16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang mempengaruhi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan hubungan seks pranikah
Ada banyak kejadian atau kasus kehamilan sebelum nikah pada remaja
yang terjadi di Indonesia dimana dari tahun ketahun jumlahnya terus menerus
meningkat dan terkesan sulit untuk dikendalikan. Terjadinya hal ini dikarenakan
adanya peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis mereka dimana ini
didasari dari adanya perubahan fisik dan masa puber yang dialami para remaja.
Dalam perjalanannya, remaja akan berusaha mencari peluang agar dapat
melakukan hubungan yang dimana menurut mereka ini merupakan sebuah bentuk
bukti dan komitmen dalam melakukan hubungan pacaran, mulai dari sentuhan
fisik, bercumbu dan tidak jarang diakhiri dengan hubungan seks pranikah. Dalam
fenomena yang terjadi, didapat banyak
faktor yang mempengaruhi remaja
melakukan hubungan seks pranikah yang berujung pada terjadinya hamil diluar
nikah. Faktor tersebut diklasifikasikan kedalam dua jenis
faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
 Faktor Internal
Faktor internal sendiri terdiri dari pengetahuan, aspek-aspek kesehatan
reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, perilaku,
kerentanan yang dirasakan terhadap resiko,kesehatan reproduksi, gaya hidup,
pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri, usia, agama, dan status
16
Universitas Sumatera Utara
perkawinan. Faktor ini lebih kepada pengembangan diri dan adaptasi diri
terhadapm situasi dan keadaan dilingkungan sekitarnya. Faktor internal
sebenarnya cenderung kepada satu aspek yaitu masalah pengetahuan dan
pemahaman remaja akan hal tersebut, dimana dalam faktor internal ini
pengetahuan dan pemahaman remaja tentang hubungan seks pranikah merupakan
aspek yang secara langsung mempengaruhi para remaja dalam melakukan
hubungan hubungan seks pranikah yang berujung pada terjadinya hamil diluar
nikah. Katidaktahuan dan ketidakpahaman remaja menyebabkan mereka menjadi
penasaran dan cenderung ingin mencari tahu seperti apa sebenarnya hubungan
seks tersebut. Sedangakan ketika mereka sudah tahu dan paham tentang hal
tersebut, ini cenderung menyebabkan keinginan untuk mengulanginya kembali
karena adanya ketagihan
yang dirasakan remaja tanpa berpikir seperti apa
resikonya kedepan.
 Faktor Eksternal
Sedangkan Faktor eksternal sendiri
adalah faktor selanjutnya yang
mempengaruhi banyaknya terjadi kasus kahamilan ini, dimana dalam faktor ini di
dapat beberapa bagian didalamnya yaitu kontak dengan sumber-sumber informasi,
keluarga, sosial budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku
tertentu. Atau dapat disingkatkan bahwa lingkungan juga dapat berperan dalam
memberi pengaruh terhadap perilaku seseorang terutama remaja. Dalam faktor
eksternal ini sendiri, hubungan antara remaja dan keluarga menjadi perhatian
yang cukup besar dimana keadaan dan kondisi keluarga menjadi tolak ukur dari
banyaknya kejadian hamil diluar nikah ini. Baik buruknya komunikasi antara
17
Universitas Sumatera Utara
seorang remaja dengan anggota keluarga yang lain, akan jelas mempengaruhi
sikap dan perilaku remaja di luar keluarganya dalam hal ini pergaulannya diluar
keluarga. Semakin baik komunikasinya dengan keluarga, akan lebih sedikit
kemungkinan seorang remaja itu mencari apa yang mereka sebut ketenangan
diluar keluarga. Mereka akan cenderung menyelesaikan persoalan yang mereka
alami bersama keluarga. Sebaliknya, semakin buruk komunikasi yang terjadi
dalam keluarga, akan menyebabkan remaja itu mencari apa yang dapat
menyelesaikan masalahnya diluar keluarga, bisa itu teman, atau pacar mereka
yang dapat berujung kepada terjadinya hubungan seks pranikah itu sendiri (Ririn.
Dkk, 2011).
Namun untuk faktor eksternal, selain keluarga ada beberapa hal lain yang
juga dapat mempengaruhi remaja yaitu sumber informasi dimana dapat dirincikan
yaitu perkambangan dunia media baik elektronik maupun suerat kabar. Dalam ha
ini, media massa cenderung megarahkan para remaja ingin menjadi seperti apa
dalam keseharian mereka. Televisi contohnya, dengan acara-acara dan iklan yang
mereka buat akan memberikan kasan tersendiri bagi remaja tidak terkecuali halhal yang berbau pornografi dan seks (Suryanto dan Kuwatono, 2010). Ini akan
menjadi faktor eksternal yang sangat mendasar yang mempengaruhi para remaja
dalam berperilaku dan berinteraksi dalam kesehariannya.
18
Universitas Sumatera Utara
2.2 Peran Orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada remaja
Dalam pembahasan yang dilakukan Jumiatun menemukan fakta bahwa
ternyata dari 327 responden yang pernal melakukan hubungan seks pranikah 3,1
%
lebih beresiko mengalami KTD (kehamilan tidak diinginkan). Dalam
penelitiannya juga dijelaskan bahwa kontrol terhadap anak saja tidak cukup,
namun komunikasi yang baik juga harus dibangun. Ada 72,2% orang tua yang
kurang terbuka jika berbicara tentang seks dan reproduksi, sedangkan yang
kurang mengkomunikasikan tentang kesehatan reproduksi ada sekitar 70,9%, dan
ada 63,6% orang tua yang tidak pernah mendiskusikan program televisi yang di
tonton oleh remaja. Sedangkan dari intensitas komunikasi yang dilakukan orang
tua dan remaja, ada 85% orang tua memberi tahukan kepada remaja hal-hal apa
yang tidak boleh dilakukan, 79,5% orang tua memberitahukan batasan antara
lawan jenis, namun ada 62,7% orang tua kurang berperan dalm penyelesaian
masalah yang dihadapi oleh remaja. Kurangnya informasi yang didapat remaja
dari orang tua menjadikan remaja cenderung mencari jawaban dari media yang
ada. 71,6% remaja memilih media cetak majalah sebagai sumber informasi,
68,8% memilih koran, dan 50,5% memilih tabloid (Jumiatun, 2012).
Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa Keluarga
merupakan elemen penting dalam pembentukan karakter seseorang. Dalam
kehidupan sehari-hari keluarga berperan sebagai pemberi arah dan kontrol bagi
anggotanya sebagai sebuah institusi. Adanya peran-peran tertentu dalam keluarga
mengharuskan adanya kelas-kelas tertentu yang disepakati dalam sebuah keluarga.
19
Universitas Sumatera Utara
Tidak dapat diingkari lagi bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir
setiap individu, sejak lahir sampai datang ia meninggalkan rumah untuk
membentuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia
yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang
anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal
keluarganya. Oleh karena itu, sebelum mengenal norma-norma
di-nilai dar
masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang
berlaku dalam keluarganya. Norma atau nilai itu dijadikan bagian dari
kepribadiannya. Maka kita dapat menyaksikan tindak-tanduk orang suku tertentu
yang berbeda dari suku lainnya dan di dalam suku tertentu itupun pola perilaku
orang yang berasal dari kelas sosial atas berbeda dari yang kelas sosial bawah.
Demikian pula agama dan pendidikan bisa mempengaruhi kelakuan seseorang.
Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam
keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap
anak-anak mereka secara turun-temurun. Tidak mengherankan jika nilai-nilai
yang dianut oleh orang
tua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak
mengherankan kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak
sebenarnya ada pula pada orang tuanya (Jumiatun,2012).
Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa kondisi keluarga sangat
berpengaruh terhadap kondisi fisik dan mental seorang remaja. Dalam hal itu
ditemukan bahwa kebanyakan remaja yang terlibat ternyata adalah anak dari
korban perceraian orang tua dimana anak merasa tidak membutuhkan orang tua
dalam menjalani hidup, dan menurutnya siapa yang dapat memberinya
20
Universitas Sumatera Utara
ketenangan adalah lebih pentig dibanding sosok orang tua. Tanpa adanya fungsi
kontrol dari peran orang tua menjadikan pengaruh dari teman sepermainan
maupun pacarnya yang kurang baik akan dengan mudah untuk diterima tanpa
harus ada yang melarang dimana ini menjadi fungsi dari orang tua.
Ketika hal memilih teman juga menjadi hal yang sangat menarik jika
dilihat kaitannya dengan fenomena hamil diluar nikah. Adanya kecenderungan
bahwa teman sebagai tempat curhat dan bercerita tentang pengalawan antara
teman yang satu dengan yang lainnya. Tidak jarang seorang teman mempengaruhi
temannya yang lain untuk melakukan hal yang diperbuatnya dengan pacarnya
dimana dalam hal ini hubungan sex pra nikah. Sedikit banyaknya teman
tempatnya bercerita akan terpengaruh dan dan timbul keinginan untuk juga
mencobanya. Di pahami dan disadari atau tidak, namun kondisi ini memang ada
menurut beberapa literatur dan hasil penelitian yang banyak dilakukan bahwa
pengaruh dari teman dan ceritanya sangat mempengaruhi perilaku sex pra nikah
yang dilakukan para remaja (Khadijah. Dkk, 2012).
2.3 Pengaruh Pacaran di kalangan remaja dan kaitannya dengan fenomena
hamil diluar nikah.
Berpacaran bukanlah budaya baru di indonesia, keberadaan hubungan ini
diakui atau tidak sangat membantu dalam menentukan pasangan hidup dalam
membangun hubungan rumah tangga. Namun dalam beberapa penelitian
ditemukan fakta bahwa ternyata ikatan pacaran ini menjadi salah satu sebab
meningkatnya fenomena kehamilan diluar nikah. Usia remaja merupakan transisi
dari masa kanak-kanak menuju kaerah dewasa. Dengan peralihan ini, akan ada
21
Universitas Sumatera Utara
perubahan baik secara fisik, mental dan hormon pada remaja. Perubahan inilah
yang mendorong para remaja untuk melakukan hal yang sering mereka lihat di
media elektronik maupun media cetak yaitu salah satunya adalah kebiasaan
berpacaran. Hal ini disebabkan karena kebanyakan para orang tua menganggap
pembicaraan tentang hubungan seks sangatalah tabu untuk diperbincangkan. Hal
ini menyebabkan para remaja mencari jawaban dari keingintahuan mereka di
media informasi dan cenderung langsung memperagakannya, mulai dari
berpacaran, seperti apa berpacaran, dan apa saja yang dilakukan ketika berpacaran
(Martia. Dkk,2012).
Riana (2012) menjelaskan dalam penelitiannya tentang pemahaman pacaran
sehat bagi kalangan remaja yang dilakukan di SMA Teuku Umar di Semarang
melihat dari 52 orang responden yang umur mereka di klasifikasikan antara lain
remaja usia 16 tahun sebanyak 19 orang (36,5%), usia 17 tahun sebanyak 26
orang (50,0%), dan usia 18 tahun sebanyak 7 orang (13,5%). Dari tingkat
pengetahuan tentang pacaran sehat ini, ada 12 orang responden (23,1%) memiliki
pemahaman yang kurang, ada 17 orang (32,7%) memiliki pemahaman yang cukup
dan untuk yang memiliki pemahaman yang baik berjumlah 23 orang (44,2%).
Data ini memperlihatkan sebenarnya bahwa remaja di tempat tersebut memiliki
pemahaman yang cukup tentang pemahaman yang baik. Namun hal ini sedikit
berbeda dengan penelitian kecil yang di lakukan Riana sebelum penelitian ini di
lakukan. Dari hasil sampel 15 siswa dan siswi didapatkan hasil 5 orang (33,3%)
pernah melakukan cium bibir, 4 orang (26,67%) melakukan cium leher, 3 orang
(20%) pernah melakukan petting atau bercumbu sampai menempelkan alat
22
Universitas Sumatera Utara
kelamin dan hampir menjurus ke senggama, 2 orang (13,3%) hanya berpegangan
tangan, dan hanya 1 orang (6,67%) siswa yang mengakui pernah melakukan
senggama, mereka melakukan perilaku tersebut paling banyak di rumah ketika
sedang sepi. Hal ini mereka lakukan atas dasar suka sama suka (Riana.
Dkk,2012).
Adanya pemahaman bahwa hubungan pacaran ini adalah hubungan yang
saling melengkapi, menjadikan benyak remaja yang menjadi salah persepsi
dengan konsep pacaran yang mereka jalani. Tidak jarang remaja yang tidak
memiliki pacar akan di ejek oleh teman-temannya karena dianggap tidak mampu
mencari pasangan. Namun tidak cukup sampai disitu, setelah memiliki pacar pun
akan ada pertanyaan lanjutan dimana akan ada yang bertanya “sudah sejauh apa
hubungannya?” “sudah di cium belum?” sudah ini, sudah itu, dan banyak lagi
daftar pertanyaan yang tidak akan selesai dari sebuah hubungan pacaran. Ini akan
menjadi sebuah dorongan yang mengarahkan remaja melakukan hubungan yang
dipertanyakan dan dianggap biasa dalam pacaran tanpa terkecuali hubungan sex
pra nikah (Riana. Dkk, 2012).
Jumlah pacar yang dimiliki remaja juga dapat berpengaruh dalam
meningkatnya kasus hamil diluar nikah. Semakin banyak pacar yang dimiliki
remaja , akan semakin banyak kecenderungan remaja mencoba-coba gaya dan
cara berpacaran yang berbeda dimasing-masing pacarnya. Setelah pacar pertama
hanya sebatas ngobrol, pacar selanjutnya mulai berpegangan tangan, dan
begitulah seterusnya hingga berhenti
pada hubungan seks pranikah yang
menjadikan petualangan remaja dalam pacaran terhenti. Namun tidak hanya
23
Universitas Sumatera Utara
jumlah pacar yang memberikan pengaruhnya, lamanya waktu berpacaran juga
dapat memberikan kemungkinan remaja melakukan hubungan seks pranikah
(Dieng, 2007)
Pacaran memiliki problema tersendiri jika dikaitkan dengan semakin
berkembangnya organ seksual pada remaja yang mengakibatkan adanya
dorongan-dorongan untuk melakukan hubungan seksual. Seksual dan pacaran
merupakan fenomena yang banyak ditemukan pada kalangan remaja saat ini. Hal
ini dapat dilihat dari berubahnya orientasi berpacaran yang hanya sebagai jalan
untuk mendapatkan kepuasan seks. Khafri (2013) dalam penelitiannya melihat
bahwa adanya keterkaitan tentang pemahaman harga diri dalam berpacaran
dengan perilaku seks pranikah dimana dia melihat bahwa semakin tinggi
keinginan seorang remaja dalam mempertahankan harga dirinya dalam
berpacaran, maka akan semakin kecil kemungkinaan hubungan seks pranikah
dapat terjadi (Khafri Hidayat, 2013).
2.4. Pandangan dan Pemahaman Remaja Tentang Hubungan Seks Pranikah
Adanya fenomena tentang perilaku remaja yang saat ini mulai tidak
terkendali, tanpa terkecuali kasus hubungan seks pra nikah yang mana di beberapa
daerah dianggap sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya remaja sebagai generasi
penerus bangsa, tapi juga sebagai anak yang diagungkan dan di harapkan oleh
orang tuanya agar menjadi orang yang berguna dan mampu membanggakan orang
tuanya. Tidak hanya harapan orang tua yang terputus, namun raut kesedihan dan
kekecewaan yang harus didapat oleh orang tua para remaja. Tingkat pemahaman
remaja yang minim akan bahaya seks pranikah menjadi salah satu sebab yang
24
Universitas Sumatera Utara
mendasar dari banyaknya fenomena hamil di luar nikah yang disebabkan
hubungan seks pranikah. Dari 60 responden yang di teliti dimana 30 orang adalah
pria dan 30 lainnya adalah wanita. Sebanyak 73,33% responden mengatakan
bahwa seks merupakan kebutuhan dasar manusia. Sebanyak 51,67% responden
mengatakan bahwa hubungan seks merupakan cara terbaik untuk memenuhi
kebutuhan seks. Sebanyak 36,67% responden mengatakan bahwa onani
merupakan cara lain sebagai pengganti keinginan untuk melakukan hubungan
seks. Semua responden (100%) berpendapat bahwa hubungan seks pada masa
remaja hendaknya dihindari. Hanya 16,67% responden yang berpendapat bahwa
onani tidak bertentangan dengan norma agama. Sebanyak 50,00% responden
berpendapat bahwa onani pada wanita adalah tidak lazim, dan kalau ketahuan
dianggap wanita nakal/genit. Sebanyak 88,33% responden menyatakan bahwa
mereka ingin sekali melakukan hubungan seks, tapi takut resiko walaupun 88,33%
responden mengaku pernah pacaran. Sebanyak 5,00% responden setuju dengan
aborsi. Sebanyak 36,66% responden berpendapat bahwa kaum homoseks/lesbian
perlu ditoleransi. Sebanyak 1,67% responden berpendapat bahwa pemerkosa tidak
perlu dihukum berat ( I Wayan. Dkk,2007)
Dalam penelitian yang di lakukan Taufik di salah satu SMK di Samarinda
pada tahun 2013 ini tentang persepsi remaja terhadap hubungan seks pranikah
menunjukkan bahwa pemahaman remaja di samarinda tentang bahaya hubungan
seks pra nikah sangatlah sedikit. Sehingga banyak kasus remaja hamil di luar
nikah dan berujung pada banyak kemungkinan yang diambil orang tua, ada yang
menikahkan anaknya di usia muda guna mengurangi rasa malu, namun ada juga
25
Universitas Sumatera Utara
yang menggugurkan kandungannya dimana menggugurkan janin juga memiliki
resiko buruk yang cukup besar bagi para remaja. Dalam penelitian ini juga di
temukan bahwa sekolah juga tidak dapat memberikan perannya sebagai fungsi
kontrol bagi remaja di luar keluarga. Sekolah cenderung canggung dalam
memberikan pembelajaran tentang bahaya melakukan hubungan seks pranikah.
Terlepas dari sekolah, pemahaman orang tua para remaja juga seharusnya
diperbanyak tentang bahaya seks pranikah ini sehingga bisa memberikan
pembelajaran terhadap remaja mereka (Ahmad Taufik,2013).
Dalam penelitian yang dilakukan Dieng, didapatkan 16,6% responden
berperilaku seksual berisiko berat. Sebagian besar responden perempuan, pubertas
normal, sikap relatif negatif. Tingkat pengetahuan sebanding antara relatif rendah
dan tinggi. Sebagian besarresponden tidak melakukan komunikasi aktif dengan
orang tua (64,9%) dan teman (52,6%), mempunyai orang tua yang masih lengkap
(91,1%) dan menerapkan pola asuh demokratis (49,4%). Sebagian kecil responden
memilikijumlah pacar lebih dari 3 kali dan lama pertemuan dengan pacar kurang
dari 5 jam/minggu dan lebih dari 21 jam/minggu. Sebagian besar responden
terpapar dengan media elektronik dan cetak. Sebagian besar responden (64,3%)
sulit berkomunikasi dengan orang tua karena malu. Sebanyak 49,6% responden
membicarakannya 3 minggu terakhir. Padaresponden yang berkomunikasi dengan
orang tua (35,7%),dilakukan setiap ada kesempatan (75,2%).
Pemahaman remaja tentang bahaya seks pranikah juga kurang di
tingkatkan oleh orang tua. Kebanyakan remaja mencari dimedia dalam menambah
pemahaman mereka tentang bahaya seks pranikah dimana media tidak dapat
26
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan secara rinci tentang bahaya seks pranikah, malah banyak kesalahan
yang dijelaskan oleh media namun hal itulah yang dipahami dan di praktekkan
oleh para remaja, seperti iklan alat kontrasepsi dan lain sebagainya. Kehadiran
media seperti televisi yang mungkin lebih lama dibandingkan kehadiran orang tua
menjadikan remaja lebih percaya media dibanding apa yang dikatakan orang
tuanya. Kurangnya pengawasan orang tua juga menjadi salah satu sebab yang
cukup berpengaruh dalam meningkatnya kasus seks pranikah. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Dieng (2007) bahwa tidak hanya pemahaman yang benar
yang harus ditanamkan, namun juga interaksi antara remaja dan orang tua juga
harus ditingkatkan karena hal ini juga mampu mengurangi kecenderungan remaja
melakukan hubungan seks pranikah (Dieng, 2007).
2.5. Pemahaman agama (religiusitas) pada remaja dan kaitannya dengan
seks pranikah yang dilakukan remaja.
Adanya peralihan masyarakat dari tradisional kearah modern menjadikan
perilaku panduduk khususnya remaja juga ikut beralih.
Dengan demikian
sebenarnya masyarakat harus mampu membentengi diri dengan hal-hal yang
positif baik itu kegiatan yang positif maupun membentengi diri dengan
pemahaman agama yang harus di tingkatkan seiring dengan kemajuan jaman.
Namun tidak semudah itu, agama kian lama akan di tinggalkan seiring dengan
majunya jaman. Lutfiah (2011) dalam penelitiannya melihat bahwa ada
keterkaitan pemahaman agama dengan perilaku remaja yang melakukan hubungan
seks pranikah. Dalam penelitian yang dilakukannya di salah satu SMA di
mojokerto melihat bahwa semakin sedikit pemahaman remaja tentang agama,
27
Universitas Sumatera Utara
maka akan semakin rentan remaja tersebut melakukan hubungan seks pranikah.
Dari 173 responden yang di dapati bahwa ada 38,2% remaja yang memiliki
perilaku seks bebas yang negatif karena kurangnya pemahaman agama, sedangkan
untuk perilaku positifnya 0%. Sedangkan yang memiliki pemahaman agama yang
cukup, hanya ada 5,8% yang berperilaku positif dan 17,3% berperilaku negatif
dengan keseluruhan
23,1% dari jumlah responden. Dan bagi remaja dengan
pemahaman agama yang baik, ada 31,2% yang berperilaku baik dan 7,5% yang
berperilaku seks bebas yang buruk di manasemuanya menjadi38,7% dari jumlah
responden. Ini di lihat dari data yang ditemukan bahwa persentase pemahaman
agama yang baik (cukup) sejalan dengan persentase perilaku remaja yang positif.
Agama sebagai fungsi kontrol dalam berperilaku dianggap masih sangat
kompeten dalam menjadi benteng dari arus modernisasi yang tidak dapat
dikontrol. Pemahaman agama yang baik akan menumbuhkan perilaku yang baik.
Remaja memerlukan kemampuan pemecahan masalah yang baik, sehingga remaja
mampu menyelesaikan masalahnya secara efektif. Orang tua dan lingkungan
pendidikan harus mampu memberikan pemahaman agama kepada remaja guna
menjadi pedoman para remaja dalam bergaul dilingkungannya.
Agama menjadi hal yang penting dalam menghadapi kemajuan zaman
karena ajaran-ajarannya yang mengandung pesan moral dan mengarahkan
manusia untuk selalu berbuat baik dan sebisa mungkin mengurangi perbuatan
menyimpang yang tidak sesuai dengan ajaran agama dimana salah satunya adalah
hubungan seks pranikah. Remaja yang religiusitasnya tinggi menunjukkan
perilaku terhadap hubungan seksual bebas rendah (menolak), sedangkan remaja
28
Universitas Sumatera Utara
yang religiusitasnya rendah menunjukkan perilaku terhadap hubungan seksual
bebas tinggi (menerima). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan negatif yang signifikan antara pemahaman tingkat agama
(religiusitas) dengan perilaku seks bebas pada remaja, dimana semakin tinggi
pemahaman tingkat agama (religiusitas) maka perilaku seks bebas semakin
rendah, dan sebaliknya (Lutfiah. 2011).
2.6. Peran dan pengaruh media massa dalam memberikan pemahamaan
tentang
bahaya seks pranikah kepada remaja.
Martia dalam penelitiannya di salah satu SMA di kota Surakarta dengan
5(lima) media informasi yang terdiri media, orang tua, teman sebaya, guru,
dengan bentuk informasi yang sama yaitu ciri-ciri remaja, mengenal organ-organ
reproduksi, siklus reproduksi perempuan, proses reproduksi laki-laki, kehamilan,
pacaran dan hubungan seksual, kehamilan tidak diinginkan dan aborsi, informasi
kontrasepsi, penyakit menular seksual, HIV/AIDS, sedangkankan media informasi
yang terakhir yaitu pacar yang memiliki informasi yang berbeda dengan media
informasi yang lainnya yaitu mencium pipi, mencium bibir, meraba daerah
sensitif, berpelukan, masturbasi/onani, oral sex, petting, intercourse.
Responden mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari media
informasi dengan persentase terbesar adalah informasi HIV/AIDS (96,7%).
Responden mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari orang tua dengan
persentase tertinggi yaitu ciri-ciri remaja (79,7%).Responden mendapatkan
informasi kesehatan reproduksi dari teman sebaya dengan persentase tertinggi
yaitu ciri-ciri remaja (90,7%). Responden mendapatkan informasi kesehatan
29
Universitas Sumatera Utara
reproduksi dari guru dengan persentase terbesar yaitu ciri-ciri remaja (95,6%).
Perilaku seksual remaja dalam berpacaran yang dilakukan responden dengan
persentase tertinggi mencium pipi (67,0%).
Dari data tersebut dijelaskan bahwa ternyata apa pun informasi yang di
dapat para remaja dari lima media informasi diatas, ternyata tidak terlalu
berdampak dengan perilaku remaja saat berpacaran. Dijelaskan juga bahwa teman
sebaya dan pacar dalah sumber informasi yang paling didengarkan dan selalu
dapat memberikan pengaruh dengan semua informasi yang diberikan. Hal ini di
sebabkan karena pada usia remaja salah satu perkembangan paling menonjol
adalah lebih senang bergaul dengan teman sebaya maupun lawan jenis dibanding
dengan lingkungan lain baik itu guru maupun keluarga sekalipun
Berkembangnya media massa dan teknologi komunikasi dan informasi juga
dapat mendorong meningkatnya kasus atau fenomena kehamilan di luar nikah.
Dalam kehadirannya seiring dengan perubahan dan kemajuan jaman, teknologi
informasi dan media massa juga tidak terlepas memberikan pengaruhnya baik itu
yang positif maupun negatif. Adanya penyalahgunaan dari kemajuan teknologi ini
memungkinkan akan ada fenomena yang mungkin tidak di inginkan. Hadirnya
media massa memberikan sumbangan bagi proses reformasi baik di bidang politik
ataupun sosial budaya masyarakat. Hal yang dulunya dianggap tabu untuk
diceritakan kini dapat ditayangkan secara bebas dimedia massa, ini menjadikan
fungsi media massa pun seakan beralih kearah fungsi yang cenderung negatif.
Banyak film yang terkesan vulgar di tayangkan secara terus menerus dan menjadi
hal yang tertanam di pikiran para remaja. Disadari atau tidak, remaja pun
30
Universitas Sumatera Utara
cenderung mengikuti cara bergaul atau berperilaku yang mereka lihat ditelevisi,
mulai dari cara berpakaian, cara bergaul, cara bicara, bahkan cara berpacaran
(Suryanto dan Kuwatono).
Remaja dengan rasa ingin tahu yang begitu besar akan berusaha mencari
jawaban dari rasa penasaran yang ada di pikiran mereka. Rasa penasaran seperti
apa itu hubungan seks, bagaimana melakukan hubungan seks dan seterusnya
menjadikan remaja akan mencari jawaban dari manapun untuk memenuhi hasrat
penasaran mereka. Setelah mngetahui rasa penasaran mereka, remaja akan
cenderung ingin mencoba melakukannya dengan pacar yang ia miliki. Hadirnya
internet hingga pedesaan menjadikan arus informasi dan komunikasi akan lebih
cepat sampai di pedesaan. Akan ada kebiasaan baru yang dilakukan remaja
dengan adanya internet, mulai dari kebiasaan menggunakan jejaring sosial sampai
kebiasaan untuk mengakses situs porno yang jumlahnya tidak terhingga di
internet. Dengan intensitas mengakses situs porno yang begitu sering menjadikan
remaja akan ingin mencoba dan mempraktekkannya. Hal itu dikarenakan
gampangnya remaja memproses apa yang mereka lihat dalam pikiran mereka dan
jika ada kesempatan, mereka akan melakukan apa yang mereka lihat di internet
dengan pacar mereka dan akhirnya akan terjadi hamil diluar nikah (Endah.
Dkk,2009).
31
Universitas Sumatera Utara
Download