12 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Efektivitas

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1.
Efektivitas Pembelajaran.
Efektivitas sering dihubungkan dengan efisiensi dalam pencapaian tujuan
organisasi. Padahal suatu tujuan atau saran yang telah tercapai sesuai dengan rencana
dapat dikatakan efektif, tetapi belum tentu efisien. Meskipun terjadi peningkatan
efektivitas dalam suatu organisasi maka belum tentu itu efisien. Jelasnya, jika tujuan
telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan maka dapat dikatakan efektif. Jadi bila
suatu pekerjaan itu tidak selesai sesuai waktu yang telah ditentukan, maka dapat
dikatakan tidak efektif. Efektivitas merupakan gambaran tingkat keberhasilan atau
keunggulan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan adanya keterkaitan antara
nilai-nilai yang bervariasi.
Efektivitas dapat diartikan sebagai tindakan keberhasilan siswa untuk mencapai
tujuan tertentu yang dapat membawa hasil belajar secara maksimal. Keefektivan proses
pembelajaran berkenaan dengan jalan, upaya teknik dan strategi yang digunakan dalam
mencapai tujuan secara optimal, tepat dan cepat (Nana Sudjana, 1990:50).
Jadi bisa disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran adalah tingkat pencapaian
tujuan pembelajaran. Pencapaian suatu tujuan berupa peningkatan pengetahuan dan
keterampilan serta pengembangan sikap melalui proses pembelajaran yang mendidik.
Efektivitas belajar mempunyai aspek-aspek diantaranya, peningkatan pengetahuan,
12
13
peningkatan ketrampilan, peningkatan sikap, peningkatan prestasi dan perilaku siswa.
Pengukuran pencapaian secara akurat itu sangat penting, karena guru tidak dapat
membantu siswanya secara efektif jika tidak mengetahui ketrampilan dan pengetahuan
yang dikuasai siswanya dan pelajaran apa yang menjadi masalah bagi siswanya.
Pencapaian siswa itu dimaksudkan agar pengetahuan dan ketrampilan dapat dikuasai
siswa sebagai hasil pengalaman.
2.
Model Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)
Salah satu metode yang diadopsi untuk menunjang pendekatan pembelajaran
learning centered dan yang memberdayakan pemelajar adalah metode Problem Based
Learning (PBL). PBL memiliki ciri-ciri seperti dijelaskan Tan dan Wee (dalam Taufik
Amir 2009:12), pembelajaran dimulai dengan dunia nyata, pemelajar secara berkelompok
aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasikan kesenjangan pengetahuan mereka,
mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait dengan masalah, dan melaporkan
solusi dari masalah.
Sebagai bagian dari proses pembelajaran, masalah muncul dalam berbagai
bentuknya. Pendidik bisa saja menyajikannya dalam :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kinerja yang tidak sesuai;
Situasi yang menuntut perhatian atau peningkatan;
Mencari cara yang lebih baik atau hal yang baru;
Fenomena yang masih menjadi misteri atau belum dapat dijelaskan;
Adanya kesenjangan dalam informasi dan pengetahuan;
Masalah pengambil keputusan
14
Dengan menggunakan berbagai macam permasalahan, metode pembelajaran yang
dinamakan PBL dapat dilaksanakan. Masalah yang diberikan di awal pembelajaran
digunakan sebagai pemicu proses pembelajaran. Dengan perkembangannya yang pesat,
rumusannya juga beragam.
Prof. Howard Barrows dan Kelson (dalam Taufik Amir 2009:21) mengungkapkan
PBL dalam kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulum, pentingnya masalahmasalah dirancang menuntut pelajar mendapat pengetahuan penting, membuat mereka
mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki
kecapakan berpartisipasi dalam tim. Sedangkan dalam proses pembelajaran, PBL
menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau menghadapi
tantangan yang nanti diperlukan dalam karir dan kehidupan sehari-hari.
Problem Based Learning (PBL) adalah suatu strategi pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan topik masalah,
kemudian peserta didik diarahkan untuk menyelesaikan masalah yang sedang dibahas
melalui serangkaian aktivitas pembelajaran secara sistematis dan logis. Strategi
pembelajaran ini meminta peserta didik untuk berpikir, berkomunikasi, mencari dan
mengolah data sehingga pada akhirnya dapat menyimpulkan apa yang telah dipelajari
berdasarkan pemahaman mereka (Wina Sanjaya 2008, 211-212).
PBL merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah seperti yang
dijelaskan Ali Muchson (2008:13) sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengalaman baru. Pendapat Ali Muchson menekankan bahwa
15
pembelajaran berbasis masalah adalah proses belajar dimana siswa harus aktif dalam
menemukan dan mencari pengetahuan atau pengalaman baru melalui pengumpulan dan
pengintegrasian suatu masalah dan kemudian dikembangkan oleh kelompok maupun
individu.
PBL adalah suatu pergeseran fokus kelas dari pengajaran menuju pembelajaran.
Landasan pemikiran model PBL adalah bahwa kebanyakan siswa akan lebih baik belajar
dari berbagai informasi dan ketrampilan-ketrampilan. Kebutuhan akan muncul ketika
para siswa mencoba untuk memecahkan permasalahan spesifik dan terbuka. Di luar satu
orientasi kepada permasalahan, suatu model PBL mempromosikan pembelajaran yang
melakukan aktivitas dan penemuan. Para siswa saling berhubungan dengan satu sama
lain. Usaha yang dibagi bersama dari pembelajaran berdasarkan penemuan. Ketika para
siswa mengidentifikasi permasalahan, mereka menemukan banyak topik. Suatu model
pembelajaran yang berorientasi penemuan menyediakan siswa dengan peluang dan
tanggung-jawab untuk membuat keputusan-keputusan penting tentang apa yang harus
diselidiki, bagaimana caranya bekerja, dan bagaimana caranya memecahkan suatu
permasalahan. Para guru memandu para siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang
melibatkan permasalahan dan strategi riset (Barbara J. Duch, 2001 : 194).
Menurut
pendapat
merupakan model pembelajaran
Arend
yang
(dalam
Wina
Sanjaya
berorientasi pada kerangka
2009:)
PBL
kerja teoritik
konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih
sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah
16
tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa
tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat
perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan
keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan
pola berpikir kritis. Jika pembelajaran dimulai dengan suatu masalah dan masalah
tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri
siswa. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacammacam pertanyaan. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri siswa
maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut
diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa tentang konsep apa
yang diperlukan untuk memecahkan masalah dan apa yang harus dilakukan. Dari paparan
tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong
siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja
seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
PBL (Problem Based Learning) merupakan salah satu dari sekian banyak model
pembelajaran di mana ciri khas dari model ini adalah masalah yang menjadi stimulus
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Tujuannya agar siswa memiliki kemampuan
berpikir secara kritis, analitis, sistematis dan logis dalam menemukan alternatif
pemecahan suatu masalah. Siswa dituntut untuk belajar mandiri secara individu maupun
17
kelompok dalam memecahkan masalah yang disajikan oleh guru. Guru berperan
menyajikan masalah dan mengajukan pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk
memecahkan suatu masalah dalam kegiatan pembelajaran.
Secara garis besar PBL dapat menumbuhkan keaktifan dan kemandirian siswa
dalam proses pembelajaran terutama dalam pemecahan suatu masalah yang terkait
dengan kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Karena dalam PBL, siswa
dihadapkan pada masalah dunia nyata dan dituntut untuk dapat mencari pemecahan
masalah tersebut. Hal ini akan menimbulkan rasa penasaran siswa terhadap masalah yang
sedang
dihadapi
sehingga
muncul
keaktifan
siswa
untuk
mencoba
mencari
pemecahannya. Penerapan model PBL dilakukan di dalam kelas. Penerapan model PBL
akan menimbulkan kesinambungan yang melibatkan langsung antara siswa dengan guru
serta komponen pembelajaran lainnya.
Problem Based Learning (PBL) dalam pengaplikasiannya memiliki beberapa poin
dalam melihat keaktifan siswa dalam melakukan pembelajaran. Keterampilamketerampilan siswa yang diharapkan setelah model ini diterapkan seperti bagaimana
siswa itu bisa bekerjasama, mengeluarkan pendapat, menjadi pendengar yang baik, serta
mampu bertanya tentang apa yang belum dipahami dalam proses kegiatan belajar
mengajar atau ini bisa dikatakan keterampilan sosial yang harus bisa tercapai. Selain itu
juga seorang guru bisa menilai bagaimana siswa mampu mengidentifikasi masalah dan
memecahkan masalah atau disebut dengan keterampilan pemecahan masalah.
18
Dengan demikian sebuah masalah utama tersebut dapat menggali segenap potensi
siswa untuk dapat mengarahkan kemampuannya dengan memanfaatkan sumber daya
belajar yang ada guna menyelesaikan masalah. Rancangan masalah harus berasas
permasalahan dilematis dan kompleks yang lazim dialami mereka di dunia nyata.
Sehingga akan memotivasi para siswa untuk meneliti dan menemukan solusi terbaik.
a.
Keunggulan Problem Based Learning (PBL)
Keunggulan PBL adalah terletak pada perancangan masalahnya. Masalah yang
diberikan harus dapat merangsang dan memicu anak didik untuk menjalankan
pembelajaran dengan baik. Poin-poin penting yang disajikan pendidik dalam sebuah
masalah dengan menggunakan proses PBL merujuk pada Taufiq Amir (2009 :32),
memiliki ciri khas:
1) Sebuah masalah harus mempunyai sifat keaslian atau nyata.
2) Mengacu pada pengetahuan atau konsep sebelumnya.
3) Membangun pemikiran yang metakognitif dan konstruktif.
4) Dapat meningkatkan minat dan motivasi anak didik dalam proses
pembelajaran.
Selain keunggulan PBL yang terletak pada perancang masalah juga dapat dilihat
dari pemecahan suatu masalah. Mengikuti Wina Sanjaya (2009 : 218-219) bahwa
pemecahan masalah mempunyai keunggulan, diantaranya :
19
1) Pemecahan masalah (Problem Solving) merupakan teknik yang bagus dalam
memahami isi pelajaran,
2) Menantang kemampuan siswa dan memberikan pengetahuan yang baru,
3) Aktivitas siswa menjadi lebih terlihat,
4) Membantu siswa bagaimana mengetahui dan memahami masalah dalam
kehidupan nyata,
5) Membantu mengembangkan pengetahuan baru dan dapat mendorong siswa
untuk bertanggung jawab serta melakukan evaluasi.
6) Pada dasarnya setiap mata pelajaran merupakan media berpikir dan sesuatu
yang harus dimengerti oleh siswa,
7) Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa,
8) Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan kemampuan
mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru,
9) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan
yang mereka miliki dalam dunia nyata,
10) Mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun
belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Hakikat masalah dalam PBL adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dan
kondisi yang diharapkan, atau antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan.
Kesenjangan tersebut bisa dirasakan dari adanya keresahan, keluhan, kerisauan, atau
20
kecemasan. Oleh karena itu, maka materi pelajaran atau topik tidak terbatas pada materi
pelajaran yang bersumber pada buku saja, akan tetapi juga dapat bersumber dari
peristiwa–peristiwa tertentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Kriteria pemilihan bahan pembelajaran dalam PBL yang merujuk pada Wina
Sanjaya (2009 : 214 – 215), selain mengandung isu–isu konflik (conflik issue) yang bisa
bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lainnya, bahan pembelajaran PBL juga
bisa memiliki kriteria sebagai berikut :
1) Bersifat familiar dengan siswa, sehingga setiap siswa dapat mengikutinya
dengan baik.
2) Berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal), sehingga terasa
manfaatnya.
3) Mendukung atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan
kurikulum yang berlaku.
4) Sesuai dengan minat siswa sehingga mereka merasa perlu untuk
mempelajarinya.
b.
Kelemahan Problem Based Learning (PBL)
Keunggulan PBL terletak pada suatu masalah yang berguna untuk merangsang
dan memicu anak didik. Selain menjelaskan tentang keunggulannya, PBL juga memiliki
kelemahan, diantaranya mengikuti beberapa kelemahan yang diutarakan Wina Sanjaya
(2009;218-219), antara lain:
21
1) Kurangnya kepercayaan serta minat anak didik membuat sebuah masalah
yang dipelajari akan terasa sulit untuk dipecahkan dalam sekali pertemuan,
dan akibatnya mereka enggan untuk mencoba memecahkannya,
2) Model PBL membutuhkan cukup waktu untuk persiapan,
3) Tanpa pemahaman lebih dalam mempelajari model PBL, siswa dapat
menemui kesulitan belajar dalam memecahkan masalah.
c.
Langkah-langkah Problem Based Learning (PBL)
Memahami proses PBL merupakan hal utama, tetapi selain itu guru juga
harus siap dengan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Setiap
kelompok dalam menjalankan proses PBL harus menggunakan konsep. Mengikuti
penjelasan Taufiq Amir (2009:24 – 25), dikenal dengan tujuh (7) proses langkah
untuk menjalankan PBL, yaitu :
1) Mengklarifikasi istilah-istilah dan konsep yang belum jelas;.
2) Terlebih dahulu merumuskan sebuah masalah;
3) Menganalisis masalah;
4) Menata gagasan-gagasan secara sistematis kemudian menganalisisnya ;
5) Merancang tujuan pembelajaran;
6) Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (diluar diskusi
kelompok);
22
7) Menggabungkan dan menguji informasi baru, dan membuat laporan untuk
kelas.
Selain tujuh (7) proses langkah PBL, merujuk pada John Dewey (dalam Wina
Sanjaya 2009 : 215) ada enam prosedur PBL yang sering disebut dengan metode
pemecahan masalah (Problem Solving), yaitu :
1) Merumuskan sebuah masalah, yaitu langkah awal siswa dalam menentukan
masalah yang akan dipecahkan.
2) Menganalisis masalah, yaitu meninjau masalah secara kritis dari berbagai
sudut pandang.
3) Merumuskan gambaran atau kerangkan informasi, berbagai kemungkinan
pemecahan masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
4) Siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk
pemecahan masalah.
5) Siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan
dan penolakan gambaran informasi yang diajukan.
6) Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa
menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil
pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
Tahap-tahap PBL ini mengarahkan siswa untuk melakukan penelitian, siswa aktif
mencari informasi dari berbagai sumber sehingga mampu menjawab hipotesis dan pada
23
akhirnya siswa dapat menyelesaikan masalah. Setiap siswa dituntut untuk memberikan
kesempatan berpendapat dalam sebuah situasi diskusi agar pengetahuannya dapat
tercurahkan.
d.
Skenario Pembelajaran
Menurut Ibrahim dan Nur (dalam Trianto 2010: 97) di dalam kelas PBL, peran
guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru di dalam kelas PBL antara lain :
a. Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah
autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari,
b. Memfasilitasi/membimbing
penyelidikan
misalnya
melakukan
pengamatan atau melakukan eksperimen/percobaan,
c. Memfasilitasi dialog siswa,
d. Mendukung belajar siswa.
Tabel 2. Skenario Pembelajaran PBL
Tahap skenario
Perilaku guru
Orientasi siswa pada
masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik
yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau
cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk
terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Guru
membantu
siswa
untuk
mendefinisikan
dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah tersebut.
Membimbing
penyelidikan individual
maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah.
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta
membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
(Trianto: 2010)
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka
gunakan.
24
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa tahap-tahap dalam PBL meliputi :
1) Mengumpulkan konsep sebuah masalah,
Guru mengawali memberikan permasalahan dengan sedikit fakta dan
bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi masalah yang sering terjadi
dalam kehidupan nyata.
2) Merumuskan masalah,
Dalam tahap ini siswa melakukan analisis terhadap fakta yang disampaikan
oleh guru sebagai dasar untuk merumuskan permasalahan.
3) Menganalisis masalah,
Siswa bersama anggota kelompok menganalisis dari skenario berdasarkan
kemampuan dan kecerdasan yang dimilki dan mencatat hal-hal yang sudah
diketahui dan yang belum diketahui sebagai pedoman dalam mencari data
dan informasi dari berbagai sumber.
4) Menyusun hipotesis,
Siswa berusaha merumuskan berbagai kemungkinan atau berusaha
menyusun solusi pemecahan masalah sementara dengan kemampuan dan
kecerdasan yang dimiliki secara kolaboratif bersama dengan anggota
kelompok masing-masing.
25
5) Mengumpulkan data dari berbagai sumber,
Disini siswa bersama anggota kelompok mulai mencari informasi melalui
berbagai media seperti buku, internet maupun informasi dari luar. Tutor
membimbing siswa.
6) Menganalisis data dan informasi yang diperoleh dengan menggunakan
kecerdasan awal yang dimiliki peserta didik,
Setelah mencari data dan berhasil mengumpulkan, kemudian data tersebut
dihubungkan dengan masalah untuk menyusun hipotesis. guru membimbing
siswa dalam menganalisis data dan infomasi.
7) Menyempurnakan permasalahan yang telah dirumuskan,
Siswa melakukan penelitian secara berkelompok dan bersama-sama
menyempurnakan kembali permasalahan yang telah dirumuskan.
8) Pengujian hipotesis,
Langkah siswa membuat kesimpulan atau merumuskan kesinpulan secara
kolaboratif dengan penerimaan dan penolakan terhadap hipotesis yang
diajukan.
9) Menampilkan hasil diskusi,
Siswa melengkapi laporan yang berisi rumusan rekomendasi pemecahan
masalah. Langkah ini menggambarkan rekomendasi dari hasil diskusi
kelompok yang sesuai dengan hasil pengujian hipotesis dan rumusan
kesimpulan. Perwakilan anggota kelompok mempresentasikan hasil diskusi.
26
Menurut berbagai pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa model PBL
baik digunakan dalam pembelajaran dengan alasan :
1. PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan
suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya
atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar
tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna
dan dapat diperluas ketika mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana
konsep diterapkan.
2. Dalam situasi PBL, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan
secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi
teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori
mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung.
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif
siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat
mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Gejala
umum yang terjadi pada siswa pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka
cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau
bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap
pendapat tersebut.
27
Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru. Walaupun guru
tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan masalah melalui
pertanyaan-pertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang
dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap
pada bingkai yang direncanakan. Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how. Setiap tahap dalam pemecahan
masalah, keterampilan siswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata
keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana
permasalahan dapat terjadi. Namun yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah
kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan
tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas.
e.
Perbedaan Model PBL dengan Model Konvensional
Menurut Taufiq Amir (2009:3) mengemukakan model pembelajaran konvensional
dengan pendekatan teacher centered sudah dianggap tradisinal dan perlu diubah. Dimana
pembelajaran berpusat pada pendidik dengan penekanan pada peliputan dan penyebaran
materi, sementara pembelajaran kurang aktif, sudah tidak memadai untuk tuntutan era
pengetahuan saat ini. Era pengetahuan yang sedang kita alami memiliki terobosanterobosan baru dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Dengan pendekatan pembelajar
pasif, sulit untuk mengembangkan kecakapan berpikir, kecakapan intrapersonal dengan
baik. Tidak banyak yang mereka dapatkan. Bagaimana perbedaan model pembelajaran
28
konvensional dengan model pembelajaran PBL dijelaskan dalam tabel berikut dengan
ringkas.
Tabel 2.1. Perbedaan Model konvensional dengan Model PBL
Model konvensional
Model PBL
Pengetahuan disampaikan dari
pengajar ke siswa
Siswa menerima informasi
secara pasif
Belajar dan penilaian adalah
hal yang terpisah
Penekanan pada pengetahuan
diluar konteks apliaksinya
Pengajar perannya sebagai
pemberi informasi dan peneliti
(Taufiq Amir 2009:5)
Siswa membangun pengetahuan
Siswa lebih terlibat secara aktif
Belajar dan penilaian adalah hal yang sangat
terkait.
Budaya belajar adalah kooperatif kolaboratif,
dan saling mendukung
Penekanan pada penguasaan dan penggunaan
pengetahuan yang merefleksikan isu baru dan
lama serta menyelesaikan masalah konteks
kehidupan nyata
Pengajar sebagai pendorong dan pemberi
fasilitas pembelajaran
Dari perbedaan di atas, dapat disimpulkan bahwa model konvensional memang
punya banyak kelemahan. Meskipun pada dasarnya pendidik dan pembelajar sangat
familier dengan paradigma tradisional dimana konten yang akan dipelajari dapat
diidentifikasikan dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran.
3.
Metode Ceramah (expository)
Metode ceramah boleh dikatakan sebagai model konvensional yang sejak dulu
masih digunakan guru sebagai metode dalam proses belajar-mengajar. Pada dasarnya
ceramah murni cenderung pada bentuk komunikasi satu arah. Meskipun metode ceramah
29
lebih banyak menuntut keaktifan guru daripada siswa tetapi metode ini tidak bisa
ditinggalkan dalam kegiatan pembelajaran.
Metode ceramah juga sering disebut dengan metode pembelajaran ekspositori.
Menurut Wina Sanjaya (2009:177) yang dimaksud metode ceramah adalah metode
pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari
seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai
materi pelajaran secara optimal.
Kegiatan guru yang utama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan atau
mencatat apa yang akan disampaikan. Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada
buku test atau LKS, dengan mengutamakan metode ceramah dan kadang-kadang tanya
jawab. Tes atau evaluasi yang bersifat sumatif dengan maksud untuk mengetahui
perkembangan jarang dilakukan. Selain harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh
guru, dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan kurang sekali
mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat. Disamping itu, guru jarang mengajar
siswa untuk menganalisa secara mendalam tentang suatu konsep dan jarang mendorong
siswa untuk menggunkan penalaran logis yang lebih tinggi seperti kemampuan
membuktikan atau memperlihatkan suatu konsep.
Terdapat beberapa karakteristik metode ceramah, seperti yang dikemukakan Wina
Sanjaya (2009:177). Pertama, dilakukan dengan cara menyampaikan materi secara
verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan metode ini.
Kedua, materi yang disampaikan adalah materi yang sudah jadi, seperti data dan fakta,
30
konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir
ulang. Ketiga, tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri.
Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahaminya
dengan benar.
Sementara itu penyampaian informasi-informasi terkait dengan pembelajaran di
kelas, metode yang digunakan tidak lepas dari bentuk metode ceramah. Hasibuan dan
Moedjiono (2000:13) mengemukakan bahwa agar metode ceramah yang efektif perlu
dipersiapkan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Merumuskan tujuan instruksional khusus yang luas,
b. Mengidentifikasi dan memahami karakteristik siswa,
c. Menyusun bahan ceramah dengan menggunakan bahan pengait
(advance organizer),
d. Menyampaikan bahan dengan keterangan singkat menggunakan papan
tulis, memberikan contoh-contoh yang kongkrit dan memberikan
umpan balik (feedback), memberikan rangkuman setiap akhir
pembahasan materi,
e. Merencanakan evaluasi secara terprogram. Metode retitasi adalah
metode pembelajaran yang lebih dikenal dengan istilah pekerjaan
rumah, meskipun sebutan ini tidak seluruhnya benar.
a.
Keunggulan metode ceramah
Ceramah merupakan metode yang konvensional dan masih tetap eksis digunakan
dalam pembelajaran meskipun perkembangan IPTEK sekarang ini semakin pesat. Oleh
karena itu, untuk mengoptimalkan penggunaan metode ini perlu dipelajari karakteristik,
keunggulan-keunggulan, dan kelemahan-kelemahan dari metode ceramah.
Sebelum mengutarakan kelemahannya, adapun keunggulan-keunggulan dari metode
ceramah, mengikuti teori Gulo (2002:138-140), antara lain:
31
1) Tidak memerlukan waktu dan alat yang lebih.
2) Jika penguasaan kelas bagus maka dapat meningkatkan motivasi siswa..
3) Melatih kemampuan
mendengar anak didik . Kemampuan mendengar
dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu :
a) Marginal listening (mendengar secara margin), yaitu mendengar sambil
memperhatikan hal-hal lain,
b) Evaluatif listening (Mendengar sambil menilai), yaitu mendengar sambil
menilai informasi maupun informan yang didengar dari yang
bersangkutan menurut sudut pandang pendengar.
c) Mendengar proyektif, yaitu mendengar dengan menempatkan diri pada
jalan pikiran si pembicara sehingga informasi yang didengar, diterima
dan dipahami dari sudut si pembicara.
4) Membantu mengembangkan kemampuan anak didik untuk mencari
informasi dari berbagai sumber.
5) Mampu menyampaikan pengetahuan yang belum pernah diketahui peserta
didik.
b.
Kelemahan metode ceramah
Untuk meningkatkan keefektifan pengajaran dengan metode ceramah. Disamping
keunggulan-keunggulannya yang sudah dijelaskan oleh Gulo (2002:138-140), metode
ceramah juga mempunyai kelemahan-kelemahan seperti pola strategis ekspositorik,
32
penempatan peserta didik, keterbatasan pengetahuan dan proses penyampaian. Mengikuti
(Gulo, 2002: 140-142). Kelemahan tersebut lebih jelasnya antara lain:
1) Pola strategis ekspositorik yang berpusat pada pendidik. Pola interaksi
cenderung pada komunikasi satu arah, sehingga sukar bagi pendidik untuk
mengetahui dengan pasti sejauh mana peserta didik memahami informasi
yang disampaikan. Peluang terjadinya misscommunication cukup besar.
2) Menempatkan posisi peserta didik sebagai pendengar dan pencatat.
3) Keterbatasan pengetahuan pada tingkat rendah. Dilihat dari segi taksonomi
tujuan pengajaran, ceramah hanya mampu mengembangkan kemampuan
peserta didik pada tingkat pengetahuan sampai pemahaman.
4) Proses ceramah berlangsung menurut kecepatan bicara dan logat bahasa
yang dipakai oleh pendidik.
Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila tidak menguasai
suatu model atau strategi pembelajaran. Kegiatan belajar mengajar menjadi menarik dan
tidak membosankan seharusnya guru harus bisa menggunakan metode pembelajaran
yang bervariasi. Problem Based Learning adalah salah satu strategi pembelajaran yang
dapat digunakan untuk menghindari proses pembelajaran yang tampak kaku, siswa-siswa
yang
kurang
bergairah
berkesinambungan.
dan
menjadikan
kegiatan
belajar
mengajar
saling
33
4.
Metode Diskusi
Mengikuti pendapat Killen (dalam Wina Sanjaya 2009:153), menjelaskan metode
diskusi diartikan sebagai metode pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu
pokok permasalahan. Tujuannya untuk memecahkan suatu permasalahan, menjawab
pertanyaan, menambah dan memahami pengetahuan siswa,serta membuat suatu
keputusan.
Secara umum ada dua jenis metode diskusi yang sering digunakan. Pertama
adalah diskusi kelompok atau sering disebut diskusi kelas. Kedua diskusi kecil yang
terdiri dari 3-5 orang. Tetapi dijelaskan juga diskusi lain seperti simposium dan diskusi
panel.
1.
Diskusi kelompok
Diskusi ini dilakukan oleh seluruh anggota kelas sebagai peserta diskusi.
Prosedur yang digunakan adalah guru bertindak sebagai pelaksana diskusi.
Sumber masalah bisa guru itu sendiri, siswa maupun ahli tertentu dari luar.
Siswa diberi kesempatan untuk menanggapi permasalahan setelah
mendaftar pada moderator. Kemudian sumber masalah memberi tanggapan
dan moderator menyimpulkan hasil diskusi.
2.
Diskusi kelas.
Diskusi ini dilakukan dengan membagi siswa dalam kelompok-kelompok.
Jumlahnya 3-5 orang. Pelaksaaan diskusi ini dimulai dari guru
menyampaikan suatu masalah yang nantinya akan dijabarkan menjadi
34
submasalah. Tugas siswa dalam setiap kelompok adalah memecahkan
setiap submasalah yang dibagikan kemudian setelah selesai ketua
kelompok menyajikan hasilnya.
3.
Simposium.
Metode mengajar dengan membahas suatu persoalan yang dipandang dari
berbagai sudut pandang berdasarkan keahlian. Simposium dilakukan untuk
memberikan wawasan
memberikan pandangan
yang
luas kepada siswa.
Setelah penyaji
tentang suatu masalah sebagai permulaan.
Kesimpulan hasil kerja tim kemudian dibacakan di akhir diskusi.
4.
Diskusi panel.
Dilakukan oleh beberapa panelis yang biasanya terdiri dari 4-5 orang di
hadapan peserta. Berbeda dengan diskusi lain, peserta dalam diskusi ini
tidak terlibat langsung tetapi hanya berperan sebagai peninjau para panelis
yang sedang melaksanakan diskusi. Oleh karena itu diskusi ini perlu
dikembangkan dengan metode lain.
5.
Aktivitas Belajar.
a.
Aktivitas.
Aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting dalam interaksi
pembelajaran sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah
laku. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Dalam kegiatan belajar, subyek didik/
35
siswa aktif berbuat. Dengan kata lain, bahwa dalam belajar sangat diperlukan adanya
aktivitas(Sardiman, 2005 : 95).
Diedrich (dalam Sardiman 2005:101) menjelaskan beberapa kategori aktivitas
siswa. Beberapa kategori aktivitas-aktivitas siswa dapat di bagi menjadi 8 (delapan)
macam, meliputi Visual activities, oral activities, listening activities, writing activities,
drawing activities, motor activities, mental activities, emotional activities.
1) Visual activities, yang termasuk didalamnya memperhatikan gambar,
melakukan percobaan, menanggapi pekerjaan orang lain.
2) Oral activities, seperti : menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi
saran, mengeluarakan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi,
interupsi.
3) Listening activities, sebagai contoh : mendengarkan, uraian, percakapan,
diskusi, musik, pidato.
4) Writing activities, seperti : menulis cerita, karangan, laporan, angket,
menyalin.
5) Drawing activities, mislanya : menggambar, membuat peta, diagram
grafik.
6) Motor activities, antara lain : melakukan percobaan, membuat konstruksi,
model mereparasi, berkebun, dan beternak.
7) Mental activities, misalnya : menanggapi, mengingat, memecahkan soal,
menganalisis, membuat hubungan, mengambil keputusan.
8) Emotional activities, misalnya : menaruh minat, merasa bosan, gembira,
bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.
Interaksi sesama guru dan siswa sangat beragam dalam pembelajaran, penjelasan
dari teman biasanya juga lebih bisa diterima siswa. Belajar berkelompok juga akan
menimbulkan rasa malu jika tidak bisa menjawab pertanyaan sehingga akan memperkuat
motivasi dan keinginan kuat mempelajari materi itu. Belajar bersama-sama juga akan
terasa menyenangkan, suasana ini diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
efektif dan efisien.
36
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa adalah aktifitas
fisik dan mental siswa dalam proses pembelajaran yang dapat dilihat dari berbagai aspek.
Aspek-aspek dalam keaktifan siswa dapat dilihat dengan melihat aktifitas siswa yang
diklasifikasikan menjadi aktifitas mata, telinga, mulut, tangan, gerak, mental dan emosi.
Keaktifan siswa tidak bisa lepas dari interaksi dengan guru maupun siswa yang lain
sehingga guru dan siswa lain turut mempengaruhi keaktifan siswa.
b. Belajar.
Belajar adalah suatu kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. (Muhibbin
Syah 2007 : 89). Belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh setiap individu
melalui kegiatan pendidikan baik formal maupun non formal. Belajar tidak hanya
dilakukan oleh pelajar saja namun tiap individu yang sedang mengikuti kursus, pelatihan,
seminar, dan lain-lain juga termasuk dalam kegiatan belajar. Belajar bertujuan untuk
dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik. Perubahan ini dapat berupa
pengetahuan sikap, maupun ketrampilan bagi tiap individu (Baharuddin , 2008 : 12).
Belajar pada dasarnya tidak hanya sebagai suatu kegiatan atau aktivitas yang bisa
dilakukan siapa saja. Dalam belajar ada beberapa prinsip-prinsip yang perlu diketahui
(Sardiman 2005, 24 – 25), antara lain :
1) Menyangkut potensi manusiawi dan perilakunya,
2) Memerlukan proses dan pemahaman serta pematangan diri,
37
3) Belajar akan lebih mantap dan efektif apabila didorong oleh motivasi,
terutama dari dalam,
4) Dalam banyak hal, belajar merupakan proses pembiasaan dan
percobaan,
5) Kemampuan belajar seorang siswa darus diperhitungkan dalam
menentukan isi pelajaran.
6) Belajar dapat dilakukan dengan cara : diajar secara langsung; kontrol;
kontak; pengalaman langsung; dan pengenalan atau peniruan.
7) Adanya praktek, belajar akan lebih efektif dibandingkan dengan hafalan
saja.
8) Bahan pelajaran yang bermakna lebih menarik untuk dipelajari
dibandingkan bahan yang kurang bermakna.
9) Informasi tentang perilaku, pengetahuan, kesalahan, serta keberhasilan
siswa akan membantu kelancaran belajar.
10) Belajar sedapat mungkin diubah ke dalam bentuk tugas sehingga anak
mengalaminya sendiri.
Merujuk pada teori yang dikemukakan Muhibbin Syah (2007 : 116), terdapat ciriciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku. Meliputi perubahan intensional,
perubahan positif dan aktif dan perubahan efektif dan fungsional.
1. Perubahan Intensional,
Terjadi pada setiap individu disebabkan adanya pengalaman atau praktek yang
dilakukan dengan sengaja dan disadari,
2. Perubahan positif dan aktif,
Perubahan yang baik, bermanfaat, serta sesuai dengan harapan yang
diinginkan.
3. Perubahan efektif dan fungsional,
Bersifat dinamis dan mendorong timbulnya pemahaman positif-positifnya.
38
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar pada dasarnya
adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan
sumber-sumber belajar yang ada. Belajar membawa perubahan yang positif bagi tiap
individu baik pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, ketrampilan, kecakapan,
kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar.
c.
Faktor-faktor belajar
Prinsip-prinsip belajar yang hanya memberikan petunjuk umum tentang belajar
tidak dapat dijadikan hukum belajar yang bersifat mutlak, karena jika tujuan belajar
berbeda maka dengan sendirinya cara belajar juga harus beda. Karena itu, belajar yang
efektif sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kondisional yang ada seperti yang
dikemukakan oleh Oemar Hamalik (2005:32). Faktor-faktor kondisional teersebut adalah
sebagai berikut:
1. Faktor kegiatan, seperti melihat, mendengar, berpikir dan kegiatankegiatan lainnya yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan, sikap,
kebiasaan, dan minat.
2. Belajar memerlukan latihan dengan jalan re-learning, re-calling dan revewing agar pelajaran yang terlupakan dapat dikuasai kembali dan
pelajaran yang belum dikuasai akan dapat lebih mudah dipahami.
3. Belajar hendaknya dilakukan dalam suasana yang menyenangkan.
4. Siswa yang belajar perlu mengetahui apakah ia berhasil atau gagal dalam
belajarnya.
5. Faktor asosiasi besar manfaatnya dalam belajar. Karena semua
pengalaman belajar antara yang lama dengan yang baru.
6. Pengalaman-pengalaman masa lampau dan pengertian yang telah dimiliki
oleh siswa.
7. Kesiapan belajar yang erat hubungannya dengan masalah kematangan,
minat, kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan.
39
8. Belajar dengan minat akan mendorong siswa belajar lebih baik.
9. Fisiologis. Kondisi badan siswa yang belajar sangat menentukan dalam
proses belajar.
10. Faktor intelegensi. Murid yang cerdas akan lebih berhasil dalam kegiatan
belajar.
6.
Tinjauan Tentang PKn (Pendidikan Kewarganegaraan).
a.
Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan salah satu bidang
kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia
melalui koridor pendidikan nilai. Konfigurasi atau kerangka sistematik PKn dibangun
atas dasar paradigma pengembangan potensi individu agar menjadi warga negara
Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. PKn secara
teoritis dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif,
afektif dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi
dalam substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila yang nantinya diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari (Sunarso dkk, 2006: 5).
Berdasarkan perkembangan dalam kurun waktu terakhir, dimana tujuan PKn
adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam
kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka dari itu
partisipasi tentunya memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan.
Kompetensi yang diperlukan dan terpenting adalah penguasaan terhadap pengetahuan
dan pemahaman tertentu, pengembangan kemampuan intelektual dan partisipasi,
40
pengembangan karakter dan sikap mental tertentu, komitmen yang benar terhadap nilai
dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Berdasarkan kompetensi yang perlu
dikembangkan, tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam Pendidikan
kewarganegaraan yaitu civic knowledge, civic skills, civic dispositions (Branson, 1998:5),
yaitu sebagai berikut :
1) Civic Knowledge (Pengetahuan Kewarganegaraan)
Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) erat kaitannya dengan pola
pikir (mindset) atau apa yang seharusnya diketahui warga negara. Komponen pertama ini
secara bertahap harus diimplementasikan dalam bentuk lima (5) pertanyaan penting
sebagai sumber belajar PKn. Lima (5) pertanyaan meliputi kehidupan warga negara,
politik, dan Pemerintahan, dasar-dasar sistem politik Indonesia, implementasi tujuantujuan pemerintah yang dibentuk oleh Konstitusi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip
demokrasi Indonesia, hubungan Internasional antara Indonesia dengan negara-negara
lain, dan peran warga negara dalam demokrasi Indonesia.
2) Civic Skills (Kecakapan Kewarganegaraan)
Komponen
kedua
Pendidikan
Kewarganegaraan
adalah
kecakapan
kewarganegaraan (civic skills). Warga negara dituntut tidak hanya menguasai
pengetahuan dasar sebagaimana diwujudkan dalam lima pertanyaan pada civic
knowledge,
tetapi
juga
harus
memiliki
kecakapan-kecakapan
intelektual
kewarganegaraan. Kecakapan intelektual penting untuk seorang warga negara yang
41
berpengetahuan, efektif dan bertanggung jawab (kritis). Civic education yang bermutu
memberdayakan seseorang untuk mengindentifikasikan atau memberi makna yang berarti
pada sesuatu yang berwujud. Civic education juga memberdayakan seseorang untuk
memberi makna atau arti penting pada sesuatu yang tidak berwujud. Kemampuan untuk
mengidentifikasi bahasa dan simbol-simbol penting bagi seorang warga negara. Mereka
harus mampu menelaah dengan jelas pengertian secara hakiki dari bahasa dan simbolsimbol tersebut.
Kecakapan
intelektual
lain
yang
bermutu
adalah
kemampuan
untuk
mendeskripsikan fungsi dan proses dalam kehidupan. Pendidikan Kewarganegaraan yang
bermutu berusaha mengembangkan kompetensi dalam menjelaskan dan menganalisis
hal-hal tertentu sebagai komponen-komponen dan konsekuensi cita-cita, proses-proses
sosial, ekonomi, atau politik dan lembaga-lembaga. Kemampuan dalam menganalisis ini
memungkinkan seseorang untuk membedakan antara fakta dengan opini atau antara cara
dengan tujuan. Hal ini juga membantu warga negara dalam mengklarifikasi berbagai
macam tanggung jawab, misalnya antara tanggung jawab publik dan privat. Pada
masyarakat yang otonom, warga negara adalah pembuat keputusan. Oleh karena itu,
mereka perlu mengembangkan dan terus mengasah kemampuan mengevaluasi,
mengambil dan mempertahankan pendapat. Kemampuan itu sangat penting jika nanti
mereka diminta menilai isu-isu yang ada dalam agenda publik, dan mendiskusikan
penilaian mereka dengan orang lain dalam masalah privat dan publik.
42
Di samping mensyaratkan pengetahuan dan kemampuan intelektual, pendidikan
untuk warga negara dan masyarakat demokratis harus difokuskan pada kecakapankecakapan yang dibutuhkan untuk partisipasi yang bertanggung jawab efektif dan, ilmiah
dalam proses politik dan dalam civic society. Kecakapan-kecakapan tersebut dapat
dikategorikan sebagai interacting, monitoring and influencing. Interaksi berkaitan dengan
kecakapan-kecakapan warga negara dalam komunikasi dan bekerja sama dengan orang
lain. Berinteraksi adalah menjadi tanggap terhadap warga negara lain. Selanjutnya
memonitor sistem politik dan pemerintahan, mengisyaratkan pada kemampuan yang
dibutuhkan warga negara untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan.
Monitoring juga berarti fungsi pengawasan atau watchdog warga negara. Akhirnya,
kecakapan partisipatoris dalam hal mempengaruhi, mengisyaratkan pada kemampuan
proses-proses politik dan pemerintahan, baik proses formal maupun proses informal
dalam masyarakat. Sebagaimana halnya kecakapan-kecakapan interaksi dan memonitor,
kecakapan mempengaruhi dapat dan seharusnya dikembangkan secara sistematik.
3) Civic Disposition (Watak Kewarganegaraan)
Komponen dasar ketiga dari Pendidikan kewarganegaraan adalah watak
kewarganegaraan (civic disposition) yang mengisyaratkan kepada karakter publik
maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi
konstitusional. Watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan,
berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami
43
oleh seseorang di rumah, di sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civil society.
Pengalaman-pengalaman demikian hendaknya membangkitkan pemahaman bahwasanya
demokrasi mensyaratkan adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap
individu. Karakter privat seperti tanggung jawab, moral, disiplin diri dan penghargaan
terhadap hakikat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik
juga tidak kalah penting, keperdulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan
aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemampuan untuk mendengar, bernegosiasi
dan berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi berjalan
sukses.
b.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Pemberlakuan peraturan dan perundangan-undangan yang berkaitan dengan
pelaksanaan otonomi pendidikan menuntut adanya upaya pembagian kewenangan dalam
berbagai bidang pemerintahan. Hal tersebut membawa implikasi terhadap sistem dan
penyelenggaraan pendidikan termasuk pengembangan dan pelaksanaan kurikulum. Untuk
merespon hal tersebut, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah melakukan
penyusunan Standar Isi (SI), yang kemudian dituangkan kedalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22 tahun 2006, yang mencakup komponen:
1) Standar Kompetensi (SK), merupakan ukuran kemampuan minimal yang
mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai,
44
diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan dari
suatu materi yang diajarkan.
2) Kompetensi Dasar (KD), merupakan penjabaran SK peserta didik yang
cakupan materinya lebih sempit dibanding dengan SK peserta didik.
3) Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan kelas VII dalam satu tahun
memiliki empat (4) Standar Kompetensi dan empatbelas (14) Kompetensi
Dasar yang terbagi sebagai berikut :
Tabel. 2.2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Semester I
Standar Kompetensi
1. Menunjukkan
sikap
positif terhadap normanorma yang berlaku
dalam
kehidupan
bermasyarakat,berbangsa,
dan bernegara
2. Mendeskripsikan Makna
Proklamasi Kemerdekaan
dan konstitusi Pertama
Kompetensi Dasar
1.1. Mendeskripsikan hakikat norma-norma,
kebiasaan, adat istiadat, peraturan yang
berlaku dalam masyarakat
1.2. Menjelaskan hakikat dan arti penting
hukum bagi warga negara
1.3. Menerapkan norma-norma, kebiasaankebiasaan, adat istilah adat dan peraturan
yang
berlaku
dalam
kehidupan
bermayarakat, berbangsa dan bernegara
2.1. Menjelaskan makna proklamasi
kemerdekaan
2.2. Mendeskripsikan suasana kebatinan
konstitusi pertama
2.3. Menganalisis hubungan proklamasi
dengan UUD 1945
2.4. Menunjukkan sikap positif terhadap
makna proklamasi kemerdekaan dan
suasana kebatinan konstitusi pertama
45
Semester II
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
3. Menampilkan sikap positif
terhadap perlindungan dan
penegakan Hak Azasi
Manusia (HAM)
3.1 Menguraikan hakikat, hukum dan
kelembagaan HAM
3.2 Mendeskripsikan kasus pelanggaran dan
upaya penegakan HAM
3.3 Menghargai upaya perlindungan HAM
3.4 Menghargai upaya penegakan HAM
4. Menampilkan perilaku
kemerdekaan mengemukakan
pendapat
4.1 Menjelaskan hakikat kemerdekaan
mengemukakan pendapat
4.2 Menguraikan pentingnya kemerdekaan
mengemukakan pendapat secara bebas
dan bertanggung jawab
4.3 Mengaktualisasikan kemerdekaan
mengemukakan pendapat secara bebas
dan bertanggung jawab
(Permendiknas nomor 22 tahun 2006)
Dari Standar Kompetensi di atas peneliti memilih salah satu SK yang akan diteliti
yaitu Menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di dalam Standar Kompetensi tersebut
memiliki tiga Kompetensi Dasar. Dari tiga kompetensi Dasar peneliti hanya mengambil
dua untuk mengukur efektivitas model PBL diataranya sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan hakikat norma-norma, kebiasaan, adat istiadat, peraturan
yang berlaku dalam masyarakat.
Kompetensi Dasar ini memuat materi sebagai berikut :
a. Hakikat norma.
46
Mengapa kita harus berbakti kepada orang tua dan sebaliknya orang tua
harus
merawat
dan
menyayangi
anaknya,
mengapa kita
harus
menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan yang kita yakini?
Jawabannya adalah karena hal itu dianggap merupakan perbuatan yang
benar dan semuanya mempunyai akibat atau sanksi sesuai pelanggaran
yang dibuat.
b. Pentingnya norma dalam kehidupan bermasyarakat,
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya harus ada tata krama dan sikap
yang bisa diterima di dalamnya. Oleh karena itu norma yang ada dan
berlaku harus diterapkan guna mencerminkan kehidupan yang tertib dan
saling bergantung satu sama lain. Baik norma yang tertulis maupun tidak.
c. Macam-macam norma.
Ada empat norma yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, yaitu : norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum.
2.
Menjelaskan hakikat dan arti penting hukum bagi warga negara.
Kompetensi Dasar ini memuat materi sebagai berikut :
a. Pentingnya norma hukum dalam kehidupan bernegara.
Secara lebih jelas, hukum bagi warga negara memiliki arti penting
melindungi hak setiap warga negara, memberikan keadilan dan menjamin
kepastian hukum.
b. Tujuan ditetapkannya hukum dalam suatu negara.
47
Tujuannya adalah menciptakan ketertiban di dalamnya. Sebab ketertiban
merupakan syarat utama dari adanya masyarakat yang teratur. Untuk
mencapai ketertiban harus ada kepastian. Oleh karena itu hukum harus
mengatur hal yang jelas, baik subyek maupun obyek atau wilayah
berlakunya.
c. Kepatuhan terhadap hukum dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum bukan semata-mata dibuat agar warga negara menjadi takut akan
sanksinya, melainkan agar terjaga hubungan yang tertib dan harmonis
antar warga negara tanpa ada suatu perselisihan sedikitpun. Meskipun
ada, hukum siap memberikan sanksi yang adil bagi pelanggarnya.
c.
Fungsi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.
Esensi dari pembelajaran kewarganegaraan adalah untuk memberi bekal dan
pemahaman kepada siswa sebagai warga negara Indonesia. Meliputi nilai-nilai, kepekaan
terhadap lingkungan, menyadari adanya perbedaan, hak dan kewajiban, serta mengenal
prinsip dan pilar dasar berbangsa dan bernegara.
fungsi mata pelajaran PKn untuk SD dan MI, SMP dan MTs, SMA dan MA
adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter.
Menurut Permendiknas No.22 tahun 2006, untuk tujuan mata pelajaran PKn bagi siswa
adalah memberikan kompetensi berpikir rasional, kritis, ikut berpartisipasi, dan
berinteraksi.
48
1. Fungsi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berfungsi sebagai
wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil dan berkarakter yang
setia kepada negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan
berfikir dan bertindak sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 1945
2. Tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk
memberikan kompetensi berpikir kritis dan kreatif, aktif berpartisipasi,
berkembang secara positif dan interaktif.
a. Berpikir secara kritis rasional dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan,
b. Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat
hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
d. Ruang lingkup PKn.
Berdasarkan penjelasan Permendiknas No. 22 tahun 2006 ruang lingkup
Pendidikan Kewarganegaraan meliputi persatuan dan kesatuan bangsa, norma hukum dan
peraturan, Hak Asasi Manusia, kebutuhan warga negara, kekuasaan politik, pancasila,
konstitusi negara, dan globalisasi. Adapun fokus ruang lingkup pembahasan mata
pelajaran PKn di kelas VII, antara lain :
49
1) Persatuan dan kesatuan bangsa meliputi : hidup rukun dalam perbedaan,
cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda,
keutuhan NKRI, keterbukaan dan jaminan keadilan.
2) Norma, hukum dan peraturan, meliputi : tata tertib dalam kehidupan
keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat,
peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa
bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan
Inetrnasional.
3) HAM, meliputi : hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional
dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM
4) Kebutuhan warga negara, meliputi : hidup gotong royong, harga diri, sebagai
warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan
pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan
kedudukan warga negara.
3.
Penelitian yang relevan
a.
Rahmawati , 2008,
Dalam Tesisnya dengan judul : “Keefektifan Metode Problem Solving untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMA
Negeri 1 Kaledupa Sulawesi Tenggara”. Dari hasil uji perbedaan rata-rata
dengan uji t untuk semua kelompok uji, kecuali uji rata-rata pre-test
50
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata post-test baik pada kelas
yang diajarkan dengan metode Problem Solving maupun dengan metode
ceramah. Secara uji statistik berbeda secara signifikan dengan p-value (Sig) 0,000
< 0,05 level of Significant. Maka H0 ditolak atau Ha diterima. Hal ini
menunjukkan bahwa metode Problem Solving lebih baik atau lebih efektif
daripada metode ceramah pada mata pelajaran Ekonomi materi indeks harga dan
inflasi
b.
Agus Abu, 2009,
Dalam tesisnya dengan judul : “Perbandingan Keefektifan Pembelajaran
Berbasis Masalah dan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Ditinjau dari
Kemampuan Pemecahan Masalah dan Motivasi Belajar Pada Pelajaran
Matematika”. Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan berdasarkan uji one
sample t-test, model pembelajaran dengan berbasis masalah efektif dalam
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar siswa. Hal
ini disebabkan karena siswa yang sebelumnya merasa asing dengan objek-objek
ruang dimensi tiga dengan hanya menghafal rumus dan menyelesaikannya soalsoal tanpa memahami apa yang dikerjakannya dan apa kegunaannya dalam
kehidupan sehari-hari menjadi tahu apa yang dikerjakannya dan apa manfaatnya
dalam kehidupan setelah digunakan model pembelajaran berbasis masalah
didalam pembelajaran.
51
Menurut dari data-data hasil penelitian relevan di atas, peneliti bisa menarik
menyimpulkan bahwa penggunaan model PBL ini dapat efektif untuk meningkatkan
aktifitas dan hasil belajar siswa. Dengan adanya bukti-bukti di atas, peneliti ingin
menunjukkan dan menerapkan model PBL dalam pembelajaran PKn karena pada
dasarnya mata pelajaran PKn memuat substansi yang bisa dikatakan bekal seseorang
hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penelitian ini dikhususnya pada
kelas VII untuk memberikan pemahaman awal tentang suatu model pembelajaran yang
baru dan menarik bagi siswa. Menurut pra-observasi yang dilakukan peneliti di bulan
Agustus 2012, model PBL belum pernah digunakan di kelas VII SMP Negeri 16
Yogyakarta terutama dalam pembelajaran PKn.
4.
Kerangka berpikir
Proses belajar saat ini harus lebih memberdayakan potensi siswa dalam setiap
kegiatan. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber informasi atau teacher-centered
yang siap mentransfer pengetahuan kepada siswa, namun fungsinya berubah menjadi
fasilitator dalam proses pembelajaran yang tujuannya adalah siswa lebih mandiri dalam
usaha pencapaian tujuan. Pada akhirnya paradigma lama pembelajaran yang
mengedepankan guru sebagai satu-satunya sumber (teacher centered) telah dianggap
usang atau tidak kompeten lagi dan berubah ke arah paradigma baru dimana siswa aktif
berbuat (student centered) dalam proses pembelajaran di kelas maupun ketika di
lapangan.
52
Kemampuan pemecahan
masalah sangat
dibutuhkan agar
pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan memberikan hasil yang optimal. Tujuan belajar adalah
menemukan pengetahuan baru,dan sesuatu yang belum pernah ditemukan atau belum
diketahui merupakan sebuah permasalahan. Untuk mengetahuinya maka masalah tersebut
harus dipecahkan. Sementara itu, untuk memecahkan suatu masalah dibutuhkan
kemampuan pemecahan masalah yang baik.
Salah satu alternatif yang bisa diterapkan adalah dengan menggunakan model
Problem Based Learning (PBL), atau sering disebut pembelajaran berbasis masalah.
Masalah tentunya mengandung pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa langsung dengan
mudah dijawab. Pertanyaan yang dapat dijawab secara singkat dan tanpa berpikir keras
tidak termasuk bagian dari masalah. Pertanyaan akan menjadi masalah jika menunjukkan
adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin. Dalam
implementasinya siswa tidak hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian
menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui PBL siswa aktif berkelompok, berpikir,
berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkan.
Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan aktivitas belajar siswa
maka pelaksanaan proses pembelajaran sebagai wadah untuk meningkatkan kedua aspek
tersebut perlu terus dikembangkan agar dapat berperan sesuai dengan yang diterapkan.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan penerapan model pembelajaran yang melibatkan
siswa secara aktif sehingga siswa tidak lagi merasa abstrak dan asing terhadap materi
pelajaran.
53
Dilihat dari aspek psikologi belajar PBL bersandar kepada psikologi kognitif yang
berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya
pengalaman. Belajar bukan semata-mata proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu
proses interaksi secara sadar antara individu dengan lingkungannya. Melalui proses ini
sedikit demi sedikit siswa akan berkembang secara utuh. Artinya, perkembangan siswa
tidak hanya terjadi pada aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik melaui
penghayatan secara internal akan problema yang dihadapi.
5.
Hipotesis Penelitian.
Berdasarkan pada kajian teori dan kerangka berpikir yang telah disusun, maka
dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
a. Aktivitas belajar siswa pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan kelas
VII
dengan
menggunakan
PBL
lebih
tinggi dibandingkan
dengan
menggunakan metode ceramah,
b. Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam menerapkan model Problem Based
Learning (PBL) di kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta.
Download