BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Sleman merupakan wilayah yang kaya akan sumberdaya alam berupa mineral bukan logam dan batuan berkualitas super, sumberdaya ini berasal dari Gunung Merapi yang secara berkala mengeluarkan material-material vulkanik. Dengan melimpahnya mineral bukan logam dan batuan diwilayah Kab. Sleman ini, sejak dahulu masyarakat sekitar melakukan pertambangan rakyat yaitu swadaya menambang secara manual dan gotong royong. Selain itu banyak pula orang berbondong-bondong datang ke lereng Gunung Merapi untuk menambang pasir. Namun sayangnya, melimpahnya minerba golongan ini kemudian cenderung tidak memberikan nilai tambah yang berpihak pada masyarakat lokal daerah pertambangan, masyarakat sekitar pertambangan cenderung kalah dengan pemilik modal yang datang dari luar wilayah sekitar pertambanagan. Di sisi lain, pertambangan rakyat kini menjadi ladang “hitam” bagi banyak kepentingan, dengan banyaknya pertambangan rakyat ini, banyak kecurangan dan kerusakan alam yang harus di tanggung masyrakat sekitar. Kegiatan pertambangan golongan batuan ini awalnya telah diatur dalam Perda Kab. Sleman No. 4 Tahun 2013 tentang Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan, namun setelah muncul UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, perda ini dibekukan karena kewenangan untuk penerbitan izin pertambangan rakyat untuk komoditas mineral logam, batubara, mineral bukan 1 logam dan batuan dalam wilayah pertambangan rakyat dipegang oleh pemerintah tingkat provinsi. Dengan dibekukannya perda ini, pemerintah provinsi mengeluarkan kebijakan baru yaitu Pergub DIY No. 110 th 2015 tentang pelaksanaan kegiatan izin pertambangan rakyat. Dalam pergub ini, dijelasan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Untuk spesifikasi Mineral pertambangan batuan, menurut PP no 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara pasal 2 ayat 2 b adalah “batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan;” Dengan adanya pergub tersebut, pemerintah daerah telah membagi tugas dalam pengelolaan dan penataan pertambanagn batuan, seperti halnya Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) provinsi sebagai pemberi rekomendasi 2 izin pertambangan rakyat di seluruh DIY, kemudian Dinas Sumberdaya Air, Energi dan Mineral (SDAEM) sebagai pengawas dalam kegiatan pertambang di Kab. Sleman, lalu ada Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang memberikan penyuluhan tentang pentingnya menjaga lingkungan dalam proses penambangan, pembagian zonasi dan pengawasan pascatambang bagi pertambangan yang beroperasi, kemudian Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai penegak dan penindak adanya pelanggaran terhadap pertambangan liar, dan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Hubkominfo) yang mengurusi jaringan lintas angkutan pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan batuan. Namun demikian, pemerintah masih saja terkesan tidak memiliki daya ketika praktek pertambangan golongan batuan ini banyak yang tidak memiliki izin, sehingga akibatnya, masyarakat lokal menjadi korban dari ketidakadilan pertambangan yang ada. Pengamatan implementasi pergub ini akan mengambil contoh pertambangan batuan berupa Pasir di Kab. Sleman, mengingat pasir merupakan komoditas yang melimpah di wilayah Kab. Sleman. Kab. Sleman memiliki jumlah kasus pertambangan bermasalah yang cukup banyak, khususnya pertambangan pasir, data yang dihimpun Dinas SDAEM Sleman, terdapat 38 tambang pasir ilegal yang tersebar di empat kecamatan, yakni Turi, Cangkringan, Pakem, dan Tempel. Jumlah tersebut merupakan penambangan ilegal yang sudah terdetekti, diperkirakan masih terdapat puluhan tambang pasir ilegal yang belum terendus 3 petugas.1 Dengan adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut, bisa dilihat bahwa aturan yang telah dibuat nyatanya berjalan kurang efektif. Tabel 1. Potensi & Produksi Pertambangan Pasir Kab. Sleman (dalam m3) 60.000.000 50.000.000 50.000.000 Potensi Pertambangan Pasir 45.000.000 33.000.000 40.000.000 31.005.740 30.000.000 29.471.298 Perkembangan Produksi Hasil Tambang Pasir 20.000.000 10.000.000 192.865 367.566 1.833.526 1.994.260 1.534.442 0 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber: Data Dinas SDAEM Kab. Sleman Dampak dari pelanggaran-pelanggaran pertambangan pasir yang ada di wilayah Kab. Sleman adalah kebocoran produksi pasir. Data diatas menunjukkan adanya kebocoran-kebocoran produksi (penggalian pasir), misalnya pada tahun 2010-2011, seharusnya produksinya 5 juta m3, nyatanya hanya terlapor 192.865 m3. Ditahun 2011-2012, kasus pertambangan liar jauh lebih parah, dari dihitung dari berkurangnya potensi pertambangan sebanyak 12juta m3, hanya 367.566 m3yang masuk dalam laporan ke ke dinas SDAEM, yang berarti ada 11,6 juta m3 pasir yang digali secara ilegal. Pada 2012-2013 kasusnya kebocoran mulai 1 http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/12/16/ngo870-penambangan-pasir-liar-bisadatangkan-bencana 4 berkurang drastis, kebocoran yang terjadi hanya sekitar 160.734 m3, dan ditahun 2014, perhitungan dari pengurangan potensi dan produksi pas. Namun data tersebut merupakan data potensi daerah-daerah yang sudah dipetakan boleh ditambang saja, belum termasuk pekarangan-pekarangan dan bantaran kali yang saat ini menjadi sasaran empuk praktek pertambangan ilegal, sehingga walaupun ditahun 2014 terhitung tidak ada kebocoran bahan galian, tapi yang tidak masuk dalam hitungan potensi kemungkinan masih relatif besar. Sejak tahun 2010 sampai 2014, hanya ada 1 Izin Pertambangan Rakyat(IPR) yang keluar, dan sejak 2014 hingga 2016 belum ada izin pertambangan rakyat yang dikeluarkan, sedangkan untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) ada 11 yang diterbitkan dalam 5 tahun, namun izin ini bukan hanya untuk pasir, melainkan seluruh pertambangan dalam galian C (kapur, pasir, batu putih, tanah liat, andesit, kerikil dan batu). Penggalian besar-besaran di wilayah Merapi mulai terjadi ketika dikeluarkannya SK Bupati Nomor 284/Kep.KDH/A/2011 tanggal 30 September 2011 tentang Normalisasi Aliran Sungai Pasca Erupsi Gunungapi Merapi. Normalisasi ini bertujuan untuk mengurangi sedimentasi akibat erupsi tahun 2010 untuk sungai Gendol, Opak, Boyong, Krasak, Kuning, dan SK ini berakhir 10 Desember 2013. Tidak tanggung-tanggung dari pertambangan ini (tentunya yang legal), 2011 realisasi pajak yang masuk PAD 2,6 M, untuk tahun 2012 realisasi pajak mencapai 7,2 M, dan untuk tahun 2013 pajak s/d November 2013 mencapai 7,8 M.2 Tentunya bisa dibayangkan, dengan jumlah kebocoran sebesar itu saja, pajak yang dihasilkan termasuk fantastis, jika pertambangan pasir tidak banyak yang 2 http://www.slemankab.go.id/5420/normalisasi-aliran-sungai-berakhir-10-desember-2013.slm 5 ilegal, pemerintah mampu meraup pajak yang jauh lebih besar dari kegiatan penggalian pasir ini. Berdasarkan latarbelakang tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan implementasi Pergub DIY No. 110 th 2015 tentang pelaksanaan kegiatan izin pertambangan tidak berjalan dengan maksimal. Dalam kaitannya dengan mencari akar permasalahan maraknya pertambangan batuan ilegal di Kab.Sleman, peneliti mengambil judul “Studi Implementasi Pergub DIY No. 110 th 2015 tentang pelaksanaan kegiatan izin pertambangan rakyat” dengan studi kasus pertambangan rakyat ilegal di Kec. Cangkringan. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses implementasi Pergub DIY No. 110 th 2015 tentang pelaksanaan kegiatan izin pertambangan rakyat? 2. Faktor saja yang menghambat implementasi Pergub DIY No. 110 tahun 2015 tentang pelaksanaan kegiatan izin pertambangan rakyat di Kab.Sleman? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui proses berjalannya implementasi Pergub DIY No. 110 th 2015 tentang pelaksanaan kegiatan izin pertambangan rakyat 6 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat implementasi Pergub DIY No. 110 tahun 2015 tentang pelaksanaan kegiatan izin pertambangan rakyat di Kab.Sleman. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Bagi Pemerintah Daerah a. Sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan Minerba golongan batuan. b. Sebagai bahan evaluasi dan masukan terhadap kebijakan Minerba golongan batuan. 2. Bagi Penambang Sebagai sarana untuk memperjelas prosedur dan regulasi pertambangan batuan. 3. Bagi peneliti a. Menambah wawasan mengenai kebijakan Minerba golongan batuan. b. Mengetahui lebih dalam tentang akar permasalahanmaraknya pertambanagan ilegal. 7