EPISTEMOLOGI ZINA DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM Oleh: A.Sarjan ABSTRAK: Secara substansial, tulisan ini memuat tentang larangan zina dan implikasinya dalam hukum keluraga Islam yang meliputi perkawinan dan kewarisan. Larangan zina dalam al-Qur’an ternyata mengalami pergeseran makna. Yang dimaksud adalah perzinaan tidak lagi sembunyi, melainkan secara terbuka terorganisir dan didukung oleh kebijakan. Karena itu perlu dikaji tentang esensi larangan zina, apakah sebatas coitus atau tidak. Masalah ini memerlukan penjelasan dengan pendekatan filosofis. Substantially, this article contains about the prohibition of adultery and its implications in Islamic family law which covers marriage and inheritance. Prohibition of adultery in the Qur'an was experiencing a shift in meaning. The definition of adultery is no longer hidden, but openly organized and supported by policy. Because it needs to be studied about the essence of the prohibition of adultery, whether or not limited to coitus. This problem need explanation of the philosophical approach. Kata kunci: Zina, anak zina, anak sah, anak tidak sah, perkawinan, waris. I. PENDAHULUAN Zina adalah sebuah terma hukum Islam yang menunjukkan pada peristiwa terjadinya hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang tidak didahului dengan akad nikah yang sah. Pada awalnya, terma zina dimaksudkan sebagai perselingkuhan, baik oleh yang belum kawin maupun yang sudah kawin. Zina dalam pengertian ini tidak lebih dari penyaluran syahwat libido di luar norma legal yang ada, sehingga zina dan prostitusi dinilai sebagai penyakit masyarakat. Orang-orang yang sering berbuat zina adalah orang-orang yang tidak sehat jiwanya karena mereka menyimpang dari kebenaran. Kalau ditarik benang merah perzinaan dari tempo dulu hingga sekarang, ternyata ditemukan berbagai pandangan dan sikap terhadapnya. Saat ini peraktek perzinaan bukan lagi hal yang tabu, sehingga tidak harus dilakukan lagi sembunyisembunyi, melainkan dengan terang-terangan bahkan teroganisir. Saat ini sudah banyak orang yang menawarkan diri untuk berhubungan seks secara bertarif. Mereka itu lantas disebut sebagai pekerja seks komersial (PSK). Bahkan, bukan hanya perempuan yang menawarkan dirinya untuk berhubungan seks secara bertarif, namun juga laki-laki yang disebut gigolo kendatipun yang disebutkan disebut terakhir ini tidak sepulgar dengan PSK. 1 2 Perzinaan yang terjadi dalam masyarakat, tidak terkecuali di Indonesia sudah sangat memperihatinkan. Perzinaan semakin merajalela karena didukung oleh teknologi dan kebijakan pemerintah (lokalisasi). Saat ini telah berkembang prostitusi online, terutama di kalangan artis. Begitu juga, kebijakan lokalisasi PSK oleh pemerintah di berbagai negara. Lokalisasi pekerja seks komersial tidak lain adalah pemebenaran perzinaan itu sendiri.Lokalisasi pekerja seks komersial, baik lokal, regional maupun internasional merupakan sebuah dukungan kebijakan menghidari resiko sekaligus dukungan penghasilan dengan berzina. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa PSK menekuni pekerjaannya karena sulitnya lapangan pekerjaan bagi peempuan. Jalan pintas yang ada adalah menjajakan diri secara komersial dan teroganisir, menguntungkan dan aman karena dilindungi oleh pemerintah melalui konsep lokalisasi. Di Indonesia, hampir semua tempat, terutama di kota-kota besar memilki lokalisasi perzinaan. Yang masih melekat dalam ingatan bagi masyarakat Indonesia adalah pembubaran lokalisasi Dolly di Surabaya, dan Kalijodo di jakarta. Kendatipun lokalisasi tersebut sebuah hal yang berkonotasi negatif, namun banyak pihak yang mempertahankan keberadaan lokalisasi pekerja seks komersial karena alasan ekonomi. Di samping dukungan lokalisasi tersebut, banyak juga yang menentangnya karena perbuatan zina terbukti sangat rentan dengan salah satu penyakit HIV/AIDS yang mematikan. Dua alasan ini memunculkan polemik dan perdebatan tentang prostitusi dengan segala bentuknya, baik online maupun lokalisasi. Berdasarkan kesenjangan tersebut berupa larangan keras coitus tanpa akad nikah dalam Islam dengan coitus bertarif saat ini, baik di lokalisasi maupun di media sosial, sebuah pertanyaan dalam artikel ini adalah: bagaimana epistemologi larangan zina jika dikaitkan dengan hukum-hukum keluarga Islam? II. PEMBAHASAN A. Pengertian dan dasar hukum pelarangan zina dalam Islam. Menurut fuqaha, zina adalah sebuah perbuatan hubungan badan yang tidak halal, tidak pada tempatnya. Al-Jarjani mengemukakan: 1 اﻟﻮطء ﻓﻰ ﺣﺎل ﻋﻦ ﻣﻠﻚ و ﺷﺒﮭﺔ: اﻟﺰﻧﺎ 1 115 Ali bin Muhammad al-Jarjani. Kitab al-Ta’rifat, (Singapura-Jeddah: al-Haramain, t.th), h. 3 “ Zina adalah hubungan kelamin (coitus) terhadap bukan milik dan yang serupa dengannya”. Coitus antara seorang lak-laki atau beberapa orang laki-laki dengan seorang atau beberapa perempuan dinyatakan zina jika tidak legal. Legalitas hubungan coitus menurut al-Jarjani adalah akad nikah dan yang serupa dengannya, yaitu milk al-yamin (jariyah). Akad nikah berakibat pada munculnya hak menikmati coitus bagi seorang laki-laki/ suami secara sah dan halal atas seorang perempuan yang telah menjadi isterinya. Islam melarang seorang laki-laki menanam benihnya pada sembarang perempuan yang bukan isterinya. Jika terjadi, maka itulah yang disebut zina. Selain legalitas cuitus dengan akad nikah, dalam Islam ditemukan juga sebab lain yaitu kehambaan seorang perempuan. Dalam hukum Islam, kehambaan seorang perempuan atas seseorang disebut dengan “ “ ﻣﻠﻚ اﻟﯿﻤﯿﻦ. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa seorang perempuan jariyah halal dicampuri oleh tuannya tanpa dengan akad nikah. Ini adalah sebuah kekhususan coitus dalam Islam di masa silam. Muhammad Rawwas Qal’aji mengemukakan pengertian zina menurut Islam sebagai berikut: 2 اﻟﺰﻧﺎ ھﻮ وطء ﻣﻜﻠﻒ ﻣﺨﺘﺎر ﻋﺎﻟﻢ ﺑﺎﻟﺘﺤﺮﯾﻢ ﻓﺮﺟﺎ ﻣﺤﺮﻣﺎ ﺧﺎ ﻟﯿﺎ ﻣﻦ اﻟﻤﻠﻚ وﺷﺒﮭﺘﮫ “ Zina adalah hubungan coitus seorang mukallaf secara sadar, mengetahui keharaman faraj yang dilarang coitus atasnya, tidak atas dasar kepemilikan atau yang serupa dengannya”. Batasan zina yang dikemukakan Muhammad Rawwas Qal’aji senada dengan yang dikemukakan imam al-Jarjani. Kendati demikian ada hal yang cukup signifikan dalam definisi kedua tersebut. Yang dimaksud adalah zina di luar isteri atau jariyah harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan pemahaman bahwa yang disetubuhi itu adalah perempuan bukan isterinya dan bukan juga sahayanya serta dilakukannya secara sadar. Implikasi definisi ini adalah bahwa seorang laki-laki yang dipaksa melakukan hubungan seks dengan seorang perempuan bukan zina. Demikian juga perempuan yang diperkosa tidak lantas dinyatakan telah berzina, karena unsur kesadaran yang penuh tersebut tidak terpenuhi. Penegasan definisi zina yang kedua bahwa unsur-unsur zina adalah pelakunya sadar dan tahu hubungan seks yang dilakukan terlarang oleh Islam, akil balig, dan tidak dipaksa atau terpaksa. B. Sisi-sisi pelanggaran zina menurut Islam Saat ini zina kian marak, baik yang terselubung maupun yang terang-terangan. Satu alasan yang dipastikan oleh yang terlibat dengan zina, baik pekerja seks 2 Muhammad Rawwas Qal’aji, Mausu’at Fiqhu Umar bin al-Khattab, (Cetakan 1, tt: tp, 1981), h. 368 4 komersial (PSK) maupun gigolo adalah memenuhi kebutuhan hidup. Sangat boleh jadi inilah yang mendasari sehinga lahir ide lokalisasi peraktek perzinaan. Dengan lokalisasi, berbuat zina bukan lagi hal yang tabu dan itu artinya prostitusi dilindungi berdasarkan hak asasi manusia. Zina yang terjadi saat ini adalah coitus berbayar dan itu artinya suka sama suka karena telah terjadi transaksi. Berbeda dengan zina yang terjadi di masa lampau, kebanyakan terjadi secara individual, tersembunyi. Kalau pun ada yang berbayar, itu pun terjadi secara gelap, tidak terbuka seperti saat ini. Bagaimana masalah ini sesungguhnya menurut Islam? Ayat-ayat dan hadis banyak menjelaskan tentang zina dalam berbagai sisi pelanggaran. Syariat Islam tak ada merestui sedikit pun pelanggaran coitus (zina). Pelanggaran-pelanggaran dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Pelanggaran moral Dalam surat al-Isra’ (17) ayat 32, Allah Swt. berfirman: وﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮا اﻟﺰﻧﺎ إﻧﮫ ﻛﺎن ﻓﺎﺣﺸﺔ وﺳﺎء ﺳﺒﯿﻼ “ Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu pebuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.3 Firman Allah Swt tersebut sangat melarang perbuatan zina. Menurut firman tersebut, Allah menyatakan bahwa zina adalah sesuatu yang keji, di samping zina itu sebagai jalan hidup yang buruk. Firman Alah Swt. sebenarnya sudah membumi di kalangan masyarakat tradisional yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan budi pekerti. Perempuan-perempuan yang banyak berbuat zina dicemoh dengan panggilan “perempuan jalan”, “pelacur”. Panggilan-panggilan perempuan pezina tersebut sudah tak kedengaran lagi diganti dengan nama pekerja seks komersial yang sangat tidak islami. Di kalangan masyarakat agamis, zina adalah sebuah pelanggaran moral sehingga disebut penyakit masyarakat. 2. Zina sebagai pelanggaran profesi/ pekerjaan Modus zina pada saat ini telah bergeser dari sembunyi-sembunyi menjadi terang-terangan, dari syahwat ke profesi. Perempuan-perempuan banyak menawarkan diri kepada laki-laki untuk mendapat penghasilan. Dalam dunia prostitusi, zina sudah tidak tabu lagi sebagai cara mencari penghasilan dengan cara memasang tarif. Zina bertarif saat ini tidak lagi bersifat individual, melainkan terognisir dengan mucikari/ germo di kalangan PSK kelas bawah atau manajer di kalangan PSK 3 Khadim al-Haramain al-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya ( Madinah al-Munawarah: Mujamma’ al- Malik Fahd 1418 H), h. 429 5 kelas atas. Menjajakan diri dengan tarif adalah pelanggaran profesi dalam Islam. Nabi saw. telah menjelaskan bahwa upah/ mahar pezina adalah salah satu penghasilan haram berdasarkan sabdanya: 4 ھﻦ أﺑﻰ ﻣﺴﻌﻮد ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻧﮭﻰ ﻋﻦ ﺛﻤﻦ اﻟﻜﻠﺐ وﻣﮭﺮ اﻟﺒﻐﻲ وﺧﻠﻮان اﻟﻜﺎھﻦ “ Dari Abi Masud, dari Nabi saw, ia melarang memakan harga anjing, upah pelacur dan upah tukang ramal”. 3. Zina sebagai jarimah (kejahatan) Dalam al-Qur’an, surat An-Nur (23) ayat 3, Allah Swt. telah menetapkan sebuah hukum bagi pezina yang belum kawin, baik laki-laki maupun perempuan yaitu dengan cambuk 100 kali. Sedangkan dalam hadis, Rasulullah saw. telah menetapkan hukum rajam bagi pezina laki-laki maupun perempuan yang sudah kawin. Dengan demikian konsep lokalisasi pekerja seks komersial sama sekali tidak ada jalan bagi hukum Islam untuk mentolerirnya. Melokalisir PSK itu sama artinya membiarkan kejahatan zina terjadi tanpa sanksi. Hukuman perbuatan zina adalah hukuman had, hak Allah dan rasulnya yang harus dipenuhi. Karena itu, dalam hukum Islam, menjatuhkan hukuman had bagi tersangka pezina harus dengan cukup bukti. Bukti-bukti yang diperlukan adalah kesaksian 4 orang saksi yang melihat langsung perbuatan zina tersebut. Di samping itu pengakuan pelaku, meskipun bukti yang satu ini Islam sangat hati-hati menerimanya. Diterangkan, dari Said bin Masayib sesungguhnya Maiz datang melapor kepada Umar bi Khattab bahwa dirinya telah melakukan zina, dan Umar berkata: apakah kamu telah menyampaikan kepada seseorang sebelumku? Maiz berkata: tidak. Umar berkata rahasiakan perbuatan itu dengan rahasia Allah dan betobatlah kepada Allah dan janganlah memberitakannya kepada seseorang.5 Bukti lain yang cukup kuat adalah hamilnya seorang perempuan yang belum menikah, dan lahirnya seorang anak dari seorang perempuan yang telah menikah. Seorang perempuan yang melahirkan kurang dari enam bulan, maka ia diduga kuat telah melakukan perzinaan. Menurut riwayat, pernah seorang perempuan melahirkan dengan masa enam bulan diajukan kepada Umar bin Khattab, kemudian ia hendak merajamnya. Saudara perempuannya pergi ke Ali dan menyampaikan bahwa Umar bin Khattab hendak merajamnya. Ali berkata bahwa saudaranya tersebut yang melahirkan kandungannya pada bulan keenam masih ada alasan (yang perlu dipertimbangkan). Umar bin Khattab mengutus seseorang kepada Ali menanyakan alasan apa yang perlu dipertimbangkan tersebut. Ali berkata: Allah berfirman bahwa sesungguhnya para ibu yang melahirkan hendaklah menyusui anaknya selama dua 4 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, jilid 3, (Cetakan 1, t.t: Dar al-fikr, 1990), h. 130 Lihat Muhammad Rawwas Qal`aji, Op.Cit., h. 371 5 6 tahun (24 bulan).Kemudian Allah Swt berfirman bahwa sesungguhnya perempuan itu mengadung dan menyapih selamaa 30 bulan.6 Secara maematik, masa minimal kehamilan adalah : 30-24=6 bulan. Umar bin Khattab telah paham alasan yang harus dipertimbangakan bagi perempuan yang melahirkan kandungannya pada bulan keenam tersebut. Sekiranya kurang dari enam bulan, maka akan dijatuhkan hukuman rajam atasnya.7 4. Zina sebagai pelanggaran kesehatan Mengambil zina sebagai jalan hidup telah ditegakan oleh Allah Swt sebagai pilihan yang buruk. Telah disebutkan bahwa orang berzina adalah orang yang melakukan berbagai pelanggaran sekaligus, yaitu pelanggaran moral, pelanggaran mencari nafkah, pelanggaran pidana (jarimah hudud) dan pelanggaran hidup bersih dan sehat. Khusus yang disebut terakhir ini adalah akibat zina yang paling ganas karena HIV/AIDS merupakan penyakit mematikan yang belum ditemukan obatnya, bahkan jenis penyakit ini dapat tertularkan kepada pasangan dan orang yang tidak berbuat zina. C. Zina dalam hukum keluarga Islam Salah satu kemaslahatan yang harus dijaga adalah keturunan. Keturunan adalah hubungan kekerabatan berdasarkan hubungan darah yan ditarik dari garis lurus kebawah dan ke atas serta ke samping. Keturunan dapat terjaga jika silsilah seseorang jelas siapa laki-laki dan perempuan menjadi orang tuanya. Dalam Islam, keturunan seseorang sah jika ia dapat dinasabkan kepada lakilaki dan perempuan yang menyebabkannya ia lahir. Dalam Islam dikenal anak sah dan anak tidak sah. Anak sah adalah anak dinasabkan kepada seorang laki-laki sebagai ayahnya dan kepada seorang perempuan sebagai ibunya dengan akad nikah yang sah. Seorang anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan tanpa akad nikah, maka anak tersebut adalah anak tidak sah. Anak tidak sah hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya. Demikian juga anak yang dikandung atau dilahirkan dan disangkal oleh suami yang pada akhirnya terjadilah li’an (saling mengutuk), maka lahirlah anak li’an. Anak li’an hanya dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya. 6 7 Lihat Muhammad Rawwas Qal`aji, Ibid., h. 373 Lihat Muhammad Rawwas Qal’aji, Ibid. 7 Anak yang dinasabkan kepada ibu kehilangan hak nasab pokoknya yaitu nasab kepada ayah sebagai laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Anak yang dinasabkan kepada ibunya, secara normatif adalah anak tidak sah. Anak tidak sah adalah anak yang tidak memmiliki ayah secara hukum, melainkan secara biologis. Hukum Islam hanya mengakui seseorang anak sah jika hubungan hukum yang terjadi antara si ayah dengan si ibu adalah legal, yaitu akad nikah yang sah. Ayat dan hadis menerangkan hal tersebut, di antaranya adalah ayat 233 surat Al-Baqarah (2): . . . وﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮﻟﻮد ﻟﮫ رزﻗﮭﻦ وﻛﺴﻮﺗﮭﻦ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف. . . “ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf . . .”8 Pada ayat tersebut subyek hukum terdiri atas anak yang dilahirkan, orang yang dilahirkan anaknya, yaitu ayah/ suami sah si isteri, dan perempuan yang melahirkan si anak, yaitu ibu/ isteri sah si suami. Dengan perkawinan yang sah/legal menurut syara/, maka di dalamnya timbul hak dan kewajiban secara bertimbal balik, tidak terkecuali hak-hak si anak. Satu kaedah untuk menetapkan keabsahan anak adalah kaedah “firasy”. Firasy adalah kiasan pada perempuan yang telah melakukan coitus dengan seorang laki-laki. Menurut Islam, coitus baru dapat dibenarkan jika telah berakad nikah. Tanpa akad nikah, maka coitus yang terjadi adalah zina karena firasynya (perempuan) tidak sah. Dalam salah Satu hadisnya, Nabi saw bersabda: 9 ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮاش وﻟﻠﻌﺎھﺮ اﻟﺤﺠﺮ:ﻋﻦ أﺑﻰ ھﺮﯾﺮة رﺿﻰ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل “ Anak itu untuk yang empunya tikar, dan bagi pezina hanyalah batu (hukuman rajam bagi pezina yang sudah kawin)”. Dengan kaedah firasy, maka sebuah teori muncul bahwa firasy yang sah menimbulkan nasab yang sah bagi anak. Sebaliknya, firasy yang tidak sah menimbulkan nasab yang tidak sah bagi anak. Dengan teori tersebut semakin jelas bahwa menurut hukum Islam, anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan dari seorang laki-laki yang tidak pernah melakukan akad nikah dengannya (berzina), maka anak itu menjadi anak tidak sah. Perbuatan zina adalah berpotensi melahirkan anak tidak sah, padahal menurut hukum Islam anak yang ideal adalah anak sah. Anak sah memiliki sejumlah hak yang timbul demi hukum, yaitu hak nasab dengan ayahnya, hak mendapatkan nafkah, hak 8 Khadim al-Haramain al-syarifain, Op.Cit., h. 57 Muslim, al-Jami1 al-Sahih, Juz 4, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h.171 9 8 hadanah, hak mendapatkan perwalian dan hak menapatkan warisan dari kedua orang tuanya (ayah dan ibu). Anak tidak Sah (anak zina) tidak mendapat hak sesempurna anak sah. Anak tidak sah hanya mendapatkan hak nasab dari ibunya dan keluarga ibunya, hak keperdataan lainnya, juga dengan ibu dan keluarga ibunya. Hak perwalian untuk menikah bagi anak zina perempuan jatuh pada pemerintah (wali hakim). Menurut hukum Islam, anak tidak sah ada dua macam yaitu anak zina dan anak li`an. Menurut fuqaha klasik, anak zina adalah anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah akad nikah dilangsungkan. Demikian juga seorang anak disebut anak zina jika ibunya dihamili oleh seorang laki-laki. Menurut sayid Sabiq,10 anak zina adalah anak yang dilahirkan tidak dengan perkawinan secara syar`i. Pengertian ini meliputi anak yang lahir tidak dengan perkawinan, yang lebih dikenal dengan anak luar nikah. Dapat juga seorang anak disebut anak zina jika akad nikah orang tuanya dilakukan setelah terjadi pembuahan sebelum nikah, dan pembuahan tersebut sudah tua sehingga anak lair kurang dari enam bulan. Sedangkan anak mula`anah adalah anak yang disangkal nasabnya oleh seorang suami syar’i. Menurut sayid Sabiq, anak zina dan anak mula’anah tidak mewaris kepada ayahnya, melainkan hanya mewaris kepada ibu dan keluarga ibunya. Dengan demikian, anak zina dan anak li`an dapat mewarisi ibu dan kerabat ibunya, begitu juga sbaliknya, anak zina dan anak li`an dapat diwarisi oleh ibu dan kerabat ibunya. Ketentuan hukum seperti tersebut sesuai dengan riwayat yang menyatakan bahwa seorag laki-laki pernah melakukan li`an terhadap anak yang dikandung oleh isterinya, sehingga Rasulullah saw menceraikannya dan nasab anak tersebut bagi isteri.11 Kewarisan anak zina dan anak li’an baru efektif ketika ibu yang melahirkan telah menjalani pemidanaan. Jika perempuan yang melahirkannya berzina dengan status belum kawin, maka ia hanya dikenakan hukum cambuk sebanyak seratus kali. Namun, ketika perempuan yang melahirkannya telah dalam status masih kawin, maka ibunya si anak zina akan dieksekusi mati dengan rajam setelah melahirkan. 10 Sayid Sabiq, Fiqh al-sunnah, Jilid 3, (Cetakan 8, Beirut-Libanon: Dar al-kitab al-`Arabi, 1987), h. 464 9 Seorang anak zina ada dua kemungkinan tentang hubungannya dengan orang tua tunggalnya, ibunya, yaitu dapat bersama-sama hidup atau dipelihara oleh keluarga ibunya yang sudah dieksekusi mati i bunya dengan rajam. Adapun anak li`an mash memiki hak hidup dengan ibunya, kecuali si ibu meninggal karena penyakit atau sebab lain, bukan karena rajam. Suami isteri yang telah melakukan li`an akibat penyangkalan nasab si anak oleh ayahnya hanya berakibat pencabutan hak waris si anak kepada ayahnya. Dengan demikian, kewarisan anak li`an sama dengan anak zina, karena keduanya kehilangan nasab dari suami ibu yang melahirkan.. Menurut sayid Sabiq,12 hukum seperti tersebut telah dianut oleh undang-undang kewarisan Mesir, pasal 47. Hubungan coitus yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan sangat berpotensi terjadinya kehamilan seorang perempuan. Kehamilan seorang perempuan tanpa didahului dengan akad nikah dipastikan telah tejadinya zina. Perempuan hamil karena zina di samping melanggar hukum perkawinan, juga merupakan aib bagi sebagian besar masyarakat, baik dipandang dari sisi hukum agama ataupun menurut adat dan budaya. Sehbungan dengan potensi kehamilan seorang perempuan di luar nikah, maka salah satu masalah yang muncul adalah perkara prkawinan wanita hamil di luar nikah tersebut. Dalam kitabnya, Wahbah al-Zuhaili,13 menerangkan bahwa fukaha telah sepakat tentang bolehnya perempuan hamil dinikahi oleh laki-laki yang mengahamilinya. Jik anak yang lair dari padanya setelah enam bulan sejak akad nikahnya , maka anak itu adalah anak sah. Jika anak tersebut lahir kurang dari enam bulan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang mengawini ibunya tersebut. Adapun perempuan hamil dikawinkan dengan laki-laki yang bukan mengahmilinya, Wahbh al-Zuhaili kembali menerangkan pendapat fuqaha. Menurut Hasan al-Basri, hukum perkawinan wanita hamil adalah tidak sah, karena zina memutus akad nikah.14 Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, perkawinan wanita hamil boleh, hanya saja suami tidak boleh menggaulinya hingga anak yang dikandungnya lahir.15 Menurut imam Abu Yusuf dan Zufar, perkawinan wania hamil karena zina oleh laki-laki lain tidak boleh karena tidak boleh hubungan coitus selama anak perempan hamil belum lahir. Karena itu, perkawinan perempuan hamil tidak boleh, karena akad nikah menghalalkan hubungan coitus sejak terjadinya.16 12 Ibid. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 7, (cetakan ke 3, Damaskus: Dar al-fikr, 1989), h. 148 14 Ibid. 15 Ibid., h. 149 16 Ibid. 13 10 D.Wanita hamil menurut hukum perkawinan nasional Dalam perkawinan wanita hamil di luar nikah, hukum perkawinan nasional telah menjadikannya sebagai hal yang memerlukan kejelasan hukum. Kompilasi hukum Islam telah mengatur perkawinan wanita hamil luar nikah pada Pasal 53. Pada ayat 1 pasal tersebut dinyatakan: “seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”. Pada ayat 2 diyatakan: “perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”. Pada ayat 3 dinyatakan: dengan dilansungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.17 Wanita hamil di luar nikah, oleh hukum perkawinan nasional sama sekali tidak menyatakannya sebagai jarimah/ perbuatan pidana. Pada hal. Dalam hukum fikih klasik berbuat zina yang ditandai dengan hamil seorang perempuan di luar nikah adalah perbuatan yang dijatuhi sanksi pidana. Menurut Islam, pezina belum kawin dihukum cambuk seratus kali, dan bagi pezina yang sudah kawin dihukum rajam hngga meninggal. Dengan demikian zina dalam Islam adalah sangat berat resikonya, bukan hanya mengawinkan pelakunya. Bagi prempuan hamil luar nikah, hukumannya menunggu anak yang dikandungnya sudah lahir. Penyelesaian kasus kehamilan perempuan di luar nikah dengan hanya mengawinkannya dengan laki-laki yang mengahamilinya, bukan oleh laki-laki lain, sudah sesuai dengan kesepakatan pendapat fuqaha. Berhenti sampai di situ, masih menyisakan penerapan syariat Islam secara normatif, yaitu pemidanaan bagi pelakunya, walaupu pembuktiannya ekstra hati-hati. Indonesia belum mengakomodir hukum pemidanaan bagi pezina karena peradilan agama hanya mengangani hukum keluarga Islam sebagai kasus perdata. Zina sebagai perbuatan pidana, oleh hukum pidana Indonesia dinyatakan sebagai delik aduan, tidak disanksi jika perempuan tak mengadukannya ke pengadilan. Lagi pula, menurut kitab undang-undang hukum pidana, zina adalah jika kedua pelakunya sudah kawin atau salah satunya atas dasar suka sama suka, bukan karena perkosaan. Kehamilan seorang perempuan di luar nikah dari sisi hukum syara’ adalah hal yang memiliki masalah yang kompleks. Kehamilan akibat berzina setidaknya ada dua masalah hukum yang pokok, yaitu penerapan sanksi jarimah dan tentang kebsahan anak yang lair daripadanya. Masalah yang disebut terakhir ini juga ternyata ditemukan ijtihad ulama di dalamnya. Menurut teori klasik tentang keabsahan anak adalah apakah anak itu lahir sekurang-kurangnya enam bulan sejak akad nikah terjadi, ataukah kurang dari enam bulan. Jika lahir kurang dari enam bulan sejak akad 17 Tim redaksi, Hukum Keluarga, (Cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), h. 244 11 nikah, maka fuqaha klasik menyimpulkan dan menyatakannya sebagai anak tidak sah/ anak zina. Pendapat hukum tersebut tampaknya tidak dianut oleh hukum perkawinan nasional. Dalam Pasal 99 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa “anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”.18 Pasal ini sama sekali tidak menyoal telah berapa lama pembuahan luar nikah terjadi, sehingga yang diperlukan dalam keabsahan anak perempuan yang hamil luar nikah adalah apakah perkawinannya sah atau tidak, dan anak itu lahir setelah akad nikah dilangsungkan. Keabsahan anak yang dilahirkan oleh perempuan yang hamil di luar nikah tampak penyelsaiannya secara hukum relatif sederhana jika dibandingkan dengan hukum fikih klasik. Perempuan yang dinikahkan dengan ayah biologis anak yang dikandungnya menjadi anak sah sepanjang anak itu dilahirkan setelah akad nikah terjadi, walau dengan hanya sehari sebelum kelahiran si anak. Hukum perkawinan nasional sangat mementingkan perkawinan perempuan hamil di luar nikah sesuai dengan rukun dan syarat-syarat perkawinan menurut Islam. Anak yang dikandung oleh permpuan hamil sebelum akad nikah tidak berpotensi hilang nasabnya dan hak perwalian nikahnya serta hak kewarisan dengan ayahnya. Sedangkan hukum fikih klasik memiliki potensi hilang hak nasab, perwalian nikah serta kewarisannya walaupun perempuan hamil tersebut telah dikawinkan. Yang terpenting dalam hukum perkawinan nasional adalah tidak terjadi pembiaran perempuan hamil tidak dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya agar tidak terjadi peristiwa “anak luar nikah”. Anak luar nikah adalah sebutan lain dari anak zina, yang hanya memiliki hak keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Menurut fuqaha, anak perempuan ketika hendak dinikahkan haruslah dengan walinya, yakni orang tuanya dan kerabatnya yang lain. Dalam hukm fikih, wali yang paling asasi adalah wali nasab yang terdiri atas ayah ke atas dan saudara laki-laki ke samping, dan paman, suadara ayah. Ketentuan ini berlaku pada anak yang berrstatus sah. Jika seorang anak perempuan anak tidak sah/anak zina, maka yang menjadi wali dalam akad nikahnya adalah pemerintah. Perwalian nikah semacam in disebut dengan wali hakim. Konsepsi wali nikah tersebut ternyata tidak semudah yang dibayangkan, terutama wali hakim karena ketidakabsahan anak. Masalah ini kelihatannya tertutup ketika seorang anak perempuan hendak dikawinkan dengan wali hakim. Wali hakim yang mudah diterapkan dalam masyarakat adalah karena wali nasab adhal (enggan/tidak restu). 18 Ibid., h. 253 12 Dalam kompilasi hukum Islam, Pasal 23 ayat 1 dinyatakan, wali hakim berperan jika wali nasab tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, dan karena adhal.19 Dalam ayat 2 dinyatakan: “ dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut”20. Dalam kompilasi hukum Islam tidak menyebut tentang pembuktian sah tidaknya status anak yang lahir dari seorang ibu yang hamil luar nikah. Kendati demikian bukan berarti kompilasi hukum Islam tidak mengakomodir tentang wali hakim akibat seorang anak perempuan lahir luar nikah. Kompilasi hukum Islam menyederhanakan teori keabsahan anak dengan mengawinkan sesegera mungkin perempuan yang hamil dengan laki-laki yang menghamilinya. Jika anak itu lahir pasca akad nikah, maka anak itu dinyatakan sebagai anak sah, dan wali nikahnya adalah suami ibu yang mengawininya dalam kondisi hamil. Yang fatal jika anak lahir luar nikah, ibunya tak sempat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Anak luar nikah yang benar-benar anak zina menurut hukum perkawinan nasional harus dinikahkan dengan wali hakim tanpa tedeng aling-aling. Jika tidak, akan terjadi pelanggaran hukum yang beruntun dan berlapis generasi. Misalnya, karena perwaliannya tidak sah, maka perkawinannya pun tidak sah. Jika perkawinan tidak sah, maka anak yang dilahirkan juga menjadi anak zina karena terjadi perzinaan secara terus menerus. Jika hal ini terjadi, hak mewarisnyapun dapat terjadi pelanggaran, yaitu jika ia mewaris kepada ayahnya. Seorang anak luar nikah/ anak zina yang mewaris kepada laki-laki yang diklaim sebagai ayahnya sama artinya mengambil sesuatu yang bukan haknya (mencuri). Persoalan waris anak luar nikah tidak diatur seara eksplisit. Dalam ketentuan umum kompilasi hukm Islam disebutkan bahwa “ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.21 Dalam mendudukkan posisi anak luar nikah sebagai ahli waris, ketentuan kompilasi hukum Islam tersebut harus ditafsir sesuai dengan ketentuan syariah. Ketentuan yang dimaksud adalah bahwa anak luar nikah adalah ahli waris, namun ia hanya mewris kepada ibu dan keluarga ibunya.Tidak ada pasal tersendiri dalam kompilasi hukm Islam yang mengatur secara khusus tentang kewarisan anak luar nikah. Ini adalah hal yang riskan sehingga harus ditunjang pemahaman dan kesadaran umat Islam yang memadai. Idealnya adalah hakim harus cerdas meneliti keabsahan 19 Ibid., h.238 Ibid. 21 Ibid. h. 268 20 13 status seorang anak dengan instrument yang memberi kejelasan status anak tersebut sebelum menetapkannya sebagai ahli waris yang sah, terutama jika pewarisnya adalah ayahnya selama ini. III. PENUTUP Coitus antara seorang laki-laki dengan perempuan tidak dengan akad nikah adalah zina. Syariat Islam tidak menghalalkan zina. Larangan zina tidak hanya sekedar coitus, tetapi lebih dari itu dapat menimbulkan kerusakan hukum dalam bidang hukum keluarga, pidana dan moral. Dengan demikian, zina bukan identik dengan larangan coitus, melainkan yang lebih dahsyat adalah merusak sejumlah titik hukum keluarga, yaitu kehilangan hakhak anak seperti nasab, nafkah, perwalian nikah, dan hak warisnya. Selain kerusakan hak-hak tersebut, zina juga menimbulkan pemidanaan bagi laki-laki dan perempuan yang melakukannya. Demikian juga zina sebagai penyakit masyarakat melanggar moral, sosial dan budaya. Dengan demikian, Allah Swt sangat melarangnya. Wallahu A’lam bi al-sawab. DAFTAR RUJUKAN Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Jilid 3.Cetakan 1.t.t: Dar al-Fikr 1990 Al-Jarjani, Ali bin Muhammad. Al-Ta`rifat. Singapura- Jeddah: al-Haramain t.th. Khadim al-Haramain. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Madinah al-Munawarah: Mujamma’ al-malik Fahd 1418 H Muslim. Al-Jami` al-Sahih. Juz 4.Beirut: Dar al-Fikr t.th Qal`aji Muhammad rawwas. Mausu`ah Fiqh Umar bin Khattab.Cetakan 1. T.t: tp, 1981 Sayid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Jilid 3.Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-`Arabi,1987 Tim redaksi pustaka yustisia. Hukum Keluarga. Cetakan 1. Yogyakarta: Pustaka Yustisia 2010