5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Matematika. Matematika sendiri berasal dari bahasa latin „manhenern‟ atau „mathema‟ yang berarti belajar atau hal yang harus dipelajari, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut ‘wiskunde’ atau ilmu pasti yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Jadi matematika itu memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematis, terstruktur yang berkaitan antara konsep yang kuat (Diknas, 2005: 215). Secara etimologi kata matematika berasal dari istilah mathematics, berasal dari kata lain mathematica diambil dari bahasa Yunani “mathematika“ artinya pengetahuan, kata kerja manthanei artinya belajar. Jadi secara luas matimatika adalah ilmu cara mempelajari ilmu pengetahuan, Matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan serta operasi. Melainkan juga aturan yang menerapkan langkah–langkah operasinya. Lebih dari itu matematika juga berkenaan dengan ide–ide atau konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya secara deduktif, sehingga matematika juga merupakan ilmu yang bersifat abstarak yang mempelajari ruang dan bilangan yang keduanya berhubungan secara teratur. “Matematika berkenaan dengan ide–ide (gagasangagasan) struktur dan hubungan–hubunganya yang diatur secara logika sehingga matematika itu berkaitan dengan konsep–konsep abtrak. Suatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan atas logika dengan pembuktian deduktif. Selanjutnya Hudojo, mengemukakan bahwa matematika memiliki dua cara penting, yaitu obyek kajian yang abstrak dan berpola deduktif yang konsisten. 2.1.2. Pengertian Belajar Meningkatkan prestasi siswa sangat tergantung bagaimana proses belajar yang dilakukan oleh siswa yang sedang belajar itu sendiri. Pentingnya proses belajar ini maka banyak ahli psikologi pendidikan yang telah mencurahkan perhatian 6 terhadap masalah belajar. Ini terlihat dengan banyaknya definisi belajar yang berbeda–beda. Kimble dalam Simanjuntak (1993: 222) menjelaskan belajar adalah perubahan yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai akibat dari latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan–perubahan karena kematangan, kelelahan atau kerusakan pada susunan syaraf atau dengan kata lain bahwa mengetahui dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan dalam diri seseorang yang belajar. Adapun dalam Sudjana (1991: 5) belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek dan latihan. Hal ini seperti dikemukakan dalam Djamarah (2002: 11) bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan artinya tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku. Sedangkan menurut Slameto (2003: 2) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang dilakukan secara sadar, bersifat permanen sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Jadi hasil dari belajar adalah adanya perubahan tingkah laku. 2.1.3. Proses Belajar Mengajar Matematika. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal, tetapi memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku. Sejalan dengan itu Sudjana dalam Djamarah (2002 : 45) mengemukakan bahwa mengajar pada hakekatnya adalah suatu proses yaitu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak didik sehingga dapat 7 menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar mengajar. Nasution dalam Syah (2002: 182) mengemukakan bahwa mengajar pada hakekatnya adalah suatu proses yakni proses mengatur, mengorganisasikan lingkungannya sebaik–baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar matematika merupakan suatu proses belajar yang dilakukan dengan sadar dan terarah dimana individu belajar matematika dengan tujuan untuk melatih cara berfikir dan bernalar serta melatih kemampuan memecahkan masalah. 2.1.4. Hasil Belajar Matematika. Istilah “prestasi” dalam kamus Bahasa Indonesia berarti “hasil yang dicapai”. Jadi prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan usaha belajar. Prestasi belajar matematika merupakan salah satu ukuran mengenai tingkat keberhasilan siswa setelah mengalami belajar. Proses belajar yang dilakukan oleh siswa akan menghasilkan suatu perubahan atau pemahaman dalam bidang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Adanya perubahan tersebut tampak dalam prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa. Menurut Djamarah (1997: 119) prestasi adalah tingkat keberhasilan dimana seluruh bahan pelajaran yang diberikan dapat dikuasai oleh siswa atau minimal bahan pelajaran diajarkan 60 % telah dikuasai siswa. Prestasi belajar siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam waktu tertentu. Menurut Simanjuntak (1993: 229) bahwa salah satu faktor pendukung berhasil tidaknya pengajaran matematika adalah menguasai teori belajar mengajar matematika. Teori belajar mengajar matematika yang dikuasai para tenaga pendidik akan dapat diterapkan pada peserta didik jika dapat memilih strategi mengajar yang tepat, mengetahui tujuan pendidikan dan pengajaran atau pendekatan serta dapat melihat apakah anak atau peserta didik sudah mempunyai kesiapan atau kemampuan belajar. 8 Dengan tercapainya tujuan pembelajaran maka dapat dikatakan bahwa guru telah berhasil dalam mengajar. Keberhasilan belajar mengajar tentu saja diketahui setelah diadakan evaluasi dan seperangkat item soal sesuai dengan rumusan beberapa indikator hasil belajar. Jadi prestasi belajar matematika merupakan hasil belajar siswa dalam suatu proses pembelajaran dengan waktu tertentu. Setiap proses belajar mengajar, keberhasilannya diukur dari sejauh mana hasil belajar yang dicapai siswa, disamping itu diukur juga dari segi prosesnya. 2.1.5. Model Pembelajaran Problem posing Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, yang mempunyai beberapa padanan dalam bahasa Indonesia. Suryanto (1998:1) dan As‟ari (2000:4) memadankan istilah problem posing dengan pembentukan soal. Sedangkan Sutiarso (1999:16) menggunakan istilah membuat soal, Siswono (1999:7) menggunakan istilah pengajuan soal, dan Suharta (2000:4) menggunakan istilah pengkonstruksian masalah. Problem posing memiliki beberapa pengertian, yaitu : Problem posing ialah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit. Problem posing ialah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (Silver & Cai, 1996:294). Problem posing ialah perumusan soal dari informasi atau situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah penyelesaian suatu soal (Silver & Cai, 1996:523). Menurut Brown dan Walter (1993:15) informasi atau situasi problem posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal, atau selesaian dari suatu soal. Selanjutnya Suryanto (1998:3) menyatakan bahwa soal dapat dibentuk melalui soal-soal yang ada dalam buku. Stoyanova (1996) mengklasifikasikan informasi atau situasi problem posing menjadi situasi problem posing yang bebas, semiterstuktur, dan terstruktur. Pada situasi problem posing yang bebas, siswa tidak diberikan suatu informasi yang harus ia patuhi, tetapi siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Siswa dapat menggunakan fenomena dalam 9 kehidupan sehari-hari sebagai acuan dalam pembentukan soal. Sedangkan dalam situasi problem posing yang semi terstruktur, siswa diberi situasi atau informasi yang terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mencari atau menyelidiki situasi atau informasi tersebut dengan cara menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, siswa harus mengaitkan informasi itu dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang diketahuinya untuk membentuk soal. Pada situasi problem posing yang terstuktur, informasi atau situasinya berupa soal atau selesaian dari suatu soal (Yuhasriati, 2002:12). Pada penelitian ini, problem posing yang digunakan adalah perumusan soal yang sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar menjadi lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka menyelesaikan soal cerita operasi hitung campuran. Penelitian ini menggunakan informasi problem posing yang terstruktur, yaitu informasi berupa soal yang perlu diselesaikan oleh siswa. Berdasarkan soal cerita yang diberikan, siswa menyusun informasi dan kemudian membuat soal berdasarkan informasi yang telah disusun. Selanjutnya, soal-soal tersebut diselesaikan dalam rangka mencari selesaian sebenarnya dari pertanyaan soal cerita yang diberikan. Respon siswa yang diharapkan dari situasi atau informasi problem posing adalah respon berupa soal buatan siswa. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan siswa membuat yang lain, misalnya siswa hanya membuat pernyataan. Silver dan Cai (1996:526) mengklasifikasikan respon tersebut menurut jenisnya menjadi tiga kelompok, yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non matematika, dan pernyataan. Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang memuat masalah matematika dan mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan. Pertanyaan matematika ini, selanjutnya diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan. Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan adalah pertanyaan yang memuat informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan, atau jika pertanyaan tersebut memiliki tujuan yang tidak sesuai dengan informasi yang ada. Selanjutnya pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan juga dibedakan 10 atas dua hal, yaitu pertanyaan yang memuat informasi baru dan pertanyaan yang tidak memuat informasi baru. Pertanyaan non matematika adalah pertanyaan yang tidak memuat masalah matematika dan tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan. Sedangkan pernyataan adalah kalimat yang bersifat ungkapan atau berita yang tidak memuat pertanyaan, tetapi sekedar ungkapan yang bernilai benar atau salah. Respon yang dihasilkan siswa mungkin lebih dari satu pertanyaan matematika. Antara pertanyaan yang satu dengan pertanyaan lainnya dapat dilihat hubungan yang terjadi. Menurut Silver dan Cai (1996:302) ada dua jenis hubungan antara respon-respon tersebut, yaitu hubungan simetrik dan berantai. Respon yang mempunyai hubungan simetrik disebut respon simetrik yaitu serangkaian respon yang objek-objeknya mempunyai hubungan. Sedangkan respon yang mempunyai hubungan berantai disebut respon berantai. Pada respon berantai, untuk menyelesiakan respon berikutnya diperlukan penyelesaian respon sebelumnya. Sehubungan itu, Kilpatrik (dalam Siver & Cai, 1996:354) menyatakan bahwa salah satu dasar kosep koginitif yang terlibat dalam pengajuan soal adalah assosiasi, yaitu kecendrungan siswa menggunakan respon pertama sebagai pijakan untuk mengajukan soal kedua, ketiga, dan seterusnya. Berdasarkan tingkat kesukarannya, Silver dan Cai (1996:526), mengklasifikasikan respon siswa menjadi dua kelompok, yaitu: Tingkat kesukaran respon terkait dengan stuktur bahasa (sintaksis), dan tingkat kesukaran respon terkait dengan stuktur matematika (semantik). Tingkat kesukaran respon yang berkaitan dengan sintaksis dapat dilihat dari proposisi yang dikandungnya. Proposisi yang digunakan dibedakan menjadi tiga, yaitu proposisi penugasan, proposisi hubungan, dan proposisi pengandaian. Proposisi penugasan adalah pertanyaan (soal) yang memuat tugas untuk dikerjakan. Proposisi hubungan adalah pertanyaan yang memuat tugas untuk membandingkan. Sedangkan proposisi pengandaian adalah pertanyaan yang menggunakan informasi tambahan. Tingkat kesukaran respon berkaitan dengan stuktur semantik, dapat diketahui dari hubungan semantiknya. 11 Menurut Marshall (dalam Silver & Cai, 1996:528) hubungan semantik respon siswa dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu mengubah, mengelompokkan, membandingkan, menyatakan kembali, dan memvariasikan. 2.1.6. Model Pembelajaran Problem posing dalam Pembelajaran Matematika Problem posing adalah pembelajaran yang menekankan pada pengajuan soal oleh siswa. Oleh karena itu, problem posing dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan berpikir matematis atau pola pikir matematis. Menurut Brown dan Walter dalam Kadir (2006:7), pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for redirection of mathematics education (reformasi pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika. Problem posing berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri dari kata problem dan pose. Problem diartikan sebagai soal, masalah atau persoalan, dan pose yang diartikan sebagai mengajukan (Echols dan Shadily, 1990:439 dan 448). Beberapa peneliti menggunakan istilah lain sebagai padanan kata problem posing dalam penelitiannya seperti pembentukan soal, pembuatan soal, dan pengajuan soal (Yansen, 2005:9) Suryanto (1998:3) juga mengemukakan bahwa merumuskan soal merupakan salah satu dari tujuh kriteria berpikir atau pola berpikir matematis. Dewasa ini, problem posing merupakan kegiatan penting dalam pembelajaran matematika. Silver dan Cai (1996:293) juga menyarankan agar pembelajaran matematika lebih ditekankan pada kegiatan problem posing. Menurut Cars (dalam Suryanto, 1998:9) untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan dapat dilakukan dengan cara membiasakan siswa mengajukan soal. Sejalan dengan itu, Suparno (1997:83) menyatakan bahwa mengungkapkan pertanyaan merupakan salah satu kegiatan yang dapat menantang siswa untuk lebih berpikir dan membangun pengetahuan mereka. Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics merumuskan secara eksplisit bahwa siswa harus mempunyai pengalaman 12 mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Siswa perlu diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut. Problem posing atau pembentukan soal adalah salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Tim Penelitian Tindakan Matematika (PTM) (2002: 2) mengatakan bahwa: 1. Adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan kemampuan membentuk masalah. 2. Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan kreatifitas siswa dalam memecahkan suatu masalah. Adapun masalah dalam matematika diklasifikasikan dalam dua jenis antara lain: 1. Soal mencari (problem to find) yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (condition) dan data atau informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah soal mencari dan harus dipenuhi serta dikenali dengan baik pada saat memecahkan masalah. 2. Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan apakah suatu pernyataan benar atau salah. Soal membuktikan terdiri atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan (Depdiknas, 2005: 219). Menurut Killpatrich (dalam Silver dan Cai, 1996:530) salah satu dasar kognitif yang ada dalam problem posing adalah asosiasi. Selanjutnya, menurut As‟ari (2000:9) dalam kegiatan problem posing, ketika terjadi proses asosiasi antara informasi baru dengan struktur kognitif yang 13 dimiliki seseorang, maka proses selanjutnya yang terjadi adalah proses asimilasi dan akomodasi. Di samping itu, Brown dan Walter (1996:15) yang menyatakan pembuatan soal dalam pembelajaran matematika melalui dua tahap kegiatan kognitif, yaitu accepting (menerima) dan challenging (menantang). Menerima terjadi ketika siswa membaca situasi atau informasi yang diberika guru dan menantang terjadi ketika siswa berusaha untuk mengajukan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan. Sehubungan dengan hal tersebut, As‟ari (2000:9) menegaskan bahwa proses kognitif menerima memungkinkan siswa untuk menempatkan suatu informasi pada suatu jaringan struktur kognitif sehingga struktur kognitif tersebut makin kaya, sementara proses kognitif menantang memungkinkan jaringan stuktur kognitif yang ada menjadi semakin kuat hubungannya. Dengan demikian pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing akan menambah kemampuan dan penguatan konsep dan prinsip matematika siswa. Silver dkk dalam Surtini (2004: 48) mengemukakan bahwa sebenarnya sudah sejak lama para tokoh pendidikan matematika menunjukkan pembentukan soal merupakan bagian penting dalam pengalaman matematis siswa dan menyarankan agar dalam pembelajaran matematika ditekankan kegiatan pembentukan soal. Begitupun yang ditekankan English bahwa pembentukan soal merupakan inti kegiatan matematis dan merupakan komponen penting dalam kurikulum matematika. Hasil penelitian Silver dan Cai dalam Surtini (2004: 49) menunjukkan bahwa kemampuan pembentukan soal berkorelasi positif dengan kemampuan memecahkan masalah. Serta pengablikasiannya dalam 3 bentuk aktivitas kognitif matematika yakni sebagai berikut: (a). Pre solution posing yaitu jika seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan. Jadi guru diharapkan mampu membuat pertanyaan yang berkaitan dengan pernyataan yang dibuat sebelumnya,(b). Within solution posing yaitu jika seorang siswa mampu merumuskan ulang pertanyaan soal tersebut menjadi sub-sub pertanyaan baru yang urutan penyelesaiannya seperti yang telah 14 diselesaikan sebelumnya. jadi, diharapkan siswa mampu membuat sub-sub pertanyaaan baru dari sebuah pertanyaan yang ada pada soal yang bersangkutan, (c). Post solution posing yaitu jika seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru yang sejenis. Dengan demikian kemampuan pembentukan soal sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di sekolah sebagai usaha meningkatkan hasil pembelajaran matematika dan dapat meningkatkan kemampuan siswa. Dari sini kita peroleh bahwa pembentukan soal penting dalam pelajaran matematika guna meningkatkan hasil belajar matematika siswa dengan membuat siswa aktif dan kreatif. Pendidikan matematika dengan pendekatan problem posing merupakan pendekatan yang efektif karena kegiatan problem posing sesuai dengan pola pikir matematika yang artinya: a. Pengembangan matematika sering terjadi dari problem posing b. Problem posing merupakan salah satu tahap dalam berpikir matematis. Adapun langkah–langkah pembelajaran dalam metode pengajuan soal sebagai berikut : a. Pendahuluan Pada tahap kegiatan yang dilakukan adalah memotivasi siswa, menjelaskan tujuan pemelajaran dan mengingatkan kembali tentang materi yang relevan. Selain itu juga dapat mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah yang diberikan sebelunnya. b. Tahap pengembangan Tahap ini merupakan tahap inti kegiatan pembelajaran. Guru menyajikan konsep dan prinsip serta contoh-contoh kepada siswa. Kemudian siswa diarahkan bagaimana membuat soal dan menyelesaikannya yang sesuai dengan contoh – contoh yang diberikan sebelumnya. c. Tahap penerapan 15 Tahap ini siswa diminta untuk menerapkan materi yang telah dipelajari pada materi yang lebih luas. Bentuk kegiatannya seperti mengerjakan soal – soal latihan atau membuat tugas – tugas tertentu. d. Penutup Guru bersama siswa membuat rangkuman pengajaran. Rangkuman disusun berdasarkan aspek–aspek penting dari materi yang telah dipelajari. 2.2. Kajian Hasil – Hasil Penelitian yang Relevan Terdapat penelitian yang pernah dilakukan dan relevan dengan penelitian ini, diantaranya : 1. Bharata ( 2002 ) pada siswa kelas V SDN Labuan Ratu, Bandar Lampung. Dengan judul “ Pembelajaran Problem posing Dibandingkan Dengan Pembelajaran Biasa Terhadap Hasil Belajar Aritmatika “ menunjukan bahwa siswa yang menggunakan pendekatan problem posing mencapai ketuntasan ebih dari 75% dari skor ideal tes, dan memberikan pengaruh baik dibandingkan dengan proses pembelajaran biasa terhadap hasil belajara aritmatika SD. 2. Hamzah ( 2003 ) dalam penelitianya terhadap siswa SMP di Bandung mengenaii pembelajaran dengan model problem posing, dengan judul “ Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Di Bandung Melalui Pendekatan Pengajuan Masalah “memberikan kesimpulan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran problem posing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvesional. 2.3. Kerangka Pikir Matematika merupakan mata pelajaran yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari- hari. Keterampilan berhitung tidak dimiliki dengan sendirinya dan memerlukan waktu yang tidak sebenta runtuk memperolehnya. Keterampilan menuntut latihan yang cukup dan teratur. Semakin sering seorang berlatih berhitung, maka akan semakin menguasai keterampilan tersebut. Keterampilan menyelasikan soal- soal matematika dapat dimiliki dengan baik apabila 16 pembelajaran berhitung yang diberikan lebih intensif dan berlangsung secara terus menerus. Sebagai upaya untuk meningkatkan penguasan teori matematika siswa, guru perlu mengedepankan proses belajar mengajar dengan menerapkan media dan strategi pembelajaran yang dapat menarik minat dan motivasi siswa. Guru harus mampu menciptakan situasi belajar mengajar yang menjadikan siswa aktif dalam pembelajaran serta produktif dalam menulis. Penelitian akan model pembelajaran problem posing untuk mengaktifkan siswa dalam pembelajaran sekaligus menciptakan suasana baru yang lebih kondusif. KONDISI AWAL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL Prosentase Ketuntasan < 50 % SKLUS I Prosentase Ketuntasan > 50 % TINDAKAN PROBLEM POSSING SIKLUS II Prosentase Ketuntasan > 80 % KONDISI AKHIR PROSENTASE KETUNTASAN DIHARAPKAN 80% Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir 17 2.4. Hipotesis Tindakan Dalam skripsi ini, hipotesis yang peneliti ajukan yaitu model pembelajaran problem posing dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SDN Sambong 01 Kecamatan Batang Kabupaten Batang Semester 1 Tahun Pelajaran 2013/ 2014.