BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di negara berkembang saat ini cenderung mengagumi kehebatan negara-negara maju dalam bidang ekonomi, sains, dan teknologi. Dari sudut teknologi misalnya, negara berkembang cenderung mengagumi konsep teknologi canggih negara-negara maju sehingga menjadikannya simbol dari kemajuan sebuah negara. Minat dan kesadaran akan perkembangan teknologi kekinian mulai diadopsi oleh negara berkembang, seperti Indonesia dan Mesir. Gadget misalnya, merupakan salah satu inovasi terbaru yang kini telah berubah tidak hanya sekedar alat bertukar komunikasi, tetapi juga telah menjadi gaya hidup. Gadget merupakan peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis (KBBI, 403:2014). Menurut survei yang telah dilakukan oleh the state of the global consumers (2013) penjualan gadget tertinggi dipegang oleh smartphone sebanyak 63%, tablet 51%, kamera digital 36%, kemudian laptop 30%, musik player 25%, games player 24 %, DVD player 23%, dan eReader 22%. Adapun survei yang telah dilakukan oleh pewresearch (2014), bahwa 88% pengguna hp di Mesir telah beralih ke smartphone dan 78% pengguna hp di Indonesia telah beralih ke smartphone. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa minat negara berkembang terhadap gadget, khususnya Indonesia dan Mesir sangatlah tinggi. Keberhasilan pemasaran gadget tidaklah lepas dari tayangan iklan yang digencarkan oleh produsen baik melalui media cetak maupun elektronik. Ketatnya persaingan produk gadget membuat para produsen semakin kreatif dalam menciptakan iklan dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Melalui industri periklanan, dikembangkanlah cara-cara untuk mendorong konsumsi sebagai bagian dari gaya hidup dalam masyarakat (Widyatama, 2005:39). Dari gaya hidup tersebut, pada akhirnya sebuah produk menjadi sebuah cerminan konsumen untuk menemukan makna kehidupan. Artinya, dengan mengonsumsi gadget berarti seseorang memiliki identitas tertentu di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, objek penelitian yang digunakan adalah teks iklan gadget di Indonesia dan Mesir. Kedua negara tersebut dipilih karena memiliki persamaan, yaitu sama-sama merupakan negara berkembang dan memiliki minat yang tinggi terhadap gadget. Meski demikian, kedua negara tersebut memiliki perbedaan latar belakang budaya yang berbeda. Goddard (1998:80) menjelaskan lebih lanjut bahwa penyebaran iklan ke negara lain tidak cukup hanya dengan penerjemahan, tetapi juga tentang pengkodean yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Proses tersebut biasanya disebut dengan copy adaptation, yaitu mengadaptasi sebuah teks iklan yang cocok dengan budaya target. Berdasarkan hal tersebut, tidak mengherankan bila satu iklan akan direpresentasikan berbeda berdasarkan latar belakang budaya negaranya. Untuk lebih jelasnya perhatikan data berikut ini. (1) Samsung Galaxy S6 edge, Next is now ‘Samsung Galaxy S6 edge, Yang akan datang adalah sekarang’ (J) (Iklan Samsung Galaxy S6 edge Indonesia) (2) سابق عصره Sa>bi` ‘as}ruh ‘Yang akan datang adalah sekarang’ Next is now, Samsung Galaxy S6|S6 edge ‘Yang akan datang adalah sekarang (J) (Iklan Samsung Galaxy S6 edge Mesir) Data (1) merupakan data iklan yang terdapat di Indonesia. Pihak pengiklan pada data (1) masih mempertahankan penggunaan tulisan Latin dan dalam bahasa Inggris yang berupa tuturan Samsung Galaxy S6 edge, Next is now ‘Samsung Galaxy S6 edge, Yang akan datang adalah sekarang’. Hal tersebut dikarenakan bahasa Inggris masih memiliki prestise yang tinggi di Indonesia dan diasumsikan mampu untuk menggambarkan konsumennya yang terkesan berpendidikan karena mampu menguasai bahasa asing. Sistem kepenulisannya memakai tulisan Latin karena masyarakat Indonesia menggunakan sistem tulisan Latin dari kiri ke kanan. Adapun data (2) merupakan data iklan yang terdapat di Mesir. Pihak pengiklan menggunakan dua jenis bahasa, yaitu bahasa Inggris yang berupa tuturan Next is now, Samsung Galaxy S6|S6 edge ‘yang akan datang adalah sekarang, Samsung Galaxy S6|S6 edge’ dan bahasa Arab yang berupa tuturan sa>bi` ‘as}ruh ‘yang akan datang adalah sekarang’. Pada data tersebut, tampak penggunaan dua sistem penulisan, yaitu tulisan Latin dan tulisan Arab. Penggunaan bahasa Inggris untuk memberikan kesan berprestise karena merupakan bahasa internasional, sedangkan penggunaan bahasa Arab agar mudah dipahami oleh penutur Arab. Penggunaan tulisan Latin mengacu pada penggunaan bahasa Inggris yang sistem kepenulisannya dari kiri ke kanan. Adapun penggunaan tulisan Arab menyesuaikan dengan bahasa Arab yang sistem kepenulisannya dari kanan ke kiri. Dari kedua data tersebut, tampak bahwa pengiklan menciptakan sebuah iklan sesuai dengan kultur budaya masing-masing. Berdasarkan pemaparan di atas, maka ditemukan beberapa masalah. Pertama, berkaitan dengan struktur WIG (Wacana Iklan Gadget) di Indonesia dan Mesir. Untuk lebih jelasnya, perhatikan data berikut ini. (3) Terbaru dan terjangkau dari Samsung Galaxy layar besar (J) 5” (F) Samsung Galaxy Grand Neo Plus (PP) (Iklan Samsung Galaxy Grand Neo Plus Indonesia) (4) تقنية عصرية تناسب إيقاع حياتك Tiqniyyah ‘as}riyah tuna>sib i>qa>’a h}aya>tak (J) ‘Teknologi modern yang cocok untuk ritme kehidupan anda’ (Iklan Lenovo A536 Mesir) Pada data (3), terdapat tiga elemen pembentuk WIG di Indonesia, yaitu judul (J), flash (F), dan PP. J pada data tersebut berupa tuturan Terbaru dan terjangkau dari Samsung Galaxy layar besar yang dibuat untuk merangsang rasa keingintahuan konsumen. Kata terbaru dan terjangkau pada data tersebut secara tidak langsung akan membuat konsumen semakin penasaran dengan produk baru dan harga terjangkau sehingga konsumen tertantang untuk membuktikannya. F pada data (3) berupa tuturan 5” yang dimaksudkan untuk memberi tahu konsumen bahwa produk Samsung Galaxy Grand Neo Plus memiliki layar lima inci. Adapun PP pada data tersebut berupa identitas produk Samsung Galaxy Grand Neo Plus yang sengaja digunakan oleh pengiklan agar konsumen hafal dengan produk tersebut dan suatu saat nanti dapat membelinya. Pada data (4), terdapat satu elemen pembentuk WIG di Mesir, yaitu judul (J). J pada data (4) berupa tuturan tiqniyyah ‘as}riyah tuna>sib i>qa>’a h}aya>tak ‘teknologi modern yang cocok untuk ritme kehidupan anda’. J pada data tersebut lebih menekankan pada keunggulan produk yang berupa teknologi modern yang dirancang agar sesuai dengan kebutuhan konsumennya. Permasalahan kedua adalah mengenai pemanfaatan aspek kebahasaan sebagai sarana mewujudkan identitas pengguna gadget di Indonesia dan Mesir. untuk lebih jelasnya, perhatikan data berikut ini. (5) Siap beraktivitas dimana saja (Iklan HP 14 Notebook) (6) Acer One 10 panduan sempurna Notebook Touch Screen 10* dengan 4 fungsi gadget berbeda solusi ideal untuk produktivitas dan hiburan anda (Iklan Acer One 10 Indonesia) (7) . شاشة رائعة ترفيو أثناء التنقل.كاميرا ذكية Ka>mera> z|akiyah. Sya>syah ra>i’a. Tarfi>h as|na>’ et-tanqil ‘Kamera cerdas. Layar besar. Hiburan selama beraktivitas’ (Iklan Sony Xperia T2 Mesir) (8) تقنية عصرية تناسب إيقاع حياتك Tiqniyyah ‘as}riyah tuna>sib i>qa>’a h}aya>tak ‘Teknologi modern yang cocok untuk ritme kehidupan anda’ (Iklan Lenovo A536 Mesir) Pada data (5) dan (6), kata beraktivitas dan produktivitas merujuk pada kelompok anak muda merupakan sumber tenaga kerja yang produktif. Hal tersebut didasari adanya asumsi bahwa produktivitas yang tinggi pasti didukung oleh aktivitas yang tinggi pula. Kata et-tanqil ‘beraktivitas’ yang terdapat pada data (7) menggambarkan anak muda yang menjadi sumber tenaga produktif tentu memiliki sejumlah aktivitas yang menunjangnya. Adapun kata tiqniyyah ‘as}riyah ‘teknologi modern’ pada data (8) menggambarkan identitas anak muda yang senang untuk mencoba hal-hal baru termasuk teknologi modern. Anak muda yang digambarkan pada data (5)-(8) baik dalam WIG Indonesia maupun Mesir tentu berada pada kelas tertentu. Anak muda yang dimaksud dalam WIG tersebut adalah anak muda yang tergolong pada kelas sosial menengah ke atas yang telah tercukupi kebutuhan dasarnya. Apabila ditelaah lebih lanjut pada penjelasan data (1)-(8), maka terdapat persamaan dan perbedaan struktur dan identitas antara WIG Indonesia dan Mesir. Oleh sebab itu, permasalahan ketiga pada penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan struktur dan identitas dalam WIG Indonesia dan Mesir. Berdasarkan kenyataan tersebut, penelitian ini sangatlah menarik dan layak untuk dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah struktur WIG di Indonesia dan Mesir? 2. Bagaimanakah pemanfaatan aspek kebahasaan dalam WIG di Indonesia dan Mesir dalam mewujudkan identitas penggunanya? 3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan struktur dan identitas dalam WIG di Indonesia dan Mesir? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan struktur WIG di Indonesia dan Mesir. 2. Mendeskripsikan penggunaan aspek kebahasaan dalam WIG di Indonesia dan Mesir dalam mewujudkan identitas penggunanya. 3. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan struktur dan identitas dalam WIG di Indonesia dan Mesir. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Untuk memfokuskan penelitian ini, maka penulis memberikan tiga batasan. Pertama, wacana iklan yang digunakan sebagai data adalah wacana iklan komersil mengenai gadget yang terdapat dalam baliho dan selebaran. Selain itu, data yang digunakan hanya berupa data iklan hp, tablet, notebook, dan laptop. Pembatasan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan ketersediaan data dan kemudahan dalam mendapatkan data. Kedua, baliho dan selebaran yang digunakan adalah baliho dan selebaran di Indonesia dan Mesir yang beredar pada bulan Mei-Juli 2015. Digunakannya data berupa baliho dan selebaran pada bulan Mei-Juli 2015 didasarkan pada pertimbangan fenomena kebahasaan terbaru dan sifat teknologi gadget yang cepat berubah. Ketiga, pihak pengiklan biasanya menciptakan WIG dalam bentuk verbal dan nonverbal. Oleh karena penelitian ini adalah penelitian kebahasaan, maka penulis hanya membatasi data iklan yang berupa data verbal. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan positif baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan akan memberi kontribusi dalam bidang linguistik, khususnya penelitian mengenai sosiolinguistik kontrastif. Selain itu, hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembanding atau model yang berguna untuk mendorong penelitianpenelitian sejenis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai struktur, identitas dalam WIG Indonesia dan Mesir serta perbandingan struktur dan identitas di antara kedua negara tersebut. Hal tersebut diharapkan dapat membantu pembelajar bahasa Indonesia dan Arab dalam memahami bahasa iklan di kedua negara tersebut. 1.6 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka ini dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah pustaka yang berhubungan dengan landasan teori. Kategori kedua adalah pustaka berhubungan dengan wacana iklan yang menyangkut masalah kebahasaan. Berikut akan dipaparkan kedua kategori tersebut. Pertama, kajian mengenai bahasa dan identitas telah menjadi perhatian tersendiri dalam buku-buku sosiolinguistik. Thornborrow (2007:227) menyebutkan bahwa penanda identitas personal dapat dilihat dari nama, praktik penamaan, dan sapaan. Adapun penanda identitas sosial dapat dilihat dari ragam bahasa yang digunakan. Oetomo (1987) sebagaimana yang dikutip Sumarsono (2013:336) meneliti mengenai kelompok Cina di Pasuruan. Berdasarkan pengamatannya, etnik Cina terbagi menjadi dua, yaitu Cina peranakan dan Cina totok. Selain itu, juga ada peranakan kelas atas dan kelas bawah. Subetnik Cina Totok dan pernakan memiliki beberapa perbedaan identitas kebahasaan. (1) Cina Totok mencakup pendatang yang lahir di Cina daratan serta yang masih menggunakan dialek Hokkian; (2) Generasi kedua dan ketiga Cina Totok masih memakai bahasa Mandarin atau setidaknya menggunakan kata pinjaman, sementara Cina peranakan memakai bahasa Belanda atau kata pinjamannya; (3) Realisasi fonemik Cina Totok mencakup variasi dalam bunyi dental. Kedua, kajian mengenai iklan dalam hubungannya denga bahasa pernah dilakukan oleh Fairlough (2003). Ia membahas mengenai peran ideologi konsumerisme dalam iklan. Ada tiga strategi penyebaran ideologi dalam iklan, yaitu pertama, membangun relasi antara pengiklan dan konsumen. Kedua, membangun citra baik dengan verbal maupun visual. Ketiga, membangun konsumen dengan cara menyusun posisi subjek konsumen sebagai anggota komunitas yang konsumtif. Sultan (2009) membahas mengenai struktur, aspek kebahasaan, penggunaan jenis tindak tutur, penyimpangan prinsip kerjasama, dan fungsi bahasa dalam iklan operator seluler. Metode yang digunakan olehnya adalah metode kontekstual. Adapun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur iklan operator seluler terdiri dari pembuka, isi, dan penutup. Aspek kebahasaan yang digunakan adalah ragam bahasa formal dan informal, serta aspek kebahasaan dalam bentuk ortografi, fonologi, repetisi, singkatan, campur kode, interferensi, deiksis, dan penyangatan yang kesemua itu berfungsi untuk mempengaruhi pembaca dan menciptakan keefektifan iklan. Jenis tindak tutur yang digunakan adalah tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Selain itu, terjadi pula penyimpangan pada wacana iklan operator seluler yang berupa maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Fungsi bahasa yang dalam wacana iklan tersebut berupa fungsi ekspresif, direktif, dan referensial. Sholikhah (2010) pernah melakukan penelitian mengenai wacana iklan komersial berbahasa Indonesia dan Inggris di televisi. Penelitian tersebut bertujuan untuk menjelaskan mengenai pemakaian bahasa dan teknik persuasif yang dipakai dalam iklan komersial berbahasa Indonesia dan Inggris. Metode yang digunakan adalah metode observasi. Berdasarkan hasil penelitianya, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga struktur utama dalam pembentukan iklan, yaitu judul, badan, dan penutup. Selain itu, ada perbedaan penggunaan bahasa dalam iklan komersial. Iklan berbahasa Indonesia cenderung menggunakan bahasa Indonesia standar dan non-standar, sedangkan iklan berbahasa Inggris cenderung menggunakan bahasa Inggris formal. Demi menarik perhatian calon konsumen, maka terdapat tiga teknik persuasif, yaitu ethos, pathos, dan logos. Oktarina (2012) meneliti mengenai wacana iklan berbahasa Minangkabau pada radio di Bukittinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur, teknik persuasi, jenis tindak tutur, dan aspek kebahasaan. Metode yang digunakan untuk membahas penelitian ini adalah metode padan pragmatis dengan teknik pilah unsur penentu dan metode agih dengan teknik dasar pengganti. Berdasarkan hasil analisisnya dapat disimpulkan, bahwa struktur wacana iklan berbahasa Minangkabau pada radio di Bukittinggi dapat dibagi menjadi komponen pembentuk wacana iklan dan pola struktur wacana iklan. Wacana iklan dibentuk oleh komponen dialog, monolog, lagu, syair, dan pantun. Secara garis besar, pola struktur wacana iklan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pembuka, badan dan penutup. Ada enam teknik persuasi yang digunakan untuk menarik minat konsumen, yaitu rasionalisasi, identifikasi, sugesti, konformitas, kompensasi, dan penggantian. Jenis tindak tuturnya terdiri dari tindak tutur representatif, direktif, komisif, dan ekspresif. Adapun aspek kebahasaan yang ditemukan berupa repetisi, singkatan, akronim, campur kode, alih kode, metafora, dan metonimia. Shabudin dan Aman (2012) meneliti mengenai wacana dan ideologi iklan produk kecantikan berbahasa Jepang. Iklan yang dimaksud merupakan iklan produk kecantikan buatan Jepang, ditulis dalam bahasa Jepang, serta dipasarkan di Jepang. Meski demikian, oksidentalisasi (konsep kecantikan Barat) tampak pada ciri tekstual yang terdapat dalam wacana iklan. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun negara Jepang merupakan salah satu negara yang maju dalam bidang ekonomi, namun dalam hal kecantikan negara Jepang masih berkiblat dan memerlukan intervensi ideologi dari negara oksidental. Prasetyo (2013) meneliti mengenai kohesi dan koherensi pada wacana iklan operator seluler telkomsel di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat. Dalam penelitiannya, ia menggunakan metode padan yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan hasil analisisnya, dapat disimpulkan bahwa iklan operator seluler merupakan wacana yang bersifat persuasif. Kohesi yang umum digunakan dalam wacana iklan ini adalah kohesi gramatikal pelesapan, yaitu kohesi gramatikal yang berupa pelesapan konstituen yang telah disebut. Apabila dilihat dari segi koherensinya, iklan operator seluler Telkomsel telah mengandung koherensi yang cukup baik. Dalam iklan tersebut memang tidak banyak ditemui konjungsi intra kalimat ataupun antarkalimat yang menunjukkan kepaduan suatu wacana, tetapi lebih pada pertautan yang dikaitkan dengan konteks. Yogyanti (2015) membahas mengenai kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengontraskan strategi kesopanan dan faktor yang mempengaruhinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kontrastif pragmatik. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa bobot ancaman pesan persuasif iklan di Jepang lebih besar dari pada di Indonesia. Apabila diamati berdasarkan konteks sosial budaya, pengiklan di Indonesia lebih menitikberatkan kesopanan pada skala jarak, sedangkan di Jepang lebih pada rangking imposisi. Penelitian yang akan dilakukan dalam karya ini berbeda dengan kajian pustaka sebelumnya. Perbedaan tersebut dapat diketahui berdasarkan fokus penelitian ini yang lebih mengarah ke identitas pengguna gadget yang terdapat di dua negara yang berbeda, yaitu Indonesia dan Mesir. Hingga saat ini, penulis belum menemukan penelitian yang sama. Oleh karena itu, penulis berkesempatan untuk meneliti lebih lanjut mengenai iklan gadget di Indonesia dan Mesir ditinjau dari struktur, identitas, dan persamaan dan perbedaan struktur dan identitas di balik iklan tersebut. 1.7 Landasan Teori Untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, maka digunakan beberapa teori yang dianggap relevan dengan permasalahannya. Teoriteori tersebut, yaitu iklan dan wacana iklan, dan bahasa dan identitas. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai kedua hal tersebut. 1.7.1 Iklan dan Wacana Iklan Iklan dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan kata ‘advertisement’ berasal dari bahasa Latin ‘advertere’ bermakna ‘mengubah arah’ (Goddard, 1998:6). Adapun dalam bahasa Arab, iklan dikenal dengan istilah i’la<n yang artinya penyiaran, pemberitahuan, dan pengumuman (Munawwir, 1997:967). ElAyu>bi (2015:23) menjelaskan bahwa Iklan bertujuan untuk menyampaikan informasi serta digunakan untuk mempengaruhi konsumen agar tertarik dengan barang dan jasa yang ditawarkan. Iklan gadget sebagai salah satu fenomena kebahasaan yang ada dalam masyarakat dapat dikategorikan sebagai wacana karena memenuhi persyaratan sebagai wacana. Istilah wacana digunakan oleh para linguis berbahasa Melayu yang diterjemahkan langsung dari bahasa Inggris discourse. Para ilmuwan sosial memiliki istilah lain untuk wacana, yaitu diskursus (Oetomo, 1993:4). Adapun dalam bahasa Arab, wacana biasa disebut dengan khit}a>b. Khit}a>b menurut Ibn Manzur (1991) yang dikutip oleh‘Uka>syah (2005:34) berasal dari kata kha>t}aba, yukha>t}ibu, khut}a>ban, yaitu percakapan antara dua orang. Lebih lanjut ‘Uka>syah menyebutkan bahwa ulama fikih, tafsir, dan balaghah terdahulu telah banyak mengkaji mengenai wacana al-quran. Namun, saat ini pembahasan wacana semakin meluas dengan adanya pengaruh dari barat sehingga pembahasan wacana tidak hanya terhenti pada alquran tetapi juga tentang penggunaan bahasa Arab di berbagai bidang. Wacana menurut Stubbs (1983:10) adalah organisasi bahasa atau unit linguistik di atas kalimat atau klausa, seperti pertukaran percakapan atau teks-teks tertulis. Demikian juga menurut Crystal (2008:148), wacana merupakan istilah yang digunakan dalam linguistik yang mengacu pada rangkaian bahasa yang berkesinambungan (khususnya lisan) yang lebih luas daripada kalimat. Lebih jauh dikatakan bahwa wacana sebagai satuan (unit) pelaku adalah seperangkat ujaran yang berhubungan dengan segala kejadian tutur yang dapat dikenali seperti: percakapan, lelucon, khoTah, dan wawancara. Oetomo (1993:3) mengutip pendapat Van Dijk mengungkapkan bahwa analisis wacana bahkan sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri yang merupakan titik temu antara linguistik, psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu komunikasi massa, ilmu politik, dan ilmu sosial lainnya. Oleh karena itu, wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas, seperti percakapan atau teks tertulis. Konsekuensinya, analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, khususnya interaksi atau dialog antarpenutur. Dalam berinteraksi, penutur tentu akan selalu berusaha sedemikian rupa agar tuturan yang ingin disampaikannya dapat dipahami dengan baik oleh mitra tutur. Sehubungan dengan hal tersebut, iklan gadget sebagai salah satu bentuk wacana dibentuk oleh satuan-satuan gramatikal di bawahnya dan satuan-satuan tersebut saling mendukung menjadi satu kesatuan dalam menyampaikan informasi atau pesan. Wacana memiliki struktur yang berupa pandahuluan, isi, dan penutup (Wijana, 2014:11; Tarigan, 1988:31). Sebagai bentuk wacana, maka iklan gadget di Indonesia dan Mesir juga terdiri dari pembukaan, isi, dan penutup. Menurut Jefkins (1997:233), unsur naskah iklan itu adalah judul, subjudul, teks, harga, nama, kupon dan signature slogan. Berikut struktur sebuah naskah iklan: 1) Judul Judul atau bisa juga disebut judul merupakan rangkaian kalimat atau katakata pendek, dan judul ini bisa sering kali berupa slogan. Judul seringkali berupa pernyataan yang terdiri dari satu kalimat atau dua kalimat, dan ditampilkan secara menyolok bahkan judul ini lebih mudah dilihat dari pada dibaca. 2) Subjudul Dalam penulisan subjudul seorang pengiklan didorong untuk menulis copy iklan dengan membayangkan dan mengambarkan bentuk visual iklan yang digarapnya karena subjudul ini sangat membantu sekali terhadap desain dan tifografi iklan. 3) Teks Iklan Teks terdiri dari isi iklan atau tubuh merupakan bagian inti pesan, yaitu menyampaikan informasi apa saja yang dibutuhkan oleh calon konsumen. 4) Harga Orang bisanya sangat peka terhadap harga, dan mungkinkan akan dijengkelkan oleh suatu iklan yang tidak mencantumkan harga, paling tidak mencantumkan harga. Apabila orang membaca surat kabar atau majalah sebagai nilai jual dan daya tariknya, dan bahkan harga-harga ini sering kali dicetak tebal. Akan ada pengaruh psikologis terhadap pencantuman harga-harga tersebut mungkin harga itu akan memberikan pengaruh bahwa produk yang diiklankan itu sayang bila dilewatkan begitu saja. 5) Nama dan Alamat Mungkin saja sudah cukup hanya dengan menyebutkan nama produk atau perusahaan pada iklan tersebut, didukung dengan logo, tetapi pengiklan lain ada yang mencantumkan nama dan alamat mereka dengan jelas. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar pembaca dapat mengenali merek dengan jelas dan menarik dengan nampilkan nama dan alamat mereka tebal-tebal. Pencantuman nama dan alamat ini sangatlah penting guna menghindari kekeliruan akibat alamat yang tidak jelas atau kesamaan nama kota. Bila tidak, pembaca akan kehilangan identitas pengiklan jika mereka memerlukan rujukan dan informasi. 6) Kupon Penulisan kupon merupakan pekerjaan yang lebih paling serius dari perkiraan sebelumnya dan hal itu tidaklah cukup hanya dengan mencantumkan nama dan alamat pengiklan saja. Hal yang paling penting adalah membuat tawaran yang diajukan dalam kupon dengan jelas, sehingga pembaca memahami apa yang dipesan, dan juga pengiklan dapat memberikan pelayanan secara memuaskan. 6) Slogan Slogan merupakan baris kalimat penutup (the pay-off line) yang dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan citra perusahaan. Penggunaan slogan telah menjadi hal yang biasa bagi pengilan karena daya tariknya. Bolen (1984:184) menyebutkan bahwa ada tiga unsur pembentuk iklan, yaitu (1) judul (judul), (2) body (tubuh), (3) close (penutup). Agar pesan dalam iklan tersampaikan kepada konsumen dengan baik, maka Bolen (1984) mengaitkan ketiga unsur tersebut dengan rumus AIDA (Attention ‘perhatian’, Interest ‘minat’, Desire ‘keinginan’, Action ‘tindakan’). Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut ini. Tabel I Struktur Iklan Struktur Judul Tubuh Penutup Isi Perhatian Minat dan keinginan Tindakan Tujuan Menarik perhatian Berkomunikasi Mengubah perilaku 1. Judul Judul pada wacana iklan berfungsi untuk menarik perhatian konsumen. Oleh sebab itu, diperlukan beberapa trik untuk menarik perhatian konsumen. Berikut adalah proporsi yang digunakan pengiklan untuk membuat judul iklan. a. Menenkankan keuntungan calon konsumen b. Membangkitkan keingintahuan konsumen c. Berupa pertanyaan d. Memberi perintah e. Menarik target tertentu 2. Tubuh Tubuh iklan bertujuan untuk menarik minat atau kesadaran calon konsumen. Bagian badan iklan biasanya mengandung alasan objektif (rasional) dan alasan subjektif (emosial). Hal ini dikarenakan calon konsumen menggunakan motif emosional atau rasional untuk memutuskan menggunakan suatu produk. Oleh karena itu, proporsi badan iklan terbagi menjadi tiga, yaitu: a. Berisi alasan subjektif (emosional) b. Berisi alasan objektif (rasional) c. Campuran alasan subjektif (emosional) dan objektif (rasional) 3. Penutup Tujuan bagian penutup ini adalah untuk mengubah tindakan pada diri konsumen. Ada dua pendekatan yang digunakan oleh pengiklan untuk menutup iklan, yaitu pendekatan penjualan (selling aproach) dan butir pasif (passive point). Pertama, pendekatan penjualan dapat digunakan untuk mengakhiri bagian iklan melalui teknik keras dan lunak. Penjualan dengan teknik keras adalah apabila pengiklan menuntut calon konsumen untuk bertindak cepat. Bentuk ujaran yang digunakan misalnya, dapatkan segera dan persediaan terbatas. Pendekatan penjualan dengan teknik lunak bertujuan untuk mengubah tindakan calon konsumen yang sifatnya tidak mendesak. Cara ini dimaksudkan agar calon konsumen mengingat nama produk dan membelinya pada kesempatan lain. Misalnya, menutup dengan slogan achieve more ‘pencapaian yang lebih’. Kedua, butir pasif (passive point) yang berisi informasi-informasi lain yang berhubungan dengan iklan. Informasi tersebut berupa informasi tambahan yang dianggap penting dan jika dihilangkan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah. Contoh dari informasi tersebut dapat berupa nama toko, nomor telepon, cap dagang, dan tempat pelayanan. 1.7.2 Bahasa dan Identitas Bahasa merupakan salah satu identitas manusia yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Pertanyaan mengenai bahasa berkenaan dengan pertanyaan tentang siapakah manusia itu. Para filsuf mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berbahasa (Baryadi, 2012:6). Jenkins (2008:5) juga memberikan penjelasan mengenai identitas manusia yang berakar pada bahasa untuk mengetahui siapa adalah siapa, begitu pula apa adalah apa. Termasuk juga di sini adalah mengetahui siapa kita, siapa orang lain, mereka tahu siapa kita, kita tahu mereka beranggapan kita siapa, dsb. Untuk sampai pada mengetahui siapa adalah siapa, diperlukan proses identifikasi. Identitas dan proses identifikasi ini berlangsung terus menerus dan tiada henti dalam kehidupan seharihari. Thornborrow (2007:238) menjabarkan bahwa seseorang akan dianggap sebagai anggota dari kelompok itu, baik dalam pandangan orang-orang dalam kelompok itu sendiri maupun dalam pandangan orang-orang di luar kelompok itu, jika dia dapat menunjukkan bahwa ia mampu menggunakan istilah-istilah bahasa yang tepat sesuai dengan norma-norma dari sebuah kelompok tertentu. Suatu identitas diakui dan dapat diterima oleh suatu kelompok jika identitas itu dikenal dan diakui oleh kelompok tersebut sebagai bagian dari kelompoknya. Pengakuan identitas sebagai representasi suatu kelompok dapat pula dilihat dari sudut pandang orang yang berada di luar kelompok. Salah satu hal yang dapat dijadikan patokan dalam memandang suatu identitas sebagai bagian dari kelompok adalah penggunaan istilah-istilah bahasa. Identitas dapat dibagi menjadi dua, yaitu identitas individu (identitas personal) dan identitas sosial (Thornborrow, 223:2007; Edwards, 2009:19; Barker, 2015:410). Thornborrow (2007:227) menyebutkan bahwa penanda identitas personal dapat dilihat dari nama, praktik penamaan, dan sapaan. Adapun penanda identitas sosial dapat dilihat dari ragam bahasa yang digunakan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penggunaan nama, praktik penamaan, sapaan, dan ragam bahasa dalam WIG baik di Indonesia maupun Mesir dapat digunakan untuk merepresentasikan sebuah identitas penggunanya. Menyadari bahwa peneliti bukanlah penutur asli bahasa Arab, maka ada beberapa hal yang ditanyakan kepada pemilik bahasa Arab di Mesir, khususnya berkaitan dengan ragam bahasanya. Oleh sebab itu, penulis menanyakan hal tersebut pada dua orang native, yaitu Ahmed Fikri (Tutor bahasa Arab di jurusan Sastra Asia Barat, FIB, UGM) dan Fahmi Heeba (Tutor bahasa Arab untuk penutur asing di Lisan As-salam, Cairo, Mesir). 1.8 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Objek pada penelitian ini adalah wacana iklan gagdet. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kalimatkalimat yang terdapat dalam wacana iklan gadget (WIG) di Indonesia dan Mesir yang dimuat pada baliho dan selebaran bulan Mei-Juli 2015. Jumlah total WIG yang dijadikan objek penelitian ini sebanyak 65 WIG, yang terdiri dari 31 WIG berbahasa Indonesia dan 34 WIG berbahasa Arab. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan yang terakhir adalah tahap penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993: 5). Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai ketiganya. 1.8.1 Penyediaan Data Pada tahap penyediaan data, digunakan metode simak, yaitu menyimak WIG yang terdapat di Indonesia dan Mesir. Dengan metode simak ini, peneliti tidak bekerja sendiri saat mengumpulkan data, melainkan bekerja sama dengan seorang volunteer yang merupakan mahasiswa tingkat akhir di Sastra Asia Barat, FIB, UGM dikarenakan keterbatasan waktu. Peneliti melakukan pengamatan WIG di Mesir yang tertera pada baliho di sepanjang jalan utama di kota Cairo, khususnya di sepanjang jalan Ramsis dan jalan tol menuju bandara Internasional Cairo. Adapun pengamatan WIG berupa selebaran dilakukan di Saruq Mall. Adapun pengamatan WIG di Indonesia dilakukan oleh volunteer. Pengamatan WIG yang tertera pada baliho dilakukan di sepanjang jalan utama di Jogjakarta, khususnya di sepanjang jalan Laksa Adi Sucipto dan Jalan menuju Malioboro. Adapun pengamatan WIG berupa selebaran dilakukan di Mall Jogja Tronik. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik foto, yaitu memfoto WIG pada baliho maupun selebaran. Adapun teknik lanjutannya adalah teknik catat dengan menggunakan transkripsi ortografis. Transkripsi ortografis adalah transkripsi yang menggunakan ejaan (Kesuma, 2007:46). Setelah data tercatat, data di dalamnya terdapat bahasa asing kemudian diterjemahkan dengan metode penerjemahan setia, yaitu mencoba untuk menghasilkan makna kontekstual namun masih menggunakan struktur gramatikal bahasa sumber (Newmark, 1988:45). 1.8.2 Analisis Data Pada tahap analisis data, untuk menjawab rumusan masalah pertama digunakan metode agih, yaitu metode yang alat penentunya ada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993:15). Teknik yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung, yaitu membagi suatu konstruksi menjadi beberapa bagian yang langsung membentuk konstruksi yang dimaksud. Adapun alat penentunya adalah intuisi kebahasaan peneliti terhadap bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993:31). Untuk menjawab rumusan masalah kedua, penulis menggunakan metode kontekstual. Rahardi (2005:16) menjelaskan bahwa metode kontekstual adalah menghubungkan fenomena kebahasaan dengan konteks penuturan (situasi tutur) yang terdiri atas penutur, lawan tutur, tempat, dan waktu tuturan dan sebagainya yang pada hakikatnya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur. Untuk menjawab rumusan masalah ketiga, maka digunakan metode kontrastif dengan teknik hubung banding. Metode kontrastif merupakan metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan (Kridalaksana, 2011:15). Adapun teknik hubung banding digunakan untuk membandingkan satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu berupa hubung banding antara semua unsur penentu yang relevan (Sudaryanto 1993:27). Berikut adalah langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut. 1. Penulis memilah-milah kata, frasa, maupun klausa menurut fungsinya dalam iklan kemudian mengkategorikannya menjadi judul, subjudul, flash, tubuh, dan penutup. 2. Berdasarkan penggolongan tersebut, kemudian dipilih lagi menjadi tipe sederhana, tidak lengkap, dan lengkap. 3. Setelah diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, maka penulis menggolongkannya menjadi pembukaan, isi, dan penutup. 4. Objek kajian berupa WIG akan dikaitkan dengan konteks situasi sosial dan budaya yang ada di Indonesia dan Mesir, sehingga dapat diketahui identitas pengguna gadget di Indonesia dan Mesir. 5. Membandingkan unsur-unsur kebahasaan yang berupa struktur dan identitas WIG, sehingga akan diperoleh persamaan dan perbedaan keduanya. 1.8.3 Penyajian Hasil Analisis Data Pada tahap penyajian analisis digunakan metode informal. Artinya penyajian hasil penelitian dirumuskan dengan kata-kata biasa yaitu dengan kata-kata yang apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami (Kesuma, 2007:71). 1.9 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi mengenai struktur wacana iklan gadget dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Bab ketiga, adalah pembahasan mengenai aspek-aspek kebahasaan pembentuk identitas. Bab keempat berisi tentang persamaan dan perbedaan struktur wacana iklan gadget dan identitas penggunanya. Bab kelima adalah penutupan yang berisi kesimpulan dan saran.