BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
1. Permasalahan
Pada dasarnya kehendak utama manusia diarahkan untuk mencapai
kebahagian. Kebahagiaan adalah tujuan dari setiap perjalanan kehidupan
manusia. Berbagai jalan ditempuh oleh manusia untuk mencapainya. Di
sisi lain, dalam upaya menuju kebahagiaan itu manusia tersentak oleh
penderitaan. Ketersentakan itu terjadi karena penderitaan ada diluar
kehendak manusia, di luar orientasi hidup manusia, di luar proyeksi
kehidupan manusia.
Secara umum, penderitaan adalah fenomena universal yang
dihadapi oleh manusia. Penderitaan merupakan salah satu keadaan
eksistensial dalam kehidupan. Penderitaan dengan demikian menjadi
bagian dari historisitas manusia. Jika penderitaan menjadi bagian dari
historisitas manusia maka penderitaan turut berperan dalam pembentukan
jati diri manusia. Penderitaan dalam hal ini mengganggu proyeksi
pemikiran manusia akan dunia yang dikehendakinya. Dunia yang
dikehendaki bagi dirinya menyatu dengan pembentukan jati dirinya. Jadi,
pada dasarnya pembentukan jati diri dipengaruhi oleh cara manusia
memberi
makna
terhadap
kenyataan
di
sekelilingnya
termasuk
penderitaan.
Oleh karena itu, ada dua alasan filosofis masalah penderitaan
merupakan topik penting untuk diteliti. Pertama, kenyataan penderitaan
membuat manusia menyadari keterbatasan diri, saat yang menyadari
keterbatasan memahami kenyataan yang berada di luar kendalinya. Kedua,
kenyataan penderitaan mengundang manusia terus merefleksikan hidupnya
dan caranya memahami kenyataan yang transenden.
Sikap manusia terhadap penderitaan itu berbeda-beda. Penderitaan
sebagai yang dimaknai sebagai sisi negatif dari kehidupan cenderung
dihindari dan diabaikan. Di sisi lain, penderitaan yang dianggap positif
memberikan makna baru terhadap kehidupan yang dihadapi manusia itu
sendiri. Kedua sisi ini turut terbentuk dari struktur dasar pemikiran
manusia sehingga turut membentuk jati diri manusia.
Pencarian makna penderitaan sepanjang sejarah peradaban manusia
tentu tidak menyelesaikan masalah penderitaan. Ditilik dari sebabnya
penderitaan itu bersifat eksternal dan juga internal. Pembedaan sebab dari
penderitaan ini pun tidak mutlak menjelaskan penderitaan. Penderitaan itu
ada ketika disadari atau penderitaan berlangsung dalam kesadaran
manusia. Manusia dan penderitaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan.
Masing-masing saling berkaitan dan saling melengkapi. Manusia tidak
menarik diri dari penderitaan dan penderitaan tak dapat dijelaskan lepas
dari manusia, keduanya terbingkai dalam identitas kemanusiaan.
Fenomena penderitaan ini menggairahkan manusia dengan segala
kemampuan rasionya menelusuri sebab dari penderitaan itu. Simpulsimpul refleksi diarahkan ke Sang Illahi yang ditempatkan sebagai yang
berkuasa atas dunia ini. Dimanakah Allah? Mengapa Allah membiarkan
penderitaan terjadi? Mengapa penderitaan menimpa orang baik, tidak
berdosa, bahkan yang baru menghirup aroma kehidupan?
Teodise abad pertengahan menginterpretasikan penderitaan sebagai
akibat dari dosa. Dosa sebagai kejahatan manusia. Penderitaan merupakan
konsekuensi dari dosa. Allah sebagai yang Maha Baik dan Mahakuasa
memberikan hukuman berupa penderitaan kepada manusia yang berdosa.
Pemahaman ini memberikan tekanan psikis bagi orang-orang yang
melakukan kesalahan dan dianggap sebagai nasib yang layak diterima
(Sudarminta, 2008:198).
Kaum ateisme memandang penderitaan dan kejahatan menjadi
point penting mendukung argumen mereka tentang ketiadaan Allah.
Masalah penderitaan selesai, tidak ada Allah, jadi tidak ada jawaban atas
penderitaan.
mendukung
Penjelasan-penjelasan
adanya
Allah
pun
yang
tidak
diberikan
oleh
menyelesaikan
filsafat
pertanyaan
tentangukuran dan jumlah penderitaan yang begitu raksasa.
Salah satunya refleksi yang dilakukan oleh Hegel bahwa tanpa
negativitas segi-segi positif eksistensi tidak memperoleh bobot yang
sebenarnya. Nada yang sama disampaikan Frans Magnis (2006: 227)
bahwa “penderitaan adalah biaya pelaksanaan sebuah nilai yang lebih luas.
Tanpa penderitaan, perkembangan makhluk hidup menurut kodratnya
tidak akan mungkin”. Secara sederhana dipahami, tanpa penderitaan
kehidupan tidak akan berbobot. Tanpa penderitaan, tidak ada tanggung
jawab, tidak ada pengorbanan, tidak ada kesetiaan, dan tidak ada
solidaritas.
Pertimbangan-pertimbangan
teologis
filosofis
ini
memang
membuat manusia mengerti bahwa adanya keburukan dan penderitaan
merupakan implikasi kehendak Allah untuk menciptakan manusia.
Pengertian ini pun belum menyelesaikan persoalan penderitaan yang
sedemikian melimpah. Penderitaan yang dimaksudkan adalah penderitaan
individual
masing-masing
orang
sebagaimana
disaksikan
dalam
lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan bermasyarakat.
Semua pertimbangan-pertimbangan tadi masih kurang memadai dan
kurang sedap ketika berhadapan dengan kelimpahan penderitaan (MagnisSuseno, 2006: 227-228).
Karl Theodor Jaspers adalah salah satu filsuf yang membahas
tentang penderitaan. Penderitaan dalam pemikirannya termasuk dalam
situasi batas (boundary situation). Situasi batas itu tercermin dari
kematian, penderitaan, nasib, kegagalan, perjuangan dan kekurangankekurangan dunia. Jaspers menjelaskan bahwa justru dalam situasi batas
eksistensi manusia nampak. Eksistensi itu nampak ketika manusia
memutuskan atau menentukan pilihan terhadap hidupnya. Keputusan itu
menandainya sebagai manusia yang bebas dan harus memutuskan dalam
ketidaktahuannya. Manusia berhadapan dengan transendensi dalam
ketidaktahuannya. Kehadiran transendensi dimaknai dalam situasi batas
manusia. Penderitaan itu mendua. Di satu sisi, semua bentuk penderitaan
merusak dasein (manusia) sedikit demi sedikit. Pada sisi lain, menjadi
sesuatu yang baik, yaitu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang.
Situasi penderitaan membuat manusia dapat menjadi dirinya sendiri
dibandingkan dengan situasi keberuntungan yang cenderung membuat
manusia semakin dangkal (Hamersma, 1985:13-15).
Filsafat eksistensi dimulai dengan pertanyaan: Aku ini siapa?
Apakah yang saya ketahui? Apakah yang harus saya lakukan? Jaspers
memberikan titik tolak dari pemahaman manusia akan dirinya sendiri
dalam dunia. Manusia “aku” sebagai subjek yang tidak terjangkau oleh
penelitian ilmiah dalam arti sesungguhnya, dan hal yang sama juga
berlaku tentang dasar dunia. Di dalam dunia, manusia sama sekali tidak
menemukan dasar yang teguh sehingga manusia harus melampaui dunia
untuk mendasari diri sendiri (Weij, 1988:144).
Metafisika atau ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang
menyelidiki hakikat di balik seluruh kenyataan. Metafisika cenderung
disamakan dengan ontologi dalam sejarah pemikiran filsafat. Menurut
Snijders (2009: 40), metaphysical insight dipakai dalam arti yang lebih
umum untuk membedakannya dengan scientifical insight, sedangkan
ontologi menunjuk pada pokok khusus dari metafisika
Ontologia adalah usaha paham (logos) tentang yang ada (on)
sejauh ada, maka menuju metaphysical insight. Metafisika menuju kepada
the
ultimate
unity
or
ground
of
everything,
absolute
being.
Penyelidikannnya merangkum cakrawala yang merangkum segala
cakrawala. Cakrawala yang melingkupi dalam pemikiran Jaspers disebut
sebagai All Encompassing (Das um Grefeinde) (Bakker, 1992:20).
Hakikat penderitaan dalam pemikiran Karl Jaspers ini akan
direlevansikan dengan penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik.
Dampak yang ditimbulkan oleh konflik itu bukan hanya kerugian material
tetapi
juga warisan
immaterial.
Warisan immaterial
itu berupa
trauma.Warisan material di sisi lain yaitu segregasi wilayah pemukiman.
Akibatnya, komunikasi komunitas antar agama hanya berlangsung di
ruang-ruang publik seperti lembaga pendidikan dan tempat-tempat umum
(pasar, taman dll).
Hingga tahun 2014, masyarakat Ambon secara khusus masih hidup
dalam lingkungan yang tersegregasi. Segregasi (pemisahan) itu terbagi
berdasarkan agama, masing-masing komunitas beragama membentuk
wilayah pemukimannya. Walaupun konflik telah berakhir hampir sepuluh
tahun yang lalu tetapi proses integrasi (pembauran) penduduk di kota
Ambon tidak kunjung berhasil. Faktanya sebagian besar wilayah kota
Ambon (90%) masih dihuni oleh satu komunitas agama tertentu dan hanya
sebagian kecil wilayah (10%) yang penduduknya merupakan pembauran
(1999-2004) (Apituley, dkk, 2014: 13).
Fenomena konflik ini menjelaskan bahwa penderitaan turut pula
mempengaruhi perbedaan penghayatan masing-masing manusia dalam
pola relasinya. Kenyataan konflik membuat sebagian orang menderita
(trauma) tetapi sebagian orang justru berusaha melampaui penderitaan itu
dengan cara berdialog, membangun relasi antar-agama dan berusaha
menghayati kembali ajaran beragama yang lebih esensial.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pemikiran filsafat Karl Jaspers tentang penderitaan?
2. Apa hakikat penderitaan Karl Jaspers dalam tinjauan ontologi?
3. Bagaimana kontribusi ontologi penderitaan dalam memahami
penderitaan Maluku pasca konflik?
3. Keaslian Penelitian
Peneliti hingga saat ini telah melakukan penelusuran terhadap
karya-karya yang berkaitan dengan Karl Jaspers dengan tema Boundary
situation, khususnya konsep penderitaan. Penelusuran dilakukan melalui
dua jalan yaitu penelusuran dalam literatur dalam bentuk fisik dan
penelusuran literatur terkait melalui internet.
Pertama, melalui
penelusuran secara
fisik,
peneliti
hanya
menemukan buku “Filsafat Eksistensi Karl Jaspers”tulisan dari Harry
Hamersma (terbitan tahun 1985) dan”Tahap-Tahap Bermetafisika Karl
Jaspers” dalam buku Metafisika Sistematik (terbitan tahun 2004) oleh Joko
Siswanto.
Kedua, melalui penelusuran internet, peneliti menemukan beberapa
temuan antara lain: buku “From Selfhood to Being“(terbitan tahun 2012)
karya Ronny Miron. Buku ini membahas perjalanan pemikiran Jaspers dan
analisnya terhadap diri melalui tahapan indrawi hingga tahapan metafsis
(https://www.academia.
Edu/2321772/karl_jaspers_from_selfhood_to_being diakses: Sabtu, 20
Desember 2014, Pukul 22.00 WIT). Buku kedua dengan pengarang yang
samaThe Desire Of Metaphysics (tahun 2014) (https://bu.academia.
Edu/RonnyMiron/the_desire_of_metaphysisdiakses:Sabtu 20 Desember,
Pukul 22:30). Buku ini membahas tentang kritikan Karl Jaspers terhadap
metafisika klasik yang mengusahakan ontologi sebagai paham.
4.
Manfaat Penelitian
Objek material dari penelitian ini adalah konsep penderitaan dalam
pemikiran Jaspers dan ontologi sebagai objek formalnya. Tujuan dari
penelitian ini sebagai berikut:
a. Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu secara umum
dalam memahami kenyataan manusia secara khusus dalam relasinya
dengan manusia lain.
b. Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan studi,
khususnya filsafat dalam pengembangan wacana baru dan menjadi
sumber pengembangan pula untuk penelitian-penelitian berikutnya.
c.
Penelitian ini juga berguna bagi pengembangan bangsa dan
negara karena penelitian ini memperkaya pemaknaan manusia
tentang penderitaan dan menganalisa persoalan penderitaan
dengan lebih jelas ditilik dalam kenyataan yang menyeluruh.
B. Tujuan Penelitian
1.
Mendeskripsikan dan menemukan pemikiran pokok filsafat Karl
Jaspers tentang penderitaan.
2.
Melakukan analisis kritis dari sisi ontolologis tentang penderitaan
dalam pemikiran Karl Jaspers.
3.
Merefleksikan penderitaan untuk menemukan kontibusinya dalam
memahami penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik.
C. Tinjauan Pustaka
Istilah penderitaan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta
dhra yang berarti menanggung atau menahan. Penderitaan dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata “derita” yang berarti sesuatu yang
menyusahkan hati. Jadidipahami penderitaan adalah keadaan tidak
menyenangkan yang ditanggung oleh seseorang. Penderitaan dalam bahasa
Yunani digambarkan dengan istilah “paskho”. Istilah ini menjelaskan
penderitaan karena usaha pribadi yang hendak menanggung beban
seseorang atau tindakan yang membuat dirinya menderita.
James Jones (2010: 16-19) dalam bukunya Why do People Suffer?
menyatakan situasi personal yang dihadapkan dengan penderitaan.
Penderitaan
diklasifikasikan
kedalam
beberapa
bagian:
pertama,
penderitaan mental. Penderitaan ini tidak memiliki objek atau sumber yang
jelas. Penderitaan mental terjadi tanpa alasan yang rasional. Kedua,
penderitaan
emosional.
Penderitaan
ini
bersifat
universal
karena
merupakan perubahan suasana hati yang dapat juga dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar. Misalnya, rasa rendah diri, kebencian terhadap diri,
kehilangan orang terdekat. Ketiga, penderitaan fisik. Penderitaan fisik
terkadang pun menjadi baik ketika disadari menjadi sebuah peringatan.
Misalnya: sentuhan terhadap api membuat kulit terasa hangus dan sakit
tetapi sekaligus menjadi peringatan untuk tidak menyentuh api. Keempat,
penderitaan spiritual. Penderitaan spiritual berkaitan dengan keinginan diri
untuk menemukan makna bagi keberadaan diri. Pertanyaan yang
disampaikan seseorang ketika mengalami penderitaan ini: Dari mana
manusia berasal? Mengapa manusia ada? Bagaimana mengetahui batasbatas manusia? Ke arah mana tujuan hidup manusia?
Pada umumnya, penderitaan adalah pengalaman paling mendalam
yang menggangu manusia. Victor Frankl (2003: 75) dalam bukunya Man
Search For Meaning menjelaskan bahwa menderita adalah bagian hidup
yang tidak dapat dihilangkan bahkan oleh nasib dan kematian. Tanpa
penderitaan dan kematian hidup manusia tidak akan lengkap. Orang-orang
yang melampaui penderitaan adalah orang-orang yang memiliki prestasi
batin. Ini merupakan tanda kebebasan spiritual sehingga dapat membuat
hidup lebih bermakna. Makna bersifat personal, unik dan dipenuhi sebagai
kebutuhan tertinggi manusia.
Budi Kleden (2006: xi) dalam bukunya Membongkar Derita
menyatakan bahwa persoalan penderitaan menyentuh rasio dan iman
manusia. Artinya, penderitaan menyentuh keseluruhan dimensi manusia.
Oleh karena itu, refleksi yang paling sesuai untuk membahas masalah
penderitaan adalah filosofis dan teologis. Kebutuhan kedua pendekatan ini
diperlukan karena beragam pertanyaan manusia seperti siapakah manusia?
Bagaimana asal dan tujuan kehadiran manusia? Mengapa ada keburukan?
Dimanakah Tuhan di hadapan seluruh kejahatan dan penderitaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini menampilkan kegelisahan manusia
tentang hakikat kenyataan. Kata penderitaan memiliki gema yang berkaitan
dengan refleksi dan makna kehidupan manusia, sekaligus sebagai ancaman
bagi manusia untuk menemukan kebahagiaan. Penderitaan dengan
demikian merupakan keadaan yang menggangu keberadaan manusia dan
proyeksi kehidupannya. Penderitaan tidak dapat diacuhkan karena bersifat
negatif, tetapi penderitaan juga tidak dapat dipahami sebagai hukuman dari
Tuhan. Fenomena penderitaan secara filosofis harus ditilik mulai dari
manusia yang merefleksikannya sehingga hakikat filosofis penderitaan
dimengerti.
Penderitaan secara filosofis dibahas juga oleh Karl Jaspers. Konsep
penderitaan dalam pemikiran Jaspers termasuk dalam situasi batas. Situasi
batas dalam pemikiran Jaspers terdiri dari: kematian, penderitaan,
perjuangan, kegagalan dan kesalahan. Jonna bornemark (2006: 54) dalam
artikelnya berjudul Limit Situation menyatakan:
“Limit-situation concerns the specific individual as a foundational
structure. The paradoxes that the limit-situations carry are of
concern not only as an abstract mind-game but especially in factual
life”.
Pemikiran Jaspers dalam pemikiran filsafat ditempatkan dalam
filsafat eksistensialis sehingga konsep penderitaan berkaitan erat dengan
konsep eksistensi. Eksistensialisme memandang manusia terlahir sebagai
“ada” yang biologis, mekanis tetapi manusia harus menjadi eksistensi yang
mandiri dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya (Flynn,
1995:5). Manusia (being) disituasikan oleh kondisi biologis dan status
sosial tetapi manusia terus berubah oleh kehendak bebas dan
transendensinya (Reynolds, 2006:3). Konsep-konsep ini dikembangkan
dari pemikiran Søren Kierkegaard. Konsep lain yang dikembangkan
kemudia juga adalah anxiety, authenticity and inauthenticity, choice,
commitment, freedom, and responsibility.
Jaspers menempatkan filsafat eksistensi sebagai suatu metafisika.
Problem utamanya adalah persoalan yang Ada. Manusia pertama-tama
harus sadar keberadaannya dalam situasi yang tidak pasti, dan karena itu
terbuka dengan kemungkinan. Manusia yang sadar dalam situasi demikian
ditantang untuk terus menerus mencari yang ada hingga menemukan
kepastian akan dirinya (Siswanto, 1998: 128). Landasan operasional
filsafat adalah kesadaran tentang “Yang Melingkupi”yang hadir melalui
keterbukaan pikiran terhadap ada dan hubungannya dengan pengetahuan.
Kesadaran “Yang Melingkupi” ini hadir melalui situasi batas (Michelman,
2008: 126).
Penderitaan justru bermakna dalam pemikiran Jaspers. Kurt
Salamun (2006: 8) dalam artikelnya yang berjudul Karl Jaspers,
Conception Of The Meaning Of life menyatakan bahwa:
“Jaspers focuses on the importance of "active suffering" which is
the opposite of resignation. It implies effort to be happy despite
suffering. Due to the "antinomial structure" of all life and reality,
human beings always have two basic options in confrontation with
boundary situations: an option of resignation, pessimism and
nihilistic despair, or in contrast, the option of optimistic confidence
in the meaning of life”.
Ulrich Diehl (2009: 4) dalam artikelnya berjudul Human Suffering
as a Challenge for the meaning of life menegaskan:
“The common moment of all Grenzsituationen is that they bring
about suffering; but the commont moment is also, that they let the
forces grow, which go along with the pleasures of existence, of
meaning, of growing. Suffering is not the one Grenzsituation among
others, but all o them turn into suffering under their subjective
point of view. Pleasure and suffering are unavoidably chained to
each other”.
Penderitaan adalah sebuah karakter dari batasan dalam hidup.
Penderitaan juga dihindari tetapi menghindari memahami penderitaan
sebagai bagian dari kebutuhan kehidupan manusia mengarah pada
penipuan diri dan kegagalan untuk melihat makna eksistensial dari
penderitaan.
Sebaliknya,
menerima
penderitaan
dan
menghadapi
penderitaan dan menerima bahwa itu menandai bahwa penderitaan milik
manusia secara personal. Apapun pilihan kehendak seseorang dalam hidup,
jumlah penderitaan tidak dapat dihindari. Kebahagiaan belaka menjadi
tanpa makna atau kosong. Kebahagiaan sejati harus mengambil resiko dan
terbentuk lagi dengan penderitaan itu (Ulrich 2009: 36-39).
D. Landasan Teori
Ontologi dimengerti sebagai ilmu dari ‘yang ada” pada umumnya
yang mencakup beberapa isu yaitu hakikat dari eksistensi dan struktur
kategori dari setiap realitas. Keberadaan sebagai substansi dilacak dalam
kategori Aristoteles. Sistem ontologi yang lain mengusulkan skema lain.
Skema kategori menampilkan struktur hierarki, “ada” atau “yang ada”
sebagai kategori tertinggi yang mencakup segala yang ada. Skema lain
menampilkan pembagian yang ada antara yang “universal” dan partikular”
sebagai langkah lanjut dari skema hierarki. Pembagian lain juga adalah
“yang ada” sebagai abstrak dan kongkret (Roh dan Materi)” (Honderich,
2005: 670).
Filsafat tentang ta meta ta physica menurut Aristoteles berpusat pada
to on hei on (Metaphysica IV, 1; 1003a, 21). Artinya, pengada sekedar
pengada (a being as being). Kata Yunani on merupakan bentuk netral dari
oon dengan bentuk genetifnya ontos. Kata itu adalah bentuk partisipatif dari
kata kerja einai (“ada” atau “mengada”), jadi berarti: “yang ada atau
pengada”. Objek material bagi filsafat dalam hal ini terdiri dari segalagalanya yang ada. Hal-hal itu ditinjau dalam segi-segi formal bukan saja
aspek yang terbatas, atau sekedar manusia atau dunia serta Tuhan tetapi
menurut sifat dan hal mengadanya. Oleh karena itu, walaupun Aristoteles
belum menggunakan nama itu tetapi di kemudian hari filsafat ini disebut
sebagai ontologi (Bakker, 1992: 16).
Pertanyaan tentang “mengada” muncul dari pemahaman tentang
kenyataan kongkret. Ontologi dengan demikian menanyakan sesuatu yang
dikenal. Pertanyaan itu ada karena ada yang namanya pra-pengetahuan
(Vorwissen). Pra-pengetahuan sebagai suatu pemahaman yang menuntun
untuk menemukan paham berikutnya. Paham adalah usaha manusia adalah
usaha kesadaran manusia menunaikan kemanusiaannya. Oleh karena itu,
filsafat sebagai refleksi terakhir yang ingin mengeksplisitkan dan
mensistematisasikan pra-pengetahuan tersebut. Ontologi dengan demikian
bergerak diatara dua kutub yaitu antara pengalaman akan kenyataan
kongkret dan pra-pengertian mengada yang paling umum. Jadi, refleksi
ontologis berbentuk suatu lingkaran hermeneutis antara pengalaman dan
“mengada” tanpa mana yang dikatakan terlebih dulu (Bakker, 1992: 21).
Buah dari metafisika adalah bukan pengetahuan melainkan
pemahaman. Oleh karena itu, seorang metafisikus adalah orang yang tidak
pernah menutup diri dari pandangan-pandangan metafisika lain. Suatu
masalah metafisika tidak dipisahkan dari data yang menjadi tahap pertama
menganalisa masalah. Data berkaitan dengan kondisi umum (pemahaman
umum) tetapi datum adalah sesuatu yang “diberi” dalam refleksi filsafat
(Taylor, 1992: 2).
Bakker (1992) dalam bukunya Ontologi atau Metafisika Umum
menjelaskan ontologi sebagai filsafat pengada atau dasar-dasar kenyatan.
Metafisika tetap dianggap sebagai filsafat tentang yang-ada atau pengada.
Persoalan dasar pengada diantaranya adalah apakah pengada itu satu atau
banyak? Apakah pengada memiliki ciri homogal yang bersifat transendental?
Apakah pengada memiliki permanensi atau kebaruan? Apakah pengada
berdimensi jasmani atau rohani? Apakah kehadiran pengada itu bernilai atau
tidak? Apakah dalam pengada ditemukan norma ontologis transendental yang
berlaku untuk semua? (Siswanto, 2004: 23). Ontologi umum dalam penelitian
ini dijadikan sebagai objek formal membahas kenyataan penderitaan dalam
pemikiran Jaspers dengan beberapa dimensi yang digunakan sesuai dengan
kenyataan penderitaan.
E. Metode Penelitian
1.
Bahan atau materi Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif bidang filsafat yang bersumber dari
data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui
penelusuran pustaka yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan
penelitian.
a.
Bahan Primer
Karya Karl Jaspers yang berjudul Philosophy yang terdiri dari 3
Jilid.
1) Jilid I: Orientasi dunia
2) Jilid II: Penerangan Eksistensi
3) Jilid III: Metafisika
b. Bahan Sekunder
1) Karya Karl Jaspers yang berjudul:
a) A Way To Wisdom.
b) Truth and Symbol.
c) The Parenial Scope of Philosophy.
d) The Idea Of University.
e) Tragedy is not enough.
2) Buku dan tulisan yang membahas tentang pemikiran Karl
Jaspers:
a) Buku karya Harry Hamersma tentang Filsafat Eksistensi
Karl Jaspers.
b) Buku Karangan Filiz Pech tentang Death, Deathlessness
and Exitenz in Karl Jaspers Philosophy.
c) Tulisan Kurt Salamun Karl Jaspers Conception of
Meaning of Life (2006).
d) Tulisan Diehl, Ulrich berjudul Human Suffering as a
Challenge for the Meaning of Life (2009).
e) Tulisan Karya Joko Siswanto yang berjudul Tahap-tahap
bermetafisika Karl Jaspers dalam buku Metafisika
Sistematik (2004).
3) Buku yang membahas tentang eksistensialisme dan ontologi.
a) Buku karangan Marjorie Grene berjudul Dreadfull
Freedom “a critique of existentialism".
b) Historical Dictionary Of Existentialism ditulis oleh
Stephen Michelman.
c) Buku karangan Thomas Flynn yang berjudul An
Introduction to Existentialism.
d) Karya
penelitian
“Ontologi
Eksistensialisme
Kontemporer” oleh Joko Siswanto.
e) Buku
karangan
Richard
Taylor
yang
berjudul
Metaphysics.
c. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dan data sekunder dalam
penelitian ini diperoleh dari koleksi perpustakaan filsafat
Universitas Gajah Mada. Sebagian data sekunder diperoleh dari
jurnal ilmiah dan ensiklopedia elektronik di internet yang telah
disertai referensi yang lengkap dari para penulis.
d. Langkah-Langkah Penelitian
1) Mengumpulkan data yang berkaitan dengan tema penderitaan.
Dalam langkah pertama ini peneliti mengumpulkan buku-buku
atau karya dari Karl Jaspers dan tulisan yang membahas
tentang konflik Maluku. Selain itu, data yang dikumpulkan
berkaitan dengan objek formal dari penelitian ini.
2) Data yang dikumpulkan kemudian diklasifikasikan untuk
menentukan jenis data utama (primer) dan data pendukung
(sekunder).
3) Data yang dikumpulkan selanjutntya akan dianalisis sesuai
dengan metode yang telah dipilih, yakni metode hermeneutika
dengan unsur metodis: deskripsi, analisis, refleksi, dan
heuristik.
4) Menyusun hasil penelitian.
5) Seminar hasil penelitian untuk memperoleh saran, kritik dan
masukan-masukan yang konstruktif.
6) Menyusun laporan hasil penelitian.
e.
Analisis Data
Penelitian ini tergolong dalam model penelitian historis-faktual
mengenai tokoh.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu hermeneutika filosofis dengan unsur-unsur metodis sebagai
berikut:
1) Deskripsi
Metode ini dipakai karena tipe penelitian ini adalah
penelitian
kepustakaan
yang
bersifat
deskriptif.
Konsekuensinya, metode ini secara otomatis akan mewarnai
seluruh penelitian ini mulai dari persiapan, pengumpulan
data, serta analisis data (Bakker, 1990: 65). Pada metode ini,
peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsep Karl
Jaspers.
2) Analisis
Analisis
adalah
penderitaan
dalam
usaha
pemikiran
menguraikan
Karl
fenomena
Jaspers
untuk
mengetahui unsur-unsur yang lebih bersifat khusus
sehingga diperoleh pengertian tentang hakikat penderitaan
yang komprehensif.
3) Refleksi
Penelitian ini menginspirasi peneliti untuk mengambil
jarak (distansiasi) tentang pemikiran Karl Jaspers demi
membentuk konsepsinya tentang manusia dan penderitaan.
Refleksi itu didasari model sistematis-reflektif (Bakker,
1990: 65).
4) Heuristika
Unsure ini digunakan dalam upaya memahami teks yang
akan diteliti. Berdasarkan bahan baru atau pendekatan baru,
diusahakan menemukan pemahaman baru atau interpretasi
baru pada Karl Jaspers.
F. Sistematika Penulisan
Bab I, berisi penjelasan secara umum dan garis besar keseluruhan
tulisan. Secara berurutan terdiri dari bagian latar belakang penelitian,
tujuan penelitian. Tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
hasil yang akan dicapai, dan sistematika penelitian.
Bab II, berisi pengertian sistematis tentang ontologi, objek formal,
dan objek material, persoalan-persoalan umum ontologi, dan aliran-aliran
utama ontologi.
Bab III, berisi pemikiran para tokoh yang mempengaruhi Karl
Jaspers dan pengaruh pemikiran di zamannya. Uraian singkat biografi
Jaspers, pemikiran eksistensialisnya.
Bab IV, berisi tinjauan pemikiran umum tentang penderitaan dalam
analisa ontologis Anton Bakker terhadap penderitaan dalam seluruh
kerangka pemikiran Karl Jaspers.
Bab V, merefleksikan ontologis penderitaan dan kontribusinya
dalam memahami penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik.
Bab VI, berisi kesimpulan dan saran.
Download