analisis aplikasi rules of origin untuk meningkatkan

advertisement
ANALISIS APLIKASI RULES OF ORIGIN UNTUK MENINGKATKAN AKSES PASAR
PRODUK GLOBAL VALUE CHAIN INDONESIA DI DUNIA
Disusun Oleh :
TIM PENULIS
PUSAT Kebijakan KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
JAKARTA
2014
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-undang (UU) Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014, yang disahkan pada tanggal 11
Maret 2014 merupakan salah satu tonggak sejarah penting bagi Kementerian Perdagangan.
Lahirnya UU No.7/2014 memberikan landasan hukum yang lebih baik bagi Kementerian
Perdagangan melakukan kegiatannya, terutama dalam meningkatkan kinerja perdagangan dan
stabilitas harga.
Namun sayangnya, salah satu permasalahan utama dalam UU No 7/2014 (Terlampir)
justru timbul ketika Kementerian Perdagangan berupaya untuk meningkatkan kinerja
perdagangan. Adapun salah satu permasalahan utama tersebut adalah belum diatur dan
didefinisikan dengan jelas produk atau komoditas ekspor yang berasal dari Indonesia. Adapun
konsep pendefinisian yang umumnya digunakan saat ini dan telah disepakati oleh anggota
World Trade Organization (WTO) dan World Custom Union (WCO) adalah menggunakan Surat
Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (CoO).
SKA merupakan informasi yang diterbitkan oleh suatu negara untuk menjelaskan negara
asal barang, apakah produk ekspor berasal dari negara tersebut atau tidak. Adapun metode
yang digunakan untuk menentukan asal negara untuk produk tersebut adalah Rules of Origin
(RoO). Konsep RoO adalah nilai tambah yang menentukan berapa persen dari nilai produk yang
diproduksi oleh sebuah negara. Sebagai contoh kasus, jika suatu negara memiliki aturan RoO
40% untuk produk ekspor, hal ini berarti negara tersebut akan mengeluarkan
2
SKA yang
memberikan keterangan bahwa produk A merupakan produk yang diproduksi negara tersebut
karena 40% dari nilai produksi yang berasal dari biaya produksi berasal dari kegiatan produksi
yang dilakukan dinegara tersebut.
Penerbitan SKA dari suatu negara akan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha
bahwa negara bersangkutan akan berupaya maksimal untuk melindungi produk ekspor
tersebut. Adapun perlindungan yang dapat dilakukan antara lain kegiatan pembelaan dari
berbagai hambatan tarif dan non tarif, atau dari kegiatan lain yang menghambat akses pasar
produk tersebut yang mungkin terjadi akibat kebijakan anti dumping, safeguard, atau tuduhan
lainnya.
Permasalahan nilai RoO dan SKA akan semakin pelik jika mengikuti pola perdagangaan
saat ini. Sesuai perkembangan perdagangan saat ini, hampir seluruh produk konsumsi
diproduksi dibeberapa negara. Kegiatan ini dikenal dengan konsep Global Value Chain (GVC),
dimana perusahaan berskala internasional dapat menentukan pabrik dan tempat perakitan
produknya di berbagai belahan dunia yang memiliki biaya paling rendah dan memberikan
keuntungan terbesar.
Berdasarkan pemaparan diatas, sangat disayangkan saat ini UU No 7/2014 belum
memberikan batasan yang jelas mengenai penetapan RoO untuk produk ekspor Indonesia.
Ketiadaan batasan yang jelas tersebut akan mempersulit Indonesia dalam menyusun kebijakan
untuk melindungi produk ekspor nasional. Menyadari hal ini, perlu dilakukan kajian untuk
menyusun usulan RoO yang tepat untuk meningkatkan peran serta Indonesia dalam
perdagangan produk GVC sebagai upaya meningkatkan kinerja perdagangan.
1.2. Permasalahan
3
Adapun permasalahan dalam kajian ini adalah :
a. Bagaimanakah tingkat integrasi dan keterkaitan perdagangan antara produk Indonesia
dengan negara lain?
b. Bagaiamanakah usulan RoO yang tepat dan dapat diterima untuk komoditas ekspor
nasional?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari kajian ini adalah :
a. Menganalisis tingkat integrasi dan keterkaitan perdagangan antara produk Indonesia
dengan negara lain
b. Mengusulkan usulan RoO yang tepat dan dapat diterima untuk komoditas ekspor
nasional.
1.4. Data dan Metodologi
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer yang diperoleh dari kegiatan
survey turun lapang ke dalam negeri (Palembang, Padang, Banjarmasin, dan Bandung), dan luar
negeri (Korea Selatan dan Filipina), serta data sekunder berupa data perdagangan yang
diperoleh dari United Nation Commerce and Trade (Comtrade) dan data industri besar dan
sedang yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik.
Adapun metode yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari analisis tabulasi dan
pembobotan untuk mengetahui pandangan responden dalam negeri mengenai RoO yang biasa
digunakan. Selain itu juga digunakan metode deskriptif berdasarkan hasil kegiatan turun lapang
luar negeri.
4
Selanjutnya data sekunder ekspor-impor yang diperoleh dari Comtrade akan dianalisis
dengan Indeks Intra-Industry Trade (IIT). Nilai Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan
perdagangan di antara negara-negara di kawasan tersebut. IIT indeks yang umum digunakan
adalah Grubel-Lloyd Index dengan rumus:
IIT =
∑ (X
+ M )− ∑ X − M
∑ (X
+M)
x 100 atau 1 −
∑ X − M x100
∑ (X + M )
dimana:
X
= ekspor
M
= impor
Nilai IIT digunakan untuk menganalisis tingkat integrasi dan keterkaitan perdagangan
antara produk Indonesia dengan negara lain. Integrasi yang tinggi menunjukkan keterkaitan
yang erat di antara negara-negara tersebut. Nilai IIT yang tinggi menunjukkan adanya
keterkaitan yang bersifat dua arah (two-way trade) dimana Indonesia melakukan ekspor dan
impor produk industri tertentu. Sementara itu, nilai IIT yang cenderung semakin menurun
menunjukkan keterkaitan perdagangan yang ada cenderung bersifat satu arah dan Indonesia
cenderung lebih menjadi importir (Lubis et.al., 2011).
1.5. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dalam kajian ini terdiri dari :
a. Data yang dianalisis dalam kajian ini terdiri dari data dalam pengelompokan ISIC Rev 3
yang sesuai dengan pembagian kelompok industri.
5
b. Rujukan dalam kajian ini khususnya dalam pemanfaatan SKA didasarkan pada data
Harmonized System (HS) 10 Digit, dimana data ini digunakan karena hanya data dalam
kelompok tersebut yang tersedia.
c. Pemilihan usulan RoO dalam kajian ini dibatasi pada penggunaan kriteria nilai tambah
atau value added methode, salah satu dari beberapa metode penentuan RoO.
d. Penentuan produk GVC ditentukan dari kelompok industri yang memiliki nilai Intra
Industry Trade (IIT) antara 0 sampai 1. Jika nilai IIT antara -1 sampai 0, produk tersebut
didefinisikan sebagai produk ekspor yang tidak kompepetif dan memiliki GVC rendah.
e. Lokasi survey dalam negeri ke Sumatera Selatan, sedangkan luar negeri ke Filipina,
Korea Selatan dan Singapura.
6
II. TINJAUAN LITERATUR
Kerjasama perdagangan bilateral seperti Free Trade Area (FTA) maupun multilateral
seperti World Trade Organization (WTO) mengisyaratkan agar seluruh mitra/anggotanya dapat
menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan, baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif.
Secara teoritis, hambatan-hambatan perdagangan tersebut dipercaya dapat menyebabkan
inefisiensi ekonomi secara keseluruhan.
2.1. Kebijakan Tarif
Tarif pada dasarnya merupakan pembebanan pajak atau custom duties terhadap
barang-barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari aspek asal komoditi, terdapat dua
macam tarif yaitu (Salvatore,1997) :
a. Tarif impor, merupakan pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari
negara lain,
b. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
Teori keseimbangan umum dapat menjelaskan dampak pemberlakuan tarif terhadap
tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah negara kecil yang
hubungan dagang atau kekuatan ekonominya terbatas. Dengan asumsi tidak mampu
mempengaruhi harga yang berlaku di pasaran internasional, ketika sebuah negara kecil
memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya, yang berubah hanyalah harga barang
7
tersebut di pasar domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi segala implikasi
kenaikan harga itu adalah konsumen dan produsen di negara kecil yang bersangkutan.
Secara teoritis, dampak keseimbangan umum yang dihasilkan dari pemberlakuan tarif di
sebuah negara kecil, misalnya Indonesia, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.1. Dalam gambar
diasumsikan terdapat dua komoditi yang diperdagangkan (komoditi X dan Y) dan dua negara
yang melakukan perdagangan (pertukaran komoditi), yaitu negara kecil (disebut negara 2) yang
menetapkan harga domestiknya dengan PF dan negara lainnya (negara dunia/world) dengan
harga Pw. Sehingga pada gambar tersebut terlihat bahwa di pasar dunia berlaku Px/Py = 1,
negara 2 akan berproduksi di titik B dan berkonsumsi di titik E.
Namun ketika pemerintah negara 2 mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari
nilai impor harus dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak) sebesar 100% terhadap
komoditi X, harga komoditi tersebut bagi para konsumen dan produsen domestik langsung
melonjak menjadi Px/Py = 2, sehingga para produsen domestik di negara 2 akan terdorong untuk
berproduksi di titik F. Itu berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X; separuh
diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung terarah ke konsumen domestik, sedangkan
selebihnya, yakni HH’ yang juga bernilai 15X, akan menjelma sebagai pendapatan pajak bagi
pemerintah yang bersumber dari pengenaan tariff ad valorem 100% terhadap komoditi X yang
diimpor.
Karena disumsikan bahwa pemerintah negara 2 menggunakan kebijakan tarif tersebut
dalam rangka meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi warganya (agar beban
pajak mereka tidak terlalu besar), maka tingkat konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser
ke kurva indiferen II’, tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara dua garis putus-putus). Itu
8
berarti, tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik E) dalam perdagangan bebas lebih tinggi
ketimbang tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik H’) yang ada setelah tarif tersebut
diberlakukan.
Komoditi Y
140 120 -
B
85 -
F
60 55 -
E
III
G
H
H’
40 -
II
A
PW = 1
PF = 2
0
I
I
I
I
I
Komoditi X
Gambar 2.1. Dampak-Dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan
Tarif di Sebuah Negara Kecil. Sumber: Salvatore (1997)
Dari Gambar 2.1 dapat disimpulkan bahwa dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan
negara yang bersangkutan (negara 2) menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kondisinya di
masa perdagangan bebas (tanpa tarif). Hal ini terlihat dari bergesernya konsumsi dari titik E ke
titik H’ yang terletak pada kurva indiferen yang lebih rendah daripada sebelumnya.
Penurunan kesejahteraan tersebut bersumber dari dua sebab yaitu: (1) Perekonomian
tidak lagi berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia; dan
(2) Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferen tertinggi yang
memaksimumkan kesejahteraan. Keduanya diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan
produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia. Penurunan
kesejahteraan terjadi karena kegiatan produksi yang tidak efisien. Penurunan kesejahteraan
9
sebagai akibat dari konsumsi yang tidak efisien juga merupakan padanan dari kerugian akibat
konsumsi.
Selain penurunan kesejahteraan, volume perdagangan di negara kecil (negara 2) pun
mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor samasama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu dibandingkan dengan
sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung secara bebas.
Dari penjelasan tersebut, maka semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin besar
kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan mendorong perekonomian yang
bersangkutan menuju kondisi autarki (semua komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan
internasional lenyap). Tarif impor yang mematikan perdagangan internasional ini biasa disebut
dengan tarif prohibitif (prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi akan memaksa suatu
perekonomian terus-menerus berproduksi dan berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan
negara itu sendiri.
2.2. Hambatan Perdagangan Bukan Tarif (non-tariff barrier)
Hambatan perdagangan bukan tarif (non-tariff barrier) merupakan bentuk proteksi
perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif. Praktek perdagangan
yang terjadi pada saat ini, masing-masing negara melakukan intervensi dalam perdagangan
internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks, yaitu
kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi.
Secara teoritis, salah satu bentuk hambatan impor bukan tarif adalah kuota. Kuota
adalah pembatasan secara langsung jumlah fisik terhadap barang yang masuk (kuota impor)
dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan kuota impor memberikan dampak-dampak terhadap
10
konsumsi dan produksi seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang setara.
Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam kurva permintaan atau kurva penawaran
sehubungan dengan adanya kuota impor akan terjadi pada harga-harga domestik. Sedangkan
jika yang diberlakukan adalah tarif impor, maka penyesuaian tersebut akan terjadi pada
kuantitas impor. Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif impor yang
setara.
Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran yang
defisit dan akan meningkatkan harga produk. Pada dasarnya proteksi terhadap perdagangan
tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen. Pada akhirnya
hal ini akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997).
Pembatasan impor (kuota) dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan
mempengaruhi kesejahteraan. Dampak kuota dalam analisis keseimbangan parsial dapat
dijelaskan dengan mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti terlihat dalam
Gambar 2.2.
Harga
S
PM
A
B
C
D
PW
D
Kuantitas
QS0
QS1
QD1
QD0
Gambar 2.2. Dampak Pembatasan Impor (Kuota) terhadap Kesejahteraan Sumber: Salvatore (1997)
11
Dari Gambar 2.2, apabila terjadi perdagangan bebas maka barang yang diimpor akan
berada pada harga dunia yaitu Pw. Negara akan mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi
sebesar QS0. Jumlah yang akan diimpor dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada proteksi
impor, maka harga akan meningkat menjadi PM. Sebagai akibatnya, negara tersebut akan
berproduksi sebesar QS1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1. Konsumen akan
dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan
peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus konsumen akan berkurang sebesar area
A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditransfer ke produsen. Area B dan D
adalah kehilangan kesejahteraan atau Dead Weight Loss (DWL) yang merupakan kerugian
perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena
pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini
secara teoritis diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan penerimaan pemerintah
yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain.
Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan pemerintah
hanya dapat meningkat melalui penjualan lisensi kuota. Dengan menggunakan θ yang
mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor
sebesar B+D+(1- θ)C.
Berbagai macam restriksi atau hambatan non tarif itu telah menggantikan peranan tarif
di masa sebelumnya yang merupakan ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan
perdagangan internasional yang bebas. Saat ini terdapat indikasi terjadinya perubahan dalam
kebijakan perdagangan dunia. Salah satu alasan negara tidak memilih tarif sebagai instrumen
12
kebijakan yaitu adanya kerjasama bilateral dan regional yang membatasi penggunaan kebijakan
perdagangan tradisional seperti tarif. Pada akhirnya negara lebih meningkatan pemberlakuan
kebijakan non tariff (Non Tariff Measures). Berbagai negara menggunakan alasan tertentu
seperti perlindungan kesehatan dan lingkungan untuk melegitimasi proteksi, sehingga isu
perdagangan yang semula menurunkan hambatan tarif bergeser ke arah Non Tarif Mesures
(NTMs).
Walaupun NTMs merupakan kebijakan yang memiliki efek membatasi perdagangan,
namun kebijakan ini dapat diterapkan tanpa melanggar hukum perdagangan internasional.
NTM didefinisikan sebagai langkah-langkah kebijakan selain tarif yang secara potensial memiliki
dampak ekonomi pada perdagangan barang internasional, mengubah kuantitas perdagangan,
atau harga, atau keduanya (UNCTAD 2013). Pemberlakuan NTMs diperbolehkan dalam
ketentuan WTO dengan alasan-alasan tertentu seperti ketahanan pangan, perlindungan
kesehatan dan lingkungan untuk melegitimasi proteksi. NTMs mencakup berbagai macam
kebijakan yang terkait sanitary and phytosanitary measures (SPS), technical barrier to trade
(TBT), quotas, import and export licences, export restrictions, customs surcharges, and antidumping and safeguard measure.
2.3. Surat Keterangan Asal
Surat keterangan asal adalah suatu dokumen yang berdasarkan kesepakatan dalam
perjanjian bilateral, regional dan multilateral serta ketentuan sepihak dari suatu negara
tertentu wajib disertakan pada waktu barang ekspor Indonesia akan memasuki wilayah negara
tertentu yang membuktikan bahwa barang tersebut berasal, dihasilkan dan atau diolah di
Indonesia (Direktorat Fasilitasi, 2013).
13
Berdasarkan pengertian diatas, jelas bahwa Surat Keterangan Asal (SKA) adalah
dokumen yang disertakan pada saat ekspor barang ke suatu negara tertentu yang mana negara
penerima barang tersebut sudah menyepakati suatu perjanjian untuk memberikan suatu
kemudahan bagi barang dari Indonesia untuk memasuki negara lain, seperti contoh
kemudahan berupa keringanan tarif atau dengan kata lain fasilitas preferensi berupa
pembebasan sebagian atau seluruh bea masuk impor. Selain itu SKA juga digunakan sebagai
dokumen yang menerangkan bahwa barang eksport tersebut benar-benar berasal, dihasilkan
atau diolah di Indonesia (Direktorat Fasilitasi, 2013).
Beberapa istilah yang perlu dipahami mengenai SKA:
a. SKA Preferensi : adalah suatu fasilitas preferensi yang diberikan oleh negra atau
kelompok negara tertentu bagi produk-produk yang memenuhi syarat berasal dari suatu
negara dalam bentuk penurunan atau pembebasan tarif bea masuk. Yang tergolong
dalam jenis SKA preferensi ini adalah Form A, Form D, Form E, Form AK, Form IJEPA,
Form Handicraft Products dan Form ICC.
b. SKA Non Preferensi : adalah jenis dokumen SKA yang berfungsi sebagai dokumen
pengawasan dan atau dokumen penyerta asal barang yang diikutsertakan pada barang
ekspor untuk dapat memasuki negara atau kelompok negara lain tanpa mendapat
fasilitas penurunan atau pembebasan bea masuk negara tujuan. Yang tergolong dalam
jenis SKA Non Preferensi adalah: Form B, Form Coffee (ICO), Form K Form Textile
Product (TP) dll.
c. Formulir SKA (Form SKA) : adalah formulir yang telah baku yang berisi daftar isian SKA
yang telah ditetapkan baik dalam bentuk, ukuran kertas, warna kertas dan ketentuan
14
lainnya yang telah ditetapkan dalam perjanjian dengan negara atau kelompok negara
lain. Biasanya formulir ini telah dicetak dan tersedia disetiap Instansi Penerbit SKA.
d. Instansi Penertbit Surat Keterangan Asal (IPSKA) : adalah lembaga atau Instansi yang
bewenang untuk menerbitkan SKA yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal
Perdagangan Luar Negeri.
e. Ketentuan Asal Barang : adalah suatu ketentuan administrasi yang diterapkan oleh suatu
negara untuk menentukan bahwa produk yang diekspor benar-benar dari negara
asalnya atau negara tertentu. Cara perolehan produknya bisa berupa seluruhnya berasal
dari negara pengekspor (wholly obtained goods) dan atau produk telah mengalami
perubahan bentuk yang mendasar (substantial transformation)
f. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) : adalah dokumen pabean yang digunakan untuk
memberitahukan adanya kegiatan ekspor barang ke negara tertentu atau dengan kata
lain dokumen yang digunakan untuk pencatatan kegiatan ekspor barang.
g. Bill of Ladding (B/L) : adalah bukti tanda terima barang dan atau pemilikan barang dan
sebagai bukti adanya perjanjian pengangkutan barang yang dikeluarkan oleh maskapai
pelayaran (B/L) atau penerbangan AWB).
h. Invoice :adalah dokumen yang dibuat oleh eksportir mengenai jenis, spesifikasi barang,
jumlah dan harga barang yang diekspor.
i.
Sales Contract (kontrak jual beli) : adalah bukti kesepakatan eksportir dan importir
mengenai perjanjian jual beli dan syarat yang telah disepakati yang mengikat keduanya.
(Direktorat Fasilitasi, 2013).
Adapun manfaat SKA dalam kegiatan ekspor dan impor adalah :
15
a. Untuk mendapatkan preferensi berupa penurunan atau pembebasan tarif bea masuk ke
suatu atau kelompok negara.
b. Sebagai dokumen atau tiket masuk komoditi ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor.
c. Untuk menetapkan negara asal barang (country of origin) suatu barang ekspor.
d. Untuk memenuhi persyaratan pencairan Letter of Credit (L/C) terhadap pembiayaan
ekspor yang menggunakan L/C.
e. Pelacakan tuduhan dumping
f. Untuk keperluan data statistik (Direktorat Fasilitasi, 2013).
16
III. APLIKASI RULES OF ORIGIN DALAM PERDAGANGAN GLOBAL VALUE CHAIN
Aplikasi pelaksanaan RoO akan membahas mengenai metode penentuan dengan
menekankan pada metode nilai tambah, dan bagaimana aplikasi pelaksanaan kebijakan
tersebut terhadap produk perdagangan bernilai tambah tinggi. Pembahasan tersebut akan
dibedakan dalam dua bagian, bagian pertama membahas mengenai metode RoO dan bagian
kedua rujukan aplikasi GVC di dunia.
3.1. Metode RoO
Sebelum memahami metode penentuan RoO, akan dibahas mengenai bagaimana
penentuan RoO dalam negosiasi perdagangan. Sebagaimana terlihat dalam Gambar 3.1., pada
intinya RoO adalah penentuan klasifikasi apakah produk yang masuk ke Indonesia diproduksi
oleh negara mana, dan apakah produk tersebut dapat memperoleh kemudahan akses pasar
atau tidak.
Gambar 3.1. Struktur Perjanjian RoO (Japan Customs, 2014)
17
Berdasarkan Gambar 3.1. tersebut, terlihat bahwa negosiasi RoO membahas mengenai
asal barang (origin criteria), metode penentuan asal barang (consigment criteria), dan prosedur
(prosedural provision). Selanjutnya penentuan asal barang dapat ditentukan dengan
menggunakan klasifikasi wholly obtain (seluruhnya berasal dari satu negara),
originating
materials (berdasarkan asal bahan baku), dan transformation criteria (proses pengolahan
barang).
Selanjutnya, sesuai dengan Gambar 3.1., RoO berdasarkan proses pengolahan dapat
dikelompokkan dalam kriteria product specific rules dan exceptional. Adapun kriteria product
specific rules yaitu change in tariff classification, value added criterion, dan processing
operation criterion. Adapun perubahan dalam change in tariff classification didasarkan pada
perbedaan kriteria produk berdasarkan klasifikasi barang, sedangkan value added criterion
didasarkan kepada persentase nilai tambah melalui proses pengolahan barang, dan specific
manufacturing yang merupakan kriteria khusus sesuai kesepakatan. Selain itu masih terdapat
penentuan kriteria lain berupa exceptional to the substantial transformation criterion, yang
terlepas dari ketiga pengelompokan product specific rules (Japan Customs, 2014).
3.2. Metode Product Specific Rule dengan Menggunakan Nilai Tambah
Metode penentuan nilai tambah merupakan salah satu kunci penting dalam penentuan
RoO khususnya dalam produk GVC. Menyadari produk GVC berasal dari bahan baku dan
setengah jadi yang akan diproses dalam negara tertentu, maka negara dengan nilai tambah
yang paling besar merupakan pemiliki produk tersebut. Adapun metode perhitungan nilai
tambah dapat dilihat selengkapnya dalam Gambar 3.2.
18
Gambar 3.2. Struktur Penentuan Nilai Tambah (Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor, 2013)
Berdasarkan Gambar 3.2., terlihat bahwa proses penentuan nilai tambah dapat dihitung
dengan menggunakan dua metode yaitu berdasarkan perbandingan nilai Free on Board dengan
Value of Non Originating (bahan baku atau setengah jadi yang diimpor) dan menggunakan rasio
value of originating (bahan baku atau setengah jadi yang berasal dari lokal) dengan nilai jual
barang, free on board (Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor, 2013). Kedua metode tersebut
umum digunakan, dan akan memberikan hasil perhitungan yang sama. Namun dalam kajian ini,
untuk data Indonesia lebih banyak menggunakan metode kedua karena sumber datanya lebih
mudah didapat dan lebih akurat.
3.3. Aplikasi Produk Specific Rule RoO Untuk Produk GVC
Perdagangan dengan pola GVC menjadi sangat dominan saat ini, dimana pola ini
mengatasi berbagai perbedaan tingkat pendapatan, tehnologi, dan tidak membedakan negara
berkembang dari negara maju. Adapun pola GVC pada intinya adalah pelaksanaan proses
19
produksi yang terbagi dibeberapa negara dengan berdasarkan pada biaya produksi dan
transportasi paling kompetitif (IDE-JETRO and World Trade Organization, 2011). Sebagai
ilustrasi dalam analisis tersebut dicontohkan untuk membangun sebuah pesawat Boing yang
dirakit di Amerika Serikat diperlukan berbagai komponen dari berbagai negara sebagaimana
terlihat dalam Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Ilustrasi Global Value Chain dalam Industri Pesawat Terbang
(IDE-JETRO and World Trade Organization, 2011)
Gambar 3.3. di atas memperlihatkan dalam perakitan pesawat, Boeing membutuhkan
berbagai komponen produksi Amerika Serikat, Italia, Inggris Raya, Jepang, dan Perancis.
20
Meskipun komponen didatangkan dari berbagai sumber, namun perakit akhirnya dilakukan di
pabrik Boeing, Amerika Serikat (IDE-JETRO and World Trade Organization, 2011). Berdasarkan
ketentuan ini, jika menggunakan RoO berdasarkan kriteria PSR dengan ketentuan Change in
Tarif Classification maupun specific manufacturing, dapat dipastikan berdasarkan kriteria
tersebut pesawat Boeing merupakan produksi Amerika Serikat.
Namun ketentuan di atas belum tentu sama dengan perhitungan berdasarkan nilai
tambah. Jika RoO didasarkan pada perhitungan nilai tambah, dapat diambil contoh kasus
sederhana untuk produk laptop berikut. Tabel 3.1. memberikan ilustrasi untuk sebuah laptop
kelas menengah dengan total biaya produksi sebesar USD 532,5 yang terdiri dari berbagai
kompenen yang didatangkan dari China, Jepang, Malaysia, Taiwan, dan dirakit di Indonesia.
Tabel 3.1. Harga dan Negara Asal Komponen Laptop
Bagian Komputer
Touchpad power board
Monitor
CPU cooling fan
Harddisk
DVD faceplate
RAM
Labor
Motherboard
Baterai
Kabel baterai
cover
Total
Produksi
Taiwan
Taiwan
Taiwan
Malaysia
Malaysia
Japan
Indonesia
China/Taiwan
China
China
China
USD
25.0
56.9
13.0
53.1
11.7
30.0
48.4
190.0
45.0
40.5
19.0
532.5
Sumber : Kalkukasi, 2014
Berdasarkan contoh dalam Tabel 3.1., ternyata Indonesia hanya merupakan perakit
laptop tersebut, dimana partisipasi pengusaha dan industri Indonesia dalam perhitungan nilai
tambah hanya untuk pengadaan tenaga kerja. Selanjutnya pengusaha perakitan laptop di
21
Indonesia akan menggunakan komponen dari Taiwan berupa touchpad, monitor, CPU cooling
fan, komponen dari Malaysia berupa harddisk dan dvd faceplate, komponen dari Jepang berupa
RAM, dan komponen dari China berupa baterai, kabel baterai, dan cover.
Selanjutnya, pengusaha perakitan laptop di Indonesia dapat memilih untuk
menggunakan motherboard dengan harga dan mutu yang sama, produksi China atau Taiwan.
Berdasarkan data dalam Tabel 3.1., terlihat bahwa motherboard merupakan komponen bahan
baku laptop yang paling mahal. Perbedaan penggunaan motherboard produksi China maupun
Taiwan akan menyebabkan perbedaan nilai tambah sebagaimana terlihat dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Perbedaan RoO Berdasarkan Nilai Tambah
Motherboard
Akumulasi
China
Indonesia
Taiwan
9%
9%
China
55%
20%
Japan
6%
6%
Malaysia
12%
12%
Taiwan
18%
53%
Sumber : Kalkukasi, 2014
Data dalam Tabel 3.2. memperlihatkan jika pengusaha perakitan memilih untuk
menggunakan motherboard produk China, maka persentase komponen dari total biaya
produksi laptop atau mencapai 55%. Dengan persentase komponen yang berasal dari China
mencapai 55%, dalam metode RoO berdasarkan nilai tambah dinyatakan bahwa laptop
tersebut meskipun dirakit di Indonesia namun berasal dari China.
Namun, jika pengusaha perakitan di Indonesia memilih untuk menggunakan
motherboard yang berasal dari Taiwan, maka persentase biaya produksi untuk komponen yang
22
berasal dari Taiwan mencapai 53% dari total biaya produksi. Berdasarkan hal tersebut, jika
pengusaha perakitan di Indonesia memilih menggunakan motherboard Taiwan, maka
berdasarkan metode nilai tambah, laptop tersebut meskipun dirakit di Indonesia namun
merupakan produk Taiwan.
Aplikasi nilai tambah dalam penentuan RoO merupakan salah satu tantangan utama
Indonesia untuk dapat aktif dalam perdagangan produk GVC. Sebagaimana telah disadari, saat
ini ketentuan RoO dengan nilai tambah minimal 40% merupakan komitmen yang telah
disepakati dalam negosiasi ASEAN dengan negara mitra. Hal ini mengindikasikan bahwa
dinegara ASEAN, termasuk Indonesia, jika gagal mencapai nilai tambah 40% pasti akan tersisih
dari kegiatan perdagangan GVC ASEAN dan mitra.
23
IV. USULAN ROO UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI INDONESIA
DALAM PERDAGANGAN GVC
4.1. Keterkaitan Industri Nasional dengan Dunia
Tabel 4.1. memberikan informasi mengenai perdagangan produk berdasarkan klasifikasi
industri dengan menggunakan klasifikasi ISIC Rev 3. Berdasarkan klasifikasi tersebut, ternyata
Indonesia hanya memiliki sepuluh produk yang memiliki keterkaitan industri tinggi dengan
dunia dan mencapai surplus perdagangan di tahun 2013. Adapun kesepuluh produk tersebut
dari urutan tertinggi adalah ISIC Rev 3 dengan klasifikasi 272 untuk Manufacture of basic
precious energy, 11 untuk Growing of crops; market gardening, 323 untuk Manufacture of
television and radio, 251 untuk Manufacture of rubber products, 171 untuk Spinning, weaving
and finishing, 173 untuk Manufacture of knitted and crochete, 131 untuk Mining of iron ores,
293 untuk Manufacture of domestic appliances, 020 untuk Forestry,
logging
and
related
services, serta 155 untuk Manufacture of beverages.
Berdasarkan data dalam Tabel 4.1., terlihat bahwa ikatan industri nasional dengan dunia
hanya sebatas pemasok bahan baku energi, pemasok produk pertanian dan perkebunan, teksil,
kehutanan dan produk minuman. Hasil dari Tabel 4.1. memperlihatkan industri nasional tidak
memiliki keterikatan yang kuat dengan dunia untuk produk bernilai tambah tinggi seperti
halnya 341 untuk manufacture of motor vehicles, atau 353 untuk manufacture of aircraft and
spacecraft. Hasil perhitungan indeks IIT dalam Tabel 4.1. mengindikasikan bahwa Indonesia
sudah berpartisipasi dalam perdagangan GVC, namun sayangnya lebih berperan sebagai
pemasok bahan baku atau produk konsumsi bernilai jual rendah.
24
Tabel 4.1. Keterkaitan Perdagangan Industri Nasional Dengan Dunia
Kriteria
272
011
323
251
171
173
131
293
020
155
2011
10,280
14,781
4,174
2,543
3,488
1,727
343
608
137
154
Ekspor
2012
7,810
11,066
3,790
2,568
3,363
1,685
251
699
118
129
2013
7,026
10,068
3,584
2,437
3,411
1,588
427
749
151
145
2011
3,788
9,077
2,306
1,348
2,888
1,308
406
594
89
82
Impor
2012
3,938
8,013
2,259
1,654
2,643
1,344
203
649
104
103
2013
3,600
8,328
2,037
1,433
2,744
1,411
307
651
110
119
Sumber : Comtrade, diolah, 2014
25
Surplus Perdagangan
2011
2012
2013
6,492
3,872
3,426
5,704
3,053
1,741
1,868
1,531
1,547
1,195
913
1,004
600
720
667
419
341
177
(64)
48
119
14
50
98
48
13
40
71
27
26
IIT (Satuan : Index)
2011
2012
2013
-0.90
0.72
0.71
-2.28
0.87
0.91
-0.21
0.76
0.74
-0.19
0.77
0.76
0.10
0.89
0.89
-1.37
0.89
0.94
0.47
0.94
0.74
0.86
0.96
0.93
-0.19
0.94
0.82
-1.79
0.89
0.89
Ketidakmampuan industri nasional berpastisipasi maksimal dalam perdagangan GVC
dunia saat ini sungguh sangat disayangkan. Sebagai upaya untuk menyusun usulan rekomendasi
dalam peningkatan perdagangan produk GVC, dapat dijadikan rujukan kebijakan yang dilakukan
oleh negara lain.
4.2. Benchmarking Pelaksanaan Kebijakan RoO di Negara Lain
Kegiatan benchmarking mengenai pemanfaatan RoO untuk meningkatkan perdagangan
khususnya produk bernilai tambah tinggi dilakukan ke negara Filipina, Korea Selatan dan
Singapura. Pemilihan ketiga negara tersebut dengan asumsi produk mereka relatif sesuai
dengan produk yang diperdagangkan oleh Indonesia.
4.2.1. Filipina
Kunjungan kerja ke Filipina dilakukan dengan mengunjungi tiga instansi yaitu Philippine
Chamber of Commerce and Industry, Maritime Industry Authority, dan Bureau of Customs
dengan hasil sebagai berikut.
A. Philippine Chamber of Commerce and Industry
1. Philippine Chamber of Commerce and Industry (PCCI) didirikan pada 19 April 1886, yang
dimulai dari sekelompok pengusaha Filipina yang berasal dari Spanyol mendirikan
Camara de Commercio de Filipinas. Selanjutnya, setelah kemerdekaan Filipina dari
penjajahan Spanyol, Camara de Commercio de Filipinas berganti nama menjadi
Chamber of Commerce of the Philippines (CCP) di tahun 1903, dan pada 1 Juli 1978
melalui berganti nama menjadi PCCI melalui instruksi Ferdinand E. Marcos nomor
780/1978.
26
2. Saat ini Presiden PCCI adalah Bapak Alfredo M. Yao, dengan salah satu program PCCI
adalah meningkatkan kinerja perekonomian Filipina, melalui peningkatan relasi bisnis,
perluasan dan perbesaran skala usaha, dan meningkatkan keikutsertaan pengusaha
dalam kegiatan PCCI.
3. Menanggapi pertanyaan mengenai rendahnya pemanfaatan SKA liberalisasi di Filipina,
Bapak Alfredo M. Yao menyampaikan bahwa pengusaha di Filipina belum banyak
memanfaatkan skema liberalisasi ekspor karena masih mengandalkan pasar dalam
negeri. Namun untuk kegiatan impor khususnya produk susu dan barang konsumsi
rumah tangga, hampir seluruhnya memanfaatkan skema FTA agar harga jual menjadi
lebih murah.
4. Lebih lanjut Bapak Alfredo M. Yao menyampaikan bahwa PCCI saat ini merupakan satusatunya institusi yang berwenang menerbitkan SKA di Filipina, dan berupaya untuk
meningkatkan minat pengusaha melakukan kegiatan ekspor menggunakan preferensi
FTA. Adapun kegiatan yang dilakukan PCCI antara lain pelatihan, bantuan melaksanakan
verifikasi, dan berbagi setiap informasi yang dibutuhkan pengusaha untuk memenuhi
syarat verifikasi SKA.
5. Melengkapi pendapat Bapak Alfredo M. Yao, Chairman PCCI Bapak Antonio L. Sayo,
menambahkan bahwa Filipina harus meningkatkan ekspor produk bernilai tambah
untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Salah satu kebijakan yang perlu dilakukan
adalah industrialisasi bahan tambang, meniru kebijakan larangan ekspor mineral dan
bahan tambang (Minerba) Indonesia.
27
B. Maritime Industry Authority
1. Maritime Industry Authority (MARINA) dibentuk pada 1 Juni 1974 melalui Dekrit
Presiden No. 474/1974. Adapun tujuan pembentuan Marina untuk meningkatkan
integrasi kegiatan pengembangan, promosi dan kebijakan industri maritim di Filipina.
Saat ini, merujuk pada amandem EO No.125/1987, Marina merupakan bagian dari
Departement of Transportation and Communication.
2. Saat ini Marina membina berbagai pengembangan, promosi dan regulasi seluruh
perusahaan yang terlibat dalam logistik laut. Adapun kegiatan usaha yang menjadi
binaan marina adalah kegiatan desain, konstruksi, manufaktur, perbaikan, perawatan
kapal dan komponen kapal, pengelolaan jalur pelayaran, administrasi dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan dipelabuhan.
3. Dalam kunjungan ke Marina, Ibu Gloria J. Victoria-Banas (Deputy Administrator for
Operations) beserta staf menyampaikan bahwa salah satu kendala kegiatan ekspor bagi
pengusaha Filipina adalah lamanya waktu tunggu (demorage) dan biaya lain, terutama
pelabuhan Manila. Hal ini menyebabkan harga barang ekspor Filipina menjadi relatif
mahal dan kehilangan daya saing dipasar internasional.
4. Sebagai upaya mengatasi kendala dalam poin 8 di atas, Marina bersama instansi
pemerintah lain di Filipina berupaya meningkatkan kegiatan angkutan antar pulau
menggunakan kapal ferry (kapal Ro-ro). Pemilihan penggunaan kapal ferry diharapkan
akan mengurangi biaya transportasi karena menghilangkan demorage dan biaya
pelabuhan lain.
28
5. Lebih lanjut, Ibu Gloria J. Victoria-Banas beserta staf menyampaikan harapan
pemerintah Filipina untuk melakukan kegiatan ekspor-impor menggunakan kapal ro-ro,
antara lain kepelabuhan Bitung di Indonesia. Namun untuk melaksanakan hal tersebut
masih terdapat kendala kebijakan perizinan transportasi darat dikedua negara (antara
lain penggunaan setir dan izin mengemudi) yang harus diselesaikan.
C. Bureau of Customs
1. Bureau of Customs (BOC) merupakan bagian dari Departemen of Finance di Filipina yang
bertugas
untuk
menilai
dan
mengumpulkan
penerimaan
cukai,
mencegah
berlangsungnya perdagangan ilegal, mencegah penipuan cukai, dan memfasilitasi
perdagangan melalui sistem menejemen cukai yang efektif dan efisien.
2. Menanggapi rendahnya penggunaan SKA liberalisasi, Bapak Agaton Teodoro O. Uvero
(Deputy Commissioner, BoC) beserta staf menyampaikan bahwa selama dua tahun
terakhir, BoC melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan penggunaan skema FTA
dalam kegiatan ekspor. Kegiatan tersebut dinamakan Doing Business in Free Trade Area
(DBFTA) yang bertujuan meningkatkan pengetahuan pengusaha khususnya usaha kecil
menengah (UMKM) mengenai manfaat dan proses verifikasi FTA.
3. Selanjutnya BoC Filipina juga berupaya untuk memperbaiki skema verifikasi FTA yang
dianggap sangat menyulitkan dan mahal bagi UMKM. Adapun hasil dari kedua upaya
tersebut,
dalam
setahun
terakhir,
terjadi
peningkatan
pemanfaatan
menggunakan skema FTA khususnya ke ASEAN, China, dan Jepang.
29
ekspor
4.2.2. Korea Selatan
Kunjungan kerja ke Korea Selatan dilakukan dengan mengunjungi dua instansi yaitu
Ministry of Trade, Industry and Energy, dan Korea Customs Services dengan hasil sebagai
berikut.
A. Ministry of Trade, Industry and Energy
1. Menanggapi manfaat SKA dan liberalisasi bagi Korea Selatan, wakil dari Ministry of
Trade, Industry and Energy, Bapak Kim Wan Ki (Direktur dari FTA Policy Planning
Division) menyampaikan bahwa Rep. Korea sangat merasakan manfaat penyusunan RoO
dalam pemberian preferensi sesuai kerangka skema FTA yang pertama sekali dilakukan
dengan Chile di tahun 1998.
2. Menurut Bapak Kim Wan Ki, penentuan Rule of Origin yang tepat sangat membantu
pemanfaatan preferensi dalam kerangka FTA dan pada gilirannya telah membantu Rep.
Korea menembus pasar di negara lain, khususnya produk otomotif dan elektronik, Hal
ini dirasakan sangat bermanfaat bagi Rep. Korea dalam memulihkan perekonomian
semenjak krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998 dan tahun 2008.
3. Bapak Kim Wan Ki menyampaikan bahwa roadmap liberalisasi Rep. Korea saat ini adalah
meningkatkan komitmen liberalisasi dengan negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Peningkatan komitmen yang diharapkan adalah akses pasar yang lebih baik bagi produk
ekspor utama Rep. Korea yaitu produk elektronik dan komponen elektronik, serta
produk otomotif serta komponen otomotif.
4. Mengenai pemanfaatan (utilization) skema Free Trade Agreement (FTA) melalui
penurunan tarif dan penggunaan SKA, Bapak Kim Wan Ki merujuk pada temuan Institute
30
for International Trade (IIT) yang telah diterbitkan pada tahun 2014 dengan judul The
Decade Long Journey of Korea's FTA.
5. Hasil analisis IIT menemukan bahwa verifikasi pemanfaatan SKA FTA untuk Indonesia
selama tahun 2013 hanya mencapai 39 kasus (38%), jauh lebih rendah dibandingkan Uni
Eropa (164 kasus, setara 80.8%) dan Amerika Serikat (84 kasus, setara 76,1%). Verifikasi
pemanfaatan SKA FTA untuk Indonesia masih rendah karena sebagian besar produk
ekspor utama Rep. Korea yaitu otomotif, komponen otomotif, elektronik dan komponen
elektronik masih merupakan produk sensitif di Indonesia.
B. Korea Customs Services
1. Dalam kunjungan ke Korea Customs Services Tim Puska KPI diterima oleh Bapak Lee
Myeong Ku (Direktur Jenderal FTA Implementation Bureau) dan Ibu Gabyoung Shim
(Direktur/FTA Cooperation Division) yang menyatakan bahwa rendahnya pemanfaatan
SKA FTA ke Indonesia (hanya 38%) disebabkan: (1) liberalisasi tersebut belum mencakup
produk ekspor utama Rep. Korea (produk elektronik, komponen elektronik, produk
otomotif serta komponen otomotif) dan (2) kesulitan dan keengganan produsen,
khususnya Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) di Korea terhadap verifikasi SKA FTA.
2. Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan SKA FTA, Bapak Lee Myeong Ku
menyatakan harapannya agar perjanjian liberalisasi Indonesia - Korea yang masih
dinegosiasikan dapat memberikan akses pasar yang lebih baik untuk produk ekspor
utama Rep. Korea, yaitu otomotif dan elektronik beserta komponennya.
31
3. Lebih lanjut Bapak Lee Myeong Ku menyatakan sebagai upaya untuk meningkatkan
minat industri UMKM memanfaatkan skema FTA, pihak Korea Customs Services
berupaya untuk memperbaiki skema pengurusan SKA agar lebih sederhana.
4.2.3. Singapura
Kunjungan kerja ke Singapura dilakukan dengan mengunjungi Singapore Business
Federation, Institute of Southeast Asian Studies, dan Ministry of Trade and Industry, dengan
hasil sebagai berikut.
Singapore Business Federation (SBF)
1. Kunjungan diterima oleh Mr. Ho Meng Kit, Chief Executive Officer (CEO) dan Mr. Martin
Yuoon, Assistant Executive Director.
Berdasarkan survey SBF, sekitar 49 persen
responden berpendapat bahwa Indonesia akan menjadi tujuan utama ekspansi bisnis.
Namun beberapa kendala yang dihadapi oleh investor Singapura di Indonesia adalah : a.
Pembangunan infrastruktur yang belum memadai, b. Korupsi dan ketidakpastian
dalam kebijakan pemerintah, c. Perang upah di Indonesia antara buruh dan pengusaha,
dan d. Defisit neraca perdagangan yang dipicu oleh masih kuatnya ketergantungan
terhadap komoditas primer.
2. Lebih lanjut mereka menyampaikan kunci utama ikut dalam GVC adalah daya saing,
dimana perbaikan infrastruktur, kemudahan berusaha, dan peningkatan konektivitas
sangat penting dalam menfasilitasi dunia usaha untuk bergabung dalam GVC.
Institute of Southeast Asian Studies
1. Kunjungan diterima oleh Dr. Francis Hutchinson (Ketua dan Peneliti Senior Ekonomi
Politik Asia), Dr. Cassey Lee (Peneliti Senior Usaha Kecil dan Menengah), Dr. Sanchita
32
Basu Das (Peneliti Senior ASEAN), Dr. Lee Poh Onn (Peneliti Ketahanan Pangan), dan Dr.
Kathleen Azali (Peneliti tentang Indonesia).
2. Dalam kunjungan tersebut, disampaikan bahwa dalam hal pencapaian Global Value
Chain (GVC), Indonesia masih sangat tertinggal. Sementara GDP Indonesia berkisar 50 %
dari GDP ASEAN. Kerja keras dalam mencapai tujuan Pasar Tunggal ASEAN dan menjadi
basis produksi masih sangat diperlukan pasca 2015. Ketergantungan Indonesia pada
impor sektor transportasi di sisi jasa dalam upaya meningkatkan perdagangan
internasional merupakan kendala umum.
3. Lebih lanjut disampaikan bahwa kunci ikut di dalam GVC adalah melihat liberalisasi lebih
pada membangun kebutuhan domestik negara tersebut. Indonesia memerlukan
pembangunan internal dan melakukan liberalisasi dengan melihat kebutuhan domestik.
4. Selanjutnya Dr. Cassey Lee menjelaskan pentingnya keterlibatan Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) dalam AEC dan GVC. Keterlibatan UKM penting dalam menjaga
ketahanan ekonomi suatu negara dan penyerapan tenaga kerja. Beliau menjelaskan
bahwa kontribusi UKM dalam perekonomian selalu mencapai 90 persen lebih sehingga
kebijakan AEC dan GVC perlu diarahankan dalam mengakomodiasi keterlibatan UKM.
Ministry of Trade and Industry
1. Kunjungan diterima oleh Mr. Peter Govindasamy (Ketua Delegasi dan Director of
International Trade Cluster), Principal Trade Specialist), Jason Ten (Deputy Director
Foreign Economic Policy Division), Alpana Roy (Deputy Director South East Asia and
Oceania Division), dan Serena Tan (Assistant Director ASEAN Division).
33
2. Mereka menyampaikan bahwa proses integrasi antar negara ASEAN tidak akan berhenti
di 2015 dan akan terus bergulir pasca 2015. Integrasi dalam kerangka pembentukan AEC
akan selalu mengakomodasi kepentingan bersama ASEAN. AEC dan integrasi dengan
dunia seharusnya memang tidak saling meniadakan dan harus saling mendukung
sehingga dibentuklah pilar integrasi dengan dunia global. Global Value Chain akan
sangat terjembatani dengan AEC dan merupakan kesatuan integral terutama dalam
pembentukan pasar tunggal dan basis produksi. Pihak MTI mengakui bahwa kemajuan
dalam pembentukan basis produksi masih sangat jauh sehingga perlu diperdalam dan
diperluas. Konsesi tarif dan penghapusan hambatan non tarif perlu juga lebih digali
untuk mendapatkan pembentukan basis produksi di ASEAN.
4.3. Pilihan RoO Dalam Kegiatan Ekspor Pengusaha Lokal
Hasil kegiatan turun lapang dalam negeri memberikan informasi mengenai produk
ekspor dan pilihan pengusaha mengenai konsep RoO yang nyaman bagi mereka. Adapun
temuan turun lapang ke Sumatera Selatan tersebut selengkapnya sebagai berikut:
1. Hasil turun lapang ke perusahaan batubara dan kopi menemukan bahwa surat
keterangan asal dari kedua perusahaan tersebut diterbitkan oleh Dinas Perindag
Sumatera Selatan, dengan RoO yang dipilih untuk kedua produk tersebut adalah wholy
obtain. Pemilihan kriteria wholy obtain mengindikasikan bahwa seluruh produk ekspor
kedua perusahaan tersebut merupakan hasil kekayaan alam di Sumatera Selatan.
2. Pemilihan kriteria wholy obtain dikarenakan komoditas ekspor dari Sumatera Selatan
merupakan produk komoditas bahan baku, belum diolah menjadi produk setengah jadi
atau produk jadi. Kondisi ini sebenarnya sangat disayangkan mengingat Indonesia
34
sedang berupaya meningkatkan ekspor produk bernilai tambah sebagai upaya
memperbaiki neraca perdagangan.
35
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan analisis turun lapang dan data sekunder dapat disimpulkan :
a. Produk ekspor indonesia yang memiliki keterkaitan tinggi dengan industri negara lain
umumya merupakan bahan baku yang terdiri dari energi, produk pertanian, televisi dan
radio, produk karet, tekstil, tambang, produk hutan dan produk minuman. Sangat
disayangkan Indonesia tidak memiliki keterkaitan tinggi untuk produk bernilai tambah
tinggi seperti mobil atau pesawat.
b. Mengingat produk ekspor Indonesia saat ini merupakan bahan baku, pengusaha lebih
memilih konsep RoO wholly obtain yang menjamin produk bahan baku tersebut
seluruhnya berasal dari Indonesia.
5.2. Rekomendasi
Hasil kajian menemukan bahwa kemampuan industri nasional untuk memproduksi
produk bernilai tambah tinggi masih rendah. Hal tersebut dapat diatasi dengan investasi asing
yang dapat diikuti dengan pembatasan ekspor produk bahan baku sebagaimana kasus bea
keluar kakao dan larangan ekspor bahan tambang mineral.
36
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, A. D., Soemarjono, B., Ningsih, R., Narindra, D., Manullang, H., Kusyatiningsih, S.,
Muhammad, F. 2011. Analisis Kepentingan Indonesia Dalam Usulan Liberalisasi Produk
Elektronik. Puska KPI, BPPKP. Jakarta.
Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor, 2013. Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) untuk
Barang Ekspor Indonesia, Departemen Perdagangan RI, Direktorat Jenderal Perdagangan
Luar Negeri, Jakarta.
IDE-JETRO and World Trade Organization (WTO), 2011. Trade Patterns And Global Value Chains
In East Asia: From Trade In Goods To Trade In Tasks. WTO Secretariat, Geneve.
Japan Custom, 2014. Outline of Rules of Origin for GSP Scheme in Japan. Origin Administration
and Investigation Center. Tokyo.
Salvatore, D. 1997. International Economics. Wiley, California.
Undang-undang (UU) Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014.
37
LAMPIRAN : UU 7 /2014
38
Download