1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah bangsa yang dikenal dengan keramahtamahannya serta
budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini
dikarenakan bangsa Indonesia sejak dahulu sudah menanamkan nilai-nilai
kemanusiaan, seperti membantu orang lain, saling tolong menolong, serta saling
melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk sosial tidak
dapat hidup menyendiri, tetapi senantiasa membutuhkan dan dibutuhkan oleh
orang lain
Namun sekarang ini masyarakat indonesia memperlihatkan kecenderungan
untuk tidak lagi mengutamakan nilai–nilai kemanusian. Hal ini mengakibatkan
mereka cenderung mementingkan dirinya sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan
berkaitan erat dengan interaksi antar manusia. Seperti sudah umum diketahui,
manusia adalah makhluk sosial yang hidup saling berinteraksi dengan sesamanya.
Dengan demikian, nilai-nilai kemanusiaan sebaiknya ditanamkan sejak dini.
Salah satu tahapan kehidupan yang akan dilalui oleh seseorang adalah
masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak merupakan tahap perkembangan yang
penting
untuk
menanamkan
nilai-nilai
kemanusiaan.
Dalam
masa
perkembangannya anak-anak harus belajar berinteraksi dan bersosialisasi dengan
orang lain. Dalam proses tersebut anak dituntut untuk mampu menyesuaikan diri,
menyelaraskan kepentingan dirinya dengan kepentingan orang lain dan
1
Universitas Kristen Maranatha
2
mempelajari berbagai keterampilan sosial sehingga dapat hidup berdampingan
dengan orang lain secara harmonis.
Dalam berelasi sosial dapat tercermin bagaimana sikap anak terhadap
orang lain, pengalaman sosial, serta seberapa besar kepedulian anak terhadap
kepentingan orang lain. Dalam proses sosialisasi, anak mempelajari cara
berinteraksi dengan orang lain. Anak juga belajar bagaimana berperilaku agar
dapat diterima dalam pergaulan, secara tidak langsung anak harus mau
memperhatikan kepentingan orang lain disamping kepentingan dirinya pribadi.
Melalui proses belajar secara tidak langsung tersebut, anak diharapkan dapat
bersosialisasi
dan tumbuh sebagai individu yang memiliki kepekaan serta
kepedulian terhadap situasi dan permasalahan yang dihadapinya sehari-hari.
Nilai–nilai sosial yang ditanamkan seperti keinginan untuk saling
menolong, membantu, serta berbagi dengan sesamanya dapat menumbuhkan
motif prososial pada anak. Motif prososial adalah dorongan dari dalam diri untuk
menampilkan tingkah laku menolong dan berbagi serta bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa mengharapkan imbalan dari luar
(Eisenberg, 1982).
Konsep dari motif prososial berakar dari doktrin religi (Eisenberg, 1982).
Dimana semua agama mengajarkan pemeluknya mengenai nilai-nilai yang
bercirikan prososial. Salah satu agama yang diakui di negara kita adalah agama
Kristen Protestan. Didalam agama Kristen Protestan, individu diajarkan untuk
mengasihi orang lain sebagaimana mengasihi dirinya sendiri. Pengajaran ini dapat
ditemukan dalam berbagai peristiwa bercirikan motif prososial yang dikisahkan
Universitas Kristen Maranatha
3
dalam kitab suci agama Kristen Protestan. Salah satu kisah yang diceritakan
adalah cerita mengenai orang Samaria yang berbelas kasihan membalut orang
asing yang terluka, mengantarnya ke penginapan dan menanggung biaya
penginapannya.
Kristen Protestan tidak hanya memberikan pendidikan keagamaan kepada
orang dewasa saja namun juga memiliki satu wadah pelayanan yang khusus
diperuntukkan bagi anak-anak. Wadah tersebut adalah melalui Sekolah minggu.
Seperti yang diketahui peneliti melalui proses wawancara yang dilakukan, sekolah
minggu gereja ”X” memiliki tujuan memelihara dan mengembangkan aspek
pendidikan sekaligus aspek ibadah pada anak serta wadah sosialisasi anak di luar
lingkungan keluarga dan sekolah. Selain itu, Sekolah X memiliki beberapa
keunikan dan keunggulan dibanding dengan sekolah minggu lainnya.
Aktivitas pada sekolah minggu Gereja X lebih dititik beratkan pada
pendalaman Alkitab dan aplikasinya pada lingkungan sosial anak. Pendalaman
dan pembahasan Alkitab tersebut tidak disampaikan secara monoton dan searah
dari guru sekolah minggu kemurid, akan tetapi pendalaman Alkitab tersebut
disampaikan secara interaktif dimana anak sekolah minggu diberikan kesempatan
untuk bertanya menjawab pertanyaan bahkan mengemukakan pendapat terkait
dengan pembahasaan Alkitab.
Dalam mengaplikasikan pengajaran dan pendalaman Alkitab, Gereja X
sering mengadakan kegiatan-kegiatan tertentu dengan tujuan memupuk rasa
persaudaraan, dan sekaligus mengajarkan kepada anak sekolah minggu bagaimana
bersosialisasi dengan sesama bagaimana saling menolong satu sama lain yang
Universitas Kristen Maranatha
4
disesuaikan dengan pengajaran Alkitab. Gereja “X” biasanya melakukan hal ini
dengan cara mengadakan perlombaan ataupun pertandingan antar kelompok anak
sekolah minggu yang dimana anggota kelompok tersebut telah ditentukan
sebelumnya. Dari kegiatan pertandingan atau perlombaan tersebut, Gereja
berharap dapat mengajarkan cara berkerjasama, saling tolong-menolong, dan cara
menghadapi masalah masalah lainnya di dalam bersosialisasi, dan yang paling
penting bagaimana anak sekolah minggu saling bantu membantu serta perhatian
terhadap temannya dengan berdasar pada pengajaran-pengajaran yang bersumber
dari Alkitab.
Selain aktivitas tersebut diatas, pendekatan terhadap orang tua anak
sekolah minggu juga dilakukan oleh Gereja “X” dengan memberikan bimbingan
khusus dan wadah berkomunikasi antara orang tua murid dengan guru sekolah
minggu sehingga dalam wadah tersebut kedua belah pihak dapat bertukar pikiran
berkaitan dengan proses pengajaran dan pengembangan anak. Dari hal ini, Gereja
juga mengharapkan adanya kesatuan pengajaran sehingga apa yang didapatkan di
lingkungan Gereja juga didapatkan dalam lingkungan rumah atau keluarga.
Melihat hal-hal tersebut diatas sekolah minggu pada Gereja “X” mempunyai nilai
yang khas dibandingkan gereja gereja lainnya.
Sekolah minggu gereja “X” dalam tahap belajarnya dibagi dalam dua sesi.
Sesi yang pertama adalah sharing dan pujian (menyanyikan lagu). Pada sesi ini
guru sekolah minggu akan menanyakan kabar anak-anak sekolah minggunya
selama satu minggu, guru juga akan mengajak anak-anak untuk mendoakan
teman-teman yang sakit, berbagi pengalaman dengan anak-anak lainnya dan
Universitas Kristen Maranatha
5
bagaimana pengalaman mereka saat membantu orang tua mereka. Guru sekolah
minggu juga akan memimpin anak-anak dalam bernyanyi beberapa lagu pujian
yang diiringi oleh alat musik. Pada sesi yang pertama secara tidak langsung anak
mulai diajarkan bagaimana menumbuhkan rasa empati dari pengalaman mereka
sendiri dan teman-temannya.
Sesi yang kedua adalah pemberitaan firman Tuhan. Pada sesi ini guru
sekolah minggu akan menceritakan kisah serta tokoh-tokoh dalam Alkitab sesuai
dengan materi pada buku panduan, seperti tokoh Yesus yang selalu bertindak
kasih, tolong menolong, membantu, berbagi, saling memaafkan, dan saling
mendoakan. Pada sesi yang kedua ini juga guru ingin menanamkan perilaku yang
bercirikan prososial melalui cerita-cerita dalam alkitab.
Pembelajaran di sekolah minggu gereja “X” juga dibagi dalam kelas
kelompok umur. Kelas balita terdiri dari anak yang berusia 1-6 tahun, kelas anak
kecil terdiri dari anak yang berusia 7-12 tahun, kelas remaja terdiri dari anak yang
berusia 13-15 tahun. Pembagian tersebut dibentuk agar dapat mempermudah anak
menyerap informasi yang diberikan sesuai dengan usia anak. Dalam tahap
perkembangan kognitif, anak yang berusia 7-12 tahun berada pada tahap konkrit
operasional dimana anak sudah mampu memahami sudut pandang orang lain,
berpikir secara logis serta tidak lagi mementingkan dirinya sendiri, serta
kemampuan untuk menempatkan diri (Piaget, 198). Hal ini merupakan salah satu
faktor pendukung terbentuknya tingkah laku prososial. Dalam upaya untuk
memenuhi tugas–tugas perkembangan dapat dilatih melalui interaksi individu
dengan orang lain di sekitarnya. Agar anak dapat diterima di lingkungannya, anak
Universitas Kristen Maranatha
6
harus belajar mengembangkan keterampilan–keterampilan bersosialisasi yang
diantaranya melalui tingkah laku prososial.
Pertemuan di sekolah minggu hanya satu kali dalam seminggu, namun di
sekolah minggu anak selalu diajarkan dan ditekankan mengenai tingkah laku yang
bercirikan
prososial,
seperti
saling
menolong,
membantu
teman
yang
membutuhkan bantuan Dengan waktu pertemuan yang tidak begitu lama, namun
jika pengajaran tersebut ditekankan dan dilakukan secara berulang-ulang akan
mendorong anak untuk menanamkan tingkah laku prososial pada dirinya. Oleh
karena itu, lingkungan sekolah minggu memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam
pembentukan tingkah laku prososial pada anak.
Anak-anak terlihat mulai mengerjakan menggunakan perlengkapan
masing-masing. Melihat situasi 5 orang anak yang tidak membawa perlengkapan,
seorang guru bertanya kepada seluruh anak, siapa yang bersedia untuk
meminjamkan alat tulisnya. Peneliti melihat reaksi berbeda-beda dari tiap anak.
Dari 19 orang anak, 21% anak mengangkat tangan, memberi tanda bahwa mereka
bersedia untuk meminjamkan. Sedangkan 15% anak terlihat menggeleng kepala,
menandakan bahwa mereka tidak bersedia meminjamkan. Setelah aktifitas
berakhir, peneliti berusaha untuk mewawancarai 2 orang anak yang tadi bersedia
untukmeminjamkan perlengkapan mereka. Kedua anak tersebut mengatakan
bahwa “kan kita memang harus nolong teman, Tuhan ngajarin buat menolong”.
“kan kasihan, dia jadi gak bisa ngerjain”
Peneliti juga mewawancarai 3 orang anak yang menolak untuk
meminjamkan. 1 orang anak mengatakan bahwa “sapa suruh dia ngak bawa, kan
Universitas Kristen Maranatha
7
minggu lalu udah dibilangin”. 2 orang anak mengatakan “nanti punya aku rusak
kalo dipinjemin”. Padahal pada usia 7-12 tahun, anak berada pada konkrit
operasional, dimana anak belajar menyesuaikan diri dengan teman–teman sebaya,
mengembangkan hati dan norma, mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai,
dan juga anak belajar mengembangkan sikap dalam kelompok sosial dan intuisi.
Seperti dalam sekolah minggu anak-anak belajar untuk berinteraksi serta peduli
terhadap teman-temannya.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti
pada anak sekolah minggu dan guru di Gereja “X” diperoleh informasi serta
gambaran yang beragam dari perilaku tiap anak. Nampak anak cenderung akan
menolong temannya jika diberi penghargaan atas perilaku menolong yang
dilakukannya, anak juga cenderung menolong jika disuruh oleh orang lain seperti
disuruh oleh orang tua atau gurunya. Dari hasil observasi dan wawancara
diperoleh juga data bahwa terkadang anak tahu situasi tersebut membutuhkan
pertolongan namun tidak ada keinginan anak untuk membantu, sehingga perilaku
yang muncul adalah anak hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa.
Walaupun demikian ada juga anak yang menolong temannya ketika anak
menyadari situasi tersebut membutuhkan pertolongan tanpa disuruh oleh orang
tua maupun guru. Karena menurut mereka, kita sebagai manusia perlu menolong
teman kita yang membutuhkan bantuan karena Tuhan mengajarkan kita untuk
saling tolong menolong.
Adapun beberapa perasaan yang muncul ketika melihat teman yang
membutuhkan pertolongan seperti merasa iba, merasa sedih serta kasihan
Universitas Kristen Maranatha
8
sehingga mendorong anak untuk menolong teman tersebut. Namun ada juga anak
yang merasa biasa saja melihat situasi yang membutuhkan pertolongan. Padahal
pada usia 7-12 tahun, anak berada pada fase kongkrit operasional. Dimana anak
belajar menyesuaikan diri dengan teman–teman sebaya, mengembangkan kata
hati, moral dan nilai-nilai, dan juga anak belajar mengembangkan sikap dalam
kelompok sosial dan intuisi. Seperti dalam sekolah minggu anak-anak belajar
untuk berinteraksi serta peduli terhadap teman-temannya
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai motif prososial pada anak sekolah minggu usia 7–12 tahun di
Gereja ”X” Bandung.
1.2. Identifikasi Masalah
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seberapa kuat motif
prososial anak sekolah minggu usia 7-12 tahun di Gereja ”X” Bandung.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh data serta gambaran
tentang motif prososial pada anak sekolah minggu usia 7-12 tahun di Gereja “X”
Bandung.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Universitas Kristen Maranatha
9
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa kuat motif
prososial pada anak sekolah minggu usia 7-12 tahun di Gereja “X” Bandung.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Ilmiah
 Kegunaan ilmiah dari penelitian ini untuk memberikan informasi tambahan
dalam bidang Psikologi khususnya bidang Psikologi sosial mengenai motif
prososial anak sekolah minggu usia 7-12 tahun di Gereja “X” Bandung.
 Sebagai bahan acuan dan informasi bagi penelitian lebih lanjut mengenai motif
prososial.
1.4.2 Kegunaan Praktis
 Informasi bagi komisi anak di gereja “X” mengenai motif prososial yang
dimiliki anak sekolah minggu. Informasi ini dapat digunakan untuk menyusun
program-program selanjutnya guna mengembangkan motif prosososial.
 Informasi bagi guru sekolah minggu mengenai motif prososial yang dimiliki
oleh anak guna mengembangkan motif prososial tersebut agar anak senantiasa
mampu berperilaku menolong dan membantu sesamanya yang membutuhkan.
1.5. Kerangka Pemikiran
Sekolah minggu merupakan suatu wadah yang dibentuk oleh gereja
khususnya bidang pelayanan yang diperuntukkan
minggu,
kepada anak. Di sekolah
anak diharapkan untuk dapat mengembangkan aspek ibadah dan
Universitas Kristen Maranatha
10
pendidikan. Aspek ibadah disini adalah memberikan pembelajaran kepada anak
mengenai
pengenalan
akan
Tuhan
sejak
mereka
masih
kecil,
serta
mengembangkan hubungan yang baik dengan Tuhan dan sesamanya, seperti
saling tolong-menolong
Dari hasil penelitian Clarke-Stewart and Fein (dalam Live Spand
Defelopment jilid I, Santrock, 1983), dikemukakan bahwa pendidikan pada masa
kanak-kanak umumnya memiliki pengaruh positif pada perkembangan pada anakanak. Anak menjadi lebih kompeten dan dewasa secara sosial dalam arti bisa
menyesuaikan diri dengan keadaan sosial. Salah satu bentuk pendidikan non
formal yang dapat oleh anak yang beragama Kristen adalah melalui sekolah
minggu.
Materi-materi yang diberikan di sekolah minggu menggunakan buku
panduan yang telah disusun berdasarkan jadwal setiap minggu. Hal ini guna
mempermudah guru sekolah minggu untuk mengarahkan apa yang ingin diajarkan
pada setiap pertemuan. Buku panduan tersebut berisi materi-materi mengenai
nilai-nilai krisiani yang berpatokan pada cerita Alkitab.
Dalam tahap perkembangan kognitif menurut Piaget, anak yang berusia
7-12 tahun berada pada tahap konkrit operasional. Dimana pada tahap ini anak
mampu memahami sudut pandang orang lain, berpikir secara logis serta tidak lagi
mementingkan dirinya sendiri. Serta kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut
pandang orang lain. Hal ini merupakan salah satu faktor pendukung terbentuknya
tingkah laku prososial. Dalam upaya untuk memenuhi tugas–tugas perkembangan
dapat dilatih melalui interaksi individu dengan orang lain di sekitarnya. Agar anak
Universitas Kristen Maranatha
11
dapat diterima di
lingkungannya,
anak harus
belajar mengembangkan
keterampilan–keterampilan dalam bersosialisasi di lingkungan yang diantaranya
melalui tingkah laku prososial.
Tingkah laku tertentu akan diarahkan oleh motif tertentu (Atkinson, 1964).
Tingkah laku prososial diarahkan oleh motif prososial. Motif sifatnya potensial
dalam diri individu, artinya setiap individu sudah mempunyai motif. Berdasar
pemahaman tersebut, motif prososial dapat diartikan sebagai motif khusus dan
motif tunggal yang ada dalam diri individu yang mendorong munculnya perilaku
prososial. Motif menolong akan menggerakkan tingkah laku menolong.
Motif prososial adalah keinginan dari dalam diri untuk menampilkan
tingkah laku menolong, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang lain
tanpa mengharapkan imbalan dari luar (Eisenberg, 1982). Motif prososial
tercermin melalui kecenderungan anak untuk menolong, berbuat baik, suka
berbagi, suka memberi, merasa terlibat dan bertanggung jawab terhadap
penderitaan sesama, memperhatikan kesejahteraan orang lain dan menempatkan
kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.
Menurut Kornad 1985, motif prososial terdiri atas dua aspek yaitu aspek
kognisi
dan afeksi (dalam Eisenberg, 1982). Aspek kognisi terdiri dari tiga
elemen, yaitu elemen persepsi terhadap situasi, nilai sosial dan perspektif sosial.
Aspek afeksi terbagi menjadi dua elemen yaitu empati dan afek positif. Interaksi
antara aspek kognisi dan aspek afeksi sangat penting dan berpengaruh terhadap
motif prososial yang mendasari munculnya tingkah laku prososial.
Universitas Kristen Maranatha
12
Elemen-elemen dalam tiap aspek menunjukkan interaksi yang saling
terkait dan saling berhubungan. Elemen pertama dari aspek kognisi adalah
persepsi tentang situasi, yaitu pemaknaan terhadap situasi lingkungan dimana
bantuan dibutuhkan. Persepsi tentang situasi merupakan syarat awal untuk
memunculkan tingkah laku prososial, seperti pemaknaan anak minggu sekolah
terhadap situasi lingkungan dimana bantuan dibutuhkan. Disini anak akan menilai
situasi, apakah situasi tersebut membutuhkan bantuan atau tidak.
Elemen kedua adalah nilai prososial, yaitu nilai pribadi tentang prososial
yang dimiliki atau dianut individu yang merupakan hasil internalisasi nilai dan
norma dalam masyarakat atau kelompok. Dalam hal ini anak akan menentukan
apakah ia perlu membantu atau tidak. Nilai ini juga merupakan keyakinan bagi
individu untuk menentukan tindakan mana yang harus diambil. Dalam hal ini,
persepsi dan nilai sosial memiliki hubungan timbal balik, dimana persepsi akan
mengaktifkan sistem nilai sosial yang dimiliki seseorang dan nilai itu sendiri akan
mengarahkan persepsi. Untuk menentukan tindakan yang tepat dan sesuai dengan
situasi prososial yang dihadapi, maka dibutuhkan pemahaman secara kognitif
yang disebut sebagai perspektif sosial.
Elemen yang ketiga adalah perspektif sosial, yaitu kemampuan anak untuk
menempatkan diri secara kognitif pada orang lain serta kemampuan untuk dapat
memahami situasi dari sudut pandang orang yang membutuhkan bantuan.
Menurut Hoffman (1977), perspektif sosial sangat penting dalam pembentukan
tingkah laku prososial. Perspektif sosial tidak dapat dipisahkan dari empati yang
merupakan elemen dari afeksi. Perspektif sosial akan berkembang sejalan dengan
Universitas Kristen Maranatha
13
kemampuan empati seseorang, karena jika tanpa perasaan dan hanya pemahaman
kognitif saja, tidak akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan
prososial. (Eisenberg, 1982)
Aspek kedua adalah aspek afektif, yang terdiri atas dua elemen, yaitu
empati dan afek positif. Kemampuan empati merupakan kemampuan seseorang
untuk ikut merasakan kebutuhan orang lain. Pada elemen ini, anak sekolah
minggu merasakan apa yang dirasakan oleh teman yang memerlukan bantuan.
Individu seolah-olah merasakan apa
yang dirasakan orang lain yang
membutuhkan bantuan. Menurut Piaget, anak sekolah minggu yang berada pada
usia 7-12 tahun berada pada tahap kongkrit operasional, dimana anak mulai
memahami sudut pandang orang lain (Santrock 2002). Ketika anak mulai dapat
melihat dari sudut pandang orang lain, anak mulai dapat menempatkan diri pada
posisi orang tersebut dan dapat merasakan kebutuhan orang lain. Kemampuan
berempati, akan membantu seseorang berpikir ketika ia berada pada situasi yang
tidak nyaman, tentu saja orang tersebut akan berusaha keluar dari dari situasi
tersebut. Empati yang dimiliki oleh anak sekolah minggu akan menggerakkan
afek positif anak.
Elemen kedua dari aspek afektif adalah afek positif. Afek positif
merupakan bentuk perasaan terharu, iba, sedih atau kasihan yang timbul dalam
diri anak sekolah minggu ketika melihat orang yang sedang membutuhkan
bantuan. Munculnya perasaan ini akan menggerakkan seseorang untuk membantu
orang lain. Perasaan seseorang akan tergerak jika ia dapat menempatkan diri pada
Universitas Kristen Maranatha
14
kesulitan orang lain secara kognitif dan afektif. Sehingga afek positif merupakan
sumber dari motivasi untuk memunculkan perilaku prososial.
Elemen-elemen dari motif prososial ini akan berinteraksi satu sama lain.
Setiap elemen-elemen dalam motif prososial memiliki peran dan keunikan
tersendiri. Interaksi elemen-elemen tersebut akan mempengaruhi kekuatan motif
prososial. Ketika anak sekolah minggu melihat suatu situasi, anak akan
mengamati, memprosesnya secara kognitif lalu memaknakan stimulus tersebut.
Ketika anak sekolah minggu melihat situasi yang membutuhkan bantuan, secara
kognitif anak akan mampu memaknakan kondisi yang dialami orang yang
membutuhkan bantuan, tidak hanya mampu mengolah secara kognitif melainkan
juga secara afektif. Dimana perasaan sedih, iba yang dirasakan oleh orang yang
membutuhkan bantuan dapat dirasakan juga oleh anak sekolah minggu. Perasaan
yang muncul akan menimbulkan rasa tidak nyaman dalam diri anak sekolah
minggu, perasaan tidak nyaman tersebut akan menggerakkan individu untuk
melakukan suatu tindakan.
Lingkungan sekolah minggu merupakan lingkungan yang bercirikan motif
prososial. Setiap minggunya, guru sekolah minggu akan bercerita bagaimana
kisah hidup Yesus serta tokoh-tokoh alkitab lainnya yang penuh kasih serta
dermawan terhadap orang lain. Setiap minggu guru sekolah minggu juga akan
memberikan beberapa ayat alkitab untuk dihafalkan oleh anak-anak, dengan
menghafal ayat alkitab akan mengembangkan aspek kognitif anak. Pembelajaran
di sekolah minggu juga dapat mengembangkan aspek afektif dimana anak sekolah
minggu dapat berbagi cerita dengan teman yang lain, saling mendoakan jika ada
Universitas Kristen Maranatha
15
yang sakit atau ada yang mengalami kesulitan. Berdasarkan pemaparan di atas,
pembelajaran di sekolah minggu secara langsung dan tidak langsung akan
mempengaruhi motif prososial tiap anak.
Motif prososial pada anak sekolah minggu juga dipengaruhi oleh dua
faktor. Faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas usia, jenis
kelamin. Sedangkan yang termasuk dalam faktor eksternal adalah pola asuh dan
lingkungan.
Faktor internal yang pertama adalah usia. Berdasarkan penelitianpenelitian para ahli diperoleh bahwa terdapat hubungan antara usia dengan
beberapa indikator tingkah laku prososial, namun tidak dapat disimpulkan untuk
tingkah laku prososial secara keseluruhan. Ada konsistensi hubungan antara usia
dengan kecenderungan berbagi. Anak-anak pada usia yang lebih besar lebih sering
berbagi dan murah hati dibandingkan anak-anak yang lebih kecil (Staub, 1970,
1971). Anak sekolah minggu berusia 7-12 berada didalam masa akhir kanakkanak, anak sekolah minggu diharapkan untuk lebih dermawan terhadap
temannya.
Faktor internal yang kedua adalah jenis kelamin. Penelitian juga dilakukan
terhadap pengaruh jenis kelamin dalam motif prososial. beberapa penelitian juga
menemukan perbedaan yang signifikan dalam kedermawanan antara anak
perempuan dan anak laki-laki (Harris & Siebel, 1975; Sawin dkk., 1980; Skarin &
Moely, 1976). Dimana anak perempuan lebih dermawan dibanding anak laki-laki.
Anak perempuan lebih sering menggunakan alih perspektif dan simpatiknya. Alih
perspektif ini muncul pada akhir masa kanak-kanak akhir pada anak perempuan
Universitas Kristen Maranatha
16
tetapi tidak pada anak laki-laki (Eisenberg,1987). Hal ini sejalan dengan
penemuan sebelumnya bahwa perempuan memiliki tingkat kesediaan menolong,
sering ber-empati, termasuk pada perhatiannya terhadap hal-hal kemanusian
(Eisenberg,1977).
Faktor eksternal yaitu pola asuh dan lingkungan. Pertama, dalam teoriteori tentang pengasuhan orang tua, Lieke Wisnubrata (1992) mengungkapkan
bahwa
strategi
pengasuhan
orang
tua
mempunyai
pengaruh
untuk
mengembangkan motif prososial. Pola asuh bina kasih (identik dengan
demokratis/autoratif) mempunyai pengaruh untuk mengembangkan motif
prososial. Pola otoriter/authoritarian dan permisif memiliki pengaruh sebagai
penghambat motif prososial. Anak sekolah minggu yang memiliki pola asuh
orang tua yang demokratis diharapkan memiliki motif prososial yang lebih kuat.
Faktor eksternal yang kedua adalah lingkungan. Berdasarkan penelitian
mengenai variabel-variabel lingkungan, dapat dikatakan bahwa lingkungan tempat
individu tinggal dan bersosialisasi merupakan hal penting yang potensial dalam
pembentukan kecenderungan tingkah laku prososial anak. Ketika anak sekolah
minggu berada dilingkungan yang bercirikan prososial, ini akan mendukung anak
memiliki motif prososial yang kuat juga, sebaliknya anak yang berada
dilingkungan yang tidak bercirikan prososial anak cenderung memiliki motif
prososial yang lemah. (Eisenberg,1982). Menurut Sri Pidada, 1988 lingkungan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan motif prososial yang
ditanamkan oleh lingkungan, diinternalisasinoleh individu, sehingga menjadi
bagian dari sistem nilai dan norma pribadi dirinya dan individu dapat menganut
Universitas Kristen Maranatha
17
nilai dan norma pribadi yang berkarakter prososial. Lingkungan sekolah minggu
adalah salah satu lingkungan yang bercirikan prososial.
Motif prososial yang kuat berarti adanya keinginan yang kuat untuk
menampilkan perilaku menolong atau berbagi dengan maksud meningkatkan
kesejahteraan orang lain tanpa mengharapkan imbalan dari luar. Sedangkan motif
prososial yang lemah berarti tidak adanya keinginan kuat untuk menampilkan
perilaku menolong atau berbagi dengan maksud meningkatkan kesejahteraan
orang lain (Eisenberg, 1982).
Motif prososial pada anak sekolah minggu akan dijaring melalui kuisioner
yang berupa gambar. Gambar tersebut berisi situasi-situasi prososial. Kuisioner
gambar tersebut disusun berdasarkan aspek serta elemen-elemen dari motif
prososial, terdapat 10 situasi. Setiap situasi terdapat 4 item pertanyaan yang
mewakili elemen-elemen dari motif prososial. Kuisioner dalam bentuk gambar
disesuaikan dengan usia sampel.
Adapun ciri-ciri anak sekolah minggu yang memiliki motif prososial yang
kuat adalah bersedia membantu orang lain yang mengalami kesulitan dengan
sukarela, mampu berempati dengan keadaan orang lain yang mengalami kesulitan
sehingga anak selalu siap untuk membantu ketika melihat orang lain mengalami
kesulitan. Sedangkan anak sekolah minggu yang memiliki motif prososial yang
lemah adalah yang bersikap tidak peduli dengan keadaan orang lain yang
mengalami kesulitan, tidak mampu berempati dengan keadaan orang yang
mengalami kesulitan sehingga anak tidak tanggap untuk segera menolong orang
yang mengalami kesulitan.
Universitas Kristen Maranatha
18
Bagan 1.1 Kerangka Pikir
Faktor – faktor yang
mempengaruhi:
Internal :
 Usia
 Jenis kelamin
Eksternal:
 Pola Asuh
 Lingkungan
Kuat
Anak sekolah minggu usia 712 Tahun di Gereja “X”
MOTIF PROSOSIAL
Lemah
Aspek Kognitif:
 Persepsi terhadap
situasi
 Nilai prososial
 Perspektif Sosial
Aspek Afektif
 Empati
 Afek positif
Bagan 1.1 Kerangka Pikir
Universitas Kristen Maranatha
19
1.6. Asumsi Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, diturunkan asumsi penelitian sebagai berikut:

Sekolah minggu merupakan lingkungan yang bercirikan prososial, sehingga
dapat menumbuhkan motif prososial pada anak.

Anak sekolah minggu usia 7-12 tahun di Gereja “X” memiliki motif
prososial yang kuat dan lemah.

Motif prososial diukur melalui dua aspek. Aspek yang pertama adalah aspek
kognitif yang terdiri dari persepsi terhadap situasi, nilai sosial dan
persepektif sosial. Aspek yang kedua adalah aspek afektif yang terdiri dari
empati dan afek positif

Faktor-faktor yang mempengaruhi motif prososial anak sekolah minggu
antara lain; usia, jenis kelamin, pola asuh dan lingkungan.
Universitas Kristen Maranatha
Download