Religiusitas, Pajanan Media Pornografi, dan Pola Asuh Permisif

advertisement
Religiusitas, Pajanan Media Pornografi, Dan Pola Asuh Permisif
Orangtua Sebagai Prediktor Perilaku Seksual Remaja Kristen Di Klasis Sabu Barat
Raijua Ditinjau Dari Jenis Kelamin
Daniel Hendrik, Christiana H Soetjiningsih, A. Ign. Kristijanto
PROGDI MAGISTER SAINS PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
Religiusitas, Pajanan Media Pornografi, Dan Pola Asuh Permisif
Orangtua Sebagai Prediktor Perilaku Seksual Remaja Kristen
Di Klasis Sabu Barat Raijua Ditinjau Dari Jenis Kelamin
Daniel Hendrik, Christiana H Soetjiningsih, A. Ign. Kristijanto
Program Pasca Sarjana Magister Sains Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT
The aim of this research is to find out about the effect of religiousity,
media pornography exposure,and permissive parenting style simultaneously
towards sexual behavior of Christian adolescent in West Savu and Raijua.
Samples of this research are 258 of middle and late adolescent. Data was
collected by spreading psychological scale. There were four scales, which
were sexual behavior scale (Soetjiningsih, 2008a), religiousity scale (Azam et
al.,2012), media pornography exposure scale (Soetjiningsih, 2008a), and
permissive parenting style scale (Robinson et al., 1995). All data is analyzed
with multivariate double linear regression analysis by SPSS Windows 17.0
program. The result showed that religiousity,media pornography exposure,
and permissive parenting style simultaneously affected sexual behavior of
adolescent in West Savu and Raijua (R2 = 0,448, Fhitung = 30,882; in
significance level 0,000 < 0,05) for male adolescent, and R2 = 0,611 Fhitung
= 66,975; in significance level 0,000 < 0,05) for female adolescent.
Keywords: Religiousity,media pornography exposure, permissive parenting
style, sexual behavior.
1
PENDAHULUAN
Dalam teori-teori perkembangan individu, masa remaja selalu
diindentifikasi sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Masa yang diikuti dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007), di mana yang terbesar pengaruhnya pada
perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh, mulai berfungsinya
alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada
laki-laki), dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2013).
Menurut Soejoeti (2001), perkembangan fisik berjalan sangat cepat,
sehingga pada masa remaja berakhir mereka sudah memiliki organ seksual
primer maupun sekunder sebagaimana halnya orang dewasa. Ada suasana
baru yang harus dihadapi remaja terkait perubahan biologis yang drastis,
termasuk tuntutan-tuntutan baru yang harus dijalani. Perubahan-perubahan
ini memengaruhi kedewasaan pikiran dan sikap, penerimaan diri, dan
pergaulan dalam lingkungan sosialnya (Cole, 1959), yang menjadikan remaja
sangat dekat dengan permasalahan seputar seksual (Pratiwi & Basuki, 2011),
dan rentan mengarah pada masalah perilaku seks pranikah (Muzayyanah,
2008).
LATAR BELAKANG
Sebagai periode di mana perkembangan hormonal dan seksual
menuju kematangan, remaja mengalami dorongan kuat untuk
memanifestasikan dorongan seksual yang dirasakan dalam bentuk perilaku
seksualnya. Menurut Haryanto dan Suarayasa (2013) banyaknya remaja yang
terlibat dalam aktivitas seksual seringkali menimbulkan ancaman terhadap
kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang beresiko pada remaja, serta
menjadi salah satu penghambat upaya peningkatan kualitas remaja
(Soetjiningsih, 2008b).
Menurut Sarwono (2013), masalah perilaku seksual pada remaja
seringkali mencemaskan orangtua, pendidik, pejabat pemerintah, dan bahkan
bagi remaja sendiri sebagai individu. Padahal remaja adalah periode
peralihan ke masa dewasa, di mana mereka seyogianya mulai
mempersiapkan diri menuju kehidupan dewasa, termasuk dalam aspek
seksualnya. Oleh karena itu perhatian pada membentuk perilaku seksual
yang positif menjadi sebuah kebutuhan untuk membentuk pribadi-pribadi
usia remaja yang lebih produktif, sehat, dan bertanggungjawab.
2
Beberapa dampak perilaku seksual remaja menurut Sanderowitz dan
Paxman (1985, dalam Sarwono, 2013), misalnya kebingungan akan peran
sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil, terjadi
cemoohan dan penolakan masyarakat sekitar, terganggunya kesehatan dan
resiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi. Hasil penelitian dari
Prihatin (2007) memperlihatkan bahwa dampak fisik hubungan seksual
pranikah pada remaja adalah sebagian partisipan telah hamil dan menikah di
usia dini, di samping itu dampak psikologis yang dialami adalah mayoritas
mengalami kecemasan terutama yang hamil dan kemudian harus menikah
karena mereka harus mengurus keluarga sendiri, dengan kemampuan
ekonomi yang masih pas-pasan.
Perilaku seksual remaja juga bisa menimbulkan permasalahan baru
yang akan dihadapi oleh remaja dan lingkungannya seperti aborsi, penularan
penyakit seksual menular, HIV/AIDS, pelacuran dan tindakan-tindakan
asusila jika dibiarkan terus menerus (Saputra, 2014). Proses transmisi
HIV/AIDS yang semakin meningkat menjadi ancaman tersendiri bagi remaja
yang merupakan salah satu fase yang mempunyai kerentanan tinggi terhadap
penularan HIV-AIDS, suatu masa yang mempunyai mobilitas sosial yang
paling tinggi dibandingkan masa usia lainnya (Pratiwi & Basuki, 2011).
Menurut Yuningsih (2014), praktik aborsi diduga meningkat sekitar
15 persen setiap tahun. Berdasarkan data BKKBN tahun 2010 kasus aborsi di
Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa per tahun. Yang mengawatirkan adalah
terdapat 1-1,5 juta kasus aborsi di antaranya dilakukan oleh remaja. Sesuai
Laporan yang diterima Center for Disease Control and Prevention (CDCP)
dari 30 negara, tahun 2000 ditemukan 2.900 kasus HIV baru pada remaja
dengan rentang usia 15-24 tahun. Tahun 2006, 57,8% kasus AIDS yang
teridentifikasi terjadi pada remaja (Rokhmah & Khoiron, 2015).
Dampak yang ditimbulkan dari perilaku seksual remaja yang tidak
terkontrol merupakan sebuah persoalan serius bagi remaja. Sementara itu, di
sisi lain perilaku seksual remaja secara kuantitas menunjukkan peningkatan.
Studi di Amerika menyatakan bahwa banyak remaja telah melakukan
hubungan seks di SMA (Singh & Darroch, 1999). Setiap tahun 900.000
remaja perempuan di Amerika mengalami kehamilan (340.000 diantaranya
berusia 17 tahun). Hasil lainnya menunjukkan bahwa 47% pelajar SMA
pernah melakukan hubungan seksual, 7,4 % diantaranya melakukan
hubungan seksual sebelum usia 13/14 tahun (Escobar-Chaves dkk., 2005).
3
Studi sebelumnya di Indonesia tentang perilaku seks remaja,
memperoleh hasil sekitar 25% - 51% remaja telah berhubungan seks
pranikah (Utomo & McDonald, 2009). Penelitian di Bandung tahun 1991
menunjukkan dari pelajar SMP, 10,53 persen pernah melakukan ciuman
bibir, 5,6 persen melakukan ciuman dalam, dan 3,86 persen pernah
berhubungan seksual (Pratiwi & Basuki, 2010).Tahun 2005-2006 di kotakota besar di Indonesia, angka hubungan seks pra nikah pada remaja sebesar
47,54%.
Hasil Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007
(BKKBN, 2010) menunjukkan sebesar 6,4% remaja laki-laki dan 1,3%
remaja perempuan telah melakukan hubungan seks pranikah, sekitar 51 %
remaja di wilayah Jabodetabek sudah tidak perawan. Sebanyak 4%
responden yang mengaku melakukan hubungan seksual sejak usia 16-18
tahun, 16 % melakukan pada usia 13-15 tahun. Kejadian seks pranikah di
Surabaya mencapai 47%, di Bandung dan Medan 52% (Banum dan
Setyorogo, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak tahun
2007 (dalam Dhira, 2010) di 12 provinsi di Indonesia, khususnya pada kotakota besar menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan dimana 93,7 %
anak SMP dan SMU telah melakukan petting (menempelkan alat kelamin),
ciuman, dan oral seks (seks melalui mulut), 62, 7% anak SMP sudah tidak
perawan, 21,2 % remaja SMA telah melakukan aborsi dan sekitar 97 %
pelajar SMP maupun SMA sering menonton film porno. Menurut survai
yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun
2010, sebanyak 32% remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia
pernah berhubungan seksual.
Terdapat banyak faktor yang berkontribusi dan menjadi penyebab
perilaku seks remaja. Menurut Brown (2008, dalam Pratiwi & Basuki, 2010),
sejumlah faktor memengaruhi keputusan remaja tentang perilaku seks,
diantaranya, komunikasi orangtua dalam keluarga, norma-norma teman,
prinsip-prinsip religiusitas, dan norma-norma komunitas. Selain itu
termasuk juga faktor ras, kemiskinan, minuman keras dan alkohol, pengaruh
teman sebaya, dan pengaruh pengasuhan (Escobar-Chaves dkk., 2005).
Demikian pula faktor lingkungan, dorongan rasa ingin tahu untuk mencoba
(Pratiwi & Basuki, 2010), status ekonomi keluarga, pemukiman padat,
kontrol orangtua, etnik, dan media (Adeboyejo & Onyeonoru, 2003;
4
Rwenge, 2003; Mberu, 2008;), usia pubertas, pengetahuan, sikap, status
perkawinan orang tua, pola asuh orang tua, jumlah pacar, lama pertemuan
dengan pacar, paparan media elektronik dan media cetak (Nursal, 2008),
religiusitas, pajanan media pornografi, tekanan teman sebaya, hubungan
orangtua anak (Soetjiningsih, 2008b). Awalnya remaja ingin tahu tentang
aktivitas seksual, lalu mencoba, lalu ketagihan dan menganggap seksulitas
pranikah itu biasa.
Terkait peran peubah religiusitas, penelitian yang dilakukan oleh
Penhollow dkk. (2005) menunjukkan bahwa peubah religiusitas merupakan
prediktor yang signifikan pada perilaku seksual remaja. Demikian juga
penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) menunjukkan bahwa tingkat
religiusitas (remaja) memiliki dampak pada perilaku remaja, termasuk
perilaku seksual pranikah. Studi yang dilakukan Aini (2011) di SMA 1
Bangsal Mojokerto memperlihatkan hubungan yang signifikan antara faktor
religiusitas dan perilaku seksual remaja. Demikian pula penelitian yang
dilakukan oleh Azinar (2013), dan Soetjiningsih (2008ᵇ ) yang menunjukkan
adanya pengaruh langsung (negatif) religiusitas terhadap perilaku seksual
remaja.
Selain itu, dampak perkembangan globalisasi terhadap sikap dan
pembentukan perilaku seksual remaja tidak bisa diabaikan. Sesuai hasil dari
beberapa penelitian, nampak bahwa pajanan media pornografi juga memiliki
pengaruh bagi perilaku seksual remaja. Strasburger (2010), lewat sembilan
studi longitudinal menunjukkan bahwa tujuh studi diantaranya membuktikan
pajanan konten seksual di televisi atau media lainnya dapat berdampak ganda
pada perilaku seksual remaja. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh
Viatonu dan Oladipupo-Okorie (2014). Sudhana dkk. (1991, dalam Soejoeti,
2001) melakukan penelitian tahun 1991 terhadap perilaku seksual
menyimpang pada remaja dan membuktikan bahwa faktor lingkungan dan
film porno sangat dominan pengaruhnya. Penelitian yang dilakukan
Soetjiningsih (2008ᵇ ) menunjukkan bahwa pajanan media pornografi
berpengaruh langsung terhadap perilaku seksual remaja.
Pengaruh pajanan media pornografi terhadap perilaku seksual remaja
tidak terlepas dari semakin meningkatnya remaja meng-akses media massa
secara bebas. Di Amerika, para remaja menghabiskan 6-7 jam sehari
bersama salah satu media massa (Brown & Keller, 2000) dimana semua
memiliki televisi di kamar masing-masing. Bahkan studi terbaru yang
5
dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), pemerintah
dan didukung UNICEF menemukan rata-rata anak-anak Indonesia menonton
acara TV hingga 45 jam per minggu (Kearney, 2010). Secara keseluruhan,
75% remaja mengakses internet di rumah, 60% di sekolah, dan 41 % akses di
tempat lain.
Kondisi ini dilengkapi hasil penelitian Strasburger (2010), yaitu 75%
program di media selalu berisi konten seksual, dan didalamnya hanya 14 %
yang berbicara tentang resiko dan tanggungjawab dari aktivitas seksual. Di
samping itu juga majalah-majalah rata-rata menyediakan 2,5 halaman bagi
isu-isu seputar seks, seperti bagaimana meningkatkan kehidupan seks,
bagaimana mencapai orgasme, maupun bagaimana terlihat seksi. Data
menunjukkan dari remaja usia 12-18 tahun, 16% mendapat informasi seputar
seks dari teman, 35% dari film porno, dan hanya 5% dari orang tua (Pratiwi
& Basuki, 2010).
Remaja dan perilaku seksual mereka merupakan bagian dari
perkembangan individu. Proses yang diperhadapkan dengan berbagai hal
seiring makin luasnya lingkungan interaksi sosial mereka. Oleh karena itu
orangtua yang paling dekat dengan remaja, harus menjadi filter dan benteng
terhadap pengaruh nilai-nilai dan norma dari luar, terutama yang berasal dari
tayangan-tayangan televisi (Aguma dkk., 2012). Bagaimana bentuk
pengasuhan yang diberikan orangtua berdampak pada perkembangan dan
perilaku seksual anak. Kesalahan dalam penerapan pola asuh menyebabkan
terjadinya perilaku seksual yang menyimpang (Farisa dkk., 2013)
Beberapa penelitian telah membuktikan dampak pola asuh bagi
perilaku seksual remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Aguma dkk. (2012)
terhadap 177 remaja membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pola asuh orangtua dengan perilaku seks beresiko pada remaja. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setiyati (2006) dan
Wulandari (2010), di mana masing-masing penelitian membuktikan adanya
hubungan signifikan antara pola asuh dan perilaku seksual remaja. Demikian
pula penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayah dan Maryatun (2013)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan
perilaku seksual remaja.
Secara khusus pengaruh pola asuh permisif terhadap perilaku seksual
remaja, beberapa penelitian telah membuktikan hasil yang signifikan.
Penelitian yang dilakukan Yuanita dan Herani (2014) di kota Malang,
6
maupun penelitian dari Niron dkk. (2012) di kota Kupang menunjukkan
terdapat pengaruh positif antara pola asuh permisif dengan perilaku seksual
remaja. Demikian pula hasil penelitian dari Marza (2010) di SMK Cendana
Padang Panjang. Sebaliknya, hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh
Marbun (2011) bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh dengan perilaku
seksual remaja.
Faktor jenis kelamin juga memiliki dampak pada perilaku seksual
remaja. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan usia kematangan seksual
remaja laki-laki dan remaja perempuan. Menurut Papalia dan Feldman
(2014), pada remaja laki-laki, tanda utama kematangan seksual adalah
produksi sperma, di mana ejakulasi pertama atau spermache terjadi diusia
sekitar 13 tahun (ditandai dengan mimpi basah). Sementara itu, tanda utama
kematangan seksual pada anak perempuan adalah menstruasi yang terjadi
bisa sangat beragam, mulai dari usia 10 hingga 16½ tahun. Menurut Hurlock
(1980) rata-rata laki-laki lebih lambat matang daripada remaja perempuan,
maka laki-laki mengalami periode awal masa remaja yang lebih singkat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan usia kematangan
seksual berpengaruh pada perilaku seksual remaja. Penelitian yang dilakukan
Nursal (2008) di kota Padang menunjukkan bahwa faktor jenis kelamin
memiliki pengaruh terhadap perilaku seksual remaja. Menurut Amin (2014)
ada perbedaan yang sangat signifikan pada perilaku seks bebas antara remaja
laki-laki dan perempuan, di mana rata-rata perilaku seks remaja laki-laki
lebih besar daripada remaja perempuan. di mana rata-rata perilaku seks
bebas remaja laki-laki lebih tinggi (rerata = 197.339) dibandingkan remaja
perempuan (rerata = 166.370). Hasil sebaliknya ditunjukkan oleh Anesia dan
Notobroto (2013) bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku
seksual remaja.
RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian
dirumuskan sebagai berikut: Apakah religiusitas, pajanan media pornografi,
dan pola asuh permisif orangtua merupakan prediktor bagi perilaku seksual
remaja Kristen ditinjau dari jenis kelamin di klasis Sabu Barat Raijua.
7
KAJIAN PUSTAKA
Perilaku Seksual Remaja
Perilaku seksual didefinisikan sebagai manifestasi dari adanya
dorongan seksual yang dapat diamati secara langsung melalui perbuatan
yang tercermin dalam tahap- tahap perilaku seksual, dari tahap yang paling
ringan hingga yang paling berat (Purnomowardani & Kuncoro, 2000).
Sementara menurut Thoernburg (1982), seksualitas meliputi karakteristik
fisik dan kapasitas untuk berperilaku seks yang dipadukan dengan hasil
proses belajar psikososial (nilai, sikap, dan norma) sehubungan dengan
perilaku tersebut.
Pada kesempatan yang lain, Sarwono (2013) mendefinisikan perilaku
seksual sebagai segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik
dengan lawan jenisnya maupun sesama jenisnya. Sementara perilaku seksual
pra nikah adalah tingkah laku yang berhubungan dengan dorongan seksual
bersama lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan sebelum adanya
tali perkawinan yang sah baik secara hukum maupun agama. Sejalan dengan
itu, Soetjiningsih (2008ᵇ ) mendefinisikan perilaku seksual remaja pranikah
sebagai segala tingkah laku seksual yang didiorong oleh hasrat seksual
dengan lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja sebelum mereka
menikah.
Untuk kepentingan penelitian ini, penulis menggunakan dua belas
tahapan perilaku seksual yang disampaikan dalam Diagram Group (1983,
dalam Soetjiningsih, 2008a): berpegangan tangan, memeluk/dipeluk dibahu,
memeluk/dipeluk dipinggang, ciuman bibir, ciuman bibir sambil pelukan,
meraba atau diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan
berpakaian, mencium atau dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian,
saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, meraba atau
diraba daerah erogen tanpa pakaian, mencium atau dicium daerah erogen
dalam keadaan tanpa pakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam
keadaan tanpa pakaian, hubungan seksual.
Religiusitas
Glock dan Stark (1968, dalam Reitsma dkk., 2006) mengartikan
religiusitas berasal dari kata religi yaitu sistem simbol, sistem keyakinan,
sistem nilai, dan sistem perilaku, yang terlembagakan yang terpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang dimaknai. Menurut
8
Djarir (2005), religiusitas menunjuk pada suatu kesatuan unsur-unsur yang
komprehensif, yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama
(being religious), dan bukan sekedar mengaku mempunyai agama (having
religion).
Studi terbaru lainnya tentang religiusitas lebih fokus pada
multidimensi religiusitas yang mencakup konsep-konsep seperti, subyektif
kognitif, dimensi perilaku, sosial, dan budaya. Penjelasan lain tentang
dimensi religiusitas dipaparkan oleh Glock dan Stark (1965, dalam Azam
dkk., 2012; Reitsma dkk., 2006), yang mengidentifikasi lima dimensi dari
religiusitas, yaitu:
1. Religious Knowledge (The Intellectual Dimension): Dimensi ini
berkaitan dengan pengetahuan atau informasi-informasi yang diperoleh
seseorang berkaitan dengan dasar-dasar imannya.
2. Religious Practise (The Ritualistic Dimension): Dimensi ini berkaitan
dengan perilaku seseorang dalam menyatakan kepercayaannya terhadap
agama. Perilaku yang dimaksudkan di sini mengacu pada perilakuperilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti keanggotaan gereja,
frekuensi kehadiran, tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, dan
berpuasa atau menjalankan ritual-ritual tertentu pada hari tertentu.
3. Religious Feeling (The Experiental Dimension). Dimensi ini berkaitan
dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama. Dalam
Psikologi dikenal dengan istilah religious experience. Setiap agama
mengharapkan bahwa setiap penganut agama mengalami langsung
pengalaman dengan Ilahi yang melibatkan emosi, termasuk di dalamnya
adalah perasaan, persepsi, dan sensasi-sensasi yang dirasakan saat
mengalami suatu “komunikasi” dengan Ilahi.
4. Religious Belief (The Ideological Dimension). Dimensi ini berkaitan
dengan apa yang dipercayai seseorang sebagai suatu kebenaran yang
berkaitan dengan agama yang dianutnya. Hal inilah yang membedakan
satu agama dengan agama yang lainnya. Isi (content) dan ruang
lingkupnya (scope) berbeda-beda pada tiap agama dan dapat didekati dari
perspektif doktrin agama.
5. Religious Effects (The Consequential Dimension): Dimensi ini berkaitan
dengan efek dari keempat dimensi yang lain termasuk di dalamnya
adalah bagaimana agama yang diyakini, secara langsung maupun tak
langsung, menjadi petunjuk dalam bertingkah laku atau bersikap dalam
9
kehidupan sehari-hari individu, baik dalam kehidupan personal, maupun
dalam kehidupan sosialnya.
Pajanan Media Pornografi
Media massa didefinisikan sebagai media-media yang didesain untuk
dikonsumsi oleh khalayak luas lewat teknologi (Asekun-Olarinmoye dkk.,
2014). Menurut Nurudin (2003), media massa adalah alat-alat dalam
komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada
audience yang luas dan heterogen. Sementara itu Media exposure atau
pajanan media menurut Rosengren (1974, dalam Rakhmat, 2004), adalah
penggunaan media terdiri dari jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai
media, jenis isi media, media yang dikonsumsi atau dengan media secara
keseluruhan.
Sementara itu terkait penjelasan tentang pornografi, menurut Cline
(1986, dalam Soetjiningsih, 2008a) pornografi merupakan materi yang berisi
pesan-pesan seksual secara eksplisit yang terutama diharapkan menimbulkan
gairah seksual. Lebih lanjut menurut Cline pornografi dapat dimuat dalam
berbagai media seperti film, majalah, koran, tabloid, CD/DVD, radio,
televisi, internet, HP, serta dapat berwujud foto, pahatan, gambar, gambar
bergerak (termasuk animasi dan suara). Oleh karena itu Cline (1986, dalam
Soetjiningsih, 2008a) membagi pronografi dalam dua bentuk, yakni: Pertama,
softcore pornography, yakni berupa materi atau gambar-gambar terlanjang
dan adegan-adegan yang sexual suggestive.
Kedua, hardcore pornography, atau confidential pornography, yakni
gambar-gambar close up alat-alat kelamin dan aktivitas hubungan seksual
termasuk penetrasi yang menimbulkan rangsangan. Cline (1986, dalam
Soetjiningsih, 2008a) memberi perhatian pada dua dimensi penting terkait
pajanan media pornografi yakni yang disebut sebagai dimensi perhatian, dan
dimensi penerimaan. Dalam penelitian ini, kedua dimensi yang
diperkenalkan Cline menjadi acuan penulis dalam mengukur variabel
pajanan media pornografi.
10
Pola Asuh Permisif
Secara umum terdapat banyak definisi tentang pola asuh orangtua.
Menurut Wulandari (2012) pola asuh adalah segala sesuatu yang dilakukan
orangtua (pengasuh) terhadap anak (yang diasuh) yang meliputi kegiatan
seperti memelihara, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak selama
masa perkembangan anak tersebut serta cara orangtua mengkomunikasikan
sikap dan kepercayaan kepada anak-anaknya. Pola perilaku ini dapat dapat
dirasakan anak, baik dari segi positif maupun negatif (Petranto, 2006).
Secara khusus tentang definisi pola asuh permisif, Bee dan Boys
(2007) mengartikan pola asuh permisif sebagai pola asuh yang di dalamnya
ada kehangatan dan toleran terhadap anak, orang tua tidak memberikan
batasan, tidak menuntut, tidak terlalu mengontrol dan cenderung kurang
komunikasi. Hurlock (1980) menambahkan bahwa pola asuh permisif tidak
memiliki konsekuensi, peraturan dan hukuman bagi anak atas perbuatannya
serta pola komunikasi yang terjadi hanya satu arah saja yaitu dari anak
karena orang tua hanya mengikuti saja.
Pola asuh permisif dipahami sebagai pola asuh yang tidak tegas dan
cenderung membiarkan anak dalam pertumbuhan dan perilakunya. Dengan
berpijak pada tiga tipologi pola asuh Baumrind tahun 1971, menurut Kopko
(2007) pola asuh permisif memiliki karakteristik-karakteristik tertentu:
a. Sangat peramah dan tidak menuntut
b. Merupakan pola asuh yang sangat sabar dan cenderung pasif
c. Jarang mengatakan “tidak” yang dapat mengecewakan anak-anak
mereka
d. Membiarkan anak-anak mengambil keputusan sendiri dianggap
sebagai cara menunjukkan rasa cinta mereka.
Sebagai pola asuh yang cenderung pasif, remaja yang bertumbuh
dalam pola asuh seperti ini menjadi pribadi yang mengambil keputusankeputusan penting sendiri tanpa campur tangan atau masukan-masukan dari
orangtua (Kopko (2007). Di sisi lain, orang tua tidak melihat diri mereka
sebagai bagian penting dalam lingkungan tumbuh kembang anak untuk
mengarahkan perilakunya.
Identifikasi yang cukup berbeda ditunjukkan oleh Robinson dkk.
(1995). Meskipun tetap berpijak pada tiga tipologi pola asuh yang
disampaikan oleh Baumrind, menurut Robbinson dkk., pola asuh permisif
memiliki tiga karakteristik utama, yaitu:
11
a. Kurangnya tindak lanjut dari apa yang disampaikan. Dalam hal ini
hukuman hanya sebatas diucapkan tanpa ditindaklanjuti.
b. Mengabaikan saja perilaku-perilaku anak yang tidak baik
c. Rasa percaya diri. Karakter ini berkaitan dengan keraguan orangtua
dalam bersikap karena berbagai pertimbangan, misalnya takut anakanak tidak menyukainya, meragukan kemampuannya sendiri sebagai
orang tua, merasa kesulitan menyelesaikan persoalan anak.
Dari berbagai karakteristik pola asuh permisif yang ada, dalam
penelitian ini penulis menggunakan karakteristik pola asuh permisif yang
disampaikan oleh Robbinson dkk. (1995) untuk mengembangkan skala
pengukuran variabel pola asuh permisif.
METODE PENGUMPULAN DATA
Hipotesis penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah, terdapat pengaruh secara simultan
antara religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif
orangtua ditinjau dari jenis kelamin, dimana perilaku seksual remaja laki-laki
lebih tinggi remaja perempuan.
Subjek Penelitian
Pengambilan data dalam penelitian ini mengunakan teknik
proportionate stratified random sampling. Populasi dalam penelitian ini
adalah remaja Kristen di klasis Sabu Barat Raijua yang berjumlah 2.585,
yang terdiri dari remaja pertengahan dan remaja akhir. Dari populasi yang
ada sampel yang diambil adalah 258 remaja. Uji kelayakan validitas dan
reliabilitas aitem untuk peubah tak gayut dilakukan dengan melihat corrected
item-total correlations dengan batasan ≥ 0,30 (Azwar, 2015) dan uji reliabel,
nilai koefisien Cronbach Alpha yang dianggap reliabel adalah jika
memenuhi nilai minimal 0,70. Hasil pengujian mengunakan SPSS Windows
17.0.
Pada peubah perilaku seksual remaja yang menggunakan skala
Guttman, metode yang penulis gunakan untuk menguji daya diskriminasi
aitem adalah dengan metode Skalogram atau analisis skala (scale analysis).
12
Secara khusus penulis menggunakan program SKALO berdasarkan Program
Microsoft Excel 2007 yang dibuat oleh Widhiarso (2011). Syarat penerimaan
nilai koefisien reprodusibiltas yaitu apabila koefisien reprodusibiltas
memiliki nilai >0,90. Syarat penerimaan nilai koefisien skalabilitas yaitu
apabila koefisien skalabilitas memiliki nilai > 0,60. Sedangkan uji reliabilitas
menggunakan rumus Kuder Richardson 21 (K21), sebagai berikut:
r11 = (
)(
(
)
Keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
k
= banyaknya butir soal atau pertanyaan
M = rata-rata skor total
Vt = varians total
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data mengunakan skala psikologi. Skala religiusitas,
pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua dibuat dalam
skala Likert dengan lima kategori pilihan jawaban yaitu: SS, S, N, TS, dan
STS. Sedangkan skala perilaku seksual menggunakan skala kumulatif atau
Guttman yaitu subjek yang telah melakukan tahapan perilaku seksual
tertentu diasumsikan pula telah melakukan tahapan sebelumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian membuktikan bahwa hipotesis yang mengatakan
terdapat pengaruh secara simultan antara religiusitas, pajanan media
pornografi, dan pola asuh permisif orangtua terhadap perilaku seksual remaja
di klasis Sabu Barat Raijua ditinjau dari jenis kelamin diterima. Ini terbukti
dari nilai Fhitung pada jenis kelamin laki-laki sebesar 30,883 dengan nilai
signifikansi asimtotik sebesar 0,000 (p˂0,05). Sementara itu pada remaja
perempuan didapat Fhitung 66,975 dengan nilai signifikansi asimtotik 0,000
(p˂0,05).
Hal ini diperkuat dengan besar sumbangan efektif ketiga peubah tak
gayut terhadap peubah gayut sebesar 0,448 pada jenis kelamin laki-laki yang
13
berarti 44,8 % dari variasi yang terjadi pada peubah perilaku seksual remaja
laki-laki di klasis Sabu Barat Raijua dapat dijelaskan oleh variasi dari peubah
religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua.
Sedangkan sisanya sebesar 55,2% dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini. Sementara pada remaja perempuan didapat
sumbangan efektif sebesar 0,611 yang berarti 61,1% peubah tak gayut pada
jenis kelamin perempuan dapat memprediksi variasi yang terjadi pada
peubah gayut. Dengan demikian maka ditinjau dari jenis kelamin, secara
simultan religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif
orangtua dapat menjadi prediktor bagi perilaku seksual remaja Kristen di
klasis Sabu Barat Raijua.
Pada uji yang lain yakni uji t, hasil uji menunjukan nilai t sebesar
2,675 dengan nilai signifikansi sebesar 0,008 (p ˂ 0,05) yang berarti bahwa
ada perbedaan signifikan antara perilaku seksual remaja laki-laki dan
perempuan. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Suwarni
(2009, dalam Nur Hidayah dkk, 2013; Nursal, 2008; Amin, 2014; Rahyani
dkk, 2012; Soetjiningsih, 2008b), bahwa terdapat perbedaan perilaku seksual
antara remaja laki-laki dan remaja perempuan.
Pembahasan
Remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Pada saat sama ia dihadapkan dengan perubahan-perubahan
lingkungan sosial, serta minat-minat individual yang berbeda. Remaja
kemudian tidak hanya bertumbuh dan berkembang berdasarkan faktor
bawaan (nature) melainkan juga lingkungan (nurture) turut membentuk sikap
dan perilakunya. Ada liku-liku perkembangan yang harus dilalui oleh
masing-masing individu, adakalanya beberapa aspek tertentu sama dengan
individu yang lain tetapi juga bisa berbeda (Soetjiningsih, 2014). Demikian
pula terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual remaja.
Berdasarkan penelitian ini faktor religiusitas, pajanan media pornografi, dan
pola asuh permisif orangtua merupakan prediktor perilaku seksual remaja.
Hasil penelitian diatas membuktikan bahwa hipotesis yang
mengatakan terdapat pengaruh secara simultan antara religiusitas, pajanan
media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua terhadap perilaku seksual
remaja di klasis Sabu Barat Raijua ditinjau dari jenis kelamin diterima. Ini
14
terbukti dari nilai Fhitung pada jenis kelamin laki-laki sebesar 30,882 dengan
nilai signifikansi sebesar 0,000 (p˂0,05). Sementara itu pada remaja
perempuan didapat Fhitung 66,975 dengan nilai signifikansi 0,000 (p˂0,05).
Hal ini diperkuat dengan besar sumbangan efektif ketiga peubah tak
gayut terhadap peubah gayut sebesar 0,448 pada jenis kelamin laki-laki yang
berarti 44,8% dari variasi yang terjadi pada peubah perilaku seksual remaja
di klasis Sabu Barat Raijua dapat dijelaskan oleh variasi dari peubah
religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua pada
jenis kelamin laki-laki. Sedangkan sisanya sebesar 55,2% dipengaruhi oleh
peubah lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Sementara pada remaja
perempuan didapat sumbangan efektif sebesar 0,611 yang berarti 61,1%
peubah tak gayut pada jenis kelamin perempuan dapat memprediksi variasi
yang terjadi pada peubah gayut. Dengan demikian maka ditinjau dari jenis
kelamin, secara simultan religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola
asuh permisif orangtua dapat menjadi prediktor bagi perilaku seksual remaja
Kristen di klasis Sabu Barat Raijua.
Religiusitas memiliki pengaruh terhadap perilaku seksual remaja.
Religiusitas menjadi kekuatan internal remaja ketika menghadapi perubahanperubahan fisik dan psikologis yang dialami, dan dapat menjadi pengontrol
bagi perilaku remaja. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Aini (2011; Putri, 2012; Soetjiningsih, 2008b; Penhollow dkk., 2005).
Namun hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan besar pengaruh
serta dimensi religiusitas yang memengaruhi perilaku seksual remaja lakilaki dan remaja perempuan.
Berdasarkan Tabel 4.31 dan Tabel 4.34, terlihat bahwa pengaruh
religiusitas terhadap perilaku seksual pada remaja laki-laki sebesar 16,9 %,
dimana terkait dengan dimensi praktik (6,1%) dan dimensi keyakinan (6,5
%). Sementara pada remaja perempuan, pengaruh religiusitas terhadap
perilaku seksual remaja perempuan sebesar 37,4 %, dimana terkait dengan
dimensi pengetahuan (14,1%) dan dimensi konsekuensi (12,6). Terlihat
bahwa terdapat perbedaan besar pengaruh maupun dimensi religiusitas yang
memengaruhi perilaku seksual pada remaja laki-laki dan remaja perempuan.
Hasil ini memiliki dampak terhadap strategi pendekatan yang harus
dilakukan oleh gereja, orangtua, maupun masyarakat untuk mengurangi
tingkat perilaku seksual remaja. Bagi remaja laki-laki, perilaku seksual
mereka sebenarnya dapat dikontrol dengan cara meningkatkan partisipasi
15
aktif mereka dalam praktik-praktik keagamaan dan meningkatkan keyakinan
religius mereka, misalnya partisipasi aktif dalam ibadat-ibadat, maupun
kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Sementara bagi remaja perempuan,
yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan
keagamaan mereka serta konsekuensi-konsekuensi iman yang dialami ketika
berperilaku tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keagamaan.
Remaja dan religiusitas memang tidak dapat diabaikan. Remaja masa
kini memiliki minat dan perhatian yang sungguh terhadap agama dan
menganggap agama berperan penting dalam perilaku karena nilai-nilai
religiusitas merupakan sumber sikap moral bagi banyak individu, dalam hal
ini ajaran-ajaranya memainkan peran dalam membentuk sikap individu,
nilai-nilai dan keputusan-keputusan (Odimegwu, 2005). Spiritualitas dan
keyakinan keagamaan merupakan salah satu komponen penting dalam
membangun kehidupan yang bermakna dalam sisi psikologis seseorang.
Pajanan media pornografi memiliki dampak terhadap perilaku
seksual remaja. Hasil media pornografi ini mendukung penelitian
Soetjiningsih (2008b; Effili, 2009; Strasburger, 2010; Viatonu & OladipupoOkorie, 2014) bahwa pajanan media pornografi memengaruhi perilaku
seksual remaja. Pada remaja laki-laki hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengaruh pajanan media pornografi terhadap perilaku seksual remaja lakilaki sebesar 14,4 %, secara khusus pada dimensi penerimaan (11,1%).
Sementara pada remaja perempuan pengaruh pajanan media pornografi
terhadap perilaku seksual remaja perempuan sebesar 8,2 % pada dimensi
penerimaan (6,1%).
Masa remaja dengan perubahan-perubahan hormonal menimbulkan
kuatnya dorongan seks. Oleh karena itu remaja memiliki rasa ingin tahu
tentang seks cukup tinggi. Pada saat yang sama media massa selalu memiliki
tujuan utama yakni untuk menarik pendengar, pembaca, atau penonton,
karena itu mereka selalu mendesain sedemikian rupa agar memengaruhi dan
merangsang dari pada mengajari (Brown & Keller, 2000). Sebagai hasilnya,
banyak proporsi gambar dalam media, baik itu media cetak mau pun
elektronik selalu mengarah pada seksualitas atau erotisme (Brown, 2002).
Karena itu menurut Soetjiningsih (2008b) pesan-pesan seksual yang
ditampilkan oleh media akan sangat menarik kecenderungan remaja
mengimitasi.
16
Demikian pula peubah pola asuh permisif orangtua memiliki
pengaruh signifikan terhadap perilaku seksual remaja di klasis Sabu Barat
Raijua. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Nur Hidayah dkk. (2013;
Nursal, 2008) bahwa terdapat pengaruh pola asuh permisif orangtua terhadap
perilaku seksual remaja. Pada remaja laki-laki, pengaruh pengaruh pola asuh
terhadap perilaku seksual remaja laki-laki sebesar 13,6 %, pada dimensi
kurangnya rasa percaya diri (5,2%) dan dimensi kurangnya tindak lanjut
(7,7%). Sementara itu, pengaruh pola asuh permisif terhadap perilaku
seksual remaja perempuan sebesar 15,5%, juga pada dimensi kurangnya rasa
percaya diri (6,9%) dan kurangnya tindak lanjut (7,2%).
Menurut Djiwandono (2008) bilamana orang tua mampu
memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya,
maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai
dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. Interaksi antara remaja
dengan orang tua menunda bahkan mengurangi perilaku hubungan seksual
pada remaja (Nur Hidayah & Maryatun, 2013). Berdasarkan analisa World
Health Organization (WHO) pada berbagai literatur kesehatan reproduksi
dari seluruh dunia yang menyatakan bahwa pola asuh adalah merupakan
faktor risiko perilaku seksual risiko berat (Nur Hidayah & Maryatun, 2013).
Pada uji yang lain yakni uji t, hasil uji menunjukan nilai signifikansi
asimtotik sebesar 0,007 (p˂0,05) yang berarti terdapat perbedaan signifikan
perilaku seksual antara remaja laki-laki dan perempuan. Hasil ini mendukung
penelitian yang dilakukan oleh Suwarni (2009, dalam Nur Hidayah dkk,
2013; Nursal, 2008; Setiawan & Nurhidayah, 2008; Soetjiningsih, 2008b;
Rahyani dkk, 2012; Amin, 2014), bahwa terdapat perbedaan perilaku seksual
antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Remaja laki-laki masih lebih
bersikap permisif (cenderung menyetujui) dari pada remaja wanita dimana
sikap permisif ini bisa dipengaruhi oleh pandangan masyarakat bahwa lakilaki masih dianggap lebih bebas dari pada wanita (Setiawan & Nurhidayah,
2008).
Secara teoritis memang terdapat perbedaan usia pubertas dan
kematangan seksual antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak
terlibat dalam perilaku berisiko disebabkan oleh pengaruh-pengaruh
psikososial, seperti kemampuan untuk berpikir logis yang terbatas,
pengaturan emosi yang lemah, serta rentan terhadap pengaruh teman sebaya
(Rahyani dkk, 2012). Penelitian Lestary & Sugiharti (2011) menyatakan
17
bahwa remaja laki-laki secara statistik terbukti memiliki peluang 27 kali
lebih besar untuk berprilaku berisiko dibandingkan dengan remaja
perempuan.
Analisis SKKRI tahun 2007 (dalam Lestary & Sugiharti, 2011)
menunjukkan remaja laki-laki berpeluang 5 kali lebih besar untuk hubungan
seksual pranikah, jika dibandingkan dengan remaja perempuan dengan
peningkatan prevalensi hubungan seksual pranikah pada remaja laki-laki
meningkat sebanyak 1,8% dan perempuan 0,2% dibandingkan dengan
analisis SKKRI tahun 2002-2003. Pendapat lain menyatakan bahwa
umumnya pemantauan/pengawasan orangtua lebih kepada remaja
perempuan, sehingga mereka cenderung kurang berperilaku beresiko
dibandingkan remaja laki-laki (Soetjiningsih, 2008b).
Perilaku seksual merupakan persoalan yang multidimensial,
dipengaruhi oleh berbagai faktor dari dalam diri maupun dari luar diri remaja
(Soetjiningsih, 2008b). Oleh karena itu menurut Rahayani dkk. (2012) alasan
remaja mulai melakukan hubungan seks pranikah lebih banyak tidak
diketahui, selain karena hasrat atau dorongan seksual. Remaja melakukan
hubungan seks pranikah akibat situasi atau kesempatan remaja bersama-sama
di dalam ruangan yang pribadi dan kondisi ini disebut “situations of sexual
possibility”. Seks dianggap mencerminkan kebebasan, memelihara
hubungan, kedekatan, keintiman, atau cinta.
KESIMPUAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan peubah
religiusitas, pajanan media pornografi, dan pola asuh permisif orangtua
merupakan prediktor perilaku seksual remaja ditinjau dari jenis kelamin.
Pada remaja laki-laki uji simultan menunjukkan nilai R 0,670 dan nilai R2
0,448. Sedangkan uji simultan pada remaja perempuan menunjukkan nilai R
0,782 dan R2 0,611. Selanjutnya hasil uji t terlihat bahwa terdapat perbedaan
signifikan antara perilaku seksual remaja laki-laki dan remaja perempuan
karena nilai signifikansi asimtotik 0,007 (p˂0,05), dimana remaja laki-laki
lebih tinggi dengan perbandingan rata-rata 9,25 dan 8,83.
18
Saran
a. Remaja harus mau dan mampu menyaring serta tidak menerima
begitu saja pajanan media pornografi yang semakin meningkat saat
ini.
b. Remaja harus meningkatkan nilai religiusitas sebagai salah satu
kekuatan internal yang dapat mengontrol keinginan dan perilaku
remaja.
c. Orangtua harus mengurangi pola asuh permisif terhadap remaja
karena terbukti pola asuh permisif dapat menjadi salah satu sumber
perilaku seksual remaja.
d. Orangtua harus meningkatkan pola pengasuhan yang bersifat
autoritatif yang memberi kebebasan sekaligus kontrol terhadap
remaja.
e. Gereja harus mengambil bagian secara aktif dalam sosialisasi dan
pengajaran tentang pentingnya perilaku seksual yang sehat bagi
remaja-remaja Kristen.
f. Secara sadar gereja harus menyiapkan wadah bagi remaja untuk
mengembangkan potensi diri mereka lewat kegiatan-kegiatan
gerejawi sesuai perkembangan mereka.
Penelitian Selanjutnya
Berdasarkan hasil penelitian ini penulis merekomendasikan agar
dalam penelitian-penelitian selanjutnya dapat ditambahkan aspek-aspek
psikologi lainnya, misalnya aspek locus of control, budaya, dan tekanan
teman sebaya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Adeboyejo, A.T dan Onyeonoru, I. P. (2003). Residential density and
adolescent reproductive health problems in Ibadan, Nigeria.
African population studies. 18(1). 81-95.
Aguma, R. P., Dewi, A. P., & Karim, D. (2012). Hubungan pola asuh
orangtua dengan perilaku seksual remaja di SMA Tribhakti
Pekanbaru. Universitas Riau: Program studi ilmu keperawatan.
Aini, L. N. (2011). Hubungan pemahaman tingkat agama (religiusitas)
dengan perilaku seks bebas pada remaja di SMAN 1 Bangsal
Mojokerto. Jurnal Keperawatan,01(01).
Amin, A. (2014). Hubungan menonton sinetron percintaan dan membaca
cerita percintaan dengan perilaku seks remaja. Jurnal heritage, 2(2),
43-51
Anesia, F., & Notobroto, H. B. (2013). Faktor yang memengaruhi perilaku
seksual pranikah remaja yang bertunangan. Jurnal Biometrika dan
Kependudukan, 2(2),140–147
Asekun-Olarinmoye, O. S., Asekun-Olarinmoye, E. O., & Adebimpe, W. O.,
& Omisore, A. G. (2014). Effect of mass media and Internet on
sexual behavior of undergraduates in Osogbo Metropolis,
Southwestern Nigeria. Adolescent Health, Medicine and Therapeutics,
5, 15-23
Azam, A., Qiang, F., Abdulah, M. I., & Abbas, S. A. (2012). Impact of 5-d
of religiosity on diffusion rate of innovation. International Journal of
Business and Social Science, 2(17), 177-185, diunduh dari
http://ijbssnet.com/journals/Vol_2_No_17/24.pdf, tanggal 17 Juni
2015
Azinar, M. (2013). Perilaku seksual pranikah berisiko terhadap kehamilan
tidak diinginkan. Kemas 8(2),153-160
Azwar, S. (2015). Penyusunan skala psikologi (2nd.Ed). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Banum, F. O. S., & Setyorogo, S. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa semester V
STIKES X Jakarta Timur 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1), 12-19
BKKBN. (2010). Kajian profil penduduk remaja (10-24 thn): ada apa dengan
remaja?. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan, Seri I
No.6/Pusdu-BKKBN.
Brown. D.J. (2002). Mass media influence on sexuality. Journal of sex
research, 39(1), 42-45
Brown, J.D., & Keller, S.N. (2000). Forum: Can the mass media be healthy
sex educators?. Family planning perspectives. 32(5)
20
Cole, L. (1959). Psychology of adolscence (5th Ed). New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Dhira. (2010). Seks bebas pada kalangan remaja. diunduh dari: http://student
go.id /Lists/Artikel/ Disp Form. aspx? ID =130 &Content Type Id
=0x01003 DCABABC 04B7084595DA 364423DE7897.html, pada
pada 12 Juni 2015.
Djarir,
I.
(2005).
Kemerosotan
religiusitas.
Diunduh
dari
http//www.suaramerdeka.com/harian/0508/06/opi4.htm, tanggal 20
Juni 2015
Djiwandono, S. (2008). Pendidikan seks keluarga. Jakarta: PT. Indeks
Effili. (2009). Hubungan faktor personal lingkungan sosial dan keterpaparan
media dengan perilaku seksual remaja di akademi kebidanan
Muhammadiyah rumah sakit Islam Jakarta, Tesis, Program Pasca
Sarjana Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Respati
Indonesia
Escobar-Chaves, S.L., Tortolero, S.R., Markham, C.M., Low, B.J., Eitel, P.,
& Thickstun, P. (2005). Impact of the media on adolescent sexual
attitudes and behaviors. Pediatrics, 116(1), 303-326.
Farisa, T.D., Deliana, S.M., & Hendriyani, R. (2013). Faktor-faktor
penyebab perilaku seksual menyimpang pada remaja tunagrahita SLB
N Semarang. Developmental and clinical psychology, 2(1), 26-32.
Haryanto, R., & Suarayasa, K. (2013). Perilaku seksual pranikah pada siswa
SMA Negeri 1 Palu. Jurnal academica fisip untad, 05(02), 11181125
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan
sepanjang rentang hidup. Jakarta: Erlangga.
Kearney, A. (2010). Kebebasan mengakses media bagi anak-anak dan remaja
perlu didukung tetapi secara aman. Harian Jawa Pos tanggal 24 Juli,
2010.
Kopko, K. (2007). Parenting styles and adolescents. diunduh dari
http://www.human.cornell.edu/pam/outreach/parenting/parents/uploa
d/Parenting-20Styles-20and-20Adolescents.pdf, tanggal 25 Juli 2015
KPAI. (2010). Badai menerpa remaja Indonesia: seks dan HIV/AIDS.
Diperoleh dari http://www.kpai.go.id, tanggal 10 Juli 2015
Lestary., Heny, dan Sugiharti. (2011). Perilaku berisiko remaja di indonesia
menurut survey kesehatan reproduksi remaja indonesia (SKRRI)
Tahun 2007. Jurnal kesehatan reproduksi.
Marbun. (2011). Hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seksual
remaja. Diperoleh dari http://repository.usu.ac.id, tanggal 10 Juli
2015
21
Marza, M. (2010). Hubungan antara pola asuh permisif orangtua dengan
tindakan seksual remaja di SMK Cendana Padang Panjang.
Penelitian keperawatan komunitas: Program Studi Ilmu
Keperawatan: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Mberu, U. B. (2008). Protection before the harm: The case of condom use at
the onset of premarital sexual relationship among youths in Nigeria.
African population studies. 23(1). 57-83.
Muzayyanah. (2008). Dampak perilaku seks bebas bagi kesehatan remaja.
Diunduh
dari
http://halalsehat.Com/index.php/RemajaSukses/dampak-perilakuseks-bebas-bagi-kesehatan-remaja,
pada
tanggal 25 Juli 2015.
Niron, Y.M., Marni., & Limbu, R. (2012). Hubungan antara pola asuh
orangtua dengan perilaku seksual siswa SMA Negeri 3 Kota Kupang
tahun 2012. MKM, 07(01), 60-71.
Nuandri, V.T., & Widayat, I.W. (2014). Hubungan antara sikap terhadap
religiusitas dengan sikap terhadap kecenderungan perilaku seks
pranikah pada remaja akhir yang sedang berpacaran di universitas
Airlangga Surabaya. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, 3(2).
60-69
Nur Hidayah, N. F., & Maryatun. (2013). Hubungan antara pola asuh
orangtua dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di SMK
Batik 1 Surakarta. Gaster, 10(2), 53-61
Nursal, D. G. A. (2008). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
seksual murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007. Jurnal
kesehatan masyarakat, 2(2), 175-180
Nurudin. (2003). Komunikasi massa. Malang: CESPUR
Penhollow, T., Young, M., & Denny, G. (2005). The impact of religiosity on
the sexual behaviors of college students. American journal of health
education, 36(2), 75-83
Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Menyelami perkembangan manusia
(12th Ed.). Jakarta: Salemba Humanika
Petranto. (2006). Rasa percaya diri anak adalah pantulan pola asuh
orangtuanya. Diunduh dari http://dwpptrijenewa.isuisse.com, tanggal
17 Juli 2015
Pratiwi, N. L., & Basuki, H. (2010). Analisis hubungan perilaku seks
pertama kali tidak aman pada remaja usia 15–24 tahun dan kesehatan
reproduksi. Buletin penelitian sistem kesehatan, 13(4), 309–320
Pratiwi, N. L., & Basuki, H. (2011). Hubungan karakteristik remaja terkait
risiko penularan HIV-AIDS dan perilaku seks tidak aman di
Indonesia. Buletin penelitian sistem kesehatan,14(4), 346–357
22
Prihatin, T.W. (2007) . Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
sikap siswa SMA terhadap hubungan seksual (intercourse) pranikah
di kota Sukoharjo. Diperoleh tanggal 04 Agustus 2015, dari
http://eprints.undip.ac.id.
Purnomowardani, A. D., & Koentjoro. (2000). Pengungkapan diri, pelaku
seksual dan penyalahgunaan narkoba. Jurnal psikologi universitas
indonesia.
Putri, F. A. (2012). Perbedaan tingkat religiusitas dan sikap terhadap seks pra
nikah antara pelajar yang bersekolah di SMA umum dan SMA
berbasis agama. Jurnal ilmiah mahasiswa universitas surabaya,1(1),
1-9
Rahyani, K.Y., Utarini, A., Wilopo, S.A., & Hakimi, M. 2012. Perilaku seks
pranikah remaja. Kesmas, Jurnal kesehatan masyarakat nasional,
7(4), 180-185.
Rakhmat, J. (2004). Psikologi komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Reitsma, J., Scheepers, P., & Grotenhuis, M. (2006). Dimensions of
individual religiosity and charity: Cross national effect differences in
European countries?. Revtew of religtous research, 47(4), 347-362
Robinson, C. C., Mandleco, B., & Olsen, S. F., & Hart, C. H. (1995).
Authoritative, authoritarian, and permissive parenting practices:
development of a new measure. Psychological reports, 7 7, 819-8
30.
Rokhmah, D. & Khoiron. (2015). The role of sexual behavior in the
transmission of HIV and AIDS in adolescent in coastal area.
Procedia environmental sciences, 23, 99-104
Rwenge, M.J.R. (2003). Poverty and sexual risk behaviour among young
people in Bamenda, Cameroon. African population studies. 18(2). 91104.
Santrock, J. W. (2007). Remaja (ed. 11). Jakarta: Erlangga
Saputra, I. (2014). Pengaruh penggunaan media dan interaksi komunikasi
kelompok teman sebaya terhadap perilaku seksual remaja ( kasus
desa Ciherang, kecamatan Dramaga, kabupaten Bogor, provinsi Jawa
Barat). Makalah kolokium. Sains komunikasi dan pengembangan
masyarakat.
Sarwono, S. W. (2013). Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Press.
Setiyati, E, S. (2006). Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku seksual
remaja. Yogyakarta: UGM
Singh, S. & Darroch, J. E. (1999). Trends in sexual activity among
adolescent American women: 1982–1995. Family planning
perspectives, 31(5), 212–219
23
Soejoeti, S. Z. (2001). Perilaku seks di kalangan remaja dan
permasalahannya. Media litbang kesehatan, XI(1), 30-35
Soetjiningsih, Ch. H. (2008a). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual pranikah pada remaja. Disertasi. Program Pendidikan
Doktor: Fakultas Psikologi UGM
Soetjiningsih, Ch. H. (2008b). Uji model teoretis faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja. Jurnal
psikologi, 22(2), 36-59.
Soetjiningsih, Ch. H. (2014). Perkembangan anak: sejak pembuahan sampai
dengan kanak-kanak akhir. Jakarta: Prenadamedia group.
Strasburger, V. C. (2010). Sexuality, contraception, and the media.
Pediatrics, 123(3), 576-582.
Thoernburg, H. D. (1982). Development in adolesent. California: Bronks
Cole Publishing Company.
Utomo, I. D. & McDonald, P. (2009). Adolescent reproductive health in
Indonesia: contested values and policy in action. Studies in family
planning journal,40(2), 133-46.
Viatonu, O., & Oladipupo-Okorie, B. O. (2014). Pre-marital sex among
secondary school students: Do mass media and peer group matter?.
International journal of development and sustainability, 3(7), 15491557
Widhiarso, W. (2011). SKALO : Program analisis skala Guttman. Program
Komputer. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Wulandari, N. (2014). Pengaruh konformitas dan pemahaman agama
terhadap perilaku seksual pada siswa MAN 2 Samarinda. eJournal
psikologi, 2(2),123-136
Yuanita, Ch., & Herani, I. (2014). Hubungan pola asuh permisif orang tua
dengan sikap remaja terhadap perilaku seks pranikah. Diakses 07 Juli
2015,
dari
http://psikologi.ub.ac.id/wp
content/uploads/2014/11/JURNAL1.pdf
Yuningsih, R. (2014). Legalisasi aborsi korban pemerkosaan. Info singkat
kesejahteraan sosial, VI(16/II/P3DI), 9-12
24
Download