melakukan tahapan sebelumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian membuktikan bahwa hipotesis yang mengatakan terdapat pengaruh secara simultan antara religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua terhadap perilaku seksual remaja di klasis Sabu Barat Raijua ditinjau dari jenis kelamin diterima. Ini terbukti dari nilai Fhitung pada jenis kelamin laki-laki sebesar 30,883 dengan nilai signifikansi asimtotik sebesar 0,000 (p˂0,05). Sementara itu pada remaja perempuan didapat Fhitung 66,975 dengan nilai signifikansi asimtotik 0,000 (p˂0,05). Hal ini diperkuat dengan besar sumbangan efektif ketiga peubah tak gayut terhadap peubah gayut sebesar 0,448 pada jenis kelamin laki-laki yang 13 berarti 44,8 % dari variasi yang terjadi pada peubah perilaku seksual remaja laki-laki di klasis Sabu Barat Raijua dapat dijelaskan oleh variasi dari peubah religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua. Sedangkan sisanya sebesar 55,2% dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Sementara pada remaja perempuan didapat sumbangan efektif sebesar 0,611 yang berarti 61,1% peubah tak gayut pada jenis kelamin perempuan dapat memprediksi variasi yang terjadi pada peubah gayut. Dengan demikian maka ditinjau dari jenis kelamin, secara simultan religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua dapat menjadi prediktor bagi perilaku seksual remaja Kristen di klasis Sabu Barat Raijua. Pada uji yang lain yakni uji t, hasil uji menunjukan nilai t sebesar 2,675 dengan nilai signifikansi sebesar 0,008 (p ˂ 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan signifikan antara perilaku seksual remaja laki-laki dan perempuan. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Suwarni (2009, dalam Nur Hidayah dkk, 2013; Nursal, 2008; Amin, 2014; Rahyani dkk, 2012; Soetjiningsih, 2008b), bahwa terdapat perbedaan perilaku seksual antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Pembahasan Remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada saat sama ia dihadapkan dengan perubahan-perubahan lingkungan sosial, serta minat-minat individual yang berbeda. Remaja kemudian tidak hanya bertumbuh dan berkembang berdasarkan faktor bawaan (nature) melainkan juga lingkungan (nurture) turut membentuk sikap dan perilakunya. Ada liku-liku perkembangan yang harus dilalui oleh masing-masing individu, adakalanya beberapa aspek tertentu sama dengan individu yang lain tetapi juga bisa berbeda (Soetjiningsih, 2014). Demikian pula terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual remaja. Berdasarkan penelitian ini faktor religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua merupakan prediktor perilaku seksual remaja. Hasil penelitian diatas membuktikan bahwa hipotesis yang mengatakan terdapat pengaruh secara simultan antara religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua terhadap perilaku seksual remaja di klasis Sabu Barat Raijua ditinjau dari jenis kelamin diterima. Ini 14 terbukti dari nilai Fhitung pada jenis kelamin laki-laki sebesar 30,882 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p˂0,05). Sementara itu pada remaja perempuan didapat Fhitung 66,975 dengan nilai signifikansi 0,000 (p˂0,05). Hal ini diperkuat dengan besar sumbangan efektif ketiga peubah tak gayut terhadap peubah gayut sebesar 0,448 pada jenis kelamin laki-laki yang berarti 44,8% dari variasi yang terjadi pada peubah perilaku seksual remaja di klasis Sabu Barat Raijua dapat dijelaskan oleh variasi dari peubah religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua pada jenis kelamin laki-laki. Sedangkan sisanya sebesar 55,2% dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Sementara pada remaja perempuan didapat sumbangan efektif sebesar 0,611 yang berarti 61,1% peubah tak gayut pada jenis kelamin perempuan dapat memprediksi variasi yang terjadi pada peubah gayut. Dengan demikian maka ditinjau dari jenis kelamin, secara simultan religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua dapat menjadi prediktor bagi perilaku seksual remaja Kristen di klasis Sabu Barat Raijua. Religiusitas memiliki pengaruh terhadap perilaku seksual remaja. Religiusitas menjadi kekuatan internal remaja ketika menghadapi perubahanperubahan fisik dan psikologis yang dialami, dan dapat menjadi pengontrol bagi perilaku remaja. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Aini (2011; Putri, 2012; Soetjiningsih, 2008b; Penhollow dkk., 2005). Namun hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan besar pengaruh serta dimensi religiusitas yang memengaruhi perilaku seksual remaja lakilaki dan remaja perempuan. Berdasarkan Tabel 4.31 dan Tabel 4.34, terlihat bahwa pengaruh religiusitas terhadap perilaku seksual pada remaja laki-laki sebesar 16,9 %, dimana terkait dengan dimensi praktik (6,1%) dan dimensi keyakinan (6,5 %). Sementara pada remaja perempuan, pengaruh religiusitas terhadap perilaku seksual remaja perempuan sebesar 37,4 %, dimana terkait dengan dimensi pengetahuan (14,1%) dan dimensi konsekuensi (12,6). Terlihat bahwa terdapat perbedaan besar pengaruh maupun dimensi religiusitas yang memengaruhi perilaku seksual pada remaja laki-laki dan remaja perempuan. Hasil ini memiliki dampak terhadap strategi pendekatan yang harus dilakukan oleh gereja, orangtua, maupun masyarakat untuk mengurangi tingkat perilaku seksual remaja. Bagi remaja laki-laki, perilaku seksual mereka sebenarnya dapat dikontrol dengan cara meningkatkan partisipasi 15 aktif mereka dalam praktik-praktik keagamaan dan meningkatkan keyakinan religius mereka, misalnya partisipasi aktif dalam ibadat-ibadat, maupun kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Sementara bagi remaja perempuan, yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan keagamaan mereka serta konsekuensi-konsekuensi iman yang dialami ketika berperilaku tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keagamaan. Remaja dan religiusitas memang tidak dapat diabaikan. Remaja masa kini memiliki minat dan perhatian yang sungguh terhadap agama dan menganggap agama berperan penting dalam perilaku karena nilai-nilai religiusitas merupakan sumber sikap moral bagi banyak individu, dalam hal ini ajaran-ajaranya memainkan peran dalam membentuk sikap individu, nilai-nilai dan keputusan-keputusan (Odimegwu, 2005). Spiritualitas dan keyakinan keagamaan merupakan salah satu komponen penting dalam membangun kehidupan yang bermakna dalam sisi psikologis seseorang. Pajanan media pornografi memiliki dampak terhadap perilaku seksual remaja. Hasil media pornografi ini mendukung penelitian Soetjiningsih (2008b; Effili, 2009; Strasburger, 2010; Viatonu & OladipupoOkorie, 2014) bahwa pajanan media pornografi memengaruhi perilaku seksual remaja. Pada remaja laki-laki hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pajanan media pornografi terhadap perilaku seksual remaja lakilaki sebesar 14,4 %, secara khusus pada dimensi penerimaan (11,1%). Sementara pada remaja perempuan pengaruh pajanan media pornografi terhadap perilaku seksual remaja perempuan sebesar 8,2 % pada dimensi penerimaan (6,1%). Masa remaja dengan perubahan-perubahan hormonal menimbulkan kuatnya dorongan seks. Oleh karena itu remaja memiliki rasa ingin tahu tentang seks cukup tinggi. Pada saat yang sama media massa selalu memiliki tujuan utama yakni untuk menarik pendengar, pembaca, atau penonton, karena itu mereka selalu mendesain sedemikian rupa agar memengaruhi dan merangsang dari pada mengajari (Brown & Keller, 2000). Sebagai hasilnya, banyak proporsi gambar dalam media, baik itu media cetak mau pun elektronik selalu mengarah pada seksualitas atau erotisme (Brown, 2002). Karena itu menurut Soetjiningsih (2008b) pesan-pesan seksual yang ditampilkan oleh media akan sangat menarik kecenderungan remaja mengimitasi. 16 Demikian pula peubah pola asuh permisif orangtua memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku seksual remaja di klasis Sabu Barat Raijua. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Nur Hidayah dkk. (2013; Nursal, 2008) bahwa terdapat pengaruh pola asuh permisif orangtua terhadap perilaku seksual remaja. Pada remaja laki-laki, pengaruh pengaruh pola asuh terhadap perilaku seksual remaja laki-laki sebesar 13,6 %, pada dimensi kurangnya rasa percaya diri (5,2%) dan dimensi kurangnya tindak lanjut (7,7%). Sementara itu, pengaruh pola asuh permisif terhadap perilaku seksual remaja perempuan sebesar 15,5%, juga pada dimensi kurangnya rasa percaya diri (6,9%) dan kurangnya tindak lanjut (7,2%). Menurut Djiwandono (2008) bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. Interaksi antara remaja dengan orang tua menunda bahkan mengurangi perilaku hubungan seksual pada remaja (Nur Hidayah & Maryatun, 2013). Berdasarkan analisa World Health Organization (WHO) pada berbagai literatur kesehatan reproduksi dari seluruh dunia yang menyatakan bahwa pola asuh adalah merupakan faktor risiko perilaku seksual risiko berat (Nur Hidayah & Maryatun, 2013). Pada uji yang lain yakni uji t, hasil uji menunjukan nilai signifikansi asimtotik sebesar 0,007 (p˂0,05) yang berarti terdapat perbedaan signifikan perilaku seksual antara remaja laki-laki dan perempuan. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Suwarni (2009, dalam Nur Hidayah dkk, 2013; Nursal, 2008; Setiawan & Nurhidayah, 2008; Soetjiningsih, 2008b; Rahyani dkk, 2012; Amin, 2014), bahwa terdapat perbedaan perilaku seksual antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Remaja laki-laki masih lebih bersikap permisif (cenderung menyetujui) dari pada remaja wanita dimana sikap permisif ini bisa dipengaruhi oleh pandangan masyarakat bahwa lakilaki masih dianggap lebih bebas dari pada wanita (Setiawan & Nurhidayah, 2008). Secara teoritis memang terdapat perbedaan usia pubertas dan kematangan seksual antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak terlibat dalam perilaku berisiko disebabkan oleh pengaruh-pengaruh psikososial, seperti kemampuan untuk berpikir logis yang terbatas, pengaturan emosi yang lemah, serta rentan terhadap pengaruh teman sebaya (Rahyani dkk, 2012). Penelitian Lestary & Sugiharti (2011) menyatakan 17 bahwa remaja laki-laki secara statistik terbukti memiliki peluang 27 kali lebih besar untuk berprilaku berisiko dibandingkan dengan remaja perempuan. Analisis SKKRI tahun 2007 (dalam Lestary & Sugiharti, 2011) menunjukkan remaja laki-laki berpeluang 5 kali lebih besar untuk hubungan seksual pranikah, jika dibandingkan dengan remaja perempuan dengan peningkatan prevalensi hubungan seksual pranikah pada remaja laki-laki meningkat sebanyak 1,8% dan perempuan 0,2% dibandingkan dengan analisis SKKRI tahun 2002-2003. Pendapat lain menyatakan bahwa umumnya pemantauan/pengawasan orangtua lebih kepada remaja perempuan, sehingga mereka cenderung kurang berperilaku beresiko dibandingkan remaja laki-laki (Soetjiningsih, 2008b). Perilaku seksual merupakan persoalan yang multidimensial, dipengaruhi oleh berbagai faktor dari dalam diri maupun dari luar diri remaja (Soetjiningsih, 2008b). Oleh karena itu menurut Rahayani dkk. (2012) alasan remaja mulai melakukan hubungan seks pranikah lebih banyak tidak diketahui, selain karena hasrat atau dorongan seksual. Remaja melakukan hubungan seks pranikah akibat situasi atau kesempatan remaja bersama-sama di dalam ruangan yang pribadi dan kondisi ini disebut “situations of sexual possibility”. Seks dianggap mencerminkan kebebasan, memelihara hubungan, kedekatan, keintiman, atau cinta. KESIMPUAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan peubah religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua merupakan prediktor perilaku seksual remaja ditinjau dari jenis kelamin. Pada remaja laki-laki uji simultan menunjukkan nilai R 0,670 dan nilai R2 0,448. Sedangkan uji simultan pada remaja perempuan menunjukkan nilai R 0,782 dan R2 0,611. Selanjutnya hasil uji t terlihat bahwa terdapat perbedaan signifikan antara perilaku seksual remaja laki-laki dan remaja perempuan karena nilai signifikansi asimtotik 0,007 (p˂0,05), dimana remaja laki-laki lebih tinggi dengan perbandingan rata-rata 9,25 dan 8,83. 18 Saran a. Remaja harus mau dan mampu menyaring serta tidak menerima begitu saja pajanan media pornografi yang semakin meningkat saat ini. b. Remaja harus meningkatkan nilai religiusitas sebagai salah satu kekuatan internal yang dapat mengontrol keinginan dan perilaku remaja. c. Orangtua harus mengurangi pola asuh permisif terhadap remaja karena terbukti pola asuh permisif dapat menjadi salah satu sumber perilaku seksual remaja. d. Orangtua harus meningkatkan pola pengasuhan yang bersifat autoritatif yang memberi kebebasan sekaligus kontrol terhadap remaja. e. Gereja harus mengambil bagian secara aktif dalam sosialisasi dan pengajaran tentang pentingnya perilaku seksual yang sehat bagi remaja-remaja Kristen. f. Secara sadar gereja harus menyiapkan wadah bagi remaja untuk mengembangkan potensi diri mereka lewat kegiatan-kegiatan gerejawi sesuai perkembangan mereka. Penelitian Selanjutnya Berdasarkan hasil penelitian ini penulis merekomendasikan agar dalam penelitian-penelitian selanjutnya dapat ditambahkan aspek-aspek psikologi lainnya, misalnya aspek locus of control, budaya, dan tekanan teman sebaya. 19 DAFTAR PUSTAKA Adeboyejo, A.T dan Onyeonoru, I. P. (2003). Residential density and adolescent reproductive health problems in Ibadan, Nigeria. African population studies. 18(1). 81-95. Aguma, R. P., Dewi, A. P., & Karim, D. (2012). Hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seksual remaja di SMA Tribhakti Pekanbaru. Universitas Riau: Program studi ilmu keperawatan. Aini, L. N. (2011). Hubungan pemahaman tingkat agama (religiusitas) dengan perilaku seks bebas pada remaja di SMAN 1 Bangsal Mojokerto. Jurnal Keperawatan,01(01). Amin, A. (2014). Hubungan menonton sinetron percintaan dan membaca cerita percintaan dengan perilaku seks remaja. Jurnal heritage, 2(2), 43-51 Anesia, F., & Notobroto, H. B. (2013). Faktor yang memengaruhi perilaku seksual pranikah remaja yang bertunangan. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 2(2),140–147 Asekun-Olarinmoye, O. S., Asekun-Olarinmoye, E. O., & Adebimpe, W. O., & Omisore, A. G. (2014). Effect of mass media and Internet on sexual behavior of undergraduates in Osogbo Metropolis, Southwestern Nigeria. Adolescent Health, Medicine and Therapeutics, 5, 15-23 Azam, A., Qiang, F., Abdulah, M. I., & Abbas, S. A. (2012). Impact of 5-d of religiosity on diffusion rate of innovation. International Journal of Business and Social Science, 2(17), 177-185, diunduh dari http://ijbssnet.com/journals/Vol_2_No_17/24.pdf, tanggal 17 Juni 2015 Azinar, M. (2013). Perilaku seksual pranikah berisiko terhadap kehamilan tidak diinginkan. Kemas 8(2),153-160 Azwar, S. (2015). Penyusunan skala psikologi (2nd.Ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Banum, F. O. S., & Setyorogo, S. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa semester V STIKES X Jakarta Timur 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1), 12-19 BKKBN. (2010). Kajian profil penduduk remaja (10-24 thn): ada apa dengan remaja?. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan, Seri I No.6/Pusdu-BKKBN. Brown. D.J. (2002). Mass media influence on sexuality. Journal of sex research, 39(1), 42-45 Brown, J.D., & Keller, S.N. (2000). Forum: Can the mass media be healthy sex educators?. Family planning perspectives. 32(5) 20 Cole, L. (1959). Psychology of adolscence (5th Ed). New York: Holt, Rinehart and Winston. Dhira. (2010). Seks bebas pada kalangan remaja. diunduh dari: http://student go.id /Lists/Artikel/ Disp Form. aspx? ID =130 &Content Type Id =0x01003 DCABABC 04B7084595DA 364423DE7897.html, pada pada 12 Juni 2015. Djarir, I. (2005). Kemerosotan religiusitas. Diunduh dari http//www.suaramerdeka.com/harian/0508/06/opi4.htm, tanggal 20 Juni 2015 Djiwandono, S. (2008). Pendidikan seks keluarga. Jakarta: PT. Indeks Effili. (2009). Hubungan faktor personal lingkungan sosial dan keterpaparan media dengan perilaku seksual remaja di akademi kebidanan Muhammadiyah rumah sakit Islam Jakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Respati Indonesia Escobar-Chaves, S.L., Tortolero, S.R., Markham, C.M., Low, B.J., Eitel, P., & Thickstun, P. (2005). Impact of the media on adolescent sexual attitudes and behaviors. Pediatrics, 116(1), 303-326. Farisa, T.D., Deliana, S.M., & Hendriyani, R. (2013). Faktor-faktor penyebab perilaku seksual menyimpang pada remaja tunagrahita SLB N Semarang. Developmental and clinical psychology, 2(1), 26-32. Haryanto, R., & Suarayasa, K. (2013). Perilaku seksual pranikah pada siswa SMA Negeri 1 Palu. Jurnal academica fisip untad, 05(02), 11181125 Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang hidup. Jakarta: Erlangga. Kearney, A. (2010). Kebebasan mengakses media bagi anak-anak dan remaja perlu didukung tetapi secara aman. Harian Jawa Pos tanggal 24 Juli, 2010. Kopko, K. (2007). Parenting styles and adolescents. diunduh dari http://www.human.cornell.edu/pam/outreach/parenting/parents/uploa d/Parenting-20Styles-20and-20Adolescents.pdf, tanggal 25 Juli 2015 KPAI. (2010). Badai menerpa remaja Indonesia: seks dan HIV/AIDS. Diperoleh dari http://www.kpai.go.id, tanggal 10 Juli 2015 Lestary., Heny, dan Sugiharti. (2011). Perilaku berisiko remaja di indonesia menurut survey kesehatan reproduksi remaja indonesia (SKRRI) Tahun 2007. Jurnal kesehatan reproduksi. Marbun. (2011). Hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seksual remaja. Diperoleh dari http://repository.usu.ac.id, tanggal 10 Juli 2015 21 Marza, M. (2010). Hubungan antara pola asuh permisif orangtua dengan tindakan seksual remaja di SMK Cendana Padang Panjang. Penelitian keperawatan komunitas: Program Studi Ilmu Keperawatan: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Mberu, U. B. (2008). Protection before the harm: The case of condom use at the onset of premarital sexual relationship among youths in Nigeria. African population studies. 23(1). 57-83. Muzayyanah. (2008). Dampak perilaku seks bebas bagi kesehatan remaja. Diunduh dari http://halalsehat.Com/index.php/RemajaSukses/dampak-perilakuseks-bebas-bagi-kesehatan-remaja, pada tanggal 25 Juli 2015. Niron, Y.M., Marni., & Limbu, R. (2012). Hubungan antara pola asuh orangtua dengan perilaku seksual siswa SMA Negeri 3 Kota Kupang tahun 2012. MKM, 07(01), 60-71. Nuandri, V.T., & Widayat, I.W. (2014). Hubungan antara sikap terhadap religiusitas dengan sikap terhadap kecenderungan perilaku seks pranikah pada remaja akhir yang sedang berpacaran di universitas Airlangga Surabaya. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, 3(2). 60-69 Nur Hidayah, N. F., & Maryatun. (2013). Hubungan antara pola asuh orangtua dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di SMK Batik 1 Surakarta. Gaster, 10(2), 53-61 Nursal, D. G. A. (2008). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007. Jurnal kesehatan masyarakat, 2(2), 175-180 Nurudin. (2003). Komunikasi massa. Malang: CESPUR Penhollow, T., Young, M., & Denny, G. (2005). The impact of religiosity on the sexual behaviors of college students. American journal of health education, 36(2), 75-83 Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Menyelami perkembangan manusia (12th Ed.). Jakarta: Salemba Humanika Petranto. (2006). Rasa percaya diri anak adalah pantulan pola asuh orangtuanya. Diunduh dari http://dwpptrijenewa.isuisse.com, tanggal 17 Juli 2015 Pratiwi, N. L., & Basuki, H. (2010). Analisis hubungan perilaku seks pertama kali tidak aman pada remaja usia 15–24 tahun dan kesehatan reproduksi. Buletin penelitian sistem kesehatan, 13(4), 309–320 Pratiwi, N. L., & Basuki, H. (2011). Hubungan karakteristik remaja terkait risiko penularan HIV-AIDS dan perilaku seks tidak aman di Indonesia. Buletin penelitian sistem kesehatan,14(4), 346–357 22 Prihatin, T.W. (2007) . Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap siswa SMA terhadap hubungan seksual (intercourse) pranikah di kota Sukoharjo. Diperoleh tanggal 04 Agustus 2015, dari http://eprints.undip.ac.id. Purnomowardani, A. D., & Koentjoro. (2000). Pengungkapan diri, pelaku seksual dan penyalahgunaan narkoba. Jurnal psikologi universitas indonesia. Putri, F. A. (2012). Perbedaan tingkat religiusitas dan sikap terhadap seks pra nikah antara pelajar yang bersekolah di SMA umum dan SMA berbasis agama. Jurnal ilmiah mahasiswa universitas surabaya,1(1), 1-9 Rahyani, K.Y., Utarini, A., Wilopo, S.A., & Hakimi, M. 2012. Perilaku seks pranikah remaja. Kesmas, Jurnal kesehatan masyarakat nasional, 7(4), 180-185. Rakhmat, J. (2004). Psikologi komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Reitsma, J., Scheepers, P., & Grotenhuis, M. (2006). Dimensions of individual religiosity and charity: Cross national effect differences in European countries?. Revtew of religtous research, 47(4), 347-362 Robinson, C. C., Mandleco, B., & Olsen, S. F., & Hart, C. H. (1995). Authoritative, authoritarian, and permissive parenting practices: development of a new measure. Psychological reports, 7 7, 819-8 30. Rokhmah, D. & Khoiron. (2015). The role of sexual behavior in the transmission of HIV and AIDS in adolescent in coastal area. Procedia environmental sciences, 23, 99-104 Rwenge, M.J.R. (2003). Poverty and sexual risk behaviour among young people in Bamenda, Cameroon. African population studies. 18(2). 91104. Santrock, J. W. (2007). Remaja (ed. 11). Jakarta: Erlangga Saputra, I. (2014). Pengaruh penggunaan media dan interaksi komunikasi kelompok teman sebaya terhadap perilaku seksual remaja ( kasus desa Ciherang, kecamatan Dramaga, kabupaten Bogor, provinsi Jawa Barat). Makalah kolokium. Sains komunikasi dan pengembangan masyarakat. Sarwono, S. W. (2013). Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Press. Setiyati, E, S. (2006). Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku seksual remaja. Yogyakarta: UGM Singh, S. & Darroch, J. E. (1999). Trends in sexual activity among adolescent American women: 1982–1995. Family planning perspectives, 31(5), 212–219 23 Soejoeti, S. Z. (2001). Perilaku seks di kalangan remaja dan permasalahannya. Media litbang kesehatan, XI(1), 30-35 Soetjiningsih, Ch. H. (2008a). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja. Disertasi. Program Pendidikan Doktor: Fakultas Psikologi UGM Soetjiningsih, Ch. H. (2008b). Uji model teoretis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja. Jurnal psikologi, 22(2), 36-59. Soetjiningsih, Ch. H. (2014). Perkembangan anak: sejak pembuahan sampai dengan kanak-kanak akhir. Jakarta: Prenadamedia group. Strasburger, V. C. (2010). Sexuality, contraception, and the media. Pediatrics, 123(3), 576-582. Thoernburg, H. D. (1982). Development in adolesent. California: Bronks Cole Publishing Company. Utomo, I. D. & McDonald, P. (2009). Adolescent reproductive health in Indonesia: contested values and policy in action. Studies in family planning journal,40(2), 133-46. Viatonu, O., & Oladipupo-Okorie, B. O. (2014). Pre-marital sex among secondary school students: Do mass media and peer group matter?. International journal of development and sustainability, 3(7), 15491557 Widhiarso, W. (2011). SKALO : Program analisis skala Guttman. Program Komputer. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Wulandari, N. (2014). Pengaruh konformitas dan pemahaman agama terhadap perilaku seksual pada siswa MAN 2 Samarinda. eJournal psikologi, 2(2),123-136 Yuanita, Ch., & Herani, I. (2014). Hubungan pola asuh permisif orang tua dengan sikap remaja terhadap perilaku seks pranikah. Diakses 07 Juli 2015, dari http://psikologi.ub.ac.id/wp content/uploads/2014/11/JURNAL1.pdf Yuningsih, R. (2014). Legalisasi aborsi korban pemerkosaan. Info singkat kesejahteraan sosial, VI(16/II/P3DI), 9-12 24