1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an adalah mukjizat Islam yang abadi di mana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah swt. menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw., demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.1 Dalam tempo dua puluh tiga tahun, bangsa Arab telah menjadi bangsa yang dihormati, disegani dan dimuliakan di dunia. Mereka telah naik kepuncak ketinggian dan kemuliaan, diketika mereka sungguh-sungguh berpegang dan beramal sepanjang tuntunan Al-Qur‟an firman Allah swt. yang suci kudus. Dan jelas tegas kita sekarang merasakan bekasan dari membelakangi dan mengabaikan tuntunan suci itu dalam pergaulan hidup. Oleh karena kita membelakangi AlQur‟an, bertukarlah kemewahan dengan kesengsaraan dan kemuliaan dengan kehinaan.2 Allah swt. sendiri telah mensifatkan Al-Qur‟an dengan firman-Nya: 1 Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Mabāhits fi ‘Ulūm Al-Qur’ān, terj: Aunur Rafiq El-Mazni, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2006, hlm 3. 2 Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang Jakarta 1992 hal 133. 2 “Alif lām rā, (inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci3, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.”4 Pertanyaan tentang bagaimana Al-Qur‟an menjawab realitas senantiasa terus menerus hadir, baik dalam ranah pemikiran maupun dalam kehidupan praktis. Pertanyaan itu muncul karena adanya kesadaran bahwa Al-Qur‟an merupakan panduan hidup dan hidayah (petunjuk) yang diyakini berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh5 dalam kritiknya dalam penafsiran Al-Qur‟an bahwa pada masanya mufasir terlalu sibuk dalam kajian kebahasaan dan hanya berusaha mengumpulkan pemikiran-pemikiran sebelumnya, serta mengabaikan fungsi diturunkannya Al-Qur‟an. Melihat demikian Abduh kemudian berpendapat bahwa untuk mengeluarkan berbagai petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur‟an maka seorang mufasir tidak harus terlibat terlalu jauh dalam kajian kebahasan. Berbeda dengan Abduh, Amin Al-Khulli mengatakan bahwa Al-Qur‟an sebagai hidayah memanglah benar adanya tetapi sebagai prioritas utama, tanpa memperhatikan perangkat yang tepat untuk mendapatkan hidayah tersebut, adalah sebuah kenafian. Dan selebihnya Al-Khulli mengatakan bahwa Al-Qur‟an harus diletakan sebagai kitab sastra terbesar, sehingga unsur semantik dan lingustik dari 3 Maksudnya: Diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain. 4 QS. Hūd [11]:1 5 Ia lahir disuatu desa di Mesir Hilir. Di desa mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tempat dan tanggal tanggal lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu. Perbedaan dan tempat tanggal lahir M. Abduh timbul Karena suasana kacau yang terjadi diakhir zaman Muhammad Ali (18051849). 3 teks6 dapat diungkap dalam rangka menemukan hidayah di dalamnya. Sebagai kitab sastra yang agung maka implikasi pemahamannya adalah Al-Qur‟an (wahyu) tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan budaya dan peradaban yang mencakup akal, intelek, bahasa, budaya dan peradaban. Apa yang dikemukakan mereka tidak lebih hanya untuk mengungkap berbagai petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur‟an sehingga kesan yang muncul dari perbedaan cara pandang mereka lebih merupakan bagaimana memahami Al-Qur‟an secara tepat, sehingga petunjuknya benar-benar operasional.7 Dunia pemikiran Islam terutama di Indonesia belakangan ini dihebohkan oleh munculnya pemikiran liberal8. Meskipun benih-benihnya sudah tumbuh pada era 1970-an, namun generasinya sekarang semakin mekar. Dalam memahami nash (teks-teks Al-Qur‟an dan Hadis), kelompok liberalis ini mengusung kebebasan dalam berfikir dan cenderung kepada pemahaman pluralisme9 agama. Teks-teks agama mereka formulasikan sesuai dengan selera mereka, bukan pada pemahaman-pemahaman seperti yang dikembangkan para ulama selama ini. Di 6 Teks merupakan fiksasi atau pelembagaan sebuah wacana lisan dalam bentuk tulisan. Penggunaan kata teks pada Al-Qur‟an secara sederhana dapat dipahami sebagai tulisan yang telah sampai pada kita sebagai pembaca. Permasalahan teks atau kalam Allah tidak terbatas pada firman yang terucapkan dan tertulis saja, melainkan alam raya sendiri juga disebut ‘alam yang berfungsi sebagai tanda, yang jika ditelusuri akan menunjukan adanya realitas yang tidak hadir. Lihat Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika Transendental: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praktis Islami Studies, Nafisul Atho‟ dan Arif Fakhrudin (ed) (Yogyakarta: IRCisoD, 2003), hlm.245. dengan judul Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricour. 7 Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Qur’an Jawaban (Al-Qur’an Terhadap Problematika Sosial), Pustaka Rihlah, Yogyakarta, 2007, hlm. 3. 8 Faham yang menganut kebebasan/ Aliran yang menghendaki pemerintah melaksanakan atau menerpkan aturan berdasarkan kebebasan kekuatan rakyat. Lihat: Fajar, Mitra Press Tim Media, Kamus Ilmiah Populer, Media Center, Bandung 2002. hlm. 2006. 9 Suatu faham yang menunjukan juklah lebih dari satu atau lebih dari dua dalam bahan yang memiliki dualis. Ibid., hlm. 258. 4 antaranya adalah masalah Pernikahan Beda Agama yang kini menjadi polemik aktual.10 Secara tekstual terdapat tiga ayat yang secara khusus membicarakan perkawinan orang muslim dengan non-muslim dalam Al-Qur‟an11, yaitu: Pertama, Al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2] ayat 221: ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran..12" 10 Ali Mustafa Ya‟qub, Nikah Beda Agama Dalam al-Qur’an dan Hadis, Pustaka Pirdaus, Jakarta 2006, hlm. 15. 11 Suhadi, Kawin Lintas Agama (Perspektif Kritik Nalar Islam), LKiS, Yogyakarta 2006, hlm. 19. 12 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, Syamil Cipta Media, Bandung 2006. 5 Kedua, Al-Qur‟an surat Al-Mumtahanah [60] ayat 10: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”13 13 Ibid. 6 Ketiga, Al-Qur‟an surat Al-Maidah [5] ayat 5: ”Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan14 diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”. Dari bunyi teksnya, tiga ayat di atas memiliki makna yang bertingkat. Ayat pertama melarang kamu (mukhatab / audience / pengikut Nabi Muhammad) mengawini orang musyrik, baik laki-laki muslim mengawini perempuan musyrik, maupun sebaliknya. Ayat kedua mengungkapkan larangan perempuan mukmin dikawinkan dengan laki-laki kafir. Ayat ketiga memperbolehkan (mukhatab / audience / pengikut Nabi Muhammad saw.) mengawini perempuan ahl al- kitāb.15 14 15 Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka. Suhadi. Op. Cit., hlm. 20. 7 Dari ketiga ayat di atas, jelas sekali bahwa Al-Qur‟an (pedoman pokok ajaran agama Islam) mengatur dengan tegas bahwa pernikahan merupakan suatu hal yang disyari‟atkan dalam Islam. Oleh sebab itu, sebaiknya menjadi perhatian bahwa tidak semua orang dapat dinikahi sesuai dengan selera, tetapi harus lebih serius dalam memilih calon pendamping hidup sesuai syariat. Allah swt. menciptakan manusia berpasang-pasangan, salah satu tali pengikatnya adalah pernikahan yang merupakan suatu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara yang satu dengan yang lainnya.16 Penulis berusaha mengangkat dan menelaah pemikiran Ali Al-Shabuni yang dituangkan dalam kitab tafsir ahkamnya. Pembahasan akan disusun secara deskriptif yang membincangkan tentang kitab tafsir yang ditulisnya, dalam penelitian ini penulis mengangkat persoalan dengan judul “PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM Al-QUR’AN” (Studi Tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān karya Ali Al-Shabuni). Faktor yang paling mendasar dari penyebab pentingnya penelitian terhadap kajian ini bukan hanya didasarkan atas pertimbangan kehausan eksplorasi teoritis belaka, melainkan pilihan pada tema ini lebih atas dasar usaha 16 374. Lihat: Sulaiman Rasjid, Fiqh Al-Islām, Sinar Baru Algensindo, Bandung 2007, hlm. 8 berempati terhadap pengalaman langsung kehidupan sehari-hari setidaknya dapat memberikan sumbangan inspiratif bagi pertanyaan-pertanyaan kritis yang dihadapi oleh kajian ushul fiqh dan fiqh dalam menjawab kompleksitas masyarakat Islam dewasa ini. Kebetulan selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di majelis ta‟lim yang berada dilingkungan majemuk dari berbagai latar belakang agama dan etis di kota Bandung tepatnya di Ujung Berung. Penelitian ini tidak membahas kualitas suatu tafsir, akan tetapi hanya mencakup masalah konsep “Perkawinan Beda Agama” sekaligus merupakan tema kajian hukum yang sensitif di mana-mana, terutama dikalangan elit muslim Indonesia. Salah satu yang menurut peneliti perlu perjelas adalah batasan-batasan yang dilakukan mufasir dalam menafsirkan suatu ayat mengenai makna dan kandungan Al-Qur‟an. Pengertian yang penulis kemukakan adalah mencoba mengukur validitas istinbath yang lebih memenuhi harapan kita umat Islam dalam perspektif Al-Qur‟an, Hadis dan Ijma’ (konsensus „ulama). Dan tentu hasilnya nanti sangat mempengaruhi paradigma dan amaliah masyarakat Islam samapai pada level grass root. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang sudah terpapar dan untuk mempermudah sistematika kerja penelitian seputar konsep ”Perkawinan Beda Agama” dalam kajian tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min alQur’ān karya Ali Al-Shabuni, penulis menyiapkan pertanyaan penelitian yaitu: 9 1. Apa sumber dari penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān? 2. Bagaimana metode penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ alBayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān? 3. Bagaimana penafsiran Ali Al-Shabuni tentang pernikahan beda agama dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān? C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui sumber dari penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān. 2. Untuk mengetahui metode penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān. 3. Untuk mengetahui hasil penafsiran Ali Al-Shabuni tentang pernikahan beda agama dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min alQur’ān. D. Kegunaan Penelitian Temuan sumber, metode dan hasil penafsiran dari penelitian ini diharapkan akan membawa wawasan akademik dan nalar intelektual bagi para pemerhati yang menaruh minat pada kajian tafsir serta metodologinya dan corak penafsiran sebagai khazanah intelektual. Selain itu, penelitian ini diharapkan 10 dapat mendorong aktivitas akademika dalam upaya meningkatkan rasa pengabdian terhadap lembaga melalui karya-karya yang dihasilkan. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan menarik minat peneliti lain, khususnya dikalangan mahasiswa, untuk mengembangkan penelitian lanjutan tentang masalah yang sama dengan mekanisme kerja penelitian yang lebih baik. Dari hasil-hasil penelitian itu dapat dilakukan generalisasi yang lebih komprehensif. Sehingga apabila hal itu dapat ditempuh, maka akan memberi sumbangan yang cukup berarti bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang studi tafsir Al-Qur‟an. Oleh karena itu, dari penelitian ini cukup penting dan bisa dijadikan pilihan ilmu pengetahuan ilmiah/ referensi dalam proses pencarian problem solver dan sedikit memberikan jawaban terhadap problematika sosial yang tak kunjung selesai. E. Tinjauan Pustaka Tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān kitab ini merupakan salah satu buah karya Ali Al-Shabuni yang membahas secara khusus Tafsir ayat-ayat hukum yang ada di dalam Al-Qur‟an. Beliau merupakan guru besar dari Fakultas Syari‟ah, Universitas Umul Quro‟, Mekkah Al-Mukarramah. Kitab karangan ali al-shabuni ini sebenarnya telah dibahas, di teliti dan diterbitkan dalam bentuk makalah atau suatu karya buku tertentu. Sejauh pengamatan penulis, tardapat studi yang berkenaan dengan masalah pernikahan 11 beda agama dan mengenai tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min alQur’ān, di antaranya: 1. Skripsi Yana Permana, salah satu alumni Tafsir Hadis yang menulis penelitiannya dengan judul: Karakteristik Tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān karya Ali Al-Shabuni dalam penelitiannya, beliau menjelaskan tentang sumber, metode, corak dan sistematika penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya. 2. Ali Mustafa Yaqub, sebuah buku dengan judul: Nikah Beda Agama Dalam Al-Qur‟an dan Hadis. Buku ini menjelaskan tetang hukum pernikahan beda agama dari berbagai segi kajian Al-Qur‟an, Hadis dan fiqh. 3. Suhadi, sebuah buku dengan judul: Kawin Lintas Agama Persepektif Kritik Nalar Islam. Dalam bukunya tersebut, Suhadi memberikan pembahasan mengenai tema kawin lintas agama dalam tiga tingkatan pembahasannya: Al-Qur‟an, Tafsir-fiqh, dan praktik hukumnya di Indonesia. Untuk kajian Al-Qur‟an dan diskursus pemikiran Islam, Suhadi memilih pemikiran Arkoun sebagai dasar teoritisnya. Beberapa tulisan di atas memenag mengkaji mengenai tema pernikahan beda agama. Namun dalam penelitian ini penulis lebih menitik beratkan pada persoalan pernikahan beda agama dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt alAhkām min al-Qur’ān karya Ali Al-Shabuni yang dibahas secara deskriptif dan sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti. Untuk itu masih diperlukan kajian tentang pernikahan beda agama menurut Ali Al-Shabuni dalam kitab tafsirnya. 12 F. Kerangka Pemikiran Di antara kemurahan Allah swt. terhadap manusia adalah bahwa Dia tidak saja menganugrahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa-kemasa mengutus seorang Rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah swt., mengajak manusia agar beribadah hanya kepada-Nya semata. Menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah swt. setelah datangnya para Rasul. Allah swt. berfirman: ”(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”17 Wahyu diturunkan senantiasa mengiringi manusia sesuai dengan perkembangan dan kemajuan berfikir manusia. Ia memberikan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh setiap kaum para Rasul Allah swt. Demikian sehingga perkembangan itu sampai kepada masa kematangannya. Allah swt. menghendaki agar risalah Muhammad saw. muncul di dunia ini. Maka 17 QS. An-Nisa [4]: 165. 13 diutuslah beliau disaat manusia lama megalami stagnasi para Rasul Allah swt, demi menyempurnakan bangunan para Rasul yang datang sebelumnya dengan kitab yang memuat syari‟at yang bersifat universal dan abadi.18 Dengan keistimewaan itulah, maka Al-Qur‟an memecahkan persoalanpersoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik, dengan pemecahan yang penuh bijaksana, karena ia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Untuk menjawab semua problem yang ada, Al-Qur‟an meletakkan dasardasar umum yang dapat dijadikan landasan oleh manusia, yang relevan disegala zaman. Dengan demikian, Al-Qur‟an akan selalu aktual disetiap waktu dan tempat. Menarik apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad 14 H yaitu Hasan Al-Banna, ”Islam adalah suatu sistem yang komprehensif, ia mencakup segala persoalan kehidupan. Seperti masalah negara dan tanah air, pemerintah dan rakyat, moral dan kekuatan, rahmat dan keadilan, budaya dan undang-undang, ilmu dan hukum, serta militer dan pemikiran. Selain itu, ia juga mengandung masalah akidah yang lurus dan ibadah yang shalih.”19 Manusia kini banyak yang resah gelisah, akhlaknya rusak, tidak ada tempat berlindung bagi mereka dari kejatuhannya ke jurang kehinaan selain kembali kepada ajaran Al-Qur‟an. Al-Qur‟an tidak bisa dipahami oleh sembarang orang, agar dapat dipahami dan diamalkan oleh seluruh umat manusia, maka Al-Qur‟an memerlukan 18 19 Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Op. Cit., hlm. 12. Ibid., hlm. 15. 14 penafsiran. Kemampuan setiap orang dalam memahami dan menafsirkan AlQur‟an tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-ayatnya demikian jelas dan terperinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sedang kalangan cendikiawan dan terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik. Adapun Hadis Nabi saw. merupakan sumber penafsiran yang kedua setelah Al-Qur‟an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi dan akhlak Rasulullah saw. merupakan perwujudan dari Al-Qur‟an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa tempat, penjelasan-penjelasan yang disyaratkan oleh ayat-ayat Al-Qur‟an hanya bersifat mujmal, pentaqyid yang mutlak, takhsīs yang ’āmm dan sebagai pencetus hukum-hukum baru yang tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Qur‟an. Sebagai contoh ketika Al-Qur‟an menyebutkan berbagai permasalahan di antaranya tentang ”Pernikahan Beda Agama”. Hal ini disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur‟an, di antaranya QS. Al-Baqarah [2]: 221, QS. Al-Mumtahanah [60]: 10, QS. Al-Maidah [5]: 5 dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan tema pernikahan beda agama. Untuk menuju kepada hal tersebut di atas, maka tafsir adalah satu-satunya alat untuk mengetahui dan memecahkan berbagai petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur‟an. Pada dasarnya, pengertian tafsir tidak akan lepas dari 15 kandungan makna al-idhāh (menjelaskan), al-bayān (menerangkan), al-kasyaf (mengungkapkan), al-izhār (menampakkan) dan al-ibānah (menjelaskan). Adapun mengenai pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama mengemukakan dengan redaksi yang berbeda-beda. Di antaranya tafsir menurut Al-Kilabi dalam al-Tashil: ”Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur‟an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau tujuannya.”20 Sebagai jalan untuk memudahkan dan memahami dari arti kandungan AlQur‟an secara komprehensif, para ahli telah memperkenalkan beberapa sumber atau bentuk tafsir yang terdapat dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Sumber tafsir AlQur‟an secara garis besar hanya mempunyai dua, yaitu: sumber pertama selama masih ada wajib diutamakan daripada sumber kedua. Sumber pertama adalah alma’tsūr yang layak dijadikan argumentasi. Sumber kedua adalah pikiran rasional (al-ra’yi) yang lurus, hasil ijtihad yang memenuhi syarat-syarat tertentu.21 Bentuk tafsir bi al-ma’tsūr ada empat22, yaitu: 1. Menfasirkan Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an Al-Qur‟an berada pada posisi pertama dan utama dalam menafsirkan AlQur‟an. Selama Al-Qur‟an telah dapat menafsirkan Al-Qur‟an dengan cukup jelas, maka selama itu pula materi penafsir lainnya tidak boleh digunakan. Keadaan ini berdasarkan tiga postulat23, yaitu: sebaik-baik penafsir suatu 20 21 Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 178. Ibrahim Syuaib Z, Metodologi Kritik Tafsir (Al Dakhil Fi Al-Tafsir), Bandung 2008, hlm. 3. 22 Ibid., hlm. 3-9. Ialah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; patokan duga; aksioma. 23 16 ungkapan adalah penuturnya sendiri; mengimani ajaran Islam sebelum terwujud sebelum menerima semua kandungan Al-Qur‟an secara global dan rinci; menafsirkan Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an adalah salahsatu perintah Allah swt. Salah satu dalilnya adalah: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”24 2. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan Hadis yang layak dijadikan hujjah Bila di dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan penafsir Al-Qur‟an, maka penafsirannya dicari di Hadis. Kaidah ini berdasarkan empat postulat, yaitu: Muhammad saw. adalah Rasulullah yang tidak berbicara berdasarkan nafsu25; sebaik-baik orang yang mungkin menafsirkan sesuatu ialah orang yang tugas utamanya adalah menerangkan sesuatu tersebut; Hadis adalah sumber hukum 24 25 QS. An-Nisa [4]: 9. Firman Allah swt.: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. QS. An-Najm [53]: 3-4. 17 kedua agama Islam26; menafsirkan Al-Qur‟an dengan Hadis adalah salah satu perintah Allah swt. 3. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan pendapat sahabat Bila tidak ditemukan Hadis sebagai penafsir Al-Qur‟an, maka dicari penafsirannya dipendapat sahabat. 4. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan pendapat tabi‟i Bila tidak ditemukan pendapat sahabat sebagai penafsir Al-Qur‟an, maka dicari penafsirannya dipendapat tabi‟i. Sedangkan bentuk atau sumber bi al-ra’yi di samping menafsirkan AlQur‟an dengan riwayat juga didasarkan pada penjelasan-penjelasan yang bersendi kepada ijtihad27 dan akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa dan adatistiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.28 Perkembangan dunia tafsir semakin berkembang sampai saat ini, maka lahirlah beberapa metode baru dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila ditelusuri satu persatu. Untuk lebih mudah bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam, yaitu: tahlili29, ijmali30, muqaran31 dan maudhū’i32. 26 Firman Allah swt.: “…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” QS. Al-Hasyr [59]: 7. 27 Yang dimaksud dengan ijtihad di sini ialah yang didasarkan pada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti oleh orang yang hendak mendalami tafsir AlQur‟an atau mendalami pengertiannya. Lihat: Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan Fi Ulum AlQur’an, Beirut 1985, hlm. 155. 28 Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 178. 29 Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian kosa-kata, makna kalimat, maksud setiap 18 Dari keempat metode tersebut di atas, ternyata metode maudhu’i selangkah lebih maju dari metode tahlili. Meski begitu, kedua metode ini tidak bisa dipisahkan pada prakteknya sepanjang sejarah tafsir. Karena metode maudhū’i (tematis) ternyata membutuhkan penegasan dari metode tahlili (analitis) tentang ayat-ayat yang dibahas oleh metode maudhū’i yang oleh penulis akan dikaji pada topik ini. Kerangka pemikiran yang penulis gunakan dalam penelitian ini berpusat pada penfsiran Ali Al-Shabuni tentang ”Pernikahan Beda Agama” dalam tafsir Rawāi’u al-Bayān. Yang menjadi tujuan utama penelitian kali ini dan melahirkan tujuan lain yang diderivasikan langsung dari tujuan utama. Untuk mencapai pusat penelitian, penulis terlebih dahulu akan membuka kembali karya-karya penulis lain yang secara global membahas persoalan tentang ”Perkawinan Beda Agama” dan mencoba membandingkan tiap pemikiran kemudian membuat garis yang menghubungkan kata ”Beda Agama” secara khusus yaitu konotasi kafir, musyrik dan ahl al-kitāb dalam kajian Al-Qur‟an yang sudah ditahbiskan sebagai titik sentral penelitian ini. Hanya dari titik sentral penelitian ini, penulis melanjutkan penelitian ke tujuan penelitan selanjutnya. ungkapan, kaitan antara pemisah (munasabah), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh almunasabah) dengan bantuan asbab al-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., sahabat, dan tabi‟in. 30 Metode Ijmali yaitu menafsirkan Al-Qur‟an secara global. 31 Muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan merujuk kepada penjelasanpenjelasan para mufasir dan ulama lain. 32 Metode Maudhu’i dalam format dan prosedur yang jelas belum lama lahir. Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Al-Jalil Ahmad As-Sa‟id Al-Kumi, ketua Jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar. Lihat: Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung. 2000, hlm. 161. 19 G. Langkah-langkah Penelitian Langkah-langkah penelitian bisa juga disebut dengan prosedur penelitian, dan ada juga yang menyebut dengan metodologi penelitian. Langkah-langkah penelitian ini, secara garis besar mencakup: penentuan metode penelitian, penentuan jenis data dan sumber data, teknik pengumpulan data yang digunakan dan analisis data. Adapun penelitian yang akan dilakukan dalam penulisan ini adalah studi naskah yang data-datanya diperoleh melalui sumber literatur (library research) yaitu kajian literatur melalui riset kepustakaan. Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau secara akademis, maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat, sehingga penelitian dapat berjalan dengan sistematis, efisien dan tepat guna. Selanjutnya ditentukan sumber data yang dijadikan objek penelitian baik data primer maupun sekunder, serta teknik pengumpulan data dan analisa. Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis sebagai berikut: 1. Menentukan Metode Penelitian Penelitian ini berusaha mengkaji, meneliti, menelaah dan memahami penafsiran Ali Al-Shabuni tentang "Pernikahan Beda Agama" dengan merujuk kepada karya tafsir ahkamnya dan karya tulis yang lain yang terkait dengan tema tersebut. Metode deskriptif-analitis dirasakan lebih tepat untuk dipergunakan dalam penelitian ini, karena tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan 20 data namun juga meliputi usaha klasifikasi data, analisa data dan interpretasi tentang arti data yang diperoleh sehingga dapat menghasilkan gambaran yang utuh dan menyeluruh.33 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah berbagai peninggalan tertulis yang berkaitan dengan tema yang diangkat dari penafsir (Ali Al-Shabuni), terutama karya tafsirnya. Hal ini dilakukan untuk mengungkap berbagai teori, pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran orisinal beliau. Di dalam ilmu tafsir dikenal beberapa metode penafsiran Al-Qur'an, seperti dikemukakan Al-Farmawi, yaitu tahlili, ijmali, muqaran dan maudū’i.34 Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan Ali Al-Shabuni tentang "Pernikahan Beda Agama" dalam karyanya yaitu Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt al-Ahkām fī Al-Qur’ān. Metode muqaran (komparatif) dan maudhi’i sebagai salah satu metode yang berkembang dalam dunia penafsiran, menjadi pilihan yang serasa tepat oleh penulis dipergunakan dalam penelitian ini. Karena metode ini selain menghimpun sejumlah ayat yang dijadikan obyek studi juga berusaha membandingkan pendapat penafsir tersebut diatas untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan identitas dan pola berpikir masing-masing penafsir serta orientasi dan aliran yang dianutnya.35. 33 Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito, 1978, hlm. 131. „Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, terj: Suryan A. Jamrah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1996, hlm.11. 35 Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1998, hlm. 68. 34 21 2. Menentukan Jenis dan Sumber Data Berdasarkan masalah yang akan diteliti, maka jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Hal ini dilakukan karena persoalan-persoalan yang akan dibahas merupakan penelitian kualitatif. Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini meliputi dua sumber yaitu: a. Sumber Data Primer, ialah sumber utama atau pokok yang dijadikan objek penelitian, yaitu Tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān karya Ali Al-Shabuni. b. Sumber Data Sekunder, ialah sumber lain yang mendukung atau sebagai pelengkap yang berfungsi untuk mengembangkan dan menambah data dalam penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan peneliti akan diperoleh melalui membaca, mempelajari dan menela‟ah sumber data baik primer maupun sekunder. Jenis data dari sumber-sumber data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan atau book surveys, yaitu mengumpulkan data dari literaturliteratur atau berbagai referensi yang relevan dengan materi penelitian ini dan kemudian menuangkan kedalam konsep-konsep yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk sampainya penelitian pada hasil atau kesimpulan yang lebih tepat. 4. Analisis Data Adapun setelah data-data penelitian terhimpun, selanjutnya penulis melakukan analisis terhadap data-data yang sudah ada tersebut, dengan 22 menggunakan analisis kualitatif. Hal ini dilakukan karena persoalan-persoalan yang akan dibahas merupakan penelitian kualitatif, yaitu sebagai upaya sampainya penelitian sampai pada hasil dan kesimpulan yang maksimal sesuai dengan tujuan. Adapun langkah-langkah teknis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menelaah data yang sudah terkumpul dari berbagai sumber data, baik sumber data primer maupun sekunder. b. Mengklasifikasikan seluruh data data yang ada dengan perumusan masalah yang oleh penulis teliti. c. Mengolah data yang telah terkumpul dan melakukan analisis secara memadai, mana data yang masuk atau tidak pada data pada objek kajian penelitian, maka selanjutnya penulis melakukan analisis terhadap data tersebut. d. Membuat kesimpulan dari materi atau data-data yang sudah dikumpulkan yang sudah dianalisis. 23 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pendahuluan Dewasa ini kerap kali dibedakan antara ”nikah” dengan ”kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara ”pernikahan” dan ”perkawinan” hanya berbeda di dalam menarik akar kata saja. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa pernikahan atau perkawinan adalah suatu akad suci dan luhur antara lakilaki dan perempuan yang menjadi sebab syahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.36 Pernikahan merupakan bagian dari ajaran Islam. Barangsiapa yang menghindari pernikahan, berarti ia telah meninggalkan sebagian dari ajaran agamanya. Di samping itu, pernikahan dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat/ zina.37 Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara istri dan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan saling tolong menolong dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain 36 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta. 1994, hlm. 229. Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah (Kajian Hukum Islam Kontemporer), Angkasa, Bandung. 2005, hlm. 133. 37 24 itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.38 Selanjutnya istilah nikah itu sendiri mempunyai pengertian yaitu nikah menurut bahasa dan menurut syara. B. Pengertian Nikah 1. Nikah menurut bahasa Lafadz ” ”ّنبحberasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf nun, kaf , alif dan ha, yaitu bentuk masdar dari fi’il mādhi ”nakaha, yankahu, nikāhan” yang artinya secara etimologi adalah berkumpul, menggabungkan, bersetubuh dan senggama.39 2. Nikah menurut istilah Adapun mengenai definisi nikah berdasarkan istilah syara‟, para ulama memberikan pengertian yang berbeda-beda di antaranya dijelaskan di bawah ini: Pernikahan atau perkawinan adalah suatu akad (ikatan janji) yang dapat menghalalkan pergaulan masing-masing pasangan laki-laki dan perempuan untuk saling menikmati dirinya.40 Dalam suatu pengertian yang lebih luas, pernikahan merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan, untuk 38 Sulaiman Rasjid, Op. Cit., hlm. 374. Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir (Arab-Indonesia Terlengkap), Pustaka Progressif, Surabaya. 2002, hlm. 1461. 40 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Minhājul Muslimīn, Dar Al-Fikr, terj: Rachmat Djatnika, Remaja Rosdakarya, Bandung. 1991, hlm. 162. 39 25 hidup bersama dan suatu rumah tangga dan keturunan yang dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam.41 Di bawah ini penulis memberikan definisi nikah secara terminologi menurut Madzhab yang empat, yaitu: a) Menurut Abu Hanifah pernikahan adalah: ”akad yang dikukuhkan42 untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja.” b) Menurut Madzhab Maliki nikah adalah: ” akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita.” dengan akad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina). c) Menurut Madzhab Syafi‟i pernikahan adalah: ” akad yang menjamin diperbolehkannya persetubuhan.” d) Menurut Madzhab Hambali adalah: ” akad yang di dalamnya terdapat lafadzh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur.” Kalau diperhatikan keempat definisi tersebut jelas, bahwa yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah ’aqad (perjanjian) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat akad nikah itu, di samping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami istri.43 41 Muhammad Saifulloh Al-Aziz S, Fiqh Islām ( Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam dengan Berbagai Permasalahannya ), Terbit Tetang, Surabaya. 2005, hlm. 475. 42 Pengukuhan di sini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat syari‟ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat „Aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata. 43 M. Ali Hasan, Masāil Fiqhiyyah Al-Hadītsah (Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1998, hlm. 2. 26 Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara‟. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah swt.:44 “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil 45, Maka (kawinilah) seorang saja”.46 C. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Pernikahan 1. Syarat-syarat Pernikahan Sebelum menjelaskan tentang beberapa syarat seputar pernikahan secara terperinci, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan dari pengertian syarat berdasarkan istilah, para ulama ushul fiqh memberikan redaksi yang berbeda-beda sebagaimana dijelaskan berikut ini. a. Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam47 ”Syurūth jamak dari syarath, secara ethimologi adalah tanda, dinamakan syarat karena ia sebagai tanda atas yang disyaratkan.”48 44 QS. An-Nisa [4]: 3. Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. 46 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja. 47 Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Tauhīd Al-Ahkām min Bulūgh Al-Marām, terj: Aan Anwariyah dkk, Pustaka Azzam. Jakarta. 2006, jilid 2, hlm. 1. 48 QS. Muhammad [47]: 18. 45 27 Secara terminologi, syarat adalah sesuatu yang jika tidak ada maka hukumpun tidak ada dan adanya sesuatu tersebut tidak mengharuskan adanya hukum, serta tidak meniadakan sesuatu itu. b. Menurut Abdul Djamali49 Syarat adalah ”Segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan.” c. H.A. Djazuli 50 ”Syarat ialah sesuatu keadaan atau pekerjaan di mana adanya hukum tergantung kepadanya. Dan bukan bagian daripadanya.” Dengan demikian, jelaslah bahwa apabila ada syarat ada pula rukun, karena rukun adalah sesuatu yang membentuk hakikat dan ada di dalamnya. Walaupun syarat dan rukun itu dalam definisinya berbeda tetapi, keduanya tidak bisa dipisahkan. Adapun mengenai syarat-syarat pernikahan, para ulama berbeda pendapat (ikhtilāf) baik dari kalangan madzhab yang empat maupun ulama fiqh lainnya. Mengenai syarat-syarat pernikahan yang harus dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan perkawinan itu ada enam, yaitu: 1) Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan 2) Dewasa51 3) Kesamaan agama Islam52 49 Abdul Djamali, Hukum Islam (Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum), Mandar Maju, Bandung. 1997, hlm. 83. 50 H. A. Djajuli, Ushūl Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2000, hlm. 51. 51 Ukuran kedewasaan seseorang tidak dilihat dari segi usia saja, melainkan dari kedewasaan fisik dan fsikis yang sekurang-kurangnya ada tanda-tanda kematangan diri. 28 4) Tidak dalam hubungan nasab53 5) Tidak ada hubungan persusuan54 6) Tidak semenda 55 Sedangkan Syarat-syarat nikah menurut Muhammad Saifullah Al-Aziz S. Adalah56: 1) Syarat-syarat pengantin laki-laki: a) Tidak dipaksa/terpaksa b) Tidak dalam ihram haji atau umrah c) Islam (apabila menikah dengan perempuan Islam). 2) Syarat-syarat pengantin perempuan: a) Bukan perempuan yang dalam ’iddah b) Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain c) Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan muhrim d) Tidak dalam keadaan ihram haji dan umrah e) Bukan perempuan musyrik. 2. Rukun-rukun pernikahan Dalam kamus ilmiah bahasa Indonesia, kata rukun ini memiliki makna ”rangkaian yang muthlak dalam bagian-bagian tertentu dan tidak boleh 52 Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memelihara keturunan yang sah tidak ada pertentangan memperebutkan atau mengalahnya salah satu pihak untuk terwujudnya keagamaan keturunannya. 53 Yaitu hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak. 54 Maksunya bahwa antara pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih bayi walaupun keduanya bukan saudara kandung. 55 Artinya kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan perkawinan seperti antara bapak/ibu dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dalam perkawinan ibu/bapak. Lihat: Abdul Djamali, Op. Cit., hlm. 84-86. 56 Muhammad Saifulloh Al-Aziz S, Op. Cit., hlm. 475. 29 ditinggalkan (dalam hukum Islam).”57 Sedangkan menurut seorang ahli ushul fiqh bahwa rukun merupakan hakikat dari perbuatan tersebut. Jadi, rukun itu tidak bisa ditinggalkan atau ketinggalan salah satunya dan itu berarti suatu perbuatan yang harus ada atau batal ketika salah satu dari rukun itu ditinggalkan.58 Maksudnya bahwa kalau syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan saat-saat untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang perlu dipenuhi.59 Ada beberapa rukun pernikahan yang diintroduksi para ulama antara lain: a) Menurut Muhammad Saifulloh Al-Aziz S.60 1. Pengantin laki-laki 2. Pengantin perempuan 3. Wali61 4. Dua orang saksi 5. Ijab dan qabul b) Menurut Abu Bakar Jabir El-Jazairi62 1. Wali 2. Dua saksi 3. Shighat (bentuk ucapan) 4. Mahar atau sedekah 57 Fajar, Op. Cit., hlm. 287. Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 119. 59 Abdul Djamali, Op. Cit., hlm 87. 60 Moh. Saifulloh Al Aziz S, Op. Cit., hlm. 475. 61 Wali ialah orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya. Syarat-syarat yang wajib dipenuhi untuk menjadikan seorang wali, ialah : Islam, dewasa, beakal sehat, jujur, baik akhlaknya, mengetahui asas-asas dan tujuan perkawinan, mengetahui dengan jelas asal-usul calon suami-istri sebagai pengantin. Ada tiga macam wali dalam islam yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakkam. Lihat: Abdul Djamali, Op. Cit., hlm. 88-90. 62 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op. Cit., hlm. 164-167. 58 30 c) Ada juga yang menyebutkan bahwa rukun nikah terdiri dari sighat/ijab qabul, wali dan dua orang saksi.63 D. Hukum Pernikahan Pada dasarnya pernikahan itu disyariatkan dalam Islam sebagaiman ditegaskan dalam firman Allah swt.: ”Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.64 Firman Allah swt.: ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian65 diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan 63 Sudarsono, Op. Cit., hlm. 234. QS. An-Nisa [4]: 3. 65 Maksudnya: ”Hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin”. 64 31 memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui”.66 Rasulullah saw. bersabda: ة ِ َب ٍَؼْشَ َط اىشَجَبٝ ٌَ َْ ِٔ َٗؼَيَٞ اىيَ ُٔ ػَيَٚه اىيَ ِٔ صَي ُ ُ٘ه ىََْب ضَؼ َ ِ ػَجْ ِس اىئَِ قَبهَ قَب ْ َػ ٌْ َِ ى ْ ٍََٗ ط ِ ِْ ىِيْفَط ُ َّض ىِيْجَصَ ِط َٗأَحْص ُ ََزَعََٗطْ فَئَِّ ُٔ أَغْٞع ٍِ ْنُ ٌْ اىْجَبءَحَ فَي َ ِ اؼْزَغَب ْ ٍَ ٌْ ِٔ ثِبىصًَِْ٘ فَئَِّ ُٔ ىَ ُٔ ِٗجَبءََٞؽْزَغِغْ فَؼَيٝ “Abdullah Ibnu Mas‟ud r.a berkata: “Rasulullah saw bersabda kepada kami: „Hai para pemuda, apabila diantara kamu mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya.”67 Rasulullah saw. bersabda: ط َ ْ ِٔ َٗؼَيٌََ ؼَأَىُ٘ا أَظَْٗاَٞ اىيَ ُٔ ػَيَٚ صَيٜ ِ ة اىَْ ِج ِ ِ أَصْحَب ْ ٍِ ُ َّفَطًا َ َػ أ ٍ َّ َِ أ ْ َػ ًُ َٗأََّبِٜ أُصَيِِْٜه ىَن َ ِْٔ فَقَبَٞ ػَيَْْْٚ ِٔ َٗؼَيَ ٌَ حََِ َس اىيَ َٔ َٗأَصَٞ اىيَ ُٔ ػَيَٚ صَيٜ ِ اىَْ ِج ٍِِْٜ ػ َ ْٞ َ فَيِٜت ػَِْ ؼَُْز َ ِِ ضَغ ْ َََط اىِْؽَبءَ ف ُ َََٗٗأَصُ٘ ًُ َٗأُفْغِ ُط َٗأَرَع ”Anas bin Malik r.a berkata: ”Sesungguhnya Nabi saw. memuji Allah dan menyanjungnya, beliau lalu bersabda: ”Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku berbuka dan aku mengawini permpuan, barang siapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku.”68 Di dalam hukum Islam, pernikahan dapat dihukumkan wajib, haram, karahah (makruh), sunnah dan mubah. 66 QS. An-Nur [24]: 32. Lihat: CD Kutubu Tisa’ah. Shahih Muslim. No. 2486. 68 Ibid., No. 2487. 67 32 Penjelasan singkat masing-masing hukum dalam pernikahan tersebut sebagai berikut:69 a. Wajib, bagi orang yang sudah cukup ekonomi dan mental serta dikhawatirkan terjebak dalam perbuatan zina bila tidak segera menunaikan pernikahan. b. Haram, bagi orang yang berniat menyakiti perempuan yang akan dinikahinya. Firman Allah swt.: ”Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”70 c. Makruh/ Karahah, pernikahan berubah hukumnya menjadi makruh apabila pernikahan tersebut dilakukan oleh orang yang belum mampu memberi nafkah. d. Sunnah, bagi yang mau kawin dengan cukup mental dan ekonomi. e. Mubah (jaiz), sebagai asal hukumnya. E. Tujuan Pernikahan 69 70 Sudarsono, Op. Cit., hlm. 239-240. QS. Al-Ahzab [33]: 58. 33 Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit untuk dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya ”perkawinan”, dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketentraman atau sakinah dalam istilah Al-Qur‟an surat AlRum [30]: 21. Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti ”diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak”. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah karena perkawinan adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, seperti kematian binatang.71 Setidaknya ada empat macam yang menjadi tujuan perkawinan. Keempat macam tujuan perkawinan itu hendaknya benar-benar dapat dapat dipahami oleh calon suami atau istri, supaya terhindar dari keretakan dalam rumah tangga yang biasanya berakhir dengan perceraian yang sangat dibenci oleh Allah swt. Keempat tujuan pernikahan itu antara lain:72 1. Menentramkan jiwa Allah swt. menciptakan hamba-Nya hidup berpasangan dan hanya tidak manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini adalah sesuatu yang alami, yaitu pria tertarik kepada wanita dan begitu juga sebaliknya. Bila sudah terjadi akad nikah, si wanita merasa jiwanya tentram, karena merasa ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga. Si suami pun merasa tentram karena ada pendampingnya untuk mengurus 71 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat), Mizan, Bandung 2007, hlm. 254. 72 M. Ali Hasan, Op. Cit., hlm. 2-6. 34 rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Allah berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.73 Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih sayang dan antara suami-istri tidak mau berbagi suka dan duka, maka berarti tujuan berumah tangga tidak sempurna, kalau tidak dapat dikatakan gagal. Sebagai akibatnya, bisa saja terjadi masing-masing suami-istri mendambakan kasih sayang dari pihak luar yang seyogyanya tidak boleh terjadi dalam suatu rumah tangga yang sedang dijalani. 2. Mewujudkan (melestarikan) turunan Biasanya sepasang suami istri pasti sangat mendambakan anak keturunan untuk meneruskan kelangsungan hidup. Anak turunan diharapkan dapat mengambil alih tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam di dalam jiwa suami atau istri. 73 QS. Ar-Rum [30]: 21. 35 Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah swt. dalam firmannya: ”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"74 Dalam ayat lain Allah swt. berfirman: ق ٍِ َْٖب ظَْٗجََٖب َ َ ذَيَقَنٌُْ ٍِِْ َّ ْفػٍ َٗاحِسَحٍ َٗذَيَُِٖٛب اىَْبغُ ارَقُ٘ا ضَثَنٌُُ اىَصََٝب أٝ َُِ رَؽَبءَىَُُ٘ ثِِٔ َٗاىْأَضْحَبًَ إِٛطًا َِّٗؽَبءً َٗارَقُ٘ا اىئََ اىَصَِٞٗثَشَ ٍِ ََُْٖب ضِجَبىًب مَض ٌُْْنَٞاىئََ مَبَُ ػَي “Hai sekalian manusia ! Bertakwalah kalian semua kepada tuahanmu yang telah menciptakan kamu dari jenuis yang satu dan menciptakann dari jenis yang satu dan menciptakan dari padanaya jodoh dan mengembang biakan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak.”75 Berdasarkan ayat tersebut di atas jelas bahwa Allah swt. menciptakan manusia ini berpasang-pasangan supaya berkembang biak mengisi bumi ini dan memakmurkannya. Atas kehendak Allah swt, naluri manusia pun menginginkan 74 75 QS. An-Nahl [16]: 72. QS. An-Nisa [4]: 1. 36 demikian. Kalau dilihat dari ajaran Islam, maka di samping alih generasi secara estafet, anak cucu pun diharapkan dapat menyelamatkan orang tuaya (nenek moyang) sesudah meninggal dunia dengan panjatan doa kepada Allah swt. Begitu pentingnya masalah keturunan (pewaris), Allah swt. menyebutkan ucapan lidah hamba-Nya dengan firman-Nya: ”Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”76 Nabi Zakaria as. sebagai Rasul Allah swt. juga mendambakan anak turunannya untuk meneruskan perjuangan beliau. Dalam usia senjanya beliau memohon kepada Allah swt, yang disebutkan dalam firman-Nya: ”Ia Berkata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku Telah lemah dan kepalaku Telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku 77 sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka 76 QS. Al-Furqon [25]: 74. Yang dimaksud oleh nabi Zakaria as. dengan mawali ialah orang-orang yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya.Yang dikhawatirkan Zakaria ialah kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, Karena tidak seorangpun diantara mereka yang dapat dipercayainva, oleh sebab itu dia meminta dianugerahi seorang anak. 77 37 anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera, Yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai".78 Semua manusia yang normal merasa gelisah, apabila perkawiannya tidak menghasilkan turunan. Rumah tangga terasa sepi, hidup tidak bergairah karena pada umumnya orang rela bekerja keras adalah untuk kepentingan keluarga dan anak cucunya. 3. Memenuhi kebutuhan biologis Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah swt. Kalau tidak ada kecenderungan dan keinginan untuk itu, tentu manusia tidak akan berkembang biak. Allah swt. berfirman: ”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya 79 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain 80, dan 78 QS. Maryam [19]: 4-6. Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan. 80 Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : as aluka billāh artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah. 79 38 (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”81 Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami, bahwa tuntunan pengembangbiakan dan tuntunan biologis telah dapat terpenuhi sekaligus. Namun hendaknya diingat, bahwa perintah ”bertakwa” kepada Allah swt. diucapkan dua kali dalam ayat tersebut, supaya tidak terjadi penyimpangan dalam hubungan seksual dan anak turunan juga akan menjadi anak turunan yang baik-baik. 4. Latihan memikul tanggung jawab Pada dasarnya, Allah swt. menciptakan manusia di dalam kehidupan ini, tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mati seperti yang dialami oleh makhluk lainnya. Lebih jauh lagi, manusia diciptakan supaya berfikir, menentukan, mengatur, mengurus segala persoalan, mencari dan memberi manfaat untuk kemaslahatan umat. Pada era atau tren zaman akhir-akhir ini, di mana manusia sudah terjebak pada kemaksiatan yang tentu saja sangat dilarang oleh agama seperti halnya ”Free Sex”. Mereka beranggapan bahwa melakukan hubungan badan diluar nikah adalah suatu hal yang sudah lumrah, justru secara tegas agama melarang perbuatan tersebut dan harus dihindari, sedang Allah swt. sendiri yang memerintahkannya secara tersirat melalui ”law of sex”, bahkan secara tersurat. Allah swt. berfirman: 81 QS. An-Nisa [4]: 1. 39 ”Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu.” 82 Dalam ayat lain Allah swt. berfirman: ”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”83 Karena hubungan seks harus bersih, maka hubungan tersebut harus dimulai dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan kotor, atau situasi kekotoran. Karena itu Rasulullah saw. menganjurkan agar menikah dan kemudian berdoa terlebih dahulu menjelang hubungan seks dimulai. Manusia diberi tugas oleh Allah swt. untuk membangun peradaban dengan cara yang baik menurut syariat, yaitu manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah di dunia ini. Cinta kasih, mawaddah dan warahmah yang dianugrahkan Allah swt. kepada sepasang suami istri adalah untuk suatu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah swt. kepada manusia. 84 Beberapa ayat Al-Qur‟an sangat menarik untuk direnungkan dalam konteks yang oleh penulis bahas ini adalah: Firman Allah swt.: 82 83 84 QS. Al-Baqarah [2]: 187. QS. Al-Baqarah [2]: 223. M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 284. 40 ”(Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.”85 5. Untuk membersihkan keturunan yang bersih ialah yang jelas ayahnya, kakeknya, dan keturunananya, hal ini hanya bisa diperoleh dengan jalan perkawinan.86 Dengan demikian akan jelas pula yang bertanggung jawab terhadap anakanak yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga ia seorang muslim yang shaleh, karena agama Islam mengharamkan zina, dan tidak membolehkan poliandri (seorang wanita memiliki dua suami) dalam menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak di luar perkawinan yabg tidak jelas asal-usulnya. F. Hikmah pernikahan Allah swt. Tidak semata-mata menyuruh sesuatu tanpa adanya hikmah atau manfaat serta tujuannya. Setelah menguraikan dari tujuan pernikahan di atas, maka hikmah pernikahan meliputi: 1. Dapat saling mengenal 85 86 hlm. 124 QS. Al-Syura [42]: 11. Thalib, M, Drs, Analisa Wanita Dalam Binmbingan Islam, Al-Ikhlas, Surabaya. 1966, 41 Berdasarkan kebijaksanaan Allah swt. yang menyeluruh, ilmu-Nya yang melingkupi segala hal dan rahmat-Nya yang sempurna, maka Allah swt. memutuskan untuk menciptakan Nabi Adam as. sebagai bapaknya manusia, di mana Allah swt. mengutamakan manusia di atas mahluk lainnya dengan beberapa keutamaan. Setelah menciptakan Nabi Adam as, kemudian Allah swt. menciptakan bagi teman hidupnya yaitu Hawa yang berbeda jenisnya. Firman Allah swt: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya 87 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain 88, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”89 Berdasarkan ayat di atas, manusia berkembang biak menjadi berkelompok bangsa yang tersebarar di dunia yang asalnya bediam di suatu tempat tertentu yang kemudian timbul hasrat ingin mengetahui isi jagad alam untuk saling mengenal satu sama lainnya. 87 Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan. 88 Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : as aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah. 89 QS. An-Nisa [4]: 1. 42 Islam datang dengan membawa syari‟at di antaranya yaitu pernikahan, dengan pernikahan adalah suatu cara yang baik untuk bersilaturrahim untuk saling mengenal dan menjaga persaudaraan. 2. Memalingkan pandangan yang liar Allah swt. berfirman: ”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya...”90 Rasulullah saw. bersabda: ٌْ ُع ٍِ ْن َ ِ اؼْزَغَب ْ ٍَ ة ِ َب ٍَؼْشَ َط اىشَجَبٝ ٌَ َْ ِٔ َٗؼَيَٞ اىيَ ُٔ ػَيَٚه اىيَ ِٔ صَي ُ ُ٘ه ضَؼ َ قَب ّض ىِيْجَصَ ِط ُ ََزَعََٗطْ فَئَِّ ُٔ أَغْٞاىْجَبءَحَ فَي “Rasulullah saw. bersabda kepada kami: „Hai para pemuda, apabila diantara kamu mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjagan mata(pandangan liar).”91 3. Menghindari dari perbuatan zina 90 91 QS. An-Nūr [24]: 30-31. Lihat: CD Kutubu Tisa’ah. Shahih Muslim. No. 2486. 43 Pandangan yang liar adalah awal dari keinginan berbuat zina, terutama dizaman dan situasi sekarang yang serba diliputi oleh kemaksiatan, kemanapun kita pergi maka disanalah kita temui. Oleh karena situasi yang tidak menguntungkan ini dapat mengikis habis kekebalan iman, apalagi di dunia yang menyilaukan sehingga fasilitas untuk berbuat maksiat susah dihindari. Allah swt. berfirman: ”Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.”92 4. Kelanjutan amal manusia Kehidupan manusia itu sangat singkat, akan tetapi kemauan jauh melampaui batas umurnya. Untuk melanjutkan amal dan cita-cita yang terbengkalai diperlukan generasi penerus yaitu anak. Adapun anak atau keturunan yang shalih yang dapat melanjutkan amal orang tuanya yang sudah tua dan bahkan sudah tiada, hanya bisa diperoleh dengan perkawinan yang sah. Anak adalah pewaris materil maupun imateril dan sebagai penambah amal kedua orang tuanya. 5. Wanita sebagai pasangan pria dan sebaliknya 92 QS. Al-Mu‟minūn [23]: 5-6. 44 Allah swt. berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.93 Pasangan bagi laki-laki atau suami yang sangat baik adalah wanita shalihah, di mana wanita shalihah kedudukannya lebih mulia dari perhiasan dunia berupa materi. Nabi Muhammad saw. bersabda: ع ٌ َب ٍَزَبُّْٞه اىس َ ْ ِٔ َٗؼَيٌََ قَبَٞ اىيَ ُٔ ػَيَٚه اىيَ ِٔ صَي َ ُُ٘ ضَؼ َ َِ ػََْطٍٗ أ ِ ِْ ػَجْ ِس اىيَ ِٔ ث ْ َػ َُب اىََْطْأَ ُح اىصَبىِحَخُّْٞع اىس ِ ْ ُط ٍَزَبََٞٗذ “Hadits dari „Abdullah Ibnu „Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda: kehidupan dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah.”94 Wanita shalihah dalam hadis tersebut tidak akan didapat di dunia hitam yang liar walaupun di dalamnya terdapat wanita-wanita cantik dan menarik yang berkeliaran, akan tetapi yang dimaksud adalah wanita yang sudah tentu diperoleh melalui pernikahan yang sah. 93 94 QS. Ar-Rūm [30]: 21. Lihat: CD. Kutubu Tisa’ah, Shahih Muslim, No. 2668. 45 B. Musyrik dan Kafir dan Ahl Al-Kitāb 1. Musyrik Musyrik adalah orang yang mempersekutukan Allah swt., mengaku akan adanya Tuhan selain Allah atau menyamakan sesuatu dengan Allah swt. dalam rububiyyah dan uluhiyyah serta asma dan sifat-Nya.95 Dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah dan kedua kepada selain-Nya. Dengan demikian, semua yang mempersekutukan-Nya dari sudut pandang tujuan ini adalah musyrik.96 Syirik merupakan perbuatan dosa yang paling besar, kerana itu kita harus menjauhi perbuatan yang menjerumuskan kepada syirik. Firman Allah swt.: “Ingatlah Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya:‟Hai anakku! janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar‟ .“97 95 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Pustaka Imam Syafi‟i, Bogor. 2006, hlm 170. 96 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Lentera Hati, Jakarta. 2007, cet. x. jilid I. hlm. 473. 97 QS. Luqman [31]: 13. 46 Dengan demikian orang musyrik di samping menyembah Allah swt. dan mengabdikan diri kepada Allah swt, juga mengabdikan dirinya kepada yang selain Allah swt. Jadi orang musyrik itu mereka yang mempersekutukan Allah swt. baik dalam bentuk i‟tikad (kepercayaan), ucapan maupun dalam bentuk amal perbuatan. Mereka (orang musyrik) menjadikan mahkluk yang diciptakan Allah swt. ini baik yang berupa benda maupun manusia sebagai Tuhan dan menjadikan sebagai An-Dad98, Alihah99, Thoughūt100 dan Arbāb101 sebagai sembahan. Bentuk musyrik ini menyesatkan terhadap perilaku manusia. Dan dengan memiliki akidah seperti itu dapat menghilangkan keimanan. Adapun Syirik dalam pengertian yang umum sering disebut dengan makna menyekutukan Allah swt. dengan yang lain. Mempersekutukan Allah swt. berarti munculnya kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap mampu melakukan sesuatu sebagaimana sifat-sifat atau perbuatan Allah swt. terhadap manusia, makhluk, atau alam. Padahal Allah swt. tidak ada keserupaanya (laisa kamitslihī 98 Sesuatu perkara yang dicintai dan dihormati melebihi daripada cintanya kepada Allah, sehingga dapat memalingkan seseorang dari melaksanakan ketaatan terhadap Allah dan RasulNya. Misalnya saja seorang yang senang mencintai kepada benda, keluarga, rumah dan sebagainya, dimana cintanya melebihi cintai terhadap Allah dan RasulNya, sehingga mereka melalaikan dalam melaksanakan kewajiban agama,karena terlalu cintanya terhadap benda tersebut (makhluk tersebut). 99 Suatu kepercayaan terhadap benda dan binatang yang menurut keyakinannya dapat memberikan manfaat serta dapat menolak bahaya. Misalnya kita memakai cincin merah delima, dan kita yakin bahawa dengan memakainya dapat menghindarkan bahaya. Adapun kepercayaan memelihara burung Terkukur dapat memberikan kemajuan dalam bidang perniagaannya. Dan itulah dinamakan Alihah, yakni menyekutukan Allah dengan binatang dan benda (kepada makhluk). 100 Orang yang ditakuti dan ditaati seperti takut kepada Allah, bahkan melebihi rasa takut dan taatnya kepada Allah, walaupun keinginan dan perintahnya itu harus berbuat derhaka kepadaNya. 101 Para pemuka agama („ulama,ustad) yang suka memberikan fatwa, nasihat yang menyalahi ketentuan (perintah dan larangan) Allah dan Rasul-Nya, kemudian ditaati oleh para pengikutnya tanpa diteliti dulu seperti mentaati terhadap Allah dan Rasul-Nya. Para pemuka agama itu telah menjadikan dirinya dan dijadikan para pengikutnya Arbab (Tuhan selain Allah). 47 syaiun), tidak ada membandingiNya (walam yakun lahū kufuwan ahad), satusatunya Yang Maha Kuasa (innallāhu alā kulli syai’in qadīr). Aqidah (kepercayaan) seseorang muslim yang murni berarti ia mampu memelihara ketunggalan-keyakinan-kepercayaannya hanya kepada Allah swt. sesuai dengan petunjuk nash agama. Mempercayai mitos berarti merusak kemurnian aqidah karena isi (substantif) kepercayaan telah terisi dengan yang lain atau tercampur. Islam sangat menentang kepercayaan tersebut. Al Qur`an menyatakan : “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".102 Para ulama membagi syirik dalam dua kategori,103 pertama syirik Jali dan yang ke dua syirik Khofi. Pengertian syirik Jali adalah suatu tindakan atau sikap seseorang menyarikahkan atau mendualismekan kekuasaan, kekuatan atau pemberi selamat atau kemudaratan kepada selain Allah swt. Contohnya pada orang-orang yang mempercayai mitos-mitos, percaya tahyul, khurafat. Sedangkan syirik Khofi pada seseorang adalah dengan munculnya kekuatan diri merasa besar, 102 103 QS.Luqman [31]:13. http://ichalisna.blogspot.com/2009/02/pengertian-syirik.html 48 agung, terhormat, sehingga keagungan, kebesaran Allah menjadi terabaikan atau terlupakan atau tertutupi. Contohnya seperti Ria, Takabur, Sum‟ah, dan Ujub. Dosa syirik tidak dapat diampuni, terkecuali bila ia meninggalkan sikapsikap atau segala tindakan yang mengandung syirik dalam kehidupan sehariharinya. Tetapi jika ia masih saja percaya pada tahyul-tahyul. Khurafat, mitosmitos, minta nasehat dukun-dukun, bertatayur, berazlam, berkahin (tenung) maupun meramal atau minta ramal, maka syirik (Jali)nya tak terampuni sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur‟an.104 Tetapi bila ia mau bertaubat, meninggalkan perbuatan syiriknya lantaran ia sebelumnya tidak mengerti apa-apa sehingga terjerumus ke lembah syirik. Allah swt. berfirman dalam Al Qur‟an: “Sesungguhnya Taubat di sisi Allah hanyalah Taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan105, yang Kemudian mereka 104 Firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar.” QS. An-Nisa [4]: 48. 105 Maksudnya ialah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu. 2. orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak. 3. orang yang melakukan kejahatan Karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu. 49 bertaubat dengan segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.106 2. Kafir Kafir secara bahasa (terminologi) berarti menutupi.107 Sedangkan menurut syara’ (terminologi), kafir adalah orang ingkar yang tidak beriman kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya. Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah swt. dan RasulNya disebut kafir.108 Dengan kata lain orang kafir adalah orang yang tidak mau memperhatikan serta menolak terhadap segala hukum Allah atau hukum Islam disampaikan melalui para Rasul (Muhammad saw.) atau para penyampai dakwah/risalah. Kufur pula bermaksud menutupi dan menyamarkan sesuatu perkara. Sedangkan menurut istilah ialah menolak terhadap sesuatu perkara yang telah diperjelaskan adanya perkara yang tersebut dalam Al-Quran. Penolakan tersebut baik langsung terhadap kitabnya ataupun menolak terhadap Rasul sebagai pembawanya. Allah swt. berfirman: 106 QS. An-Nisa [4]: 17. Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit., hlm.1217. 108 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Op. Cit., hlm. 362. 107 50 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan109 antara (keimanan kepada) Allah dan rasulrasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”.110 Adapun pembagian kafir antara lain, yaitu: pertama kafir yang sama sekali tidak percaya akan adanya Allah swt, baik dari segi zahir dan batin seperti Raja Namrud dan Fir‟aun. Kedua kafir jumud (artinya membantah). Orang kafir jumud ini pada hatinya (pemikirannya) mengakui akan adanya Allah swt. tapi tidak mengakui dengan lisannya, seperti Iblis dan sebagainya. Ketiga kafir „Inad .Orang kafir „Inad ini, adalah mereka pada hati (pemikiran) dan lisannya (sebutannya) mengakui terhadap kebenaran Allah swt, tapi tidak mau mengamalkannya, mengikuti atau mengerjakannya seperti Abu Talib. Dan keempat kafir Nifaq yaitu orang yang munafik. Yang mengakui di luarnya, pada lisannya saja terhadap adanya Allah swt. dan hukum Allah, bahkan suka mengerjakannya perintah Allah swt, tapi hatinya (pemikirannya) atau batinnya tidak mempercayainya. Ada beberapa tanda orang kafir antara lain: (1) Suka memecah belahkan antara perintah dan larangan Allah swt. dengan Rasul-Nya; (2) Kafir (ingkar) perintah dan larangan Allah swt. dan Rasul-Nya; (3) Iman kepada sebahagian perintah dan larangan Allah swt (dari ayat Al- Quran), tapi menolak sebahagian daripadanya; (4) Suka berperang di jalan Syaitan (Thoghut); (5) Mengatakan Nabi Isa Al Masih adalah anak Allah swt.; (6) Agama menjadi bahan senda gurau atau 109 110 Maksudnya: beriman kepada Allah, tidak beriman kepada Rasul-rasul-Nya. QS. An-Nisa [4]: 150-151. 51 permainan; (7) Lebih suka kehidupan duniawi sehingga aktivitas yang dikerjakan hanya mengikut hawa nafsu mereka, tanpa menghiraukan hukum Allah yang telah diturunkan; (8) Mengingkari adanya hari Akhirat, hari pembalasan dan syurga dan neraka; dan (9) Menghalangi manusia ke jalan Allah. Hubungan muslim dengan orang kafir adalah tidak dilarang, dicegah bahkan dibolehkan oleh Islam, kecuali adanya perhubungan (bertujuan) yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya (Hukum Allah), termasuk merusakkan aqidah Islam.111 3. Ahl Al-Kitāb Diketahui bahwa Al-Qur‟an menggunakan, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, frase-frase dan istilah-istilah tertentu untuk menyebutkan kaum Yahudi dan Kristen. Yang paling jelas adalah al-yahūd, sebutan untuk kaum Yahudi, di samping juga istilah hūdā.112 Selain itu, komunitas Yahudi dirujuk dengan frase al-ladzīna hādū (mereka yang telah menjadi Yahudi).113 Panggilan yang umum untuk kaum Kristen adalah al-nashārā dan Nasrani.114 Frase ahl alinjīl (kaum pemilik Injil), yang disebut sekali, juga menunjuk pada komunitas Kristen.115 111 http://hendita.blogspot.com/ 23 September 2010. Term al-yahūd ditemukan Sembilan kali dalam Al-Qur‟an, delapan kali dalam kombinasi dengan kaum Kristen (al-nashārā) dan sekali disebut secara terpisah: Al-Baqarah [2]: 113, 120; Al-Maidah [5]: 18, 51, 64, 82,; Al-Taubah [9]: 30 dan Ali Imran [3]: 67. Term hūdā terulang tiga kali dalam Al-Baqarah [2]: 111, 135 dan 140. 113 Frase al-ladzīna hādū ditemukan dalam sepuluh tempat, tiga di antaranya Yahudi disebut bersamaan dengan al-nashārā (Kristen), yaitu Al-Baqarah [2]: 62; Al-Nisa[4]: 46, 160; AlMaidah [5]: 41, 44, 69; Al-An‟am [6]: 146; Al-Nahl [16]: 118; Al-Hajj [22]: 17 dan Al-Jumu‟ah [62]: 6. 114 Term al-nashārā disebutkan dua belas kali dalam kombinasi dengan Yahudi dan dua kali secara tersendiri; Al-Baqarah [2]: 22,111,113,120,135,140; Al-Maidah [5]: 14,18,51,69,82; Al-Taubah [9]: 30; Al-Hajj [22]: 17. Term Nasrani digunakan sekali dengan merujuk baik pada Yahudi dan Kristen; Ali Imran [3]: 67. 115 QS. Al-Maidah [5]: 47. 112 52 Lebih jauh, kita pun menemukan beberapa term Al-Qur‟an yang menunjuk pada warisan skriptural agama-agama tradisi Ibrahim yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan Kristen. Frase yang paling umum bagi penunjukan ini adalah ahl al-kitāb (people of the book) yang secara umum menunjuk secara bersamaan kepada komunitas Yahudi dan Kristen.116 Islam memandang ahl al-kitāb (Kristen dan Yahudi) adalah agama wahyu dari Allah swt. Pendirinya yaitu: Ibrahim, Musa, Daud, Isa adalah Nabi-Nabi Allah. Kitabkitab yang di bawa mereka, yaitu Taurat, Zabur, dan Injil adalah wahyu Allah. Mempercayai nabi-nabi ini, wahyu-wahyu yang mereka bawa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari iman Islam. Mengingkarinya atau membeda-bedakanya berarti murtad. Firman Allah swt. : “Maka mereka berkata: "Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa Telah lupa".117 Allah menyuruh Nabi Muhamad saw, beserta pengikutnya beriman kepada segala yang diwahyukan dari Allah swt. 116 Frase Ahl al-Kitāb ditemukan tiga puluh satu kali, yaitu: Al-Baqarah [2]: 105, 109; Ali Imran [3]: 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199; Al-Nisa [4]: 123, 153, 159, 171; AlAnkabut [29]: 46; Al-Ahzab [33]: 26; Al-Hadid [57]: 29; Al-Hasyr [59]: 2, 7 dan Al-Bayyinah [98]: 1,6. Lihat: Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, Teraju, PT. Mizan Publika, Jakarta. 2004, hlm. 93. 117 QS. Thāhā [20]: 88. 53 “Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri."118 Allah swt berfirman: “Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud.”119 Fiman Allah swt.: 118 QS. Ali Imran [3]: 84 119 QS. An-Nisa [4]: 163. 54 “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya120. Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, Penghormatan Islam kepada Kristen dan Yahudi, pendiri serta kitab suci keduanya, bukanlah sekedar sopan-santun, namun pengakuan akan kebenaran agamanya. Islam memandang keduanya bukan sebagai “pandangan berbeda” yang harus ditoleransi, namun sebagai de jure, yaitu benar-benar agama wahyu Allah. Lagi pula, status abasah keduanya bukan sosiopolitis, kultural, peradaban, namun agama. Dalam hal ini, Islam unik, karena tak ada agama didunia ini yang menjadikan kepercayaan akan kebenaran agama lain sebagai syarat mutlak iman dan kesaksianya sendiri. Selain itu Islam mengakui eksistensi agama Kristen dan Yahudi sebagai agama yang berasal dari Allah dan para pendirinya adalah para nabi Allah. Tetapi Islam juga melakukan koreksi atas penyimpangan dan kesalahan agama Kristen dan Yahudi, yang dilakukan oleh para pemeluknya, baik doktrin ajaranya dan watak yang ditanamkan oleh Kitab Perjanjian Lama ( Taurat ) maupun Perjanjian Baru ( Injil ) . Koreksi atas penyelewengan dan kesalahan yang terdapat dalam agama Yahudi dan Kristen banyak sekali hamper setiap aspek kehidupan dan penghidupan Yahudi dan Kristen; seperti: doktrin Trinitas, doktrin umat yang 120 Maksudnya: Allah mengatur langit dan bumi serta seisinya. Lihat: QS. Al Imran [3]: 2-3. 55 istimewa (sebagai anak Tuhan), doktrin umat yang selamat (save) dan masuk surga.121 Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas, bisa dikatakan sebagai musyrik. Namun demikian, pakar-pakar Al-Qur‟an yang kemudian melahirkan pandangan hukum, mempunyai pandangan lain. Kata musyrik atau musyrikīn dan musyrikāt, digunakan Al-Qur‟an untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah swt. Mereka adalah para penyembah berhala, yang ketika turunnya AlQur‟an masih cukup banyak, khususnya yang tinggal di Mekah. Walaupun penganut agama Kristen percaya kepada Tuhan Bapa dan Tuhan Anak, oleh agama Islam dapat dinilai sebagai orang-orang yang mempersekutukan Allah swt., namun Al-Qur‟an tidak menamai mereka orang-orang musyrik, tetapi menamai mreka ahl al-kitāb. Firman Allah swt.: ”Orang-orang kafir dari ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan 121 Abdul Qadir Djaelani, Pertarungan Maraton Yahudi dan Kristen Dengan Islam, Rabitha Press, Jakarta 2006, hlm. 69. 56 Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar".122 “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,”123 Dari ayat di atas, orang kafir ada dua macam: Pertama yaitu ahl al-kitāb; dan kedua orang-orang musyrik. Istilah yang digunakan Al-Qur‟an untuk satu substansi yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang berbeda, yaitu ahl al-kitāb dan al-musyrikūn. Kata ini bisa dianalogikan seperti kata korupsi dan mencuri. Walau substansi keduanya sama, yakni sama-sama mengambil sesuatu yang bukan haknya, tetapi dalam penggunaan biasanya bila pegawai mengambil yang bukan haknya maka ia adalah koruptor dan bila orang biasa (bukan pegawai) maka ia dinamai pencuri.124 122 123 QS. Al-Baqarah [2]: 105. QS. Al-Bayyinah [98]: 1. 124 M. Quraish Shihab, Op., Cit. hlm. 474. 57 BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM TAFSIR RAWĀI’ AL-BAYĀN KARYA ALI AL-SHABUNI A. Pendahuluan Sejarah penafsiran Al-Qur‟an adalah Islam itu sendiri. Artinya perjalanan sejarah tafsir Al-Qur‟an sudah sama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam sebagai agama, sehingga antara keduanya menjadi identik dan dan tak 58 terpisahkan. Aktivitas penafsiran sudah barangtentu dimulai semenjak Nabi Muhammad saw. menyampaikan risalah Tuhan yang datang dalam bentuk AlQur‟an. Sebagai pembawa risalah maka Nabi Muhammad saw. harus faham dan mengerti terlebih dahulu atas pesan wahyu125 yang harus disampaikan kepada umatnya ketika sasaran wahyu (umat) menghadapi kesulitan tertentu dalam memahami teks wahyu, pasti mereka akan menanyakan langsung isi pesannya kepada Nabi saw. sebagai penyampai wahyu itu. Jadi, tugas penafsiran merupakan bagian integral dari tugas risalah. Oleh karena itulah maka Al-Qur‟an sendiri menjamin bahwa Nabi Muhammad saw. dapat mengikuti bacaan Al-Qur‟an, penghimpunannya dan penjelasannya, karena tugas Nabi Muhammad saw. di antaranya adalah “al-bayān” yakni menjelaskan wahyu yang ia sampaikan. Allah swt. berfirman: “… Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka126 dan supaya mereka memikirkan,”127 125 Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjuk pada dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan “wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.” Tetapi terkadang juga bermaksud al-muha, yaitu pengertian isim maf’ul, maknanya yang diwahyukan. Lihat: Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Op. Cit., hlm. 34. 126 Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al- Quran. 127 QS. Al-Nahl [16]: 44 59 Ketika jumlah wahyu yang disampaikan Nabi Muhammad saw. bertambah banyak, kemudian orang-orang beriman yang menjadi sasaran pembelajaran wahyu semakin banyak Nabi perlu bantuan orang lain dalam mengembangkan wilayah jangkauan risalahnya, maka Nabi saw. mendelegasikan sebagian tugasnya kepada orang-orang terdahulu yang dipercaya untuk daerah-daerah tertentu. Kemudian sepeninggalan Nabi saw., tokoh-tokoh yang didelegasikan Nabi saw. sebagai pengajar Al-Qur‟an di wilayah tertentu dengan sendirinya membentuk pusat-pusat studi Al-Qur‟an. Pada giliran selanjutnya, sebagai akibat perbedaan guru (qāri’) yang didelegasikan Nabi saw. dalam hal karakter kepribadiannya yang tentu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula karena perbedaan tingkat frekuwensi pergaulannya dengan Nabi saw. serta aspekaspek kesejarahan lainnya, maka hal yang sangat niscaya, jika penafsiran seorang qāri’ dengan qāri’ lainnya menjadi berbeda-beda. Perbedaan penafsiran dalam banyak hal ditentukan oleh karakter kepribadian, kapasitas intelektual serta lingkungan mufasirnya. Dengan semakin banyaknya cabang keilmuan yang berkembang di dunia Islam dengan sendirinya menjadikan pluralitas penafsiran dan karakternya menjadi semakin terbuka luas kemungkinannya.128 Dalam sejarah penafsiran Al-Qur‟an, baik klasik maupun modern dalam menafsirkan dan menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur‟an yang samar, menerangkan ayat-ayat yang muhkām dan yang mutasyabihāt129, menyingkap 128 Al-Zahabi, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirīn, t.th.,1976, juz. I, hlm. 149. Dalam kitab Al-Ta‟rifah, Al-Jurzani mendefinisan secara etimologi (bahasa) muhkām artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (mā 129 60 rahasia-rahasianya, menyingkap keajaiban-keajaibannya dan menyuting atay-ayat ahkāmnya untuk mengetahui yang halal dan yang haram serta memperhatikan perintah dan larangannya kemudian menyimpulkan hikmah-hikmah tasyri’nya. Jika ulama-ulama klasik telah berjasa besar dalam penafsiran Al-Qur‟an yang mulia, lebih-lebih dalam penafsiran ayat-ayat ahkāmnya, maka sesungguhnya tidak sedikit di antara ulama-ulama modern (muta’akhirīn), yang sibuk dengan langkah serupa, yaitu berusaha memudahkan para pelajar dari kesulitan, mereka rela mengorbankan tuntutan-tuntutan hidiup yang lain, demi mendalami, mengajar dan membehas serta membuka pemahaman-pemahaman baru sesuai ijtihad mereka, maka patutlah usaha mereka itu disyukuri dan dihargai. Kitab tafsir yang telah tersusun secara sistematis, di mana penyusunnya sudah memadukan (di dalam kitabnya ini) antara tafsir-tafsir ahkām dari kalangan mutaqaddimīn dan muta’akhirīn; yaitu kitab “Rawāi’ Al-Bayān Tafsīr Ayāt AlAhkām min Al-Qur’an”, yang disusun oleh Muhammad Ali Al-Shabuni, seorang Dosen pada Fakultas Syari‟ah dan Dirasat Islamiyah di Mekkah. B. Biografi Ali Al-Shabuni 1. Potret Kehidupan Awal Nama lengkap Ali Al-Shabuni adalah Muhammad bin Ali bin Jamil AlShabuni. Beliau lahir di kota Helb Syiria pada tahun 1928 M. Setelah lama ahkām al-murād bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir). Adapun mutasyābih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar (mā khafiya bi nafs al-lafzh). Sedangkan menurut istilah ayat-ayat muhkām adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gambling, baik melalui takwil (metafora) atau tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyābih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluar dajjal dan huruf-huruf muqaththa’ah. Definisi ini dikemukakan kelompok ahl al-sunnah. Lihat: Rosihon anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung. 2006, hlm. 125. 61 berkecimpung dalam dunia pendidikan di Syiria, beliaupun melanjutkan pendidikannya di Mesir, dan merampungkan program Magisternya di Universitas Al-Azhar mengambil tesis khusus tentang Perundang-undangan dalam Islam atau Peradilan Syari‟ah pada tahun 1954 M. Kemudian beliau bermukim di Mekkah dan tercatat sebagai salah seorang staf pengajar tafsir dan Ulumul Qur‟an130 di Fakultas Syari‟ah dan Dirosat Islamiyah Universitas Malik Abdul Aziz Makkah. Beliau juga dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur‟an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra Arab. Abdul Qodir Muhammad Shalih dalam “Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fi al‘Ashri al-Hadīts” menyebutnya sebagai akademisi yang ilmiah dan banyak menelurkan karya-karya bermutu. Ali Al-Shabuni pernah aktif dalam gerakan organisasi Ikhwān alMuslimīn. Kelompok ini dikenal sering kontra dengan pemerintahan pada saat itu, sehingga berbagai aktifitas gerakan organi tersebut selalu mendapat pengawasan ketat dari pemerintah dan banyak aktifis Ikhwān al-Muslimīn yang dikejar-kejar oleh pemerintah karena pendapatnya selalu bersebrangan dan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah pada saat itu. Dalam pengejaran itu, Ali AlShabuni pernah lari ke Saudí Arabia bersama tiga orang rekannya yang bernama Abdul Fatah Abu Ghundah seorang pakar Hadis, Abdurrahman Habban Nake 130 Menurut bahasa Ulūm al-Qur’ān adalah ilmu (pembahasan) yang berkaitan dengan Al-Qur‟an. Sedangkan menurut istilah Manna‟ Al-Qhaththan dalam kitabnya Mabāhits fī Ulūm alQur’ān, mendefinisikan: ٔجٞش ٍؼطفخ أؼجب ة اىْعه ٗجَغ اىقطأُ ٗرطرٞزْبٗه األثحب س اىَزؼيقخ ثبىقطأُ ٍِ حٝ ٛاىؼيٌ اىص ُط شىل ٍَب صيخ ثبىقطأٞ غٚ ٗاىْب ؼد ٗاىَْؽ٘خ ٗاىَحنٌ ٗاىَزشب ثٔ اىّٜ ٗاىَسٍٜٗؼطفخ اىَن “Ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an dari sisi informasi tentang asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya Al-Qur‟an), kodifikasi dan tertib penulisan Al-Qur‟an, ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah (makiyyah) dan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah (madaniyyah), dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Al-Qur‟an.” Lihat: Manna‟ Al-Qaththan, Mabāhits fī Ulūm al-Qur’ān, Mansyurat al-Ashr al-Hadīts. 1973, hlm. 15-16. 62 seorang ulama yang ayahnya adalah gurunya Ali Al-Shabuni, dan Ali Thanthawi seorang pakar sejarah Islam. Bersama tiga rekannya, beliau meninggalkan negaranya menuju Mekkah, kecuali salah seorang rekan beliau yaitu Abdul Fatah Abu Ghundah yang pergi ke Madinah. 2. Karya-karyanya Selain sebagai seorang dosen sekaligus aktivis yang mempunyai dedikasi yang sangat tinggi, beliau juga seorang penulis yang produktif. Adapun di antara karya-karya beliau yang terkenal antara lain adalah: a. Al-Mawārits fī al-Syari’ah al-Islāmiyyah ’alā Dha’i al- Kitāb wa alSunnah b. Al-Nubuwwāh wa al-Anbiyā c. Min Kunūz as-Sunnah (Dirosat Adabiyah wa Lughowiyah min al-Hadīts asy- Syarīf) d. Mukhtashār Tafsīr Ibnu Katsīr e. Al-Tibyān fī ’Ulūm al-Qur’ān yang ditulisnya pada tahun 1390 H. Kitab ini ditulis sebagai sumber referensi atau pengantar bagi para mahasiswa yang pada saat itu diajar oleh Ali Al-Shabuni dalam bidang Ulūm AlQur’an. Sebagaimana halnya kitab-kitab pengantar atau sumber referensi lainnya, kitab ini juga berisi ringkasan yang membahas Ilmu Al-Qur‟an, Asbāb al-Nuzūl, Hikmah Turunnya Al-Qur‟an secara berangsur-angsur, Pengumpulan Al-Qur‟an, Kemukjizatan Al-Qur‟an, Ilmu Tafsir dan Mufasir dan tentang Al-Qur‟an dengan tujuh huruf dan qira’at yang masyhur. 63 f. Risalāh al-Shalāh g. Al-Subhat wa al-Bathil Haula Ta’adud Zaujat al-Rasūl saw. h. Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt al-Ahkām fi al-Qur’an yang ditulisnya pada tahun 1391 H. i. Shafwāh al-Tafāsīr. Shafwāh al-Tafāsīr merupakan kitab tafsir karangan Ali Al-Shabuni. Beliau menyebutnya sebagai kumpulan tafsir bi al-ma’tsūr dan tafsir bi al-ma’qūl. Menyinggung alasan penamaan kitabnya ini beliau menjelaskan, “aku menamai kitabku Shafwāh al-Tafāsīr karena memuat inti dari kitab-kitab tafsir besar yang ku susun lebih ringkas, tertib, mudah, jelas, dan lugas ". Tafsir-tafsir besar yang beliau ambil sebagai rujukan: tafsir at-Thabārī131, tafsir al-Kāsyaf132, tafsir AlQurthūbi133, tafsir Ruh al-Ma’ānī134, tafsir Ibnu Katsir135, tafsir Bahr al-Muhīth136, juga dari beberapa kitab tafsir lain dan buku-buku Ulūm al- Qur’ān. 131 Nama pengarangnya yaitu Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabariy alImâm al-'Allâmah, al-Hâfizh, seorang sejarawah. Beliau lahir tahun 224 H dan wafat 310 H. judul lengkap kitabnya adalah: Jâmi' al-Bayân Fî Ta`wîl Ayi al-Qur`ân. 132 Nama pengarangnya adalah Abu al-Qasim Mahmud bin ibnu Muhammad ibnu „Umar bin Muhammad al-Khawarizmi al-zamakhstari, penganut aliran Mu‟tazilah, yang dijuluki Jaarullah. Nama lengkap tafsirnya: Al-Kasysyāf ‘An Haqā’iq at-Tanzīl Wa ‘Uyūn al-Aqāwīl Fī Wujūh at-Ta’wīl. 133 Nama pengarangnya adalah Imam Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh alAnshâriy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat tahun 671 H. Nama tafsirnya Al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân. 134 Nama lengkap al-Alusi adalah Abu Tsana Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi alAlusi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya‟ban tahun 1217 H di dekat daerah Kurkh, Iraq. Beliau termasuk ulama besar di Iraq yang ahli ilmu agama, baik di bidang ilmu usul (ilmu pokok) maupun yang ilmu Furu’ (ilmu cabang). Kitab tafsirnya yang terkenal adalah: Durrah al-Gawâs fi Awhâm al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al- Qur’an al-`Azîm wa al-Sab’i al-Masani. 135 Nama pengarangnya dalah 'Imâd ad-Dien Abu al-Fidâ` Isma'il bin 'Umar bin Katsir alDimasyqiy al-Syafi'iy, seorang Imam, Hâfizh dan juga sejarawan. Wafat tahun 774 H. Karyanya yang terkenal adalah Tafsir al-Qur`ân al-'Azhîm. 136 Nama pengarangnya adalah Abu „Abdillah, Muhammad bin Yusuf bin „Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusy al-Gharnathy, yang lebih dikenal dengan nama Abu Hayyan. Lahir tahun 654 H dan wafat tahun 745 H. Nama kitab tafsirnya adalah al-Bahr al-Muhîth. (atau sering dikenal dengan Tafsir Abi Hayyan. 64 Dalam Muqaddimahnya, Ali Al-Shabuni sedikit mengungkapkan mengenai proses kreatif penulisan kitab tafsir ini, “aku merampungkan penulisan kitab ini selama lima tahun siang dan malam. Dan aku tidak menulis sesuatu dalam kitab tafsir ini kecuali setelah aku benar-benar membaca apa yang ditulis ulama-ulama tafsir pada kitab mereka. Sekaligus meneliti dengan sungguhsungguh supaya aku bisa menilai mana di antara pendapat mereka yang paling benar lalu aku mengunggulkannya”. Di antara alasan yang membuat penulis tafsir ini tergerak untuk menyusun kitab tafsirnya adalah banyaknya kitab tafsir dan Ulūm al-Qur’ān yang ditulis oleh para ulama, bahkan di antaranya merupakan kitab-kitab yang “gemuk” dan pastinya sangat berjasa membantu ulama dan masyarakat dalam memahami Al-Qur‟an secara benar. Namun karena tingkat pendidikan dan kebudayaan manusia yang berbeda-beda, menjadikan di antara mereka masih merasa sulit menggapai pesan yang ingin disampaikan seorang mufassir dalam kitabnya. Oleh karenanya, salah satu solusi mengatasi hal ini, maka seorang ulama dituntut untuk terus berusaha mempermudah dan meminimalisir kesulitan dalam kitab tafsirnya, supaya maknanya bisa lebih terjangkau masyarakat luas. Syaikh al-Azhar Dr. Abdul Halim Mahmud memberikan komentar tentang kitab ini, “Shafwāh al-Tafāsīr adalah hasil penelitian penulis terhadap kitab-kitab besar tafsir, kemudian ditulis ulang dengan mengambil pendapat terbaik dari kitab-kitab tersebut yang disusun secara ringkas dan mudah”. Begitu pun yang di sampaikan Dr.Rosyid bin Rojih (‘Amid kuliyyah Syari’ah dan Dirāsat Islāmiyyah Universitas Malik Abdul Aziz) tentang Shafwāh al-Tafāsīr, “ kitab ini sangat 65 berharga, meringkas apa yang dikatakan ulama-ulama besar tafsir dengan menggunakan tata bahasa yang sederhana, tekhnik pengungkapan yang mudah dan lugas, disertai penjelasan dari segi kebahasaannya. Sungguh sangat memudahkan penuntut ilmu dalam memahaminya”. Adapun metode yang diterapkan Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya: 1) Menjelaskan surat Al-Qur‟an secara global, kemudian merinci maksud-maksud yang terkandung dalam surat tersebut. 2) Menjabarkan hubungan antar ayat sebelum dan sesudahnya. 3) Pembahasan tentang hal yang berhubungan dengan bahasa, seperti akar kalimat, dan bukti-bukti kalimat yang diambil dari ungkapan orang Arab. 4) Pembahasan tentang Asbāb al-Nuzūl. 5) Pembahsan tentang tafsir ayat. 6) Pembahasan ayat dari segi Balaghohnya. 7) Penjelasan faidah-faidah yang bisa dipetik dari suatu ayat. Di antara karya-karya besar Ali Al-Shabuni, Shafwāh al-Tafāsīr adalah yang paling banyak mengundang polemik.137 137 Polemik ini lahir terutama saat beliau menafsirkan suatu ayat dengan menggunakan metode ta’wīl. Misal sebagaimana yang dipaparkan Syeikh Sholih bin Fauzan: ”… ٖٔ ٍِ أؼيٌ ٗجٚثي ”…هللDalam menafsirkan ayat ini Ali Al-Shabuni mengutip pendapat dari Imam Al-Razi dalam tafsirnya Tafsīr Kabīr yang menakwilkan “ٔ ”اى٘جdengan “ ”اىْفػ, maka makna ayat ini menurut alRazi: “ memasrahkan diri untuk selalu taat kepada Allah swt.” 137. Dengan mengambil justifikasi dari ayat: “ ٖٔء ٕبىل اال ٗجٜ“مو ش. Ini hanya satu dari tafsir ayat yang disentil oleh Syeikh Shalih bin Fauzan salah seorang ulama Saudi yang menyebut ta’wīl pada ayat ini sebagai ta’wīl bathil karena ta’wīl al-wajh dengan makna al-Dzat (sebagaimana manusia) sama dengan meniadakan sifat Allah swt. yang telah pasti. Untuk juz 1 saja Syeikh Sholih bin Fauzan mencatat 54 kesalahan dari berbagai macam disiplin ilmu (termasuk fiqh). Keseluruhan kesalahan syeikh „Ali Ash-Shabuni dalam Shofwah at-Tafasir beliau rangkum dalam kitabnya “Al-bayān li Akhtho’i Ba’dhi al-Kitāb”. Masuk dalam barisan panjang ulama penolak tafsir ini di antaranya: Syeikh Muhammad Jamil Zainu (pengajar tafsir di Universitas Darul Hadits Makkah), Syeikh Sa‟ad Dzullam, Syeikh Bakr 66 C. Seputar Kitab Tafsir Rawāi’u al-Bayān 1. Sejarah penulisan Mengenai spesifikasi dalam penulisan kitab tafsir Rawāi’ Al-Bayān, Ali Al-Shabuni sendiri mengatakan: “Dan saya hidup dalam lingkungan yang mulia ini beberapa waktu lamanya yaitu kurang lebih dalam sepuluh tahun, sehingga aku berhasil menyusun sejumlah kitab dan yang terakhir adalah kitab ini, yang kuberi nama “ Rawāi’ Al-Bayān fī Tafsīri Ayāt Al-Ahkām min Al-Qur’an”, yang kujadikan dua jilid dan kuhimpun di dalamnya “khusus ayat-ayat ahkām” dengan metode ilmiah dengan mengkompromikan antara sistematika lama dalam hal kebagusannya dan sistematika baru dalam hal kemudahannya. Barangkali metode yang saya pergunakan ini adalah baru lagi sederhana, di mana saya berusaha untuk menampilkan susunan yang lembut dengan ketelitian yang mendalam.” Selanjutnya Ali Al-Shabuni juga menyatakan bahwa dalam penulisan kitab tafsirnya ini bukan hasil jerih payahnya pribadi, melainkan ditulis sebagai ikhtisar (ringkasan) dari pemikiran para ahli tafsir yang tersohor, baik yang lama maupun yang baru dan hasil dari perasaan otak-otak yang luar biasa dari para ulama, di Abu Zayd yang masing-masing mengungkapkan kritik dan penolakannya dengan menerbitkan buku. Dalam buku besarnya “Ar-Rudūd”, Syeikh Bakr Abu Zayd menyorot perilaku Ali AlShabuni yang mengumpulkan penafsiran dari penafsir-penafsir besar dengan latar belakang ideologi berbeda dalam satu kitab tafsir, seperti Zamakhsyari yang Mu’tazili, Ibnu Katsir dan alThabary yang Salafī, Ar-Rozy yang Asy’ari, Thibrsy yang Rhofidhy. Aksi penolakan ulama-ulama besar Saudi ini mau tidak mau memaksa pihak kementrian Badan Waqaf Kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu menurunkan perintah pelarangan beredarnya kitab ini. Juga surat edaran dari direktur umum badan waqaf dan masjid di Riyadh bernomor: 945/2/ 1408 /4/16 ٜ ف, صH melarang penyebaran dan memperbanyak kitab tafsir ini sampai ada perbaikan permasalahan ideologi di dalamnya. Memang benturan ideologi dalam tafsir ini tidak bisa elakan, karena pada saat Ali AlShabuni menggunakan penafsiran khas Salafy yang mempraktekan metode “Tafwidh Ilallah” (khususnya ketika beliau merujuk tafsir dari Ibnu Katsir). Dan pada saat kita akan melihat beliau mengambil penafsiran khas Asy‟ari yang menggunakan metode “ta’wīl” (khusunya ketika beliau mengambil tafsir dari Ar-Razi). Namun untuk Mu‟tazilah beliau menjelaskan tidak mengambil dari Zamakhsyari kecuali penjelasan tentang masalah bahasa saja. Kenyataan ini membuat penulis sulit mengira-ngira apa gerangan ideologi „Ali Ash-Shabuni. Terlepas dari permasalahan ideologi Ali Al-Shabuni, Dr. Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, “ikhtiyārul mar’i qith’atun min aqlihī” maka lanjut beliau lagi, bisa dikatakan apapun yang dipilih dan diambil Ali Al-Shabuni dari kitab-kitab tafsir besar merupakan persetujuan beliau terhadap penafsiran-penafsiran itu.(dikutip dari makalah yang dipresentasikan oleh: Shofiyullah dkk, pada mata kuliah Membahas Kitab Tafsir, Semester Tiga) 67 antaranya yaitu: ahli fiqih, ahli Hadis, ahli bahasa, ahli ushul dan ahli-ahli tafsir Al-Qur‟an dan penyimpul hukum-hukum yang dikandungnya dan lain-lainnya dari mereka semua yang telah menulis tentang Al-Qur‟an. 2. Metodologi penafsiran Untuk melihat seberapa jauh metodologi sebuah tafsir, maka penulis mengambil pada tiga bagian yang dikemukakan oleh Fahd al-Rûmi, yaitu membagi metodologi tafsir menjadi tiga bagian.138 a) Sumber Tafsir Rawāi’ al-Bayān Sumber penafsiran yang dimaksud di sini adalah acuan dasar sebagai tempat mufasir menggali bahan-bahan untuk bangunan penafsirannya. Tentang hal ini, para mufassir dalam sejarahnya memilih acuannya sesuai dengan mainstream pemikiran zamannya di samping minat individualnya. Akibatnya, ada mufasir yang lebih mengunggulkan teks dasar Islam seperti: Al-Qur‟an, Hadis atau Atsar pada umumnya (biasa disebut ma’tsūr)139, tetapi juga ada yang lebih mengunggulkan sumber atau acuan lain seperti israiliyat 140, syair Arab klasik, 138 Fahd Ibnu „Abd al-Rahmân Ibnu Sulaimân al-Rûmi, Usûl al-Tafsîr wa Manâhijuhu, Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1992, hlm. 55. 139 Tafsîr bi al-Ma’tsûr adalah: ِْطِٞ شُ ُط ْٗطِ اىَُْ َفؽِطِ ٍِِْ رَ ْفؽِٚد ؼَبثِقًب ف ْ شُمِ َطِْٚحِ اىََْ ْ ُقْ٘هِ ثِبىَُْطَا ِرتِ اىَزِٞ صَحََٜؼْزََِسُ ػَيٝ َُِٕٙ٘ اىَص ِ ػَِِ اىصَحَبثَخِ ِألٌََُّْٖ اَػْيٌَُ اىَْبغِ ثِنِزَبةِ اهللََِْٙٗخُ اىْنِزَبةِ اهللِ َاْٗ ثََِب َضَُٞ َٗ ثِب ْىؽَُْخِ ِألَََّٖب جَب َءدْ ث ِ اىْقُطْآ .َِِْ ِألٌََُّْٖ رَيْ َقْ٘ا شَِىلَ ػَِْ غَبىِجَب اىصَحَبثَخَِٞاْٗ ثََِب مِجَبضُ اىزَبثِؼ “Yaitu suatu tafsir yang didasarkan pada dalil-dalil, yang dinukilkan dengan shahîh secara tertib, dengan menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dan sunah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Qur‟an, dengan perkataan para sahabat, karena merekalah yang paling mengetahui al-Qur‟an atau yang dikatakan oleh tabi‟in, karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.” Lihat: Manna‟ Al-Qaththan, Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr, 1973, hlm. 347. 140 Berita-berita yang diceritakan ahl al-kitāb yang masuk Islam itulah yang dinamakan israiliyat, mengingat bahwa yang paling dominan adalah pihak Yahudi, bukan Nasrani. Sebab penukilan dari orang Yahudi lebih banyak jumlajnya karena interaksi mereka dengan kaum 68 ilmu-ilmu keislaman, atau bahkan penemuan-penemuan dibidang sosial yang kemuanya ini masuk wilayah non atsar (biasa disebut ra’yu)141. Keadaan menunjukan bahwa sumber bahan penafsiran merupakan satu variabel dalam studi tafsir yang antara satu mufasir dengan mufasir lainnya saling berbeda.142 Penjelasan-penjelasan (tafsir-tafsir) yang dinukilkan dari Rasulullah saw. itulah pokok pertama bagi sumber penafsiran Al-Qur‟an. Mengenai penafsiran dengan tenaga ijtihad (bi al-ra’yi), para sahabat berselisihan. Sebagian sahabat dalam menafsirkan Al-Qur‟an hanya berpedoman kepada riwayat semata, tidak mau menggunakan ijtihad. Sebagian yang lain, di samping menafsirkan ayat dengan hadis-hadis dari Nabi saw. mereka juga menafsirkan dengan ijtihad. Tegasnya, di samping mereka menafsirkan dengan atsar, mereka juga menafsirkan Al-Qur‟an dengan berpegangan kepada kekuatan bahasa Arab, asbāb al-nuzūl, dan pendapat para ‟ulama (ra’yi).143 muslimin telah dimulai semenjak kelahiran Islam terutama pasca hijrah ke Madinah. Ibid., hlm. 444. 141 Tafsîr bi al-Ra’yi ialah: ِ اىؽََْخِ اىضَبثِزَخِٚة َٗالَ ف ِ اىْنِزَبَِٚبِِّٔ الَ فَٞ ثََٚقْصُ ُسَُْٗ اِىٝ َبُِ ٍَبَْٞئٍ ٍِِْ ثَٞظْفَ ُطْٗا ِثشَٝ ٌَْفَإُِْ ى ٌََُْٖ ثَؼْسَِْْٝ اِجْزَِٖ ُسْٗا ضَأَِٞخِ ٍِِْ أَ ْقَ٘اهِ اىصَحَبثَخِ َأِٗ اىزَبثِؼِٞ اىََْأُْصْ٘ضِ اىصَبىِحِ ىِيْحُّجَِٚٗالَ ف َِحَُِْيْ٘ا ٍُفْطَزَادٝ َُْ شَِىلَ اَِِْٚ فِْٞوِ اىْؼُُيْ٘ ًِ َٗ َرَ٘فُطِ اىََْيَنَبدِ اىّالَظٍَِخِ ِىّالِجْزَِٖبزِ ٍُ َزَ٘ذِٞرَصْح َ ٍَبىٌَْ رَصْطِفْ قَطَائُِِ ػَِْ رِ ْيل,ًظَ٘إِطَِٕب اىَُْزَجَبزِ َضحِ ٍِ َْٖب ىُغَخ َ َْٚجِِٔ ػَيُِٞ َٗرَطَام ِ اىْقُطْآ .ِظَ٘إِط َ اى “Bila Ulama (ahli sunnah wa al-Jamaah) dalam menafsirkan ayat tidak menemukan salah satu dari empat bentuk Tafsîr bi al-Ma‟tsûr yang dapat dijadikan sebagai penafsirnya, maka mereka menafsirkannya dengan Ijtihad. Dimana, mereka berijtihad setelah syarat-syaratnya terpenuhi dan berusaha menafsirkan kosa-kata al-Qur‟an dan susunan ayatnya sesuai dengan makna literal yang mudah dipahami, selama tidak ada indikator-indikator yang memalingkannya dari makna literal itu.” Lihat: Ibrâhîm Syu‟aib Z, Op. Cit., hlm. 27. 142 Muhammad Yusuf, MA, Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu), Teras, Yogyakarta. 2004, hlm. 13. 143 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 208. 69 Jika dilihat dari sumber penafsiran yang digunakan oleh Ali Al-Sahabuni dalam kitab tafsir Rawūi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’an-nya, terlihat jelas bahwa beliau lebih banyak menggunakan ijtihad (ra’yu) atau lebih tepatnya sering mengutip pendapat para ulama fiqh dan mufasir terdahulu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang dimaksud untuk menguatkan penafsiran beliau sendiri. Hal ini diakui sendiri oleh Ali Al-Shabuni dalam muqadimah kitab tafsir ini, beliau mengatakan bahwa: فحؽت ثوٜ اىشرصٛ ٕصا اىنزبة ٍِٕ٘ جٖسٜؽذ أظػٌ أُ ٍب جبء فٞٗى ٗرْبط ألز ٍغخ,شٝ ٌ ٗاىحسٝ اىقسِٜ فٝطاىَفؽطٕٕٞ٘ذّالصخ الضاء ٍشب ذس ٍخٚ ؼٖطد ػي,ِٝ ٗجٖب ثص ح اىَفؽط,ججب ضح ٍِ فغبحو اىؼيَبء ,ٛ٘ ٗاىيغ, ٗاىَحس س,ٔ اىفق:ٌٍْٖ ع اثزغبء ٗجٔ اهللٝاىنزبة اىؼع طٌٕ ٍَِ مزج٘اٞ ٗغ ً ٗاىَؽزْجظ ىألحنب, ٗاىَفؽط ىنزبة اهلل,ٜٗاالص٘ى ..ٌٞ اىقطاُ اىؼظٜف ”Saya tidak pernah beranggapan, bahwa apa yang ada dalam kitab ini adalah hasil jerih payahku pribadi, tetapi ia merupakan ikhtisar dari fikiran-fikiran ahli-ahli tafsir yang tersohor, baik yang lama maupun yang baru dan hasil dari perasaan otak-otak yang luar biasa dari para Ulama‟, ahli-ahli tafsir yang tidak pernah tidur demi berkhidmat kepada kitab suci, karena menginginkan ridho Allah, di antranya yaitu: ahli fiqh, ahli hadits, ahli bahasa, ahli ushul dan ahli-ahli tafsir kitabullah dan penyimpul hukum-hukum yang dikandungnya dan lain-lainnya dari mereka semua yang telah menulis tentang kitabullah al-Azhim.”144 Pernyataan Ali Al-Shabuni tersebut jelas-jelas menunjukan bahwa beliau memposisikan pendapat para fuqahā’ sebagai penafsirannya dan mentarjih pendapat yang benar menurut beliau. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan 144 Ali Al-Shabuni, Muqadimah Rawūi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’an, juz 1, hlm. 9. 70 tentang batas minimalnya maskawin atau mahar. Beliau mengutip pendapat ulama fiqh sebagai berikut: 1) Ada yang berpendapat, setidaknya seperempat dinar sebagai maskawin. Yang berpendapat demikian, ialah: Madzhab Malik. 2) Ada juga yang berpendapat, setidaknya satu dinar sebagai maskawin, yaitu pendapat Abu Hanifah. 3) Bahkan ada pula yang berpendapat, tidak terbatas. Apapun yang kiranya ada harganya, boleh digunakan untuk maskawin. Yang berpendapat demikian yaitu adalah: Madzhab Syafi‟i dan Ahmad. Setelah Ali Al-Shabuni membandingkan dan mengkompromikan pendapat ulama madzhab fiqh tentang batasan pemberian maskawin, dalam penafsirannya kemudian beliau mengambil pendapat ulama Madzhab Syafi‟iyyah dan Hambaliyah yang menurut Ali Al- Shabuni sebagai pendapat yang paling kuat.145 Karena sebagian besar penafsirannya berorientasi kepada rasio (ra’yu), maka tafsir Rawāi’ al-Bayān dapat dikategorikan kepada tafsir bi al-ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (Al-Qur‟an dan Hadis). b) Metode Tafsir Rawāi’ al-Bayān 146 Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut Al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat: pertama, metode Tahlili, di mana dengan menggunakan metode ini mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang 145 Ali Al-Shabuni, Ibid., hlm. 357-358. Istilah yang sering digunakan ialah manhāj, yaitu kerangka kerja (framework) atau alur yang ditempuh seorang mufassir, dan mesti dibedakan dengan istilah ittijāh yang dapat diartikan kecenderungan yang meliputi: pola pikir, analisis, mazhab, persepsi. Lihat: Muhammad Yusuf, Op. Cit., hlm. 31. 146 71 dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur‟an dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju.147 Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat Al-Qur‟an. Kedua, metode Ijmali (global), yaitu ayat-ayat Al-Qur‟an dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat kecil adalah tafsir Jalālain, ketiga, metode maudhū’i dan keempat, metode muqaran.148 Adapun metode yang diterapkan Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ alBayān yaitu menghimpun “khusus ayat-ayat ahkām” dengan metode maudhū’i (tematik) secara ilmiah dengan mengkompromikan antara sistematika lama dalam hal kebagusannya dan sistematika baru dalam hal kemudahannya. Tema-tema yang ditentukan oleh Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya adalah mengenai atau yang berkaitan dengan hukum fiqh yang kemudian dilengkapi dengan ayat-ayat yang mendukung pada tema-tema tersebut. Berikut ini adalah tema-tema beserta ayat-ayat Al-Qur‟an yang dipilih Ali Al-Shabuni: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Bab (Tema Pembahasan) Ayat Al-Qur’an Tafsir surat Al-Fatihah QS. Al-Fatihan : 1-7 Pandangan Syari‟at tentang Sihir QS. Al-Baqarah: 101-103 Nasikh Mansukh dalam Al-Qura‟an QS. Al-Baqarah: 106-108 Menghadap Ka‟bah dalam Shalat QS. Al-Baqarah: 142-145 Sa‟i antara (bukit) Shafa dan Marwah QS. Al-Baqarah: 158 Hukum menyembunyikan ilmu agama QS. Al-Baqarah: 159-160 Halalnya makanan yang baik dan QS. Al-Baqarah: 172-173 haramnya makanan yang buruk Hukum Qishas QS. Al-Baqarah: 178-179 Kewajiban puasa bagi umat Islam QS. Al-Baqarah: 183-187 Haji dan Umrah QS. Al-Baqarah: 190-195 147 „Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i, Kairo: Dar AlKutub Al-„Arabiyah, 1976, hlm. 18. 148 Muhammad Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 34. 72 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 Syariat perang dalam Islam Perang di Bulan Muharam Haramnya khamr (arak) dan perjudian Mengawini wanita musyrikin Menjauhi istri pada waktu haidh Larangan banyak bersumpah Thalaq dalam Islam Hukum menyusui ’Iddah bagi yang ditinggal mati Meminang wanita dan haknya untuk memita mahar Bahaya riba bagi kehidupan sosial Larang mengangkat orang kafir sebagai pemimpin Kewajiban haji dalam Islam Poligami dan hikmahnya dalam Islam Pengelolaan harta anak yatim Wanita-wanita yang diharamkan dikawini Cara-cara mengatasi syiqaq /Perselisihan antar suami-istri Larangan shalat bagi yang mabuk dan junub (berhadas besar) Tentang pembunuhan dalam Islam dan hukumannya Shalat khauf Makanan yang halal dan haram Wudhu dan tayamum Had (hukum) pencuri dan penyamun Kifarat sumpah dan pengharaman khamr dan perjudian Memakmurkan masjid Larangan orang musyrik memasuki masjidil haram Hukum harta rampasan perang Mundur (kabur) dari medan perang Cara pembagian ghanimah (harta rampasan perang) Taqarrub kepada Allah dengan shadaqah qurban Had dalam syari‟at Islam Qodzaf (menuduh zina) Li‟an (saling malaknat) antara suami istri Fitnah (cerita bohong) Adab-adab Isti’dzan (meminta izin) dan berkunjung QS. Al-Baqarah: 196-203 QS. Al-Baqarah: 116-218 QS. Al-Baqarah: 219-220 QS. Al-Baqarah: 221 QS. Al-Baqarah: 222-223 QS. Al-Baqarah: 224-227 QS. Al-Baqarah: 228-231 QS. Al-Baqarah: 233 QS. Al-Baqarah: 234 QS. Al-Baqarah: 235-237 QS. Al-Baqarah: 275-281 QS. Ali Imran: 28-29 QS. Ali Imran: 96-87 QS. An-Nisa: 1-4 QS. An-Nisa: 5-10 QS. An-Nisa: 19-24 QS. An-Nisa: 34-36 QS. An-Nisa: 42 QS. An-Nisa: 92-94 QS. An-Nisa: 101-107 QS. Al-Maidah: 1-4 QS. Al-Maidah: 5-6 QS. Al-Maidah: 33-40 QS. Al-Maidah: 89-92 QS. At-Taubah: 17-18 QS. At-Taubah: 28-29 QS. Al-Anfal: 1-4 QS. Al-Anfal: 15-18 QS. Al-Anfal: 41 QS. Al-Hajj: 36-37 QS. An-Nur: 1-3 QS. An-Nur: 4-5 QS. An-Nur: 6-10 QS. An-Nur: 22-26 QS. An-Nur: 27-29 73 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 Hijab dan melihat lain jenis Anjuran kawin dan menghindari melacur Minta izin masuk kamar orang tua pada waktu-waktu tertentu Makan di rumah keluarga Taat kepada kedua orang tua Pengangkatan anak (adopsi) dizaman jahiliyah dan Islam Warisan untuk dzawil arham Talak sebelum disentuh Beberapa hukum tentang perkawinan Nabi saw. Di antara tata krama dalam walimah Shalawat atas Nabi saw. Hijab wanita muslimah Hukum patung dan gambar Kedudukan hilah dalam syari‟at Perang dalam Islam Membetalkan amal yang sedang dalam pelaksanaan Mencari kebenaran berita Hukum menyentuh mush-haf Al-Qur’an Dhihar dan kaffaratnya dalam Islam Berbicara dengan Rasulullah saw. Perkawinan antar agama Shalat jum‟at dan hukum-hukumnya Hukum-hukum talak Hukum-hukum iddah Membaca Al-Qur‟an QS. An-Nur: 30-31 QS. An-Nur: 32-34 QS. An-Nur: 57-60 QS. An-Nur: 61 QS. Luqman: 12-15 QS. Al-Ahzab: 1-5 QS. Al-Ahzab: 6 QS. Al-Ahzab: 49 QS. Al-Ahzab: 50-52 QS. Al-Ahzab: 53-54 QS. Al-Ahzab: 56-58 QS. Al-Ahzab: 59 QS. Saba‟: 10-14 QS. Shad: 41-44 QS. Muhammad: 4-6 QS. Muhammad: 33-35 QS. Al-Hujarat: 6-10 QS. Al-Waqi‟ah: 75-87 QS. Al-Mujadillah: 1-4 QS. Al-Mujadillah: 11-13 QS. Al-Mumtahanah: 10-13 QS. Al-Jum‟ah: 9-11 QS. Ath-Thalaq: 1-3 QS. Ath-Thalaq: 4-7 QS. Al-Muzammil: 1-10 Dari susunan tema dan urutan surat pada penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya, maka dapat dilihat bahwa beliau menyusunnya secara tertib (tartīb mush-hafi), yaitu berdasarkan urutan surat dalam Mush-haf Utsmāni. Dalam menafsirkan Al-Qur‟an, Ali Al-Shabuni lebih dahulu menuliskan ayat Al-Qur‟an yang akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikirannya yang didukung dengan dalil-dalil (Hadis) atau ayat Al-Qur‟an yang berhubungan dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia 74 tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya, dan kalau tidak ada riwayat ia akan tetap melakukan penafsirannya. Inilah sedikit di antara metode yang ditempuh Ali Al-Shabuni dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an. Ali Al-Shabuni menyadari benar atas apa yang dilakukannya. Sejak awal dalam muqaddimah kitab tafsirnya, Ali Al-Shabuni telah menentukan metode yang akan diikutinya dalam penafsirannya tersebut. Kalaupun ada kelemahan dalam metode penafsirannya, itu hanyalah hasil jerih payah atau buah pemikirannya sendiri.149 c) Corak Tafsir Rawāi’ al-Bayān Kajian tentang corak penafsiran yang telah dilakukan oleh para ulama ahli tafsir memberikan kategori dalam beberapa corak yang berkembang dan tumbuh seiring dengan keragaman ilmu yang dimiliki para mufasir dalam karyanya sehingga sampai pada bentuk yang ada sekarang. Seperti corak sufistik, fiqh, falsafi, ilmi dan adabi-ijtima’i.150 Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, Ali Al-Shabuni memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik yaitu dengan menggunakan pendekatan fiqh. Hal ini dengan mudah dapat terlihat jelas dari nama kitab tafsir tersebut, yaitu Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min alQur’ān. Kata al-ahkām mengisyaratkan dua hal; Pertama, bahwa ayat-ayat yang ditafsirkan dalam karyanya ini hanyalah ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah 149 150 Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 9. Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 165. 75 hukum saja. Kedua, bahwa corak fiqh sangat dominan dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan ayat yang dimaksud. Secara umum dari aspek corak ini, dapat dikatakan bahwa beliau menjelaskan kandungan ayat-ayat hukum secara cermat beserta makna-makna yang dimaksud oleh ayat tersebut, dengan struktur dan gaya penulisan atau penafsiran yang sistematis, yang diiringi dengan kesimpulan-kesimpulan hukum, sehingga menampilkan Al-Qur‟an sebagai sumber hukum bagi manusia yang begitu indah. Corak penafsiran yang ditonjolkan oleh Ali Al-Shabuni dalam penafsirannya adalah dengan memahami ayat-ayat hukum sebagai langkah utama, menangkap maksud-maksud ayat secara cermat. Kemudian mengungkapkan isi kandungan petunjuk hukum yang terkandung di dalamnya, dengan bahasa lugas dan ringkas yang mudah difahami oleh pembaca. Sebagai contoh ketika Ali Al-Shabuni menafsirkan tentang hukum menyentuh Mush-haf Al-Qur’an. Allah swt. berfirman: ”Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”.151 Dalam menafsirkan ayat ini, Ali Al-Shabuni mengkompromikan antara pendapat fuqahā’ yang membolehkan dan melarang menyentuh mush-haf AlQur’an. Dari penafsiran masalah fiqh ini, terlihat beliau sependapat dengan ulama yang melarang. Di antaranya pendapat Ibnu Taimiyah dan kesepakatan para 151 QS. Al-Waqi‟ah [56]: 79. 76 fuqaha‟ lainnya, yaitu diharamkannya menyentuh mush-haf Al-Qur’an bagi orang yang berhadas, baik karena junub, haidh, nifas ataupun batal wudhunya, karena mereka itu dinilai tidak suci.152 Bila dicermati dari contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan betapa Ali Al-Shabuni banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadikan tafsir ini masuk kedalam jajaran tafsir yang bercorak hukum (fiqh). Di sisi lain, dari contoh tersebut juga terlihat bahwa Ali Al-Shabuni sesuai dengan apa yang dianut Mazhab Syafi‟i, walaupun tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan madzhabnya. 3. Sistematika Tafsir Rawāi’ al-Bayān Menurut Amin Al-Khuli dalam kitabnya Manāhij Tajdīd, dalam kaitannya dengan sistematika penyusunan kitab tafsir, perlu diketahui adanya tiga sistematika penyusunan tafsir yang dikenal dikalangan para ulama ahli tafsir, yaitu: tartīb mush-hafi153, tartīb nuzūli154 dan tartīb maudhū’i.155 Secara umum sistematika penulisan yang ditempuh oleh Ali Al-Shabuni dalam kitabnya ini, adalah tartīb maudhū’i (urutan sesuai tema) atau sistematika penyusunan kitab tafsir dengan mengambil ayat-ayat hukum saja dalam tartīb mush-hafi. 152 Ali Al-Shabuni., Op. Cit., hlm. 411-412. Yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas. 154 Yaitu dalam menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan pada kronologis turunnya surat-surat al-Qur‟an, contoh mufassir yang menggunakan sistrematika ini adalah Muhammad „Izzah Daewazah dengan tafsirnya yang berjudul al-Tafsīr al-Hadīts. 155 Yaitu menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan topic-topik terterntu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topic tertentu yang kemudian dilanjutkan dengan penafsiran. Lihat: Muhammad Yusuf, Op. Cit., hlm. 107. 153 77 Dalam kelompok ayat-ayat hukum biasanya muncul tema-tema hukum yang pembahasan hukum itu akan berulang sesuai tartīb mush-hafi. Pendekatan ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suatu ayat dengan memberikan sejumlah ayat-ayat lain yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya. Namun, secara umum ia tidak keluar dari sistematika mush-hafi. Kitab Tafsir Rawūi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’an ini terdiri dari dua jilid, yang semuanya memuat tujuh puluh bab (al-muhadharah dalam istilah penulisannya) dengan rincian jilid pertama memut empat puluh bab, dan jilid kedua tiga puluh bab, bab-bab tersebut adalah:156 1. Tafsir surat al-Fatihah 2. Pandangan Syari‟at tentang sihir 3. Nasīkh Mansūkh dalam Al-Qura‟an 4. Menghadap Ka‟bah dalam Shalat 5. Sa‟i antara (bukit) Shafa dan Marwah 6. Hukum menyembunyikan ilmu agama 7. Halalnya makanan yang baik dan haramnya makanan yang buruk 8. Hukum Qishās 9. Kewajiban puasa bagi umat Islam 10. Syariat perang dalam Islam 11. Haji dan Umrah 12. Perang di Bulan Muharam 13. Haramnya khamr (arak) dan perjudian 156 Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 490-496 78 14. Mengawini wanita musyrikin 15. Menjauhi istri pada waktu haidh 16. Larangan banyak bersumpah 17. Thalaq dalam Islam 18. Hukum menyusui 19. ‟Iddah bagi yang ditinggal mati 20. Meminang wanita dan haknya untuk memita mahar 21. Bahaya riba bagi kehidupan sosial 22. Larang mengangkat orang kapair sebagai pemimpin 23. Kewajiban haji dalam Islam 24. Poligami dan hikmahnya dalam Islam 25. Pengelolaan harta anak yatim 26. Wanita-wanita yang diharamkan dikawini 27. Cara-cara mengatasi syiqaq /Perselisihan antar suami-istri 28. Larangan shalat bagi yang mabuk dan junub (berhadas besar) 29. Tentang pembunuhan dalam Islam dan hukumannya 30. Shalat khauf 31. Makanan yang halal dan haram 32. Wudhu dan tayamum 33. Had (hukum) pencuri dan penyamun 34. Kifarat sumpah dan pengharaman khamr dan perjudian 35. Memakmurkan masjid 36. Larangan orang musyrik memasuki masjidil haram 79 37. Hukum harta rampasan perang 38. Mundur (kabur) dari medan perang 39. Cara pembagian ghanimah (harta rampasan perang) 40. Taqarrub kepada Allah dengan shadaqah qurban 41. Had dalam syari‟at Islam 42. Qodzaf (menuduh zina) 43. Li‟an (saling malaknat) antara suami istri 44. Fitnah (cerita bohong) 45. Adab-adab Isti’dzan (meminta izin) dan berkunjung 46. Hijab dan melihat lain jenis 47. Anjuran kawin dan menghindari melacur 48. Minta izin masuk kamar orang tua pada waktu-waktu tertentu 49. Makan di rumah keluarga 50. Taat kepada kedua orang tua 51. Pengangkatan anak (adopsi) dizaman jahiliyah dan Islam 52. Warisan untuk dzawil arham 53. Talak sebelum disentuh 54. Beberapa hukum tentang perkawinan Nabi saw. 55. Di antara tata krama dalam walimah 56. Shalawat atas Nabi saw. 57. Hijab wanita muslimah 58. Hukum patung dan gambar 59. Kedudukan hilah dalam syari‟at 80 60. Perang dalam Islam 61. Membetalkan amal yang sedang dalam pelaksanaan 62. Mencari kebenaran berita 63. Hukum menyentuh mush-haf al-Qur’an 64. Dhihar dan kaffaratnya dalam Islam 65. Berbicara dengan Rasulullah saw. 66. Perkawinan antar agama 67. Shalat jum‟at dan hukum-hukumnya 68. Hukum-hukum talak 69. Hukum-hukum iddah 70. Membaca al-Qur‟an Dari semua pembahasan pada bab-bab di atas, Ali Al-Shabuni mencantumkan pada setiap babnya dengan beberapa ayat Al-Qur‟an, Hadis, pendapat ahli fiqh dan lainnya yang mendukung pada tema-tema penafsirannya, yang kemudian oleh Ali Al-Shabuni menempuh cara pengelompokan ayat-ayat yang masih dalam suatu konteks pembicaraan mengenai hukum. Dalam penafsirannya, Ali Al-Shabuni menggunakan beberapa tahapan sehingga membuat tafsir yang ditulisnya sangat sistematis. Cara yang digunakan oleh Ali Al-Shabuni ini adalah baru lagi sederhna, dimana beliau berusaha untuk menampilkan susunan yang lembut dengan ketelitian yang mendalam dengan menitik beratkan pada sepuluh tahapan sebagai berikut:157 157 Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 8. 81 a. Uraian secara lafzhi (lafal) dengan berpegangan atas pandangan ahliahli tafsir dan ahli-ahli balaghah (bahasa) b. Arti global dari ayat-ayat yang mulia itu dengan bentuk cetusan (tanpa sumber pengambilan-pen.) c. Sabāb al-nuzūl, jika ayat memang ada sabāb al-nuzūlnya d. Segi kaitan (hubungan) di antara ayat-ayat yang terdahulu dan ayat-ayat yang berikutnya e. Pembahasan ayat dari segi bacan-bacaan yang mutawātir f. Pembahasan dari segi i’rāb (Nahwu dan Sharaf) dengan cara ringkas g. Tafsir, yang meliputi segi-segi rahasia-rahasianya, fa‟idah-fa‟idah dari segi ilmu Balaghah dan kelembutan-kelembutan ilmiahnya h. Hukum-hukum syar’i (yang dikandung) dan dalil-dalil fuqahā’ serta tarjih di antara dalil-dalil mereka i. Kesimpulan dengan secara ringkas j. Penutup pembahasan dengan menampilkan segi ”hikmāt al-tasyrī” bagi ayat-ayat tersebut. Meskipun demikian, tidak seluruh tema pembahasan yang ditafsirkan Ali Al-Shabuni menggunakan kesepuluh tahapan-tahapan tersebut di atas secara lengkap. Bahkan, terkadang beliau hanya menggunakan delapan atau tujuh tahapan dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an secara sederhana dan mudah dipahami. 82 D. Penafsiran Ali Al-Shabuni Tentang Pernikahan Beda Agama Dalam Tafsir Rawāi’ Al-Bayān 1. Identifikasi Ayat-ayat yang Berkaitan dengan Pernikahan Beda Agama Pertama; QS. Al-Baqarah [2]: 221. ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”158 Kedua; QS. Al-Maidah [5]: 5. 158 QS. Al-Baqarah (2): 221. 83 ”Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan159 diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”160 Ketiga; Al-Qur‟an surat Al-Mumtahanah [60] ayat 10: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka 159 160 Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka QS. Al-Maidah [5]: 5. 84 tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 2. Sumber Penafsirannya Dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an yang menyangkut tentang tema “Pernikahan Beda Agama”, Ali Al-Shabuni memanfaatkan berbagai sumber di antaranya yaitu: ayat Al-Qur‟an, Hadis Nabi, pendapat para sahabat dan tabi‟in, dan pandangan para ulama sebelumnya. Selain sumber penafsiran yang beliau gunakan yaitu Al-Qur‟an dan Hadits, di sisi lain tata bahasa dan pendapat ulama fiqh menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Ali Al-Shabuni. Dalam mengoprasikan penafsirannya, beliaupun mengambil sumber dari berbagai bidang ilmu, antara lain: a. Bidang Tafsir Kitab-kitab tafsir yang menjadi sumber Ali Al-Shabuni antara lain: Tafsir Rūh Al-Ma’ānī, Tafsir Al-Kasyāf, Tafsir Al-Jalālain, Tafsir Al-Kabīr karya imam Al-Fakhr Al-Rāzī, Tafsir Abī Su’ūd, Tafsir Al-Thabarī, Tafsir Al-Qurthubī dan lain-lain. Sumber yang dijadikan rujukan dalam penafsirannya, di antaranya ketika beliau mengutip penafsiran Al-Thabarī. Ali Al-Shabuni menggunakan dengan istilah qāla. Contohnya seperti: 85 خ ٍب قبىٔ قزبٝو األٝٗ األق٘اه ثزأٚ "ٗأٗى: ثؼس ؼطزٓ ىأل ق٘اهٛقبه اىغجط ٌ {ٗال رْنح٘ا اىَشطمب د} ٍِ ى:ٔ ثق٘ىْٚ ش مطٓ ػٚزح ٍِ أُ اهلل رؼي ذبص,خ ػبً ظبٕطٕبٝ ٗأُ األ,نِ ٍِ إو اىنزب ة ٍِ اىَشطمب دٝ ٗشاىل,ٖبٞطزاذّالد فٞ ٗأُ ّؽبء إو اىنزبة غ,ئْٞؽد ٍْٖب شٝ ٌ ى,ثبعْٖب }ٌِ أر٘ا اىنزب ة ٍِ قجينٝ {ٗاىَحصْب د ٍِ اىص:ٔ أحو ثق٘ىٚأُ اهلل رؼبى ... أثبح ىٌٖ ٍِ ّؽبء اىَؤ ٍْب دِٛ ٍِ ّنبح ٍحصْب رِٖ ٍضو اىصٍْٞىيَؤ Al-Thabari berkata setelah mengikuti pembicaraan ini: pendapat yang paling kuat tentang ta‟wil ayat wa lā tankihu al-musyrikāti, ialah pendapat Qatadah (yang menyatakan): bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya “dan janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah” itu, ialah mereka yang non ahl al-kitāb yaitu perempuan-perempuan musyrikah, dan ayat tersebut dzahirnya adalah „am (umum) sedang batinnya khas (khusus), tidak dinasakh oleh ayat manapun, dan bahwa perempuanperempuan ahl al-kitāb itu tidak tergolong di dalamnya, sebab Allah swt. Telah berfirman “dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab” (QS. Al-Maidah [5]: 5), yakni halal bagi kaum muslimin mengawini mereka sebagaimana Allah swt. menghalalkan mereka mengawini perempuan-perempuan yang mukminah.161 b. Hadis Dalam menafsirkan Al-Qur‟an tentang tema di atas, Ali Al-Shabuni mengambil Hadis riwayat As-Suda dari Ibnu Abbas r.a., HR. Bukhari dan Nafi dari Ibn Umar162, HR. Ibnu Humaid163 dan Hadis yang diriwayatkan dalam kitabkitab shahih. 161 Ali Al-Shabuni., Op. Cit., hlm. 226. Contoh ketika Ali Al-Shabuni memberikan penafsiran hukum mengawini perempuan ahl al-kitāb, beliau mencantumkan pendapat dari Ibn Umar r.a.: 162 خّٞ ٗمبُ اشا ؼئو ػِ ّنبح اىطجو اىْصطا,ٌ ّنبح اىنزب ثجب دٝ رحطٚ اهلل ػَْٖب اىٜٗشٕت اثِ ػَط ضض ئب ٍِ االشطاك أػظٌ ٍِ أُ رق٘هٞ ٗالأػطف ش,َِٞ اىَؽيٚ اىَشطمبد ػيٚ "حطً اهلل رؼي:خ قبهٖٝ٘زٞأٗاى "ٚ أٗ ػجس ٍِ ػجبز اهلل رؼبى,ٚؽٞ ضثٖب ػ: اىَطأح “Ibnu Umar r.a. berpendapat haram mengawini perempuan ahl al-kitāb, dan kalau ditanya tentang laki-laki (muslim) yang mengawini seorang perempuan Nasrani dan Yahudi, ia menjawab: Allah swt. Mengharamkan perempuan-perempuan musyrikah (dikawini) orang-orang Islam dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seseorang perempuan yang berkata: Isa adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah”. Ibid., hlm. 224-225. 163 Sebagai contoh, yaitu: 86 c. Sumber Sya‟ir Di antara syā‟ir yang dijadikan rujukan dalam penafsirannya, Ali Al-Shabuni hanya mengambil dan menyebutkan secara jelas yaitu al-bait lilkilābī. Ia menggunakan istilah wa qāla al-syā’ir.164 3. Metode Penafsirannya Metode yang digunakan Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya sudah dibahas sebelumnya oleh penulis di atas, yaitu dengan menggunakan manhāj (metode) maudhū’i. Namun selanjutnya beliau menggunakan langkah-langkah dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an tentang pernikahan beda agama dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut: a. Uraian secara lafzhi (lafal) dengan berpegangan atas pandangan ahli-ahli tafsir dan ahli-ahli balaghah (bahasa) Contoh ketika Ali Al-Shabuni menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 221 bab tentang mengawini wanita musyrikah: … :ق٘هٝ ٚػ اهلل رؼبىٞ أى: فقيذ,ٔ الثبغ ث:خ فقبهّٞخ ٗاىْصطٖٝ٘زٌٞ ػِ رعٗط اىٕٞ ؼأىذ اثطا:ٗػِ حَبز قبه .ُبد ٗإٔو األٗصبٞ اَّب ريل اىَّج٘ؼ:{ ٗال رْنح٘ا اىَشطمب د ؟} فقبه “Dari hammad, ia pernah berkata: aku pernah bertanya kepada Ibrahim tentang mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani, ia menjawab: boleh saja. Lalu aku bertanya (lagi): tidakkah Allah swt. Berfirman ”Janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah?” Kemudian ia menjawab: itu (yang dimaksud) perempuan-perempuan majusi dan penyembah berhala.” Ibid., hlm. 225. 164 Ibid., hlm. 221. 87 “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” Ali Al-Shabuni memulai penafsiran QS. Al-Baqarah [2]: 221, dengan menjelaskan makna lafadz (kosa kata) tidak secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian ayat yang dianggap lafadz-lafadz kunci utama objek penafsirannya. Pada ayat ini di antaranya lafadz yang dijelaskan adalah: ال رْنح٘ا اىَشطمب د “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrikah”. Ali Al-Shabuni memberikan arti pada lafadz tersebut, yaitu: “janganlah mengawini perempuan-perempuan penyembah berhala”, dan yang dimaksud dengan al-musyrikāt (menyekutukan Allah swt.), yaitu perempuan yang menyembah berhala dan yang tidak mempunyai kitab atau beragama samawi (wahyu/langit)165. b. Arti global dari ayat-ayat yang mulia itu dengan bentuk cetusan (tanpa sumber pengambilan) Pengungkapan arti global pada QS. Al-Baqarah [2]: 221 di atas, Ali AlShabuni menggunakan istilah yaqūl Allah ta’ālā mā ma’nāhu. Adapun arti global pada ayat tersebut adalah: 165 Agama “samawi” adalah agama wahyu/ langit dari Allah swt yang disampaikan kepada umat manusia melalui Nabi dan rasul-Nya. Dalam hal ini, sebagian ulama menyebutkan bahwa ahl al-kitāb (Yahudi dan Kristen) yang ada sekarang ini bukan lagi agama samawi, tetapi agama ciptaan tokoh-tokoh Yahudi dan Kristen, yang diberi nama agama samawi seperti agama Yahudi dan Kristen. Dari mulai theologinya (Yahudi dengan “monotheisme-rasialis” dan Kristen dengan “Trinitas”) sampai kitab sucinya (Yahudi dengan “Taurat dan Talmud”, dan Kristen dengan Injil), yang berisi ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen, bukan saja isinya saling bertentangan satu dengan yang lainnya (baik Taurat maupun Injil), tetapi juga bertentangan dengan data naskah tertua yang ditulis dalam bahasa Ibrani dan Aramia-bahasa ibu Nabi Isa sendiri dari Wadi Qumran, yang ditemukan pada tahun 1974. Lihat: Abdul Qadir Djaelani, Op. Cit.,hlm. 197. 88 “Janganlah kalian (wahai orang-orang mukmin) menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, karena budak wanita yang beriman kepada Allah swt dan Rasulullah itu lebih baik daripada wanita merdeka tapi musyrik, walaupun kalian terpesona dengan kecantikannya, hartanya, dan semua yang menarik darinya seperti, keturunan dan jabatan. Dan jangan sampai laki-laki musyrik menikahi wanita-wanita mukmin sehingga mereka beriman kepada Allah swt dan Rasulullah, karena bila yang menikahi mereka (wanita-wanita mukminah) itu adalah budak lakilaki yang beriman itu lebih baik bagi kalian, daripada yang menikahi mereka itu adalah laki-laki musyrik walaupun mereka merdeka, dan kalian kagum akan keturunan, kekayaan dan kedudukan mereka, karena mereka itu (lakilaki dan wanita musyrik) yang diharamkan Allah untuk menikah dengannya dan berbesanan dengan mereka, padahal mereka akan mengajak kalian ke Neraka, sementara Allah swt mengajak (menyeru) pada amal kebaikan dan Surga.”166 c. Sabāb al-nuzūl, jika ayat memang ada sabāb al-nuzūlnya Adapun sabāb al-nuzūl dari ayat di atas adalah: “Bahwa QS. [2]: 221 ini turun berkenaan dengan kasus Murtsid bin Abi Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke Madinah, sedang ia dimasa jahiliyah, memiliki hubungan dengan seseorang permpuan bernama „Anaq, lalu wanita itu mengunjngi Murtsid dan bertanya: tidakkah engkau masih kosong? Murtsid menjawab: sayang, Islam telah menghalangi di antara kita. Lalu wanita itu bertanya (lagi): tidakkah engkau bermaksud mengawini aku? Ia menjawab: benar, tetapi aku akan menghadap Rasulullah saw. untuk meminta izin kepadanya; maka turunlah ayat ini.167 d. Pembahasan dari segi i’rāb (Nahwu dan Sharaf) dengan cara ringkas Pembahsan i’rāb atau gramatikal kata pada QS. [2]: 221, Ali AlShabuni memberikan pembahasan dari segi i’rāb, di antaranya firman Allah 166 Ibid., hlm. 221-222. Menurut al-Suyuti, peristiwa tersebut bukanlah sebab turunnya ayat tersebut, tetapi merupakan sebab turunnya ayat dalam surat An-Nur: 167 “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.]." (QS. An-Nur [24]: 5). Lihat: Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 222. 89 swt. pada kalimat “hattā yu’minna”, kalimat ” hattā” bimakna “ ُ أٚ ” اىdan kalimat “ ٍِؤٝ ” adalah mabni sukun fī mahali nashbi bi ( ٚ ) حزyang asalnya adalah ( ٍِْؤٝ ). e. Tafsir, yang meliputi segi-segi rahasia-rahasianya, fa‟idah-fa‟idah dari segi ilmu Balaghah dan kelembutan-kelembutan ilmiahnya Ali Al-Sahabuni memberikan penafsiran ayat di atas tentang pernikahan, di antaranya ketika beliau menyebutkan maksud dari kata “nikah” dalam ayat ini adalah “mengawini” berdasarkan ijma‟ Ulama‟, yakni “janganlah kamu mengawiniperempuan-perempuan mengemukakan pendapat musyrikah”. Al-Karkhi, Kemudian menurutnya yang Ali Al-Shabuni dimaksud ialah “mengawini” bukan “menyetubuhi” sehingga dikatakan (kepadanya sebagai bantahan): bahwa memang tidak ada dalam Al-Qur‟an lafal “wathi” (menyetubuhi) sebab Al-Qur‟an menggunakan bahasa sindiran, dan ini di atara kehalusan lafal-lafal Al-Qur‟an.168 f. Hukum-hukum syar’i (yang dikandung) dan dalil-dalil fuqahā’ serta tarjih di antara dalil-dalil mereka Ali Al-Shabuni membagi kandungan hukum pada QS. Al-Baqarah [2]: 221 ke dalam dua hukum, yaitu: 1) Hukum mengawini perempuan ahl al-kitāb Firman Allah:“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” itu, menurut Ali Al-Shabuni menunjukan haramnya mengawini perempuan-perempuan majusi dan penyembah berhala. Adapun perempuan-perempuan ahl al-kitāb (Yahudi dan Nasrani), maka boleh dinikahi sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah [5]: 5. 168 Ibid., hlm. 223. 90 Begitulah pendapat jumhur dan termasuk di dalamnya ulama madzhab yang empat. 2) Siapakah laki-laki musyrik yang haram perempuan-perempuan mukminah irtu? dikawinkan dengan Firman Allah: ”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu” itu, menunjukan haramnya mengawinkan laki-laki musyrik dengan perempuan mukminah, sedang yang dimaksud ”laki-laki musyrik di sini, ialah semua orang kafir, pemeluk agama non Islam...169 g. Kesimpulan dengan secara ringkas Adapun kesimpulan yang dikemukakan Ali Al-Shabuni pada QS. Albaqarah [2]: 221, adalah: 1) Haram mengawini perempuan musyrikah penyembah berhala yang tidak memiliki kitab samawi. 2) Bahwa haram mengawinkan laki-laki kafir (penyembah berhala dan ahl al-kitāb) dengan perempuan-perempuan muslimah. 3) Bahwa yang membedakan di antara manusia dalam penilaian Allah adalah amalnya yang shaleh, maka seorang perempuan hamba yang mukminah adalah lebih utama daripada perempuan merdeka musyrikah.170 4. Hasil Penafsirannya Abad ketiga Hijriyah dianggap sebagai zaman keemasan bagi penulisan Hadis-hadis Nabi saw. Karena pada masa ini telah lahir beberapa kitab Hadis induk yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dijadikan rujukan dalam pengambilan sumber rujukan ajaran Islam. Begitu juga dengan kitab tafsir yang ditulis oleh Ali Al-Shabuni, yaitu tafsir Rawūi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt alAhkām min al-Qur’an, dan menjadi rujukan penting setelahnya. 169 170 Ibid., hlm. 227. Ibid., 91 Dalam kitab tafsirnya, Ali Al-Shabuni menafsirkan beberapa tema yang berkaitan dengan masalah hukum, di antaranya adalah tentang “pernikahan beda agama”. Secara tekstual terdapat tiga ayat yang secara khusus membicarakan tentang pernikahan beda agama dalam Al-Qur‟an, yaitu: QS. Al-Baqarah [2]: 221, Al-Mumtahanah [60]: 1 dan Al-Maidah [5]: 5. Dari bunyi teksnya, tiga ayat Al-Qur‟an di atas memiliki makna yang bertingkat. Ayat pertama melarang seorang muslim (pengikut Muhammad) mengawini orang musyrik, baik laki-laki muslim mengawini perempuan musyrik, maupun sebaliknya. Ayat kedua mengungkapkan larangan perempuan mukmin dikawinkan dengan laki-laki kafir dan ayat ketiga memperbolehkan laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitāb. Setelah mengumpulkan ayat-ayat yang merujuk tentang pernikahan beda agama dan untuk memudahkan pembahasan ini, maka penulis akan membahas pandangan Ali Al-Shabuni mengenai hukum seorang laki-laki mengawini perempuan ahl al-kitāb, musyrikah atau kafir dan laki-laki musyrik yang haram dikawinkan dengan perempuan-perempuan mukminah. Untuk memberikan kajian yang mendalam penulis memfokuskan pada ayat yang disebut pertama, yaitu QS. Al-Baqarah [2]: 221. Tentu dua ayat yang lain akan tetap penulis bahas dalam penelitian ini, namun sekedar sebagai penjelas ayat pertama. Yang menjadi pertimbangan penulis memilih ayat pertama sebagai acuan utama adalah karena ayat tersebut merupakan ayat paling kuat yang dijadikan dasar mengenai “pernikahan beda agama”. Selain itu, ia memuat 92 kompleksitas masalah yang menarik dijadikan fokus, misalnya dari sisi asbāb alnuzūl (latar turunnya ayat). Surat Al-Baqarah diturunkan di Madinah, sehingga ia dikelompokkan kedalam wahyu Madāniyyah171. Penamaan surat Al-Baqarah yang berarti “lembu betina”, diambil dari legenda yang diuraikan dalam ayat ke 61-67 tentang perintah Nabi Musa a.s. kepada masyarakat untuk menyembelih sapi (baqarah). Sebagian besar ayat-ayat dalam surat Al-Baqarah diturunkan pada tahun 1-2 H. surat AlBaqarah secara umum membicarakan masyarakat Yahudi dan perlawanan mereka terhadap pengikut Muhammad saw. Sebab turun (asbāb al-nuzūl)172 Al-Baqarah [2]: 221 menjadi polemik tersendiri di kalangan ahli tafsir (mufassir) Al-Qur‟an dari generasi ke generasi. Hal ini dipicu oleh adanya dua periwayatan yang berbeda mengenai sebab turunnya ayat tersebut, yaitu: Periwayatan pertama, diriwayatkan oleh Ibn al-Munzir, Ibn Abi Hatim dan al-Wahidi dari Munqatil dia berkata: bahwa QS. [2]: 221 ini turun berkenaan dengan kasus Murtsid bin Abi Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke Madinah, sedang ia dimasa jahiliyah, memiliki hubungan dengan seseorang permpuan bernama „Anaq, lalu wanita itu mengunjngi Murtsid dan bertanya: tidakkah engkau masih kosong? Murtsid menjawab: sayang, Islam 171 ّٜ فَب ّعه ثؼساىّٖجطح ٗى٘ثَنخ أٗػطفخ ٍس.ْخٝطٍسٍٞبّعه ثؼساىّٖجطح ٗاّنبُ ثغ Madāniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madāniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah. Lihat: Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 104. 172 ْٔخ ىحنَٔ ظٍِ ٗق٘ػٞجخ ػْٔ أٍٗجٞبد ثؽججٔ ٍزضَْخ ىٔ أٗ ٍّجٍٝبّعىذ األ “Asbāb al-nuzūl adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat AlQur‟an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.” Lihat: Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 60. 93 telah menghalangi di antara kita. Lalu wanita itu bertanya (lagi): tidakkah engkau bermaksud mengawini aku? Ia menjawab: benar, tetapi aku akan menghadap Rasulullah saw. untuk meminta izin kepadanya; maka turunlah ayat ini.173 Periwayatan kedua, Al-Wahidi meriwayatkan dari jalur al-Suddi dari Malik dari Ibnu Abbas r.a., bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah, di mana ia pernah mempunyai hamba perempuan hitam, dan ketika ia marah kepadanya, maka hamba itu ia tempeleng. Kemudia ia tidak merasa enak lalu datang menghadap Rasulullah saw. dan menyampaikan kepadanya apa yang ia alami dengan wanita tadi. Lalu Nabi saw. bertanya kepadanya: bagaimanakah (ihwal) wanita itu, hai Abdullah? Ia menjawab: dia itu berpuasa, shalat, memperbagus wudhunya dan mengucapkan syahadat. Kemudian Nabi saw. bersabda: hai Abdullah, dia adalah mu’minah. Maka Abdullah berkata: demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, aku akan memerdekakannya dan akan mengawininya. Lalu ia pun mengawininya. Maka orang-orang lantas memperolok: Abdullah mengawini perempuan hamba, sedang mereka senang mengawini perempuan-perempuan musyrikah karena menyukai ketinggian keturunan mereka, lalu turunlah ayat ini. Menurut Rasyid Ridha174, meskipun zhahir teks ayat wa lā amanatun sampai a’jabatkum sepertinya memang diturunkan dalam peristiwa yang berlainan 173 Menurut al-Suyuti, peristiwa tersebut bukanlah sebab turunnya ayat tersebut, tetapi merupakan sebab turunnya ayat dalam surat An-Nur: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.]." (QS. An-Nur [24]: 5). Lihat: Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 222. 94 dengan peristiwa diturunkannya teks ayat wa lā tankihu al-musyrikati hattā yu’minna, tetapi sebenarnya ayat ini diturunkan dalam satu peristiwa yang sama. Al-Alusi175 juga berpendapat demikian. Ia mengulas pendapat Al-Suyuti sendiri dalam pendahuluan kitabnya, bahwa kasus Abdullah bin Rawahah bisa saja hanya contoh penafsiran dari teks ayat wa lā amatun…yang dikonstruk dan populer di kalangan sahabat.176 Menimbang bahwa periwayatan asbāb al-nuzūl kedua adalah munqathi’ dan beberapa pendapat di atas, untuk kebutuhan analisis selanjutnya, penulis berpegang kepada asbāb al-nuzūl yang pertama. Secara substansial, dalam tafsir Rawāi’ Al-Bayān karya Ali Al-Shabuni yang oleh penulis teliti, walaupun bisa dikatakan sebagai tafsir yang muncul di periode kontemporer177. Tidak terdapat perbedaan yang mendasar atas penafsirannya tentang masalah “pernikahan beda agama” dengan para penafsir Al-Qur‟an sebelumnya. 174 Beliau adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di AlQalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menerut keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid di depan namanya. Untuk lebih lengkapnya, lihat: Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam., Bulan Bintang, Jakarta 1992., hlm. 69. 175 Nama lengkap Al-Alusi adalah Abu Sana Syihab Al-Din Al-Sayyid Mahmud Afandi Al-Alusi Al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jum‟at tanggal 14 Sya‟ban tahun 1217 H di dekat daerah Kurkh, Iraq. Beliau termasuk ulama besar di Iraq yang ahli ilmu agama. Ia wafat pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H . Untuk lebih lengkapnya, lihat: Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir., Teras, Yogyakarta 2004., hlm. 153,155. 176 Suhadi, Kawin Lintas Agama, LKiS Yogyakarta 2006. hlm. 26. 177 Periode ini dimulai dari akhir abad ke-19 hingga saat ini. Dimana, sudah sekian lama pemeluk Islam mengalami penindasan dan penjajahan oleh bangsa Barat yang merupakan kaumkaum imperialis dan kolonis. Akibatnya, kultur kebudayaan dan nilai-nilai sosial mereka dirusak dan dinodai sedemikian rupa, sehingga identitas sejati dari sebagian Muslim sudah tidak tampak lagi dalam kehidupan nyata. 95 Setidaknya ada dua term kunci yang penting diurai dalam memahami surat Al-Baqarah [2]: 221, yakni term lā dan term musyrikāt. Keduanya akan dijelaskan oleh penulis di bawah ini: a) Term lā Huruf lā pada kalimat wa lā tankihu al-musyrikāt dalam tafsir Rawāi’ AlBayān karya Ali Al-Shabuni dimaksudkan sebagai lā al-nahiyyah (lā yang menunjukan larangan). Oleh karena itu, Ali Al-Shabuni menafsirkan ayat wa lā tankihu al-musyrikāt dengan wa lā tuzawwajū al-watsaniyyāt (janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan penyembah berhala), dan kemudian Ali AlShabuni menafsirkan kata al-musyrikāt dengan penyebutan seseorang yang menyembah berhala dan termasuk orang musyrik yaitu seorang hamba yang beragama selain agama samawi.178 b) Term al-musyrikāt Mengenai term musyrikāt, para ahli tafsir banyak yang berpolemik dalam mengidentifikasikan siapa sebenarnya yang dimaksudan kedalam musyrikāt itu? Generalisasi bahwa setiap pererempuan non-muslim juga termasuk di dalamnya. Dalam menafsirkan ayat ini, Ali Al-Shabuni memberikan pengecualian dari AlQur‟an surat Al-Maidah [5]: 5, yakni: 178 Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 221. 96 “Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” Oleh karena itu, sebagian mufasir menjadikan ayat ini sebagai landasan bahwa perempuan ahl al-kitāb bukan termasuk golongan musyrik. Karena itu, penarikan makna nash, tekstual, melegitimasi kebolehan laki-laki muslim mengawini perempuan ahl al-kitāb. Tetapi demikian sebaliknya, perempuan muslimah tetap tidak boleh dikawini oleh laki-laki ahl al-kitāb. Akan tetapi para mufasir juga tidak sampai pada satu kata sepakat dalam mengidentifikasikan apakah ahl al-kitāb itu musyrik atau tidak. Menurut alRazi179, mayoritas ulama menafsirkan lafadz musyrikāt dalam surat Al-Baqarah [2]: 221 mengacu kepada semua orang musyrik atau kafir termasuk di dalamnya ahl al-kitāb. Jadi, ahl al-kitāb dalam konteks ayat ini juga dianggap musyrik. Seperti dalam konteks ayat yang menyatakan bahwa orang Yahudi dan Nasrani itu 179 Namalengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Ali al-Quraisy alTaimy al-Bakry al-Tarastany al-Razy, gelarnya adalah Fakhr al-Din, dan dikenal dengan ibn alKhatib. Nama masyhurnya Fakh al-Razy, beliau dilahirkan di kota Ray pada tanggal 15 Ramadhan 544 H. ayahnya seorang ulama dari kalangan madzhab al-Syafi‟i, bernama Dyiya al-Din Umar murid al-Imam al-Baghawi. 97 menyekutukan Allah swt.180, kekafiran keduanya juga termasuk syirik dan dosa manusia akan diampuni kecuali dosa syirik181, syirik di sini di antaranya orang yang mempercayai trinitas182, dan perkataan Abu Bakar yang menyatakan: “Setiap orang yang mengingkari risalahnya (Muhammad) adalah kafir.183 Adapun Ali Al-Shabuni sendiri cenderung tidak memasukkan perempuan ahl al-kitāb ke dalam golongan musyrikāt. Misalnya apa yang termaktub dalam QS. Al-Maidah [5]: 5: “…(dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya…” 180 Firman Allah swt.: “Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” ( QS. At-Taubah [9]: 30). 181 Firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4]: 116). 182 Firman Allah swt.: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” ( QS. Al-Maidah [5]: 73). 183 Suhadi, Op. Cit., hlm. 30. 98 Kemudian Ali Al-Shabuni berpendapat dengan mengambil alasan jumhur ulama yang menyatakan bahwa term musyrikāt berbeda dengan ahl al-kitāb. Ia mendasarkan pada fakta (gramatikal) pemisahan penyebutan—dengan huruf „athaf ―antara term ahl al-kitāb dengan term musyrik pada umumnya dalam AlQur‟an. Sedangkan ‘athaf berfungsi menghubungkan antara dua kata atau dua kalimat yang berlainan, maka secara zhahiriyah, lafal musyrikāt tidak dapat mencakup “kitābiyyāt” (perempuan-perempuan ahl al-kitāb).184 Firman Allah swt.: “Orang-orang kafir dari ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar”.185 Pada lanjutan QS. [2]: 221, yaitu: ”Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. 184 185 Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 225. QS. Al-Baqarah [2]: 105. 99 Ali Al-Shabuni menafsirkan ayat tersebut adalah suatu isyarat yang halus, bahwa yang harus diperhatikan dalam mencari jodoh ialah: akhlak dan agama, bukan kecantikan, ketinggian keturunan dan hartanya.186 Ini berarti bahwa rendahnya martabat seorang budak mukmin dapat tertutupi dengan keimanannya. Karena keimanan itu adalah esensi keagungan dan kesempurnaan martabat manusia. Sedangkan seorang perempuan musyrik dengan segala kecantikan, erotisme, serta kemuliaan garis keturunan (nasab)-nya tidak dapat menutupi kekurangan kekafirannya. Dari penafsiran Ali Al-Shabuni pada ayat di atas, maka secara garis besar dapat diambil ketentuan hukum mengenai ”pernikahan beda agama”. Berikut ini penjelasan yang lebih rici: 1. Pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki nonmuslim Semua para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah tidah diperbolehkan (haram) menikah dengan laki-laki nonmuslim, baik ahl al-kitāb maupun musyrik. Pengharan tersebut selain didasarkan pada QS. Al-Baqarah [2]: 221 juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah [60]: 10. Ali Al-Shabuni menyebutkan yang dimaksud ”laki-laki musyrik” di sini, ialah semua orang kafir (pemeluk agama nonmuslim), maka mencakup penyembah berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang murtad dari 186 Rasullah saw. bersabda: ُ اٍ٘اىِٖ اٚ اٍ٘اىِٖ فؼؽٚطزِٕ ٗالرْنحِٕ٘ ػيٝ ُ حؽِْٖ أٚالرْنح٘ا اىْؽبء ىحؽِْٖ فؼؽ ِ أفضوِٝ ٗألٍخ ؼ٘زاءذطقبء شاد زٝ اىسِٖٚ ٗاُ محِٕ٘ ػيٞرغغ “Janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan karena kecantikannya, karena barangkali kecantikan mereka justru membinasakan mereka, janganlah kamu mengawini perempuanperempuan karena hartanya, karena barangkali hartanya malah membuat mereka menyimpang, tapi kawinilah mereka karena agama (mereka), sungguh seorang hamba yang hitam lagi bodoh yang beragama adalah lebih mulia (daripada yang cantik lagi pandai tetapi tak beragama)”. Lihat: Ali AlShabuni, op. cit., hlm. 224. 100 Islam, maka semuanya itu haram dinikahkan dengan perempuan muslimah, dengan argumen yaitu: Pertama, orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam187. Kedua, laki-laki kafir dan ahl al-kitāb tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran nabinya yang bisa mengajak kepada kekufuran yang akan menjadi sebab masuk ke neraka, karena laki-laki memiliki kekuasaan dan wewenang atas perempuan (istrinya), maka dikhawatirkan ia akan memaksa istrinya yang muslimah itu kepada kekufuran sehingga akan meninggalkan agamanya dan anakanak mereka akan mengikuti agama si ayah, sehingga menjadilah anak-anak mereka sebagai orang-orang kafir ahli neraka.188 2. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik Para ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan penyembah berhala (musyrik). Perempuan musyrik di sini mencakup perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah), ateis (zindiqiyyah), perempuan yang murtad, penyembah api. Sependapat dengan pendapat para ulama di atas, Ali Al-Shabuni juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrikah, dengan merujuk kepada firman Allah swt.: 187 Firman Allah: “…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” QS. An-Nisa [4]: 141. 188 Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 226. 101 ”...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...”.189 Ayat tersebut menurut Ali Al-Shabuni menunjukan diharamkannya menikah dengan perempuan kafir/musyrikah, yakni perempuan yang tidak beragama dengan agama samawi. Karena menurut ia pengertian ayat tersebut ialah ”janganlah kamu pegang teguh tali perkawinan dengan permpuan- perempuan yang masih musyrik”. Yakni, ”jangan kamu anggap pernikahan dengan mereka itu, sebab pernikahan itu batil”.190 Ayat tersebut sama dengan ayat: ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”191 3. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halāl) menikahi perempuan ahl al-kitāb berdasarkan pengkhususan QS. Al-Maidah [5]: 5. Pengertian ahl al-kitāb di sini mengacu pada dua agama besar rumpun simetrik sebelum Islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Ali Al-Shabuni menyebutkan bahwa para ulama sepakat akan kehalalan mengawini perempuan Nasrani atau Yahudi dari kalangan ahl al-kitāb dengan syarat ia merdeka (bukan budak) dan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab, berdasarkan firman Allah swt. QS. [5]: 5. 189 190 191 QS. Al-Mumtahanah [60]: 10. Ali Al-Shabuni, Op. Cit.,juz. 2, hlm. 456. QS. Al-Baqarah [2]: 221. 102 Selanjutnya Ali Al-Shabuni menyatakan kebolehan laki-laki muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb dengan mengambil pendapat dari riwayat Qatadah, yang menyatakan bahwa dalam menafsirkan surat [2]: 221 tersebut, bahwa yang dimaksud ”al-musyrikāt” ialah mereka yang non ahl al-kitāb yaitu perempuan-perempuan musyrikah yang tidak mempunyai kitab samawi. Ada riwayat dari Umar r.a, bahwa ia pernah berkata: اىَؽيَخّٜزعٗط اىْصطٝخ ٗالّٞزعٗط اىْصطٝ ٌاىَؽي ”Laki-laki muslim (boleh) mengawini perempuan nasrani dan (sebaliknya) lakilaki nasrani tidak (boleh) mengawini perempuan-perempuan muslimah.” Adapun sikap Umar r.a. yang tidak menyukai Thalhah dan Hudzaifah yang mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani ialah karena ia khawatir diikuti orang-orang Islam lainnya sehingga mereka akan menjauhi perempuanperempuan muslim atau mungkin ada maksud-maksud lain, sehingga Umar r.a. menyuruh mereka agar melepaskannya. Sikap Umar r.a. seperti ini, menurut Ali Al-Shabuni ialah demi kemaslahatan kaum muslimin. 192 Berkenaan dengan pernikahan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb, ulama (fuqahā empat Madzhab Sunni) berbeda pendapat, di antaranya adalah sebagai berikut:193 a. Madzhab Hanafi Para ulama madzhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin menikah dengan perempuan ahl al-kitāb yang berdomilisi di wilayah yang sedang 192 Ali Al-Shabuni, Op. Cit., juz.1, hlm. 226. Semua pendapat empat madzhab ini disimpulkan dari: Abdurrahman al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah, lihat: Suhadi, op. cit., hlm. 40. 193 103 berperang dengan Islam (dār al-harb). Karena mereka tidak tunduk (khādi’ah) terhadap hukum orang-orang Islam sehingga ia membuka pintu fitnah. Seseorang suami muslim yang menikah dengan perempuan ahl al-kitāb dikhawatirkan akan patuh terhadap sikap istrinya yang berjuang memperbolehkan anaknya beragama dengan selain agamanya. Suami tersebut akan memperdaya dirinya sendiri serta tidak lagi menghiraukan pengasingan dari pemerintahan negara (Islam) nya. Beberapa keburukan (mafsadah) semacam inilah yang menjadi konsideran keharaman. Sedangkan mengawani perempuan Ahl al-Kitāb Dzmi (yang berada di negara dan perindungan pemerintah Islam) hukumnya hanya makruh, sebab mereka tunduk pada hukum Islam. b. Madzhab Maliki Pendapat madzhab Maliki terbagi menjadi dua, kelompok pertama memamdang bahwa mengawini perempuan ahl al-kitāb, baik di dār al-harb maupun dzimmiyyah hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan yang di dār al-harb kualitasnya lebih berat. Kelompok kedua memandang tidak makruh mutlak sebab dzahir QS. al-Maidah ayat 5 membolehkan secara mutlak. Tetapi tetaap saja makruh karna digantungkan kemakruhannya berkait dengan dār alIslām (pemerintahan Islam), sebab perempuan ahl al-kitāb tetap saja boleh minum khamar, memakan babi, dan pergi ke gereja. Padahal suaminya tidak melakukan itu semua. c. Madzhab Syafi’i Para fuqaha madzab Syafi‟i memandang makruh mengawini perempuan ahl al-kitāb yang berdomisili di dār al-Islām, dan sangat di makruhkan (tasydīd 104 al-karāhah) bagi yang berada di dār al-harb, sebagaimana pendapat fuqaha Malikiyah. Ulama Syafi‟iyah mememandang kemakruhan tersebut apabila terjadi dalam peristiwa berikut: 1) Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak perempuan ahl al-kitāb tersebut masuk Islam.194 2) Masih ada perempuan muslimah yang shalihah.195 3) Apa bila tidak mengawini perempuan ahl al-kitāb tersebut ia bisa terperosok kedalam perbuatan zina. d. Madzhab Hambali Laki-laki muslim diperbolehkan dan bahkan tidak dimakruhkan mengawini ahl al-kitāb berdasarkan keumuman QS. Al-Maidah [5] ayat 5. Disyaratkan perempuan ahl al-kitāb tersebut adalah perempuan merdeka (bukan budak), karena al-muhshanāt yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perempuan merdeka. BAB IV KESIMPULAN 194 Jadi, jika ia mempunyai tujuan mengajak calon istrinya masuk Islam, maka hukumnya tidak makruh lagi. 195 Jadi, tidak makruh lagi bila ternyata memang sudah tidak ada perempuan muslimah shalihah yang bias dijadikan istri. 105 Setelah penulis memaparkan secara luas dari persoalan mengenai ”pernikahan beda agama” di atas menurut penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya (Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt al-Ahkām fī Al-Qur’ān) dapat ditarik kesimpulan, bahwa: 1. Ali Al-Shabuni pengarang kitab tafsir Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt alAhkām fī Al-Qur’ān adalah seorang mufasir yang bermazhab Syafi‟i, walaupun tidak sepenuhnya berpegang dengan madzhabnya. 2. Tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika tartib mush-hafi hukmi, yaitu suatu sistematika penyusunan kitab tafsir dengan mengambil tema mengenai ayat-ayat hukum dengan mengikuti tartīb mush-hafi. Adapun metode yang diterapkan Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ alBayān yaitu menghimpun “khusus ayat-ayat ahkām” dengan metode maudhū’i (tematik) secara ilmiah dengan mengkompromikan antara sistematika lama dalam hal kebagusannya dan sistematika baru dalam hal kemudahannya. 3. Tema-tema yang ditentukan oleh Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya adalah mengenai atau yang berkaitan dengan hukum fiqh yang kemudian dilengkapi dengan ayat-ayat yang mendukung pada tema-tema tersebut. Karena sebagian besar penafsirannya berorientasi kepada rasio (ra’yu), maka tafsir Rawāi’ al-Bayān dapat dikategorikan kepada tafsir yang menggunakan sumber bi al-ra’yi, hal ini dilihat dari cara penafsiran Ali Al-Shabuni yang sering menguti pendapat beberapa ulama tentang ayat- 106 ayat dimaksud untuk menguatkan penafsirannya, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (Al-Qur‟an dan Hadis). 4. Berangkat dari penafsiran ketiga ayat yaitu: QS. Al-Baqarah [2]: 221; QS. Al-Maidah [5]: 5; dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 10, maka Ali AlSahabuni dalam kitab tafsirnya Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt al-Ahkām fī Al-Qur’ān, mengambil tiga kandungan hukum yang oleh penulis jadikan sebagai objek penelitian dalam skripsi ini yaitu: a. Pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki nonmuslim Dalam hal ini Ali Al-Shabuni sependapat dengan jumhur ulama yang menyatakan bahwa haram menikahkan laki-laki kafir (penyembah berhala dan ahl al-kitāb) dengan perempuan muslimah. b. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik Ali Al-Shabuni juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrikah (penyembah berhala/ al-watsāniyyah), ateis/ zindiqiyyah, perempuan yang murtad, penyembah api), dengan merujuk kepada firman Allah swt.: ”...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...”. Dengan dalil dan penafsirannya tersebut dapat diketahui, bahwa Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik menurutnya haram mutlak. c. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb 107 Ali Alshabuni dengan jelas memperbolehkan (halal) laki-laki muslim menikahi perempuan ahl al-kitāb (Yahudi dan Nasrani), menurutnya kebolehan tersebut sesuai dengan dzahir nas QS. Al-Maidah [5]: 5, dan beliau sepakat dengan ulama fiqh mengenai kehalalannya. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., bahwa ketika dia ditanya tentang hukum seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan Nasrani atau Yahudi, ia menjawab: ”Allah telah mengharamkan perempuan-perempuan musyrikah itu bagi laki-laki mukmin, dan aku tidak tahu syirik apalagi yang lebih hebat selain si perempuan itu mengatakan: ‟Tuhannya adalah Isa‟ bukankah Isa itu seorang hamba di antara hamba-hamba Allah yang lain.” Pendapat Ibnu Umar r.a, ini menurut Ali Al-Shabuni bisa diartikan sebagai karahah (makruh), bukan littahrim (haram). menurutnya nas Al-Qur‟an jelas menegaskan kehalalannya. Sebab 108 DAFTAR PUSTAKA Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar, terjemahan: Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996. Abdul Qadir Djaelani, Pertarungan Maraton Yahudi dan Kristen Dengan Islam, Rabitha Press, Jakarta 2006. Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Minhajul Muslimīn, Dar Al-Fikr, Alih Bahasa: Rachmat Djatnika, Remaja Rosdakarya, Bandung 1991. Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir (Arab-Indonesia Terlengkap), Pustaka Progressif, Surabaya 2002. Ali Mustafa Ya‟qub, Nikah Beda Agama Dalam al-Qur’an dan Hadis, Pustaka Pirdaus, Jakarta 2006. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr. 1995. Asep Muhammad iqbal, Yahudi dan Nasrani Dalam Al-Qur’an: Hubungan Antar Agama Menurut Syaikh Nawawi Banten, Teraju, Cet: 1, Jakarta 2004. Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, Syamil Cipta Media Bandung 2006. Fajar, Mitra Press Tim Media, Kamus Ilmiah Populer, Media Center, Cet I, Bandung 2002. H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung 2007. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Bulan Bintang, Cet: 9, Jakarta 1992. 109 Ibrahim Syuaib Z, Metodologi Kritik Tafsir (al-Dakhīl fī al-Tafsīr), Buku Diktat, Bandung 2008. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang Jakarta 1992. Huzaimah Tahido Yanggo, Masāil Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, Angkasa, Cet: 1, Bandung 2005. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Juz 1. Lentera Hati, Jakarta. 2007 _______________, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat), Mizan, bandung 2007. Mu‟ammal Hamidy dan Imron A. Maman, Terjemah Tafsīr Ayāt Ahkām AlShabuni, PT. Bina Ilmu, Surabaya 2008. Muhammad „Ali Al-Shabuni, Tafsir Rawāi’ Al-Bayān fī Tafsīri Ayāt Al-Ahkām min Al-Qur’ān, Dār al-Fikr, t.t.. Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, PT. Teras, Cet 1, Yogyakarta 2004. Moh. Saifulloh Al Aziz S, Fiqh Islam Lengkap: Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam dengan Berbagai Permasalahannya, Terbit Terang, Surabaya 2005. Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung 2000. ____________, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Cet: 2, Bandung 2006. R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum), Mandar Maju, Bandung 1997. 110 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta 1994. Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, LKiS, Yogyakarta 2006. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islām (Hukum Fiqh Islam), Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2007. Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Mabāhits fi ‘Ulūm Al-Qur’ān, terj: Aunur Rafiq ElMazni, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2006. Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Desember. 2008. Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Qur’an: Jawaban Al-Qur’an Terhadap Problematika Sosial, Pustaka Rihlah Yogyakarta 2007. Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito, 1978.