Dilema Rangkap Jabatan Komisaris Pada BUMN

advertisement
Dilema Rangkap Jabatan Komisaris Pada BUMN∗
Oleh Bin Nahadi
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
Polemik rangkap jabatan kembali bergulir sejak Darmin Nasution, Dirjen Pajak Departemen
Keuangan mengundurkan dari sebagai Komisaris Utama PT Bursa Efek Indonesia. Ibarat bola salju, isu ini
terus menggelinding dengan menyusulnya beberapa pejabat teras di Departemen Keuangan yang
mengundurkan diri sebagai komisaris di BUMN. Bukan tidak mungkin, akan makin banyak pejabat-pejabat
teras dari departemen lain yang akan mengikutinya.
Bola salju rangkap jabatan ini dapat berdampak luas pada perubahan budaya kerja hingga
menyentuh isu tata kelola BUMN yang sehat pada tahapan berikutnya. Hal ini logis, mengingat jabatan
tambahan yang menjadi cerita awal polemik ini adalah jabatan sebagai komisaris BUMN. Ketika isu ini
terkelola ke arah yang benar, maka hal ini akan dapat memberikan isu pengelolaan BUMN yang semakin
sehat, akuntabel, dan profesional.
Pihak yang saat ini sedang berjaga dari tsunami pengunduran diri para pejabat adalah BUMN dan
otoritas pembinanya yaitu Kementerian Negara BUMN. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika seluruh
pejabat yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN mengundurkan diri. Komisaris di 139 BUMN
dan anak-anak dan cucu-cucu BUMN, mayoritas ditempati oleh para pejabat publik aktif yang “dicomot”
hampir dari seluruh kementerian/lembaga, departemen, universitas, Pemda, dan pejabat publik lainnya,
termasuk dari internal Kementerian Negara BUMN. Dari catatan penulis, jika rata-rata di setiap BUMN
terdapat 4 orang, minimal saat ini terdapat 560 komisaris. Ini belum termasuk pada anak-anak dan cucucucu perusahaan BUMN yang jumlah mencapai hingga ratusan perusahaan.
Artificial Organ
Akar masalah rangkap jabatan komisaris di BUMN bermula dari persepsi publik (dan pejabat publik)
yang salah terhadap fungsi dan kedudukan komisaris. Menurut UU PT, tugas komisaris adalah mengawasi
kebijakan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi. Fungsi
pengawasan dan pemberian nasihat sering dilekatkan dengan tugas yang tidak menuntut, berbeda dengan
Direksi yang bertanggung jawab penuh terhadap jalannya roda korporasi.
Dibanding dua organ perusahaan yang lain yaitu RUPS dan Direksi, Komisaris sering ditempatkan
tidak lebih hanya sebagai artificial organ yang menempati posisi pelengkap. Para pengambil kebijakan
menganggap keberadaan komisaris tidak lebih dari sekedar menggugurkan kewajiban memenuhi
ketentuan UU PT. Fungsi pengawasan yang menjadi tugas utama komisaris pun tidak sepenuhnya dapat
dijalankan. Anggaran Dasar BUMN yang antara lain mengatur tugas komisaris kadang hanya menetapkan
bahwa rapat komisaris dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 bulan, sekali dalam 6 bulan atau
bahkan sekali dalam setahun. Parahnya, tidak jarang anggota komisaris yang mangkir dari rapat karena
waktu yang berbenturan dengan tugas utamanya.
Rangkap jabatan dari sudut pandang korporasi minimal memberikan dua dampak buruk dalam
kaitannya dengan tata kelola perusahaan. Pertama, adalah dalam hal profesionalisme dan efektifitas dan
∗
Republika, Rabu, 25 Juni 2008
kedua adalah aspek independensi dan obyektifitas. Terkait dengan aspek profesionalisme dan efektifitas,
berbeda dengan mekanisme pemilihan direksi yang sudah on the right track, dimana direksi dipilih melalui
berbagai tahapan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test), Komisaris BUMN tidak dipilih melalui
mekanisme sejenis. Komisaris BUMN dalam prakteknya seringkali dipilih dengan pertimbangan yang tidak
terukur (unmeasureable), kalau tidak ingin dikatakan lebih karena faktor politis, koneksi personal, kuota
departemen, atau variabel subyektif lainnya. Pemilihan komisaris BUMN lekat dengan istilah “jatah”
instansi. Komisaris BUMN perhubungan, misalnya, menurut tradisi adalah jatahnya pejabat di Departemen
Perhubungan. Demikian juga BUMN di sektor lainnya.
Tidak ada yang salah dengan tradisi ini selama faktor kapasitas/kapabilitas kemampuan dan
efektivitas (keluangan waktu) tetap diperhatikan. Bukan jaminan bahwa pejabat dari departemen terkait
adalah lebih mampu dan apalagi lebih efektif dari sisi waktu di banding SDM dari institusi lain. Kondisi ini
sangat jelas kelihatan khususnya untuk BUMN-BUMN yang belum terbuka (listed company).
Proses pemilihan yang tidak cukup well-governed dan akuntabel ini diperparah dengan fakta bahwa
pejabat-pejabat yang belum teruji kapasitasnya tersebut, ternyata hanya menggunakan “sisa-sisa waktu”
karena harus menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pejabat aktif. Lebih memprihatinkan lagi, terdapat
beberapa pejabat yang merangkap sebagai komisaris pada lebih dari dua BUMN. Memang dalam
tugasnya komisaris dibantu oleh komite-komite. Tetapi, bagaimanapun juga keputusan dan otoritas tetap
berada di tangan dewan komisaris.
Di tengah konsensus bangsa untuk menjadikan BUMN sebagai world class champion, praktekpraktek yang seperti ini sudah semestinya mulai dihilangkan. Harap-harap dapat memberikan pengawasan
dan pembinaan, keberadaan komisaris yang demikian ini justru hanya menjadi beban bagi BUMN.
Kedua, perangkapan jabatan juga memiliki implikasi pada independensi dan obyektifitas komisaris.
Dalam banyak kasus diindikasikan jabatan di dua atau lebih entitas mendorong terjadinya konflik
kepentingan para pemangku jabatan. Mundurnya Darmin Nasution juga dimungkinkan karena posisinya
sebagai Dirjen Pajak sekaligus sebagai komisaris dari salah satu wajib pajak. Dalam beberapa kasus
konflik kepentingan juga mungkin terjadi antara pejabat yang bertindak sebagai wakil pemegang saham
dan sekaligus sebagai komisaris di BUMN.
Solusi
Penempatan komisaris yang mewakili kepentingan saham memang dimungkinkan secara regulasi.
UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur tentang keberadaan komisaris independen, dimana
ini mengindikasikan adanya Komisaris yang berafiliasi dengan pihak pemegang mayoritas saham BUMN.
Dengan mendasarkan pada prinsip right man on the right place, adalah bisa dipahami jika pemerintah
memilih komisaris dari instansi yang terkait dengan bisnis inti BUMN bersangkutan. Masalahnya adalah
menyangkut mekanisme untuk meyakinkan bertemunya faktor kemampuan dan keluangan waktu, di
samping juga aspek profesionalisme dan obyektifitas.
Pilihan jalan keluarnya adalah komisaris tetap dipilih dari instansi pemerintah terkait, untuk
meyakinkan terpenuhinya aspek kapasitas, dengan beberapa syarat tambahan. Syarat pertama, yang
bersangkutan harus mundur dari jabatannya sebagai pejabat/pegawai resmi dari instansi asal selama
masa tugasnya. Syarat kedua, untuk meyakinkan terpenuhinya aspek profesionalisme, mekanisme uji
kepatutan dan kelayakan tetap mutlak untuk dilakukan. Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah bukan
hanya single salary , tapi single duty sekaligus.
Alternatif lain, pemerintah membuka peluang seluas-luasnya bagi masuknya para profesional.
Mekanisme fit and proper test yang ketat adalah mutlak untuk mendapatkan komisaris yang profesional
dan berdedikasi. Untuk meyakinkan kepentingan pemegang saham dapat terwakili dapat dilakukan
berbagai langkah, seperti penandatanganan pakta integritas atau kontrak manajemen antara komisaris
terpilih dengan pemegang saham. Proses evaluasi perlu dilakukan pertemuan secara rutin oleh pemegang
saham. Bagi komisaris dari swasta ini perlu diperlakukan juga prinsip single duty single salary. Kita
berharap bola salju rangkap jabatan ini menjadi awal reformasi pengelolaan BUMN yang lebih transparan,
akuntable, dan profesional. ***
Download