Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Model

advertisement
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Kajian Teori
2.1.1. Pengertian Matematika.
Matematika sendiri berasal dari bahasa latin „manhenern‟ atau „mathema‟ yang
berarti belajar atau hal yang harus dipelajari, sedangkan dalam bahasa Belanda
disebut ‘wiskunde’ atau ilmu pasti yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran.
Jadi matematika itu memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik,
penalaran yang jelas dan sistematis, terstruktur yang berkaitan antara konsep
yang kuat (Diknas, 2005: 215).
Secara etimologi kata matematika berasal dari istilah mathematics, berasal dari
kata lain mathematica diambil dari bahasa Yunani “mathematika“ artinya
pengetahuan, kata kerja manthanei artinya belajar. Jadi secara luas matimatika
adalah ilmu cara mempelajari ilmu pengetahuan, Matematika tidak hanya
berhubungan dengan bilangan serta operasi. Melainkan juga aturan yang
menerapkan langkah–langkah operasinya. Lebih dari itu matematika juga
berkenaan dengan ide–ide atau konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan
penalarannya secara deduktif, sehingga matematika juga merupakan ilmu yang
bersifat abstarak yang mempelajari ruang dan bilangan yang keduanya
berhubungan secara teratur. “Matematika berkenaan dengan ide–ide (gagasangagasan) struktur dan hubungan–hubunganya yang diatur secara logika sehingga
matematika itu berkaitan dengan konsep–konsep abtrak. Suatu kebenaran
matematika dikembangkan berdasarkan atas logika dengan pembuktian deduktif.
Selanjutnya Hudojo, mengemukakan bahwa matematika memiliki dua cara penting,
yaitu obyek kajian yang abstrak dan berpola deduktif yang konsisten.
2.1.2. Pengertian Belajar
Meningkatkan prestasi siswa sangat tergantung bagaimana proses belajar yang
dilakukan oleh siswa yang sedang belajar itu sendiri. Pentingnya proses belajar ini
maka banyak ahli psikologi pendidikan yang telah mencurahkan perhatian
6
terhadap masalah belajar. Ini terlihat dengan banyaknya definisi belajar yang
berbeda–beda.
Kimble dalam Simanjuntak (1993: 222) menjelaskan belajar adalah perubahan
yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari
latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan–perubahan karena
kematangan, kelelahan atau kerusakan pada susunan syaraf atau dengan kata
lain bahwa mengetahui dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan dalam
diri seseorang yang belajar.
Adapun dalam Sudjana (1991: 5) belajar adalah perubahan yang relatif permanen
dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek dan latihan.
Hal ini seperti dikemukakan dalam Djamarah (2002: 11) bahwa belajar adalah
proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan artinya tujuan kegiatan
adalah perubahan tingkah laku. Sedangkan menurut Slameto (2003: 2)
mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai
hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses
perubahan tingkah laku yang dilakukan secara sadar, bersifat permanen sebagai
hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Jadi hasil dari
belajar adalah adanya perubahan tingkah laku.
2.1.3. Proses Belajar Mengajar Matematika.
Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal, tetapi memiliki makna
yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku karena hasil
dari pengalaman yang diperoleh sedangkan mengajar adalah kegiatan
menyediakan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa
untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat
membawa perubahan tingkah laku.
Sejalan dengan itu Sudjana dalam Djamarah (2002 : 45) mengemukakan bahwa
mengajar pada hakekatnya adalah suatu proses yaitu proses mengatur,
mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak didik sehingga dapat
7
menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan bimbingan atau bantuan
kepada anak didik dalam melakukan proses belajar mengajar.
Nasution dalam Syah (2002: 182) mengemukakan bahwa mengajar pada
hakekatnya adalah suatu proses yakni proses mengatur, mengorganisasikan
lingkungannya sebaik–baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga
terjadi proses belajar.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
proses belajar mengajar matematika merupakan suatu proses belajar yang
dilakukan dengan sadar dan terarah dimana individu belajar matematika dengan
tujuan untuk melatih cara berfikir dan bernalar serta melatih kemampuan
memecahkan masalah.
2.1.4. Hasil Belajar Matematika.
Istilah “prestasi” dalam kamus Bahasa Indonesia berarti “hasil yang dicapai”. Jadi
prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan
usaha belajar.
Prestasi belajar matematika merupakan salah satu ukuran mengenai tingkat
keberhasilan siswa setelah mengalami belajar. Proses belajar yang dilakukan oleh
siswa akan menghasilkan suatu perubahan atau pemahaman dalam bidang
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Adanya perubahan tersebut tampak
dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa.
Menurut Djamarah (1997: 119) prestasi adalah tingkat keberhasilan dimana
seluruh bahan pelajaran yang diberikan dapat dikuasai oleh siswa atau minimal
bahan pelajaran diajarkan 60 % telah dikuasai siswa. Prestasi belajar siswa
setelah melakukan kegiatan belajar dalam waktu tertentu.
Menurut Simanjuntak (1993: 229) bahwa salah satu faktor pendukung berhasil
tidaknya pengajaran matematika adalah menguasai teori belajar mengajar
matematika. Teori belajar mengajar matematika yang dikuasai para tenaga
pendidik akan dapat diterapkan pada peserta didik jika dapat memilih strategi
mengajar yang tepat, mengetahui tujuan pendidikan dan pengajaran atau
pendekatan serta dapat melihat apakah anak atau peserta didik sudah mempunyai
kesiapan atau kemampuan belajar.
8
Dengan tercapainya tujuan pembelajaran maka dapat dikatakan bahwa guru telah
berhasil dalam mengajar. Keberhasilan belajar mengajar tentu saja diketahui
setelah diadakan evaluasi dan seperangkat item soal sesuai dengan rumusan
beberapa indikator hasil belajar. Jadi prestasi belajar matematika merupakan hasil
belajar siswa dalam suatu proses pembelajaran dengan waktu tertentu. Setiap
proses belajar mengajar, keberhasilannya diukur dari sejauh mana hasil belajar
yang dicapai siswa, disamping itu diukur juga dari segi prosesnya.
2.1.5. Model Pembelajaran Problem posing
Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, yang mempunyai
beberapa padanan dalam bahasa Indonesia. Suryanto (1998:1) dan As‟ari (2000:4)
memadankan istilah problem posing dengan pembentukan soal. Sedangkan
Sutiarso (1999:16) menggunakan istilah membuat soal, Siswono (1999:7)
menggunakan istilah pengajuan soal, dan Suharta (2000:4) menggunakan istilah
pengkonstruksian masalah.
Problem posing memiliki beberapa pengertian, yaitu : Problem posing ialah
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan
beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka
memecahkan soal yang rumit. Problem posing ialah perumusan soal yang
berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka
mencari alternatif pemecahan lain (Silver & Cai, 1996:294). Problem posing ialah
perumusan soal dari informasi atau situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum,
ketika, atau setelah penyelesaian suatu soal (Silver & Cai, 1996:523).
Menurut Brown dan Walter (1993:15) informasi atau situasi problem posing dapat
berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga,
soal, atau selesaian dari suatu soal. Selanjutnya Suryanto (1998:3) menyatakan
bahwa soal dapat dibentuk melalui soal-soal yang ada dalam buku. Stoyanova
(1996) mengklasifikasikan informasi atau situasi problem posing menjadi situasi
problem posing yang bebas, semiterstuktur, dan terstruktur. Pada situasi problem
posing yang bebas, siswa tidak diberikan suatu informasi yang harus ia patuhi,
tetapi siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai
dengan apa yang ia kehendaki. Siswa dapat menggunakan fenomena dalam
9
kehidupan sehari-hari sebagai acuan dalam pembentukan soal. Sedangkan dalam
situasi problem posing yang semi terstruktur, siswa diberi situasi atau informasi
yang terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mencari atau menyelidiki situasi atau
informasi tersebut dengan cara menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.
Selain itu, siswa harus mengaitkan informasi itu dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip matematika yang diketahuinya untuk membentuk soal. Pada situasi
problem posing yang terstuktur, informasi atau situasinya berupa soal atau
selesaian dari suatu soal (Yuhasriati, 2002:12).
Pada penelitian ini, problem posing yang digunakan adalah perumusan soal yang
sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan
agar menjadi lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka menyelesaikan
soal cerita operasi hitung campuran. Penelitian ini menggunakan informasi
problem posing yang terstruktur, yaitu informasi berupa soal yang perlu
diselesaikan oleh siswa. Berdasarkan soal cerita yang diberikan, siswa menyusun
informasi dan kemudian membuat soal berdasarkan informasi yang telah disusun.
Selanjutnya, soal-soal tersebut diselesaikan dalam rangka mencari selesaian
sebenarnya dari pertanyaan soal cerita yang diberikan.
Respon siswa yang diharapkan dari situasi atau informasi problem posing adalah
respon berupa soal buatan siswa. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan
siswa membuat yang lain, misalnya siswa hanya membuat pernyataan. Silver dan
Cai (1996:526) mengklasifikasikan respon tersebut menurut jenisnya menjadi tiga
kelompok, yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non matematika, dan
pernyataan.
Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang memuat masalah matematika
dan mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan. Pertanyaan matematika
ini, selanjutnya diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu pertanyaan
matematika yang dapat diselesaikan dan pertanyaan matematika yang tidak dapat
diselesaikan. Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan adalah pertanyaan
yang memuat informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan, atau
jika pertanyaan tersebut memiliki tujuan yang tidak sesuai dengan informasi yang
ada. Selanjutnya pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan juga dibedakan
10
atas dua hal, yaitu pertanyaan yang memuat informasi baru dan pertanyaan yang
tidak memuat informasi baru.
Pertanyaan non matematika adalah pertanyaan yang tidak memuat masalah
matematika dan tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan.
Sedangkan pernyataan adalah kalimat yang bersifat ungkapan atau berita yang
tidak memuat pertanyaan, tetapi sekedar ungkapan yang bernilai benar atau salah.
Respon yang dihasilkan siswa mungkin lebih dari satu pertanyaan matematika.
Antara pertanyaan yang satu dengan pertanyaan lainnya dapat dilihat hubungan
yang terjadi. Menurut Silver dan Cai (1996:302) ada dua jenis hubungan antara
respon-respon tersebut, yaitu hubungan simetrik dan berantai. Respon yang
mempunyai hubungan simetrik disebut respon simetrik yaitu serangkaian respon
yang objek-objeknya mempunyai hubungan. Sedangkan respon yang mempunyai
hubungan berantai disebut respon berantai. Pada respon berantai, untuk
menyelesiakan respon berikutnya diperlukan penyelesaian respon sebelumnya.
Sehubungan itu, Kilpatrik (dalam Siver & Cai, 1996:354) menyatakan bahwa salah
satu dasar kosep koginitif yang terlibat dalam pengajuan soal adalah assosiasi,
yaitu kecendrungan siswa menggunakan respon pertama sebagai pijakan untuk
mengajukan soal kedua, ketiga, dan seterusnya.
Berdasarkan tingkat kesukarannya, Silver dan Cai (1996:526), mengklasifikasikan
respon siswa menjadi dua kelompok, yaitu: Tingkat kesukaran respon terkait
dengan stuktur bahasa (sintaksis), dan tingkat kesukaran respon terkait dengan
stuktur matematika (semantik). Tingkat kesukaran respon yang berkaitan dengan
sintaksis dapat dilihat dari proposisi yang dikandungnya. Proposisi yang digunakan
dibedakan menjadi tiga, yaitu proposisi penugasan, proposisi hubungan, dan
proposisi pengandaian.
Proposisi penugasan adalah pertanyaan (soal) yang memuat tugas untuk
dikerjakan. Proposisi hubungan adalah pertanyaan yang memuat tugas untuk
membandingkan. Sedangkan proposisi pengandaian adalah pertanyaan yang
menggunakan informasi tambahan. Tingkat kesukaran respon berkaitan dengan
stuktur semantik, dapat diketahui dari hubungan semantiknya.
11
Menurut Marshall (dalam Silver & Cai, 1996:528) hubungan semantik respon
siswa
dapat
dikelompokkan
menjadi
lima
kategori,
yaitu
mengubah,
mengelompokkan, membandingkan, menyatakan kembali, dan memvariasikan.
2.1.6. Model Pembelajaran Problem posing dalam Pembelajaran Matematika
Problem posing adalah pembelajaran yang menekankan pada pengajuan soal
oleh siswa. Oleh karena itu, problem posing dapat menjadi salah satu alternatif
untuk mengembangkan berpikir matematis atau pola pikir matematis.
Menurut Brown dan Walter dalam Kadir (2006:7), pada tahun 1989 untuk pertama
kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of
Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for redirection of mathematics education (reformasi pendidikan matematika).
Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal
serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran
matematika. Problem posing berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri dari kata
problem dan pose. Problem diartikan sebagai soal, masalah atau persoalan, dan
pose yang diartikan sebagai mengajukan (Echols dan Shadily, 1990:439 dan 448).
Beberapa peneliti menggunakan istilah lain sebagai padanan kata problem posing
dalam penelitiannya seperti pembentukan soal, pembuatan soal, dan pengajuan
soal (Yansen, 2005:9)
Suryanto (1998:3) juga mengemukakan bahwa merumuskan soal merupakan
salah satu dari tujuh kriteria berpikir atau pola berpikir matematis.
Dewasa ini, problem posing merupakan kegiatan penting dalam pembelajaran
matematika. Silver dan Cai (1996:293) juga menyarankan agar pembelajaran
matematika lebih ditekankan pada kegiatan problem posing. Menurut Cars (dalam
Suryanto, 1998:9) untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan dapat
dilakukan dengan cara membiasakan siswa mengajukan soal. Sejalan dengan itu,
Suparno (1997:83) menyatakan bahwa mengungkapkan pertanyaan merupakan
salah satu kegiatan yang dapat menantang siswa untuk lebih berpikir dan
membangun pengetahuan mereka.
Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics
merumuskan secara eksplisit bahwa siswa harus mempunyai pengalaman
12
mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh
The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang
penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Siswa perlu
diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan
menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari
masalah-masalah yang diketahui tersebut.
Problem posing atau pembentukan soal adalah salah satu cara yang efektif untuk
mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa
dalam menerapkan konsep matematika. Tim Penelitian Tindakan Matematika
(PTM) (2002: 2) mengatakan bahwa:
1. Adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan kemampuan
membentuk masalah.
2. Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan
kreatifitas siswa dalam memecahkan suatu masalah.
Adapun masalah dalam matematika diklasifikasikan dalam dua jenis antara lain:
1. Soal mencari (problem to find) yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan
nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi
kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau
dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (condition) dan data atau
informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah
soal mencari dan harus dipenuhi serta dikenali dengan baik pada saat
memecahkan masalah.
2. Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan
apakah suatu pernyataan benar atau salah. Soal membuktikan terdiri atas
bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat
atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan
(Depdiknas, 2005: 219). Menurut Killpatrich (dalam Silver dan Cai, 1996:530)
salah satu dasar kognitif yang ada dalam problem posing adalah asosiasi.
Selanjutnya, menurut As‟ari (2000:9) dalam kegiatan problem posing, ketika
terjadi proses asosiasi antara informasi baru dengan struktur kognitif yang
13
dimiliki seseorang, maka proses selanjutnya yang terjadi adalah proses
asimilasi dan akomodasi.
Di samping itu, Brown dan Walter (1996:15) yang menyatakan pembuatan
soal dalam pembelajaran matematika melalui dua tahap kegiatan kognitif,
yaitu accepting (menerima) dan challenging (menantang). Menerima terjadi
ketika siswa membaca situasi atau informasi yang diberika guru dan
menantang terjadi ketika siswa berusaha untuk mengajukan soal berdasarkan
situasi atau informasi yang diberikan. Sehubungan dengan hal tersebut,
As‟ari (2000:9) menegaskan bahwa proses kognitif menerima memungkinkan
siswa untuk menempatkan suatu informasi pada suatu jaringan struktur
kognitif sehingga struktur kognitif tersebut makin kaya, sementara proses
kognitif menantang memungkinkan jaringan stuktur kognitif yang ada menjadi
semakin kuat hubungannya. Dengan demikian pembelajaran matematika
dengan pendekatan problem posing akan menambah kemampuan dan
penguatan konsep dan prinsip matematika siswa.
Silver dkk dalam Surtini (2004: 48) mengemukakan bahwa sebenarnya sudah
sejak lama para tokoh pendidikan matematika menunjukkan pembentukan
soal merupakan bagian penting dalam pengalaman matematis siswa dan
menyarankan agar dalam pembelajaran matematika ditekankan kegiatan
pembentukan soal. Begitupun yang ditekankan English bahwa pembentukan
soal merupakan inti kegiatan matematis dan merupakan komponen penting
dalam kurikulum matematika.
Hasil penelitian Silver dan Cai dalam Surtini (2004: 49) menunjukkan bahwa
kemampuan pembentukan soal berkorelasi positif dengan kemampuan
memecahkan masalah. Serta pengablikasiannya dalam 3 bentuk aktivitas
kognitif matematika yakni sebagai berikut: (a). Pre solution posing yaitu jika
seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan. Jadi guru
diharapkan mampu membuat pertanyaan yang berkaitan dengan pernyataan
yang dibuat sebelumnya,(b). Within solution posing yaitu jika seorang siswa
mampu merumuskan ulang pertanyaan soal tersebut menjadi sub-sub
pertanyaan baru yang urutan penyelesaiannya seperti yang telah
14
diselesaikan sebelumnya. jadi, diharapkan siswa mampu membuat sub-sub
pertanyaaan baru dari sebuah pertanyaan yang ada pada soal yang
bersangkutan, (c). Post solution posing yaitu jika seorang siswa memodifikasi
tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang
baru yang sejenis.
Dengan demikian kemampuan pembentukan soal sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika di sekolah sebagai usaha meningkatkan hasil
pembelajaran matematika dan dapat meningkatkan kemampuan siswa. Dari
sini kita peroleh bahwa pembentukan soal penting dalam pelajaran
matematika guna meningkatkan hasil belajar matematika siswa dengan
membuat siswa aktif dan kreatif.
Pendidikan matematika dengan pendekatan problem posing merupakan
pendekatan yang efektif karena kegiatan problem posing sesuai dengan pola
pikir matematika yang artinya:
a. Pengembangan matematika sering terjadi dari problem posing
b. Problem posing merupakan salah satu tahap dalam berpikir matematis.
Adapun langkah–langkah pembelajaran dalam metode pengajuan soal
sebagai berikut :
a.
Pendahuluan
Pada tahap kegiatan yang dilakukan adalah memotivasi siswa,
menjelaskan tujuan pemelajaran dan mengingatkan kembali tentang
materi yang relevan. Selain itu juga dapat mengerjakan tugas atau
pekerjaan rumah yang diberikan sebelunnya.
b.
Tahap pengembangan
Tahap ini merupakan tahap inti kegiatan pembelajaran. Guru menyajikan
konsep dan prinsip serta contoh-contoh kepada siswa. Kemudian siswa
diarahkan bagaimana membuat soal dan menyelesaikannya yang sesuai
dengan contoh – contoh yang diberikan sebelumnya.
c.
Tahap penerapan
15
Tahap ini siswa diminta untuk menerapkan materi yang telah dipelajari
pada materi yang lebih luas. Bentuk kegiatannya seperti mengerjakan
soal – soal latihan atau membuat tugas – tugas tertentu.
d.
Penutup
Guru bersama siswa membuat rangkuman pengajaran. Rangkuman
disusun berdasarkan aspek–aspek penting dari materi yang telah
dipelajari.
2.2.
Kajian Hasil – Hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat penelitian yang pernah dilakukan dan relevan dengan penelitian ini,
diantaranya :
1. Bharata ( 2002 ) pada siswa kelas V SDN Labuan Ratu, Bandar Lampung.
Dengan judul “ Pembelajaran Problem posing Dibandingkan Dengan
Pembelajaran Biasa Terhadap Hasil Belajar Aritmatika “ menunjukan bahwa
siswa yang menggunakan pendekatan problem posing mencapai ketuntasan
ebih dari 75% dari skor ideal tes, dan memberikan pengaruh baik
dibandingkan dengan proses pembelajaran biasa terhadap hasil belajara
aritmatika SD.
2. Hamzah ( 2003 ) dalam penelitianya terhadap siswa SMP di Bandung
mengenaii pembelajaran dengan model problem posing, dengan judul
“ Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Di
Bandung Melalui Pendekatan Pengajuan Masalah “memberikan kesimpulan
bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan
pembelajaran problem posing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran secara konvesional.
2.3.
Kerangka Pikir
Matematika merupakan mata pelajaran yang banyak dijumpai dalam kehidupan
sehari- hari. Keterampilan berhitung tidak dimiliki dengan sendirinya dan
memerlukan waktu yang tidak sebenta runtuk memperolehnya. Keterampilan
menuntut latihan yang cukup dan teratur. Semakin sering seorang berlatih
berhitung, maka akan semakin menguasai keterampilan tersebut. Keterampilan
menyelasikan soal- soal matematika dapat dimiliki dengan baik apabila
16
pembelajaran berhitung yang diberikan lebih intensif dan berlangsung secara terus
menerus.
Sebagai upaya untuk meningkatkan penguasan teori matematika siswa, guru perlu
mengedepankan proses belajar mengajar dengan menerapkan media dan strategi
pembelajaran yang dapat menarik minat dan motivasi siswa. Guru harus mampu
menciptakan situasi belajar mengajar yang menjadikan siswa aktif dalam
pembelajaran serta produktif dalam menulis. Penelitian akan model pembelajaran
problem posing untuk mengaktifkan siswa dalam pembelajaran sekaligus
menciptakan suasana baru yang lebih kondusif.
KONDISI
AWAL
PEMBELAJARAN
KONVENSIONAL
Prosentase
Ketuntasan
< 50 %
SKLUS I
Prosentase
Ketuntasan
> 50 %
TINDAKAN
PROBLEM
POSSING
SIKLUS II
Prosentase
Ketuntasan
> 80 %
KONDISI
AKHIR
PROSENTASE
KETUNTASAN
DIHARAPKAN
80%
Gambar 2.3
Bagan Kerangka Berpikir
17
2.4.
Hipotesis Tindakan
Dalam skripsi ini, hipotesis yang peneliti ajukan yaitu model pembelajaran problem
posing dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SDN Sambong 01
Kecamatan Batang Kabupaten Batang Semester 1 Tahun Pelajaran 2013/ 2014.
Download