Pendayagunaan Lahan untuk Produksi Tanaman Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Karena itu, bahan pangan harus tersedia cukup dan terbeli oleh masyarakat yang paling rendah pendapatannya sekalipun. B ahan pangan yang tersedia sebaiknya bermutu tinggi, menyehatkan, bebas dari bahan yang membahayakan kesehatan, nyaman, dan enak dikonsumsi. Namun, persyaratan tersebut bersifat dinamis, sesuai dengan tingkat sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Harga bahan pangan dapat saja bertambah mahal karena mutunya meningkat, namun dianggap wajar, jika daya beli masyarakat juga meningkat. Jumlah suatu jenis bahan pangan dapat saja berkurang, dan hal ini pun dianggap wajar jika masyarakat sudah terbiasa mengkonsumsi berbagai jenis bahan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut, maka lahan sebagai salah satu sumber produksi utama harus tersedia cukup, dengan mutu yang optimal dan berkelanjutan. Lahan bukaan baru mungkin saja sifatnya optimal bagi produksi tanaman pangan. Namun dalam proses produksi ditambahkan berbagai bahan seperti air, pupuk dan obat. Selain itu, tanah dari lahan tersebut dicangkul dan dibajak, bahkan untuk padi sawah dilumpurkan. Secara alami tanah juga mengalami pencucian dan penguapan beberapa senyawa dari unsur haranya dan perombakan bahan organik yang dikandungnya, sehingga setelah waktu yang cukup lama, beberapa sifat tanah berubah. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut dan tingkatannya bervariasi antarlokasi karena sejarah penggunaannya berbeda. Perubahan tersebut dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk, atau mungkin kecil, sedang, agak besar, dan sangat besar. Perubahan tersebut dapat dilihat dari tanggapan tanaman atau dari analisis sifat-sifat tanah bersangkutan. Yang harus dicegah adalah perubahan ke arah yang buruk, terlebih bila perubahan tersebut sangat besar. Yang diinginkan adalah perubahan yang makin baik dan cukup besar. Dalam makalah ini penulis akan mengemukakan pendayagunaan lahan agar lahan tersebut menjadi semakin baik secara berkesinambungan. Pembaca yang arif akan dapat menalar pendayagunaan lahan yang menurunkan mutu lahan. Langkah-Langkah dalam Penggunaan Lahan Langkah Pertama: Kenali Sifat Lahan dan Tanah Sifat lahan meliputi topografi, letak dari muka laut, iklim/cuaca, keadaan vegetasi, dan penggunaan lahan. Sifat tanah meliputi sifat kimia, fisika, dan biologi. Analisis sifat biologi umumnya jarang dilakukan. Selain mudah berubah, sifat biologi seringkali diinterpretasikan dari sifat kimia dan fisika tanah. Analisis dilakukan pada beberapa kedalaman atau lapisan tanah. Pedoman/metode untuk melakukan analisis tanah dan menginterpretasikannya banyak sekali ditulis oleh para ahli ilmu tanah, termasuk di tanah air kita. Untuk keperluan produksi tanaman pangan diperlukan analisis yang relatif sangat rinci, misalnya dengan skala 1 : 10.000 atau 1 : 5.000. Kalau variasi di lapangan sangat besar maka kadang-kadang diperlukan analisis yang lebih detail, misalnya 1 : 1.000. Untuk memudahkan dalam menetapkan pendayagunaan lahan, hasil analisis dituangkan dalam peta disertai lampiran keterangan hasil analisis. Langkah Kedua: Menetapkan Kesesuaian Lahan Berdasarkan peta dan lampirannya, dilakukan penetapan kesesuaian tanaman dalam penggunaan lahan tersebut. Tanah yang sifatnya baik biasanya sesuai untuk berbagai macam keperluan. Namun dari berbagai jenis tanah yang ada di Indonesia, tidak ada lahan yang sempurna untuk tanaman pangan, sehingga dipilih lahan dengan sifat yang tidak sesuai paling sedikit dan paling mudah diperbaiki. Mengingat kecukupan bahan pangan merupakan hak asasi manusia, maka prioritas pertama dalam mengalokasikan lahan adalah untuk tanaman pangan dengan tingkat kesesuaian yang paling tinggi. Oleh karena itu, sangat ironis kalau lahan yang sangat sesuai untuk tanaman pangan digunakan untuk perumahan, pabrik, pertokoan, atau lapangan golf. Langkah Ketiga: Perbaiki SifatSifat yang Kurang Sesuai Kegiatan ini biasanya disebut ameliorasi, jika jumlah bahan yang diperlukan relatif banyak dan hasilnya bermanfaat dalam beberapa kali proses produksi. Ameliorasi dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat kimia dan kadang-kadang juga sifat-sifat fisika serta sekaligus sifat-sifat biologi tanah. Bahan ameliorasi yang biasa dipakai adalah kapur, fosfat alami, belerang, zeolit, bahan organik, dan tanah. Pemakaian bahan organik atau tanah sebagai bahan ameliorasi sering terlupakan. Selain itu, dilakukan perbaikan bentuk permukaan atau relief lahan sesuai dengan keperluan tanaman pangan yang akan diproduksi, misalnya pembuatan galengan untuk padi sawah, atau pembuatan sengked untuk tanaman pangan lahan kering di kawasan berlereng. Biasanya ameliorasi dilakukan setelah penataan relief lahan selesai. Ameliorasi memerlukan masa inkubasi beberapa minggu. 1 Pemupukan dilakukan setelah ameliorasi. Pupuk diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman serta sifat kimia, fisika, dan biologi tanah setelah ameliorasi. Seringkali analisis tanah setelah ameliorasi tidak dilakukan. Namun bagi seorang pemula, sebaiknya analisis tanah sesudah ameliorasi dilakukan untuk menentukan upaya pemupukan. Akan sangat baik jika pemupukan dilakukan tidak hanya terhadap unsur-unsur makro, namun juga terhadap unsur-unsur mikro. Pemupukan unsur mikro ini seringkali luput dari perhatian. Langkah Keempat: Lakukan Analisis Tanah Secara Berkala Setiap 3-7 Tahun Analisis sebaiknya dilakukan terhadap semua sifat kimia, fisika, dan biologi tanah. Namun bagi seseorang yang berpengalaman dapat memilih beberapa sifat yang penting yang diduga mengalami perubahan. Perubahan ini sebaiknya dideteksi sedini mungkin. Seringkali perubahan belum dapat terlihat dari respons tanaman sehingga kadangkala terlambat dalam penanggulangannya dan mahal. Mungkin pada tanaman belum nampak gejalanya, tetapi sudah berdampak negatif terhadap manusia yang mengkonsumsi hasilnya. Tergantung sifat yang berubah maka dapat dilakukan ameliorasi atau penyesuaian macam dan takaran pemupukan. Dapat pula dilakukan perbaikan drainase atau pengairan. Beberapa Hal yang Sering Terabaikan Pengelolaan Air Air adalah bahan yang sangat bermanfaat, tetapi air dapat menjadi unsur perusak bila pengelolaannya tidak benar. Khusus bagi Indonesia yang beriklim moonson di daerah tropis kepulauan, hujan seringkali turun dalam jumlah yang 2 sangat besar dalam waktu yang relatif singkat, sehingga melampaui daya serap tanah. Air yang berlebihan akan mengalir di permukaan tanah, menimbulkan erosi di bagian hulu dan menimbun endapan di bagian hilir, selanjutnya menimbulkan banjir yang merupakan malapetaka di musim hujan. Sebaliknya di musim kemarau tidak tersedia cukup air bagi tanaman bahkan bagi manusia dan ternak. Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah selain terjadi banjir dan kekeringan, terjadi pula penumpukan panen di musim hujan, paceklik di musim kemarau, dan fluktuasi harga hasil tanaman pangan yang selalu merugikan petani. Oleh karena itu, air yang berlebihan di musim hujan harus ditampung dalam kolam atau embung, atau dimasukkan ke dalam tanah melalui sumur resapan atau rorak penyerapan air. Dengan demikian tidak akan terjadi erosi dan banjir serta tersedia air bagi tanaman di musim kemarau. Air di musim kemarau diambil dari kolam, embung, sungai, danau, atau air tanah. Air juga sangat penting untuk memperoleh tanaman dengan produktivitas dan mutu hasil yang tinggi. Dengan tersedianya air di musim kemarau, maka fluktuasi produksi dan harga hasil tanaman pangan dapat dikurangi sehingga lebih menguntungkan bagi petani. Dengan produktivitas dan mutu hasil yang tinggi, maka daya saing produk pertanian terutama tanaman pangan juga lebih kuat. Penggunaan Bahan Organik Perombakan bahan organik di tropis jauh lebih cepat daripada di subtropis. Oleh karena itu, kandungan bahan organik tanah di tropis umumnya rendah. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kandungan C-organik tanah sawah di Indonesia banyak yang kurang dari 0,5%. Kandungan C-organik tanah yang dianggap baik adalah lebih dari 1%. Tanah dianggap ideal bila kandungan C-organiknya 2,54%. Makin berat tekstur tanah, ma- kin tinggi kandungan bahan organik yang dikehendaki. Tanah yang kandungan bahan organiknya cukup sangat efisien dalam pemupukan, pengairan, dan pengelolaan. Selain itu, mutu hasilnya juga sangat baik sehingga daya saing hasil tanaman yang diproduksi pada tanah ini juga tinggi. Luas Lahan Garapan Petani yang menggarap lahan yang relatif sempit seperti di Jawa umumnya sangat tidak efisien dalam sistem usaha taninya, terlebih bila ia memproduksi tanaman yang harganya tidak tinggi. Agar efisien, petani sebaiknya menggarap lahan yang lebih luas. Luas lahan yang optimal sangat tergantung pada jenis tanaman serta harga masukan dan keluarannya. Untuk menggarap lahan yang relatif luas tentu diperlukan bantuan alat dan mesin pertanian. Diharapkan dengan menggarap lahan yang lebih luas, pendapatan petani akan besar. Dengan pendapatan yang relatif besar, petani akan dapat menerapkan teknologi lebih baik, termasuk untuk keperluan ameliorasi, pemupukan, pengelolaan air, dan penggunaan bahan organik yang memadai. Lebih jauh, petani demikian akan sangat layak mendapat kredit. Bahkan dalam jangka panjang, petani akan berubah statusnya dari peminjam (debitor) menjadi penabung (kreditor). Agar pendapatan petani di Jawa memadai, maka petani perlu diberi ‘kebebasan’ mengusahakan tanaman yang paling menguntungkan di daerahnya masing-masing. Penguasaan Lahan Kepastian atas penguasaan lahan merupakan salah satu unsur penting bagi petani dalam mengelola lahan. Masyarakat cenderung masih menghendaki hak milik daripada bentuk lain dalam penguasaan lahan. Hal ini karena kurang dipahaminya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang agraria, selain karena pengalaman selama ini di mana penegakan hukum sangat lemah. Persepsi masyarakat adalah bahwa selain hak milik, penguasaan atas lahan tidak terjamin masa penguasaannya yang cukup lama. Oleh karena itu penyuluhan tentang UU Nomor 5 Tahun 1960 ini harus diintensifkan. Memperluas lahan garapan dengan hak milik di Jawa sudah sangat sulit, namun dengan hak lain seperti hak guna usaha (HGU), hak pakai (HP) dan lain-lain secara terbatas masih memungkinkan. Mungkin lahan yang tidak ditanami sudah dikuasai oleh orang lain. Jika lahan ini tidak ditanami oleh penguasanya, alangkah baiknya jika digarap oleh petani yang sangat membutuhkan lahan dengan sistem bagi hasil atau sewa. Di luar Jawa, perluasan lahan garapan dengan HGU atau HP dan hak-hak lain sangat dimungkinkan. Jika petani harus menambah lahan garapan dengan hak milik, maka ia harus menyediakan dana yang sangat besar untuk membeli lahan dengan luasan yang memadai, misalnya 5 atau 10 ha. Selain itu diperlukan dana untuk modal kerja. Jika demikian sangat sulit bagi petani untuk memperluas lahan garapannya. Selain itu lahan dengan hak milik terkena hukum waris, yang berakibat penguasaan lahan bagi generasi berikutnya juga akan sempit atau dengan kata lain mereka akan miskin kembali. Oleh karena itu, petani sebaiknya menggunakan hak lain seperti HGU atau HP. Dengan demikian petani dapat menguasai lahan dan tidak terkena hukum waris. Setelah petani berhasil, dapat dikenakan fee terhadap haknya atas lahan. Fee dari petani ini merupakan pendapatan asli daerah. Selama ini banyak tanah negara yang tidak dimanfaatkan dan tidak menghasilkan pendapatan bagi pemerintah (daerah?). Dengan penguasaan lahan garapan yang lebih luas, meskipun harus menanam padi (yang harganya tidak tinggi), pendapatan petani akan besar dari jumlah produksi yang banyak. Pendapatan yang relatif besar akan mengkondisikan petani mampu menyekolahkan anak-anaknya dengan baik yang merupakan warisan paling berharga, atau membentuk modal usaha yang dapat diwariskan (A.S. Karama). Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Jln. Ir. H. Juanda 98 Bogor 16123 Telepon : (0251) 323012 Faksimile : (0251) 311256 E-mail : [email protected]. net.id 3