BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat di negara berkembang saat ini cenderung mengagumi
kehebatan negara-negara maju dalam bidang ekonomi, sains, dan teknologi. Dari
sudut teknologi misalnya, negara berkembang cenderung mengagumi konsep
teknologi canggih negara-negara maju sehingga menjadikannya simbol dari
kemajuan sebuah negara.
Minat dan kesadaran akan perkembangan teknologi kekinian mulai
diadopsi oleh negara berkembang, seperti Indonesia dan Mesir. Gadget misalnya,
merupakan salah satu inovasi terbaru yang kini telah berubah tidak hanya sekedar
alat bertukar komunikasi, tetapi juga telah menjadi gaya hidup. Gadget merupakan
peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis (KBBI, 403:2014).
Menurut survei yang telah dilakukan oleh the state of the global
consumers (2013) penjualan gadget tertinggi dipegang oleh smartphone sebanyak
63%, tablet 51%, kamera digital 36%, kemudian laptop 30%, musik player 25%,
games player 24 %, DVD player 23%, dan eReader 22%. Adapun survei yang
telah dilakukan oleh pewresearch (2014), bahwa 88% pengguna hp di Mesir telah
beralih ke smartphone dan 78% pengguna hp di Indonesia telah beralih ke
smartphone. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa minat negara
berkembang terhadap gadget, khususnya Indonesia dan Mesir sangatlah tinggi.
Keberhasilan pemasaran gadget tidaklah lepas dari tayangan iklan yang
digencarkan oleh produsen baik melalui media cetak maupun elektronik. Ketatnya
persaingan produk gadget membuat para produsen semakin kreatif dalam
menciptakan iklan dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Melalui industri
periklanan, dikembangkanlah cara-cara untuk mendorong konsumsi sebagai
bagian dari gaya hidup dalam masyarakat (Widyatama, 2005:39). Dari gaya hidup
tersebut, pada akhirnya sebuah produk menjadi sebuah cerminan konsumen untuk
menemukan makna kehidupan. Artinya, dengan mengonsumsi gadget berarti
seseorang memiliki identitas tertentu di dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini, objek penelitian yang digunakan adalah teks iklan
gadget di Indonesia dan Mesir. Kedua negara tersebut dipilih karena memiliki
persamaan, yaitu sama-sama merupakan negara berkembang dan memiliki minat
yang tinggi terhadap gadget. Meski demikian, kedua negara tersebut memiliki
perbedaan latar belakang budaya yang berbeda. Goddard (1998:80) menjelaskan
lebih lanjut bahwa penyebaran iklan ke negara lain tidak cukup hanya dengan
penerjemahan, tetapi juga tentang pengkodean yang berbeda antara satu budaya
dengan budaya lainnya. Proses tersebut biasanya disebut dengan copy adaptation,
yaitu mengadaptasi sebuah teks iklan yang cocok dengan budaya target.
Berdasarkan
hal
tersebut,
tidak
mengherankan
bila
satu
iklan
akan
direpresentasikan berbeda berdasarkan latar belakang budaya negaranya. Untuk
lebih jelasnya perhatikan data berikut ini.
(1) Samsung Galaxy S6 edge, Next is now
‘Samsung Galaxy S6 edge, Yang akan datang adalah sekarang’ (J)
(Iklan Samsung Galaxy S6 edge Indonesia)
(2) ‫سابق عصره‬
Sa>bi` ‘as}ruh
‘Yang akan datang adalah sekarang’
Next is now, Samsung Galaxy S6|S6 edge ‘Yang akan datang adalah
sekarang (J)
(Iklan Samsung Galaxy S6 edge Mesir)
Data (1) merupakan data iklan yang terdapat di Indonesia. Pihak pengiklan
pada data (1) masih mempertahankan penggunaan tulisan Latin dan dalam bahasa
Inggris yang berupa tuturan Samsung Galaxy S6 edge, Next is now ‘Samsung
Galaxy S6 edge, Yang akan datang adalah sekarang’. Hal tersebut dikarenakan
bahasa Inggris masih memiliki prestise yang tinggi di Indonesia dan diasumsikan
mampu untuk menggambarkan konsumennya yang terkesan berpendidikan karena
mampu menguasai bahasa asing. Sistem kepenulisannya memakai tulisan Latin
karena masyarakat Indonesia menggunakan sistem tulisan Latin dari kiri ke
kanan.
Adapun data (2) merupakan data iklan yang terdapat di Mesir. Pihak
pengiklan menggunakan dua jenis bahasa, yaitu bahasa Inggris yang berupa
tuturan Next is now, Samsung Galaxy S6|S6 edge ‘yang akan datang adalah
sekarang, Samsung Galaxy S6|S6 edge’ dan bahasa Arab yang berupa tuturan
sa>bi` ‘as}ruh ‘yang akan datang adalah sekarang’. Pada data tersebut, tampak
penggunaan dua sistem penulisan, yaitu tulisan Latin dan tulisan Arab.
Penggunaan bahasa Inggris untuk memberikan kesan berprestise karena
merupakan bahasa internasional, sedangkan penggunaan bahasa Arab agar mudah
dipahami oleh penutur Arab. Penggunaan tulisan Latin mengacu pada penggunaan
bahasa Inggris yang sistem kepenulisannya dari kiri ke kanan. Adapun
penggunaan tulisan Arab menyesuaikan dengan bahasa Arab yang sistem
kepenulisannya dari kanan ke kiri. Dari kedua data tersebut, tampak bahwa
pengiklan menciptakan sebuah iklan sesuai dengan kultur budaya masing-masing.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka ditemukan beberapa masalah.
Pertama, berkaitan dengan struktur WIG (Wacana Iklan Gadget) di Indonesia dan
Mesir. Untuk lebih jelasnya, perhatikan data berikut ini.
(3) Terbaru dan terjangkau dari Samsung Galaxy layar besar (J)
5” (F)
Samsung Galaxy Grand Neo Plus (PP)
(Iklan Samsung Galaxy Grand Neo Plus Indonesia)
(4) ‫تقنية عصرية تناسب إيقاع حياتك‬
Tiqniyyah ‘as}riyah tuna>sib i>qa>’a h}aya>tak (J)
‘Teknologi modern yang cocok untuk ritme kehidupan anda’
(Iklan Lenovo A536 Mesir)
Pada data (3), terdapat tiga elemen pembentuk WIG di Indonesia, yaitu
judul (J), flash (F), dan PP. J pada data tersebut berupa tuturan Terbaru dan
terjangkau dari Samsung Galaxy layar besar yang dibuat untuk merangsang
rasa keingintahuan konsumen. Kata terbaru dan terjangkau pada data tersebut
secara tidak langsung akan membuat konsumen semakin penasaran dengan
produk baru dan harga terjangkau sehingga konsumen tertantang untuk
membuktikannya.
F pada data (3) berupa tuturan 5” yang dimaksudkan untuk memberi tahu
konsumen bahwa produk Samsung Galaxy Grand Neo Plus memiliki layar lima
inci. Adapun PP pada data tersebut berupa identitas produk Samsung Galaxy
Grand Neo Plus yang sengaja digunakan oleh pengiklan agar konsumen hafal
dengan produk tersebut dan suatu saat nanti dapat membelinya.
Pada data (4), terdapat satu elemen pembentuk WIG di Mesir, yaitu judul
(J). J pada data (4) berupa tuturan tiqniyyah ‘as}riyah tuna>sib i>qa>’a h}aya>tak
‘teknologi modern yang cocok untuk ritme kehidupan anda’. J pada data
tersebut lebih menekankan pada keunggulan produk yang berupa teknologi
modern
yang
dirancang
agar
sesuai
dengan
kebutuhan
konsumennya.
Permasalahan kedua adalah mengenai pemanfaatan aspek kebahasaan sebagai
sarana mewujudkan identitas pengguna gadget di Indonesia dan Mesir. untuk
lebih jelasnya, perhatikan data berikut ini.
(5) Siap beraktivitas dimana saja (Iklan HP 14 Notebook)
(6) Acer One 10 panduan sempurna Notebook Touch Screen 10* dengan 4
fungsi gadget berbeda solusi ideal untuk produktivitas dan hiburan
anda (Iklan Acer One 10 Indonesia)
(7) .‫ شاشة رائعة ترفيو أثناء التنقل‬.‫كاميرا ذكية‬
Ka>mera> z|akiyah. Sya>syah ra>i’a. Tarfi>h as|na>’ et-tanqil
‘Kamera cerdas. Layar besar. Hiburan selama beraktivitas’
(Iklan Sony Xperia T2 Mesir)
(8) ‫تقنية عصرية تناسب إيقاع حياتك‬
Tiqniyyah ‘as}riyah tuna>sib i>qa>’a h}aya>tak
‘Teknologi modern yang cocok untuk ritme kehidupan anda’ (Iklan
Lenovo A536 Mesir)
Pada data (5) dan (6), kata beraktivitas dan produktivitas merujuk pada
kelompok anak muda merupakan sumber tenaga kerja yang produktif. Hal
tersebut didasari adanya asumsi bahwa produktivitas yang tinggi pasti didukung
oleh aktivitas yang tinggi pula. Kata et-tanqil ‘beraktivitas’ yang terdapat pada
data (7) menggambarkan anak muda yang menjadi sumber tenaga produktif tentu
memiliki sejumlah aktivitas yang menunjangnya. Adapun kata tiqniyyah ‘as}riyah
‘teknologi modern’ pada data (8) menggambarkan identitas anak muda yang
senang untuk mencoba hal-hal baru termasuk teknologi modern. Anak muda yang
digambarkan pada data (5)-(8) baik dalam WIG Indonesia maupun Mesir tentu
berada pada kelas tertentu. Anak muda yang dimaksud dalam WIG tersebut
adalah anak muda yang tergolong pada kelas sosial menengah ke atas yang telah
tercukupi kebutuhan dasarnya.
Apabila ditelaah lebih lanjut pada penjelasan data (1)-(8), maka terdapat
persamaan dan perbedaan struktur dan identitas antara WIG Indonesia dan Mesir.
Oleh sebab itu, permasalahan ketiga pada penelitian ini adalah persamaan dan
perbedaan struktur dan identitas dalam WIG Indonesia dan Mesir. Berdasarkan
kenyataan tersebut, penelitian ini sangatlah menarik dan layak untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah struktur WIG di Indonesia dan Mesir?
2. Bagaimanakah pemanfaatan aspek kebahasaan dalam WIG di Indonesia
dan Mesir dalam mewujudkan identitas penggunanya?
3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan struktur dan identitas dalam
WIG di Indonesia dan Mesir?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan struktur WIG di Indonesia dan Mesir.
2. Mendeskripsikan penggunaan aspek kebahasaan dalam WIG di Indonesia
dan Mesir dalam mewujudkan identitas penggunanya.
3. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan struktur dan identitas dalam
WIG di Indonesia dan Mesir.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memfokuskan penelitian ini, maka penulis memberikan tiga
batasan. Pertama, wacana iklan yang digunakan sebagai data adalah wacana iklan
komersil mengenai gadget yang terdapat dalam baliho dan selebaran. Selain itu,
data yang digunakan hanya berupa data iklan hp, tablet, notebook, dan laptop.
Pembatasan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan ketersediaan data dan
kemudahan dalam mendapatkan data.
Kedua, baliho dan selebaran yang digunakan adalah baliho dan selebaran
di Indonesia dan Mesir yang beredar pada bulan Mei-Juli 2015. Digunakannya
data berupa baliho dan selebaran pada bulan Mei-Juli 2015 didasarkan pada
pertimbangan fenomena kebahasaan terbaru dan sifat teknologi gadget yang cepat
berubah. Ketiga, pihak pengiklan biasanya menciptakan WIG dalam bentuk
verbal dan nonverbal. Oleh karena penelitian ini adalah penelitian kebahasaan,
maka penulis hanya membatasi data iklan yang berupa data verbal.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan positif baik
secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan
akan memberi kontribusi dalam bidang linguistik, khususnya penelitian mengenai
sosiolinguistik kontrastif. Selain itu, hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi
bahan pembanding atau model yang berguna untuk mendorong penelitianpenelitian sejenis.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi penjelasan
mengenai struktur, identitas dalam WIG Indonesia dan Mesir serta perbandingan
struktur dan identitas di antara kedua negara tersebut. Hal tersebut diharapkan
dapat membantu pembelajar bahasa Indonesia dan Arab dalam memahami bahasa
iklan di kedua negara tersebut.
1.6 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah
pustaka yang berhubungan dengan landasan teori. Kategori kedua adalah pustaka
berhubungan dengan wacana iklan yang menyangkut masalah kebahasaan.
Berikut akan dipaparkan kedua kategori tersebut.
Pertama, kajian mengenai bahasa dan identitas telah menjadi perhatian
tersendiri
dalam
buku-buku
sosiolinguistik.
Thornborrow
(2007:227)
menyebutkan bahwa penanda identitas personal dapat dilihat dari nama, praktik
penamaan, dan sapaan. Adapun penanda identitas sosial dapat dilihat dari ragam
bahasa yang digunakan.
Oetomo (1987) sebagaimana yang dikutip Sumarsono (2013:336) meneliti
mengenai kelompok Cina di Pasuruan. Berdasarkan pengamatannya, etnik Cina
terbagi menjadi dua, yaitu Cina peranakan dan Cina totok. Selain itu, juga ada
peranakan kelas atas dan kelas bawah. Subetnik Cina Totok dan pernakan
memiliki beberapa perbedaan identitas kebahasaan. (1) Cina Totok mencakup
pendatang yang lahir di Cina daratan serta yang masih menggunakan dialek
Hokkian; (2) Generasi kedua dan ketiga Cina Totok masih memakai bahasa
Mandarin atau setidaknya menggunakan kata pinjaman, sementara Cina
peranakan memakai bahasa Belanda atau kata pinjamannya; (3) Realisasi fonemik
Cina Totok mencakup variasi dalam bunyi dental.
Kedua, kajian mengenai iklan dalam hubungannya denga bahasa pernah
dilakukan oleh Fairlough (2003). Ia membahas mengenai peran ideologi
konsumerisme dalam iklan. Ada tiga strategi penyebaran ideologi dalam iklan,
yaitu pertama, membangun relasi antara pengiklan dan konsumen. Kedua,
membangun citra baik dengan verbal maupun visual. Ketiga, membangun
konsumen dengan cara menyusun posisi subjek konsumen sebagai anggota
komunitas yang konsumtif.
Sultan
(2009)
membahas
mengenai
struktur,
aspek
kebahasaan,
penggunaan jenis tindak tutur, penyimpangan prinsip kerjasama, dan fungsi
bahasa dalam iklan operator seluler. Metode yang digunakan olehnya adalah
metode kontekstual. Adapun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur
iklan operator seluler terdiri dari pembuka, isi, dan penutup. Aspek kebahasaan
yang digunakan adalah ragam bahasa formal dan informal, serta aspek kebahasaan
dalam bentuk ortografi, fonologi, repetisi, singkatan, campur kode, interferensi,
deiksis, dan penyangatan yang kesemua itu berfungsi untuk mempengaruhi
pembaca dan menciptakan keefektifan iklan. Jenis tindak tutur yang digunakan
adalah tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Selain itu, terjadi pula
penyimpangan pada wacana iklan operator seluler yang berupa maksim kuantitas,
kualitas, relevansi, dan cara. Fungsi bahasa yang dalam wacana iklan tersebut
berupa fungsi ekspresif, direktif, dan referensial.
Sholikhah (2010) pernah melakukan penelitian mengenai wacana iklan
komersial berbahasa Indonesia dan Inggris di televisi. Penelitian tersebut
bertujuan untuk menjelaskan mengenai pemakaian bahasa dan teknik persuasif
yang dipakai dalam iklan komersial berbahasa Indonesia dan Inggris. Metode
yang digunakan adalah metode observasi. Berdasarkan hasil penelitianya, maka
dapat disimpulkan bahwa ada tiga struktur utama dalam pembentukan iklan, yaitu
judul, badan, dan penutup. Selain itu, ada perbedaan penggunaan bahasa dalam
iklan komersial. Iklan berbahasa Indonesia cenderung menggunakan bahasa
Indonesia standar dan non-standar, sedangkan iklan berbahasa Inggris cenderung
menggunakan bahasa Inggris formal. Demi menarik perhatian calon konsumen,
maka terdapat tiga teknik persuasif, yaitu ethos, pathos, dan logos.
Oktarina (2012) meneliti mengenai wacana iklan berbahasa Minangkabau
pada radio di Bukittinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur,
teknik persuasi, jenis tindak tutur, dan aspek kebahasaan. Metode yang digunakan
untuk membahas penelitian ini adalah metode padan pragmatis dengan teknik
pilah unsur penentu dan metode agih dengan teknik dasar pengganti. Berdasarkan
hasil analisisnya dapat disimpulkan, bahwa struktur wacana iklan berbahasa
Minangkabau pada radio di Bukittinggi dapat dibagi menjadi komponen
pembentuk wacana iklan dan pola struktur wacana iklan. Wacana iklan dibentuk
oleh komponen dialog, monolog, lagu, syair, dan pantun. Secara garis besar, pola
struktur wacana iklan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pembuka, badan dan
penutup. Ada enam teknik persuasi yang digunakan untuk menarik minat
konsumen, yaitu rasionalisasi, identifikasi, sugesti, konformitas, kompensasi, dan
penggantian. Jenis tindak tuturnya terdiri dari tindak tutur representatif, direktif,
komisif, dan ekspresif. Adapun aspek kebahasaan yang ditemukan berupa repetisi,
singkatan, akronim, campur kode, alih kode, metafora, dan metonimia.
Shabudin dan Aman (2012) meneliti mengenai wacana dan ideologi iklan
produk kecantikan berbahasa Jepang. Iklan yang dimaksud merupakan iklan
produk kecantikan buatan Jepang, ditulis dalam bahasa Jepang, serta dipasarkan di
Jepang. Meski demikian, oksidentalisasi (konsep kecantikan Barat) tampak pada
ciri tekstual yang terdapat dalam wacana iklan. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa meskipun negara Jepang merupakan salah satu negara yang
maju dalam bidang ekonomi, namun dalam hal kecantikan negara Jepang masih
berkiblat dan memerlukan intervensi ideologi dari negara oksidental.
Prasetyo (2013) meneliti mengenai kohesi dan koherensi pada wacana
iklan operator seluler telkomsel di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat. Dalam
penelitiannya, ia menggunakan metode padan yang alat penentunya berada di luar,
terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan
hasil analisisnya, dapat disimpulkan bahwa iklan operator seluler merupakan
wacana yang bersifat persuasif. Kohesi yang umum digunakan dalam wacana
iklan ini adalah kohesi gramatikal pelesapan, yaitu kohesi gramatikal yang berupa
pelesapan konstituen yang telah disebut. Apabila dilihat dari segi koherensinya,
iklan operator seluler Telkomsel telah mengandung koherensi yang cukup baik.
Dalam iklan tersebut memang tidak banyak ditemui konjungsi intra kalimat
ataupun antarkalimat yang menunjukkan kepaduan suatu wacana, tetapi lebih
pada pertautan yang dikaitkan dengan konteks.
Yogyanti (2015) membahas mengenai kesopanan dalam wacana iklan
majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengontraskan strategi kesopanan dan faktor yang mempengaruhinya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kontrastif pragmatik.
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa bobot ancaman pesan
persuasif iklan di Jepang lebih besar dari pada di Indonesia. Apabila diamati
berdasarkan konteks sosial budaya, pengiklan di Indonesia lebih menitikberatkan
kesopanan pada skala jarak, sedangkan di Jepang lebih pada rangking imposisi.
Penelitian yang akan dilakukan dalam karya ini berbeda dengan kajian
pustaka sebelumnya. Perbedaan tersebut dapat diketahui berdasarkan fokus
penelitian ini yang lebih mengarah ke identitas pengguna gadget yang terdapat di
dua negara yang berbeda, yaitu Indonesia dan Mesir. Hingga saat ini, penulis
belum menemukan penelitian yang sama. Oleh karena itu, penulis berkesempatan
untuk meneliti lebih lanjut mengenai iklan gadget di Indonesia dan Mesir ditinjau
dari struktur, identitas, dan persamaan dan perbedaan struktur dan identitas di
balik iklan tersebut.
1.7 Landasan Teori
Untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, maka
digunakan beberapa teori yang dianggap relevan dengan permasalahannya. Teoriteori tersebut, yaitu iklan dan wacana iklan, dan bahasa dan identitas. Berikut
adalah penjelasan lebih lanjut mengenai kedua hal tersebut.
1.7.1 Iklan dan Wacana Iklan
Iklan dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan kata ‘advertisement’
berasal dari bahasa Latin ‘advertere’ bermakna ‘mengubah arah’ (Goddard,
1998:6). Adapun dalam bahasa Arab, iklan dikenal dengan istilah i’la<n yang
artinya penyiaran, pemberitahuan, dan pengumuman (Munawwir, 1997:967). ElAyu>bi (2015:23) menjelaskan bahwa Iklan bertujuan untuk menyampaikan
informasi serta digunakan untuk mempengaruhi konsumen agar tertarik dengan
barang dan jasa yang ditawarkan.
Iklan gadget sebagai salah satu fenomena kebahasaan yang ada dalam
masyarakat dapat dikategorikan sebagai wacana karena memenuhi persyaratan
sebagai wacana. Istilah wacana digunakan oleh para linguis berbahasa Melayu
yang diterjemahkan langsung dari bahasa Inggris discourse. Para ilmuwan sosial
memiliki istilah lain untuk wacana, yaitu diskursus (Oetomo, 1993:4). Adapun
dalam bahasa Arab, wacana biasa disebut dengan khit}a>b. Khit}a>b menurut Ibn
Manzur (1991) yang dikutip oleh‘Uka>syah (2005:34) berasal dari kata kha>t}aba,
yukha>t}ibu, khut}a>ban, yaitu percakapan antara dua orang. Lebih lanjut ‘Uka>syah
menyebutkan bahwa ulama fikih, tafsir, dan balaghah terdahulu telah banyak
mengkaji mengenai wacana al-quran. Namun, saat ini pembahasan wacana
semakin meluas dengan adanya pengaruh dari barat sehingga pembahasan wacana
tidak hanya terhenti pada alquran tetapi juga tentang penggunaan bahasa Arab di
berbagai bidang.
Wacana menurut Stubbs (1983:10) adalah organisasi bahasa atau unit
linguistik di atas kalimat atau klausa, seperti pertukaran percakapan atau teks-teks
tertulis. Demikian juga menurut Crystal (2008:148), wacana merupakan istilah
yang digunakan dalam linguistik yang mengacu pada rangkaian bahasa yang
berkesinambungan (khususnya lisan) yang lebih luas daripada kalimat. Lebih jauh
dikatakan bahwa wacana sebagai satuan (unit) pelaku adalah seperangkat ujaran
yang berhubungan dengan segala kejadian tutur yang dapat dikenali seperti:
percakapan, lelucon, khoTah, dan wawancara.
Oetomo (1993:3) mengutip pendapat Van Dijk mengungkapkan bahwa
analisis wacana bahkan sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri yang merupakan
titik temu antara linguistik, psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, hukum,
filsafat, ilmu komunikasi massa, ilmu politik, dan ilmu sosial lainnya. Oleh karena
itu, wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas, seperti
percakapan
atau
teks
tertulis.
Konsekuensinya,
analisis
wacana
juga
memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, khususnya
interaksi atau dialog antarpenutur.
Dalam berinteraksi, penutur tentu akan selalu berusaha sedemikian rupa
agar tuturan yang ingin disampaikannya dapat dipahami dengan baik oleh mitra
tutur. Sehubungan dengan hal tersebut, iklan gadget sebagai salah satu bentuk
wacana dibentuk oleh satuan-satuan gramatikal di bawahnya dan satuan-satuan
tersebut saling mendukung menjadi satu kesatuan dalam menyampaikan informasi
atau pesan. Wacana memiliki struktur yang berupa pandahuluan, isi, dan penutup
(Wijana, 2014:11; Tarigan, 1988:31). Sebagai bentuk wacana, maka iklan gadget
di Indonesia dan Mesir juga terdiri dari pembukaan, isi, dan penutup.
Menurut Jefkins (1997:233), unsur naskah iklan itu adalah judul, subjudul,
teks, harga, nama, kupon dan signature slogan. Berikut struktur sebuah naskah
iklan:
1) Judul
Judul atau bisa juga disebut judul merupakan rangkaian kalimat atau katakata pendek, dan judul ini bisa sering kali berupa slogan. Judul seringkali berupa
pernyataan yang terdiri dari satu kalimat atau dua kalimat, dan ditampilkan secara
menyolok bahkan judul ini lebih mudah dilihat dari pada dibaca.
2) Subjudul
Dalam penulisan subjudul seorang pengiklan didorong untuk menulis copy
iklan dengan membayangkan dan mengambarkan bentuk visual iklan yang
digarapnya karena subjudul ini sangat membantu sekali terhadap desain dan
tifografi iklan.
3) Teks Iklan
Teks terdiri dari isi iklan atau tubuh merupakan bagian inti pesan, yaitu
menyampaikan informasi apa saja yang dibutuhkan oleh calon konsumen.
4) Harga
Orang bisanya sangat peka terhadap harga, dan mungkinkan akan
dijengkelkan oleh suatu iklan yang tidak mencantumkan harga, paling tidak
mencantumkan harga. Apabila orang membaca surat kabar atau majalah sebagai
nilai jual dan daya tariknya, dan bahkan harga-harga ini sering kali dicetak tebal.
Akan ada pengaruh psikologis terhadap pencantuman harga-harga tersebut
mungkin harga itu akan memberikan pengaruh bahwa produk yang diiklankan itu
sayang bila dilewatkan begitu saja.
5) Nama dan Alamat
Mungkin saja sudah cukup hanya dengan menyebutkan nama produk atau
perusahaan pada iklan tersebut, didukung dengan logo, tetapi pengiklan lain ada
yang mencantumkan nama dan alamat mereka dengan jelas. Hal itu dilakukan
dengan tujuan agar pembaca dapat mengenali merek dengan jelas dan menarik
dengan nampilkan nama dan alamat mereka tebal-tebal. Pencantuman nama dan
alamat ini sangatlah penting guna menghindari kekeliruan akibat alamat yang
tidak jelas atau kesamaan nama kota. Bila tidak, pembaca akan kehilangan
identitas pengiklan jika mereka memerlukan rujukan dan informasi.
6) Kupon
Penulisan kupon merupakan pekerjaan yang lebih paling serius dari
perkiraan sebelumnya dan hal itu tidaklah cukup hanya dengan mencantumkan
nama dan alamat pengiklan saja. Hal yang paling penting adalah membuat
tawaran yang diajukan dalam kupon dengan jelas, sehingga pembaca memahami
apa yang dipesan, dan juga pengiklan dapat memberikan pelayanan secara
memuaskan.
6) Slogan
Slogan merupakan baris kalimat penutup (the pay-off line) yang dapat
digunakan sebagai alat untuk menciptakan citra perusahaan. Penggunaan slogan
telah menjadi hal yang biasa bagi pengilan karena daya tariknya.
Bolen (1984:184) menyebutkan bahwa ada tiga unsur pembentuk iklan,
yaitu (1) judul (judul), (2) body (tubuh), (3) close (penutup). Agar pesan dalam
iklan tersampaikan kepada konsumen dengan baik, maka Bolen (1984)
mengaitkan ketiga unsur tersebut dengan rumus AIDA (Attention ‘perhatian’,
Interest ‘minat’, Desire ‘keinginan’, Action ‘tindakan’). Untuk lebih jelasnya,
perhatikan tabel berikut ini.
Tabel I
Struktur Iklan
Struktur
Judul
Tubuh
Penutup
Isi
Perhatian
Minat dan keinginan
Tindakan
Tujuan
Menarik perhatian
Berkomunikasi
Mengubah perilaku
1. Judul
Judul pada wacana iklan berfungsi untuk menarik perhatian konsumen.
Oleh sebab itu, diperlukan beberapa trik untuk menarik perhatian konsumen.
Berikut adalah proporsi yang digunakan pengiklan untuk membuat judul iklan.
a. Menenkankan keuntungan calon konsumen
b. Membangkitkan keingintahuan konsumen
c. Berupa pertanyaan
d. Memberi perintah
e. Menarik target tertentu
2. Tubuh
Tubuh iklan bertujuan untuk menarik minat atau kesadaran calon
konsumen. Bagian badan iklan biasanya mengandung alasan objektif (rasional)
dan alasan subjektif (emosial). Hal ini dikarenakan calon konsumen menggunakan
motif emosional atau rasional untuk memutuskan menggunakan suatu produk.
Oleh karena itu, proporsi badan iklan terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Berisi alasan subjektif (emosional)
b. Berisi alasan objektif (rasional)
c. Campuran alasan subjektif (emosional) dan objektif (rasional)
3. Penutup
Tujuan bagian penutup ini adalah untuk mengubah tindakan pada diri
konsumen. Ada dua pendekatan yang digunakan oleh pengiklan untuk menutup
iklan, yaitu pendekatan penjualan (selling aproach) dan butir pasif (passive point).
Pertama, pendekatan penjualan dapat digunakan untuk mengakhiri bagian iklan
melalui teknik keras dan lunak. Penjualan dengan teknik keras adalah apabila
pengiklan menuntut calon konsumen untuk bertindak cepat. Bentuk ujaran yang
digunakan misalnya, dapatkan segera dan persediaan terbatas. Pendekatan
penjualan dengan teknik lunak bertujuan untuk mengubah tindakan calon
konsumen yang sifatnya tidak mendesak. Cara ini dimaksudkan agar calon
konsumen mengingat nama produk dan membelinya pada kesempatan lain.
Misalnya, menutup dengan slogan achieve more ‘pencapaian yang lebih’.
Kedua, butir pasif (passive point) yang berisi informasi-informasi lain
yang berhubungan dengan iklan. Informasi tersebut berupa informasi tambahan
yang dianggap penting dan jika dihilangkan dikhawatirkan akan menimbulkan
masalah. Contoh dari informasi tersebut dapat berupa nama toko, nomor telepon,
cap dagang, dan tempat pelayanan.
1.7.2 Bahasa dan Identitas
Bahasa merupakan salah satu identitas manusia yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya. Pertanyaan mengenai bahasa berkenaan dengan
pertanyaan tentang siapakah manusia itu. Para filsuf mendefinisikan manusia
sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berbahasa (Baryadi, 2012:6). Jenkins
(2008:5) juga memberikan penjelasan mengenai identitas manusia yang berakar
pada bahasa untuk mengetahui siapa adalah siapa, begitu pula apa adalah apa.
Termasuk juga di sini adalah mengetahui siapa kita, siapa orang lain, mereka tahu
siapa kita, kita tahu mereka beranggapan kita siapa, dsb. Untuk sampai pada
mengetahui siapa adalah siapa, diperlukan proses identifikasi. Identitas dan proses
identifikasi ini berlangsung terus menerus dan tiada henti dalam kehidupan seharihari.
Thornborrow (2007:238) menjabarkan bahwa seseorang akan dianggap
sebagai anggota dari kelompok itu, baik dalam pandangan orang-orang dalam
kelompok itu sendiri maupun dalam pandangan orang-orang di luar kelompok itu,
jika dia dapat menunjukkan bahwa ia mampu menggunakan istilah-istilah bahasa
yang tepat sesuai dengan norma-norma dari sebuah kelompok tertentu.
Suatu identitas diakui dan dapat diterima oleh suatu kelompok jika
identitas itu dikenal dan diakui oleh kelompok tersebut sebagai bagian dari
kelompoknya. Pengakuan identitas sebagai representasi suatu kelompok dapat
pula dilihat dari sudut pandang orang yang berada di luar kelompok. Salah satu
hal yang dapat dijadikan patokan dalam memandang suatu identitas sebagai
bagian dari kelompok adalah penggunaan istilah-istilah bahasa.
Identitas dapat dibagi menjadi dua, yaitu identitas individu (identitas
personal) dan identitas sosial (Thornborrow, 223:2007; Edwards, 2009:19;
Barker, 2015:410). Thornborrow (2007:227) menyebutkan bahwa penanda
identitas personal dapat dilihat dari nama, praktik penamaan, dan sapaan. Adapun
penanda identitas sosial dapat dilihat dari ragam bahasa yang digunakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka penggunaan nama, praktik penamaan,
sapaan, dan ragam bahasa dalam WIG baik di Indonesia maupun Mesir dapat
digunakan untuk merepresentasikan sebuah identitas penggunanya.
Menyadari bahwa peneliti bukanlah penutur asli bahasa Arab, maka ada
beberapa hal yang ditanyakan kepada pemilik bahasa Arab di Mesir, khususnya
berkaitan dengan ragam bahasanya. Oleh sebab itu, penulis menanyakan hal
tersebut pada dua orang native, yaitu Ahmed Fikri (Tutor bahasa Arab di jurusan
Sastra Asia Barat, FIB, UGM) dan Fahmi Heeba (Tutor bahasa Arab untuk
penutur asing di Lisan As-salam, Cairo, Mesir).
1.8 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Objek pada penelitian ini adalah
wacana iklan gagdet. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kalimatkalimat yang terdapat dalam wacana iklan gadget (WIG) di Indonesia dan Mesir
yang dimuat pada baliho dan selebaran bulan Mei-Juli 2015. Jumlah total WIG
yang dijadikan objek penelitian ini sebanyak 65 WIG, yang terdiri dari 31 WIG
berbahasa Indonesia dan 34 WIG berbahasa Arab.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap penyediaan data, tahap
analisis data, dan yang terakhir adalah tahap penyajian hasil analisis data
(Sudaryanto, 1993: 5). Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai ketiganya.
1.8.1 Penyediaan Data
Pada tahap penyediaan data, digunakan metode simak, yaitu menyimak
WIG yang terdapat di Indonesia dan Mesir. Dengan metode simak ini, peneliti
tidak bekerja sendiri saat mengumpulkan data, melainkan bekerja sama dengan
seorang volunteer yang merupakan mahasiswa tingkat akhir di Sastra Asia Barat,
FIB, UGM dikarenakan keterbatasan waktu. Peneliti melakukan pengamatan WIG
di Mesir yang tertera pada baliho di sepanjang jalan utama di kota Cairo,
khususnya di sepanjang jalan Ramsis dan jalan tol menuju bandara Internasional
Cairo. Adapun pengamatan WIG berupa selebaran dilakukan di Saruq Mall.
Adapun pengamatan WIG di Indonesia dilakukan oleh volunteer.
Pengamatan WIG yang tertera pada baliho dilakukan di sepanjang jalan utama di
Jogjakarta, khususnya di sepanjang jalan Laksa Adi Sucipto dan Jalan menuju
Malioboro. Adapun pengamatan WIG berupa selebaran dilakukan di Mall Jogja
Tronik. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik foto, yaitu memfoto WIG pada baliho maupun selebaran. Adapun teknik
lanjutannya adalah teknik catat dengan menggunakan transkripsi ortografis.
Transkripsi ortografis adalah transkripsi yang menggunakan ejaan (Kesuma,
2007:46). Setelah data tercatat, data di dalamnya terdapat bahasa asing kemudian
diterjemahkan dengan metode penerjemahan setia, yaitu mencoba untuk
menghasilkan makna kontekstual namun masih menggunakan struktur gramatikal
bahasa sumber (Newmark, 1988:45).
1.8.2 Analisis Data
Pada tahap analisis data, untuk menjawab rumusan masalah pertama
digunakan metode agih, yaitu metode yang alat penentunya ada di dalam dan
merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993:15). Teknik yang
digunakan adalah teknik bagi unsur langsung, yaitu membagi suatu konstruksi
menjadi beberapa bagian yang langsung membentuk konstruksi yang dimaksud.
Adapun alat penentunya adalah intuisi kebahasaan peneliti terhadap bahasa yang
diteliti (Sudaryanto, 1993:31).
Untuk menjawab rumusan masalah kedua, penulis menggunakan metode
kontekstual. Rahardi (2005:16) menjelaskan bahwa metode kontekstual adalah
menghubungkan fenomena kebahasaan dengan konteks penuturan (situasi tutur)
yang terdiri atas penutur, lawan tutur, tempat, dan waktu tuturan dan sebagainya
yang pada hakikatnya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh penutur
dan lawan tutur.
Untuk menjawab rumusan masalah ketiga, maka digunakan metode
kontrastif dengan teknik hubung banding. Metode kontrastif merupakan metode
sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan
antara bahasa-bahasa atau dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan
dalam
masalah
praktis,
seperti
pengajaran
bahasa
dan
penerjemahan
(Kridalaksana, 2011:15). Adapun teknik hubung banding digunakan untuk
membandingkan satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu berupa
hubung banding antara semua unsur penentu yang relevan (Sudaryanto 1993:27).
Berikut adalah langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut.
1. Penulis memilah-milah kata, frasa, maupun klausa menurut fungsinya dalam
iklan kemudian mengkategorikannya menjadi judul, subjudul, flash, tubuh, dan
penutup.
2. Berdasarkan penggolongan tersebut, kemudian dipilih lagi menjadi tipe
sederhana, tidak lengkap, dan lengkap.
3. Setelah diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, maka penulis
menggolongkannya menjadi pembukaan, isi, dan penutup.
4. Objek kajian berupa WIG akan dikaitkan dengan konteks situasi sosial dan
budaya yang ada di Indonesia dan Mesir, sehingga dapat diketahui identitas
pengguna gadget di Indonesia dan Mesir.
5. Membandingkan unsur-unsur kebahasaan yang berupa struktur dan identitas
WIG, sehingga akan diperoleh persamaan dan perbedaan keduanya.
1.8.3 Penyajian Hasil Analisis Data
Pada tahap penyajian analisis digunakan metode informal. Artinya penyajian
hasil penelitian dirumuskan dengan kata-kata biasa yaitu dengan kata-kata yang
apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami (Kesuma, 2007:71).
1.9 Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat
penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab
kedua berisi mengenai struktur wacana iklan gadget dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Arab. Bab ketiga, adalah pembahasan mengenai aspek-aspek kebahasaan
pembentuk identitas. Bab keempat berisi tentang persamaan dan perbedaan
struktur wacana iklan gadget dan identitas penggunanya. Bab kelima adalah
penutupan yang berisi kesimpulan dan saran.
Download