BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Tanaman Pegagan Gambar 2.1 Tanaman Pegagan (sumber: Dalimartha, 2005) 2.1.1 Klasifikasi pegagan Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta Division : Magnoliaphyta Class : Magnoliopsida- Dicotiledon Subclass : Rosidae Ordo : Apiales Family : Apiaceae Genus : Centella L Species : Centella asiatica Pegagan (Centella asiatica) adalah tanaman herbal yang sangat kaya bahan bioaktif yang mempunyai banyak aktivitas untuk membantu proses persembuhan luka dan menunjukkan aktivitas yang berbeda pada masing-masing fase dalam proses persembuhan luka (Zheng dan Qin, 2007). Pegagan mengandung triterpenoid saponin seperti: asiaticoside, thankuniside, isothankuside, madecassoside, brahmoside, brahmic acid, madasiatic acid, hydrocotyline, mesoinositol, centellose, carotenoids, garam mineral (seperti garam kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan besi), zat pahit vellarine, dan zat samak. Pegagan juga mengandung minyak esensial, flavonoid, polisakarida, asam amino, tannin, dan klorofil (Zheng dan Qin, 2007). Tanaman pegagan (dimana hal ini sering disalah artikan dengan kola nut, yang memiliki kandungan kafein tinggi) namun tanaman ini sering dipergunakan untuk meningkatkan energi dan vitalitas. Alasan dari tindakan tersebut mungkin disebabkan kegunaannya yang dapat membantu peningkatan kandungan gula darah, dimana hal tersebut dapat mencegah hipoglikemia, cedera mental, depresi, kegelisahan maupun kecendrungan sakit jiwa atau dapat juga disebabkan oleh tingginya konsentrasi tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2) dan pyridoxine (vitamin B6) yang membantu untuk mengubah karbohidrat menjadi glukosa maupun fungsi normal sistem saraf (Dalimartha, 2005). Daun pegagan secara tradisional juga digunakan untuk anti infeksi, antitoksik, antirematik, hemostatis (penghenti perdarahan), peluruh kencing (diuretik ringan), pembersih darah, memperbanyak pengeluaran empedu, pereda demam (antipiretik), penenang (sedatif), mempercepat penyembuhan luka, dan melebarkan pembuluh darah tepi (vasodilator perifer). Di Afrika, tanaman ini dipergunakan untuk pengobatan leprosi, dimana kandungan asiaticoside melarutkan lapisan lilin dari bakteri leprosi – mengizinkan sistem imun untuk menghancurkan bakteri), bronchitis, asma dan siphilis. Pegagan juga merupakan tumbuhan obat yang berkhasiat meremajakan seperti memperkuat fungsi saraf guna meningkatkan konsentrasi dan daya ingat Selain itu, tanaman ini juga berkhasiat untuk menghancurkan akumulasi bahan toksik di otak maupun saraf, bersamaan dengan membersihkan tubuh dari logam berat dan obat. Secara tradisional, pegagan sangat dikenal sebagai obat penyembuh luka yang sangat ampuh tetapi belum diketahui bagaimana mekanismenya (Zheng dan Qin, 2007). 2.1.2 Habitat pegagan Di alam liar, tanaman ini sering ditemukan di tempat lembap yang banyak mendapat cahaya seperti tebing, parit di sisi jalan, dan lapangan rumput yang lembap. Sewaktu-waktu, pegagan lebih menyukai area yang telah hancur, dimana tanah berpasir tersebut telah diperkaya oleh berbagai bahan organik. Karena spesies ini umum ditemukan pada kayu pinus datar, dimana daerah ini merupakan habitat menstabilisasi api, dapat dipastikan tanaman ini dapat pulih dengan cepat setelah peristiwa kebakaran (Dalimartha, 2005). - Cahaya : Tanaman ini sangat menyukai cahaya matahari. - Kelembapan : Tanaman ini akan tumbuh di daerah yang tergenang air, daunnya akan mengambang di permukaan seperti teratai, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik dimana akarnya basah sedangkan daunnya kering. Sulit ditemukan saat musim kemarau namun tidak pada musim hujan. - Pembiakan : Tanaman ini menyebar dengan memproduksi tanaman baru di sepanjang tanah bagian atas. Anakan tersebut akan terpisah dari inangnya setelah terdapat akar. Pembiakan yang lebih mudah menggunakan cara menanam bijinya pada lahan yang basah. 2.1.3 Komponen kimia pegagan Komponen kimia utama pegagan adalah asiatic acid yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga komponen, yaitu asiaticoside yang dapat membantu persembuhan luka, antilepra dan untuk tuberkulosis, brahmoside dan brahminoside yang sering digunakan sebagai diuretika dan penenang, dan madecassoside yang dikenal sebagai anti inflamasi kuat dan mencegah terjadinya keloid. Pegagan juga mengandung volatil oil dengan p-cymol, b-caryophyllene dan farnesene, flavonoid, tannin, fitosterol, asam amino, gula, vitamin K, magnesium, kalsium serta sodium. Pada penelitian terbaru, telah ditemukan keberadaan mesoinositol, oligosakarida baru, centellose, kaempferol, quercetin dan stigmasterol ( Zheng dan Qin, 2007). 2.1.4 Sifat dan khasiat Herbal rasanya manis, sifatnya sejuk, berkhasiat tonik, antiinfeksi, antitoksik, anti rematik, penghenti pendarahan (hemostatis), peluruh kencing (diuretic ringan), pembersih darah, memperbanyak pengeluaran empedu, pereda deman (antipiretik), penenang (sedatif), mempercepat penyembuhan luka dan melebarkan pembuluh darah tepi (vasodilator perifer). Khasiat sedative terjadi melalui mekanisme klinergik di susunan saraf pusat (Zheng dan Qin, 2007). 2.2 Struktur Lambung 2.2.1 Lambung Menurut Bringman et al. (1995); Gartner dan Hiatt (2001), lambung adalah bagian dari saluran yang dapat berdilatasi, berstruktur seperti kantung yang berfungsi mencairkan makanan dilanjutkan dengan proses pencernaan yang dibantu oleh asam hidroklorat (HCl) dan enzimenzim seperti pepsin, renin, lipase dan hormon parakrin. Lambung terdiri atas empat lapisan yaitu lapisan peritonial yang merupakan lapisan berotot, lapisan submukosa, lapisan mukosa dan membran mukosa (Astuti, 2008). Bolus makanan melewati gastroesophageal junction menuju lambung kemudian dicampur dengan gastric juice yang terdiri atas mukus, air, HCl dan enzimenzim pencernaan (Puspitasari, 2008). 2.2.2 Histologi lambung Brown dan Hardisty (1990) serta Frappier (1998) menyatakan mukosa lambung depan (lambung nonkelenjar) berbentuk epitel pipih banyak lapis yang tertutupi oleh lapis keratin. Ketebalan lapisan keratin bervariasi tergantung pada spesies, umur, diet dan derajat perluasan lambung. Batas antara lambung nonkelenjar dan lambung kelenjar dapat terlihat pada peralihan bentuk epitel pipih banyak lapis ke bentuk epitel silindris sebaris. Menurut Beveleander et al. (1988); Bringman et al. (1995); Gartner dan Hiatt (2001), secara umum, histologi lambung dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa dan serosa. Tunika mukosa pada pembagian lain terdiri dari 2 bagian yaitu bagian foveolar superfisial dan bagian kelenjar, yang lebih dalam. Bagian foveolar secara keseluruhan relatif seragam, meliputi sel-sel epitel permukaan yang juga melapisi lubang-lubang yang menuju ke dalam lekukan berbentuk corong yang disebut sumuran gaster. Sel-sel epitel permukaan merupakan epitel kolumner simpleks non goblet mensekresi lendir dan bersama-sama membentuk selubung sekretorik.Pada epitel bagian pilorus melanjutkan diri ke epitel kolumner simpleks duodenum. Bagian kelenjar yang lebih dalam menunjukkan perbedaan besardalam hal ketebalan dan dan kelenjar penyusun pada bagian lambung yang berbeda (Rizkiani, 2009). 2.2.3 Fisiologi lambung Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu, fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein, sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel yang mensekresi mukus, mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar tubular yang penting yaitu kelenjar oksintik (gastrik) dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak pada bagian corpus dan fundus lambung, meliputi 80% bagian proksimal lambung. Kelenjar pilorik terletak pada bagian antral lambung. Kelenjar oksintik bertanggung jawab membentuk asam dengan mensekresikan mukus, asam hidroklorida (HCl), faktor intrinsik dan pepsinogen. Kelenjar pilorik berfungsi mensekresikan mukus untuk melindungi mukosa pilorus, juga beberapa pepsinogen, renin, lipase lambung dan hormon gastrin (Guyton dan Hall 1997). Fungsi motorik lambung terdiri atas (1) penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, (2) pencampuran makanan dengan sekresi lambung hingga membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus (chyme) dan (3) pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan lambat pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan Lester 1994; Guyton dan Hall 1997). 2.2.4 Proses masuknya obat ke lambung Adapun proses masuknya obat ke dalam tubuh sampai ke lambung adalah diawali dengan proses absorpsi disaluran pencernaan. Absorpsi yaitu proses penyerapan obat di dinding usus. Namun, secara teknik yang lebih penting adalah biovailibilitasnya. Untuk obat yang diberikan secara oral, biovailibilitasnya mungkin kurang dari 100%, karena banyaknya obat yang diabsorpsi tidak sempurna dan eliminasi lintas pertama. Hal lain karena pengaruh kecepatan larut partikel obat (dissolution rate?), yaitu semakin halus partikel obat semakin cepat larut sehingga absorpsi semakin cepat, serta kemampuan obat menembus lapisan lipid belayed usus (Wulansari, 2009). Metabolisme yaitu proses perubahan struktur kimia obat ynag terjadi dalam tubuh, terutama di membrane reticulum endoplasma dan sitosol hati. Pada proses ini obat diubah menjadi lebih polar agar mudah larut dalam ar dan dapat diekskresikan melalui ginjal. Sealin itu obat juga menjadi inaktif dan akhirnya kerja obat habis. Fase metabolism obat dibedakan menjadi dua yaitu: Reaksi fase 1 yang terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisi, pada fase ini obat menjadi lebih polar. Reaksi fase II yang merupakan raksi konyugasi dari hasil reaksi fase I (substrat endogen) dengan hasil yang sangat polar dan selalu inaktif (Wulansari. 2009). 2.3 Tikus putih Menurut Sulaksono et al. (1986), hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai percobaan penelitian dan kedokteran. Menurut Subahagio et al. (1997), hewan percobaan harus memenuhi persyaratan genetik atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengolahan, serta memperlihatkan reaksi biologis sesuai yang dikehendaki. Tikus merupakan mamalia yang umum digunakan sebagai hewan percobaan. Tikus putih (Rattus sp.) merupakan hewan laboratorium yang memiliki kekhususan karena pertumbuhannya relatif cepat dan lebih mudah berkembang biak (Smith dan Mankoewidjojo 1988). Tikus putih banyak digunakan dalam penelitian tentang tingkah laku, senilitas, neoplasia, daya kerja obat, toksikologi, metabolisme lemak, alkoholisme, hepatitis, hipertensi, teratologi, diabetes insipidus dan penyakit menular (Malole et al. 1989). Tikus putih atau rat (Rattus sp.) memiliki sifat-sifat yang mudah dipelihara, mudah berkembang biak dan morfologi organ tubuhnya analog dengan organ manusia. Oleh karena itu, tikus putih sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan kepada manusia. Tikus putih juga memiliki sifat mudah dipelihara dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk penelitian (Malole et al.1989). Robinson (1979) mengklasifikasikan tikus putih sebagai hewan percobaan dalam taksonomi sebaga berikut : Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia sub ordo : Myomorpha super family : Muroidea famili : Muridae sub famili : Murinae genus : Rattus spesies : Rattus sp. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-Dawley dengan ciriciri albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya. Galur Wistar mempunyai ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek, sedangkan galur Long Evans berukuran lebih kecil dari tikus putih, memiliki warna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan (Malole ,1989).