1 TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: IRIANTI MEILISA 050200124 DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 2 TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL OLEH : IRIANTI MEILISA 050200124 Diketahui dan Disahkan Oleh : KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL (SUTIARNOTO, SH, M.H) NIP. 131. 616. 321 DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II ABDUL RAHMAN, SH, MH Dr. JELLY LEVIZA, SH, M.HUM NIP. 131. 413. 649 NIP. 132. 300. 077 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 3 ABSTRAK 1. Irianti Meilisa 1 2. Abdul Rahman 2 3. Jelly Leviza 3 Masalah-masalah nuklir merupakan masalah yang bersifat global karena menyangkut perdamaian dunia dan perlindungan lingkungan. Masalah-masalah tersebut secara spesifik antara lain : norma-norma hukum internasional yang berkaitan, masalah pertanggungjawaban negara dan ratifikasi norma hukum internasional tersebut ke dalam hukum nasional Negara yang bersangkutan. Norma hukum internasional yang mengatur masalah nuklir antara lain : NonProliferation Treaty yang bersifat global; Tlatelolco Treaty, Ratotonga Treaty dan Bangkok Treaty yang bersifat regional; serta perjanjian bilateral nuklir seperti : perjanjian nuklir bilateral antara Amerika Serikat-India dan perjanjian nuklir bilateral antara Cina-Australia. Tanggung jawab Negara juga merupakan masalah yang penting untuk dibahas karena nuklir merupakan bahan yang berpotensi beresiko tinggi (ultra-hazardous risk). Tanggung jawab Negara itu antara lain diatur dalam : The convention on Third Party Liability in The Field of Nuclear Energy (Paris Convention, The Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (Vienna convention), The convention Supplementary to the Paris Convention (Brussels convention) dan The Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention. Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional yang telah ditandatangani berkaitan dengan masalah nuklir. Hasil ratifikasi itu diatur dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam Undang-undang tersebut, diatur mengenai pelaksanaan kegiatan nuklir dan pertanggungjawaban yang mungkin terjadi akibat kecelakaan nuklir. Kata kunci : - Tanggung Jawab Negara - Nuklir - Hukum internasional 1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 3 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 4 KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah mencurahkan hikmat dan karunia-Nya kepada Penulis sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini Penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syaratsyarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul yang Penulis angkat adalah : “TANGGUNG PENGGUNAAN DAN JAWAB NEGARA KECELAKAAN TERHADAP NUKLIR KEPEMILIKAN, MENURUT HUKUM INTERNASIONAL” Penulis sadar benar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Penulis serta sedikitnya literatur-literatur yang menunjang sebagai bahan untuk menunjang judul yang Penulis majukan dalam skipsi ini. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif untuk menciptakan keadaan yang mendekati kesempurnaan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu Penulis dalam menyusun skripsi ini dan juga mendukung Penulis selama masa perkuliahan, khususnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 5 2. Bapak Prof. Suhaidi, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 4. Bapak Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 5. Bapak Sutiarnoto, MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 6. Bapak Abdul Rahman, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini. 7. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini 8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah memberikan petunjuk kepada Penulis selama Penulis melaksanakan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 9. Kedua orang tua Penulis, Mayor. Purn. Selamat Tambunan dan Ny. Yulinda Nainggolan, yang tercinta yang telah memberikan kasih sayang yang berlimpah kepada Penulis sejak lahir hingga sekarang dan mendorong Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini 10. Saudara Penulis yang terkasih, Samuel Tambunan 11. Teman-teman seangkatan Penulis Stambuk 2005 Program Reguler Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih juga Penulis haturkan kepada semua pihak yang turut mendukung proses penyelesaian skripsi ini. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 6 Semoga skripsi ini berguna bagi Penulis secara khusus dan bagi masyarakat secara umum. Medan, Maret 2009 Hormat Penulis, (Irianti Meilisa) Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 7 DAFTAR ISI JUDUL LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK .................................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................. v BAB I PENDAHULUAN. .................................................................................... 1 A. Latar Belakang . .......................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah. .................................................................................... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. ................................................................... 5 D. Keaslian Penulisan. ..................................................................................... 6 E. Tinjauan Kepustakaan . ............................................................................... 7 F. Metode Penelitian.. ...................................................................................... 9 G. Sistematika Penulis. ................................................................................. ..10 BAB II NORMA-NORMA HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR. ........... 13 A. Pengertian Norma Hukum Internasional. .................................................. 13 B. Norma Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir secara Global ....................................................... 15 C. Norma Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir secara Regional. ................................................... 19 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 8 D. Norma Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir secara Bilateral. .................................................... 51 BAB III TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR ........................................... 63 A. Prinsip Tanggung Jawab Negara ............................................................... 63 B. Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Pengaturan Lingkungan Global Akibat Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir ............. 70 C. Bentuk Tanggung Jawab Negara dalam Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir ............................................................................. 74 D. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir .......................................................... 78 BAB IV RATIFIKASI TERHADAP NORMA HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR ........................................................................................................... 87 A. Proses Pembuatan Perjanjian Internasional ............................................... 87 B. Pengertian dan Prosedur Ratifikasi ........................................................... 89 C. Hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional ........................ 91 D. Ratifikasi Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir .......................................................... 95 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 103 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 9 A. Kesimpulan .............................................................................................. 103 B. Saran ........................................................................................................ 104 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 106 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembahasan-pembahasan mengenai nuklir di Indonesia dewasa ini masih terbatas peminatnya, baik di kalangan akademisi atau apalagi pada masyarakat pada umumnya. Bagi kebanyakan orang Indonesia masalah perlucutan senjata tidak penting dibandingkan dengan isu-isu sosial, ekonomi, budaya dan politik lain karena jauh lebih menarik, lebih dekat dan melekat pada kehidupan masyarakat. Mungkin karena itu pula masih sedikit tulisan atau karya tulis yang membahas masalah senjata nuklir. Kenyataan di atas dapat dimengerti karena banyak anggapan bahwa senjata nuklir atau senjata-senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction) hanya merupakan urusan-urusan negara-negara besar. Padahal, hal ini juga berkaitan dengan aspek politik, ekonomi, pembangunan, lingkungan hidup dan bahkan hubungan antarnegara karena masalah ini sering menjadi isu dalam rangka pengembangan hubungan bilateral, regional ataupun multilateral. Bagi negara-negara berkembang khususnya, perlucutan senjata kerap menjadi pemersatu dalam rangka memperjuangkan kepentingan bersama di berbagai forum internasional untuk perdamaian abadi dan ketertiban dunia. Keberhasilan upaya perlucutan senjata akan memberi dampak positif bagi semua negara, bukan hanya bagi negara-negara adikuasa pemilik senjata-senjata pemusnah massal tersebut melainkan juga bagi negara-negara berkembang umumnya. Upaya perlucutan senjata terutama senjata-senjata pemusnah massal akan memberi kesempatan Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 11 lebih besar bagi pembangunan bagi semua negara terutama negara-negara berkembang (peace deviden) yang diperjuangkan neegar-negara berkembang pasca Perang Dingin agar biaya yang dikeluarkan oleh negara-negara besar untuk persenjataan dan keperluan militer dapat dialihkan untuk kepentingan pembangunan dan tujuan-tujuan damai. Jelas berkaitan erat dengan upaya perlucutan senjata dalam hubungan ini negara-negara berkembang dapat dikatakan pelopor dan sponsor utama upaya perlucutan senjata di berbagai forum internasional khususnya dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa. 4 Indonesia merupakan salah satu negara yang giat yang cukup menonjol perananya dalam upaya semacam ini. Sejalan dengan tuntutan konstitusionalnya, Indonesia bersama negara berkembang lainnya secara konsisten terus memperjuangkan perlucutan senjata baik di tingkat global dalam kerangka PBB dan non-PBB seperti melalui forum Gerakan Non-Blok maupun di tingkat regional melalui mekanisme Association of South East Asia Nations (ASEAN) yang berjalan paralel. Beberapa waktu terakhir, isu pengembangan senjata nuklir menjadi salah satu sumber kekhawatiran utama yang menerpa kalangan internasional. Isu kepemilikan senjata nuklir itu, sempat memancing ketegangan di sejumlah kawasan, sebut saja Semenanjung Korea, ketika beberapa kali Korea Utara melakukan uji coba senjata nuklir atau Timur Tengah terkait kepemilikan senjata nuklir oleh Israel dan tuduhan kepemilikan fasilitas nuklir Iran. Masyarakat internasional mencatat sejumlah peristiwa buruk dimasa lalu ketika akibat ambisi manusia, senjata nuklir menoreh luka mendalam. Tragedi kemanusiaan yang pernah ditimbulkan umat manusia dengan teknologi nuklir tetap menyisakan 4 Dian Wirengjurit, Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir, PT. Alumni, Bandung, 2002, hal 2. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 12 catatan sedih di generasi berikutnya dan tidak serta merta lenyap dengan berlalunya waktu. Catatan tentang tragedi kemanusiaan akibat jatuhnya bom atom di dua kota besar di Jepang, Nagasaki dan Hirosima, seakan tidak pernah habis dibahas. Perang Dingin telah lama usai. Namun, bukan berarti upaya perlucutan senjata menjadi tidak relevan. Sebaliknya mengingat ancaman perang dan penggunaan senjatasenjata pemusnah massal belum sepenuhnya hilang. Upaya ini sebenarnya justru mendapatkan momentumnya. Di tingkat global, upaya ini telah cukup berhasil dalam membuka hasil ke arah perlucutan senjata yang menyeluruh seperti terwujudnya Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapon Convention-CWC) pada tahun 1993. Disepakatinya perpanjangan masa berlaku Traktrat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty-NPT) hingga waktu yang tidak terbatas atau indefinity pada tahun 1995, dirampungkannya Traktat Pelarangan Uji Coba Senjata Nuklir (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty-CTBT) pada tahun 1996 dan yang terakhir ditandatanganinya Konvensi Pelarangan Ranjau Darat Anti-Personil (Ottawa Convention) pada tahun 1997. 5 Di tingkat regional, upaya ini dapat dilihat dari munculnya berbagai gagasan pembentukan kawasan-kawasan damai dan bebas senjata nuklir di berbagai kawasan dunia seperti di Afrika, Samudera Hindia, Atlantik Selatan hinggga sampai ke Timur Tengah. Di Asia khususnya, Indonesia bersama negara-negara ASEAN sejak tahun 1971 telah memperjuangkan terwujudnya kawasan damai, bebas dan netral (zone of peace, freedom and neutrality/ZOPFAN) yang bertujuan menjadikan kawasan ini bebas 5 Ibid, hal 3. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 13 dan terhindar dari ancaman perang (nuklir) akibat persaingan antar negara-negara besar dalam kerangka Perang Dingin. 6 Sejalan dengan suasana internasional yang semakin kondusif upaya semacam ini makin menampakkan bentuk dan menunjukkan hasilnya, antara lain dengan ditandatanganinya Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir (KBSN Asia Tenggara) atau South East Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEA-NWFZ) pada tahun 1995 yang kini telah diratifikasi oleh hampir semua negara di kawasan ini. 7 Pengaturan mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir merupakan keadaan yang dapat memberikan dampak baik yang bersifat lokal maupun regional bahkan global. Oleh sebab itu, masalah-masalah mengenai perlucutan senjata hendaknya diatur leih rinci lagi karena menyangkut perdamaian dunia baik secara nasional maupun internasional. B. Perumusan Masalah Berdasakan pemikiran di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir ? 2. Bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir ? 6 Ibid. 7 Ibid. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 14 3. Bagaimana ratifikasi norma-norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menjelaskan pengaturan hukum internasional terhadap kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir 2. Untuk menjelaskan penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir 3. Untuk menjelaskan ratifikasi norma-norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah : Secara Teoritis Secara teoritis pembahasan terhadap masalah-masalah ini dapat memberi informasi kepada pembaca tentang teori dan praktek hukum internasional di dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk umum penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengaturan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir, daya jangkau ketentuan yang berlaku terhadap dampak yang terjadi atau mungkin terjadi akibat kecelakaan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir, penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengendalian dampak baik lokal maupun global dari kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir, norma-norma hukum yang mengatur mengenai masalah-masalah nuklir serta ratifikasi hukum nasional terhadap norma- Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 15 norma hukum internasional terkait masalah kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Secara Praktis Secara praktis pembahasan ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para pembaca dan dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan sikap dan kebijaksanaan dalam kesertaannya dalam untuk mengatur pengendalian dampak akibat kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir dalam kaitannya dengan kedudukan Indonesia sebagai subjek aktif kegiatan ketenaganukliran. D. Keaslian Penulisan Penulisan ini didasarkan kepada ide serta pemikiran sendiri, dengan melihat kepada perkembangan hukum internasional khususnya yang menyangkut masalah kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Penulisan ini telah diperoleh dari literatur perpustakaan, informasi dan ilmu yang diperoleh dari perkuliahan serta dari media massa baik cetak maupun elektronik yang pada akhirmya dituangkan dalam bentuk skripsi. Maka keaslian penulisan terjamin adanya meskipun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah sebagai penunjang dalam penulisan ini karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan demi memenuhi kesempurnaan penulisan penelitian ini. Di dalam penulisan skripsi yang berjudul “TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR” ini adalah asli tulisan penulis sendiri karena menurut data yang pada administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya pada Departemen Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 16 Hukum Internasional menyatakan tulisan dengan judul di atas belum pernah diangkat atau diulas sebelumnya oleh pihak lain. E. Tinjauan Kepustakaan Di dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mengambil ataupun mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan pokok bahasan dari berbagai macam sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, hal itu dilakukan demi keakuratan uraian ilmiah serta bukanlah hasil daya imajinasi penulis sendiri. Bahan-bahan tersebut diperoleh berdasarkan Library Research yaitu mengambil data kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum baik primer maupun sekunder berupa konvensi-konvensi dan peraturan perundang-undangan baik nasional maupun internasional seperti serta buku-buku dan situs-situs internet yang memberikan informasi dan data yang dapat digunakan sebagai bahan dan pedoman penulisan penelitian ini. Secara etimologi, pengertian judul “TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL” dapat diartikan sebagai berikut : • Tanggung jawab artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu 8, negara artinya daerah di lingkungan suatu pemerintah yang teratur. 9 Menurut Harold J. Laski, negara artinya suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang 8 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal 1014. 9 Ibid, hal 673. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 17 yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. 10Sedangkan tanggung jawab negara menurut J. G. Starke artinya hal-hal yang menyangkut keadaankeadaan dimana dan prinsip-prinsip dengan mana negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. 11 • Nuklir yang dalam hal ini dimaksudkan senjata nuklir artinya “devices capable of releasing nuclear energy in an uncontrolled manner and having characteristics appropriate for use for warlike purposes.” 12 (Alat-alat yang dapat menghasilkan energi kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir melalui tata cara yang tidak terkontrol dan memiliki karakteristik yang sesuai untuk tujuan-tujuan perang) • Kepemilikan nuklir artinya merupakan bagian dari kegiatan ketenaganukliran. 13 • Penggunaan nuklir artinya merupakan bagian dari kegiatan ketenaganukliran. 14 • Kecelakaan nuklir adalah setiap kejadian atau rangkaian kejadian yang menimbulkan kerugian nuklir, setiap kerugian yang dapat berupa kematian, cacat, cedera atau sakit, kerusakan harta benda, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi nuklir atau selama pengangkutan, termasuk kerugian sebagai 10 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal 39. 11 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1988, hal 115. 12 The Tlatelolco Treaty Article 3. 13 Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 1 angka 1. 14 Ibid. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 18 akibat tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk pemulihan lingkungan hidup. 15 • Hukum artinya himpunan petunjuk hidup, yang berupa perintah dan larangan, yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu 16 sedangkan internasional artinya antar negara. Jadi hukum internasional adalah hukum yang mengatur segala kejadian dalam sejarah politik internasional dan hubungan internasional. 17 F. Metode Penelitian Dalam penulisan penelitian ini digunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitan yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif ini dikenal juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yang menganalisis norma-norma hukum yang ersumber pada law as it is written in the book maupun law as it is decided by the judge through judicial process. Dalam pnelitian metode yuridis normatif yang dipergunakan terutama adalah yang merujuk pada sumber yang telah disebutkan yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat peraturan 15 Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 1 angka 15 dan 16. 16 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta,1983, hal 3. 17 Ibid, hal 445. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 19 perundang-undangan yang berupa konvensi-konvensi, kovenan-kovenan dan juga peraturan perundang-undangan nasional. Oleh karena itu, penelitian ini juga mempergunakan pendekatan transnasional artinya pendekatan yang dilakukan tidak hanya dari segi hukum internasional tetapi juga dari segi hukum nasional. Dilihat dari ruang lingkup pembahasannya, bentuk yang sesuai dengan penelitian ini adalah penelitian hukum positif karena penelitian ini memfokuskan diri pada norma hukum semata dan penerapan norma hukum tersebut di antara masyarakat internasional. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Bahan-bahan kepustakaan yang dipakai dapat dibedakan berdasakan sumber data dari mana ia diperoleh. Bahanbahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yakni sumber-sumber hukum internasional dan sumber-sumber hukum nasional. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian, jurnal-jurnal, makalah dan sebagainya. Dan bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus dan ensiklopedia. G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini secara garis besarnya terbagi atas lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan kebutuhan pembahasan dalam bab tersebut. Adapun sistematika penulisan skripsi adalah sebagai berikut : Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 20 BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan. Dalam bab ini dibahas latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjaun pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : Norma-norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Dalam bab ini dibahas tentang pengertian norma hukum internasional, norma-norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir secara global, normanorma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir secara regional, dan pengaturan hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir secara bilateral. BAB III : Tanggung jawab negara dalam kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Dalam bab ini dibahas tentang prinsip tanggung jawab negara, prinsip tanggung jawab negara dalam pengaturan perlindungan lingkungan global akibat kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir, bentuk tanggung jawab negara dalam pengaturan lingkungan global akibat kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir serta penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. BAB IV : Ratifikasi terhadap norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Dalam bab ini dibahas tentang proses pembuatan perjanjian internasional, pengertian dan prosedur ratifikasi, hubungan hukum nasional dengan hukum internasional, serta ratifikasi Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 21 hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. BAB V : Kesimpulan dan saran. Pada bagian kesimpulan dipaparkan jawabanjawaban dari semua permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini sedangkan pada bagian saran dipaparkan gagasan-gagasan penulis berdasarkan fakta-fakta yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 22 BAB II NORMA-NORMA HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR A. Pengertian Norma Hukum Internasional Kehidupan manusia terdiri dari kepentingan-kepentingan dan kebutuhankeutuhan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan kepentingan ini memungkinkan terjadinya perselisihan bahkan pertikaian dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhannya tersebut. Oleh karena itu perlu adanya suatu kaidah atau norma yang nantinya diharapkan dapat mengatur hubungan antar-manusia dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Kita dapat menimpulkan bahwa norma adalah pedoman, patokan atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama ini. 18 Hubungan lintas batas negara atau secara internasional juga mengalami hal yang sama. Setiap subjek hukum internasional memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, juga diperlukan adanya aturan atau norma hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan tersebut. Norma-norma hukum yang mengatur antar-kepentingan para subjek hukum berasal dari banyak sumber. Norma hukum yang formil dari hukum internasional dapat dilihat dalam pasal 38 ayat 1 Piagam Masyarakat Mahkamah Internasional , yang isinya antara lain : 18 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar, PT. Liberty, Yogyakarta, 2003, hal 4. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 23 1. Perjanjian internasional (international convention), yaitu perjanjian yang dibuat oleh anggota masyarakat internasional untuk menimbuklan akibat-akibat hukum tertentu. 19 2. Kebiasaan internasional (international custom), yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan diterima oleh masyarakat internasional sebagai hukum. 20 3. Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (general principles of law recognize by civilized nations), yaitu prinsip hukum umum dan tidak hanya asas hukum internasional. 21 4. Doktrin (doctrine) dan yurisprudensi (judicial decisions/jurisprudence), yaitu putusan hakim dan anggapan-anggapan para ahli hukum internasional. 22 Kelima sumber formil ini sangat dipengaruhi oleh “power polities among nations” yang menjadi sumber hukum yang materil dari hukum internasional. Antara tata tertib hukum dan tata tertib hukum internasional ada perbedaan asasi. Tata tertib hukum internasional tidak mengenal suatu kekuasaan pusat. Dalam pergaulan antara negara-negara belum ada kekuasaan pusat yang seharusnya melalui jalan hukum jadi tidak melaluinya yang secara efektif memaksa anggota-anggota pergaulan antara negara-negara itu menaati tata tertib yang dibuat kekuasaan pusat itu atau membawa perselisihan mereka pada suatu badan pengadilan atau arbitrase supaya diselesaikan secara peradilan hukum dalam hal anggota-anggota tersebut karena kepentingan mereka 19 J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal 202. 20 Ibid, hal 204. 21 Ibid, hal 205. 22 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta , 2007, hal 218. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 24 sendiri melanggar traktat atau berbuat sesuatu yang lain yang tidak sesuai dengan asasasas hukum internasional , misalnya agresi atau jalan-jalan kekerasan lainnya. B. Norma Hukum Internasional mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir secara Global Salah satu bentuk dari norma hukum internasional adalah perjanjian internasional. Dalam hal kepemilikan, penggunan dan kecelakaan nuklir yang diatur secara global (mengikat banyak negara tanpa memandang letak negara pihak) di antaranya diatur dalam NPT. Perjanjian Nonproliferasi Nuklir adalah suatu perjanjian yang ditandatangi pada 1 Juli 1968 yang membatasi kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir. Sebagian besar negara berdaulat yankni sebanyak 187 negara mengikuti perjanjian ini, walaupun dua di antara tujuh negara yang memiliki senjata nuklir dan satu negara yang mungkin memiliki senjata nuklir belumlah meratifikasi perjanjian ini. Perjanjian ini diusulkan oleh Irlandia dan pertama kali ditandatangani oleh Finlandia. Pada tanggal 11 Mei 1995, di New York, lebih dari 170 negara sepakat untuk melanjutkan perjanjian ini tanpa batas waktu dan tanpa syarat. Pertama kali terbuka untuk penandatanganan pada 1 Juli 1968 di New York. Perjanjian ini mulai berlaku sejak 5 Maret 1970 setelah diratifikasi oleh Inggris, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan 40 negara lainnya. Pada tanggal 11 Mei 1995, di New York, lebih dari 170 negara sepakat untuk melanjutkan perjanjian ini tanpa batas waktu dan tanpa syarat. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 25 Pasal X membolehkan sebuah negara untuk mundur dari perjanjian jika terjadi “hal-hal penting, yang berhubungan dengan subjek perjanjian ini, telah mengacaukan kepentingan utama negara tersebut”, memberikan pemberitahuan 3 bulan sebelumnya. Dan negara tersebut harus memberikan alasannya keluar dari perjanjian ini. Negara-negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) mengatakan jika salah satu negara anggotanya berperang, maka perjanjian ini tidak lagi berlaku. Artinya negara tersebut dapat keluar tanpa pemberitahuan. Argumen ini dibutuhkan untuk mendukung kesepakatan “senjata nuklir bersama” North Atlantic Treaty Organization, namun bertolak belakang dengan Perjanjian Non-Proliferasi ini. Perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu nonproliferasi, perlucutan, dan hak untuk menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. 1. Pokok Pertama: Non-Proliferasi Terdapat 5 negara yang diperbolehkan oleh Non-Proliferation Treaty untuk memiliki senjata nuklir, yaitu : Perancis (masuk tahun 1992) ; Republik Rakyat Cina (1992) ; Uni Soviet (1968, kewajiban dan haknya diteruskan oleh Rusia) ; Inggris (1968) ; Amerika Serikat (1968) Hanya lima negara ini yang memiliki senjata nuklir saat perjanjian ini mulai dibuka, dan juga termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Lima negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS) ini setuju untuk tidak mentransfer teknologi senjata nuklir maupun hulu ledak nuklir ke negara lain, dan negara-negara non-nuklir setuju untuk tidak meneliti atau mengembangkan senjata nuklir. Kelima negara NWS telah menyetujui untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non-nuklir, kecuali untuk merespon serangan nuklir atau Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 26 serangan konvensional yang bersekutu dengan negara nuklir. Namun, persetujuan ini belum secara formal dimasukkan dalam perjanjian, dan kepastian-kepastian mengenainya berubah-ubah sepanjang waktu. Amerika Serikat telah mengindikasikan bahwa mereka akan dapat menggunakan senjata nuklir untuk membalas penyerangan non-konvensional yang dilakukan oleh negara-negara yang mereka anggap “berbahaya”. Mantan Menteri Pertahanan Inggris, Geoff Hoon, juga telah menyatakan secara eksplisit mengenai kemungkinan digunakannya senjata nuklir untuk membalas serangan seperti itu. Pada Januari 2006, Presiden Perancis, Jacques Chirac menerangkan bahwa sebuah serangan teroris ke Perancis, jika didalangi oleh sebuah negara, akan memicu pembalasan nuklir (dalam skala kecil) yang diarahkan ke pusat kekuatan “negara-negara berbahaya” tersebut. 2. Pokok Kedua : Perlucutan Pasal VI dan Pembukaan perjanjian menerangkan bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir berusaha mencapai rencana untuk mengurangi dan membekukan simpanan mereka. Pasal VI juga menyatakan “…Perjanjian dalam perlucutan umum dan lengkap di bawah kendali internasional yang tegas dan efektif.” Dalam Pasal I, negaranegara pemilik senjata nuklir menyatakan untuk tidak “membujuk negara non-Nuklir manapun untuk mendapatkan senjata nuklir.” Doktrin serangan pre-emptive dan bentuk ancaman lainnya bisa dianggap sebagai bujukan/godaan oleh negara-negara non-nuklir. Pasal X menyatakan bahwa negara manapun dapat mundur dari perjanjian jika mereka merasakan adanya ancaman, yang memaksa mereka keluar. 3. Pokok Ketiga : Hak untuk menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 27 Karena sangat sedikit dari negara-negara nuklir dan negara-negara pengguna energi nuklir yang mau benar-benar membuang kepemilikan bahan bakar nuklir, pokok ketiga dari perjanjian ini memberikan negara-negara lainnya kemungkinan untuk melakukan hal yang sama, namun dalam kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya tidak mungkin mengembangkan senjata nuklir. Bagi beberapa negara, pokok ketiga perjanjian ini, yang memperbolehkan penambangan uranium dengan alasan bahan bakar, merupakan sebuah keuntungan. Namun perjanjian ini juga memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan tenaga nuklir untuk kepentingan damai, dan karena populernya pembangkit tenaga nuklir. Tidak ada negara yang diketahui telah berhasil mengembangkan senjata nuklir secara rahasia, jika dalam pengawasan NPT. Negara-negara yang telah menandatangani perjanjian ini sebagai negara nonsenjata nuklir dan mempertahankan status tersebut memiliki catatan baik untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Di beberapa wilayah, fakta bahwa negara-negara tetangga bebas dari senjata nuklir mengurangi tekanan bagi negara tersebut untuk mengembangkan senjata nuklir sendiri, biarpun negara tetangga tersebut diketahui memiliki program tenaga nuklir damai yang bisa memicu kecurigaan. Dalam hal ini, perjanjian Non-Proliferasi bekerja sebagaimana mestinya. Mohamed El Baradei, ketua dari International Atomic Energy Agency (IAEA), mengatakan bahwa jika negara-negara itu mau, 40 negara dapat mengembangkan sebuah bom nuklir. 23 23 Perjanjian Non-ProliferasiNuklir, http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian NonProliferasi Nuklir, diakses tanggal 23 September 2008. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 28 C. Norma Hukum Internasional mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir secara Regional Norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir secara regional memungkinkan untuk memberikan dampak kepada negara-negara lain secara internasional untuk dapat menghormati hak-hak dan kepentingan negaranegara yang terlibat dalan perjanjian perlucutan senjata nuklir atas perdamaian dan keamanan yang hendak diciptakan di wilayah mereka masing-masing. Di samping itu lahirnya suatu perjanjian internasional yang merupakan salah satu bentuk dari norma hukum internasional juga dapat meningkatkan kesadaran dan keinginan negara-negara lainnya di kawasan-kawasan lain di belahan dunia untuk melahirkan suatu perjanjian regional di wilayah mereka semata-mata untuk stabilitas, perdamaian dan keamanan wilayah mereka sendiri. Beberapa negara di kawasan yang sama telah menerapkan perjanjian mengenai proliferasi nuklir, diantaranya di kawasan Amerika Latin dan Karibia, kawasan Pasifik Selatan dan Asia Tenggara. Berikut ini adalah beberapa perjanjian internasional secara regional yang berkaitan dengan masalah kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. 1. Traktat Tlatelolco 24 (Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America and the Caribbean 25) 24 Nama Tlatelolco diambil dari nama kota kuno Aztec yang kemudian menjadi salah satu distrik di Mexico City, dimana Departemen Luar Negeri Mexico berlokasi dan tempat berlangsungnya sidang regional negara-negara Amerika Latin dan sekaligus tempat ditandatanganinya traktat ini pada 14 Februari 1967. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 29 Meningkatnya suasana Perang Dingin dan perlombaan senjata antara Amerika Serikat dan Uni Sovet pada awal dekade 1960- an telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat internasional akan kemungkinan terjadinya konfrontasi kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir di antara kedua negara adidaya tersebut. Di Amerika Latin kekhawatiran ini sangat terasa karena persaingan antara kedua negara adidaya tersebut nyaris membawa dunia pada konfrontasi kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Negara-negara Amerika Latin mengamati dengan seksama krisis tersebut dari berbagai aspek dan mereka menyadari bahwa perdamaian dan keamanan internasional merupakan keutuhan yang mendasar bagi kawasan itu. Krisis Kuba telah memberi pelajaran yang sangat berarti bagi negara- negara di kawasan ini bahwa keberadaan senjata senjata kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir di kawasan mereka memungkinkan mereka menjadi sasaran serangan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Karena itu, mereka kemudian secara tegas menyatakan sikap mereka untuk tidak melibatkan diri dalam konflik antara kedua ngara adidaya tersebut. 26 Realisasinya adalah bahwa pada tahun 1962 wakil Brazil di PBB telah mengajukan usul untuk menjadikan kawasan Amerika Latin sebagai suatu kawasan bebas senjata kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Pada Sidang Majelis Umum PBB delegasi Brazil yang didukung oleh Bolivia, Chili dan Ekuador menyampaikan suatau rancangan Resolusi yang menyerukan pembentukan zona semacam itu di Amerika Latin. Gagasan itu mendapat dukungan luas dari negara-negara 25 Pada tanggal 3 Juli 1990, the Agency for the Prohibition for Nuclear Weapons in Latin America memutuskan dalam Resolusi 267 (E-V) untuk menambahkan kata-kata “and the Carebbean” ke dalam judul resmi traktat ini sesuai dengan pasal 7. 26 Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 185. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 30 anggota PBB, khususnya dari sebahagian besar negara-negara Amerika Latin karena ada pula negara-negara di Amerika Latin yang masih belum yakin ataupun bermasalah. 27 Negara-negara Amerika Latin kemudian menindaklanjuti inisiatif itu dengan mengadakan serangkaian negosiasi secara ekstensif dan lebih terperinci di antara mereka, khususnya dengan melaksanakan konferensi “Preliminary Session on theDenuclearization of Latin America” dimana negara-negara Amerika Latin sepakat untuk membentuk suatau Komisi Persiapan (Preparatory Commission) bagai Denuklirisasi Amerika Latin dengan tugas utama menyiapkan suatau rancangan traktat mengenai hal ini dan untuk itu perlu melakukan studi pendahuluan dan langkah-langkah lainnya yang dianggap perlu. 28 Secara garis besar dapat dikatakan, proses pembuatan atau penyusunan Traktat Tlatelolco ini sempat menghadapi berbagai masalah, khususnya dalam menjabarkan aspek-aspek yang akan dicakup dan akan menjadi ketentuan yang disepakati bersama. 29 Ketika itu terdapat kekhawatiran akan adanya kesalahpahaman mengenai ruang lingkup traktat dan mengenai status denuklirisasi yang dikehendakai yaitu bahwa yang dikehendaki adalah bukannya denuklirisasi sipil (civil denuclearization) melainkan denuklirisasi militer (military denuclearization). Karena itu untuk menghindari hal tersebut, komisi memutuskan pada pertemuan terakhir untuk mengubah nama traktat ini 27 Ibid, hal 186. 28 Ibid, hal 190. 29 Ibid, hal 192. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 31 dari “Treaty for the Denuclearization of Latin America” menjadi “Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America” 30 Apa yang dicapai melalui tarktat ini tidak terlepas dari upaya bersama dan kerja keras yang dilakukan oleh tiga badan utama dalam the OPANAL (the Agency for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America and the Caribbean) yaitu Sidang Umum (General Conference), Dewan (Council) dan Sekretariat (General Secretariat) dari Good Offices Committee 31 Sejalan dengan perkembangannya, traktat ini mengalami perubahan-perubahan (amandemen-amandemen) yang memungkinkan negara-negara yang memiliki fasilitas dan aktivitas nuklir untuk menjadi negara pihak secara penuh pada Traktat Tlatelolco. Salah satu hambatan utama implementasi traktat ini adalah adanya persaingan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir antara Argentina dan Brazil.dimana kedua negara saling mencurigai satu sama lain mengenai kegian kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir masing-masing yang dilakukan secara rahasia, yang bertujuan untuk mempertahankan upaya nuklirnya. 32 Peledakan alat ledak kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir (nuclear explosive device) untuk tujauan damai diizinkan di bawah traktat ini dan prosedur pelaksanaannya juga diatur secara jelas. Ketentuan didalamnya mengatur bahwa 30 Ibid, hal 193. 31 Ibid, hal 198. 32 Ibid, hal 199. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 32 kegiatan semacam itu harus dilaksanakan sesuai dalam pasal-pasal dalam traktat yang melarang sepenuhnya senjata nuklir. 33 Kawasan aplikasi traktat Tlatelolco meliputi wilayah teritorial, termasuk lautan dan udara dimana negara-negara kawasan memiliki kedaulatan sesuai dengan ketentuan hukumnya. Kawasan ini juga mencakup kawasan yang luasa di Samudera Atlantik dan Pasifik, dan ratusan kilometer di lepas pantai Amerika Latin. Bahkan mencakup pula sebagian dari laut bebas, apabila seluruh persyaratannya telah dipenuhi yaitu antara lain : a. pematuhan terhadap traktat oleh semua negara di kawasan; b. penandatanganan dan ratifikasi terhadap protokol oleh negara-negara yang bersangkutan; c. penyelesaian kesepakatan dengan IAEA mengenai aplikasi IAEA safeguard terhadap fasilitas nuklir di negara-negara pihak (for the purposes of this treaty, the term “territory” shall include the territorial sea, air space and any other space over which the State exersices sovereignty in accordance with its own legislation). 34 Protocol II traktat Tlatelolco memberikan jaminan negara-negara nuklir untuk tidak menggunakan atau mengancam akan menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara pihak meskipun hal ini dilakukan secara bersyarat. Mengenai hal ini, ketika menandatangani protokol ini, Amerika Serikat dan Inggris telah membuat “interpretative statement” yang mencerminkan doktrin militer yang mereka anut. Kedua negara ini menganggap kewajiban tersebut tidak berlaku dalam situasi dimana terjadi serangan bersenjata oleh negara-negara di kawasan bebas senjata nuklir itu yang didukung atau dibantu oleh negara-negara nuklir. Hal yang sama juga berlaku bagi Uni 33 The Tlatelolco Treaty Article 18. 34 The Tlatelolco Treaty Article 3. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 33 Soviet, dengan tambahan bahwa bukan hanya serangan bersenjata tetapi juga apabila terjadi agresi yang dilakukan negara-negara kawasan dengan bantuan negara-negara nuklir. 35 Ketentuan-ketentuan yang penting lainnya dalam traktat ini adalah berkaitan dengan verifikasi. Negara-negara pihak berketetapan untuk menegosiasikan perjanjian dengan IAEA untuk aplikasi safeguard terhadap aplikasi nuklir mereka. Untuk itu traktat ini juga membentuk suatau organisasi yang akan membantu menjamin pematuhan terhadap ketentuan-ketentuan traktat. Hal lain yang perlu dikemukakan secara khusus sehubungan implementasi traktat ini adalah kaitan antara Traktat Tlatelolco dengan NPT. Karena sebagian besar pihak traktat ini juga merupakan negara pihak NPT, sering kali bahwa Traktat Tlatelolco adalah versi regional dari NPT. Dengan demikian prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan NPT secara otomatis berlaku untuk Traktat Tlatelolco atau paling tidak merupakan preseden. Padahal diketahui bahwa dalam kenyataannya Traktat Tlatelolco dijajaki, dirundingkan dan dirampungkan secara independen bahkan sebelum NPT terbentuk. Dalam hubungan ini traktat Tlatelolco jelas merujuk pada paragraf preambul Resolusi PBB No. 2028 (XX) Non-Proliferation of Nuclear Weapons yang disahkan Sidang Majelis Umum PBB, sementara NPT justru sengaja tidak menyebutnya. 36 Protokol Internasional menyerukan agar negara-negara internasional luar kawasan traktat ini menerapkan ketentuan-ketentuan denuklirisasi terhadap wilayah- 35 Dian Wirengjurit, Op. Cit. hal 205. 36 Ibid, hal 206. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 34 wilayah yang secara de facto atau de jure mereka bertanggung jawab secara internasional. Semua negara yang memiliki wilayah seperti yang dimaksudkan itu telah menandatanganinya dan mereka juga telah meratifikasinya masing-masing Inggris, Belanda, Amerika Serikat dan Perancis. Traktat Tlatelolco dimaksudkan untuk menghindarkan atau munculnya negara nuklir di Amerika Latin dan untuk itu diperlukan kepatuhan negara-negara kawasan terhadap traktat ini. Namun, selama kurang lebih seperempat abad setelah ditandatangani beberapa negara kawasan yang masih melakukan kegiatan nuklir ingin tetap mempertahankan agar upaya nuklirnya tetap terbuka. Meskipun demikian, di samping kelemahan dan ambiguitasnya Traktat Tlatelolco tetap merupakan model bagi upaya pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di berbagai kawasan dunia. 37 Pembentukan Traktat Tlatelolco telah membawa dampak positif dan menjadi perangsang bagi negara-negara Amerika Latin untuk mengupayakan lebih lanjut penghapusan senjata-senjata pemusnah massal dari kawasan itu, baik secara bilateral maupun di antara beberapa negara kawasan. Upaya ini dilakukan diantaranya melalui Deklarasi Ayacucho (the Ayacucho Declaration) tahun 1974, Gagasan Contadora (the Contadora Proposals) tahun 1985 yang khusus menyangkut senjata-senjata konvensional serta Perjanjian Iguazu (the Iguazu Falls Agreement) tahun 1990, Perjanjian mendoza (the Mendoza Agreement) dan Deklarasi Cartagena (the Cartagena Declaration) yang keduanya ditandatangani tahun 1991. 38 37 Ibid, hal 210. 38 Ibid. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 35 Traktat Tlatelolco memberi dampak terhadap perlucutan senjata dan pengawasan senjata di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa : 1. Traktat Tlatelolco merupakan kawasan bebas senjata nuklir di kawasan berpenghuni 2. Komitmen negara pihak terhadap full-scope safeguard IAEA 3. Larangan kontrol pangkalan nuklir oleh negara asing 4. Prosedur berlakunya traktat yang inovatif 5. Dimaksudkannya protokol yang mengikat bagi negara-negara nuklir dan negara yang memiliki kepentingan di kawasan 6. Adanya organisasi dengan struktur yang lengkap 7. Traktat ini menjadi model bagi kawasan lain Keberhasilan Traktat Tlatelolco diakui secara luas oleh masyarakat internasional pada umumnya. Bahkan dalam proses perampungannya, ketika teks traktat berhasil disepakati oleh Preparatory Committee, Sekretaris Jenderal PBB, U Thant telah menyampaikan penghargaannya : “...the success you have achieved in your work here will stand not only as a landmark but will be an encourageing example, and I trust also an important stimulant, for progress in other disarmamaent measures of world wide as well as of regional significance... The nations of Latin America can, with ample justification, take pride in what they heve wrought by their own initiative and through their own efforts”.39 Negara-negara nuklir memang bersikeras mempertahankan sikap bahwa senjata nuklir masih tetap dibutuhkan namun tekanan terhadap mereka untuk menandatangai protokol kawasan bebas senjata nuklir semakin meningkat karena keinginan kuat negara-negara kawasan utuk memperkuat rezim non-proliferasi dan mencegah pembelotan dari Non-Proliferation Treaty dan mendorong negara nuklir untuk 39 Ibid, hal 215. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 36 mengupayakan perlucutan senjata nuklir lebih lanjut ke arah pencapaian tujuan dunia yang bebas senjata nuklir. 40 Gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di kawasan lainnya dan perjanjian-perjanjian ke arah perlucutan senjata nuklir tampaknya tidak dapat dihindari. Dari berbagai aspek, meskipun terdapat perbedaan karakteristik di antara masingmasing kawasan Traktat Tlatelolco merupakan inspirasi dan pelajaran yang berguna bagi negara-negara yang ingin turut menyumbang bagi perluasan kawasan semacam ini di dunia. 2. Traktat Ratoronga 41 (The South Pasific Nuclear Free Zone Treaty) Kawasan Asia Pasifik yang sering kali dianggap sebagai kawasan paling strategis di dunia, telah terlibat dalam isu-isu yang berhubungan dengan senjata nuklir semenjak awal era nuklir tahun 1945. Penggunaan senjata nuklir yang pertama dan terakhir kali dalam suatau peperangan dilakukan oleh negara pesisir Pasifik terhadap negara Pasifik lainnya (Amerika Serikat terhadap Jepang). Di pihak lain, laetak kawasan ini yang secara relatif dapat dikatakan terisolasi telah mengundang minat negara-negara nuklir untuk melaksanakan program kegiatan nuklir mereka, terutama program uji coba nuklir mereka. 42 40 Ibid, hal 219. 41 Ratotonga adalah pulau terbesar di kelompok Cook Islands, tempat diselenggarakannya KTT South Pasific Forum ke-16 Traktat Ratotonga berhasil disepakati dan ditandatangani pada tanggal 8 Agustus 1985. 42 Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 221. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 37 Amerika Serikat dan Inggris telah melakukan tidak kurang dari 120 kali uji coba nuklir di kawasan Pasifik dimana sebagian besar merupakan uji coba di atmosfir dan sebagian lagi dilakukan di bawah laut. Setelah rangkaian uji coba tersebut, penduduk Marshall Island mengalami masalah kesehatan dan lingkungan yang cukup parah akibat radioaktif yang dihasilkan dari rangkaian uji coba tersebut. 43 Kekhawatiran dan kemarahan negara-negara Pasifik Selatan mengenai isu nuklir ini semakin bertambah karena keputusan Prancis untuk mendirikan Pusat Eksperimen Pasifik (Centre d’experimentation du Pasifique) di Moruroa 44, di gugusan pulau Toamotu di Polinesia pada tahun 1963. Hal ini dilakukan setelah Perancis terpaksa meninggalkan padang uji coba nuklirnya di kawasan Raggane Gurun Sahara, Aljazair menyusul perang kemerdekaan yang terjadi di sana. Sebagai hasilnya, pada tahun 1966 untuk pertama kalinya Perancis melaksanakan uji coba nuklir di atmosfir di kawasan Pasifik Selatan dan kemudian melakukannya secara teratur. Sejak saat itu Perancis telah melakukan tidak kurang dari 41 uji coba di atmosfir dan 120 kali uji coba di bawah tanah di Moruroa atau sekitarnya (Fatanguafa). 45 Sejalan dengan berkembangnya oposisi terhadap program uji coba Perancis, berkaembang pula kekhawatiran mengenai isu nuklir lainnya di antaranya masalah pembuangan limbah nuklir di lautan dan dampak proliferasi senjata nuklir terhadap keamanan regional dan global. 46 43 Ibid, hal 222. 44 Nama Moruroa dari bahasa setempat yang artinya “a place of great secret”, namun kata ini diubah menjadi Mururoa oleh kartograf Angkatan Laut Perancis. 45 DRS Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 223. 46 Ibid. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 38 Penggunaan pulau-pulau di Pasifik serta berlanjutnya program uji coba nuklir Perancis dan kekhawatiran kan tercemarnya sumber daya alam yang vital bagi kawasan telah menimbulkan kecurigaan dan dorongan yang kuat di antara negara-negara yang kecil ekonomi komoditi tunggal (single-commodity economies) di Pasifik untuk melindungi kawasan mereka dari akibat burut dari segala sesuatu yang berbau nuklir. Sejak itu pula negara-negara di kawasan ini terutama Australia dan Selandia Baru mulai menggalang kesatuan di antara mereka untuk menentang program uji coba nuklir Perancis. 47 Tanda-tanda bahwa negara-negara Pasifik akan bergabung untuk membentuk suatu kawasan bebas senjata nuklir di kawasan itu sebenarnya mulai muncul pada awal tahun 1960-an dalam resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Partai Buruh baik di Australia ataupun di Selandia Baru. 48 Tingkat politik regional sebagai langkah awal menuju pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan, pada awal tahun 1970-an Partai Buruh Selandia Baru mengusulkan di bentuknya South Pasific Forum (SPF) 49 yang terdiri dari semua negara merdeka dan berpemerintahan sendiri di Pasifik Barat Daya. 50 Tahun 1972 pemerintah Selandia Baru menyatakan komitmen terhadap upaya internasional untuk menentang uji coba nuklir khususnya terhadap program uji coba 47 Ibid, hal 224. 48 Ibid. 49 South Pasific Forum didirikan pada tanggal 5 Agustus 1971 untuk mempromosikan kerja sama regional dalam bidang politik. SPF memiliki 15 negara anggota yaitu Australia, Cook Island, Fiji, Kiribati, Marshall Island, Federated States of Micronesia, Nauru, New Zealand, Niue, Papua New Guinea, Solomon Island, Tonga, Tuvalu, Vanuatu dan Western Samoa. 50 Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 225. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 39 Perancis di Polinesia. Pada tahun itu juga Selandia Baru mulai melaksanakan lobi terhadap negara-negara Pasifik Selatan agar memberikan dukungan terhadap gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di kawasan itu. 51 Gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan ini sempat mengalami pasang surut dalam tahun-tahun berikutnya sejalan dengan terjadinya pergantian pemerintahan, terutama di kedua negara SPF yaitu Australia dan Selandia Baru. Masa pemerintahan Partai Buruh dianggap terlalu singkat untuk mengembangkan kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan dari mulai gagasan hingga program aksinya. Partai nasional pimpinan Robert Muldoon yang terpilih pada tahun 1976, misalnya, juga memutuskan untuk meninggalkan kebijakan tersebut dan tidak menganggap gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir sebagai proritas. Pada bulan Februari 1976, Perdana Menteri Muldoon menyatakan sikapnya bahwa tanpa adanya jaminan dari negara nuklir deklarasi mengenai pembentukan kawasan bebas senjata nuklir akan hanya merupakan gerakan hampa (empty gesture) 52 Tahun 1979 SPF sempat mengeluarkan pernyataan keras mengutuk rencna penggunaan pulau-pulau yang tidak berpenghuni di Pasifik Selatan sebagai tempat pembuangan limbah nuklir. Sikap keras ini yang disertai oposisi terhadap rencana Jepang untuk membuang limbah nuklirnya di Samudera Pasifik ditegaskan kembali dalam pertemuan-pertemuan SPF berikutnya.Tidak lama setelah Partai Buruh memerintah kembali di bawah Perdana Menteri Robert Hawke, Australia menghidupkan kembali gagasan lama untuk membentuk kawasan bebas nuklir Pasifik 51 Ibid. 52 Ibid, hal 227 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 40 Selatan pada pertemuan ke-14 SPF ynag diadakan pada bulan Agustus 1983 di Canberra. 53 Perkembangan lain yang juga penting artinya dalamupaya ini adalah terjadinya pergantian pemerintahan di Selandia Baru pada bulan Juli 1984, dengan munculnya Perdana Menteri, David Lange, yang merupakan pendukung kuat gagasan ini dan mengakhiri pemerintahan Perdana Menteri Robert Muldoon yang menentang upaya ini. Ketika itu tidak kurang dari 94 kota di Selandia Baru telah menyatakan diri sebagai daerah bebes nuklir yang berarti lebih dari separuh penduduk negara itu berdiam di kawasan bebas nuklir. Kebijakan bebas nuklir itu disahkan oleh 3 dari 4 partai poltik yang ada dan memperoleh 63 persen suara. Berbeda dengan gagasan awal Australia, Perdana Menteri David Lange lebih memilih pendekatan yang pragmatis karena menyadari bahwa gagasan yang radikal tidaka akan mendapatkan dukungan yang diharapkan. Untuk itu David Lange telah menetapkan 4 strategi pemerintahanya, yaitu : 1. Mengakhiri uji coba nuklir Prancis di Pasifik Selatan 2. Mencegah pembuangan limbah nuklir di Pasifik 3. Membentuk kawasan bebas nuklir di Pasifik Selatan 4. Menolak senjata nuklir di Selandia Baru 54 David Lange juga memasukkan keempat strategi ini ke dalam undang-undang negaranya dan meminta agar Amerika Serikat mematuhi UU tersebut apabila kapalkapal lautnya ingin memasuki pelabuhan di Selandia Baru. 53 Ibid, hal 228 54 Ibid, hal 229 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 41 Bulan November 1984 dan Juni 1985, setelah melalui 5 kali pertemuan, di Suva, Fiji kelompok kerja yang dibentuk oleh SPF elah erhasil menyusun suatu rancangan traktat yang terdiri dari preambul, 16 pasal dan 4 annex serta suatu rancangan protokol. Rancangan ini direncanakan akan dibawa ke dalam KTT SPF ke-16 yang diadakan di Ratotonga, Cook Island, pada bulan Agustus 1985. Namun menjelang berlangsungnya pertemuan di Ratotonga itu terdapat indikasi bahwa beberapa negara justru ingin mempertimbangkan kembali gagasan ini. 55 Diakui bahwa ketika Australia pertama kali mengajukan gagasan pada tahun 1983 hal ini telah mengundang tanggapan baik dari kalangan Partai Konservatif maupun dari gerakan perdamaian (peace movement) yang menganggap gagasan ini sebagai “empty concept”. Baik kelompok kiri maupun kanan menilai bahwa gagasan ini hanya merupakan permainan politik yang sama sekali tidak akan mencapai hasil apapun dalam konteks pengawasan senjata yang sesungguhya. Karena itu, tidak mengherankan apabila pada awalnya gagasan ini diremehkan dan diragukan akan dapat diwujudkan sesuai dengan harapan negara-negara Pasifik Selatan. Di lain pihak, ada pula yang beranggapan bahwa traktat ini lebih banyak ditujukan kepada Australia sendiri, yang merupakan satu-satunya negara yang memiliki potensi untuk menjadi kekuatan nuklir di Pasifik Selatan. Pada tingkat tertentu traktat ini juga merupakan sinyal politik dan jaminan khusus kepada negara-negara di lau kawasan terutama Indonesia, bahwa Australia tidak akan memekai senjata nuklir dalam kaitan dengan keamanan di kawasan itu. Sedangkan Indonesia yang juga merupakan negara pihak NPT, ketika itu juga sedang menempuh jalan yang sama dengan 55 Ibid, hal 230 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 42 menunjukkan keinginannya untuk membentuk suatu kawasan bebas senjata nuklir di kawasan Asia Tenggara. 56 Apapun perkembangan selanjutnya, diakui atau tidak, traktat ini pada dasarnya bukan hanya merupakan pernyataan hukum mengenai sentimen regional yang ada di kalangan negara-negara Pasifik Selatan, tetapi juga merupakan pernyataan komitmen mereka terhadap masalah lingkungan hidup. Negara-negara pihak bukan hanya enentang kehadiran alat-alat ledak nuklir di Pasifik Selatan tetapi mereka juga ingin melestarikan keseimbangan ekologis yang telah dinikmati oleh masyarakat di kawasan sejak lama. Dengan demikian Traktat Ratotonga bukan hanya meruupakan simbol keprihatinan tetapi juga memberikan perlindungan hukum terhadap mereka. 57 Traktat Ratotonga mencakup kawasan yang amat luas dari pantai Australia di sebelah barat sampai ke Kepulauan Galapagos di lepas pantai Equador di sebelah timur dan dari garis khatulistiwa sebelah selatan sampai di atas sedikit Benua Antartika. Traktat ini terdiri dari satu kawasan samudera yang sangat luas, satu benua dan begitu banyak pulau-pulau. Traktat ini bukan hanya mencakup wilayah teritorial negara-negara pihak tetapi juga mencakup laut pedalaman (internal waters), wilayah teritorial laut (territorial sea) dan perairan nusantara (archipelagic waters), dasar laut, wilayah daratan dan ruang angkasa di atasnya. Luasnya cakupan kawasa aplikasi traktat ini memang oleh para perncangnya dibuat seluas mungkin atau juga dikenal senagai “picture-frame approach”. Dalam kaitan in ketentuan traktat dibuat sedemikian rupa 56 Namun keengganan Australia untuk mendukung pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan pada pertengahan tahun 1970-an antara lain disebabkan karena kekhawatiran terhadap Indonesia menyusul perkembangan tang terjadi di Timor Timur ketika itu. 57 Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 234. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 43 sehingga kawasan aplikasi kawasan bebas senjata nuklir ini dapat diperluas apabila negara-negara anggota baru SPF kemudian menyatakan juga menjadi negara pihak pada traktat ini. Bahkan, masing-masing negara pihak memiliki kewajiban yang berlaku terhadap seluruh kawasan bebas senjata nuklir ini, misalnya dalam hal menahan diri untuk tidak membuang limbah radioaktif di manapun dalam kawasan aplikasi. Kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan ini telah lebih maju dibandingkan dengan Traktat Tlatelolco dan bahkan NPT sekalipun. Traktat Ratotonga memperbaiki kekurangan yang ada pada Traktat Tlatelolco antata lain dengan secara eksplisit melarang pemilikan, pengembangan dan penggunaan alat ledak nuklir dan melarang pembuangan limbah nuklir. Traktat Ratotonga juga lebih jelas menyebutkan hak negaranegara anggota untuk secara sendiri-sendiri, sesuai dengan kebijakan keamanannya, menyetujui atau menolak kunjungan atau transit kapal-kapal yang membawa senjata nuklir. Kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan dibentuk melalui traktat regional untuk jangka waktu yang tak terbatas. Namun, Traktat Ratotonga tidak membentuk suatu Sekretariat yang permanen untuk mengamati atau memantau pelaksanaan traktat ini, melainkan mempercayakan kegiatan dan fungsinya kepada Direktur Biro Pasifik Selatan untuk kerja sama ekonomi yang berpusat di Suva, Fiji yang juga berfungsi sebagai Sekretariat SPF. Kewajiban-kewajiban yang ada dalam Traktat Ratotonga dapat dikatakan mencerminkan karakteristik suatu kawasan bebas senjata nuklir. Kewajiban untuk tidak membuat (manufacture), tidak mendapatkan (acquire), tidak memiliki (posses), tidak menguji coba (test) alat ledak nuklir ataupun membantun lain dalam melakukannya, Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 44 serta tidak mengizinkan untuk menempatkannya (station) di wilayah teritorial nasional (national territory) merupakn ketentuan-ketentuan standar yang ada dalam suatu kawasan bebas senjata nuklir. Kecuali ketentuan stationing, semua ketentuan lainnya sebenarnya sejalan dan juga diatur secara global melalui NPT, khususnya dalam pasal VII. 58 Memang traktat ini pada dasarnya lebih merupakan perjanjian pengawasan senjata (arms control agreement), meskipun di dalamnya juga dimaksudkan “nonweapon prohibition” yaitu larangan membuang limbah radioaktif di kawasan. Sedangkan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan nuklir tetap tidak terpengaruh karena tidak dilarang, seperti misalnya energi, bio-medis dan penelitian yang menggunakan teknologi nuklir. Dengan kata lain, pemanfaatan atau penggunaan nuklir untuk tujuan damai dan pembangunana masih tetap dapat dilakukan oleh negara-negara kawasan. Memang benar bahwa tidak ada satupun negara SPF yang mengindikasikan keinginannya untuk mendapatkan alat ledak nuklir maupun menyediakan fasilitas penampungan atau penimbunan (storage) di wilayah teritorialnya. Namun, beberapa negara anggota SPF ketika itu telah memiliki kemampuan teknis untuk mengembangkan alat ledak semacam itu sehingga sulit untuk membayangkan ada negara nuklir yang dapat membuat perjanjian strategis menyangkut hak penempatan atau penyimpanan dengan negara-negara SPF. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Traktat Ratotonga merupakan 58 pernyataan resmi secara hukum mengenai sentimen Ibid, hal 238. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 45 regional menentang kehadiran persejataan nuklir di Pasifik Selatan dan kesungguhan untuk menegakkannya. 59 Negara-negara SPF juga dapat dikatakan membuat langkah lebih maju dalam menerapkan formula kawasan bebas senjata nuklir di kawasannya. Bagi negara-negara SPF, Traktat Antartika yang melarang pembuangan limbah radioaktif di kawasan aplikasinya baik di darat maupun di laut, dinilai kurang memadai mengingat hal ini lebih tepat diatur dalam suatu konvensi mengenai lingkungan hidup dan bukannya dalam suatu traktat perlucutan senjata nuklir.demikian pula Traktat Tlatelolco juga tidak memiliki ketentuan serupa ini. Namun, negara-negara SPF menilai bahwa pelestarian lingkungan bukan hanya menyangkut isu keamanan melainkan secara spesifik juga menyangkut isu persenjataan nuklir. Karena itu, ketentuan dalam pasal 7 yang melarang pembuangan (dumping) limbah radioaktif di lautuan secara alamiah memang cocok untuk lingkungan Samudera Pasifik dan sesuai dengan kerangka Traktat Ratotonga. Keputusan untuk memasukkan pasal ini mencerminkan keprihatinan negara-negara SPF agar kawasannya tidak dijadikan tempat penimbunan limbah radioaktif, mengingat Samudera Pasifik telah menampung limbah semacam ini dalam jumlah besar akibat program uji coba senjata nuklir yang dilakukan negara-negara nuklir. Negara-negara SPF menginginkan agar kawasan Pasifik Selatan menjadi terbebas sama sekali (offlimits) dari penimbunan limbah radioaktif oleh negara lain. 60 Traktat Ratotonga memiliki 3 protokol yang ditujukan kepada negara-negara nuklir untuk ditandatangani dan diratifikasi. Di bawah Protokol I, Amerika Serikat, 59 Ibid, hal 239. 60 Ibid, hal 240. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 46 Inggris dan Perancis yang merupakan 3 negara yang bertanggung jawab secara internasional (internationally responsible) atas kawasan bebas senjata nuklir ini, berjanji untuk tidak membuat, menempatkan dan melakukan uji coba alat ledak nuklir di wilayah-wilayah teritorial mereka yang berada di kawasan itu. Dalam hubungan ini, ketentuan dalam protokol tersebut jelas ditujukan kepada Amerika Serikat. Protokol I ini tidak berlaku bagi Cina dan Rusia karena kedua negara ini tidak memiliki wilayah teritorial atau tidak bertanggung jawab atas sebagian wilayah di kawasan ini. 61 Protokol II yang mirip dengan Protokol II Traktat Tlatelolco terbuka bagi kelima negara nuklir yang ada. Di bawah protokol ini kelima negara nuklir berjanji untuk tidak menggunakan atau mengancam untuk menggunakan alat ledak nuklir kepada negara pihak manapun dalam traktat ini atau terhadap wilayah teritorial negara pihak protokol di dalam kawasan ini. Dalam hal ini, meskipun kelima negara nuklir telah membuat pernyataan umum mengenai jaminan keamanan negatif (negative security guarantees) terhadap negara non-nuklir, tetapi hanya Cina ynag memberikan jaminan tanpa syarat (unconditional).62 Protokol III yang tidak secara langsung menyerupai Traktat Tlatelolco memerintahkan kelima negara nuklir berjanji untuk tidak mengadakan uji coba alt ledak nuklir di manapun di dalam kawasan kawasan bebas senjata nuklir ini. Dalam prakteknya protokol ini lebih ditujukan kepada Cina dan Perancis untuk mengambil langkah-langkah atau kebijakan baru yang sesuai dengan misi yang hendak dicapai dalam pembentukan Traktat Ratotonga ini. 61 62 Ibid, hal 241. Ibid, hal 242. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 47 Traktat Ratotonga banyak dikritik oleh sebagian negara nuklir karena bersifat selektif dan terbatas dalam ketentuan-ketentuannya dan tidak dapat berbuat banyak dalam meningkatkan keamanan kawasan dari kemungkinan serangan nuklir, limbah radioaktif, dan kecelakaan nuklir, diakui pula bahwa traktat ini memiliki sejumlah aspek positif. Pertama, pasca Perang Dingin tidak merubah arti penting traktat ini karena perlucutan senjata nuklir tetap merupakan tujuan utama SPF dan masyarakat internasional pada umumnya. Peredaan ketegangan yang terjadi justru menujukkan kenyataan bahwa tujuan traktat ini memang realistis. Kedua, traktat memainkan peran moral dan politis yang penting dalam meningkatkan keamnan kawasan. Traktat ini menunjukkan adanya komitmen regional terhadap perlucutan senjata nuklir yang mendorong mendorong munculnya sentimen anti-uji coba nuklir sehingga kelima negara nuklir memberlakukan moratorium uji cona nuklir mereka. Ketiga, ketentuanketentuan mengenai lingkungan dalam traktat jelas tidak terpengaruh oleh berakhirnya Perang Dingin. Komitmen untuk tidak membunag limbah radioaktif di laut masih tetap penting dan relevan dan telah mempengaruhi opini internasional sehingga telah membuka jalan terwujudnya Konvensi London (the London Convention) mengenai larangan pembuangan limbah nuklir. Keempat, traktat ini dilihat sebagai sumbangan negara-negara kawasan terhadap upaya memperkuat rezim non-proliferasi internasional. Hingga saat ini potensi pengembangan senjata nuklir masih diakui merupakan isu yang harus dihadapi dalam masa pasca Perang Dingin. 63 Saat ini Traktat Ratotonga telah ditandatangani dan diratifikasi oleh 12 negara anggota SPF : Australia, Cook Island, Fiji, Kiribati, Nauru, New Zealand, Niue, Papua 63 Ibid, hal 250. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 48 New Guinea, Solomon Island, Tuvalu, Vanuatu dan Western Samoa. Dewasa ini tidak ada negara nuklir atau kawasan nuklir yang ditempatkan di dalam kawasan aplikasi traktat ini. Prancis telah melaksanakan sekitar 140 kali uji coba nuklir di kawasan ini sejak tahun 1966, dan kini telah menghentikan program uji coba nuklirnya. Dengan diratifikasinya traktat ini oleh ketiga negara nuklir lainnya (Amerika Serikat, Inggris dan Perancis), hal ini menjadikan kawasan sepenuhnya bebas senjata nuklir. Tidak dapat disangkal bahwa kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan sangat penting dalam kerangka mekanisme pengawasan senjata dan hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, traktat ini dapat mencegah penempatan senjata nuklir di kawasan meskipun tadinya belum semua negara nuklir mematuhi perjanjian ini. Karena adanya dukungan yang luas dari negara-negara kawasan, hampir tidak mungkin negaranegara nuklir memaksa untuk memasukkan senjata nuklir ke kawasan ini. Kedua, traktat ini memberikan sumbangan penting terhadap keamanan dan perdamaian di kawasan yang berdekatan seperti Indonesia, Malaysia dan kawasan Asia Tenggara. Bagi Australia yang merupakan negara potensial menjadi negara nuklir, traktat ini memberikan pesan khusus kepada negara-negara disekitarnya yang juga dinilai berpotensi menjadi negara nuklir seperti Indonesia. Ketiga, traktat ini akan dapat mendorong munculnya inisiatif yang serupa di kawasan yang berdekatan, dalam hal ini, ASEAN senantiasa mengikuti dengan seksama perkembangan dan kemajuan Traktat Ratotonga dan diharapkan akan berupaya membentuk kawasan yang serupa di Asia Tenggara. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 49 Keberhasilan Traktat Ratotonga mencerminkan keberhasilan SPF sebagai suatu organisasi regional yang dewasa, asertif dan bertanggung jawab (mature, assertive and responsible) serta dapat dan mampu bekerja untuk konsensus dan dialog regional mampu menjalankan pandangannya ke dalam kancah yang lebih luas (able and willing to work for regional consensus and dialogue, and able to project its views onto the wider stage). Traktat ini juga mewakili eratnya hubungan antara negara-negara Pasifik Selatan dengan masyarakat dunia. Yang penting, Traktat Ratotonga tidak salah lagi merupakan dokumen hukum tetapi juga sebagai simbol dari jangkauan hubungan yang menunjukkan komunitas global. Traktat ini juga merupakan upaya oleh suatu bagian kecil dunia yang memberikan kontribusi untuk keberadaan komunitas dunia itu sendiri. (Ratotonga Treaty is a legal document, but it is also a symbol of the range of relationships which charactreize the global community. It is also an attemp by one small part of the world to make a contribution to the survival of that community)64 3. Traktat Bangkok (The South East Asia Nuclear Weapaon Free Zone Treaty) Kawasan Asia Tenggara yang strategis telah lama menjadi incaran negaranegara besar, khususnya dalam konteks persaingan Perang Dingin. Baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet senantiasa berusaha menanamkan dan meluaskan pangaruhnya di kawasan ini. Persaingan antara kedua negara adi kuasa ini ditambah dengan potensi konflik yang memang ada di kawasan ini menjadikan kawasan ini sejak lama dikenal sebagai kawasan konflik (region of conflict) atau juga kawasan instabilitas (region of instability). Sudah sejak lama masyarakat Asia Tenggara menyaksikan dan 64 Ibid, hal 253. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 50 mengalami berbagai konflik bersenjata di kawasan ini semenjak akhir Perang Dunia II. Mengingat situasi seperti ini, dari sejak lama memang sulit dibayangkan bahwa Asia Tenggara akan dapat menjadi suatu kawasan yang aman dan damai. ASEAN dibentuk untuk mengubah citra Asia Tenggara yang penuh konflik menjadi wahana kerjasama ekonomi dan sosial-budaya di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara demi pembangunan nasional masing-masing negara. Gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari gagasan pembentukan ZOPFAN. Gagasan pembentukan ini pertama kali diajukan berkaitan dengan kebijakan politik dalam negeri dan perkembangan situasi politik di Asia Tenggara ketika itu. Gagasan ini diterima oleh negara-negara ASEAN peda pertemuan para Menteri Luar Negeri yang diadakan pada tanggal 27 November 1971 yang menyepakati Deklarasi Kuala Lumpur mengenai ZOPFAN. 65 Gagasan ZOPFAN bukan dimaksudkan sebagai netralisasi Asia Tenggara dalam pengertian umum meskipun pengakuan dari negara-negara luar kawasan sangat diharapkan. ZOPFAN lebih merupakan pernyataan negara-negara Asia Tenggara untuk bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya dengan menolak asumsi bahwa nasib kawasan ini ditentukan oleh negara-negara luar. Gagasan ini juga mencerminkan keyakinan kuat bahwa hanya dengan kerjasama erat di antara sesama negara kawasan berdasarkan kemampuan diri sendiri, perdamaian, keamanan dan stabilitas dapat diwujudkan di Asia Tenggara. Konsep ZOPFAN tidak menyangkal adanya kepentingan-kepentingan negaranegara luar kawasan. Namun, hal itu harus dilihat sebagai suatu kesatuan (a set of 65 Ibid, hal 256. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 51 conduct), di antara negara-negara ASEAN dan antara ASEAN dengan negara-negara luar, dalam konteks mempertahankan perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan. Dengan demikian, konsep ini jelas merupakan bagian dari upaya atau pendekatan regional dalam mewujudkan perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan. Dengan membentuk kawasan damai dan dengan melembagakan kerjasama regional dan interregional dalam pembangunan sosio-ekonomi dan pengaturan keamanan, upaya ini dengan sendirinya akan turut membantu meringankan PBB dalam melaksanakan tugas yang dimandatkan sesuai piagamnya. 66 Kesepakatan mengenai konsepsi ZOPFAN melalui KTT I ASEAN yang diadakan pada 23-25 Februari 1976 di Bali telah mengeluarkan Declaration of ASEAN Concord yang intinya berisikan program-program aksi yang akan menjadi kerangka kerjasama ASEAN selanjutnya. Kesepakatan negara-negara ASEAN terhadap ZOPFAN ini kemudian ditegaskan kembali dalam KTT II ASEAN yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 4-5 Agustus 1977. Dalam komunike akhir yang dikeluarkan oleh para pemimpin ASEAN, masalah pembentukan ZOPFAN telah menjadi salah satu topik utama. Perkembangan dan situasi kawasan yang belum kondusif mengakibatkan pembahasan mengenai pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara pada awalnya juga berjalan agak lambat. Dalam kerangka ASEAN pada tahun 1977 Indonesia dan Malaysia sudah mengajukan gagasan mengenai denuklirisasi Asia Tenggara. Kesulitan yang dihadapi adalah adanya keengganan dari sebagian dari anggota ASEAN untuk membahas masalah ini sebelum naskah Kamboja dapat 66 Ibid, hal 258. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 52 diselesaikan, walaupun ketika itu pula sebagian negara Asia Tenggara terutama Indonesia dan Malaysia tetap bersikap tegas mengenai pembentukan kawasan bebas senjata nuklir ini. Meskipun demikian, memang diakui bahwa kaitan yang erat antara gagasan pembentukan ZOPFAN dan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara ini telah beberapa kali diungkapkan dalam pernyataan menteri-menteri ASEAN. 67 Tidak lama setelah disepakatinya konsep ZOPFAN, gagasan akan suatu denuklirisasi Asia Tenggara sudah pernah dilontarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa apabila netralisasi kawasan merupakan tujuan utama maka kenon-aktifan negara-negara kawasan dalam pakta-pakta militer dengan negara-negara besar (nuklir) merupakan condisio sine qua non atau harus segera diselesaikan. Menurutnya, denuklirisasi bukan merupakan tujuan yang tidak masuk akal mengingat perkembangan teknologi dan strategi nuklir yang terjadi di kedua negara adidaya ketika itu, terutama dengan dikembangkannya sistem senjata nuklir MIRV dan SLBM 68. Dengan sistem MIRV konsep keseimbangan teror (balance of terror) yang didasarkan pada kemampuan serangan kedua (second strike capability) negara-negara nuklir menjadi tidak berlaku karena masing-masing pihak tidak akan dapat melepaskan diri dari ancaman serangan nuklir yang digelar di daratan (land-based missile). Sedangkan peranan kapal selam yang berkemampuan membawa SLBM menjadi semakin penting dengan adanya Traktat Dasar Laut 1971 yang melarang penempatan senjata nuklir di dasar laut. 67 Ibid, hal 263. 68 MIRV (Multiple Independently targetable Re-entry Vehicle) dimana satu rudal nuklir memiliki sejumlah kepala nuklir yang masing-masing dapat diarahkan kepada berbagai sasaran yang berbeda. Sedangkan SLBM (Sea Launched Ballistic Missiles) yang berpangkalan di kapal-kapal selam nuklir sehingga lebih mudah. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 53 Bergesernya prinsip penangkalan nuklir (nuclear deterrence) dari daratan ke lautan telah memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi negara-negara dunia termasuk di kawasan Asia Tenggara. Dengan konsep semacam ini sasaran potensial dari serangan nuklir juga beralih dari daratan ke lautan mengingat senjata-senjata nuklir yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut juga menjadi serangan senjata nuklir. Dengan demikian, negara-negara Asia Tenggara tidak lagi dapat dianggap immune terhadap ancaman serangan nuklir terutama dengan perkembangan yang terjadi di sekitar kawasan Asia Tenggara antara lain dengan perkembangan yang terjadi di Samudera Hindia dengan didirikannya pangkalan militer Amerika Serikat di Diego Garcia. 69 Tidak dapat disangkal bahwa gagasan Mochtar Kusumaatmadja bahwa gagasan denuklirisasi Asia Tenggara diilhami oleh gagasan serupa di Amerika Latin. Dengan latar belakang itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, pembentukan traktat serupa di Asia Tenggara yang tidak kurang rawannya dibanding dengan kawasan Amerika Latin merupakan langkah awal yang realistis dan signifikan menuju suatu Asia Tenggara yang netraldengan demikian denuklirisasi kawasan Asia Tenggara seharusnya tidak menimbulkan kesulitan bagi negara-negara kawasan meskipun mungkin negara-negara tersebut memiliki kesulitan mengenai aspek militer dalam upaya mencapai netralisasi tersebut. Khusus dalam kaitan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara ini ada 2 hal yang perlu ditegaskan yaitu : pertama, pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara ini telah lama diperjuangkan oleh kedua negara ASEAN yaitu Indonesia dan Malaysia ; kedua, pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia 69 Dian Wirengjurit, Op.Cit, hal 264. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 54 Tenggara ini merupakan salah satu atribut penting dari gagasan ZOPFAN. Dalam upaya pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara ini tidak dapat disangkal bahwa Indonesia dan Malaysia dapat dikatakan sebagai penggerak, terutama dalam meyakinkan negara-negara lainnya di kawasan mengenai pentingnya hal ini. Sikap Indonesia dan Malaysia disebabkan oleh adanya kesamaan pandangan dalam hal keamanan. Bagi kedua negara ini upaya pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara dinilai akan memberikan pengaruh positif terhadap stabilitas dan keamanan nasional. Gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara telah resmi disepakati dalam pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN ke XVII. Para Menteri Luar Negeri ASEAN pada dasarnya merasa khawatir namun Indonesia dan Malaysia berinisiatif untuk menghidupkan kembali kelompok kerja ZOPFAN untuk mengadakan studi komprehensif mengenai konsep kawasan bebas senjata nuklir ini. Dalam pertemuan kelompok kerja ZOPFAN di Kuala Lumpur delegasi Indonesia menyampaikan suatu kertas kerja berjudul “Southeast Asia as a Nuclear Weapon Free Zone”. Setelah beberapa pertemuan, kelompok kerja ZOPFAN ini akhirnya mulai menunjukkan perubahan sikap dari Singapura dan Thailand karena sudah bersedia membahas kertas kerja Indonesia. 70 Pertimbangan strategis negara-negara nuklir tersebut terhadap kawasan Asia Tenggara dalam kerangka keamanan global, yang meliputi 2 aspek : pertama, adalah pentingnya kawasan ini dikaitkan dengan perimbangan strategis negara-negara nuklir. 70 Ibid, hal 272. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 55 Ketika itu strategi nuklir (the nuclear triad) 71 Uni Soviet lebih difokuskan kepada landbased ICBM dan bukannya pada SLBM dan pewasat pembom yang mampu membawa senjata nuklir sementara bagi Amerika Serikat ketiga komponen itu dinilai sama pentingnya dalam strategi nuklirnya. Karena itu, gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir ini dinilai hanya ditujukan pada Amerika Serikat karena akan menghambat dan merugikan mobilitas yang dimilikinya. Akibatnya, Amerika Serikat menolak untuk memberikan dukungannya pada gagasan ini, sementara Uni Soviet sebaliknya ; kedua, dengan mobilitas yang dimilikinya Amerika Serikat membutuhkan tempat transit bagi kapal-kapal perangnya yang akan berperan sebagai pengaman jalur laut bagi Amerika Serikat dan juga Jepang yang juga mitra utamanya di Asia dan ekonominya banyak bergantung kepada keamanan di jalur yang menghubungkan Teluk Persia dan Samudera Pasifik ini. Selain itu Amerika Serikat juga memang berperan sebagai pelindung bagi sekutu-sekutunya di kawasan Asia Pasfik, sehingga di mata Amerika Serikat pembentukan kawasan bebas senjata nuklir haruslah memperhatikan kepentingan mereka. 72 Prinsip yang telah disepakati adalah gagasan pembentukan ZOPFAN dan kawasan bebas senjata nuklir mencakup wilayah teritorial kesepuluh negara Asia Tenggara dan lingkungan terdekatnya termasuk sebagian kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki potensi konflik. Mengingat situasi tersebut disadari paling tidak diperlukan 3 syarat untuk mewujudkan konsep di Asia Tenggara : pertama, adanya 71 Kelompok the nuclear triad yang dianut negara-negara nuklir seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet ini terdiri dari Inter-Continental Ballistic Missiles (ICBM), Sea Launched Ballistic Missile (SLBM) dan pesawat bomber yang mampu mengangkut senjata nuklir. 72 Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 276. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 56 kesepakatan dari semua negara di Asia Tenggara terhadap gagasan ZOPFAN ini sehingga menyatukan padangan kesepuluh negara ; kedua, perlunya diperhatikan kepentingan negara-negara besar yang ada di kawasan ini, tanpa hal ini negara-negara besar tersebut kemungkinan besar akan menentang pembentukan ZOPFAN ; ketiga, perlu diperhitungkan kepentingan dan persepsi keamanan semua negara di kawasan ini mengingat masing-masing negara memiliki kepentingan dan persepsi berbeda satu dengan yang lainnya. 73 Kesepuluh negara penandatangan Traktat Bangkok adalah semua negara yang masuk dalam kawasan Asia Tenggara. Traktat Bangkok merupakan traktat pertama yang sejak awal proses pembentukannya melibatkan semua negara kawasan yang akan menjadi pihak. Kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara memiliki tujuan yang pada umumnya sama dengan kawasan-kawasan serupa lainya. Karena tidak satupun negara Asia Tenggara yang memiliki atau dicurigai mengembangkan senjata nuklir atau berambisi untuk menjadi negara nuklir (non-proliferasi horizontal), dapat dikatakan bahwa tujuan utama kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara adalah untuk meregulasi kebijakan oleh negara-negara yang memiliki senjata nuklir (to regulate the polities of the nuclear weapon states) sekaligus untuk mere-konfirmasi komitmen negara-negara terhadap non-proliferasi nuklir (to reconfirm their commitment to nuclear non-proliferation). Namun dengan situasi politik dan karakteristik kawasan ini pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara juga memiliki tujuan yang 73 Ibid, hal 278. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 57 spesifik baik dilihat secara regional, sub-regional ataupun dari sudut pandang kepentingan Indonesia pada khususnya. Semua negara ASEAN merupakan negara NPT. Karena itu dengan membentuk kawasan bebas senjata nuklir di kawasan ini pada dasarnya negara-negara ini telah menerima norma mengenai perilaku nuklir yang melebihi dari yang sebagaimana diatur dalam NPT. Seperti dinyatakan dalam preambulnya, Traktat Bangkok menegaskan kembali pentingnya NPT dalam mencegah proliferasi senjata nuklir di dunia dan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Sebagaimana traktat kawasan bebas senjata nuklir sebelumna Traktat Ratotonga pembentukan Traktat Bangkok juga memang dimaksudkan untuk memperkuat rezim non-proliferasi. Traktat Bangkok mengartikan senjata nuklir sebagai semua benda yang dapat meledak yang menghasilkan energi nuklir untuk tujuan yang tidak terkendali (any explosive device capable of releasing nuclear energy in an uncontrolled manner) 74 sehingga dengan demikian mencakup larangan terhadap peledakan nuklir untuk tujuan damai sekalipun. Akan tetapi, definisi seperti ini ternyata tidak mencakup suatu senjata atau alat yang belum terakit secara utuh atau hanya terakit sebahagian. Lebih jauh lagi di dalam traktat ini juga tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang menyangkut perlindungan fisik terhadap fasilitas atau materi nuklir atau yang melarang pemrosesan kembali bahan bakar nuklir beberapa negara Asia Tenggara dikatakan memiliki rencana pengembangan program nuklir mereka. Dalam kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara memang ruang gerak kapal-kapal bertenaga nuklir atau bermuatan senjata 74 The Bangkok Treaty Article 1 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 58 nuklir memang sangat dibatasi dan selain itu pengaturan keamanan regional antara negara-negara nuklir negara kawasan menjadi terganggu. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa terbentuknya kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara merupakan prestasi tersendiri bagi negara-negara di kawasan ini. pembentukan ZOPFAN dan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara jelas bukan hanya meningkatkan stabilitas, keamanan dan perdamaian kawasan tetapi juga turut memberikan sumbangan terhadap keamanan dan perdamaian internasional pada umumnya. Akhirnya pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara belum menjamin terbebasnya kawasan ini dari ancaman senjata nuklir negara-negara besar. Dengan demikian memang dapat dikatakan bahwa manfaat kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara hanya akan tetap bersifat politis dan simbolis dan sikap untuk menentang senjata nuklir semacam itu masih tetap perlu untuk menunjukkan kemerdekaan dan otonomi regional. Dengan membentuk suatu mekanisme regional sendiri untuk menjamin non-proliferasi horizontal, negara-negara Asia Tenggara paling tidak, dapat mengurangi kemungkinan pengawasan yang dipaksakan oleh lembagalembaga internasional. 75 Perkembangan selanjutnya berdasarkan Perjanjian SEA-NWFZ, negara-negara anggota ASEAN setuju untuk tidak mengembangkan, membangun, mengendalikan atau memiliki senjata nuklir serta melakukan uji-coba atau menggunakan senjata nuklir untuk tujuan pemusnahan massal. Perjanjian itu juga melarang pembuangan materi radioaktif di perairan Asia Tenggara. 75 Dian Wirengjurit, Op. Cit., hal 293. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 59 Sebelum para Menteri Luar Negeri ASEAN melakukan kajian terhadap SEANWFZ, komisi SEA-NWFZ terlebih dahulu melakukan perundingan dua hari, 27-28 Juli 2007 untuk mencapai kesepatan atas empat hal yang masih menjadi isu di ASEAN yaitu masalah transit dan lewatnya senjata nuklir di perairan atau udara Asia Tenggara, kedaulatan, wilayah penerapan dan jaminan keamanan. Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri RI, yang juga ketua delegasi Indonesia untuk SEA-NWFZ mengatakan bahwa negara-negara ASEAN sepakat untuk melakukan langkah nyata guna membahas upaya untuk mewujudkan wilayah bebas nuklir di kawasan Asia Tenggara dalam lima tahun mendatang, 2007-2012. ASEAN juga diharapkan terus melanjutkan upayanya untuk mencapai konsensus secapat mungkin tentang empat isu utama, melakukan konsultasi langsung dengan lima negara besar pemilik senjata nuklir seperti : Amerika Serikat, China, Perancis, Rusia dan Inggris setelah tercapai ASEAN konsensus, memastikan bahwa deklarasi unilateral atau kolektif tidak akan melanggar perjanjian SEA-NWFZ selama belum tercapai konsensus. Berdasarkan kerangka kerja SEA-NWFZ negara-negara ASEAN juga sepakat untuk memperkuat kerjasama dengan IAEA atau badan internasional yang lain dalam hal pengembangan kerangka hukum yang seuai dengan standar internasional mengenai keamanan nuklir, membangun kerjasama regional mengenai peringatan dini dan membangun kesiapan kawasan untuk menghadapi keadaan darurat. 76 76 Gusti N.C Aryani, ASEAN Nantikan konsensus Zona Bebas Nuklir ASEAN 2012, http://beritasore.com/2007/07/30/asean-nantikan-konsensus-zona-bebas-nuklir-asean-2012/, diakses tanggal 28 Januari 2009. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 60 D. Pengaturan Hukum Internasional mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir secara Bilateral Pembahasan mengenai nuklir pada masa sekarang ini adalah hal yang sangat luas dan rumit dimana banyak aspek saling mempengaruhi, bahkan besar kecilnya pengaruh juga mempengaruhi kadar pengaruh suatu aspek terhadap aspek lainnya. Dunia berjalan dengan sangat dinamik dan sulit untuk dikontrol. Tetapi, kontrol ini harus dilakukan oleh seseorang. dan dunia menjadi seperti sekarang ini karena kita memiliki pengontrol. Hal inilah yang disampaikan oleh pihak Amerika Serikat dalam seminar tersebut dan barangkali bisa kita nyatakan pernyataan yang subyektif tergantung dari sudut pandangnya. Seminar di Albuquerque dimulai dengan pembahasan beberapa topik hangat yang selalu dijadikan arah oleh komunitas dan industri nuklir di dunia, baik para peneliti, akademik, pelaku industri, dan semua pihak termasuk regulator. Isu pertama adalah kekuatiran Amerika Serikat terhadap program pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) secara besar-besaran oleh China yang akan memberikan efek global diberbagai bidang, perkembangan ekonomi China, nonprofilerasi atau keamanan, bisnis, dan ketersediaan uranium. Pandangan yang sama diperkuat oleh pernyataan 2 senator dari New Mexico, termasuk pembangunan PLTN di India dan Korea Selatan. Kondisi yang diinginkan adalah menjaga supaya perkembangan teknologi nuklir diperlambat supaya negara-negara yang belum mengenal nuklir juga memperlambat penguasaan di bidang nuklir sehingga ancaman penyalahgunaannnyapun juga akan tetap kecil. Oleh karena itu, Amerika Serikat menginvestasikan milyaran dollar untuk membangun teknologi safeguard sehingga mampu memonitor seluruh aktifitas nuklir di Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 61 seluruh dunia. Amerika Serikat memiliki laboratorium khusus untuk pengembangan teknologi safeguard di Sadia Laboratory dan Los Alamos Laboratory. Daerah nuklir kedua akan terjadi dalam waktu dekat terkait dengan rencana pembangunan PLTN yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Bagi Amerika Serikat, sudah bukan waktuanya lagi membicarakan kompetisi tenaga nuklir dengan tenaga gas, batubara atau sumber energi lainnya, karena pada saat yang sama kita akan disibukkan dengan masalah pengawasan pemanfaatan energi nuklir. Keberhasilan Prancis memproses bahan bakar bekas dapat dijadikan contoh bagi pemanfaatan energi secara benar. Contoh lain adalah transformasi para ahli bom nuklir di Rusia menjadi ahli di bidang tenaga nuklir dan memenuhi harapan Amerika Serikat. Hal ini karena kecerdikan Amerika Serikat menganalisis situasi sehingga kondisi Rusia benar-benar bias dikontrol. Dalam hal NPT, Amerika Serikat adalah negara yang unik dimana suara terbesar untuk pencegahan senjata nuklir justru dari negara yang memiliki senjata nuklir terbesar. Pernyataan tersebut dinyatakan oleh Amerika Serikat sendiri, bahkan masih ditambahkan bahwa confidence terhadap penggunaan yang benar senjata nuklir dimiliki oleh Amerika Serikat, karena itulah Amerika Serikat selalu tidak disalahkan atas penggunaan senjata nuklir karena tanggung jawab sebagai polisi dunia diperlukan. Harus ada yang mau menjadi polisi demi ketentraman dunia. Kasus Iran adalah masalah sederhana dimana kepercayaan diri penggunaan senjata nuklir yang benar oleh Iran tdk dimilikinya (kalau Iran berhasil memilikinya). Kasus pada Korea Utara adalah masalah klasik sisa dari Perang Dingin. Seharusnya Iran lebih baik kondisinya karena Iran memiliki partisipasi yang besar dalam komunitas Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 62 nuklir dalam pengembangan teknologi nuklir dan menandatangani NPT serta banyak bekerja sama dengan IAEA. Untuk masa depan, adalah hal yang penting untuk memastikan pengembangan teknologi dengan benar dengan keyakinan yang kuat. Keunikan yang sesungguhnya terjadi adalah pengaruh terbesar dari nuklir industri, dimana keamanan dunia sangat ditentukan oleh peran, kejujuran, dan niat baik dari industri nuklir. Karena itulah mengapa regulator selalu menekan dengan keras segala peraturan untuk diterapkan dengan baik untuk menjamin segala sesuatu berjalan sesuai rencana, dan hal ini juga yang menghantam Iran disamping ada keinginan politik dibalik kasus Iran. 77 Berikut adalah beberapa di antara banyak perjanjian bilateral yang dilakukan oleh negara-negara di dunia yang berkaitan dengan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. 1. Perjanjian Nuklir Bilateral Antara Amerika Serikat dan India Badan pengawas atom PBB, 1 Agustus 2008 lalu bertemu untuk membahas rancangan perjanjian keamanan dengan India. Mantan presiden Amerika Serikat, George W. Bush, dan Perdana Menteri India, Manmohan Singh, telah membentuk perjanjian yang kontroversial pada tahun 2005 untuk berandil dalam pengembangan teknologi nuklir untuk kepentingan sipil, yang 77 Seminar Energi Nuklir dan Instrumentasi Reaktor di USA tanggal 28 November 2006, http:// metnet.wordpress.com/2006/11/28/seminar-energi-nuklir-dan-instrumentasi-di-usa/, diakses tanggal 24 Februari 2009. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 63 akan membuat India memasuki tahapan komersil nuklir global setelah terhenti selama beberapa dasawarsa. Namun, kesepakatan tersebut menghadapi tentangan di dalam negeri di India, berkaitan dengan ketakutan bahwa negara tersebut akan menjalin hubungan terlalu dekat dengan Amerika Serikat. Kecaman-kecaman memperdebatkan bahwa kesepakatan telah merusak Perjanjian Non-Penyebaran Nuklir (NPT) internasional karena hal kesepakatan itu memberikan peluang satu negara yang tidak terikat perjanjian. Selain itu, India dianggap sebagai negara yang mengembangkan bom atom secara rahasia, serta telah melakukan percobaan nuklir pada tahun 1974, namun kemudian mendapat akses terhadap bahan bakar nuklir serta teknologi reaktor Amerika Serikat. Sebelum kesepakatan berlangsung, India harus menandatangani apa yang dinamakan Perjanjian Keamanan dengan IAEA, membuka pintu reaktor-reaktor nuklir sipil mereka kepada para pengawas PBB. Selain itu, India harus mendapatkan surat pernyataan dari Kelompok Pemasok Nuklir (KPN) suatu kelompok 45 negara yang mengekspor bahan bakar nuklir dan teknologi yang dilarang untuk diperdagangkan dengan negara-negara non-NPT, sedangkan India bukan negara penandatangan NPT. Pada akhirnya, kesepakatan Amerika Serikat-India selanjutnya harus diratifikasi oleh Kongres Amerika Serikat. KPN diperkirakan tidak akan membahas pengecualian peraturan bagi India sampai September, dan itu akan berarti bahwa kesepakatan Amerika Serikat-India tidak mungkin akan diratifikasi sebelum Presiden George W. Bush meninggalkan kantornya Januari. Kecaman-kecaman menandaskan bahwa perjanjian keamanan dengan IAEA hendaknya berisikan terobosan-terobosan besar. Suatu dokumen terdiri 23 halaman, Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 64 adalah sejalur dengan perjanjian-perjanjian keamanan yang ditandatangani antara IAEA dengan negara-negara lainnya. Namun, para kritikus menyatakan khawatir bahwa satu klausul dalam mukadimah perjanjian tersebut bisa saja akan memberikan peluang bagi India untuk menghentikan pengawasan terhadap pabrik-pabrik nuklirnya, dan akan menggunakannya untuk pembuatan bahan baku senjata-senjata nuklir, selain untuk keperluan bahan bakar nuklir. Klausul yang ada pada rancangan itu menyatakan, India mungkin akan mengoreksi tindakan-tindakannya untuk menjamin kesinambungan operasional reaktorreaktor nuklir sipilnya, dan bahkan mengganggu pasokan bahan bakar nuklir negara lain. Sebaliknya, dokumen itu tidak berisikan daftar fasilitas 14 dari total 22 reaktor nuklir India, yang akan di bawah pengawasan IAEA. Mereka sebelumnya telah dicatat dalam Rencana Separasi Nuklir Sipil secara terpisah yang disusun dua tahun yang lalu oleh India. 78 Pemerintah India dan Amerika Serikat sibuk melakukan finalisasi perjanjian nuklir bilateral yang dianggap sebagai titik baru hubungan bilateral India-Amerika Serikat dan penghilangan kebijakan apartheid teknologi nuklir. Awal bulan Juni ini, wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk urusan Asia Selatan, Nicholas Burns, berada di India untuk melanjutkan perundingan dengan pemerintah India. Kedua negara berharap bahwa masalah yang selama ini masih mengganjal akan segera diselesaikan melalui perundingan ini. Tetapi, setelah melakukan perundingan intensif selama tiga hari di New Delhi, kata sepakat masih sulit untuk dicapai. 78 IAEA Segera Bahas Nuklir India, http://www.antaranews.com/IAEA-segera-bahas-nuklirindia, diakses tanggal 24 Februari 2009. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 65 Presiden Amerika Serikat George W Bush menandatangani rancangan undangundang perjanjian perdagangan nuklir dengan India. Perjanjian tersebut mengakhiri pelarangan perdagangan nuklir antara kedua negara selama 3 dekade terakhir. Perjanjian tersebut akan memberikan kemudahan bagi India untuk mengakses teknologi nuklir Amerika Serikat. Namun, akses tersebut terbatas untuk kepentingan sipil, bukan milter dan sewaktu-waktu dapat dibatalkan. Perjanjian itu memungkinkan India mengembangkan industri tenaga nuklir tanpa harus menandatangani NPT seperti negara lain. Melalui perjanjian ini pemerintah Amerika Serikat seolah mengindikasikan bahwa negara yang mengikuti jejak demokrasi dan berperilaku bertanggung jawab akan bersahabat dengan negara adi kuasa tersebut. Pemerintah India menyatakan perjanjian itu memberikan harapan baru untuk mengatasi krisis energi. Namun, sejumlah pihak khawatir perjanjian tersebut menciptakan bahaya yang tidak terduga. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice dan Menteri Luar Negeri India Pranab Mukherjee pada masaa itu, telah menandatangani perjanjian kerja sama nuklir tersebut. Senat Amerika Serikat menyetujui perjanjian itu setelah melalui pemungutan suara dengan perbandingan 86 suara setuju dan 13 suara menolak. Sebelumnya House of Representative meloloskan perjanjian tersebut melalui voting dengan perbandingan 298 suara setuju dan 117 suara menolak. 79 Sejak awal penandatangan perjanjian nuklir ini pada 18 Juli 2005 (J18) dan 2 Maret 2006 (M2), hingga persetujuan Kongres Amerika Serikat pada akhir 2006 (Hyde Act), masih terdapat beberapa masalah sensitif yang mengganjal. Yaitu: pertama, pinalti 79 Amerika-India Tandatangani Perjanjian Nuklir, http://www.vhrmedia.com/vhrnews/berita,Amerika-India-Tandatangani-Perjanjian-Nuklir-2572.html, diakses tanggal 24 Februari 2009. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 66 atau hukuman kepada India apabila India melakukan uji coba nuklir; kedua, tuntutan jaminan suplai bahan bakar seumur hidup kepada India untuk reaktor-reaktor nuklir yang diimpor; dan ketiga, hak India untuk memproses ulang bahan bakar nuklir yang telah digunakan. Tiga masalah ini bisa diurai sebagai berikut : pertama, India tidak ingin keputusan politiknya untuk tidak melakukan percobaan nuklir setelah percobaan nuklir tahun 1998 dijadikan dalih oleh Amerika Serikat untuk menekan India supaya menyetujui klausa tentang pinalti atau hukuman kepada India apabila India melakukan percobaan nuklir di masa depan. India berpendapat bahwa keputusan untuk tidak melakukan percobaan nuklir ini adalah keputusan internal pemerintah India yang tidak bisa disangkut-pautkan dengan perjanjian nuklir India-Amerika Serikat. India adalah negara nuklir dan melakukan percobaan nuklir menjadi hak prerogatif sebuah negara nuklir, seperti halnya Amerika Serikat, Cina ataupun Rusia; kedua, menurut pemerintah India, tuntutan jaminan suplai bahan bakar nuklir seumur hidup untuk reaktor nuklir impor adalah wajar. India tidak ingin pengalaman buruk yang menimpa reaktor nuklir di Tarapur terulang lagi karena tiadanya jaminan suplai bahan nuklir. Sebagai catatan, ketika India melakukan percobaan nuklir tahun 1998, embargo ekonomi yang diberikan dunia internasional telah mengakibatkan terputusnya jaringan suplai bahan bakar nuklir untuk menjalankan reaktor nuklir yang dimiliki India. Untuk menghindari pengalaman buruk ini, India meminta kepada Amerika Serikat untuk memberikan jaminan suplai bahan bakar nuklir seumur hidup untuk reaktor nuklirnya. Konsesi besar yang akan diberikan India atas tuntutan ini adalah ijin pengawasan terus-menerus (permanent international safeguards) oleh badan energi atom internasional terhadap reaktor-reaktor Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 67 sipil yang dimiliki oleh India; ketiga, tuntutan India untuk memroses ulang sendiri bahan bakar nuklir yang telah digunakannya juga wajar. Pemerintah India yakin bahwa ilmuwan India telah menguasai teknologi pemrosesan ulang dan mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Kesiapan ini ditunjukkan oleh teknologi tiga tahap (three-stage technology) yang digunakan di Tarapur. Akan tetapi, meskipun pemerintah Amerika Serikat sekarang sudah mempunyai itikad untuk memerhatikan limbah nuklir dengan melakukan pemrosesan ulang melalui Global Nuclear Energy Partnership, pemerintah Amerika Serikat berpendapat bahwa hak untuk melakukan pemrosesan ini hanya berlaku untuk negara-negara dengan teknologi nuklir yang telah maju seperti Amerika Serikat, Perancis ataupun Rusia. Amerika Serikat menilai India belum cukup mampu untuk melakukan proses ini dan India hanyalah penerima bahan bakar nuklir yang tidak mempunyai hak untuk melakukan pemrosesan ulang bahan bakar nuklir. Selain itu, mungkin pemerintah Amerika Serikat juga mempunyai kekhawatiran bahwa India akan menyalahgunakan hasil pemrosesan spent nuclear fuel tersebut untuk kebutuhan militernya. Tetapi, apabila kita memerhatikan dengan seksama jejak rekam teknologi nuklir India, tiga tuntutan ini seharusnya bisa dengan mudah untuk dipenuhi. India adalah negara besar di Asia yang terus merangkak maju. Kebutuhan energi India akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun opsi untuk mendapatkan tambahan sumber energi dari teknologi nuklir tidak akan menjamin terpenuhinya semua kebutuhan energi India, tetapi dengan kemampuan teknologi yang dimiliki India, sudah sewajarnya bila India memperoleh status dan hak sebagai sebuah kekuatan nuklir di Asia. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 68 Dari sisi politik, India adalah negara demokrasi terbesar di dunia dimana praktek demokrasi telah mengakar dengan kuat. Militer India tidak pernah ikut campur dalam masalah politik dan proses politik di India bisa menjamin keamanan teknologi nuklir yang saat ini terus dibangun. Oleh karena itu, meskipun perundingan di awal bulan ini di New Delhi menemui jalan buntu, tetapi ini bukanlah akhir dari awal yang menjanjikan. Suksesnya perjanjian nuklir India-Amerika Serikat hanyalah menunggu waktu saja. Selama Washington siap menjaga semangat yang telah tertuang didalam perjanjian J18/M2, kemajuan teknologi nuklir India sudah diujung mata. 80 Selama 16 bulan terakhir, penjanjian nuklir India-Amerika Serikat telah sukses melewati berbagai tahapan legislatif yang ketat di Amerika Serikat. Dalam perkembangan terakhir, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pernjanjian nuklir India-Amerika Serikat telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat pada bulan Juli lalu dan selanjutnya harus melewati tiga tahapan lagi untuk bisa disahkan menjadi sebuah Undang-Undang yang bisa ditandatangi oleh presiden. Tiga tahapan ini adalah: pengambilan suara di Senat; pembenahan bahasa RUU sebagaimana yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan dan Senat; dan terakhir pengambilan suara di Kongress. Dengan kemenangan mutlak Partai Demokrat, dan kenyataan bahwa usaha pengambilan suara di Senat yang didominasi oleh Partai Republik telah dua kali gagal dilaksanakan, adalah satu hal yang wajar apabila kemudian muncul kekhawatiran di New Delhi terhadap masa depan perjanjian yang sangat bersejarah ini. Apabila New Delhi berharap RUU ini lolos, Presiden Bush dan Partai Republik harus bekerja ekstra 80 Menunggu Kesepakatan Perjanjian Nuklir India, http://qisaiindo.blogspot.com/menunggukesepakatan-perjanjian-nuklir.html, di akses tanggal 24 Februari 2009. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 69 keras untuk meyakinkan para anggota Senat di dalam Kongres Amerika Serikat yang dimulai pada 13 Nopember 2006. Tetapi dengan memperhatikan beberapa faktor berikut, rasa optimis yang muncul dikalangan para pengamat di India juga merupakan satu hal yang wajar. Pertama, titik temu para pendukung perjanjian ini yang berasal dari kedua kubu, baik Demokrat maupun Republik, adalah keinginan bersama mereka untuk membangun kerjasama yang lebih dekat dengan India diawal abad ke-21. Oleh karenanya, meskipun sampai saat ini masih ada penentangan terhadap pernjanjian nuklir India-Amerika Serikat dari kelompok pendukung non-proliferasi nuklir di Amerika Serikat, tetapi mengingat pentingnya India bagi masa depan Amerika Serikat di Asia, para pembuat kebijakan di Amerika Serikat telah setuju untuk membuka pintu kerjasama nuklir dengan India yang selama ini telah menjadi pengganjal hubungan India-Amerika Serikat. Kedua, meskipun Partai Demokrat berhasil mengambil alih kontrol atas Kongress dengan menggunakan sentimen anti-Bush dan bahwa para penentang utama perjanjian ini berasal dari Partai Demokrat, akan tetapi selama beberapa bulan terakhir ini telah muncul lebih dari 80 persen dukungan atas perjanjian ini yang berasal dari berbagai komite-komite di Kongress yang mana anggotanya bukan hanya berasal dari Partai Republik tatapi juga berasal dari Partai Demokrat. Tokoh-tokoh senior Partai Demokrat seperti Senator John Kerry dan anggota Kongress Tom Lantos telah menyatakan dukungan kuat mereka terhadap perjanjian ini. Lebih lanjut lagi, setelah perayaan kemenangan hari Selasa lalu, beberapa tokoh penting pembuat kebijakan dari Partai Demokrat telah menyatakan dukungan positif mereka terhadap perjanjian ini. Ketiga, jaminan Presiden Bush bahwa prioritas utama pertemuan Senat minggu depan Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 70 adalah meloloskan RUU perjanjian nuklir India-Amerika Serikat. David C. Mulford, Dubes Amerika Serikat untuk India, membuat pernyataan senada di New Delhi hari Kamis lalu bahwa pemerintah Presiden Bush akan berusaha keras untuk meloloskan RUU ini minggu depan. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa meskipun isi pembahasan didalam Kongress nanti masih sangat sulit diprediksi dan RUU yang lain bisa menjadi prioritas utama, tetapi dengan memperhatikan dukungan bulat dari segala penjuru Senat terhadap perjanjian nuklir India-Amerika Serikat. Hingga saat ini, RUU ini akan lolos dengan suara mayoritas. Namun begitu, sampai akhirnya keputusan diambil di Senat, harapan positif yang muncul dari faktor-faktor diatas akanlah tetap menjadi sebuah harapan. Dan apabila nantinya RUU ini gagal disetujui didalam sesi Kongress kali ini, New Delhi tidak seharusnya berputus asa. Alasan pertama dan kedua tersebut diatas sudah cukup menjadi dasar bagi setiap pendukung perjanjian ini bahwa apabila Kongress Amerika Serikat yang baru nanti bertemu pada bulan Januari 2007, RUU tentang perjanjian nuklir India- Amerika Serikat akan mendapatkan tempat utama. Sebab inti utama dari perjanjian ini bukanlah kerjasama nuklir belaka tetapi penekanan terhadap pentingnya membangun kerjasama India-Amerika Serikat demi pengembangan pengaruh Amerika Serikat di Asia Selatan dimasa depan. Siapapun yang mendominasi Kongress Amerika Serikat, Partai Demokrat ataupun Partai Republik, India akan tetap mendapatkan tempat yang utama. Perjanjian nuklir India-Amerika Serikat tidak akan mati, hanya tertunda. 81 81 Akhir Perjanjian Nuklir India-Amerika Serikat?, http://qisai-indo.blogspot.com/2006/11/akhirperjanjian-nuklir-india-as.html, diakses tanggal 24 Februari 2009. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 71 2. Perjanjian Nuklir Bilateral Antara Cina dan Australia Cina menginginkan perluasan perjanjian kesepakatan “nuklir aman” dengan pihak Australia termasuk hak untuk mengeksplorasi uranium, namun Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer mengatakan Senin hal itu berarti perlunya dibuat perubahan kebijakan pada tingkat negara. Downer menyatakan ia telah melakukan pembicaraan mengenai usul Cina tresebut dengan pihak Beijing namun mengatakan dalam hal eksplorasi uranium Cina di Australia akan memerlukan perubahan sikap oposisi, Partai Buruh Australia yang melarang pembukaan tambang uranium yang baru. Kebutuhan pasokan listrik yang tinggi di Cina diperkirakan akan membawa lanjakan kenaiakan produksi energi nuklir sehingga mencapai empat kali lipat pada tahun 2020 dan Cina dan Australia telah sepakat untuk memulai pembicaraan bilateral yang akan membuka kesempatan bagi Cina untuk membeli uranium Australia. Cina menginginkan memperoleh ijin untuk membeli dan mengeksplorasi tambang uranium Australia dan mengingingkan diteingkatkan kerja sama di bidang pengetahuan dan teknologi nuklir. Downer menyatakan, perjanjian kesepakatan nuklir aman yang memastikan uranium tidak akan digunakan untuk senjata ataupun tujuan militer lainnya harus memperoleh ijin sebelum dijual. Harga uranium melonjak tiga kali lipat sebagai dampak dari kenaikan harga minyak dengan posisi energi nuklir sebagai alternatif sumber energi. 82 82 Perjanjian Nuklir Aman, http://www.kapanlagi.com/Perjanjian-nuklir-aman, diakses tanggal 24 Februari 2009. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 72 BAB III TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR A. Prinsip Tanggung Jawab Negara 1. Istilah dan Pengertian Prinsip Tanggung Jawab Negara Secara etimologis istilah tanggung jawab negara atau responsibility (dalam Bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin yaitu respondere yang berarti “to undertake in return to perform one’s part in a solemn engagement”. Pengertian ini merupakan pengertian yang umum dipergunakan dalam pembahasan hukum internasional, termasuk penerapannya dalam perjanjian internasional “keputusan pengadilan” dan praktek hukum internasional pada umumnya. 83 Di Indonesia, istilah “tanggung jawab negara” digunakan untuk mewakili dua istilah, yang dalam pembahasan hukum intenasional umunya dibedakan yaitu : “state responsibility” dan “liability of states” 84 Pertanggungjawaban negara berarti kewajiban memberi jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Tanggung jawab negara umumnya diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan kerugian (duty to make reparation) yang timbul dari akibat adanya tindakan 83 Ida Bagus Wyasa Putra, Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa, Refika Aditama, Bandung, 2001, hal 56. 84 Ibid, hal 53. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 73 (act ar ommission) yang dapat di persalahkan (wrongful act), akrena melanggar kewajiban internasional (international obligation).85 J. G. Starke menjelaskan tentang tanggung jawab negara yaitu sebagai berikut : “Kaidah-kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan-keadaan dimana dan prinsip-prinsip dengan mana negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara proriatif untuk dibatasi hanya pada tanggung jawab negara untuk tindakan-tindakan salah secara internasional.” 86 Pengertian tanggung jawab negara adalah suatu bentuk tanggung jawab internasional yang meliputi unsur-unsur sebagai berikut : (1). ada tindakan (act or ommission) ; (2). Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional (wrongful act) ; (3). Mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap negara tertentu.87 Pengertian demikian ini bersifat sangat umum dan kurang memperhatikan aspek-aspek khusus yang timbul darai akibat perkembangan kegiatan internasional. Dalam perkembangan kegiatan internasional telah muncul berbagai gejala yang menunjukkan bahwa suatu negara tidak selalu melakukan kegiatan yang bersifat dilarang, dan kerugian yang timbul tidak selalu merupakan kerugian yang timbul karena tindakan yang dapat dipersalahkan. Terdapat juga kerugian yang timbul dari tindakan 85 Ibid, hal 55. 86 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1988, hal 115. 87 Ibid, hal 8. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 74 yang dibenarkan oleh hukum internasional (lawful act) seperti kerugian yang timbul dari akibat pemanfaatan lingkungan hidup pada umumnya. Gejala ini dapat dilihat dalam berbagai ketentuan yang tidak melarang kegiatan tertentu tetapi tetap mewajibkan negara pelaku keiatan bertanggungjawab terhadap kerugian yang timbul akibat dari kegiatannya. Ketentuan serupa banyak digunakan dalam ketentuan internasional tentang pemanfaatan lngkungan dalam pasal 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan dalam ketentuan pemanfaatan lingkungan laut dan ketentuan hukum internasional lainnya seperti Space Treaty 1967, Liability Convention 1972 Ketentuan-ketentuan tersebut tidak melarang kegiatan pada bidangnya masing-masing tetapi tetap kewajiban negara pelaku kegiatan untuk bertanggung jawab terhadap akibatakibat (kerugian) yang ditimbulkan dari akibat kegiatan yang dilakukannya. 88 Pemulihan atas pelanggaran itu dapat berupa “satisfaction” atau “pecuniary reparation”. Satisfaction merupakan pemulihan atas perbuatan yang melanggar kehormatan negara. Satisfaction dilakukan melalui perundingan diplomatik dan cukup diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya perbuatan itu. Pecuniary reparation dilakukan apabila pelanggaran itu menimbulkan kerugian material. 89 Perkembangan berikutnya adanya kerugian yang bersifat global, yaitu kerugian yang timbul dari akibat rusaknya elemen-elemen global (global damage). Kerugian ini timbul dari tindakan yang tidak dilarang oleh hukum internasional (lawful act), bersifat tidak langsung dan tidak dapat diperhitungkan. Untuk itu pengertian tanggung jawab 88 Ibid, hal 59. 89 Ibid. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 75 negara harus diperluas lagi, tidak terbatas pada kerugian yang dapat diperhitungkan yang timbul dari akibat salah dan menyangkut hak milik pihak tertentu (individual damage) melainkan juga krugian yang bersifat tidak dapat diperhitungkan yang timbul dari tindakan yang dibenarkan hukum dan berkaitan dengan kepentingan bersama masyarakat internasional. Orientasi penerapan prinsip tanggung jawab negara telah berkembang kearah perlindungan hak milik negara tertentu dari akibat-akibat yang datang dari luar wilayahnya. Hal ini terlihat dalam ketentuan Deklarasi Stockholm 1972, Space Treaty 1967, dan Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam konvensi tersebut setiap negara tidak dilarang untuk melakukan kegiatan baik di dalam maupun di luar wilayah negaranya (areas beyond its national jurisdiction), tetapi dengan kewajiban untuk memperhatikan kepentingan negara lain agar kegiatannya tidak merugikan negara lain atau jika akibat demikian itu terjadi maka negara yang bersangkutan diwajibkan membayar ganti rugi. 90 Dalam kaitannya dengan kerugian yang bersifat demikian, prinsip tanggung jawab negara harus diterapkan berdasarkan prinsip pencegahan kerugian. Weiss menyatakan bahwa : “... most would agreed that it is usually sheaper and more effective to prevent environmental damage from occuring” Pertanggungjawaban negara menurut hukum internasional hanya timbul karena pelanggaran hukum internasional. Pertanggungjawaban itu tetap timbul meskipun menurut hukum nasional negara yang bersangkutan perbuatan itu tidaklah merupakan pelanggaran hukum. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh karena perbuatan itu oleh 90 Ida Bagus Wyasa Putra, Op. Cit. hal 65. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 76 hukum nasional negara tersebut tidak ditetapkan sebagai perbuatan yang melanggar hukum atau karena pelaku perbuatan itu menurut hukum nasional negara tersebut tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara. Pelaku pelanggaran yang menurut hukum nasional tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara misalnya alat perlengkapan negara yang bertindak melampaui batas wewenang yang ditetapkan hukum nasionalnya. 1. Sifat dan Jenis-Jenis Tanggung Jawab Negara Pengenaan kewajiban yang diberikan bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah akan bergantung pada keadaan-keadaan kasusnya. Yang paling lazim negara yang dirugikan akan berusaha untuk mendapat pelunasan melalui perundingan-perundingan diplomatik dan apabila hanya menyangkut kehormatan pada umumnya akan cukup dengan suatu pernyataan maaf secara resmi dari negara yang bertanggung jawab atau suatu jaminan bahwa persoalan yang diprotes tersebut tidak akan berulang lagi. Namun, penggantian dalam bentuk uang yang dibedakan dari pelunasan kadang-kadang perlu khususnya apabila terjadi kerugian materi dalam banyak contoh persoalan tanggung jawab (liability) serta jumlah penggantian kerugian harus dibawa ke muka pengadilan arbitrase internasional untuk memperoleh keputusan. 91 Pada analis terakhir, tanggung jawab negara diatur oleh standar-standar internasional (meskipun dalam pelanggaran khusus suatu standar internasional dapat memasukkan suatu standar nasional) dan hal itu bergantung kepada hukum internasional apakah dan sejauh mana tindakan atau kelalaian dari suatu negara tertentu 91 J. G. Starke, Op. Cit, hal 392. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 77 dianggap sah atau tidak sah. Apabila tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian suatau negara yang diukur oleh standar-standar tersebut dinyatakna sah, maka tanggung jawab negara tidak akan timbul. 92 Masalah penting yang mungkin timbul dari pengembangan hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah sejauh mana negara terlibat atau dapat dilibatkan dalam pengawasan aktifitas-aktifitas yang dapat membahayakan misalnya percobaan percobaan nuklir, pengembangan energi nuklir eksplorasi ruang angkasa dan “sonic boom” atau “sonic bang” dari jenis-jenis pesawat udara baru. Hal ini bukan merupakan bidang dimana prosedur-prosedur protes diplomatik tradisional, tuntutan-tuntutan untuk pelunasan dan klaim-klaim dianggap telah mencukupi. Bahaya-bahaya harus diantisipasi dan andaikata mungkin sama sekali ditiadakan. 2. Pengecualian Tanggung Jawab Negara. Dalam keadaan-keadaan tertentu, suatau pelanggaran-pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional tidak mengakibatkan negara tersebut bertanggung jawab terhadapnya. 93 Secara umum keadaan-keadaan yang dimaksud adalah : a. Adanya persetujuan dari negara yang dirugikan (concent) Persetujuan tersebut dilakukan oleh negara yang dirugikan. Persetujuan ini harus diberikan sebelum atau pada saat pelanggaran tersebut terjadi. Persetujuan yang diberikan setelah terjadinya pelanggaran sama artinya dengan penanggalan hak untuk 92 Ibid. 93 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional-edisi revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2002, hal 271. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 78 mengklaim ganti rugi. Namun dalam hal ini, persetujuan yang diberikan kemudian itu tidak menghilangkan unsur pelanggaran hukum internasional. b. Keadaan memaksa (force majeure) Force majeure telah lama diterima seabagai alasan pembebasan tanggung jawab negara.Pasal 23 Rancangan Komisi Hukum Internasional tentang tanggung jawab negara menentukan bahwa kesalahan negara dapat dihindari apabila tindakan tersebut disebabkan karena adanya kekuatan yang tidak dapat dihindari ataukarena adanya kejadian yang tidak dapat diduga sebelumnya di luar kontrol/pengawasan suatau negara yang membuatnya dan yang secara materil tidak mungkin bagi negara yang bersangkutan untuk memenhi kewajiban internasional tersebut. c. Tindakan yang sangat Diperlukan (Doctrine of Necessity) Doctrine of Necessity menyatakan bahwa suatu negara dapat melakukan suatau tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan yang esensil terhadap bahaya yang sangat besar. Ada perbedaan antara doctrine of necessity dengan force majeure. Dalam doctrine of necessity, tindakan pelanggaran hukum suatu negara terpaksa dilakukan karena tindakan tersebut adaalah satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan vitalnya. Sedangakan force majeure adaalh suatu keadaan dimana kekeuatan yang bersifat di luar kemampuan dan tidak dapat dihindari serta suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan karena adanya kondisi yang berada di luar kontrol atau pengawasan negara. d. Tindakan Bela Diri (Self-defense) Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 79 Negara dapat juga dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatan yang tidak sah apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk membela diri. Yang menjadi tolok ukur dari tindakan pembelaan diri adalah bahwa tindakan tersebut harus sesuai denga Piagam PBB. Jika tidak, tindakan tersebut tidak menghapus tanggung jawab negara. 94 B. Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam Pengaturan Perlindungan Lingkungan Global Akibat Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir Berbicara mengenai tanggung jawab negara maka dapat dibedakan antara penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam hukum internasional secara umum dengan penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengaturan lingkungan global. Prinsip yang berlaku terhadap negara yang berdaulat adalah adanya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Karena itu suatu negara dapat dimintai pertanggungjawabannya untuk tindakan-tindakannya yang melawan hukum atau kelalaiannya. 95 Menurur Rebecca M.M. Wallace, tanggung jawab negara dalam hukum internasional merujuk pada pertanggungjawaban yaitu suatu negara terhadap yang lain akan ketidaktaatannya memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh sistem hukum internasional suatu negara dapat meminta pertanggungjawaban bagi kerugian kepada negara tergugat itu sendiri. 96 Tanggung jawab negara secara ringkas dapat diartikan 94 Ibid. 95 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal 208. 96 Bachtiar Hamzah, Sulaiman Hamid, Hukum Internasional II, USU Press, Medan, 1997, hal 111. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 80 sebagai segala sesuatu yang berkenaan tentang penentuan atas dasar apa dan pada situasi yang bagaimana suatu negara dapat dianggap telah melakukan kesalahan atau tindakan yang salah secara internasional dimana hal itu menjadi sumber pertanggungjawaban negara, serta apa yang dilakukan oleh negara itu untuk memperbaiki kesalahannya atau memenuhi pertanggungjawabannya. 97 Dalam keputusan badan-badan peradilan internasional pengertian tanggung jawab negara dikemukakan dalam dua preposisi, Yaitu : 1. Pelanggaran terhadap kewajiban internasional, yang menunjukkan adanya perbuatan yang salah (illegal act) atau kesalahan internasional (internasional tort) 2. Perbuatan itu berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan pemulihan. Dengan lebih memberatkan perhatian terhadap unsur “tindakan yang salah”, ILC (International Law Commission) mengartikan tanggung jawab negara sebagai suatu kewajiban yang timbul setelah adanya tindakan salah. Pasal 1 Draft Tanggung Jawab Negara menyatakan bahwa : “...Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of a State...” Tindakan yang salah (internationally wrongful act) menurut Draft itu adalah tindakan (act or ommission) yang secar hukum dapat diartikan dengan negara (attributable to State), dan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional (breach of an international obligation). Suatu tindakan dianggap melanggar bila 97 Ibid, hal 111-112. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 81 tindakan tersebut menunjukkan ketidak sesuaian dengan standar tindakan yang ditentukan secara internasional. 98 Walaupun tidak secara eksplisit memasukkan kerugian sebagai unsur tanggung jawab namun ILC tidak bermaksud memendang unsur itu sebagai unsur yang terpisah, bahkan ILC memandang unsur itu sbagai unsur yang tak terpisahkan. Dua alasan yang dikemukakan oleh ILC dalam menjawab pertanyaan yangberkaitan dengan masalah itu adalah : pertama, bahwa unsur objektif dari “tindakan salah” adalah pelanggaran kewajiban; kedua, dalam hukum internasional ide tentang pelanggaran kewajiban oleh suatu negara setara denagn ide cacatnya hak negara lainnya. Karena itu, unsur “kerugian” adalah unsur implisit dari suatu tanggung jawab. Unsur kerugian, menurut ILC adalah unsur alamiah suatu tanggung jawab. 99 Berbagai ketentuan dalam hukum internasional tidak melarang kegiatan tertentu, tetapi tetap mewajibkan negara pelakukegiatan bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul akibat kegiatannya. Ketentuan ini dapat dilihat dari seperti : Space Treaty 1967, Liability Convention 1972 dan pasal 21 Deklarasi Stockholm yang menyatakan : “...States have,... the sovereign right to exploit their own resources...and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction...do not cause damage to the environment of other States...” Seperti yang dikemukakan oleh Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab (negara) tergantung kepada faktor-faktor dasar seperti berikut : 1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu 98 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit. hal 57. 99 Ibid ,hal 59. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 82 2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara 3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atatu kelalaian. 100 Prinsip tanggung jawab negara lahir dari kewajiban internasional yang bersifat primer yaitu prinsip hak dan kewajiban negara. Bila suatu negara menerapkan haknya secara melanggar hak negara lain dan menimbulkan kerugian, maka bersamaan dengan itu lahirlah kewajiban bagi negara untuk melakukan pemulihan kerugian. Prinsip ini dikenal dengan prinsip abuse of right, yaitu suatu prinsip yang menunjuk pada kewajiban setiapnegara untuk menggunakan haknya dengan tidak melanggar hak pihak lain. Dengan demikian, fungsi dasar prinsip tanggung jawab negara dalam sistem hukum internasional adalah memberikan perlindungan kepada setiap negara antara lain dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara penderita kerugian. 101 Perkembangan ini sejalan dengan meluasnya aktifitas negara dalam kaitan dengan pemanfaatan lingkungan yang akibat-akibatnya melampaui batas-batas wilayah negar tersebut dan penerapannya dapat dilihat dalam ketentuan pemanfaatan lingkungan sebagaimana dalam Deklarasi Stockholm 1972 pada Prinsip 21 yang menyatakan bahwa semua negara mempunyai hak kedaulatan untuk menggali sumber daya sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan hidup mereka masing-masing dan memiliki tanggung jawab 100 Huala Adolf, Op. Cit., hal 174-175. 101 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hal 63. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 83 bahwa aktifitas dalamkawasan atau penguasaan mereka tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara-negara lain. Dalam permasalahan lingkungan hidup, Deklarasi Stockholm 1972 menunjukkan bahwa kerugian yang timbul akibat kegiatan negara telah berkembang dari kerugian yang bersifat lokal menjadi kerugian yang bersifat lintas batas negara dan kerugian yang bersifat global. C. Bentuk Tanggung Jawab Negara Dalam Pengaturan Lingkungan Global Akibat Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir Perkembangan masyarakat internasional mulai menerima perkembangan baru dalam pergaulan hidupnya yaitu suatu perkembangan yang menunjukkan adanya jenis kerugian yang timbul dari tindakan yang dilarang oleh hukum internasional tetapi tetap harus dipertanggungjawabkan oleh negara pelaku kegiatan. 102 Perkembangan ini menunjukkan bahwa unsur “tindakan salah” (wrongful act) bukan merupakan unsur mutlak suatu tanggung jawab negara. Terdapat juga tanggung jawab negara yang timbul dari “tindakan yang tidak salah” atau “tidak dilarang” oleh hukum internasional. Karena itu pengertian tanggung jawab negara harus diperluas, tidak terbatas pada tanggung jawab yang timbul dari tindakan yang dilarang atau dapat dipersalahkan secara internasional melainkan juga yang tidak dilarang tetapi akibatakibatna merugikan negara tertentu. 103 102 Ibid, hal 60. 103 Ibid, hal 60. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 84 Perluasan pengertian ini tetap belum memadai. Dalam perkembangan berikutnya timbul kerugian yang bersifat lobal (global damage), yaitu kerusakan yang timbul akbat rusaknya elemen-elemen ekosistem global. Kerugian ini timbul dari tindakan yang tidak dilarang oleh hukum internasional (lawful act), bersifat tidak langsung dan bersifat tiidak dapat diperhitungkan. Bersifat tidak langsung karena secara tidak langsung menunjuk negara penyebab kerugian dan negra penderita kerugian. Kerugian tersebut merupakan kerugian yang bersifat umun dan dirita oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Bersifat tidak dapat diperhitungkan karena timbul dari akibat rusaknya komponen penjaga ekosistem gloabl. Hal ini menyebabkan beberapa prinsip tanggung jawab negara seperti prinsip pemulihan (reparation, restitution, compensation) dan prinsip ganti rugi (based on fault, strict or absolute liability), tidak dapat diterapkan dalam kaitan dengan jenis kerugian ini. Dengan demikian prinsip tanggung jawab negara dapat diartiakan sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan terhadap setiap kerugian yang timbul dari akibat setiap kegiatan, baik yang timbul dari tindakan yang dilarang maupun yang tidak dilarang oleh hukum internasional termasuk kewajiban untuk mencegah timbulnya kerugian (preventive measures) dalam hal kerugian demikian itu tidak dapat diselesaikan melalui pembayaran ganti rugi. 104 Pengertian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab negara dapat direalisasikan dalam dua bentuk menurut sifat kerugian yang harus diatasinya yaitu : pertama, yang berbentuk tindakan pemulihan kerugian atau pembayaran ganti rugi (represif); dan kedua, yang berbentuk pencegahan timbulnya kerugian (preventif). Wujud yang 104 Ibid, hal 61. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 85 pertama berkaitan dengan kerugian yang dapat diperhitungkan dan dipulihkan, sedangkan wujud yang kedua berkaitan dengan kerugian yang tidak dapatdiperhitungkan ayau dipulihkan melalui proses pembayaran ganti rugi. 105 Dalam pengaturan perlindungan lingkungan global, prinsip tanggung jawab negara sepenuhnya diterapkan dalam bentuk preventif, yaitu dalam bentuk standar tindakan dan standar teknologi, dituangkan dalam bentuk standar kewajiban dan secara khusus dituangkan dalam suatu paket perjanjian, termasuk kelengkapan kelembagaan dan mekanisme penerapannya. 106 Penerapan ini sangat berbeda dengan penerapan sebelumnya dimana prinsip tanggung jawab negara cendeung diterapkan represif, dalam bentuk rumusan tertentu tentang tanggung jawab atau ganti rugi, dan ditempatkan sebagai bagian khusus dari perjanjian tertentu. Penerapan ini didasarkan pada dua pertimbangan yaitu : pertama, sifat objek yang harus dilindungi, yaitu ekosistem global, dan kedua, sifat dampak atau kerugian yang harus dicegah. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa dalam rangka perlindungan lingkungan global, prinsip tanggung jawab negara diterapkan dalam bentuk sebagai berikut : 1. Penerapan standar teknologi, termasuk standar energi, emisi dan standar waktu penerapan standar-standar tersebut 2. Penerapan standar tindakan untuk melakukan pencegahan melalui kerja sama internasional dan penerapan langsung standar-standar tersebut melalui kebijakan 105 Ibid, hal 60. 106 Ibid, hal 67. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 86 nasional setiap negara termasuk kewajiban untuk menyertakan analisis dampak dari setiap kegiatan. Penerapan prinsip tersebut didasarkan pada mekanisme sebagai berikut : pertama, penerapan standar internasional melalui pembentukan perjanjian internasional, termasuk pembentukan sistem kelembagaan dan mekanisme penerapnnya ; kedua, penerapan standar internasional itu melalui kebijakan nasional atau ketentuan nasional setiap negara dengan maksud untuk memberikan efek langsung kepada setiap kegiatan yang diduga mengadung dampak yang dapat membahayakan elemen-elemen lingkungan global. Perjajian ini sangat mudah dan cepat disesuaikan dengan alternatif-alternatif baru pencegahan dampak yang dihasilkan oleh setiap pengkajian yang dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sifat ini dapat dilihat pada sifat progresif dan fleksibel dari Konvensi Wina 1985. Dengan demikian, sifat yang paling menonjol dari ketentuan hukum internasional global adalah sifat global dan sifat fleksibelnya. D. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir a. Sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir internasional. Tujuan dari sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir adalah untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap adanya kerusakan akibat dari kecelakaan nuklir yang terjadi dan memenuhi penggantian kerugian dengan memberikan kompensasi kepada semua pihak ketiga yang menderita tanpa kecuali atau pembuktian. Dasar dari sistem ini adalah berasal dari perjanjian atau konvensi internasional, sebagai Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 87 dasar dimana negara-negara yang terikat perjanjian (contracting state) mengundangkan di negaranya masing-masing dalam perundangan pertanggungjawaban nuklir nasional. Perjanjian atau konvensi internasional yang terkait dengan pertanggungjawaban kerugian nuklir terhadap pihak ketiga yaitu: 1. The convention on Third Party Liability in The Field of Nuclear Energy (Paris Convention). Ditandatangani di Paris tahun 1960. Nilai kompensasi kerugian nuklir yang harus ditanggung PIN bila terjadi kecelakaan nuklir sebesar 15 juta SDRs (Special Drawing Rights). 2. The Vienna convention on civil liability for nuclear damage (Vienna convention). Ditandatangani di Vienna tahun 1963. Nilai kompensasi kerugian nuklir yang harus ditanggung PIN bila terjadi kecelakaan nuklir sebesar US$ 5 juta. Direvisi tahun 1997 yaitu The Protocol to Amend the Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage belum berlaku. 3. The convention Supplementary to the Paris Convention (Brussels convention). Ditandatangani di Brussels tahun 1963. Diputuskan menambah besar batas kompensasi dari dana nasional dan internasional (national and international public fund) bila kompensasi atas dasar Konvensi Paris tidak mencukupi. 4. The Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention. Ditandatangani di Vienna tahun 1988. Berhubungan dengan aplikasi dari Vienna dan Paris Convention. Bertujuan menghubungkan penerapan konvensi Wina dan Paris, dengan maksud agar manfaat yang diperoleh oleh anggota dari salah satu konvensi dapat juga dimanfaatkan oleh anggota konvensi yang lain. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 88 b. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam Norma Hukum Internasional Penerapan tanggung jawab negara dapat dilihat dalam Liability Convention 1972 dan Declarasi Stockholm 1972. Dalam ketentuan tersebut, istilah tanggung jawab negara dituangkan dalam dua istilah yaitu responsibility dan liability. Istilah tersebut mengadung konotasi yang berbeda. Istilah responsibility lebih menunjuk kepada indikator penentu lahirnya tanggung jawab, yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam bentuk kewajiban yang harus ditaati serta lahirnya suatu tanggung jawab sedangkan istilah liability lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggung jawab yang harusdiwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut yaitu pemulihan (legal redress). Berdasarkan sifat itu, menurut Soldie, istilah responsibility dan istilah liability harus dibedakan, karena yang satu menunjuk standar perilaku dan kegagalan pemenuhan standar itu sedangkan yang lainnya menunjuk pada kerusakan atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu, termasuk cara untuk memulihkan kerusakan atau kerugian itu. Pada mulanya istilah itu hanya digunakan untuk menunjuk standar, perilaku dan saat lahirnya tanggung jawab serta tidak terlalu dihubungkan dengan masalh kerugian, besar kerugian ataupun pembayarannya tetapi dalam perkembangannya istilah itu mendapat pengertian yang agak berbeda, yaitu lebih menujuk kepada pengertian liability yaitu tanggung jawab berdasarkan prinsip ganti rugi, besar kerugian dan cara pemulihannya. Menurut Bin Cheng, perkembangan ini merupakan akibat dari praktek Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 89 pengadilan yang terlalu banyak berurusan dengan masalah kerugian atau tindakan hukum yang mengakibatkan timbulnya kerugian. Penerapan ini menunjukkan besarnya pengaruh doktrin kedaulatan negara terhdap penerapan prinsip tanggung jawab negara, yang mengakibatkan terpusatnya orientasi penerapan prinsip tersebut kepada perlindungan kepentingan negara tertentu. Pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bahwa segala kegiatan yang berkaitan dengan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir merupakan kegiatan yang potensial dampak. Dampaknya terjadi karena sifat nuklir yang tergolong ke dalam kegiatan yang beresiko tinggi (ultra hazardous risk). Berdasarkan derajat dampak yang dihasilkan, bahan pencemaran dapat diklasifikasikan atas tiga bentuk, yaitu : pertama, yang bersifat merusak (degradable) : kedua, yang bersifat tidak merusak (nondegradable) : dan ketiga, yang bersifat merusak, tetapi tidak secara besar-besaran (persistent). 107 Dampak adalah akibat berupa perubahan yang bersifat kerusakan (detrimental change) yang terjadi pada lingkungan, baik terhadap komponen lingkungan tertentu maupun terhadap ligkungan secara keseluruhan. Dampak lingkungan berdasarkan sifatnya dapat diklasifikasikan atas dua bentuk, yaitu : pertama, yang bersifat langsung dan kedua, yang bersifat tidak langsung. Dampak yang bersifat langsung adalah dampak yang terjadi seketika, yaitu pada saat terjadi kontak antara bahan pencemar dengan lingkungan. Sedangkan dampak tidak langsung terjadi dalam jangka waktu tertentu. 107 Ida Bagus Wyasa Putra, Op. Cit., hal 78. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 90 Biasanya setelah suatu bahan pencemar berakumulasi dengan bahan pencemar lainnya. 108 Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabakan karena kegiatan-kegiatannya di bidang eksplorasi nuklir. Sistem pertanggungjawabannya pun adalah tanggung jawab absolut. Dalam hal ini, suatu negara tidak dapat mnggunakan alasan bahwa negara tersebut sebelumnya telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar eksplorasi nuklir tidak merugikan negara (orang) lain. Yang menjadi latar belakang di terapkannya tanggung jawab absolut adalah karena kegiatan di bidang eksplorasi nuklir mengandung resiko bahaya yang sangat tinggi (a highly hazardous activity). Perjanjian internasional yang mengatur tentang eksplorasi nuklir adalah The Vienna Convention on Civil Liability, tanggal 21 Mei 1963. Konvensi mulai berlaku efektif tanggal 27 November 1977. Menurut konvensi ini, operator nuklir bertanggung jawab terhadap kerusakan (reaktor) nuklir (pasal 2). Tanggung jawab tersebut sifatnya adalah absolut (pasal 4). Meskipun pelaksanaan pengoperasian instalasi nuklir dilakukan pada kondisi standar keselamatan yang paling tinggi, tetapi asumsi terjadi kecelakaan tidak dapat diabaikan secara mutlak. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor teknis, pemanfaatan tenaga nuklir selain bermanfaat bagi kehidupan manusia, dapat juga menimbulkan risiko berupa kerugian kepada manusia, harta benda, dan lingkungan. Serta pemanfaatan tenaga nuklir akan melibatkan banyak kelompok seperti masyarakat, organisasi penelitian dan pengembangan, pemroses bahan nuklir, manufaktur/pabrik 108 Ibid. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 91 peralatan nuklir atau sumber radiasi pengion, pelaksana medis, operator instalasi nuklir, lembaga keuangan, asuransi dan badan pengawas. Oleh karena itu, untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat maupun lingkungan akibat dari kecelakaan tersebut maka harus disusun dan ditetapkan besar kerugian yang harus dipertanggungjawabkan Pengusaha Instalasi Nuklir (Operator) dan sistem hukum terkait dengan pertanggungjawaban kerugian nuklir untuk memberikan kompensasi kerugian nuklir terhadap pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir. Sistem hukum yang mengatur tentang hal tersebut dikenal sebagai sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir. Pertanggungjawaban kerugian nuklir merupakan suatu pertanggungjawaban yang disusun dengan pengaturan khusus pada kecelakaan yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir. Dasar dari pertanggungjawaban kerugian nuklir adalah bersifat internasional. Hal ini disebabkan karena efek bahaya dari suatu kecelakaan nuklir yang parah dapat meluas ke teritorial negara lain, selain itu juga harus disusun suatu bentuk hukum mengenai kompensasi penggantian kerugian nuklir dan kerusakan yang mungkin terjadi terkait dengan pengangkutan bahan nuklir. Pengaturan khusus terhadap pemanfaatan bahan nuklir ini nampak dalam hal terjadi kecelakaan nuklir. Dalam hal demikian pertanggungjawabannya terhadap pembayaran kompensasi, digunakan aturan yang berlaku secara universal atau internasional, yaitu sistem pertanggungjawaban mutlak (absolut liability, no-fault liability), pembatasan tanggung jawab dalam jumlah dan waktu. Kalau tidak diatur khusus, maka pihak yang menjadi korban akan mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan. Lagipula siapapun yang terlibat dalam pembangunan Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 92 instalasi nuklir itu akan berusaha mengamankan dirinya dengan cara mengambil asuransi. Sistem ini dituangkan dalam berbagai konvensi internasional (Konvensi Wina 1963 yang kemudian diubah dengan Protokol 1997, dan Convention on the Supplementary Compensation 1997) maupun regional (Konvensi Paris 1960). Indonesia sudah menandatangani Protokol dan Convention on the Supplementary Compensation, tetapi belum menjadi negara pihak. Hal khusus pada sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir memiliki perbedaan dibandingkan dengan sistem pertanggungjawaban umum lainnya. Pada sistem pertanggungjawaban umum lainnya pertanggungjawaban didasarkan pada kesalahan. Artinya, pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi seteiah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya. Apabila hal itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan akan mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu sehingga hal tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai penderita kerugian. Oleh karena itu, bagi pihak ketiga tersebut perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti dengan satu sistem tanggung jawab mutlak. Pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, tanpa adanya pembuktian oleh pihak ketiga tentang ada atau tidaknya kesalahan pada pengusaha instalasi nuklir, kecuali kecelakaan nuklir itu terjadi akibat langsung dari pertikaian atau konflik bersenjata internasional atau non-internasional atau bencana alam dengan tingkat yang luar biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan keselamatan yang telah ditetapkan. Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 93 pemanfaatan industri nuklir, jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk batas pertanggungjawaban, baik batas maksimum jumlah pembayaran ganti rugi maupun jangka waktu penuntutan. Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga dan pengusaha instalasi nuklir tersebut, maka dipandang perlu menggunakan satu sistem tersendiri bagi pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Sistem tersebut memberikan perlindungan yang lebih pasti bagi pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir, tetapi juga tidak menghambat perkembangan industri nuklir itu sendiri sebagaimana yang telah dikembangkan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. c. Peninjauan kembali besar batas pertanggungjawaban Nilai batas pertanggungjawaban kerugian nuklir di Indonesia diambil dengan membandingkan fasilitas-fasilitas yang ada di Indonesia sendiri, Korea dan Jepang. Untuk memperjelas, maka besar batas pertanggungjawaban setiap instalasi nuklir di Indonesia diperkirakan seperti dalam tabel berikut: .109 Tabel perkiraan besar batas pertanggungjawaban kerugian nuklir di Indonesia : No. Kategori 1 Reaktor daya komersil 2 Reaktor daya non-komersil Jumlah (Rp) 3.600.000.000,000,360.000.000.000,- 109 Sistem Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir, http://www.technologyindonesia.com/column, diakses tanggal 22 Oktober 2008 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 94 3 Reaktor non-daya komersil 1.800.000.000.000,- 4 Reaktor non-daya dengan daya lebih dari 10 MWt 90.000.000.000,- 5 Reaktor non-daya dengan daya dari 2 MWt-10 45.000.000.000.,- MWt 6 Reaktor non-daya dengan daya kurang dari 2 MWt 10.000.000.000,- 7 Instalasi fabrikasi bahan bakar nuklir 10.000.000.000,- 8 Fasilitas penyimpanan bahan bakar nuklir bekas 10.000.000.000,- 9 Pengangkutan bahan bakar nuklir 1.000.000.000,- 10 Pengangkutan bahan bakar nuklir bekas 1.000.000.000,- Aturan tegas yang mengatur tentang pertanggungjawaban kerugian nuklir dinyatakan dalam UU Ketenaganukliran pada pasal berikut : Pasal 34 1. Pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap kerugian nuklir paling banyak Rp 900.000.000.000,00 (sembilan ratus miliar rupiah) untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas. 2. Besar batas pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. 3. Jumlah pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya digunakan untuk pembayaran kerugian nuklir, tidak termasuk bunga dan biaya perkara. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 95 4. Batas pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 1. Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya sebesar jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) melalui asuransi atau jaminan keuangan lainnya. Dari Pasal 34 tersebut mengamanatkan perlunya dibentuk aturan yang mengimplementasi pelaksanaan sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir dalam bentuk Keputusan Presiden (sekarang berbentuk Peraturan Presiden) yang bertujuan untuk menetapkan besar batas pertanggungjawaban bagi Pengusaha instalasi nuklir untuk setiap instalasi nuklir dan/atau dalam hal pengangkutan bahan nuklir atau bahan nuklir bekas yang ditujukan untuk memberikan perlindungan jaminan ganti rugi bagi masyarakat dan lingkungan hidup akibat kecelakaan nuklir tetapi tidak termasuk fasilitas yang dimiliki oleh pemerintah yang bukan Badan Usaha Milik Negara. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 34 ayat (1) diatas, maka ternyata potensi terjadinya kecelakaan nuklir dapat terjadi tidak hanya pada reaktor nuklir, tetapi juga pada instalasi nuklir lain serta dalam hal pengangkutan bahan nuklir atau bahan nuklir bekas. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 96 BAB IV RATIFIKASI TERHADAP NORMA HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR A. Proses Pembuatan Perjanjian Internasional Setiap negara memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian internasional. Seseorang dianggap mewakili suatu negara untuk maksud menyetujui atau mengesahkan teks perjanjian atau untuk maksud menyatakan persetujuan negara itu untuk diikat oleh suatu perjanjian jika : 1. Ia memperlihatkan full powers yang sewajarnya, atau 2. Terlihat dari praktik negara-negara itu atau dari keadaan-keadaan lainnya, bahwa maksud mereka adalah menganggap bahwa orang tersebut mewakili negaranya untuk maksud-maksud tertentu.110 Sah berarti berlaku menurut hukum. Dengan demikian perjanjian internasional adalah sah bila memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, baik ketentuan hukum yang mengatur wewenang pihak yang berjanji maupun ketentuan hukum ynag mengatur proses pembuatan perjanjian internasional yang bersangkutan. Proses yang harus dilakukan dalam pembentukan/pembuatan perjanjian internasional, antara lain : a. Akreditasi petugas perundingan 110 C.S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Djambatan, Jakarta, 2002, hal 54 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 97 Untuk membuat perjanjian internasional negara yang bersangkutan terlebih dahulu mengakreditasi petugasnya yang akan mengadakan perundingan. Akreditasi itumenetapkan status petugas tersebut sebagai perutusan beserta wewenag yang dipunyainya. Wewenang perutusan yang lengkap berupa wewenang untuk menghadiri perundingan, untuk ikut serta berunding, untuk menetapkan keputusan yang diperjanjikan dan untuk menandatangani perjanjian. b. Perundingan Perundingan dalam pembuatan perjanjian internasional bilateral dilakukan dengan berembus saling berbicara (pourparles). Dalam pembuatan perjanjian internasional multilateral perundingan dilakukan dalam konferensi diplomatik. Konferensi diplomatik itu merupakan perundingan yang resmi. c. Penandatanganan keputusan hasil perundingan Keputusan hasil perundingan pada umumnya ditandatangani oleh kepala perutusan negara yang berunding. Penandatanganan itu peda umumnya dilakukan di tempat dan waktu yang sama dalam kehadiran pihak lawan yang berjanji. Penandatanganan itu dimaksudkan sebagai otentikasi naskah keputusan hasil perundingan Dengan ditandatanganinya perjanjian internasional tersebut maka perjanjian itu dapat dianggap telah diterima oleh negara yang bersangkutan. Namun, untuk memberlakukannya secara nasional perjanjian tersebut terlebih dahulu harus diratifikasi oleh negara yang bersangkutan. Dengan diratifikasinya perjanjian internasional beik berupa Undang-Undang ataupun Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 98 B. Pengertian dan Prosedur Ratifikasi Pengertian Ratifikasi 1. Pengertian Ratifikasi Istilah ratifikasi berasal dari Bahasa Latin yaitu ratificare yang terbentuk dari kata ratus yang berarti dimantapkan (fixed) dan facto yang berarti dibuat atau dibentuk (made). Jadi, ratifikasi secara harafiah dapat dikatakan dibuat mantap atau disahkan melalui persetujuan (make valid by approving). Dalam hal ini, jika suatu perjanjian internasional telah ditandatangani maka diperlukan kekuatan secara hukum agar dapat berlaku secara mantap dengan melalui persetujuan yang dilakukan dengan lembaga ratifikasi. Ratifikasi itu sendiri dalam Bahasa Latin memiliki dua arti. Pertama, ratum babare dan ratum ducere, ratifikasi dalam hal ini bersifat deklarator karena hanya mengesahkan suatu perjanjian yang telah disepakayti oleh wakil-wakil negara, kedua, ratum facare dan ratum alicui esse, ratifikasi dalam hal ini bersifat konstitutif karena merupakan pengesahan semua ketentuan yang tercantum dalam perjanjian yang berarti dapat mengikat bagi negara peserta. Sedangkan apabila kita lihat pada ketentuan Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian pada pasal 2 (1 a) menentukan : “Ratification means in each case the international act so named whereby a state establishes on the international plan its concent to be bound by treaty.”111 Dari ketentuan tersebut jelaslah menurut Konvensi Wina istilah ratifikasi adalah sebagai suatu bentuk persetujuan yang ditingkatkan dalam perjanjian yang kemudian mengikat para pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian. Pernyataan terikatnya suatu negara pada perjanjian dengan ratifikasi ini perlu, oleh karena sebagai kontrol agar 111 M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia, UNISDA Press, Lamongan, 2005, hal 15 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 99 wewenang yang telah diberikan kepada treaty making power tidak melampaui batas wewenangnya. 112 2. Prosedur Ratifikasi Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui akreditasi petugas perundingan-perundingan, penandatanganan keputusan hasil perundingan, ratifikasi, tukar-menukar naskah ratifikasi, saat mulai mengikatnya perjanjian internasional, pendaftaran serta pengumuman perjanjian internasional dan sahnya perjanjian internasional. 113 Yang dimaksud dengan ratifikasi ialah perbuatan negara yang dalam taraf internasional menetapkan persetujuannya untuk terikat dalam suatu perjanjian internasional yang sudah ditandatangani perutusannya. Pelaksanaan ratifikasi itu tergantung pada hukum nasional negara yang bersangkutan. Di Indonesia ratifikasi dapat berupa Undang-Undang ataupun berupa Keputusan Presiden (Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional) Langkah selanjutnya yang juga termasuk dalam proses ratifikasi adalah naskah ratifikasi perjanjian internasional (bila hanya melibatkan beberapa negara saja) dipertukarkan dengan pihak lawan yang berjanji, sedang naskah ratifikasi perjanjian internasional multilateral kemudian diserahkan kepada negara penyimpan. Ratifikasi menetapkan terikatnya negara pada sutau perjanjian internasional tetapi ratifikasi tidak menetapkan saat mulai terikatnya negara tersebut pada perjanjian yang diratifikasinya. Saat mulai mengikatnya perjanjian internasional yang diratifikasi terjadi pada saat 112 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional-Buku I, Bina Cipta, Bandung, 1976, hal 121 113 M. Hafiz Hasbullah, Op.Cit,hal 17. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 100 penekaran naskah ratifikasi kepada pihak lawan berjanji atau penyerahan naskah ratifikasi kepada negara penyimpan naskah ratifikasi. d. Pendaftaran dan pengumuman perjanjian internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mewajibkan anggotanya untuk mendaftarkan semua perjanjian dan persetujuan internasional yang dibuatnya kepada Sekretariat PBB yang kemudian akan mengumumkannya dalam kumpulan perjanjian PBB (United States Treaty Series). C. Hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional 1.Hubungan antara hukum internasional dalam tata hukum secara keseluruhan Persoalan tempat hukum internasional dalam keseluruhan tata hukum secara umum merupakan persoalan yang menarik dilihat dari sudut teori (ilmu hukum) maupun dari sudut praktis. Pembahasan persoalan tempat kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum,hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif ynag benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga memiliki hubungan yang efektif pula dengan ketentuan dan asas yang efektif pula dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya diantaranya yang paling penting ialah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaannya masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional. Pentingnya hukum nasional masing-masing negara dalam konstalasi politik dunia dewasa ini, dengan sendirinya penting pula persoalan bagaimanakah Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 101 hubungan antara berbagai hukum nasional itu dengan hukum internasional. Di sinilah letak pentingnya persoalan kedudukan hukum internasional dalam keseluruhan tata hukum dilihat dari sudut praktis. Dari sudut teoritis persoalan hunungan antara hukum internasional dan hukum nasional merukan suatu masalah yang menarik untuk dibahas. Seperti banyak persolan lainnya, persoalan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional bergantung dari mana kita memendang persoalan itu. Ada dua pandangan dalam hukum internasional yaitu pandangan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara dan pandangan objektivisme, yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda karena sudut pandang yang satu akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah sedangkan yang lainnya menganggap hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Hal ini erat kaitannya dengan hierarkie antara hukum internasional dan hukum nasional, baik merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri ataupun merupakan dua perangkat hukum yang pada hakekatnya merupakan bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama. Ada dua aliran mengenai kedudukan hukum internasional dan hukum nasional yaitu : pertama, aliran dualisme yang mendasarkan pemikirannya pada kedua perangkat hukum tersebut mempunyai sumber, struktur dan subjek yang berlainan; kedua, aliran monisme yang mendasarkan pemikiran kesatuan dari sluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 102 Aliran monisme terbagi atas dua pandangan lagi yaitu pandangan yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional (monisme dengan primat hukum nasional) dan pandangan yang menganggap bahwa dalan hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional (monisme dengan primat hukum internasional) Dewasa ini terlihat bahwa negara-negara modern telah mengakui hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional. Pandangan ini dinamakan doctrine of incoorperation yang pada mulanya berasal dari negara Anglo Saxon. Ajaran bahwa hukum internasional dipandang sebaga hukum nasional terlihat di putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus The Paquette Habana-The Loba. b. Primat hukum internasional menurut praktek internasional Praktek hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakekatnya tunduk pada hukum internasional. Pada umumnya negara-negara di dunia saling menghormati tanpa batas atau garis batas lainnya yang memisahkan wilayah negara yang satu dari lainnya. Dengan kata lain, negara-negara menaati hukum internasional mengenai batas wilayah sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan negara lain khususnya dengan negara tetangganya. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 103 Perlu ada pertentangan hakiki atau fundamental antara tindakan sepihak (unilateral act) suatu negara dengan hukum internasional. Bahkan, kita melihat bahwa tindakan sepihak negara yang didorong oleh kebutuhannya dapat melahirkan kaidah hukum baru melalui proses hukum kebiasaan. Yang penting ialah bukan terjadinya tindakan sepihak oleh negara itu yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah hukum internasional yang berlaku, tetapi ada tidaknya kesediaan menyesuaikan diri dengan apa yang menurut pendapat masyarakat internasional merupakan kaidah hukum internasional. Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa kemauan demikian pada negara-negara itu ada, sekalipun mengenai persoalan yang sangat penting seperti batas negara. Sebaliknya harus diakui pula bahwa proses pembentukan kaidah hukum internasional sangatlah lamban dan bergantung kepada banyak faktor di antaranya faktor politik. Hal ini juga menjelaskan mengapa dalammasa-masa terjadinya perubahan politik yang besar seperti merdekanya bangsa-bangsa yang tadinya terjajah, pembentukan kaidah hukum internasional menjadi lebih rumit. Salah satu penyebabnya adalah emansipasi politik bangsa-bangsa itu sendiri mencetuskan suatu gerakan yang hendak mengubah kaidah tradisional yang ditinggalkan oleh masyarakat lama yang didominasi oleh negara-negara besar bekas penjajah. Lambatnya proses pembentukan kaidah hukum internasional baru ini apabila dibandingkan dengan proses pengundang-undangan suatau negara menyebabkan kenapa orang kadang-kadang tergoda untuk menyangkal adanya hukum internasional. Proses pembentukan dan pertumbuhan kaidah hukum internasional itu lambat karena belum kuatnya hukum internasional sebagai suatu sistem hukum. Hal ini tidak bisa dilepaskan Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 104 dari belum tingginya taraf integrasi masyarakat internasional dan kesederhanaan masyarakat internasional sebagai suatu sistem atau bentuk masyarakat pada masa sekarang. Namun, semuanya itu bukan alasan untuk menyangkal adanya suatu masyarakat internasional maupun hukum internasional yang mengaturnya. D. Ratifikasi Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir Lingkungan hidup Indonesia merupakan karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek sesuai dengan Wawasan Nusantara, dan dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UndangUndang Dasar 1945, serta untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Atas dasar tersebut maka perlunya melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksannya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, dimana penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 105 Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahkluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain, dengan disertai pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Oleh sebab itulah, maka sangat perlu untuk dilakukannya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya dasar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan, dengan mempersiapkan sumber daya yang merupakan sebagai unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan serta melindungi lingkungan dari dampak pemanfaatan energi termasuk di antaranya energi nuklir yang kegiatannya termasuk ke dalam kategori sangat berbahaya (ultra-hazardous risk). Upaya pencegahan terhadap pencemaran tersebut harus melihat kepada hal mengani baku mutu lingkungan hidup, yang merupakan sebagai tolok ukur batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Dimana pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi atau komponnen lain kedalam lingkungan Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 106 hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Hukum merupakan alat kontrol sosial (social control) terhadap akibat pencemaran lingkungan hidup. Oleh sebab itu, haruslah ada ketentuan peraturan dan perundang-undanag yang mengatur serta membatasi/ mencegah agar tidak terjadi pencemaran lingkungan hidup disegala aspek kehidupan manusia baik secara sadar atau tidak sadar pencemaran tersebut terjadi. Pembangunan nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju serta adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selama ini pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dilaksanakan atas dasar Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Dengan perkembangan zaman dan makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pemanfaatan tenaga nuklir, banyak ketentuan dalam undang-undang tersebut yang sudah tidak sesuai lagi, misalnya wewenang pelaksanaan dan pengawasan atas penelitian dan pemanfaatan tenaga nuklir yang diberikan dalam satu badan sehingga fungsi pengawasan tidak optimal. Selain itu, bahan nuklir harus dimiliki dan dikuasai oleh negara, sedangkan jual beli bahan tersebut sudah dilakukan secara internasional sehingga persyaratan yang harus dimiliki oleh negara akan menghambat perkembangan pemanfaatan tenaga nuklir. Akan tetapi, persyaratan yang harus dikuasai oleh negara tetap dipertahankan karena walaupun sudah terjadi perdagangan bebas bahan nuklir secara internasional, Pemerintah tetap diminta melakukan pengawasan Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 107 agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan pemanfaatan bahan nuklir tersebut. Oleh karena itu, dipandang perlu dibuat undang-undang baru tentang ketenaganukliran untuk menggantikan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Dalam undang-undang ini wewenang pelaksanaan dan pengawasan dipisahkan dalam dua lembaga yang berbeda untuk menghindari tumpang tindih kegiatan pemanfaatan dan pengawasan dan sekaligus mengoptimalkan pengawasan yang ditujukan untuk lebih meningkatkan keselamatan nuklir. Banyaknya norma hukum internasional mengenai nuklir seperti yang telah dijelaskan dalam bab-bab terdahulu, termasuk di antaranya perjanjian internasional mengenaii kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir, Indonesia meratifikasi seluruh perjanjian tersebut terutama NPT dan Bangkok Treaty dimana Indonesia menjadi negara pihak dalam perjanjian tersebut ke dalam suatu peraturan perundangundangan yang berlaku secara nasional di Indonesia. Peraturan yang dimaksudkan di sini adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UU Ketenaganukliran). Saat ini pemerintah Indonesia sedang giat melakukan promosi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang direncanakan beroperasi tahun 2016. Untuk pelaksanaan pembangunan PLTN untuk program ketenagalistrikan, maka harus ada pengawasan ketenaganukliran secara regulasi. UU Ketenaganukliran memuat aturan selain mengatur perizinan untuk pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir juga mengatur hal pertanggungjawaban kerugian nuklir oleh pengusaha instalasi nuklir untuk Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 108 setiap instalasi nuklir atau pengangkutan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas apabila terjadi kecelakaan nuklir. Meskipun pelaksanaan pengoperasian instalasi nuklir dilakukan pada kondisi standar keselamatan yang paling tinggi, tetapi asumsi terjadi kecelakaan tidak dapat diabaikan secara mutlak. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor teknis, pemanfaatan tenaga nuklir selain bermanfaat bagi kehidupan manusia, dapat juga menimbulkan risiko berupa kerugian kepada manusia, harta benda, dan lingkungan. Serta pemanfaatan tenaga nuklir akan melibatkan banyak kelompok seperti masyarakat, organisasi penelitian dan pengembangan, pemroses bahan nuklir, manufaktur/pabrik peralatan nuklir atau sumber radiasi pengion, pelaksana medis, operator instalasi nuklir, lembaga keuangan, asuransi dan badan pengawas. Oleh karena itu, untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat maupun lingkungan akibat dari kecelakaan tersebut maka harus disusun dan ditetapkan besar kerugian yang harus dipertanggungjawabkan Pengusaha Instalasi Nuklir (operator) dan sistem hukum terkait dengan pertanggungjawaban kerugian nuklir untuk memberikan kompensasi kerugian nuklir terhadap pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir Pengertian kecelakaan nuklir dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenaganukliran disebutkan yaitu setiap kejadian atau rangkaian kejadian yang menimbulkan kerugian nuklir. Sedangkan kerugian nuklir didefinisikan dalam pasal 1 angka 16 sebagai setiap kerugian yang dapat berupa kematian, cacat, cedera atau sakit, kerusakan harta benda, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 109 sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi nuklir atau selama pengangkutan, termasuk kerugian sebagai akibat tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk pemulihan lingkungan hidup. Berdasarkan batasan pengertian di atas, sistem hukum yang mengatur mengenai bila terjadi kecelakaan nuklir sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi nuklir atau selama pengangkutan dikenal sebagai sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir. Sedangkan pengertian instalasi nuklir di jelaskan pada Pasal 1 angka 12 UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran adalah: 1. reaktor nuklir; 2. fasilitas yang digunakan untuk pemurnian, konversi, pengayaan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas; dan/atau 3. fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas. Pengusaha Instalasi Nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi dalam instalasi nuklir tersebut (Pasal 28 UU Ketenaganukliran), sedangkan selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang diderita pihak ketiga adalah juga pengusaha instalasi nuklir pengirim (Pasal 29 UU Ketenaganukliran). Hal khusus pada sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir merniliki perbedaan dibandingkan dengan sistem pertanggungjawaban umum lainnya. Pada Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 110 sistem pertanggungjawaban umum lainnya pertanggungjawaban didasarkan pada kesalahan. Artinya, pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi seteiah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya. Apabila hal itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan akan mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu sehingga hal tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai penderita kerugian. Oleh karena itu, bagi pihak ketiga tersebut perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti dengan satu sistem tanggung jawab mutlak. Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan industri nuklir, jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk batas pertanggungjawaban, baik batas maksimum jumlah pembayaran ganti rugi maupun jangka waktu penuntutan. Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga dan pengusaha instalasi nuklir tersebut, maka dipandang perlu menggunakan satu sistem tersendiri bagi pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Sistem tersebut memberikan perlindungan yang lebih pasti bagi pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir, tetapi juga tidak menghambat perkembangan industri nuklir itu sendiri sebagaimana yang telah dikembangkan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. UU Ketenaganukliran mewajibkan dibentuknya Badan Pengawas yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan penggunaan energi nuklir, yang kewenangannya meliputi penyelenggaraan peraturan, perizinan, dan inspeksi. Pembentukan sebuah badan regulator ini sesuai dengan Konvensi Keselamatan Nuklir Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 111 (Convention on Nuclear Safety) yang menegaskan perlunya pemisahan yang efektif antara fungsi pengaturan atau pengawasan, dan fungsi promosi atau penggunaan energi nuklir. Meski demikian, menurut konvensi tersebut, wewenang badan ini juga mencakup penegakan peraturan dan perizinan, mulai dari pembekuan hingga pencabutan izin. UU Ketenaganukliran sama sekali tidak menyinggung wewenang penegakan peraturan dan perizinan tersebut. Sebaliknya, UU Ketenaganukliran justru memberi wewenang kepada Badan Pengawas untuk melakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan untuk menimbulkan motivasi dan kesadaran keselamatan dalam penggunaan energi nuklir. Berlawanan dengan prinsip umum bahwa setiap kegiatan bebas dilakukan, kecuali bila dilarang oleh hukum, hukum nuklir menegaskan bahwa setiap kegiatan yang menyangkut bahan fisi dan radioisotop adalah terlarang, kecuali yang telah diizinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini adalah konsekuensi dari bahaya yang terkait dengan teknologi nuklir tersebut. UU Ketenaganukliran secara tegas juga menganut prinsip itu di dalam Pasal 17. Menurut Pasal 5, Badan Pengawas harus melakukan penilaian dan memutuskan pemberian atau penolakan suatu permohonan izin dalam jangka waktu 14 atau 60 hari kerja. 114 114 Dian Abraham, Mempertanyakan (Lagi) Keselamatan http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/25/nasional.htm, diakses tanggal 28 Januari 2009 Nuklir, Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 112 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis mengambil kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang ada di dalam skripsi ini yaitu : 1. Hukum internasional secara umum telah mengatur masalah kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Norma-norma hukum itu dapat dilihat dari telah lahirnya perjanjianperjanjian internasional mengenai nuklir. Diantaranya : pertama, secara global telah ada perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Non-Proliferation Treaty-NPT) yakni perjanjian mengenai nuklir yang diikutsertai oleh 187 negara dari seluruh kawasan di dunia; kedua, secara regional, telah ada perjanjian Tlatelolco (Tlatelolco Treaty) yakni perjanjian mengenai nuklir untuk negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia, perjanjian Ratotonga (Ratotonga Treaty) yakni perjanjian mengenai nuklir untuk negara-negara di kawasan Pasifik Selatan dan perjanjian Bangkok (Bangkok Treaty)yakni perjanjian mengenai nuklir untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara; ketiga, secara bilateral antara dua negara, seperti : Amerika Serikat-India dan Cina dan Australia. 2. Penerapan tanggung jawab negara dapat dilihat dalam Liability Convention 1972 dan Declarasi Stockholm 1972. Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabakan karena kegiatan-kegiatannya di bidang eksplorasi nuklir. Sistem pertanggungjawabannya pun adalah tanggung jawab absolut. Perjanjian internasional yang mengatur tentang eksplorasi nuklir adalah The Vienna Convention on Civil Liability, tanggal 21 Mei 1963. Konvensi mulai berlaku efektif Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 113 tanggal 27 November 1977. Menurut konvensi ini, operator nuklir bertanggung jawab terhadap kerusakan (reaktor) nuklir (pasal 2). Dasar dari pertanggungjawaban kerugian nuklir adalah bersifat internasional. Hal ini disebabkan karena efek bahaya dari suatu kecelakaan nuklir yang parah dapat meluas ke teritorial negara lain, selain itu juga harus disusun suatu bentuk hukum mengenai kompensasi penggantian kerugian nuklir dan kerusakan yang mungkin terjadi terkait dengan pengangkutan bahan nuklir. 3. Ratifikasi norma-norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir dapat dilihat dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UU Ketenaganukliran). UU Ketenaganukliran ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan reaktor nuklir dan pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan kegiatan nuklir serta bentuk pertanggungjawabannya masing-masing. B. Saran 1. Norma-norma hukum internasional yang mengatur masalah nuklir seperti yang disebutkan di atas hanya mengatur tentang upaya-upaya kegiatan nuklir secara umum. Sedangkan norma hukum internasional yang menyangkut pertanggungjawaban terhadap akibat yang ditimbulkan akibat kegiatan nuklir cenderung hanya untuk kepentingan manusia, tanpa memperhatikan hal-hal yang telah terjadi atau yang mungkin akan terjadi terhadap lingkungan yang rusak akibat kegiatan nuklir. Seharusnya dalam perjanjian-perjanjian yang telah disebutkan di atas juga melindungi hak –hak lingkungan agar tetap terjaga. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 114 2. Nuklir yang merupakan bahan yang sangat berbahaya yang mengandung kemungkinan resiko yang sangat berbahaya mengakibatkan sulitnya melihat sejauh apa pertanggungjawaban negara atas kegiatannya tersebut terutama akibat kegiatannya terhadap kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu aturan yang lebih terperinci lagi mengenai akibat kegiatan nuklir terhadap lingkungan. 3. Ratifikasi norma internasional telah dilakukan oleh Indonesia yaitu melalui UndangUndang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran namun, tidak semua negara yang telah meratifikasi NPT ke dalam Undang-Undang negaranya masing-masing. Seharusnya semua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut harus dengan serta-merta meratifikasinya ke dalam peraturan nasional negara masing-masing mengingat masalah-masalah nuklir adalah masalah yang harus lebih diprioritaskan. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 115 DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Adolf, Huala, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional-edisi revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. __________ , 1996, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Budiardjo, Miriam, 2006, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Daliyo, J.B., 2001, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta. Djamali, R. Abdoel, 2007, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Hamzah, Bachtiar, 1997, Hukum Internasional II, USU Press, Medan. Hasbullah, M. Afif, 2005, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia, UNISDA Press, Lamongan. Kansil, C.S.T., 2002, Modul Hukum Internasional, Djambatan, Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Pengantar Hukum Internasional-Buku I, Bina Cipta, Bandung Mertokusumo, Soedikno, 2003, Mengenal Hukum suatu Pengantar, PT. Liberty, Yogyakarta. Poerwadarminta, W.J.S, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Putra, Ida Bagus Wyasa, 2001, Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa, Refika Aditama, Bandung. Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 116 Starke, J.G., 1988, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Aksara Persada Indonesia, Jakarta. Utrecht, E., 1983, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta. Wirengjurit, Dian, 2002, Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir, PT. Alumni, Bandung. II. PERJANJIAN INTERNASIONAL The Bangkok Treaty (the South East Asia Nuclear Weapons Free Zone Treaty). The Tlatelolco Treaty (Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America and the Caribbean). III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. IV. WEBSITE Dian Abraham, Mempertanyakan (Lagi) Keselamatan Nuklir, http://www.kompas.com/kompascetak/0706/25/nasional.htm, diakses tanggal 28 Januari 2009 Gusti N.C Aryani, ASEAN Nantikan konsensus Zona Bebas Nuklir ASEAN 2012, http://beritasore.com/2007/07/30/asean-nantikan-konsensus-zona-bebas-nuklir-asean2012/, diakses tanggal 28 Januari 2009. Akhir Perjanjian Nuklir India-Amerika Serikat?, indo.blogspot.com/2006/11/akhir-perjanjian-nuklir-india-as.html, tanggal 24 Februari 2009. http://qisaidiakses Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009 117 Amerika-India Tandatangani Perjanjian Nuklir, http://www.vhrmedia.com/vhrnews/berita,Amerika-India-Tandatangani-Perjanjian-Nuklir-2572.html, diakses tanggal 24 Februari 2009 IAEA Segera Bahas Nuklir India, http://www.antaranews.com/IAEA-segera-bahasnuklir-india, diakses tanggal 24 Februari 2009. Menunggu Kesepakatan Perjanjian Nuklir India, http://qisaiindo.blogspot.com/menunggukesepakatan-perjanjian-nuklir.html, di akses tanggal 24 Februari 2009. Perjanjian Non-ProliferasiNuklir, http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian Proliferasi Nuklir, diakses tanggal 23 September 2008. Non- Perjanjian Nuklir Aman, http://www.kapanlagi.com/Perjanjian-nuklir-aman, diakses tanggal 24 Februari 2009 Seminar Energi Nuklir dan Instrumentasi Reaktor di USA tanggal 28 November 2006, http:// metnet.wordpress.com/2006/11/28/seminar-energi-nuklir-dan-instrumentasi-di-usa/, diakses tanggal 24 Februari 2009. Sistem Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir, http://www.technologyindonesia.com/column, diakses tanggal 22 Oktober 2008 Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum Internasional, 2009. USU Repository © 2009