TANGGAP AGRONOMIS SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM Abstrak Penelitian ini dilaksanakan di tanah masam Kecamatan Tenjo, Bogor dari bulan Maret hingga Juli 2009. Penelitian bertujuan untuk mempelajari tanggap agronomi sorgum dalam menghadapi cekaman Al dan defisiensi fosfor di tanah masam. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan petak terbagi atau split plot design dengan tiga ulangan. Faktor perlakuan utama terdiri dari: Al tinggi - tanpa P (M1), Al tinggi - P kurang (M2), Al tinggi - P cukup (M3), Al rendah - tanpa P (M4), Al rendah - P kurang (M5), dan Al rendah - P cukup (M6). Anak faktor adalah genotipe terdiri dari Numbu (GT1), ZH-30-29-07 (GT2), B-69 (GP1) dan B-75 (GP2). Hasil penelitian menunjukkan, genotipe yang diuji memiliki perbedaan tingkat ketahanan terhadap toksisitas Al dan defisiensi fosfor di tanah masam. Varietas Numbu memberikan nilai tertinggi untuk semua peubah yang diuji. Terdapat korelasi tinggi antara bobot kering tajuk, bobot biji/tanaman dan bobot 1000 biji terhadap produksi sorgum di tanah masam. Sorgum toleran mampu berproduksi hingga 10.36 ton/ha pada kondisi lahan dengan Al rendah dan P cukup di tanah masam. Kata-kata kunci: sorgum, tanah masam, aluminium, defisiensi fosfor Abstract The experiment was conducted at acid soils District Tenjo, Bogor, from March to July 2009. The research aimed to study the agronomic response of sorghum to Al toxicity and phosphorous deficiency in acid soils. The experimental design used was split plot design with three replicate. The main factor consisted of: high Al -no P (M1), high Al – low P (M2), high Al sufficient P (M3), LowAl - no P (M4), low Al – low P (M5) , and low Al – sufficient P (M6). Sub factor was genotypes, consisting of Numbu (GT1), ZH-3029-07 (GT2), B-69 (GP1) and B-75 (GP2). The results showed that the tested genotypes had different levels of resistance to Al toxicity and phosphorus deficiency in acid soils. Numbu provided the highest value for all variables observed. There was a high correlation between shoot dry weight, seed weight /plant and 1000 grain weight of sorghum production in acid soils. The tolerant sorghum can produce up to 10.36 ton / ha in land conditions with low Al and sufficient P in acid soils. Key words: sorghum, acid soils, aluminum, phosphorus deficiency PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah masam menjadi faktor pembatas produktivitas tanaman karena adanya cekaman abiotik yang kompleks berupa toksisitas Al (Kochian 1995), toksisitas Fe dan Mn, defisiensi P, K dan Mg (Maschner 1995). Pada fase pertumbuhan awal, keracunan Al menyebabkan menurunnya panjang akar relatif dan menghambat pertumbuhan tajuk (Pineros et al., 2001) serta menurunkan kemampuan akar menyerap air dan hara (Marschner, 1995). Pada tanaman sorgum keracunan Al dapat menurunkan kemampuan berkecambah, jumlah biji per malai dan bobot biji (Ohki, 1987). Gejala yang dapat dilihat pada tanaman yaitu terjadinya klorosis, defisiensi nutrisi, dan tanaman menjadi kerdil Respon morfologis yang nyata akibat cekaman Al adalah terjadinya penebalan pada ujung akar (Taiz dan Zeiger, 2002). Cekaman Al menyebabkan gangguan bagi tanaman karena menghambat proses pembelahan dan pemanjangan sel-sel akar sehingga pertumbuhan akar menjadi terhambat (Ma 2000 dan Kochian et al 2004). Terhambatnya pertumbuhan akar menyebabkan sistem perakaran menjadi pendek dan tidak berkembang sehingga tanaman mengalami kesulitan dalam menyerap hara dan air (Ma et al. 2005). Keracunan Al juga diasosiasikan dengan gejala defisiensi P, sebaliknya P efektif sebagai agen detoksifikasi Al. Kemiripan gejala toksisitas Al dengan defisiensi P antara lain nekrosis pada ujung daun, penghambatan pertumbuhan, daun berwarna hijau tua, dan kadang-kadang daun atau batang berwarna ungu. Defisiensi P disebabkan karena menurunnya penyerapan dan transpor P oleh pengendapan Al-P pada akar tanaman, dan gangguan Al dalam metabolisme P yang sudah terdapat pada pucuk tanaman (Matsumoto et al. 2003). Salah satu cara untuk pengembangan sorgum di lahan masam yang memiliki kandungan Al tinggi dan defisiensi hara P adalah dengan merakit varietas toleran tanah masam. Proses perakitan varietas ini memerlukan informasi tanggap agronomis genotipe sorgum di lapang yang dapat digunakan sebagai karakter seleksi dalam program pemuliaan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang tanggap agronomis genotipe sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam. 27 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tenjo, Jasinga, yaitu lahan kering masam Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret hingga Juli 2009. Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil seleksi Sungkono (2007), yaitu dua genotipe sorgum toleran serta dua genotipe peka Al di tanah masam. Genotipe –genotipe ini merupakan hasil seleksi di tanah masam Taman Bogo Lampung Timur dan Sulusuban, Lampung Tengah hasil kerjasama antara IPB dengan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR)-BATAN di Jakarta. Galur sorgum yang digunakan sebagai materi penelitian merupakan generasi ke-7 sehingga keragaan tanaman di lapangan sudah lebih stabil (Hoeman 2007). Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan petak terbagi (split plot design) dengan tiga ulangan (denah penelitian lapang disajikan pada Lampiran 1). Faktor perlakuan utama (petak utama) terdiri dari: Al tinggi - tanpa P (M1), Al tinggi - P kurang (M2), Al tinggi - P cukup (M3), Al rendah - tanpa P (M4), Al rendah - P kurang (M5), dan Al rendah - P cukup (M6). Batasan nilai P cukup dan kurang didasarkan pada hasil analisis erapan P tanah lahan percobaan yang dilaksanakan di Balai Penelitian Tanah Bogor. Dosis cukup adalah 1x dosis dan nilai kurang adalah 0.5x dosis pupuk SP-36 hasil uji erapan P tanah. Perlakuan Al rendah menggunakan tanah yang sama, tetapi empat minggu sebelum tanam diberi perlakuan kapur yang dosisnya ditetapkan berdasarkan hasil analisis Aldd tanah lokasi percobaan. Penggunaan kapur sebanyak 1,5 x Aldd diperkirakan dapat menetralkan 85-90% Aldd. Anak faktor (anak petak) adalah genotipe sorgum toleran dan peka tanah masam, yaitu: Numbu (GT1), ZH-30-29-07 (GT2), B-69 (GP1) dan B-75 (GP2). Data yang didapatkan dianalisis menggunakan analisis ragam dan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5 atau 1%, dengan program SAS 9.1 (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). 28 Lahan seluas 640 m2 dibajak dan dicangkul. Unit percobaan berbentuk guludan dengan ukuran panjang 2 m dan lebar 2 m sebanyak 72 petak yang terbagi dalam tiga ulangan. Jarak petak dalam ulangan 0.5 m dan jarak antar blok ulangan 1 m. Penanaman dilakukan dengan cara tugal, yaitu benih sebanyak 3-5 biji dimasukkan ke lubang tanam yang sebelumnya telah ditugal sedalam ± 3 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 15 cm dalam baris dan 70 cm antar baris. Pemupukan dengan pupuk SP-36 sesuai dosis perlakuan dan KCl dengan dosis 100 kg/ha diberikan saat tanam. Pupuk urea dengan dosis 150 kg/ha diberikan dua kali, yaitu bagian diberikan saat tanam dan sisanya bagian diberikan saat 7 minggu setelah tanam (MST). Pupuk diaplikasikan secara tugal dengan jarak ± 10 cm dari lubang tanam. Penjarangan dilakukan pada 2 MST untuk menyisakan satu tanaman per lubang tanam. Pengendalian gulma dilakukan secara manual menggunakan koret dan cangkul, sekaligus untuk pembumbunan. Pengendalian hama dan penyakit disesuaikan dengan kondisi serangan di lapangan. Pengamatan dilakukan terhadap komponen hasil dan hasil tanaman. Pengamatan komponen pertumbuhan dan komponen hasil tanaman dilakukan terhadap 10 tanaman contoh pada setiap unit percobaan. Komponen yang diamati adalah: 1. Bobot kering tajuk (g), dilakukan dengan menimbang tajuk bagian atas tanaman yang di oven pada suhu 700C selama dua hari terdiri dari batang, daun dan malai yang masih terdapat biji. 2. Panjang malai (cm), di ukur mulai dari pangkal hingga ujung malai, dilakukan pada waktu panen. 3. Bobot biji per tanaman (g), dilakukan dengan menimbang biji yang dihasilkan tanaman contoh pada malai batang utama menggunakan timbangan analitis. Penimbangan dilakukan pada akhir penelitian. 4. Bobot 1000 biji. Diamati pada saat panen. Bobot 1000 biji didapatkan dengan cara menghitung 1000 biji sorgum dari tanaman contoh, kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitis. 5. Padatan terlarut total (PTT). Padatan terlarut total diamati pada bagian batang menggunakan spektrofotometer di akhir penelitian. 29 Data penunjang didapatkan dengan pengamatan secara visual terhadap gejala morfologi yang muncul akibat perlakuan, dan kondisi cuaca serta serangan hama dan penyakit tanaman selama penelitian berlangsung. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan kering masam UPTD lahan kering Tenjo, Jasinga Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan untuk melihat tanggap agronomi sorgum terhadap berbagai kondisi cekaman toksisitas Al dan defisiensi hara P di tanah masam. Pengamatan terhadap tanggap genotipe sorgum toleran dan peka yang diuji dapat memberikan gambaran tindakan agronomi yang dapat diaplikasikan untuk pengembangan sorgum di tanah masam. Tanggap yang ditunjukkan oleh genotipe sorgum ini dapat pula menunjukkan perbedaan kemampuan di antara genotipe sorgum baik di antara genotipe toleran maupun di antara genotipe peka pada berbagai tingkat kondisi cekaman Al dan defisiensi P di tanah masam. Penetapan Kebutuhan P Eksternal Jenis tanah lokasi penelitian adalah Podsolik Merah Kekuningan dengan pH awal pada lahan Al rendah berkisar antara 4.50 hingga 5.30 serta kandungan Al-dd 2.73 me/100 g, sedangkan lahan dengaan Al tinggi pH berkisar antara 4.26 hingga 4.34 dengan kandungan Al-dd 11.2 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi tanah di lokasi penelitian antara lahan dengan Al tinggi dan rendah dilakukan dengan pemberian kapur dan dosis pupuk P. Dosis kapur yang diberikan didasarkan pada perhitungan kandungan Al-dd, sedangkan pemberian pupuk P didasarkan pada hasil analisis erapan P tanah. Tanah lokasi penelitian dengan Al tinggi menunjukkan daya erap P yang cukup tinggi (erapan maksimum Langmuir 909.40 g P/g tanah) dengan kurva erapan seperti pada Gambar 1.1. Tingginya daya erap ini disebabkan oleh tingginya nilai Aldd (Tabel 1.1). Tabel 1.1. Sifat Kimia Contoh Tanah pada Lokasi Penelitian Jenis analisis Lokasi tanah Al rendah pH H2O C total (%) N total (%) C/N P-Bray 1 (ppm) K (me/100 g) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) Na (me/100 g) KTK (me/100 g) KB (%) Al-dd (me/100 g) Lokasi tanah Al tinggi 4.26 – 4.34 (Sangat masam) 1.04 (rendah) 0.08 (sangat rendah) 13 (sedang) 0.08 (sangat rendah) 0.06 (sangat rendah) 4.45 (rendah) 2.36 (sangat tinggi) 0.07 (sangat rendah) 14.87 (rendah) 47 (sedang) 11.2 4.5 - 5.3 (masam) 0.8 - 1.03 (rendah) 0.08 (sangat rendah) 13 (sedang) 29.13 (sedang) 0.38 (sedang) 9.23 (sedang) 3.46 (sangat tinggi) 0.24 (rendah) 14.3 (rendah) 92 (sangat tinggi) 2.73 Sumber: Hasil analisis tanah pada Pusat Penelitian Tanah, Bogor (2008) Tingginya kelarutan Al pada pH <5 menyebabkan Al-dd meningkat sampai pada konsentrasi beracun bagi tanaman (Delhaize, 1995). Pada kondisi ini akan terjadi kekahatan hara pada tanah masam karena sebagian daerah jerapan pada mineral liat didominasi oleh Al3+ dengan menggantikan Mg2+ dan Ca2+. Al yang ada pada daerah jerapan tersebut juga dapat menjerap fosfat (P) dan Molibdat (Mo) dengan kuat (Marschner, 1995) sehingga P dan Mo tidak tersedia bagi tanaman. y = 134.6Ln(x) + 669.37 R2 = 0.9783 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0 0.5 1 1.5 2 Log P terlarut ( g P/ml larutan) Gambar 1.1. Kurva logaritmik erapan P contoh tanah dengan Al-dd 11.2 me/100 g y = 115.77Ln(x) + 530.69 R2 = 0.9447 1000 800 600 400 200 0 0 2 4 6 8 10 -200 Log P terlarut ( g P/ml larutan) Gambar 1.2. Kurva logaritmik erapan P contoh tanah dengan Al-dd 2.73 me/100g Pendugaan kebutuhan P eksternal melalui kurva erapan logaritmik untuk lahan dengan Al tinggi memberikan nilai 452.75 g P/g atau 5760.7 kg SP-36/ha, sedangkan pada lahan dengan Al rendah didapatkan nilai erapan 343.23 g P/g atau 4367.2 kg SP-36/ha. Dosis pupuk P rekomendasi pada tanah yang tidak masam untuk tanaman sorgum di lahan kering yaitu 100 kg SP-36/ha. Untuk tanah masam Tenjo Jawa Barat memerlukan dosis berkisar 4367.2 hingga 5760.7 kg SP-36/ ha. Pemberian pupuk P berdasarkan kebutuhan eksternal memang membutuhkan dosis yang tinggi. Penggunaan dosis ini adalah untuk menjamin bahwa pemberian pupuk memenuhi kebutuhan optimal tanaman. Keragaan Karakter Agronomi Genotipe Sorgum di Tanah Masam Pengamatan terhadap keragaan karakter agronomi dilakukan pada empat genotipe sorgum, terdiri dari dua genotipe toleran yaitu Numbu dan ZH-30-29-07, serta dua genotipe peka yaitu B-69 dan B-75. Genotipe-genotipe sorgum ini ditumbuhkan di tanah masam dengan berbagai tingkat cekaman toksisitas Al dan defisiensi fosfor. Terdapat interaksi yang nyata di antara genotipe dengan kondisi cekaman Al dan defisiensi P untuk karakter bobot kering tajuk, panjang malai, bobot biji per tanaman dan bobot 1000 biji. Adanya interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe pada peubah bobot kering tajuk dan komponen hasil ini menunjukkan terdapat perbedaan respon di antara empat genotipe terhadap taraf cekaman Al yang 32 berbeda. Hal ini menunjukkan pula bahwa genotipe toleran dan peka memberikan respon yang berbeda pada kondisi cekaman yang berbeda. Nilai padatan terlarut total yang tidak nyata tidak dapat menjelaskan perbedaan respon antar genotipe terhadap cekaman Al dan perlakuan fosfor (Tabel 1.2).. Tabel 1.2. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh kondisi cekaman, genotipe dan interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe terhadap pertumbuhan dan produksi sorgum di tanah masam Peubah Kondisi cekaman Bobot kering tajuk Bobot biji per tanaman Bobot 1000 biji PTT (%brix) 11753.66** 4125.48** 342.43** 102.04** Genotipe Kuadrat Tengah 8909.54** 5788.56** 518.77** 107.46** Interaksi 1365.31** 200.43** 24.52** 5.28 PTT = Padatan terlarut total ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% Kemampuan Menghasilkan Bahan Kering Pertumbuhan dapat diketahui antara lain melalui bobot biomassa tanaman. Bobot tanaman. biomassa adalah karakter agronomi yang mencerminkan pertumbuhan Tanaman yang mampu mengkonversi energi sinar matahari dan mengakumulasikannya dengan cepat akan memiliki bobot biomassa tinggi sehingga karakter ini sering digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Pengamatan terhadap kemampuan menghasilkan bahan kering dari empat genotipe sorgum yang ditanam pada kondisi cekaman berbeda dilakukan dengan mengukur bobot kering tajuk pada saat panen. Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk (Tabel 1.2). Ini berarti bahwa kemampuan membentuk bahan kering tanaman sorgum dipengaruhi secara nyata oleh genotipe serta cekaman Al dan defisiensi P. Nilai tengah bobot kering tajuk semakin menurun dengan semakin tingginya tingkat cekaman. Dalam keadaan tercekam Al dan defisiensi P, semua genotipe mengalami penurunan bobot kering tajuk dengan persentase penurunan berbeda (Tabel 1.3). Kemampuan membentuk bahan kering genotipe peka pada kondisi Al tinggi dan tanpa penambahan hara P lebih rendah dibandingkan genotipe toleran (Tabel 1.3). Persen penurunan bobot kering genotipe peka B-69 (28.22%) dan B-75 33 (29.77%) lebih besar dibandingkan genotipe toleran Numbu (16.96%) dan ZH-30-29-07 (16.15%). Hal ini menunjukkan besarnya hambatan pertumbuhan pada genotipe peka akibat cekaman Al tinggi dan defisiensi P di tanah masam. Menurut Ma et al. (2005) genotipe yang terhambat pertumbuhannya akan mengalami kekurangan karbohidrat karena penyerapan dan transpor air maupun hara dari akar ke tajuk tanaman lebih sedikit, dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan tajuk. Penurunan bobot kering tajuk dapat pula disebabkan karena sebagian besar karbohidrat ditranslokasikan ke akar untuk lebih meningkatkan pertumbuhan akar. Terdapat selisih kenaikan bobot kering yang cukup besar pada saat diberikan P cukup meskipun kondisi Al tinggi. Respon genotipe sorgum terhadap pembentukan bahan kering sangat berbeda. Genotipe B-75 menunjukkan tingkat respon yang paling tinggi, sedangkan genotipe ZH-30-29-07 justru menunjukkan respon yang paling rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat toleransi genotipe ZH-30-29-07 yang berbeda dengan pengujian di tanah masam Lampung. Diduga hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi cekaman di lapangan. Seleksi penentuan toleransi genotipe ZH-30-29-07 di Lampung dilaksanakan pada tanah masam dengan kandungan Al-dd 1.35 me/100 g (Sungkono, 2007) lebih rendah dari pada kondisi Al rendah tanah masam di Tenjo Jasing yaitu 2.73 me/100 g. Hal ini menyebabkan pengelompokan ZH-30-29-07 tergolong toleran di Lampung tetapi menunjukkan karakter agronomis yang mengarah ke genotipe peka pada saat di tanam pada tanah masam di Tenjo Jasinga. Rata-rata nilai bobot kering semua genotipe baik toleran maupun peka pada kondisi Al rendah lebih tinggi dibandingkan pada kondisi Al tinggi (Tabel 1.3). Hal ini menunjukkan bahwa peran pemberian kapur untuk menurunkan kejenuhan Al tanah sangat besar dalam membantu tersedianya hara P dan menurunkan pengaruh toksik Al. Menurut Gottlein et al (1999) Al dapat secara langsung berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P, baik dalam larutan tanah maupun jaringan tanaman membentuk kompleks Al-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Dengan demikian, apabila kejenuhan Al rendah maka hara P akan lebih tersedia. Kemampuan tanaman mempertahankan produksi bahan kering dalam keadaan defisiensi hara dapat dicapai antara lain karena kebutuhan hara yang rendah 34 dalam metabolismenya sehingga mampu mempertahankan laju metabolismenya pada keadaan hara rendah tanpa menunjukkan gejala defisiensi hara (Marschner, 1995). Tabel 1.3. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada berbagai kondisi cekaman Perlakuan Al tinggi - tanpa P Al tinggi - P kurang Al tinggi - P cukup Al rendah - tanpa P Al rendah - P kurang Al rendah - P cukup Numbu 101.89 116.40 122.70 124.36 201.67 240.84 Rata-rata nilai bobot kering tajuk (g) ZH-30-29-07 B-69 B-75 96.84 76.94 74.11 115.19 103.64 95.30 115.49 107.19 105.52 115.93 101.33 110.87 146.79 117.90 123.17 222.48 217.38 235.36 Hasil penelitian ini sejalan dengan pengujian pada tanaman padi yang diberi cekaman Al dan K cukup (Trikoesoemaningtyas, 2002) serta N cukup (Jagau, 2000) yang juga menunjukkan ketidakmampuan tanaman mempertahankan produksi bahan kering pada kondisi tercekam Al. Besarnya pengaruh cekaman Al dalam pembentukan bahan kering diduga disebabkan karena Al menghambat penyerapan dan penggunaan hara. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun genotipe ini toleran tanah masam, tetapi tidak efisien dalam memanfaatkan hara P untuk menghasilkan bahan kering. Penyebab lain adalah karena terbentuknya ikatan Al-P akibat tingginya konsentrasi Al pada tanah yang tidak dikapur sehingga tingkat kejenuhan Al cukup tinggi. Tabel 1.4. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada kondisi cekaman Al tinggi Nomor 1. 2. 3. Perbandingan Al tinggi - Tanpa P Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al tinggi - P kurang Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al tinggi – P cukup Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Selisih nilai tengah (g) 23.83** 5.05tn 2.83tn 16.33** 1.21tn 8.34** 12.74** 7.21** 1.67tn Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji kontras 35 Hasil uji kontras terhadap bobot kering tajuk menunjukkan bahwa pada kondisi Al tinggi dan tanpa penambahan P sorgum tidak mampu meningkatkan pembentukan bahan kering baik di antara genotipe toleran maupun di antara genotipe peka (Tabel 1.4). Pada kondisi Al rendah, tanpa penambahan pupuk P sudah mampu meningkatkan kemampuan sorgum dalam membentuk bahan kering (Tabel 1.5). Hal ini berarti pemberian kapur untuk menurunkan kandungan Al di tanah masam sangat besar pengaruhnya terhadap ketersediaan P tanah dan berpengaruh juga terhadap pembentukan bahan kering tanaman. Tabel 1.5. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada kondisi cekaman Al rendah Nomor 1. 2. 3. Perbandingan Al rendah - Tanpa P Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al rendah - P kurang Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al rendah – P cukup Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Selisih nilai tengah (g) 14.05** 8.43** 9.54** 53.69** 54.88** 5.27** 5.29** 18.36** 17.98** Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% Hasil penelitian Hopkins et al. (2004) dan Ping et al. (2006) menunjukkan bahwa bobot biomassa tajuk adalah karakter yang sangat menentukan toleransi tanaman terhadap tanah masam. Tidak didapatkan perbedaan pembentukan biomassa tanaman baik di antara genotipe toleran maupun di antara genotipe peka dalam kondisi Al tinggi dan tanpa P (Tabel 1.4). Hal ini akibat terhambatnya pertumbuhan akar semua genotipe sorgum pada kondisi cekaman berat di tanah masam. Akar yang terhambat hanya memiliki sedikit rambut-rambut akar. Menurut Rao (1999), rambut akar berperan dalam penyerapan hara P. Penyerapan per unit panjang akar meningkat dengan pembentukan rambut akar. Hal ini karena rambut akar meningkatkan area permukaan bidang serap akar, sehingga volume eksplorasi tanah per panjang akar meningkat. 36 Peningkatan pupuk P dari kurang menjadi cukup pada kondisi Al tinggi tidak menyebabkan perbedaan kemampuan pembentukan biomassa di antara genotipe kecuali pada genotipe peka B-75 (Tabel 1.6). Hal ini disebabkan karena genotipe B-75 sangat responsif terhadap penambahan pupuk P untuk pembentukan bahan kering sementara Numbu, ZH-30-29-07 dan B-69 tidak responsif terhadap penambahan pupuk P pada kondisi Al tinggi di tanah masam. Tabel 1.6. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi Perlakuan pupuk P Selisih nilai tengah bobot kering tajuk (g) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 Al tinggi - Tanpa P vs P kurang 14.51** 18.35** 26.70** 21.19** Al tinggi - P kurang vs P cukup 6.30tn 0.30tn 3.55tn 10.22** Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% Pada kondisi Al tinggi yang lebih bermanfaat adalah memberikan kapur sehingga dapat meningkatkan ketersediaan hara P. Hal ini terbukti pada kondisi Al rendah penambahan pupuk P mampu meningkatkan bobot kering tajuk sorgum di tanah masam (Tabel 1.7). Tabel 1.7. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah Perlakuan pupuk P Selisih nilai tengah bobot kering tajuk (g) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 Al rendah - Tanpa P vs P kurang 77.31** 30.86** 16.57** 12.30** Al rendah - P kurang vs P cukup 39.17** 75.69** 99.48** 112.19** Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Syarif (2005) yang juga mendapatkan perbedaan pembentukan biomassa tajuk pada genotipe padi toleran akibat peningkatan dosis pupuk P. Menurut Blum (1988), tumbuhan yang adaptif terhadap kondisi tanah defisiensi hara memiliki sifat yang lebih baik dalam menyerap, menggunakan dan mentranslokasikan hara ke lumbung (sink). 37 Komponen Hasil dan Hasil Hasil analisis ragam terhadap komponen hasil dan hasil menunjukkan bahwa bobot biji per tanaman dan bobot 1000 biji dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan kondisi cekaman dan genotipe serta interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe (Tabel 1.2). Bobot biji per tanaman menggambarkan banyaknya biji sorgum yang terdapat pada malai utama. Genotipe toleran (Numbu dan ZH-30-29-07) memperlihatkan konsistensinya pada kondisi lahan dengan cekaman Al rendah maupun tinggi. Hal ini tidak dijumpai pada genotipe peka, genotipe B-69 memberikan bobot biji per tanaman yang lebih tinggi daripada B-75 pada lahan dengan cekaman Al tinggi, tetapi pada lahan bercekaman Al rendah genotipe B-75 justru memberikan bobot biji per tanaman yang lebih tinggi daripada B-69 (Tabel 1.8). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan daya adaptasi di antara genotipe peka B75 dan B-69 terhadap cekaman toksisitas Al dan defisiensi P. B-75 memiliki respon yang lebih baik terhadap pemberian kapur untuk menurunkan tingkat Al daripada B-69. Tabel 1.8. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman pada berbagai kondisi cekaman di tanah masam Perlakuan Numbu Al tinggi - tanpa P Al tinggi - P kurang Al tinggi - P cukup Al rendah - tanpa P Al rendah - P kurang Al rendah – P cukup 67.44 90.34 117.93 117.50 130.72 135.39 Rata-rata nilai bobot biji per tanaman (g) ZH-30-29-07 B-69 B-75 61.68 75.11 89.36 93.74 107.07 111.69 56.48 70.74 72.54 61.23 81.69 91.23 49.65 56.69 64.44 72.72 89.45 99.73 Hasil rata-rata produksi sorgum pada penelitian ini berdasarkan nilai konversi dari bobot biji per tanaman berkisar antara 3.80 ton/ha hingga 10.36 ton/ha. Hasil terendah didapatkan pada genotipe B-75 pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P dan hasil tertinggi didapatkan pada Numbu pada cekaman Al rendah dengan P cukup. Hal ini menunjukkan bahwa sorgum memiliki potensi produksi yang tinggi apabila lingkungan tumbuhnya optimal. Pada kondisi Al tinggi dan tanpa pemberian pupuk P, baik di antara sorgum toleran maupun di antara genotipe peka tidak mampu meningkatkan produksi (Tabel 1.9) tetapi pada kondisi Al rendah tanpa penambahan pupuk P masih mampu 38 meningkatkan produksi biji sorgum di tanah masam (Tabel 1.10). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan kapur untuk menurunkan tingkat kejenuhan Al mampu meningkatkan produksi sorgum meskipun pada kondisi defisiensi hara P. Tabel 1.9. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman pada kondisi cekaman Al tinggi di tanah masam Nomor Perbandingan 1. Al tinggi - Tanpa P Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al tinggi - P kurang Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al tinggi – P cukup Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 2. 3. Selisih nilai tengah bobot biji per tanaman (g) 21.49** 5.76tn 6.83tn 19.02** 15.23** 14.05** 35.16** 28.57** 8.10** Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji kontras Tabel 1.10. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji pertanaman pada kondisi cekaman Al rendah di tanah masam Nomor Perbandingan 1. Al rendah - Tanpa P Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al rendah - P kurang Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al rendah – P cukup Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 2. 3. Selisih nilai tengah bobot biji per tanaman (g) 38.64** 23.76** 11.49** 33.33** 23.65** 7.76** 28.06** 23.70** 8.50** Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji kontras Ini berarti bahwa pemberian kapur saja tanpa penambahan pupuk P sudah dapat meningkatkan hasil secara nyata baik pada genotipe toleran maupun peka. Pemberian kapur lebih bermanfaat dalam meningkatkan produksi sorgum pada kondisi Al tinggi di tanah masam daripada penambahan pupuk P Hal ini diduga pemberian kapur mengakibatkan meningkatnya ketersediaan hara P di tanah masam 39 karena berkurangnya fiksasi P oleh Al. Menurut Rao (1999) Al secara langsung mampu berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P, baik dalam larutan tanah maupun jaringan tanaman membentuk kompleks Al-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Peningkatan taraf pupuk P pada kondisi Al tinggi dari kurang menjadi cukup tidak mampu meningkatkan bobot biji per tanaman genotipe peka B-69 dan B-75, tetapi ternyata masih mampu meningkatkan produksi pada genotipe Numbu dan ZH-30-29-07 (Tabel 1.11 dan 1.12). Hal ini berarti peningkatan dosis P masih bermanfaat untuk menaikkan produksi pada tanaman toleran di tanah masam dengan kondisi Al tinggi, sedangkan pada genotipe peka akan lebih bermanfaat bila diberikan kapur untuk menurunkan tingkat Al. Jadi pada kondisi tanah masam dengan Al rendah cukup memberikan P pada taraf kurang tanpa meningkatkan taraf pemupukan P sampai cukup sudah dapat meningkatkan produksi baik pada genotipe toleran maupun peka. Tabel 1.11. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi Perlakuan pupuk P Al tinggi - Tanpa P vs P kurang Al tinggi - P kurang vs P cukup Selisih nilai tengah bobot biji per tanaman (g) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 22.90** 13.43** 14.26** 7.04tn 27.59** 14.25** 1.80tn 7.75tn Keterangan: tn = tidak nyata, ** =berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras ortogonal Tabel 1.12. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah Perlakuan pupuk P Al rendah - Tanpa P vs P kurang Al rendah - P kurang vs P cukup Selisih nilai tengah bobot biji per tanaman (g) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 13.22** 13.33** 20.46** 13.73** 4.67tn 4.62tn 9.54tn 10.28tn Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras ortogonal Bobot 1000 biji merupakan ukuran yang menggambarkan besar kecilnya biji yang dihasilkan oleh tanaman serealia. Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata bobot 1000 biji tertinggi pada varietas Numbu dengan kondisi optimal yaitu Al rendah dan P cukup 55.71 g dan terendah pada genotipe ZH-30-29-07 pada kondisi Al tinggi dan tanpa P yaitu sebesar 27.98 g (Tabel 1. 13). 40 Tabel 1.13. Respon genotipe pada bobot 1000 biji sorgum terhadap berbagai kondisi cekaman Al dan pupuk P di tanah masam Perlakuan Al tinggi - tanpa P Al tinggi - P kurang Al tinggi - P cukup Al rendah - tanpa P Al rendah - P kurang Al rendah – P cukup Numbu 35.07 40.06 40.87 47.97 54.87 55.71 Rata-rata nilai bobot ZH-30-29-07 27.98 31.29 31.99 33.60 34.61 37.23 1000 biji (g) B-69 30.67 32.34 38.20 38.90 40.70 43.49 B-75 33.82 35.97 42.66 40.64 45.30 47.58 Peningkatan dosis pupuk P sampai taraf kurang tidak nyata meningkatkan bobot 1000 biji sorgum pada genotipe peka dengan kondisi Al tinggi dan rendah, tetapi masih mampu meningkatkan bobot 1000 biji pada genotipe Numbu (Tabel 1.14 dan 1.15). Hal ini menunjukkan bahwa dosis pupuk P pada taraf kurang sudah mampu meningkatkan bobot 1000 biji untuk Numbu. Tabel 1.14. Respon genotipe untuk karakter bobot 1000 biji terhadap pemberian pupuk P dengan kondisi cekaman Al tinggi Perlakuan pupuk P Al tinggi - tanpa P vs Al tinggi - P kurang Al tinggi - P kurang vs Al tinggi - P cukup Selisih nilai tengah bobot 1000 biji (g) Numbu B-75 4.99tn 2.15tn 0.81tn 6.69tn Keterangan: tn = berbeda tidak nyata Tabel 1.15. Respon genotipe untuk karakter bobot 1000 biji terhadap pemberian pupuk P dengan kondisi cekaman Al rendah Perlakuan pupuk P Al rendah – tanpa P vs Al rendah P kurang Al rendah - P kurang vs Al rendah - P cukup Selisih nilai tengah bobot 1000 biji (g) Numbu B-75 6.90** 4.66tn 0.84tn 2.28tn Keterangan: tn= berbeda tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras \ Padatan Terlarut Total (PTT) Kandungan PTT dan gula total sorgum mengalami penurunan cukup besar pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P dibandingkan pada kondisi Al rendah dan P cukup (Tabel 1.16). 41 Tabel 1.16. Respon genotipe pada berbagai kondisi cekaman terhadap padatan Terlarut total (PTT) dan gula total Perlakuan Al tinggi - tanpa P Al tinggi - P kurang Al tinggi - P cukup Al rendah - tanpa P Al rendah - P kurang Al rendah – P cukup Rata-rata nilai (%) Gula Total (%) PTT (%brix) 6.19 7.93 9.97 12.78 11.94 15.30 9.09 11.65 10.50 13.46 12.36 15.85 Hal ini menunjukkan tanggap sorgum yang berbeda untuk karakter kandungan PTT dan gula total terhadap penambahan unsur P baik pada kondisi Al tinggi maupun rendah. Diduga pada kondisi P cukup tetapi tercekam Al genotipe sorgum akan meningkatkan efisiensi penggunaan P dalam jaringannya untuk pembentukan gula total tanaman. Efisiensi penggunaan lebih menggambarkan penggunaan P internal baik dalam proses translokasi maupun retranslokasi dalam tanaman. Efisiensi penggunaan dapat ditingkatkan melalui perubahan bentuk kimia P (fraksi-fraksi P) (Schachtman et al., 1998). Pada penelitian ini Numbu menunjukkan kandungan PTT tertinggi dibandingkan genotipe lainnya, diikuti oleh genotipe B-75, B-69 dan ZH-30-29-07 (Tabel 1.17). Kandungan PTT Numbu ternyata setara jika dibandingkan dengan genotipe peka B-75 (Tabel 1.18). Ini berarti genotipe peka B-75 memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi tanaman penghasil bioetanol asalkan memiliki adaptasi yang baik di tanah masam. Tabel 1.17. Nilai padatan terlarut total empat genotipe sorgum di tanah masam Genotipe Gula Total (%)* PTT (% brix) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 12.42 8.89 9.20 9.51 15.92 11.41 11.79 12.19 * = Hasil konversi nilai PTT (% brix) 42 Tabel 1.18. Respon genotipe sorgum toleran dan peka terhadap kandungan gula total dan padatan terlarut total (PTT) batang sorgum di tanah masam Perbandingan Numbu vs ZH-30-29-07 Numbu vs B-75 Numbu vs B-69 Selisih nilai tengah Gula Total PTT (%) 3.53** 4.51** 2.91tn 3.73tn 3.22** 4.13** tn= berbeda tidak nyata, **= berbeda nyata pada taraf 1% Berbeda dangan tanggap pada karakter bobot biji per tanaman, kandungan PTT dan gula total sorgum lebih tanggap terhadap penambahan pupuk P dan tidak terlalu tanggap terhadap penambahan kapur untuk menurunkan Al tanah (Tabel 1.19). Hal ini ditunjukkan oleh penambahan pupuk P sampai taraf cukup masih tetap bermanfaat meningkatkan kandungan PTT baik pada kondisi Al tingga maupun rendah. Ini berarti pada kondisi Al tinggi maupun rendah asalkan diberi P meskipun dalam taraf kurang, sorgum akan tetap memiliki persentase kandungan PTT dan gula total yang tinggi. Tabel 1.19. Respon genotipe pada dua kondisi cekaman Al terhadap kandungan padatan terlarut total (PTT) Perbandingan Al tinggi - Tanpa P vs P kurang Al tinggi - P kurang vs P cukup Selisih nilai tengah PTT 4.85** 2.52** Al rendah - Tanpa P vs P kurang Al rendah - P kurang vs P cukup 1.81* 2.39** tn= berbeda tidak nyata, **= berbeda nyata pada taraf 1% Ini berarti pemberian P masih bermanfaat meningkatkan kadar padatan terlarut total sorgum di tanah masam. Hasil ini menunjukkan peran P yang cukup besar dalam proses biokimia tanaman, yaitu sebagai penyusun makro molekul, unsur pembentuk senyawa penyimpan atau perpindahan energi, dan regulator reaksi biokimia melalui proses fosforilasi (Rao, 1999). Hubungan Antara Pertumbuhan dengan Hasil Pertumbuhan merupakan proses yang bersifat tidak dapat balik yang mengakibatkan terjadinya perubahan menjadi semakin besar dan mampu berproduksi. Untuk melihat hubungan antara fase pertumbuhan yang digambarkan 43 dari bobot kering tajuk dengan komponen hasil sorgum dilakukan uji korelasi sederhana Pearson seperti tercantum pada Tabel 1.20. Korelasi sederhana dapat menggambarkan hubungan antara dua karakter sehingga korelasi dapat digunakan untuk menelaah hubungan antara karakter pertumbuhan dan komponen hasil tanaman. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara bobot kering tajuk, bobot biji per tanaman, bobot 1000 biji dan padatan terlarut total. Sorgum yang mempunyai nilai bobot kering tajuk tinggi nyata diikuti oleh bobot biji per tanaman, bobot 1000 biji dan padatan terlarut total yang juga tinggi Tabel 1.20. Nilai korelasi antara peubah pertumbuhan, produksi dan padatan terlarut total sorgum di tanah masam Peubah Bobot kering tajuk Bobot kering tajuk Bobot biji per tanaman Padatan terlarut total Bobot 1000 biji 0.847** 0.656** 0.665** Bobot biji per tanaman 0.764** 0.671** Padatan terlarut total 0.742** Keterangan: **= berbeda nyata pada taraf 1% uji korelasi Pearson . Pertumbuhan tanaman yang baik akan memberikan hasil yang tinggi pula. Komponen bobot kering tajuk di antaranya adalah sejumlah daun yang melekat pada batang yang merupakan organ tanaman untuk menghasilkan karbohidrat. Tanaman yang mampu mengkonversi energi sinar matahari dan mengakumulasikan produk fotosintesis dengan cepat akan ditandai dengan bobot kering tajuk yang tinggi (Sitompul dan Guritno, 1995). Bobot kering tajuk yang tinggi ini mampu menghasilkan fotosintat yang cukup besar untuk dialokasikan ke bagian sink dan bagian tanaman lain yang sedang tumbuh sehingga dapat menghasilkan produksi yang tinggi pula. 44 KESIMPULAN Genotipe sorgum memiliki toleransi berbeda terhadap toksisitas Al dan defisiensi fosfor di tanah masam. Genotipe toleran mampu menunjukkan pertumbuhan dan produksi lebih baik di tanah masam daripada genotipe peka. Varietas Numbu memberikan nilai tertinggi untuk semua peubah yang diamati. Pada kondisi Al tinggi tidak diperlukan penambahan pupuk dosis tinggi untuk pertumbuhan sorgum, tetapi pada kondisi Al rendah penambahan pupuk P sampai taraf cukup masih bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan. Pemberian kapur (Al rendah) saja pada kondisi Al tinggi tanpa diikuti peningkatan dosis pupuk P mampu meningkatkan komponen hasil sorgum di tanah masam untuk genotipe toleran, tetapi untuk genotipe peka harus diikuti dengan peningkatan dosis pupuk P. Peningkatan dosis pupuk P nyata meningkatkan nilai padatan terlarut total genotipe sorgum toleran dan peka baik pada tanah masam dengan Al tinggi maupun tanah masam Al rendah. Bobot kering tajuk, padatan terlarut total dan bobot 1000 biji berkorelasi tinggi terhadap produksi sorgum di tanah masam.