EVALUASI KUALITAS HASIL DAN ANALISIS GENETIK KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI (Capsicum annuum L.) DANIEL PETER LAUTERBOOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Pebruari 2011 Daniel P. Lauterboom A253080031 ABSTRACT DANIEL PETER LAUTERBOOM. The Evaluation of Yield Quality and Genetic Analysis of Capsaicin and Vitamin C in Pepper (Capsicum annuum L.). Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR, and DEWI SUKMA. Quality of pepper is related to yield and content of certain metabolite in its fruit. One of the method that is used to estimate genetic parameter is diallel analysis. This study consists of two experiments, i.e. (1) Evaluation of 14 pepper genotypes and their genetic variabilities; (2) Evaluation of F1 generation and genetic parameter estimation of capsaicin and vitamin C content in pepper using diallel analysis. The objectives of the first experiment are to obtain the information of yield quality, capsaicin, vitamin A and vitamin C content, and to estimate genetic variability and heritability of several pepper genotypes. Evaluation of 14 pepper genotypes was conducted in Randomized Complete Block Design (RCBD) with 2 replications. Each unit of experiment consists of 20 plants with 6 sample plants. In this experiment, the observed variables are qualitative and quantitative characters. The qualitative character i.e. fruit color was observed based on Descriptors for Capsicum from IPGRI, while quantitative characters i.e., fruit length, thickness of fruit skin, weight per fruit, and weight of fruit per plant. Measurement of capsaicin, vitamin A, and vitamin C content was performed using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) technique. The result shows that 14 genotypes were evaluated have high genetic variability and heritability for the following characters; length of the fruit, rind thickness, weight per fruit, fruit weight per plant, vitamin A content and vitamin C content. Meanwhile, the genetic diversity of capsaicin content is classified as moderate. IPB C10 had the highest capsaicin, vitamin A and vitamin C content. IPB C2 had the lowest capsaicin and vitamin A content; and IPB C14 had the lowest vitamin C content. Capsaicin content had a positive correlation with vitamin A and vitamin C content, whereas vitamin A content had no correlation with vitamin C content. Furthermore, 5 genotypes were selected to be a parent for half-diallel crossing, i.e. genotype IPB C2 (low capsaicin, low vitamin C), IPB C9 (medium capsaicin, low vitamin C), IPB 10 (high capsaicin, high vitamin C), IPB C15 (medium capsaicin, medium vitamin C) and IPB C20 (medium capsaicin, medium vitamin C). The second experiment aims to obtain the genetic parameter information of capsaicin and vitamin C content of pepper using diallel analysis, and to evaluate the F1 hybrid of pepper, and their heterosis and heterobeltiosis values. The F1 hybrid was developed through crossing of 5 parental genotypes, i.e. genotype IPB C2, IPB C9, IPB 10, IPB C15 and IPB C20. This study was performed in RCBD with 2 replications. Each unit of experiment consisted of 200 g fruit of pepper. The capsaicin and vitamin C content were analyzed using HPLC. The analysis result indicated that capsaicin content was influenced by extrachromosomal effect, while vitamin C content was not affected. F1 hybrid IPB C15 x IPB C9 had the highest heterosis and heterobeltiosis values for capsaicin content, while F1 hybrid IPB C9 x IPB C10 has the highest value for vitamin C content. There was no gene interaction in the controlling of capsaicin content but it determined the expression of vitamin C. The broad-sense heritability for capsaicin and vitamin C content were high, whereas narrow-sense heritability for capsaicin was high and for vitamin C was medium. Genotype IPB C10 had the highest general combining ability (GCA) for both characters (capsaicin and vitamin C). Keywords : pepper, production quality, capsaicin, vitamin A, vitamin C, cross diallel, heterosis, heterobeltiosis. RINGKASAN DANIEL PETER LAUTERBOOM. Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.). Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR dan DEWI SUKMA. Kualitas hasil tanaman cabai sangat berhubungan dengan daya hasil dan kandungan bahan metabolit tertentu dalam buah cabai. Salah satu metode yang digunakan dalam pendugaan parameter genetik adalah analisis dialel. Penelitian ini mencakup dua percobaan yaitu (1) Evaluasi hasil dan kualitas hasil, serta keragaman genetik beberapa genotipe cabai; (2) Evaluasi hibrida F1 dan pendugaan parameter genetik kadar capsaicin dan vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis dialel. Percobaan satu, bertujuan untuk mengetahui hasil, kualitas hasil, termasuk kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C, beberapa genotipe cabai, serta untuk mengetahui keragaman genetik dan heritabilitasnya. Evaluasi dilakukan terhadap 14 genotipe cabai yang ditanam menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan 2 ulangan. Masing –masing satuan percobaan terdiri atas 20 tanaman dengan 6 tanaman sampel. Peubah yang diamati terdiri atas sifat kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan terhadap sifat kualitatif yaitu warna buah dilakukan berdasarkan Descriptors for capsicum dari IPGRI. Sementara sifat kuantitatif yang diamati adalah panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, dan bobot buah per tanaman. Pengamatan kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C dilakukan dengan menggunakan teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 14 genotipe yang dievaluasi memiliki keragaman genetik dan nilai heritabilitas tinggi untuk karakter panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar vitamin A dan kadar vitamin C, sedangkan keragaman genetik karakter kadar capsaicin tergolong sedang. Genotipe IPB C10 memiliki kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C tertinggi, sedangkan yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin A terendah adalah genotipe IPB C2. Sementara itu, genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah. Karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dan vitamin C namun karakter kadar vitamin A dan vitamin C tidak memiliki korelasi yang nyata. Lima genotipe yang terpilih untuk dijadikan tetua dalam persilangan setengah dialel yaitu genotipe IPB C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang, vitamin C rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang). Percobaan dua bertujuan untuk menduga parameter genetik karakter kadar capsaicin & vitamin C pada 5 tetua cabai dengan menggunakan analisis dialel, dan mengevaluasi hibrida F1, serta mengetahui nilai heterosis dan heterobeltiosisnya. Lima genotipe tetua terpilih, yaitu genotipe IPB C2, IPB C9, IPB C10, IPB C15 dan IPB C20. Percobaan disusun menggunakan RKLT dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 200 g buah cabai. Kadar capsaicin dan vitamin C dianalisis berdasarkan metode HPLC. Hasil analisis genetik menunjukkan terdapat adanya pewarisan ekstrakromosomal pada karakter kadar capsaicin, sedangkan pada kadar vitamin C tidak terdapat. Genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi untuk karakter kadar capsaicin, sementara untuk kadar vitamin C tertinggi terdapat pada hibrida F1 IPB C9 x IPB C10. Tidak terdapat interaksi antar gen dalam pengendalian karakter kadar capsaicin buah cabai. Sementara ekspresi kadar vitamin C dalam buah cabai ditentukan oleh interaksi antar gen. Aksi gen aditif dan gen dominan berperan sangat nyata untuk karakter kadar capsaicin dan tidak nyata dalam menentukan kadar vitamin C buah cabai. Nilai heritabilitas arti luas untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C tergolong tinggi, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit untuk karakter kadar capsaicin tergolong tinggi dan untuk karakter kadar vitamin C tergolong sedang. Genotipe IPB C10 mempunyai daya gabung umum yang paling tinggi untuk kedua karakter (capsaicin dan vitamin c). Kata kunci: cabai, kualitas hasil, capsaicin, vitamin A, vitamin C, silang dialel, heterosis, heterobeltiosis © Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karaya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB EVALUASI KUALITAS HASIL DAN ANALISIS GENETIK KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI (Capsicum annuum L.) DANIEL PETER LAUTERBOOM Sebagai salah satu syarat melaksanakan penelitian Program Magister pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Judul Tesis Nama NRP : Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.) : Daniel Peter Lauterboom : A253080031 Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS Ketua Dr. Muhamad Syukur, SP, MSi Anggota Dr. Dewi Sukma, SP, MSi Anggota Diketahui Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknolgi Tanaman Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Tanggal Ujian: 10 Januari 2011 Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena pertolongannya maka penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Evaluasi Kualitas Hasil dan Analisis Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai (Capsicum annuum L.). Tesis ini merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS, Dr. M. Syukur, SP, MSi dan Dr. Dewi Sukma, SP, MSi. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian penyusunan tesis ini. 2. Dr. Ir. Yudiwati Wahyu E. Kusumo, MS. selaku dosen penguji yang telah memberi masukan, arahan dan saran sehingga tesis ini menjadi lebih baik. 3. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SPs IPB yang selalu memberi arahan dalam pelaksanaan studi selama perkuliahan. 4. Dirjen DIKTI yang telah memberikan bantuan dana melalui program Beasiswa Unggulan dan Hibah Bersaing tahun 2008. 5. Ketua Tim Pemuliaan Cabai Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas bantuan bahan genetik dan fasilitas di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman. 6. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Departemen Pertanian, atas kesediaannya untuk membantu proses analisis kadar capsaicin dan vitamin C buah cabai. 7. Kepala Dinas Pendidikan Dan Pengajaran Provinsi Papua atas Bantuan biaya Studi yang telah diberikan. 8. Istri tercinta Yolanda Wanda Risakahu dan anak-anak tersayang Calvin Lauris Brugman Lauterboom dan Jason Matthew Hendry Lauterboom atas segala kesabaran, pengertian, keikhlasan dan kasih sayangnya dalam menyemangati peneliti dalam menyelesaikan studi. 9. Ayahanda Franciscus Benedictus Lauterboom dan Ibunda Farcis Bhatseba Lawalata yang telah mendoakan, membesarkan, mendidik, serta membekali penulis dengan kasih dan pengetahuan hingga saat ini. 10. Kakak-kakak dan adikku tersayang Ronald Lauterboom, SH; Ir. Henderina Lauterboom, MSi; Arthur Ferdinand Lauterboom, S.Sos (alm); Victor Benhard Lauterboom, SP dan Joice Ivonike Lauterboom, yang memberikan banyak motivasi dan bantuan serta kasih sayang dalam bersaudara. 11. Ayah mertua Yoppy Simon Risakahu (alm); Ibu mertua Caroline Sahetapy; Tante mertuaku Dra. Mien Risakahu, SH dan oyang Helena Tahja. Saudarasaudara iparku Pdt. Raymond Valentino Risakahu, STh (alm); Ir. Yorico Damora Risakahu; Reiners Risakahu dan Maya Risakahu atas perhatian, kasih sayang dan doanya. 12. Keluarga besar Lauterboom, Risakahu, Lawalata, Latumahina, Sahetapy dan Soumokil atas segala dukungan dan doanya. 13. Teman-teman Sekolah Pascasarjana Departamen Agronomi dan Hortikultura IPB. 14. Para sahabat dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis. Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang pertanian. Bogor, Pebruari 2011 Daniel P. Lauterboom A253080031 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 20 Desember 1973 sebagai putra kelima dari enam bersaudara pasangan Franciscus B. Lauterboom dan Farcis B. Lawalata. Penulis menikah dengan Yolanda Wanda Risakahu pada tanggal 11 September 1998 dan telah dikaruniai dua orang putra Calvin Lauris Brugman Lauterboom dan Jason Matthew Hendry Lauterboom. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di minat Pemuliaan Tanaman Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura pada tahun 2000. Tahun 2000 penulis diangkat menjadi staf dosen Yayasan Pegunungan Bintang yang ditugaskan pada Akademi Pertanian Santo Thomas Aquino Jayapura. Pada Tahun 2005 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan sebagai Dosen Kopertis dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Santo Thomas Aquinas Jayapura. Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister Sains pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2008 dengan Beasiswa BPPS dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia serta Bantuan dari Pemda Papua. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvii PENDAHULUAN .................................................................................................. Latar Belakang ............................................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................................... Hipotesis ........................................................................................................ Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 1 1 4 4 5 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... Botani, Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai ............................... Pemuliaan Tanaman Cabai ............................................................................ Capsaicin dan Vitamin sebagai Produk Metabolit Sekunder ........................ Heterosis, Daya Gabung dan Heritabilitas .................................................... Analisis Silang Dialel .................................................................................... 7 7 9 11 15 17 EVALUASI HASIL DAN KUALITAS HASIL 14 GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) DAN KERAGAMAN GENETIKNYA ............................ ABSTRAK..................................................................................................... PENDAHULUAN ......................................................................................... Latar Belakang........................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... BAHAN DAN METODE .............................................................................. Waktu dan Tempat.................................................................................. Metode Penelitian ................................................................................... Karakterisasi Daya Hasil ................................................................. Karakterisasi Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C ........................ Analisis Data........................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Karakterisasi Daya hasil 14 Genotipe Cabai .......................................... Penentuan Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C untuk Evaluasi Calon Tetua .............................................................................. Koefisien Keragaman Genetik (KKG), Heritabilitas (h2 bs ) dan Korelasi (r) ....................................................................................... SIMPULAN ................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 20 20 21 21 23 24 24 24 24 25 26 28 28 32 36 39 40 EVALUASI HIBRIDA F1 DAN PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN MENGGGUNAKAN ANALISIS DIALEL..................... ABSTRAK..................................................................................................... PENDAHULUAN ......................................................................................... Latar Belakang........................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... BAHAN DAN METODE .............................................................................. Waktu dan Tempat.................................................................................. Metode Penelitian ................................................................................... Pengamatan............................................................................................. Analisis Data........................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Evaluasi Hibrida F1 untuk Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ............................. Pendugaan Parameter Genetik ............................................................... Interaksi Antar Gen ......................................................................... Pengaruh Aditif (D) dan Dominan (H 1 ) .......................................... Distribusi Gen di Dalam Tetua ....................................................... Tingkat Dominansi .......................................................................... Simpangan Rata-rata F1 dari Rata-rata Tetua ................................. Proporsi Gen Dominan Terhadap Gen Resesif ............................... Arah dan Urutan Dominansi............................................................ Jumlah Gen Pengendali Karakter .................................................... Heritabilitas ..................................................................................... Daya Gabung ......................................................................................... Daya Gabung Umum (DGU)........................................................... Daya Gabung Khusus (DGK) .......................................................... SIMPULAN ................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 42 42 42 42 45 45 46 46 47 47 55 55 65 66 67 68 68 69 69 70 72 72 73 73 75 76 77 PEMBAHASAN UMUM ....................................................................................... 79 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... Simpulan ........................................................................................................ Saran .............................................................................................................. 87 87 88 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 89 LAMPIRAN ........................................................................................................... 93 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kadar Capsaicin Beberapa Genotipe Cabai ...................................................... 13 2. Genotipe Cabai yang Digunakan Sebagai Bahan Penelitian............................. 24 3. Kuadrat Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per Buah dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai ... ............................................................................................................. 28 4. Nilai Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per Buah dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai… ............................................................................................................. 29 5. Warna Buah Muda, Warna Buah Intermedier dan Warna Buah Matang Beberapa Genotipe Tanaman Cabai .................................................................. 31 6. Kuadrat Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai .................................................................. 32 7. Nilai Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai .................................................................. 33 8. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dan Heritabilitas KarakterKarakter yang Diamati pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai.................... 36 9. Koefisien Korelasi Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada Genotipe Tanaman Cabai ...................................................................... 38 10. Persilangan Half Diallel dan Selfing dari Lima Tetua ...................................... 47 11. Komponen Analisis Ragam Analisis Silang Dialel ...................................... 49 12. Rataan Kadar Capsaicin dan Vitamin C Cabai Berdasarkan Half Diallel untuk Perhitungan Nilai Ragam dan Peragam ............................................. 49 13. Komponen Analisis Ragam untuk Daya Gabung Menggunakan Metode 2 Griffing ............................................................................................. 53 14. Pengujian Pengaruh Pewarisan Ekstrakromosomal Beberapa Karakter yang Diamati pada Cabai ........................................................................................... 55 15. Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Capsaicin pada Beberapa Genotipe Cabai .................................................................................................. 57 16. Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Vitamin C pada Beberapa Genotipe Cabai .................................................................................................. 59 17. Kontras Karakter Kadar Capsaicin Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida F1 dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai ................................... 61 18. Kontras Karakter Kadar Vitamin C Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida F1 dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai .............................. 63 19. Kuadrat Tengah Genotipe Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C .............. 66 20. Hasil Analisis Pendugaan Parameter Genetik Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai dengan Menggunakan Analisis Silang Dialel Metode Hayman ................................................................................................ 67 21. Nilai Rata-Rata F1 dan Tetua Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C......... 69 22. Sebaran Wr + Vr dari Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C ..................... 70 23. Analisis Ragam Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C ............................... 73 24. Nilai Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C 5 Genotipe Tetua dan 10 Genotipe Hibrida F1 Cabai… ........................................................................... 74 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan Alir Penelitian ........................................................................................ 6 2. Jalur Biosintesis Capsaicin................................................................................ 12 3. Jalur Biosintesis Vitamin C............................................................................... 14 4. Penampilan 5 Genotipe Cabai Terpilih yang Digunakan sebagai Tetua dalam Persilangan Setengah Dialel ................................................................... 39 5. Persilangan Genotipe Cabai IPB C20 dengan IPB C15 yang Menghasilkan F1 dan F1R ................................................................................ 56 6. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Capsaicin ............ 71 7. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Vitamin C ........... 71 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil ................................................................................................... 93 Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil (Lanjutan). ................................................................................ 94 3. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C9 dengan IPB C10..... 95 4. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB C10... 95 5. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C10..... 96 6. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C10... 96 7. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB C9..... 97 8. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C9....... 97 9. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C9..... 98 10. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C15..... 98 11. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C15... 99 12. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C2..... 99 2. 13. Sidik Ragam Karakter Panjang Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. ............................... 100 14. Sidik Ragam Karakter Tebal Kulit Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)...................................................................................................... 100 15. Sidik Ragam Karakter Bobot per Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. .......... 100 16. Sidik Ragam Karakter Bobot Buah per Tanaman pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.).. .................................................................................. 101 17. Sidik Ragam Karakter Kadar Capsaicin pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)... ......... 101 18. Sidik Ragam Karakter Kadar Vitamin A pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)....................................................................................................... 101 19. Sidik Ragam Karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)... ....... 102 20. Sidik Ragam Karakter Kadar Capsaicin pada Percobaan Evaluasi Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) dengan Menggunakan Analisis Dialel. ............................................................................................................... 102 21. Sidik Ragam Karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan Evaluasi Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) dengan Menggunakan Analisis Dialel. ................................................................................................. 103 22. Hasil Analisis Silang Dialel untuk Karakter Kadar Capsaicin dalam Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) . .............................................................................. 104 23. Hasil Analisis Silang Dialel untuk Karakter Kadar Vitamin C dalam Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.)..................................................................................................... 105 24. Hasil Uji Kontras Karakter Kadar Capsaicin Berdasarkan Grup Hibrida F1 dengan Grup Tetua dan antara Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup Hibrida F1 Lainnya.. ........................................................................................ 106 25. Hasil Uji Kontras Karakter Kadar Vitamin C Berdasarkan Grup Hibrida F1 dengan Grup Tetua dan antara Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup Hibrida F1 Lainnya.. ........................................................................................ 107 26. Perhitungan Nilai Heritabilitas Arti Luas, Koefisien Keragaman Genetik (KKG) pada Percobaan I... ............................................................................... 108 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu sayuran penting yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropika termasuk Indonesia. Sebagai produk hortikultura, tanaman ini mempunyai potensi yang sangat strategis dalam meningkatkan pendapatan petani karena permintaan dan pemanfaatan cabai yang terus meningkat, seiring dengan meningkatnya penduduk dan konsumsi per kapita. Di awal tahun 2011 harga cabai meningkat hingga mencapai Rp.100.000,- / kg. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan luas panen akibat musibah bencana alam di sentra-sentra produksi cabai dan serangan hama penyakit akibat perubahan iklim. Berdasarkan Biro Pusat Statistik (2010), pada tahun 2009 luas panen cabai adalah sebesar 233.904 ha dengan produksi 1.378.727 ton dan produktivitas sebesar 5,89 ton/ha. Produktivitas ini masih jauh dari potensi produktivitas cabai yang dihasilkan dalam berbagai penelitian. Duriat (1996) mengemukakan bahwa produktivitas cabai dapat mencapai 12 - 20 ton/ha. Selain itu Deptan (2009), mengemukakan bahwa produksi yang dihasilkan juga belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi yang mencapai 2,77 kg/kapita/tahun. Usaha peningkatan produksi cabai di Indonesia masih terkendala oleh banyak hal. Beberapa diantara kendala tersebut menurut Duriat (2006) adalah sebagai berikut: kurangnya kuantitas benih cabai yang tersedia dan bermutu tinggi; menurunnya tingkat kesuburan tanah karena penanaman cabai dan sayuran lainnya secara terus menerus; serta kehilangan hasil yang tinggi karena serangan hama penyakit di pertanaman dan kehilangan hasil karena penanganan pascapanen. Untuk mengatasi kendala-kendala ini, para pemulia tanaman berusaha untuk menemukan varietas cabai baru yang memiliki kualitas dan kuantitas produksi tinggi. Djarwaningsih (2005) mengemukakan bahwa usaha perbaikan varietas cabai melalui program pemuliaan tanaman saat ini selain diarahkan pada peningkatan 2 produktivitas, tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu, toleran terhadap kondisi lingkungan yang suboptimal, juga diarahkan pada pembentukan varietas cabai yang memiliki kualitas hasil yang sesuai dengan selera konsumen. Kualitas hasil dimaksud berhubungan dengan kondisi fisik buah maupun kandungan zat gizi di dalam buah cabai. Cabai mengandung beberapa nutrisi terutama capsaicin, vitamin C, vitamin B1 serta provitamin A yang sangat diperlukan oleh manusia (Kusandriani 1996). Kadar provitamin A dan vitamin C didalam buah cabai diharapkan dapat mensubtitusi kebutuhan seseorang akan kedua vitamin tersebut, yang selama ini banyak diperoleh dari konsumsi buah-buahan yang relatif lebih mahal. Diantara zat yang terdapat di dalam buah cabai, capsaicin merupakan salah satu karakter biokimia cabai yang berperan dalam menentukan rasa pedas (Greenleaf 1986). Capsaicin terkandung di dalam buah cabai baik pada biji, plasenta maupun kulit buah bagian dalam. Hasil penelitian Syukur et al. (2007) menunjukan adanya perbedaan yang cukup besar pada karakter kadar capsaicin pada beberapa galur cabai, yang berkisar antara 212,285 ppm sampai dengan 1.310,035 ppm. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan persilangan antara galur yang memiliki perbedaan kadar capsaicin yang cukup ekstrim untuk mempelajari pewarisan karakter tersebut melalui program pemuliaan tanaman. Pemuliaan untuk mendapatkan sifat tertentu dari buah cabai memerlukan informasi genetik bagaimana sifat tersebut diperoleh dengan mempelajari penampilan fenotipik keturunan hasil persilangan antar genotipe yang memiliki perbedaan sifat buah yang nyata. Langkah awal dalam kegiatan pemuliaan tanaman menurut Poespodarsono (1988) adalah pembentukan populasi dasar dengan keragaman yang tinggi. Setiamihardja (1993) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk memperluas keragaman genetik ialah melalui persilangan atau hibridisasi. Persilangan adalah usaha untuk menggabungkan dua sifat (karakter) atau lebih dari dua tanaman menjadi genotipe baru. Salah satu rancangan persilangan yang digunakan dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah rancangan persilangan dialel. Rancangan persilangan dialel adalah 3 seluruh kombinasi persilangan yang mungkin diantara sekelompok genotipe atau tetua, termasuk tetua itu sendiri lengkap dengan F1 turunannya. Dengan menggunakan rancangan persilangan dialel dapat diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, nilai heterosis, daya gabung (DGU dan DGK) dan dugaan besarnya ragam genetik dari suatu karakter. Rancangan ini telah terbukti dapat membantu pemulia cabai untuk memilih materi pemuliaan berupa pasangan galurgalur inbred yang menghasilkan kombinasi terbaik yang memiliki sifat heterosis (Sousa dan Maluf 2003). Crowder (1996) menyampaikan bahwa pewarisan sifat yang dapat dikenal dari tetua kepada keturunannya secara genetik disebut hereditas. Hukum pewarisan ini mengikuti pola yang teratur dan terulang dari generasi ke generasi. Pewarisan sifat ada dua yaitu pewarisan sifat kualitatif dan pewarisan sifat kuantitatif. Sifat kualitatif diatur oleh gen tunggal, sedangkan sifat kuantitatif diatur oleh banyak gen yang masing-masing gen pengaruhnya kecil. Dengan mempelajari cara pewarisan gen tunggal ataupun ganda akan dimengerti mekanisme pewarisan suatu sifat dan bagaimana suatu sifat tetap ada dalam populasi. Pengetahuan tentang mekanisme pewarisan ini penting dalam mengembangkan program pemuliaan dan sangat menentukan metode pemuliaan yang harus digunakan untuk memperbaiki tanaman tertentu. Suatu galur atau populasi yang disilangkan dengan galur tertentu menunjukan heterosis tinggi, tapi jika disilangkan dengan galur lain mungkin tidak menunjukan heterosis yang tinggi maka galur tersebut mempunyai pasangan yang spesifik untuk menghasilkan hibrida yang hasilnya tinggi atau dapat disebut galur tersebut mempunyai daya gabung khusus yang baik (Crow 1999). Heterosis merupakan bentuk penampilan superior hibrida yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua tetuanya (Hallauer dan Miranda 1995). Daya gabung kemampuan suatu genotipe persilangan untuk tanaman dalam merupakan suatu ukuran menghasilkan tanaman unggul. Untuk mendapatkan hibrida cabai yang memiliki potensi genetik tinggi diperlukan pasangan genotipe (populasi) yang memiliki kelompok heterotik yang 4 berbeda. Perkawinan pada suatu populasi dapat menghasilkan galur yang mempunyai daya gabung yang baik dengan galur populasi pasangannya. Hasil tinggi dapat diperoleh apabila kombinasi antar galur memiliki nilai heterosis dan daya gabung khusus (DGK) yang besar. Daya gabung umum (DGU) yang tinggi tidak selalu memberikan nilai DGK yang tinggi (Becker 1985). Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap populasi cabai koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman AGH Faperta IPB yang berasal dari AVRDC, introduksi dari beberapa negara dan galur-galur lokal dari beberapa daerah di Indonesia, guna memperoleh informasi tentang kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C. Genotipe dengan kadar capsaisin dan vitamin C sesuai dengan kriteria yang ditentukan disilangkan dengan menggunakan analisis silang dialel sebagian (half diallel). Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan: 1. Mendapatkan informasi daya hasil, kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C dari 14 genotipe cabai koleksi IPB. 2. Mendapatkan informasi keragaman genetik dan heritabilitas karakter daya hasil, kadar vitamin A, kadar vitamin C dan kadar capsaicin dari 14 genotipe cabai koleksi IPB. 3. Mengevaluasi hibrida F1 tanaman cabai berdasarkan nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter kadar capsaicin dan vitamin C. 4. Mendapatkan informasi parameter genetik karakter kadar capsaicin dan vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis silang dialel. 5. Memperoleh informasi Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) 5 genotipe cabai untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C. Hipotesis 1. Terdapat sekurang-kurangnya 5 genotipe cabai yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin C tinggi, sedang atau rendah. 5 2. Terdapat Hibrida F1 yang memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tinggi dan positif. 3. Diduga bahwa karakter capsaicin dan vitamin C diwariskan dari tetua kepada keturunannya dengan aksi gen aditif lebih besar daripada aksi gen dominan. 4. Terdapat satu atau beberapa genotipe cabai yang memiliki daya gabung yang tinggi untuk kadar capsaicin dan vitamin. Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan penelitian secara keseluruhan terbagi dalam dua tahap percobaan yaitu: (1) Evaluasi hasil dan kualitas hasil, serta keragaman genetik beberapa genotipe cabai. (2) Evaluasi tanaman F1 dan pendugaan parameter genetik kadar capsaicin dan vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis dialel. Pada percobaan 1 dikarakterisasi daya hasil dari genotipe-genotipe cabai dengan tujuan untuk a) Mengetahui potensi produktivitas dan kualitas hasil dari setiap genotipe yang digunakan. b) Menetahui keragaman genetik dan heritabilitas. c) Menentukan genotipe yang akan digunakan sebagai tetua untuk pembentukan populasi dalam studi pewarisan. Genotipe yang digunakan sebagai tetua dievaluasi berdasarkan kadar capsaicin dan vitamin C yang memiliki kadar tinggi, sedang atau rendah. Hasil evaluasi pada percobaan 1 ini memberikan informasi tentang kualitas hasil dari 14 genotipe cabai. Pembentukan populasi half diallel akan dilakukan dengan hibridisasi terhadap genotipe-genotipe terpilih sesuai persyaratan kadar ketiga bahan aktif di atas. Genotipe terpilih dievaluasi juga berdasarkan kemudahan setiap genotipe untuk saling bersilang. Pada percobaan 2, dilakukan pendugaan parameter genetik bagi karakter kadar capsaicin dan vitamin C. Pendugaan parameter genetik ini diawali dengan evaluasi terhadap genotipe hasil selfing dan persilangan antar tetua terpilih untuk menentukan efek maternal, korelasi antar karakter dan nilai heterosis serta heterobeltiosis. Hasil pendugaan 6 parameter genetik memberikan informasi tentang parameter genetik kadar capsaicin dan vitamin C. Diagram Alir penelitian disajikan pada Gambar 1. Plasma nutfah cabai koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan AGH – Faperta IPB Percobaan 1. Evaluasi Hasil dan Kualitas Hasil serta Keragaman Genetik Beberapa Genotipe Cabai 14 Genotipe Cabai dengan Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per Buah, Bobot Buah per Tanaman dan kadar vit. A yang beragam Genotipe Cabai yang memiliki Kadar Capcaicin dan Vitamin C Tinggi, Sedang dan Rendah Hibridisasi Tetua terpilih Menggunakan Persilangan Half Diallel Percobaan 2a. Evaluasi Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Beberapa Hibrida F1 Cabai Hasil Persilangan Half Diallel Percobaan 2b. Pendugaan Parameter Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C dengan Analisis Dialel -. Informasi Daya Hasil, Kualitas Hasil, Keragaman Genetik dan heritabilitas dari 14 Genotipe Cabai. -. Informasi Parameter Genetik Kadar Capsaicin dan Vitamin C Gambar 1. Bagan Alir Penelitian 7 TINJAUAN PUSTAKA Botani, Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Secara umum tanaman cabe dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Sub kelas : Sympetale Ordo : Tubiflorae Famili : Solanaceae Genus : Capsicum Spesies : Capsicum annuum L. Deskripsi spesies Capsicum menurut Heiser dan Smith (1953), Smith dan Heiser (1957) dan Heiser dan Pickersgill (1969) dalam Djarwaningsih (2005), adalah sebagai berikut: Capsicum annuum L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-100 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya menggantung. Mahkota bunga berwarna putih, berbentuk seperti bintang, kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan tingkat kepedasan. Bentuk buah seperti garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, lonceng atau berbentuk bulat. Warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning atau keunguan. Posisi buah menggantung. Biji berwarna kuning pucat. Capsicum baccatum L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-75 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya tegak atau menggantung. Mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bentuk buah bulat memanjang. Warna buah ketika masih muda dapat merah, jingga, kuning, hijau atau 8 coklat dan setelah masakpun bervariasi dari jingga, kuning sampai merah. Posisi buah tegak atau menggantung. Biji berwarna kuning pucat. Capsicum frutescens L. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 50-150 cm, hidupnya dapat mencapai 2 atau 3 tahunan. Bunganya muncul berpasangan atau bahkan lebih di bagian ujung ranting, posisinya tegak. Mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang, kelopak rompong. Buah muncul berpasangan atau bahkan lebih pada setiap ruas, biasanya rasanya sangat pedas. Kadang-kadang mempunyai bentuk buah bulat memanjang atau berbentuk setengah kerucut. Warna buah setelah masak biasanya merah, posisi buah tegak. Biji berwarna kuning pucat. Capsicum pubescens R. & P. Tumbuhan berupa perdu, tinggi 45-113 cm, berbulu lebat, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal atau kadang-kadang menggerombol berjumlah 2-3 pada tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna ungu, berbulu, berbentuk seperti bintang. Kelopak berwarna hijau, berbulu. Buah tunggal atau muncul bergerombol berjumlah 2-3 pada setiap ruas, rasanya pedas. Buahnya berbentuk bulat telur; warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, jingga atau cokelat; posisi buah menggantung. Biji berwarna hitam. Capsicum sinense Jacq. Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 45-90 cm. Bunga menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau merunduk. Mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Buah muncul bergerombol berjumlah 3-5 pada setiap ruas, panjangnya dapat mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas, mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng dengan sisi- sisi yang beralur, berbentuk seperti kerucut dengan sisi-sisi yang beralur sampai bulat memanjang, kulit berkeriput atau kadang-kadang licin. Warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, merah jambu, jingga, kuning atau cokelat. Biji berwarna kuning pucat. Cabai dapat ditanam di dataran rendah sampai tinggi dengan suhu ideal untuk pertumbuhan 24–27C dan untuk pembentukan buah 16–23C (Djarwaningsih 2005). Cabai menghendaki intensitas cahaya 10–12 jam/hari dan kelembaban relatif 80 %, 9 dengan curah hujan 100–200 mm/bulan. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan intensitas serangan bakteri yang menyebabkan layu akar serta merangsang perkembangbiakan cendawan. Lokasi penanaman cabai di bawah 1.400 m dpl, suhu tinggi, kering dan pengairan kurang menyebabkan penguapan/transpirasi tinggi sehingga daun dan buah banyak yang rontok serta buah yang terbentuk tidak sempurna. Hampir semua jenis tanah yang cocok untuk budidaya tanaman pertanian pada umumnya cocok pula untuk cabai asalkan subur, gembur, kaya bahan organik dan tidak mudah tergenang. Jenis tanah yang ideal untuk cabai adalah Andosol, Latosol, Regusol, Ultisol, dan Grumosol dengan pH tanah 5–7. Pada tanah yang ber-pH asam, unsur hara tanaman, terutama P, K, S, Mg dan Mo tidak dapat diserap tanaman karena terikat oleh Al, Mn dan Fe. Pada tanah pH netral, sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air sehingga mudah diserap tanaman. Pemuliaan Tanaman Cabai Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode atau teknik yang secara sistematik merakit keragaman genetik, baik secara konvensional maupun non konvensional agar diperoleh bentuk-bentuk tanaman unggul baru yang lebih bermanfaat bagi manusia. Kegiatan pemuliaan tanaman merupakan serangkaian kegiatan yang saling berkaitan, diawali dengan koleksi plasma nutfah, evaluasi plasma nutfah, penerapan metode pemuliaan dan seleksi terhadap populasi yang terbentuk diikuti evaluasi terhadap hasil pemuliaan (Allard 1960). Usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat tanaman melalui kegiatan pemuaian tanaman akan lebih cepat dibandingkan dengan perbaikan melalui seleksi alam. Tujuan akhir kegiatan pemuliaan tanaman sangat terkait dengan sifat yang akan dikembangkan. Menurut Kusandriani dan Permadi (1996) terdapat beberapa tujuan pemuliaan cabai antara lain: (1) memperbaiki daya hasil dan kualitas hasil, (2) perbaikan daya resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu, (3) perbaikan sifatsifat hortikultura, (4) perbaikan terhadap kemampuan mengatasi cekaman lingkungan. 10 Pada cabai, produktivitas tanaman merupakan prioritas utama. Produktivitas cabai berhubungan dengan tingkat pendapatan yang akan diperoleh petani. Dengan semakin tinggi produktivitas cabai maka pendapatan petani akan semakin tinggi pula. Selain produktivitas, sifat lain yang dikembangkan sangat berhubungan dengan permintaan konsumen. Panjang buah cabai merupakan karakter yang berhubungan dengan permintaan konsumen sehingga dilakukan standarisasi panjang buah cabai. Menurut Badan Standardisasi Nasional (1998) panjang buah cabai merah pada mutu I : 12-14 cm, mutu II : 9-11 cm dan mutu III : < 9 cm; diameter buah cabai merah pada mutu I : 1.5-1.7 cm, mutu II : 1.3-1.5 cm dan mutu III : < 1.3 cm. Pemuliaan tanaman cabai membutuhkan keragaman genetik dan cara yang sesuai untuk memindahkan suatu karakter dari suatu individu tanaman ke individu tanaman lainnya. Allard (1960) menyampaikan bahwa suatu metode pengenalan dan identifikasi suatu karakter sangat diperlukan sehingga suatu seleksi dalam program pemuliaan dapat dilakukan. Identifikasi suatu karakter meliputi karakteristik gen yang mengendalikan dan pola pewarisan karakter tersebut. Informasi ini akan dijadikan sebagai dasar pembentukan metode pemuliaan tanaman. Hayman (1961) mengemukakan bahwa studi genetik untuk mempelajari pola pewarisan gen yang mengendalikan suatu karakter dapat dilakukan dengan menduga parameter genetik. Salah satu cara untuk menduga parameter genetik adalah analisis silang dialel dengan menyilangkan beberapa galur/genotipe yang memiliki sifat tertentu. Persilangan antara galur/genotipe ini akan menginformasikan karakteristik dari gen-gen pengendali karakter serta daya gabung dari masing-masing galur/genotipe sehingga pada tahap akhir dari kegiatan pemuliaan tanaman akan menghasilkan varietas baru yang memilki keunggulan untuk sifat-sifat yang diwariskan. Ada dua kelompok varietas cabai yang beredar di Indonesia yaitu kelompok varietas hibrida dan kelompok varietas bersari bebas (OP). Varietas hibrida merupakan Fl yang mempunyai sifat heterosis. Hibrida Fl tersebut mempunyai penampilan yang lebih baik dibandingkan dengan penampilan rata-rata kedua tetuanya (heterosis), atau lebih baik dari pada tetuanya yang terbaik (heterobeltiosis). 11 Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bila pemulia ingin melakukan pembentukan varietas hibrida yaitu persyaratan ekonomis, ekologis dan teknis. Persyaratan ekonomis yang menitik beratkan pada keunggulan komparatif yang menguntungkan dan mampu memberikan keuntungan bagi produsen. Persyaratan ekologis yaitu adanya adaptasi tanaman hibrida terhadap lingkungan yang lebih luas. Persyaratan teknis yang memfokuskan terhadap struktur genetik tetua superior dan dapat berperan dalam penyediaan sumber genetik dalam waktu yang lama. Salah satu kriteria genetik tersebut adalah efek heterosis dan heterobeltiosis pada kombinasi persilangannya (Mangoendidjojo 2003). Capsaicin dan Vitamin Sebagai Produk Metabolit Sekunder Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang akan menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit sekunder (Herbert 1995). Karakteristik metabolit sekunder adalah heterogen struktur kimianya dan terbatas pada kelompok makhluk hidup bahkan jenis tertentu. Sintesisnya dibantu oleh enzim yang dikode oleh materi genetik khusus, serta terdapat kontrol pada biosintesisnya melalui regulasi aktivitas dan jumlah enzim, kompartemensasi enzim, prekursor, intermediat, serta produk yang terlibat dalam biosintesis, maupun penyimpanan dan penguraiannya. Metabolit yang diproduksi oleh tumbuhan tersebut memiliki nilai penting dalam berbagai industri, khususnya sebagai bahan baku industri farmasi, penyedap makanan, dan parfum (Khadi et al. 1981). Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah cabai salah satunya adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas dari cabai (Sukrasmo et al. 1997). Zat ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi. Capsaicin (C18H27NO3) terdiri dari unit vanillamin dengan asam dekanoat, yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai lurus bagian asam (Andrew and Ternay 1979 dalam Sigit 2007). Jalur biosintesis capsaicin disajikan pada Gambar 2. 12 Gambar 2. Jalur Biosintesis Capsaicin Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syukur et al. (2007) dan Rosyadi (2007) terhadap beberapa genotipe tanaman cabai yang dikoleksi di Bagian Pemuliaan Tanaman Departemen AGH Faperta IPB menunjukan bahwa terdapat beda kadar capsaicin diantara genotipe-genotipe tersebut. Kadar capsaicin dari 11 genotipe yang telah diuji disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan kandungan capsaicin dari 24 genotipe cabai pada Tabel 1 maka diharapkan persilangan antara beberapa genotipe tanaman 13 cabai dapat menghasilkan hibrida yang memiliki kandungan capsaicin dengan kadar tertentu dan produksi dan kualitas buah yang diminati oleh konsumen. Tabel 1. Kadar Capsaicin Beberapa Genotipe Cabai Syukur (2007)* No. Genotipe Kadar Capsaicin (ppm) Rosadi (2007)** Genotipe Kadar Capsaicin (ppm) 1 C1 325,87 C 20 1.505,93 2 C2 359,56 C 21 1.111,28 3 C3 475,41 C 30 1.651,26 4 C4 449,83 C 34 260,08 5 C5 388,20 C 35 340,00 6 C8 1.310,04 C 37 307,87 7 C9 212,29 C 48 462,23 8 C15 228,27 C 64 1.040,70 9 C18 222,83 C 68 365,55 10 C19 659,57 C 69 369,36 Keterangan Sumber : *: Syukur et al. (2007) **: Rosadi (2007) Cabai varietas baru hasil persilangan genotipe-genotipe tertentu diharapkan banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh manusia. Salah satu produk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cabai adalah provitamin A (karatenoid). Provitamin A ini akan diubah menjadi vitamin A didalam tubuh manusia. Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A menunjukan nama generik yang menyatakan bahwa seluruh retinoid dan prekusor/provitamin A/karatenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai retinol (Herbert 1995). Selain dikenal sebagai vitamin yang berperan dalam kesehatan mata, vitamin A juga penting dalam kelangsungan hidup manusia. Kekurangan vitamin A meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti ISPA dan Diare, 14 meningkatkan angka kematian akibat campak serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan. Vitamin A yang di dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk ester retinil, bersama karatenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Di dalam sel-sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pancreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorbsi daripada ester retinil. Sebagian dari karatenoid, terutama beta karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol. Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia asam askorbat (Khadi et al. 1987). Jalur biosintesis vitamin C disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Jalur Biosintesis Vitamin C (Asam Ascorbat) 15 Vitamin C termasuk golongan antioksidan karena sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam, oleh karena itu penggunaaan vitamin C sebagai antioksidan semakin sering dijumpai. Vitamin C berhasil diisolasi untuk pertama kalinya pada tahun 1928 dan pada tahun 1932 ditemukan bahwa vitamin ini merupakan agen yang dapat mencegah sariawan. Vitamin C perlu untuk menjaga struktur kolagen, sejenis protein yang menghubungkan semua jaringan serabut, kulit, urat, tulang rawan, dan jaringan lain di tubuh manusia. Sampai sejauh ini analisis kandungan capsaicin dan vitamin C pada tanaman cabai telah diketahui namun bagaimana studi/kajian pewarisan capsaicin dan vitamin C belum dilakukan. Heterosis, Daya Gabung dan Heritabilitas Pada tanaman menyerbuk sendiri, keberhasilan memproduksi benih hibrida secara komersial ditentukan oleh dua hal yaitu hibrida harus menunjukkan heterosis pada karakter hasil, dan harus ditemukan metode yang efisien dan ekonomis untuk menghasilkan benih hibrida (Darlina et al. 1992). Heterosis merupakan bentuk penampilan superior hibrida yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua tetuanya (Hallauer dan Miranda 1995). Heterosis atau vigor hibida ditandai dengan keragaan yang lebih baik tanaman F1 yang berasal dari persilangan dua tetua galur murni. Gejala heterosis suatu hibrida terdapat pada hasil, ukuran, jumlah dari bagian tanaman, komponen kimiawi, ketahanan terhadap hama/penyakit tertentu, dan sebagainya. Fenomena heterosis telah banyak digunakan dalam meningkatkan hasil tanaman dan daya adaptasi tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2002) dan Barbosa et al. (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jarak genetik tetua dan nilai heterosisnya. Joshi & Singh (1987) mengemukakan bahwa eksploitasi heterosis diindikasikan sebagai cara praktis untuk meningkatkan hasil dan sifat ekonomi lainnya dari paprika. Selain heterosis, maka daya gabung dari galur/genotipe perlu diketahui sebelum dijadikan tetua dalam persilangan. Daya gadung antara galur/genotipe 16 merupan kriteria penting yang perlu diketahui dalam merakit suatu varietas. Darlina et al. (1992) mengemukakan bahwa daya gabung (combining ability) diartikan sebagai ukuran kemampuan suatu kombinasi tetua untuk menghasilkan kombinasi turunan yang diharapkan. Menurut Iriany et al. (2003) daya gabung merupakan ukuran kemampuan genotipe suatu tanaman dalam persilangan untuk menghasilkan tanaman yang unggul. Daya gabung ada dua macam yaitu daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya Gabung Umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya Gabung Khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu (Poehlman & Sleeper 1995). Data yang diperoleh dari suatu persilangan antara kedua tetua, dapat memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi dengan mempelajari daya gabungnya (Silitonga et al. 1993). Jika suatu galur tetua disilangkan dengan galur tetua lain dan turunannya menunjukan penampilan rata-rata lebih tinggi dari pada seluruh persilangan, tetua tersebut dikatakan memiliki DGU yang baik. Selanjutnya bila penampilan keturunan suatu persilangan jauh lebih baik dari rata-rata penampilan tetuanya, persilangan tersebut dikatakan memiliki DGK yang tinggi (Darlina et al. 1992). Dengan demikian pengembangan kearah varietas hibrida lebih ditekankan pada daya gabung khusus dari tetuanya, sedangkan untuk pengembangan kearah varietas bersari bebas lebih ditekankan pada daya gabung umum. Pengetahuan tentang aksi gen dalam pemuliaan tanaman merupakan kunci memilih prosedur yang akan memberikan kemajuan seleksi yang maksimal. Dudley & Mool (1969) dalam Kirana dan Sofiari (2007) menyampaikan bahwa apabila aksi gen aditif lebih penting, pemulia dapat menyeleksi secara efektif galur-galur pada berbagai tingkat inbreeding, sebab pengaruh aditif selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebaliknya apabila aksi gen nonaditif lebih penting, maka dimungkinkan untuk memproduksi varietas hibrida. 17 Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam fenotipenya. Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Pada dasarnya seleksi terhadap populasi bersegregasi dilakukan melalui nilai-nilai besaran karakter fenotipenya. Dalam kaitan ini, penting diketahui peluang terseleksinya individu yang secara fenotipe menghasilkan turunan yang sama miripnya dengan individu terseleksi tadi. Misalkan dalam suatu populasi dijumpai ragam genetik tinggi untuk suatu karakter dan ragam fenotipenya rendah, maka dapat diramalkan bahwa turunan individu terseleksi akan mirip dengan dirinya untuk karakter tersebut; dan sebaliknya. Heritabilitas biasanya dinyatakan dalam persen (%). Sesuai dengan komponen ragam genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritablitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Menurut Becker (1985) heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe (h2bs = σ2G / σ2P), sedangkan heritabilitas dalam arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2ns = σ2A / σ2P). Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan perhatian karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat. Analisis Silang Dialel Suatu persilangan dialel adalah suatu set dari semua kemungkinan persilangan antara beberapa genotipe. Dengan kata lain rancangan persilangan dialel meliputi semua atau sebagian persilangan single cross yang mungkin, termasuk resiprok dan selfingnya. Persilangan dialel dilaksanakan dengan tujuan untuk mengevaluasi dan menyeleksi tetua yang menghasilkan keturunan terbaik. Genotipe tersebut berupa individu, klon, atau galur homozigot (Hayman 1954). Untuk jumlah genotipe yang besar maka jumlah persilangan yang mungkin dilakukan sangat besar sehingga 18 membutuhkan ruang, biaya dan tenaga yang lebih besar. Untuk itu maka persilangan tersebut dapat disederhanakan. Penggunaan analisis silang dialel memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode analisis lainnya. Menurut Johnson (1963) dalam Jagau (1993) teknik analisis silang dialel : (1). Secara eksperimental merupakan pendekatan yang sistematik, (2) Secara analitik merupakan evaluasi genetik menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi. Pada dasarnya persilangan dialel dibagi menjadi tiga tipe persilangan yaitu: (1) dialel penuh (full diallel), (2) setengah dialel (half diallel) dan (3) dialel parsial (partial diallel). Menurut Grifing (1956) ada empat kemungkinan silang dialel berdasarkan pendekatan Griffing, yaitu 1) Silang tunggal dengan resiprokal dan selfing (Metode I); 2) Silang tunggal dengan selfing tanpa resiprokal (Metode II); 3) Silang tunggal dengan resiprokal (Metode III); 4) Silang tunggal tanpa resiprokal dan tanpa selfing (Metode IV). Tetua Silang tunggal merupakan individu yang diambil secara acak dari suatu populasi. Di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BC1 ataupun BC2, seperti pada teknik pendugaan parameter genetik lainnya, akan tetapi dalam pelaksanaannya analisis ini harus memenuhi beberapa asumsi berikut : (1) Segregasi diploid, (2) Tidak ada perbedaan antara F1 dengan resiproknya atau tidak ada efek maternal, (3) Tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel/epistasi, (4) Tidak ada multialelisme, (5) Tetua homozigot, (6) Gen-gen menyebar secara bebas di antara tetua (Hayman 1954). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis silang dialel dari suatu persilangan setengah dialel tanpa resiprok (non reciprocal half diallel). Pemilihan tipe persilangan dialel ini didasarkan kepada asumsi bahwa tidak ada perbedaan antara persilangan resiprok antara tetua persilangan. Genotipe tanaman cabai yang digunakan dalam penelitian ini digalurkan sedemikian rupa sehingga asumsi tetua homozigot pada hampir semua lokusnya dapat terpenuhi. Selain itu, untuk memenuhi 19 asumsi gen-gen menyebar merata didalam tetua maka tetua yang dipilih harus ada yang mewakili tetua dengan kandungan capsaicin dan vitamin tinggi, agak tinggi dan rendah. Jika asumsi tersebut di atas terpenuhi maka keluaran yang akan diperoleh dari suatu analisis silang dialel adalah (Varghese 1976 dalam Jagau 1993): D : Komponen ragam karena pengaruh aditif. F : Rata-rata Fr untuk semua array; Fr adalah peragam pengaruh aditif dan non aditif pada array ke-r. H1 : Komponen ragam karena pengaruh dominansi. H2 : Hl (1-(u-v)); u = proporsi gen-gen positif dalam tetua, v = proporsi gengen negatif dalam tetua; u + v = 1. h2 : Pengaruh dominansi (sebagai jumlah aljabar seluruh lokus pads keadaan heterozigous pads semua persilangan). E : Komponen ragam karena pengaruh lingkungan. Rata-rata tingkat dominansi : √(H1 / D) Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif di dalam tetua : H2 / 4H1 Proporsi gen-gen dominan dan resesif di dalam tetua : [√(4DH1) + F] / [(√(4DH1) - F] Jumlah kelompok gen yang mengendalikan karakter dan menimbulkan dominansi : h2/H2 Heritabilitas arti sempit (Mather dan Jinks 1971) ½ D+ ½ H1 – ½ H2 – ½ F ½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F + E Heritabilitas arti luas (Mather dan Jinks 1971) ½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F ½ D+ ½ H1 – ¼ H2 – ½ F + E 20 EVALUASI HASIL DAN KUALITAS HASIL 14 GENOTIPE CABAI (Capsicun annuum L.) DAN KERAGAMAN GENETIKNYA ABSTRAK Kualitas hasil tanaman cabai sangat berhubungan dengan daya hasil dan kandungan atau kadar bahan metabolit tertentu dalam buah cabai yang bebas dari hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil, kualitas hasil, termasuk kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C, beberapa genotipe cabai, serta untuk mengetahui keragaman genetik dan heritabilitasnya. Evaluasi 14 genotipe cabai dilakukan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 2 ulangan. Masing – masing satuan percobaan terdiri atas 20 tanaman dengan 6 tanaman sampel. Peubah yang diamati terdiri atas sifat kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan terhadap sifat kualitatif yaitu warna buah dilakukan berdasarkan Descriptors for capsicum dari IPGRI. Sementara sifat kuantitatif yang diamati adalah panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, dan bobot buah per tanaman. Pengamatan kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C dilakukan dengan menggunakan teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 14 genotipe yang dievaluasi memiliki keragaman genetik dan nilai heritabilitas tinggi untuk karakter panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar vitamin A dan kadar vitamin C, sedangkan keragaman genetik karakter kadar capsaicin tergolong sedang. Genotipe IPB C10 memiliki kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C tertinggi, sedangkan yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin A terendah adalah genotipe IPB C2. Sementara itu, genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah. Karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dan vitamin C namun karakter kadar vitamin A dan vitamin C tidak memiliki korelasi yang nyata. Lima genotipe yang terpilih untuk dijadikan tetua dalam persilangan setengah dialel yaitu genotipe IPB C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang, vitamin C rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang). Kata kunci: Cabai, kualitas hasil, capsaicin, vitamin A, vitamin C 21 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta kandungan nutrisi yang cukup lengkap. Nutrisi utama yang terkandung didalam buah cabai adalah vitamin C, vitamin B1, provitamin A dan senyawa alkaloid yaitu capsaicin, flavenoid dan minyak esensial. Buah cabai diminati oleh konsumen karena rasa pedas yang dimilki. Rasa pedas ini disebabkan karena capsaicin yang terkandung didalam buah cabai tersebut. Capsaicin merupakan senyawa alkaloid yang terdapat didalam buah cabai yaitu pada biji, lapisan kulit bagian dalam serta plasenta. Kandungan provitamin A dan vitamin C yang terdapat di dalam cabai diharapkan dapat mensubtitusi kebutuhan masyarakat akan kedua vitamin tersebut, yang selama ini banyak diperoleh dari konsumsi buah-buahan yang relatif lebih mahal. Berdasarkan data awal yang diperoleh dari hasil analisis terhadap kedua vitamin ini, maka kadar vitamin A pada cabai berkisar antara 6.684,320 – 9.530,050 IU dan vitamin C sebesar 42,72 – 92,28 mg/100g buah cabai. Djarwaningsih (2005), mengemukakan bahwa kebutuhan seseorang akan vitamin A per hari adalah sebesar 5000 IU dan untuk vitamin C jumlah yang dianjurkan per hari sebesar 60 mg. Selain memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, tanaman cabai juga menjadi komoditas hortikultura yang diminati oleh petani karena harga komoditas ini relatif stabil. Pada tahun 2009 luas panen tanaman cabai mencapai 233.904 ha dengan produksi 1.378.727 ton dan produktivitas sebesar 5,89 ton/ha (BPS 2010). Namun dengan jumlah luas panen tersebut dari segi produksi belum dapat memenuhi konsumsi yang mencapai 2,77 kg/kapita/tahun (Deptan 2009). Banyak faktor yang menentukan tinggi rendahnya produktivitas cabai. Menurut Djarwaningsih (2005) produktivitas cabai ditentukan oleh jumlah buah pertanaman, bobot buah, panjang dan diameter buah, sedangkan produktivitas benih 22 ditentukan oleh jumlah benih per buah dan bobot benih. Untuk itu usaha perbaikan varietas untuk meningkatkan produktivitas cabai perlu dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Pemuliaan tananaman merupakan usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat tanaman yang lebih cepat dibandingkan dengan perbaikan melalui seleksi alam. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah pembentukan populasi dasar dengan keragaman yang tinggi. Makmur (1992) menyatakan bahwa mengoleksi plasma nutfah baik dari dalam maupun luar negeri dengan melakukan introduksi merupakan salah satu langkah awal dalam program pemuliaan tanam. Genotipe-genotipe yang dikoleksi kemudian dikarakterisasi dan dilakukan studi keanekaragaan untuk memudahkan dalam kegiatan peningkatan keragaman genetik. Keragaman genetik ini merupakan potensi yang sangat besar untuk mengembangkan cabai jenis baru sehingga data kualitatif dan kuantitatif dari genotipe-genotipe cabai yang dikoleksi sangat penting untuk diketahui. Salah satu usaha perbaikan cabai yang memiliki keragaman genetik tinggi adalah dengan melakukan seleksi pada populasi tersebut (Helyanto et al. 2000). Variasi genetik dalam populasi akan membantu dalam mengefisienkan kegiatan seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi besar, maka akan menunjukkan individu dalam populasi sangat beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang diharapkan akan besar (Bahar dan Zein 1993). Genotipe-genotipe yang terseleksi diharapkan akan memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Pendugaan nilai heritabilitas bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor genetik terhadap penampilan fenotip dibandingkan pengaruh faktor lingkungan. Suatu populasi yang secara genetik berbeda yang hidup pada lingkungan yang sama kemungkinan besar dapat memperlihatkan nilai duga heritabilitas yang berbeda untuk suatu karakter yang sama. Begitu pula sebaliknya, suatu genotipe tertentu tidak selalu memberikan respon yang sama terhadap lingkungan yang berbeda. Nilai heritabilitas dipengaruhi oleh antara lain faktor karakteristik populasi, sampel genotipe yang dievaluasi serta metode penghitungan (Fehr 1987). 23 Banyak penelitian telah dilakukan tentang koefisien keragaman genetik dan heritabilitas tanaman cabai dan beberapa tanaman lainnya (Zen 1995; Rasyat 1996; Sujiprihati et al. 2003; Sreelathakumary dan Rajamony 2003; Yunianti et al. 2006; Sudarmadji et al. 2007; Sudre et al. 2007), untuk mengetahui keragaman genetik individu di dalam populasi dan besarnya pengaruh faktor genetik pada penampilan suatu sifat atau karakter. Eckebil et al. (1977) menyatakan bahwa apabila perbaikan varietas cabai dilakukan untuk beberapa sifat atau karakter maka korelasi dua atau lebih antar sifat positif yang dimiliki akan memudahkan seleksi karena akan diikuti oleh peningkatan sifat yang satu diikuti dengan yang lainnya, sehingga dapat ditentukan satu sifat atau indek seleksi Sebaliknya bila korelasi negatif, maka sulit untuk memperoleh sifat yang diharapkan. Bila tidak ada korelasi di antara sifat yang diharapkan, maka seleksi menjadi tidak efektif. Penelitian ini memberikan informasi tambahan mengenai kualitas hasil buah cabai dari 14 genotipe yang dikoleksi pada Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agonomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, yang akan dipakai dalam program pemuliaan selanjutnya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk 1. Mendapatkan informasi daya hasil, kadar capsaicin, kadar vitamin A dan vitamin C dari 14 genotipe cabai koleksi IPB. 2. Mendapatkan informasi keragaman genetik dan heritabilitas karakter daya hasil, kadar vitamin A, kadar vitamin C dan kadar capsaicin dari 14 genotipe cabai koleksi IPB. 24 BAHAN DAN METODE Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Juli 2009. Karakterisasi daya hasil bertempat di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Lab. Dik Pemulian Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) Faperta IPB. Analisis kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Departemen Pertanian. Metode Penelitian Karakterisasi Daya Hasil. Bahan tanaman yang digunakan dalam mengkarakterisasi daya hasil terdiri dari 14 genotipe tanaman cabai (Tabel 2) yang berasal dari koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman AGH Faperta IPB, AVRDC, introduksi dari beberapa negara dan galur-galur lokal dari beberapa daerah di Indonesia. Semua genotipe yang digunakan telah digalurkan sedemikian rupa sehingga telah memenuhi syarat homosigositas. Tabel 2. Genotipe Cabai yang Digunakan Sebagai Bahan Penelitian Genotipe Asal Keterangan Genotipe Asal Keterangan IPB C2 IPB C9 IPB C10 IPB C14 IPB C15 IPB C19 IPB C20 Koleksi IPB AVRDC AVRDC AVRDC AVRDC Jawa Timur Indramayu Cabai semi keriting Cabai Besar Cabai Rawit Cabai Besar Cabai semi keriting Cabai Besar Cabai Rawit IPB C105 IPB C110 IPB C128 IPB C129 IPB C130 IPB C131 IPB C132 Koleksi S. Mentari AVRDC AVRDC AVRDC AVRDC AVRDC Cabai Keriting Cabai Keriting Cabai Besar Cabai Besar Cabai semi keriting Cabai Besar Cabai Besar Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman yang kemudian akan diamati 6 tanaman sebagai tanaman sampel. Benih 14 genotipe tanaman cabai disemai pada tray dengan media tanam steril. 25 Setelah bibit berumur 35 hari dipindahkan ke lahan. Selanjutnya setiap minggu tanaman diberikan pupuk berupa larutan NPK 16-16-16 konsentrasi 5 g/l air sebanyak 250 ml/tanaman dan pupuk daun konsentrasi 10 g/l air. Pestisida yang digunakan adalah Curacron 500EC, Dithane M-45 dan Kalthane yang digunakan pada saat diperlukan. Peubah yang diamati terdiri dari sifat kualitatif dan kuantitatif khusus daya hasil berdasarkan Descriptors for Capsicum (IPGRI 1985), yaitu: 1. Warna buah muda, warna buah awal yang belum mengalami perubahan, 2. Warna buah pada tahap intermedier, warna buah yang terbentuk antara warna buah muda dan buah matang, 3. Warna buah matang, warna buah akhir yang sudah tidak mengalami perubahan, 4. Panjang buah, diukur dari pangkal ke bagian ujung buah cabai, 5. Bobot buah, ditimbang 10 buah pada panen kedua, 6. Tebal daging buah, diukur tebal daging buah 10 cabai pada panen kedua, 7. Bobot buah per tanaman (g), buah setelah panen ditimbang, pada 6 tanaman contoh selama 8 minggu. Karakterisasi Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C. Bahan tanaman yang digunakan dalam mengkarakterisasi kandungan capsaicin, vitamin A dan vitamin C adalah buah cabai dari 14 genotipe yang diuji pada evaluasi daya hasil, kualitas gasil dan keragaman genetik. Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 200 g buah cabai. Model matematis rancangan yang digunakan untuk percobaan 1 adalah: Yij = μ + αi + βj + εij Keterangan: Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan genotipe ke-i pada blok ke-j μ = Nilai rata-rata umum αi = Pengaruh perlakuan genotipe ke-i (i = 1, 2, ..., 14) βj = Pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2) εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan genotipe ke-i, blok ke-j 26 Buah cabai yang dipanen, dianalisis kandungan capsaicin, vitamin A dan C berdasarkan metode yang dikembangkan oleh BB Pasca Panen menggunakan teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC), sebagai berikut: - Sampel yang berasal dari buah matang dihaluskan terlebih dahulu. Kemudian ditimbang 2 g sampel. - Buah cabai diekstrak dengan kloroform 10 ml pada suhu 600C selama 20 menit. - Setelah ekstrak buah cabai dingin, disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. - Dipisahkan residu dan filtrat. - Residu dicuci kembali dengan kloroform 10 ml, dilakukan dua kali (diekstrak kembali). - Filtrat dikumpulkan - Cairan diefaporasi pada suhu 600C, lalu ditambahkan kloroform hingga 10 ml. - Diambil 1 ml cairan, ditambahkan fase gerak (air kloroform) 40:60, sampai 10 ml. - Kemudian disaring dengan millipore 0,5 , disuntikan ke HPLC sebanyak 5 ml Kolom fase balik C-18 dan detector ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm, kecepatan aliran 1 ml/l. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan fasilitas SAS. Jika uji F nyata, dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Gomez and Gomez 1995). Analisis dilakukan juga untuk mengetahui: 1. Ragam genetik ( 2 g ) dihitung menggunakan persamaan (Singh dan Chaudhary 1979) sebagai berikut: 2g Keterangan: KTG = kuadrat tengah genotipe KTE = kuadrat tengah galat r = ulangan KTG KTE r 27 3. Pendugaan Koefisien Keragaman Genotipik (KKG) berdasarkan persamaan: KKG 2g X 100 % Keterangan: 2g = ragam genetik X = rataan genotipe Berdasarkan kriteria Miligan et al. (1996) dalam Sudarmadji at al. (2007), Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dibagi dalam tiga kategori yaitu : 4. - Besar/tinggi : KKG ≥ 14,5% - Sedang : 5% ≤ KKG < 14,5% - Kecil : KKG < 5% Heritabilitas arti luas diduga berdasarkan persamaan: h2bs 2g 100 % 2p Keterangan: σ2g = ragam genotipe, σ2 p = ragam fenotipe Pengelompokan nilai h2bs berdasarkan Stansfield (1983) sebagai berikut: 5. h2bs rendah : h2 < 20% h2bs sedang : 20% ≤ h2 < 50% h2bs tinggi : h2 ≥ 50% Keeratan hubungan antar karakter dianalisis menggunakan analisis korelasi Pearson dengan persamaan sebagai berikut: r ( Xi X )(Yi Y ) ( Xi X ) (Yi Y ) 2 Keterangan : r = koefisien korelasi Xi = nilai pengamatan ke-i pada peubah pertama X = rataan karakter pertama Yi = nilai pengamatan ke-i pada peubah kedua Y = rataan karakter kedua 2 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Daya Hasil 14 Genotipe Tanaman Cabai. Hasil karakterisasi daya hasil dari 14 genotipe tanaman cabai yang telah digalurkan sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat homosigositas dilakukan untuk karakter kuantitatif dan kualitatif khusus daya hasil berdasarkan Descriptors for Capsicum (IPGRI 1985). Karakter kuantitatif yang dimaksudkan adalah panjang buah, tebal daging buah, bobot per buah dan bobot buah per tanaman. Hasil analisis ragam karakter kuantitatif tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kuadrat Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot per Buah dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai Sumber Keragaman Derajat Bebas Panjang Buah Tebal Daging Buah Bobot per Buah Ulangan 1 tn 0,28 tn 0,07 tn 0,56 tn 7,58 Genotipe 13 20,69** 0,33** 18,43** 22978,72* 8,07 8,05 11,52 25,36 KK (%) Bobot Buah per Tanaman Keterangan : **: nyata pada taraf 1 %, *: nyata pada taraf 5%, tn: tidak nyata Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan seperti terlihat pada Tabel 3, genotipe menunjukan pengaruh nyata untuk semua karakter kuantitatif yang diamati. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan yang cukup berarti diantara 14 genotipe pada populasi yang diamati. Perbedaan ini menjadi sumber keragaman yang sangat penting dalam program pemulian tanaman khususnya dalam rangka menyeleksi genotipe-genotipe tertentu yang akan dijadikan tetua untuk pelaksanaan progam pemuliaan tanaman selanjutnya. Hasil analisis juga memperlihatkan ulangan tidak memberikan pengaruh yang nyata untuk semua karakter kuantitatif yang diamati. Nilai tengah 14 genotipe tanaman cabai untuk karakter panjang buah, tebal daging buah, bobot per buah dan bobot buah per tanaman disajikan pada Tabel 4. 29 Hasil analisis terhadap karakter panjang buah 14 genotipe tanaman cabai dengan menggunakan DMRT menunjukkan perbedaan yang nyata. Panjang buah genotipegenotipe cabai ini berkisar antara 3,41 cm yang terbentuk pada genotipe IPB C20, hingga 13,90 cm pada genotipe IPB C128, dengan nilai tengah sebesar 10,20 cm. Genotipe IPB C20 tergolong jenis cabai rawit, memiliki ukuran panjang buah yang tidak berbeda nyata dengan ukuran panjang buah yang terbentuk pada genotipe IPB C10 yang juga tergolong dalam jenis cabai rawit. Tabel 4. Nilai Tengah Karakter Panjang Buah, Tebal Daging Buah, Bobot per Buah dan Bobot Buah per Tanaman pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai Genotipe Panjang Buah (cm) IPB C2 12,34 abcd IPB C9 Tebal Daging Buah (mm) Bobot per Buah (g) Bobot Buah per Tanaman (g) 2,09 abc 7,01 de 371,49 ab 9,20 ef 1,49 e 5,78 efg 393,46 ab IPB C10 3,51 g 0,98 f 0,89 i 102,69 c IPB C14 8,29 f 1,75 cde 4,87 fg 428,66 a IPB C15 10,70 cde 1,79 cde 5,73 efg 469,52 a IPB C19 13,18 ab 2,21 a IPB C20 3,41 g IPB C105 11,10 a 379,34 ab 1,83 bcde 2,44 h 193,97 bc 10,64 de 1,54 de 4,27 g 359,68 ab IPB C110 12,64 abc 1,14 f 2,53 h 329,96 ab IPB C128 13,90 a 2,03 abc 9,38 bc 439,11 a IPB C129 10,37 de 2,15 ab 8,32 cd 501,91 a IPB C130 11,53 bcd 2,28 a 10,20 ab 372,34 ab IPB C131 11,52 bcd 1,85 bcd 5,99 ef 459,23 a IPB C132 11,57 bcd 2,26 a 7,89 cd 335,15 ab Keterangan : angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan DMRT Panjang buah yang dihasilkan pada genotipe IPB C128 tidak berbeda nyata dengan ukuran panjang buah yang dihasilkan pada genotipe IPB C2, IPB C19 dan IPB C110. Genotipe-genotipe yang memiliki buah dengan ukuran panjang ini 30 tergolong dalam jenis cabai besar, semi keriting dan cabe keriting. Tebal daging buah merupakan salah satu karakter yang menentukan besarnya nilai produksi tanaman cabai. Apabila genotipe-genotipe memiliki tebal daging buah yang berbeda maka bobot buah yang dihasilkan akan berbeda walaupun ukuran panjang buahnya sama. Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada Tabel 4, nilai tengah dari karakter tebal daging buah adalah sebesar 1,81 mm. Daging buah cabai yang paling tipis adalah 0,98 mm yang terbentuk pada genotipe IPB C10 (cabai rawit) tidak berbeda nyata dengan tebal kulit buah yang tebentuk pada genotipe IPB C110 (cabai keriting) sebesar 1,14 mm. Kulit buah yang paling tebal terbentuk pada genotipe IPB C130 yaitu sebesar 2,28 mm tidak berbeda nyata dengan tebal kulit buah yang terbentuk pada genotipe IPB C132 (2,26 mm), IPB C19 (2,21 mm), IPB C129 (2,15 mm), IPB C2 (2,09 mm) dan genotipe IPB C128 (2,03 mm). Hasil analisis 14 genotipe tanaman cabai memperlihatkan nilai tengah bobot per buah cabai adalah sebesar 6,17 g. Bobot per buah genotipe-genotipe ini berkisar antara 0,89 g (IPB C10), hingga 110,95 g (IPB C19). Bobot per buah yang rendah terdapat pada genotipe IPB C10, berbeda nyata dengan 13 genotipe lainnya, disebabkan genotipe ini termasuk dalam jenis cabai rawit yang secara anatomi memiliki bentuk buah dengan ukuran yang kecil. Genotipe IPB C20 juga tergolong jenis cabai rawit namun memiliki ukuran buah yang lebih besar dan daging buah yang lebih tebal dari genotipe IPB C10 sehingga bobot per buahnya juga menjadi lebih besar. Bobot per buah cabai yang tertinggi yang terbentuk pada genotipe IPB C19, tidak berbeda nyata dengan bobot per buah yang terbentuk pada genotipe IPB C130 (101,95 g). Kedua genotipe ini tergolong jenis cabai besar. Hasil analisis bobot buah per tanaman memperlihatkan nilai tengah bobot buah per tanaman adalah sebesar 366,89 g, dengan kisaran berat antara 102,69 g (IPB C10) hingga 501,91 g (IPB C129). Genotipe IPB C10 yang memiliki bobot buah per tanaman terkecil ini, tidak berbeda nyata dengan bobot buah per tanaman yang terbentuk pada genotipe IPB C20 (193,97 g). Kedua genotipe ini tergolong jenis cabai rawit. Bobot buah per tanaman yang tergolong dalam kelompok tinggi adalah genotipe-genotipe IPB C129, IPB C15, IPB C131, IPB C128 dan IPB 31 C14. Untuk genotipe-genotipe yang tergolong berproduksi sedang adalah genotipe IPB C9, IPB C19, IPB C130, IPB C2, IPB C105, IPB C132 dan IPB C110. Karakter kualitatif yang diamati dalam penelitian ini adalah warna buah muda, warna buah intermediet dan warna buah matang. Hasil pengamatan karakter warna buah disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa genotipe – genotipe memiliki warna buah muda hijau (IPB C2, IPB C10, IPB 19, IPB 105, IPB 128, IPB 129, IPB 130, IPB 131, IPB 132), hijau kusam (IPB C15), hijau muda (IPB C9, IPB C14), hijau tua (IPB C110) dan ungu (IPB C20). Warna buah intermediet yaitu hijau kekuningan (IPB C14), ungu (IPB C20) dan genotipe yang lainnya warna buah intermedietnya adalah hijau. Semua genotipe yang diamati memiliki buah matang berwarna merah. Penampilan dari 14 genotipe uji disajikan pada lampiran 1 dan 2. Tabel 5. Warna Buah Muda, Warna Buah Intermediet dan Warna Buah Matang Beberapa Genotipe Tanaman Cabai Genotipe Muda Warna Buah Intermediet Masak IPB C2 Hijau Hijau Merah IPB C9 Hijau muda Hijau Merah IPB C10 Hijau Hijau Merah IPB C14 Hijau muda Hijau kekuningan Merah IPB C15 Hijau kusam Hijau Merah IPB C19 Hijau Hijau Merah IPB C20 Ungu Ungu Merah IPB C105 Hijau Hijau Merah IPB C110 Hijau tua Hijau IPB C128 Hijau Hijau Merah Merah IPB C129 Hijau Hijau Merah IPB C130 Hijau Hijau Merah IPB C131 IPB C132 Hijau Hijau Hijau Hijau Merah Merah 32 Penentuan Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C untuk Evaluasi Calon Tetua Capsaicin merupakan salah satu produk metabolit sekunder tanaman cabai yang menentukan rasa pedas (Greenleaf 1986). Produk metabolit sekunder lainnya yang dihasilkan oleh tanaman cabai adalah provitamin A dan vitamin C. Hasil analisis ragam karakter capsaicin, vitamin A dan vitamin C disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kuadrat Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai Sumber Keragaman Derajad Bebas Ulangan 1 Genotipe 13 Capsaicin 91,80 tn 8.717,11** KK (%) Vitamin A 134.285,40 Vitamin C tn 62,22 9.545.197,20** 5,60 tn 702,72** 5,31 6,88 Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, tn = tidak nyata Genotipe-genotipe yang diteliti memiliki perbedaan yang nyata untuk karakter capsaicin, vitamin A dan vitamin C, yang ditunjukkan dengan hasil analisis ragam dari perlakuan genotipe yang sangat nyata. Perbedaan ini sangat berguna sebagai sumber genetik untuk melakukan studi pendugaan parameter genetik untuk karakter - karakter yang diamati. Hasil analisis juga memperlihatkan ulangan tidak berpengaruh nyata untuk semua karakter yang diamati. Nilai tengah karakter kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C serta hasil DMRT disajikan pada Tabel 7. Capsaicin Hasil diantara pengamatan empat belas kadar genotipe capsaicin yang diuji. menunjukkan adanya perbedaan Perbedaan ini mengakibatkan terdistribusinya genotipe-genotipe dimaksud ke dalam sebaran genotipe yang 33 memiliki kadar capsaicin tinggi, sedang (moderat) dan rendah. Hingga saat ini pengelompokan genotipe-genotipe cabai kedalam kelompok kadar capsaicin tinggi, moderat dan rendah belum dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Oleh sebab itu batasan statistik yang jelas dari setiap kelompok belum terstandarisasi untuk dapat dipakai dalam mengelompokan genotipe-genotipe uji. Tabel 7. Nilai Tengah Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai Genotipe Capsaicin (ppm) Vitamin A (IU/100 g) Vitamin C (mg/100 g) 6405,50 g 86,84 def 83,27 def IPB C2 342,46 IPB C9 428,20 cdef 8007,30 def IPB C10 611,19 9407,10 IPB C14 397,77 efg IPB C15 471,86 bcd IPB C19 381,48 g a c 127,70 a 8997,90 cd 64,94 g 13056,30 a 110,75 bc fg 7700,90 ef 98,13 cd IPB C20 471,81 bcd 8661,80 cde 121,39 ab IPB C105 468,76 bcd 12132,60 ab 94,41 d IPB C110 515,04 b 7841,60 ef 95,52 d IPB C128 394,19 efg 7373,30 fg 75,45 fg IPB C129 484,01 bc 12376,60 ab 93,20 de IPB C130 446,57 cde 11512,60 b 87,48 def IPB C131 418,69 def 8020,20 def 79,23 efg IPB C132 426,23 cdef 7029,30 fg 64,99 g Keterangan : angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan DMRT Namun demikian, berdasarkan hasil uji DMRT yang dilakukan terhadap nilai tengah dari 14 genotipe uji, maka dibuatlah sebaran genotipe dengan memperhatikan hasil uji beda tersebut. Hasil sebaran genotipe berdasarkan data nilai tengah kadar capsaicin 14 genotipe uji adalah: Genotipe IPB C10 yang memiliki kadar capsaicin sebesar 611,19 ppm tergolong genotipe yang memiliki kadar capsaicin tinggi. 34 Genotipe ini adalah grup cabai rawit dari spesies Capsicum annuum L. Berdasarkan hasil uji DMRT genotipe ini berbeda nyata dengan 13 genotipe yang lainnya. Genotipe IPB C110 (grup cabai keriting) memiliki kadar capsaicin yang tergolong sedang yaitu sebesar 515,04 ppm. Genotipe ini tidak berbeda nyata dengan beberapa genotipe yang kadar capsaicinnya tergolong sedang atau moderat yaitu genotipe IPB C129 (484,01 ppm), IPB C15 (471,86 ppm), IPB C20 (471,71 ppm) dan IPB C105 (468,76 ppm. Masih ada genotipe-genotipe lainnya yang tergolong rendah dimana genotipe yang satu dengan genotipe lainnya tidak berbeda nyata yaitu genotipe IPB C130 (446,57 ppm), IPB C9 (428,82 ppm), IPB C132 (426,23 ppm), IPB C131 (418,69 ppm), IPB C14 (397,77 ppm), IPB C128 (394,19 ppm) dan genotipe IPB C19 (381,48 ppm). Genotipe IPB C2 memiliki kadar capsaicin yang tergolong rendah yaitu sebesar 342,46 ppm walaupun kadar capsaicinnya masih tidak berbeda nyata dengan IPB C14, IPB C128 dan IPB C19. Berdasarkan sebaran genotipe di atas maka terpilihlah genotipe IPB C10 mewakili kadar capsaicin tinggi, genotipe IPB C20, IPB C15 dan genotipe IPB C9 mewakili genotipe dengan kadar capsaicin sedang/moderat, genotipe IPB C2 mewakili genotipe dengan kadar capsaicin rendah. Selain pemilihan berdasarkan sebaran ini maka pemilihan tetua juga berdasarkan kemudahan dari setiap genotipe untuk melakukan persilangan satu dengan lainnya. Kelima genotipe terpilih diketahui memiliki kemampuan dan kemudahan dalam melakukan persilangan. Mengingat populasi yang digunakan akan mengacu kepada kadar capsaicin ini maka kadar vitamin C, diharapkan juga telah terwakili dalam kelima genotipe terpilih. Vitamin A Hasil analisis DMRT terhadap nilai tengah 14 genotipe uji menunjukan adanya perbedaan yang cukup berarti diantara genotipe-genotipe uji untuk karakter kadar vitamin A. Kadar vitamin A terbesar adalah 13.056,3 IU/100 g yang terbentuk pada genotipe IPB C15. Kadar vitamin A yang terbentuk pada genotipe IPB C15 ini tidak berbeda nyata dengan kadar vitamin A yang terbentuk pada genotipe IPB C129 (12.376,6 IU/100 g) dan IPB C105 (12.132,6 IU/100 g) serta berbeda nyata dengan 35 kadar vitamin A pada 11 genotipe lainnya. Genotipe IPB C2 memiliki kadar vitamin A terkecil yaitu sebesar 6.405,5 IU/100 g, tidak berbeda nyata dengan kadar vitamin A yang terbentuk pada genotipe IPB C128 (7.373,3 IU/100 g) dan genotipe IPB C132 (7.029,3 IU/100 g). Seperti diketahui bahwa kebutuhan seseorang akan vitamin A per hari adalah sebesar 5.000 IU (Djawarningsih 2005). Untuk itu semua genotipe yang digunakan sebenarnya telah memiliki kadar vitamin A yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Namun demikian yang menjadi masalah adalah apakah seseorang itu mampu untuk mengkonsumsi 100 g cabai dalam sehari. Pengelompokan vitamin A berdasarkan besarnya kadar yang dimiliki oleh setiap genotipe uji ternyata menyebar juga dalam 5 genotipe yang terpilih dalam penentuan tetua berdasarkan kadar capsaicin. Namun analisis genetik untuk karakter kadar vitamin A ini tidak dilakukan. Vitamin C Kebutuhan seseorang akan vitamin C per hari adalah sebesar 60 mg. Berdasarkan data pada Tabel 11, kadar vitamin C pada 14 genotipe uji berkisar antara 64,94 mg/100 g (IPB C14) hingga 127,70 mg/100 g (IPB C10) dengan nilai tengah sebesar 91,66 mg/100 g. Kadar vitamin C tertinggi yang terbentuk pada genotipe IPB C10 tidak berbeda nyata dengan kadar vitamin C yang tebentuk pada genotipe IPB C20 namun berbeda nyata dengan genotipe uji lainnya. Genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah tidak berbeda nyata dengan genotipe IPB C128, IPB C131 dan genotipe IPB C132. Lima genotipe yang telah terpilih pada pemilihan tetua untuk karakter capsaicin masih memiliki nilai tengah kadar vitamin C yang menyebar dalam kategori tinggi (IPB C10, IPB C20), sedang (IPB C15) dan agak rendah (IPB C2, IPB C9). Walaupun penyebaran keragaman dari lima genotipe untuk karakter kandungan vitamin C tidak seperti penyebaran atau pengelompokan yang terjadi pada karakter capsaicin, namun pendugaan parameter genetik dari karakter kandungan vitamin C ini masih bisa dilakukan. 36 Koefisien Keragaman Genetik (KKG), Heritabilitas (h2bs) dan Korelasi (r) Variasi genetik untuk semua sifat yang diamati dihitung dari koefisien keragaman genetik (KKG). Berdasarkan hasil analisis, nilai KKG menunjukkan kriteria tinggi untuk semua karakter, kecuali kadar capsaicin (Tabel 8), sehingga dapat dikatakan bahwa keragaman genetik cabai untuk karakter-karakter yang diamati cukup tinggi. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar karakter memiliki peluang terhadap usaha-usaha perbaikan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Allard (1960), bahwa semakin tinggi nilai KKG maka peluang dalam usaha perbaikan yang efektif dalam seleksi lebih besar pula sehingga dapat meningkatkan kemajuan genetik hasil seleksi. Selanjutnya Rasyad (1996) mengemukakan bahwa nilai koefisien keragaman genetik tinggi, maka faktor genetik akan berpengaruh besar pada penampilan karakter tersebut. Tabel 8. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dan Heritabilitas Karakterkarakter yang Diamati pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai Karakter Koefisien Keragaman Genetik Heritabilitas Nilai (%) Kriteria Nilai (%) Kriteria Panjang Buah 31,01 besar/tinggi 96,73 tinggi Tebal Kulit Buah 21,71 besar/tinggi 93,55 tinggi Bobot per Buah 48,52 besar/tinggi 97,26 tinggi Bobot Buah per Tanaman 23,06 besar/tinggi 62,31 tinggi Kadar Capsaicin 14,23 sedang 92,80 tinggi Kadar Vitamin A 23,50 besar/tinggi 97,51 tinggi Kadar Vitamin C 19,86 besar/tinggi 94,33 tinggi Heritabilitas adalah parameter genetik yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu genotipe dalam populasi tanaman dalam mewariskan karakter yang 37 dimilikinya atau suatu pendugaan yang mengukur sejauh mana variabilitas penampilan suatu genotipe dalam populasi terutama yang disebabkan oleh peranan faktor genetik (Poehlman dan Sleeper 1995). Heritabilitas suatu karakter penting diketahui, terutama untuk menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi (Sutjahyo el al. 2005). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, maka semua karakter yang diamati menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi yang berkisar antara 62,31 % (bobot buah per tanaman) hingga 97,51 % (kadar vitamin A). Hal ini menunjukkan bahwa karakter-karakter yang diamati sangat dipengaruhi oleh faktor genetik atau peran faktor lingkungan dalam penampilan karakter tersebut kecil. Nilai heritabilitas rendah untuk suatu karakter menggambarkan karakter tersebut sangat dipengaruhi faktor lingkungan (Fehr 1987). Untuk mengevaluasi keeratan hubungan antara karakter kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C maka dilakukan uji korelasi. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui adanya keeratan hubungan dua peubah atau lebih, dan bila ada maka diukur tingginya derajad keeratan hubungan tersebut yang disebut dengan koefisien korelasi. Besaran koefisien korelasi (r) tidak menggambarkan hubungan sebab akibat antara dua peubah atau lebih tetapi hanya menggambarkan keterkaitan linier antar peubah. Koefisien korelasi dinotasikan dengan r dan nilai yang berkisar antara 1 hingga -1 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Dalam menentukan sifat-sifat yang ada kaitannya dengan sifat yang dituju, maka diperlukan informasi hubungan antara sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang akan diperbaiki. Adanya hubungan antar satu sifat atau lebih sangat baik sebagai indikator untuk memperbaiki suatu sifat melalui sifat lainnya (Permadi et al. 1993). Hasil analisis korelasi karakter kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C pada genotipe tanaman cabai yang diuji disajikan pada Tabel 8. Data pada Tabel 8 memperlihatkan karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,4261 dan peluang nyata 0,0238. Namun demikian tingkat hubungan linear kedua karakter ini tidak erat karena nilai 38 korelasinya lebih mendekati ke nilai nol. Untuk itu semakin tinggi kadar capsaicin tidak erat hubungannya dengan semakin tingginya kadar vitamin A. Mattjik dan Sumertajaya (2005) mengemukakan bahwa nilai koefisien korelasi (r) yang mendekati 0 (nol) menunjukan hubungan kedua peubah atau karakter tersebut tidak linear. Tabel 9. Koefisien Korelasi Karakter Kadar Capsaicin, Vitamin A dan Vitamin C pada Genotipe Tanaman Cabai Vitamin A Vitamin C 0,4261* Capsaicin Vitamin A 0,6348** (0,0238) (0,0003) 1,0000 0,3249 tn (0,0916) Keterangan : **: nyata pada taraf 1 %, *: nyata pada taraf 5%, tn: tidak nyata, angka dalam kurung merupakan peluang nyata Hasil analisis korelasi juga memperlihatkan adanya korelasi yang positif antara kadar capsaicin dengan vitamin C. Berdasar nilai korelasi dari karakter kadar capsaicin dan vitamin C (0,6348) yang lebih mendekati nilai 1, maka kedua karakter ini memiliki hubungan linear yang cukup erat. Ini berarti bahwa kenaikan kadar capsaicin pada cabai akan diikuti oleh kenaikan kadar vitamin C. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2005) nilai koefisien korelasi (r) yang mendekati 1 atau -1 menunjukan semakin erat hubungan linear antara kedua peubah atau karakter tersebut. Karakter vitamin A dan vitamin C tidak memiliki korelasi yang tidak nyata. Hasil penelitian untuk mengevaluasi 14 genotipe tanaman cabai, merekomendasikan 5 genotipe yang dijadikan sebagi calon tetua untuk persilangan setengah dialel (Bab IV) berdasarkan kadar capsaicin, vitamin C dan kemudahan dalam melakukan persilangan antar genotipe. Kelima genotipe tersebut adalah genotipe IPB C2 dan IPB C15 (grup cabai semi keriting), genotipe IPB C9 (grup cabai besar) serta genotipe IPB C10 dan IPB C20 (grup cabai rawit). Penampilan lima genotipe terpilih diperlihatkan pada Gambar 4. 39 IPB-C2 IPB-C9 IPB-C10 IPB-C15 IPB-C20 Gambar 4. Penampilan 5 Genotipe Terpilih yang Digunakan sebagai Tetua dalam Persilangan Setengah Dialel. SIMPULAN 1. Genotipe IPB C10 memiliki kadar capsaicin dan vitamin C tertinggi, masingmasing sebesar 61,19 ppm dan 127,70 mg/100 g. Kadar vitamin A tertinggi adalah pada genotipe IPB C15 yaitu sebesar 13.056,30 IU/100 g. 2. Genotipe IPB C2 memiliki kadar capsaicin dan vitamin A terendah dan genotipe IPB C14 memiliki kadar vitamin C terendah. 3. Keragaman genetik tanaman cabai untuk karakter panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar vitamin A dan kadar vitamin C tergolong tinggi kecuali keragaman genetik karakter kadar capsaicin tergolong sedang. 4. Nilai heritabilitas karakter panjang buah, tebal kulit buah, bobot per buah, bobot buah per tanaman, kadar capsaicin, kadar vitamin A dan kadar vitamin C tergolong tinggi. 5. Karakter kadar capsaicin berkorelasi positif dengan karakter vitamin A dan vitamin C namun karakter kadar vitamin A dan vitamin C tidak memiliki hubungan korelasi. 6. Lima genotipe direkomendasikan untuk dijadikan calon tetua untuk persilangan setengah dialel pada Bab IV berdasarkan kadar capsaicin, vitamin C dan kemudahan dalam melakukan persilangan. Lima genotipe tersebut adalah IPB 40 C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang, vitamin C rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang). DAFTAR PUSTAKA Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 hal. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai 2009. http://www.bps.go.id [30 Januri 2011]. Bahar M, Zein A. 1993. Parameter genetik pertumbuhan tanaman, hasil dan komponen hasil jagung. Zuriat 4(1):4-7. [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Konsumsi perkapita sayuran di Indonesia periode 2003-2006. http://www.deptan.go.id [30 Mei 2009]. Djarwaningsih T. 2005. Capsicum spp. (Cabai): Asal, Penyebaran dan Nilai Ekonomi. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hal : 292-296. Eckebil JP, Ross WM, Gardner CO, Maranville JW. 1977. Heritability estimates, genetic correlations, and predicted gains from S1 progeny test in three grain sorghum Random-mating Populations. Crop Sci. 17:373-377. Fehr WR. 1987. Principle of cultivar development. theory and technique. Vol. I. MacMillan Pub. Co. New York. 536 p. Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur statistika untuk penelitian pertanian (terjemahan). Jakarta: UI. Press. 698 hal. Greenleaf WH. 1986. Pepper breeding. Basset MJ, editor. Breeding Vegetables Crops. Conecticut: AVI Publishing Co. Helyanto B, Setyobudi U, Kartamidjaja A, Sunardi D. 2000. Studi parameter genetik hasil serat dan komponennya pada plasma nutfah rosela. J. Pert. Trop. 8(1):8287. [IPGRI]. 1985. Descriptor for Capsicum (Capsicum spp.). Italy: IPGRI, AVRDC, CATIE. Makmur A. 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Cetakan 3. Jakarta: Rineka Cipta. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2005. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. 41 Permadi C., Baihaki, Karmana MH. dan Warsa T. 1993. Korelasi sifat komponen hasil terhadap hasil genotipe-genotipe F1 dan F1 resiprokal lima tetua kacang hijau dalam persilangan dialel. Zuriat 4(1):45-49. Poehlman JM, Sleeper DA. 1995. Breeding Field Crops. USA: Iowa State University Press. Rasyad A. 1996. Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter agronomis padi lahan pasang surut di Kabupaten Bengkalis dan Indragiri Hilir. Zuriat 10 (2) : 80-87. Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Revised Edition. New Delhi: Kalyani. Sreelathakumary I, Rajamony L. 2003. Variability, heritability and genetic advance in Bird pepper. Capsicum Eggplant Newslett. 22 : 51 – 54 Stanfield WD. 1983. Theory and Problems of Genetics. 2nd Ed. McGraw-Hill, New York. Sudarmadji, Mardjono R, Sudarmo H. 2007. Variasi genetik, heritabilitas dan korelasi genotipik sifat - sifat penting tanaman wijen. Jurnal Littri 13(3):88–92. Sudré CP, Leonardecz E, Rodrigues R, Amaral Júnior AT. 2007. Genetic resources of vegetable crops: a survey in the Brazilian germplasm collections pictured through papers published in the journals of the Brazilian Society for Horticultural Science. Hortic. Bras. 25: 496-503. Sujiprihati S, Saleh GB, Ali ES. 2003. Heritability, performance and correlation studies on single cross hybrids of tropical maize. Asian J. of Plant Sci. 2(1):51-57. Sutjahjo SH, Sujiprihati S, Syukur M. 2005. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Diktat Kuliah. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura. Faperta IPB. Yunianti R, Sujiprihati S, Syukur M, Undang. 2006. Seleksi hibrida cabai hasil persilangan full diallel menggunakan beberapa parameter genetik. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman di Bogor 1−2 Agustus 2006. Hal. 151−156. Zen S. 1995. Heritabilitas, korelasi genotipik dan fenotipik karakter padi gogo. Zuriat 6(1):25-31. 42 EVALUASI HIBRIDA F1 DAN PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KADAR CAPSAICIN DAN VITAMIN C PADA CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS DIALEL ABSTRAK Salah satu metode yang digunakan dalam pendugaan parameter genetik adalah analisis silang dialel. Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga parameter genetik karakter kadar capsaicin & vitamin C pada 5 tetua cabai dengan menggunakan analisis dialel, dan mengevaluasi hibrida F1, serta mengetahui nilai heterosis dan heterobeltiosisnya. Lima genotipe tetua terpilih dari percobaan 1, yaitu genotipe IPB C2, IPB C9, IPB C10, IPB C15 dan IPB C20. Percobaan disusun menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 200 g buah cabai. Kadar capsaicin dan vitamin C dianalisis berdasarkan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil analisis genetik menunjukkan terdapat adanya pewarisan ekstrakromosomal pada karakter kadar capsaicin, sedangkan pada kadar vitamin C tidak terdapat. Genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi untuk karakter kadar capsaicin, sementara untuk kadar vitamin C tertinggi terdapat pada hibrida F1 IPB C9 x IPB C10. Tidak terdapat interaksi antar gen dalam pengendalian karakter kadar capsaicin buah cabai. Sementara ekspresi kadar vitamin C dalam buah cabai ditentukan oleh interaksi gen antar lokus. Aksi gen aditif dan gen dominan berperan sangat nyata untuk karakter kadar capsaicin dan tidak nyata dalam menentukan kadar vitamin C buah cabai. Nilai heritabilitas arti luas untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C tergolong tinggi, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit untuk karakter kadar capsaicin tergolong tinggi dan untuk karakter kadar vitamin C tergolong sedang. Genotipe IPB C10 mempunyai daya gabung umum yang paling tinggi untuk kedua karakter (capsaicin dan vitamin c). Kata kunci: Silang dialel, capsaicin, vitamin C, heterosis, heterobeltiosis PENDAHULUAN Latar Belakang 43 Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang akan menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit sekunder (Herbert 1995). Pada tanaman cabai, salah satu produk metabolit sekunder yang khusus terdapat pada buah cabai adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas dari cabai. Zat ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi. Hasil penelitian Syukur et al. (2007) menunjukan adanya perbedaan yang cukup besar pada karakter kadar capsaicin beberapa galur cabai, yang berkisar antara 212,285 - 1.310,035 ppm per 100 g. Cabai juga banyak mengandung vitamin C. Vitamin C dikenal dengan nama kimia asam askorbat adalah vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Cabe hasil persilangan genotipe-genotipe yang terpilih diharapkan nantinya kaya akan vitamin C. Kadar vitamin C yang terdapat didalam cabai diharapkan dapat mensubtitusi kebutuhan masyarakat akan vitamin tersebut, yang selama ini banyak diperoleh dari konsumsi buah-buahan yang relatif lebih mahal. Kebutuhan seseorang akan vitamin C per hari adalah sebesar 60 mg. Kadar capsaicin dan vitamin C yang terdapat dalam buah cabai rawit, keriting, semi keriting dan cabai besar bervariasi. Hai ini memungkinkan untuk diadakannya persilangan antara galur yang memiliki perbedaan kadar yang cukup ekstrim untuk mempelajari bagaimana karakter kadar capsaicin dan vitamin C itu diwariskan. Sifat buah, benih dan sifat-sifat lain dikendalikan secara genetik. Pemuliaan untuk mendapatkan sifat tertentu dari buah cabai memerlukan informasi genetik bagaimana sifat tersebut diwariskan dengan mempelajari penampilan fenotipik keturunan hasil persilangan antar genotipe yang memiliki perbedaan sifat buah yang nyata. Dalam program pemuliaan tanaman cabai, dibutuhkan suatu keragaman genetik dan informasi tentang bagaimana memindahkan suatu karakter dari suatu individu tanaman ke zuriatnya. 44 Terdapat beberapa rancangan persilangan untuk memilih tetua dalam rangka menghasilkan varietas unggul baru, diantaranya rancangan silang dialel. Rancangan ini telah terbukti dapat membantu pemulia cabai untuk memilih materi pemuliaan berupa pasangan galur-galur inbred yang menghasilkan kombinasi terbaik yang memiliki sifat heterosis (Sousa & Maluf 2003). Rancangan persilangan dialel adalah seluruh kombinasi persilangan yang mungkin diantara sekelompok genotipe, termasuk tetua itu sendiri lengkap dengan F1 turunannya. Rancangan silang dialel ini harus memenuhi beberapa asumsi berikut: (1) segregasi diploid, (2) tidak ada perbedaan antara F1 dengan resiproknya atau tidak ada efek maternal, (3) tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel/epistasis, (4) tidak ada multialelisme, (5) tetua homozigot, (6) gen-gen menyebar secara bebas di antara tetua (Hayman 1954). Didalam persilangan tanaman cabai diketahui adanya fenomena heterosis, yaitu hibrida F1 yang dihasilkan memperlihatkan penampilan yang lebih baik dari pada rata-rata kedua tetuanya (Greenleaf 1986). Selain heterosis yang pembanding bagi hibrida F1 adalah rata-rata tetua maka pembanding untuk hibrida F1 juga dapat dilakukan hanya dengan nilai dari penampilan salah satu tetua terbaik (best parent) yang dikenal dengan istilah heterobeltiosis. Hal ini memungkinkan untuk dibentuk varietas hibrida yang memiliki sifat lebih baik dari varietas tanaman menyerbuk sendiri. Sifat-sifat tersebut antara lain kualitas buah, daya hasil, resistensi terhadap hama dan penyakit serta sifat penting lainnya (Kusandriani dan Permadi 1996). Menurut Singh (1987) untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, maka tetua galur murni berasal dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan. Beberapa penelitian tentang heterosis dan daya gabung telah dilakukan pada cabai (Nasir 1999; Herison et al. 2001; Sousa dan Maluf 2003; Seneviratne dan Kannangara 2004; Geleta et al. 2006; Sujiprihati et al. 2007; Zou et al. 2007; Kirana dan Sufiari 2007; do Rego et al. 2009; Kamble et al. 2009; Marame et al. 2009). Tahap awal dalam menilai hasil persilangan antar galur adalah mengevaluasi daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Informasi ini diperlukan untuk mendapatkan kombinasi tetua yang akan menghasilkan keturunan yang 45 berpotensi hasil tinggi. Hasil yang tinggi akan dapat dicapai jika turunan dari kombinasi persilangan tersebut memiliki heterosis positif dan daya gabung yang tinggi. Daya gabung merupakan konsep umum untuk mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya (Hallauer dan Miranda 1995). Menurut Poehlman (1983) tidak semua kombinasi galur murni akan menghasilkan hibrida yang superior. Oleh karena itu, galur-galur murni perlu diuji daya gabungnya guna menentukan kombinasi yang terbaik untuk produksi benih hibrida. Welsh (1981) menyatakan populasi yang diidentifikasi memiliki DGU tinggi, berpeluang memiliki DGK yang tinggi pula. Sampai sejauh ini analisis kandungan capsaicin dan vitamin C pada tanaman cabai telah diketahui namun bagaimana pewarisan capsaicin dan vitamin C belum banyak dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan analisis silang dialel dari suatu persilangan setengah dialel (half diallel). Pemilihan tipe persilangan dialel ini didasarkan kepada asumsi bahwa tidak ada perbedaan antara persilangan resiprok antara tetua persilangan. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan: 1. Mendapatkan informasi parameter genetik karakter kadar capsaicin dan vitamin C pada cabai dengan menggunakan analisis dialel. 2. Mengevaluasi hibrida F1 tanaman cabai berdasarkan nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter kadar capsaicin dan vitamin C. 3. Memperoleh informasi Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) beberapa genotipe cabai untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C. BAHAN DAN METODE Pada tahapan awal dilakukan persilangan dan selfing antara genotipe-genotipe terpilih yang dijadikan sebagai tetua. Emaskulasi dan penyerbukan dilakukan pagi hari pada pukul 8.00 – 11.00. Emaskulasi menggunakan pinset yang telah disterilkan dengan alkohol 70%, pada tanaman yang akan dijadikan sebagai tetua betina. Serbuk sari dikumpulkan dalam wadah dari tetua jantan yang telah antesis. Selanjutnya 46 tepung sari ditempelkan ke stigma betina yang telah reseptif. Bunga yang telah diserbuki ditutup dengan selotip dan diberi label yang berisi informasi nama tetua persilangan dan tanggal persilangan. Jika persilangan berhasil maka mahkota bunga akan lepas akibat pembesaran daging buah, sedangkan jika persilangan gagal maka bunga akan rontok dalam waktu 2-3 hari. Buah hasil persilangan dipanen saat buah cabai telah masak, setiap buah dari tanaman sampel ditempatkan pada kantong terpisah dan diberi label. Selfing dilakukan dengan menutup individu tanaman dengan sungkup yang terbuat dari bahan tricot. Penyungkupan dilakukan pada saat tanaman belum berbunga untuk menghindari penyerbukan dari serbuk sari dari tanaman lain. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus – Januari 2010. Penanaman dan persilangan antara tetua untuk pembentukan populasi F1 dan penanaman tanaman F1 dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Lab. Dik Pemulian Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) Faperta IPB. Analisis kadar capsaicin dan vitamin C dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Departemen Pertanian. Metode Penelitian Berdasarkan hasil karakterisasi yang diperoleh pada percobaan 1, telah terpilih 5 genotipe yang dijadikan sebagai tetua dalam persilangan half diallel (Tabel 10). Tetua terpilih tersebut didasarkan pada kandungan capsaicin dan vitamin C yang tinggi, sedang atau rendah. Genotipe yang terpilih adalah IPB C2 (capsaicin rendah, vitamin C rendah), IPB C9 (capsaicin sedang, vitamin C rendah), IPB C10 (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), IPB C15 (capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan IPB C20 (capsaicin sedang, vitamin C sedang). Jumlah genotipe yang diuji adalah 15 genotipe, terdiri dari 5 tetua dan 10 F1. Percobaan disusun dengan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 2 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 200 gram buah cabai. Peubah kandungan capsaicin dan vitamin C dianalisis berdasarkan 47 metode yang dikembangkan oleh BB Pasca Panen yaitu menggunakan teknik High Performance Liquid Chromatography (HPLC) seperti percobaan 1 pada Bab III. Tabel 10. Persilangan Half Diallel dan Selfing Menggunakan Lima Tetua Tetua IPB C10 IPB C9 IPB C15 IPB C2 IPB C20 IPB C10 X9x10 X15x10 X2x10 X20x10 IPB C9 IPB C15 IPB C2 IPB C20 -- --- ---- --- X15x9 X2x9 X20x9 X2x15 X20x15 X15x20 -- X20x2 Pengamatan Peubah yang diamati pada percobaan 2 adalah: 1. Kadar capsaicin, dianalisis kadar capsaicin pada buah cabai (ppm) dengan menggunakan metode HPLC, 3. Kadar vitamin C, dianalisis kadar vitamin C pada buah cabai (mg/100 g) dengan menggunakan metode HPLC, Analisis Data 1. Pengujian Pewarisan Ekstrakomosomal Pewarisan ekstrakromosomal atau pengaruh tetua betina terhadap karakter kadar capsaicin dan vitamin C diketahui dengan membandingkan nilai tengah F1 dan F1R dengan uji t pada taraf 1%. Prosedur pengujian menggunakan fasilitas SAS 9.1. Bila hasil uji t adanya perbedaan yang nyata antara nilai tengah F1 dan F1R maka disimpulkan ada pengaruh tetua betina (efek maternal), sebaliknya jika uji t tidak berbeda nyata maka tidak ada pengaruh tetua betina. 2. Pendugaan nilai heterosis berdasarkan nilai tengah kedua tetua (mid parent) dan heterobeltiosis berdasarkan nilai tengah tetua terbaik (best parent). 48 = F 1 MP 100 0 0 MP Heterobeltiosis = F 1 BP 100 0 0 BP Heterosis Keterangan: F 1 : nilai tengah turunan MP : nilai tengah kedua tetua = 1 2 P1 P2 BP : nilai tengah tetua terbaik 3. Pendugaan Parameter Genetik. Untuk menduga parameter genetik kadar bahan aktif pada cabai (capsaicin dan vitamin) dilakukan analisis dialel menggunakan pendekatan Hayman dan Griffing (Singh dan Chaudhary, 1979). a) Pendekatan Hayman. Analisis Ragam Percobaan dialel menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak tiga ulangan menggunakan model statistik: Yijkl = μ + αij + βk + (αβ)ijk + εijkl Keterangan: Yijkl = Nilai pengamatan pada genotipe i x j dalam k ulangan μ = Nilai tengah umum αi = Pengaruh genotipe i x j βj = Pengaruh ulangan ke-k (αβ)ijk = Pengaruh interaksi εij = Pengaruh galat 49 Komponen analisis Ragam ditampilkan pada Tabel 11. Analisis dilanjutkan bila nilai kuadrat tengah genotipe berbeda nyata. Tabel 11. Komponen Analisis Ragam Analisis Silang Dialel Derajat Bebas Kuadrat Tengah Ulangan (r) b-1 KTb σ2 e + n σ2 b Genotipe (G) n-i KTg σ2 e + b σ2 g Galat (n-1)(b-1) KTe σ2 e Total bn-1 Sumber Keragaman E (KT) Pendugaan ragam dan peragam Untuk menduga nilai ragam dan peragam, data dirata-ratakan berdasarkan half diallel (Tabel 12). Tabel 12. Rataan Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C Berdasarkan Half Diallel untuk Perhitungan Nilai Ragam dan Peragam. Tetua Tetua 1 Tetua 2 Tetua 3 Tetua 4 Tetua 5 Xi. Tetua 1 X11 - - - - X1. Ratarata X1./5 Tetua 2 X21 X22 - - - X2. X2./5 Tetua 3 X31 X32 X33 - - X3. X3./5 Tetua 4 X41 X42 X43 X44 - X4. X4./5 Tetua 5 X51 X52 X53 X54 X55 X5. X5./5 X Rata-Rata tetua (ML0) = i j n ij 50 Ragam Tetua (V0l0) = Ragam array (Vri) = Rata-rata ragam array (V1L1) = Rata-rata ragam array (V0L1) = Peragam tetua dan keturunan (Wri) 2 X ij 1 i j 2 X ij n 1 i j n 2 n X ij 1 n j 1 2 X ij n 1 j 1 n 1 n Vri n i 1 2 n x i 2 1 n i 1 x 1 n 1 i 1 n = 2 n X ij X i ' j 1 n j 1; i 1 X ij X i ' j n 1 j 1; i 1 n Rata-rata peragam tetua dan array (W0L1) = 1 n Wri n i 1 Perbedaan rata-rata tetua dan rata-rata semua keturunan 1 1 n (ML1 – ML0) = X ij X ij n n i 1; j 1 i j 2 2 Uji Hipotesis Kesahihan hipotesis diuji menggunakan koefisien regresi menggunakan ragam dan peragam. b = (Cov (Wr, Vr))/(Var (Vr)) SE (b) = [(Var (Wr) – b * (Cov (Wr, Vr))/(Var (Vr) * (n-1))]1/2 Uji hipotesis: H0 : b=1 H1 : b≠1 51 Jika b = 1, maka tidak terdapat interaksi gen non alelik Grafik Wr-Vr Parabola diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan: Wri = (Vri x V0L0)1/2 Regresi diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan: Wri = Wr – bVr + bVri Intersep regresi diperoleh dari: a = Wr - bVr Semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y, kandungan gen dominannya secara relatif semakin tinggi, sebaliknya semakin jauh letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y, semakin kecil kandungan gen dominannya. Pendugaan Komponen Ragam Pendugaan komponen ragam yang dilakukan adalah: D = V0L0 – E F = 2V0L0 - 4W0L0 – 2(n-2) E/n Hi = V0L0 – 4W0L1 + 4V1L1 – (3n-2) E/n H2 = 4V1L1 – 4V0L1 – 2E 2 h = 4(ML1 – ML0)2 – 4(n-1) E/n2 S2 = ½ [Var(Wr-Vr)] SE (D) = [(n5 + n4)/ n5]* (S2) SE (F) = [(4n5 + 20n4 – 16n3 + 16 n2)/n5]*(S2) SE (H1) = [(n5 + 410n4 – 12n3 + 4 n2)/n5]*(S2) SE (H2) = [(36n4/n5]*(S2) SE (h2) = [(16n5 + 16n2 – 32n + 16)/n5]*(S2) SE (E) = [(n4)/ n5]* (S2) Keterangan: D : komponen ragam karena pengaruh aditif F : nilai tengah Fr untuk semua array, Fr adalah peragam pengaruh aditif dan non aditif pada array ke-r 52 H1 : komponen ragam karena pengaruh dominan H2 : perhitungan untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua h2 : pengaruh dominan (sebagai aljabar dari semua persilangan saat heterozigous) Jika intersep bernilai positif atau D > H1 interaksi yang terjadi adalah dominansi sebagian, jika bernilai negatif atau D < H1 berarti overdominansi. Dominan lengkap jika D = H1, serta tidak terdapat dominansi jika garis regresi menyentuh batas parabola. Pendugaan parameter lain Parameter lain yang diduga adalah: - Rata-rata tingkat dominansi = (H1/D)1/2 - Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua = H2/4H1 - Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua = [(4DH1)1/2 + F]/ [(4DH1)1/2 - F] - Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi = h2/H2 - Heritabilitas arti luas (h2BS) = (1/2D + 1/2H1 – 1/4H2 – 1/2F)/( (1/2D + 1/2H1 – 1/4H2 – 1/2F+E) - Heritabilitas arti sempit (h2NS) = (1/2D + 1/2H1 – 1/2H2 – 1/2F)/( (1/2D + 1/2H1 – 1/2H2 – 1/2F+E) - Pendugaan tetua paling dominan dan paling resesif VD = (V0l0)x12 VR = (V0l0)x22 WD = (V0l0)x1 WR = (V0l0)x2 x1 dan x2 diperoleh dari akar persamaan: (V0l0)x2 - (V0l0)x + (W0L0 – V1L1) Nilai tetua dominan penuh (YD) = Yr + b[(WD + VD) – (W0L0 + V1L1)] Nilai tetua resesif penuh (YR) = Yr + b[(WR + VR) – (W0L0 + V1L1)] b) Metode Griffing 2 Untuk menduga nilai Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) dan pengaruh resiprokal genotipe-genotipe yang diuji, dilakukan analisis 53 dialel menggunakan Metode 2 Griffing (Singh dan Chaudhary 1979) sebagai berikut : Analisis ragam Perhitungan analisis ragam dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Hayman. Analisis dilanjutkan bila kuadrat tengah genotipe menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Analisis daya gabung Model statistika yang digunakan adalah: Yij = μ + αi + αj + βij + 1/bc ΣΣ eijkl Keterangan: Yij = Nilai tengah genotipe i x j μ = Nilai tengah umum αi = Daya gabung umum tetua ke-i αj = Daya gabung umum tetua ke-j βij = Pengaruh daya gabung khusus 1/bc ΣΣ eijkl = nilai tengah pengaruh galat Komponen analisis Ragam untuk daya gabung disajikan pada Tabel 13. σ2 e = KTGalat σ2dgk = KTdgk - KTGalat σ2dgu = (KTdgu - KTdgk) / p+2 Keterangan : σ2e = Ragam lingkungan σ2dgk = Ragam untuk daya gabung khusus σ2dgu = Ragam untuk daya gabung umum Tabel 13. Komponen Analisis Ragam untuk Daya Gabung Menggunakan Metode 2 Griffing Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah E (KT) 54 Daya gabung umum p-1 KTdgu Daya gabung khusus p(p-1)/2 KTdgk σ2e + σ2dgk + (p+2) σ2dgu σ2e + σ2dgk (r-1)[(p1)+p(p-1)/2 KTGalat σ2 e Galat Komponen Genetik (Singh and Chaudhary 1979) σ2dgu = ½ σ2A, σ2dgk = σ2D Keterangan : σ2A σ2 D = Ragam Aditif = Ragam Dominan Efek daya gabung umum Tetua ke-i dihitung menggunakan rumus berikut: DGU = 1/(p +2) [Σ(Yi. + Yii) – 2/p (Y..)] Keterangan: DGU : nilai daya gabung umum Yi. : jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i Yii : jumlah nilai tengah selfing genotipe ke-i Y.. : total nilai tengah genotipe Efek daya gabung khusus masing-masing hasil persilangan dihitung menggunakan rumus berikut: DGK = Yij - [1/(p+2)] (Yi. + Yii + Y.j + Yjj) + [{2/(P+1)(p+2)} Y..] Keterangan: DGK : nilai daya gabung khusus Yij : nilai tengah genotipe i x j Yi. : jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i Yii : jumlah nilai tengah selfing genotipe ke-i Y.j : jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-j Yjj : jumlah nilai tengah selfing genotipe ke-j 55 Y.. : total nilai tengah genotipe 56 HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Tanaman F1 untuk Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Beberapa Genotipe Tanaman Cabai Evaluasi yang dilakukan pada generasi F1 bertujuan untuk mengetahui adanya pewarisan ekstrakromosomal atau pengaruh tetua betina dari hasil persilangan sebagai salah satu asumsi dalam analisis silang dialel dan untuk mengetahui korelasi antara kadar capsaicin dengan vitamin C dari hibrida hasil persilangan tetua terpilih. Selain itu evaluasi ini bertujuan juga untuk mengetahui kontras antara hibrida hasil persilangan serta nilai heterosis dan heterobeltiosis. Berdasarkan hasil uji t (Tabel 14) untuk satu kombinasi persilangan dengan resiproknya diperoleh bahwa karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh pewarisan ekstrakromosomal dan vitamin C tidak dipengaruhi oleh pewarisan ekstrakromosomal (pengaruh tetua betina). Penampilan buah genotipe-genotipe yang dipakai dalam uji efek maternal dan hasil persilangan (F1) dan resiproknya (F1R) disajikan pada Gambar 4. Tabel 14. Pengujian Pengaruh Pewarisan Ekstrakromosomal Beberapa Karakter yang Diamati pada Cabai Genotipe Kadar Capsaicin (ppm) Vitamin C (mg/100 g IPB C20 475,72 81,51 IPB C15 449,82 76,91 IPB C20 x IPB C15 (F1) 430,32 75,79 IPB C15 x IPB C20 (F1R) 529,37 81,99 t-hitung 8,41* 0,83tn Keterangan: * nyata pada taraf 5%; tn: tidak nyata pada taraf 5% 57 Gambar 5. Persilangan Genotipe Cabai IPB C20 dengan IPB C15 yang menghasilkan F1 dan F1R Hasil analisis korelasi pada percobaan 1, diketahui bahwa kadar capsaicin berkorelasi positif dengan kadar vitamin C dan memiliki hubungan linear yang cukup erat. Analisis korelasi antara hibrida hasil persilangan tetua terpilih pada percobaan 1 yang dilakukan pada percobaan 2 ini adalah untuk membuktikan korelasi antara kedua karakter tersebut. Hasil analisis korelasi karakter kadar capsaicin dan vitamin C menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,4390 dan peluang nyata 0,1020 (tidak nyata) maka tidak ada korelasi antara kadar capsaicin dengan kadar vitamin C dari hibrida hasil persilangan genotipe tetua yang terpilih pada Bab III (percobaan 1). Hal ini menunjukan bahwa tidak ada keeratan hubungan linier antara kedua karakter, atau tidak ada hubungan sebab akibat antara karakter kadar capsaicin dengan kadar vitamin C. Oleh sebab itu naiknya atau turunnya kadar capsaicin tidak akan diikuti dengan naik atau turunnya kadar vitamin C atau sebaliknya. Nilai heterosis dan heterobeltiosis yang menggambarkan penampilan superior hibrida F1 yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua tetuanya untuk karakter kadar capsaicin disajikan pada Tabel 15. Nilai heterosis pada karakter kadar capsaicin 58 yang terendah, terlihat pada genotipe hibrida F1 IPB C20 x IPB C9 yaitu sebesar 9,66 % dan nilai heterosis tertinggi sebesar 16,42 %, pada genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9. Tabel 15. Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Capsaicin pada Beberapa Genotipe Cabai Genotipe Kadar Capsaicin (ppm) P1 P2 F1 Heterosis (%) Heterobeltiosis (%) IPB C9 x IPB C10 439,90 602,57 499,19 -4,23 -17,16 IPB C15 x IPB C10 449,82 602,57 504,91 -4,05 -16,21 IPB C2 x IPB C10 418,97 602,57 494,77 -3,13 -17,89 IPB C20 x IPB C10 475,75 602,57 606,98 12,58 0,73 IPB C15 x IPB C9 449,82 439,90 517,89 16,42 15,13 IPB C2 x IPB C9 418,97 439,90 467,59 8,89 6,30 IPB C20 x IPB C9 475,75 439,90 413,595 -9,66 -13,06 IPB C2 x IPB C15 418,97 449,82 447,015 2,91 -0,62 IPB C20 x IPB C15 475,75 449,82 430,32 -7,02 -9,55 IPB C20 x IPB C2 475,75 418,97 416,21 -6,96 -12,52 Keterangan : P1 = tetua betina, P2 = tetua jantan, F1 = hasil persilangan antara tetua betiana dan jantan Selain itu, enam genotipe hibrida F1 memiliki nilai heterosis negatif (IPB C9 x IPB C10, IPB C15 x IPB C10, IPB C2 x IPB C10, IPB C20 x IPB C9, IPB C20 x IPB C15 dan IPB C20 x IPB-C2) yang menunjukan bahwa keenam hibrida F1 tersebut memiliki nilai rataan kadar capsaicin yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai rataan kadar capsaicin dari rata - rata kedua tetuanya. Empat hibrida F1 memiliki nilai heterosis positif (IPB C20 x IPB C10, IPB C15 x IPB C9, IPB C2 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C15) menunjukkan nilai rata-rata kadar capsaicin hibrida F1 lebih besar dibandingkan rata-rata kedua tetuanya. Nilai heterobeltiosis pada kadar capsaicin berkisar antara -17,89 % (IPB C2 x IPB C10) hingga 15,13 % (IPB C15 x IPB C9). Tujuh genotipe hibrida F1 memiliki nilai heterobeltiosis negatif dan tiga genotipe memiliki nilai heterobeltiosis positif. 59 Genotipe IPB C2 x IPB C15 memiliki nilai heterosis positif namun memiliki nilai heterobeltiosis negative, hal ini menunjukan bahwa nilai rataan kadar capsaicin yang dimiliki oleh genotipe hibrida F1 ini berada diantara nilai kadar capsaicin kedua tetua. Berdasarkan nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter kadar capsaicin maka genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi. Hal ini berarti kadar capsaicin yang terbentuk pada genotipe IPB C15 x IPB C9 mengalami peningkatan kadar capsaicin yang terbanyak melampaui kadar capsaicin tertinggi dari salah satu tetuanya (IPB C15). Peningkatan kadar capsaicin ini diduga disebabkan karena kedua tetua dari hibrida F1 ini secara genetik berbeda yaitu dari grup cabai semi keriting dan cabai besar ini. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Singh (1987) bahwa untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, maka tetua galur murni berasal dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan. Namun demikian kadar capsaicin genotipe IPB C15 x IPB C9 ini masih lebih rendah dari genotipe IPB C20 x IPB C10 (606,98 ppm) yang kedua genotipe tetua merupakan jenis cabai rawit. Apabila kriteria kadar capsaicin tinggi menjadi tolak ukur penampilan terbaik genotipe maka genotipe hibrida F1 yang memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif tergolong dalam genotipe-genotipe yang mengalami kemunduran kualitas sifat kadar capsaicin akibat hibridisasi antara tetua-tetuanya, dan genotipe hibrida F1 yang memiliki nilai positif tergolong mengalami peningkatan kualitas akibat hibridisai kedua tetuanya. Namun demikian sampai dengan saat ini kadar capsaicin yang tinggi maupun rendah pada buah cabai belum merupakan kriteria yang dapat menggambarkan kualitas buah cabai, tetapi masih menjadi batasan untuk menentukan selera konsumen termasuk perusahan-perusahan yang memanfaatkan buah cabai dalam produk olahannya. Persilangan antara genotipe IPB C15 dengan genotipe IPB C9 memiliki potensi genetik yang besar untuk meningkatkan kandungan kadar capsaicin. Nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter kadar vitamin C disajikan pada Tabel 16. Peningkatan kadar atau kandungan vitamin C pada buah cabai 60 persatuan berat tertentu merupakan kriteria positif peningkatan kualitas buah cabai. Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan vitamin C per hari manusia dapat disuplai dengan mengkonsumsi cabai sebagai pelengkap bumbu masakan. Nilai heterosis pada karakter kadar vitamin C berkisar antara -20,30 % hingga 36,93 %. Lima genotipe hibrida F1 memiliki kadar vitamin C lebih tinggi dari rata-rata kadar vitamin C kedua tetua yang ditandai dengan nilai heterosis positif. Nilai heterosis yang tinggi terlihat pada genotipe hibrida F1 hasil persilangan antara genotipe IPB C9 dari jenis cabai besar dengan IPB C10 yang termasuk grup cabai rawit (genotipe IPB C9 x IPB C10). Tabel 16. Heterosis dan Heterobeltiosis Karakter Kadar Vitamin C pada Beberapa Genotipe Cabai Kadar Vitamin C (mg/100 g) P1 P2 F1 Heterosis (%) IPB C9 x IPB C10 75,42 93,19 115,43 36,93 23,87 IPB C15 x IPB C10 76,91 93,19 67,78 -20,30 -27,26 IPB C2 x IPB C10 72,95 93,19 84,24 1,40 -9,61 IPB C20 x IPB C10 81,51 93,19 92,86 6,31 -0,35 IPB C15 x IPB C9 76,91 75,42 71,93 -5,56 -6,47 IPB C2 x IPB C9 72,95 75,42 61,59 -16,98 -18,34 IPB C20 x IPB C9 81,51 75,42 80,16 2,17 -1,65 IPB C2 x IPB C15 72,95 76,91 71,66 -4,37 -6,83 IPB C20 x IPB C15 81,51 76,91 75,79 -4,32 -7,02 IPB C20 x IPB C2 81,51 72,95 79,06 2,37 -3,00 Genotipe Heterobeltiosis (%) Keterangan : P1 = tetua betina, P2 = tetua jantan, F1 = hasil persilangan antara tetua betiana dan jantan Hibrida F1 IPB C9 x IPB C10 merupakan satu-satunya genotipe yang memiliki nilai heterobeltiosis positif yaitu sebesar 23,87 %. Empat hibrida F1 (genotipe IPB C2 x IPB C10, IPB C20 x IPB C10, IPB C20 x IPB C9 dan IPB 61 C20 x IPB C2) yang pada perhitungan nilai heterosis memilki nilai positif, memiliki nilai heterobeltiosis negatif. Hal ini menunjukan bahwa kadar vitamin C yang dimilki oleh keempat genotipe tersebut berada diantara kisaran kadar vitamin C dari kedua tetuanya atau lebih rendah dari salah satu tetuanya. Berdasarkan nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter kadar vitamin C maka genotipe IPB C9 x IPB C10 yang berasal dari hasil persilangan cabai besar dan cabai rawit, memiliki nilai tertinggi sehingga genotipe ini dikategorikan sebagai genotipe yang mengalami peningkatan kualitas vitamin C sebagai akibat dari hibridisasi antara tetuanya yang memiliki genetik berbeda. Genotipe-genotipe hibrida F1 yang memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif tergolong dalam genotipe yang memiliki penurunan kualitas kadar vitamin C akibat persilangan tetua masingmasing genotipe hibrida F1 tersebut. Munculnya efek heterosis ini disebabkan adanya akumulasi gen dominan, sedangkan heterobeltiosis tidak lepas dari adanya efek dominan lebih (over-dominan) pada karakter tersebut (Nasir 1999). Nilai heterosis yang tinggi juga menunjukkan adanya aksi gen non-aditif pada karakter produksi per tanaman sehingga teknik hibridisasi sangat berguna untuk mengeksplorasi potensi produksi pada cabai. Perbandingan antara genotipe-genotipe tetua telah dilakukan pada percobaan terdahulu (percobaan 1), untuk itu pada percobaan ini akan dibandingakan antara grup hibrida F1 dengan grup tetua dan antara grup hibrida F1 yang satu dengan grup hibrida F1 lainnya berdasarkan kriteria asal dari jenis tetua yang membentuk hibrida F1. Hasil uji kontras untuk karakter kadar capsaicin disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan hasil uji kontras pada Tabel 17, grup genotipe tetua memiliki kadar capsaicin yang berbeda sangat nyata dengan kadar capsaicin yang dimiliki oleh grup genotipe hibrida F1. Apabila hasil uji kontras kedua grup genotipe ini dihubungkan dengan hasil analisis heterosis dan heterobeltiosis maka diketahui bahwa perbedaan antara kedua grup ini disebabkan karena terdapat genotipe-genotipe hibrida F1 yang kadar capsaicinnya lebih tinggi dan lebih rendah dari genotipe tetuanya. Tiga genotipe hibrida F1 memiliki kadar capsaicin pada kisaran diatas kadar capsaicin yang 62 terbentuk pada genotipe tetua terbaik yang artinya persilangan antara genotipe tetua mampu menaikan kadar capsaicin pada hibridanya melebihi kadar capsaicin yang dimiliki oleh kedua tetuanya. Salah satu genotipe hibrida F1 yang menghasilkan peningkatan kadar capsaicin tinggi jika dibandingkan dengan kedua tetuanya adalah IPB C15 x IPB C9. Tabel 17. Kontras Karakter Kadar Capsaicin Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida F1 dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai No Grup Kontras F Value Pr>F 1. Tetua Selfing VS Hibrida 26,990** 0,0001 2. Rawit x Rawit VS Lainnya (Hibrida) 28,580** 0,0001 3. Semi Keriting x Semi Keriting VS Lainnya (Hibrida) tn 0,8785 4. Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 12,120** 0,0037 5. Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 8,830 * 0,0101 6. Rawit x Rawit VS Rawit x Besar (Hibrida) 12,490** 0,0033 7. Rawit x Rawit VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida) 44,570** <,0001 8. 9. 13,100** 0,0028 11. Rawit x Besar VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida) Semi Keriting x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 12. Rawit x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 10. 13. Rawit x Besar VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 0,020 1,100 tn 0,3120 5,160 * 19,500** 0,0394 0,0006 tn 0,6347 tn 0,5015 0,240 0,480 Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, * : nyata pada taraf 5%, tn : tidak nyata Tiga genotipe hibrida F1 juga memiliki kadar capsaicin yang berada pada kisaran dibawah kadar capsaicin dari tetuanya yang terendah yang dapat diartikan bahwa hasil persilangan genotipe tetua mengakibatkan terjadinya penurunan kadar capsaicin hibridanya. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa hasil persilangan antara grup cabai rawit dengan grup cabai rawit yaitu genotipe hibrida F1 IPB C20 x IPB C10, memiliki kadar capsaicin yang berbeda nyata dengan genotipe 63 hibrida F1 lainnya. Genotipe IPB C10 x IPB C20 memiliki kadar capsaicin 606,98 ppm, merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kadar capsaicin genotipe hibrida F1 lainnya. Hal ini dimungkinkan karena cabai rawit cenderung memiliki kadar capsaicin yang tinggi ditandai dengan rasa pedas yang lebih menyengat. Grup cabai semi keriting yang disilangkan dengan grup cabai semi keriting (genotipe IPB C2 x IPB C15) menghasilkan kadar capsaicin yang tidak berbeda nyata dengan genotipe hibrida lainnya berdasarkan hasil uji kontras. Hal yang sama juga terlihat pada hasil uji kontras dari tiga perbandingan lainnya yaitu antara (1) persilangan grup cabai semi keriting dengan grup cabai besar (IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9) dibandingkan hibrida F1 hasil persilangan grup cabai semi keriting dengan grup cabai semi keriting (IPB C2 x IPB C15), (2) persilangan grup cabai rawit dengan cabai besar (IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10) dibandingkan persilangan grup cabai semi keriting dengan semi keriting (IPB C2 x IPB C15), (3) persilangan grup cabai rawit dengan grup cabai besar (IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10) dibandingkan persilangan cabai semi keriting dengan cabai besar (IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9). Hasil uji kontas antara persilangan grup cabai rawit dengan cabai rawit (IPB C20 x IPB C10) dibandingkan persilangan grup cabai semi keriting dengan cabai semi kering (IPB C2 x IPB C15) menunjukkan kadar capsaisin pada genotipe IPB C20 x IPB C10 berbeda nyata dengan kadar capsaicin yang terbentuk pada genotipe IPB C2 x IPB C15. Untuk beberapa kriteria uji kontras lainnya sesuai dengan yang terdapat pada Tabel 17 juga memperlihatkan kadar capsaicin yang berbeda nyata antara genotipe hibrida F1. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan kadar capsaicin yang dimiliki oleh hibrida F1 sesuai dengan grup dari tetua yang disilangkan untuk menghasilkan hibrida-hibrida tersebut. Hibrida yang berasal dari persilangan cabai rawit dengan cabai rawit selalu menunjukkan perbedaan kadar capsaicin jika dibandingkan dengan hibrida hasil persilangan antara grup cabai semi keriting yang disilangkan dengan semi keriting, cabai semi keriting yang disilangkan dengan cabai besar. 64 Berdasarkan hasil uji kontras karakter kadar vitamin C yang disajikan pada Tabel 18, diketahui bahwa grup genotipe tetua memiliki kadar vitamin C yang berbeda nyata dengan kadar vitamin C yang dimiliki oleh grup genotipe hibrida F1. Sama halnya dengan hasil uji kontras kadar capsaicin, maka perbedaan kadar vitamin C yang muncul antara grup tetua dengan grup hibrida diduga disebabkan karena hasil hibridisasi antara tetua dari hibrida masing-masing, mampu meningkatkan kualitas buah cabai dengan penambahan kadar vitamin C yang significan ataupun kenurunkan kualitas buah cabai dengan berkurangnya kadar capsaicin pada hibridanya. Hasil uji kontras karakter kadar vitamin C, memperlihatkan bahwa hasil persilangan antara cabai rawit dengan cabai rawit (IPB C20 x IPB C10), memiliki kadar vitamin C yang tidak berbeda nyata dengan genotipe hibrida F1 lainnya. Tabel 18. Kontras Karakter Kadar Vitamin C Hibrida F1 dengan Tetua dan Hibrida F1 dengan Hibrida F1 Lainnya Beberapa Genotipe Cabai No 1. Grup Kontras Tetua Selfing VS Hibrida F Value Pr>F 7,130 * 0,0183 tn 0,4367 2. Rawit x Rawit VS Lainnya (Hibrida) 3. Semi Keriting x Semi Keriting VS Lainnya (Hibrida) 35,560** <,0001 4. Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 11,990** 0,0038 5. Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 0,520 tn 0,4842 6. Rawit x Rawit VS Rawit x Besar (Hibrida) 0,320 tn 0,5797 7. Rawit x Rawit VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida) 7,350 * 0,0169 8. 9. 18,510** 0,0007 22,250** 0,0003 11. Rawit x Besar VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida) Semi Keriting x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 50,290** 6,170 * <,0001 0,0262 12. Rawit x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 11,770** 0,0041 tn 0,1377 10. 13. Rawit x Besar VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 0,640 2,480 Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, * = nyata pada taraf 5%, tn = tidak nyata 65 Grup cabai semi keriting yang disilangkan dengan grup cabai semi keriting (genotipe IPB C2 x IPB C15) menghasilkan kadar vitamin C yang berbeda nyata dengan genotipe hibrida lainnya berdasarkan hasil uji kontras. Beberapa penjelasan dari hasil uji kontras kadar vitamin C adalah sebagai berikut: - Genotipe hibrida F1 hasil persilangan antara tetua dari grup cabai rawit dengan cabai rawit (IPB C20 x IPB C10) berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan hibrida F1 hasil persilangan tetua grup semi keriting dengan grup cabai semi keriting (IPB C2 x IPB C15). - Genotipe IPB C20 x IPB C10 hasil persilangan tetua dari grup cabai rawit dengan cabai rawit berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan hasil persilangan genotipe IPB C20 x IPB C15, IPB C20 x IPB C2, IPB C15 x IPB C10 dan IPB C2 x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup cabai semi keriting. - Genotipe IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10, hasil persilangan tetua dari grup cabai rawit dengan grup cabai besar berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C20 x IPB C15, IPB C20 x IPB C2, IPB C15 x IPB C10 dan IPB C2 x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup cabai semi keriting. - Genotipe IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua dari grup cabai semi keriting dengan grup cabai besar berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C2 x IPB C15, hasil persilangan tetua grup cabai semi keriting dengan grup cabai semi keriting. - Genotipe IPB C20 x IPB C15, IPB C20 x IPB C2, IPB C15 x IPB C10 dan IPB C2 x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup cabai semi keriting berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C2 x IPB C15, hasil persilangan tetua grup cabai semi keriting dengan grup cabai semi keriting. - Genotipe IPB C20 x IPB C15, IPB C20 x IPB C2, IPB C15 x IPB C10 dan IPB C2 x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup cabai semi keriting berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C15 x IPB 66 C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua dari grup cabai semi keriting dengan grup cabai besar. - Genotipe IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10, hasil persilangan tetua dari grup cabai rawit dengan grup cabai besar berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C2 x IPB C15, hasil persilangan tetua grup cabai semi keriting dengan grup cabai semi keriting. - Genotipe IPB C20 x IPB C10, hasil persilangan tetua dari grup cabai rawit dengan grup cabai rawit tidak berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua grup cabai semi keriting dengan grup cabai besar. - Genotipe IPB C20 x IPB C10, hasil persilangan tetua dari grup cabai rawit dengan grup cabai rawit tidak berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C20 x IPB C9 dan IPB C9 x IPB C10, hasil persilangan tetua grup cabai rawit dengan grup cabai besar. - Genotipe IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua grup cabai semi keriting dengan grup cabai besar tidak berbeda kadar vitamin C nya jika dibandingkan genotipe IPB C15 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C9, hasil persilangan tetua grup cabai semi keriting silang grup cabai besar. Pendugaan Parameter Genetik Penggunaan analisis silang dialel dalam pendugaan parameter genetik dapat dilakukan apabila hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata antar genotipe untuk karakter yang diuji (Varghese 1976 dalam Jagau 1993). Perbedaan yang nyata pada uji F menunjukan adanya keragaman diantara genotipe untuk karakter-karakter yang diuji. Kuadrat tengah genotipe karakter kadar capsaicin dan vitamin C serta hasil uji F disajikan pada Tabel 19. 67 Tabel 19. Kuadrat Tengah Genotipe Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C Karakter Yang diamati Kuadrat Tengah Genotipe Kadar Capsaicin 7460,87** Kadar Vitamin C 333,83** Keterangan : ** = beda nyata pada taraf 1 % Berdasarkan Tabel 19, hasil uji F menunjukkan bahwa karakter kadar capsaicin dan kadar vitamin C berpengaruh sangat nyata pada genotipe-genotipe yang diuji. Hal ini mengindikasikan dapat dilanjutkannya pendugaan parameter genetik untuk karakter capsaicin dan vitamin C. Hasil pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C disajikan pada Tabel 20. Interaksi Antar Gen Nilai dugaan koefisien regresi (b) dari model hubungan antara Wr dengan Vr dapat digunakan untuk menduga ada tidaknya interaksi gen. Jika nilai b berbeda nyata dengan 1 maka ada interaksi antara gen dalam menentukan ekspresi dari karakter yang diamati. Sebaliknya jika nilai b tidak berbeda nyata dengan 1 maka tidak ada interaksi gen (Roy 2000). Nilai dugaan dari b untuk karakter kadar capsaicin adalah 0,88. Hasil pengujian nilai tersebut pada taraf signifikansi 5% menunjukan nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan satu (nilai p=0,4367 > 0,05). Hal ini dapat menjadi petunjuk tidak terjadinya interaksi antar gen dalam menetukan kadar capsaicin pada tanaman cabai. Hasil ini juga menunjukkan bahwa salah satu asumsi analisis silang dialel dapat terpenuhi yaitu tidak adanya interaksi gen dalam menentukan ekspresi dari karakter kadar capsaicin. Berbeda dengan kadar capsaicin, nilai dugaan dari b untuk karakter kadar vitamin C adalah sebesar 0,25 dengan hasil pengujian pada taraf signifikansi 5% menunjukan perbedaan yang ntaya dengan satu (nilai p=0,0187 < 0,05). Hal ini memberi petunjuk terjadinya interaksi antar gen dalam menetukan kadar vitamin C 68 pada tanaman cabai. Dengan adanya interaksi gen dalam eksresi dari karakter kadar vitamin C maka salah satu asumsi analisis silang diallel tidak terpenuhi. Tabel 20. Hasil Analisis Pendugaan Parameter Genetik Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C pada Cabai dengan Menggunakan Analisis Silang Dialel Metode Hayman Parameter Genetik - Kadar Capsaicin Kadar Vitamin C tn 0,25* Koefisien regresi (b) dari model hubungan antara Wr dengan Vr (b (WrVr)) 0,88 - Komponen ragam karena pengaruh aditif (D) 5198,94** 5017,28 - Komponen ragam karena pengaruh dominan (H1) 6204,73** 49863,54 6103,26** 44020,16 - Distribusi gen di dalam tetua (H2) - Nilai tengah Fr untuk semua array (F) - pengaruh dominansi (h2) - -57,50 Komponen ragam karena pengaruh lingkungan (E) Rata-rata ((H1/D)1/2) tingkat 192,83 dominansi 113,79 tn tn tn tn -9351,66 -890,97 1393,38 1,09 3,15 - Proporsi gen-gen dengan pengeruh positif dan negatif dalam tetua (H2/4H1) 0,25 0,22 - Proporsi gen resesif (Kd/Kr) 1,04 1,00 -0,009 -0,020 0,37 0,09 dominan terhadap - Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menyebabkan dominansi (h2/H2) - Koefisien korelasi (R) - Heritabilitas arti luas (h2bs) 97,29 92,19 - Heritabilitas arti sempit (h2ns) 60,90 30,46 Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, * = nyata pada taraf 5%, tn = tidak nyata Pengaruh Aditif (D) dan Dominan (H1) tn tn tn tn tn 69 Pada Tabel 20 terlihat bahwa pengaruh aditif (D) dan dominan (H1) berperan sangat nyata terhadap karakter kadar capsaicin. Pengaruh aditif adalah sebesar 5.198,94 dan pengaruh dominan adalah 6.204,73. Hal ini menunjukkan bahwa karakter kadar capsaicin pada tanaman cabai untuk populasi dialel dipengaruhi oleh aksi gen aditif dan gen dominan, dengan pengaruh gen dominan lebih besar dari gen aditif. Data pada tabel 20 juga memperlihatkan pengaruh dan dominan untuk karakter kadar aditif vitamin C tidak nyata (D = 5.017,28 dan H1 = 49.863,54). Karakter kadar vitamin C pada tanaman cabai tidak dipengaruhi oleh aksi gen dominan dan gen aditif melainkan gen epistasis. Distribusi Gen di dalam Tetua Nilai H2 menunjukan distribusi gen di dalam tetua. Berdasarkan hasil analisis, nilai H2 untuk karakter kadar capsaicin sebesar 6.103,26 berbeda nyata. Hal ini menunjukan bahwa gen-gen yang menentukan pewarisan sifat kadar capsaicin tidak menyebar secara merata di dalam tetua. Penyebabnya adalah karena dari 5 tetua yang digunakan, kecenderungan kadar capsaicin tinggi hanya dimiliki oleh tetua IPB C10. Gen-gen yang menentukan pewarisan sifat kadar vitamin C menyebar secara merata di dalam tetua yang ditunjukan dengan nilai H2 sebesar 44.020,16 tidak berbeda nyata. Hal ini terjadi diduga disebabkan karena tetua yang digunakan tidak banyak dan dari 5 tetua yang digunakan 3 tetua memiliki kadar vitamin C yang relatif lebih tinggi yaitu tetua IPB C10, IPB C20 dan IPB C15. Proporsi gen-gen positif akan terlihat dari besarnya nilai H1 terhadap H2. Jika H1 > H2 maka gen-gen yang banyak adalah gen-gen positif, sebaliknya jika H1 < H2 maka gen-gen negatif lebih banyak daripada gen-gen positif. Gen-gen yang terlibat lebih banyak dalam menentukan karakter kadar capsaicin dan vitamin C pada tanaman cabai adalah gen-gen positif. Hal ini terlihat dari nilai H1 > H2 (Tabel 20). Tingkat Dominansi Nilai (H1/D)1/2 memperlihatkan besarnya pengaruh dominansi. Menurut Hayman (1954), nilai (H1/D)1/2 lebih dari satu menunjukkan adanya over dominansi, 70 jika nilainya antara nol dan satu menunjukkan dominansi parsial (dominan parsial atau resesif parsial). Hasil analisis untuk karakter kadar capsaicin menunjukan nilai dugaan ratarata tingkat dominasi lebih besar dari satu yaitu 1,09. Ini artinya bahwa tingkat dominansi gen pengendali karakter kadar capsaicin tergolong over dominansi. Untuk karakter kadar vitamin C nilai dugaan rata-rata tingkat dominasi juga lebih besar dari satu (3,15) namun tingkat dominansi gen pengendali karakter kadar vitamin C tidak dapat dipakai akibat adanya pengaruh interaksi gen antar lokus (Hayman 1954). Simpangan Rata-rata F1 dari Rata-rata Tetua Simpangan rata-rata F1 dari rata-rata tetua (h2) tidak nyata untuk kedua karakter (kadar capsaicin dan vitamin C). Nilai rata-rata F1 dan rata-rata tetua disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai Rata-rata F1 dan Tetua Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C Karakter Genetik Rata – rata F1 Tetua tn Capsaicin 479,85 477,40 Viamin C 80,05 79,10 tn Keterangan : tn = tidak nyata antar rata-rata F1 dengan rata-rata tetua Proporsi Gen Dominan terhadap Gen Resesif Banyaknya gen-gen dominan di dalam tetua tercermin dari nilai proporsi gengen dominan dan resesif dalam tetua (Kd/Kr). Apabila Kd/Kr > 1 maka gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Sebaliknya, apabila Kd/Kr < 1 maka gen-gen resesif lebih banyak di dalam tetua. Hasil analisis untuk karakter kadar capsaicin menunjukan nilai Kd/Kr > 1 yang artinya adalah gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Untuk karakter kadar vitamin C nilai Kd/Kr = 1,00 ini berarti tidak ada pengaruh dominan di dalam tetua, yang juga menunjukan bahwa nilai Kd/Kr tidak dapat dipakai akibat pengaruh interaksi gen antar lokus (Hayman 1954). 71 Arah dan Urutan Dominansi Untuk menentukan urutan dominansi maka apabila nilai koefisien korelasi (r) antara jumlah peragam dan ragam array (Wr+Vr) terhadap rata-rata tetua (Yr) positif menunjukkan bahwa nilai kuantifikasi karakter yang rendah dominan terhadap yang tinggi dan sebaliknya nilai koefisien korelasi (r) antara (Wr+Vr) terhadap Yr negatif menunjukkan bahwa nilai kuantifikasi karakter yang tinggi dominan terhadap yang rendah. Hasil analsis menunjukan nilai koefisien korelasi (r) antara (Wr+Vr) terhadap Yr adalah positif untuk karakter kadar capsaicin (0,37) dan kadar vitamin C (0,09). Untuk itu arah urutan dominansi tetua untuk kedua karakter ini, nilai kuntifikasi tetua yang rendah dominan terhadap yang tinggi. Urutan dominansi tetua untuk karakter kadar capsaicin adalah IPB C15 (2.639,88), IPB C9 (2.726,62), IPB C2 (2.829,38), IPB C10 (6.547,84), IPB C20 (12.481,31). Nilai sebaran Wr + Vr dari karakter kadar capsaicin dan vitamin C disajikan pada Tabel 22. Urutan dominansi ini terlihat pula pada Gambar 6. Tabel 22. Sebaran Wr + Vr dari Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C Genotipe Kadar Capsaicin Kadar Vitamin C IPB C2 2.829,38 126,24 IPB C9 2.726,62 579,96 IPB C10 6.547,84 307,19 IPB C15 2.639,88 -2,33 IPB C20 12.481,31 89,88 Berdasarkan Gambar 6, tetua IPB C15 merupakan tetua yang paling banyak mengandung gen dominan, karena paling dekat dari titik nol. Sebaliknya untuk tetua IPB C20 yang paling banyak mengandung gen resesif. Berdasarkan urutan ini dan dihubungkan kadar capsaicin yang tinggi pada genotipe tetua IPB C10 maka 72 kadar capsaicin ditentukan oleh gen resesif. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Syukur et al. (2007), bahwa semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y atau titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen dominan, sebaliknya makin jauh titik tetua dari titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen resesif. Gambar 6. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Capsaicin 73 Gambar 7. Hubungan Peragam (Wr) dan Ragam (Vr) Karakter Kadar Vitamin C Urutan dominansi tetua untuk karakter kadar vitamin C (Gambar 7) adalah IPB C15 (-2,33), IPB C20 (89,88), IPB C2 (126,24), IPB C10 (307,19), IPB C9 (579,96). Tetua IPB C9 adalah tetua yang paling banyak mengandung gen resesif karena letaknya paling jauh dari titik nol, sementara tetua IPB C15 paling banyak mengandung gen dominan karena letaknya berada paling dekat dengan perpotongan antara sumbu X dan Y atau titik nol. Berdasarkan urutan ini dan dihubungkan kadar vitamin C yang tinggi pada genotipe tetua IPB C10, IPB C20 dan IPB C15 maka kadar vitamin C ditentukan oleh gen dominan. Jumlah Gen Pengendali Karakter Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi untuk karakter kadar capsaicin dan vitamin C tercermin dari nilai h2/H2. Berdasarkan hasil analisis, nilai dugaan dari h2/H2 untuk karakter kadar capsaicin adalah -0.009 dan untuk karakter kadar vitamin C adalah -0.020. Nilai-nilai ini mengindikasikan bahwa kemungkinan banyaknya kelompok gen yang mengendalikan kadar capsaicin hanya satu kelompok gen pengendali. Namun untuk karakter kadar vitamin C, jumlah kelompok gen yang mengendalikan karakter tidak dapat ditentukan akibat adanya interaksi gen antar lokus. Heritabilitas Karakter kadar capsaicin memiliki nilai heritabilitas arti luas (h2bs) sebesar 97,29 % dikategorikan tinggi. Ini menunjukan ragam yang muncul dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai heritabilitas arti luas yang tinggi diduga disebabkan oleh aksi gen dominan dan aditif, sesuai dengan hasil analisis bahwa pengaruh aditif (D) dan dominan (H1) berpengaruh sangat nyata. Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) untuk karakter capsaicin adalah kadar capsaicin sebesar 60,90 % dikategorikan tinggi. Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter kadar vitamin C adalah 92,19 % tergolong dalam kategori tinggi yang mengartikan bahwa ragam yang 74 muncul juga dipengaruhi oleh faktor genetik namun bukan akibat aksi gen dominan dan aditif sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) untuk karakter kadar vitamin C adalah 30,46 % tergolong sedang. Daya Gabung Hasil analisis ragam daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) dengan menggunakan metode II Griffing disajikan pada Tabel 23. Nilai daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (GDK) karakter kadar capsaicin dan vitamin C disajikan pada Tabel 24. Tabel 23. Analisis Ragam Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) karakter kadar capsaicin dan vitamin C. Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah Kadar Capsaicin Kadar Vitamin C Ulangan 1 667,41 10,19 DGU 4 9.037,12** 267,81** DGK 10 1.607,76** 126,55** Galat 14 108,91 12,73 Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 % Daya Gabung Umum (DGU) Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilakukan dengan menggunakan metode II Griffing (Griffing 1956) maka pengaruh daya gabung umum (DGU) menunjukan hasil yang sangat nyata untuk kedua karakter yang diamati. Nilai daya gabung umum dan daya gabung khusus karakter kadar capsaicin dan kadar vitamin C beberapa genotipe tanaman cabai disajikan pada Tabel 24. Nilai daya gabung umum untuk tetua IPB C10 merupakan nilai DGU yang paling tinggi untuk kedua karakter yang diauji, yaitu 62,40 untuk karakter kadar capsaicin dan 9,50 untuk karakter kadar vitamin C. Tingginya nilai daya gabung 75 umum genotipe IPB C10 pada karakter kadar capsaicin dan vitamin C, dapat diartikan sebagi tingginya kemampuan dari genotipe IPB C10 untuk mewariskan sifat atau karakter kadar capsaicin dan vitamin C kepada keturunannya, dimana penampilan rata-rata keturunan merupakan hasil rata-rata dari persilangan genotipe IPB C10 dengan 4 genotipe lainnya. Ini menunjukan peluang untuk pembentukan varietas bersari bebas sangat mungkin untuk dilakukan. Tabel 24. Nilai Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) Karakter Kadar Capsaicin dan Vitamin C 5 Genotipe Tetua dan 10 Genotipe Hibrida F1 Cabai Genotipe Kadar Capsaicin Kadar Vitamin C Rata-rata DGU Rata-Rata IPB C10 602,57 62,40 93,19 9,50 IPB C9 439,90 -13,74 75,42 -0,33 IPB C15 449,82 -10,63 76,91 -5,60 IPB C2 418,97 -30,10 72,95 -5,40 IPB C20 475,75 -7,94 81,51 1,53 DGK DGU DGK IPB C9 x IPB C10 499,19 -28,51 115,44 25,94 IPB C15 x IPB C10 504,91 -25,89 67,79 -16,15 IPB C2 x IPB C10 494,77 -16,56 84,24 0,10 IPB C20 x IPB C10 606,98 73,49 92,86 1,80 IPB C15 x IPB C9 517,89 63,22 71,94 -2,46 IPB C2 x IPB C9 467,59 32,39 61,59 -13,02 IPB C20 x IPB C9 413,60 -43,76 80,17 -1,36 IPB C2 x IPB C15 447,02 8,71 71,66 2,62 IPB C20 x IPB C15 430,32 -30,14 75,79 -0,17 IPB C20 x IPB C2 416,21 -24,79 79,06 2,89 Keterangan : ** = nyata pada taraf 1 %, DGU = daya gabung umum, DGK = daya gabung khusus 76 Nilai DGU dari genotipe tetua IPB C2, IPB C9, IPB C15 dan IPB C20 untuk karakter kadar capsaicin bernilai negatif. Hal ini berarti keempat genotipe tetua tersebut memiliki gaya gabung atau kemampuan untuk mewariskan sifat kepada keturunannya lebih rendah dibandingkan dengan tetua IPB C10. Semakin besar nilai negatifnya (misalnya nilai DGU -30,10 untuk genotipe IPB C2) maka semakin rendah kemampuan daya gabung tetua tersebut. Untuk karakter kadar vitamin C, selain genotipe IPB C10, maka genotipe IPB C20 memiliki nilai DGU positif, yang berarti kedua genotipe tersebut memiliki daya gabung yang baik. Nilai DGU untuk genotipe IPB C2, IPB C9 dan IPB C15 bernilai negatif, sehingga daya gabung dari ketiga genotipe tetua ini rendah. Daya Gabung Khusus (DGK) Daya gabung khusus merupakan konsekuensi dari interaksi gen intra alel (dominan) dan interaksi gen antar alel (epistasis) (Henderson 1952 dalam Syukur et al. 2007). Nilai daya gabung khusus yang tinggi menunjukkan adanya pengaruh aksi gen non aditif yang tinggi pada sifat tersebut (Mahmood et al. 2002). Pada karakter kadar capsaicin, nilai daya gabung khusus tertinggi terbentuk pada persilangan genotipe IPB C20 dengan IPB C10 yaitu sebesar 73,49. Tiga kombinasi persilangan antara genotipe tetua juga memiliki nilai gaya gabung khusus yang positif. Genotipegenotipe tersebut adalah IPB C15 x IPB C9, IPB C2 x IPB C9 dan IPB C2 x IPB C15. Nilai DGK yang tinggi dan positif menunjukan bahwa kombinasi persilangan dari gentotipe – genotipe tetua mampu menghasilkan keturunan atau hibrida yang unggul. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1979), bahwa nilai daya gabung khusus yang tinggi akan terbentuk akibat kemampuan tetua untuk menghasilkan turunan yang unggul akibat disilangkan dalam kombinasi yang spesifik dengan tetua lain. Hibrida hasil persilangan genotipe tetua IPB C20 dengan IPB C9 memiliki nilai DGK terkecil dan negatif yaitu sebesar -43,76 untuk karakter kadar capsaicin. Hal ini berarti persilangan antara kedua tetua tersebut tidak memiliki kombinasi yang 77 spesifik. Nilai DGK tertinggi untuk karakter kadar vitamin C, adalah sebesar 25,94 pada kombinasi persilangan antara genotipe tetua IPB C9 dengan IPB C10 dan nilai DGK terendahnya adalah sebesar -16,15 pada kombinasi persilangan genotipe tetua IPB C15 silang IPB C10. Nilai Daya Gabung Khusus yang tinggi menggambarkan adanya kemungkinan untuk tetua-tetua yang digunakan membentuk varietas hibrida. SIMPULAN 1. Kadar capsaicin tidak memiliki hubungan korelasi dengan kadar vitamin C dalam buah cabai. Hal ini menyebabkan hasil analisis hubungan korelasi antara kedua karakter pada percobaan evaluasi kualitas hasil tidak terbukti kebenarannya. 2. Sebagian besar genotipe hibrida F1 memiliki kadar capsaicin dan vitamin C yang berbeda berdasarkan jenis dari tetua yang membentuk hibrida tersebut. 3. Karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh adanya pewarisan ekstrakromosomal dan nilai heterosis serta heterobeltiosis tertinggi terbentuk pada hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 yaitu sebesar 16,42 dan 15,13. 4. Karakter kadar vitamin C tidak dipengaruhi oleh pewarisan ekstrakromosomal dan nilai heterosis serta heterobeltiosis tertinggi terbentuk pada hibrida F1 IPB C9 x IPB C10 yaitu sebesar 36,33 dan 23,87. 5. Hasil pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar capsaicin adalah tidak terjadi interkasi gen antar lokus, aksi gen aditif dan gen dominan berperan sangat nyata, gen-gen tidak menyebar secara merata didalam tetua, satu kelompok gen yang mengendalikan karakter, karakter kadar capsaicin ditentukan oleh gen-gen resesif, nilai heritabilitas artiluas dan heritabilitas arti sempit tergolong tinggi. 6. Pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar vitamin C menunjukkan adanya interaksi gen antar lokus, aksi gen aditif dan gen dominan tidak berperan nyata melainkan gen epistasis, gen-gen menyebar secara merata didalam tetua, kelompok gen yang menendalikan karakter tidak dapat ditentukan akibat adanya interaksi gen, nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi dan heritabilitas arti sempit tergolong sedang. 78 7. Genotipe IPB C10 mempunyai daya gabung umum (DGU) yang paling tinggi untuk kedua karakter (capsaicin dan vitamin C) dan nilai daya gabung khusus (DGK) yang tertinggi untuk karakter kadar capsaicin dihasilkan pada genotipe hibrida F1 IPB C2 x IPB C10, sementara untuk karakter kadar vitamin C pada genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C10. DAFTAR PUSTAKA do Rego ER, do Rego MM, Finger FL, Cruz CD, Casali VWD. 2009. A diallel study of yield components and fruit quality in chilli pepper (Capsicum baccatum). Euphytica 168:275-287. Geleta, Legesse F, Labuschagne, Maryke T. 2006. Combining ability and heritability for vitamin C and total soluble solids in pepper (Capsicum annuum L.). J. Sci. Food Agric. 86:1317-1320. Greenleaf WH. 1986. Pepper Breeding. Basset MJ, editor. Breeding Vegetables Crops. Conecticut: AVI Publishing Co. Griffing B. 1956. Concept of general and specific combining ability in relation to diallel crossing system. Aust Biol Sci 9(4):463-493. Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitative Genetics in Maize Breeding, Second Edition. America: Lowa State University Press. Hayman BI. 1954a. The Theory And Analysis of Diallel Cross. Genetics 39: 789 – 809 Herbert RB. 1995. Biosintesis Metabolisme Sekunder (terjemahan). Edisi kedua. School of Chemistry. University of Leeds. New York. USA. 243 hal. Herison C, Rustikawati, Sudarsono. 2001. Studi potensi heterobeltiosis pada persilangan beberapa galur cabai merah (Capsicum annuum L.). Bul. Agron. 29(1):23–26. Jagau J. 1993. Analisis Silang Dialel Untuk Menentukan Parameter Genetik Karakter Agronomik Yang Berkaitan Dengan Ketenggangan Terhadap Salinitas Pada Padi Sawah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Kamble C, Mulge R, Madalageri MB. 2009. Combining ability for earliness and productivity in sweet pepper (Capsicum annuum L.). Karnataka J. Agric. Sci. 22:151-154. Kirana R, Sofiari E. 2007. Heterosis dan heterobeltiosis pada persilangan 5 genotipe cabai dengan metode half dialel. J.Hort. 17:111-117 79 Kusandriani Y, Permadi H. 1996. Pemuliaan Tanaman Cabai. Didalam: Duriat AS, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. Editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hal 28-35. Mahmood T. et al. 2002. Combining studies in Rice (Oryza sativa L.) under salinized soil conditions. Asian J of Plant Sci 2:88-90. Marame F, Dessalegne L, Fininsa C, Sigvald R. 2009. Heterosis and heritability in crosses among Asian and Ethiopian parents of hot pepper genotypes. Euphytica 168:235-247. Nasir M. 1999. Efek heterosis dan heterobeltiosis pada tanaman lombok (Capsicum annuum L.). Habitat 10(105):39-43. Poehlman JM. 1983. Breeding Field Crops. 2nd edition. Westport: The AVI Publishing Company, Inc. 486p. Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New delhi: Narosa Publishing House. Sousa JA de, Maluf WR. 2003. Diallel analysis and astimation of genetic parameters of hot pepper (Capsicum chinense Jacq.). Sci Agric 60(1):105-113. Seneviratne KGS, Kannangara KN. 2004. Heterosis, heterobeltiosis and commercial heterosis for agronomic traits and yield of chilli (Capsicum annuum L.). Annals of The Sri Lanka Department of Agriculture 6:195-201. Singh J. 1987. Field Manual of Breeding Procedures. India: Indian Agricultural Research Institut New Delhi, Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Revised Edition. New Delhi: Kalyani. Sujiprihati S, Yunianti R, Syukur M, Undang. 2007. Pendugaan nilai heterosis dan daya gabung beberapa komponen hasil pada persilangan dialel penuh enam genotipe cabai (Capsicum annuum L.). Bul. Agron. 35:28-35. Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2007. Pewarisan ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Bul. Agron. 35(2):112-117. Welsh JR. 1981. Fundamental of Plant Genetic and Breeding. Terj. J. P. Mogea. 1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Penerbit Erlangga. 224 hal. Zou XX, Ma YQ, Liu RY, Zhang ZQ, Cheng WC, Dai XZ, Li XF, Zhou QC. 2007. Combining ability analyses of net photosynthesis rate in pepper (Capsicum annuum L.). Agric. Sci. in China 6:159-166. 80 PEMBAHASAN UMUM Perbaikan varietas tanaman cabai melalui program pemuliaan tanaman ditujukan untuk menghasilkan varietas cabai baru yang memiliki potensi hasil tinggi dengan kualitas buah yang baik sesuai selera konsumen. Kualitas buah yang dimaksud merupakan kombinasi dari penampilan fisik buah, bebas dari serangan hama dan penyakit serta kandungan produk metabolit didalam buah cabai tersebut. Penelitian terhadap genotipe-genotipe tanam cabai, baik untuk mengetahui potensi produksi, kadar produk metabolit sekunder, maupun pendugaan parameter genetiknya pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka menghasilkan cabai varietas baru yang berproduksi tinggi dan sesuai dengan selera konsumen. Empat belas genotipe yang diuji pada percobaan awal memperlihatkan adanya keragaman yang cukup tinggi diantara genotipe-genotipe tersebut. Hal ini terlihat dari nilai koefisien keragaman genetik dari karakter yang diamati menunjukkan kriteria tinggi kecuali karakter kadar capsaicin yang memiliki nilai koefisien keragaman genetik dengan kriteria sedang. Menurut Kusandriani dan Permadi (1996) keragaman genetik yang tinggi merupakan potensi yang besar untuk mengembangkan varietas cabai yang memiliki kuantitas dan kualitas hasil baik melalui program pemulian tanaman. Dengan keragaman genetik yang tinggi ini maka sebagian besar karakter memiliki peluang terhadap usaha-usaha perbaikan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Allard (1960) bahwa semakin tinggi nilai KKG maka peluang dalam usaha perbaikan yang efektif dalam seleksi lebih besar pula sehingga dapat meningkatkan kemajuan genetik hasil seleksi. Selain itu genotipe-genotipe yang diuji pada tahap awal percobaan ini memperlihatkan peran faktor genetik yang sangat besar terhadap terekspresi karakterkarakter yang diamati. Hal ini terlihat pada nilai heritabilitas dari karakter-karakter yang diamati tergolong tinggi. Nilai heritabilitas ini juga dapat dipakai untuk menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi. Apabila 81 pengaruh lingkungan besar maka terekspresinya karakter akan sangat ditentukan oleh kondisi optimum lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Bobot buah per tanaman merupakan karakter yang menggambarkan produksi akhir dari tanaman cabai apabila dikonversi per satuan luas tertentu. Hasil analisis memperlihatkan nilai tengah bobot buah per tanaman adalah sebesar 366,89 g, dengan kisaran antara 102,69 g (IPB C10), hingga 501,91 g (IPB C129). Nilai-nilai penting bobot buah per tanaman ini apabila dihubungkan dengan peran faktor genetik yang tercermin dari nilai heritabilitas yang tergolong tinggi (62,31 %), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor genetik sangat berperan dalam menentukan bobot buah per tanaman tersebut. Hal ini dapat dijelaskan bahwa apabila genotipe cabai yang digunakan memiliki genetik yang mengekspresikan buah cabai besar maka secara otomatis bobot buah dari genotipe tersebut lebih besar dibandingkan dengan jenis cabai dari genotipe yang ukuran buahnya kecil (misalnya cabai rawit). Perubahan lingkungan yang dilakukan seperti apapun akan tetap menghasilkan bobot buah dari jenis cabai besar lebih tinggi dari jenis cabai rawit. Dalam mempelajari suatu sifat, maka hubungan korelasi antara sifat sangat baik diketahui sebagai indikator untuk memperbaiki suatu sifat melalui sifat lainnya (Baihaki 2000). Hasil analisis korelasi antara karakter kadar vitamin C dan kadar capsaicin dari 14 genotipe yang diseleksi, menunjukkan adanya hubungan korelasi yang positif. Setelah dilakukan analisis ulang pada lima genotipe terpilih sebagai tetua dan hibridanya, dihasilkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kedua karakter tersebut. Oleh sebab itu untuk memperbaiki karakter kadar capsaicin dan vitamin C harus dilakukan secara terpisah. Hasil dari percobaan 1 diperoleh lima genotipe tetua yang mempunyai produksi tinggi dengan karakter beragam diantaranya kadar capsaicin dan vitamin C. Kelima genotipe tersebut adalah genotipe IPB C2 grup cabai semi keriting (capsaicin rendah, vitamin C rendah), genotipe IPB C9 grup cabai besar (capsaicin sedang, vitamin C rendah), genotipe IPB C10 grup cabai rawit (capsaicin tinggi, vitamin C tinggi), genotipe IPB C15 grup cabai semi keriting (capsaicin sedang, vitamin C sedang) dan genotipe IPB C20 grup cabai rawit (capsaicin sedang, vitamin C sedang). 82 Keragaman penampilan yang terlihat dari suatu tanaman (fenotipe) ditentukan oleh keragaman genetik, keragaman lingkungan dan interaksi antara keduanya. Faktor genetik yang menjadi fokus perhatian dalam pemuliaan tanaman karena faktor ini diwariskan dari tetua kepada turunannya. Keragaman genetik merupakan keragaman yang disebabkan oleh pengaruh aditif, pengaruh dominansi dan interaksi antar gen (Falconer 1981). Evalusi terhadap hibrida F1 perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana sifat-sifat yang dikendalikan secara genetik itu diwariskan dari kedua tetuanya kepada turunannya. Berdasarkan hasil evaluasi hibrida F1, diketahui bahwa tetua betina memberikan pengaruh terhadap karakter kadar capsaicin namun tidak ada pengaruhnya pada karakter kadar vitamin C. Seperti diketahui bahwa pada tanaman, umumnya dikenal 2 macam pewarisan ekstrakromosomal yaitu pewarisan sitoplasmik (pewarisan maternal) dan efek maternal (Yunianti et al. 2006). Pewarisan sitoplasmik terjadi apabila faktor yang menentukan karakter zuriat terdapat diluar nukleus. Menurut Suryo (2007) pewarisan sitoplasmik terjadi karena sitoplasma gamet betina biasanya jauh lebih banyak dari pada sitoplasma gamet jantan. Efek maternal terjadi apabila genotipe nukleus dari tetua betina menentukan fenotipe turunannya, tanpa dipengaruhi oleh tetua jantan sehingga apapun genotipe turunannya, fenotipenya akan sama dengan tetua betina. Persilangan diantara genotipe tetua pada percobaan ini dihasilkan perbedaan antara hibrida F1 dengan F1R untuk karakter kadar capsaicin. Dengan demikian karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh pewarisan ekstrakromosomal. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Gardner et al. (1990) bahwa apabila suatu karakter dikendalikan oleh tetua betina (pewarisan ekstrakromosomal), keturunan persilangan resiproknya (F1R) akan memberikan hasil yang berbeda dari F1-nya, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina. Namun demikian pengaruh pewarisan ekstrakromosomal dimaksud, apakah akibat aksi gen diluar inti ataukah gen di dalam inti sel, belum dapat diketahui secara pasti sehingga pembuktian yang lebih mendalam khususnya dengan pendekatan molekuler masih perlu dilakukan. Dengan adanya pengaruh pewarisan ekstrakromosomal ini 83 menyebabkan salah satu asumsi dilaksanakan persilangan dialel tidak terpenuhi. Untuk karakter kadar vitamin C, asumsi tidak adanya pewarisan ekstrakromosomal untuk persilangan dialel terpenuhi. Pendugaan heterosis dan heterobeltiosis untuk karakter kadar capsaicin pada hibrida yang diuji menunjukkan genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C9 memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi. Hal ini berarti kadar capsaicin yang terbentuk pada genotipe IPB C15 x IPB C9 mengalami peningkatan kadar capsaicin melebihi salah satu tetua terbaik (IPB C15). Pada karakter kadar vitamin C, genotipe hibrida F1 IPB C9 x IPB C10 yang berasal dari hasil persilangan cabai besar dengan cabai rawit, menunjukkan nilai heterosis dan heterobeltiosis yang tinggi pula. Peningkatan kadar capsaicin dan vitamin C pada genotipe – genotipe hibrida F1 ini diduga disebabkan kedua tetua dari hibrida F1 secara genetik berbeda yaitu dari jenis cabai semi keriting dengan cabai besar (capsaicin) dan jenis cabai besar dengan cabai rawit (vitamin C). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Singh (1987) bahwa untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, maka tetua galur murni berasal dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan. Ragam genetik aditif merupakan basis utama bagi heterosis. Pendugaan parameter genetik pada percobaan ini menggunakan pendekatan analisis silang dialel. Hal ini disebabkan karena pendekatan ini memiliki keunggulan yaitu pendugaan parameter genetik telah dapat dilakukan pada generasi F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1, ataupun BCP2. Hayman (1961) mengemukakan bahwa analisis dialel adalah alat penting untuk memilih tetua terbaik dalam program pemuliaan tanaman. Hasil uji terhadap nilai dugaan b untuk karakter kadar capsaicin menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan satu (nilai p=0,4367 > 0.05). Hal ini dapat menjadi petunjuk tidak terjadinya interaksi antar gen dalam menetukan kadar capsaicin pada tanaman cabai. Untuk karakter kadar vitamin C, nilai dugaan b menunjukkan perbedaan yang nyata sehingga terjadi interaksi gen antar lokus dalam menentukan karakter kadar vitamin C. Adanya interaksi antar gen pada lokus yang berbeda menunjukkan bahwa dalam pewarisan karakter kadar 84 vitamin C tersebut terdapat sekurang-kurangnya peran dua lokus yang berbeda. Dengan adanya interaksi gen dalam ekspresi dari karakter kadar vitamin C maka salah satu asumsi analisis silang dialel tidak terpenuhi. Menurut Hayman (1954), bahwa adanya tipe interaksi komplementer akan menggeser garis regresi (Wr,Vr), memperbesar nilai (H1/D)1/2, menekan nilai h2/H2, tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap penduga frekwensi gen (H2/4H1); sedangkan tipe interaksi duplikasi akan menekan nilai h2/H2, meningkatkan proporsi gen dominan (Kd/Kr), tetapi kurang mempengaruhi (H1/D)1/2, (H2/4H1), dan garis regresi (Wr,Vr). Dengan memperhitungkan jenis interaksi gen yang ada, maka nilai pendugaan parameter tingkat dominansi (H1/D)1/2, jumlah gen pengendali karakter (h2/H2), (H2/4H1), dan proporsi gen dominan terhadap gen resesif (Kd/Kr) untuk karakter kadar vitamin C tidak dapat digunakan. Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi untuk karakter kadar capsaicin sekurang-kurangnya satu kelompok gen pengendali, sementara karakter kadar vitamin C tidak dapat dibuktikan karena adanya efek interaksi gen. Gen-gen yang menentukan pewarisan sifat kadar capsaicin tidak menyebar secara merata di dalam tetua, namun gen-gen yang menentukan kadar vitamin C menyebar merata di dalam tetua. Hal ini diduga disebabkan dari 5 tetua yang digunakan, kadar capsaicin tinggi hanya dimiliki oleh satu tetua yaitu IPB C10, sedangkan untuk kadar vitamin C yang tinggi terdapat pada 3 tetua yaitu IPB C10, IPB C20 dan IPB C15. Untuk mengetahui lebih pasti tentang distribusi gen didalam tetua maka jumlah tetua yang digunakan dalam percobaan yang akan datang sebaiknya diperbanyak. Pengaruh dominan dan interaksi antar gen merupakan pengaruh gen non aditif. Pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri seperti cabai, sebenarnya seleksi harus dilakukan unuk pengaruh aditif dengan harapan dapat mengumpulkan genotipegenotipe superior. Seleksi menjadi tidak efektif jika genotipe superior tersebut ditentukan oleh pengaruh dominan dan interaksi gen (Poehlman 1983). Besarnya pengaruh non aditif ini akan memperkecil nilai heritabilitas arti sempit. Pada karakter kadar capsaicin, seharusnya akibat pengaruh gen dominan maka nilai heritabilitas arti 85 sempit menjadi kecil namun hasil yang diperoleh nilai heritabilitas arti sempit masih tergolong tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena pengaruh maternal seperti yang telah dibahas sebelumnya. Untuk karakter kadar vitamin C, nilai heritabilitas tergolong kecil akibat pengaruh dari adanya interaksi gen. Hal ini menunjukan peran gen non aditif yaitu epistasis lebih besar sehingga pelaksanaan seleksi bagi karakter kadar vitamin C sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, kadar capsaicin ditentukan oleh gen resesif namun kadar vitamin C ditentukan oleh gen dominan. Sudjindro et al. (1991) yang melakukan penelitian pada beberapa kultivar kenaf (Hibiscus cannabinus L.) menghasilkan bahwa semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y atau titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen dominan, sebaliknya makin jauh titik tetua dari titik nol maka tetua tersebut paling banyak mengandung gen resesif. Heritabilitas merupakan parameter paling penting dalam pemuliaan tanaman. Semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat atau karakter yang diseleksi, maka semakin tinggi peningkatan sifat/karakter yang diperoleh setelah seleksi. Tingginya nilai heritabiltas suatu karakter menunjukkan bahwa korelasi antara ragam fenotipik dan ragam genetik yang tinggi. Pada kondisi tersebut seleksi individu sangat efektif dilakukan, sebaliknya jika nilai heritabilitas rendah, maka sebaiknya seleksi dilakukan berdasarkan seleksi kelompok. Heritabilitas merupakan bagian dari keragaman total pada sifat-sifat yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara tanaman-tanaman yang diamati atau dengan kata lain heritabilitas merupakan perbandingan antara ragam genetik terhadap ragam fenotipik. Ragam fenotipik dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Ada dua pengertian tentang heritabilitas. Pertama, heritabilitas dalam arti luas (h2bs), yaitu perbandingan antara ragam genetik yang merupakan gabungan dari ragam genetik aditif, dominan dan epistasis, dengan ragam fenotipik. Heritabilitas dalam arti luas hanya dapat menjelaskan berapa bagian dari keragaman fenotipik yang disebabkan oleh pengaruh genetik dan berapa bagian pengaruh faktor lingkungan, namun tidak dapat menjelaskan proporsi keragaman fenotipik pada tetua 86 yang dapat diwariskan pada turunannya. Diketahui bahwa genotipe suatu tanaman tidak diwariskan secara keseluruhan pada turunannya. Keunggulan suatu tanaman yang disebabkan oleh gen-gen yang beraksi secara dominansi dan epistasis akan terpecah pada saat proses pindah silang dan segregasi dalam meoisis. Kedua, heritabilitas dalam arti sempit (h2ns), yaitu perbandingan antara ragam genetik additif dengan ragam fenotipik. Heritabilitas arti sempit menunjukkan bagian atau persentase dari keragaman fenotipik yang disebabkan oleh keragaman genetik additif. Semakin tinggi nilai (h2ns), dapat diartikan bahwa keragaman sifat lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan genotipe tanaman dalam populasi, dan hanya sedikit pengaruh keragaman lingkungan. Untuk banyak tujuan, heritabilitas dalam arti sempit merupakan dugaan yang paling banyak bermanfaat karena mampu menunjukkan laju perubahan yang dapat dicapai dengan seleksi untuk suatu karakter di dalam populasi. Pengaruh taksiran additif biasanya lebih penting dari pengaruh genetik total. Terdapat banyak metode untuk menduga nilai heritabilitas dan komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan cara tidak langsung dari pendugaan komponen ragam, diantaranya adalah perhitungan ragam turunan dan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam (Baihaki 2000). Pada percobaan ini, metode yang digunakan untuk menghitung nilai heritabilitas adalah dengan pendugaan komponen ragam melalui analisis ragam menggunakan analsis silang dialel. Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) untuk karakter kadar capsaicin adalah 97,29 % dan nilai heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) sebesar 60,90 % dikategorikan tinggi. Ini menunjukan ragam yang muncul dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai heritabilitas arti luas yang tinggi diduga disebabkan oleh aksi gen dominan dan aditif, sesuai dengan hasil analisis bahwa pengaruh aditif (D) dan dominan (H1) berpengaruh sangat nyata. Dengan demikian pengaruh aditif terhadap keragaman genetik masih cukup besar. Berdasarkan kedua nilai heritabilitas ini maka besarnya keragaman genetik yang ditentukan oleh gen non aditif baik dominan maupun epistasis adalah 36,39% (nilai h2bs - h2ns) tergolong cukup besar. Untuk karakter kadar capsaicin, nilai heritabilitas arti luas adalah sebesar 92,19 % tergolong tinggi dan nilai heritabilitas dalam arti sempit adalah 30,46 % tergolong sedang. Hasil nilai heritabilitas arti 87 sempit ini menunjukkan pengaruh aditifpun kecil, sementara pengaruh non aditif yaitu epistasis adalah sebesar 61,73 %. Hasil pengujian daya gabung umum (GCA) dan daya gabung khusus (SCA) untuk karakter kadar capsaicin dan kadar vitamin C memperlihatkan hasil yang sangat nyata. Namun demikian nilai GCA dari kedua karakter lebih besar dari nilai SCA. Dengan kondisi ini maka seharusnya kedua karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif. Untuk karakter kadar capsaicin, masih bisa disimpulkan bahwa adanya pengaruh aksi gen aditif dalam menentukan ekspresi dari karakter tersebut. Namun untuk karakter kadar vitamin C, terjadi bias dalam penentuan aksi gen. Hal ini masih belum dapat dijelaskan. Seperti diketahui bahwa, daya gabung umum merupakan penduga terhadap ragam aditif, sementara daya gabung khusus merupakan penduga dari ragam non aditif (dominan dan epistasis) (Roy 2000). Daya gabung umum yang lebih besar dari pada daya gabung khusus menunjukan bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat tersebut dibandingkan dengan aksi gen non aditif. Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dari pada daya gabung umum, maka aksi gen non aditif yang lebih berperan dalam mengendalikan sifat dibandingkan dengan aksi gen aditif (Sousa dan Maluf 2003). Nilai daya gabung umum untuk tetua IPB C10 merupakan nilai DGU yang paling tinggi untuk kedua karakter yang diauji, yaitu 62,40 untuk karakter kadar capsaicin dan 9,50 untuk karakter kadar vitamin C. Ini menunjukkan peluang untuk pembentukan varietas bersari bebas sangat mungkin untuk dilakukan. Pada karakter kadar capsaicin, nilai daya gabung khusus tertinggi terbentuk pada persilangan genotipe IPB-C20 x IPB-C10 yaitu sebesar 73,49. Untuk karakter kadar vitamin C, adalah sebesar 25,94 pada kombinasi persilangan antara genotipe IPB C9 dengan IPB C10. Nilai Daya Gabung Khusus yang tinggi menggambarkan adanya kemungkinan untuk tetua-tetua yang digunakan membentuk varietas hibrida. Hasil pengujian kadar capsaicin dan vitamin C pada tanaman cabai dalam percobaan ini menunjukkan genotipe IPB C10 (jenis cabai rawit) memiliki keunggulan sehingga dapat dipakai sebagai genotipe dalam program pemuliaan tanaman untuk perbaikan sifat kadar capsaicin dan vitamin C. 88 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Peran faktor genetik sangat besar dalam menentukan keragaman genetik karakter daya hasil, kadar capsaicin, vitamin A dan vitamin C genotipe-genotipe tanaman cabai baik genotipe tetua maupun hibrida F1-nya. 2. Karakter kadar capsaicin dipengaruhi oleh adanya pewarisan ekstrakromosomal dan nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi terbentuk pada hibrida F1 IPB C15 x IPB C9. Karakter kadar vitamin C tidak dipengaruhi oleh efek maternal dan nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi terbentuk pada hibrida F1 IPB C9 x IPB C10. 3. Pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar capsaicin menunjukkan tidak terjadi interaksi gen antar lokus, aksi gen aditif dan gen dominan berperan sangat nyata, gen-gen tidak menyebar secara merata di dalam tetua, satu kelompok gen yang mengendalikan karakter, karakter kadar capsaicin ditentukan oleh gen-gen resesif, nilai heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit tergolong tinggi. 4. Pendugaan parameter genetik untuk karakter kadar vitamin C menunjukkan adanya interaksi gen antar lokus (epistasis), aksi gen aditif dan gen dominan tidak berperan nyata, gen-gen menyebar secara merata di dalam tetua, kelompok gen yang menendalikan karakter tidak dapat ditentukan akibat adanya interaksi gen, nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi dan heritabilitas arti sempit tergolong sedang. 5. Genotipe IPB C10 mempunyai daya gabung umum yang paling tinggi untuk kedua karakter (capsaicin dan vitamin C) sehingga sangat baik digunakan untuk perakitan varietas dengan kadar capsaicin dan vitamin C yang diinginkan. Nilai daya gabung khusus yang tertinggi untuk karakter kadar capsaicin dihasilkan pada genotipe hibrida F1 IPB C2 x IPB C10, sementara untuk karakter kadar vitamin C pada genotipe hibrida F1 IPB C15 x IPB C10. 89 Saran 1. Dengan adanya pengaruh maternal pada karakter kadar capsaicin khususnya persilangan antara genotipe IPB C20 x IPB C15, maka perlu dilakukan pendugaan parameter genetik untuk karakter tersebut pada generasi F2 atau F3. 2. Perlu diteliti tentang jenis interaksi gen yang terjadi dalam menentukan karakter kadar vitamin C dari genotipe-genotipe yang digunakan. 3. Untuk perbaikan karakter kadar capsaicin dan vitamin C khususnya bagi populasi dari genotipe-genotipe yang diteliti, maka genotipe IPB C10 dapat digunakan dalam perakitan varietas. 4. Perakitan varietas yang memiliki kadar capsaicin dan vitamin C yang diinginkan dapat diarahkan ke varietas bersari bebas atau varietas hibrida. 90 DAFTAR PUSTAKA Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 hal. Badan Standarisasi Nasional. 1998. Cabai Merah Segar. Standar Nasional Indonesia (SNI). Baihaki A. 2000. Teknik Rancangan dan Analisis Penelitian Pemuliaan [Diktat Kuliah]. Bandung: Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. 91 hal. Barbosa AMM, Geraldi IO, Benchimol LL, Garcia AAF, Souza CL, Souza AP. 2003. Relationship of intra- and interpopulation tropical maize single cross hybrid performance and genetic distances computed from AFLP and SSR markers. Euphytica 130:87–99. Becker WA. 1985. Manual of quantitative genetics. Fourth Edition. Washington: Academic Enterprises. Pullman,. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai 2009. http://www.bps.go.id [30 Januri 2011]. Crow JF. 1999. Quantitative genetics of heterosis–dominance and overdominance. In: Coors, J.G. and S. Pandey, eds, The Genetics and Exploitation of Heterosis in Crops. Madison, Wisconsin: American Society of Agronomy, Inc., Crop Science Society of America, Inc. pp.49–58. Crowder LV. 1996. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 499 hal. Darlina E, Daradjat AA, Herawati T. 1992. Daya gabung dan heterosis karakter hasil enam genotipe kedelai dalam silang diallel. Zuriat 3:32-38. [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Konsumsi perkapita sayuran di Indonesia periode 2003-2006. http://www.deptan.go.id [30 Mei 2009]. Djarwaningsih T. 2005. Capsicum spp. (Cabai): Asal, Penyebaran dan Nilai Ekonomi. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hal : 292-296. Duriat AS. 1996. Cabai merah: komoditas prospek dan andalan. Di dalam: Duriat AS, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L, Editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 1-3. 91 Duriat AS, Sastrosiswoyo S. 2006. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu Pada Agribisnis Cabai. Di dalam: Santika A. editor. Agribisnis Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 98-121. Falconer DS. 1981. Introduction to Quantitative Genetics. New York: Longman. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1990. Physiology of Crop Plant. IOWA State University: Press Ames. Greenleaf WH. 1986. Pepper Breeding. Basset MJ, editor. Breeding Vegetables Crops. Conecticut: AVI Publishing Co. Griffing B. 1956. Concept of general and specific combining ability in relation to diallel crossing system. Aust Biol Sci 9 (4): 463-493. Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitative Genetics in Maize Breeding, Second Edition. America: Lowa State University Press. Hayman BI. 1954. The theory and analysis of diallel cross. Genetics 39:789– 809 Hayman BI. 1961. The theory and analysis of diallel crosses. III. Genetics 44:155−171. Herbert RB. 1995. Biosintesis Metabolisme Sekunder (terjemahan). Edisi kedua. School of Chemistry. New York: University of Leeds. 243 hal. Iriany RNA, Takdir, Musdalifah, Dahlan M, Subandi. 2003. Evaluasi Daya gabung Karakter Ketahanan Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai melalui Persilangan Dialel. Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia. Jagau J. 1993. Analisis Silang Dialel Untuk Menentukan Parameter Genetik Karakter Agronomik Yang Berkaitan Dengan Ketenggangan Terhadap Salinitas Pada Padi Sawah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Joshi S, Singh B. 1987, Results of combining ability studies in sweet pepper (Capsicum annuum L.). Capsicum Newsltr. 6:49-50. Khadi, BM, Goud JV, Patil VB. 1987. Variation in ascorbic acid and mineral content in fruits of some varieties of chilli (Capsicum annuum L.). Plant Foods for Hum Nutri. 37(1):9-15. Kirana R, Sofiari E. 2007. Heterosis dan heterobeltiosis pada persilangan 5 genotipe cabai dengan metode half dialel. J.Hort. 17:111-117 92 Kusandriani Y. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Di dalam: Duriat AS, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabeningrum L, editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Kusandriani Y, Permadi H. 1996. Pemuliaan Tanaman Cabai. Didalam: Duriat AS, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. Editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hal 28-35. Liu XC, Ishiki K, Wang WX. 2002. Identifi cation of AFLP markers favorable to heterosis in hybrid rice. Breed Sci. 52:201-206. Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta: Kanisius. 182 hal. Poehlman JM. 1983. Breeding Field Crops. 2nd edition. Westport: The AVI Publishing Company, Inc. 486p. Poehlman JM, Sleeper DA. 1995. Breeding Field Crops. USA: Iowa State University Press. Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor: PAU IPB. Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi: Narosa Publishing House. Setiamihardja R. 1993. Persilangan antarspesies pada tanaman cabai. Zuriat 4(2): 112−115. Sigit A. 2007. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Cabai, Tomat Serta Pepaya Dan Konsentrasi Xanthan Gum Terhadap Mutu Saos Cabai. Medan: Fakultas Pertanian USU. Silitonga TS, Minantyorini, Cholisoh L, Warsono, Indarjo. 1993. Evaluasi Daya gabung Padi Buluh dan Cere. Penelitian Pertanian. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Pangan. Singh J. 1987. Field Manual of Breeding Procedures. India: Indian Agricultural Research Institut New Delhi. Sousa JA de, Maluf WR. 2003. Diallel analysis and astimation of genetic parameters of hot pepper (Capsicum chinense Jacq.). Sci Agric 60(1):105-113. Sudjindro, Soemartono, Wuryono MD. 1991. Penilaian parameter genetik beberapa kultivar kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan persilangan dialel. Zuriat 2 (1) : 48-55. 93 Sukrasmo, Kusmardiyani S, Tarini S, Sugiarso NC. 1997. Kandungan Kapsaisin Dan Dihidrokapsaisin pada Berbagai Buah Capsicum. JMS. Vol.2. FMIPA. ITB. Hal 28 – 34. Suryo H. 2007. Sitogenetika. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press. 446 hal. Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2007. Pewarisan ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Bul. Agron 35(2):112-117. Yunianti R, Sujiprihati S, Syukur M, Undang. 2006. Seleksi hibrida cabai hasil persilangan full diallel menggunakan beberapa parameter genetik. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman di Bogor 1−2 Agustus 2006. Hal. 151−156. 94 Lampiran 1. Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil IPB-C2 IPB-C9 IPB-C14 IPB-C15 IPB-C20 IPB-C105 IPB-C10 IPB-C19 IPB-C110 95 Lampiran 2. Empat Belas Genotipe Cabai yang Digunakan dalam Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil (lanjutan). IPB-C128 IPB-C129 IPB-C132 IPB-C131 IPB-C130 96 Lampiran 3. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C9 dengan IPB C10. Genotipe IPB C9 Genotipe IPB C10 X IPB C9 x IPB C10 Lampiran 4. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB C10. Genotipe IPB C15 Genotipe IPB C10 X IPB C15 x IPB C10 97 Lampiran 5. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C10. Genotipe IPB C2 Genotipe IPB C10 X IPB C2 x IPB C10 Lampiran 6. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C10. Genotipe IPB C20 Genotipe IPB C10 X IPB C20x IPB C10 98 Lampiran 7. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C15 dengan IPB C9. Genotipe IPB C15 Genotipe IPB C9 X IPB C15 x IPB C9 Lampiran 8. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C9. Genotipe IPB C2 Genotipe IPB C9 X IPB C2 x IPB C9 99 Lampiran 9. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C9. Genotipe IPB C20 Genotipe IPB C9 X IPB C20 x IPB C9 Lampiran 10. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C2 dengan IPB C15. Genotipe IPB C2 Genotipe IPB C15 X IPB C2 x IPB C15 100 Lampiran 11. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C15. Genotipe IPB C20 Genotipe IPB C15 X IPB C20 x IPB C9 Lampiran 12. Bagan Persilangan Cabai antara Genotipe Tetua IPB C20 dengan IPB C2. Genotipe IPB C20 Genotipe IPB C2 X IPB C20 x IPB C2 101 Lampiran 13. Sidik Ragam karakter Panjang Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). Sumber Keragaman Ulangan Genotipe Galat Total Terkoreksi KK (%) = db 1 13 13 27 8,0655 JK 0,2760 268,9377 8,7960 278,0097 KT 0,2760 20,6875 0,6766 Fhit 0,4100tn 30,5800** Pr > F 0,5341 <,0001 Lampiran 14. Sidik Ragam karakter Tebal Kulit Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). Sumber Keragaman Ulangan Genotipe Galat Total Terkoreksi KK (%) = db 1 13 13 27 8,0499 JK KT 0,0710 4,2916 0,2767 4,6393 0,0710 0,3301 0,0213 Fhit 3,3400tn 15,5100** Pr > F 0,0909 <,0001 Lampiran 15. Sidik Ragam karakter Bobot per Buah pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). Sumber Keragaman Ulangan Genotipe Galat Total Terkoreksi KK (%) = db 1 13 13 27 11,5182 JK 0,5629 239,6207 6,5635 246,7471 KT 0,5629 18,4324 0,5049 Fhit 1,1100tn 36,5100** Pr > F 0,3102 <,0001 102 Lampiran 16. Sidik Ragam karakter Bobot Buah per Tanaman pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). Sumber Keragaman Ulangan Genotipe Galat Total Terkoreksi KK (%) = db JK KT 1 13 13 27 7,583 298723,404 112573,928 411304,914 7,582 22978,723 8659,533 Fhit 0,0001tn 2,6500** Pr > F 0,9768 0,0451 25,3635 Lampiran 17. Sidik Ragam karakter Kadar Capsaicin pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). Sumber Keragaman Ulangan Genotipe Galat Total Terkoreksi KK (%) = db JK KT Fhit 1 13 13 27 5,6041 91,803 113322,429 8159,895 121574,127 91,8032 8717,1099 627,6842 0,1500tn 13,8900** Pr > F 0,7083 <,0001 Lampiran 18. Sidik Ragam karakter Kadar Vitamin A pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). Sumber Keragaman Ulangan Genotipe Galat Total Terkoreksi KK (%) = db 1 13 13 27 5,307 JK KT Fhit 134285,40 134285,400 0,570tn 124087563,60 9545197,200 40,210** 3085607,40 237354,400 127307456,40 Pr > F 0,4654 <,0001 103 Lampiran 19. Sidik Ragam karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan Evaluasi Kualitas Hasil Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). Sumber Keragaman Db JK KT Fhit Pr > F Ulangan 1 62,2224 62,2224 1,5600tn 0,2333 Genotipe 13 9135,3966 702,7228 17,6500** <,0001 Galat 13 517,6836 39,8218 27 6,8844 9715,3026 Total Terkoreksi KK (%) = Lampiran 20. Sidik Ragam karakter Kadar Capsaicin pada Percobaan Evaluasi Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L) dengan Menggunakan Analisis Diallel. SK db JK KT F Hitung Nilai P tn 3,0640 0,1019 Ulangan 1 667,4083 667,4083 Genotipe 14 104.452,1026 7.460,8645 34,2520** 0,0000 Tetua 4 42.501,8607 10.625,4652 48,7803** 0,0000 Persilangan 9 61.910,3394 6.878,9266 31,5804** 0,0000 Tetua x Persilangan 1 39,9024 39,9024 0,1832tn 0,6752 Galat 14 3.049,5195 217,8228 Total Terkoreksi 29 108.169,0304 KK (%) = 3,08 104 Lampiran 21. Sidik Ragam karakter Kadar Vitamin C pada Percobaan Evaluasi Tanaman F1 dan Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L) dengan Menggunakan Analisis Diallel. SK db JK KT F Hitung Nilai P Ulangan 1 667,4083 667,4083 3,0640tn 0,1019 Genotipe 14 104.452,1026 7.460,8645 34,2520** 0,0000 Tetua 4 42.501,8607 10.625,4652 48,7803** 0,0000 Persilangan 9 61.910,3394 6.878,9266 31,5804** 0,0000 Tetua x Persilangan 1 39,9024 39,9024 0,1832tn 0,6752 Galat 14 3.049,5195 217,8228 Total Terkoreksi 29 108.169,0304 KK (%) = 6,03 105 Lampiran 22. Hasil Analisis Silang Diallel untuk karakter Kadar Capsaicin dalam Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). IPB C10 IPB C9 IPB C15 IPB C2 IPB C20 Total(Y.j) Rataan(Y.j) IPB C10 602,565 ----2708,410 541,682 IPB C9 499,190 439,895 ---2338,155 467,631 IPB C15 504,905 517,885 449,820 --2349,945 469,989 IPB C2 494,770 467,590 447,015 418,965 -2244,545 448,909 IPB C20 606,980 413,595 430,320 416,205 475,750 2342,850 468,570 Data yang digunakan untuk grafik Vr dan Wr: Wr_tetua Yr 50,0660 1021,9379 1373,4528 1634,8245 2979,6254 5860,2708 1.723,8842 1.134,5306 923,9677 3.215,4885 5.872,2405 Tetua IPB C2 IPB C15 IPB C9 IPB C10 IPB C20 Vr 0,0000 1105,4983 1505,3442 1802,6529 3332,3555 6609,0717 Wri 0,0000 2423,4720 2827,9836 3094,6749 4207,6019 5925,5574 Pendugaan Kompone Ragam: Ragam D F H1 H2 h2 E Nilai 5198,943 192,829 6204,730 6103,255 -57,503 113,789 Sd 459,506 1147,845 1240,949 1125,555 759,914 187,592 T_hitung 11,314 0,168 5,000 5,422 -0,076 0,607 Nilai-P 0,000 0,867 0,000 0,000 0,940 0,544 Parameter lain: a. Rata-rata tingkat dominansi b. Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua c. Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua d. Koefisien korelasi antara (Wr+Vr) dengan Yr e. Prediksi tetua dominant dan resesif f. Jumlah kelompok gen mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi g. Heritabilitas arti luas h. Heritabilitas arti sempit Uji Hipotesis b (Wr-Vr) = 0,8791tn = 1,0925 = 0,2459 = 1,0345 = 0,3686 = 0,1359 = -0,0094 = 97,29 = 60,90 106 Lampiran 23. Hasil Analisis Silang Diallel untuk karakter Kadar Vitamin C dalam Pendugaan Parameter Genetik pada Genotipe Cabai (Capsicum annuum, L). IPB C10 IPB C9 IPB C15 IPB C2 IPB C20 Total(Y.j) Rataan(Y.j) IPB C10 931,880 ----4535,015 907,003 IPB C9 1154,340 754,205 ---4045,375 809,075 IPB C15 677,835 719,310 769,105 --3640,705 728,141 IPB C2 842,355 615,890 716,575 729,490 -3694,925 738,985 IPB C20 928,605 801,630 757,880 790,615 815,065 4093,795 818,759 Data yang digunakan untuk grafik Vr dan Wr: Wr_tetua Yr 828,14 1165,47 1900,97 2678,29 8392,53 11488,89 -1558,00 4770,14 5352,31 979,47 16082,23 Tetua IPB C2 IPB C15 IPB C9 IPB C10 IPB C20 Vr 0,00 1326,23 4217,88 7273,94 29739,61 41913,07 Wri 0,00 2915,82 5199,94 6828,67 13807,62 16391,77 Pendugaan Kompone Ragam: Ragam D F H1 H2 h2 E Nilai 5017,300 -9351,700 49863,500 44020,200 -891,000 1393,400 Sd 11051,000 27605,300 29844,400 27069,200 18275,700 4511,500 T_hitung 0,454 -0,339 1,671 1,626 -0,049 0,309 Nilai-P 0,650 0,735 0,095 0,104 0,961 0,757 Parameter lain: a. Rata-rata tingkat dominansi b. Proporsi gen-gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua c. Proporsi gen-gen dominan dan resesif dalam tetua d. Koefisien korelasi antara (Wr+Vr) dengan Yr e. Prediksi tetua dominant dan resesif f. Jumlah kelompok gen mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi g. Heritabilitas arti luas h. Heritabilitas arti sempit Uji Hipotesis b (Wr-Vr) = 0,2544* = 3,1525 = 0,2207 = 1,0000 = 0,0885 = 0,0078 = -0,0202 = 92,19 = 30,46 107 Lampiran 24. Hasil Uji Kontras dari Karakter Kadar Capsaicin Berdasarkan Grup Hibrida F1 Dengan Grup Tetua dan Antara Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup Hibrida F1 Lainnya. Kontras db JK Kontras KT F Value Pr > F Tetua Selving VS Hibrida 1 5.879,4121 5.879,4121 26,9900** 0,0001 Rawit x Rawit VS Lainnya (Hibrida) 1 6.224,8033 6.224,8033 28,5800** 0,0001 Semi Keriting x Semi Keriting VS Lainnya (Hibrida) 1 5,2771 5,2771 0,0200tn 0,8785 Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 1 2.640,4182 2.640,4182 12,1200** 0,0037 Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 1 1.923,0540 1.923,0540 8,8300* 0,0101 Rawit x Rawit VS Rawit x Besar (Hibrida) 1 2.721,3420 2.721,3420 12,4900** 0,0033 Rawit x Rawit VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida) 1 9.707,2749 9.707,2749 44,5700** <,0001 Rawit x Besar VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida) 1 2.853,8385 2.853,8385 13,1000** 0,0028 Semi Keriting x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 1 239,6814 239,6814 1,1000tn 0,3120 Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 1 1.124,1301 1.124,1301 5,1600* 0,0394 Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 1 4.248,2865 4.248,2865 19,5000** 0,0006 Rawit x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 1 51,3774 51,3774 0,2400tn 0,6347 Rawit x Besar VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 1 103,6800 103,6800 0,4800tn 0,5015 108 Lampiran 25. Hasil Uji Kontras dari Karakter Kadar Vitamin C Berdasarkan Grup Hibrida F1 Dengan Grup Tetua dan Antara Grup Hibrida F1 yang Satu dengan Grup Hibrida F1 Lainnya. Kontras db JK Kontras KT Tetua Selving VS Hibrida 1 18.160,0324 18.160,0324 7,1300* 0,0183 Rawit x Rawit VS Lainnya (Hibrida) 1 1.632,1427 1.632,1427 0,6400tn 0,4367 Semi Keriting x Semi Keriting VS Lainnya (Hibrida) 1 90.519,4095 90.519,4095 35,5600** <,0001 Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 1 30.528,8256 30.528,8256 11,9900** 0,0038 Rawit x Rawit VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 1 1.312,7300 1.312,7300 0,5200tn 0,4845 Rawit x Rawit VS Rawit x Besar (Hibrida) 1 819,7227 819,7227 0,3200tn 0,5794 Rawit x Rawit VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida) 1 18.711,6805 18.711,6805 7,3500* 0,0169 Rawit x Besar VS Rawit x Semi Keriting (Hibrida) 1 47.126,3437 47.126,3437 18,5100** 0,0007 Semi Keriting x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 1 56.637,6540 56.637,6540 22,2500** 0,0003 Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 1 128.022,4361 128.022,4361 50,2900** <,0001 Rawit x Semi Keriting VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 1 15.714,3073 15.714,3073 6,1700* 0,0262 Rawit x Besar VS Semi Keriting x Semi Keriting (Hibrida) 1 29.972,0065 29.972,0065 11,7700** 0,0041 Rawit x Besar VS Semi Keriting x Besar (Hibrida) 1 6.310,6995 2,4800tn 0,1377 6.310,6995 F Value Pr > F 109 Lampiran 26. Perhitungan Nilai Heritabilitas Arti Luas (h2bs) dan Koefisien Keragaman Genetik (KKG) Karakter Panjang Buah, Tebal Kulit Buah, Bobot Buah, Bobot Buah per Tanaman, Kadar Capsaicin, Kadar Vitamin A dan Kadar Vitamin C pada Percobaan I. Sumber Keragaman Panjang Buah Tebal Kulit Buah Bobot per Buah Bobot Buah per Tanaman Kadar Capsaicin Kadar Vitamin A Kadar Vitamin C KT Genotipe Ragam Galat Lingkungan Heritabilitas Genetik KKG Nilai Kriteria Nilai Kriteria 20,69 0,68 10,34 10,01 96,73 tinggi 31,01 agak luas 0,33 0,02 0,17 0,15 93,55 tinggi 21,71 agak sempit 18,43 0,50 9,22 8,96 97,26 tinggi 48,52 sangat luas 22978,72 8659,53 11489,36 7159,60 62,31 tinggi 23,06 agak luas 8717,11 627,68 4358,55 4044,71 92,80 tinggi 14,23 agak sempit 4772598,60 4653921,40 97,51 tinggi 23,50 agak luas 94,33 tinggi 19,86 agak sempit 9545197,20 237354,40 702,72 39,82 351,36 331,45 110