BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Permasalahan Pada dasarnya kehendak utama manusia diarahkan untuk mencapai kebahagian. Kebahagiaan adalah tujuan dari setiap perjalanan kehidupan manusia. Berbagai jalan ditempuh oleh manusia untuk mencapainya. Di sisi lain, dalam upaya menuju kebahagiaan itu manusia tersentak oleh penderitaan. Ketersentakan itu terjadi karena penderitaan ada diluar kehendak manusia, di luar orientasi hidup manusia, di luar proyeksi kehidupan manusia. Secara umum, penderitaan adalah fenomena universal yang dihadapi oleh manusia. Penderitaan merupakan salah satu keadaan eksistensial dalam kehidupan. Penderitaan dengan demikian menjadi bagian dari historisitas manusia. Jika penderitaan menjadi bagian dari historisitas manusia maka penderitaan turut berperan dalam pembentukan jati diri manusia. Penderitaan dalam hal ini mengganggu proyeksi pemikiran manusia akan dunia yang dikehendakinya. Dunia yang dikehendaki bagi dirinya menyatu dengan pembentukan jati dirinya. Jadi, pada dasarnya pembentukan jati diri dipengaruhi oleh cara manusia memberi makna terhadap kenyataan di sekelilingnya termasuk penderitaan. Oleh karena itu, ada dua alasan filosofis masalah penderitaan merupakan topik penting untuk diteliti. Pertama, kenyataan penderitaan membuat manusia menyadari keterbatasan diri, saat yang menyadari keterbatasan memahami kenyataan yang berada di luar kendalinya. Kedua, kenyataan penderitaan mengundang manusia terus merefleksikan hidupnya dan caranya memahami kenyataan yang transenden. Sikap manusia terhadap penderitaan itu berbeda-beda. Penderitaan sebagai yang dimaknai sebagai sisi negatif dari kehidupan cenderung dihindari dan diabaikan. Di sisi lain, penderitaan yang dianggap positif memberikan makna baru terhadap kehidupan yang dihadapi manusia itu sendiri. Kedua sisi ini turut terbentuk dari struktur dasar pemikiran manusia sehingga turut membentuk jati diri manusia. Pencarian makna penderitaan sepanjang sejarah peradaban manusia tentu tidak menyelesaikan masalah penderitaan. Ditilik dari sebabnya penderitaan itu bersifat eksternal dan juga internal. Pembedaan sebab dari penderitaan ini pun tidak mutlak menjelaskan penderitaan. Penderitaan itu ada ketika disadari atau penderitaan berlangsung dalam kesadaran manusia. Manusia dan penderitaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Masing-masing saling berkaitan dan saling melengkapi. Manusia tidak menarik diri dari penderitaan dan penderitaan tak dapat dijelaskan lepas dari manusia, keduanya terbingkai dalam identitas kemanusiaan. Fenomena penderitaan ini menggairahkan manusia dengan segala kemampuan rasionya menelusuri sebab dari penderitaan itu. Simpulsimpul refleksi diarahkan ke Sang Illahi yang ditempatkan sebagai yang berkuasa atas dunia ini. Dimanakah Allah? Mengapa Allah membiarkan penderitaan terjadi? Mengapa penderitaan menimpa orang baik, tidak berdosa, bahkan yang baru menghirup aroma kehidupan? Teodise abad pertengahan menginterpretasikan penderitaan sebagai akibat dari dosa. Dosa sebagai kejahatan manusia. Penderitaan merupakan konsekuensi dari dosa. Allah sebagai yang Maha Baik dan Mahakuasa memberikan hukuman berupa penderitaan kepada manusia yang berdosa. Pemahaman ini memberikan tekanan psikis bagi orang-orang yang melakukan kesalahan dan dianggap sebagai nasib yang layak diterima (Sudarminta, 2008:198). Kaum ateisme memandang penderitaan dan kejahatan menjadi point penting mendukung argumen mereka tentang ketiadaan Allah. Masalah penderitaan selesai, tidak ada Allah, jadi tidak ada jawaban atas penderitaan. mendukung Penjelasan-penjelasan adanya Allah pun yang tidak diberikan oleh menyelesaikan filsafat pertanyaan tentangukuran dan jumlah penderitaan yang begitu raksasa. Salah satunya refleksi yang dilakukan oleh Hegel bahwa tanpa negativitas segi-segi positif eksistensi tidak memperoleh bobot yang sebenarnya. Nada yang sama disampaikan Frans Magnis (2006: 227) bahwa “penderitaan adalah biaya pelaksanaan sebuah nilai yang lebih luas. Tanpa penderitaan, perkembangan makhluk hidup menurut kodratnya tidak akan mungkin”. Secara sederhana dipahami, tanpa penderitaan kehidupan tidak akan berbobot. Tanpa penderitaan, tidak ada tanggung jawab, tidak ada pengorbanan, tidak ada kesetiaan, dan tidak ada solidaritas. Pertimbangan-pertimbangan teologis filosofis ini memang membuat manusia mengerti bahwa adanya keburukan dan penderitaan merupakan implikasi kehendak Allah untuk menciptakan manusia. Pengertian ini pun belum menyelesaikan persoalan penderitaan yang sedemikian melimpah. Penderitaan yang dimaksudkan adalah penderitaan individual masing-masing orang sebagaimana disaksikan dalam lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan bermasyarakat. Semua pertimbangan-pertimbangan tadi masih kurang memadai dan kurang sedap ketika berhadapan dengan kelimpahan penderitaan (MagnisSuseno, 2006: 227-228). Karl Theodor Jaspers adalah salah satu filsuf yang membahas tentang penderitaan. Penderitaan dalam pemikirannya termasuk dalam situasi batas (boundary situation). Situasi batas itu tercermin dari kematian, penderitaan, nasib, kegagalan, perjuangan dan kekurangankekurangan dunia. Jaspers menjelaskan bahwa justru dalam situasi batas eksistensi manusia nampak. Eksistensi itu nampak ketika manusia memutuskan atau menentukan pilihan terhadap hidupnya. Keputusan itu menandainya sebagai manusia yang bebas dan harus memutuskan dalam ketidaktahuannya. Manusia berhadapan dengan transendensi dalam ketidaktahuannya. Kehadiran transendensi dimaknai dalam situasi batas manusia. Penderitaan itu mendua. Di satu sisi, semua bentuk penderitaan merusak dasein (manusia) sedikit demi sedikit. Pada sisi lain, menjadi sesuatu yang baik, yaitu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang. Situasi penderitaan membuat manusia dapat menjadi dirinya sendiri dibandingkan dengan situasi keberuntungan yang cenderung membuat manusia semakin dangkal (Hamersma, 1985:13-15). Filsafat eksistensi dimulai dengan pertanyaan: Aku ini siapa? Apakah yang saya ketahui? Apakah yang harus saya lakukan? Jaspers memberikan titik tolak dari pemahaman manusia akan dirinya sendiri dalam dunia. Manusia “aku” sebagai subjek yang tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah dalam arti sesungguhnya, dan hal yang sama juga berlaku tentang dasar dunia. Di dalam dunia, manusia sama sekali tidak menemukan dasar yang teguh sehingga manusia harus melampaui dunia untuk mendasari diri sendiri (Weij, 1988:144). Metafisika atau ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang menyelidiki hakikat di balik seluruh kenyataan. Metafisika cenderung disamakan dengan ontologi dalam sejarah pemikiran filsafat. Menurut Snijders (2009: 40), metaphysical insight dipakai dalam arti yang lebih umum untuk membedakannya dengan scientifical insight, sedangkan ontologi menunjuk pada pokok khusus dari metafisika Ontologia adalah usaha paham (logos) tentang yang ada (on) sejauh ada, maka menuju metaphysical insight. Metafisika menuju kepada the ultimate unity or ground of everything, absolute being. Penyelidikannnya merangkum cakrawala yang merangkum segala cakrawala. Cakrawala yang melingkupi dalam pemikiran Jaspers disebut sebagai All Encompassing (Das um Grefeinde) (Bakker, 1992:20). Hakikat penderitaan dalam pemikiran Karl Jaspers ini akan direlevansikan dengan penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik. Dampak yang ditimbulkan oleh konflik itu bukan hanya kerugian material tetapi juga warisan immaterial. Warisan immaterial itu berupa trauma.Warisan material di sisi lain yaitu segregasi wilayah pemukiman. Akibatnya, komunikasi komunitas antar agama hanya berlangsung di ruang-ruang publik seperti lembaga pendidikan dan tempat-tempat umum (pasar, taman dll). Hingga tahun 2014, masyarakat Ambon secara khusus masih hidup dalam lingkungan yang tersegregasi. Segregasi (pemisahan) itu terbagi berdasarkan agama, masing-masing komunitas beragama membentuk wilayah pemukimannya. Walaupun konflik telah berakhir hampir sepuluh tahun yang lalu tetapi proses integrasi (pembauran) penduduk di kota Ambon tidak kunjung berhasil. Faktanya sebagian besar wilayah kota Ambon (90%) masih dihuni oleh satu komunitas agama tertentu dan hanya sebagian kecil wilayah (10%) yang penduduknya merupakan pembauran (1999-2004) (Apituley, dkk, 2014: 13). Fenomena konflik ini menjelaskan bahwa penderitaan turut pula mempengaruhi perbedaan penghayatan masing-masing manusia dalam pola relasinya. Kenyataan konflik membuat sebagian orang menderita (trauma) tetapi sebagian orang justru berusaha melampaui penderitaan itu dengan cara berdialog, membangun relasi antar-agama dan berusaha menghayati kembali ajaran beragama yang lebih esensial. 2. Rumusan Masalah 1. Apa pemikiran filsafat Karl Jaspers tentang penderitaan? 2. Apa hakikat penderitaan Karl Jaspers dalam tinjauan ontologi? 3. Bagaimana kontribusi ontologi penderitaan dalam memahami penderitaan Maluku pasca konflik? 3. Keaslian Penelitian Peneliti hingga saat ini telah melakukan penelusuran terhadap karya-karya yang berkaitan dengan Karl Jaspers dengan tema Boundary situation, khususnya konsep penderitaan. Penelusuran dilakukan melalui dua jalan yaitu penelusuran dalam literatur dalam bentuk fisik dan penelusuran literatur terkait melalui internet. Pertama, melalui penelusuran secara fisik, peneliti hanya menemukan buku “Filsafat Eksistensi Karl Jaspers”tulisan dari Harry Hamersma (terbitan tahun 1985) dan”Tahap-Tahap Bermetafisika Karl Jaspers” dalam buku Metafisika Sistematik (terbitan tahun 2004) oleh Joko Siswanto. Kedua, melalui penelusuran internet, peneliti menemukan beberapa temuan antara lain: buku “From Selfhood to Being“(terbitan tahun 2012) karya Ronny Miron. Buku ini membahas perjalanan pemikiran Jaspers dan analisnya terhadap diri melalui tahapan indrawi hingga tahapan metafsis (https://www.academia. Edu/2321772/karl_jaspers_from_selfhood_to_being diakses: Sabtu, 20 Desember 2014, Pukul 22.00 WIT). Buku kedua dengan pengarang yang samaThe Desire Of Metaphysics (tahun 2014) (https://bu.academia. Edu/RonnyMiron/the_desire_of_metaphysisdiakses:Sabtu 20 Desember, Pukul 22:30). Buku ini membahas tentang kritikan Karl Jaspers terhadap metafisika klasik yang mengusahakan ontologi sebagai paham. 4. Manfaat Penelitian Objek material dari penelitian ini adalah konsep penderitaan dalam pemikiran Jaspers dan ontologi sebagai objek formalnya. Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: a. Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu secara umum dalam memahami kenyataan manusia secara khusus dalam relasinya dengan manusia lain. b. Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan studi, khususnya filsafat dalam pengembangan wacana baru dan menjadi sumber pengembangan pula untuk penelitian-penelitian berikutnya. c. Penelitian ini juga berguna bagi pengembangan bangsa dan negara karena penelitian ini memperkaya pemaknaan manusia tentang penderitaan dan menganalisa persoalan penderitaan dengan lebih jelas ditilik dalam kenyataan yang menyeluruh. B. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan dan menemukan pemikiran pokok filsafat Karl Jaspers tentang penderitaan. 2. Melakukan analisis kritis dari sisi ontolologis tentang penderitaan dalam pemikiran Karl Jaspers. 3. Merefleksikan penderitaan untuk menemukan kontibusinya dalam memahami penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik. C. Tinjauan Pustaka Istilah penderitaan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta dhra yang berarti menanggung atau menahan. Penderitaan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “derita” yang berarti sesuatu yang menyusahkan hati. Jadidipahami penderitaan adalah keadaan tidak menyenangkan yang ditanggung oleh seseorang. Penderitaan dalam bahasa Yunani digambarkan dengan istilah “paskho”. Istilah ini menjelaskan penderitaan karena usaha pribadi yang hendak menanggung beban seseorang atau tindakan yang membuat dirinya menderita. James Jones (2010: 16-19) dalam bukunya Why do People Suffer? menyatakan situasi personal yang dihadapkan dengan penderitaan. Penderitaan diklasifikasikan kedalam beberapa bagian: pertama, penderitaan mental. Penderitaan ini tidak memiliki objek atau sumber yang jelas. Penderitaan mental terjadi tanpa alasan yang rasional. Kedua, penderitaan emosional. Penderitaan ini bersifat universal karena merupakan perubahan suasana hati yang dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Misalnya, rasa rendah diri, kebencian terhadap diri, kehilangan orang terdekat. Ketiga, penderitaan fisik. Penderitaan fisik terkadang pun menjadi baik ketika disadari menjadi sebuah peringatan. Misalnya: sentuhan terhadap api membuat kulit terasa hangus dan sakit tetapi sekaligus menjadi peringatan untuk tidak menyentuh api. Keempat, penderitaan spiritual. Penderitaan spiritual berkaitan dengan keinginan diri untuk menemukan makna bagi keberadaan diri. Pertanyaan yang disampaikan seseorang ketika mengalami penderitaan ini: Dari mana manusia berasal? Mengapa manusia ada? Bagaimana mengetahui batasbatas manusia? Ke arah mana tujuan hidup manusia? Pada umumnya, penderitaan adalah pengalaman paling mendalam yang menggangu manusia. Victor Frankl (2003: 75) dalam bukunya Man Search For Meaning menjelaskan bahwa menderita adalah bagian hidup yang tidak dapat dihilangkan bahkan oleh nasib dan kematian. Tanpa penderitaan dan kematian hidup manusia tidak akan lengkap. Orang-orang yang melampaui penderitaan adalah orang-orang yang memiliki prestasi batin. Ini merupakan tanda kebebasan spiritual sehingga dapat membuat hidup lebih bermakna. Makna bersifat personal, unik dan dipenuhi sebagai kebutuhan tertinggi manusia. Budi Kleden (2006: xi) dalam bukunya Membongkar Derita menyatakan bahwa persoalan penderitaan menyentuh rasio dan iman manusia. Artinya, penderitaan menyentuh keseluruhan dimensi manusia. Oleh karena itu, refleksi yang paling sesuai untuk membahas masalah penderitaan adalah filosofis dan teologis. Kebutuhan kedua pendekatan ini diperlukan karena beragam pertanyaan manusia seperti siapakah manusia? Bagaimana asal dan tujuan kehadiran manusia? Mengapa ada keburukan? Dimanakah Tuhan di hadapan seluruh kejahatan dan penderitaan? Pertanyaan-pertanyaan ini menampilkan kegelisahan manusia tentang hakikat kenyataan. Kata penderitaan memiliki gema yang berkaitan dengan refleksi dan makna kehidupan manusia, sekaligus sebagai ancaman bagi manusia untuk menemukan kebahagiaan. Penderitaan dengan demikian merupakan keadaan yang menggangu keberadaan manusia dan proyeksi kehidupannya. Penderitaan tidak dapat diacuhkan karena bersifat negatif, tetapi penderitaan juga tidak dapat dipahami sebagai hukuman dari Tuhan. Fenomena penderitaan secara filosofis harus ditilik mulai dari manusia yang merefleksikannya sehingga hakikat filosofis penderitaan dimengerti. Penderitaan secara filosofis dibahas juga oleh Karl Jaspers. Konsep penderitaan dalam pemikiran Jaspers termasuk dalam situasi batas. Situasi batas dalam pemikiran Jaspers terdiri dari: kematian, penderitaan, perjuangan, kegagalan dan kesalahan. Jonna bornemark (2006: 54) dalam artikelnya berjudul Limit Situation menyatakan: “Limit-situation concerns the specific individual as a foundational structure. The paradoxes that the limit-situations carry are of concern not only as an abstract mind-game but especially in factual life”. Pemikiran Jaspers dalam pemikiran filsafat ditempatkan dalam filsafat eksistensialis sehingga konsep penderitaan berkaitan erat dengan konsep eksistensi. Eksistensialisme memandang manusia terlahir sebagai “ada” yang biologis, mekanis tetapi manusia harus menjadi eksistensi yang mandiri dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya (Flynn, 1995:5). Manusia (being) disituasikan oleh kondisi biologis dan status sosial tetapi manusia terus berubah oleh kehendak bebas dan transendensinya (Reynolds, 2006:3). Konsep-konsep ini dikembangkan dari pemikiran Søren Kierkegaard. Konsep lain yang dikembangkan kemudia juga adalah anxiety, authenticity and inauthenticity, choice, commitment, freedom, and responsibility. Jaspers menempatkan filsafat eksistensi sebagai suatu metafisika. Problem utamanya adalah persoalan yang Ada. Manusia pertama-tama harus sadar keberadaannya dalam situasi yang tidak pasti, dan karena itu terbuka dengan kemungkinan. Manusia yang sadar dalam situasi demikian ditantang untuk terus menerus mencari yang ada hingga menemukan kepastian akan dirinya (Siswanto, 1998: 128). Landasan operasional filsafat adalah kesadaran tentang “Yang Melingkupi”yang hadir melalui keterbukaan pikiran terhadap ada dan hubungannya dengan pengetahuan. Kesadaran “Yang Melingkupi” ini hadir melalui situasi batas (Michelman, 2008: 126). Penderitaan justru bermakna dalam pemikiran Jaspers. Kurt Salamun (2006: 8) dalam artikelnya yang berjudul Karl Jaspers, Conception Of The Meaning Of life menyatakan bahwa: “Jaspers focuses on the importance of "active suffering" which is the opposite of resignation. It implies effort to be happy despite suffering. Due to the "antinomial structure" of all life and reality, human beings always have two basic options in confrontation with boundary situations: an option of resignation, pessimism and nihilistic despair, or in contrast, the option of optimistic confidence in the meaning of life”. Ulrich Diehl (2009: 4) dalam artikelnya berjudul Human Suffering as a Challenge for the meaning of life menegaskan: “The common moment of all Grenzsituationen is that they bring about suffering; but the commont moment is also, that they let the forces grow, which go along with the pleasures of existence, of meaning, of growing. Suffering is not the one Grenzsituation among others, but all o them turn into suffering under their subjective point of view. Pleasure and suffering are unavoidably chained to each other”. Penderitaan adalah sebuah karakter dari batasan dalam hidup. Penderitaan juga dihindari tetapi menghindari memahami penderitaan sebagai bagian dari kebutuhan kehidupan manusia mengarah pada penipuan diri dan kegagalan untuk melihat makna eksistensial dari penderitaan. Sebaliknya, menerima penderitaan dan menghadapi penderitaan dan menerima bahwa itu menandai bahwa penderitaan milik manusia secara personal. Apapun pilihan kehendak seseorang dalam hidup, jumlah penderitaan tidak dapat dihindari. Kebahagiaan belaka menjadi tanpa makna atau kosong. Kebahagiaan sejati harus mengambil resiko dan terbentuk lagi dengan penderitaan itu (Ulrich 2009: 36-39). D. Landasan Teori Ontologi dimengerti sebagai ilmu dari ‘yang ada” pada umumnya yang mencakup beberapa isu yaitu hakikat dari eksistensi dan struktur kategori dari setiap realitas. Keberadaan sebagai substansi dilacak dalam kategori Aristoteles. Sistem ontologi yang lain mengusulkan skema lain. Skema kategori menampilkan struktur hierarki, “ada” atau “yang ada” sebagai kategori tertinggi yang mencakup segala yang ada. Skema lain menampilkan pembagian yang ada antara yang “universal” dan partikular” sebagai langkah lanjut dari skema hierarki. Pembagian lain juga adalah “yang ada” sebagai abstrak dan kongkret (Roh dan Materi)” (Honderich, 2005: 670). Filsafat tentang ta meta ta physica menurut Aristoteles berpusat pada to on hei on (Metaphysica IV, 1; 1003a, 21). Artinya, pengada sekedar pengada (a being as being). Kata Yunani on merupakan bentuk netral dari oon dengan bentuk genetifnya ontos. Kata itu adalah bentuk partisipatif dari kata kerja einai (“ada” atau “mengada”), jadi berarti: “yang ada atau pengada”. Objek material bagi filsafat dalam hal ini terdiri dari segalagalanya yang ada. Hal-hal itu ditinjau dalam segi-segi formal bukan saja aspek yang terbatas, atau sekedar manusia atau dunia serta Tuhan tetapi menurut sifat dan hal mengadanya. Oleh karena itu, walaupun Aristoteles belum menggunakan nama itu tetapi di kemudian hari filsafat ini disebut sebagai ontologi (Bakker, 1992: 16). Pertanyaan tentang “mengada” muncul dari pemahaman tentang kenyataan kongkret. Ontologi dengan demikian menanyakan sesuatu yang dikenal. Pertanyaan itu ada karena ada yang namanya pra-pengetahuan (Vorwissen). Pra-pengetahuan sebagai suatu pemahaman yang menuntun untuk menemukan paham berikutnya. Paham adalah usaha manusia adalah usaha kesadaran manusia menunaikan kemanusiaannya. Oleh karena itu, filsafat sebagai refleksi terakhir yang ingin mengeksplisitkan dan mensistematisasikan pra-pengetahuan tersebut. Ontologi dengan demikian bergerak diatara dua kutub yaitu antara pengalaman akan kenyataan kongkret dan pra-pengertian mengada yang paling umum. Jadi, refleksi ontologis berbentuk suatu lingkaran hermeneutis antara pengalaman dan “mengada” tanpa mana yang dikatakan terlebih dulu (Bakker, 1992: 21). Buah dari metafisika adalah bukan pengetahuan melainkan pemahaman. Oleh karena itu, seorang metafisikus adalah orang yang tidak pernah menutup diri dari pandangan-pandangan metafisika lain. Suatu masalah metafisika tidak dipisahkan dari data yang menjadi tahap pertama menganalisa masalah. Data berkaitan dengan kondisi umum (pemahaman umum) tetapi datum adalah sesuatu yang “diberi” dalam refleksi filsafat (Taylor, 1992: 2). Bakker (1992) dalam bukunya Ontologi atau Metafisika Umum menjelaskan ontologi sebagai filsafat pengada atau dasar-dasar kenyatan. Metafisika tetap dianggap sebagai filsafat tentang yang-ada atau pengada. Persoalan dasar pengada diantaranya adalah apakah pengada itu satu atau banyak? Apakah pengada memiliki ciri homogal yang bersifat transendental? Apakah pengada memiliki permanensi atau kebaruan? Apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani? Apakah kehadiran pengada itu bernilai atau tidak? Apakah dalam pengada ditemukan norma ontologis transendental yang berlaku untuk semua? (Siswanto, 2004: 23). Ontologi umum dalam penelitian ini dijadikan sebagai objek formal membahas kenyataan penderitaan dalam pemikiran Jaspers dengan beberapa dimensi yang digunakan sesuai dengan kenyataan penderitaan. E. Metode Penelitian 1. Bahan atau materi Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif bidang filsafat yang bersumber dari data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penelitian. a. Bahan Primer Karya Karl Jaspers yang berjudul Philosophy yang terdiri dari 3 Jilid. 1) Jilid I: Orientasi dunia 2) Jilid II: Penerangan Eksistensi 3) Jilid III: Metafisika b. Bahan Sekunder 1) Karya Karl Jaspers yang berjudul: a) A Way To Wisdom. b) Truth and Symbol. c) The Parenial Scope of Philosophy. d) The Idea Of University. e) Tragedy is not enough. 2) Buku dan tulisan yang membahas tentang pemikiran Karl Jaspers: a) Buku karya Harry Hamersma tentang Filsafat Eksistensi Karl Jaspers. b) Buku Karangan Filiz Pech tentang Death, Deathlessness and Exitenz in Karl Jaspers Philosophy. c) Tulisan Kurt Salamun Karl Jaspers Conception of Meaning of Life (2006). d) Tulisan Diehl, Ulrich berjudul Human Suffering as a Challenge for the Meaning of Life (2009). e) Tulisan Karya Joko Siswanto yang berjudul Tahap-tahap bermetafisika Karl Jaspers dalam buku Metafisika Sistematik (2004). 3) Buku yang membahas tentang eksistensialisme dan ontologi. a) Buku karangan Marjorie Grene berjudul Dreadfull Freedom “a critique of existentialism". b) Historical Dictionary Of Existentialism ditulis oleh Stephen Michelman. c) Buku karangan Thomas Flynn yang berjudul An Introduction to Existentialism. d) Karya penelitian “Ontologi Eksistensialisme Kontemporer” oleh Joko Siswanto. e) Buku karangan Richard Taylor yang berjudul Metaphysics. c. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari koleksi perpustakaan filsafat Universitas Gajah Mada. Sebagian data sekunder diperoleh dari jurnal ilmiah dan ensiklopedia elektronik di internet yang telah disertai referensi yang lengkap dari para penulis. d. Langkah-Langkah Penelitian 1) Mengumpulkan data yang berkaitan dengan tema penderitaan. Dalam langkah pertama ini peneliti mengumpulkan buku-buku atau karya dari Karl Jaspers dan tulisan yang membahas tentang konflik Maluku. Selain itu, data yang dikumpulkan berkaitan dengan objek formal dari penelitian ini. 2) Data yang dikumpulkan kemudian diklasifikasikan untuk menentukan jenis data utama (primer) dan data pendukung (sekunder). 3) Data yang dikumpulkan selanjutntya akan dianalisis sesuai dengan metode yang telah dipilih, yakni metode hermeneutika dengan unsur metodis: deskripsi, analisis, refleksi, dan heuristik. 4) Menyusun hasil penelitian. 5) Seminar hasil penelitian untuk memperoleh saran, kritik dan masukan-masukan yang konstruktif. 6) Menyusun laporan hasil penelitian. e. Analisis Data Penelitian ini tergolong dalam model penelitian historis-faktual mengenai tokoh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hermeneutika filosofis dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut: 1) Deskripsi Metode ini dipakai karena tipe penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif. Konsekuensinya, metode ini secara otomatis akan mewarnai seluruh penelitian ini mulai dari persiapan, pengumpulan data, serta analisis data (Bakker, 1990: 65). Pada metode ini, peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsep Karl Jaspers. 2) Analisis Analisis adalah penderitaan dalam usaha pemikiran menguraikan Karl fenomena Jaspers untuk mengetahui unsur-unsur yang lebih bersifat khusus sehingga diperoleh pengertian tentang hakikat penderitaan yang komprehensif. 3) Refleksi Penelitian ini menginspirasi peneliti untuk mengambil jarak (distansiasi) tentang pemikiran Karl Jaspers demi membentuk konsepsinya tentang manusia dan penderitaan. Refleksi itu didasari model sistematis-reflektif (Bakker, 1990: 65). 4) Heuristika Unsure ini digunakan dalam upaya memahami teks yang akan diteliti. Berdasarkan bahan baru atau pendekatan baru, diusahakan menemukan pemahaman baru atau interpretasi baru pada Karl Jaspers. F. Sistematika Penulisan Bab I, berisi penjelasan secara umum dan garis besar keseluruhan tulisan. Secara berurutan terdiri dari bagian latar belakang penelitian, tujuan penelitian. Tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penelitian. Bab II, berisi pengertian sistematis tentang ontologi, objek formal, dan objek material, persoalan-persoalan umum ontologi, dan aliran-aliran utama ontologi. Bab III, berisi pemikiran para tokoh yang mempengaruhi Karl Jaspers dan pengaruh pemikiran di zamannya. Uraian singkat biografi Jaspers, pemikiran eksistensialisnya. Bab IV, berisi tinjauan pemikiran umum tentang penderitaan dalam analisa ontologis Anton Bakker terhadap penderitaan dalam seluruh kerangka pemikiran Karl Jaspers. Bab V, merefleksikan ontologis penderitaan dan kontribusinya dalam memahami penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik. Bab VI, berisi kesimpulan dan saran.