Perisriwa J J Seprember 200J dan Penyerangan Amerika Serikal 7 PERISTIW A 11 SEPTEMBER 2001 DAN PENYERANGAN AMERIKA SERIKAT DI AFGHANISTAN DITINJAU DARI SEGI HUKUM INTERNASIONAL Sri Setianingsih Suwardi Penulis artikel ini mengulas sisi hukum internasional dalam peristiwa pengeboman gedung WTC di New York pada 11 September 200J dan penyerangan Amerika Serikat ke Afghanistan setelail peristiwa tersebut. Dasar analisis yang digunakan penulis adalah Piagam PBB, terutama terkait dengan pasal 5J Piagam PBB. I Pada tanggal II September 200 I dunia dikejutkan oleh adanya pesawat komersiil Amerika Serikat, American Airlines, menghantam gedung kembar Pusat Perdagangan Dunia (WTC) di New York, Amerika Serikat. Masyarakat dunia masih terkejut dan tertegun bertanya-tanya apakah kejadian itu kecelakaan atau kesengajaan. Belum sempat rasa terkejut itu hilang, dikejutkan kembali dengan adanya serangan yang berasal dari pesawat komersiil ke gedung Pentagon yang terletak di Washington. Serangan tersebut menghancurkan salah satu sisi gedung Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Serangan di WTC tersebut menyebabkan ribuan orang yang sedang dan akan bertugas di WTC Nomor J Tahun XXXIl 8 Hukum dan Pembangunan menemui ajalnya. Serangan di Pentagon menyebabkan seorang lendral Angkatan Darat Amerika Serikat meninggal. I Kejadian tersebut merupakan tindakan barbar yang menyebabkan rakyat Amerika Serikat marah, karena WTC adalah lambang supremasi ekonomi Amerika Serikat dan Pentagon adalah lambang supremasi pertahanan keamanan Amerika Serikat. Masyarakat di dunia terus bertanya-tanya mengapa dapat terjadi mengingat sistem pengamanan penerbangan di Amerika Serikat terkenal dengan kecanggihannya. Sebagai negara adijaya dan sete1ah runtuhnya Uni Soviet negara pesaingnya, Amerika Serikat menjadi satu-satunya kekuatan yang memimpin dunia.Kemarahan rakyat Amerika Serikat disambut oleh pemerintahan George W. Bush. Presiden Amerika Serikat menyatakan perang terhadap teroris termasuk mereka yang berada dibelakang teroris. Presiden berjanj i pada rakyatnya bahwa pemerintahnya akan segera menumpas reroris. Bush te1ah menuduh Osama bin Laden, kelahiran Saudi Arabia yang diusir dari negaranya karena tuduhan sebagai teroris. Osama dituduh terlibat dalam peristiwa 11 September 2001 dan memimpin jaringan AI-Qaeda dan diperkirakan bermukim di Afganistan dan didukung oleh rejim Taliban. Amerika Serikat telah meminta pada pemerintahan Taliban untuk menyerahkan Osama bin Laden ke Amerika Serikat. Permintaan Amerika Serikat iru telah dirolak oleh Taliban, karena Taliban berkeyakinan bahwa Osama tidak terlibat dalam tragedi II September tersebut. Taliban meminta pad a Amerika Serikat bukti akan keterlibatan Osama. Penolakan pemerintah Taliban untuk menyerahkan Osama untuk diadili di Amerika Serikat, telah mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk menyerang Afganistan pada tanggal 7 Oktober 2001. Kejadian di atas sangat komplek , karena serangan itu dilakukan oleh aktor bukan negara (non-state actor) yang menyerang negara lain. Pada umumnya negara berperang dengan negara lain atau memerangi pemberontak di wilayahnya. Namun dalam kasus penyerangan Amerika Serikat di Afganistan adalah dalam rangka memburu orang yang dianggap bertanggung jawab atas aksi yang dilakukan pada tanggal II September 2001 yang diyakini berada di Afganistan. 1 Sophian Martabaya. Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia, Hukum dan Pemhangunon No.3 Tailu!! XXXI, fuli- Seplember 200l, hal 244 fanuari - Maret 2002 Peristiwa 11 September 2001 dan Penyerangan Amerika Serikat 9 U ntuk membahas kasus ini maka akan ditinjau dari segi hukum internasional yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dengan kekerasan dan penerapan hukum humaniter internasional. II Hukum internasional menetapkan bahwa perang adalah cara terakhir yang dipakai oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa. Perang hams diumumkan oleh salah satu pihak dan diikuti dengan serangan terhadap pihak lain atau cara-cara lain yang menunjukkan adanya keiinginan untuk berperang. N amun ketika masyarakat internasional telah menetapkan untuk membentuk Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menerima piagam PBB sebagai dasar bekerjanya PBB mereka sepakat bahwa perang hams dihindari. Hal ini dapat kita baca dalam preambul piagam : We the Peoples of the United Nations determined to save succeeding generations from the scourge of war ... Ketentuan ini kemudian dijabarkan dalam pasal 2 (3) piagam dan pasal 2 (4) piagam. Pasal 2 (3) piagam PBB menetukan : All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security. and justice. are not endangered. Sedangkan pasal 2 (4) piagam menentukan : All members shall Refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State. or in any other manner inconsistent with the purposes of the United nations. J adi jelaslah bahwa anggota PBB harus menghindari penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa. Larangan penggunaan kekerasan dalam hubungan antara negara mernpakan suatu norma dasar (preemptory norm) dalam hukum intermasional (jus cogens). Beberapa resolusi Majelis Umum telah menyokong penerapan pasal 2 (4) ini . Yang terkenal adalah Resolusi Majelis Umum No 2625 tahun 1970 tentang Deklarasi PrinsipPrinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antara Semua Negara sesuai dengan Piagam PBB (Declaration of Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co- Nomor 1 Tahun XXXII 10 Hukum dan Pembangunan operation among States in Accordance with the Charter of the United Nations). Salah satu prinsip dalam deklarasi tersebut sesuai dengan pasal 2 (4) piagam. Prinsip tersebut adalah : Every State has the duty to refrain in its international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations. Such a threat or use of force constitutes a violation of inter national law and the Charter of the United Nations and shall never employed as a means of setting international issues.' Oi samping resolusi Majelis Umum tersebut diatas,maka Mahkamah Internasional (IC) dalam kasus Nicaragua telah memutuskan bahwa: the principles of article 2 (4) were not only treaty law, but the subtance of customary international law as well. 3 Namun pasal 51 piagam mengakui adanya hak bagi suatu negara secara individu atau secara bersama-sama untuk menggunakan hak membela diri apabila negara tersebut menjadi korban dari serangan bersenjata (armed attack) dari negara lain atau tindakan agresi. Pasal 51 piagam PBB menentukan: Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a member of the United Nations ... Pasal 51 ini yang dipakai dasar Amerika Serikat dalam operasinya di Afganistan. Tindakan Amerika Serikat ini mendapat dukungan dari sekutunya,Inggris dan NATO. NATO sebagai organisasi internasional dalam bidang pertahanan bersama, dalam anggaran dasarnya pasal 5 menentukan bahwa serangan pada salah satu anggotanya adalah merupakan serangan juga bagi negara anggota lainnya. Bila kita perhatikan pasal 51 piagam PBB maka unsur yang penting adalah adanya serangan ("armed attack" occurs). Namun dalam penggunaan hak self defense ini harus tetap berpegang pad a ketentuan pasa\ 2 (4) yang menentukan bahwa negara anggota harus menahan diri Anthony Clark Arend & Robert J.Beck, International Law & the use of force, (London and New York: Routledge, 1993) , hal 35 2 J Anthony Clark Arend & Robert 1. Beck , loc cit lanuari - Maret 2002 Peristiwa 11 September 2001 dan Penyerangan Amerika Serikar 11 dalam penggunaan kekerasan terutama dalam penggunaan senjata Ini adalah unsur yang penting dalam menggunakan hak bela diri (self defence) .' Jika kita perhatikan keadaan sekarang dibandingkan dengan keadaan pada waktu piagam dirumuskan maka perumusan adanya konflik telah berubah. Pada saat piagam dirumuskan maka para pembuat piagam PBB berkonsentrasi bahwa tindakan penyerangan adalah dalam arti konvensional , yaitu adanya negara yang mengirimkan tentaranya kenegara lain atau melakukan serangan udara atau serangan lau!. Sebagaimana halnya dalam Perang Dunia II Jerman, Jepang dan !tali melaksanakan invasi ke negara lainnya. Namun bila kit a perhatikan sejak tahun 1945 adanya konflik telah berbeda dengan keadaan pada saat pia gam PBB dibuat. Banyak konflik yang merupakan pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional dalam bentuk konflik sipil (civil conflicts), konflik gabungan (mixed conflict), tindakan untuk perlindungan (covert action) dan tindakan teroris. Maraknya terorisme pada saat ini adalah sebagai contoh suatu persoalan yang tidak diantisipasi oleh pembuat piagam PBB. Dapatkah tindakan terorisme dipertimbangkan sebagai suatu "armed attack", sehingga dapat menimbulkan hak untuk bela diri? Adanya serangan ini memang dialami oleh Amerika serikat. Namun serangan ini berbeda dengan kenyataan yang biasa terjadi, karena serangan ini tidak dilakukan oleh tentara angkatan darat, laut ataupun udara yang dilakukan oleh negara lain. Serangan dilakukan diwilayah Amerika Serikat oleh 19 individu yang be rasa I dari berbagai negara Arab' melakukan pembajakan atas 4 pesawat terbang milik maskapai penerbangan Amerika Serikat. Atas serangan ini Amerika Serikat dibantu oleh Inggris telah melancarkan serangan kepada Afganistan pada tanggal 7 Oktober 200 I dengan didasarkan pada pasal 51 piagam PBB. Menurut pasal 51 maka tindakan bela diri setelah diambil oleh anggota harus segera dilaporkan pad a Dewan Keamanan. Pada th 12 September 200 I Dewan Keamanan secara bulat telah menyetujui Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 tahun 2001 yang isinya bahwa segala tindakan terorisme adalah tindakan mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Meminta kepada semua negara untuk mengadili "Pelaku, organisasi dan sponsor" dari tindakan terorisme. Ditekankan juga bahwa penanggung jawab, 4 Hans Kelsen, The Law of the United Nations, (London: Stevens & Sons Limited, 1951), hal 915 5 Myin Zan , A paradigm shift in international law'!. The Jakarta Post, Saturday 6, 2001 Nomor 1 Tahun XXXli 12 Hukum dan Pembangunan pendukung dan pihak yang menyembunyikan mereka akan diperhitungkan juga dan mengakui hak bela diri secara sendiri atau bersama-sama. 6 Resolusi tersebut mengakui bahwa terorisme sebagai tindakan yang membahayakan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Permasalahannya apa yang dimaksudkan dengan terorisme itu. Noemi Gal-Or' membedakan antara terorisme individual (Individual terrorisme) dan terorisme negara (State terror). Noemi memberikan definisi: Individual terrorism is terrorism committed by private persons, either individually or in organized groups, which aims at terrorizing a specific class or population, a given nation or any human being, for the purpose of striking at an establishment regime, against a certain State or at the idea of the State. The direct victim of individual terrorism, is in most extreme form, is the individual person, but may also be representative objects such as embassy buildings, public monuments, banks, nuclear installations, airline agencies etc. The final target is always the State. Dari definisi di atas jelaslah bahwa tujuan terakhir dari terorisme adalah negara. Dalam kasus II September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon jelas ditujukan pada Amerika Serikat. J ika kita kembali pada Resolusi Dewan Keamanan 1368 th 200 I dan bila ini dihubungkan dengan pasal 51 piagam PBB, maka adanya syarat "armed attack" untuk dapat membela diri diperluas dengan adanya terorisme, perang (war). Sampai saat ini PBB belum pernah menentukan batasan tentang terorisme, namun pada tahun 1985 Majelis Umum pernah mengeluarkan Resolusi (Resolusi No 4061 tahun 1985) yang menyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan dari tindakan-tindakannya, caracaranya, praktek-prakteknya yang dilakukan kapan saja dan dimanapun. Masyarakat internasional telah mengakui bahwa terorisme merupakan tindakan yang harus diberantas dan harus mencegahnya dan tidak Robe rt K.Goldrnan. Certain Question and Issues Raised by the September 11th Attacks, Human Rights Brief, American University. Washington College of Law, Vo l 9, IssueI (Fall 2001), hal 2 7 Noemi Gal-Or, Intemational Cooperation to Suppress Terroism (London & Sydney: Croom Helm, 1985), hal I 6 lanuari - Maret 2002 PeriSliwa 11 Seplember 2001 dan Penyerangan Amerika Serikal 13 membantu ataupun menyetujui secara diam-diam tindakan teroris semacam itu. ' U ntuk dapat mempergunakan hak bela diri seperti yang ditentukan pada pasal 51 piagam menu rut Sumaryo Suryokusumo' perlu mempertimbangkan 4 asas, yaitu asas proporsional, asas masih berlangsung atau tidaknya suatu konflik senjata, asas pembuklian secam hukum dan asas yang mewajibkan untuk melaporkan segem kepada Dewan Keamanan selelah melakukan tindakan itu alas dasar hak bela diri. Yang menjadi pertanyaan adalah : 1. Apakah Amerika Serikat dapat menyatakan perang dan mengadakan tindakan kekerasan terhadap pelaku yang bukan negara (non-state actor)? 2. Dapatkah negara yang diduga menjadi tempat persembunyian Osama dan pengikut-pengikutnya yang dilindungi oleh Taliban dapat dipakai sebagai alasan bagi Amerika SerikatiNA TO menyerang Afganistan sebagai penerapan hak bela diri ? Untuk menjawab pertanyaan I, maka kita lihat dalam sejarah, tahun 1805 Amerika Serikat telah mengirimkan tentaranya ke Tripoli untuk menghancurkan Barbary Pirates. Tahun 1916 Amerika Serikat telah mengirimkan tentaranya ke Mexico untuk menangkap atau membunuh Pancho Villa dan pengikutnya setelah mereka menyerang warga negara Amerika di New Mexico' o Dari sejarah tersebut jelaslah bahwa non state actor yang menyebabkan tindakan kekerasan dapat dipakai alasan oleh Amerika Serikat sebagai alasan untuk memeranginya. Jika kita perhatikan konstitusi Amerika Serikat, maka perang (war) telah mempunyai arti yang khusus yang menyangkut ketentuan yang sangat komplek dalam konstitusi sehubungan dengan pemisahan kekuasaan. Menurut konstitusi federal hanya konggres yang dapat mendeklarasikan perang dan ini belum pernah dilakukan sejak Perang Dunia II. Namun Amerika Serikat tanpa deklarasi tetapi dengan Pernyataan Presiden dan kekuasaan secara tidak langsung telah terlibat dalam konflik bersenjata, misalkan di Korea, Vietnam, Sumaryo Surtokusumo , Serangan Amerika Serikat ke Afganistan hak bela did atau pembalasan, Makalah, FH Pancasila, 2001, hal 4 <) Sumaryo Suryokusumo , Studi Kasus Hukum Organisasi internasional, (Bandung: Alumni. 1997) , hal 115-116 10 Roben K. Goldman, loc cit. H Nomor I Tahun XXXII 14 Hukum dan Pembangunan Kosovo dll. Presiden Bush sebagaimana ayahnya (pada waktu perang Teluk) telah menerima dari konggres suatu dukungan bukan dalam bentuk deklarasi namun suatu resolusi (joint resoiurion) yang memberikan kewenangan pada presiden umuk menggunakan angkatan bersenjata terhadap bangsa , organisasi ataupun perorangan yang telah tersangkut dalam perbuatan penyerangan ataupun pada negara tempat persembunyian organisasi ataupun perorangan tadi. Jadi Amerika Serikat sebagai victim dari agresi dapat mengambil tindakan bela diri berdasarkan pasal 51 piagam PBB. Amerika Serikat berpendapat tidak membedakan antara negara yang melakukan tindakan teroris dan negara yang melindungi teroris. Pertanyaannya adalah apakah Amerika Serikat dalam melaksanakan pasal 51 membenarkan melakukan tindakan kekerasan terhadap negara yang tidak langsung melakukan tindakan serangan II September 200 I dan tidak secara langsung membantu atau memberikan kesempatan pada pihak-pihak tertentu dalam peristiwa ini? Apakah tindakan Amerika Serikat terhadap penyerangan di Afganistan sah, dimana Afganistan dianggap oleh Amerika Serikat bertanggung jawab atas peristiwa 11 september 2001? Hukum Internasional mengakui bahwa tindakan yang bukan dilakukan oleh suatu negara dapat dikatagorikan dalam hal-hal tertentu dikaitkan dengan negara itu sendiri. Amerika Serikat harus memberikan penjelasan bahwa Afganistan bertanggung jawab bersalah tidak mencegah atau melarang tindakan Osama bin Laden dan pengikutnya yang diduga keras berada di Afganistan. Alasan ini menempatkan bahwa kegagalan Taliban untuk mengambil tindakan terhadap Osama dan organisasinya dianggap oleh Amerika Serikat, Taliban yang berkuasa di Afganistan memberikan toleransi/membantunya. II Untuk menjawab pertanyaan kedua, kita harus melihat pada Keputusan Mahkamah Internasional (IeJ) tentang kasus Nicarugua l 2 dimana dalam keputusan IeJ dalam kasus Nicarugua tsb. IeJ menolak alasan Amerika Serikat bahwa Amerika Serikat mempunyai hak untuk menyerang Nicaragua, karena Nicarugua telah memberi perlindungan terhadap pemberontak/teroris) di wilayahnya. Dimana pemberontak tsb telah melawan pemerintah resmi Sandinista. Amerika Serikat berpendapat II Robert K. Goldman, ibid , hal 3 Lihat pada tulisan oleh Patrick M. Norton, The Nicarugua Case: Political Questions Before the International Court of Justice, Virginia Journal of International Law, Volume 27. number 3. Spring 1987 12 lanuari - Maret 2002 Perisriwa 11 Seprember 2001 dan Penyerangan Amerika Serikar 15 bahwa Amerika Serikat berhak melawan Nicaragua berdasarkan hak bela diri secara bersama (collective self-defence), dengan negara-negara Amerika tengah seperti Honduras, karena Nicaragua dianggap telah melatih pemberontak sayap kiri yang melawan Honduras. Jadi berdasarkan keputusan leI Amerika Serikat tidak berhak melawan Nicaragua yang mendasarkan hak bela diri secara kolektif. Kembali pada kasus penyerangan Amerika Serikat di Afganistan yang didasarkan alasan bahwa Taliban sebagai pemerintah yang berkuasa di Afganisitan pada saat itu telah melindungi dan melatih teroris di wilayahnya dan serangan itu dilakukan dengan kekuatan militer penuh adalah tidak dibenarkan, lebihlebih dalam serangan itu membawa korban penduduk sipil yang tak berdosa. Dalam hal ini perlu dipertanyakan apakah tindakan PBB terhadap Taliban? Bila kita lihat pada piagam PBB pasal 39 menentukan : The security Council shall determine the existence of any threat to the peace, or act of aggression and shall be taken in accordance with articles 41 and 42, to maintain to restore international peace and securty. Jadi berdasarkan pasal 39 piagam PBB Dewan Keamanan PBB diberi wewenang untuk menyatakan bahwa ada suatu keadaan yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Pasal 41 memberikan kewenangan pada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan yang tidak berupa tindakan kekerasan untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan itu dapat berupa tindakan pemutusan hubungan ekonomi, pemutusan hubungan melalui laut, udara atau darat, post, radio atau alat komunikasi lainnya dan juga hubungan diplomatik. Pasal 42 piagam menentukan jika tindakan pasal 41 itu tidak memberikan hasil, maka berdasarkan pasal 42 Dewan Keamanan dapat memutuskan untuk mengambil tindakan pengiriman tentara darat, laut dan udara terhadap negara yang telah melakukan tindakan pelanggaran perdamaian dan keamanan. Namun Dewan Keamanan dalam masalah Taliban tidak mengambil tindakan berdasarkan pasal-pasal di atas. Dewan Keamanan dalam hal ini hanya mengeluarkan Resolusi No 1368 tahun 200 I yang menentukan bahwa suatu tindakan terorisme adalah suatu tindakan yang melanggar perdamaian dan kemanan internasional. Sebenarnya pad a saat ada serangan terhadap Afganistan, berdasarkan pasal 35 (I) piagam PBB, Afganistan dapat meminta pada Dewan Keamanan untuk menetapkan apakah ada keadaan yang Nomor ] Tahun XXXI] 16 Hukum dan Pembangunan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Namun pada saat ini terdapat kesulitan pemerintah mana yang dapat mewakili Afganistan, apakah Taliban atau apakah Koalisi Utara ? Kalau Afganistan ada kesulitan untuk mengajukan masalahnya berdasarkan pasal 35 (I) ke Dewan Keamanan ataupun ke Majelis Umum maka negara tetangga/lain yang merasa terganggu adanya serangan/keadaan di Afganistan dapat mengajukan permasalahannya di Dewan Keamanan ataupun di Majelis Umum. Namun sebagaimana diketahui hanya Pakistan yang mungkin mengajukan masalah tersebut pad a Majelis Umum PBB karena Pakistan mengakui regim Taliban. Agaknya Pakistan tidak mempergunakan haknya berdasarkan pasal 35 (I). Jika seandainya ada negara yang mengusulkan ke Dewan Keamanan berdasarkan pasal 35 (I ). usul tersebut pasti diveto oleh negara sekutu Amerika Serikat di Dewan Keamanan misalkan Perancis. Walaupun seandainya sengketa tersebut diselesaikan berdasarkan Bab VI dan berdasarkan pasal 52 (3), negara yang dalam sengketa disini Amerika Serikat dan Inggris harus abstain (pasal 27 (3) piagam PBB). Kalau Afganistan mengalami kesukaran untuk melakukan tindakan di PBB, maka berdasarkan pasal 99 piagam maka Sekretaris Jendral PBB dapat meminta perhatian pada Dewan Keamanan akan adanya keadaan yang melanggar perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan pasal 99 piagam inilah Sekjen PBB sebenarnya dapat memainkan peranan politiknya. III Permasalahannya apakah tindakan teror terhadap WTC dan Pentagon dapat dikatagorikan sebagai perang? Jika tindakan tersebut dikatagorikan sebagai perang , maka tindakan tersebut adalah merupakan tindakan pelanggaran serius terhadap hukum perang dan hukum kebiasaan internasional. Hukum internasional humaniter melarang serangan terhadap penduduk sipil dan serangan terhadap object sipil. Dalam hukum lnternasional Humaniter maka ada larangan untuk menyerang penduduk sipil demikian objeks-objek sipil. Dalam Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949, yaitu Protokol 1977, Protokoll dan II yang melarang dalam sengketa bersenjata melakukan tindakan atau perlawanan terhadap penduduk Sipil. Komplek gedung WTC adalah objek sipil yang digunakan oleh penduduk sipil untuk kepentingan dan ditinggali oleh penduduk sipil. Jadi Januari - Maret 2002 Peristiwa ]] September 200] dan Penyerangan Amerika Serikat 17 menu rut hukum internasional humaniter maka gedung ini adalah kebal untuk dijadikan serangan pada saat adanya kontlik bersenjata.Ditubruknya gedung tersebut oleh pesawat yang dibajak ·adalah adanya kesengajaan untuk membunuh atau melukai penduduk sipil yang tidak berdosa yang berada digedung tersebut. Tindakan tersebut adalah merupakan tindakan teroris yang ditujukan untuk menteror dan menyerang moral penduduk sipil. Mengingat ribuan orang yang meninggal ' dan luka-Iuka serta menimbulkan rasa takut yang mendalam bagi penduduk sipil maka tindakan tersebut dapat dikatagorikan sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Penyerangan terhadap Pentagon, Pentagon merupakan objek militer, dalam hukum internasional humaniter dapat dikatagorikan sebagai objek militer dan secara hukum perang adalah sah untuk dijadikan target sasaran pada saat ada konflik bersenjata. Dalam kenyataannya Pentagon diserang oleh pembajak pesawat udara sipil. Masalah perbuatan melanggar hukum terhadap penerbangan sudah ada konvensi yang mengatur yaitu konvensi Tokyo 1963 (Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board of Aircraft), mengatur tentang siapa yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindakan melanggar hukum didalam pesawat terbang. Disamping itu ada konvensi Den Haag 1970 (Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft). Berdasarkan pasal 1 (I) dan pasal 3 (I) Konvensi Tokyo 1963 maka Amerika Serikat mempunyai kewenangan untuk menindak si pelaku dan berdasarkan pasal 2 Konvensi Den Haag maka Amerika Serikat berhak untuk menjatuhkan hukuman terhadap sipelaku. Namun dalam peristiwa tersebut si pelaku telah meninggal. J ika penyerangan Amerika terhadap Afganistan dianggap sebagai perang antar negara maka berdasarkan pasal 2 konvensi Jenewa 1949, maka terikat pada hukum ten tang adanya kontlik bersenjata menurut hukum internasional humaniter, konvensi Jenewa 1949 dan kebiasaan internasional dan hukum perang sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag 1989 dan 1907. Konvensi IV konvensi Jenewa 1949 memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil khususnya Konvensi Jenewa IV th 1949. Konvensi Jenewa IV bag ian II memberikan perlindungan pada penduduk Sipil dari bahaya yang timbul karena operasi militer. Sedangkan Nomor] Tahun XXXII 18 Hukum dan Pembangunan bag ian III Konvensi Jenewa IV menetapkan perlindungan penduduk sipil terhadap tindakan sewenang-wenang dari musuh yang menguasai.13 Prinsip yang menjadi dasar perlindungan penduduk sipi[ ditetapkan pada pasal 27 Konvensi Jenewa IV. Pasal 27 menetapkan empat prinsip dasar Konvensi Jenewa. Keempat prinsip tersebut adalah (I) penghormatan atas pribadi, martabat, hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, adat-istiadat serta kebiasaan penduduk sipil. (2) perlindungan terhadap wan ita terhadap serangan atas kehormatannya, khususnya terhadap pemerkosaan, pelacuran yang dipaksakan atau pelanggaran kesusilaan. (3) perlakuan yang berperikemanusiaan setiap saat. (4) perlindungan terhadap kekerasan atau ancaman kekerasan, penghinaan dan mempertontonkannya 14 • Pasal 27 tersebut diatur lebih [anjut dalam pasal 31 sid pasal 34. Pasal 3 [ larangan tindakan kekerasan physic atau moral. Pasal 32 larangan menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan penderitaan jasmaniah atau pemusnahan. Pasal 33 larangan penghukuman atas pelanggaran yang tidak dilakukan oleh terhukum sendiri atau menghukum secara kolektif, larangan adanya pembalasan Pasal 34 larangan penyanderaan. Disamping perlindungan terhadap penduduk sipil maka serangan terhadap objek-objek sipil juga tidak boleh dijadikan sasaran penyerangan, misalkan sekolah, rumah sakit, penghunian penduduk sipil. Disamping perlindungan kepada penduduk sipil berdasarkan Konvensi IV Konvensi Jenewa 1949, maka Konvensi III, yaitu konvensi tenrang Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention Relative To The Prisoner of War (POW)) juga akan diperlakukan. Pasal 4 Konvensi III ini mengatur siapa-siapa yang berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. Menurut pasal 4 Konvensi III ini, menetapkan siapa-siapa yang dalam sengketa bersenjata bila jatuh ketangan pihak lawan berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. Mereka itu adalah: 1. Anggota angkatan perang dari satu pihak, anggota milisi atau barisan sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang. 2. Anggota milisi lainnya serta anggota-anggota dari barisan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang terorganiser yang harus memenuhi syarat : 13 F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil, Dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum lnternasiollal, (Yogyakarta: Penerbi! Andi Offsel, 1992), hal 63 14 F. Sugeng Istanto, ibid hal 65. Henri Coursier, Course of Five Lessons on the Geneva conventions, Internat ional Committee of The Red Cross, Geneva 1963, hal 85-86. Januari - Maret 2002 Peristiwa 11 September 2001 dan Penyerangan Amerika Serikat 19 a. b. c. d. 3. 4. 5. 6. dipimpin seorang pemimpin yang bertanggung jawab, mempunyai tanda pengenal tetap yang dapat dikenal dari jauh, membawa senjata secara terang-terangan, melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang. Orang-orang sipil yang menyertai angkatan perang tanpa sebenarnya menjadi anggota angkatan perang dan para sukarelawan. Anggota Angkatan perang tetap yang tunduk pada suatu pemerintahan atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan. Anggota awak kapal niaga termasuk nahkoda, pandu laut dan taruna serta awak kapal dari penerbangan sipil dari pihak-pihak yang bersengketa, yang tidak mendapat perlakuan lebih baik dari ketentuanketentuan lain dalam hukum internasional. Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat dengan kemauan send iri dan serentak mengangkat senjata untuk melawan musuh, tanpa mempunyai waktu untuk mengorganiser diri dalam bentuk kesatuan-kesatuan yang teratur, asal mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang. Jadi mereka adalah orang-orang yang bila jatuh ketangan musuh berhak mendapat status tawanan perang (Prisoner of War-POW). Sebagai tawanan perang maka tawanan mempunyai hak sebagai tawanan. Mereka adalah tawanan negara musuh dan bukan tawanan orang-orang atau kesatuan militer yang menawannya. Ini berarti bahwa lepas dari tanggung jawab perorangan yang mungkin ada, yang akhirnya yang bertanggungjawab atas perlakuan mereka adalah Negara Penahan (pasal 12 Konvensi 1Il)15 tawanan perang hanya dapat dipindahkan oleh negara penahan ke suatu negara yang menjadi anggota konvensi, dan setelah ada kepastian bahwa negara itu berkehendak dan sanggup melaksanakan ketentuan dalam konvensi. Berdasarkan pasa! 13 Konvensi III maka tawanan perang tersebut harus mendapat perlakuan yang berperikemanusiaan. Pasa! 14 Konvensi III menentukan bahwa tawanan perang pribadinya harus tetap dihormati. Pasal 15 Konvensi III berhak mendapat pelayanan kesehatan Pasal 17 Konvensi III dalam hal tawanan perang dinterogasi, maka ia hanya berhak menyebutkan nama, pangkat 15 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi·Konvensi Palang Merah tahun 1949, (Bandung : Binacipta, 1979), ha l 58 Namar 1 Tahun XXXII 20 Hukum dan Pembangunan dan nomor induk kemiliteran, tanggal lahir, ini diperlukan untuk membuat kartu identifikasi. Pasal ini juga menentukan bahwa tidak boleh ada tekanan mental maupun jasmani untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh pihak penahan. Pasal 19 Konvensi III menentukan bahwa tawanan perang segera setelah ditangkap dapat dievakuasi ketempat yang jauh dari daerah permusuhan untuk keselamatannya. Pasal 20 evakuasi akan diperlakukan bagi tawanan perang secara manusiawi. Permasalahannya dalam kaitan dengan penyerangan Amerika Serikat ke Afganistan itu apakah dapat dikatagorikan sebagai Konflik bersenjata. Bila diakui bahwa penyerangan tersebut sebagai konflik bersenjata, maka Konvensi Jenewa 1949 akan berlaku. Amerika harus menaati isi konvensi. Baik perlakuan terhadap penduduk sipil maupun terhadap tawanan. Amerika Sri kat menurut Robert K Goldman 16 in treating bin Laden and members of his oganization as a paramilitary force which engages in the illegal use of force ... Jadi Amerika Serikat menganggap bahwa konvensi Jenewa 1949 tidak diterapkan dalam rangka penyerangan Amerika Serikat di Afganistan. Perdebatan apakah Konvensi Jenewa 1949 ikan diterapkan dalam rangka tawanan Taliban dan Al Qaeda yang dipindahkan ke Guantanamo (Pangkalan Perang Amerika Serikat di Kuba yang disewa dari Kuba), telah menjadi perdebatan antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Colin Powell dan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Colin Powell telah meminta kepada Presiden untuk menegaskan bahwa Undang-Undang Perang Internasional merupakan patokan tindakan Amerika Serikat, ini berarti perang Afganistan oleh Amerika Serikat di tetapkan sebagai perang, oleh karenanya konvensi Jenewa dapat dipakai sebagai acuan dalam penanganan tawanan di Guantanamo. Sedangkan presiden Bush dan wapresnya Dick Cheney mengatakan bahwa tawanan tersebut merupakan "orang-orang yang benarbenar jahat", sehingga tidak masuk dalam katagori sebagai Tawanan Perang dalam definisi Konvensi Jenewa. Menurut Konvensi III Konvensi Jenewa 1949 sebagaimana telah disebutkan di atas maka Tawanan Perang boleh cuma menyebut nama, tanggal lahir, pangkat, nomor induk kemiliterannya. Sedangkan menurut Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald H. Rumsfeld mil iter ingin memperoleh keterangan lebih 16 Robert K. Goldman, op cit hal 4 Januari - Maret 2002 Peristiwa 11 September 2001 dan Penyerangan Amerika Serikat 21 mendalam sehingga diperoleh keterangan yang dapat dipergunakan untuk mencegah terorisme di masa mendatang. 17 Dalam pengadilan warga negara Amerika Serikat yang menjadi anggota AI-Qaeda yang tengah diadili di Amerika Serikat,maka salah satu tuduhan yang dikemukakan oleh kejaksaan Amerika Serikat adalah sebagai illegal combatant''. Jadi anggota AI-Qaeda warga negara Amerka Serikat itu diadili di Amerika Serikat dan menu rut hukum Amerika Serikat. Akankah tawanan di Guantanamo akan diadili menu rut Hukum Amerika Serikat, mengingat bahwa Guantanamo merupakan wilayah dibawah yurisdiksi Amerika Serikat ? IV Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Amerika Serikat telah memakai pasal 51 piagam PBB sebagai dasar serangan ke Afganistan. Ini berarti bahwa persyaratan yang ditentukan pada pasal 51 Piagam PBB adanya "armed attack" telah diperluas dengan pengertian "terorisme" yang dilakukan oleh individu (non state actor). Jadi pasal 51 Piagam telah diinterpretasikan dengan beberapa pengertian "Armed Attack", War, Terorism dan Self Defence ". Penyerangan Amerika Serikat ke Afganistan dalam rangka memburu orang yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian II September 2001 dan diyakini berada di Afganistan. Amerika Serikat tidak mau penyerangan ke Afganistan itu dinyatakan sebagai perang, Amerika Serikat berpendapat bahwa serangannya ke Afganistan adalah sebagai tindakan self defense, memburu orang yang telah melakukan teror. PBB sehubungan dengan terorisme itu pernah mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan No 1368 tahun 2001 bahwa terorisme merupakan tindakan yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Bila terorisme itu telah menganggu perdamaian dan keamanan internasional, maka berdasarkan pasal 39 piagam PBB memberikan kewenangan pada pihak Dewan Keamanan untuk menyatakan adanya ancaman terhadap perdamaian dan keamanan, sehingga Dewan 11 Baca Kompas, Senin, 18 lanuari 2002, hal 2. Bush dan Powell Beda 50al Status Tawanan Guantanamo. 18 Illegal Combatant menu rut istilah Robert K. Goldman disebut sebagai unpriviledge combatant, op cit hal 3 Nomor 1 Tahun XXXII 22 Hukum dan Pembangunan Keamanan dapat mengambil tindakan berdasarka pasal 41 yaitu mengambil tindakan dengan kekuatan militer, pasal 42 memberi kewenangan Dewan Keamanan dapat mengirim pasukan udara,darat dan laut untuk melawan negara yang melakukan agresi. Dalam kasus di Afganistan ini Dewan Keamanan tidak mengambil tindakan berdasarkan pasal 39, 41 dan 42 piagam PBB. Apakah tindakan Amerika Serikat merupakan tindakan pembalasan (reprisal)? Menurut Akehurst'sl9 maka self defence does not include a right of armed reprisal, .... It is not entitled to retaliate by attacking the other state. Jadi Amerika Serikat dalam mempergunakan hak self defence berdasarkan pasal 5 I tidak dapat mengadakan pembalasan dengan mempergunakan penyerangan terhadap lain negara. Namun penyerangan Amerika Serikat terhadap negara lain sehubungan dengan tindakan terorisme ini juga pernah dilakukan pad a pemboman yang dilakukan oleh Amerika Serikat ke Libya pada bulan April 1986 sebagai reaksi terhadap serangan teroris Libya yang menyerang tentara Amerika Serikat di Berlin Barat. Apakah tindakan Amerika Serikat terhadap Afganistan dapat dikatagorikan sebagai " perang"? Amerika Serikat menganggap bukan sebagai perang, sehingga Amerika Serikat berpendapat tidak mempunyai kewajiban untuk menerapkan Konvensi jenewa 1949. Amerika Serikat tidak mau memperlakukan tawanan perang sebagai Tawanan Perang menu rut Konvensi Jenewa 1949. Alasan yang dapat dipakai oleh Amerika Serikat mungkin berdasarkan kenyataan bahwa Taliban tidak diakui sebagai pemerintah yang sah di Afganistan, oleh karenannya tentaranya bukan tentara dari pihak yang berperang sebagaimana ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949. Bila kita ingat bahwa Konvensi Jenewa 1949 adalah merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional, dimana hukum kebiasaan internasional mengikat masyarakat internasional. Seandainya Afganistan belum menjadi pihak dalam Konvensi Jenewa 1949, maka norma-norma yang ada dalam Konvensi tersebut sebagai hukum kebiasaan internasional , maka Amerika Serikat dan Afganistan mempunyai kewajiban untuk menaatinya. Amerika Serikat kenyataannya telah mengadili warga negaranya yang menjadi anggota AI-Qaeda dalam pengadilan Amerika Serikat 19 Peter MaJanczuk. AkehurJt's Modern InJroduclion To International Law, Seventh Edition (London, New York: Routledge, 1997), hal 316 lanuari - Maret 2002 Peristiwa 11 September 200] dan Penyerangan Amerika Serikat 23 menurut hukum Amerika Serikat dan salah satu tuduhannya adalah illegal combatant. Permasalahan apakah Konvensi J enewa akan diterapkan dalam rangka serangan Amerika Serikat ke Afganistan menjadi penting dalam rangka perlakuan terhadap tawanan Taliban-AI Qaeda yang telah dipindahkan ke Guantanamo , pangkalan militer Amerika Serikat di Kuba. Amerika berpendapat mereka adalah merupakan orang jahat yang tidak termasuk dalam pengertian tawanan perang Konvensi Jenewa 1949. Menurut penulis maka dalam mengadili tawanan yang saat ini ada di Guantanamo dibentuk pengadilan pidana internasional ad-hoc seperti "the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia"(ICTY) dan "the International Criminal Tribunal for Rwanda(ICTR). Daftar Pustaka Anthony Clark Arend & Robert J. Beck, International Law & The use of Force, London and New York: Routledge, 1993. Hans Kelsen, The Law of the United Nations, London: Steven & Sons Limited, 1951. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bandung:Binacipta, 1979. Noemi Gal-Or , International Cooperation To Suppress Terrorism, London & Sydney, Croom Helm,1985. Peter Malanczuk, Akerhurst's Modern Introduction To International Law, Seventh Edition, London, New York; Routledge, 1997. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, 1992. Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Intemasiollal, Bandung, Alumni, 1997. Nomor 1 Tahun XXXI! 24 Hukum dan Pembangunan Artikel Sumaryo Suryokusumo, Serangan Amerika Serikat ke Afganistan Hak Bela Diri atau Pembalasan ? Makalah, F.H. Pancasila, 2001 Sophian Martabaya, Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia, Hukum Dan Pembangunan, Juli-September 2001. Robert K.Goldman, Certain Question and Issues Raised by the September 11 , Human Rights Brief, American University, Washington College of Law, Vol 9 Issue I, Fall 2001. Patrick M. Norton, The Nicaragua Case: Political Question Before the International Court of Justice, Virginia Journal of International Law, Volume 27 number 3, Spring, 1987. Myin Zan, A Paradigm Shift in International Law ?, The Jakarta Post, Saturday 6, 2001 Kompas Sen in, 18 J anuari 2001. Januari - Maret 2002