MENGGUNAKAN BUPRENORPHINE GUIDELINE DALAM TERAPI

advertisement
InfoPOM
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
Vol. 8, No. 1, Januari 2007
BADAN POM RI
ISSN 1829-9334
MENGGUNAKAN
BUPRENORPHINE GUIDELINE DALAM
TERAPI KETERGANTUNGAN OPIOIDA
INTRODUKSI
Adiksi atau ketergantungan opioida di Indonesia merupakan fenomena yang
sudah berlangsung berfluktuatif selama lebih dari 4 abad yang lalu. Adiksi
opioida khususnya dalam bentuk opium (candu, madat) telah diketemukan di
Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, pemberian jatah
opium dalam jumlah tertentu kepada pemadat dilindungi berdasarkan peraturan
perundang – undangan (Ordonansi Obat Bius).
Terapi ketergantungan opioida yang efektif menurut WHO (2003) adalah terapi
abstinensia dan terapi substitusi. Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu : agonis
opioida (metadon), antagonis opioida (naltrekson) dan parsial agonis opioida
(buprenorfin). Buprenorfin adalah salah satu semi-sintetik opioida yang telah
diketemukan sejak tahun 1965 dengan melalui berbagai penelitian telah diapproved oleh FDA pada tahun 2002 dan mendapat izin edar di Indonesia
pada akhir tahun yang sama.
Seorang dokter dapat membuat resep buprenorfin setelah mendapatkan
pelatihan Buprenorphine Certification Training selama 7 jam, yang dipersyaratkan
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Buprenorphine Guideline adalah
buku pedoman bagi praktisi medis dalam menjalankan terapi subtitusi dengan
buprenorfin. Buku tersebut merupakan hasil kerja dari beberapa disiplin ilmu
kedokteran yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Seminat Kedokteran
Adiksi (INDOSAM atau Indonesian Society of Addiction Medicine) dan
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJ).
Tentang Buprenorfin
Buprenorfin adalah suatu derivate semisintetik dari morfin alkaloid, thebaine,
dengan derajat lipofilik yang tinggi, dan merupakan agonis opioida parsial pada
reseptor opioida µ dalam sistem saraf, dan juga antagonis reseptor opioida
k (kappa). Aktivitas agonis intrinsiknya rendah, hanya mengaktifkan sebagian
reseptor opioida µ, oleh sebab itu efek maksimal yang dapat dihasilkan
buprenorfin akan selalu lebih ringan dibandingkan agonis opioida penuh seperti
heroin, morfin dan metadon.
Buprenorfin memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioida µ, berikatan
dengan reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorfin juga
memiliki afinitas tinggi dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k, sehingga
pada keadaan tertentu buprenorfin dosis tinggi dapat menimbulkan sindrom
putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome) dengan gejala dan tanda
yang serupa secara kualitatif tetapi tidak sama secara kuantitatif dibandingkan
akibat antagonis penuh seperti nalokson atau naltrekson. Profil farmakologis
yang unik ini membuat buprenorfin memberikan beberapa keuntungan
Edisi Januari 2007
Editorial
Di awal tahun ini kembali kami
mengunjungi pembaca
Infopom. Semoga semangat
kerja pembaca dapat menjadi
awal yang baik bagi
pelaksanaan berbagai
kegiatan di tahun 2007 ini.
Pada edisi kali ini kami
turunkan berbagai artikel yang
menarik, dengan artikel
pertama Menggunakan
Buprenorphine Guideline
dalam Terapi Ketergantungan
Opioida. Buprenorfin adalah
parsial antagonis opioida yang
disetujui sebagai terapi
subtitusi pada ketergantungan
opioida oleh Badan POM pada
tahun 2002. Seorang dokter
dapat
meresepkan
buprenorfin, setelah mendapat
pelatihan Buprenorphine
Certification Training selama
7 jam sebagaimana
dipersyaratkan Badan POM.
Buprenorphine Guideline
adalah buku pedoman bagi
praktisi medis dalam
menjalankan terapi subtitusi
dengan buprenorfin.
Kejadian Luar Biasa (KLB)
keracunan pangan seringkali
terjadi, namun penyelidikan
dan penanggulangannya
umumnya belum maksimal.
Pada umumnya investigasi
KLB keracunan pangan di
Indonesia belum mengikuti
tahapan yang telah dianjurkan,
dimana implementasi masih
belum sesuai harapan.
Tahapan penting dalam
investigasi KLB keracunan
adalah peran epidemiologi
dalam analisis dan intepretasi
data keracunan pangan.
Informasi mengenai hal
tersebut dapat anda simak
dengan membaca artikel
Sistem Investigasi dan
Penanggulangan KLB
Keracunan Pangan.
Jangan lewatkan juga dua
artikel lain dengan judul Obatobat yang Dapat Menginduksi
Pankreatitis dan artikel Sekilas
WTO : Kesepakatan tentang
Hambatan Teknis dalam
Perdagangan dan .
Selamat membaca.
Halaman 1
InfoPOM
Daftar Isi
1
Menggunakan
Bupre-
norphine guideline dalam
terapi ketergantungan
opioida
2.
Sistem investigasi dan
penanggulangan KLB
keracunan pangan
3.
Sekilas WTO : Kesepakatan
tentang hambatan teknis
dalam perdagangan
4.
Obat - obat yang dapat
meginduksi pankreatitis
dibandingkan terapi gabungan
agonis – antagonis yang
digunakan dalam terapi
ketergantungan opioida.
Keuntungan ini antara lain
indeks keamanan yang lebih
besar terhadap terjadinya
depresi pernafasan, tanda
otonom dari putus obat opioida
yang lebih ringan, dan efek
psikomimetik atau disforik yang
lebih ringan. Dengan efek
respon opioida ganda maka
ketika menghambat efek
penggunaan heroin sampingan, buprenorfin juga
mengurangi penggunaan
heroin sendiri.
Executive summary of
recommendations
Rekomendasi lengkap dapat
dilihat pada buku Buprenorphine
Guidelines (Pedoman Klinis :
Penatalaksanaan Ketergantungan Heroin dengan Buprenorfin)
Level of evidence and grades of
recomendation dapat dilihat
pada tabel 1 dan tabel 2.
Memulai terapi buprenorfin
Terapi buprenorfin hanya diindikasikan untuk detoksifikasi dan
terapi rumatan pasien dengan
ketergantungan opioida.
Grade A, Level Ib
Kontraindikasi penggunaan
buprenorfin :
1. Siapa saja yang diketahui
hipersensitif dan / atau
mengalami efek samping
berat dari paparan
buprenorfin sebelumnya
tidak dapat diobati dengan
buprenorfin
2. Insufisiensi pernapasan atau
hepatik berat
3. Pasien berusia kurang dari
18 tahun
4. Alkoholisme akut atau
delirium tremens
Grade C, Level IV
Perhatian khusus harus diberikan ketika menilai kesesuaian
terapi buprenorfin bagi siapa
Tabel 1 : LEVELS OF EVIDENCE
Type of evidence
Level
Ia
Evidence obtained from meta-analysis of randomized controlled trials
Ib
Evidence obtained from at least one randomized controlled trials
IIa
Evidence obtained from at least one well-designed controlled study
without randomization
IIb
Evidence obtained from at least one other type of well-designed
quasi-experimental study
III
Evidence obtained from well-designed non-experimental descriptive
studies, such as comparative studies, correlation studies and case
studies
IV
Evidence obtained frim expert committee reports or opinions and/or
clinical experiences of respected authorities.
Edisi Januari 2007
saja dengan kondisi klinis
sebagai berikut:
1. Berisiko tinggi menggunakan
banyak obat. Semua terapi
substitusi opioida harus
dipertimbangkan dengan
hati-hati pada individu yang
menggunakan obat-obat
lainnya, khususnya obat
sedatif seperti alkohol,
benzodiazepin atau antidepresi. Penekanan khusus
harus diberikan untuk menilai tingkat neuroadaptasi
terhadap opioida, pada
keadaan yang menggunakan
obat sedatif lain secara terus
menerus, dan risiko overdosis.
2. Kondisi medis penyerta.
Buprenorfin adalah obat
golongan opioida dan harus
berhati-hati
dalam
penggunaannya di situasi
berikut ini :
¨ Trauma kepala yang baru
terjadi atau peningkatan
tekanan intrakranial.
¨ Fungsi pernapasan yang
menurun. Buprenorfin,
seperti opioida lain, harus
digunakan dengan hatihati pada pasien dengan
penyakit saluran napas
obstruktif kronik atau cor
pulmonale, dan pada
individu dengan cadangan
kapasitas pernapasan
yang menurun secara
substansial, mengalami
depresi pernapasan,
hipoksia, atau hiperkapnea. Pada pasienpa s i e n s e p e r t i i n i ,
bahkan dosis terapetik
yang biasanya aman
d a pa t m e n u r u n k a n
refleks pernapasan dan
secara bersamaan
meningkatkan resistensi
saluran napas hingga ke
tahap apnea.
¨ Kondisi akut abdomen.
Halaman 2
InfoPOM
Tabel 2 : GRADES OF RECOMMENDATION
Grade
Recommendation
A
Requires at least one randomized controlled trials as part of the body
of literature of overall good quality and consistency addressing the
spesific recommendation.
Evidence levels
Ia, Ib
B
Evidence levels
IIa, IIb, III
C
Evidence levels
IV
GPP
Good Practice
Points
Requires availability of well conducted clinical studies but no randomized
clinical trials on the topic of recommendation.
Requires evidence obtained from expert committee reports or opinions
and/or clinical experiences of respected authorities. Indicates absence
of directly applicable clinical studies of good quality.
Recommended best practice based on the clinical experience of the
guideline development group.
¨ Penyakit hati berat. Perlu
berhati-hati dalam
mempertimbangkan terapi
buprenorfin bagi pasien
dengan gagal hati yang
bermakna secara klinis.
Penyakit hati berat dapat
mengubah metabolisme
hepatik dari obat. Akan
tetapi, terjadinya peningkatan kadar enzim pada
uji fungsi hati, tanpa bukti
klinis terjadinya gagal hati, tidak menghalangi seseorang untuk diobati
dengan buprenorfin.
¨ Pasien dengan risiko
khusus. Opioida hanya
diberikan dengan berhatihati, dan pemberian obat
dosis inisial dikurangi
pada pasien dengan
berbagai kondisi berikut
ini :
- Usia lanjut atau debilitasi
- Hipertrofi prostate atau
striktur uretra
- Mengidap diabetes
mellitus atau memiliki
pre disposisi terhadapnya, dengan
kemungkinan peningkatan glukosa serum
pada pemberian
buprenorfin.
- Penyakit ginjal berat.
(Studi farmakokinetik
Edisi Januari 2007
tidak dilakukan pada
kelompok ini, sehingga metadon menjadi
pilihan pertama)
3. Kondisi psikiatrik penyerta.
Terapi subtitusi opioida
tidak boleh dimulai pada
pasien dengan psikosis
akut, depresi berat, atau
kondisi psikiatrik lain yang
sangat menurunkan
kemampuan untuk
memberi persetujuan
setelah penjelasan. Prioritas pertama haruslah suatu
usaha untuk menatalaksana dan menstabilisasi
kondisi psikiatrik. Pasien
dengan risiko sedang atau
tinggi untuk bunuh diri tidak
boleh memulai terapi buprenorfin tanpa pengawasan yang adekuat, dan harus
mencari saran dari dokter
ahli.
4. Nyeri kronik. Buprenorfin
dapat digunakan sebagai
analgesik dalam penatalaksanaan kondisi nyeri
akut dan kronik (meskipun
obat ini tidak didaftarkan
untuk tujuan ini), tetapi pada
dosis yang jauh lebih
rendah dibandingkan untuk
ketergantungan heroin.
Idealnya, nyeri kronik paling
baik di tata laksana di
bawah pengawasan
sebuah tim dokter ahli
multidisplin, dan harus
mempertimbangkan adanya
rujuk atau konsultasi yang
t e pa t h a r u s d i p e r t i m bangkan.
5. Perpindahan dari dosis
rumatan metadon.
Grade C, Level IV
Pedoman terapi rumatan
Faktor-faktor untuk dipertimbangkan ketika memilih
farmakoterapi rumatan:
¨ Respons terhadap terapi
¨ Variasi individu dalam tingkat
absorpsi, metabolisme, dan
bersihan.
¨ Kejadian tidak diinginkan
(adverse event)
¨ Hal-hal yang mempermudah
pemberian terapi
¨ Ringannya gejala putus zat
dari terapi rumatan
buprenorfin.
¨ Harapan pasien dan terapis
terhadap hasil terapi.
¨ Kemampuan untuk berpindah
dari terapi rumatan metadon.
Good Practice Points
Dosis inisial buprenorfin dianjurkan antara 2 dan 8 mg. Dosis
inisial tidak boleh lebih besar dari
8 mg.
Good Practice Points
Dosis pertama buprenorfin harus
diberikan paling sedikit 6 jam
setelah penggunaan heroin
terakhir.
Good Practice Points
Transfer ke buprenorfin dari dosis
metadon 40 mg atau kurang :
Pemberian buprenorfin pertama
harus diberikan paling sedikit 24
jam setelah penggunaan metadon terakhir, dan paling sedikit
6 jam setelah penggunaan heroin
terakhir.
Good Practice Points
Transfer ke terapi buprenorfin
dari dosis metadon > 40 mg:
Bersambung ke halaman 6
Halaman 3
InfoPOM
GC (GAS CROMATOGRAPHY )
SEBAGAI ALAT IDENTIFIKASI
ZAT KIMIA BERBAHAYA
DALAM PANGAN
InfoPOM
SISTEM INVESTIGASI
DAN PENANGGULANGAN
KLB KERACUNAN PANGAN
PENDAHULUAN
Menurut WHO, definisi Kejadian
Luar Biasa (KLB) penyakit akibat
pangan (Foodborne disease
outbreak) adalah kejadian
dimana terdapat dua orang atau
lebih yang menderita sakit
dengan gejala-gejala yang sama
atau hampir sama setelah
mengkonsumsi suatu pangan
dan berdasarkan analisis
epidemiologi, pangan tersebut
terbukti sebagai penyebabnya.
KLB semacam ini diketahui
sumber cemarannya (Point
Source Outbreak), misalnya
KLB pada pesta dan acara sosial
lainnya. Selain itu juga ada KLB
yang tersebar pada masyarakat
atau suatu tempat secara
sporadis (Protracted Outbreak)
misalnya KLB yang disebabkan
oleh air/pangan terkontaminasi
yang tersebar dalam masyarakat/
suatu tempat. Kejadian Luar
Biasa (KLB) keracunan pangan
seringkali terjadi, namun
penyelidikan dan penanggulangannya umumnya belum
maksimal karena buruknya
manajemen investigasi dan
penanggulangan, seperti
penanganan sampel pangan
yang salah, lemahnya koordinasi
dan kerjasama dengan
stakeholder, prosedur pelaporan
maupun penanganannya yang
belum difahami sepenuhnya oleh
petugas di lapangan dan
ketidakjelasan mekanisme dan
kewenangan dalam investigasi
dan penanggulangannya.
Sebelum
membenahi
Edisi Januari 2007
manajemen investigasi dan
penanggulangan keracunan ini,
perlu diketahui langkah-langkah
yang harus dilaksanakan pada
setiap kejadian keracunan,
antara lain :
1. Mengidentifikasi terjadinya
keracunan pangan
2. Menetapkan formulasi
hipotesis awal
3. Merencanakan investigasi
4. Melaksanakan investigasi
dan mengkonfirmasikan
hipotesis
5. M e n g a n a l i s i s
dan
menginterpretasi data
6. Menentukan faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap
keracunan
7. M e n g i d e n t i f i k a s i d a n
m e l a k s a n a k a n
penanggulangan serta
pencegahan keracunan
8. M e n g h i t u n g d a m p a k
ekonomi
9. Membuat laporan
10. M e l a k u k a n p e n a n g gulangan KLB keracunan
pangan berdasarkan
pendekatan analisis risiko
di sepanjang rantai pangan.
Laporan yang dibuat oleh
tim investigasi akan
digunakan oleh lembaga
terkait sesuai dengan
kewenangannya masingmasing
untuk
penanggulangan KLB
keracunan pangan.
Pada umumnya investigasi KLB
keracunan pangan di Indonesia
belum mengikuti tahapan yang
telah dianjurkan. Implementasi
tahapan tersebut masih jauh
dari yang diharapkan. Salah
satu tahapan penting yang
harus diperhatikan adalah
peranan epidemiologi dalam
analisis dan interpretasi data
keracunan pangan.
EPIDEMIOLOGI DASAR
DALAM KLB KERACUNAN
PANGAN
Definisi Epidemiologi adalah
studi penyebaran penyakit dan
faktor-faktor penentu terkait
dengan masalah kesehatan
pada suatu populasi dan
aplikasi studi ini dalam
menanggulangi masalah
kesehatan. Epidemiologi
dalam investigasi KLB
keracunan pangan sangat
penting untuk mengidentifikasi
pangan yang diduga sebagai
penyebab keracunan dengan
menggunakan studi analitik
dan mengetahui distribusi
kasus (korban) berdasarkan
tempat orang dan waktu
dengan menggunakan studi
deskriptif.
Studi analitik yang digunakan
untuk menentukan pangan
yang diduga sebagai penyebab
K L B k e r a c u n a n pa n g a n
meliputi :
a. Studi Cohort, studi ini
digunakan jika kelompok
terpapar (kelompok yang
makan) baik sakit ataupun
yang tidak sakit seluruhnya
dapat diwawancarai,
sehingga cocok untuk
investigasi KLB kecil dari
populasi yang jelas.
Kelemahan dari metode ini
adalah mahal dan butuh
lebih banyak waktu dan
sumber daya.
b. Studi Case-control, studi
ini digunakan jika kelompok
terpapar (kelompok yang
makan) tidak seluruhnya
dapat diwawancarai.
Responden dipilih
berdasarkan orang yang
makan kemudian sakit
(case) dan orang yang
makan tapi tidak sakit
(control). Metode ini cocok
untuk investigasi KLB yang
besar.
Halaman 5
InfoPOM
Selain dengan kedua metode
di atas pangan yang diduga
sebagai penyebab KLB
keracunan pangan dapat
ditentukan melalui kajian risiko
yaitu dengan memperhatikan
karakteristik komponen pangan
penyusunnya, faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan patogen dan
praktek penanganan pangan
(suhu, waktu, keadaan higiene
dan sanitasi, dan kemungkinan
kontaminasi silang).
PROGRAM INVESTIGASI
DAN PENANGGULANGAN
KLB KERACUNAN PANGAN
DI BADAN POM RI
Dalam rangka untuk
mengetahui pangan dan agent
penyebab KLB keracunan
pangan, Badan POM RI
dengan bantuan dana WHO
Indonesia telah melakukan pilot
project dalam surveilan KLB
Keracunan Pangan (Foodborne
disease outbreak surveillance)
di wilayah kerja DKI Jakarta
pada tahun 2003. Keluaran dari
proyek ini adalah mekanisme
investigasi dan penanggulangan KLB Keracunan Pangan
serta format pelaporan dalam
investigasi. Pada Tahun 2004,
program ini dilanjutkan dengan
mengujicobakan efektivitas
mekanisme dan format
pelaporan serta ujicoba
p r o s e d u r t e ta p ( p r o ta p )
investigasi dan penanggulangan keracunan untuk setiap
tahap penanganan di wilayah
kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota Bekasi dan
Tangerang. Mekanisme dan
Protap ini telah disosialisasikan
ke hampir seluruh provinsi di
Indonesia hingga tahun 2006.
Protap tersebut memuat
instruksi spesifik yang jelas dan
dapat dilaksanakan secara
baku bagi petugas di lapangan,
laboratorium dan pedoman
tindaklanjutnya.
(Dra. Endang Susigandhawati.
MM)
Edisi Januari 2007
Sambungan dari Halaman 3
Transfer ke terapi buprenorfin
dari dosis metadon 40 - 60 mg
masih mungkin bagi pasienpasien yang memilih untuk
melakukannya. Prinsip
umumnya
adalah
menghentikan penggunaan
metadon, dan menunda terapi
awal buprenorfin hingga pasien
mengalami gejala putus opioida
yang dapat diamati dan
bermakna. Hal ini secara umum
berarti bahwa buprenorfin tidak
dimulai hingga 48 - 96 jam
setelah penggunaan metadon
terakhir. Dosis awal buprenorfin harus 4 mg.
Good Practice Points
Pasien dengan dosis metadon
> 60 mg sangat disarankan
untuk mengurangi dosis
menjadi £ 60 mg sebelum
transfer. Pasien yang tidak
mampu mengurangi dosis
metadon hingga £ 60 mg, tidak
boleh ditransfer ke buprenorfin.
Good Practice Points
Stabilisasi
Untuk mencapai stabilisasi
dosis buprenorfin dilakukan
evaluasi pasien secara teratur
untuk beberapa minggu
pertama, meliputi: dosis
adekuat, gejala putus zat, efek
samping, penggunaan obat
lainnya. Peningkatan dosis
hanya dilakukan sesuai
indikasi.
Good Practice Points
Dosis rumatan buprenorfin
harus dicapai dalam 1-2
m i n g g u p e r ta m a t e r a p i ,
tergantung ada tidaknya
penggunaan heroin atau
NAPZA lainnya.
Good Practice Points
Berikut ini jadwal evaluasi
minimal yang direkomendasikan:
¨ Hari pertama setelah
pemberian awal Bupre-
norfin: untuk mengidentifikasi awitan precipitated
withdrawal syndrome dan
kecukupan dosis awal
secara umum.
¨ Setiap 2-4 hari hingga stabil.
¨ Setiap minggu selama 4-6
minggu berikutnya.
¨ Setiap dua minggu selama
6-8 minggu berkutnya.
¨ Setelah dilakukan evaluasi
setiap bulan, meskipun
dokter dapat memperpanjang masa evaluasi
hingga 3 bulan bagi pasien
yang sangat stabil.
Good Practice Points
Dosis Rumatan
Dosis rumatan efektif, menghasilkan pengurangan
penggunaan heroin dan
meningkatkan retensi dalam
terapi, yang dicapai dengan
dosis tinggi buprenorfin dalam
kisaran 12 – 24 mg per hari.
(Di Indonesia: 2-12 mg). Dosis
harian buprenorfin maksimum
yang direkomendasikan adalah
32 mg.
Good Practice Points
Kenyamanan pemberian obat
dengan frekuensi yang
dikurangi harus dipertimbangkan bagi pasien yang
memenuhi kondisi sebagai
berikut :
¨ Sekurang-kurangnya dua
minggu dengan dosis
buprenorfin yang sama
¨ Bukan tergolong “high-risk
drug use” (yang dimaksud
sebagai “high-risk drug use”
adalah
sering
menyalahgunakan alkohol,
benzodiazepin, heroin atau
opioida lain; sering berobat
untuk detoksifikasi; atau
riwayat overdosis baru).
¨ Ada jaminan dari keluarga
untuk menjaga kepatuhan
pada rejimen berobat.
Good Practice Points
Take home dosage
Halaman 6
InfoPOM
Tidak diperbolehkan memberikan obat dengan cara takehome dalam terapi satu bulan
pertama. Pada bulan kedua,
dokter bersertifikat diperbolehkan untuk memberikan obat
take-home dalam keadaan
khusus hingga dua kali
seminggu, memungkinkan
hingga 72 jam penggunaan
obat tanpa pemantauan. Pada
bulan ketiga dan seterusnya,
dapat diberikan dosis takehome buprenorfin maksimal
untuk satu minggu. Dalam
keadaan pasien melakukan
perjalanan, dimana pelayanan
buprenorfin tidak tersedia,
pasien diperkenankan untuk
membawa dosis buprenorfin
sesuai dengan kebutuhannya
sebanyak maksimal kebutuhan
1 (satu) bulan.
Good Practice Points
Intervensi Psikososial
Terapi buprenorfin bukan
merupakan terapi tunggal untuk
ketergantungan heroin. Tetap
diperlukan intervensi psikososial. Pendekatan konseling,
seperti motivational interviewing, pencegahan relaps
dan pelatihan ketrampilan
sosial, terapi perilaku kognitif
(CBT), banyak digunakan dan
cukup efektif. Keterlibatan
keluarga (Family Support
Group/FSG) sangat membantu
kepatuhan pasien untuk
mengikuti program terapi.
Good Practice Points
Missed Dose
Pada pasien dengan rejimen
berselang sehari atau tiga kali
seminggu kadang-kadang
terjadi satu kali pemberian obat
terlewat. Jika pasien tersebut
datang ke terapis pada hari
berikutnya (’bukan hari pemberian obat’), maka diberikan
buprenorfin dengan dosis yang
lebih rendah untuk membantu
kesulitan pasien hingga jadwal
Edisi Januari 2007
pemberian obat berikutnya.
Good Practice Points
Pasien yang berulang kali tidak
mematuhi jadwal pemberian
obat harus memulai kembali
prosedur terapi dari awal
termasuk informed consent
yang baru.
Good Practice Points
Terapi withdrawal heroin
Sebagaimana penggunaan
obat-obatan (farmakoterapi)
pelaksanaan pelayanan putus
z a t b e r k a i ta n d e n g a n :
asesmen, penyesuaian terapi
dengan kebutuhan pasien,
rencana tindakan detoksifikasi,
dan dukungan psikososial.
Good Practice Points
Pasien membutuhkan informasi sehubungan dengan :
dasar dan durasi gejala-gejala
putus zat, strategi untuk berhasil
dengan gejala dan kecanduan,
strategi untuk menghilangkan
situasi dengan risiko tinggi, dan
peran terapi.
Good Practice Points
Pemberian obat dengan cara
take-home dosage tidak
direkomendasikan selama
periode terapi detoksifikasi.
Good Practice Points
Durasi terapi dengan buprenorfin yang direkomendasikan
untuk penatalaksanaan putus
heroin adalah 4 – 8 hari.
Good Practice Points
Kejadian tidak diinginkan
( a d v e r s e E v e n ts ) t e r a p i
buprenorfin.
Efek samping buprenorfin
secara kualitatif mirip dengan
opioida lain yang digunakan
dalam terapi rumatan, tetapi
dengan gejala yang lebih
ringan.
Grade B, Level Ib
Dimana terjadi penyimpangan
penggunaan buprenorfin,
pasien harus diperingati bahwa
mereka mungkin harus transfer
dari terapi buprenorfin ke terapi
metadon, yang lebih mudah
untuk diawasi.
Good Practice Points
Penulisan resep, pemberian
dan pendistribusian buprenorfin
Penulisan resep untuk buprenorfin harus dalam formulir
resep standar. Resep yang sah
harus menjelaskan hal yang
berikut ini:
¨ Nama dan alamat dari
dokter yang meresepkan
yang telah mendapatkan ijin
untuk meresepkan.
¨ Nama dan umur pasien
¨ Tanggal peresepan
¨ Sediaan obat yang akan
diresepkan (tablet sublingual
buprenorfin)
¨ Dosis buprenorfin yang
diberikan dalam mg (katakata dan angka)
¨ Jadwal pemberian obat
yang berbeda harus
dituliskan secara terpisah
(sebagai contoh : dosis 24jam, dosis 2-hari atau 3hari), sebutkan secara rinci
nama hari di-mana pasien
akan diberikan obat.
¨ Tanggal memulai resep dan
berakhirnya resep.
¨ Resep tidak boleh diulang
(ne iterater)
Good Practice Points
Penulisan resep buprenorfin
hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang telah memiliki
sertifikat yang diakreditasi oleh
Perhimpunan Dokter Seminat
Kedokteran Adiksi Indonesia
(The Indonesian Society of
Addiction Medicine/INDOSAM)
dan Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (PDSKJI).
Good Practice Points
Kesimpulan
Buprenorphine Guideline
merupakan pegangan standar
dalam terapi subtitusi ketergantungan opioida menggunakan buprenorfin.
(dr. Al. Bachri Husin, SPKJ)
Halaman 7
InfoPOM
TUJUAN
DARI
AGREEMENT
SEKILAS WTO
KESEPAKATAN TENTANG HAMBATAN
TEKNIS DALAM PERDAGANGAN
(Agreements on Technical Barriers to Trade)
Kesepakatan tentang Hambatan
Te k n i s D a l a m P e r d a g a n g a n
bertujuan untuk menjamin bahwa
peraturan-peraturan, standarstandar, prosedur teknik pengujian
dan sertifikasi di tingkat domestik
tidak menjadi hambatan teknis yang
tidak perlu bagi perdagangan
internasional.
STRUKTUR
AGREEMENT
PENDAHULUAN
Pada dasarnya Kesepakatan
tentang Hambatan Teknis Dalam
Perdagangan (Agreements on
Technical Barriers to Trade/TBTWTO) adalah merupakan bagian
dari struktur persetujuanpersetujuan di dalam WTO (World
Tr a d e O r g a n i z a t i o n ) y a n g
mencakup 4 (empat) bagian berupa
3 persetujuan dan 1 sistem untuk
penyelesaian sengketa yaitu :
a. General Agreement on Tariffs
and Trade (GATT)
b. General Agreement on Trade
in Services (GATS)
c. Agreement on Trade-Related
Apects of Intellectual Property
Rights (TRIPS)
d. D i s p u t e
Settlement
Understanding
Khusus pada GATT terdiri dari 12
persetujuan yang menyangkut
sektor-sektor sebagai berikut :
¨ Pertanian (Agriculture)
¨ Peraturan Sanitary and
Phytosanitary
(SPS
Measures)
¨ Technical Barriers to Trade
(TBT)
¨ Tekstil dan pakaian jadi (Textile
and Clothing)
¨ Tindakan Investasi yang
berkaitan
dengan
Perdagangan (Trade Related
Investment Measures)
Edisi Januari 2007
¨
Tindakan Anti-Dumping (AntiDumping)
¨ Metode Penilaian Bea
(Customs Valuation Methods)
¨ Pemeriksaan sebelum
pengapalan (Pre-shipment
Inspection)
¨ Ketentuan asal barang (Rules
of Origin)
¨ Prosedur perijinan Impor
(Import Licensing Procedure)
¨ Subsidi dan tindakan
imbalannya (Subsidy and
Countervailing Measures)
¨ Usaha perlindungan
(Safeguards)
Dari definisi tentang TBT
(Agreements on Technical
Barriers to Trade ), adalah
merupakan salah satu persetujuan
dalam GATT yang mengatur
hambatan dalam peraturan teknis
yang terkait dengan perdagangan,
standar dan penilaian kesesuaian.
Sedangkan definisi dari SPS
(Sanitary and Phytosanitary),
adalah setiap tindakan yang
diterapkan untuk melindungi
kehidupan atau kesehatan manusia,
hewan dan tumbuhan dari resiko
yang timbul karena disebabkan oleh
hama, penyakit atau makanan. Hal
ini penting bagi para eksportir
maupun importir agar waspada
tentang pemberlakuan suatu
peraturan teknis di negara tujuan
ekspor/ di dalam negeri.
TBT
DARI
TBT
Kesepakatan tentang Hambatan
Teknis Dalam Perdagangan terdiri
dari :
¨ Pembukaan
¨ Batang tubuh, terdiri dari 15
pasal (articles)
¨ Lampiran (annexes) 1-3 yang
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari persetujuan
ISI DARI TBT AGREEMENT
a. Pembukaan
Di dalam pembukaan ini dimuat
alasan diperlukannya kesepakatan
TBT; pentingnya kontribusi standar
internasional dan sistem penilaian
kesesuaian (conformity assessment)
dalam memperbaiki efesiensi
produksi dan perdagangan; bahwa
standar, penilaian kesesuaian dan
peraturan teknis dapat dipakai
sebagai hambatan terselubung;
bahwa adalah hak setiap negara
untuk menjamin kepentingan
keamanan negara; bahwa adalah
hak setiap negara untuk menjamin
k u a l i ta s p r o d u k e k s p o r n y a ,
melindungi kesehatan manusia,
hewan dan tanaman serta
menghindari praktek curang, namun
tidak boleh semena-mena; bahwa
adanya perbedaan antara negara
maju dan negara berkembang.
b. Batang Tubuh
Pada batang tubuh terdiri dari :
¨ Ketentuan Umum (General
Provision) – pasal 1
¨ Peraturan Teknis dan Standar
(Technical Regulations and
Halaman 8
InfoPOM
¨
¨
¨
¨
Standards) – pasal 2 sampai
4
Kesesuaian dengan peraturan
teknis dan standar (Conformity
with technical regulations and
standards) - pasal 5 sampai 9
Informasi dan bantuan
(Information and assistance) pasal 10 sampai 12
Kelembagaan, konsultasi dan
penyelesaian sengketa
(Institutions, consultation and
dispute settlement) – pasal 13
dan 14
Ketentuan Penutup (Final
Provisions) - pasal 15
§
c. Lampiran
Lampiran 1 :
Istilah dan definisi untuk keperluan
persetujuan ini ( Terms and their
definitions for the
purpose of this agreement)
Lampiran 2 :
Kelompok Ahli Teknis (Technical
expert groups)
§
§
§
Lampiran 3 :
Petunjuk pelaksanaan yang baik
untuk penyusunan, penetapan dan
penerapan standar (Code of good
practice for preparation, adoption
and aplication of standards)
PRINSIP - PRINSIP DARI TBT
AGREEMENT
Dalam batang tubuh mempunyai
prinsip-prinsip antara lain:
§ Persetujuan ini ini tidak
berlaku untuk Government
Procurement
§ Aturan persetujuan ini tidak
diterapkan untuk pengaturan
SPS
(Sanitary
and
Phytosanitary)
§ Semua aturan dalam
persetujuan ini yang terkait
dengan standar, penilaian
kesesuaian dan peraturan
teknis harus mengikuti pula
aturan-aturan perbaikan atau
tambahan
§ Non – diskriminasi mostfavoured-nation treatment yaitu
Edisi Januari 2007
§
tidak membedakan antara
perlakuan terhadap produk
serupa dari 2 negara
pengekspor dan national
treatment yaitu tidak
membedakan antara perlakuan
terhadap produk serupa dari
dalam dan luar negeri.
Mempunyai legitimate objective
untuk menghindari penerapan
yang semena-mena antara
lain keamanan negara,
pencegahan praktek curang,
perlindungan keamanan atau
kesehatan manusia, kehidupan
atau kesehatan hewan atau
tumbuhan, atau lingkungan
Penggunaan standar internasional dan pengecualiannya
Ekivalensi yaitu memberikan
pertimbangan positif pada
peraturan teknis anggota lain
jika memenuhi tujuannya
Transparansi, notifikasi 2 bulan,
publikasi, menjawab
pertanyaan, memberikan full
text document (FTD). Anggota
berkewajiban
untuk
menotifikasikan peraturan
teknis, melayani FTD dan
memberi waktu untuk
menanggapi (2 bulan)
Saling pengakuan (Mutual
Recognition), sedapat mungkin
menerima hasil penilaian
kesesuaian negara pengimpor
yang harus ada mekanismenya, dapat berupa Voluntary
agreement, Government
designation, Accreditation or
certification, Unilateral
recognition, SDoC (Suppliers’s
declaration of conformity;
memberi kesempatan yang
sama kepada negara
pengimpor untuk ikut dalam
proses penilaian kesesuaian),
yang meliputi :
Kewajiban membuat
Enquiry Point dan Notification Body
Special and differential
-
treatment
Technical Assisstance
Kesiapan pelaksanaan
persetujuan
NOTIFIKASI
Jenis - Jenis Notifikasi :
a. Notifikasi Persyaratan Teknis
Pemberitahuan dari suatu
negara anggota kepada negara
anggota lainnya melalui
Sekretariat WTO tentang
rencana pemberlakuan
peraturan teknis, standar dan
penilaian kesesuaian, yang
diperkirakan dapat berpengaruh
nyata dalam perdagangan.
Notifikasi ini terkait dengan
pelaksanaan pasal 2.9.2,
2.10.1, 5.6.2 dan 5.7.1 dari
Persetujuan TBT – WTO untuk
memenuhi prinsip transparansi.
b. Notifikasi program kerja
Pengembangan Standar
Pemberitahuan dari suatu
negara anggota kepada Pusat
Informasi ISO/IEC di Jenewa
tentang program nasional
pengembangan standar yang
mencakup nama dan alamat
badan standardisasi nasional,
standar yang sedang disiapkan
dan standar yang telah
ditetapkan sebelumnya. Atas
permintaan negara anggota
lain, judul-judul dari rancangan
s ta n d a r t e r t e n t u , h a r u s
disediakan dalam bahasa
Inggris, Perancis atau Spanyol.
Notifikasi ini terkait dengan
pelaksanaan Lampiran 3 dari
P e r s e t u j u a n T B T- W T O .
c.
N o t i f i k a s i p e r n y a ta a n
administrasi dan penerapan
P e r s e t u j u a n T B T- W T O
Pemberitahuan dari suatu
negara anggota kepada negara
anggota lainnya melalui
Sekretariat WTO tentang upaya
atau ketentuan yang dilakukan
oleh suatu negara anggota
untuk menjamin pelaksanaan,
Halaman 9
InfoPOM
penerapan dan administrasi
dari Persetujuan TBT-WTO,
termasuk perubahanperubahan yang dilakukan
kemudian. Notifikasi ini terkait
dengan pelaksanaan pasal
15.2 dari Persetujuan TBTWTO.
d. Notifikasi Saling Pengakuan
Pemberitahuan dari suatu
negara anggota kepada negara
anggota lainnya melalui
Sekretariat WTO tentang
persetujuan saling pengakuan
antara dua negara atau lebih,
berkenaan dengan peraturan
teknis, standar dan penilaian
kesesuaian, yang diperkirakan
dapat berpengaruh nyata
dalam perdagangan. Notifikasi
ini meliputi produk yang
dicakup, uraian singkat tentang
persetujuan tersebut dan
negara yang terlibat.
Setidaknya salah satu negara
yang terlibat harus
menotifikasikan persetujuan ini.
Notifikasi ini terkait dengan
pelaksanaan pasal 10.7 dari
Persetujuan TBT-WTO untuk
pelaksanaan prinsip
transparansi.
PROSEDUR NOTIFIKASI
a. Pra Notifikasi
Dalam menyiapkan rancangan
peraturan teknis, regulator harus
melakukan kajian dengan
berkoordinasi dengan stakeholder
mengenai kesiapan produsen,
infrastruktur penilaian kesesuaian
dan keabsahan serta kemutakhiran
standar. Rancangan peraturan
teknis disiapkan oleh regulator
dengan mengacu kepada APEC
Good Regulatory Practice serta
Pedoman Standardisasi Nasional
(PSN) 301 tentang pemberlakuan
SNI wajib.
Regulator menginformasikan
kepada BSN (Badan Standardisasi
Nasional) tentang rencana
Edisi Januari 2007
pemberlakuan suatu peraturan teknis
yang mencakup latar belakang, halhal yang akan diatur serta maksud
dan tujuan. Peraturan teknis siap,
regulator mengajukan permohonan
kepada BSN untuk melakukan
notifikasi ke Sekretariat WTO dengan
melampirkan formulir yang telah terisi
dilengkapi dengan rancangan
peraturan teknis dan kelengkapan
dokumen lainnya dalam bentuk
hardcopy dan softcopy. BSN
melakukan review terhadap semua
dokumen yang diusulkan untuk
menilai pemenuhan persyaratan
yang mencakup :
¨ Kesesuaian rancangan
peraturan teknis terhadap
Persetujuan TBT-WTO
¨ Kesesuaian rancangan peraturan teknis terhadap Good
Regulatory Practice dan PSN
301
¨ Kemutakhiran standar
¨ Kesiapan infrastruktur teknis
b. Notifikasi
BSN melakukan koordinasi dengan
regulator dan pihak lain terkait untuk
memastikan bahwa rancangan
peraturan teknis sudah siap untuk
dinotifikasikan. Selanjutnya BSN
melakukan notifikasi ke seluruh
negara anggota WTO melalui
Sekretariat WTO dengan tembusan
kepada Perutusan Tetap RI di
Geneva. Dalam hal adanya masalah
mendesak terkait keselamatan,
kesehatan, perlindungan fungsi
lingkungan atau keamanan nasional,
maka dapat dilakukan notifikasi
dengan mengabaikan tahap publikasi
dengan memberikan penjelasan
tentang terjadinya masalah tersebut.
Tenggang waktu untuk memberikan
k o m e n ta r / m a s u k a n t e r h a d a p
rancangan peraturan teknis adalah
2 bulan.
c. Paska Notifikasi
Selama tenggang waktu 2 bulan,
BSN berkoordinasi dengan regulator
dan pihak terkait, memonitor
seluruh perkembangan notifikasi,
yang mencakup :
¨
¨
¨
Permintaan full text documents rancangan peraturan
teknis, standar, prosedur
penilaian kesesuaian dll.
Menjawab pertanyaan
Menindaklanjuti tanggapan/
masukan/ pertanyaan
Terhadap permintaan naskah
lengkap suatu peraturan yang
telah dinotifikasikan, maka naskah
dikirim dengan mengingatkan
batas waktu untuk memberikan
komentar. Nama instansi/ organisasi yang meminta hendaknya
dicatat dalam buku catatan proses
notifikasi.
Naskah lengkap hanya dikirimkan
dalam bentuk teks bahasa
Indonesia, kecuali bila sudah ada
terjemahannya dalam bahasa
resmi TBT-WTO.
Terhadap pemberian tanggapan
atas input dari negara lain,
hendaknya dilakukan koordinasi
dengan instansi teknis/regulator
pembuat regulasi teknis yang
dinotifikasikan.
Untuk input yang diterima melebihi
batas tanggal yang diberikan pada
saat rancangan tersebut dinotifikasikan, maka tidak ada kewajiban
bagi Indonesia untuk memberikan
jawaban atas tanggapan dari
negara anggota lain, walau
demikian pencatatan tetap
dilakukan.
BSN membuat rangkuman
notifikasi yang selanjutnya
disampaikan ke regulator.
(Drs. Rahardjo)
Pustaka :
1. TBT-WTO Agreement di KADIN, Pusat
Kerjasama Standardisasi Nasional
BSN, 10 Okt 2006
2. S e k i l a s W T O , E d i s i k e - 3 ,
Dir.Perdagangan & Perindustrian
Multilateral Ditjen Multilateral Ekonomi
Keuangan & Pembangunan Dept. Luar
Negeri
Halaman 10
InfoPOM
Gallstone dan alkohol adalah
dua hal yang paling sering
menyebabkan terjadinya
pankreatitis, namun demikian,
pankreatitis yang terjadi akibat
konsumsi obat hanya sekitar
2 – 5% kasus.
OBAT - OBAT
YANG DAPAT MENGINDUKSI
PANKREATITIS
Hingga saat ini, ADRAC
(Adverse Drug Reactions
Advisory Committe) Australia
telah menerima 414 laporan
terkait pankreatitis yang
melibatkan 619 jenis obat.
Kelompok obat yang sering
menyebabkan pankreatitis
diantaranya obat antiviral, obat
hipolipidemik, obat atipical
antipsikotik, kortikosteroid dan
imunosupresan lainnya,
penghambat COX-2, NSAIDs,
aminosalisilat (mesalazin,
sulfasalazin), antagonis reseptor
angiotensin II, penghambat ACE
dan antagonis reseptor H2.
Kelompok ini (kurang dari 22%
data ADRAC) sebagai
penyebab lebih dari 60%
laporan pankreatitis. Daftar obat
yang pada pemberian tunggal
(tanpa dikombinasi dengan obat
lain) dapat menyebabkan
pankreatitis dapat dilihat pada
Mulai terjadinya pankreatitis
sangat bervariasi. Pankreatitis
dapat timbul dari hari pertama
mulai minum obat hingga
beberapa bulan setelah minum
obat, bahkan di beberapa kasus
pankreatitis ini baru timbul
setelah beberapa tahun.
N a m u n , i n f o r m a s i d e ta i l
penggunaan alkohol tidak
ditemukan pada hampir semua
laporan. Efek yang fatal
ditemukan pada 10 dari 414
laporan.
Laporan pankreatitis paling
banyak terjadi pada
penggunaan obat azathioprin,
didanosin, dan valproat.
Tabel A :Obat - obat yang dilaporkan sering menimbulkan pankreatitis
Azathioprine
33
Lamivudin
10
Didanosin
27
Ezetimibe
10
Valproat
28
Prednisolon
9
Stavudin
17
Olanzapin
8
Simvastatin
22
Celecoxib
7
Clozapin
13
Mercaptopurine
7
tabel A. Di Australia, peringatan
risiko timbulnya pankreatitis
dicantumkan pada produk
informasi obat – obat yang
terdapat di dalam tabel.
Daftar obat yang dapat
menyebabkan pankreatitis
dapat dilihat pada “Drug
induced pancreatitis : An
update, oleh Trivedi CD,
Pitchumoni CS dalam J Clin
Gastroenterol 2005”
Walaupun hubungan sebab
akibat timbulnya pankreatitis
ini belum diketahui dengan
pasti, namun hal ini tetap
harus diwaspadai apalagi jika
ada faktor lain yang dapat
menyebabkan pankreatitis.
Kelompok yang berisiko
terhadap pankreatitis yang
diinduksi oleh obat ini meliputi,
pasien usia lanjut yang diberi
beberapa jenis obat sekaligus,
pasien positif HIV, pasien
kanker dan pasien yang
menerima pengobatan dengan
imunomodulator. Tidak ada
informasi yang cukup tentang
kondisi penyakit begitu obat
yang dicurigai dihentikan
pemberiannya. Pada keadaan
seperti ini lebih baik obat
langsung dihentikan dan
jangan diberikan kembali.
(Indah W, SSi)
Pustaka
1. Australian Adverse Reactions
Bulletin, Desember 2006
Edisi Januari 2007
Halaman 11
771829 933428
Redaksi menerima naskah yang berisi informasi yang terkait dengan obat, makanan, kosmetika, obat
tradisonal, komplemen makanan, additif dan bahan berbahaya. Kirimkan melalui alamat redaksi dengan
format MS. Word 97 spasi ganda maksimal 2 halaman kuarto. Redaksi berhak mengubah sebagian isi
9
Alamat Redaksi : Pusat Informasi Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan,
Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat, Telp. 021-4259945, Fax. 021-42889117, e-mail :
[email protected]
ISSN
Penasehat : Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan; Penanggung Jawab: Sekretaris Utama Badan
Pengawas Obat dan Makanan; Pimpinan Redaksi : Kepala Pusat Informasi Obat dan Makanan; Sekretaris
Redaksi : Kepala Bidang Informasi Obat; Tim Editor : Dra. Sri Hariyati, MSc, Dra. Darmawati Malik,
Dra. Endang Susigandhawati, MM, Dra. Endang Setyawati Daoed, Dra. Yunida Nugrahanti, Dra. Hermini
Tetrasari, MSi, Dra. Dyah Nugraheni, Tofa Apriansyah, SFarm, Dra. T. Asti Isnariani M.Pharm, Drs.
Mohd. Faisal, Arief Dwi Putranto, SSi; Redaksi Pelaksana : Yulinar, SKM, Dra. Yuniar Marpaung, Dra.
Helmi Fauziah, Wardhono Tirtosudarmo, SSi, Indah Widiyaningrum, SSi, Eriana Kartika Asri, SSi, Denik
Prasetiawati, SFarm; Sirkulasi : Surtiningsih, Netty Sirait
1829-9334
InfoPOM
Download