EVALUASI KUALITAS HASIL DAN ANALISIS GENETIK

advertisement
EVALUASI KUALITAS HASIL DAN ANALISIS GENETIK
KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI
(Capsicum annuum L.)
DANIEL PETER LAUTERBOOM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Evaluasi Kualitas
Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum
annuum L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2011
Daniel P. Lauterboom
A253080031
ABSTRACT
DANIEL PETER LAUTERBOOM. The Evaluation of Yield Quality and Genetic
Analysis of Capsaicin and Vitamin C in Pepper (Capsicum annuum L.). Supervised
by SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR, and DEWI SUKMA.
Quality of pepper is related to yield and content of certain metabolite in its fruit. One
of the method that is used to estimate genetic parameter is diallel analysis. This study
consists of two experiments, i.e. (1) Evaluation of 14 pepper genotypes and their
genetic variabilities; (2) Evaluation of F1 generation and genetic parameter
estimation of capsaicin and vitamin C content in pepper using diallel analysis.
The objectives of the first experiment are to obtain the information of yield quality,
capsaicin, vitamin A and vitamin C content, and to estimate genetic variability and
heritability of several pepper genotypes. Evaluation of 14 pepper genotypes was
conducted in Randomized Complete Block Design (RCBD) with 2 replications. Each
unit of experiment consists of 20 plants with 6 sample plants. In this experiment, the
observed variables are qualitative and quantitative characters. The qualitative
character i.e. fruit color was observed based on Descriptors for Capsicum from
IPGRI, while quantitative characters i.e., fruit length, thickness of fruit skin, weight
per fruit, and weight of fruit per plant. Measurement of capsaicin, vitamin A, and
vitamin C content was performed using High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) technique.
The result shows that 14 genotypes were evaluated have high genetic variability and
heritability for the following characters; length of the fruit, rind thickness, weight per
fruit, fruit weight per plant, vitamin A content and vitamin C content. Meanwhile, the
genetic diversity of capsaicin content is classified as moderate. IPB C10 had the
highest capsaicin, vitamin A and vitamin C content. IPB C2 had the lowest capsaicin
and vitamin A content; and IPB C14 had the lowest vitamin C content. Capsaicin
content had a positive correlation with vitamin A and vitamin C content, whereas
vitamin A content had no correlation with vitamin C content. Furthermore, 5
genotypes were selected to be a parent for half-diallel crossing, i.e. genotype IPB C2
(low capsaicin, low vitamin C), IPB C9 (medium capsaicin, low vitamin C), IPB 10
(high capsaicin, high vitamin C), IPB C15 (medium capsaicin, medium vitamin C)
and IPB C20 (medium capsaicin, medium vitamin C).
The second experiment aims to obtain the genetic parameter information of capsaicin
and vitamin C content of pepper using diallel analysis, and to evaluate the F1 hybrid
of pepper, and their heterosis and heterobeltiosis values. The F1 hybrid was
developed through crossing of 5 parental genotypes, i.e. genotype IPB C2, IPB C9,
IPB 10, IPB C15 and IPB C20. This study was performed in RCBD with 2
replications. Each unit of experiment consisted of 200 g fruit of pepper. The capsaicin
and vitamin C content were analyzed using HPLC.
The analysis result indicated that capsaicin content was influenced by
extrachromosomal effect, while vitamin C content was not affected. F1 hybrid IPB
C15 x IPB C9 had the highest heterosis and heterobeltiosis values for capsaicin
content, while F1 hybrid IPB C9 x IPB C10 has the highest value for vitamin C
content. There was no gene interaction in the controlling of capsaicin content but it
determined the expression of vitamin C. The broad-sense heritability for capsaicin
and vitamin C content were high, whereas narrow-sense heritability for capsaicin was
high and for vitamin C was medium. Genotype IPB C10 had the highest general
combining ability (GCA) for both characters (capsaicin and vitamin C).
Keywords : pepper, production quality, capsaicin, vitamin A, vitamin C, cross diallel,
heterosis, heterobeltiosis.
RINGKASAN
DANIEL PETER LAUTERBOOM. Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik
Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.). Dibimbing oleh
SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR dan DEWI SUKMA.
Kualitas hasil tanaman cabai sangat berhubungan dengan daya hasil dan
kandungan bahan metabolit tertentu dalam buah cabai. Salah satu metode yang
digunakan dalam pendugaan parameter genetik adalah analisis dialel. Penelitian ini
mencakup dua percobaan yaitu (1) Evaluasi hasil dan kualitas hasil, serta keragaman
genetik beberapa genotipe cabai; (2) Evaluasi hibrida F1 dan pendugaan parameter
genetik kadar capsaicin dan vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis
dialel.
Percobaan satu, bertujuan untuk mengetahui hasil, kualitas hasil, termasuk
kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C, beberapa genotipe cabai, serta untuk
mengetahui keragaman genetik dan heritabilitasnya. Evaluasi dilakukan terhadap 14
genotipe cabai yang ditanam menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak
(RKLT) dengan 2 ulangan. Masing –masing satuan percobaan terdiri atas 20 tanaman
dengan 6 tanaman sampel. Peubah yang diamati terdiri atas sifat kualitatif dan
kuantitatif. Pengamatan terhadap sifat kualitatif yaitu warna buah dilakukan
berdasarkan Descriptors for capsicum dari IPGRI. Sementara sifat kuantitatif yang
diamati adalah panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, dan bobot buah per
tanaman. Pengamatan kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C dilakukan
dengan menggunakan teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 14 genotipe yang dievaluasi memiliki
keragaman genetik dan nilai heritabilitas tinggi untuk karakter panjang buah, tebal
kulit buah, bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar vitamin A dan kadar
vitamin C, sedangkan keragaman genetik karakter kadar capsaicin tergolong sedang.
Genotipe IPB C10 memiliki kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C tertinggi,
sedangkan yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin A terendah adalah genotipe
IPB C2. Sementara itu, genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah.
Karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dan vitamin C
namun karakter kadar vitamin A dan vitamin C tidak memiliki korelasi yang nyata.
Lima genotipe yang terpilih untuk dijadikan tetua dalam persilangan setengah dialel
yaitu genotipe IPB C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin
sedang, vitamin C rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15
(capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C
sedang).
Percobaan dua bertujuan untuk menduga parameter genetik karakter kadar
capsaicin & vitamin C pada 5 tetua cabai dengan menggunakan analisis dialel, dan
mengevaluasi hibrida F1, serta mengetahui nilai heterosis dan heterobeltiosisnya.
Lima genotipe tetua terpilih, yaitu genotipe IPB C2, IPB C9, IPB C10, IPB C15 dan
IPB C20. Percobaan disusun menggunakan RKLT dengan 2 ulangan. Masing-masing
satuan percobaan terdiri atas 200 g buah cabai. Kadar capsaicin dan vitamin C
dianalisis berdasarkan metode HPLC. Hasil analisis genetik menunjukkan terdapat
adanya pewarisan ekstrakromosomal pada karakter kadar capsaicin, sedangkan pada
kadar vitamin C tidak terdapat. Genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai
heterosis dan heterobeltiosis tertinggi untuk karakter kadar capsaicin, sementara
untuk kadar vitamin C tertinggi terdapat pada hibrida F1 IPB C9 x IPB C10. Tidak
terdapat interaksi antar gen dalam pengendalian karakter kadar capsaicin buah cabai.
Sementara ekspresi kadar vitamin C dalam buah cabai ditentukan oleh interaksi antar
gen. Aksi gen aditif dan gen dominan berperan sangat nyata untuk karakter kadar
capsaicin dan tidak nyata dalam menentukan kadar vitamin C buah cabai. Nilai
heritabilitas arti luas untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C tergolong tinggi,
sedangkan nilai heritabilitas arti sempit untuk karakter kadar capsaicin tergolong
tinggi dan untuk karakter kadar vitamin C tergolong sedang. Genotipe IPB C10
mempunyai daya gabung umum yang paling tinggi untuk kedua karakter (capsaicin
dan vitamin c).
Kata kunci: cabai, kualitas hasil, capsaicin, vitamin A, vitamin C, silang dialel,
heterosis, heterobeltiosis
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karaya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EVALUASI KUALITAS HASIL DAN ANALISIS GENETIK
KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI
(Capsicum annuum L.)
DANIEL PETER LAUTERBOOM
Sebagai salah satu syarat
melaksanakan penelitian Program Magister pada
Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Tesis
Nama
NRP
: Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin
dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.)
: Daniel Peter Lauterboom
: A253080031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS
Ketua
Dr. Muhamad Syukur, SP, MSi
Anggota
Dr. Dewi Sukma, SP, MSi
Anggota
Diketahui
Ketua Mayor
Pemuliaan dan Bioteknolgi Tanaman
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc
Tanggal Ujian: 10 Januari 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
pertolongannya maka penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
dengan judul Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan
Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.). Tesis ini merupakan tugas akhir dalam
menyelesaikan Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS, Dr. M. Syukur, SP, MSi dan Dr. Dewi
Sukma, SP, MSi. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan
bimbingan sejak perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian
penyusunan tesis ini.
2.
Dr. Ir. Yudiwati Wahyu E. Kusumo, MS. selaku dosen penguji yang telah
memberi masukan, arahan dan saran sehingga tesis ini menjadi lebih baik.
3.
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman SPs IPB yang selalu memberi arahan dalam pelaksanaan
studi selama perkuliahan.
4.
Dirjen DIKTI yang telah memberikan bantuan dana melalui program Beasiswa
Unggulan dan Hibah Bersaing tahun 2008.
5.
Ketua Tim Pemuliaan Cabai Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas bantuan bahan genetik dan
fasilitas di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman.
6.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Departemen Pertanian, atas kesediaannya untuk membantu proses analisis kadar
capsaicin dan vitamin C buah cabai.
7.
Kepala Dinas Pendidikan Dan Pengajaran Provinsi Papua atas Bantuan biaya
Studi yang telah diberikan.
8.
Istri tercinta Yolanda Wanda Risakahu dan anak-anak tersayang Calvin Lauris
Brugman Lauterboom dan Jason Matthew Hendry Lauterboom atas segala
kesabaran, pengertian, keikhlasan dan kasih sayangnya dalam menyemangati
peneliti dalam menyelesaikan studi.
9.
Ayahanda Franciscus Benedictus Lauterboom dan Ibunda Farcis Bhatseba
Lawalata yang telah mendoakan, membesarkan, mendidik, serta membekali
penulis dengan kasih dan pengetahuan hingga saat ini.
10. Kakak-kakak dan adikku tersayang Ronald Lauterboom, SH; Ir. Henderina
Lauterboom, MSi; Arthur Ferdinand Lauterboom, S.Sos (alm); Victor Benhard
Lauterboom, SP dan Joice Ivonike Lauterboom, yang memberikan banyak
motivasi dan bantuan serta kasih sayang dalam bersaudara.
11. Ayah mertua Yoppy Simon Risakahu (alm); Ibu mertua Caroline Sahetapy;
Tante mertuaku Dra. Mien Risakahu, SH dan oyang Helena Tahja. Saudarasaudara
iparku Pdt. Raymond Valentino Risakahu, STh (alm);
Ir. Yorico
Damora Risakahu; Reiners Risakahu dan Maya Risakahu atas perhatian, kasih
sayang dan doanya.
12. Keluarga besar Lauterboom, Risakahu, Lawalata, Latumahina, Sahetapy dan
Soumokil atas segala dukungan dan doanya.
13. Teman-teman Sekolah Pascasarjana Departamen Agronomi dan Hortikultura
IPB.
14. Para sahabat dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang
telah banyak membantu penulis.
Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya dibidang pertanian.
Bogor, Pebruari 2011
Daniel P. Lauterboom
A253080031
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 20 Desember 1973
sebagai putra kelima dari enam bersaudara pasangan Franciscus B. Lauterboom
dan Farcis B. Lawalata. Penulis menikah dengan Yolanda Wanda Risakahu pada
tanggal 11 September 1998 dan telah dikaruniai dua orang putra Calvin Lauris
Brugman Lauterboom dan Jason Matthew Hendry Lauterboom.
Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di minat Pemuliaan Tanaman
Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura pada tahun 2000. Tahun 2000
penulis diangkat menjadi staf dosen
Yayasan Pegunungan Bintang yang ditugaskan pada Akademi Pertanian Santo
Thomas Aquino Jayapura. Pada Tahun 2005 penulis diangkat menjadi Pegawai
Negeri Sipil dalam jabatan sebagai Dosen Kopertis dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu
Pertanian (STIPER) Santo Thomas Aquinas Jayapura.
Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister Sains pada
Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun
2008 dengan Beasiswa BPPS dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia serta Bantuan dari Pemda Papua.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvii
PENDAHULUAN ..................................................................................................
Latar Belakang ...............................................................................................
Tujuan Penelitian ...........................................................................................
Hipotesis ........................................................................................................
Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................
1
1
4
4
5
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................
Botani, Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai ...............................
Pemuliaan Tanaman Cabai ............................................................................
Capsaicin dan Vitamin sebagai Produk Metabolit Sekunder ........................
Heterosis, Daya Gabung dan Heritabilitas ....................................................
Analisis Silang Dialel ....................................................................................
7
7
9
11
15
17
EVALUASI HASIL DAN KUALITAS HASIL 14 GENOTIPE CABAI
(Capsicum annuum L.) DAN KERAGAMAN GENETIKNYA ............................
ABSTRAK.....................................................................................................
PENDAHULUAN .........................................................................................
Latar Belakang........................................................................................
Tujuan Penelitian ....................................................................................
BAHAN DAN METODE ..............................................................................
Waktu dan Tempat..................................................................................
Metode Penelitian ...................................................................................
Karakterisasi Daya Hasil .................................................................
Karakterisasi Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C ........................
Analisis Data...........................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
Karakterisasi Daya hasil 14 Genotipe Cabai ..........................................
Penentuan Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C untuk
Evaluasi Calon Tetua ..............................................................................
Koefisien Keragaman Genetik (KKG), Heritabilitas (h2 bs )
dan Korelasi (r) .......................................................................................
SIMPULAN ...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
20
20
21
21
23
24
24
24
24
25
26
28
28
32
36
39
40
EVALUASI HIBRIDA F1 DAN PENDUGAAN PARAMETER GENETIK
KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI (Capsicum
annuum L.) DENGAN MENGGGUNAKAN ANALISIS DIALEL.....................
ABSTRAK.....................................................................................................
PENDAHULUAN .........................................................................................
Latar Belakang........................................................................................
Tujuan Penelitian ....................................................................................
BAHAN DAN METODE ..............................................................................
Waktu dan Tempat..................................................................................
Metode Penelitian ...................................................................................
Pengamatan.............................................................................................
Analisis Data...........................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
Evaluasi Hibrida F1 untuk Karakter Kadar Capsaicin dan
Vitamin C pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai .............................
Pendugaan Parameter Genetik ...............................................................
Interaksi Antar Gen .........................................................................
Pengaruh Aditif (D) dan Dominan (H 1 ) ..........................................
Distribusi Gen di Dalam Tetua .......................................................
Tingkat Dominansi ..........................................................................
Simpangan Rata-rata F1 dari Rata-rata Tetua .................................
Proporsi Gen Dominan Terhadap Gen Resesif ...............................
Arah dan Urutan Dominansi............................................................
Jumlah Gen Pengendali Karakter ....................................................
Heritabilitas .....................................................................................
Daya Gabung .........................................................................................
Daya Gabung Umum (DGU)...........................................................
Daya Gabung Khusus (DGK) ..........................................................
SIMPULAN ...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
42
42
42
42
45
45
46
46
47
47
55
55
65
66
67
68
68
69
69
70
72
72
73
73
75
76
77
PEMBAHASAN UMUM .......................................................................................
79
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................
Simpulan ........................................................................................................
Saran ..............................................................................................................
87
87
88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
89
LAMPIRAN ...........................................................................................................
93
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kadar Capsaicin Beberapa Genotipe Cabai ......................................................
13
2. Genotipe Cabai yang Digunakan Sebagai Bahan Penelitian.............................
24
3. Kuadrat Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per
Buah dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman
Cabai ... .............................................................................................................
28
4. Nilai Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per
Buah dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman
Cabai… .............................................................................................................
29
5. Warna Buah Muda, Warna Buah Intermedier dan Warna Buah Matang
Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ..................................................................
31
6. Kuadrat Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada
Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ..................................................................
32
7. Nilai Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada
Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ..................................................................
33
8. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dan Heritabilitas KarakterKarakter yang Diamati pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai....................
36
9. Koefisien Korelasi Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C
pada Genotipe Tanaman Cabai ......................................................................
38
10. Persilangan Half Diallel dan Selfing dari Lima Tetua ......................................
47
11. Komponen Analisis Ragam Analisis Silang Dialel ......................................
49
12. Rataan Kadar Capsaicin dan Vitamin C Cabai Berdasarkan Half Diallel
untuk Perhitungan Nilai Ragam dan Peragam .............................................
49
13. Komponen Analisis Ragam untuk Daya Gabung Menggunakan
Metode 2 Griffing .............................................................................................
53
14. Pengujian Pengaruh Pewarisan Ekstrakromosomal Beberapa Karakter yang
Diamati pada Cabai ...........................................................................................
55
15. Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Capsaicin pada Beberapa
Genotipe Cabai ..................................................................................................
57
16. Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Vitamin C pada Beberapa
Genotipe Cabai ..................................................................................................
59
17. Kontras Karakter Kadar Capsaicin Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida F1
dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai ...................................
61
18. Kontras Karakter Kadar Vitamin C Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida
F1 dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai ..............................
63
19. Kuadrat Tengah Genotipe Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C ..............
66
20. Hasil Analisis Pendugaan Parameter Genetik Karakter Kadar Capsaicin
dan Vitamin C pada Cabai dengan Menggunakan Analisis Silang Dialel
Metode Hayman ................................................................................................
67
21. Nilai Rata-Rata F1 dan Tetua Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C.........
69
22. Sebaran Wr + Vr dari Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C .....................
70
23. Analisis Ragam Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung
Khusus (DGK) Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C ...............................
73
24. Nilai Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK)
Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C 5 Genotipe Tetua dan 10
Genotipe Hibrida F1 Cabai… ...........................................................................
74
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan Alir Penelitian ........................................................................................
6
2. Jalur Biosintesis Capsaicin................................................................................
12
3. Jalur Biosintesis Vitamin C...............................................................................
14
4. Penampilan 5 Genotipe Cabai Terpilih yang Digunakan sebagai Tetua
dalam Persilangan Setengah Dialel ................................................................... 39
5. Persilangan Genotipe Cabai IPB C20 dengan IPB C15 yang
Menghasilkan F1 dan F1R ................................................................................ 56
6. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Capsaicin ............
71
7. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Vitamin C ...........
71
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil ...................................................................................................
93
Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil (Lanjutan). ................................................................................
94
3.
Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C9 dengan IPB C10.....
95
4.
Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB C10...
95
5.
Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C10.....
96
6.
Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C10...
96
7.
Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB C9.....
97
8.
Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C9.......
97
9.
Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C9.....
98
10. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C15.....
98
11. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C15...
99
12. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C2.....
99
2.
13. Sidik Ragam Karakter Panjang Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas
Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. ............................... 100
14. Sidik Ragam Karakter Tebal Kulit Buah pada Percobaan
Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum
Annuum L.)...................................................................................................... 100
15. Sidik Ragam Karakter Bobot per Buah pada Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. .......... 100
16. Sidik
Ragam
Karakter
Bobot
Buah per Tanaman pada
Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai
(Capsicum Annuum L.).. .................................................................................. 101
17. Sidik Ragam Karakter Kadar Capsaicin pada Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)... ......... 101
18. Sidik Ragam Karakter
Kadar Vitamin A pada Percobaan
Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum
Annuum L.)....................................................................................................... 101
19. Sidik Ragam Karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)... ....... 102
20. Sidik
Ragam
Karakter
Kadar Capsaicin pada
Percobaan
Evaluasi Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada
Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) dengan Menggunakan Analisis
Dialel. ............................................................................................................... 102
21. Sidik Ragam Karakter Kadar Vitamin C pada
Percobaan
Evaluasi Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada
Genotipe
Cabai (Capsicum Annuum
L.) dengan Menggunakan
Analisis Dialel. ................................................................................................. 103
22. Hasil Analisis Silang Dialel untuk Karakter Kadar Capsaicin
dalam Pendugaan Parameter Genetik
pada
Genotipe Cabai
(Capsicum Annuum L.) . .............................................................................. 104
23. Hasil Analisis Silang Dialel untuk Karakter Kadar Vitamin C dalam
Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum
Annuum L.)..................................................................................................... 105
24. Hasil Uji Kontras Karakter Kadar Capsaicin Berdasarkan Grup Hibrida F1
dengan Grup Tetua dan antara Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup
Hibrida F1 Lainnya.. ........................................................................................ 106
25. Hasil Uji Kontras Karakter Kadar Vitamin C Berdasarkan Grup Hibrida F1
dengan Grup Tetua dan antara Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup
Hibrida F1 Lainnya.. ........................................................................................ 107
26. Perhitungan Nilai Heritabilitas Arti Luas, Koefisien Keragaman Genetik
(KKG) pada Percobaan I... ............................................................................... 108
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu sayuran penting
yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropika termasuk Indonesia.
Sebagai produk hortikultura, tanaman ini mempunyai potensi yang sangat
strategis dalam meningkatkan pendapatan petani karena permintaan dan pemanfaatan
cabai yang terus meningkat,
seiring
dengan
meningkatnya
penduduk
dan
konsumsi per kapita. Di awal tahun 2011 harga cabai meningkat hingga mencapai
Rp.100.000,- / kg. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan luas panen akibat
musibah bencana alam di sentra-sentra produksi cabai dan serangan hama penyakit
akibat perubahan iklim.
Berdasarkan Biro Pusat Statistik (2010), pada tahun 2009 luas panen cabai
adalah sebesar 233.904 ha dengan produksi 1.378.727 ton dan produktivitas sebesar
5,89 ton/ha.
Produktivitas ini masih jauh dari potensi produktivitas cabai yang
dihasilkan dalam berbagai penelitian. Duriat (1996) mengemukakan bahwa
produktivitas cabai dapat mencapai 12 - 20 ton/ha.
Selain itu Deptan (2009),
mengemukakan bahwa produksi yang dihasilkan juga belum dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi yang mencapai 2,77 kg/kapita/tahun.
Usaha peningkatan produksi cabai di Indonesia masih terkendala oleh banyak
hal. Beberapa diantara kendala tersebut menurut Duriat (2006) adalah sebagai
berikut: kurangnya kuantitas benih cabai yang tersedia dan bermutu tinggi;
menurunnya tingkat kesuburan tanah karena penanaman cabai dan sayuran lainnya
secara terus menerus; serta kehilangan hasil yang tinggi karena serangan hama
penyakit di pertanaman dan kehilangan hasil karena penanganan pascapanen. Untuk
mengatasi kendala-kendala ini, para pemulia tanaman berusaha untuk menemukan
varietas cabai baru yang memiliki kualitas dan kuantitas produksi tinggi.
Djarwaningsih (2005) mengemukakan bahwa usaha perbaikan varietas cabai
melalui program pemuliaan tanaman saat ini selain diarahkan pada peningkatan
2
produktivitas, tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu, toleran terhadap
kondisi lingkungan yang suboptimal, juga diarahkan pada pembentukan varietas
cabai yang memiliki kualitas hasil yang sesuai dengan selera konsumen. Kualitas
hasil dimaksud berhubungan dengan kondisi fisik buah maupun kandungan zat gizi di
dalam buah cabai.
Cabai mengandung beberapa nutrisi terutama capsaicin, vitamin C, vitamin
B1 serta provitamin A yang sangat diperlukan oleh manusia (Kusandriani 1996).
Kadar provitamin A dan vitamin C didalam buah cabai diharapkan dapat
mensubtitusi kebutuhan seseorang akan kedua vitamin tersebut, yang selama ini
banyak diperoleh dari konsumsi buah-buahan yang relatif lebih mahal.
Diantara zat yang terdapat di dalam buah cabai, capsaicin merupakan salah
satu karakter biokimia cabai yang berperan dalam menentukan rasa pedas (Greenleaf
1986). Capsaicin terkandung di dalam buah cabai baik pada biji, plasenta maupun
kulit buah bagian dalam. Hasil penelitian Syukur et al. (2007) menunjukan adanya
perbedaan yang cukup besar pada karakter kadar capsaicin pada beberapa galur cabai,
yang berkisar antara 212,285 ppm sampai dengan 1.310,035 ppm. Hal ini
memungkinkan untuk dilakukan persilangan antara galur yang memiliki perbedaan
kadar capsaicin yang cukup ekstrim untuk mempelajari pewarisan karakter tersebut
melalui program pemuliaan tanaman.
Pemuliaan untuk mendapatkan sifat tertentu dari buah cabai memerlukan
informasi genetik bagaimana sifat tersebut diperoleh dengan mempelajari penampilan
fenotipik keturunan hasil persilangan antar genotipe yang memiliki perbedaan sifat
buah yang nyata. Langkah awal dalam kegiatan pemuliaan tanaman menurut
Poespodarsono (1988) adalah pembentukan populasi dasar dengan keragaman yang
tinggi. Setiamihardja (1993) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk
memperluas keragaman genetik ialah melalui persilangan atau hibridisasi.
Persilangan adalah usaha untuk menggabungkan dua sifat (karakter) atau lebih dari
dua tanaman menjadi genotipe baru.
Salah satu rancangan persilangan yang digunakan dalam kegiatan pemuliaan
tanaman adalah rancangan persilangan dialel. Rancangan persilangan dialel adalah
3
seluruh kombinasi persilangan yang mungkin diantara sekelompok genotipe atau
tetua, termasuk tetua itu sendiri lengkap dengan F1 turunannya. Dengan
menggunakan rancangan persilangan dialel dapat diketahui potensi hasil suatu
kombinasi hibrida, nilai heterosis, daya gabung (DGU dan DGK) dan dugaan
besarnya ragam genetik dari suatu karakter. Rancangan ini telah terbukti dapat
membantu pemulia cabai untuk memilih materi pemuliaan berupa pasangan galurgalur inbred yang menghasilkan kombinasi terbaik yang memiliki sifat heterosis
(Sousa dan Maluf 2003).
Crowder (1996) menyampaikan bahwa pewarisan sifat yang dapat dikenal
dari tetua kepada keturunannya secara genetik disebut hereditas. Hukum pewarisan
ini mengikuti pola yang teratur dan terulang dari generasi ke generasi. Pewarisan sifat
ada dua yaitu pewarisan sifat kualitatif dan pewarisan sifat kuantitatif. Sifat
kualitatif diatur oleh gen tunggal, sedangkan sifat kuantitatif diatur oleh banyak
gen yang masing-masing gen pengaruhnya kecil. Dengan mempelajari cara
pewarisan gen tunggal ataupun ganda akan dimengerti mekanisme pewarisan
suatu sifat dan bagaimana suatu sifat tetap ada dalam populasi. Pengetahuan tentang
mekanisme pewarisan ini penting dalam mengembangkan program pemuliaan dan
sangat menentukan metode pemuliaan yang harus digunakan untuk memperbaiki
tanaman tertentu.
Suatu galur atau populasi yang disilangkan dengan galur tertentu menunjukan
heterosis tinggi, tapi jika disilangkan dengan galur lain mungkin tidak menunjukan
heterosis yang tinggi maka galur tersebut mempunyai pasangan yang spesifik untuk
menghasilkan hibrida yang hasilnya tinggi atau dapat disebut galur tersebut
mempunyai daya gabung khusus yang baik (Crow 1999). Heterosis merupakan
bentuk penampilan superior hibrida yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua
tetuanya (Hallauer dan Miranda 1995). Daya
gabung
kemampuan suatu genotipe
persilangan untuk
tanaman
dalam
merupakan suatu ukuran
menghasilkan
tanaman unggul.
Untuk mendapatkan hibrida cabai yang memiliki potensi genetik tinggi
diperlukan pasangan genotipe (populasi) yang memiliki kelompok heterotik yang
4
berbeda. Perkawinan pada suatu populasi dapat menghasilkan galur yang mempunyai
daya gabung yang baik dengan galur populasi pasangannya. Hasil tinggi dapat
diperoleh apabila kombinasi antar galur memiliki nilai heterosis dan daya gabung
khusus (DGK) yang besar. Daya gabung umum (DGU) yang tinggi tidak selalu
memberikan nilai DGK yang tinggi (Becker 1985).
Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap populasi cabai koleksi
Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman AGH Faperta IPB yang berasal dari
AVRDC, introduksi dari beberapa negara dan galur-galur lokal dari beberapa daerah
di Indonesia, guna memperoleh informasi tentang kadar capsaicin, vitamin A dan
vitamin C. Genotipe dengan kadar capsaisin dan vitamin C sesuai dengan kriteria
yang ditentukan disilangkan dengan menggunakan analisis silang dialel sebagian
(half diallel).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mendapatkan informasi daya hasil, kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C dari
14 genotipe cabai koleksi IPB.
2. Mendapatkan informasi keragaman genetik dan heritabilitas karakter daya hasil,
kadar vitamin A, kadar vitamin C dan kadar capsaicin dari 14 genotipe cabai
koleksi IPB.
3. Mengevaluasi hibrida F1 tanaman cabai berdasarkan nilai heterosis dan
heterobeltiosis pada karakter kadar capsaicin dan vitamin C.
4. Mendapatkan informasi parameter genetik karakter kadar capsaicin dan vitamin C
pada cabai dengan menggunakan analisis silang dialel.
5. Memperoleh informasi Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus
(DGK) 5 genotipe cabai untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C.
Hipotesis
1. Terdapat sekurang-kurangnya 5 genotipe cabai yang memiliki kadar capsaicin dan
vitamin C tinggi, sedang atau rendah.
5
2. Terdapat Hibrida F1 yang memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tinggi dan
positif.
3. Diduga bahwa karakter capsaicin dan vitamin C diwariskan dari tetua kepada
keturunannya dengan aksi gen aditif lebih besar daripada aksi gen dominan.
4. Terdapat satu atau beberapa genotipe cabai yang memiliki daya gabung yang
tinggi untuk kadar capsaicin dan vitamin.
Ruang Lingkup Penelitian
Kegiatan penelitian secara keseluruhan terbagi dalam dua tahap percobaan
yaitu:
(1) Evaluasi hasil dan kualitas hasil, serta keragaman genetik beberapa genotipe
cabai.
(2) Evaluasi tanaman F1 dan pendugaan parameter genetik kadar capsaicin dan
vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis dialel.
Pada percobaan 1 dikarakterisasi daya hasil dari genotipe-genotipe cabai
dengan tujuan untuk a) Mengetahui potensi produktivitas dan kualitas hasil dari
setiap genotipe yang digunakan. b) Menetahui keragaman genetik dan heritabilitas. c)
Menentukan genotipe yang akan digunakan sebagai tetua untuk pembentukan
populasi dalam studi pewarisan. Genotipe yang digunakan sebagai tetua dievaluasi
berdasarkan kadar capsaicin dan vitamin C yang memiliki kadar tinggi, sedang atau
rendah.
Hasil evaluasi pada percobaan 1 ini memberikan informasi tentang kualitas
hasil dari 14 genotipe cabai. Pembentukan populasi half diallel akan dilakukan
dengan hibridisasi terhadap genotipe-genotipe terpilih sesuai persyaratan kadar ketiga
bahan aktif di atas. Genotipe terpilih dievaluasi juga berdasarkan kemudahan setiap
genotipe untuk saling bersilang. Pada percobaan 2, dilakukan pendugaan parameter
genetik bagi karakter kadar capsaicin dan vitamin C.
Pendugaan parameter genetik ini diawali dengan evaluasi terhadap genotipe
hasil selfing dan persilangan antar tetua terpilih untuk menentukan efek maternal,
korelasi antar karakter dan nilai heterosis serta heterobeltiosis. Hasil pendugaan
6
parameter genetik memberikan informasi tentang parameter genetik kadar capsaicin
dan vitamin C. Diagram Alir penelitian disajikan pada Gambar 1.
Plasma nutfah cabai koleksi Bagian
Genetika dan Pemuliaan
AGH – Faperta IPB
Percobaan 1.
Evaluasi Hasil dan Kualitas Hasil serta Keragaman
Genetik Beberapa Genotipe Cabai
14 Genotipe Cabai dengan
Panjang Buah, Tebal Kulit
Buah, Bobot per Buah, Bobot
Buah per Tanaman dan
kadar vit. A yang beragam
Genotipe Cabai yang
memiliki Kadar Capcaicin
dan Vitamin C Tinggi,
Sedang dan Rendah
Hibridisasi Tetua terpilih
Menggunakan Persilangan Half Diallel
Percobaan 2a.
Evaluasi Karakter Kadar
Capsaicin dan Vitamin C pada
Beberapa Hibrida F1 Cabai
Hasil Persilangan Half Diallel
Percobaan 2b.
Pendugaan Parameter Genetik
Kadar Capsaicin dan Vitamin
C dengan Analisis Dialel
-. Informasi Daya Hasil, Kualitas Hasil,
Keragaman Genetik dan heritabilitas
dari 14 Genotipe Cabai.
-. Informasi Parameter Genetik Kadar
Capsaicin dan Vitamin C
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian
7
TINJAUAN PUSTAKA
Botani, Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai
Secara umum tanaman cabe dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Sub kelas
: Sympetale
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annuum L.
Deskripsi spesies Capsicum menurut Heiser dan Smith (1953), Smith dan
Heiser (1957) dan Heiser dan Pickersgill (1969) dalam Djarwaningsih (2005),
adalah sebagai berikut:
Capsicum annuum L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan
tinggi 45-100 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di
bagian ujung ranting, posisinya menggantung. Mahkota bunga berwarna putih,
berbentuk seperti bintang, kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas,
bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan tingkat kepedasan. Bentuk buah seperti
garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, lonceng atau berbentuk bulat.
Warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning atau keunguan.
Posisi buah menggantung. Biji berwarna kuning pucat.
Capsicum baccatum L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan
tinggi 45-75 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di
bagian ujung ranting, posisinya tegak atau menggantung. Mahkota bunga berwarna
putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk seperti
bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bentuk buah bulat
memanjang. Warna buah ketika masih muda dapat merah, jingga, kuning, hijau atau
8
coklat dan setelah masakpun bervariasi dari jingga, kuning sampai merah. Posisi buah
tegak atau menggantung. Biji berwarna kuning pucat.
Capsicum frutescens L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi
50-150 cm, hidupnya dapat mencapai 2 atau 3 tahunan. Bunganya muncul
berpasangan atau bahkan lebih di bagian ujung ranting, posisinya tegak. Mahkota
bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang, kelopak rompong. Buah
muncul berpasangan atau bahkan lebih pada setiap ruas, biasanya rasanya sangat
pedas. Kadang-kadang mempunyai bentuk buah bulat memanjang atau berbentuk
setengah kerucut. Warna buah setelah masak biasanya merah, posisi buah tegak. Biji
berwarna kuning pucat.
Capsicum pubescens R. & P. Tumbuhan berupa perdu, tinggi 45-113 cm,
berbulu lebat, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal atau kadang-kadang
menggerombol berjumlah 2-3 pada tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga
berwarna ungu, berbulu, berbentuk seperti bintang. Kelopak berwarna hijau, berbulu.
Buah tunggal atau muncul bergerombol berjumlah 2-3 pada setiap ruas, rasanya
pedas. Buahnya berbentuk bulat telur; warna buah setelah masak bervariasi ada yang
merah, jingga atau cokelat; posisi buah menggantung. Biji berwarna hitam.
Capsicum sinense Jacq. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi
45-90 cm. Bunga menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau
merunduk. Mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang.
Buah muncul bergerombol berjumlah 3-5 pada setiap ruas, panjangnya dapat
mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas, mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari
bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng dengan sisi- sisi yang
beralur, berbentuk seperti kerucut dengan sisi-sisi yang beralur sampai bulat
memanjang, kulit berkeriput atau kadang-kadang licin. Warna buah setelah masak
bervariasi ada yang merah, merah jambu, jingga, kuning atau cokelat. Biji berwarna
kuning pucat.
Cabai dapat ditanam di dataran rendah sampai tinggi dengan suhu ideal untuk
pertumbuhan 24–27C dan untuk pembentukan buah 16–23C (Djarwaningsih 2005).
Cabai menghendaki intensitas cahaya 10–12 jam/hari dan kelembaban relatif 80 %,
9
dengan curah hujan 100–200 mm/bulan. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan
meningkatkan intensitas serangan bakteri yang menyebabkan layu akar serta
merangsang perkembangbiakan cendawan. Lokasi penanaman cabai di bawah 1.400
m dpl, suhu tinggi, kering dan pengairan kurang menyebabkan penguapan/transpirasi
tinggi sehingga daun dan buah banyak yang rontok serta buah yang terbentuk tidak
sempurna.
Hampir semua jenis tanah yang cocok untuk budidaya tanaman pertanian pada
umumnya cocok pula untuk cabai asalkan subur, gembur, kaya bahan organik dan
tidak mudah tergenang. Jenis tanah yang ideal untuk cabai adalah Andosol, Latosol,
Regusol, Ultisol, dan Grumosol dengan pH tanah 5–7. Pada tanah yang ber-pH asam,
unsur hara tanaman, terutama P, K, S, Mg dan Mo tidak dapat diserap tanaman
karena terikat oleh Al, Mn dan Fe. Pada tanah pH netral, sebagian besar unsur hara
mudah larut dalam air sehingga mudah diserap tanaman.
Pemuliaan Tanaman Cabai
Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode atau teknik yang secara
sistematik merakit keragaman genetik, baik secara konvensional maupun non
konvensional agar diperoleh bentuk-bentuk tanaman unggul baru yang lebih
bermanfaat bagi manusia. Kegiatan pemuliaan tanaman merupakan serangkaian
kegiatan yang saling berkaitan, diawali dengan koleksi plasma nutfah, evaluasi
plasma nutfah, penerapan metode pemuliaan dan seleksi terhadap populasi yang
terbentuk diikuti evaluasi terhadap hasil pemuliaan (Allard 1960). Usaha untuk
memperbaiki bentuk dan sifat tanaman melalui kegiatan pemuaian tanaman akan
lebih cepat dibandingkan dengan perbaikan melalui seleksi alam.
Tujuan akhir kegiatan pemuliaan tanaman sangat terkait dengan sifat yang
akan dikembangkan. Menurut Kusandriani dan Permadi (1996) terdapat beberapa
tujuan pemuliaan cabai antara lain: (1) memperbaiki daya hasil dan kualitas hasil, (2)
perbaikan daya resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu, (3) perbaikan sifatsifat hortikultura, (4) perbaikan terhadap kemampuan mengatasi cekaman
lingkungan.
10
Pada cabai, produktivitas tanaman merupakan prioritas utama. Produktivitas
cabai berhubungan dengan tingkat pendapatan yang akan diperoleh petani. Dengan
semakin tinggi produktivitas cabai maka pendapatan petani akan semakin tinggi pula.
Selain produktivitas, sifat lain yang dikembangkan sangat berhubungan dengan
permintaan konsumen. Panjang buah cabai merupakan karakter yang berhubungan
dengan permintaan konsumen sehingga dilakukan standarisasi panjang buah cabai.
Menurut Badan Standardisasi Nasional (1998) panjang buah cabai merah pada mutu
I : 12-14 cm, mutu II : 9-11 cm dan mutu III : < 9 cm; diameter buah cabai merah
pada mutu I : 1.5-1.7 cm, mutu II : 1.3-1.5 cm dan mutu III : < 1.3 cm.
Pemuliaan tanaman cabai membutuhkan keragaman genetik dan cara yang
sesuai untuk memindahkan suatu karakter dari suatu individu tanaman ke individu
tanaman lainnya. Allard (1960) menyampaikan bahwa suatu metode pengenalan dan
identifikasi suatu karakter sangat diperlukan sehingga suatu seleksi dalam program
pemuliaan dapat dilakukan. Identifikasi suatu karakter meliputi karakteristik gen yang
mengendalikan dan pola pewarisan karakter tersebut. Informasi ini akan dijadikan
sebagai dasar pembentukan metode pemuliaan tanaman.
Hayman (1961) mengemukakan bahwa studi genetik untuk mempelajari pola
pewarisan gen yang mengendalikan suatu karakter dapat dilakukan dengan menduga
parameter genetik. Salah satu cara untuk menduga parameter genetik adalah analisis
silang dialel dengan menyilangkan beberapa galur/genotipe yang memiliki sifat
tertentu. Persilangan antara galur/genotipe ini akan menginformasikan karakteristik
dari gen-gen pengendali karakter serta daya gabung dari masing-masing
galur/genotipe sehingga pada tahap akhir dari kegiatan pemuliaan tanaman akan
menghasilkan varietas baru yang memilki keunggulan untuk sifat-sifat yang
diwariskan.
Ada dua kelompok varietas cabai yang beredar di Indonesia yaitu kelompok
varietas hibrida dan kelompok varietas bersari bebas (OP). Varietas hibrida
merupakan Fl yang mempunyai sifat heterosis. Hibrida Fl tersebut mempunyai
penampilan yang lebih baik dibandingkan dengan penampilan rata-rata kedua
tetuanya (heterosis), atau lebih baik dari pada tetuanya yang terbaik (heterobeltiosis).
11
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bila pemulia ingin melakukan
pembentukan varietas hibrida yaitu persyaratan ekonomis, ekologis dan teknis.
Persyaratan ekonomis yang menitik beratkan pada keunggulan komparatif yang
menguntungkan dan mampu memberikan keuntungan bagi produsen. Persyaratan
ekologis yaitu adanya adaptasi tanaman hibrida terhadap lingkungan yang lebih luas.
Persyaratan teknis yang memfokuskan terhadap struktur genetik tetua superior dan
dapat berperan dalam penyediaan sumber genetik dalam waktu yang lama. Salah
satu kriteria genetik tersebut adalah efek heterosis dan heterobeltiosis pada kombinasi
persilangannya (Mangoendidjojo 2003).
Capsaicin dan Vitamin Sebagai Produk Metabolit Sekunder
Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan
metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang akan
menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit sekunder
(Herbert 1995). Karakteristik metabolit sekunder adalah heterogen struktur kimianya
dan terbatas pada kelompok makhluk hidup bahkan jenis tertentu. Sintesisnya dibantu
oleh enzim yang dikode oleh materi genetik khusus, serta terdapat kontrol pada
biosintesisnya melalui regulasi aktivitas dan jumlah enzim, kompartemensasi enzim,
prekursor, intermediat, serta produk yang terlibat dalam biosintesis, maupun
penyimpanan dan penguraiannya. Metabolit yang diproduksi oleh tumbuhan tersebut
memiliki nilai penting dalam berbagai industri, khususnya sebagai bahan baku
industri farmasi, penyedap makanan, dan parfum (Khadi et al. 1981). Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah cabai salah satunya
adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung jawab
terhadap rasa pedas dari cabai (Sukrasmo et al. 1997). Zat ini tidak larut dalam air
tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi. Capsaicin
(C18H27NO3) terdiri dari unit vanillamin dengan asam dekanoat, yang mempunyai
ikatan rangkap pada rantai lurus bagian asam (Andrew and Ternay 1979 dalam Sigit
2007). Jalur biosintesis capsaicin disajikan pada Gambar 2.
12
Gambar 2. Jalur Biosintesis Capsaicin
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syukur et al. (2007) dan Rosyadi (2007)
terhadap beberapa genotipe tanaman cabai yang dikoleksi di Bagian Pemuliaan
Tanaman Departemen AGH Faperta IPB menunjukan bahwa terdapat beda kadar
capsaicin diantara genotipe-genotipe tersebut. Kadar capsaicin dari 11 genotipe yang
telah diuji disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan kandungan capsaicin dari 24 genotipe
cabai pada Tabel 1 maka diharapkan persilangan antara beberapa genotipe tanaman
13
cabai dapat menghasilkan hibrida yang memiliki kandungan capsaicin dengan kadar
tertentu dan produksi dan kualitas buah yang diminati oleh konsumen.
Tabel 1. Kadar Capsaicin Beberapa Genotipe Cabai
Syukur (2007)*
No.
Genotipe
Kadar Capsaicin
(ppm)
Rosadi (2007)**
Genotipe
Kadar Capsaicin
(ppm)
1
C1
325,87
C 20
1.505,93
2
C2
359,56
C 21
1.111,28
3
C3
475,41
C 30
1.651,26
4
C4
449,83
C 34
260,08
5
C5
388,20
C 35
340,00
6
C8
1.310,04
C 37
307,87
7
C9
212,29
C 48
462,23
8
C15
228,27
C 64
1.040,70
9
C18
222,83
C 68
365,55
10
C19
659,57
C 69
369,36
Keterangan Sumber :
*: Syukur et al. (2007)
**: Rosadi (2007)
Cabai varietas baru hasil persilangan genotipe-genotipe tertentu diharapkan
banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh manusia. Salah satu produk
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cabai adalah provitamin A (karatenoid).
Provitamin A ini akan diubah menjadi vitamin A didalam tubuh manusia. Vitamin A
merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A
menunjukan nama generik yang menyatakan bahwa seluruh retinoid dan
prekusor/provitamin A/karatenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai retinol
(Herbert 1995). Selain dikenal sebagai vitamin yang berperan dalam kesehatan mata,
vitamin A juga penting dalam kelangsungan hidup manusia. Kekurangan vitamin A
meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti ISPA dan Diare,
14
meningkatkan angka kematian akibat campak serta menyebabkan keterlambatan
pertumbuhan.
Vitamin A yang di dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk ester
retinil, bersama karatenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Di dalam
sel-sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pancreas
esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorbsi daripada ester retinil. Sebagian
dari karatenoid, terutama beta karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus
dipecah menjadi retinol.
Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan
serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia asam
askorbat (Khadi et al. 1987). Jalur biosintesis vitamin C disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Jalur Biosintesis Vitamin C (Asam Ascorbat)
15
Vitamin C termasuk golongan antioksidan karena sangat mudah teroksidasi
oleh panas, cahaya, dan logam, oleh karena itu penggunaaan vitamin C sebagai
antioksidan semakin sering dijumpai. Vitamin C berhasil diisolasi untuk pertama
kalinya pada tahun 1928 dan pada tahun 1932 ditemukan bahwa vitamin ini
merupakan agen yang dapat mencegah sariawan. Vitamin C perlu untuk menjaga
struktur kolagen, sejenis protein yang menghubungkan semua jaringan serabut, kulit,
urat, tulang rawan, dan jaringan lain di tubuh manusia.
Sampai sejauh ini analisis kandungan capsaicin dan vitamin C pada tanaman
cabai telah diketahui namun bagaimana studi/kajian pewarisan capsaicin dan vitamin
C belum dilakukan.
Heterosis, Daya Gabung dan Heritabilitas
Pada tanaman menyerbuk sendiri, keberhasilan memproduksi benih hibrida
secara komersial ditentukan oleh dua hal yaitu hibrida harus menunjukkan heterosis
pada karakter hasil, dan harus ditemukan metode yang efisien dan ekonomis untuk
menghasilkan benih hibrida (Darlina et al. 1992). Heterosis merupakan bentuk
penampilan superior hibrida yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua
tetuanya (Hallauer dan Miranda 1995). Heterosis atau vigor hibida ditandai dengan
keragaan yang lebih baik tanaman F1 yang berasal dari persilangan dua tetua galur
murni. Gejala heterosis suatu hibrida terdapat pada hasil, ukuran, jumlah dari bagian
tanaman, komponen kimiawi, ketahanan terhadap hama/penyakit tertentu, dan
sebagainya.
Fenomena heterosis telah banyak digunakan dalam meningkatkan hasil
tanaman dan daya adaptasi tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2002)
dan Barbosa et al. (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
jarak genetik tetua dan nilai heterosisnya. Joshi & Singh (1987) mengemukakan
bahwa eksploitasi heterosis diindikasikan sebagai cara praktis untuk meningkatkan
hasil dan sifat ekonomi lainnya dari paprika.
Selain heterosis, maka daya gabung dari galur/genotipe perlu diketahui
sebelum dijadikan tetua dalam persilangan. Daya gadung antara galur/genotipe
16
merupan kriteria penting yang perlu diketahui dalam merakit suatu varietas. Darlina
et al. (1992) mengemukakan bahwa daya gabung (combining ability) diartikan
sebagai ukuran kemampuan suatu kombinasi tetua untuk menghasilkan kombinasi
turunan yang diharapkan. Menurut Iriany et al. (2003) daya gabung merupakan
ukuran kemampuan genotipe suatu tanaman dalam persilangan untuk menghasilkan
tanaman yang unggul.
Daya gabung ada dua macam yaitu daya gabung umum (general combining
ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya Gabung Umum
(DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan
bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya Gabung Khusus (DGK) adalah
penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu (Poehlman & Sleeper 1995).
Data yang diperoleh dari suatu persilangan antara kedua tetua, dapat
memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan
yang berpotensi hasil tinggi dengan mempelajari daya gabungnya (Silitonga et al.
1993). Jika suatu galur tetua disilangkan dengan galur tetua lain dan turunannya
menunjukan penampilan rata-rata lebih tinggi dari pada seluruh persilangan, tetua
tersebut dikatakan memiliki DGU yang baik. Selanjutnya bila penampilan keturunan
suatu persilangan jauh lebih baik dari rata-rata penampilan tetuanya, persilangan
tersebut dikatakan memiliki DGK yang
tinggi (Darlina et al. 1992). Dengan
demikian pengembangan kearah varietas hibrida lebih ditekankan pada daya gabung
khusus dari tetuanya, sedangkan untuk pengembangan kearah varietas bersari bebas
lebih ditekankan pada daya gabung umum.
Pengetahuan tentang aksi gen dalam pemuliaan tanaman merupakan kunci
memilih prosedur yang akan memberikan kemajuan seleksi yang maksimal. Dudley
& Mool (1969) dalam Kirana dan Sofiari (2007) menyampaikan bahwa apabila aksi
gen aditif lebih penting, pemulia dapat menyeleksi secara efektif galur-galur pada
berbagai tingkat inbreeding, sebab pengaruh aditif selalu
diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Sebaliknya apabila aksi gen nonaditif lebih penting,
maka dimungkinkan untuk memproduksi varietas hibrida.
17
Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam
fenotipenya. Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak
merupakan refleksi dari genotipe. Pada dasarnya seleksi terhadap populasi
bersegregasi dilakukan melalui nilai-nilai besaran karakter fenotipenya. Dalam kaitan
ini, penting diketahui peluang terseleksinya individu yang secara fenotipe
menghasilkan turunan yang sama miripnya dengan individu terseleksi tadi. Misalkan
dalam suatu populasi dijumpai ragam genetik tinggi untuk suatu karakter dan ragam
fenotipenya rendah, maka dapat diramalkan bahwa turunan individu terseleksi akan
mirip dengan dirinya untuk karakter tersebut; dan sebaliknya.
Heritabilitas biasanya dinyatakan dalam persen (%). Sesuai dengan komponen
ragam genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad
sense heritability) dan heritablitas dalam arti sempit (narrow sense heritability).
Menurut Becker (1985) heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara
ragam genetik total dan ragam fenotipe (h2bs = σ2G / σ2P), sedangkan heritabilitas
dalam arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe
(h2ns = σ2A / σ2P). Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan
perhatian karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada
keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar
alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen aditif
diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat.
Analisis Silang Dialel
Suatu persilangan dialel adalah suatu set dari semua kemungkinan persilangan
antara beberapa genotipe. Dengan kata lain rancangan persilangan dialel meliputi
semua atau sebagian persilangan single cross yang mungkin, termasuk resiprok
dan selfingnya. Persilangan dialel dilaksanakan dengan tujuan untuk mengevaluasi
dan menyeleksi tetua yang menghasilkan keturunan terbaik. Genotipe tersebut berupa
individu, klon, atau galur homozigot (Hayman 1954). Untuk jumlah genotipe yang
besar maka jumlah persilangan yang mungkin dilakukan sangat besar sehingga
18
membutuhkan ruang, biaya dan tenaga yang lebih besar. Untuk itu maka persilangan
tersebut dapat disederhanakan.
Penggunaan
analisis
silang
dialel
memiliki
beberapa
keuntungan
dibandingkan dengan metode analisis lainnya. Menurut Johnson (1963) dalam Jagau
(1993) teknik analisis silang dialel : (1). Secara eksperimental merupakan pendekatan
yang sistematik, (2) Secara analitik merupakan evaluasi genetik menyeluruh yang
berguna dalam mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada
awal generasi.
Pada dasarnya persilangan dialel dibagi menjadi tiga tipe persilangan yaitu:
(1) dialel penuh (full diallel), (2) setengah dialel (half diallel) dan (3) dialel parsial
(partial diallel). Menurut Grifing (1956) ada empat
kemungkinan
silang
dialel
berdasarkan pendekatan Griffing, yaitu 1) Silang tunggal dengan resiprokal dan
selfing (Metode I); 2) Silang tunggal dengan selfing tanpa resiprokal (Metode II);
3) Silang tunggal dengan resiprokal (Metode III); 4) Silang tunggal tanpa resiprokal
dan tanpa selfing (Metode IV). Tetua Silang tunggal merupakan individu yang
diambil secara acak dari suatu populasi.
Di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat
dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BC1 ataupun BC2, seperti
pada teknik pendugaan parameter genetik lainnya, akan tetapi dalam pelaksanaannya
analisis ini harus memenuhi beberapa asumsi berikut : (1) Segregasi diploid, (2)
Tidak ada perbedaan antara F1 dengan resiproknya atau tidak ada efek maternal, (3)
Tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel/epistasi, (4) Tidak ada
multialelisme, (5) Tetua homozigot, (6) Gen-gen menyebar secara bebas di antara
tetua (Hayman 1954).
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis silang dialel dari suatu
persilangan setengah dialel tanpa resiprok (non reciprocal half diallel). Pemilihan
tipe persilangan dialel ini didasarkan kepada asumsi bahwa tidak ada perbedaan
antara persilangan resiprok antara tetua persilangan. Genotipe tanaman cabai yang
digunakan dalam penelitian ini digalurkan sedemikian rupa sehingga asumsi tetua
homozigot pada hampir semua lokusnya dapat terpenuhi. Selain itu, untuk memenuhi
19
asumsi gen-gen menyebar merata didalam tetua maka tetua yang dipilih harus ada
yang mewakili tetua dengan kandungan capsaicin dan vitamin tinggi, agak tinggi
dan rendah. Jika asumsi tersebut di atas terpenuhi maka keluaran yang akan
diperoleh dari suatu analisis silang dialel adalah (Varghese 1976 dalam Jagau
1993):
 D
: Komponen ragam karena pengaruh aditif.
 F
: Rata-rata Fr untuk semua array; Fr adalah peragam pengaruh aditif dan
non aditif pada array ke-r.
 H1
:
Komponen ragam karena pengaruh dominansi.
 H2 : Hl (1-(u-v)); u = proporsi gen-gen positif dalam tetua, v = proporsi gengen negatif dalam tetua; u + v = 1.
 h2 : Pengaruh dominansi (sebagai jumlah aljabar seluruh lokus pads keadaan
heterozigous pads semua persilangan).
 E
: Komponen ragam karena pengaruh lingkungan.
 Rata-rata tingkat dominansi : √(H1 / D)
 Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif di dalam tetua : H2 / 4H1
 Proporsi gen-gen dominan dan resesif di dalam tetua :
[√(4DH1) + F] / [(√(4DH1) - F]
 Jumlah kelompok gen yang mengendalikan karakter dan menimbulkan
dominansi : h2/H2
 Heritabilitas arti sempit (Mather dan Jinks 1971)
½ D+ ½ H1 – ½ H2 – ½ F
½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F + E
 Heritabilitas arti luas (Mather dan Jinks 1971)
½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F
½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F + E
20
EVALUASI HASIL DAN KUALITAS HASIL 14 GENOTIPE
CABAI (Capsicun annuum L.) DAN KERAGAMAN
GENETIKNYA
ABSTRAK
Kualitas hasil tanaman cabai sangat berhubungan dengan daya hasil dan
kandungan atau kadar bahan metabolit tertentu dalam buah cabai yang bebas dari
hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil, kualitas hasil,
termasuk kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C, beberapa genotipe cabai,
serta untuk mengetahui keragaman genetik dan heritabilitasnya. Evaluasi 14 genotipe
cabai dilakukan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
dengan 2 ulangan. Masing – masing satuan percobaan terdiri atas 20 tanaman dengan
6 tanaman sampel. Peubah yang diamati terdiri atas sifat kualitatif dan kuantitatif.
Pengamatan terhadap sifat kualitatif yaitu warna buah dilakukan
berdasarkan
Descriptors for capsicum dari IPGRI. Sementara sifat kuantitatif yang diamati adalah
panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, dan bobot buah per tanaman.
Pengamatan kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C dilakukan dengan
menggunakan teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 14 genotipe yang dievaluasi memiliki keragaman
genetik dan nilai heritabilitas tinggi untuk karakter panjang buah, tebal kulit buah,
bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar vitamin A dan kadar vitamin C,
sedangkan keragaman genetik karakter kadar capsaicin tergolong sedang. Genotipe
IPB C10 memiliki kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C tertinggi, sedangkan
yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin A terendah adalah genotipe IPB C2.
Sementara itu, genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah. Karakter kadar
capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dan vitamin C namun
karakter kadar vitamin A dan vitamin C tidak memiliki korelasi yang nyata. Lima
genotipe yang terpilih untuk dijadikan tetua dalam persilangan setengah dialel yaitu
genotipe IPB C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang,
vitamin C rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin
sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang).
Kata kunci: Cabai, kualitas hasil, capsaicin, vitamin A, vitamin C
21
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura unggulan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta kandungan
nutrisi yang cukup lengkap. Nutrisi utama yang terkandung didalam buah cabai
adalah vitamin C, vitamin B1, provitamin A dan senyawa alkaloid yaitu capsaicin,
flavenoid dan minyak esensial. Buah cabai diminati oleh konsumen karena rasa pedas
yang dimilki. Rasa pedas ini disebabkan karena capsaicin yang terkandung didalam
buah cabai tersebut. Capsaicin merupakan senyawa alkaloid yang terdapat didalam
buah cabai yaitu pada biji, lapisan kulit bagian dalam serta plasenta.
Kandungan provitamin A dan vitamin C yang terdapat di dalam cabai
diharapkan dapat mensubtitusi kebutuhan masyarakat akan kedua vitamin
tersebut, yang selama ini banyak diperoleh dari konsumsi buah-buahan yang
relatif lebih mahal. Berdasarkan data awal yang diperoleh dari hasil analisis
terhadap kedua vitamin ini, maka kadar vitamin A pada cabai berkisar antara
6.684,320 – 9.530,050 IU dan vitamin C sebesar 42,72 – 92,28 mg/100g buah cabai.
Djarwaningsih (2005), mengemukakan bahwa kebutuhan seseorang akan vitamin A
per hari adalah sebesar 5000 IU dan untuk vitamin C jumlah yang dianjurkan per hari
sebesar 60 mg.
Selain memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, tanaman cabai juga menjadi
komoditas hortikultura yang diminati oleh petani karena harga komoditas ini relatif
stabil. Pada tahun 2009 luas panen tanaman cabai mencapai 233.904 ha dengan
produksi 1.378.727 ton dan produktivitas sebesar 5,89 ton/ha (BPS 2010). Namun
dengan jumlah luas panen tersebut dari segi produksi belum dapat memenuhi
konsumsi yang mencapai 2,77 kg/kapita/tahun (Deptan 2009).
Banyak faktor yang menentukan tinggi rendahnya produktivitas cabai.
Menurut Djarwaningsih (2005) produktivitas cabai ditentukan oleh jumlah buah
pertanaman, bobot buah, panjang dan diameter buah, sedangkan produktivitas benih
22
ditentukan oleh jumlah benih per buah dan bobot benih. Untuk itu usaha perbaikan
varietas untuk meningkatkan produktivitas cabai perlu dilakukan melalui kegiatan
pemuliaan tanaman.
Pemuliaan tananaman merupakan usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat
tanaman yang lebih cepat dibandingkan dengan perbaikan melalui seleksi alam.
Langkah awal yang perlu dilakukan dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah
pembentukan populasi dasar dengan keragaman yang tinggi. Makmur (1992)
menyatakan bahwa mengoleksi plasma nutfah baik dari dalam maupun luar negeri
dengan melakukan introduksi merupakan salah satu langkah awal dalam program
pemuliaan tanam. Genotipe-genotipe yang dikoleksi kemudian dikarakterisasi dan
dilakukan studi keanekaragaan untuk memudahkan dalam kegiatan peningkatan
keragaman genetik.
Keragaman genetik ini merupakan potensi yang sangat besar untuk
mengembangkan cabai jenis baru sehingga data kualitatif dan kuantitatif dari
genotipe-genotipe cabai yang dikoleksi sangat penting untuk diketahui. Salah satu
usaha perbaikan cabai yang memiliki keragaman genetik tinggi adalah dengan
melakukan seleksi pada populasi tersebut (Helyanto et al. 2000). Variasi genetik
dalam populasi akan membantu dalam mengefisienkan kegiatan seleksi. Apabila
variasi genetik dalam suatu populasi besar, maka akan menunjukkan individu dalam
populasi sangat beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang
diharapkan akan besar (Bahar dan Zein 1993).
Genotipe-genotipe yang terseleksi diharapkan akan memiliki nilai heritabilitas
yang tinggi. Pendugaan nilai heritabilitas bertujuan untuk mengetahui pengaruh
faktor genetik terhadap penampilan fenotip dibandingkan pengaruh faktor
lingkungan. Suatu populasi yang secara genetik berbeda yang hidup pada lingkungan
yang sama kemungkinan besar dapat memperlihatkan nilai duga heritabilitas yang
berbeda untuk suatu karakter yang sama. Begitu pula sebaliknya, suatu genotipe
tertentu tidak selalu memberikan respon yang sama terhadap lingkungan yang
berbeda. Nilai heritabilitas dipengaruhi oleh antara lain faktor karakteristik populasi,
sampel genotipe yang dievaluasi serta metode penghitungan (Fehr 1987).
23
Banyak penelitian telah dilakukan tentang koefisien keragaman genetik dan
heritabilitas tanaman cabai dan beberapa tanaman lainnya (Zen 1995; Rasyat 1996;
Sujiprihati et al. 2003; Sreelathakumary dan Rajamony 2003; Yunianti et al. 2006;
Sudarmadji et al. 2007; Sudre et al. 2007), untuk mengetahui keragaman genetik
individu di dalam populasi dan besarnya pengaruh faktor genetik pada penampilan
suatu sifat atau karakter.
Eckebil et al. (1977) menyatakan bahwa apabila perbaikan varietas cabai
dilakukan untuk beberapa sifat atau karakter maka korelasi dua atau lebih antar sifat
positif yang dimiliki akan memudahkan seleksi karena akan diikuti oleh peningkatan
sifat yang satu diikuti dengan yang lainnya, sehingga dapat ditentukan satu sifat atau
indek seleksi Sebaliknya bila korelasi negatif, maka sulit untuk memperoleh sifat
yang diharapkan. Bila tidak ada korelasi di antara sifat yang diharapkan, maka seleksi
menjadi tidak efektif.
Penelitian ini memberikan informasi tambahan mengenai kualitas hasil buah
cabai dari 14 genotipe yang dikoleksi pada Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman
Departemen Agonomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, yang akan dipakai
dalam program pemuliaan selanjutnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1.
Mendapatkan informasi daya hasil, kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin
C dari 14 genotipe cabai koleksi IPB.
2.
Mendapatkan informasi keragaman genetik dan heritabilitas karakter daya hasil,
kadar vitamin A, kadar vitamin C dan kadar capsaicin dari 14 genotipe cabai
koleksi IPB.
24
BAHAN DAN METODE
Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Juli 2009. Karakterisasi daya
hasil bertempat di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Lab. Dik Pemulian Tanaman
Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) Faperta IPB. Analisis kadar
capsaicin, vitamin A dan vitamin C dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian Departemen Pertanian.
Metode Penelitian
Karakterisasi Daya Hasil.
Bahan tanaman yang digunakan dalam mengkarakterisasi daya hasil terdiri dari
14 genotipe tanaman cabai (Tabel 2) yang berasal dari koleksi Bagian Genetika dan
Pemuliaan Tanaman AGH Faperta IPB, AVRDC, introduksi dari beberapa negara
dan galur-galur lokal dari beberapa daerah di Indonesia. Semua genotipe yang
digunakan telah digalurkan sedemikian rupa sehingga telah memenuhi syarat
homosigositas.
Tabel 2. Genotipe Cabai yang Digunakan Sebagai Bahan Penelitian
Genotipe
Asal
Keterangan
Genotipe
Asal
Keterangan
IPB C2
IPB C9
IPB C10
IPB C14
IPB C15
IPB C19
IPB C20
Koleksi IPB
AVRDC
AVRDC
AVRDC
AVRDC
Jawa Timur
Indramayu
Cabai semi keriting
Cabai Besar
Cabai Rawit
Cabai Besar
Cabai semi keriting
Cabai Besar
Cabai Rawit
IPB C105
IPB C110
IPB C128
IPB C129
IPB C130
IPB C131
IPB C132
Koleksi
S. Mentari
AVRDC
AVRDC
AVRDC
AVRDC
AVRDC
Cabai Keriting
Cabai Keriting
Cabai Besar
Cabai Besar
Cabai semi keriting
Cabai Besar
Cabai Besar
Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak
(RKLT) faktor tunggal dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri
dari 20 tanaman yang kemudian akan diamati 6 tanaman sebagai tanaman sampel.
Benih 14 genotipe tanaman cabai disemai pada tray dengan media tanam steril.
25
Setelah bibit berumur 35 hari dipindahkan ke lahan. Selanjutnya setiap minggu
tanaman diberikan pupuk berupa larutan NPK 16-16-16 konsentrasi 5 g/l air
sebanyak 250 ml/tanaman dan pupuk daun konsentrasi 10 g/l air. Pestisida yang
digunakan adalah Curacron 500EC, Dithane M-45 dan Kalthane yang digunakan pada
saat diperlukan. Peubah yang diamati terdiri dari sifat kualitatif dan kuantitatif khusus
daya hasil berdasarkan Descriptors for Capsicum (IPGRI 1985), yaitu:
1. Warna buah muda, warna buah awal yang belum mengalami perubahan,
2. Warna buah pada tahap intermedier, warna buah yang terbentuk antara warna
buah muda dan buah matang,
3. Warna buah matang, warna buah akhir yang sudah tidak mengalami perubahan,
4. Panjang buah, diukur dari pangkal ke bagian ujung buah cabai,
5. Bobot buah, ditimbang 10 buah pada panen kedua,
6. Tebal daging buah, diukur tebal daging buah 10 cabai pada panen kedua,
7. Bobot buah per tanaman (g), buah setelah panen ditimbang, pada 6 tanaman
contoh selama 8 minggu.
Karakterisasi Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C.
Bahan tanaman yang digunakan dalam mengkarakterisasi kandungan
capsaicin, vitamin A dan vitamin C adalah buah cabai dari 14 genotipe yang diuji
pada evaluasi daya hasil, kualitas gasil dan keragaman genetik. Penelitian ini disusun
berdasarkan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan
2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 200 g buah cabai.
Model matematis rancangan yang digunakan untuk percobaan 1 adalah:
Yij = μ + αi + βj + εij
Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan genotipe ke-i pada blok ke-j
μ
= Nilai rata-rata umum
αi
= Pengaruh perlakuan genotipe ke-i (i = 1, 2, ..., 14)
βj
= Pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2)
εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan genotipe ke-i, blok ke-j
26
Buah cabai yang dipanen, dianalisis kandungan capsaicin, vitamin A dan C
berdasarkan metode yang dikembangkan oleh BB Pasca Panen menggunakan teknik
High Performance Liquid Chromatography (HPLC), sebagai berikut:
- Sampel yang berasal dari buah matang dihaluskan terlebih dahulu. Kemudian
ditimbang 2 g sampel.
- Buah cabai diekstrak dengan kloroform 10 ml pada suhu 600C selama 20 menit.
- Setelah ekstrak buah cabai dingin, disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm
selama 30 menit.
- Dipisahkan residu dan filtrat.
- Residu dicuci kembali dengan kloroform 10 ml, dilakukan dua kali (diekstrak
kembali).
- Filtrat dikumpulkan
- Cairan diefaporasi pada suhu 600C, lalu ditambahkan kloroform hingga 10 ml.
- Diambil 1 ml cairan, ditambahkan fase gerak (air kloroform) 40:60, sampai 10 ml.
- Kemudian disaring dengan millipore 0,5 , disuntikan ke HPLC sebanyak 5 ml
Kolom fase balik C-18 dan detector ultraviolet dengan panjang gelombang 254
nm, kecepatan aliran 1 ml/l.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan fasilitas SAS. Jika uji F nyata,
dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf
5% (Gomez and Gomez 1995). Analisis dilakukan juga untuk mengetahui:
1.
Ragam genetik (  2 g ) dihitung menggunakan persamaan (Singh dan Chaudhary
1979) sebagai berikut:
 2g 
Keterangan:
KTG = kuadrat tengah genotipe
KTE = kuadrat tengah galat
r
= ulangan
KTG  KTE
r
27
3.
Pendugaan Koefisien Keragaman Genotipik (KKG) berdasarkan persamaan:
KKG 
 2g
X
 100 %
Keterangan:
 2g = ragam genetik
X
= rataan genotipe
Berdasarkan kriteria Miligan et al. (1996) dalam Sudarmadji at al. (2007),
Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dibagi dalam tiga kategori yaitu :
4.
- Besar/tinggi
: KKG ≥ 14,5%
- Sedang
: 5% ≤ KKG < 14,5%
- Kecil
: KKG < 5%
Heritabilitas arti luas diduga berdasarkan persamaan:
h2bs 
 2g
 100 %
2p
Keterangan: σ2g = ragam genotipe,
σ2 p
= ragam fenotipe
Pengelompokan nilai h2bs berdasarkan Stansfield (1983) sebagai berikut:
5.
h2bs rendah
: h2 < 20%
h2bs sedang
: 20% ≤ h2 < 50%
h2bs tinggi
: h2 ≥ 50%
Keeratan hubungan antar karakter dianalisis menggunakan analisis korelasi
Pearson dengan persamaan sebagai berikut:
r
( Xi  X )(Yi  Y )
( Xi  X ) (Yi  Y ) 
2
Keterangan :
r
= koefisien korelasi
Xi = nilai pengamatan ke-i pada peubah pertama
X
= rataan karakter pertama
Yi = nilai pengamatan ke-i pada peubah kedua
Y
= rataan karakter kedua
2
28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Daya Hasil 14 Genotipe Tanaman Cabai.
Hasil karakterisasi daya hasil dari 14 genotipe tanaman cabai yang telah
digalurkan sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat homosigositas dilakukan
untuk karakter kuantitatif dan kualitatif khusus daya hasil berdasarkan Descriptors
for Capsicum (IPGRI 1985). Karakter kuantitatif yang dimaksudkan adalah panjang
buah, tebal daging buah, bobot per buah dan bobot buah per tanaman. Hasil analisis
ragam karakter kuantitatif tersebut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kuadrat Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per Buah
dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Panjang
Buah
Tebal Daging
Buah
Bobot per
Buah
Ulangan
1
tn
0,28
tn
0,07
tn
0,56
tn
7,58
Genotipe
13
20,69**
0,33**
18,43**
22978,72*
8,07
8,05
11,52
25,36
KK (%)
Bobot Buah
per Tanaman
Keterangan : **: nyata pada taraf 1 %, *: nyata pada taraf 5%, tn: tidak nyata
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan seperti terlihat pada Tabel 3,
genotipe menunjukan pengaruh nyata untuk semua karakter kuantitatif yang diamati.
Hal ini mengindikasikan
adanya
perbedaan yang
cukup berarti diantara
14
genotipe pada populasi yang diamati. Perbedaan ini menjadi sumber keragaman
yang sangat penting dalam program pemulian tanaman khususnya dalam rangka
menyeleksi genotipe-genotipe tertentu yang akan dijadikan tetua untuk pelaksanaan
progam pemuliaan tanaman selanjutnya. Hasil analisis juga memperlihatkan ulangan
tidak memberikan pengaruh yang nyata untuk semua karakter kuantitatif yang
diamati.
Nilai tengah 14 genotipe tanaman cabai untuk karakter panjang buah, tebal
daging buah, bobot per buah dan bobot buah per tanaman disajikan pada Tabel 4.
29
Hasil analisis terhadap karakter panjang buah 14 genotipe tanaman cabai dengan
menggunakan DMRT menunjukkan perbedaan yang nyata. Panjang buah genotipegenotipe cabai ini berkisar antara 3,41 cm yang terbentuk pada genotipe IPB C20,
hingga 13,90 cm pada genotipe IPB C128, dengan nilai tengah sebesar 10,20 cm.
Genotipe IPB C20 tergolong jenis cabai rawit, memiliki ukuran panjang buah yang
tidak berbeda nyata dengan ukuran panjang buah yang terbentuk pada genotipe IPB
C10 yang juga tergolong dalam jenis cabai rawit.
Tabel 4. Nilai Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Daging Buah, Bobot per Buah
dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai
Genotipe
Panjang Buah
(cm)
IPB C2
12,34 abcd
IPB C9
Tebal Daging
Buah (mm)
Bobot per Buah
(g)
Bobot Buah per
Tanaman (g)
2,09 abc
7,01 de
371,49 ab
9,20 ef
1,49 e
5,78 efg
393,46 ab
IPB C10
3,51 g
0,98 f
0,89 i
102,69 c
IPB C14
8,29 f
1,75 cde
4,87 fg
428,66 a
IPB C15
10,70 cde
1,79 cde
5,73 efg
469,52 a
IPB C19
13,18 ab
2,21 a
IPB C20
3,41 g
IPB C105
11,10 a
379,34 ab
1,83 bcde
2,44 h
193,97 bc
10,64 de
1,54 de
4,27 g
359,68 ab
IPB C110
12,64 abc
1,14 f
2,53 h
329,96 ab
IPB C128
13,90 a
2,03 abc
9,38 bc
439,11 a
IPB C129
10,37 de
2,15 ab
8,32 cd
501,91 a
IPB C130
11,53 bcd
2,28 a
10,20 ab
372,34 ab
IPB C131
11,52 bcd
1,85 bcd
5,99 ef
459,23 a
IPB C132
11,57 bcd
2,26 a
7,89 cd
335,15 ab
Keterangan : angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan DMRT
Panjang buah yang dihasilkan pada genotipe IPB C128 tidak berbeda nyata
dengan ukuran panjang buah yang dihasilkan pada genotipe IPB C2, IPB C19 dan
IPB C110. Genotipe-genotipe yang memiliki buah dengan ukuran panjang ini
30
tergolong dalam jenis cabai besar, semi keriting dan cabe keriting. Tebal daging buah
merupakan salah satu karakter yang menentukan besarnya nilai produksi tanaman
cabai. Apabila genotipe-genotipe memiliki tebal daging buah yang berbeda maka
bobot buah yang dihasilkan akan berbeda walaupun ukuran panjang buahnya sama.
Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada Tabel 4, nilai tengah dari
karakter tebal daging buah adalah sebesar 1,81 mm. Daging buah cabai yang paling
tipis adalah 0,98 mm yang terbentuk pada genotipe IPB C10 (cabai rawit) tidak
berbeda nyata dengan tebal kulit buah yang tebentuk pada genotipe IPB C110
(cabai keriting) sebesar 1,14 mm. Kulit buah yang paling tebal terbentuk pada
genotipe IPB C130 yaitu sebesar 2,28 mm tidak berbeda nyata dengan tebal kulit
buah yang terbentuk pada genotipe IPB C132 (2,26 mm), IPB C19 (2,21 mm), IPB
C129 (2,15 mm), IPB C2 (2,09 mm) dan genotipe IPB C128 (2,03 mm).
Hasil analisis 14 genotipe tanaman cabai memperlihatkan nilai tengah bobot
per buah cabai adalah sebesar 6,17 g. Bobot per buah genotipe-genotipe ini berkisar
antara 0,89 g (IPB C10), hingga 110,95 g (IPB C19). Bobot per buah yang rendah
terdapat pada genotipe IPB C10, berbeda nyata dengan 13 genotipe lainnya,
disebabkan genotipe ini termasuk dalam jenis cabai rawit yang secara anatomi
memiliki bentuk buah dengan ukuran yang kecil. Genotipe IPB C20 juga tergolong
jenis cabai rawit namun memiliki ukuran buah yang lebih besar dan daging buah
yang lebih tebal dari genotipe IPB C10 sehingga bobot per buahnya juga menjadi
lebih besar. Bobot per buah cabai yang tertinggi yang terbentuk pada genotipe IPB
C19, tidak berbeda nyata dengan bobot per buah yang terbentuk pada genotipe IPB
C130 (101,95 g). Kedua genotipe ini tergolong jenis cabai besar.
Hasil analisis
bobot buah per tanaman memperlihatkan
nilai
tengah
bobot buah per tanaman adalah sebesar 366,89 g, dengan kisaran berat antara
102,69 g (IPB C10) hingga 501,91 g (IPB C129). Genotipe IPB C10 yang memiliki
bobot buah per tanaman terkecil ini, tidak berbeda nyata dengan bobot buah per
tanaman yang terbentuk pada genotipe IPB C20 (193,97 g). Kedua genotipe ini
tergolong jenis cabai rawit. Bobot buah per tanaman yang tergolong dalam kelompok
tinggi adalah genotipe-genotipe IPB C129, IPB C15, IPB C131, IPB C128 dan IPB
31
C14. Untuk genotipe-genotipe yang tergolong berproduksi sedang adalah genotipe
IPB C9, IPB C19, IPB C130, IPB C2, IPB C105, IPB C132 dan IPB C110.
Karakter kualitatif yang diamati dalam penelitian ini adalah warna buah muda,
warna buah intermediet dan warna buah matang. Hasil pengamatan karakter warna
buah disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa genotipe –
genotipe memiliki warna buah muda hijau (IPB C2, IPB C10, IPB 19, IPB 105, IPB
128, IPB 129, IPB 130, IPB 131, IPB 132), hijau kusam (IPB C15), hijau muda
(IPB C9,
IPB C14), hijau tua (IPB C110) dan ungu (IPB C20). Warna buah
intermediet yaitu hijau kekuningan (IPB C14), ungu (IPB C20) dan genotipe yang
lainnya warna buah intermedietnya adalah hijau. Semua genotipe yang diamati
memiliki buah matang berwarna merah. Penampilan dari 14 genotipe uji disajikan
pada lampiran 1 dan 2.
Tabel 5. Warna Buah Muda, Warna Buah Intermediet dan Warna Buah Matang
Beberapa Genotipe Tanaman Cabai
Genotipe
Muda
Warna Buah
Intermediet
Masak
IPB C2
Hijau
Hijau
Merah
IPB C9
Hijau muda
Hijau
Merah
IPB C10
Hijau
Hijau
Merah
IPB C14
Hijau muda
Hijau kekuningan
Merah
IPB C15
Hijau kusam
Hijau
Merah
IPB C19
Hijau
Hijau
Merah
IPB C20
Ungu
Ungu
Merah
IPB C105
Hijau
Hijau
Merah
IPB C110
Hijau tua
Hijau
IPB C128
Hijau
Hijau
Merah
Merah IPB C129
Hijau
Hijau
Merah IPB C130
Hijau
Hijau
Merah IPB C131
IPB C132
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Merah Merah 32
Penentuan Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C untuk
Evaluasi Calon Tetua
Capsaicin merupakan salah satu produk metabolit sekunder tanaman cabai
yang menentukan rasa pedas (Greenleaf 1986). Produk metabolit sekunder
lainnya yang dihasilkan oleh tanaman cabai adalah provitamin A dan vitamin C. Hasil
analisis ragam karakter capsaicin, vitamin A dan vitamin C disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Kuadrat Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada
Beberapa Genotipe Tanaman Cabai
Sumber
Keragaman
Derajad
Bebas
Ulangan
1
Genotipe
13
Capsaicin
91,80
tn
8.717,11**
KK (%)
Vitamin A
134.285,40
Vitamin C
tn
62,22
9.545.197,20**
5,60
tn
702,72**
5,31
6,88
Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, tn = tidak nyata
Genotipe-genotipe
yang diteliti memiliki perbedaan yang nyata untuk
karakter capsaicin, vitamin A dan vitamin C, yang ditunjukkan dengan hasil
analisis ragam dari perlakuan genotipe yang sangat nyata. Perbedaan ini sangat
berguna
sebagai
sumber
genetik
untuk
melakukan
studi
pendugaan
parameter genetik untuk karakter - karakter yang diamati. Hasil analisis juga
memperlihatkan ulangan tidak berpengaruh nyata untuk semua karakter yang
diamati. Nilai tengah karakter kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C serta hasil
DMRT disajikan pada Tabel 7.
Capsaicin
Hasil
diantara
pengamatan
empat belas
kadar
genotipe
capsaicin
yang
diuji.
menunjukkan
adanya perbedaan
Perbedaan ini
mengakibatkan
terdistribusinya genotipe-genotipe dimaksud ke dalam sebaran genotipe yang
33
memiliki kadar capsaicin tinggi, sedang (moderat) dan rendah. Hingga saat ini
pengelompokan genotipe-genotipe cabai kedalam kelompok kadar capsaicin tinggi,
moderat dan rendah belum dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Oleh sebab itu
batasan statistik yang jelas dari setiap kelompok belum terstandarisasi untuk dapat
dipakai dalam mengelompokan genotipe-genotipe uji.
Tabel 7. Nilai Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada
Beberapa Genotipe Tanaman Cabai
Genotipe
Capsaicin
(ppm)
Vitamin A
(IU/100 g)
Vitamin C
(mg/100 g)
6405,50
g
86,84 def
83,27 def
IPB C2
342,46
IPB C9
428,20 cdef
8007,30 def
IPB C10
611,19
9407,10
IPB C14
397,77 efg
IPB C15
471,86 bcd
IPB C19
381,48
g
a
c
127,70 a
8997,90 cd
64,94 g
13056,30
a
110,75 bc
fg
7700,90 ef
98,13 cd
IPB C20
471,81 bcd
8661,80 cde
121,39 ab
IPB C105
468,76 bcd
12132,60 ab
94,41 d
IPB C110
515,04
b
7841,60 ef
95,52 d
IPB C128
394,19 efg
7373,30 fg
75,45 fg
IPB C129
484,01 bc
12376,60 ab
93,20 de
IPB C130
446,57 cde
11512,60
b
87,48 def
IPB C131
418,69 def
8020,20 def
79,23 efg
IPB C132
426,23 cdef
7029,30 fg
64,99 g
Keterangan : angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan DMRT
Namun demikian, berdasarkan hasil uji DMRT yang dilakukan terhadap nilai
tengah dari 14 genotipe uji, maka dibuatlah sebaran genotipe dengan memperhatikan
hasil uji beda tersebut. Hasil sebaran genotipe berdasarkan data nilai tengah kadar
capsaicin 14 genotipe uji adalah: Genotipe IPB C10 yang memiliki kadar capsaicin
sebesar 611,19 ppm tergolong genotipe yang memiliki kadar capsaicin tinggi.
34
Genotipe ini adalah grup cabai rawit dari spesies Capsicum annuum L. Berdasarkan
hasil uji DMRT genotipe ini berbeda nyata dengan 13 genotipe yang lainnya.
Genotipe IPB C110 (grup cabai keriting) memiliki kadar capsaicin yang
tergolong sedang yaitu sebesar 515,04 ppm. Genotipe ini tidak berbeda nyata dengan
beberapa genotipe yang kadar capsaicinnya tergolong sedang atau moderat yaitu
genotipe IPB C129 (484,01 ppm), IPB C15 (471,86 ppm), IPB C20 (471,71 ppm) dan
IPB C105 (468,76 ppm. Masih ada genotipe-genotipe lainnya yang tergolong rendah
dimana genotipe yang satu dengan genotipe lainnya tidak berbeda nyata yaitu
genotipe IPB C130 (446,57 ppm), IPB C9 (428,82 ppm), IPB C132 (426,23 ppm),
IPB C131 (418,69 ppm), IPB C14 (397,77 ppm), IPB C128 (394,19 ppm) dan
genotipe IPB C19 (381,48 ppm). Genotipe IPB C2 memiliki kadar capsaicin yang
tergolong rendah yaitu sebesar 342,46 ppm walaupun kadar capsaicinnya masih tidak
berbeda nyata dengan IPB C14, IPB C128 dan IPB C19.
Berdasarkan sebaran genotipe di atas maka terpilihlah genotipe IPB C10
mewakili kadar capsaicin tinggi, genotipe IPB C20, IPB C15 dan genotipe IPB
C9 mewakili genotipe dengan kadar capsaicin sedang/moderat, genotipe IPB C2
mewakili genotipe dengan kadar capsaicin rendah. Selain pemilihan berdasarkan
sebaran ini maka pemilihan tetua juga berdasarkan kemudahan dari setiap genotipe
untuk melakukan persilangan satu dengan lainnya. Kelima genotipe terpilih diketahui
memiliki kemampuan dan kemudahan dalam melakukan persilangan. Mengingat
populasi yang digunakan akan mengacu kepada kadar capsaicin ini maka kadar
vitamin C, diharapkan juga telah terwakili dalam kelima genotipe terpilih.
Vitamin A
Hasil analisis DMRT terhadap nilai tengah 14 genotipe uji menunjukan
adanya perbedaan yang cukup berarti diantara genotipe-genotipe uji untuk karakter
kadar vitamin A. Kadar vitamin A terbesar adalah 13.056,3 IU/100 g yang terbentuk
pada genotipe IPB C15. Kadar vitamin A yang terbentuk pada genotipe IPB C15 ini
tidak berbeda nyata dengan kadar vitamin A yang terbentuk pada genotipe IPB C129
(12.376,6 IU/100 g) dan IPB C105 (12.132,6 IU/100 g) serta berbeda nyata dengan
35
kadar vitamin A pada 11 genotipe lainnya. Genotipe IPB C2 memiliki kadar vitamin
A terkecil yaitu sebesar 6.405,5 IU/100 g, tidak berbeda nyata dengan kadar vitamin
A yang terbentuk pada genotipe IPB C128 (7.373,3 IU/100 g) dan genotipe IPB C132
(7.029,3 IU/100 g).
Seperti diketahui bahwa kebutuhan seseorang akan vitamin A per hari
adalah sebesar 5.000 IU (Djawarningsih 2005). Untuk itu semua genotipe yang
digunakan sebenarnya telah memiliki kadar vitamin A yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan seseorang. Namun demikian yang menjadi masalah adalah
apakah seseorang itu mampu untuk mengkonsumsi 100 g cabai dalam sehari.
Pengelompokan vitamin A berdasarkan besarnya kadar yang dimiliki oleh
setiap genotipe uji ternyata menyebar juga dalam 5 genotipe yang terpilih dalam
penentuan tetua berdasarkan kadar capsaicin. Namun analisis genetik untuk karakter
kadar vitamin A ini tidak dilakukan.
Vitamin C
Kebutuhan seseorang akan vitamin C per hari adalah sebesar 60 mg.
Berdasarkan data pada Tabel
11, kadar vitamin C pada 14 genotipe uji
berkisar antara 64,94 mg/100 g (IPB C14) hingga 127,70 mg/100 g (IPB C10)
dengan nilai tengah sebesar 91,66 mg/100 g. Kadar vitamin C tertinggi yang
terbentuk pada genotipe IPB C10 tidak berbeda nyata dengan kadar vitamin C
yang tebentuk pada genotipe IPB C20 namun berbeda nyata dengan genotipe
uji lainnya. Genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah tidak
berbeda nyata dengan genotipe IPB C128, IPB C131 dan genotipe IPB C132.
Lima genotipe yang telah terpilih pada pemilihan tetua untuk karakter
capsaicin masih memiliki nilai tengah kadar vitamin C yang menyebar dalam
kategori tinggi (IPB C10, IPB C20), sedang (IPB C15) dan agak rendah (IPB
C2, IPB C9). Walaupun penyebaran keragaman dari lima genotipe untuk
karakter kandungan vitamin C tidak seperti penyebaran atau pengelompokan yang
terjadi pada karakter capsaicin, namun pendugaan parameter genetik dari
karakter kandungan vitamin C ini masih bisa dilakukan.
36
Koefisien Keragaman Genetik (KKG), Heritabilitas (h2bs) dan Korelasi (r)
Variasi genetik untuk semua sifat yang diamati dihitung dari koefisien
keragaman genetik (KKG). Berdasarkan hasil analisis, nilai KKG menunjukkan
kriteria tinggi untuk semua karakter, kecuali kadar capsaicin (Tabel 8), sehingga
dapat dikatakan bahwa keragaman genetik cabai untuk karakter-karakter yang diamati
cukup tinggi. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar karakter memiliki
peluang terhadap usaha-usaha perbaikan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Allard (1960), bahwa semakin tinggi nilai KKG maka peluang dalam usaha
perbaikan yang efektif dalam seleksi lebih besar pula sehingga dapat meningkatkan
kemajuan genetik hasil seleksi. Selanjutnya Rasyad (1996) mengemukakan bahwa
nilai koefisien keragaman genetik tinggi, maka faktor genetik akan berpengaruh besar
pada penampilan karakter tersebut.
Tabel 8. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dan Heritabilitas Karakterkarakter yang Diamati pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai
Karakter
Koefisien Keragaman
Genetik
Heritabilitas
Nilai
(%)
Kriteria
Nilai
(%)
Kriteria
Panjang Buah
31,01
besar/tinggi
96,73
tinggi
Tebal Kulit Buah
21,71
besar/tinggi
93,55
tinggi
Bobot per Buah
48,52
besar/tinggi
97,26
tinggi
Bobot Buah per Tanaman
23,06
besar/tinggi
62,31
tinggi
Kadar Capsaicin
14,23
sedang
92,80
tinggi
Kadar Vitamin A
23,50
besar/tinggi
97,51
tinggi
Kadar Vitamin C
19,86
besar/tinggi
94,33
tinggi
Heritabilitas adalah parameter genetik yang digunakan untuk mengukur
kemampuan suatu genotipe dalam populasi tanaman dalam mewariskan karakter yang
37
dimilikinya atau suatu pendugaan yang mengukur sejauh mana variabilitas
penampilan suatu genotipe dalam populasi terutama yang disebabkan oleh peranan
faktor genetik (Poehlman dan Sleeper 1995). Heritabilitas suatu karakter penting
diketahui, terutama untuk menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai
untuk proses seleksi (Sutjahyo el al. 2005).
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, maka semua karakter yang diamati
menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi yang berkisar antara 62,31 % (bobot buah
per tanaman) hingga 97,51 %
(kadar vitamin A). Hal ini menunjukkan bahwa
karakter-karakter yang diamati sangat dipengaruhi oleh faktor genetik atau peran
faktor lingkungan dalam penampilan karakter tersebut kecil. Nilai heritabilitas rendah
untuk suatu karakter menggambarkan karakter tersebut sangat dipengaruhi faktor
lingkungan (Fehr 1987). Untuk mengevaluasi keeratan hubungan antara karakter kadar capsaicin,
vitamin A dan vitamin C maka dilakukan uji korelasi. Analisis korelasi dilakukan
untuk mengetahui adanya keeratan hubungan dua peubah atau lebih, dan bila ada
maka diukur tingginya derajad keeratan hubungan tersebut yang disebut dengan
koefisien korelasi. Besaran koefisien korelasi (r) tidak menggambarkan hubungan
sebab akibat antara dua peubah atau lebih tetapi hanya menggambarkan keterkaitan
linier antar peubah. Koefisien korelasi dinotasikan dengan r dan nilai yang berkisar
antara 1 hingga -1 (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
Dalam menentukan sifat-sifat yang ada kaitannya dengan sifat yang dituju,
maka diperlukan informasi hubungan antara sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang
akan diperbaiki. Adanya hubungan antar satu sifat atau lebih sangat baik sebagai
indikator untuk memperbaiki suatu sifat melalui sifat lainnya (Permadi et al. 1993).
Hasil analisis korelasi karakter kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C pada
genotipe tanaman cabai yang diuji disajikan pada Tabel 8. Data pada Tabel 8
memperlihatkan karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin
A dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,4261 dan peluang nyata 0,0238.
Namun demikian tingkat hubungan linear kedua karakter ini tidak erat karena nilai
38
korelasinya lebih mendekati ke nilai nol. Untuk itu semakin tinggi kadar capsaicin
tidak erat hubungannya dengan semakin tingginya kadar vitamin A. Mattjik dan
Sumertajaya (2005) mengemukakan bahwa nilai koefisien korelasi (r) yang
mendekati 0 (nol) menunjukan hubungan kedua peubah atau karakter tersebut tidak
linear.
Tabel 9.
Koefisien Korelasi Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin
C pada Genotipe Tanaman Cabai
Vitamin A
Vitamin C
0,4261*
Capsaicin
Vitamin A
0,6348**
(0,0238)
(0,0003)
1,0000
0,3249
tn
(0,0916)
Keterangan : **: nyata pada taraf 1 %, *: nyata pada taraf 5%, tn: tidak nyata, angka
dalam kurung merupakan peluang nyata
Hasil analisis korelasi juga memperlihatkan adanya korelasi yang positif
antara kadar capsaicin dengan vitamin C. Berdasar nilai korelasi dari karakter kadar
capsaicin dan vitamin C (0,6348) yang lebih mendekati nilai 1, maka kedua karakter
ini memiliki hubungan linear yang cukup erat. Ini berarti bahwa kenaikan kadar
capsaicin pada cabai akan diikuti oleh kenaikan kadar vitamin C. Menurut Mattjik
dan
Sumertajaya
(2005) nilai koefisien korelasi (r) yang mendekati 1 atau -1
menunjukan semakin erat hubungan linear antara kedua peubah atau karakter
tersebut. Karakter vitamin A dan vitamin C tidak memiliki korelasi yang tidak nyata.
Hasil
penelitian
untuk
mengevaluasi
14
genotipe
tanaman
cabai,
merekomendasikan 5 genotipe yang dijadikan sebagi calon tetua untuk persilangan
setengah dialel (Bab IV) berdasarkan kadar capsaicin, vitamin C dan kemudahan
dalam melakukan persilangan antar genotipe. Kelima genotipe tersebut adalah
genotipe IPB C2 dan IPB C15 (grup cabai semi keriting), genotipe IPB C9 (grup
cabai besar) serta genotipe IPB C10 dan IPB C20 (grup cabai rawit). Penampilan lima
genotipe terpilih diperlihatkan pada Gambar 4.
39
IPB-C2
IPB-C9
IPB-C10
IPB-C15
IPB-C20
Gambar 4. Penampilan 5 Genotipe Terpilih yang Digunakan sebagai Tetua dalam
Persilangan Setengah Dialel.
SIMPULAN
1.
Genotipe IPB C10 memiliki kadar capsaicin dan vitamin C tertinggi, masingmasing sebesar 61,19 ppm dan 127,70 mg/100 g. Kadar vitamin A tertinggi
adalah pada genotipe IPB C15 yaitu sebesar 13.056,30 IU/100 g.
2.
Genotipe IPB C2 memiliki kadar capsaicin dan vitamin A terendah dan genotipe
IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah.
3.
Keragaman genetik tanaman cabai untuk karakter panjang buah, tebal kulit buah,
bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar vitamin A dan kadar vitamin C
tergolong tinggi kecuali keragaman genetik karakter kadar capsaicin tergolong
sedang.
4.
Nilai heritabilitas karakter panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, bobot
buah per tanaman, kadar capsaicin, kadar vitamin A dan kadar vitamin C
tergolong tinggi.
5.
Karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dan
vitamin C namun karakter kadar vitamin A dan vitamin C tidak memiliki
hubungan korelasi.
6.
Lima genotipe direkomendasikan untuk dijadikan calon tetua untuk persilangan
setengah dialel pada Bab IV berdasarkan kadar capsaicin, vitamin C dan
kemudahan dalam melakukan persilangan. Lima genotipe tersebut adalah IPB
40
C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang, vitamin C
rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin
sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang).
DAFTAR PUSTAKA
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 hal.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai
2009. http://www.bps.go.id [30 Januri 2011].
Bahar M, Zein A. 1993. Parameter genetik pertumbuhan tanaman, hasil dan
komponen hasil jagung. Zuriat 4(1):4-7.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Konsumsi perkapita sayuran di Indonesia
periode 2003-2006. http://www.deptan.go.id [30 Mei 2009].
Djarwaningsih T. 2005. Capsicum spp. (Cabai): Asal, Penyebaran dan Nilai
Ekonomi. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Hal : 292-296.
Eckebil JP, Ross WM, Gardner CO, Maranville JW. 1977. Heritability estimates,
genetic correlations, and predicted gains from S1 progeny test in three grain
sorghum Random-mating Populations. Crop Sci. 17:373-377.
Fehr WR. 1987. Principle of cultivar development. theory and technique. Vol. I.
MacMillan Pub. Co. New York. 536 p.
Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur statistika untuk penelitian pertanian
(terjemahan). Jakarta: UI. Press. 698 hal.
Greenleaf WH. 1986. Pepper breeding. Basset MJ, editor. Breeding Vegetables
Crops. Conecticut: AVI Publishing Co.
Helyanto B, Setyobudi U, Kartamidjaja A, Sunardi D. 2000. Studi parameter genetik
hasil serat dan komponennya pada plasma nutfah rosela. J. Pert. Trop. 8(1):8287.
[IPGRI]. 1985. Descriptor for Capsicum (Capsicum spp.). Italy: IPGRI, AVRDC,
CATIE.
Makmur A. 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Cetakan 3. Jakarta: Rineka Cipta.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2005. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. Bogor: IPB Press.
41
Permadi C., Baihaki, Karmana MH. dan Warsa T. 1993. Korelasi sifat komponen
hasil terhadap hasil genotipe-genotipe F1 dan F1 resiprokal lima tetua kacang
hijau dalam persilangan dialel. Zuriat 4(1):45-49.
Poehlman JM, Sleeper DA. 1995. Breeding Field Crops. USA: Iowa State University
Press.
Rasyad A. 1996. Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter agronomis padi lahan
pasang surut di Kabupaten Bengkalis dan Indragiri Hilir. Zuriat 10 (2) : 80-87.
Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic
Analysis. Revised Edition. New Delhi: Kalyani.
Sreelathakumary I, Rajamony L. 2003. Variability, heritability and genetic advance
in Bird pepper. Capsicum Eggplant Newslett. 22 : 51 – 54
Stanfield WD. 1983. Theory and Problems of Genetics. 2nd Ed. McGraw-Hill, New
York.
Sudarmadji, Mardjono R, Sudarmo H. 2007. Variasi genetik, heritabilitas dan
korelasi genotipik sifat - sifat penting tanaman wijen. Jurnal Littri
13(3):88–92.
Sudré CP, Leonardecz E, Rodrigues R, Amaral Júnior AT. 2007. Genetic resources
of vegetable crops: a survey in the Brazilian germplasm collections pictured
through papers published in the journals of the Brazilian Society for
Horticultural Science. Hortic. Bras. 25: 496-503.
Sujiprihati S, Saleh GB, Ali ES. 2003. Heritability, performance and correlation
studies on single cross hybrids of tropical maize. Asian J. of Plant Sci.
2(1):51-57.
Sutjahjo SH, Sujiprihati S, Syukur M. 2005. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Diktat
Kuliah. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura. Faperta IPB.
Yunianti R, Sujiprihati S, Syukur M, Undang. 2006. Seleksi hibrida cabai hasil
persilangan full diallel menggunakan beberapa parameter genetik. Prosiding
Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman di Bogor 1−2 Agustus
2006. Hal. 151−156.
Zen S. 1995. Heritabilitas, korelasi genotipik dan fenotipik karakter padi gogo. Zuriat
6(1):25-31. 42
EVALUASI HIBRIDA F1 DAN PENDUGAAN PARAMETER
GENETIK KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI
(Capsicum annuum L.) DENGAN MENGGUNAKAN
ANALISIS DIALEL
ABSTRAK
Salah satu metode yang digunakan dalam pendugaan parameter genetik adalah
analisis silang dialel. Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga parameter genetik
karakter kadar capsaicin & vitamin C pada 5 tetua cabai dengan menggunakan
analisis dialel, dan mengevaluasi hibrida F1, serta mengetahui nilai heterosis dan
heterobeltiosisnya. Lima genotipe tetua terpilih dari percobaan 1, yaitu genotipe IPB
C2, IPB C9, IPB C10, IPB C15 dan IPB C20. Percobaan disusun menggunakan
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 2 ulangan. Masing-masing
satuan percobaan terdiri atas 200 g buah cabai. Kadar capsaicin dan vitamin C
dianalisis berdasarkan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Hasil analisis genetik menunjukkan terdapat adanya pewarisan ekstrakromosomal
pada karakter kadar capsaicin, sedangkan pada kadar vitamin C tidak terdapat.
Genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis
tertinggi untuk karakter kadar capsaicin, sementara untuk kadar vitamin C tertinggi
terdapat pada hibrida F1 IPB C9 x IPB C10. Tidak terdapat interaksi antar gen dalam
pengendalian karakter kadar capsaicin buah cabai. Sementara ekspresi kadar vitamin
C dalam buah cabai ditentukan oleh interaksi gen antar lokus. Aksi gen aditif dan gen
dominan berperan sangat nyata untuk karakter kadar capsaicin dan tidak nyata dalam
menentukan kadar vitamin C buah cabai. Nilai heritabilitas arti luas untuk karakter
kadar capsaicin dan vitamin C tergolong tinggi, sedangkan nilai heritabilitas arti
sempit untuk karakter kadar capsaicin tergolong tinggi dan untuk karakter kadar
vitamin C tergolong sedang. Genotipe IPB C10 mempunyai daya gabung umum yang
paling tinggi untuk kedua karakter (capsaicin dan vitamin c).
Kata kunci: Silang dialel, capsaicin, vitamin C, heterosis, heterobeltiosis

PENDAHULUAN
Latar Belakang
43
Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan
metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang akan
menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit sekunder
(Herbert 1995). Pada tanaman cabai, salah satu produk metabolit sekunder yang
khusus terdapat pada buah cabai adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok
senyawa yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas dari cabai. Zat ini tidak
larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi.
Hasil penelitian Syukur et al. (2007) menunjukan adanya perbedaan yang cukup
besar pada karakter kadar capsaicin beberapa galur cabai, yang berkisar antara
212,285 - 1.310,035 ppm per 100 g.
Cabai juga banyak mengandung vitamin C. Vitamin C dikenal dengan nama
kimia asam askorbat adalah vitamin yang larut dalam air dan penting untuk
kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Cabe hasil persilangan genotipe-genotipe
yang terpilih diharapkan nantinya kaya akan vitamin C. Kadar vitamin C yang
terdapat didalam cabai diharapkan dapat mensubtitusi kebutuhan masyarakat akan
vitamin tersebut, yang selama ini banyak diperoleh dari konsumsi buah-buahan yang
relatif lebih mahal. Kebutuhan seseorang akan vitamin C per hari adalah
sebesar 60 mg.
Kadar capsaicin dan vitamin C yang terdapat dalam buah cabai rawit, keriting,
semi keriting dan cabai besar bervariasi. Hai ini memungkinkan untuk diadakannya
persilangan antara galur yang memiliki perbedaan kadar yang cukup ekstrim untuk
mempelajari bagaimana karakter kadar capsaicin dan vitamin C itu diwariskan.
Sifat buah, benih dan sifat-sifat lain dikendalikan secara genetik. Pemuliaan
untuk mendapatkan sifat tertentu dari buah cabai memerlukan informasi genetik
bagaimana sifat tersebut diwariskan dengan mempelajari penampilan fenotipik
keturunan hasil persilangan antar genotipe yang memiliki perbedaan sifat buah
yang nyata. Dalam program pemuliaan tanaman cabai, dibutuhkan suatu keragaman
genetik dan informasi tentang bagaimana memindahkan suatu karakter dari suatu
individu tanaman ke zuriatnya.
44
Terdapat beberapa rancangan persilangan untuk memilih tetua dalam rangka
menghasilkan varietas unggul baru, diantaranya rancangan silang dialel. Rancangan
ini telah terbukti dapat membantu pemulia cabai untuk memilih materi pemuliaan
berupa pasangan galur-galur inbred yang menghasilkan kombinasi terbaik yang
memiliki sifat heterosis (Sousa & Maluf 2003). Rancangan persilangan dialel adalah
seluruh kombinasi persilangan yang mungkin diantara sekelompok genotipe,
termasuk tetua itu sendiri lengkap dengan F1 turunannya. Rancangan silang dialel ini
harus memenuhi beberapa asumsi berikut: (1) segregasi diploid, (2) tidak ada
perbedaan antara F1 dengan resiproknya atau tidak ada efek maternal, (3) tidak ada
interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel/epistasis, (4) tidak ada multialelisme, (5)
tetua homozigot, (6) gen-gen menyebar secara bebas di antara tetua (Hayman 1954).
Didalam persilangan tanaman cabai diketahui adanya fenomena heterosis,
yaitu hibrida F1 yang dihasilkan memperlihatkan penampilan yang lebih baik dari
pada rata-rata kedua tetuanya (Greenleaf 1986). Selain heterosis yang pembanding
bagi hibrida F1 adalah rata-rata tetua maka pembanding untuk hibrida F1 juga dapat
dilakukan hanya dengan nilai dari penampilan salah satu tetua terbaik (best parent)
yang dikenal dengan istilah heterobeltiosis. Hal ini memungkinkan untuk dibentuk
varietas hibrida yang memiliki sifat lebih baik dari varietas tanaman menyerbuk
sendiri. Sifat-sifat tersebut antara lain kualitas buah, daya hasil, resistensi terhadap
hama dan penyakit serta sifat penting lainnya (Kusandriani dan Permadi 1996).
Menurut Singh (1987) untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, maka
tetua galur murni berasal dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara
genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan.
Beberapa penelitian tentang heterosis dan daya gabung telah dilakukan pada
cabai (Nasir 1999; Herison et al. 2001; Sousa dan Maluf 2003; Seneviratne dan
Kannangara 2004; Geleta et al. 2006; Sujiprihati et al. 2007; Zou et al. 2007; Kirana
dan Sufiari 2007; do Rego et al. 2009; Kamble et al. 2009; Marame et al. 2009).
Tahap awal dalam menilai hasil persilangan antar galur adalah mengevaluasi
daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Informasi ini diperlukan
untuk mendapatkan kombinasi tetua yang akan menghasilkan keturunan yang
45
berpotensi hasil tinggi. Hasil yang tinggi akan dapat dicapai jika turunan dari
kombinasi persilangan tersebut memiliki heterosis positif dan daya gabung yang
tinggi. Daya gabung merupakan konsep umum untuk mengklasifikasikan galur murni
secara relatif menurut penampilan hibridanya (Hallauer dan Miranda 1995). Menurut
Poehlman (1983) tidak semua kombinasi galur murni akan menghasilkan hibrida
yang superior. Oleh karena itu, galur-galur murni perlu diuji daya gabungnya guna
menentukan kombinasi yang terbaik untuk produksi benih hibrida. Welsh (1981)
menyatakan populasi yang diidentifikasi memiliki DGU tinggi, berpeluang memiliki
DGK yang tinggi pula.
Sampai sejauh ini analisis kandungan capsaicin dan vitamin C pada tanaman
cabai telah diketahui namun bagaimana pewarisan capsaicin dan vitamin C belum
banyak dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan analisis silang dialel dari suatu
persilangan setengah dialel (half diallel). Pemilihan tipe persilangan dialel ini
didasarkan kepada asumsi bahwa tidak ada perbedaan antara persilangan resiprok
antara tetua persilangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mendapatkan informasi parameter genetik karakter kadar capsaicin dan vitamin C
pada cabai dengan menggunakan analisis dialel.
2. Mengevaluasi hibrida F1 tanaman cabai berdasarkan nilai heterosis dan
heterobeltiosis pada karakter kadar capsaicin dan vitamin C.
3. Memperoleh informasi Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus
(DGK) beberapa genotipe cabai untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C.
BAHAN DAN METODE
Pada tahapan awal dilakukan persilangan dan selfing antara genotipe-genotipe
terpilih yang dijadikan sebagai tetua. Emaskulasi dan penyerbukan dilakukan pagi
hari pada pukul 8.00 – 11.00. Emaskulasi menggunakan pinset yang telah disterilkan
dengan alkohol 70%, pada tanaman yang akan dijadikan sebagai tetua betina. Serbuk
sari dikumpulkan dalam wadah dari tetua jantan yang telah antesis. Selanjutnya
46
tepung sari ditempelkan ke stigma betina yang telah reseptif. Bunga yang telah
diserbuki ditutup dengan selotip dan diberi label yang berisi informasi nama tetua
persilangan dan tanggal persilangan.
Jika persilangan berhasil maka mahkota bunga akan lepas akibat pembesaran
daging buah, sedangkan jika persilangan gagal maka bunga akan rontok dalam waktu
2-3 hari. Buah hasil persilangan dipanen saat buah cabai telah masak, setiap buah dari
tanaman sampel ditempatkan pada kantong terpisah dan diberi label.
Selfing dilakukan dengan menutup individu tanaman dengan sungkup yang
terbuat dari bahan tricot. Penyungkupan dilakukan pada saat tanaman belum
berbunga untuk menghindari penyerbukan dari serbuk sari dari tanaman lain.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus – Januari 2010. Penanaman
dan persilangan antara tetua untuk pembentukan populasi F1 dan penanaman tanaman
F1 dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Lab. Dik Pemulian Tanaman
Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) Faperta IPB. Analisis kadar
capsaicin dan vitamin C dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian Departemen Pertanian.
Metode Penelitian
Berdasarkan hasil karakterisasi yang diperoleh pada percobaan 1, telah
terpilih 5 genotipe yang dijadikan sebagai tetua dalam persilangan half diallel
(Tabel 10). Tetua terpilih tersebut didasarkan pada kandungan capsaicin dan vitamin
C yang tinggi, sedang atau rendah. Genotipe yang terpilih adalah IPB C2
(capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang, vitamin C rendah),
IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin sedang, vitamin C
sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang). Jumlah genotipe yang
diuji adalah 15 genotipe, terdiri dari 5 tetua dan 10 F1.
Percobaan disusun dengan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
faktor tunggal dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 200
gram buah cabai. Peubah kandungan capsaicin dan vitamin C dianalisis berdasarkan
47
metode yang dikembangkan oleh BB Pasca Panen yaitu menggunakan teknik High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) seperti percobaan 1 pada Bab III.
Tabel 10. Persilangan Half Diallel dan Selfing Menggunakan Lima Tetua
Tetua
IPB C10
IPB C9
IPB C15
IPB C2
IPB C20
IPB C10
X9x10
X15x10
X2x10
X20x10
IPB C9
IPB C15
IPB C2
IPB C20
--
---
----
---
X15x9
X2x9
X20x9
X2x15
X20x15
X15x20
--
X20x2
Pengamatan
Peubah yang diamati pada percobaan 2 adalah:
1. Kadar capsaicin, dianalisis kadar capsaicin pada buah cabai (ppm) dengan
menggunakan metode HPLC,
3. Kadar vitamin C, dianalisis kadar vitamin C pada buah cabai (mg/100 g) dengan
menggunakan metode HPLC,
Analisis Data
1. Pengujian Pewarisan Ekstrakomosomal
Pewarisan ekstrakromosomal atau pengaruh tetua betina terhadap karakter
kadar capsaicin dan vitamin C diketahui dengan membandingkan nilai tengah F1 dan
F1R dengan uji t pada taraf 1%. Prosedur pengujian menggunakan fasilitas SAS 9.1.
Bila hasil uji t adanya perbedaan yang nyata antara nilai tengah F1 dan F1R maka
disimpulkan ada pengaruh tetua betina (efek maternal), sebaliknya jika uji t tidak
berbeda nyata maka tidak ada pengaruh tetua betina.
2.
Pendugaan nilai heterosis berdasarkan nilai tengah kedua
tetua (mid parent) dan heterobeltiosis berdasarkan nilai tengah tetua terbaik
(best parent).
48
=
 F 1   MP
 100 0 0
 MP
Heterobeltiosis =
 F 1   BP
 100 0 0
 BP
Heterosis
Keterangan:
 F 1 : nilai tengah turunan
 MP : nilai tengah kedua tetua =
1
2
P1  P2 
 BP : nilai tengah tetua terbaik
3.
Pendugaan Parameter Genetik.
Untuk menduga parameter genetik kadar bahan aktif pada cabai (capsaicin dan
vitamin) dilakukan analisis dialel menggunakan pendekatan Hayman dan Griffing
(Singh dan Chaudhary, 1979).
a) Pendekatan Hayman.
Analisis Ragam
Percobaan dialel menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
tiga ulangan menggunakan model statistik:
Yijkl
= μ + αij + βk + (αβ)ijk + εijkl
Keterangan:
Yijkl
= Nilai pengamatan pada genotipe i x j dalam k ulangan
μ
= Nilai tengah umum
αi
= Pengaruh genotipe i x j
βj
= Pengaruh ulangan ke-k
(αβ)ijk
= Pengaruh interaksi
εij
= Pengaruh galat
49
Komponen analisis Ragam ditampilkan pada Tabel 11. Analisis dilanjutkan bila
nilai kuadrat tengah genotipe berbeda nyata.
Tabel 11. Komponen Analisis Ragam Analisis Silang Dialel
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
Ulangan (r)
b-1
KTb
σ2 e + n σ2 b
Genotipe (G)
n-i
KTg
σ2 e + b σ2 g
Galat
(n-1)(b-1)
KTe
σ2 e
Total
bn-1
Sumber Keragaman
E (KT)
Pendugaan ragam dan peragam
Untuk menduga nilai ragam dan peragam, data dirata-ratakan berdasarkan
half diallel (Tabel 12).
Tabel 12. Rataan Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C Berdasarkan Half
Diallel untuk Perhitungan Nilai Ragam dan Peragam.
Tetua
Tetua 1
Tetua 2
Tetua 3
Tetua 4
Tetua 5
Xi.
Tetua 1
X11
-
-
-
-
X1.
Ratarata
X1./5
Tetua 2
X21
X22
-
-
-
X2.
X2./5
Tetua 3
X31
X32
X33
-
-
X3.
X3./5
Tetua 4
X41
X42
X43
X44
-
X4.
X4./5
Tetua 5
X51
X52
X53
X54
X55
X5.
X5./5
X
Rata-Rata tetua (ML0)
=
i j
n
ij
50
Ragam Tetua (V0l0)
=
Ragam array (Vri)
=
Rata-rata ragam array (V1L1)
=
Rata-rata ragam array (V0L1)
=
Peragam tetua dan keturunan (Wri)
2


 

  X ij  

 
1 
i j
2
 
  X ij   
n  1 i j
n





2

 
 n

  X ij  
 

1  n
j 1
2
 
  X ij   
n  1  j 1
n





1 n
 Vri
n i 1
2

 
 n

x


i
2
1  n
 i 1  
x


 1
n  1  i 1
n






=
2

 n
 

  X ij X i ' j  

 
1  n
j 1; i 1
 
  X ij X i ' j   
n  1  j 1; i 1
n





Rata-rata peragam tetua dan array (W0L1) =
1 n
 Wri
n i 1
Perbedaan rata-rata tetua dan rata-rata semua keturunan
 1  1  n
 

(ML1 – ML0) =     X ij     X ij 

 n  n  i 1; j 1   i  j
2
2
Uji Hipotesis
Kesahihan hipotesis diuji menggunakan koefisien regresi menggunakan
ragam dan peragam.
b
= (Cov (Wr, Vr))/(Var (Vr))
SE (b)
= [(Var (Wr) – b * (Cov (Wr, Vr))/(Var (Vr) * (n-1))]1/2
Uji hipotesis:
H0
: b=1
H1
: b≠1
51
Jika b = 1, maka tidak terdapat interaksi gen non alelik
Grafik Wr-Vr
Parabola diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan:
Wri = (Vri x V0L0)1/2
Regresi diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan:
Wri = Wr – bVr + bVri
Intersep regresi diperoleh dari:
a = Wr - bVr
Semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y, kandungan gen
dominannya secara relatif semakin tinggi, sebaliknya semakin jauh letak tetua
dengan pangkal persilangan sumbu x-y, semakin kecil kandungan gen
dominannya.
Pendugaan Komponen Ragam
Pendugaan komponen ragam yang dilakukan adalah:
D
= V0L0 – E
F
= 2V0L0 - 4W0L0 – 2(n-2) E/n
Hi
= V0L0 – 4W0L1 + 4V1L1 – (3n-2) E/n
H2
= 4V1L1 – 4V0L1 – 2E
2
h
= 4(ML1 – ML0)2 – 4(n-1) E/n2
S2
= ½ [Var(Wr-Vr)]
SE (D) = [(n5 + n4)/ n5]* (S2)
SE (F) = [(4n5 + 20n4 – 16n3 + 16 n2)/n5]*(S2)
SE (H1) = [(n5 + 410n4 – 12n3 + 4 n2)/n5]*(S2)
SE (H2) = [(36n4/n5]*(S2)
SE (h2) = [(16n5 + 16n2 – 32n + 16)/n5]*(S2)
SE (E) = [(n4)/ n5]* (S2)
Keterangan:
D
: komponen ragam karena pengaruh aditif
F
: nilai tengah Fr untuk semua array, Fr adalah peragam pengaruh aditif dan
non aditif pada array ke-r
52
H1 : komponen ragam karena pengaruh dominan
H2 : perhitungan untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua
h2
: pengaruh dominan (sebagai aljabar dari semua persilangan saat
heterozigous)
Jika intersep bernilai positif atau D > H1 interaksi yang terjadi adalah dominansi
sebagian, jika bernilai negatif atau D < H1 berarti overdominansi. Dominan
lengkap jika D = H1, serta tidak terdapat dominansi jika garis regresi menyentuh
batas parabola.
Pendugaan parameter lain
Parameter lain yang diduga adalah:
- Rata-rata tingkat dominansi = (H1/D)1/2
- Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua = H2/4H1
- Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua
= [(4DH1)1/2 + F]/ [(4DH1)1/2 - F]
- Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi
= h2/H2
- Heritabilitas arti luas (h2BS)
= (1/2D + 1/2H1 – 1/4H2 – 1/2F)/( (1/2D + 1/2H1 – 1/4H2 – 1/2F+E)
- Heritabilitas arti sempit (h2NS)
= (1/2D + 1/2H1 – 1/2H2 – 1/2F)/( (1/2D + 1/2H1 – 1/2H2 – 1/2F+E)
- Pendugaan tetua paling dominan dan paling resesif
VD = (V0l0)x12
VR = (V0l0)x22
WD = (V0l0)x1
WR = (V0l0)x2
x1 dan x2 diperoleh dari akar persamaan: (V0l0)x2 - (V0l0)x + (W0L0 – V1L1)
Nilai tetua dominan penuh (YD) = Yr + b[(WD + VD) – (W0L0 + V1L1)]
Nilai tetua resesif penuh (YR) = Yr + b[(WR + VR) – (W0L0 + V1L1)]
b) Metode Griffing 2
Untuk menduga nilai Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus
(DGK) dan pengaruh resiprokal genotipe-genotipe yang diuji, dilakukan analisis
53
dialel menggunakan Metode 2 Griffing (Singh dan Chaudhary 1979) sebagai
berikut :
Analisis ragam
Perhitungan analisis ragam dilakukan dengan cara yang sama dengan
pendekatan Hayman. Analisis dilanjutkan bila kuadrat tengah genotipe
menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Analisis daya gabung
Model statistika yang digunakan adalah:
Yij =
μ + αi + αj + βij + 1/bc ΣΣ eijkl
Keterangan:
Yij
= Nilai tengah genotipe i x j
μ
= Nilai tengah umum
αi
= Daya gabung umum tetua ke-i
αj
= Daya gabung umum tetua ke-j
βij
= Pengaruh daya gabung khusus
1/bc ΣΣ eijkl = nilai tengah pengaruh galat
Komponen analisis Ragam untuk daya gabung disajikan pada Tabel 13.
σ2 e
= KTGalat
σ2dgk = KTdgk - KTGalat
σ2dgu = (KTdgu - KTdgk) / p+2
Keterangan : σ2e
= Ragam lingkungan
σ2dgk = Ragam untuk daya gabung khusus
σ2dgu = Ragam untuk daya gabung umum
Tabel 13. Komponen Analisis Ragam untuk Daya Gabung Menggunakan
Metode 2 Griffing
Sumber Keragaman
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
E (KT)
54
Daya gabung umum
p-1
KTdgu
Daya gabung khusus
p(p-1)/2
KTdgk
σ2e + σ2dgk + (p+2)
σ2dgu
σ2e + σ2dgk
(r-1)[(p1)+p(p-1)/2
KTGalat
σ2 e
Galat
Komponen Genetik (Singh and Chaudhary 1979)
σ2dgu = ½ σ2A,
σ2dgk = σ2D
Keterangan : σ2A
σ2 D
= Ragam Aditif
= Ragam Dominan
Efek daya gabung umum Tetua ke-i dihitung menggunakan rumus berikut:
DGU = 1/(p +2) [Σ(Yi. + Yii) – 2/p (Y..)]
Keterangan:
DGU
: nilai daya gabung umum
Yi.
: jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i
Yii
: jumlah nilai tengah selfing genotipe ke-i
Y..
: total nilai tengah genotipe
Efek
daya
gabung
khusus
masing-masing
hasil
persilangan
dihitung
menggunakan rumus berikut:
DGK = Yij - [1/(p+2)] (Yi. + Yii + Y.j + Yjj) + [{2/(P+1)(p+2)} Y..]
Keterangan:
DGK
: nilai daya gabung khusus
Yij
: nilai tengah genotipe i x j
Yi.
: jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i
Yii
: jumlah nilai tengah selfing genotipe ke-i
Y.j
: jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-j
Yjj
: jumlah nilai tengah selfing genotipe ke-j
55
Y..
: total nilai tengah genotipe
56
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Tanaman F1 untuk Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C
pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai
Evaluasi yang dilakukan pada generasi F1 bertujuan untuk mengetahui
adanya pewarisan ekstrakromosomal atau pengaruh tetua betina dari hasil persilangan
sebagai salah satu asumsi dalam analisis silang dialel dan untuk mengetahui
korelasi antara kadar capsaicin dengan vitamin C dari hibrida hasil persilangan
tetua terpilih. Selain itu evaluasi ini bertujuan juga untuk mengetahui kontras antara
hibrida hasil persilangan serta nilai heterosis dan heterobeltiosis.
Berdasarkan hasil uji t (Tabel 14) untuk satu kombinasi persilangan
dengan resiproknya diperoleh bahwa karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh
pewarisan ekstrakromosomal dan vitamin C tidak dipengaruhi oleh pewarisan
ekstrakromosomal (pengaruh tetua betina). Penampilan buah genotipe-genotipe yang
dipakai dalam uji efek maternal dan hasil persilangan (F1) dan resiproknya (F1R)
disajikan pada Gambar 4.
Tabel 14. Pengujian Pengaruh Pewarisan Ekstrakromosomal Beberapa Karakter yang
Diamati pada Cabai
Genotipe
Kadar
Capsaicin (ppm)
Vitamin C (mg/100 g
IPB C20
475,72
81,51
IPB C15
449,82
76,91
IPB C20 x IPB C15 (F1)
430,32
75,79
IPB C15 x IPB C20 (F1R)
529,37
81,99
t-hitung
8,41*
0,83tn
Keterangan: * nyata pada taraf 5%; tn: tidak nyata pada taraf 5%
57
Gambar 5. Persilangan Genotipe Cabai IPB C20 dengan IPB C15 yang
menghasilkan F1 dan F1R
Hasil analisis korelasi pada percobaan 1, diketahui bahwa kadar capsaicin
berkorelasi positif dengan kadar vitamin C dan memiliki hubungan linear yang cukup
erat. Analisis korelasi antara hibrida hasil persilangan tetua terpilih pada percobaan 1
yang dilakukan pada percobaan 2 ini adalah untuk membuktikan korelasi antara
kedua karakter tersebut. Hasil analisis korelasi karakter kadar capsaicin dan vitamin
C menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,4390 dan peluang nyata 0,1020
(tidak nyata) maka tidak ada korelasi antara kadar capsaicin dengan kadar vitamin C
dari hibrida hasil persilangan genotipe tetua yang terpilih pada Bab III (percobaan 1).
Hal ini menunjukan bahwa tidak ada keeratan hubungan linier antara kedua karakter,
atau tidak ada hubungan sebab akibat antara karakter kadar capsaicin dengan kadar
vitamin C. Oleh sebab itu naiknya atau turunnya kadar capsaicin tidak akan diikuti
dengan naik atau turunnya kadar vitamin C atau sebaliknya.
Nilai heterosis dan heterobeltiosis yang menggambarkan penampilan superior
hibrida F1 yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua tetuanya untuk karakter
kadar capsaicin disajikan pada Tabel 15. Nilai heterosis pada karakter kadar capsaicin
58
yang terendah, terlihat pada genotipe hibrida F1 IPB C20 x IPB C9 yaitu sebesar 9,66 % dan nilai heterosis tertinggi sebesar 16,42 %, pada genotipe hibrida F1
IPB C15 x IPB C9.
Tabel 15. Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Capsaicin pada Beberapa
Genotipe Cabai
Genotipe
Kadar Capsaicin (ppm)
P1
P2
F1
Heterosis
(%)
Heterobeltiosis
(%)
IPB C9 x IPB C10
439,90
602,57
499,19
-4,23
-17,16
IPB C15 x IPB C10
449,82
602,57
504,91
-4,05
-16,21
IPB C2 x IPB C10
418,97
602,57
494,77
-3,13
-17,89
IPB C20 x IPB C10
475,75
602,57
606,98
12,58
0,73
IPB C15 x IPB C9
449,82
439,90
517,89
16,42
15,13
IPB C2 x IPB C9
418,97
439,90
467,59
8,89
6,30
IPB C20 x IPB C9
475,75
439,90
413,595
-9,66
-13,06
IPB C2 x IPB C15
418,97
449,82
447,015
2,91
-0,62
IPB C20 x IPB C15
475,75
449,82
430,32
-7,02
-9,55
IPB C20 x IPB C2
475,75
418,97
416,21
-6,96
-12,52
Keterangan : P1 = tetua betina, P2 = tetua jantan, F1 = hasil persilangan antara tetua
betiana dan jantan
Selain itu, enam genotipe hibrida F1 memiliki nilai heterosis negatif (IPB
C9 x IPB C10, IPB C15 x IPB C10, IPB C2 x IPB C10, IPB C20 x IPB C9, IPB C20
x IPB C15 dan IPB C20 x IPB-C2) yang menunjukan bahwa keenam hibrida F1
tersebut memiliki nilai rataan kadar capsaicin yang lebih rendah dibandingkan dengan
nilai rataan kadar capsaicin dari rata - rata kedua tetuanya. Empat hibrida F1
memiliki nilai heterosis positif (IPB C20 x IPB C10, IPB C15 x IPB C9, IPB C2 x
IPB C9 dan IPB C2 x IPB C15) menunjukkan nilai rata-rata kadar capsaicin
hibrida F1 lebih besar dibandingkan rata-rata kedua tetuanya.
Nilai heterobeltiosis pada kadar capsaicin berkisar antara -17,89 % (IPB C2 x
IPB C10) hingga 15,13 % (IPB C15 x IPB C9). Tujuh genotipe hibrida F1 memiliki
nilai heterobeltiosis negatif dan tiga genotipe memiliki nilai heterobeltiosis positif.
59
Genotipe IPB C2 x IPB C15 memiliki nilai heterosis positif namun memiliki nilai
heterobeltiosis negative, hal ini menunjukan bahwa nilai rataan kadar capsaicin yang
dimiliki oleh genotipe hibrida F1 ini berada diantara nilai kadar capsaicin kedua tetua.
Berdasarkan nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter kadar
capsaicin maka genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai heterosis dan
heterobeltiosis tertinggi. Hal ini berarti kadar capsaicin yang terbentuk pada genotipe
IPB C15 x IPB C9 mengalami peningkatan kadar capsaicin yang terbanyak
melampaui kadar capsaicin tertinggi dari salah satu tetuanya (IPB C15). Peningkatan
kadar capsaicin ini diduga disebabkan karena kedua tetua dari hibrida F1 ini secara
genetik berbeda yaitu dari grup cabai semi keriting dan cabai besar ini. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Singh (1987) bahwa untuk mendapatkan hibrida
dengan hasil yang tinggi, maka tetua galur murni berasal dari dua atau lebih populasi
dasar yang berbeda secara genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi
pada F1 hasil persilangan. Namun demikian kadar capsaicin genotipe IPB C15 x IPB
C9 ini masih lebih rendah dari genotipe IPB C20 x IPB C10 (606,98 ppm) yang
kedua genotipe tetua merupakan jenis cabai rawit.
Apabila kriteria kadar capsaicin tinggi menjadi tolak ukur penampilan
terbaik genotipe maka genotipe hibrida F1 yang memiliki nilai heterosis dan
heterobeltiosis negatif tergolong dalam genotipe-genotipe yang mengalami
kemunduran kualitas sifat kadar capsaicin akibat hibridisasi antara tetua-tetuanya, dan
genotipe hibrida F1 yang memiliki nilai positif tergolong mengalami peningkatan
kualitas akibat hibridisai kedua tetuanya. Namun demikian sampai dengan saat ini
kadar capsaicin yang tinggi maupun rendah pada buah cabai belum merupakan
kriteria yang dapat menggambarkan kualitas buah cabai, tetapi masih menjadi batasan
untuk
menentukan
selera
konsumen
termasuk
perusahan-perusahan
yang
memanfaatkan buah cabai dalam produk olahannya. Persilangan antara genotipe IPB
C15 dengan genotipe IPB C9 memiliki potensi genetik yang besar untuk
meningkatkan kandungan kadar capsaicin.
Nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter kadar vitamin C disajikan
pada Tabel 16. Peningkatan kadar atau kandungan vitamin C pada buah cabai
60
persatuan berat tertentu merupakan kriteria positif peningkatan kualitas buah cabai.
Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan vitamin C per hari manusia dapat disuplai
dengan mengkonsumsi cabai sebagai pelengkap bumbu masakan. Nilai heterosis
pada karakter kadar vitamin C berkisar antara -20,30 % hingga 36,93 %. Lima
genotipe hibrida F1 memiliki kadar vitamin C lebih tinggi
dari rata-rata kadar
vitamin C kedua tetua yang ditandai dengan nilai heterosis positif. Nilai heterosis
yang tinggi terlihat pada genotipe hibrida F1 hasil persilangan antara genotipe IPB C9
dari jenis cabai besar dengan IPB C10 yang termasuk grup cabai rawit (genotipe IPB
C9 x IPB C10).
Tabel 16. Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Vitamin C pada Beberapa
Genotipe Cabai
Kadar Vitamin C (mg/100 g)
P1
P2
F1
Heterosis
(%)
IPB C9 x IPB C10
75,42
93,19
115,43
36,93
23,87
IPB C15 x IPB C10
76,91
93,19
67,78
-20,30
-27,26
IPB C2 x IPB C10
72,95
93,19
84,24
1,40
-9,61
IPB C20 x IPB C10
81,51
93,19
92,86
6,31
-0,35
IPB C15 x IPB C9
76,91
75,42
71,93
-5,56
-6,47
IPB C2 x IPB C9
72,95
75,42
61,59
-16,98
-18,34
IPB C20 x IPB C9
81,51
75,42
80,16
2,17
-1,65
IPB C2 x IPB C15
72,95
76,91
71,66
-4,37
-6,83
IPB C20 x IPB C15
81,51
76,91
75,79
-4,32
-7,02
IPB C20 x IPB C2
81,51
72,95
79,06
2,37
-3,00
Genotipe
Heterobeltiosis
(%)
Keterangan : P1 = tetua betina, P2 = tetua jantan, F1 = hasil persilangan antara tetua
betiana dan jantan
Hibrida F1 IPB C9 x IPB C10 merupakan satu-satunya genotipe yang
memiliki nilai heterobeltiosis positif yaitu sebesar 23,87 %. Empat hibrida
F1 (genotipe IPB C2 x IPB C10, IPB C20 x IPB C10, IPB C20 x IPB C9 dan IPB
61
C20 x IPB C2) yang pada perhitungan nilai heterosis memilki nilai positif, memiliki
nilai heterobeltiosis negatif. Hal ini menunjukan bahwa kadar vitamin C yang dimilki
oleh keempat genotipe tersebut berada diantara kisaran kadar vitamin C dari kedua
tetuanya atau lebih rendah dari salah satu tetuanya.
Berdasarkan nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter kadar vitamin C
maka genotipe IPB C9 x IPB C10 yang berasal dari hasil persilangan cabai besar dan
cabai rawit, memiliki nilai tertinggi sehingga genotipe ini dikategorikan sebagai
genotipe yang mengalami peningkatan kualitas vitamin C sebagai akibat dari
hibridisasi antara tetuanya yang memiliki genetik berbeda. Genotipe-genotipe hibrida
F1 yang memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif tergolong dalam genotipe
yang memiliki penurunan kualitas kadar vitamin C akibat persilangan tetua masingmasing genotipe hibrida F1 tersebut.
Munculnya efek heterosis ini disebabkan adanya akumulasi gen dominan,
sedangkan heterobeltiosis tidak lepas dari adanya efek dominan lebih (over-dominan)
pada karakter tersebut (Nasir 1999). Nilai heterosis yang tinggi juga menunjukkan
adanya aksi gen non-aditif pada karakter produksi per tanaman sehingga teknik
hibridisasi sangat berguna untuk mengeksplorasi potensi produksi pada cabai.
Perbandingan antara genotipe-genotipe tetua telah dilakukan pada percobaan
terdahulu (percobaan 1), untuk itu pada percobaan ini akan dibandingakan antara
grup hibrida F1 dengan grup tetua dan antara grup hibrida F1 yang satu dengan grup
hibrida F1 lainnya berdasarkan kriteria asal dari jenis tetua yang membentuk
hibrida F1. Hasil uji kontras untuk karakter kadar capsaicin disajikan pada Tabel 17.
Berdasarkan hasil uji kontras pada Tabel 17, grup genotipe tetua memiliki kadar
capsaicin yang berbeda sangat nyata dengan kadar capsaicin yang dimiliki oleh grup
genotipe hibrida F1.
Apabila hasil uji kontras kedua grup genotipe ini dihubungkan dengan hasil
analisis heterosis dan heterobeltiosis maka diketahui bahwa perbedaan antara kedua
grup ini disebabkan karena terdapat genotipe-genotipe hibrida F1 yang kadar
capsaicinnya lebih tinggi dan lebih rendah dari genotipe tetuanya. Tiga genotipe
hibrida F1 memiliki kadar capsaicin pada kisaran diatas kadar capsaicin yang
62
terbentuk pada genotipe tetua terbaik yang artinya persilangan antara genotipe tetua
mampu menaikan kadar capsaicin pada hibridanya melebihi kadar capsaicin yang
dimiliki oleh kedua tetuanya. Salah satu genotipe hibrida F1 yang menghasilkan
peningkatan kadar capsaicin tinggi jika dibandingkan dengan kedua tetuanya adalah
IPB C15 x IPB C9.
Tabel 17. Kontras Karakter Kadar Capsaicin Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida
F1 dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai
No
Grup Kontras
F Value
Pr>F
1.
Tetua Selfing VS Hibrida
26,990**
0,0001
2.
Rawit x Rawit VS Lainnya (Hibrida)
28,580**
0,0001
3.
Semi Keriting x Semi Keriting VS Lainnya (Hibrida)
tn
0,8785
4.
Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
12,120**
0,0037
5.
Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
8,830 *
0,0101
6.
Rawit x Rawit VS Rawit x Besar (Hibrida)
12,490**
0,0033
7.
Rawit x Rawit VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida)
44,570**
<,0001
8.
9.
13,100**
0,0028
11.
Rawit x Besar VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida)
Semi Keriting x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting
(Hibrida)
Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Semi Keriting
(Hibrida)
Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
12.
Rawit x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
10.
13.
Rawit x Besar VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
0,020
1,100
tn
0,3120
5,160 *
19,500**
0,0394
0,0006
tn
0,6347
tn
0,5015
0,240
0,480
Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, * : nyata pada taraf 5%, tn : tidak nyata
Tiga genotipe hibrida F1 juga memiliki kadar capsaicin yang berada pada
kisaran dibawah kadar capsaicin dari tetuanya yang terendah yang dapat diartikan
bahwa hasil persilangan genotipe tetua mengakibatkan terjadinya penurunan
kadar
capsaicin
hibridanya. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa hasil
persilangan antara grup cabai rawit dengan grup cabai rawit yaitu genotipe hibrida F1
IPB C20 x IPB C10, memiliki kadar capsaicin yang berbeda nyata dengan genotipe
63
hibrida F1 lainnya. Genotipe IPB C10 x IPB C20 memiliki kadar capsaicin 606,98
ppm, merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kadar capsaicin
genotipe hibrida F1 lainnya. Hal ini dimungkinkan karena cabai rawit cenderung
memiliki kadar capsaicin yang tinggi ditandai dengan rasa pedas yang lebih
menyengat.
Grup cabai semi keriting yang disilangkan dengan grup cabai semi keriting
(genotipe IPB C2 x IPB C15) menghasilkan kadar capsaicin yang tidak berbeda nyata
dengan genotipe hibrida lainnya berdasarkan hasil uji kontras. Hal yang sama juga
terlihat pada hasil uji kontras dari tiga perbandingan lainnya yaitu antara (1)
persilangan grup cabai semi keriting dengan grup cabai besar (IPB C15 x IPB C9 dan
IPB C2 x IPB C9) dibandingkan hibrida F1 hasil persilangan grup cabai semi keriting
dengan grup cabai semi keriting (IPB C2 x IPB C15), (2) persilangan grup cabai
rawit dengan cabai besar (IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10) dibandingkan
persilangan grup cabai semi keriting dengan semi keriting (IPB C2 x IPB C15), (3)
persilangan grup cabai rawit dengan grup cabai besar (IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9
x IPB C10) dibandingkan persilangan cabai semi keriting dengan cabai besar (IPB
C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9).
Hasil uji kontas antara persilangan grup cabai rawit dengan cabai rawit (IPB
C20 x IPB C10) dibandingkan persilangan grup cabai semi keriting dengan cabai
semi kering (IPB C2 x IPB C15) menunjukkan kadar capsaisin pada genotipe IPB
C20 x IPB C10 berbeda nyata dengan kadar capsaicin yang terbentuk pada genotipe
IPB C2 x IPB C15. Untuk beberapa kriteria uji kontras lainnya sesuai dengan yang
terdapat pada Tabel 17 juga memperlihatkan kadar capsaicin yang berbeda nyata
antara genotipe hibrida F1. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan kadar
capsaicin yang dimiliki oleh hibrida F1 sesuai dengan grup dari tetua yang
disilangkan untuk menghasilkan hibrida-hibrida tersebut. Hibrida yang berasal dari
persilangan cabai rawit dengan cabai rawit selalu menunjukkan perbedaan kadar
capsaicin jika dibandingkan dengan hibrida hasil persilangan antara grup cabai semi
keriting yang disilangkan dengan semi keriting, cabai semi keriting yang disilangkan
dengan cabai besar.
64
Berdasarkan hasil uji kontras karakter kadar vitamin C yang disajikan pada
Tabel 18, diketahui bahwa grup genotipe tetua memiliki kadar vitamin C yang
berbeda nyata dengan kadar vitamin C yang dimiliki oleh grup genotipe hibrida F1.
Sama halnya dengan hasil uji kontras kadar capsaicin, maka perbedaan kadar vitamin
C yang muncul antara grup tetua dengan grup hibrida diduga disebabkan karena hasil
hibridisasi antara tetua dari hibrida masing-masing, mampu meningkatkan kualitas
buah cabai dengan penambahan kadar vitamin C yang significan ataupun kenurunkan
kualitas buah cabai dengan berkurangnya kadar capsaicin pada hibridanya. Hasil uji
kontras karakter kadar vitamin C, memperlihatkan bahwa hasil persilangan antara
cabai rawit dengan cabai rawit (IPB C20 x IPB C10), memiliki kadar vitamin C yang
tidak berbeda nyata dengan genotipe hibrida F1 lainnya.
Tabel 18. Kontras Karakter Kadar Vitamin C Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida
F1 dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai
No
1.
Grup Kontras
Tetua Selfing VS Hibrida
F Value
Pr>F
7,130 *
0,0183
tn
0,4367
2.
Rawit x Rawit VS Lainnya (Hibrida)
3.
Semi Keriting x Semi Keriting VS Lainnya (Hibrida)
35,560**
<,0001
4.
Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
11,990**
0,0038
5.
Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
0,520
tn
0,4842
6.
Rawit x Rawit VS Rawit x Besar (Hibrida)
0,320
tn
0,5797
7.
Rawit x Rawit VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida)
7,350 *
0,0169
8.
9.
18,510**
0,0007
22,250**
0,0003
11.
Rawit x Besar VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida)
Semi Keriting x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting
(Hibrida)
Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Semi Keriting
(Hibrida)
Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
50,290**
6,170 *
<,0001
0,0262
12.
Rawit x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
11,770**
0,0041
tn
0,1377
10.
13.
Rawit x Besar VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
0,640
2,480
Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, * = nyata pada taraf 5%, tn = tidak nyata
65
Grup cabai semi keriting yang disilangkan dengan grup cabai semi keriting
(genotipe IPB C2 x IPB C15) menghasilkan kadar vitamin C yang berbeda nyata
dengan genotipe hibrida lainnya berdasarkan hasil uji kontras. Beberapa penjelasan
dari hasil uji kontras kadar vitamin C adalah sebagai berikut:
- Genotipe hibrida F1 hasil persilangan antara tetua dari grup cabai rawit dengan
cabai rawit (IPB C20 x IPB C10) berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan
hibrida F1 hasil persilangan tetua grup semi keriting dengan grup cabai semi
keriting (IPB C2 x IPB C15).
- Genotipe IPB C20 x IPB C10 hasil persilangan tetua dari grup cabai rawit dengan
cabai rawit berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan hasil persilangan
genotipe IPB C20 x IPB C15, IPB C20 x IPB C2, IPB C15 x IPB C10 dan IPB C2
x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup cabai semi
keriting.
- Genotipe IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10, hasil persilangan tetua dari
grup cabai rawit dengan grup cabai besar berbeda kadar vitamin C nya jika
dibandingkan genotipe IPB C20 x IPB C15, IPB C20 x IPB C2, IPB C15 x IPB
C10 dan IPB C2 x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup
cabai semi keriting.
- Genotipe IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua dari
grup cabai semi keriting dengan grup cabai besar berbeda kadar vitamin C nya jika
dibandingkan genotipe IPB C2 x IPB C15, hasil persilangan tetua grup cabai semi
keriting dengan grup cabai semi keriting.
- Genotipe IPB C20 x IPB C15, IPB C20 x IPB C2, IPB C15 x IPB C10 dan IPB C2
x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup cabai semi
keriting berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C2 x IPB
C15, hasil persilangan tetua grup cabai semi keriting dengan grup cabai semi
keriting.
- Genotipe IPB C20 x IPB C15, IPB C20 x IPB C2, IPB C15 x IPB C10 dan IPB C2
x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup cabai semi
keriting berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C15 x IPB
66
C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua dari grup cabai semi keriting
dengan grup cabai besar.
- Genotipe IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10, hasil persilangan tetua dari
grup cabai rawit dengan grup cabai besar berbeda kadar vitamin C nya jika
dibandingkan genotipe IPB C2 x IPB C15, hasil persilangan tetua grup cabai semi
keriting dengan grup cabai semi keriting.
- Genotipe IPB C20 x IPB C10, hasil persilangan tetua dari grup cabai rawit dengan
grup cabai rawit tidak berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe
IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua grup cabai semi
keriting dengan grup cabai besar.
- Genotipe IPB C20 x IPB C10, hasil persilangan tetua dari grup cabai rawit dengan
grup cabai rawit tidak berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe
IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit
dengan grup cabai besar.
- Genotipe IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua grup
cabai semi keriting dengan grup cabai besar tidak berbeda kadar vitamin C nya
jika dibandingkan genotipe IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil
persilangan tetua grup cabai semi keriting silang grup cabai besar.
Pendugaan Parameter Genetik
Penggunaan analisis silang dialel dalam pendugaan parameter genetik dapat
dilakukan apabila hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata antar genotipe untuk
karakter yang diuji (Varghese 1976 dalam Jagau 1993). Perbedaan yang nyata pada
uji F menunjukan adanya keragaman diantara genotipe untuk karakter-karakter
yang diuji. Kuadrat tengah genotipe karakter kadar capsaicin dan vitamin C
serta hasil uji F disajikan pada Tabel 19.
67
Tabel 19. Kuadrat Tengah Genotipe Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C
Karakter Yang diamati
Kuadrat Tengah Genotipe
Kadar Capsaicin
7460,87**
Kadar Vitamin C
333,83**
Keterangan : ** = beda nyata pada taraf 1 %
Berdasarkan Tabel 19, hasil uji F menunjukkan bahwa karakter kadar
capsaicin dan kadar vitamin C berpengaruh sangat nyata pada genotipe-genotipe yang
diuji. Hal ini mengindikasikan dapat dilanjutkannya pendugaan parameter genetik
untuk karakter capsaicin dan vitamin C. Hasil pendugaan parameter genetik untuk
karakter kadar capsaicin dan vitamin C disajikan pada Tabel 20.
Interaksi Antar Gen
Nilai dugaan koefisien regresi (b) dari model hubungan antara Wr dengan Vr
dapat digunakan untuk menduga ada tidaknya interaksi gen. Jika nilai b berbeda nyata
dengan 1 maka ada interaksi antara gen dalam menentukan ekspresi dari karakter
yang diamati. Sebaliknya jika nilai b tidak berbeda nyata dengan 1 maka tidak ada
interaksi gen (Roy 2000). Nilai dugaan dari b untuk karakter kadar capsaicin adalah
0,88. Hasil pengujian nilai tersebut pada taraf signifikansi 5% menunjukan nilai
tersebut tidak berbeda nyata dengan satu (nilai p=0,4367 > 0,05). Hal ini dapat
menjadi petunjuk tidak terjadinya interaksi antar gen dalam menetukan kadar
capsaicin pada tanaman cabai. Hasil ini juga menunjukkan bahwa salah satu asumsi
analisis silang dialel dapat terpenuhi yaitu tidak adanya interaksi gen dalam
menentukan ekspresi dari karakter kadar capsaicin.
Berbeda dengan kadar capsaicin, nilai dugaan dari b untuk karakter kadar
vitamin C adalah sebesar 0,25 dengan hasil pengujian pada taraf signifikansi 5%
menunjukan perbedaan yang ntaya dengan satu (nilai p=0,0187 < 0,05). Hal ini
memberi petunjuk terjadinya interaksi antar gen dalam menetukan kadar vitamin C
68
pada tanaman cabai. Dengan adanya interaksi gen dalam eksresi dari karakter kadar
vitamin C maka salah satu asumsi analisis silang diallel tidak terpenuhi.
Tabel 20. Hasil Analisis Pendugaan Parameter Genetik Karakter Kadar Capsaicin dan
Vitamin C pada Cabai dengan Menggunakan Analisis Silang Dialel
Metode Hayman
Parameter Genetik
-
Kadar
Capsaicin
Kadar
Vitamin C
tn
0,25*
Koefisien regresi (b) dari model
hubungan antara Wr dengan Vr (b (WrVr))
0,88
-
Komponen ragam karena pengaruh
aditif (D)
5198,94**
5017,28
-
Komponen ragam karena pengaruh
dominan (H1)
6204,73**
49863,54
6103,26**
44020,16
-
Distribusi gen di dalam tetua (H2)
-
Nilai tengah Fr untuk semua array
(F)
- pengaruh dominansi (h2)
-
-57,50
Komponen ragam karena pengaruh
lingkungan (E)
Rata-rata
((H1/D)1/2)
tingkat
192,83
dominansi
113,79
tn
tn
tn
tn
-9351,66
-890,97
1393,38
1,09
3,15
-
Proporsi gen-gen dengan pengeruh
positif dan negatif dalam tetua (H2/4H1)
0,25
0,22
-
Proporsi gen
resesif (Kd/Kr)
1,04
1,00
-0,009
-0,020
0,37
0,09
dominan
terhadap
- Jumlah kelompok gen yang mengendalikan
sifat dan menyebabkan dominansi (h2/H2)
-
Koefisien korelasi (R)
-
Heritabilitas arti luas (h2bs)
97,29
92,19
-
Heritabilitas arti sempit (h2ns)
60,90
30,46
Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, * = nyata pada taraf 5%, tn = tidak nyata
Pengaruh Aditif (D) dan Dominan (H1)
tn
tn
tn
tn
tn
69
Pada Tabel 20 terlihat bahwa pengaruh aditif (D) dan dominan (H1) berperan
sangat nyata terhadap karakter kadar capsaicin. Pengaruh aditif adalah sebesar
5.198,94 dan pengaruh dominan adalah 6.204,73. Hal ini menunjukkan bahwa
karakter kadar capsaicin pada tanaman cabai untuk populasi dialel dipengaruhi
oleh aksi gen aditif dan gen dominan, dengan pengaruh gen dominan lebih
besar dari gen aditif.
Data pada tabel 20 juga memperlihatkan pengaruh
dan dominan untuk karakter
kadar
aditif
vitamin C tidak nyata (D = 5.017,28 dan
H1 = 49.863,54). Karakter kadar vitamin C pada tanaman cabai tidak dipengaruhi
oleh aksi gen dominan dan gen aditif melainkan gen epistasis.
Distribusi Gen di dalam Tetua
Nilai H2 menunjukan distribusi gen di dalam tetua. Berdasarkan hasil analisis,
nilai H2 untuk karakter kadar capsaicin sebesar 6.103,26 berbeda nyata. Hal ini
menunjukan bahwa gen-gen yang menentukan pewarisan sifat kadar capsaicin tidak
menyebar secara merata di dalam tetua. Penyebabnya adalah karena dari 5 tetua yang
digunakan, kecenderungan kadar capsaicin tinggi hanya dimiliki oleh tetua IPB C10.
Gen-gen yang menentukan pewarisan sifat kadar vitamin C menyebar secara merata
di dalam tetua yang ditunjukan dengan nilai H2 sebesar 44.020,16 tidak berbeda
nyata. Hal ini terjadi diduga disebabkan karena tetua yang digunakan tidak banyak
dan dari 5 tetua yang digunakan 3 tetua memiliki kadar vitamin C yang relatif lebih
tinggi yaitu tetua IPB C10, IPB C20 dan IPB C15.
Proporsi gen-gen positif akan terlihat dari besarnya nilai H1 terhadap H2. Jika
H1 > H2 maka gen-gen yang banyak adalah gen-gen positif, sebaliknya jika H1 < H2
maka gen-gen negatif lebih banyak daripada gen-gen positif. Gen-gen yang terlibat
lebih banyak dalam menentukan karakter kadar capsaicin dan vitamin C pada
tanaman cabai adalah gen-gen positif. Hal ini terlihat dari nilai H1 > H2 (Tabel 20).
Tingkat Dominansi
Nilai (H1/D)1/2 memperlihatkan besarnya pengaruh dominansi. Menurut
Hayman (1954), nilai (H1/D)1/2 lebih dari satu menunjukkan adanya over dominansi,
70
jika nilainya antara nol dan satu menunjukkan dominansi parsial (dominan parsial
atau resesif parsial).
Hasil analisis untuk karakter kadar capsaicin menunjukan nilai dugaan ratarata tingkat dominasi lebih besar dari satu yaitu 1,09. Ini artinya bahwa tingkat
dominansi gen pengendali karakter kadar capsaicin tergolong over dominansi. Untuk
karakter kadar vitamin C nilai dugaan rata-rata tingkat dominasi juga lebih besar dari
satu (3,15) namun tingkat dominansi gen pengendali karakter kadar vitamin C tidak
dapat dipakai akibat adanya pengaruh interaksi gen antar lokus (Hayman 1954).
Simpangan Rata-rata F1 dari Rata-rata Tetua
Simpangan rata-rata F1 dari rata-rata tetua (h2) tidak nyata untuk kedua
karakter (kadar capsaicin dan vitamin C). Nilai rata-rata F1 dan rata-rata tetua
disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Nilai Rata-rata F1 dan Tetua Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C
Karakter Genetik
Rata – rata
F1
Tetua
tn
Capsaicin
479,85
477,40
Viamin C
80,05
79,10
tn
Keterangan : tn = tidak nyata antar rata-rata F1 dengan rata-rata tetua
Proporsi Gen Dominan terhadap Gen Resesif
Banyaknya gen-gen dominan di dalam tetua tercermin dari nilai proporsi gengen dominan dan resesif dalam tetua (Kd/Kr). Apabila Kd/Kr > 1 maka gen-gen
dominan lebih banyak di dalam tetua. Sebaliknya, apabila Kd/Kr < 1 maka gen-gen
resesif lebih banyak di dalam tetua. Hasil analisis untuk karakter kadar capsaicin
menunjukan nilai Kd/Kr > 1 yang artinya adalah gen-gen dominan lebih banyak di
dalam tetua. Untuk karakter kadar vitamin C nilai Kd/Kr = 1,00 ini berarti tidak ada
pengaruh dominan di dalam tetua, yang juga menunjukan bahwa nilai Kd/Kr tidak
dapat dipakai akibat pengaruh interaksi gen antar lokus (Hayman 1954).
71
Arah dan Urutan Dominansi
Untuk menentukan urutan dominansi maka apabila nilai koefisien korelasi (r)
antara jumlah peragam dan ragam array (Wr+Vr) terhadap rata-rata tetua (Yr) positif
menunjukkan bahwa nilai kuantifikasi karakter yang rendah dominan terhadap yang
tinggi dan sebaliknya nilai koefisien korelasi (r) antara (Wr+Vr) terhadap Yr negatif
menunjukkan bahwa nilai kuantifikasi karakter yang tinggi dominan terhadap yang
rendah.
Hasil analsis menunjukan nilai koefisien korelasi (r) antara (Wr+Vr)
terhadap Yr adalah positif untuk karakter kadar capsaicin (0,37) dan kadar vitamin
C (0,09). Untuk itu arah urutan dominansi tetua untuk kedua karakter ini, nilai
kuntifikasi tetua yang rendah dominan terhadap yang tinggi.
Urutan dominansi tetua untuk karakter kadar capsaicin adalah
IPB C15
(2.639,88), IPB C9 (2.726,62), IPB C2 (2.829,38), IPB C10 (6.547,84), IPB C20
(12.481,31). Nilai sebaran Wr + Vr dari karakter kadar capsaicin dan vitamin C
disajikan pada Tabel 22. Urutan dominansi ini terlihat pula pada Gambar 6.
Tabel 22. Sebaran Wr + Vr dari Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C
Genotipe
Kadar Capsaicin
Kadar Vitamin C
IPB C2
2.829,38
126,24
IPB C9
2.726,62
579,96
IPB C10
6.547,84
307,19
IPB C15
2.639,88
-2,33
IPB C20
12.481,31
89,88
Berdasarkan Gambar 6, tetua IPB C15 merupakan tetua yang paling banyak
mengandung gen dominan, karena paling dekat dari titik nol. Sebaliknya untuk
tetua IPB C20 yang paling banyak mengandung gen resesif. Berdasarkan urutan
ini dan dihubungkan kadar capsaicin yang tinggi pada genotipe tetua IPB C10 maka
72
kadar capsaicin ditentukan oleh gen resesif. Hal ini sesuai dengan yang
disampaikan oleh Syukur et al. (2007), bahwa semakin dekat letak tetua dengan
pangkal persilangan sumbu x-y atau titik nol maka tetua tersebut paling banyak
mengandung gen dominan, sebaliknya makin jauh titik tetua dari titik nol maka
tetua tersebut paling banyak mengandung gen resesif.
Gambar 6. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Capsaicin
73
Gambar 7. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Vitamin C
Urutan dominansi tetua untuk karakter kadar vitamin C (Gambar 7)
adalah IPB C15 (-2,33), IPB C20 (89,88), IPB C2 (126,24), IPB C10 (307,19),
IPB C9 (579,96). Tetua IPB C9 adalah tetua yang paling banyak mengandung gen
resesif karena letaknya paling jauh dari titik nol, sementara tetua IPB C15 paling
banyak mengandung gen dominan karena letaknya berada paling dekat dengan
perpotongan antara sumbu X dan Y atau titik nol. Berdasarkan urutan ini dan
dihubungkan kadar vitamin C yang tinggi pada genotipe tetua IPB C10, IPB C20 dan
IPB C15 maka kadar vitamin C ditentukan oleh gen dominan.
Jumlah Gen Pengendali Karakter
Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi
untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C tercermin dari nilai h2/H2. Berdasarkan
hasil analisis, nilai dugaan dari h2/H2 untuk karakter kadar capsaicin adalah -0.009
dan untuk karakter kadar vitamin C adalah -0.020. Nilai-nilai ini mengindikasikan
bahwa kemungkinan banyaknya kelompok gen yang mengendalikan kadar capsaicin
hanya satu kelompok gen pengendali. Namun untuk karakter kadar vitamin C, jumlah
kelompok gen yang mengendalikan karakter tidak dapat ditentukan akibat adanya
interaksi gen antar lokus.
Heritabilitas
Karakter kadar capsaicin memiliki nilai heritabilitas arti luas (h2bs) sebesar
97,29 % dikategorikan tinggi. Ini menunjukan ragam yang muncul dikendalikan oleh
faktor genetik. Nilai heritabilitas arti luas yang tinggi diduga disebabkan oleh aksi
gen dominan dan aditif, sesuai dengan hasil analisis bahwa pengaruh aditif (D) dan
dominan (H1) berpengaruh sangat nyata. Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h2ns)
untuk karakter capsaicin adalah kadar capsaicin sebesar 60,90 % dikategorikan tinggi.
Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter kadar vitamin C adalah
92,19 % tergolong dalam kategori tinggi yang mengartikan bahwa ragam yang
74
muncul juga dipengaruhi oleh faktor genetik namun bukan akibat aksi gen dominan
dan aditif sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Nilai
heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) untuk karakter kadar vitamin C adalah 30,46 %
tergolong sedang.
Daya Gabung
Hasil analisis ragam daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus
(DGK) dengan menggunakan metode II Griffing disajikan pada Tabel 23. Nilai daya
gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (GDK) karakter kadar capsaicin dan
vitamin C disajikan pada Tabel 24.
Tabel 23. Analisis Ragam Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus
(DGK) karakter kadar capsaicin dan vitamin C.
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Kuadrat Tengah
Kadar Capsaicin
Kadar Vitamin C
Ulangan
1
667,41
10,19
DGU
4
9.037,12**
267,81**
DGK
10
1.607,76**
126,55**
Galat
14
108,91
12,73
Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %
Daya Gabung Umum (DGU)
Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan dengan menggunakan
metode II Griffing (Griffing 1956) maka pengaruh daya gabung umum (DGU)
menunjukan hasil yang sangat nyata untuk kedua karakter yang diamati. Nilai daya
gabung umum dan daya gabung khusus karakter kadar capsaicin dan kadar vitamin C
beberapa genotipe tanaman cabai disajikan pada Tabel 24.
Nilai daya gabung umum untuk tetua IPB C10 merupakan nilai DGU yang
paling tinggi untuk kedua karakter yang diauji, yaitu 62,40 untuk karakter kadar
capsaicin dan 9,50 untuk karakter kadar vitamin C. Tingginya nilai daya gabung
75
umum genotipe IPB C10 pada karakter kadar capsaicin dan vitamin C, dapat
diartikan sebagi tingginya kemampuan dari genotipe IPB C10 untuk mewariskan
sifat atau karakter kadar capsaicin dan vitamin C kepada keturunannya, dimana
penampilan rata-rata keturunan merupakan hasil rata-rata dari persilangan genotipe
IPB C10 dengan 4 genotipe lainnya. Ini menunjukan peluang untuk pembentukan
varietas bersari bebas sangat mungkin untuk dilakukan.
Tabel 24. Nilai Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK)
Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C 5 Genotipe Tetua dan 10
Genotipe Hibrida F1 Cabai
Genotipe
Kadar Capsaicin
Kadar Vitamin C
Rata-rata
DGU
Rata-Rata
IPB C10
602,57
62,40
93,19
9,50
IPB C9
439,90
-13,74
75,42
-0,33
IPB C15
449,82
-10,63
76,91
-5,60
IPB C2
418,97
-30,10
72,95
-5,40
IPB C20
475,75
-7,94
81,51
1,53
DGK
DGU
DGK
IPB C9 x IPB C10
499,19
-28,51
115,44
25,94
IPB C15 x IPB C10
504,91
-25,89
67,79
-16,15
IPB C2 x IPB C10
494,77
-16,56
84,24
0,10
IPB C20 x IPB C10
606,98
73,49
92,86
1,80
IPB C15 x IPB C9
517,89
63,22
71,94
-2,46
IPB C2 x IPB C9
467,59
32,39
61,59
-13,02
IPB C20 x IPB C9
413,60
-43,76
80,17
-1,36
IPB C2 x IPB C15
447,02
8,71
71,66
2,62
IPB C20 x IPB C15
430,32
-30,14
75,79
-0,17
IPB C20 x IPB C2
416,21
-24,79
79,06
2,89
Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, DGU = daya gabung umum, DGK = daya
gabung khusus
76
Nilai DGU dari genotipe tetua IPB C2, IPB C9, IPB C15 dan IPB C20 untuk
karakter kadar capsaicin bernilai negatif. Hal ini berarti keempat genotipe tetua
tersebut memiliki gaya gabung atau kemampuan untuk mewariskan sifat kepada
keturunannya lebih rendah dibandingkan dengan tetua IPB C10. Semakin besar nilai
negatifnya (misalnya nilai DGU -30,10 untuk genotipe IPB C2) maka semakin rendah
kemampuan daya gabung tetua tersebut. Untuk karakter kadar vitamin C, selain
genotipe IPB C10, maka genotipe IPB C20 memiliki nilai DGU positif, yang berarti
kedua genotipe tersebut memiliki daya gabung yang baik. Nilai DGU untuk genotipe
IPB C2, IPB C9 dan IPB C15 bernilai negatif, sehingga daya gabung dari ketiga
genotipe tetua ini rendah.
Daya Gabung Khusus (DGK)
Daya gabung khusus merupakan konsekuensi dari interaksi gen intra alel
(dominan) dan interaksi gen antar alel (epistasis) (Henderson 1952 dalam Syukur et
al. 2007). Nilai daya gabung khusus yang tinggi menunjukkan adanya pengaruh aksi
gen non aditif yang tinggi pada sifat tersebut (Mahmood et al. 2002). Pada karakter
kadar capsaicin, nilai daya gabung khusus tertinggi terbentuk pada persilangan
genotipe IPB C20 dengan IPB C10 yaitu sebesar 73,49. Tiga kombinasi persilangan
antara genotipe tetua juga memiliki nilai gaya gabung khusus yang positif. Genotipegenotipe tersebut adalah IPB C15 x IPB C9, IPB C2 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB
C15. Nilai DGK yang tinggi dan positif menunjukan bahwa kombinasi persilangan
dari gentotipe – genotipe tetua mampu menghasilkan keturunan atau hibrida yang
unggul. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1979),
bahwa nilai daya gabung khusus yang tinggi akan terbentuk akibat kemampuan tetua
untuk menghasilkan turunan yang unggul akibat disilangkan dalam kombinasi yang
spesifik dengan tetua lain.
Hibrida hasil persilangan genotipe tetua IPB C20 dengan IPB C9 memiliki
nilai DGK terkecil dan negatif yaitu sebesar -43,76 untuk karakter kadar capsaicin.
Hal ini berarti persilangan antara kedua tetua tersebut tidak memiliki kombinasi yang
77
spesifik. Nilai DGK tertinggi untuk karakter kadar vitamin C, adalah sebesar 25,94
pada kombinasi persilangan antara genotipe tetua IPB C9 dengan IPB C10 dan nilai
DGK terendahnya adalah sebesar -16,15 pada kombinasi persilangan genotipe tetua
IPB C15 silang IPB C10. Nilai Daya Gabung Khusus yang tinggi menggambarkan
adanya kemungkinan untuk tetua-tetua yang digunakan membentuk varietas hibrida.
SIMPULAN
1.
Kadar capsaicin tidak memiliki hubungan korelasi dengan kadar vitamin C dalam
buah cabai. Hal ini menyebabkan hasil analisis hubungan korelasi antara kedua
karakter pada percobaan evaluasi kualitas hasil tidak terbukti kebenarannya.
2.
Sebagian besar genotipe hibrida F1 memiliki kadar capsaicin dan vitamin C yang
berbeda berdasarkan jenis dari tetua yang membentuk hibrida tersebut.
3.
Karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh adanya pewarisan ekstrakromosomal
dan nilai heterosis serta heterobeltiosis tertinggi terbentuk pada hibrida F1 IPB
C15 x IPB C9 yaitu sebesar 16,42 dan 15,13.
4.
Karakter kadar vitamin C tidak dipengaruhi oleh pewarisan ekstrakromosomal
dan nilai heterosis serta heterobeltiosis tertinggi terbentuk pada hibrida F1 IPB
C9 x IPB C10 yaitu sebesar 36,33 dan 23,87.
5.
Hasil pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar capsaicin adalah tidak
terjadi interkasi gen antar lokus, aksi gen aditif dan gen dominan berperan sangat
nyata, gen-gen tidak menyebar secara merata didalam tetua, satu kelompok gen
yang mengendalikan karakter, karakter kadar capsaicin ditentukan oleh gen-gen
resesif, nilai heritabilitas artiluas dan heritabilitas arti sempit tergolong tinggi.
6.
Pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar vitamin C menunjukkan
adanya interaksi gen antar lokus, aksi gen aditif dan gen dominan tidak berperan
nyata melainkan gen epistasis, gen-gen menyebar secara merata didalam tetua,
kelompok gen yang menendalikan karakter tidak dapat ditentukan akibat adanya
interaksi gen, nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi dan heritabilitas arti
sempit tergolong sedang.
78
7.
Genotipe IPB C10 mempunyai daya gabung umum (DGU) yang paling tinggi
untuk kedua karakter (capsaicin dan vitamin C) dan nilai daya gabung khusus
(DGK) yang tertinggi untuk karakter kadar capsaicin dihasilkan pada genotipe
hibrida F1 IPB C2 x IPB C10, sementara untuk karakter kadar vitamin C pada
genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C10.
DAFTAR PUSTAKA
do Rego ER, do Rego MM, Finger FL, Cruz CD, Casali VWD. 2009. A diallel study
of yield components and fruit quality in chilli pepper (Capsicum baccatum).
Euphytica 168:275-287.
Geleta, Legesse F, Labuschagne, Maryke T. 2006. Combining ability and heritability
for vitamin C and total soluble solids in pepper (Capsicum annuum L.). J. Sci.
Food Agric. 86:1317-1320.
Greenleaf WH. 1986. Pepper Breeding. Basset MJ, editor. Breeding Vegetables
Crops. Conecticut: AVI Publishing Co.
Griffing B. 1956. Concept of general and specific combining ability in relation to
diallel crossing system. Aust Biol Sci 9(4):463-493.
Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitative Genetics in Maize Breeding, Second
Edition. America: Lowa State University Press.
Hayman BI. 1954a. The Theory And Analysis of Diallel Cross. Genetics 39:
789 – 809
Herbert RB. 1995. Biosintesis Metabolisme Sekunder (terjemahan). Edisi kedua.
School of Chemistry. University of Leeds. New York. USA. 243 hal.
Herison C, Rustikawati, Sudarsono. 2001. Studi potensi heterobeltiosis pada
persilangan beberapa galur cabai merah (Capsicum annuum L.). Bul. Agron.
29(1):23–26.
Jagau J. 1993. Analisis Silang Dialel Untuk Menentukan Parameter Genetik Karakter
Agronomik Yang Berkaitan Dengan Ketenggangan Terhadap Salinitas Pada
Padi Sawah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Kamble C, Mulge R, Madalageri MB. 2009. Combining ability for earliness and
productivity in sweet pepper (Capsicum annuum L.). Karnataka J. Agric. Sci.
22:151-154.
Kirana R, Sofiari E. 2007. Heterosis dan heterobeltiosis pada persilangan 5 genotipe
cabai dengan metode half dialel. J.Hort. 17:111-117
79
Kusandriani Y, Permadi H. 1996. Pemuliaan Tanaman Cabai. Didalam: Duriat AS,
Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. Editor.
Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. hal 28-35.
Mahmood T. et al. 2002. Combining studies in Rice (Oryza sativa L.) under salinized
soil conditions. Asian J of Plant Sci 2:88-90.
Marame F, Dessalegne L, Fininsa C, Sigvald R. 2009. Heterosis and heritability in
crosses among Asian and Ethiopian parents of hot pepper genotypes. Euphytica
168:235-247.
Nasir M. 1999. Efek heterosis dan heterobeltiosis pada tanaman lombok (Capsicum
annuum L.). Habitat 10(105):39-43.
Poehlman JM. 1983. Breeding Field Crops. 2nd edition. Westport: The AVI
Publishing Company, Inc. 486p.
Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New delhi:
Narosa Publishing House.
Sousa JA de, Maluf WR. 2003. Diallel analysis and astimation of genetic parameters
of hot pepper (Capsicum chinense Jacq.). Sci Agric 60(1):105-113.
Seneviratne KGS, Kannangara KN. 2004. Heterosis, heterobeltiosis and commercial
heterosis for agronomic traits and yield of chilli (Capsicum annuum L.). Annals
of The Sri Lanka Department of Agriculture 6:195-201.
Singh J. 1987. Field Manual of Breeding Procedures. India: Indian Agricultural
Research Institut New Delhi,
Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic
Analysis. Revised Edition. New Delhi: Kalyani.
Sujiprihati S, Yunianti R, Syukur M, Undang. 2007. Pendugaan nilai heterosis dan
daya gabung beberapa komponen hasil pada persilangan dialel penuh enam
genotipe cabai (Capsicum annuum L.). Bul. Agron. 35:28-35.
Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2007. Pewarisan ketahanan cabai
(Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum acutatum. Bul. Agron. 35(2):112-117.
Welsh JR. 1981. Fundamental of Plant Genetic and Breeding. Terj. J. P. Mogea.
1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 224 hal.
Zou XX, Ma YQ, Liu RY, Zhang ZQ, Cheng WC, Dai XZ, Li XF, Zhou QC. 2007.
Combining ability analyses of net photosynthesis rate in pepper (Capsicum
annuum L.). Agric. Sci. in China 6:159-166.
80
PEMBAHASAN UMUM
Perbaikan varietas tanaman cabai melalui program pemuliaan tanaman
ditujukan untuk menghasilkan varietas cabai baru yang memiliki potensi hasil tinggi
dengan kualitas buah yang baik sesuai selera konsumen. Kualitas buah yang
dimaksud merupakan kombinasi dari penampilan fisik buah, bebas dari serangan
hama dan penyakit serta kandungan produk metabolit didalam buah cabai tersebut.
Penelitian terhadap genotipe-genotipe tanam cabai, baik untuk mengetahui potensi
produksi, kadar produk metabolit sekunder, maupun pendugaan parameter genetiknya
pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka menghasilkan cabai varietas baru yang
berproduksi tinggi dan sesuai dengan selera konsumen.
Empat belas genotipe yang diuji pada percobaan awal memperlihatkan adanya
keragaman yang cukup tinggi diantara genotipe-genotipe tersebut. Hal ini terlihat dari
nilai koefisien keragaman genetik dari karakter yang diamati menunjukkan kriteria
tinggi kecuali karakter kadar capsaicin yang memiliki nilai koefisien keragaman
genetik dengan kriteria sedang. Menurut Kusandriani dan Permadi (1996) keragaman
genetik yang tinggi merupakan potensi yang besar untuk mengembangkan varietas
cabai yang memiliki kuantitas dan kualitas hasil baik melalui program pemulian
tanaman. Dengan keragaman genetik yang tinggi ini maka sebagian besar karakter
memiliki peluang terhadap usaha-usaha perbaikan. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Allard (1960) bahwa semakin tinggi nilai KKG maka peluang
dalam usaha perbaikan yang efektif dalam seleksi lebih besar pula sehingga dapat
meningkatkan kemajuan genetik hasil seleksi.
Selain itu genotipe-genotipe yang diuji pada tahap awal percobaan ini
memperlihatkan peran faktor genetik yang sangat besar terhadap terekspresi karakterkarakter yang diamati. Hal ini terlihat pada nilai heritabilitas dari karakter-karakter
yang diamati tergolong tinggi. Nilai heritabilitas ini juga dapat dipakai untuk
menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi. Apabila
81
pengaruh lingkungan besar maka terekspresinya karakter akan sangat ditentukan oleh
kondisi optimum lingkungan bagi pertumbuhan tanaman.
Bobot buah per tanaman merupakan karakter yang menggambarkan produksi
akhir dari tanaman cabai apabila dikonversi per satuan luas tertentu. Hasil
analisis memperlihatkan nilai tengah bobot buah per tanaman adalah sebesar
366,89 g, dengan kisaran antara 102,69 g (IPB C10), hingga 501,91 g (IPB
C129). Nilai-nilai penting bobot buah per tanaman ini apabila dihubungkan dengan
peran faktor genetik yang tercermin dari nilai heritabilitas yang tergolong tinggi
(62,31 %), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor genetik sangat berperan
dalam menentukan bobot buah per tanaman tersebut. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
apabila genotipe cabai yang digunakan memiliki genetik yang mengekspresikan buah
cabai besar maka secara otomatis bobot buah dari genotipe tersebut lebih besar
dibandingkan dengan jenis cabai dari genotipe yang ukuran buahnya kecil (misalnya
cabai rawit). Perubahan lingkungan yang dilakukan seperti apapun akan tetap
menghasilkan bobot buah dari jenis cabai besar lebih tinggi dari jenis cabai rawit.
Dalam mempelajari suatu sifat, maka hubungan korelasi antara sifat sangat
baik diketahui sebagai indikator untuk memperbaiki suatu sifat melalui sifat lainnya
(Baihaki 2000). Hasil analisis korelasi antara karakter kadar vitamin C dan kadar
capsaicin dari 14 genotipe yang diseleksi, menunjukkan adanya hubungan korelasi
yang positif. Setelah dilakukan analisis ulang pada lima genotipe terpilih sebagai
tetua dan hibridanya, dihasilkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kedua karakter
tersebut. Oleh sebab itu untuk memperbaiki karakter kadar capsaicin dan vitamin C
harus dilakukan secara terpisah.
Hasil dari percobaan 1 diperoleh lima genotipe tetua yang mempunyai
produksi tinggi dengan karakter beragam diantaranya kadar capsaicin dan vitamin C.
Kelima genotipe tersebut adalah genotipe IPB C2 grup cabai semi keriting (capsaicin
rendah, vitamin C rendah), genotipe IPB C9 grup cabai besar (capsaicin sedang,
vitamin C rendah), genotipe IPB C10 grup cabai rawit (capsaicin tinggi, vitamin C
tinggi), genotipe IPB C15 grup cabai semi keriting (capsaicin sedang, vitamin C
sedang) dan genotipe IPB C20 grup cabai rawit (capsaicin sedang, vitamin C sedang).
82
Keragaman penampilan yang terlihat dari suatu tanaman (fenotipe) ditentukan
oleh keragaman
genetik, keragaman lingkungan dan interaksi antara keduanya.
Faktor genetik yang menjadi fokus perhatian dalam pemuliaan tanaman karena faktor
ini diwariskan dari tetua kepada turunannya. Keragaman genetik merupakan
keragaman yang disebabkan oleh pengaruh aditif, pengaruh dominansi dan interaksi
antar gen
(Falconer 1981). Evalusi terhadap hibrida F1 perlu dilakukan untuk
mengetahui bagaimana sifat-sifat yang dikendalikan secara genetik itu diwariskan
dari kedua tetuanya kepada turunannya.
Berdasarkan hasil evaluasi hibrida F1, diketahui bahwa tetua betina
memberikan pengaruh terhadap karakter kadar capsaicin namun tidak ada
pengaruhnya pada karakter kadar vitamin C. Seperti diketahui bahwa pada tanaman,
umumnya dikenal 2 macam pewarisan ekstrakromosomal yaitu pewarisan sitoplasmik
(pewarisan maternal) dan efek maternal (Yunianti et al. 2006). Pewarisan sitoplasmik
terjadi apabila faktor yang menentukan karakter zuriat terdapat diluar nukleus.
Menurut Suryo (2007) pewarisan sitoplasmik terjadi karena sitoplasma gamet betina
biasanya jauh lebih banyak dari pada sitoplasma gamet jantan. Efek maternal terjadi
apabila genotipe nukleus dari tetua betina menentukan fenotipe turunannya, tanpa
dipengaruhi oleh tetua jantan sehingga apapun genotipe turunannya, fenotipenya akan
sama dengan tetua betina.
Persilangan diantara genotipe tetua pada percobaan ini dihasilkan perbedaan
antara hibrida F1 dengan F1R untuk karakter kadar capsaicin. Dengan demikian
karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh pewarisan ekstrakromosomal. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukan oleh Gardner et al. (1990) bahwa apabila suatu
karakter dikendalikan oleh tetua betina (pewarisan ekstrakromosomal), keturunan
persilangan resiproknya (F1R) akan memberikan hasil yang berbeda dari F1-nya, dan
keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina. Namun demikian
pengaruh pewarisan ekstrakromosomal dimaksud, apakah akibat aksi gen diluar inti
ataukah gen di dalam inti sel, belum dapat diketahui secara pasti sehingga
pembuktian yang lebih mendalam khususnya dengan pendekatan molekuler masih
perlu dilakukan. Dengan adanya pengaruh pewarisan ekstrakromosomal ini
83
menyebabkan salah satu asumsi dilaksanakan persilangan dialel tidak terpenuhi.
Untuk karakter kadar vitamin C, asumsi tidak adanya pewarisan ekstrakromosomal
untuk persilangan dialel terpenuhi.
Pendugaan heterosis dan heterobeltiosis untuk karakter kadar capsaicin pada
hibrida yang diuji menunjukkan genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki
nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi. Hal ini berarti kadar capsaicin yang
terbentuk pada genotipe IPB C15 x IPB C9 mengalami peningkatan kadar capsaicin
melebihi salah satu tetua terbaik (IPB C15). Pada karakter kadar vitamin C, genotipe
hibrida F1 IPB C9 x IPB C10 yang berasal dari hasil persilangan cabai besar dengan
cabai rawit, menunjukkan nilai heterosis dan heterobeltiosis yang tinggi pula.
Peningkatan kadar capsaicin dan vitamin C pada genotipe – genotipe hibrida F1 ini
diduga disebabkan kedua tetua dari hibrida F1 secara genetik berbeda yaitu dari jenis
cabai semi keriting dengan cabai besar (capsaicin) dan jenis cabai besar dengan cabai
rawit (vitamin C). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Singh (1987)
bahwa untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, maka tetua galur murni
berasal dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara genetik sehingga
memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan. Ragam genetik
aditif merupakan basis utama bagi heterosis.
Pendugaan parameter genetik pada percobaan ini menggunakan pendekatan
analisis silang dialel. Hal ini disebabkan karena pendekatan ini memiliki keunggulan
yaitu pendugaan parameter genetik telah dapat dilakukan pada generasi F1, tanpa
harus membentuk populasi F2, BCP1, ataupun BCP2.
Hayman (1961)
mengemukakan bahwa analisis dialel adalah alat penting untuk memilih tetua terbaik
dalam program pemuliaan tanaman. Hasil uji terhadap nilai dugaan b untuk karakter
kadar capsaicin menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan satu (nilai
p=0,4367 > 0.05). Hal ini dapat menjadi petunjuk tidak terjadinya interaksi antar gen
dalam menetukan kadar capsaicin pada tanaman cabai. Untuk karakter kadar vitamin
C, nilai dugaan b menunjukkan perbedaan yang nyata sehingga terjadi interaksi gen
antar lokus dalam menentukan karakter kadar vitamin C. Adanya interaksi antar gen
pada lokus yang berbeda menunjukkan bahwa dalam pewarisan karakter kadar
84
vitamin C tersebut terdapat sekurang-kurangnya peran dua lokus yang berbeda.
Dengan adanya interaksi gen dalam ekspresi dari karakter kadar vitamin C maka
salah satu asumsi analisis silang dialel tidak terpenuhi.
Menurut Hayman (1954), bahwa adanya tipe interaksi komplementer akan
menggeser garis regresi (Wr,Vr), memperbesar nilai (H1/D)1/2, menekan nilai h2/H2,
tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap penduga frekwensi gen (H2/4H1);
sedangkan tipe interaksi duplikasi akan menekan nilai h2/H2, meningkatkan proporsi
gen dominan (Kd/Kr), tetapi kurang mempengaruhi (H1/D)1/2, (H2/4H1), dan garis
regresi (Wr,Vr). Dengan memperhitungkan jenis interaksi gen yang ada, maka nilai
pendugaan parameter tingkat dominansi (H1/D)1/2, jumlah gen pengendali karakter
(h2/H2), (H2/4H1), dan proporsi gen dominan terhadap gen resesif (Kd/Kr) untuk
karakter kadar vitamin C tidak dapat digunakan.
Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi
untuk karakter kadar capsaicin sekurang-kurangnya satu kelompok gen pengendali,
sementara karakter kadar vitamin C tidak dapat dibuktikan karena adanya efek
interaksi gen. Gen-gen yang menentukan pewarisan sifat
kadar capsaicin tidak
menyebar secara merata di dalam tetua, namun gen-gen yang menentukan kadar
vitamin C menyebar merata di dalam tetua. Hal ini diduga disebabkan dari 5 tetua
yang digunakan, kadar capsaicin tinggi hanya dimiliki oleh satu tetua yaitu IPB C10,
sedangkan untuk kadar vitamin C yang tinggi terdapat pada 3 tetua yaitu IPB C10,
IPB C20 dan IPB C15. Untuk mengetahui lebih pasti tentang distribusi gen didalam
tetua maka jumlah tetua yang digunakan dalam percobaan yang akan datang
sebaiknya diperbanyak.
Pengaruh dominan dan interaksi antar gen merupakan pengaruh gen non
aditif. Pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri seperti cabai, sebenarnya seleksi harus
dilakukan unuk pengaruh aditif dengan harapan dapat mengumpulkan genotipegenotipe superior. Seleksi menjadi tidak efektif jika genotipe superior tersebut
ditentukan oleh pengaruh dominan dan interaksi gen (Poehlman 1983). Besarnya
pengaruh non aditif ini akan memperkecil nilai heritabilitas arti sempit. Pada karakter
kadar capsaicin, seharusnya akibat pengaruh gen dominan maka nilai heritabilitas arti
85
sempit menjadi kecil namun hasil yang diperoleh nilai heritabilitas arti sempit masih
tergolong tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena pengaruh maternal seperti yang
telah dibahas sebelumnya. Untuk karakter kadar vitamin C, nilai heritabilitas
tergolong kecil akibat pengaruh dari adanya interaksi gen. Hal ini menunjukan peran
gen non aditif yaitu epistasis lebih besar sehingga pelaksanaan seleksi bagi karakter
kadar vitamin C sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, kadar capsaicin ditentukan oleh gen
resesif namun kadar vitamin C ditentukan oleh gen dominan. Sudjindro et al. (1991)
yang melakukan penelitian pada beberapa kultivar kenaf (Hibiscus cannabinus L.)
menghasilkan bahwa semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu
x-y atau titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen dominan,
sebaliknya makin jauh titik tetua dari titik nol maka tetua tersebut paling
banyak mengandung gen resesif.
Heritabilitas merupakan parameter paling penting dalam pemuliaan tanaman.
Semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat atau karakter yang diseleksi, maka
semakin tinggi peningkatan sifat/karakter yang diperoleh setelah seleksi. Tingginya
nilai heritabiltas suatu karakter menunjukkan bahwa korelasi antara ragam fenotipik
dan ragam genetik yang tinggi. Pada kondisi tersebut seleksi individu sangat efektif
dilakukan, sebaliknya jika nilai heritabilitas rendah, maka sebaiknya seleksi
dilakukan berdasarkan seleksi kelompok. Heritabilitas merupakan bagian dari
keragaman total pada sifat-sifat yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara
tanaman-tanaman
yang diamati atau dengan kata lain heritabilitas merupakan
perbandingan antara ragam genetik terhadap ragam fenotipik. Ragam fenotipik
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Ada dua pengertian tentang heritabilitas. Pertama, heritabilitas dalam arti luas
(h2bs), yaitu perbandingan antara ragam genetik yang merupakan gabungan dari
ragam genetik aditif, dominan dan epistasis, dengan ragam fenotipik. Heritabilitas
dalam arti luas hanya dapat menjelaskan berapa bagian dari keragaman fenotipik
yang disebabkan oleh pengaruh genetik dan berapa bagian pengaruh faktor
lingkungan, namun tidak dapat menjelaskan proporsi keragaman fenotipik pada tetua
86
yang dapat diwariskan pada turunannya. Diketahui bahwa genotipe suatu tanaman
tidak diwariskan secara keseluruhan pada turunannya. Keunggulan suatu tanaman
yang disebabkan oleh gen-gen yang beraksi secara dominansi dan epistasis akan
terpecah pada saat proses pindah silang dan segregasi dalam meoisis. Kedua,
heritabilitas dalam arti sempit (h2ns), yaitu perbandingan antara ragam genetik additif
dengan ragam fenotipik. Heritabilitas arti sempit menunjukkan bagian atau persentase
dari keragaman fenotipik yang disebabkan oleh keragaman genetik additif. Semakin
tinggi nilai (h2ns), dapat diartikan bahwa keragaman sifat lebih banyak dipengaruhi
oleh perbedaan genotipe tanaman dalam populasi, dan hanya sedikit pengaruh
keragaman lingkungan. Untuk banyak tujuan, heritabilitas dalam arti sempit
merupakan dugaan yang paling banyak bermanfaat karena mampu menunjukkan laju
perubahan yang dapat dicapai dengan seleksi untuk suatu karakter di dalam populasi.
Pengaruh taksiran additif biasanya lebih penting dari pengaruh genetik total.
Terdapat banyak metode untuk menduga nilai heritabilitas dan komponen
ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan cara tidak langsung dari pendugaan
komponen ragam, diantaranya adalah perhitungan ragam turunan dan perhitungan
komponen ragam dari analisis ragam (Baihaki 2000). Pada percobaan ini, metode
yang digunakan untuk menghitung nilai heritabilitas adalah dengan pendugaan
komponen ragam melalui analisis ragam menggunakan analsis silang dialel.
Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter kadar capsaicin adalah
97,29 % dan nilai heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) sebesar 60,90 % dikategorikan
tinggi. Ini menunjukan ragam yang muncul dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai
heritabilitas arti luas yang tinggi diduga disebabkan oleh aksi gen dominan dan aditif,
sesuai dengan hasil analisis bahwa pengaruh aditif (D) dan dominan (H1) berpengaruh
sangat nyata. Dengan demikian pengaruh aditif terhadap keragaman genetik masih
cukup besar. Berdasarkan kedua nilai heritabilitas ini maka besarnya keragaman
genetik yang ditentukan oleh gen non aditif baik dominan maupun epistasis adalah
36,39% (nilai h2bs - h2ns) tergolong cukup besar. Untuk karakter kadar capsaicin, nilai
heritabilitas arti luas adalah sebesar 92,19 % tergolong tinggi dan nilai heritabilitas
dalam arti sempit adalah 30,46 % tergolong sedang. Hasil nilai heritabilitas arti
87
sempit ini menunjukkan pengaruh aditifpun kecil, sementara pengaruh non aditif
yaitu epistasis adalah sebesar 61,73 %.
Hasil pengujian daya gabung umum (GCA) dan daya gabung khusus (SCA)
untuk karakter kadar capsaicin dan kadar vitamin C memperlihatkan hasil yang
sangat nyata. Namun demikian nilai GCA dari kedua karakter lebih besar dari nilai
SCA. Dengan kondisi ini maka seharusnya kedua karakter dikendalikan oleh aksi gen
aditif. Untuk karakter kadar capsaicin, masih bisa disimpulkan bahwa adanya
pengaruh aksi gen aditif dalam menentukan ekspresi dari karakter tersebut. Namun
untuk karakter kadar vitamin C, terjadi bias dalam penentuan aksi gen. Hal ini masih
belum dapat dijelaskan. Seperti diketahui bahwa, daya gabung umum merupakan
penduga terhadap ragam aditif, sementara daya gabung khusus merupakan penduga
dari ragam non aditif (dominan dan epistasis) (Roy 2000). Daya gabung umum yang
lebih besar dari pada daya gabung khusus menunjukan bahwa aksi gen aditif lebih
berperan dalam mengendalikan sifat tersebut dibandingkan dengan aksi gen non
aditif. Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dari pada daya gabung
umum, maka aksi gen non aditif yang lebih berperan dalam mengendalikan sifat
dibandingkan dengan aksi gen aditif (Sousa dan Maluf 2003).
Nilai daya gabung umum untuk tetua IPB C10 merupakan nilai DGU yang
paling tinggi untuk kedua karakter yang diauji, yaitu 62,40 untuk karakter kadar
capsaicin dan 9,50 untuk karakter kadar vitamin C. Ini menunjukkan peluang untuk
pembentukan varietas bersari bebas sangat mungkin untuk dilakukan. Pada karakter
kadar capsaicin, nilai daya gabung khusus tertinggi terbentuk pada persilangan
genotipe IPB-C20 x IPB-C10 yaitu sebesar 73,49. Untuk karakter kadar vitamin C,
adalah sebesar 25,94 pada kombinasi persilangan antara genotipe IPB C9 dengan IPB
C10. Nilai Daya Gabung Khusus yang tinggi menggambarkan adanya kemungkinan
untuk tetua-tetua yang digunakan membentuk varietas hibrida.
Hasil pengujian kadar capsaicin dan vitamin C pada tanaman cabai dalam
percobaan ini menunjukkan genotipe IPB C10 (jenis cabai rawit) memiliki
keunggulan sehingga dapat dipakai sebagai genotipe dalam program pemuliaan
tanaman untuk perbaikan sifat kadar capsaicin dan vitamin C.
88
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
Peran faktor genetik sangat besar dalam menentukan keragaman genetik karakter
daya hasil, kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C genotipe-genotipe
tanaman cabai baik genotipe tetua maupun hibrida F1-nya.
2.
Karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh adanya pewarisan ekstrakromosomal
dan nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi terbentuk pada hibrida F1 IPB
C15 x IPB C9. Karakter kadar vitamin C tidak dipengaruhi oleh efek
maternal dan nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi terbentuk pada hibrida
F1 IPB C9 x IPB C10.
3.
Pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar capsaicin menunjukkan tidak
terjadi interaksi gen antar lokus, aksi gen aditif dan gen dominan berperan sangat
nyata, gen-gen tidak menyebar secara merata di dalam tetua, satu kelompok gen
yang mengendalikan karakter, karakter kadar capsaicin ditentukan oleh gen-gen
resesif, nilai heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit tergolong tinggi.
4.
Pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar vitamin C menunjukkan
adanya interaksi gen antar lokus (epistasis), aksi gen aditif dan gen dominan
tidak berperan nyata, gen-gen menyebar secara merata di dalam tetua, kelompok
gen yang menendalikan karakter tidak dapat ditentukan akibat adanya interaksi
gen, nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi dan heritabilitas arti sempit
tergolong sedang.
5.
Genotipe IPB C10 mempunyai daya gabung umum yang paling tinggi untuk
kedua karakter (capsaicin dan vitamin C) sehingga sangat baik digunakan untuk
perakitan varietas dengan kadar capsaicin dan vitamin C yang diinginkan. Nilai
daya gabung khusus yang tertinggi untuk karakter kadar capsaicin dihasilkan
pada genotipe hibrida F1 IPB C2 x IPB C10, sementara untuk karakter kadar
vitamin C pada genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C10.
89
Saran
1.
Dengan adanya pengaruh maternal pada karakter kadar capsaicin khususnya
persilangan antara genotipe IPB C20 x IPB C15, maka perlu dilakukan
pendugaan parameter genetik untuk karakter tersebut pada generasi F2 atau F3.
2.
Perlu diteliti tentang jenis interaksi gen yang terjadi dalam menentukan karakter
kadar vitamin C dari genotipe-genotipe yang digunakan.
3.
Untuk perbaikan karakter kadar capsaicin dan vitamin C khususnya bagi populasi
dari genotipe-genotipe yang diteliti, maka genotipe IPB C10 dapat digunakan
dalam perakitan varietas.
4.
Perakitan varietas yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin C yang diinginkan
dapat diarahkan ke varietas bersari bebas atau varietas hibrida.
90
DAFTAR PUSTAKA
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 hal.
Badan Standarisasi Nasional. 1998. Cabai Merah Segar. Standar Nasional Indonesia
(SNI).
Baihaki A. 2000. Teknik Rancangan dan Analisis Penelitian Pemuliaan [Diktat
Kuliah]. Bandung: Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. 91 hal.
Barbosa AMM, Geraldi IO, Benchimol LL, Garcia AAF, Souza CL, Souza AP. 2003.
Relationship of intra- and interpopulation tropical maize single cross hybrid
performance and genetic distances computed from AFLP and SSR markers.
Euphytica 130:87–99.
Becker WA. 1985. Manual of quantitative genetics. Fourth Edition. Washington:
Academic Enterprises. Pullman,.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai
2009. http://www.bps.go.id [30 Januri 2011].
Crow JF. 1999. Quantitative genetics of heterosis–dominance and overdominance. In:
Coors, J.G. and S. Pandey, eds, The Genetics and Exploitation of Heterosis in
Crops. Madison, Wisconsin: American Society of Agronomy, Inc., Crop
Science Society of America, Inc. pp.49–58.
Crowder LV. 1996. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 499 hal.
Darlina E, Daradjat AA, Herawati T. 1992. Daya gabung dan heterosis karakter hasil
enam genotipe kedelai dalam silang diallel. Zuriat 3:32-38.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Konsumsi perkapita sayuran di Indonesia
periode 2003-2006. http://www.deptan.go.id [30 Mei 2009].
Djarwaningsih T. 2005. Capsicum spp. (Cabai): Asal, Penyebaran dan Nilai
Ekonomi. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Hal : 292-296.
Duriat AS. 1996. Cabai merah: komoditas prospek dan andalan. Di dalam: Duriat AS,
Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L, Editor. Teknologi
Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 1-3.
91
Duriat AS, Sastrosiswoyo S. 2006. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu Pada
Agribisnis Cabai. Di dalam: Santika A. editor. Agribisnis Cabai. Jakarta:
Penebar Swadaya. hlm 98-121.
Falconer DS. 1981. Introduction to Quantitative Genetics. New York: Longman.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1990. Physiology of Crop Plant. IOWA State
University: Press Ames.
Greenleaf WH. 1986. Pepper Breeding. Basset MJ, editor. Breeding Vegetables
Crops. Conecticut: AVI Publishing Co.
Griffing B. 1956. Concept of general and specific combining ability in relation to
diallel crossing system. Aust Biol Sci 9 (4): 463-493.
Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitative Genetics in Maize Breeding, Second
Edition. America: Lowa State University Press.
Hayman BI. 1954. The theory and analysis of diallel cross. Genetics 39:789–
809
Hayman BI. 1961. The theory and analysis of diallel crosses. III. Genetics
44:155−171.
Herbert RB. 1995. Biosintesis Metabolisme Sekunder (terjemahan). Edisi kedua.
School of Chemistry. New York: University of Leeds. 243 hal.
Iriany RNA, Takdir, Musdalifah, Dahlan M, Subandi. 2003. Evaluasi Daya gabung
Karakter Ketahanan Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai melalui
Persilangan Dialel. Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Jagau J. 1993. Analisis Silang Dialel Untuk Menentukan Parameter Genetik Karakter
Agronomik Yang Berkaitan Dengan Ketenggangan Terhadap Salinitas Pada
Padi Sawah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Joshi S, Singh B. 1987, Results of combining ability studies in sweet pepper
(Capsicum annuum L.). Capsicum Newsltr. 6:49-50.
Khadi, BM, Goud JV, Patil VB. 1987. Variation in ascorbic acid and mineral content
in fruits of some varieties of chilli (Capsicum annuum L.). Plant Foods for
Hum Nutri. 37(1):9-15.
Kirana R, Sofiari E. 2007. Heterosis dan heterobeltiosis pada persilangan 5 genotipe
cabai dengan metode half dialel. J.Hort. 17:111-117
92
Kusandriani Y. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Di dalam: Duriat AS, Widjaja
A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabeningrum L, editor. Teknologi
Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Kusandriani Y, Permadi H. 1996. Pemuliaan Tanaman Cabai. Didalam: Duriat AS,
Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. Editor. Teknologi
Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hal
28-35.
Liu XC, Ishiki K, Wang WX. 2002. Identifi cation of AFLP markers favorable to
heterosis in hybrid rice. Breed Sci. 52:201-206.
Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta: Kanisius.
182 hal.
Poehlman JM. 1983. Breeding Field Crops. 2nd edition. Westport: The AVI
Publishing Company, Inc. 486p.
Poehlman JM, Sleeper DA. 1995. Breeding Field Crops. USA: Iowa State University
Press.
Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor: PAU IPB.
Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi:
Narosa Publishing House.
Setiamihardja R. 1993. Persilangan antarspesies pada tanaman cabai. Zuriat 4(2):
112−115.
Sigit A. 2007. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Cabai, Tomat Serta Pepaya Dan
Konsentrasi Xanthan Gum Terhadap Mutu Saos Cabai. Medan: Fakultas
Pertanian USU.
Silitonga TS, Minantyorini, Cholisoh L, Warsono, Indarjo. 1993. Evaluasi Daya
gabung Padi Buluh dan Cere. Penelitian Pertanian. Bogor: Balai Penelitian
Tanaman Pangan.
Singh J. 1987. Field Manual of Breeding Procedures. India: Indian Agricultural
Research Institut New Delhi.
Sousa JA de, Maluf WR. 2003. Diallel analysis and astimation of genetic parameters
of hot pepper (Capsicum chinense Jacq.). Sci Agric 60(1):105-113.
Sudjindro, Soemartono, Wuryono MD. 1991. Penilaian parameter genetik beberapa
kultivar kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan persilangan dialel. Zuriat 2 (1)
: 48-55.
93
Sukrasmo, Kusmardiyani S, Tarini S, Sugiarso NC. 1997. Kandungan Kapsaisin Dan
Dihidrokapsaisin pada Berbagai Buah Capsicum. JMS. Vol.2. FMIPA. ITB. Hal
28 – 34.
Suryo H. 2007. Sitogenetika. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press. 446 hal.
Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2007. Pewarisan ketahanan cabai
(Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum acutatum. Bul. Agron 35(2):112-117.
Yunianti R, Sujiprihati S, Syukur M, Undang. 2006. Seleksi hibrida cabai hasil
persilangan full diallel menggunakan beberapa parameter genetik. Prosiding
Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman di Bogor 1−2 Agustus
2006. Hal. 151−156.
94
Lampiran 1. Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan
Evaluasi Kualitas Hasil
IPB-C2
IPB-C9
IPB-C14
IPB-C15
IPB-C20
IPB-C105
IPB-C10
IPB-C19
IPB-C110
95
Lampiran 2. Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan
Evaluasi Kualitas Hasil (lanjutan).
IPB-C128
IPB-C129
IPB-C132
IPB-C131
IPB-C130
96
Lampiran 3. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C9 dengan IPB
C10.
Genotipe IPB C9 Genotipe IPB C10 X
IPB C9 x IPB C10 Lampiran 4. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB
C10.
Genotipe IPB C15 Genotipe IPB C10 X
IPB C15 x IPB C10 97
Lampiran 5. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB
C10.
Genotipe IPB C2 Genotipe IPB C10 X
IPB C2 x IPB C10 Lampiran 6. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB
C10.
Genotipe IPB C20 Genotipe IPB C10 X
IPB C20x IPB C10 98
Lampiran 7. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB
C9.
Genotipe IPB C15 Genotipe IPB C9 X
IPB C15 x IPB C9 Lampiran 8. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C9.
Genotipe IPB C2 Genotipe IPB C9 X
IPB C2 x IPB C9 99
Lampiran 9. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB
C9.
Genotipe IPB C20 Genotipe IPB C9 X
IPB C20 x IPB C9 Lampiran 10. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB
C15.
Genotipe IPB C2 Genotipe IPB C15 X
IPB C2 x IPB C15 100
Lampiran 11. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB
C15.
Genotipe IPB C20 Genotipe IPB C15 X
IPB C20 x IPB C9 Lampiran 12. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB
C2.
Genotipe IPB C20 Genotipe IPB C2 X
IPB C20 x IPB C2 101
Lampiran 13. Sidik Ragam karakter Panjang Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas
Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L).
Sumber
Keragaman
Ulangan
Genotipe
Galat
Total Terkoreksi
KK (%) =
db
1
13
13
27
8,0655
JK
0,2760
268,9377
8,7960
278,0097
KT
0,2760
20,6875
0,6766
Fhit
0,4100tn
30,5800**
Pr > F
0,5341
<,0001
Lampiran 14. Sidik Ragam karakter Tebal Kulit Buah pada Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L).
Sumber
Keragaman
Ulangan
Genotipe
Galat
Total Terkoreksi
KK (%) =
db
1
13
13
27
8,0499
JK
KT
0,0710
4,2916
0,2767
4,6393
0,0710
0,3301
0,0213
Fhit
3,3400tn
15,5100**
Pr > F
0,0909
<,0001
Lampiran 15. Sidik Ragam karakter Bobot per Buah pada Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L).
Sumber
Keragaman
Ulangan
Genotipe
Galat
Total Terkoreksi
KK (%) =
db
1
13
13
27
11,5182
JK
0,5629
239,6207
6,5635
246,7471
KT
0,5629
18,4324
0,5049
Fhit
1,1100tn
36,5100**
Pr > F
0,3102
<,0001
102
Lampiran 16. Sidik Ragam karakter Bobot Buah per Tanaman pada Percobaan
Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum
annuum, L).
Sumber
Keragaman
Ulangan
Genotipe
Galat
Total Terkoreksi
KK (%) =
db
JK
KT
1
13
13
27
7,583
298723,404
112573,928
411304,914
7,582
22978,723
8659,533
Fhit
0,0001tn
2,6500**
Pr > F
0,9768
0,0451
25,3635 Lampiran 17. Sidik Ragam karakter Kadar Capsaicin pada Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L).
Sumber
Keragaman
Ulangan
Genotipe
Galat
Total Terkoreksi
KK (%) =
db
JK
KT
Fhit
1
13
13
27
5,6041
91,803
113322,429
8159,895
121574,127
91,8032
8717,1099
627,6842
0,1500tn
13,8900**
Pr > F
0,7083
<,0001
Lampiran 18. Sidik Ragam karakter Kadar Vitamin A pada Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L).
Sumber
Keragaman
Ulangan
Genotipe
Galat
Total Terkoreksi
KK (%) =
db
1
13
13
27
5,307
JK
KT
Fhit
134285,40 134285,400
0,570tn
124087563,60 9545197,200 40,210**
3085607,40 237354,400
127307456,40
Pr > F
0,4654
<,0001
103
Lampiran 19. Sidik Ragam karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan Evaluasi
Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L).
Sumber
Keragaman
Db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
1
62,2224
62,2224
1,5600tn
0,2333
Genotipe
13
9135,3966
702,7228
17,6500**
<,0001
Galat
13
517,6836
39,8218
27
6,8844
9715,3026
Total Terkoreksi
KK (%) =
Lampiran 20. Sidik Ragam karakter Kadar Capsaicin pada Percobaan Evaluasi
Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai
(Capsicum annuum, L) dengan Menggunakan Analisis Diallel.
SK
db
JK
KT
F Hitung
Nilai P
tn
3,0640
0,1019
Ulangan
1
667,4083
667,4083
Genotipe
14
104.452,1026
7.460,8645
34,2520**
0,0000
Tetua
4
42.501,8607
10.625,4652
48,7803**
0,0000
Persilangan
9
61.910,3394
6.878,9266
31,5804**
0,0000
Tetua x Persilangan
1
39,9024
39,9024
0,1832tn
0,6752
Galat
14
3.049,5195
217,8228
Total Terkoreksi
29
108.169,0304
KK (%) =
3,08
104
Lampiran 21. Sidik Ragam karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan Evaluasi
Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai
(Capsicum annuum, L) dengan Menggunakan Analisis Diallel.
SK
db
JK
KT
F Hitung
Nilai P
Ulangan
1
667,4083
667,4083
3,0640tn
0,1019
Genotipe
14
104.452,1026
7.460,8645
34,2520**
0,0000
Tetua
4
42.501,8607
10.625,4652
48,7803**
0,0000
Persilangan
9
61.910,3394
6.878,9266
31,5804**
0,0000
Tetua x Persilangan
1
39,9024
39,9024
0,1832tn
0,6752
Galat
14
3.049,5195
217,8228
Total Terkoreksi
29
108.169,0304
KK (%) =
6,03
105
Lampiran 22. Hasil Analisis Silang Diallel untuk karakter Kadar Capsaicin dalam
Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum
annuum, L).
IPB C10
IPB C9
IPB C15
IPB C2
IPB C20
Total(Y.j)
Rataan(Y.j)
IPB C10
602,565
----2708,410
541,682
IPB C9
499,190
439,895
---2338,155
467,631
IPB C15
504,905
517,885
449,820
--2349,945
469,989
IPB C2
494,770
467,590
447,015
418,965
-2244,545
448,909
IPB C20
606,980
413,595
430,320
416,205
475,750
2342,850
468,570
Data yang digunakan untuk grafik Vr dan Wr:
Wr_tetua
Yr
50,0660
1021,9379
1373,4528
1634,8245
2979,6254
5860,2708
1.723,8842
1.134,5306
923,9677
3.215,4885
5.872,2405
Tetua
IPB C2
IPB C15
IPB C9
IPB C10
IPB C20
Vr
0,0000
1105,4983
1505,3442
1802,6529
3332,3555
6609,0717
Wri
0,0000
2423,4720
2827,9836
3094,6749
4207,6019
5925,5574
Pendugaan Kompone Ragam:
Ragam
D
F
H1
H2
h2
E
Nilai
5198,943
192,829
6204,730
6103,255
-57,503
113,789
Sd
459,506
1147,845
1240,949
1125,555
759,914
187,592
T_hitung
11,314
0,168
5,000
5,422
-0,076
0,607
Nilai-P
0,000
0,867
0,000
0,000
0,940
0,544
Parameter lain:
a. Rata-rata tingkat dominansi
b. Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua
c. Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua
d. Koefisien korelasi antara (Wr+Vr) dengan Yr
e. Prediksi tetua dominant dan resesif
f. Jumlah kelompok gen mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi
g. Heritabilitas arti luas
h. Heritabilitas arti sempit
Uji Hipotesis b (Wr-Vr)
= 0,8791tn
= 1,0925
= 0,2459
= 1,0345
= 0,3686
= 0,1359
= -0,0094
= 97,29
= 60,90
106
Lampiran 23. Hasil Analisis Silang Diallel untuk karakter Kadar Vitamin C dalam
Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum
annuum, L).
IPB C10
IPB C9
IPB C15
IPB C2
IPB C20
Total(Y.j)
Rataan(Y.j)
IPB C10
931,880
----4535,015
907,003
IPB C9
1154,340
754,205
---4045,375
809,075
IPB C15
677,835
719,310
769,105
--3640,705
728,141
IPB C2
842,355
615,890
716,575
729,490
-3694,925
738,985
IPB C20
928,605
801,630
757,880
790,615
815,065
4093,795
818,759
Data yang digunakan untuk grafik Vr dan Wr:
Wr_tetua
Yr
828,14
1165,47
1900,97
2678,29
8392,53
11488,89
-1558,00
4770,14
5352,31
979,47
16082,23
Tetua
IPB C2
IPB C15
IPB C9
IPB C10
IPB C20
Vr
0,00
1326,23
4217,88
7273,94
29739,61
41913,07
Wri
0,00
2915,82
5199,94
6828,67
13807,62
16391,77
Pendugaan Kompone Ragam:
Ragam
D
F
H1
H2
h2
E
Nilai
5017,300
-9351,700
49863,500
44020,200
-891,000
1393,400
Sd
11051,000
27605,300
29844,400
27069,200
18275,700
4511,500
T_hitung
0,454
-0,339
1,671
1,626
-0,049
0,309
Nilai-P
0,650
0,735
0,095
0,104
0,961
0,757
Parameter lain:
a. Rata-rata tingkat dominansi
b. Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua
c. Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua
d. Koefisien korelasi antara (Wr+Vr) dengan Yr
e. Prediksi tetua dominant dan resesif
f. Jumlah kelompok gen mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi
g. Heritabilitas arti luas
h. Heritabilitas arti sempit
Uji Hipotesis b (Wr-Vr)
= 0,2544*
= 3,1525
= 0,2207
= 1,0000
= 0,0885
= 0,0078
= -0,0202
= 92,19
= 30,46
107
Lampiran 24. Hasil Uji Kontras dari Karakter Kadar Capsaicin Berdasarkan Grup Hibrida F1 Dengan Grup Tetua dan Antara
Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup Hibrida F1 Lainnya.
Kontras
db
JK Kontras
KT
F Value
Pr > F
Tetua Selving VS Hibrida
1
5.879,4121
5.879,4121
26,9900**
0,0001
Rawit x Rawit VS Lainnya (Hibrida)
1
6.224,8033
6.224,8033
28,5800**
0,0001
Semi Keriting x Semi Keriting VS Lainnya (Hibrida)
1
5,2771
5,2771
0,0200tn
0,8785
Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
1
2.640,4182
2.640,4182
12,1200**
0,0037
Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
1
1.923,0540
1.923,0540
8,8300*
0,0101
Rawit x Rawit VS Rawit x Besar (Hibrida)
1
2.721,3420
2.721,3420
12,4900**
0,0033
Rawit x Rawit VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida)
1
9.707,2749
9.707,2749
44,5700**
<,0001
Rawit x Besar VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida)
1
2.853,8385
2.853,8385
13,1000**
0,0028
Semi Keriting x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
1
239,6814
239,6814
1,1000tn
0,3120
Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
1
1.124,1301
1.124,1301
5,1600*
0,0394
Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
1
4.248,2865
4.248,2865
19,5000**
0,0006
Rawit x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
1
51,3774
51,3774
0,2400tn
0,6347
Rawit x Besar VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
1
103,6800
103,6800
0,4800tn
0,5015
108
Lampiran 25. Hasil Uji Kontras dari Karakter Kadar Vitamin C Berdasarkan Grup Hibrida F1 Dengan Grup Tetua dan Antara
Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup Hibrida F1 Lainnya.
Kontras
db
JK Kontras
KT
Tetua Selving VS Hibrida
1
18.160,0324
18.160,0324
7,1300*
0,0183
Rawit x Rawit VS Lainnya (Hibrida)
1
1.632,1427
1.632,1427
0,6400tn
0,4367
Semi Keriting x Semi Keriting VS Lainnya (Hibrida)
1
90.519,4095
90.519,4095 35,5600**
<,0001
Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
1
30.528,8256
30.528,8256 11,9900**
0,0038
Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
1
1.312,7300
1.312,7300
0,5200tn
0,4845
Rawit x Rawit VS Rawit x Besar (Hibrida)
1
819,7227
819,7227
0,3200tn
0,5794
Rawit x Rawit VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida)
1
18.711,6805
18.711,6805
7,3500*
0,0169
Rawit x Besar VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida)
1
47.126,3437
47.126,3437 18,5100**
0,0007
Semi Keriting x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
1
56.637,6540
56.637,6540 22,2500**
0,0003
Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
1
128.022,4361
128.022,4361 50,2900**
<,0001
Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
1
15.714,3073
15.714,3073
6,1700*
0,0262
Rawit x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida)
1
29.972,0065
29.972,0065 11,7700**
0,0041
Rawit x Besar VS Semi Keriting x Besar (Hibrida)
1
6.310,6995
2,4800tn
0,1377
6.310,6995
F Value
Pr > F
109
Lampiran 26. Perhitungan Nilai Heritabilitas Arti Luas (h2bs) dan Koefisien Keragaman Genetik (KKG) Karakter Panjang
Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot Buah, Bobot Buah per Tanaman, Kadar Capsaicin, Kadar Vitamin A dan Kadar
Vitamin C pada Percobaan I.
Sumber Keragaman
Panjang Buah
Tebal Kulit Buah
Bobot per Buah
Bobot Buah per Tanaman
Kadar Capsaicin
Kadar Vitamin A
Kadar Vitamin C
KT
Genotipe
Ragam
Galat
Lingkungan
Heritabilitas
Genetik
KKG
Nilai
Kriteria
Nilai
Kriteria
20,69
0,68
10,34
10,01
96,73
tinggi
31,01
agak luas
0,33
0,02
0,17
0,15
93,55
tinggi
21,71
agak sempit
18,43
0,50
9,22
8,96
97,26
tinggi
48,52
sangat luas
22978,72
8659,53
11489,36
7159,60
62,31
tinggi
23,06
agak luas
8717,11
627,68
4358,55
4044,71
92,80
tinggi
14,23
agak sempit
4772598,60 4653921,40
97,51
tinggi
23,50
agak luas
94,33
tinggi
19,86
agak sempit
9545197,20 237354,40
702,72
39,82
351,36
331,45
110
Download