ANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN Dr. HENDRI SAPARINI 1. PENDAHULUAN Ketercukupan pangan adalah faktor penting dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu pemerintah di berbagai negara memberikan perhatian yang besar terhadap ketersediaan dan kecukupan pangan. Bahkan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memiliki ideologi liberal dengan pasar bebasnya, tetap memberikan subsidi dan proteksi kepada petani agar kebutuhan makanan dapat terpenuhi. Demikian juga di Indonesia, untuk menjaga kecukupan pangan dilakukan berbagai upaya agar kebutuhan input petani terpenuhi. Pemerintah memberikan subsidi yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan benih dan pupuk bagi petani. Memang ada pergeseran peran pemerintah pada masa Soeharto dan SBY-JK. Pada masa Orde Baru liberalisasi sektor pertanian pangan tidak sebebas paska krisis 1998 dan saat ini. Bila dulu peran pemerintah untuk membantu para petani dilakukan baik dengan menyediakan berbagai faktor produksi, pasar, termasuk berbagai jenis program pembiayaan dari Bank Indonesia, maka saat ini jenis dukungan pemerintah semakin terbatas pada dukungan pupuk dan bibit serta dukungan administrasi. Untuk mengawasi pelaksanaan pemberian subsidi bagi para petani tersebut, BPK telah melakukan audit. Berikut ini adalah kajian singkat hasil audit BPK atas program subsidi benih dan pupuk yang dilakukan oleh pemerintah. Subsidi tersebut terutama dilakukan melalui PT Pertani (benih), serta untuk subsidi pupuk melalui PT Pupuk Kaltim, Pupuk Kujang, Petrokimia Gresik dan Pupuk Sriwijaya. 2. SUBSIDI BENIH Benih adalah faktor input utama di sektor pertanian. Dengan benih yang baik, modal utama untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi telah diperoleh. Selanjutnya diikuti oleh penyediaan pupuk dan obat-obatan. Karena pentingnya ketersediaan benih yang berkualitas, pemerintah selalu menganggarkan sejumlah dana untuk pemberian subsidi benih bagi para petani, baik melalui bantuan benih langsung maupun subsidi harga benih yang dijual oleh PT. Pertani. Berdasarkan laporan tahun 2006 PT. Pertani telah menyalurkan : - benih padi sebanyak 30.122.992 Kg dengan harga Rp. 3.421/kg, - benih jagung hibrida sebanyak 510.009 Kg dengan harga Rp. 18.073/kg, - benih jagung komposit sebanyak 400.390 Kg dengan harga Rp. 2.991/kg, dan - benih kedelai sebanyak 198.010 Kg dengan harga Rp. 4.705/kg. Harga yang berlaku untuk benih yang disubsidi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 80/PMK.02/2006 tanggal 25 September 2006. Jika mengacu kepada Permenkeu tersebut, harga pokok penjualan benih adalah: padi sebesar Rp 3.920,-/Kg, jagung hibrida Rp 23.275,-/Kg, jagung komposit Rp 6.665,-/Kg dan kedelai Rp 6.965,-/Kg. Sehingga harga penjualan PT. Pertani masih lebih rendah dari harga yang ditentukan dalam peraturan menteri. Berdasarkan laporan tersebut PT. Pertani kelebihan menerima subsidi benih dan profit margin masing-masing sebesar Rp 103.636.300,00 dan Rp 25.183.720,00 namun belum menerima tambahan profit margin sebesar 2 Rp1.250.380.903,56. Jika diakumulasikan seluruhnya, PT. Pertani masih kurang menerima sebesar Rp 1.121.560.883,56. Selain melalui PT. Pertani, subsidi benih juga disalurkan melalui Departemen Pertanian melalui anggaran Belanja Bantuan Sosial. Dalam laporan BPK yang tersaji sulit untuk membandingkan anggaran melalui PT. Pertani dan Departemen Pertanian karena perbedaan tahun laporan. PT. Pertani melaporkan hasil kegiatan tahun 2006, sedangkan laporan Departemen Pertanian tahun 2007. Berdasarkan laporan Departemen Pertanian yang diaudit BPK, anggaran Bantuan Sosial meningkat pada tahun 2007 dibanding tahun 2006 sebesar 61,16%. Adapun besarnya belanja pada tahun 2007 adalah Rp 3,4 triliun. Catatan penting dari hasil kajian audit BPK terhadap Subsidi Benih adalah : Pertama, laporan yang diaudit berasal dari hasil kegiatan tahun yang berbeda, PT. Pertani tahun 2006, sedangkan Departemen Pertanian laporan tahun 2007. Dengan laporan yang berbeda tahun anggaran tersebut, temuan yang diperoleh tidak dapat dimanfaatkan untuk penyusunan anggaran tahun berikutnya. Kedua, hasil audit BPK tidak menjelaskan apapun yang berkaitan dengan efektivitas subsidi ataupun kondisi perbenihan nasional. Hasil audit BPK cenderung hanya berisi catatan tentang tertib administrasi pelaksanaan anggaran sehingga tidak ada pelajaran yang bisa diambil untuk kebijakan perbenihan, hanya sematamata untuk perbaikan administrasi. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dalam bidang pangan, akan lebih baik jika hasil audit subsidi benih juga memuat kebijakan pertanian yang terkait seperti kondisi perbenihan nasional serta berbagai masalah petani untuk mendapatkan bibit dengan kualitas terbaik dan harga terjangkau. Oleh karenanya, pemeriksaan harus menyangkut evaluasi tentang kebijakan yang terkait kualitas benih, tata niaga benih, strategi distribusi benih bersubsidi kepada petani yang layak menerimanya. 3. SUBSIDI PUPUK Input sektor pertanian selain benih unggul adalah pupuk. Ketersediaan pupuk yang mencukupi menjadi faktor penting untuk memperoleh hasil pertanian yang tinggi. Oleh sebab itu, pemerintah juga menganggarkan pemberian subsidi pupuk bagi petani. Subsidi pupuk diberikan kepada para produsen pupuk nasional, yaitu: PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kaltim, PT Petrokimia Gresik, dan PT Pupuk Sriwijaya. Dalam pengelolaan pupuk bersubsidi, mekanisme Perhitungan Subsidi Pupuk dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.112/PMK.02/2007 tanggal 19 September 2007 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Pupuk, mekanisme perhitungan subsidi pupuk Tahun Anggaran 2007 sebagai berikut : 1. Besaran subsidi pupuk urea dihitung dengan rumus: HPP (Rp/kg) dikurangi HET (Rp/kg) dikalikan volume penyaluran pupuk. 2. HPP yang dimaksud dalam butir 1 merupakan biaya pengadaan pupuk bersubsidi oleh produsen pupuk dengan komponen biaya sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Menteri BUMN No. KEP-183/MBU/2003 tanggal 28 Maret 2003. 3 3. Komponen HPP sebagaimana dimaksud dalam butir 2 digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besarnya perkiraan dan realisasi HPP. 4. Realisasi HPP sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ditetapkan atas dasar hasil pemeriksaan oleh auditor yang ditunjuk Menteri Keuangan. 5. Besarnya HPP pupuk produksi sendiri tidak boleh melebihi HPP pupuk impor. 6. HPP pupuk impor yang digunakan sebagai pembanding HPP pupuk produksi sendiri dihitung secara rata-rata tertimbang, dengan rumus: total jumlah nilai (Rp) berdasarkan hasil perkalian antara HPP impor atau HPP dalam bulletin (Rp) pada periode n dengan volume penyaluran pupuk (kg) pada periode n dibagi dengan total penyaluran pupuk (kg) setahun. 7. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.66/Permentan/OT.140/12/2006 tanggal 29 Desember 2006 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2007, HET pupuk urea bersubsidi tahun 2007 adalah sebesar Rp1.200,00/kg. 8. Volume penyaluran pupuk harus didukung dengan laporan bulanan dari distributor atas realisasi penyaluran ke lini IV dan laporan bulanan pengecer atas realisasi penyaluran sampai dengan petani. 9. Pengajuan subsidi pupuk dilakukan berdasarkan permohonan Direksi Produsen pupuk secara tertulis kepada Direktur Jenderal Anggaran cq. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. Permintaan pembayaran subsidi dilengkapi dokumen penyaluran pupuk pada Lini IV yang berupa rekapitulasi penyaluran pupuk bersubsidi pada distributor yang dilampiri dengan laporan bulanan distributor yang menunjukkan penyaluran pupuk ke pengecer sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Perdagangan dan perhitungan HPP. Berdasarkan hasil audit BPK terhadap laporan pengelolaan pupuk bersubsidi, diperoleh data bahwa penyaluran pupuk di tingkat produsen telah berjalan sesuai dengan anggaran. Memang terjadi beberapa kekurangan/kelebihan subsidi, tetapi hal itu lebih banyak disebabkan karena kesalahan administratif. Berikut ini adalah ringkasan hasil audit BPK terhadap para produsen pupuk : a. PT. Pupuk Kujang Laporan PT. Pupuk Kujang menyatakan bahwa penyaluran pupuk urea bersubsidi pada tahun 2007 sebanyak 754.231,9 ton. Sedangkan hasil audit BPK terhadap dokumen yang diperiksa menunjukkan bahwa pupuk bersubsidi yang disalurkan 753.870,15 ton. Terdapat koreksi negatif atas volume penyaluran sebesar 361,75 ton. Alasan perbedaan : Selisih volume penyaluran menurut perhitungan PT. Pupuk Kujang dengan hasil audit BPK RI disebabkan dalam perhitungan PT Pupuk Kujang terdapat kesalahan input data Laporan bulanan distributor sesuai Lampiran X Peraturan Menteri Perdagangan No.03/M-Dag/PER/2/2006 tanggal 16 Pebruari 2006 dan perhitungan BPK RI mempertimbangkan maksimal pupuk yang tersedia untuk disalurkan. Menurut perhitungan PT Pupuk Kujang, selisih volume penyaluran sebanyak 361,75 ton termasuk dalam total volume penyaluran tahun 2007 sedangkan menurut hasil audit BPK RI, penyaluran tersebut masuk dalam persediaan akhir. 4 Berdasarkan perhitungan BPK tersebut subsidi harga pupuk tahun 2007 yang layak diterima PT Pupuk Kujang adalah sebesar Rp 766.943.336.435,32. Sementara total subsidi yang sudah diterima PT Pupuk Kujang sebesar Rp826.222.964.332 sehingga terdapat kelebihan subsidi yang masih harus dikembalikan kepada Pemerintah sebesar Rp 59.279.627.896,68 (Rp826.222.964.332 – Rp766.943.336.435,32). Selisih perhitungan tersebut disebabkan hal-hal berikut : a. Terdapat biaya-biaya yang tidak layak diganti Pemerintah dalam perhitungan subsidi (non deductable cost) dan biaya-biaya yang tidak berkaitan dengan produksi urea. b. Seluruh biaya usaha dalam perhitungan HPP PT Pupuk Kujang menjadi beban urea, yang seharusnya menjadi biaya bersama produk urea, ammonia dan utilitas. c. Konsep alokasi biaya yang diterapkan oleh PT Pupuk Kujang tidak seluruhnya berdasarkan data riil yang terdapat pada masing-masing pusat biaya. d. Biaya yang terjadi pada unit kerja Industri Peralatan Pabrik (IPP) dan Jasa Pelayanan Pabrik (JPP) pada Direktorat Teknik & Pengembangan PT Pupuk Kujang seluruhnya menjadi beban HPP pupuk urea. Sedangkan pada praktiknya kedua unit kerja tersebut merupakan pusat laba yang menghasilkan pendapatan non urea, sehingga biaya tersebut seharusnya menjadi biaya bersama. e. Perhitungan HPP per ton urea PT Pupuk Kujang tidak didasarkan pada proses costing tahunan. b. PT. Pupuk Kalimantan Timur Untuk Tahun Anggaran 2007, jumlah produksi pupuk PT Pupuk Kaltim adalah sebesar 2.344.719 ton, sedangkan berdasarkan pemeriksaan BPK jumlah produksi urea adalah sebesar 2.204.116 ton karena terdapat koreksi negatif sebesar 140.603 ton. Koreksi tersebut disebabkan adanya produksi urea melt sebesar 140.603 ton yang diperhitungkan oleh PT Pupuk Kaltim dalam Laporan Produksi dan Alokasi Penjualan sebagai bagian dari produksi urea curah. Urea melt tersebut telah dijual kepada PT DSM Kaltim Melamine (PT DKM) sebelum diproses menjadi urea curah. Dari jumlah tersebut, yang disalurkan sebagai urea bersubsidi adalah 1.850.813 ton. Menurut hasil audit BPK, jumlah yang disalurkan sebagai urea bersubsidi hanya 1.850.505 ton atau terdapat selisih 308 ton. Harga pokok penjualan (HPP) PT Pupuk Kaltim tahun 2007 menurut Laporan perhitungan subsidi PT Pupuk Kaltim sebesar Rp 4.391.485.613.957, sedangkan berdasarkan pemeriksaan BPK sebesar Rp 4.226.974.580.393 atau Rp 2.284.228 per ton sehingga terdapat selisih perhitungan subsidi sebesar Rp 164.511.033.564. Selisih perhitungan tersebut disebabkan oleh : a. Koreksi atas volume penyaluran pupuk urea bersubsidi. b. Koreksi atas biaya-biaya yang tidak dapat dibebankan dalam perhitungan subsidi, yaitu biaya yang berkaitan dengan pendapatan lain-lain, biaya yang 5 berkaitan dengan koreksi fiskal dan biaya lainnya yang tidak berkaitan dengan produksi, pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi. c. Koreksi atas kuantum produksi dan konsumsi produk utilitas, amoniak dan urea melt yang digunakan sebagai dasar alokasi biaya dalam proses costing yang akan mempengaruhi alokasi biaya ke produk urea. d. Koreksi atas harga pokok produksi produk utilitas, amoniak dan urea melt yang dijual ke pihak ketiga yang masih diperhitungkan dalam harga pokok produksi pupuk bersubsidi. e. Koreksi atas biaya distribusi Lini I s.d III yang tidak berkaitan dengan pendistribusian pupuk urea bersubsidi. c. PT Petrokimia Gresik Jumlah subsidi yang sudah dibayar Rp 182.302.121.721,00 sedangkan subsidi yang diajukan PT PG Rp 176.810.154.568,29. Berdasarkan audit BPK jumlah subsidi yang seharusnya diberikan Rp 175.767.964.634,50, terdapat koreksi negatif Rp (1.042.189.933,79). Jadi jumlah subsidi yang lebih dibayar Rp 6.534.157.086,50 Selain pupuk Urea, PetroGres juga melakukan penyaluran pupuk lainnya, yaitu ZA, SP-36 dan NPK. Perhitungan subsidi untuk ketiga pupuk tersebut adalah: subsidi yang sudah dibayar Rp 1.973.674.200.666,00 sedangkan subsidi yang diajukan PT PG Rp 2.080.176.274.085,88. Berdasarkan audit BPK, subsidi yang seharusnya diberikan Rp 2.051.938.658.058,82, terdapat koreksi negatif Rp (28.237.616.027,06). Jumlah subsidi yang belum dibayar Rp 78.264.457.392,82. Dengan demikian, Pemerintah kurang membayar subsidi pupuk Tahun Anggaran 2007 kepada PT PG sebesar Rp71.730.300.306,32. d. PT Pupuk Sriwijaya Berdasarkan Laporan Subsidi Pupuk PT Pusri Tahun Anggaran 2007, jumlah produksi pupuk urea selama tahun 2007 sebanyak 2.020.760,00 ton. Dari jumlah produksi tersebut subsidi yang diajukan oleh PT Pusri untuk tahun 2007 adalah sebagai berikut : Jumlah subsidi yang ditagihkan oleh PT Pusri sebesar Rp 1.258.440.325.623,00. Dari jumlah tersebut telah dibayar oleh Pemerintah kepada PT Pusri sebesar Rp 1.130.463.549.906,00 (termasuk PPN). Sedangkan jumlah subsidi pupuk tahun 2007 yang seharusnya diterima PT Pusri sebesar Rp 1.153.950.900.650,47. Pemerintah kurang membayar subsidi pupuk Tahun Anggaran 2007 kepada PT Pusri sebesar Rp 23.487.350.744,47 (termasuk PPN). 4. CATATAN DAN REKOMENDASI Pemeriksaan terhadap anggaran dan kebijakan subsidi pupuk dan bibit sangat penting karena alokasi anggaran APBN untuk subsidi ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Alokasi anggaran pada APBN 2005 hingga RAPBN 2009 adalah sebesar Rp 2,5 triliun (2005), Rp 3 triliun (2006), Rp 15 triliun (2006), Rp 17 triliun (RAPBN 2009). Adalah tidak masuk akal bila kelangkaan pupuk selalu terjadi dan bahkan semakin meluas terjadi pada saat alokasi anggaran dinaikkan. 6 Berdasarkan hasil audit BPK tersebut dan data-data di lapangan, perlu dilakukan beberapa peningkatan materi pemeriksaan oleh BPK dari sebatas masalah administratif diperluas pada pemeriksaan yang dikaitkan dengan tujuan dari kebijakan. Sehingga hasil pemeriksaan tidak hanya semata tertib administrasi tetapi juga tertib dalam pengelolaan dan pengawasan distribusinya. Mengingat benih dan pupuk adalah dua komoditas strategis yang sangat menentukan keberhasilan pemerintah untuk segera mewujudkan swasembada pangan. Beberapa hal yang patut diperhatikan : Pertama, perlu dilakukan evaluasi strategi perencanaan jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi sehingga semua petani yang berhak dapat menerima benih dan pupuk subsidi sesuai target baik dari sisi jumlah maupun harga yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, Harga Eceran Tertinggi (HET) yang dibayarkan petani seringkali (hampir selalu) di atas HET yang ditetapkan pemerintah. Ketika ditetapkan HET per sak Rp 60.000 petani membayar Rp 65.000 – 68.000 bahkan ada yang mencapai Rp. 70.000. Perbaikan perencanaan jumlah kebutuhan benih dan pupuk subsidi disertai daftar petani yang berhak menerimanya. Selama beberapa tahun terakhir jumlah penyuluh pertanian berkurang drastis sebagai konsekuensi dari pilihan pemerintah yang akan mengurangi peran aktifnya di berbagai bidang termasuk pertanian. Akibatnya jumlah benih dan terutama pupuk bersubsidi selalu mengalami kekurangan di lapangan. Padahal jumlah produksi pupuk urea nasional untuk subsidi selalu diatas kebutuhan, tetapi selalu terjadi kelangkaan pupuk. Secara umum kelangkaan pupuk bisa disebabkan oleh beberapa hal: 1) Kebocoran pupuk ke daerah lain, misalnya pupuk yang dialokasikan untuk wilayah Jawa Barat ternyata dikonsumsi oleh petani yang masuk wilayah Jawa Tengah (Kompas 22/12/08) karena wilayah yang berdekatan; 2) Pupuk subsidi dijual menjadi pupuk non-subsidi dengan mengganti kemasan; 3) Angka kebutuhan pupuk bersubsidi yang diajukan kepada pemerintah berbeda dengan fakta di lapangan. Kedua, diperlukan perbaikan dari sisi strategi distribusi. Pada dasarnya pupuk bersubsidi dan Raskin (beras bersubsidi) adalah sama. Keduanya merupakan komoditas strategis yang sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial ekonomi. Oleh sebab itu semestinya distribusi dilakukan secara tertutup (tidak diserahkan kepada swasta seperti saat ini). Hal ini penting untuk menjamin kedua komoditas tersebut sampai pada masyarakat yang berhak. Bila Raskin didistribusikan secara tertutup dengan peran pemerintah daerah yang besar, maka seharusnya untuk benih dan pupuk juga diberlakukan hal yang sama. Beberapa temuan di lapangan seperti pengemasan ulang, penjualan kepada petani/perusahaan yang tidak berhak menerima pupuk subsidi, mengkonfirmasi bahwa berbagai kebocoran terjadi karena wewenang dalam distribusi sudah tidak memasukkan peran kunci (monitoring) dari pemerintah daerah dan juga tidak ada penetapan sanksi yang tegas. Ketiga, harus segera dibuat ketetapan tentang biaya-biaya yang bisa/tidak bisa dibebankan dalam perhitungan subsidi pupuk. Langkah ini sangat penting karena hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur biaya-biaya apa saja yang dapat dibebankan dalam perhitungan subsidi pupuk. Hal ini serupa dengan apa yang terjadi pada perhitungan cost recovery produksi migas, akibatnya pemerintah dirugikan dengan bagian migas yang lebih kecil. Selama ini, BPK RI dan 7 produsen pupuk sepakat menggunakan aturan fiskal untuk menentukan biaya-biaya yang tidak dapat dibebankan dalam perhitungan subsidi pupuk. Kenyataan ini sangat aneh karena kebijakan subsidi pupuk sudah dilakukan bertahun-tahun. Keempat, perlu dievaluasi strategi dan kebijakan pertanian dalam penyediaan pupuk dan bibit. Hingga saat ini ketergantungan petani terhadap pupuk kimia sangat tinggi. Sedangkan pemanfaatan dan pengembangan pupuk organik sangat rendah. Padahal pemerintah telah membuat peraturan tentang peralihan dari penggunaan pupuk kimia ke pupuk organik. Namun karena tidak adanya kebijakan implementasi pendukung, program transisi pupuk kimia ke pupuk organik tidak berjalan. Seperti misalnya, untuk mengembangkan pupuk organik diperlukan dukungan sektor peternakan dan pertanian juga dukungan pengembangan teknologi sederhana pengolahan pupuk organik. Sementara dari jumlah anggaran subsidi pupuk yang ada hanya sebagian kecil (kurang dari Rp 1 triliun) yang dialokasikan untuk pengembangan pupuk organik. Kelima, untuk pupuk impor tampaknya perlu penyeragaman komponen biaya agar mempermudah audit dan juga menghindari kebocoran. Berdasarkan data yang terdapat dalam laporan BPK terdapat fromat yang berbeda, seperti terlihat dalam tabel di bawah ini. 8