Menelusuri Kekayaan Aksara Sunda Di zaman sekarang, aksara (tulisan) Sunda sudah hampir punah dan tidak ada lagi yang mampu menggunakannya. Barangkali yang masih mau dan mampu mempelajarinya hanyalah para akademisi yang meneliti peninggalan budaya Sunda, seperti sejarawan, arkeolog, dan filolog. Masyarakat umum bisa dipastikan sudah jarang yang menggunakannya, selain dosen, mahasiswa, dan guru bahasa Sunda. Itu pun sekadar sebagai mata pelajaran pengenalan dan tidak digunakan dalam proses belajar-mengajar seharihari. Apalagi, bila memerhatikan kota-kota besar di Jawa Barat, jangankan aksara Sunda, bahasa Sunda saja sudah mulai ditinggalkan. Padahal, bila kita telusuri, aksara Sunda merupakan pintu masuk menuju kehidupan orang Sunda yang sebenarnya. Cerita, nasihat, panduan hidup zaman dahulu disampaikan turun-temurun, selain melalui media lisan juga melalui aksara, yaitu melalui media prasasti dan naskah. Prasasti adalah tulisan di atas batu atau lembaran logam, sedangkan naskah adalah tulisan memakai media lontar, nipah, saeh, atau daluang. Naskah dan prasasti merupakan dokumen budaya karena berisi data dan informasi ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah serta budaya Sunda yang diwariskan leluhur. Aksara Sunda Di masyarakat Sunda saat ini masih ada anggapan bahwa model tulisan Sunda asli sama dengan model tulisan yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa, atau yang lebih populer dengan sebutan cacarakan atau hanacaraka. Padahal, menurut Holle (dikutip oleh Elis Suryani dalam buku Keanekaragaman Budaya Sunda Buhun), naskahnaskah lontar ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda buhun (kuno) atau aksara Sunda, kaganga. Aksara Sunda kaganga memang telah tenggelam dan terdesak secara kultural oleh aksara cacarakan pengaruh budaya Jawa. Selain itu, aksara cacarakan ini telah dibakukan oleh Grashius melalui karangannya Hendleiding Voor Anleren van het Soendaneesch Letterschrafjt (Buku Petunjuk untuk Belajar Aksara Sunda) tahun 1860. Model aksara cacarakan ini sendiri hasil modifikasi dari aksara carakan Jawa yang telah dibakukan sebelumnya oleh Roorda tahun 1835. Aksara Sunda kaganga memang masih memiliki kemiripan dengan aksara cacarakan. Hanya bedanya bila cacarakan dimulai dengan susunan hanacaraka datasawala…, sedangkan aksara kaganga disusun dari kaganga cajanyatada… Berdasarkan tata tulisnya, aksara kaganga berjumlah 32 buah yang terdiri atas 7 aksara swara (vokal) dan 25 aksara ngalagena (konsonan). Aksara ngalagena dapat berubah menjadi aksara swara dengan menambah tulisan di atas berupa panghulu (mengubah jadi i), pamepet (mengubah jadi e), paneuleung (mengubah jadi eu), panglayar (menambah r), dan pangnyecek (menambah ng). Selain itu, juga dengan menambah tulisan di bawah, yaitu panyuku (mengubah menjadi u), panyakra (menambah ra), panyiku (menambah la), atau juga dengan menambah tulisan yang sejajar, yaitu paneleng (mengubah jadi e), panolong (mengubah menjadi o), pamingkal (mengubah jadi ya), pangwisad (menambah h), dan pamaeh (menghilangkan fonem). Dengan beragam aturan tata tulis ini, aksara Sunda dianggap terlalu sulit untuk digunakan dalam kehidupan seharihari. Di Tasikmalaya memang ada upaya menghidupkan kembali tulisan Sunda cacarakan. Di sana plang jalan menggunakan aksara Sunda berdampingan dengan tulisan Latin. Ada guyonan di masyarakat, seandainya tulisan Latinnya dihilangkan, bisa dipastikan banyak orang Sunda, bahkan orang Tasikmalaya sendiri, tersesat mencari jalan karena keawamannya membaca aksara tersebut. Prasasti dan naskah Sunda Menelusuri kembali aksara Sunda, berarti menggali kembali peninggalan leluhur Sunda zaman baheula. Tulisan pertama yang dianggap sebagai peninggalan orang Sunda adalah prasasti. Prasasti yang sekarang sudah ditemukan sebanyak tujuh buah. Prasasti-prasasti ini adalah peninggalan masa Kerajaan Tarumanegara yang beraksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Aksara Pallawa dan Sanskerta merupakan pengaruh dari India yang pada saat itu sedang berada pada masa kejayaan klasik. Lima prasasti ditemukan di sekitar daerah Bogor dan sisanya masing-masing satu buah di Bekasi dan Pandeglang. Prasasti yang ditemukan di Bogor adalah prasasti Ciaruteun, prasasti Kebon Kopi, prasasti Koleangkak, prasasti Pasir Awi, dan prasasti Pasir Muara. Adapun prasasti yang ada di Bekasi adalah prasasti Tugu dan di Pandeglang adalah prasasti Cidangiang. Ketujuh prasasti tersebut dibuat lebih kurang abad ke-5 Masehi. Dengan adanya pengaruh aksara dan kegiatan menulis serta membaca, masyarakat Tatar Sunda pada zaman Kerajaan Tarumanegara menjadi mengerti dan paham tentang konsep negara, agama, dan kemasyarakatan. Bila sebelumnya mereka menggunakan konsep pedukuhan (desa), sejak zaman itu mereka menggunakan konsep kerajaan yang berbentuk negara. Adapun prasasti yang menggunakan bahasa Sunda terdapat pada masa Kerajaan Pakuan Pajajaran, yaitu sekitar abad ke-8 sampai ke-16 Masehi. Prasasti itu antara lain adalah prasasti Gegerhanjuang-Galunggung, prasati Kawali, prasasti Batutulis-Bogor, prasasti Cibadak-Sukabumi, dan piagam (lempeng tembaga) Kebantenan. Selain prasasti, aksara Sunda juga ditemukan dalam naskah atau handschrift. Tulisan dalam naskah Sunda menggunakan media lontar, nipah, saeh, dan daluang. Lontar adalah kertas dari kulit kayu (ron dan tal artinya daun tal atau daun siwalam). Orang Sunda jarang menggunakan lontar sebagai media baca-tulis karena daya tahannya yang tidak lama. Media baca tulis banyak menggunakan kertas yang dibuat dari kulit kayu saeh yang disebut kertas saeh atau daluang. Tulisan yang terdapat dalam naskah-naskah Sunda ini mengandung kekayaan budaya. Hal ini ditunjukkan oleh beraneka ragam aspek kehidupan yang dikandungnya, mulai dari masalah politik, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa, dan sastra. Naskah yang menggunakan bahasa Sunda antara lain adalah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan, Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, Darmajati, Jatiraga, Bujangga Manik, Carita Waruga Guru, Catur Bumi, Jatiniskala, Kawih Pamungkas, Sanghyang Hayu, Sanghyang Ragadewata, Serat Buda, Sewaka Darma, Siksa Kandang Karesiyan, Pantun Ramayana, Sri Ajnyana, Nagara Kertabhumi, Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara, Purwaka Caruban Nagari, Cariosan Prabu Siliwangi, Pustaka Pararatwan I Bumi Jawadwipa, Babad Banten, Serat Catur Bumi, Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji Cakra, Mantera Darmapamulih, Ajaran Islam, Wawacan Panji Wulung. Masing-masing naskah tersebut mengandung nilai-nilai kesundaan yang sangat berguna bagi kita sebagai penerus budaya Sunda. Tidak ada salahnya bila kita kembali ngamumule warisan budaya leluhur ini dengan terus menggali dan menelusuri bahasa, seni, arkeologi, filologi (naskah), sejarah, dan prasasti. Dengan begitu kita tidak akan mengalami jati kasilih kujunti, kehilangan arah pegangan sebagai orang Sunda, dan akhirnya kita merasa reueus (bangga) dengan budaya sendiri. ( Oleh : UWES FATONI Pegiat Tepas Institute dan Pemerhati Budaya Sunda )