SAKROKOLPOPEKSI DENGAN LAPAROSKOPI UNTUK PENANGANAN PROLAPS ORGAN PANGGUL dr. Putu Doster Mahayasa, SpOG (K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH 2012 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI……………………………..…..………………………………….i DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………....ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………...1 BAB II PROLAPS ORGAN PANGGUL……….…………………………...3 2.1. Anatomi Dasar Panggul………………………………...……………..3 2.2. Definisi…………………………………….………..…………………6 2.3. Etiologi……………………………………...…………………………6 2.4. Gejala……………………………………...…………………………...7 2.5. Evaluasi……………………………………...………………………....7 2.6. Penatalaksanaan………………………...…………………………….10 2.6.1. Terapi Konservatif (Non Bedah)……………………………………. 10 2.6.2. Terapi Bedah…………...……………………………………………..11 BAB III Sakrokolpopeksi………………………………………………………12 3.1. Sejarah Perkembangan Sakrokolpopeksi…………………...………....12 3.2. Teknik Sakrokolpopeksi………………………………………………13 3.3. Perkembangan Laparoskopi Dalam Bidang Uroginekologi…………..16 3.4. Sakrokolpopeksi Dengan Laparoskopi…...…………………………...17 3.4.1. Teknik Operasi………………………………………………………...18 BAB IV RINGKASAN………………………………………………………...22 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………24 1 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Penyokong level I………………………………………………........4 Gambar 2. Penyokong level II…………………………………………………..4 Gambar 3. Penyokong level III………………………………………………….5 Gambar 4. Struktur dasar panggul……………………………………………….5 Gambar 5. Standar terminologi pada POP-Q……………………………………8 Gambar 6. Bagan POP-Q………………………………………………………10 Gambar 7. Macam-macam pesarium……………………………………….......11 Gambar 8. Pemasangan mesh pada abdominal sakrokolpopeksi…………….....12 Gambar 9. Abdominal sakrokolpopeksi menggunakan mesh sebagai Penggantung puncak vagina pada sakral promontorium…………...13 Gambar 10. Polypropylene mesh………………………………………………..14 Gambar 11. Ilustrasi Teknik Sakrokolpopeksi…………………………………..15 Gambar 12. Perkembangan laparoskopi………………………………………...16 Gambar 13. Membuka peritoneum……………………………………………...19 Gambar 14. Buli-buli dan rektum dipisahkan dari dinding vagina……………..19 Gambar 15. Mesh dijahitkan pada dinding anterior vagina……………...……..19 Gambar 16. Mesh dijahitkan pada dinding posterior vagina…………….……..19 Gambar 17. Mesh dijahitkan pada sakrum……………………………………...20 Gambar 18. Peritoneum ditutup………………………………………………...20 Gambar 19. Gambaran cul de sac beberapa bulan setelah prosedur……………20 Gambar 20. Sakrokolpopeksi dengan laparoskopi……………………………...21 2 BAB I PENDAHULUAN Prolaps organ panggul merupakan salah satu kelainan yang insidennya cukup tinggi pada wanita, dan kejadiannya semakin meningkat seiring dengan bertambahnya paritas dan usia. Umumnya Prolaps organ panggul tidak menyebabkan kematian tetapi dapat memperburuk kualitas hidup termasuk menimbulkan kelainan pada kandung kemih, sistem saluran cerna serta gangguan fungsi seksual. Menurut penelitian, hampir 20% kasus ginekologi yang menjalani operasi adalah kasus prolaps genitalia. Kasus ini akan meningkat jumlahnya karena usia harapan hidup wanita juga meningkat.1 Di Swedia, 31% wanita berumur 20-59 didapatkan prolaps organ panggul dalam pemeriksaan rutin. Di Perancis dan Amerika insiden pembedahan karena prolaps organ panggul adalah sebesar 911%.2 Hal ini merupakan fenomena gunung es karena angka tersebut hanya menunjukan wanita yang menjalani operasi prolaps uteri saja. Angka tersebut tidak termasuk wanita dengan prolaps organ panggul yang tidak menjalani pembedahan, ataupun wanita yang tidak pernah berobat. Kejadian prolaps organ panggul di Indonesia masih belum banyak ditemukan datanya, oleh karena sistem pencatatan di Indonesia yang belum begitu baik. Berbagai macam tipe dari prolaps organ panggul adalah : prolaps vagina bagian atas (uterus atau prolaps puncak vagina), prolaps dinding vagina bagian anterior (sistokel), dan prolaps dinding vagina bagian posterior (rektokel atau enterokel). Wanita dapat mengalami prolaps pada satu atau beberapa tempat dari yang telah disebutkan tersebut.3 Beberapa faktor penting dalam kejadian prolaps adalah : faktor usia, hormon estrogen, kerapatan kolagen, cedera melahirkan, obesitas, batuk kronis ataupun konstipasi kronis. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi otot dasar panggul, ligamentum, organ-organ panggul, dan fasia.1 Pengobatan untuk prolaps organ panggul dibagi menjadi terapi konservatif (non bedah) dan terapi pembedahan. Pemilihan terapi tergantung kepada jenis, 3 beratnya gejala, umur, keadaan umum penderita, kebutuhan fungsi seksual, fertilitas, maupun faktor resiko kekambuhan. Saat ini ada berbagai macam prosedur pembedahan untuk mengatasi prolaps organ panggul, baik pervaginam maupun perabdominal, yang mana tujuan dari operasi rekonstruksi dasar panggul adalah untuk mengembalikan posisi anatomi, mencegah terjadinya prolaps ulangan, mengembalikan fungsi seksual dan meningkatkan kualitas hidup setelah pembedahan. Salah satu teknik pembedahan per abdominal adalah dengan teknik sakrokolpopeksi yang mana saat ini teknik tersebut merupakan gold standard untuk mengatasi prolaps uteri maupun prolaps puncak vagina. Seiring dengan kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran, khususnya pada bidang uroginekologi, para ahli mengembangkan suatu teknik operasi perabdominal tetapi dengan penggunaan laparoskopi, sehingga didapatkan hasil operasi yang maksimal, angka kekambuhan yang rendah, serta waktu pemulihan yang cepat dan rasa ketidak nyamanan pasca operasi yang lebih ringan. Melalui referat ini, kami akan membahas lebih dalam salah satu teknik pembedahan untuk mengatasi prolaps uteri maupun prolaps puncak vagina, teknik tersebut adalah sakrokolpopeksi dengan pendekatan laparoskopi. 4 BAB II PROLAPS ORGAN PANGGUL 2.1. Anatomi Dasar Panggul Untuk dapat mengerti tentang kelainan yang ditimbulkan oleh kelemahan atau kerusakan dasar panggul, kita harus memahami anatomi dan fungsi dari dasar panggul dengan baik dan benar. Anatomi panggul terdiri dari tulang, otot, ligamentum dan organ-organ, yang mana berperan pada fungsi normal panggul. Ligamentum, otot dan fascia membentuk sistem muskulo-elastis yang memberikan bentuk dan berfungsi untuk meyokong organ-organ visera agar tetap dalam posisi dan fungsi normal.4 Pada wanita normal dengan posisi berdiri, maka vesika urinaria, dua pertiga atas vagina dan rektum berada dalam aksis horisontal, terutama pada saat adanya peningkatan tekanan panggul. Lempeng levator yg dibentuk oleh m. pubokoksigeus dan m. iliokoksigeus, terletak paralel dengan organ-organ tersebut dan berfungsi menarik rektum, vagina dan ureter ke anterior (ke arah tulang pubis) dan sebagai penyokong utama organ panggul (mencegah terjadinya prolaps organ panggul). Pada keadaan seperti ini, jaringan-jaringan ikat penyokong organ panggul mendapat tekanan minimal. Hilangnya fungsi m.levator ani adalah awal dari mekanisme terjadinya prolaps organ panggul.1,4 Pada tahun 1992 DeLancey membagi dasar panggul menjadi tiga level, yakni :1,4,5,6,7 Level I : Penyangga level I, atau penyangga vertikal, dibentuk dari kompleks kardinale-sakrouterina dan fasia puboservikal, kompleks kardinale-sakrouterina menyangga sepertiga atas vagina ke sakrum. Kerusakan pada penyokong ini menyebabkan penurunan apeks vagina, uterus, prolaps vagina dan enterokel. 5 Gambar 1 : Penyokong level I Level II : Level II berlokasi pada mid-vagina, merupakan aksis horisontal dan tersusun dari ligamentum pubouretra, hubungan jaringan ikat fasia endopelvis dengan arkus tendinea fasia panggul serta superior fasia dengan levator ani (fasia rektovaginal). Jaringan penyokong panggul tengah berjalan dari spina iskhiadika ke aspek posterior tulang pubis, yang menyokong vesika urinaria, dua pertiga atas vagina dan rektum. Ligamentum pubouretra berasal dari ujung bawah permukaan posterior simfisis pubis dan meluas seperti kipas ke media yaitu ke mid-uretra dan ke lateral kedalam otot pubokoksigeus dan dinding vagina. Arkus tendinea fasia panggul merupakan ligamentum horisontal yang berasal dari superior ligamentum pubo-uretra pada simfisis pubis dan meluas ke spina ischiadika. Vagina dipertahankan pada fasia pelvis arkus tendinea oleh fasianya. Kerusakan pada penyokong mid-pelvis ini menyebabkan sistokel. Gambar 2 : Penyokong level II 6 Level III : Level III ini merupakan aksis vertikal bawah, yaitu vagina dan uretra dipertahankan pada posisinya oleh fasia endopelvis yang menghubungkan arkus tendinea fasia panggul dengan fasia medial levator ani (ligamentum uretra eksternal). Muskulus levator ani (pubokoksigeus dan ileokoksigeus), membran perineum dan badan perineum menyusun diafragma penyokong yang menaikan organ-organ ini. Jaringan penyokong panggul distal berjalan tegak lurus dengan hiatus levator, segitiga urogenital dan anal serta menyokong orientasi vertikal sepertiga bawah vagina, uretra dan anal kanal. Ligamentum uretra eksterna mempertahankan meatus uretra eksterna pada permukaan anterior ramus pubis desendens. Ligamentum ini meluas ke atas ke klitoris dan kebawah ke ligamentum pubouretra. Gambar 3 : Penyokong level III Gambar 4 : Struktur dasar panggul 7 2.2. Definisi Menurut American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) definisi dari Prolaps organ panggul adalah turunnya organ panggul kedalam liang vagina atau sampai keluar dari introitus vagina yang disebabkan oleh kelemahan jaringan penyangganya. 2.3. Etiologi Terjadinya prolaps organ panggul bisa terjadi oleh karena berbagai macam sebab, dan untuk sampai terjadinya prolaps biasanya dibutuhkan waktu yang cukup lama.8 Dibawah ini diuraikan beberapa penyebab terjadinya kelemahan struktur otot dan ligamentum penyokong uterus, yaitu : 1. Multiparitas. Merupakan fakto penyebab yang paling sering untuk terjadinya prolaps organ panggul. Semakin bertambahnya paritas, akan semakin meningkatkan resiko untuk terjadinya prolaps.6 2. Cedera saat melahirkan. Menurut penelitian, cedera pada saat melahirkan pervaginam akan meningkatkan resiko terjadinya prolaps organ panggul. Makrosomia, partus kala dua lama, episiotomi, penggunaan forsep dikatakan akan meningkatkan resiko untuk terjadinya prolaps, tetap hal itu masih harus diteliti lebih lanjut, dikarenakan masih kurangnya data mengenai hal tersebut.6 3. Usia. Dengan bertambahnya usia, akan meningkatkan insiden prolaps. Hal itu disebabkan oleh melemahnya jaringan serta otot dasar panggul.6,9 4. Ras. Insiden terjadinya prolaps uteri pada wanita asia dan kulit hitam didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan wanita kulit putih. Hal tersebut dikarenakan oleh pada wanita kulit hitam didapatkan otot levator ani yang lebih tebal dibandingkan oleh wanita kulit putih, selain itu perbedaan pada kandungan kolagen dan perbedaan pada tulang pelvis juga memegang peranan.6 8 5. Kelainan jaringan ikat. Wanita dengan kelainan jaringan ikat mempunyai resiko lebih tinggi untuk mengalami prolaps organ panggul. Pada suatu penelitian didapatkan, sepertiga wanita dengan Marfan syndrome dan tiga perempat wanita dengan Ehlers-Danlos syndrome mengalami prolaps organ panggul.1,6 6. Peningkatan tekanan abdomen. Peningkatan tekanan intra abdomen yang terus menerus dipercaya memegang peranan untuk terjadinya prolaps organ panggul. Kondisi tersebut biasanya didapatkan pada wanita obesitas, konstipasi kronis, batuk kronis, pekerjaan mengangkat benda berat.6,9 2.4. Gejala Gejala yang sering muncul pada pasien dengan prolaps organ panggul adalah perasaan penuh di liang vagina, atau terasa seperti ada yang keluar melalui liang vagina, rasa tidak nyaman, nyeri pinggang, gangguan berkemih, seperti inkontinensia urine, frekuensi, disuria, bahkan bisa didapatkan retensio urin, konstipasi, serta dispareunia.6,8 2.5. Evaluasi Ada beberapa standar terminologi atau sistem klasifikasi yang telah dikembangkan untuk menentukan derajat prolaps organ panggul, diantaranya Baden and walker, maupun beecham. Tetapi sejak tahun 1996 ICS (International Continence Society) telah menstandarisasi suatu sistem pengukuran yang dinamakan POP-Q (Pelvic Organ Prolapsed Quantification), dan sistem ini telah diterima dan digunakan secara internasional sampai saat ini.5,6,8,9 Untuk melakukan pemeriksaan ini, pasien harus berada dalam posisi litotomi. Derajat dari beratnya prolaps diukur dalam sentimeter menggunakan 9 suatu titik pada vagina dengan himen sebagai suatu batas, sehingga titik setinggi himen merupakan 0 cm, sedangkan titik diatas himen diperhitungkan negatif, dan dibawah himen diperhitungkan positif.5,6,8,9 Gambar 5 : Standar terminologi pada POP-Q Titik pada dinding vagina anterior Titik Aa Merupakan titik pada pertengahan dinding vagina anterior atau 3cm proksimal dari meatus uretra eksterna. Hubungannya dengan himen jarak titik ini adalah -3 (normal) sampai +3 (prolaps maksimum dari titik Aa) Titik Ba Titik ini menunjukan posisi paling distal dari dinding vagina anterior, atau dari forniks vagina anterior sampai titik Aa. -3 jika tidak ada prolaps. Pada wanita prolaps puncak vagina pasca histerektomi, Ba akan mendapat nilai positif diukur dari himen ke puncak vagina. Titik vagina atas Titik C Titik C merupakan titik paling distal dari ujung cervix atau ujung dari stump vagina setelah histerektomi total. 10 Titik D Merupakan titik yang menunjukan lokasi dari forniks posterior pada wanita yang masih mempunyai serviks. Jika tidak terdapat serviks maka titik ini tidak digunakan. Titik tersebut menunjukan level dari perlekatan ligamentum sakrouterina kepada serviks posterior dan merupakan titik untuk mengukur kegagalan suspensorium kompleks ligamentum sakrouterina-kardinale dari elongasi serviks. Total Vaginal Length (TVL) Adalah kedalaman dari vagina yang diukur dalam sentimeter. Titik dinding vagina posterior Titik Ap Merupakan titik pada pertengahan dinding vagina posterior atau 3cm proximal dari himen. Hubungannya dengan himen jarak titik ini adalah -3 (normal) sampai +3 (prolaps maksimum dari titik Aa). Titik Bp Titik ini menunjukan posisi paling atas dari dinding vagina posterior, atau dari forniks vagina posterior sampai titik Bp. -3 jika tidak ada prolaps. Pada wanita prolaps puncak vagina pasca histerektomi, Ba akan mendapat nilai positif diukur dari himen ke puncak vagina. Genital Hiatus dan Perineal body Genital hiatus diukur dari bagian tengah dari meatus uretra eksterna ke bagian posterior dari cincin himen. Perineal body diukur dari ujung posterior dari genital hiatus ke pertengahan pembukaan anus. 11 Gambar 6 : Bagan POP-Q 2.6. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan dari prolaps organ panggul adalah untuk menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi, memperbaiki anatomi, atau bahkan untuk kosmetik. Untuk prolaps organ panggul yang tidak ada gejala atau dengan gejala ringan, kadang tidak diperlukan terapi. Tetapi untuk wanita dengan prolaps organ panggul berat atau dengan gejala berat, terapi baik konservatif (non bedah) atau terapi pembedahan dapat dipilih. Pemilihan terapi bergantung kepada jenis, beratnya gejala, umur, keadaan umum penderita, kebutuhan fungsi seksual, fertilitas, maupun faktor resiko kekambuhan.6,8,10 2.6.1. Terapi konservatif (non-bedah) Termasuk didalamnya perubahan gaya hidup, penurunan berat badan, latihan otot dasar panggul. Tujuan dari terapi konservatif adalah untuk mencegah prolaps bertambah parah, mengurangi gejala, meningkatkan kekuatan otot dasar panggul. Pelatihan otot dasar panggul pertama kali diperkenalkan oleh Arnold Kegel, caranya adalah dengan mengencangkan otot panggul selama beberapa detik kemudian merelaksasikannya, dikerjakan secara berulang ulang, keuntungan 12 dari cara ini adalah mudah untuk dikerjakan, tidak beresiko, tidak mengeluarkan biaya, dapat dikerjakan dimana saja, dan terbukti efektif jika dikerjakan secara rutin, selain itu cara tersebut juga berguna untuk mencegah dan menangani inkontinensia urin dan meningkatkan sensasi seksual. Selain cara diatas, terapi non bedah lainnya adalah dengan penggunaan pesarium. Pesarium adalah suatu alat yang terbuat dari silikon, Dipasang dibawah atau disekeliling serviks. Alat ini membantu menahan uterus untuk turun dari tempatnya. Bagi sebagian urogynecologist, pesarium digunakan sebagai terapi lini pertama sebelum mereka menawarkan untuk terapi pembedahan.6 Gambar 7: Macam-macam pesarium 2.6.2. Terapi bedah Tujuan utama dari terapi pembedahan adalah untuk menghilangkan gejala. Secara umum pembedahan ditawarkan kepada pasien yang telah menjalani terapi konservatif tetapi gagal maupun tidak merasa puas dengan hasilnya, atau pada pasien yang tidak ingin menjalankan terapi konservatif. Pada saat ini teknik pembedahan untuk menangani prolaps organ panggul telah banyak dikembangkan oleh para ahli, baik pervaginam, perabdominal maupun melalui pendekatan laparoskopi. Beberapa teknik diantaranya adalah sakrokolpopeksi, kuldoplasti, fiksasi ligamentum sakrospinosum, suspensi uterosakral, kolpoklesis, dan berbagai cara lainnya. Pada referat ini, kami akan memfokuskan kepada penanganan prolaps organ panggul dengan teknik sakrokolpopeksi. 13 BAB III SAKROKOLPOPEKSI 3.1. Sejarah Perkembangan Sakrokolpopeksi Seorang ahli bedah harus mengetahui dengan benar teknik operasi mana yang efektif, maupun teknik yang telah ditinggalkan karena tidak efektif atau tingkat komplikasi yang tinggi. Pada awal abad ke-20, prosedur pembedahan untuk prolaps organ panggul dilakukan pervaginam maupun perabdominal, salah satu caranya yaitu dengan menempelkan vagina kepada dinding abdomen. Karena angka kekambuhan enterokel yang tinggi setelah teknik tersebut diatas, maka pada tahun 1957 ahli bedah mulai mengikat puncak vagina ke bagian posterior, menempelkan fundus uterus bagian posterior ke ligament longitudinal anterior. Lane yang pertama kali memperkenalkan penggunaan mesh antara vagina dan promontorium untuk membuat tegangan, tetapi Birnbaum merasa bahwa pemasangan mesh pada promontorium terlalu tinggi, karena posisi normal dari vagina bagian atas adalah mengarah ke sakrum, dan dia memasang mesh setinggi S3-S4. Kemudian Suton memperkenalkan cara pemasangan mesh lebih tinggi dari teknik Birnbaum, yaitu sebatas S1-S2, dimana disana arteri lebih mudah divisualisasi dan dihindarkan, dan sudut dari vagina tidak terlalu berpengaruh. Untuk menurunkan resiko terlepasnya mesh, maka Synder dan Krantz menempelkan mesh sampai sepanjang septum rektovagina.11 Gambar 8 : Pemasangan mesh pada abdominal sakrokolpopeksi 14 3.2. Teknik Sakrokolpopeksi Sakrokolpopeksi adalah suatu prosedur operasi untuk mengembalikan posisi dari uterus dan puncak vagina ke posisi natural, dengan memasang mesh sintetis yang berfungsi sebagai penyangga pada puncak vagina dan sakrum.12 Teknik dari sakrokolpopeksi sudah banyak di deskripsikan dan di laporkan pada literatur, dengan angka kesuksesan berkisar 78-100%. Jika teknik ini dibandingkan dengan teknik fiksasi ligamentum sakrospinosum, maka pada sakrokolpopeksi didapatkan angka kekambuhan prolaps yang lebih rendah, dispareunia paska operasi yang lebih rendah, dan resiko operasi berulang yang lebih rendah juga. Tetapi membutuhkan waktu pengerjaan dan waktu pulih yang lebih lama, serta biaya yang lebih mahal. Oleh karena angka keberhasilan yang tinggi, maka prosedur ini merupakan gold standard untuk prolaps uteri maupun prolaps puncak vagina.13,14,15 Indikasi dari sakrokolpopeksi sangat bervariasi, tergantung dari daerah mana prosedur ini dikerjakan. Di Perancis maupun Negara eropa lainnya, sakrokolpopeksi dikerjakan untuk prolaps organ panggul secara umum., sedangkan di Amerika maupun di Inggris sakrokolpopeksi lebih ditujukan untuk prolaps puncak vagina.2 Gambar 9 : Abdominal sakrokolpopeksi menggunakan mesh sebagai penggantung puncak vagina pada sakral promontorium.15 15 Prosedur dari sakrokolpopeksi dimulai dengan membuat irisan pada dinding abdomen, dan membuka peritoneum diantara ureter kanan dan kolon sigmoid, sehingga menampilkan sakral promontorium. Kemudian periosteum dibersihkan dari jaringan ikat. Setelah itu dua atau tiga jahitan (2-0 Prolene) ditempatkan pada periosteum. Karena resiko perdarahan yang tinggi banyak dilaporkan pada daerah tersebut, maka pilihan lainnya adalah dengan menempatkan jahitan untuk menempelkan mesh pada sakral promontorium atau pada S1-S2. Teknik tersebut akan meminimalisir perdarahan.11 Setelah jahitan ditempatkan pada periosteum, kemudian puncak vagina diidentifikasi. Langkah selanjutnya adalah dengan memisahkan dinding vagina anterior dengan buli-buli. Mesh yang digunakan untuk menahan puncak vagina adalah mesh polypropylene sintetik. Mesh tersebut dibuat panjang pada bagian dinding vagina posterior dan lebih pendek pada bagian anterior. Biasanya dibuat tiga baris jahitan dari polypropylene 2-0 pada dinding vagina bagian posterior, dan dua baris jahitan pada dinding vagina anterior. Setelah vagina diikat dengan mesh, maka mesh di gantungkan pada sakral promontorium dengan tegangan minimal. Setelah puncak vagina digantung, maka prosedur tambahan lainnya dapat dikerjakan, seperti misalnya kolporafi posterior. Angka keberhasilan dari laparoskopi sakrokolpopeksi dapat mencapai 98%. Selain ileus dan komplikasi perdarahan, erosi yang disebabkan oleh mesh dapat terjadi pada beberapa pasien.15 Gambar 10 : Polypropylene mesh. 16 Gambar 11 : Ilustrasi Teknik Sakrokolpopeksi 17 3.3. Perkembangan Laparoskopi Dalam Bidang Uroginekologi Salah satu perkembangan terbesar dalam sejarah pembedahan adalah dengan perubahan dari pembedahan terbuka menuju kearah pembedahan invasif minimal dengan penggunaan laparoskopi. Penggunaan endoskopi dalam dunia kedokteran pertama kali diperkenalkan oleh Phillip Bozzini pada tahun 1805, dia mengunakan tabung dan lilin untuk melihat mukosa uretra. Dalam bidang kedokteran kandungan, Pataleoni menggunakan sistoskopi untuk mengidentifikasi polip uteri pada tahun 1869. Pada akhir tahun 1930an laparoskopi mulai digunakan untuk mendiagnosa kehamilan ektopik dan untuk melakukan sterilisasi tuba.9,16 Gambar 12 : Perkembangan laparoskopi Dalam bidang uroginekologi terdapat nama Marshall et al pada tahun 1946 dan Burch pada tahun 1961, mereka menunjukan bahwa pembedahan perabdominal menghasilkan angka keberhasilan yang lebih besar dan kekambuhan yang lebih sedikit untuk mengatasi permasalahan pada leher kandung kemih. Selain itu untuk mengatasi prolaps puncak vagina dapat dikerjakan melalui pendekatan pervaginam maupun perabdominal.17 Dalam suatu penelitian yang membandingkan antara sakrokolpopeksi perabdominal dengan fiksasi ligamentum sakrospinosus pervaginam, didapatkan bahwa angka kekambuhan lebih sedikit oleh sakrokolpopeksi, tetapi keuntungan 18 yang didapat pada fiksasi sakrospinosus adalah dengan tidak dibutuhkan laparotomi, yang mana dapat mengurangi rasa sakit atau ketidak nyamanan pasca operasi, dan waktu pemulihan yang lebih sedikit.17 Oleh karena itulah kemudian para ahli mengembangkan suatu teknik operasi perabdominal tetapi dengan penggunaan laparoskopi sehingga didapatkan hasil operasi yang maksimal, angka kekambuhan yang rendah, serta waktu pemulihan yang lebih cepat, dan rasa tidak nyaman pasca operasi yang lebih ringan. 3.4. Sakrokolpopeksi Dengan Laparoskopi Sakrokolpopeksi dengan bantuan laparoskopi adalah suatu pengembangan dari teknik abdominal sakrokolpopeksi yang klasik. Sakrokolpopeksi dengan laparoskopi mengkombinasikan keuntungan yang didapat dari keduanya, dengan menggunakan teknik yang mirip dengan abdominal sakrokolpopeksi tetap hanya dibutuhkan pemotongan dinding abdomen yang minimal, manipulasi usus yang minimal, dimana semua itu akan mengurangi nyeri pasca operasi, penyembuhan yang lebih cepat dan mengurangi insiden terjadinya ileus dari usus. Visualisasi yang baik dan kemampuan bekerja yang relatif lebih dalam pada pelvis adalah keuntungan lain yang didapatkan dari laparoskopi, sehingga memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk memodifikasi prosedur pembedahan, salah satunya adalah dengan menempatkan mesh yang lebih rendah pada posterior dinding vagina yang mana akan meningkatkan efektifitas. Dalam suatu penelitian yang dipubikasikan oleh EJOGRB (European journal of Obstetrics & Gynecology and reproductive Biology), penelitian ini dikerjakan di Perancis, mereka mengevaluasi hasil keluaran dari anatomi dan fungsi setelah satu tahun atau lebih paska operasi sakrokolpopeksi dengan laparoskopi. Dari 119 pasien yang mereka teliti dalam kurun waktu lima tahun, mereka dapatkan angka kesuksesan dari laparoskopi sakrokolpopeksi dilaporkan mencapai 90-96%, kemudian kualitas hidup dan seksual pasien juga meningkat.2,3,13,14 19 Persiapan usus (bowel prep) selama 48 jam biasa dikerjakan pada pasien yang akan menjalani prosedur laparoskopi. Hal tersebut berguna untuk dekompresi dari usus agar visualisasi lebih baik dan selain itu juga untuk meminimalisir resiko infeksi jika terjadi perlukaan usus. Dua hari sebelum pembedahan pasien mendapatkan diet cair, kemudian sehari sebelum pembedahan pasien hanya diperbolehkan mengkonsumsi air putih, dan beberapa jam sebelum prosedur, dilakukan enema untuk membersihkan usus.18 3.4.1. Teknik Operasi Ketika pasien sudah dianestesi, pasien kemudian diposisikan pada posisi litotomi. Kemudian dilakukan pemasangan kateter. Pneumoperitoneum dibuat dengan memasukan jarum veress. Trokar 10 mm dimasukan dibawah pusat, sebagai tempat laparoskop, dan dua trokar pada pinggir kiri dan kanan. Dua lubang pada kiri dan kanan adalah sebagai tempat instrument. Kemudian peritoneum yang menutupi vagina dibuka dengan menggunakan gunting diatermi, buli-buli dipisahkan dengan dinding vagina anterior, dan rektum dipisahkan dengan dinding vagina posterior. Pemisahan akan lebih mudah jika asisten mengangkat puncak vagina dengan bantuan dilator vagina. Perdarahan dapat diatasi dengan elektrokauterisasi bipolar. Mesh polypropylene dibuat/ digunting menjadi bentuk Y, dengan ukuran ± 12x4 cm, pada bagian daun posterior dibuat lebih panjang dari pada anterior, sehinggan mesh dapat dilekatkan lebih dalam pada celah rektovagina. Mesh prolene kemudian dimasukkan melalui salah satu lubang pada dinding abdomen. Setelah itu mesh dijahitkan pada puncak vagina anterior dan posterior dengan menggunakan PDS 0.17,18,19 Sakral promontorium diidentifikasi dan peritoneum yang menyelubunginya dipotong vertikal menggunakan gunting diatermi. Jaringan retroperitoneal dipisahkan dari periosteum pada promontorium. Pada daerah tersebut kita harus mengidentifikasi dengan hati-hati dan menghindari rektum, arteri iliaka interna, ureter, serta pembuluh darah yang melalui sakral promontorium. Kemudian ujung proksimal dari mesh tersebut dijahitkan pada 20 sakrum tepatnya S1-S2. Kadang untuk mempersingkat waktu pembedahan, beberapa ahli bedah menggunakan stapler untuk melekatkan mesh pada sakrum promontorium.17,18,19 Setelah selesai, peritoneum kemudian ditutup dengan jahitan kontinyu. Hal yang paling penting dalam retroperitonealisasi adalah bukan untuk menutup semua bagian dari mesh, tetapi untuk menutup celah antara mesh dan dinding pelvis, karena pada daerah itu jika tidak ditutup usus dapat terjebak/ terjepit, sehingga dapat menimbulkan obstruksi dan iskemi. Setelah prosedur laparoskopi selesai, akan lebih baik jika dikerjakan sistoskopi, untuk meyakinkan patensi dari ureter dan untuk meyakinkan tidak adanya jahitan yang menembus buli-buli maupun cidera buli-buli.17,18,19 Gambar 13 : Membuka peritoneum Gambar 14 : Buli-buli dan rektum dipisahkan dari dinding vagina Gambar 15 :Mesh dijahitkan pada Gambar 16 :Mesh dijahitkan pada dinding anterior vagina dinding posterior vagina 21 Gambar 17 : Mesh dijahitkan pada sakrum Gambar 18 : Peritoneum ditutup Gambar 19 : Gambaran cul de sac beberapa bulan setelah prosedur Sakrokolpopeksi dengan laparoskopi.20 Dengan teknik tersebut diatas yang telah diadaptasi secara luas, didapatkan bahwa teknik tersebut aman dan efektif. Rata-rata waktu operasi yang dibutuhkan adalah 123 menit (termasuk pemberian anestesi), yang mana dibutuhkan waktu yang lebih panjang dari pada pembedahan terbuka. Pemulihan pasca operasi yang lebih cepat, dimana pasien dapat pulang kerumah setelah 72 jam (rentang waku 1-3 hari). Dari beberapa penelitian, pada saat pasien kontrol kembali ke klinik, dimana pasien ditanyakan mengenai dispareunia, didapatkan hasil yang memuaskan dimana setelah 6 bulan keatas pasien dapat kembali aktif secara seksual dan tidak didapatkan dispareunia.17,21 Seperti pada komplikasi laparoskopi pada umumnya, komplikasi yang sering terjadi pada sakrokolpopeksi dengan laparoskopi adalah infeksi, hematoma, 22 perdarahan, perlukaan pembuluh darah, ureter, buli-buli, maupun usus. Komplikasi lainnya adalah erosi yang disebabkan oleh mesh, insidennya berkisar antara 0-9%. Tidak ada cukup informasi untuk mengkalkulasikan waktu rata-rata sampai terjadinya erosi, tetapi dari insiden yang terjadi biasanya berkisar antara 3 sampai 36 bulan.2,22 Penggunaan mesh yang ideal untuk sakrokolpopeksi adalah harus kuat sepanjang waktu, murah, mudah untuk digunakan, tidak menimbulkan erosi, infeksi, karsinogen, atau inflamasi. Karena bahan yang dengan semua keuntungan yang disebutkan diatas tidak tersedia, maka ahli bedah harus menyeimbangkan antara kekuatan, efek samping yang ditimbulkan, serta kemudahan untuk menggunakan bahan yang tersedia. Selama ini pada berbagai penelitian mengenai prosedur sakroklopopeksi sebagian besar menggunakan mesh sintetik. Sintetik mesh yang diproduksi oleh para produsen masing-masing berbeda dalam ukuran pori-pori, struktur filament, antiseptic, kekakuan.22 Pengetahuan anatomi yang baik dari dasar panggul maupun keterampilan dalam tindakan laparoskopi dan penjahitan sangat diperlukan untuk mengurangi angka kejadian komplikasi. Gambar 20 : Sakrokolpopeksi dengan laparoskopi.3 23 BAB IV RINGKASAN Prolaps organ panggul merupakan salah satu permasalahan yang cukup sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dimana pasien biasanya datang dengan keluhan penuh pada liang vagina, rasa tidak nyaman, gangguan berkemih, gangguan defekasi, ataupun dispareunia. Untuk mendiagnosa dan menentukan derajat prolaps, ICS (international Continence Society) telah menstandarisasi pengukuran yang dinamakan POP-Q (pelvic Organ Prolapsed Quantification). Tujuan penatalaksanaan dari prolaps organ panggul adalah untuk menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi, memperbaiki anatomi, atau bahkan untuk kepentingan kosmetik. Terapi untuk prolaps organ panggul dapat dengan terapi konservatif (non bedah) maupun dengan terapi pembedahan. Pemilihan terapi bergantung kepada jenis, beratnya gejala, umur, keadaan umum penderita, kebutuhan fungsi seksual, fertilitas, maupun faktor resiko kekambuhan. Pada pasien dengan kontraindikasi untuk menjalani pembedahan, pemasangan pesarium dapat mengurangi gejala tanpa resiko pembedahan. Untuk teknik pembedahan, saat ini prolaps organ panggul dapat diterapi dengan berbagai teknik, dengan atau tanpa material sintetis, dengan laparotomi, laparoskopi, maupun pembedahan pervaginam. Pada pembedahan pervaginam, histerektomi adalah tindakan yang paling sering dilakukan, selain itu juga dapat dilakukan fiksasi dari puncak vagina ke ligamentum sakrospinosum. Pada laparotomi dapat dilakukan histerektomi total, histerektomi subtotal, atau dengan mempertahankan uterus, dimana dapat digunakan material sintetik untuk menggantung cervix, uterus, ataupun vagina ke sakrum, yang dikenal dengan teknik abdominal sakrokolpopeksi, dimana teknik tersebut pada saat ini telah menjadi gold standard untuk penanganan prolaps uteri maupun prolaps puncak vagina, karena tingkat keberhasilan yang tinggi dan angka kekambuhan yang rendah. 24 Seiring dengan berkembangnya teknologi dalam bidang kedokteran khususnya pada bidang uroginekologi, para ahli mengembangkan suatu teknik operasi perabdominal tetapi dengan penggunaan laparoskopi, sehingga didapatkan hasil operasi yang maksimal, angka kekambuhan yang rendah, serta waktu pemulihan yang cepat dan rasa ketidak nyamanan pasca operasi yang lebih ringan. Seperti pada komplikasi laparoskopi pada umumnya, komplikasi yang sering terjadi pada sakrokolpopeksi dengan laparoskopi adalah infeksi, hematoma, perdarahan, perlukaan pembuluh darah, ureter, buli-buli, maupun usus. Komplikasi pasca operasi yang cukup sering dijumpai adalah erosi yang disebabkan oleh mesh, insidennya berkisar antara 0-9%. Pengetahuan anatomi yang baik dari dasar panggul maupun keterampilan dalam tindakan laparoskopi dan penjahitan sangat diperlukan untuk mengurangi angka kejadian komplikasi. 25 DAFTAR PUSTAKA 1. Junizaf, Prof dr. SpOG-K. Buku Ajar Uroginekologi Indonesia. Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, 2002:29-37. 2. Ganatra AM, Rozet F, Salas RS, et.al, The Current Status of Laparoscopy Sacrocolpopexy: A Review. European Urology 2009:1089-1105. 3. Sergenet F, Resch B, Loisel C, et.al, Mid-term outcome of laparoscopic sacrocolpopexy with anterior and posterior polyester mesh for treatment of genitor-urinary prolapsed. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 2011:217-222. 4. Perros P. The Female Pelvic Floor. Function dysfunction & management according to the integral theory 2nd edition. Germany: Springer Medizin Verlag Heidelberg, 2007. 5. Tegerstedt G. Clinical and epidemiological aspects of pelvic floor dysfunction. Department of Obstetrics and Gynaecology, Stockholm Soder Hospital Department of Medical Epidemiology and Biostatistics, Karolinska Institutet, 2004. 6. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, et.al, Pelvic Organ Prolapse. Williams Gynecology; McGraw Hill Medical 2008 Chapter 24. 7. Gomel V, Herendael B, Vaginal Vault Prolapse : Sacrofixation. Female Genital Prolapse and Urinary Incontinence; Informa Healthcare 2008 Chapter 12. 8. Berek JS, Pelvic Organ Prolapse. Berek & Novak’s Gynecology 14th Edition; Lippincott Williams & Wilkins 2007 Chapter 24. 9. Rock JA, Howard WJ, Surgery for correction of defects in pelvic support and pelvic fistulas. Telinde’s Operative Gynecology 10th Edition; Lippincott Williams & Wilkins 2008 Section VII. 26 10. Katz VL, Lentz GM, Lobo RA, Gerhenson DM, Disorder of Pelvic Support. Comprehensive Gynecology 5th Edition; Mosby Elsevier 2007 Chapter 20. 11. Nygaard IE, McCreery R, Brubaker L, et.al, Abdominal Sacrocolpopexy: A Comprehensive Review. American College of Obstetrics and Gynecologists 2004:805-823. 12. Laparoscopic and Abdominal Sacrocolpopexy, Your questions answered: Brimingham Women’s Health Care. http://www.philiptoozshobson.co.uk/sacrocolpopexy.pdf. 13. Price N, Jackson SR, Advance in laparoscopic techinques in pelvic reconstructive surgery for prolapse and incontinence. Maturitas 2009:276280. 14. Claerhout F, De Ridder D, Roovers JP, et.al, Medium-Term Anatomic and Functional Results of Laparoscopic Sacrocolpopexy Beyond the Learning Curve. European Association of Urology 2008:1459-1468. 15. Ghoniem G, Davila W, Management Of genital Prolapse. Practical Guide to Female Pelvic Medicine; Taylor & Francis 2006 Chapter 13. 16. Page BJ, Ocampo J, Nutis M, Luciano AA, History of modern operative laparoscopy. Nezhat’s Operative Gyneccologic Laparoscopy and Hysteroscopy 3rd Edition; Cambridge University Press p1-8. 17. Donovan PJ, Downes EG, Laparoscopy in Urogynaecology. Advances in Gynaecological Surgery; Greenwich Medical Media Ltd Chapter 2. 18. Margossian H, Walters MD, Falcone T, Laparoscopic management of pelvic organ prolapsed. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 1999:57-62. 19. Pasic RP, Levine RL, Laparoscopic sacralcolpopexy and entericele repair with mesh. Practical Manual of Laparoscopy and Minimal Invasive Gynecology; Informa healthcare 2007 chapter 25. 20. Dwyer PL, Laparoscopy in Urogynecology. Atlas of Urogynecological Endoscopy; Informa healthcare 2007 chapter 12. 27 21. Akladios CY, Dautun D, Saussine C, et.al, Laparoscopic sacrocolpopexy for female genital organ prolapse: establishment of a learning curve. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 2009:218-221. 22. Begley JS, Kupferman SP, Kuznetsov DD, et.al, Incidence and management of abdominal sacrocolpopexy mesh erosions. American Journal of Obstetrics and Gynecology 2005:1956-62. 28