Page 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an adalah mukjizat Islam yang abadi di mana semakin maju ilmu
pengetahuan,
semakin
tampak
validitas
kemukjizatannya.
Allah
swt.
menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw., demi membebaskan manusia dari
berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan
yang lurus.1
Dalam tempo dua puluh tiga tahun, bangsa Arab telah menjadi bangsa
yang dihormati, disegani dan dimuliakan di dunia. Mereka telah naik kepuncak
ketinggian dan kemuliaan, diketika mereka sungguh-sungguh berpegang dan
beramal sepanjang tuntunan Al-Qur‟an firman Allah swt. yang suci kudus. Dan
jelas tegas kita sekarang merasakan bekasan dari membelakangi dan mengabaikan
tuntunan suci itu dalam pergaulan hidup. Oleh karena kita membelakangi AlQur‟an, bertukarlah kemewahan dengan kesengsaraan dan kemuliaan dengan
kehinaan.2
Allah swt. sendiri telah mensifatkan Al-Qur‟an dengan firman-Nya:
          
1
Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Mabāhits fi ‘Ulūm Al-Qur’ān, terj: Aunur Rafiq El-Mazni,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2006, hlm 3.
2
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang
Jakarta 1992 hal 133.
2
“Alif lām rā, (inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci3, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang
Maha Bijaksana lagi Maha tahu.”4
Pertanyaan tentang bagaimana Al-Qur‟an menjawab realitas senantiasa
terus menerus hadir, baik dalam ranah pemikiran maupun dalam kehidupan
praktis. Pertanyaan itu muncul karena adanya kesadaran bahwa Al-Qur‟an
merupakan panduan hidup dan hidayah (petunjuk) yang diyakini berasal dari
Tuhan. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh5 dalam kritiknya dalam
penafsiran Al-Qur‟an bahwa pada masanya mufasir terlalu sibuk dalam kajian
kebahasaan
dan
hanya
berusaha
mengumpulkan
pemikiran-pemikiran
sebelumnya, serta mengabaikan fungsi diturunkannya Al-Qur‟an. Melihat
demikian Abduh kemudian berpendapat bahwa untuk mengeluarkan berbagai
petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur‟an maka seorang mufasir tidak harus
terlibat terlalu jauh dalam kajian kebahasan.
Berbeda dengan Abduh, Amin Al-Khulli mengatakan bahwa Al-Qur‟an
sebagai hidayah memanglah benar adanya tetapi sebagai prioritas utama, tanpa
memperhatikan perangkat yang tepat untuk mendapatkan hidayah tersebut, adalah
sebuah kenafian. Dan selebihnya Al-Khulli mengatakan bahwa Al-Qur‟an harus
diletakan sebagai kitab sastra terbesar, sehingga unsur semantik dan lingustik dari
3
Maksudnya: Diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum,
kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
4
QS. Hūd [11]:1
5
Ia lahir disuatu desa di Mesir Hilir. Di desa mana tidak dapat diketahui dengan pasti,
karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tempat dan tanggal
tanggal lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal
lahirnya. Ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu. Perbedaan dan tempat tanggal
lahir M. Abduh timbul Karena suasana kacau yang terjadi diakhir zaman Muhammad Ali (18051849).
3
teks6 dapat diungkap dalam rangka menemukan hidayah di dalamnya. Sebagai
kitab sastra yang agung maka implikasi pemahamannya adalah Al-Qur‟an
(wahyu) tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan budaya dan peradaban yang
mencakup akal, intelek, bahasa, budaya dan peradaban. Apa yang dikemukakan
mereka tidak lebih hanya untuk mengungkap berbagai petunjuk yang terdapat
dalam Al-Qur‟an sehingga kesan yang muncul dari perbedaan cara pandang
mereka lebih merupakan bagaimana memahami Al-Qur‟an secara tepat, sehingga
petunjuknya benar-benar operasional.7
Dunia pemikiran Islam terutama di Indonesia belakangan ini dihebohkan
oleh munculnya pemikiran liberal8. Meskipun benih-benihnya sudah tumbuh pada
era 1970-an, namun generasinya sekarang semakin mekar. Dalam memahami
nash (teks-teks Al-Qur‟an dan Hadis), kelompok liberalis ini mengusung
kebebasan dalam berfikir dan cenderung kepada pemahaman pluralisme9 agama.
Teks-teks agama mereka formulasikan sesuai dengan selera mereka, bukan pada
pemahaman-pemahaman seperti yang dikembangkan para ulama selama ini. Di
6
Teks merupakan fiksasi atau pelembagaan sebuah wacana lisan dalam bentuk tulisan.
Penggunaan kata teks pada Al-Qur‟an secara sederhana dapat dipahami sebagai tulisan yang telah
sampai pada kita sebagai pembaca. Permasalahan teks atau kalam Allah tidak terbatas pada firman
yang terucapkan dan tertulis saja, melainkan alam raya sendiri juga disebut ‘alam yang berfungsi
sebagai tanda, yang jika ditelusuri akan menunjukan adanya realitas yang tidak hadir. Lihat
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika Transendental:
Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praktis Islami Studies, Nafisul Atho‟ dan Arif Fakhrudin (ed)
(Yogyakarta: IRCisoD, 2003), hlm.245. dengan judul Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricour.
7
Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Qur’an Jawaban (Al-Qur’an Terhadap
Problematika Sosial), Pustaka Rihlah, Yogyakarta, 2007, hlm. 3.
8
Faham yang menganut kebebasan/ Aliran yang menghendaki pemerintah melaksanakan
atau menerpkan aturan berdasarkan kebebasan kekuatan rakyat. Lihat: Fajar, Mitra Press Tim
Media, Kamus Ilmiah Populer, Media Center, Bandung 2002. hlm. 2006.
9
Suatu faham yang menunjukan juklah lebih dari satu atau lebih dari dua dalam bahan
yang memiliki dualis. Ibid., hlm. 258.
4
antaranya adalah masalah Pernikahan Beda Agama yang kini menjadi polemik
aktual.10
Secara tekstual terdapat tiga ayat yang secara khusus membicarakan
perkawinan orang muslim dengan non-muslim dalam Al-Qur‟an11, yaitu:
Pertama, Al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2] ayat 221:
           
           
            
        
”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran..12"
10
Ali Mustafa Ya‟qub, Nikah Beda Agama Dalam al-Qur’an dan Hadis, Pustaka Pirdaus,
Jakarta 2006, hlm. 15.
11
Suhadi, Kawin Lintas Agama (Perspektif Kritik Nalar Islam), LKiS, Yogyakarta 2006,
hlm. 19.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, Syamil Cipta Media,
Bandung 2006.
5
Kedua, Al-Qur‟an surat Al-Mumtahanah [60] ayat 10:
         
           
              
         
              
 
”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang
Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada
tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”13
13
Ibid.
6
Ketiga, Al-Qur‟an surat Al-Maidah [5] ayat 5:
          
         
         
           
   
”Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan14 diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.”.
Dari bunyi teksnya, tiga ayat di atas memiliki makna yang bertingkat.
Ayat pertama melarang kamu (mukhatab / audience / pengikut Nabi Muhammad)
mengawini orang musyrik, baik laki-laki muslim mengawini perempuan musyrik,
maupun sebaliknya. Ayat kedua mengungkapkan larangan perempuan mukmin
dikawinkan dengan laki-laki kafir. Ayat ketiga memperbolehkan (mukhatab /
audience / pengikut Nabi Muhammad saw.) mengawini perempuan ahl al- kitāb.15
14
15
Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.
Suhadi. Op. Cit., hlm. 20.
7
Dari ketiga ayat di atas, jelas sekali bahwa Al-Qur‟an (pedoman pokok
ajaran agama Islam) mengatur dengan tegas bahwa pernikahan merupakan suatu
hal yang disyari‟atkan dalam Islam. Oleh sebab itu, sebaiknya menjadi perhatian
bahwa tidak semua orang dapat dinikahi sesuai dengan selera, tetapi harus lebih
serius dalam memilih calon pendamping hidup sesuai syariat.
Allah swt. menciptakan manusia berpasang-pasangan, salah satu tali
pengikatnya adalah pernikahan yang merupakan suatu asas pokok hidup yang
paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu
bukan hanya merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain, dan
perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara yang
satu dengan yang lainnya.16
Penulis berusaha mengangkat dan menelaah pemikiran Ali Al-Shabuni
yang dituangkan dalam kitab tafsir ahkamnya. Pembahasan akan disusun secara
deskriptif yang membincangkan tentang kitab tafsir yang ditulisnya, dalam
penelitian ini penulis mengangkat persoalan dengan judul “PERNIKAHAN
BEDA AGAMA DALAM Al-QUR’AN” (Studi Tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr
Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān karya Ali Al-Shabuni).
Faktor yang paling mendasar dari penyebab pentingnya penelitian
terhadap kajian ini bukan hanya didasarkan atas pertimbangan kehausan
eksplorasi teoritis belaka, melainkan pilihan pada tema ini lebih atas dasar usaha
16
374.
Lihat: Sulaiman Rasjid, Fiqh Al-Islām, Sinar Baru Algensindo, Bandung 2007, hlm.
8
berempati terhadap pengalaman langsung kehidupan sehari-hari setidaknya dapat
memberikan sumbangan inspiratif bagi pertanyaan-pertanyaan kritis yang
dihadapi oleh kajian ushul fiqh dan fiqh dalam menjawab kompleksitas
masyarakat Islam dewasa ini. Kebetulan selama menjadi mahasiswa, penulis aktif
di majelis ta‟lim yang berada dilingkungan majemuk dari berbagai latar belakang
agama dan etis di kota Bandung tepatnya di Ujung Berung. Penelitian ini tidak
membahas kualitas suatu tafsir, akan tetapi hanya mencakup masalah konsep
“Perkawinan Beda Agama” sekaligus merupakan tema kajian hukum yang sensitif
di mana-mana, terutama dikalangan elit muslim Indonesia.
Salah satu yang menurut peneliti perlu perjelas adalah batasan-batasan
yang dilakukan mufasir dalam menafsirkan suatu ayat mengenai makna dan
kandungan Al-Qur‟an. Pengertian yang penulis kemukakan adalah mencoba
mengukur validitas istinbath yang lebih memenuhi harapan kita umat Islam dalam
perspektif Al-Qur‟an, Hadis dan Ijma’ (konsensus „ulama). Dan tentu hasilnya
nanti sangat mempengaruhi paradigma dan amaliah masyarakat Islam samapai
pada level grass root.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang sudah terpapar dan
untuk mempermudah sistematika kerja penelitian seputar konsep ”Perkawinan
Beda Agama” dalam kajian tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min alQur’ān karya Ali Al-Shabuni, penulis menyiapkan pertanyaan penelitian yaitu:
9
1. Apa sumber dari penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān
Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān?
2. Bagaimana metode penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ alBayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān?
3. Bagaimana penafsiran Ali Al-Shabuni tentang pernikahan beda agama
dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan
dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sumber dari penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsir
Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān.
2. Untuk mengetahui metode penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’
al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān.
3. Untuk mengetahui hasil penafsiran Ali Al-Shabuni tentang pernikahan
beda agama dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min alQur’ān.
D. Kegunaan Penelitian
Temuan sumber, metode dan hasil penafsiran dari penelitian ini
diharapkan akan membawa wawasan akademik dan nalar intelektual bagi para
pemerhati yang menaruh minat pada kajian tafsir serta metodologinya dan corak
penafsiran sebagai khazanah intelektual. Selain itu, penelitian ini diharapkan
10
dapat mendorong aktivitas akademika dalam upaya meningkatkan rasa
pengabdian terhadap lembaga melalui karya-karya yang dihasilkan.
Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan menarik minat peneliti lain,
khususnya dikalangan mahasiswa, untuk mengembangkan penelitian lanjutan
tentang masalah yang sama dengan mekanisme kerja penelitian yang lebih baik.
Dari hasil-hasil penelitian itu dapat dilakukan generalisasi yang lebih
komprehensif. Sehingga apabila hal itu dapat ditempuh, maka akan memberi
sumbangan yang cukup berarti bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang
studi tafsir Al-Qur‟an.
Oleh karena itu, dari penelitian ini cukup penting dan bisa dijadikan
pilihan ilmu pengetahuan ilmiah/ referensi dalam proses pencarian problem solver
dan sedikit memberikan jawaban terhadap problematika sosial yang tak kunjung
selesai.
E. Tinjauan Pustaka
Tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān kitab ini
merupakan salah satu buah karya Ali Al-Shabuni yang membahas secara khusus
Tafsir ayat-ayat hukum yang ada di dalam Al-Qur‟an. Beliau merupakan guru
besar dari Fakultas Syari‟ah, Universitas Umul Quro‟, Mekkah Al-Mukarramah.
Kitab karangan ali al-shabuni ini sebenarnya telah dibahas, di teliti dan
diterbitkan dalam bentuk makalah atau suatu karya buku tertentu. Sejauh
pengamatan penulis, tardapat studi yang berkenaan dengan masalah pernikahan
11
beda agama dan mengenai tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min alQur’ān, di antaranya:
1. Skripsi Yana Permana, salah satu alumni Tafsir Hadis yang menulis
penelitiannya dengan judul: Karakteristik Tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr
Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān karya Ali Al-Shabuni dalam penelitiannya,
beliau menjelaskan tentang sumber, metode, corak dan sistematika
penafsiran Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya.
2. Ali Mustafa Yaqub, sebuah buku dengan judul: Nikah Beda Agama Dalam
Al-Qur‟an dan Hadis. Buku ini menjelaskan tetang hukum pernikahan
beda agama dari berbagai segi kajian Al-Qur‟an, Hadis dan fiqh.
3. Suhadi, sebuah buku dengan judul: Kawin Lintas Agama Persepektif
Kritik Nalar Islam. Dalam bukunya tersebut, Suhadi memberikan
pembahasan mengenai tema kawin lintas agama dalam tiga tingkatan
pembahasannya: Al-Qur‟an, Tafsir-fiqh, dan praktik hukumnya di
Indonesia. Untuk kajian Al-Qur‟an dan diskursus pemikiran Islam, Suhadi
memilih pemikiran Arkoun sebagai dasar teoritisnya.
Beberapa tulisan di atas memenag mengkaji mengenai tema pernikahan
beda agama. Namun dalam penelitian ini penulis lebih menitik beratkan pada
persoalan pernikahan beda agama dalam tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt alAhkām min al-Qur’ān karya Ali Al-Shabuni yang dibahas secara deskriptif dan
sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti. Untuk itu masih diperlukan
kajian tentang pernikahan beda agama menurut Ali Al-Shabuni dalam kitab
tafsirnya.
12
F. Kerangka Pemikiran
Di antara kemurahan Allah swt. terhadap manusia adalah bahwa Dia tidak
saja menganugrahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada
kebaikan, bahkan juga dari masa-kemasa mengutus seorang Rasul yang membawa
kitab sebagai pedoman hidup dari Allah swt., mengajak manusia agar beribadah
hanya kepada-Nya semata. Menyampaikan kabar gembira dan memberikan
peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah swt.
setelah datangnya para Rasul.
Allah swt. berfirman:
           
   
”(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”17
Wahyu diturunkan senantiasa mengiringi manusia sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan berfikir manusia. Ia memberikan jalan keluar dari
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh setiap kaum para Rasul Allah swt.
Demikian sehingga perkembangan itu sampai kepada masa kematangannya. Allah
swt. menghendaki agar risalah Muhammad saw. muncul di dunia ini. Maka
17
QS. An-Nisa [4]: 165.
13
diutuslah beliau disaat manusia lama megalami stagnasi para Rasul Allah swt,
demi menyempurnakan bangunan para Rasul yang datang sebelumnya dengan
kitab yang memuat syari‟at yang bersifat universal dan abadi.18
Dengan keistimewaan itulah, maka Al-Qur‟an memecahkan persoalanpersoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan
masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik, dengan pemecahan
yang penuh bijaksana, karena ia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji. Untuk menjawab semua problem yang ada, Al-Qur‟an meletakkan dasardasar umum yang dapat dijadikan landasan oleh manusia, yang relevan disegala
zaman. Dengan demikian, Al-Qur‟an akan selalu aktual disetiap waktu dan
tempat.
Menarik apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad 14 H yaitu
Hasan Al-Banna, ”Islam adalah suatu sistem yang komprehensif, ia mencakup
segala persoalan kehidupan. Seperti masalah negara dan tanah air, pemerintah dan
rakyat, moral dan kekuatan, rahmat dan keadilan, budaya dan undang-undang,
ilmu dan hukum, serta militer dan pemikiran. Selain itu, ia juga mengandung
masalah akidah yang lurus dan ibadah yang shalih.”19
Manusia kini banyak yang resah gelisah, akhlaknya rusak, tidak ada
tempat berlindung bagi mereka dari kejatuhannya ke jurang kehinaan selain
kembali kepada ajaran Al-Qur‟an.
Al-Qur‟an tidak bisa dipahami oleh sembarang orang, agar dapat dipahami
dan diamalkan oleh seluruh umat manusia, maka Al-Qur‟an memerlukan
18
19
Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Op. Cit., hlm. 12.
Ibid., hlm. 15.
14
penafsiran. Kemampuan setiap orang dalam memahami dan menafsirkan AlQur‟an tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-ayatnya demikian jelas dan
terperinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak
dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna
lahirnya dan bersifat global. Sedang kalangan cendikiawan dan terpelajar akan
dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik.
Adapun Hadis Nabi saw. merupakan sumber penafsiran yang kedua
setelah Al-Qur‟an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan
ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi dan akhlak Rasulullah saw.
merupakan perwujudan dari Al-Qur‟an yang ditafsirkan untuk manusia, serta
ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa
tempat, penjelasan-penjelasan yang disyaratkan oleh ayat-ayat Al-Qur‟an hanya
bersifat mujmal, pentaqyid yang mutlak, takhsīs yang ’āmm dan sebagai pencetus
hukum-hukum baru yang tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Qur‟an.
Sebagai contoh ketika Al-Qur‟an menyebutkan berbagai permasalahan di
antaranya tentang ”Pernikahan Beda Agama”. Hal ini disebutkan dalam beberapa
ayat Al-Qur‟an, di antaranya QS. Al-Baqarah [2]: 221, QS. Al-Mumtahanah [60]:
10, QS. Al-Maidah [5]: 5 dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan tema
pernikahan beda agama.
Untuk menuju kepada hal tersebut di atas, maka tafsir adalah satu-satunya
alat untuk mengetahui dan memecahkan berbagai petunjuk yang terkandung
dalam Al-Qur‟an. Pada dasarnya, pengertian tafsir tidak akan lepas dari
15
kandungan makna al-idhāh (menjelaskan), al-bayān (menerangkan), al-kasyaf
(mengungkapkan), al-izhār (menampakkan) dan al-ibānah (menjelaskan).
Adapun mengenai pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama
mengemukakan dengan redaksi yang berbeda-beda. Di antaranya tafsir menurut
Al-Kilabi dalam al-Tashil: ”Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur‟an, menerangkan
maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau
tujuannya.”20
Sebagai jalan untuk memudahkan dan memahami dari arti kandungan AlQur‟an secara komprehensif, para ahli telah memperkenalkan beberapa sumber
atau bentuk tafsir yang terdapat dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Sumber tafsir AlQur‟an secara garis besar hanya mempunyai dua, yaitu: sumber pertama selama
masih ada wajib diutamakan daripada sumber kedua. Sumber pertama adalah alma’tsūr yang layak dijadikan argumentasi. Sumber kedua adalah pikiran rasional
(al-ra’yi) yang lurus, hasil ijtihad yang memenuhi syarat-syarat tertentu.21
Bentuk tafsir bi al-ma’tsūr ada empat22, yaitu:
1. Menfasirkan Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an
Al-Qur‟an berada pada posisi pertama dan utama dalam menafsirkan AlQur‟an. Selama Al-Qur‟an telah dapat menafsirkan Al-Qur‟an dengan cukup
jelas, maka selama itu pula materi penafsir lainnya tidak boleh digunakan.
Keadaan ini berdasarkan tiga postulat23, yaitu: sebaik-baik penafsir suatu
20
21
Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 178.
Ibrahim Syuaib Z, Metodologi Kritik Tafsir (Al Dakhil Fi Al-Tafsir), Bandung 2008,
hlm. 3.
22
Ibid., hlm. 3-9.
Ialah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu
membuktikannya; anggapan dasar; patokan duga; aksioma.
23
16
ungkapan adalah penuturnya sendiri; mengimani ajaran Islam sebelum terwujud
sebelum menerima semua kandungan Al-Qur‟an secara global dan rinci;
menafsirkan Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an adalah salahsatu perintah Allah swt.
Salah satu dalilnya adalah:
           
            
    
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”24
2. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan Hadis yang layak dijadikan hujjah
Bila di dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan penafsir Al-Qur‟an, maka
penafsirannya dicari di Hadis. Kaidah ini berdasarkan empat postulat, yaitu:
Muhammad saw. adalah Rasulullah yang tidak berbicara berdasarkan nafsu25;
sebaik-baik orang yang mungkin menafsirkan sesuatu ialah orang yang tugas
utamanya adalah menerangkan sesuatu tersebut; Hadis adalah sumber hukum
24
25
QS. An-Nisa [4]: 9.
Firman Allah swt.:
        
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. QS. An-Najm [53]: 3-4.
17
kedua agama Islam26; menafsirkan Al-Qur‟an dengan Hadis adalah salah satu
perintah Allah swt.
3. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan pendapat sahabat
Bila tidak ditemukan Hadis sebagai penafsir Al-Qur‟an, maka dicari
penafsirannya dipendapat sahabat.
4. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan pendapat tabi‟i
Bila tidak ditemukan pendapat sahabat sebagai penafsir Al-Qur‟an, maka
dicari penafsirannya dipendapat tabi‟i.
Sedangkan bentuk atau sumber bi al-ra’yi di samping menafsirkan AlQur‟an dengan riwayat juga didasarkan pada penjelasan-penjelasan yang bersendi
kepada ijtihad27 dan akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa dan adatistiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.28
Perkembangan dunia tafsir semakin berkembang sampai saat ini, maka
lahirlah beberapa metode baru dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Sehingga akan
sangat luas pembahasannya apabila ditelusuri satu persatu. Untuk lebih mudah
bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir
menjadi empat macam, yaitu: tahlili29, ijmali30, muqaran31 dan maudhū’i32.
26
Firman Allah swt.:
               
“…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
QS. Al-Hasyr [59]: 7.
27
Yang dimaksud dengan ijtihad di sini ialah yang didasarkan pada dasar-dasar yang
shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti oleh orang yang hendak mendalami tafsir AlQur‟an atau mendalami pengertiannya. Lihat: Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan Fi Ulum AlQur’an, Beirut 1985, hlm. 155.
28
Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 178.
29
Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan meneliti aspeknya dan
menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian kosa-kata, makna kalimat, maksud setiap
18
Dari keempat metode tersebut di atas, ternyata metode maudhu’i
selangkah lebih maju dari metode tahlili. Meski begitu, kedua metode ini tidak
bisa dipisahkan pada prakteknya sepanjang sejarah tafsir. Karena metode
maudhū’i (tematis) ternyata membutuhkan penegasan dari metode tahlili (analitis)
tentang ayat-ayat yang dibahas oleh metode maudhū’i yang oleh penulis akan
dikaji pada topik ini.
Kerangka pemikiran yang penulis gunakan dalam penelitian ini berpusat
pada penfsiran Ali Al-Shabuni tentang ”Pernikahan Beda Agama” dalam tafsir
Rawāi’u al-Bayān. Yang menjadi tujuan utama penelitian kali ini dan melahirkan
tujuan lain yang diderivasikan langsung dari tujuan utama. Untuk mencapai pusat
penelitian, penulis terlebih dahulu akan membuka kembali karya-karya penulis
lain yang secara global membahas persoalan tentang ”Perkawinan Beda Agama”
dan mencoba membandingkan tiap pemikiran kemudian membuat garis yang
menghubungkan kata ”Beda Agama” secara khusus yaitu konotasi kafir, musyrik
dan ahl al-kitāb dalam kajian Al-Qur‟an yang sudah ditahbiskan sebagai titik
sentral penelitian ini. Hanya dari titik sentral penelitian ini, penulis melanjutkan
penelitian ke tujuan penelitan selanjutnya.
ungkapan, kaitan antara pemisah (munasabah), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh almunasabah) dengan bantuan asbab al-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., sahabat,
dan tabi‟in.
30
Metode Ijmali yaitu menafsirkan Al-Qur‟an secara global.
31
Muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan merujuk kepada penjelasanpenjelasan para mufasir dan ulama lain.
32
Metode Maudhu’i dalam format dan prosedur yang jelas belum lama lahir. Orang yang
pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Al-Jalil Ahmad As-Sa‟id Al-Kumi, ketua Jurusan
Tafsir di Universitas Al-Azhar. Lihat: Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung. 2000,
hlm. 161.
19
G. Langkah-langkah Penelitian
Langkah-langkah penelitian bisa juga disebut dengan prosedur penelitian,
dan ada juga yang menyebut dengan metodologi penelitian. Langkah-langkah
penelitian ini, secara garis besar mencakup: penentuan metode penelitian,
penentuan jenis data dan sumber data, teknik pengumpulan data yang digunakan
dan analisis data.
Adapun penelitian yang akan dilakukan dalam penulisan ini adalah studi
naskah yang data-datanya diperoleh melalui sumber literatur (library research)
yaitu kajian literatur melalui riset kepustakaan. Untuk memperoleh hasil
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau secara akademis,
maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat, sehingga penelitian dapat
berjalan dengan sistematis, efisien dan tepat guna. Selanjutnya ditentukan sumber
data yang dijadikan objek penelitian baik data primer maupun sekunder, serta
teknik pengumpulan data dan analisa.
Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis sebagai
berikut:
1. Menentukan Metode Penelitian
Penelitian ini berusaha mengkaji, meneliti, menelaah dan memahami
penafsiran Ali Al-Shabuni tentang "Pernikahan Beda Agama" dengan merujuk
kepada karya tafsir ahkamnya dan karya tulis yang lain yang terkait dengan tema
tersebut.
Metode deskriptif-analitis dirasakan lebih tepat untuk dipergunakan dalam
penelitian ini, karena tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan
20
data namun juga meliputi usaha klasifikasi data, analisa data dan interpretasi
tentang arti data yang diperoleh sehingga dapat menghasilkan gambaran yang
utuh dan menyeluruh.33
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah berbagai peninggalan
tertulis yang berkaitan dengan tema yang diangkat dari penafsir (Ali Al-Shabuni),
terutama karya tafsirnya. Hal ini dilakukan untuk mengungkap berbagai teori,
pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran orisinal beliau.
Di dalam ilmu tafsir dikenal beberapa metode penafsiran Al-Qur'an,
seperti dikemukakan Al-Farmawi, yaitu tahlili, ijmali, muqaran dan maudū’i.34
Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan Ali Al-Shabuni tentang "Pernikahan
Beda Agama" dalam karyanya yaitu Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt al-Ahkām fī
Al-Qur’ān. Metode muqaran (komparatif) dan maudhi’i sebagai salah satu metode
yang berkembang dalam dunia penafsiran, menjadi pilihan yang serasa tepat oleh
penulis dipergunakan dalam penelitian ini. Karena metode ini selain menghimpun
sejumlah ayat yang dijadikan obyek studi juga berusaha membandingkan
pendapat penafsir tersebut diatas untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan
identitas dan pola berpikir masing-masing penafsir serta orientasi dan aliran yang
dianutnya.35.
33
Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito, 1978, hlm. 131.
„Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, terj: Suryan A.
Jamrah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1996, hlm.11.
35
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
1998, hlm. 68.
34
21
2. Menentukan Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan masalah yang akan diteliti, maka jenis data yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Hal ini dilakukan karena
persoalan-persoalan yang akan dibahas merupakan penelitian kualitatif.
Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian
ini meliputi dua sumber yaitu:
a. Sumber Data Primer, ialah sumber utama atau pokok yang dijadikan
objek penelitian, yaitu Tafsir Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām
min al-Qur’ān karya Ali Al-Shabuni.
b. Sumber Data Sekunder, ialah sumber lain yang mendukung atau
sebagai pelengkap yang berfungsi untuk mengembangkan dan
menambah data dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan peneliti akan diperoleh melalui membaca,
mempelajari dan menela‟ah sumber data baik primer maupun sekunder. Jenis data
dari sumber-sumber
data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik
studi kepustakaan atau book surveys, yaitu mengumpulkan data dari literaturliteratur atau berbagai referensi yang relevan dengan materi penelitian ini dan
kemudian menuangkan kedalam konsep-konsep yang diteliti. Hal ini dilakukan
untuk sampainya penelitian pada hasil atau kesimpulan yang lebih tepat.
4. Analisis Data
Adapun setelah data-data penelitian terhimpun, selanjutnya penulis
melakukan analisis terhadap data-data yang sudah ada tersebut, dengan
22
menggunakan analisis kualitatif. Hal ini dilakukan karena persoalan-persoalan
yang akan dibahas merupakan penelitian kualitatif, yaitu sebagai upaya sampainya
penelitian sampai pada hasil dan kesimpulan yang maksimal sesuai dengan tujuan.
Adapun langkah-langkah teknis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Menelaah data yang sudah terkumpul dari berbagai sumber data, baik
sumber data primer maupun sekunder.
b. Mengklasifikasikan seluruh data data yang ada dengan perumusan
masalah yang oleh penulis teliti.
c. Mengolah data yang telah terkumpul dan melakukan analisis secara
memadai, mana data yang masuk atau tidak pada data pada objek kajian
penelitian, maka selanjutnya penulis melakukan analisis terhadap data
tersebut.
d. Membuat kesimpulan dari materi atau data-data yang sudah
dikumpulkan yang sudah dianalisis.
23
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pendahuluan
Dewasa ini kerap kali dibedakan antara ”nikah” dengan ”kawin”, akan
tetapi pada prinsipnya antara ”pernikahan” dan ”perkawinan” hanya berbeda di
dalam menarik akar kata saja. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas
bahwa pernikahan atau perkawinan adalah suatu akad suci dan luhur antara lakilaki dan perempuan yang menjadi sebab syahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh
kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.36
Pernikahan merupakan bagian dari ajaran Islam. Barangsiapa yang
menghindari pernikahan, berarti ia telah meninggalkan sebagian dari ajaran
agamanya. Di samping itu, pernikahan dapat menghindarkan diri dari perbuatan
maksiat/ zina.37
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya,
melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara istri dan suaminya,
kasih mengasihi, akan berpindah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua
belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan saling tolong
menolong dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain
36
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta. 1994, hlm. 229.
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah (Kajian Hukum Islam Kontemporer),
Angkasa, Bandung. 2005, hlm. 133.
37
24
itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.38
Selanjutnya istilah nikah itu sendiri mempunyai pengertian yaitu nikah
menurut bahasa dan menurut syara.
B. Pengertian Nikah
1. Nikah menurut bahasa
Lafadz ”‫ ”ّنبح‬berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf nun, kaf ,
alif dan ha, yaitu bentuk masdar dari fi’il mādhi ”nakaha, yankahu, nikāhan” yang
artinya secara etimologi adalah berkumpul, menggabungkan, bersetubuh dan
senggama.39
2. Nikah menurut istilah
Adapun mengenai definisi nikah berdasarkan istilah syara‟, para ulama
memberikan pengertian yang berbeda-beda di antaranya dijelaskan di bawah ini:
Pernikahan atau perkawinan adalah suatu akad (ikatan janji) yang dapat
menghalalkan pergaulan masing-masing pasangan laki-laki dan perempuan untuk
saling menikmati dirinya.40 Dalam suatu pengertian yang lebih luas, pernikahan
merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan, untuk
38
Sulaiman Rasjid, Op. Cit., hlm. 374.
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir (Arab-Indonesia Terlengkap), Pustaka
Progressif, Surabaya. 2002, hlm. 1461.
40
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Minhājul Muslimīn, Dar Al-Fikr, terj: Rachmat Djatnika,
Remaja Rosdakarya, Bandung. 1991, hlm. 162.
39
25
hidup bersama dan suatu rumah tangga dan keturunan yang dilaksanakan menurut
ketentuan syariat Islam.41
Di bawah ini penulis memberikan definisi nikah secara terminologi
menurut Madzhab yang empat, yaitu:
a) Menurut Abu Hanifah pernikahan adalah: ”akad yang dikukuhkan42
untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan
dengan sengaja.”
b) Menurut Madzhab Maliki nikah adalah: ” akad yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan dari wanita.” dengan akad tersebut seseorang
akan terhindar dari perbuatan haram (zina).
c) Menurut Madzhab Syafi‟i pernikahan adalah: ” akad yang menjamin
diperbolehkannya persetubuhan.”
d) Menurut Madzhab Hambali adalah: ” akad yang di dalamnya terdapat
lafadzh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur.”
Kalau diperhatikan keempat definisi tersebut jelas, bahwa yang menjadi
inti pokok pernikahan itu adalah ’aqad (perjanjian) yaitu serah terima antara
orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan
penerimaan tanggung jawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat akad
nikah itu, di samping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami istri.43
41
Muhammad Saifulloh Al-Aziz S, Fiqh Islām ( Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam
dengan Berbagai Permasalahannya ), Terbit Tetang, Surabaya. 2005, hlm. 475.
42
Pengukuhan di sini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan
ketetapan pembuat syari‟ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang
saling membuat „Aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan
semata.
43
M. Ali Hasan, Masāil Fiqhiyyah Al-Hadītsah (Pada Masalah-masalah Kontemporer
Hukum Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1998, hlm. 2.
26
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara‟. Sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah swt.:44
            
  
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil 45, Maka
(kawinilah) seorang saja”.46
C. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Pernikahan
1. Syarat-syarat Pernikahan
Sebelum menjelaskan tentang beberapa syarat seputar pernikahan secara
terperinci, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan dari pengertian syarat
berdasarkan istilah, para ulama ushul fiqh memberikan redaksi yang berbeda-beda
sebagaimana dijelaskan berikut ini.
a. Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam47
”Syurūth jamak dari syarath, secara ethimologi adalah tanda, dinamakan
syarat karena ia sebagai tanda atas yang disyaratkan.”48
44
QS. An-Nisa [4]: 3.
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah dan batiniyah.
46
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw.
ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
47
Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Tauhīd Al-Ahkām min Bulūgh Al-Marām, terj:
Aan Anwariyah dkk, Pustaka Azzam. Jakarta. 2006, jilid 2, hlm. 1.
48
QS. Muhammad [47]: 18.
45
27
Secara terminologi, syarat adalah sesuatu yang jika tidak ada maka
hukumpun tidak ada dan adanya sesuatu tersebut tidak mengharuskan adanya
hukum, serta tidak meniadakan sesuatu itu.
b. Menurut Abdul Djamali49
Syarat adalah ”Segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam
sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan.”
c. H.A. Djazuli 50
”Syarat ialah sesuatu keadaan atau pekerjaan di mana adanya hukum
tergantung kepadanya. Dan bukan bagian daripadanya.”
Dengan demikian, jelaslah bahwa apabila ada syarat ada pula rukun,
karena rukun adalah sesuatu yang membentuk hakikat dan ada di dalamnya.
Walaupun syarat dan rukun itu dalam definisinya berbeda tetapi, keduanya tidak
bisa dipisahkan.
Adapun mengenai syarat-syarat pernikahan, para ulama berbeda pendapat
(ikhtilāf) baik dari kalangan madzhab yang empat maupun ulama fiqh lainnya.
Mengenai syarat-syarat pernikahan yang harus dipenuhi seseorang sebelum
melangsungkan perkawinan itu ada enam, yaitu:
1) Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
2) Dewasa51
3) Kesamaan agama Islam52
49
Abdul Djamali, Hukum Islam (Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu
Hukum), Mandar Maju, Bandung. 1997, hlm. 83.
50
H. A. Djajuli, Ushūl Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta.
2000, hlm. 51.
51
Ukuran kedewasaan seseorang tidak dilihat dari segi usia saja, melainkan dari
kedewasaan fisik dan fsikis yang sekurang-kurangnya ada tanda-tanda kematangan diri.
28
4) Tidak dalam hubungan nasab53
5) Tidak ada hubungan persusuan54
6) Tidak semenda 55
Sedangkan Syarat-syarat nikah menurut Muhammad Saifullah Al-Aziz S.
Adalah56:
1) Syarat-syarat pengantin laki-laki:
a) Tidak dipaksa/terpaksa
b) Tidak dalam ihram haji atau umrah
c) Islam (apabila menikah dengan perempuan Islam).
2) Syarat-syarat pengantin perempuan:
a) Bukan perempuan yang dalam ’iddah
b) Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain
c) Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan muhrim
d) Tidak dalam keadaan ihram haji dan umrah
e) Bukan perempuan musyrik.
2. Rukun-rukun pernikahan
Dalam kamus ilmiah bahasa Indonesia, kata rukun ini memiliki makna
”rangkaian yang muthlak dalam bagian-bagian tertentu dan tidak boleh
52
Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memelihara keturunan yang sah tidak ada
pertentangan memperebutkan atau mengalahnya salah satu pihak untuk terwujudnya keagamaan
keturunannya.
53
Yaitu hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak.
54
Maksunya bahwa antara pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu
pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih bayi walaupun keduanya bukan saudara kandung.
55
Artinya kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan perkawinan seperti antara
bapak/ibu dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dalam perkawinan ibu/bapak. Lihat:
Abdul Djamali, Op. Cit., hlm. 84-86.
56
Muhammad Saifulloh Al-Aziz S, Op. Cit., hlm. 475.
29
ditinggalkan (dalam hukum Islam).”57 Sedangkan menurut seorang ahli ushul fiqh
bahwa rukun merupakan hakikat dari perbuatan tersebut. Jadi, rukun itu tidak bisa
ditinggalkan atau ketinggalan salah satunya dan itu berarti suatu perbuatan yang
harus ada atau batal ketika salah satu dari rukun itu ditinggalkan.58 Maksudnya
bahwa kalau syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum
melangsungkan perkawinan saat-saat untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang
perlu dipenuhi.59
Ada beberapa rukun pernikahan yang diintroduksi para ulama antara lain:
a) Menurut Muhammad Saifulloh Al-Aziz S.60
1. Pengantin laki-laki
2. Pengantin perempuan
3. Wali61
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul
b) Menurut Abu Bakar Jabir El-Jazairi62
1. Wali
2. Dua saksi
3. Shighat (bentuk ucapan)
4. Mahar atau sedekah
57
Fajar, Op. Cit., hlm. 287.
Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 119.
59
Abdul Djamali, Op. Cit., hlm 87.
60
Moh. Saifulloh Al Aziz S, Op. Cit., hlm. 475.
61
Wali ialah orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya.
Syarat-syarat yang wajib dipenuhi untuk menjadikan seorang wali, ialah : Islam, dewasa, beakal
sehat, jujur, baik akhlaknya, mengetahui asas-asas dan tujuan perkawinan, mengetahui dengan
jelas asal-usul calon suami-istri sebagai pengantin. Ada tiga macam wali dalam islam yaitu wali
nasab, wali hakim dan wali muhakkam. Lihat: Abdul Djamali, Op. Cit., hlm. 88-90.
62
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op. Cit., hlm. 164-167.
58
30
c) Ada juga yang menyebutkan bahwa rukun nikah terdiri dari sighat/ijab qabul,
wali dan dua orang saksi.63
D. Hukum Pernikahan
Pada dasarnya pernikahan itu disyariatkan dalam Islam sebagaiman
ditegaskan dalam firman Allah swt.:
            
 
”Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja.64
Firman Allah swt.:
         
        
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian65 diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
63
Sudarsono, Op. Cit., hlm. 234.
QS. An-Nisa [4]: 3.
65
Maksudnya: ”Hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak
bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin”.
64
31
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui”.66
Rasulullah saw. bersabda:
‫ة‬
ِ ‫َب ٍَؼْشَ َط اىشَجَب‬ٝ ٌَ َ‫ْ ِٔ َٗؼَي‬َٞ‫ اىيَ ُٔ ػَي‬َٚ‫ه اىيَ ِٔ صَي‬
ُ ُ٘‫ه ىََْب ضَؼ‬
َ ‫ِ ػَجْ ِس اىئَِ قَبهَ قَب‬
ْ َ‫ػ‬
ٌْ َ‫ِ ى‬
ْ ٍََٗ ‫ط‬
ِ ْ‫ِ ىِيْفَط‬
ُ َ‫ّض ىِيْجَصَ ِط َٗأَحْص‬
ُ َ‫َزَعََٗطْ فَئَِّ ُٔ أَغ‬ْٞ‫ع ٍِ ْنُ ٌْ اىْجَبءَحَ فَي‬
َ ‫ِ اؼْزَغَب‬
ْ ٍَ
ٌ‫ْ ِٔ ثِبىصًَِْ٘ فَئَِّ ُٔ ىَ ُٔ ِٗجَبء‬َٞ‫َؽْزَغِغْ فَؼَي‬ٝ
“Abdullah Ibnu Mas‟ud r.a berkata: “Rasulullah saw bersabda kepada kami:
„Hai para pemuda, apabila diantara kamu mampu untuk kawin, hendaklah ia
kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan
barangsiapa yang tidak mampu hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu
menjadi penjaga baginya.”67
Rasulullah saw. bersabda:
‫ط‬
َ ‫ْ ِٔ َٗؼَيٌََ ؼَأَىُ٘ا أَظَْٗا‬َٞ‫ اىيَ ُٔ ػَي‬َٚ‫ صَي‬ٜ
ِ ‫ة اىَْ ِج‬
ِ ‫ِ أَصْحَب‬
ْ ٍِ ‫ُ َّفَطًا‬
َ َ‫ػ أ‬
ٍ َّ َ‫ِ أ‬
ْ َ‫ػ‬
ًُ ‫ َٗأََّب‬ِٜ‫ أُصَي‬ِِْٜ‫ه ىَن‬
َ ‫ِْٔ فَقَب‬َٞ‫ ػَي‬َْْٚ‫ْ ِٔ َٗؼَيَ ٌَ حََِ َس اىيَ َٔ َٗأَص‬َٞ‫ اىيَ ُٔ ػَي‬َٚ‫ صَي‬ٜ
ِ ‫اىَْ ِج‬
ٍِِْٜ ‫ػ‬
َ ْٞ َ‫ فَي‬ِٜ‫ت ػَِْ ؼَُْز‬
َ ِ‫ِ ضَغ‬
ْ َََ‫ط اىِْؽَبءَ ف‬
ُ ََٗ‫َٗأَصُ٘ ًُ َٗأُفْغِ ُط َٗأَرَع‬
”Anas bin Malik r.a berkata: ”Sesungguhnya Nabi saw. memuji Allah dan
menyanjungnya, beliau lalu bersabda: ”Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku
berpuasa, aku berbuka dan aku mengawini permpuan, barang siapa yang tidak
suka dengan perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku.”68
Di dalam hukum Islam, pernikahan dapat dihukumkan wajib, haram,
karahah (makruh), sunnah dan mubah.
66
QS. An-Nur [24]: 32.
Lihat: CD Kutubu Tisa’ah. Shahih Muslim. No. 2486.
68
Ibid., No. 2487.
67
32
Penjelasan singkat masing-masing hukum dalam pernikahan tersebut
sebagai berikut:69
a. Wajib, bagi orang yang sudah cukup ekonomi dan mental serta
dikhawatirkan terjebak dalam perbuatan zina bila tidak segera
menunaikan pernikahan.
b. Haram, bagi orang yang berniat menyakiti perempuan yang akan
dinikahinya.
Firman Allah swt.:
       
   
”Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya
mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”70
c. Makruh/ Karahah, pernikahan berubah hukumnya menjadi makruh
apabila pernikahan tersebut dilakukan oleh orang yang belum mampu
memberi nafkah.
d. Sunnah, bagi yang mau kawin dengan cukup mental dan ekonomi.
e. Mubah (jaiz), sebagai asal hukumnya.
E. Tujuan Pernikahan
69
70
Sudarsono, Op. Cit., hlm. 239-240.
QS. Al-Ahzab [33]: 58.
33
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan
yang sulit untuk dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan
dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan
pertemuan itu sehingga terlaksananya ”perkawinan”, dan beralihlah kerisauan pria
dan wanita menjadi ketentraman atau sakinah dalam istilah Al-Qur‟an surat AlRum [30]: 21. Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti
”diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak”. Itulah sebabnya mengapa pisau
dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih
tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah karena perkawinan
adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, seperti kematian binatang.71
Setidaknya ada empat macam yang menjadi tujuan perkawinan. Keempat
macam tujuan perkawinan itu hendaknya benar-benar dapat dapat dipahami oleh
calon suami atau istri, supaya terhindar dari keretakan dalam rumah tangga yang
biasanya berakhir dengan perceraian yang sangat dibenci oleh Allah swt.
Keempat tujuan pernikahan itu antara lain:72
1. Menentramkan jiwa
Allah swt. menciptakan hamba-Nya hidup berpasangan dan hanya tidak
manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini adalah sesuatu
yang alami, yaitu pria tertarik kepada wanita dan begitu juga sebaliknya.
Bila sudah terjadi akad nikah, si wanita merasa jiwanya tentram, karena
merasa ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah
tangga. Si suami pun merasa tentram karena ada pendampingnya untuk mengurus
71
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Umat), Mizan, Bandung 2007, hlm. 254.
72
M. Ali Hasan, Op. Cit., hlm. 2-6.
34
rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan teman
bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan.
Allah berfirman:
          
         
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.73
Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih sayang
dan antara suami-istri tidak mau berbagi suka dan duka, maka berarti tujuan
berumah tangga tidak sempurna, kalau tidak dapat dikatakan gagal. Sebagai
akibatnya, bisa saja terjadi masing-masing suami-istri mendambakan kasih sayang
dari pihak luar yang seyogyanya tidak boleh terjadi dalam suatu rumah tangga
yang sedang dijalani.
2. Mewujudkan (melestarikan) turunan
Biasanya sepasang suami istri pasti sangat mendambakan anak keturunan
untuk meneruskan kelangsungan hidup. Anak turunan diharapkan dapat
mengambil alih tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam di dalam jiwa
suami atau istri.
73
QS. Ar-Rum [30]: 21.
35
Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah swt.
dalam firmannya:
          
         

”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"74
Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:
‫ق ٍِ َْٖب ظَْٗجََٖب‬
َ َ‫ ذَيَقَنٌُْ ٍِِْ َّ ْفػٍ َٗاحِسَحٍ َٗذَي‬ِٛ‫َُٖب اىَْبغُ ارَقُ٘ا ضَثَنٌُُ اىَص‬َٝ‫َب أ‬ٝ
َُِ‫ رَؽَبءَىَُُ٘ ثِِٔ َٗاىْأَضْحَبًَ إ‬ِٛ‫طًا َِّٗؽَبءً َٗارَقُ٘ا اىئََ اىَص‬ِٞ‫َٗثَشَ ٍِ ََُْٖب ضِجَبىًب مَض‬
ٌُْ‫ْن‬َٞ‫اىئََ مَبَُ ػَي‬
“Hai sekalian manusia ! Bertakwalah kalian semua kepada tuahanmu yang
telah menciptakan kamu dari jenuis yang satu dan menciptakann dari jenis
yang satu dan menciptakan dari padanaya jodoh dan mengembang biakan dari
keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak.”75
Berdasarkan ayat tersebut di atas jelas bahwa Allah swt. menciptakan
manusia ini berpasang-pasangan supaya berkembang biak mengisi bumi ini dan
memakmurkannya. Atas kehendak Allah swt, naluri manusia pun menginginkan
74
75
QS. An-Nahl [16]: 72.
QS. An-Nisa [4]: 1.
36
demikian. Kalau dilihat dari ajaran Islam, maka di samping alih generasi secara
estafet, anak cucu pun diharapkan dapat menyelamatkan orang tuaya (nenek
moyang) sesudah meninggal dunia dengan panjatan doa kepada Allah swt.
Begitu pentingnya masalah keturunan (pewaris), Allah swt. menyebutkan
ucapan lidah hamba-Nya dengan firman-Nya:
          
 
”Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”76
Nabi Zakaria as. sebagai Rasul Allah swt. juga mendambakan anak
turunannya untuk meneruskan perjuangan beliau. Dalam usia senjanya beliau
memohon kepada Allah swt, yang disebutkan dalam firman-Nya:
           
           
           
”Ia Berkata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku Telah lemah dan kepalaku
Telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada
Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku 77
sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka
76
QS. Al-Furqon [25]: 74.
Yang dimaksud oleh nabi Zakaria as. dengan mawali ialah orang-orang yang akan
mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya.Yang dikhawatirkan Zakaria ialah
kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, Karena tidak seorangpun diantara
mereka yang dapat dipercayainva, oleh sebab itu dia meminta dianugerahi seorang anak.
77
37
anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera, Yang akan mewarisi Aku
dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku,
seorang yang diridhai".78
Semua manusia yang normal merasa gelisah, apabila perkawiannya tidak
menghasilkan turunan. Rumah tangga terasa sepi, hidup tidak bergairah karena
pada umumnya orang rela bekerja keras adalah untuk kepentingan keluarga dan
anak cucunya.
3. Memenuhi kebutuhan biologis
Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada
tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah swt. Kalau tidak ada
kecenderungan dan keinginan untuk itu, tentu manusia tidak akan berkembang
biak.
Allah swt. berfirman:
           
            
    
”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya 79 Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain 80, dan
78
QS. Maryam [19]: 4-6.
Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang
rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang
menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s.
diciptakan.
80
Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya
kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : as aluka billāh artinya saya bertanya
atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
79
38
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu.”81
Dari
ayat
tersebut
di
atas
dapat
dipahami,
bahwa
tuntunan
pengembangbiakan dan tuntunan biologis telah dapat terpenuhi sekaligus. Namun
hendaknya diingat, bahwa perintah ”bertakwa” kepada Allah swt. diucapkan dua
kali dalam ayat tersebut, supaya tidak terjadi penyimpangan dalam hubungan
seksual dan anak turunan juga akan menjadi anak turunan yang baik-baik.
4. Latihan memikul tanggung jawab
Pada dasarnya, Allah swt. menciptakan manusia di dalam kehidupan ini,
tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mati seperti yang
dialami oleh makhluk lainnya. Lebih jauh lagi, manusia diciptakan supaya
berfikir, menentukan, mengatur, mengurus segala persoalan, mencari dan
memberi manfaat untuk kemaslahatan umat.
Pada era atau tren zaman akhir-akhir ini, di mana manusia sudah terjebak
pada kemaksiatan yang tentu saja sangat dilarang oleh agama seperti halnya ”Free
Sex”. Mereka beranggapan bahwa melakukan hubungan badan diluar nikah adalah
suatu hal yang sudah lumrah, justru secara tegas agama melarang perbuatan
tersebut dan harus dihindari, sedang Allah swt. sendiri yang memerintahkannya
secara tersirat melalui ”law of sex”, bahkan secara tersurat.
Allah swt. berfirman:
          
      
81
QS. An-Nisa [4]: 1.
39
”Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena
itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu.” 82
Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:
       
”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki.”83
Karena hubungan seks harus bersih, maka hubungan tersebut harus
dimulai dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan
kotor, atau situasi kekotoran. Karena itu Rasulullah saw. menganjurkan agar
menikah dan kemudian berdoa terlebih dahulu menjelang hubungan seks dimulai.
Manusia diberi tugas oleh Allah swt. untuk membangun peradaban dengan
cara yang baik menurut syariat, yaitu manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah
di dunia ini. Cinta kasih, mawaddah dan warahmah yang dianugrahkan Allah swt.
kepada sepasang suami istri adalah untuk suatu tugas yang berat tetapi mulia.
Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu
diserahkan Allah swt. kepada manusia. 84
Beberapa ayat Al-Qur‟an sangat menarik untuk direnungkan dalam
konteks yang oleh penulis bahas ini adalah:
Firman Allah swt.:
82
83
84
QS. Al-Baqarah [2]: 187.
QS. Al-Baqarah [2]: 223.
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 284.
40
          
           
”(Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan
(pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
Melihat.”85
5. Untuk membersihkan keturunan yang bersih ialah yang jelas ayahnya,
kakeknya, dan keturunananya, hal ini hanya bisa diperoleh dengan jalan
perkawinan.86
Dengan demikian akan jelas pula yang bertanggung jawab terhadap anakanak yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga ia seorang muslim yang
shaleh, karena agama Islam mengharamkan zina, dan tidak membolehkan
poliandri (seorang wanita memiliki dua suami) dalam menutup segala pintu yang
mungkin melahirkan anak di luar perkawinan yabg tidak jelas asal-usulnya.
F. Hikmah pernikahan
Allah swt. Tidak semata-mata menyuruh sesuatu tanpa adanya hikmah
atau manfaat serta tujuannya. Setelah menguraikan dari tujuan pernikahan di atas,
maka hikmah pernikahan meliputi:
1. Dapat saling mengenal
85
86
hlm. 124
QS. Al-Syura [42]: 11.
Thalib, M, Drs, Analisa Wanita Dalam Binmbingan Islam, Al-Ikhlas, Surabaya. 1966,
41
Berdasarkan kebijaksanaan Allah swt. yang menyeluruh, ilmu-Nya yang
melingkupi segala hal dan rahmat-Nya yang sempurna, maka Allah swt.
memutuskan untuk menciptakan Nabi Adam as. sebagai bapaknya manusia, di
mana Allah swt. mengutamakan manusia di atas mahluk lainnya dengan beberapa
keutamaan. Setelah menciptakan Nabi Adam as, kemudian Allah swt.
menciptakan bagi teman hidupnya yaitu Hawa yang berbeda jenisnya.
Firman Allah swt:
           
            
    
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya 87 Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain 88, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu.”89
Berdasarkan ayat di atas, manusia berkembang biak menjadi berkelompok
bangsa yang tersebarar di dunia yang asalnya bediam di suatu tempat tertentu
yang kemudian timbul hasrat ingin mengetahui isi jagad alam untuk saling
mengenal satu sama lainnya.
87
Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang
rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang
menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s.
diciptakan.
88
Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya
kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : as aluka billah artinya saya bertanya
atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
89
QS. An-Nisa [4]: 1.
42
Islam datang dengan membawa syari‟at di antaranya yaitu pernikahan,
dengan pernikahan adalah suatu cara yang baik untuk bersilaturrahim untuk saling
mengenal dan menjaga persaudaraan.
2. Memalingkan pandangan yang liar
Allah swt. berfirman:
           
         
 
”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya...”90
Rasulullah saw. bersabda:
ٌْ ُ‫ع ٍِ ْن‬
َ ‫ِ اؼْزَغَب‬
ْ ٍَ ‫ة‬
ِ ‫َب ٍَؼْشَ َط اىشَجَب‬ٝ ٌَ َ‫ْ ِٔ َٗؼَي‬َٞ‫ اىيَ ُٔ ػَي‬َٚ‫ه اىيَ ِٔ صَي‬
ُ ُ٘‫ه ضَؼ‬
َ ‫قَب‬
‫ّض ىِيْجَصَ ِط‬
ُ َ‫َزَعََٗطْ فَئَِّ ُٔ أَغ‬ْٞ‫اىْجَبءَحَ فَي‬
“Rasulullah saw. bersabda kepada kami: „Hai para pemuda, apabila diantara
kamu mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa
untuk menjagan mata(pandangan liar).”91
3. Menghindari dari perbuatan zina
90
91
QS. An-Nūr [24]: 30-31.
Lihat: CD Kutubu Tisa’ah. Shahih Muslim. No. 2486.
43
Pandangan yang liar adalah awal dari keinginan berbuat zina, terutama
dizaman dan situasi sekarang yang serba diliputi oleh kemaksiatan, kemanapun
kita pergi maka disanalah kita temui.
Oleh karena situasi yang tidak menguntungkan ini dapat mengikis habis
kekebalan iman, apalagi di dunia yang menyilaukan sehingga fasilitas untuk
berbuat maksiat susah dihindari.
Allah swt. berfirman:
          
  
”Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal
Ini tiada terceIa.”92
4. Kelanjutan amal manusia
Kehidupan manusia itu sangat singkat, akan tetapi kemauan jauh
melampaui batas umurnya. Untuk melanjutkan amal dan cita-cita yang
terbengkalai diperlukan generasi penerus yaitu anak. Adapun anak atau keturunan
yang shalih yang dapat melanjutkan amal orang tuanya yang sudah tua dan
bahkan sudah tiada, hanya bisa diperoleh dengan perkawinan yang sah. Anak
adalah pewaris materil maupun imateril dan sebagai penambah amal kedua orang
tuanya.
5. Wanita sebagai pasangan pria dan sebaliknya
92
QS. Al-Mu‟minūn [23]: 5-6.
44
Allah swt. berfirman:
          
         
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.93
Pasangan bagi laki-laki atau suami yang sangat baik adalah wanita
shalihah, di mana wanita shalihah kedudukannya lebih mulia dari perhiasan dunia
berupa materi.
Nabi Muhammad saw. bersabda:
‫ع‬
ٌ ‫َب ٍَزَب‬ُّْٞ‫ه اىس‬
َ ‫ْ ِٔ َٗؼَيٌََ قَب‬َٞ‫ اىيَ ُٔ ػَي‬َٚ‫ه اىيَ ِٔ صَي‬
َ ُ٘‫ُ ضَؼ‬
َ َ‫ِ ػََْطٍٗ أ‬
ِ ْ‫ِ ػَجْ ِس اىيَ ِٔ ث‬
ْ َ‫ػ‬
ُ‫َب اىََْطْأَ ُح اىصَبىِحَخ‬ُّْٞ‫ع اىس‬
ِ ‫ْ ُط ٍَزَب‬َٞ‫َٗذ‬
“Hadits dari „Abdullah Ibnu „Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
kehidupan dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah
wanita (istri) yang shalihah.”94
Wanita shalihah dalam hadis tersebut tidak akan didapat di dunia hitam
yang liar walaupun di dalamnya terdapat wanita-wanita cantik dan menarik yang
berkeliaran, akan tetapi yang dimaksud adalah wanita yang sudah tentu diperoleh
melalui pernikahan yang sah.
93
94
QS. Ar-Rūm [30]: 21.
Lihat: CD. Kutubu Tisa’ah, Shahih Muslim, No. 2668.
45
B. Musyrik dan Kafir dan Ahl Al-Kitāb
1. Musyrik
Musyrik adalah orang yang mempersekutukan Allah swt., mengaku akan
adanya Tuhan selain Allah atau menyamakan sesuatu dengan Allah swt. dalam
rububiyyah dan uluhiyyah serta asma dan sifat-Nya.95 Dalam pandangan agama,
seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau
siapa yang melakukan aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada
Allah dan kedua kepada selain-Nya.
Dengan
demikian, semua
yang
mempersekutukan-Nya dari sudut pandang tujuan ini adalah musyrik.96 Syirik
merupakan perbuatan dosa yang paling besar, kerana itu kita harus menjauhi
perbuatan yang menjerumuskan kepada syirik.
Firman Allah swt.:
            
 
“Ingatlah Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran
kepadanya:‟Hai
anakku!
janganlah
kamu
mempersekutukan
Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang
besar‟ .“97
95
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Pustaka
Imam Syafi‟i, Bogor. 2006, hlm 170.
96
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Lentera Hati, Jakarta. 2007, cet. x. jilid I. hlm.
473.
97
QS. Luqman [31]: 13.
46
Dengan demikian orang musyrik di samping menyembah Allah swt. dan
mengabdikan diri kepada Allah swt, juga mengabdikan dirinya kepada yang selain
Allah swt. Jadi orang musyrik itu mereka yang mempersekutukan Allah swt. baik
dalam bentuk i‟tikad (kepercayaan), ucapan maupun dalam bentuk amal
perbuatan. Mereka (orang musyrik) menjadikan mahkluk yang diciptakan Allah
swt. ini baik yang berupa benda maupun manusia sebagai Tuhan dan menjadikan
sebagai An-Dad98, Alihah99, Thoughūt100 dan Arbāb101 sebagai sembahan.
Bentuk musyrik ini menyesatkan terhadap perilaku manusia. Dan dengan
memiliki akidah seperti itu dapat menghilangkan keimanan.
Adapun Syirik dalam pengertian yang umum sering disebut dengan makna
menyekutukan Allah swt. dengan yang lain. Mempersekutukan Allah swt. berarti
munculnya kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap mampu melakukan
sesuatu sebagaimana sifat-sifat atau perbuatan Allah swt. terhadap manusia,
makhluk, atau alam. Padahal Allah swt. tidak ada keserupaanya (laisa kamitslihī
98
Sesuatu perkara yang dicintai dan dihormati melebihi daripada cintanya kepada Allah,
sehingga dapat memalingkan seseorang dari melaksanakan ketaatan terhadap Allah dan RasulNya.
Misalnya saja seorang yang senang mencintai kepada benda, keluarga, rumah dan sebagainya,
dimana cintanya melebihi cintai terhadap Allah dan RasulNya, sehingga mereka melalaikan dalam
melaksanakan kewajiban agama,karena terlalu cintanya terhadap benda tersebut (makhluk
tersebut).
99
Suatu kepercayaan terhadap benda dan binatang yang menurut keyakinannya dapat
memberikan manfaat serta dapat menolak bahaya. Misalnya kita memakai cincin merah delima,
dan kita yakin bahawa dengan memakainya dapat menghindarkan bahaya. Adapun kepercayaan
memelihara burung Terkukur dapat memberikan kemajuan dalam bidang perniagaannya. Dan
itulah dinamakan Alihah, yakni menyekutukan Allah dengan binatang dan benda (kepada
makhluk).
100
Orang yang ditakuti dan ditaati seperti takut kepada Allah, bahkan melebihi rasa takut
dan taatnya kepada Allah, walaupun keinginan dan perintahnya itu harus berbuat derhaka kepadaNya.
101
Para pemuka agama („ulama,ustad) yang suka memberikan fatwa, nasihat yang
menyalahi ketentuan (perintah dan larangan) Allah dan Rasul-Nya, kemudian ditaati oleh para
pengikutnya tanpa diteliti dulu seperti mentaati terhadap Allah dan Rasul-Nya. Para pemuka
agama itu telah menjadikan dirinya dan dijadikan para pengikutnya Arbab (Tuhan selain Allah).
47
syaiun), tidak ada membandingiNya (walam yakun lahū kufuwan ahad), satusatunya Yang Maha Kuasa (innallāhu alā kulli syai’in qadīr).
Aqidah (kepercayaan) seseorang muslim yang murni berarti ia mampu
memelihara ketunggalan-keyakinan-kepercayaannya hanya kepada Allah swt.
sesuai dengan petunjuk nash agama. Mempercayai mitos berarti merusak
kemurnian aqidah karena isi (substantif) kepercayaan telah terisi dengan yang lain
atau tercampur. Islam sangat menentang kepercayaan tersebut.
Al Qur`an menyatakan :
             

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi
pelajaran
kepadanya:
"Hai
anakku,
janganlah
kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".102
Para ulama membagi syirik dalam dua kategori,103 pertama syirik Jali dan
yang ke dua syirik Khofi. Pengertian syirik Jali adalah suatu tindakan atau sikap
seseorang menyarikahkan atau mendualismekan kekuasaan, kekuatan atau
pemberi selamat atau kemudaratan kepada selain Allah swt. Contohnya pada
orang-orang yang mempercayai mitos-mitos, percaya tahyul, khurafat. Sedangkan
syirik Khofi pada seseorang adalah dengan munculnya kekuatan diri merasa besar,
102
103
QS.Luqman [31]:13.
http://ichalisna.blogspot.com/2009/02/pengertian-syirik.html
48
agung, terhormat, sehingga keagungan, kebesaran Allah menjadi terabaikan atau
terlupakan atau tertutupi. Contohnya seperti Ria, Takabur, Sum‟ah, dan Ujub.
Dosa syirik tidak dapat diampuni, terkecuali bila ia meninggalkan sikapsikap atau segala tindakan yang mengandung syirik dalam kehidupan sehariharinya. Tetapi jika ia masih saja percaya pada tahyul-tahyul. Khurafat, mitosmitos, minta nasehat dukun-dukun, bertatayur, berazlam, berkahin (tenung)
maupun meramal atau minta ramal, maka syirik (Jali)nya tak terampuni
sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur‟an.104 Tetapi bila ia mau
bertaubat, meninggalkan perbuatan syiriknya lantaran ia sebelumnya tidak
mengerti apa-apa sehingga terjerumus ke lembah syirik.
Allah swt. berfirman dalam Al Qur‟an:
          
         
“Sesungguhnya Taubat di sisi Allah hanyalah Taubat bagi orang-orang yang
mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan105, yang Kemudian mereka
104
Firman Allah:
                    
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar.” QS. An-Nisa [4]: 48.
105
Maksudnya ialah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa
perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu. 2. orang yang durhaka kepada
Allah baik dengan sengaja atau tidak. 3. orang yang melakukan kejahatan Karena kurang
kesadaran lantaran sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu.
49
bertaubat dengan segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya;
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.106
2. Kafir
Kafir secara bahasa (terminologi) berarti menutupi.107 Sedangkan menurut
syara’ (terminologi), kafir adalah orang ingkar yang tidak beriman kepada Allah
swt. dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.
Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah swt. dan RasulNya disebut kafir.108 Dengan kata lain orang kafir adalah orang yang tidak mau
memperhatikan serta menolak terhadap segala hukum Allah atau hukum Islam
disampaikan melalui para Rasul (Muhammad saw.) atau para penyampai
dakwah/risalah.
Kufur pula bermaksud menutupi dan menyamarkan sesuatu perkara.
Sedangkan menurut istilah ialah menolak terhadap sesuatu perkara yang telah
diperjelaskan adanya perkara yang tersebut dalam Al-Quran. Penolakan tersebut
baik langsung terhadap kitabnya ataupun menolak terhadap Rasul sebagai
pembawanya.
Allah swt. berfirman:
          
         
         
106
QS. An-Nisa [4]: 17.
Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit., hlm.1217.
108
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Op. Cit., hlm. 362.
107
50
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud memperbedakan109 antara (keimanan kepada) Allah dan rasulrasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan
kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan
perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau
kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”.110
Adapun pembagian kafir antara lain, yaitu: pertama kafir yang sama sekali
tidak percaya akan adanya Allah swt, baik dari segi zahir dan batin seperti Raja
Namrud dan Fir‟aun. Kedua kafir jumud (artinya membantah). Orang kafir jumud
ini pada hatinya (pemikirannya) mengakui akan adanya Allah swt. tapi tidak
mengakui dengan lisannya, seperti Iblis dan sebagainya. Ketiga kafir „Inad .Orang
kafir „Inad ini, adalah mereka pada hati (pemikiran) dan lisannya (sebutannya)
mengakui terhadap kebenaran Allah swt, tapi tidak mau mengamalkannya,
mengikuti atau mengerjakannya seperti Abu Talib. Dan keempat kafir Nifaq yaitu
orang yang munafik. Yang mengakui di luarnya, pada lisannya saja terhadap
adanya Allah swt. dan hukum Allah, bahkan suka mengerjakannya perintah Allah
swt, tapi hatinya (pemikirannya) atau batinnya tidak mempercayainya.
Ada beberapa tanda orang kafir antara lain: (1) Suka memecah belahkan
antara perintah dan larangan Allah swt. dengan Rasul-Nya; (2) Kafir (ingkar)
perintah dan larangan Allah swt. dan Rasul-Nya; (3) Iman kepada sebahagian
perintah dan larangan Allah swt (dari ayat Al- Quran), tapi menolak sebahagian
daripadanya; (4) Suka berperang di jalan Syaitan (Thoghut); (5) Mengatakan Nabi
Isa Al Masih adalah anak Allah swt.; (6) Agama menjadi bahan senda gurau atau
109
110
Maksudnya: beriman kepada Allah, tidak beriman kepada Rasul-rasul-Nya.
QS. An-Nisa [4]: 150-151.
51
permainan; (7) Lebih suka kehidupan duniawi sehingga aktivitas yang dikerjakan
hanya mengikut hawa nafsu mereka, tanpa menghiraukan hukum Allah yang telah
diturunkan; (8) Mengingkari adanya hari Akhirat, hari pembalasan dan syurga dan
neraka; dan (9) Menghalangi manusia ke jalan Allah.
Hubungan muslim dengan orang kafir adalah tidak dilarang, dicegah
bahkan dibolehkan oleh Islam, kecuali adanya perhubungan (bertujuan) yang
memusuhi Allah dan Rasul-Nya (Hukum Allah), termasuk merusakkan aqidah
Islam.111
3. Ahl Al-Kitāb
Diketahui bahwa Al-Qur‟an menggunakan, baik secara terpisah maupun
dalam bentuk gabungan, frase-frase dan istilah-istilah tertentu untuk menyebutkan
kaum Yahudi dan Kristen. Yang paling jelas adalah al-yahūd, sebutan untuk kaum
Yahudi, di samping juga istilah hūdā.112 Selain itu, komunitas Yahudi dirujuk
dengan frase al-ladzīna hādū (mereka yang telah menjadi Yahudi).113 Panggilan
yang umum untuk kaum Kristen adalah al-nashārā dan Nasrani.114 Frase ahl alinjīl (kaum pemilik Injil), yang disebut sekali, juga menunjuk pada komunitas
Kristen.115
111
http://hendita.blogspot.com/ 23 September 2010.
Term al-yahūd ditemukan Sembilan kali dalam Al-Qur‟an, delapan kali dalam
kombinasi dengan kaum Kristen (al-nashārā) dan sekali disebut secara terpisah: Al-Baqarah [2]:
113, 120; Al-Maidah [5]: 18, 51, 64, 82,; Al-Taubah [9]: 30 dan Ali Imran [3]: 67. Term hūdā
terulang tiga kali dalam Al-Baqarah [2]: 111, 135 dan 140.
113
Frase al-ladzīna hādū ditemukan dalam sepuluh tempat, tiga di antaranya Yahudi
disebut bersamaan dengan al-nashārā (Kristen), yaitu Al-Baqarah [2]: 62; Al-Nisa[4]: 46, 160; AlMaidah [5]: 41, 44, 69; Al-An‟am [6]: 146; Al-Nahl [16]: 118; Al-Hajj [22]: 17 dan Al-Jumu‟ah
[62]: 6.
114
Term al-nashārā disebutkan dua belas kali dalam kombinasi dengan Yahudi dan dua
kali secara tersendiri; Al-Baqarah [2]: 22,111,113,120,135,140; Al-Maidah [5]: 14,18,51,69,82;
Al-Taubah [9]: 30; Al-Hajj [22]: 17. Term Nasrani digunakan sekali dengan merujuk baik pada
Yahudi dan Kristen; Ali Imran [3]: 67.
115
QS. Al-Maidah [5]: 47.
112
52
Lebih jauh, kita pun menemukan beberapa term Al-Qur‟an yang menunjuk
pada warisan skriptural agama-agama tradisi Ibrahim yang ditujukan kepada
kaum Yahudi dan Kristen. Frase yang paling umum bagi penunjukan ini adalah
ahl al-kitāb (people of the book) yang secara umum menunjuk secara bersamaan
kepada komunitas Yahudi dan Kristen.116
Islam memandang ahl al-kitāb (Kristen dan Yahudi) adalah agama wahyu dari
Allah swt. Pendirinya yaitu: Ibrahim, Musa, Daud, Isa adalah Nabi-Nabi Allah. Kitabkitab yang di bawa mereka, yaitu Taurat, Zabur, dan Injil adalah wahyu Allah.
Mempercayai nabi-nabi ini, wahyu-wahyu yang mereka bawa merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari iman Islam. Mengingkarinya atau membeda-bedakanya berarti murtad.
Firman Allah swt. :
     
“Maka mereka berkata: "Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa Telah
lupa".117
Allah menyuruh Nabi Muhamad saw, beserta pengikutnya beriman kepada
segala yang diwahyukan dari Allah swt.
           
         
      
116
Frase Ahl al-Kitāb ditemukan tiga puluh satu kali, yaitu: Al-Baqarah [2]: 105, 109; Ali
Imran [3]: 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199; Al-Nisa [4]: 123, 153, 159, 171; AlAnkabut [29]: 46; Al-Ahzab [33]: 26; Al-Hadid [57]: 29; Al-Hasyr [59]: 2, 7 dan Al-Bayyinah
[98]: 1,6. Lihat: Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, Teraju, PT. Mizan
Publika, Jakarta. 2004, hlm. 93.
117
QS. Thāhā [20]: 88.
53
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan
anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari
Tuhan mereka. kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri."118
Allah swt berfirman:
            
       
     
“Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami
Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan
kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub
dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami
berikan Zabur kepada Daud.”119
Fiman Allah swt.:
            
    
118
QS. Ali Imran [3]: 84
119
QS. An-Nisa [4]: 163.
54
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup
kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya120. Dia menurunkan Al Kitab
(Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,
Penghormatan Islam kepada Kristen dan Yahudi, pendiri serta kitab suci
keduanya, bukanlah sekedar sopan-santun, namun pengakuan akan kebenaran
agamanya. Islam memandang keduanya bukan sebagai “pandangan berbeda” yang
harus ditoleransi, namun sebagai de jure, yaitu benar-benar agama wahyu Allah.
Lagi pula, status abasah keduanya bukan sosiopolitis, kultural, peradaban, namun
agama. Dalam hal ini, Islam unik, karena tak ada agama didunia ini yang
menjadikan kepercayaan akan kebenaran agama lain sebagai syarat mutlak iman
dan kesaksianya sendiri.
Selain itu Islam mengakui eksistensi agama Kristen dan Yahudi sebagai
agama yang berasal dari Allah dan para pendirinya adalah para nabi Allah. Tetapi
Islam juga melakukan koreksi atas penyimpangan dan kesalahan agama Kristen
dan Yahudi, yang dilakukan oleh para pemeluknya, baik doktrin ajaranya dan
watak yang ditanamkan oleh Kitab Perjanjian Lama ( Taurat ) maupun Perjanjian
Baru ( Injil ) .
Koreksi atas penyelewengan dan kesalahan yang terdapat dalam agama
Yahudi dan Kristen banyak sekali hamper setiap aspek kehidupan dan
penghidupan Yahudi dan Kristen; seperti: doktrin Trinitas, doktrin umat yang
120
Maksudnya: Allah mengatur langit dan bumi serta seisinya. Lihat: QS. Al Imran [3]: 2-3.
55
istimewa (sebagai anak Tuhan), doktrin umat yang selamat (save) dan masuk
surga.121
Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas, bisa dikatakan sebagai
musyrik. Namun demikian, pakar-pakar Al-Qur‟an yang kemudian melahirkan
pandangan hukum, mempunyai pandangan lain. Kata musyrik atau musyrikīn dan
musyrikāt, digunakan Al-Qur‟an untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan
Allah swt. Mereka adalah para penyembah berhala, yang ketika turunnya AlQur‟an masih cukup banyak, khususnya yang tinggal di Mekah. Walaupun
penganut agama Kristen percaya kepada Tuhan Bapa dan Tuhan Anak, oleh
agama Islam dapat dinilai sebagai orang-orang yang mempersekutukan Allah
swt., namun Al-Qur‟an tidak menamai mereka orang-orang musyrik, tetapi
menamai mreka ahl al-kitāb.
Firman Allah swt.:
           
             

”Orang-orang kafir dari ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada
menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan
121
Abdul Qadir Djaelani, Pertarungan Maraton Yahudi dan Kristen Dengan Islam, Rabitha
Press, Jakarta 2006, hlm. 69.
56
Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar".122
          

“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada
mereka bukti yang nyata,”123
Dari ayat di atas, orang kafir ada dua macam: Pertama yaitu ahl al-kitāb;
dan kedua orang-orang musyrik. Istilah yang digunakan Al-Qur‟an untuk satu
substansi yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang berbeda, yaitu ahl
al-kitāb dan al-musyrikūn. Kata ini bisa dianalogikan seperti kata korupsi dan
mencuri. Walau substansi keduanya sama, yakni sama-sama mengambil sesuatu
yang bukan haknya, tetapi dalam penggunaan biasanya bila pegawai mengambil
yang bukan haknya maka ia adalah koruptor dan bila orang biasa (bukan pegawai)
maka ia dinamai pencuri.124
122
123
QS. Al-Baqarah [2]: 105.
QS. Al-Bayyinah [98]: 1.
124
M. Quraish Shihab, Op., Cit. hlm. 474.
57
BAB III
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM TAFSIR RAWĀI’ AL-BAYĀN
KARYA ALI AL-SHABUNI
A. Pendahuluan
Sejarah penafsiran Al-Qur‟an adalah Islam itu sendiri. Artinya perjalanan
sejarah tafsir Al-Qur‟an sudah sama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam
sebagai agama, sehingga antara keduanya menjadi identik dan dan tak
58
terpisahkan. Aktivitas penafsiran sudah barangtentu dimulai semenjak Nabi
Muhammad saw. menyampaikan risalah Tuhan yang datang dalam bentuk AlQur‟an. Sebagai pembawa risalah maka Nabi Muhammad saw. harus faham dan
mengerti terlebih dahulu atas pesan wahyu125 yang harus disampaikan kepada
umatnya ketika sasaran wahyu (umat) menghadapi kesulitan tertentu dalam
memahami teks wahyu, pasti mereka akan menanyakan langsung isi pesannya
kepada Nabi saw. sebagai penyampai wahyu itu. Jadi, tugas penafsiran merupakan
bagian integral dari tugas risalah. Oleh karena itulah maka Al-Qur‟an sendiri
menjamin bahwa Nabi Muhammad saw. dapat mengikuti bacaan Al-Qur‟an,
penghimpunannya dan penjelasannya, karena tugas Nabi Muhammad saw. di
antaranya adalah “al-bayān” yakni menjelaskan wahyu yang ia sampaikan.
Allah swt. berfirman:
         
“… Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka126 dan supaya
mereka memikirkan,”127
125
Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjuk pada dua pengertian
dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan “wahyu ialah informasi secara
tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.”
Tetapi terkadang juga bermaksud al-muha, yaitu pengertian isim maf’ul, maknanya yang
diwahyukan. Lihat: Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Op. Cit., hlm. 34.
126
Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam
Al- Quran.
127
QS. Al-Nahl [16]: 44
59
Ketika jumlah wahyu yang disampaikan Nabi Muhammad saw. bertambah
banyak, kemudian orang-orang beriman yang menjadi sasaran pembelajaran
wahyu semakin banyak Nabi perlu bantuan orang lain dalam mengembangkan
wilayah jangkauan risalahnya, maka Nabi saw. mendelegasikan sebagian tugasnya
kepada orang-orang terdahulu yang dipercaya untuk daerah-daerah tertentu.
Kemudian sepeninggalan Nabi saw., tokoh-tokoh yang didelegasikan Nabi saw.
sebagai pengajar Al-Qur‟an di wilayah tertentu dengan sendirinya membentuk
pusat-pusat studi Al-Qur‟an. Pada giliran selanjutnya, sebagai akibat perbedaan
guru (qāri’) yang didelegasikan Nabi saw. dalam hal karakter kepribadiannya
yang tentu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula
karena perbedaan tingkat frekuwensi pergaulannya dengan Nabi saw. serta aspekaspek kesejarahan lainnya, maka hal yang sangat niscaya, jika penafsiran seorang
qāri’ dengan qāri’ lainnya menjadi berbeda-beda.
Perbedaan penafsiran dalam banyak hal ditentukan oleh karakter
kepribadian, kapasitas intelektual serta lingkungan mufasirnya. Dengan semakin
banyaknya cabang keilmuan yang berkembang di dunia Islam dengan sendirinya
menjadikan pluralitas penafsiran dan karakternya menjadi semakin terbuka luas
kemungkinannya.128
Dalam sejarah penafsiran Al-Qur‟an, baik klasik maupun modern dalam
menafsirkan dan menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur‟an yang samar,
menerangkan ayat-ayat yang muhkām dan yang mutasyabihāt129, menyingkap
128
Al-Zahabi, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirīn, t.th.,1976, juz. I, hlm. 149.
Dalam kitab Al-Ta‟rifah, Al-Jurzani mendefinisan secara etimologi (bahasa) muhkām
artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (mā
129
60
rahasia-rahasianya, menyingkap keajaiban-keajaibannya dan menyuting atay-ayat
ahkāmnya untuk mengetahui yang halal dan yang haram serta memperhatikan
perintah dan larangannya kemudian menyimpulkan hikmah-hikmah tasyri’nya.
Jika ulama-ulama klasik telah berjasa besar dalam penafsiran Al-Qur‟an
yang
mulia,
lebih-lebih
dalam
penafsiran
ayat-ayat
ahkāmnya,
maka
sesungguhnya tidak sedikit di antara ulama-ulama modern (muta’akhirīn), yang
sibuk dengan langkah serupa, yaitu berusaha memudahkan para pelajar dari
kesulitan, mereka rela mengorbankan tuntutan-tuntutan hidiup yang lain, demi
mendalami, mengajar dan membehas serta membuka pemahaman-pemahaman
baru sesuai ijtihad mereka, maka patutlah usaha mereka itu disyukuri dan
dihargai. Kitab tafsir yang telah tersusun secara sistematis, di mana penyusunnya
sudah memadukan (di dalam kitabnya ini) antara tafsir-tafsir ahkām dari kalangan
mutaqaddimīn dan muta’akhirīn; yaitu kitab “Rawāi’ Al-Bayān Tafsīr Ayāt AlAhkām min Al-Qur’an”, yang disusun oleh Muhammad Ali Al-Shabuni, seorang
Dosen pada Fakultas Syari‟ah dan Dirasat Islamiyah di Mekkah.
B. Biografi Ali Al-Shabuni
1. Potret Kehidupan Awal
Nama lengkap Ali Al-Shabuni adalah Muhammad bin Ali bin Jamil AlShabuni. Beliau lahir di kota Helb Syiria pada tahun 1928 M. Setelah lama
ahkām al-murād bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir). Adapun mutasyābih adalah ungkapan yang
maksud makna lahirnya samar (mā khafiya bi nafs al-lafzh).
Sedangkan menurut istilah ayat-ayat muhkām adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan
gambling, baik melalui takwil (metafora) atau tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyābih adalah ayat
yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluar dajjal
dan huruf-huruf muqaththa’ah. Definisi ini dikemukakan kelompok ahl al-sunnah. Lihat: Rosihon
anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung. 2006, hlm. 125.
61
berkecimpung dalam dunia pendidikan di Syiria, beliaupun melanjutkan
pendidikannya di Mesir, dan merampungkan program Magisternya di Universitas
Al-Azhar mengambil tesis khusus tentang Perundang-undangan dalam Islam atau
Peradilan Syari‟ah pada tahun 1954 M. Kemudian beliau bermukim di Mekkah
dan tercatat sebagai salah seorang staf pengajar tafsir dan Ulumul Qur‟an130 di
Fakultas Syari‟ah dan Dirosat Islamiyah Universitas Malik Abdul Aziz Makkah.
Beliau juga dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur‟an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra
Arab. Abdul Qodir Muhammad Shalih dalam “Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fi al‘Ashri al-Hadīts” menyebutnya sebagai akademisi yang ilmiah dan banyak
menelurkan karya-karya bermutu.
Ali Al-Shabuni pernah aktif dalam gerakan organisasi Ikhwān alMuslimīn. Kelompok ini dikenal sering kontra dengan pemerintahan pada saat itu,
sehingga berbagai aktifitas gerakan organi tersebut selalu mendapat pengawasan
ketat dari pemerintah dan banyak aktifis Ikhwān al-Muslimīn yang dikejar-kejar
oleh pemerintah karena pendapatnya selalu bersebrangan dan mengkritik
kebijakan-kebijakan pemerintah pada saat itu. Dalam pengejaran itu, Ali AlShabuni pernah lari ke Saudí Arabia bersama tiga orang rekannya yang bernama
Abdul Fatah Abu Ghundah seorang pakar Hadis, Abdurrahman Habban Nake
130
Menurut bahasa Ulūm al-Qur’ān adalah ilmu (pembahasan) yang berkaitan dengan
Al-Qur‟an. Sedangkan menurut istilah Manna‟ Al-Qhaththan dalam kitabnya Mabāhits fī Ulūm alQur’ān, mendefinisikan:
ٔ‫ج‬ٞ‫ش ٍؼطفخ أؼجب ة اىْعه ٗجَغ اىقطأُ ٗرطر‬ٞ‫زْبٗه األثحب س اىَزؼيقخ ثبىقطأُ ٍِ ح‬ٝ ٛ‫اىؼيٌ اىص‬
ُ‫ط شىل ٍَب صيخ ثبىقطأ‬ٞ‫ غ‬ٚ‫ ٗاىْب ؼد ٗاىَْؽ٘خ ٗاىَحنٌ ٗاىَزشب ثٔ اى‬ّٜ ‫ ٗاىَس‬ٜ‫ٍٗؼطفخ اىَن‬
“Ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an dari sisi informasi
tentang asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya Al-Qur‟an), kodifikasi dan tertib penulisan Al-Qur‟an,
ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah (makiyyah) dan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah
(madaniyyah), dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Al-Qur‟an.” Lihat: Manna‟ Al-Qaththan,
Mabāhits fī Ulūm al-Qur’ān, Mansyurat al-Ashr al-Hadīts. 1973, hlm. 15-16.
62
seorang ulama yang ayahnya adalah gurunya Ali Al-Shabuni, dan Ali Thanthawi
seorang pakar sejarah Islam. Bersama tiga rekannya, beliau meninggalkan
negaranya menuju Mekkah, kecuali salah seorang rekan beliau yaitu Abdul Fatah
Abu Ghundah yang pergi ke Madinah.
2. Karya-karyanya
Selain sebagai seorang dosen sekaligus aktivis yang mempunyai dedikasi
yang sangat tinggi, beliau juga seorang penulis yang produktif. Adapun di antara
karya-karya beliau yang terkenal antara lain adalah:
a. Al-Mawārits fī al-Syari’ah al-Islāmiyyah ’alā Dha’i al- Kitāb wa alSunnah
b. Al-Nubuwwāh wa al-Anbiyā
c. Min Kunūz as-Sunnah (Dirosat Adabiyah wa Lughowiyah min al-Hadīts
asy- Syarīf)
d. Mukhtashār Tafsīr Ibnu Katsīr
e. Al-Tibyān fī ’Ulūm al-Qur’ān yang ditulisnya pada tahun 1390 H.
Kitab ini ditulis sebagai sumber referensi atau pengantar bagi para
mahasiswa yang pada saat itu diajar oleh Ali Al-Shabuni dalam bidang Ulūm AlQur’an. Sebagaimana halnya kitab-kitab pengantar atau sumber referensi lainnya,
kitab ini juga berisi ringkasan yang membahas Ilmu Al-Qur‟an, Asbāb al-Nuzūl,
Hikmah Turunnya Al-Qur‟an secara berangsur-angsur, Pengumpulan Al-Qur‟an,
Kemukjizatan Al-Qur‟an, Ilmu Tafsir dan Mufasir dan tentang Al-Qur‟an dengan
tujuh huruf dan qira’at yang masyhur.
63
f. Risalāh al-Shalāh
g. Al-Subhat wa al-Bathil Haula Ta’adud Zaujat al-Rasūl saw.
h. Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt al-Ahkām fi al-Qur’an yang ditulisnya
pada tahun 1391 H.
i. Shafwāh al-Tafāsīr.
Shafwāh al-Tafāsīr merupakan kitab tafsir karangan Ali Al-Shabuni.
Beliau menyebutnya sebagai kumpulan tafsir bi al-ma’tsūr dan tafsir bi al-ma’qūl.
Menyinggung alasan penamaan kitabnya ini beliau menjelaskan, “aku menamai
kitabku Shafwāh al-Tafāsīr karena memuat inti dari kitab-kitab tafsir besar yang
ku susun lebih ringkas, tertib, mudah, jelas, dan lugas ". Tafsir-tafsir besar yang
beliau ambil sebagai rujukan: tafsir at-Thabārī131, tafsir al-Kāsyaf132, tafsir AlQurthūbi133, tafsir Ruh al-Ma’ānī134, tafsir Ibnu Katsir135, tafsir Bahr al-Muhīth136,
juga dari beberapa kitab tafsir lain dan buku-buku Ulūm al- Qur’ān.
131
Nama pengarangnya yaitu Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabariy alImâm al-'Allâmah, al-Hâfizh, seorang sejarawah. Beliau lahir tahun 224 H dan wafat 310 H. judul
lengkap kitabnya adalah: Jâmi' al-Bayân Fî Ta`wîl Ayi al-Qur`ân.
132
Nama pengarangnya adalah Abu al-Qasim Mahmud bin ibnu Muhammad ibnu „Umar
bin Muhammad al-Khawarizmi al-zamakhstari, penganut aliran Mu‟tazilah, yang dijuluki
Jaarullah. Nama lengkap tafsirnya: Al-Kasysyāf ‘An Haqā’iq at-Tanzīl Wa ‘Uyūn al-Aqāwīl Fī
Wujūh at-Ta’wīl.
133
Nama pengarangnya adalah Imam Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh alAnshâriy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat tahun 671 H. Nama tafsirnya Al-Jâmi' Li
Ahkâm al-Qur`ân.
134
Nama lengkap al-Alusi adalah Abu Tsana Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi
alAlusi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya‟ban tahun 1217 H di dekat
daerah Kurkh, Iraq. Beliau termasuk ulama besar di Iraq yang ahli ilmu agama, baik di bidang
ilmu usul (ilmu pokok) maupun yang ilmu Furu’ (ilmu cabang). Kitab tafsirnya yang terkenal
adalah: Durrah al-Gawâs fi Awhâm al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs Ruh
al-Ma’ani fi Tafsir al- Qur’an al-`Azîm wa al-Sab’i al-Masani.
135
Nama pengarangnya dalah 'Imâd ad-Dien Abu al-Fidâ` Isma'il bin 'Umar bin Katsir alDimasyqiy al-Syafi'iy, seorang Imam, Hâfizh dan juga sejarawan. Wafat tahun 774 H. Karyanya
yang terkenal adalah Tafsir al-Qur`ân al-'Azhîm.
136
Nama pengarangnya adalah Abu „Abdillah, Muhammad bin Yusuf bin „Ali bin Yusuf
bin Hayyan al-Andalusy al-Gharnathy, yang lebih dikenal dengan nama Abu Hayyan.
Lahir tahun 654 H dan wafat tahun 745 H. Nama kitab tafsirnya adalah al-Bahr al-Muhîth. (atau
sering dikenal dengan Tafsir Abi Hayyan.
64
Dalam
Muqaddimahnya,
Ali
Al-Shabuni
sedikit
mengungkapkan
mengenai proses kreatif penulisan kitab tafsir ini, “aku merampungkan penulisan
kitab ini selama lima tahun siang dan malam. Dan aku tidak menulis sesuatu
dalam kitab tafsir ini kecuali setelah aku benar-benar membaca apa yang ditulis
ulama-ulama tafsir pada kitab mereka. Sekaligus meneliti dengan sungguhsungguh supaya aku bisa menilai mana di antara pendapat mereka yang paling
benar lalu aku mengunggulkannya”. Di antara alasan yang membuat penulis tafsir
ini tergerak untuk menyusun kitab tafsirnya adalah banyaknya kitab tafsir dan
Ulūm al-Qur’ān yang ditulis oleh para ulama, bahkan di antaranya merupakan
kitab-kitab yang “gemuk” dan pastinya sangat berjasa membantu ulama dan
masyarakat dalam memahami Al-Qur‟an secara benar. Namun karena tingkat
pendidikan dan kebudayaan manusia yang berbeda-beda, menjadikan di antara
mereka masih merasa sulit menggapai pesan yang ingin disampaikan seorang
mufassir dalam kitabnya. Oleh karenanya, salah satu solusi mengatasi hal ini,
maka seorang ulama dituntut untuk terus berusaha mempermudah dan
meminimalisir kesulitan dalam kitab tafsirnya, supaya maknanya bisa lebih
terjangkau masyarakat luas.
Syaikh al-Azhar Dr. Abdul Halim Mahmud memberikan komentar tentang
kitab ini, “Shafwāh al-Tafāsīr adalah hasil penelitian penulis terhadap kitab-kitab
besar tafsir, kemudian ditulis ulang dengan mengambil pendapat terbaik dari
kitab-kitab tersebut yang disusun secara ringkas dan mudah”. Begitu pun yang di
sampaikan Dr.Rosyid bin Rojih (‘Amid kuliyyah Syari’ah dan Dirāsat Islāmiyyah
Universitas Malik Abdul Aziz) tentang Shafwāh al-Tafāsīr, “ kitab ini sangat
65
berharga, meringkas apa yang dikatakan ulama-ulama besar tafsir dengan
menggunakan tata bahasa yang sederhana, tekhnik pengungkapan yang mudah
dan lugas, disertai penjelasan dari segi kebahasaannya. Sungguh sangat
memudahkan penuntut ilmu dalam memahaminya”. Adapun metode yang
diterapkan Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya:
1)
Menjelaskan surat Al-Qur‟an secara global, kemudian merinci
maksud-maksud yang terkandung dalam surat tersebut.
2) Menjabarkan hubungan antar ayat sebelum dan sesudahnya.
3)
Pembahasan tentang hal yang berhubungan dengan bahasa, seperti
akar kalimat, dan bukti-bukti kalimat yang diambil dari ungkapan
orang Arab.
4) Pembahasan tentang Asbāb al-Nuzūl.
5) Pembahsan tentang tafsir ayat.
6) Pembahasan ayat dari segi Balaghohnya.
7) Penjelasan faidah-faidah yang bisa dipetik dari suatu ayat.
Di antara karya-karya besar Ali Al-Shabuni, Shafwāh al-Tafāsīr adalah
yang paling banyak mengundang polemik.137
137
Polemik ini lahir terutama saat beliau menafsirkan suatu ayat dengan menggunakan
metode ta’wīl. Misal sebagaimana yang dipaparkan Syeikh Sholih bin Fauzan: ”… ٖٔ‫ ٍِ أؼيٌ ٗج‬ٚ‫ثي‬
‫ ”…هلل‬Dalam menafsirkan ayat ini Ali Al-Shabuni mengutip pendapat dari Imam Al-Razi dalam
tafsirnya Tafsīr Kabīr yang menakwilkan “ٔ‫ ”اى٘ج‬dengan “‫ ”اىْفػ‬, maka makna ayat ini menurut alRazi: “ memasrahkan diri untuk selalu taat kepada Allah swt.” 137. Dengan mengambil justifikasi
dari ayat: “ ٖٔ‫ء ٕبىل اال ٗج‬ٜ‫“مو ش‬. Ini hanya satu dari tafsir ayat yang disentil oleh Syeikh Shalih bin
Fauzan salah seorang ulama Saudi yang menyebut ta’wīl pada ayat ini sebagai ta’wīl bathil karena
ta’wīl al-wajh dengan makna al-Dzat (sebagaimana manusia) sama dengan meniadakan sifat Allah
swt. yang telah pasti. Untuk juz 1 saja Syeikh Sholih bin Fauzan mencatat 54 kesalahan dari
berbagai macam disiplin ilmu (termasuk fiqh). Keseluruhan kesalahan syeikh „Ali Ash-Shabuni
dalam Shofwah at-Tafasir beliau rangkum dalam kitabnya “Al-bayān li Akhtho’i Ba’dhi al-Kitāb”.
Masuk dalam barisan panjang ulama penolak tafsir ini di antaranya: Syeikh Muhammad Jamil
Zainu (pengajar tafsir di Universitas Darul Hadits Makkah), Syeikh Sa‟ad Dzullam, Syeikh Bakr
66
C. Seputar Kitab Tafsir Rawāi’u al-Bayān
1. Sejarah penulisan
Mengenai spesifikasi dalam penulisan kitab tafsir Rawāi’ Al-Bayān, Ali
Al-Shabuni sendiri mengatakan:
“Dan saya hidup dalam lingkungan yang mulia ini beberapa waktu
lamanya yaitu kurang lebih dalam sepuluh tahun, sehingga aku berhasil
menyusun sejumlah kitab dan yang terakhir adalah kitab ini, yang kuberi
nama “ Rawāi’ Al-Bayān fī Tafsīri Ayāt Al-Ahkām min Al-Qur’an”, yang
kujadikan dua jilid dan kuhimpun di dalamnya “khusus ayat-ayat ahkām”
dengan metode ilmiah dengan mengkompromikan antara sistematika lama
dalam hal kebagusannya dan sistematika baru dalam hal kemudahannya.
Barangkali metode yang saya pergunakan ini adalah baru lagi sederhana,
di mana saya berusaha untuk menampilkan susunan yang lembut dengan
ketelitian yang mendalam.”
Selanjutnya Ali Al-Shabuni juga menyatakan bahwa dalam penulisan kitab
tafsirnya ini bukan hasil jerih payahnya pribadi, melainkan ditulis sebagai ikhtisar
(ringkasan) dari pemikiran para ahli tafsir yang tersohor, baik yang lama maupun
yang baru dan hasil dari perasaan otak-otak yang luar biasa dari para ulama, di
Abu Zayd yang masing-masing mengungkapkan kritik dan penolakannya dengan menerbitkan
buku. Dalam buku besarnya “Ar-Rudūd”, Syeikh Bakr Abu Zayd menyorot perilaku Ali AlShabuni yang mengumpulkan penafsiran dari penafsir-penafsir besar dengan latar belakang
ideologi berbeda dalam satu kitab tafsir, seperti Zamakhsyari yang Mu’tazili, Ibnu Katsir dan alThabary yang Salafī, Ar-Rozy yang Asy’ari, Thibrsy yang Rhofidhy. Aksi penolakan ulama-ulama
besar Saudi ini mau tidak mau memaksa pihak kementrian Badan Waqaf Kerajaan Saudi Arabia
pada waktu itu menurunkan perintah pelarangan beredarnya kitab ini. Juga surat edaran dari
direktur umum badan waqaf dan masjid di Riyadh bernomor: 945/2/ 1408 /4/16 ٜ‫ ف‬,‫ ص‬H melarang
penyebaran dan memperbanyak kitab tafsir ini sampai ada perbaikan permasalahan ideologi di
dalamnya. Memang benturan ideologi dalam tafsir ini tidak bisa elakan, karena pada saat Ali AlShabuni menggunakan penafsiran khas Salafy yang mempraktekan metode “Tafwidh Ilallah”
(khususnya ketika beliau merujuk tafsir dari Ibnu Katsir). Dan pada saat kita akan melihat beliau
mengambil penafsiran khas Asy‟ari yang menggunakan metode “ta’wīl” (khusunya ketika beliau
mengambil tafsir dari Ar-Razi). Namun untuk Mu‟tazilah beliau menjelaskan tidak mengambil
dari Zamakhsyari kecuali penjelasan tentang masalah bahasa saja. Kenyataan ini membuat penulis
sulit mengira-ngira apa gerangan ideologi „Ali Ash-Shabuni. Terlepas dari permasalahan ideologi
Ali Al-Shabuni, Dr. Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, “ikhtiyārul mar’i qith’atun min
aqlihī” maka lanjut beliau lagi, bisa dikatakan apapun yang dipilih dan diambil Ali Al-Shabuni
dari kitab-kitab tafsir besar merupakan persetujuan beliau terhadap penafsiran-penafsiran
itu.(dikutip dari makalah yang dipresentasikan oleh: Shofiyullah dkk, pada mata kuliah Membahas
Kitab Tafsir, Semester Tiga)
67
antaranya yaitu: ahli fiqih, ahli Hadis, ahli bahasa, ahli ushul dan ahli-ahli tafsir
Al-Qur‟an dan penyimpul hukum-hukum yang dikandungnya dan lain-lainnya
dari mereka semua yang telah menulis tentang Al-Qur‟an.
2. Metodologi penafsiran
Untuk melihat seberapa jauh metodologi sebuah tafsir, maka penulis
mengambil pada tiga bagian yang dikemukakan oleh Fahd al-Rûmi, yaitu
membagi metodologi tafsir menjadi tiga bagian.138
a) Sumber Tafsir Rawāi’ al-Bayān
Sumber penafsiran yang dimaksud di sini adalah acuan dasar sebagai
tempat mufasir menggali bahan-bahan untuk bangunan penafsirannya. Tentang
hal ini, para mufassir dalam sejarahnya memilih acuannya sesuai dengan
mainstream pemikiran zamannya di samping minat individualnya. Akibatnya, ada
mufasir yang lebih mengunggulkan teks dasar Islam seperti: Al-Qur‟an, Hadis
atau Atsar pada umumnya (biasa disebut ma’tsūr)139, tetapi juga ada yang lebih
mengunggulkan sumber atau acuan lain seperti israiliyat 140, syair Arab klasik,
138
Fahd Ibnu „Abd al-Rahmân Ibnu Sulaimân al-Rûmi, Usûl al-Tafsîr wa Manâhijuhu,
Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1992, hlm. 55.
139
Tafsîr bi al-Ma’tsûr adalah:
ِ‫ْط‬ِٞ‫ شُ ُط ْٗطِ اىَُْ َفؽِطِ ٍِِْ رَ ْفؽ‬ِٚ‫د ؼَبثِقًب ف‬
ْ ‫ شُمِ َط‬ِٚ‫ْحِ اىََْ ْ ُقْ٘هِ ثِبىَُْطَا ِرتِ اىَز‬ِٞ‫ صَح‬َٜ‫َؼْزََِسُ ػَي‬ٝ ِٙ‫َُٕ٘ اىَص‬
ِ‫ ػَِِ اىصَحَبثَخِ ِألٌََُّْٖ اَػْيٌَُ اىَْبغِ ثِنِزَبةِ اهلل‬َٙٗ‫َِْخُ اىْنِزَبةِ اهللِ َاْٗ ثََِب َض‬َٞ‫ُ َٗ ثِب ْىؽَُْخِ ِألَََّٖب جَب َءدْ ث‬
ِ ‫اىْقُطْآ‬
.ِ‫َِْ ِألٌََُّْٖ رَيْ َقْ٘ا شَِىلَ ػَِْ غَبىِجَب اىصَحَبثَخ‬ِٞ‫َاْٗ ثََِب مِجَبضُ اىزَبثِؼ‬
“Yaitu suatu tafsir yang didasarkan pada dalil-dalil, yang dinukilkan dengan shahîh secara
tertib, dengan menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dan sunah yang berfungsi sebagai penjelas
dari al-Qur‟an, dengan perkataan para sahabat, karena merekalah yang paling mengetahui al-Qur‟an
atau yang dikatakan oleh tabi‟in, karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.” Lihat:
Manna‟ Al-Qaththan, Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr, 1973, hlm.
347.
140
Berita-berita yang diceritakan ahl al-kitāb yang masuk Islam itulah yang dinamakan
israiliyat, mengingat bahwa yang paling dominan adalah pihak Yahudi, bukan Nasrani. Sebab
penukilan dari orang Yahudi lebih banyak jumlajnya karena interaksi mereka dengan kaum
68
ilmu-ilmu keislaman, atau bahkan penemuan-penemuan dibidang sosial yang
kemuanya ini masuk wilayah non atsar (biasa disebut ra’yu)141. Keadaan
menunjukan bahwa sumber bahan penafsiran merupakan satu variabel dalam studi
tafsir yang antara satu mufasir dengan mufasir lainnya saling berbeda.142
Penjelasan-penjelasan (tafsir-tafsir) yang dinukilkan dari Rasulullah saw.
itulah pokok pertama bagi sumber penafsiran Al-Qur‟an. Mengenai penafsiran
dengan tenaga ijtihad (bi al-ra’yi), para sahabat berselisihan. Sebagian sahabat
dalam menafsirkan Al-Qur‟an hanya berpedoman kepada riwayat semata, tidak
mau menggunakan ijtihad.
Sebagian yang lain, di samping menafsirkan ayat dengan hadis-hadis dari
Nabi saw. mereka juga menafsirkan dengan ijtihad. Tegasnya, di samping mereka
menafsirkan dengan atsar, mereka juga menafsirkan Al-Qur‟an dengan
berpegangan kepada kekuatan bahasa Arab, asbāb al-nuzūl, dan pendapat para
‟ulama (ra’yi).143
muslimin telah dimulai semenjak kelahiran Islam terutama pasca hijrah ke Madinah. Ibid., hlm.
444.
141
Tafsîr bi al-Ra’yi ialah:
ِ‫ اىؽََْخِ اىضَبثِزَخ‬ِٚ‫ة َٗالَ ف‬
ِ ‫ اىْنِزَب‬ِٚ‫َبِِّٔ الَ ف‬َٞ‫ ث‬َٚ‫َقْصُ ُسَُْٗ اِى‬ٝ ‫َبُِ ٍَب‬َٞ‫ْئٍ ٍِِْ ث‬َٞ‫ظْفَ ُطْٗا ِثش‬َٝ ٌَْ‫فَإُِْ ى‬
َ‫ٌَُْٖ ثَؼْس‬ْٝ‫َِْ اِجْزَِٖ ُسْٗا ضَأ‬ِٞ‫َخِ ٍِِْ أَ ْقَ٘اهِ اىصَحَبثَخِ َأِٗ اىزَبثِؼ‬ِٞ‫ اىََْأُْصْ٘ضِ اىصَبىِحِ ىِيْحُّج‬ِٚ‫َٗالَ ف‬
ِ‫َحَُِْيْ٘ا ٍُفْطَزَاد‬ٝ َُْ‫ شَِىلَ ا‬ِٚ‫َِْ ف‬ِٞ‫ْوِ اىْؼُُيْ٘ ًِ َٗ َرَ٘فُطِ اىََْيَنَبدِ اىّالَظٍَِخِ ِىّالِجْزَِٖبزِ ٍُ َزَ٘ذ‬ِٞ‫رَصْح‬
َ‫ ٍَبىٌَْ رَصْطِفْ قَطَائُِِ ػَِْ رِ ْيل‬,ً‫ظَ٘إِطَِٕب اىَُْزَجَبزِ َضحِ ٍِ َْٖب ىُغَخ‬
َ َٚ‫ْجِِٔ ػَي‬ِٞ‫ُ َٗرَطَام‬
ِ ‫اىْقُطْآ‬
.ِ‫ظَ٘إِط‬
َ ‫اى‬
“Bila Ulama (ahli sunnah wa al-Jamaah) dalam menafsirkan ayat tidak menemukan salah
satu dari empat bentuk Tafsîr bi al-Ma‟tsûr yang dapat dijadikan sebagai penafsirnya, maka mereka
menafsirkannya dengan Ijtihad. Dimana, mereka berijtihad setelah syarat-syaratnya terpenuhi dan
berusaha menafsirkan kosa-kata al-Qur‟an dan susunan ayatnya sesuai dengan makna literal yang
mudah dipahami, selama tidak ada indikator-indikator yang memalingkannya dari makna literal itu.”
Lihat: Ibrâhîm Syu‟aib Z, Op. Cit., hlm. 27.
142
Muhammad Yusuf, MA, Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu), Teras,
Yogyakarta. 2004, hlm. 13.
143
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 208.
69
Jika dilihat dari sumber penafsiran yang digunakan oleh Ali Al-Sahabuni
dalam kitab tafsir Rawūi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’an-nya,
terlihat jelas bahwa beliau lebih banyak menggunakan ijtihad (ra’yu) atau lebih
tepatnya sering mengutip pendapat para ulama fiqh dan mufasir terdahulu dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang dimaksud untuk menguatkan penafsiran
beliau sendiri. Hal ini diakui sendiri oleh Ali Al-Shabuni dalam muqadimah kitab
tafsir ini, beliau mengatakan bahwa:
‫ فحؽت ثو‬ٜ‫ اىشرص‬ٛ‫ ٕصا اىنزبة ٍِٕ٘ جٖس‬ٜ‫ؽذ أظػٌ أُ ٍب جبء ف‬ٞ‫ٗى‬
‫ ٗرْبط ألز ٍغخ‬,‫ش‬ٝ ‫ٌ ٗاىحس‬ٝ ‫ اىقس‬ٜ‫ِ ف‬ٝ‫طاىَفؽط‬ٕٞ‫ٕ٘ذّالصخ الضاء ٍشب‬
‫ ذس ٍخ‬ٚ‫ ؼٖطد ػي‬,ِٝ‫ ٗجٖب ثص ح اىَفؽط‬,‫ججب ضح ٍِ فغبحو اىؼيَبء‬
,ٛ٘‫ ٗاىيغ‬,‫ ٗاىَحس س‬,ٔ‫ اىفق‬:ٌٍْٖ ‫ع اثزغبء ٗجٔ اهلل‬ٝ‫اىنزبة اىؼع‬
‫طٌٕ ٍَِ مزج٘ا‬ٞ‫ ٗغ‬ ً‫ ٗاىَؽزْجظ ىألحنب‬,‫ ٗاىَفؽط ىنزبة اهلل‬,ٜ‫ٗاالص٘ى‬
..ٌٞ‫ اىقطاُ اىؼظ‬ٜ‫ف‬
”Saya tidak pernah beranggapan, bahwa apa yang ada dalam kitab ini adalah
hasil jerih payahku pribadi, tetapi ia merupakan ikhtisar dari fikiran-fikiran
ahli-ahli tafsir yang tersohor, baik yang lama maupun yang baru dan hasil dari
perasaan otak-otak yang luar biasa dari para Ulama‟, ahli-ahli tafsir yang
tidak pernah tidur demi berkhidmat kepada kitab suci, karena menginginkan
ridho Allah, di antranya yaitu: ahli fiqh, ahli hadits, ahli bahasa, ahli ushul
dan ahli-ahli tafsir kitabullah dan penyimpul hukum-hukum yang
dikandungnya dan lain-lainnya dari mereka semua yang telah menulis tentang
kitabullah al-Azhim.”144
Pernyataan Ali Al-Shabuni tersebut jelas-jelas menunjukan bahwa beliau
memposisikan pendapat para fuqahā’ sebagai penafsirannya dan mentarjih
pendapat yang benar menurut beliau. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan
144
Ali Al-Shabuni, Muqadimah Rawūi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’an,
juz 1, hlm. 9.
70
tentang batas minimalnya maskawin atau mahar. Beliau mengutip pendapat ulama
fiqh sebagai berikut:
1) Ada yang berpendapat, setidaknya seperempat dinar sebagai maskawin.
Yang berpendapat demikian, ialah: Madzhab Malik.
2) Ada juga yang berpendapat, setidaknya satu dinar sebagai maskawin,
yaitu pendapat Abu Hanifah.
3) Bahkan ada pula yang berpendapat, tidak terbatas. Apapun yang
kiranya ada harganya, boleh digunakan untuk maskawin. Yang
berpendapat demikian yaitu adalah: Madzhab Syafi‟i dan Ahmad.
Setelah Ali Al-Shabuni membandingkan dan mengkompromikan pendapat
ulama madzhab fiqh tentang batasan pemberian maskawin, dalam penafsirannya
kemudian beliau mengambil pendapat ulama Madzhab Syafi‟iyyah dan
Hambaliyah yang menurut Ali Al- Shabuni sebagai pendapat yang paling kuat.145
Karena sebagian besar penafsirannya berorientasi kepada rasio (ra’yu),
maka tafsir Rawāi’ al-Bayān dapat dikategorikan kepada tafsir bi al-ra’yi,
meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (Al-Qur‟an dan
Hadis).
b) Metode Tafsir Rawāi’ al-Bayān 146
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut Al-Farmawi, dapat
diklasifikasikan menjadi empat: pertama, metode Tahlili, di mana dengan
menggunakan metode ini mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang
145
Ali Al-Shabuni, Ibid., hlm. 357-358.
Istilah yang sering digunakan ialah manhāj, yaitu kerangka kerja (framework) atau
alur yang ditempuh seorang mufassir, dan mesti dibedakan dengan istilah ittijāh yang dapat
diartikan kecenderungan yang meliputi: pola pikir, analisis, mazhab, persepsi. Lihat: Muhammad
Yusuf, Op. Cit., hlm. 31.
146
71
dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur‟an dan mengungkapkan segenap pengertian
yang dituju.147 Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan
pengertian secara luas dari ayat-ayat Al-Qur‟an. Kedua, metode Ijmali (global),
yaitu ayat-ayat Al-Qur‟an dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya
saja, contoh yang sangat kecil adalah tafsir Jalālain, ketiga, metode maudhū’i dan
keempat, metode muqaran.148
Adapun metode yang diterapkan Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ alBayān yaitu menghimpun “khusus ayat-ayat ahkām” dengan metode maudhū’i
(tematik) secara ilmiah dengan mengkompromikan antara sistematika lama dalam
hal kebagusannya dan sistematika baru dalam hal kemudahannya.
Tema-tema yang ditentukan oleh Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya adalah
mengenai atau yang berkaitan dengan hukum fiqh yang kemudian dilengkapi
dengan ayat-ayat yang mendukung pada tema-tema tersebut.
Berikut ini adalah tema-tema beserta ayat-ayat Al-Qur‟an yang dipilih Ali
Al-Shabuni:
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nama Bab (Tema Pembahasan)
Ayat Al-Qur’an
Tafsir surat Al-Fatihah
QS. Al-Fatihan : 1-7
Pandangan Syari‟at tentang Sihir
QS. Al-Baqarah: 101-103
Nasikh Mansukh dalam Al-Qura‟an
QS. Al-Baqarah: 106-108
Menghadap Ka‟bah dalam Shalat
QS. Al-Baqarah: 142-145
Sa‟i antara (bukit) Shafa dan Marwah
QS. Al-Baqarah: 158
Hukum menyembunyikan ilmu agama
QS. Al-Baqarah: 159-160
Halalnya makanan yang baik dan QS. Al-Baqarah: 172-173
haramnya makanan yang buruk
Hukum Qishas
QS. Al-Baqarah: 178-179
Kewajiban puasa bagi umat Islam
QS. Al-Baqarah: 183-187
Haji dan Umrah
QS. Al-Baqarah: 190-195
147
„Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i, Kairo: Dar AlKutub Al-„Arabiyah, 1976, hlm. 18.
148
Muhammad Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 34.
72
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Syariat perang dalam Islam
Perang di Bulan Muharam
Haramnya khamr (arak) dan perjudian
Mengawini wanita musyrikin
Menjauhi istri pada waktu haidh
Larangan banyak bersumpah
Thalaq dalam Islam
Hukum menyusui
’Iddah bagi yang ditinggal mati
Meminang wanita dan haknya untuk
memita mahar
Bahaya riba bagi kehidupan sosial
Larang mengangkat orang kafir sebagai
pemimpin
Kewajiban haji dalam Islam
Poligami dan hikmahnya dalam Islam
Pengelolaan harta anak yatim
Wanita-wanita yang diharamkan dikawini
Cara-cara mengatasi syiqaq /Perselisihan
antar suami-istri
Larangan shalat bagi yang mabuk dan
junub (berhadas besar)
Tentang pembunuhan dalam Islam dan
hukumannya
Shalat khauf
Makanan yang halal dan haram
Wudhu dan tayamum
Had (hukum) pencuri dan penyamun
Kifarat sumpah dan pengharaman khamr
dan perjudian
Memakmurkan masjid
Larangan orang musyrik memasuki
masjidil haram
Hukum harta rampasan perang
Mundur (kabur) dari medan perang
Cara
pembagian
ghanimah
(harta
rampasan perang)
Taqarrub kepada Allah dengan shadaqah
qurban
Had dalam syari‟at Islam
Qodzaf (menuduh zina)
Li‟an (saling malaknat) antara suami istri
Fitnah (cerita bohong)
Adab-adab Isti’dzan (meminta izin) dan
berkunjung
QS. Al-Baqarah: 196-203
QS. Al-Baqarah: 116-218
QS. Al-Baqarah: 219-220
QS. Al-Baqarah: 221
QS. Al-Baqarah: 222-223
QS. Al-Baqarah: 224-227
QS. Al-Baqarah: 228-231
QS. Al-Baqarah: 233
QS. Al-Baqarah: 234
QS. Al-Baqarah: 235-237
QS. Al-Baqarah: 275-281
QS. Ali Imran: 28-29
QS. Ali Imran: 96-87
QS. An-Nisa: 1-4
QS. An-Nisa: 5-10
QS. An-Nisa: 19-24
QS. An-Nisa: 34-36
QS. An-Nisa: 42
QS. An-Nisa: 92-94
QS. An-Nisa: 101-107
QS. Al-Maidah: 1-4
QS. Al-Maidah: 5-6
QS. Al-Maidah: 33-40
QS. Al-Maidah: 89-92
QS. At-Taubah: 17-18
QS. At-Taubah: 28-29
QS. Al-Anfal: 1-4
QS. Al-Anfal: 15-18
QS. Al-Anfal: 41
QS. Al-Hajj: 36-37
QS. An-Nur: 1-3
QS. An-Nur: 4-5
QS. An-Nur: 6-10
QS. An-Nur: 22-26
QS. An-Nur: 27-29
73
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
Hijab dan melihat lain jenis
Anjuran kawin dan menghindari melacur
Minta izin masuk kamar orang tua pada
waktu-waktu tertentu
Makan di rumah keluarga
Taat kepada kedua orang tua
Pengangkatan anak (adopsi) dizaman
jahiliyah dan Islam
Warisan untuk dzawil arham
Talak sebelum disentuh
Beberapa hukum tentang perkawinan Nabi
saw.
Di antara tata krama dalam walimah
Shalawat atas Nabi saw.
Hijab wanita muslimah
Hukum patung dan gambar
Kedudukan hilah dalam syari‟at
Perang dalam Islam
Membetalkan amal yang sedang dalam
pelaksanaan
Mencari kebenaran berita
Hukum menyentuh mush-haf Al-Qur’an
Dhihar dan kaffaratnya dalam Islam
Berbicara dengan Rasulullah saw.
Perkawinan antar agama
Shalat jum‟at dan hukum-hukumnya
Hukum-hukum talak
Hukum-hukum iddah
Membaca Al-Qur‟an
QS. An-Nur: 30-31
QS. An-Nur: 32-34
QS. An-Nur: 57-60
QS. An-Nur: 61
QS. Luqman: 12-15
QS. Al-Ahzab: 1-5
QS. Al-Ahzab: 6
QS. Al-Ahzab: 49
QS. Al-Ahzab: 50-52
QS. Al-Ahzab: 53-54
QS. Al-Ahzab: 56-58
QS. Al-Ahzab: 59
QS. Saba‟: 10-14
QS. Shad: 41-44
QS. Muhammad: 4-6
QS. Muhammad: 33-35
QS. Al-Hujarat: 6-10
QS. Al-Waqi‟ah: 75-87
QS. Al-Mujadillah: 1-4
QS. Al-Mujadillah: 11-13
QS. Al-Mumtahanah: 10-13
QS. Al-Jum‟ah: 9-11
QS. Ath-Thalaq: 1-3
QS. Ath-Thalaq: 4-7
QS. Al-Muzammil: 1-10
Dari susunan tema dan urutan surat pada penafsiran Ali Al-Shabuni dalam
tafsirnya, maka dapat dilihat bahwa beliau menyusunnya secara tertib (tartīb
mush-hafi), yaitu berdasarkan urutan surat dalam Mush-haf Utsmāni.
Dalam menafsirkan Al-Qur‟an, Ali Al-Shabuni lebih dahulu menuliskan
ayat Al-Qur‟an yang akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan
mengemukakan pemikirannya yang didukung dengan dalil-dalil (Hadis) atau ayat
Al-Qur‟an yang berhubungan dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia
74
tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau ada
riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya, dan kalau tidak
ada riwayat ia akan tetap melakukan penafsirannya.
Inilah sedikit di antara metode yang ditempuh Ali Al-Shabuni dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an. Ali Al-Shabuni menyadari benar atas apa yang
dilakukannya. Sejak awal dalam muqaddimah kitab tafsirnya, Ali Al-Shabuni
telah menentukan metode yang akan diikutinya dalam penafsirannya tersebut.
Kalaupun ada kelemahan dalam metode penafsirannya, itu hanyalah hasil jerih
payah atau buah pemikirannya sendiri.149
c) Corak Tafsir Rawāi’ al-Bayān
Kajian tentang corak penafsiran yang telah dilakukan oleh para ulama ahli
tafsir memberikan kategori dalam beberapa corak yang berkembang dan tumbuh
seiring dengan keragaman ilmu yang dimiliki para mufasir dalam karyanya
sehingga sampai pada bentuk yang ada sekarang. Seperti corak sufistik, fiqh,
falsafi, ilmi dan adabi-ijtima’i.150
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, Ali Al-Shabuni memiliki
kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik yaitu dengan
menggunakan pendekatan fiqh. Hal ini dengan mudah dapat terlihat jelas dari
nama kitab tafsir tersebut, yaitu Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min alQur’ān. Kata al-ahkām mengisyaratkan dua hal; Pertama, bahwa ayat-ayat yang
ditafsirkan dalam karyanya ini hanyalah ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
149
150
Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 9.
Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 165.
75
hukum saja. Kedua, bahwa corak fiqh sangat dominan dijadikan pisau analisis
dalam menafsirkan ayat yang dimaksud.
Secara umum dari aspek corak ini, dapat dikatakan bahwa beliau
menjelaskan kandungan ayat-ayat hukum secara cermat beserta makna-makna
yang dimaksud oleh ayat tersebut, dengan struktur dan gaya penulisan atau
penafsiran yang sistematis, yang diiringi dengan kesimpulan-kesimpulan hukum,
sehingga menampilkan Al-Qur‟an sebagai sumber hukum bagi manusia yang
begitu indah.
Corak penafsiran yang ditonjolkan oleh Ali Al-Shabuni dalam
penafsirannya adalah dengan memahami ayat-ayat hukum sebagai langkah utama,
menangkap maksud-maksud ayat secara cermat. Kemudian mengungkapkan isi
kandungan petunjuk hukum yang terkandung di dalamnya, dengan bahasa lugas
dan ringkas yang mudah difahami oleh pembaca.
Sebagai contoh ketika Ali Al-Shabuni menafsirkan tentang hukum
menyentuh Mush-haf Al-Qur’an. Allah swt. berfirman:
   
”Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”.151
Dalam menafsirkan ayat ini, Ali Al-Shabuni mengkompromikan antara
pendapat fuqahā’ yang membolehkan dan melarang menyentuh mush-haf AlQur’an. Dari penafsiran masalah fiqh ini, terlihat beliau sependapat dengan ulama
yang melarang. Di antaranya pendapat Ibnu Taimiyah dan kesepakatan para
151
QS. Al-Waqi‟ah [56]: 79.
76
fuqaha‟ lainnya, yaitu diharamkannya menyentuh mush-haf Al-Qur’an bagi orang
yang berhadas, baik karena junub, haidh, nifas ataupun batal wudhunya, karena
mereka itu dinilai tidak suci.152
Bila dicermati dari contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan
betapa Ali Al-Shabuni banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang
menjadikan tafsir ini masuk kedalam jajaran tafsir yang bercorak hukum (fiqh). Di
sisi lain, dari contoh tersebut juga terlihat bahwa Ali Al-Shabuni sesuai dengan
apa yang dianut Mazhab Syafi‟i, walaupun tidak sepenuhnya berpegang teguh
dengan madzhabnya.
3. Sistematika Tafsir Rawāi’ al-Bayān
Menurut Amin Al-Khuli dalam kitabnya Manāhij Tajdīd, dalam kaitannya
dengan sistematika penyusunan kitab tafsir, perlu diketahui adanya tiga
sistematika penyusunan tafsir yang dikenal dikalangan para ulama ahli tafsir,
yaitu: tartīb mush-hafi153, tartīb nuzūli154 dan tartīb maudhū’i.155
Secara umum sistematika penulisan yang ditempuh oleh Ali Al-Shabuni
dalam kitabnya ini, adalah tartīb maudhū’i (urutan sesuai tema) atau sistematika
penyusunan kitab tafsir dengan mengambil ayat-ayat hukum saja dalam tartīb
mush-hafi.
152
Ali Al-Shabuni., Op. Cit., hlm. 411-412.
Yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan
surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas.
154
Yaitu dalam menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan pada kronologis turunnya surat-surat
al-Qur‟an, contoh mufassir yang menggunakan sistrematika ini adalah Muhammad „Izzah
Daewazah dengan tafsirnya yang berjudul al-Tafsīr al-Hadīts.
155
Yaitu menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan topic-topik terterntu dengan mengumpulkan
ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topic tertentu yang kemudian dilanjutkan dengan
penafsiran. Lihat: Muhammad Yusuf, Op. Cit., hlm. 107.
153
77
Dalam kelompok ayat-ayat hukum biasanya muncul tema-tema hukum
yang pembahasan hukum itu akan berulang sesuai tartīb mush-hafi. Pendekatan
ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suatu ayat dengan memberikan
sejumlah ayat-ayat lain yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya.
Namun, secara umum ia tidak keluar dari sistematika mush-hafi.
Kitab Tafsir Rawūi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’an ini
terdiri dari dua jilid, yang semuanya memuat tujuh puluh bab (al-muhadharah
dalam istilah penulisannya) dengan rincian jilid pertama memut empat puluh bab,
dan jilid kedua tiga puluh bab, bab-bab tersebut adalah:156
1. Tafsir surat al-Fatihah
2. Pandangan Syari‟at tentang sihir
3. Nasīkh Mansūkh dalam Al-Qura‟an
4. Menghadap Ka‟bah dalam Shalat
5. Sa‟i antara (bukit) Shafa dan Marwah
6.
Hukum menyembunyikan ilmu agama
7. Halalnya makanan yang baik dan haramnya makanan yang buruk
8. Hukum Qishās
9. Kewajiban puasa bagi umat Islam
10. Syariat perang dalam Islam
11. Haji dan Umrah
12. Perang di Bulan Muharam
13. Haramnya khamr (arak) dan perjudian
156
Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 490-496
78
14. Mengawini wanita musyrikin
15. Menjauhi istri pada waktu haidh
16. Larangan banyak bersumpah
17. Thalaq dalam Islam
18. Hukum menyusui
19. ‟Iddah bagi yang ditinggal mati
20. Meminang wanita dan haknya untuk memita mahar
21. Bahaya riba bagi kehidupan sosial
22. Larang mengangkat orang kapair sebagai pemimpin
23. Kewajiban haji dalam Islam
24. Poligami dan hikmahnya dalam Islam
25. Pengelolaan harta anak yatim
26. Wanita-wanita yang diharamkan dikawini
27. Cara-cara mengatasi syiqaq /Perselisihan antar suami-istri
28. Larangan shalat bagi yang mabuk dan junub (berhadas besar)
29. Tentang pembunuhan dalam Islam dan hukumannya
30. Shalat khauf
31. Makanan yang halal dan haram
32. Wudhu dan tayamum
33. Had (hukum) pencuri dan penyamun
34. Kifarat sumpah dan pengharaman khamr dan perjudian
35. Memakmurkan masjid
36. Larangan orang musyrik memasuki masjidil haram
79
37. Hukum harta rampasan perang
38. Mundur (kabur) dari medan perang
39. Cara pembagian ghanimah (harta rampasan perang)
40. Taqarrub kepada Allah dengan shadaqah qurban
41. Had dalam syari‟at Islam
42. Qodzaf (menuduh zina)
43. Li‟an (saling malaknat) antara suami istri
44. Fitnah (cerita bohong)
45. Adab-adab Isti’dzan (meminta izin) dan berkunjung
46. Hijab dan melihat lain jenis
47. Anjuran kawin dan menghindari melacur
48. Minta izin masuk kamar orang tua pada waktu-waktu tertentu
49. Makan di rumah keluarga
50. Taat kepada kedua orang tua
51. Pengangkatan anak (adopsi) dizaman jahiliyah dan Islam
52. Warisan untuk dzawil arham
53. Talak sebelum disentuh
54. Beberapa hukum tentang perkawinan Nabi saw.
55. Di antara tata krama dalam walimah
56. Shalawat atas Nabi saw.
57. Hijab wanita muslimah
58. Hukum patung dan gambar
59. Kedudukan hilah dalam syari‟at
80
60. Perang dalam Islam
61. Membetalkan amal yang sedang dalam pelaksanaan
62. Mencari kebenaran berita
63. Hukum menyentuh mush-haf al-Qur’an
64. Dhihar dan kaffaratnya dalam Islam
65. Berbicara dengan Rasulullah saw.
66. Perkawinan antar agama
67. Shalat jum‟at dan hukum-hukumnya
68. Hukum-hukum talak
69. Hukum-hukum iddah
70. Membaca al-Qur‟an
Dari semua pembahasan pada bab-bab di atas, Ali Al-Shabuni
mencantumkan pada setiap babnya dengan beberapa ayat Al-Qur‟an, Hadis,
pendapat ahli fiqh dan lainnya yang mendukung pada tema-tema penafsirannya,
yang kemudian oleh Ali Al-Shabuni menempuh cara pengelompokan ayat-ayat
yang masih dalam suatu konteks pembicaraan mengenai hukum.
Dalam penafsirannya, Ali Al-Shabuni menggunakan beberapa tahapan
sehingga membuat tafsir yang ditulisnya sangat sistematis. Cara yang digunakan
oleh Ali Al-Shabuni ini adalah baru lagi sederhna, dimana beliau berusaha untuk
menampilkan susunan yang lembut dengan ketelitian yang mendalam dengan
menitik beratkan pada sepuluh tahapan sebagai berikut:157
157
Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 8.
81
a. Uraian secara lafzhi (lafal) dengan berpegangan atas pandangan ahliahli tafsir dan ahli-ahli balaghah (bahasa)
b. Arti global dari ayat-ayat yang mulia itu dengan bentuk cetusan (tanpa
sumber pengambilan-pen.)
c. Sabāb al-nuzūl, jika ayat memang ada sabāb al-nuzūlnya
d. Segi kaitan (hubungan) di antara ayat-ayat yang terdahulu dan ayat-ayat
yang berikutnya
e. Pembahasan ayat dari segi bacan-bacaan yang mutawātir
f. Pembahasan dari segi i’rāb (Nahwu dan Sharaf) dengan cara ringkas
g. Tafsir, yang meliputi segi-segi rahasia-rahasianya, fa‟idah-fa‟idah dari
segi ilmu Balaghah dan kelembutan-kelembutan ilmiahnya
h. Hukum-hukum syar’i (yang dikandung) dan dalil-dalil fuqahā’ serta
tarjih di antara dalil-dalil mereka
i. Kesimpulan dengan secara ringkas
j. Penutup pembahasan dengan menampilkan segi ”hikmāt al-tasyrī” bagi
ayat-ayat tersebut.
Meskipun demikian, tidak seluruh tema pembahasan yang ditafsirkan Ali
Al-Shabuni menggunakan kesepuluh tahapan-tahapan tersebut di atas secara
lengkap. Bahkan, terkadang beliau hanya menggunakan delapan atau tujuh
tahapan dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an secara sederhana dan mudah
dipahami.
82
D. Penafsiran Ali Al-Shabuni Tentang Pernikahan Beda Agama Dalam
Tafsir Rawāi’ Al-Bayān
1.
Identifikasi Ayat-ayat yang Berkaitan dengan Pernikahan Beda
Agama
Pertama; QS. Al-Baqarah [2]: 221.
           
           
            
       
”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”158
Kedua; QS. Al-Maidah [5]: 5.
           
          
         
158
QS. Al-Baqarah (2): 221.
83
           

”Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan159 diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.”160
Ketiga; Al-Qur‟an surat Al-Mumtahanah [60] ayat 10:
         
           
              
         
              
 
”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka
159
160
Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka
QS. Al-Maidah [5]: 5.
84
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang
Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada
tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2. Sumber Penafsirannya
Dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an yang menyangkut tentang tema
“Pernikahan Beda Agama”, Ali Al-Shabuni memanfaatkan berbagai sumber di
antaranya yaitu: ayat Al-Qur‟an, Hadis Nabi, pendapat para sahabat dan tabi‟in,
dan pandangan para ulama sebelumnya. Selain sumber penafsiran yang beliau
gunakan yaitu Al-Qur‟an dan Hadits, di sisi lain tata bahasa dan pendapat ulama
fiqh menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan
penafsiran yang dilakukan Ali Al-Shabuni. Dalam mengoprasikan penafsirannya,
beliaupun mengambil sumber dari berbagai bidang ilmu, antara lain:
a. Bidang Tafsir
Kitab-kitab tafsir yang menjadi sumber Ali Al-Shabuni antara lain: Tafsir
Rūh Al-Ma’ānī, Tafsir Al-Kasyāf, Tafsir Al-Jalālain, Tafsir Al-Kabīr karya imam
Al-Fakhr Al-Rāzī, Tafsir Abī Su’ūd, Tafsir Al-Thabarī, Tafsir Al-Qurthubī dan
lain-lain.
Sumber yang dijadikan rujukan dalam penafsirannya, di antaranya ketika
beliau mengutip penafsiran Al-Thabarī. Ali Al-Shabuni menggunakan dengan
istilah qāla. Contohnya seperti:
85
‫خ ٍب قبىٔ قزب‬ٝ‫و األ‬ٝٗ ‫ األق٘اه ثزأ‬ٚ‫ "ٗأٗى‬:‫ ثؼس ؼطزٓ ىأل ق٘اه‬ٛ‫قبه اىغجط‬
ٌ‫ {ٗال رْنح٘ا اىَشطمب د} ٍِ ى‬:ٔ‫ ثق٘ى‬ْٚ‫ ش مطٓ ػ‬ٚ‫زح ٍِ أُ اهلل رؼي‬
‫ ذبص‬,‫خ ػبً ظبٕطٕب‬ٝ‫ ٗأُ األ‬,‫نِ ٍِ إو اىنزب ة ٍِ اىَشطمب د‬ٝ
‫ ٗشاىل‬,‫ٖب‬ٞ‫طزاذّالد ف‬ٞ‫ ٗأُ ّؽبء إو اىنزبة غ‬,‫ئ‬ٞ‫ْؽد ٍْٖب ش‬ٝ ٌ‫ ى‬,‫ثبعْٖب‬
}ٌ‫ِ أر٘ا اىنزب ة ٍِ قجين‬ٝ‫ {ٗاىَحصْب د ٍِ اىص‬:ٔ‫ أحو ثق٘ى‬ٚ‫أُ اهلل رؼبى‬
... ‫ أثبح ىٌٖ ٍِ ّؽبء اىَؤ ٍْب د‬ٛ‫ِ ٍِ ّنبح ٍحصْب رِٖ ٍضو اىص‬ٍْٞ‫ىيَؤ‬
Al-Thabari berkata setelah mengikuti pembicaraan ini: pendapat yang
paling kuat tentang ta‟wil ayat wa lā tankihu al-musyrikāti, ialah pendapat
Qatadah (yang menyatakan): bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya
“dan janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah” itu, ialah
mereka yang non ahl al-kitāb yaitu perempuan-perempuan musyrikah, dan
ayat tersebut dzahirnya adalah „am (umum) sedang batinnya khas
(khusus), tidak dinasakh oleh ayat manapun, dan bahwa perempuanperempuan ahl al-kitāb itu tidak tergolong di dalamnya, sebab Allah swt.
Telah berfirman “dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya
dari orang-orang yang diberi kitab” (QS. Al-Maidah [5]: 5), yakni halal bagi
kaum muslimin mengawini mereka sebagaimana Allah swt. menghalalkan
mereka mengawini perempuan-perempuan yang mukminah.161
b. Hadis
Dalam menafsirkan Al-Qur‟an tentang tema di atas, Ali Al-Shabuni
mengambil Hadis riwayat As-Suda dari Ibnu Abbas r.a., HR. Bukhari dan Nafi
dari Ibn Umar162, HR. Ibnu Humaid163 dan Hadis yang diriwayatkan dalam kitabkitab shahih.
161
Ali Al-Shabuni., Op. Cit., hlm. 226.
Contoh ketika Ali Al-Shabuni memberikan penafsiran hukum mengawini perempuan
ahl al-kitāb, beliau mencantumkan pendapat dari Ibn Umar r.a.:
162
‫خ‬ّٞ‫ ٗمبُ اشا ؼئو ػِ ّنبح اىطجو اىْصطا‬,‫ٌ ّنبح اىنزب ثجب د‬ٝ‫ رحط‬ٚ‫ اهلل ػَْٖب اى‬ٜ‫ٗشٕت اثِ ػَط ضض‬
‫ئب ٍِ االشطاك أػظٌ ٍِ أُ رق٘ه‬ٞ‫ ٗالأػطف ش‬,َِٞ‫ اىَؽي‬ٚ‫ اىَشطمبد ػي‬ٚ‫ "حطً اهلل رؼي‬:‫خ قبه‬ٝ‫ٖ٘ز‬ٞ‫أٗاى‬
"ٚ‫ أٗ ػجس ٍِ ػجبز اهلل رؼبى‬,ٚ‫ؽ‬ٞ‫ ضثٖب ػ‬: ‫اىَطأح‬
“Ibnu Umar r.a. berpendapat haram mengawini perempuan ahl al-kitāb, dan kalau ditanya
tentang laki-laki (muslim) yang mengawini seorang perempuan Nasrani dan Yahudi, ia menjawab:
Allah swt. Mengharamkan perempuan-perempuan musyrikah (dikawini) orang-orang Islam dan aku
tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seseorang perempuan yang berkata: Isa adalah Tuhan,
atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah”. Ibid., hlm. 224-225.
163
Sebagai contoh, yaitu:
86
c. Sumber Sya‟ir
Di antara syā‟ir yang dijadikan rujukan dalam penafsirannya, Ali Al-Shabuni
hanya mengambil dan menyebutkan secara jelas yaitu al-bait lilkilābī. Ia
menggunakan istilah wa qāla al-syā’ir.164
3. Metode Penafsirannya
Metode yang digunakan Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya sudah dibahas
sebelumnya oleh penulis di atas, yaitu dengan menggunakan manhāj (metode)
maudhū’i. Namun selanjutnya beliau menggunakan langkah-langkah dalam
menafsirkan ayat Al-Qur‟an tentang pernikahan beda agama dapat dijelaskan
dengan perincian sebagai berikut:
a. Uraian secara lafzhi (lafal) dengan berpegangan atas pandangan ahli-ahli tafsir
dan ahli-ahli balaghah (bahasa)
Contoh ketika Ali Al-Shabuni menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 221 bab
tentang mengawini wanita musyrikah:
           
…  
:‫ق٘ه‬ٝ ٚ‫ػ اهلل رؼبى‬ٞ‫ أى‬:‫ فقيذ‬,ٔ‫ الثبغ ث‬:‫خ فقبه‬ّٞ‫خ ٗاىْصط‬ٝ‫ٖ٘ز‬ٞ‫ٌ ػِ رعٗط اى‬ٕٞ‫ ؼأىذ اثطا‬:‫ٗػِ حَبز قبه‬
.ُ‫بد ٗإٔو األٗصب‬ٞ‫ اَّب ريل اىَّج٘ؼ‬:‫{ ٗال رْنح٘ا اىَشطمب د ؟} فقبه‬
“Dari hammad, ia pernah berkata: aku pernah bertanya kepada Ibrahim tentang mengawini
perempuan Yahudi dan Nasrani, ia menjawab: boleh saja. Lalu aku bertanya (lagi): tidakkah Allah
swt. Berfirman ”Janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah?” Kemudian ia
menjawab: itu (yang dimaksud) perempuan-perempuan majusi dan penyembah berhala.” Ibid., hlm.
225.
164
Ibid., hlm. 221.
87
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.”
Ali Al-Shabuni memulai penafsiran QS. Al-Baqarah [2]: 221, dengan
menjelaskan makna lafadz (kosa kata) tidak secara keseluruhan, melainkan hanya
sebagian ayat yang dianggap lafadz-lafadz kunci utama objek penafsirannya. Pada
ayat ini di antaranya lafadz yang dijelaskan adalah:
‫ال رْنح٘ا اىَشطمب د‬
“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrikah”.
Ali Al-Shabuni memberikan arti pada lafadz tersebut, yaitu: “janganlah
mengawini perempuan-perempuan penyembah berhala”, dan yang dimaksud
dengan al-musyrikāt (menyekutukan Allah swt.), yaitu perempuan yang
menyembah berhala dan yang tidak mempunyai kitab atau beragama samawi
(wahyu/langit)165.
b. Arti global dari ayat-ayat yang mulia itu dengan bentuk cetusan (tanpa sumber
pengambilan)
Pengungkapan arti global pada QS. Al-Baqarah [2]: 221 di atas, Ali AlShabuni menggunakan istilah yaqūl Allah ta’ālā mā ma’nāhu.
Adapun arti global pada ayat tersebut adalah:
165
Agama “samawi” adalah agama wahyu/ langit dari Allah swt yang disampaikan
kepada umat manusia melalui Nabi dan rasul-Nya. Dalam hal ini, sebagian ulama menyebutkan
bahwa ahl al-kitāb (Yahudi dan Kristen) yang ada sekarang ini bukan lagi agama samawi, tetapi
agama ciptaan tokoh-tokoh Yahudi dan Kristen, yang diberi nama agama samawi seperti agama
Yahudi dan Kristen. Dari mulai theologinya (Yahudi dengan “monotheisme-rasialis” dan Kristen
dengan “Trinitas”) sampai kitab sucinya (Yahudi dengan “Taurat dan Talmud”, dan Kristen
dengan Injil), yang berisi ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen, bukan saja isinya saling bertentangan
satu dengan yang lainnya (baik Taurat maupun Injil), tetapi juga bertentangan dengan data naskah
tertua yang ditulis dalam bahasa Ibrani dan Aramia-bahasa ibu Nabi Isa sendiri dari Wadi Qumran,
yang ditemukan pada tahun 1974. Lihat: Abdul Qadir Djaelani, Op. Cit.,hlm. 197.
88
“Janganlah kalian (wahai orang-orang mukmin) menikahi wanita-wanita
musyrik sehingga mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, karena budak
wanita yang beriman kepada Allah swt dan Rasulullah itu lebih baik daripada
wanita merdeka tapi musyrik, walaupun kalian terpesona dengan
kecantikannya, hartanya, dan semua yang menarik darinya seperti, keturunan
dan jabatan. Dan jangan sampai laki-laki musyrik menikahi wanita-wanita
mukmin sehingga mereka beriman kepada Allah swt dan Rasulullah, karena
bila yang menikahi mereka (wanita-wanita mukminah) itu adalah budak lakilaki yang beriman itu lebih baik bagi kalian, daripada yang menikahi mereka
itu adalah laki-laki musyrik walaupun mereka merdeka, dan kalian kagum
akan keturunan, kekayaan dan kedudukan mereka, karena mereka itu (lakilaki dan wanita musyrik) yang diharamkan Allah untuk menikah dengannya
dan berbesanan dengan mereka, padahal mereka akan mengajak kalian ke
Neraka, sementara Allah swt mengajak (menyeru) pada amal kebaikan dan
Surga.”166
c. Sabāb al-nuzūl, jika ayat memang ada sabāb al-nuzūlnya
Adapun sabāb al-nuzūl dari ayat di atas adalah:
“Bahwa QS. [2]: 221 ini turun berkenaan dengan kasus Murtsid bin Abi
Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah tawanan dari Mekkah ke
Madinah, sedang ia dimasa jahiliyah, memiliki hubungan dengan seseorang
permpuan bernama „Anaq, lalu wanita itu mengunjngi Murtsid dan bertanya:
tidakkah engkau masih kosong? Murtsid menjawab: sayang, Islam telah
menghalangi di antara kita. Lalu wanita itu bertanya (lagi): tidakkah engkau
bermaksud mengawini aku? Ia menjawab: benar, tetapi aku akan menghadap
Rasulullah saw. untuk meminta izin kepadanya; maka turunlah ayat ini.167
d. Pembahasan dari segi i’rāb (Nahwu dan Sharaf) dengan cara ringkas
Pembahsan i’rāb atau gramatikal kata pada QS. [2]: 221, Ali AlShabuni memberikan pembahasan dari segi i’rāb, di antaranya firman Allah
166
Ibid., hlm. 221-222.
Menurut al-Suyuti, peristiwa tersebut bukanlah sebab turunnya ayat tersebut, tetapi
merupakan sebab turunnya ayat dalam surat An-Nur:
167
                  
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin[tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.]."
(QS. An-Nur [24]: 5). Lihat: Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 222.
89
swt. pada kalimat “hattā yu’minna”, kalimat ” hattā” bimakna “ ُ‫ أ‬ٚ‫ ” اى‬dan
kalimat “ ٍِ‫ؤ‬ٝ ” adalah mabni sukun fī mahali nashbi bi ( ٚ‫ ) حز‬yang
asalnya adalah ( ٍِْ‫ؤ‬ٝ ).
e. Tafsir, yang meliputi segi-segi rahasia-rahasianya, fa‟idah-fa‟idah dari segi
ilmu Balaghah dan kelembutan-kelembutan ilmiahnya
Ali Al-Sahabuni memberikan penafsiran ayat di atas tentang pernikahan,
di antaranya ketika beliau menyebutkan maksud dari kata “nikah” dalam ayat ini
adalah “mengawini” berdasarkan ijma‟ Ulama‟, yakni “janganlah kamu
mengawiniperempuan-perempuan
mengemukakan
pendapat
musyrikah”.
Al-Karkhi,
Kemudian
menurutnya
yang
Ali
Al-Shabuni
dimaksud
ialah
“mengawini” bukan “menyetubuhi” sehingga dikatakan (kepadanya sebagai
bantahan): bahwa memang tidak ada dalam Al-Qur‟an lafal
“wathi”
(menyetubuhi) sebab Al-Qur‟an menggunakan bahasa sindiran, dan ini di atara
kehalusan lafal-lafal Al-Qur‟an.168
f. Hukum-hukum syar’i (yang dikandung) dan dalil-dalil fuqahā’ serta tarjih di
antara dalil-dalil mereka
Ali Al-Shabuni membagi kandungan hukum pada QS. Al-Baqarah [2]: 221
ke dalam dua hukum, yaitu:
1) Hukum mengawini perempuan ahl al-kitāb
Firman Allah:“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman” itu, menurut Ali Al-Shabuni menunjukan
haramnya mengawini perempuan-perempuan majusi dan penyembah
berhala. Adapun perempuan-perempuan ahl al-kitāb (Yahudi dan Nasrani),
maka boleh dinikahi sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah [5]: 5.
168
Ibid., hlm. 223.
90
Begitulah pendapat jumhur dan termasuk di dalamnya ulama madzhab
yang empat.
2) Siapakah laki-laki musyrik yang haram
perempuan-perempuan mukminah irtu?
dikawinkan
dengan
Firman Allah: ”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu” itu, menunjukan haramnya mengawinkan laki-laki musyrik
dengan perempuan mukminah, sedang yang dimaksud ”laki-laki musyrik
di sini, ialah semua orang kafir, pemeluk agama non Islam...169
g. Kesimpulan dengan secara ringkas
Adapun kesimpulan yang dikemukakan Ali Al-Shabuni pada QS. Albaqarah [2]: 221, adalah:
1) Haram mengawini perempuan musyrikah penyembah berhala yang
tidak memiliki kitab samawi.
2) Bahwa haram mengawinkan laki-laki kafir (penyembah berhala dan ahl
al-kitāb) dengan perempuan-perempuan muslimah.
3) Bahwa yang membedakan di antara manusia dalam penilaian Allah
adalah amalnya yang shaleh, maka seorang perempuan hamba yang
mukminah adalah lebih utama daripada perempuan merdeka
musyrikah.170
4. Hasil Penafsirannya
Abad ketiga Hijriyah dianggap sebagai zaman keemasan bagi penulisan
Hadis-hadis Nabi saw. Karena pada masa ini telah lahir beberapa kitab Hadis
induk yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dijadikan rujukan
dalam pengambilan sumber rujukan ajaran Islam. Begitu juga dengan kitab tafsir
yang ditulis oleh Ali Al-Shabuni, yaitu tafsir Rawūi’ al-Bayān Tafsīr Ayāt alAhkām min al-Qur’an, dan menjadi rujukan penting setelahnya.
169
170
Ibid., hlm. 227.
Ibid.,
91
Dalam kitab tafsirnya, Ali Al-Shabuni menafsirkan beberapa tema yang
berkaitan dengan masalah hukum, di antaranya adalah tentang “pernikahan beda
agama”. Secara tekstual terdapat tiga ayat yang secara khusus membicarakan
tentang pernikahan beda agama dalam Al-Qur‟an, yaitu: QS. Al-Baqarah [2]: 221,
Al-Mumtahanah [60]: 1 dan Al-Maidah [5]: 5.
Dari bunyi teksnya, tiga ayat Al-Qur‟an di atas memiliki makna yang
bertingkat. Ayat pertama melarang seorang muslim (pengikut Muhammad)
mengawini orang musyrik, baik laki-laki muslim mengawini perempuan musyrik,
maupun sebaliknya. Ayat kedua mengungkapkan larangan perempuan mukmin
dikawinkan dengan laki-laki kafir dan ayat ketiga memperbolehkan laki-laki
muslim mengawini perempuan ahli kitāb.
Setelah mengumpulkan ayat-ayat yang merujuk tentang pernikahan beda
agama dan untuk memudahkan pembahasan ini, maka penulis akan membahas
pandangan Ali Al-Shabuni mengenai hukum seorang laki-laki mengawini
perempuan ahl al-kitāb, musyrikah atau kafir dan laki-laki musyrik yang haram
dikawinkan dengan perempuan-perempuan mukminah.
Untuk memberikan kajian yang mendalam penulis memfokuskan pada
ayat yang disebut pertama, yaitu QS. Al-Baqarah [2]: 221. Tentu dua ayat yang
lain akan tetap penulis bahas dalam penelitian ini, namun sekedar sebagai penjelas
ayat pertama. Yang menjadi pertimbangan penulis memilih ayat pertama sebagai
acuan utama adalah karena ayat tersebut merupakan ayat paling kuat yang
dijadikan dasar mengenai “pernikahan beda agama”. Selain itu, ia memuat
92
kompleksitas masalah yang menarik dijadikan fokus, misalnya dari sisi asbāb alnuzūl (latar turunnya ayat).
Surat Al-Baqarah diturunkan di Madinah, sehingga ia dikelompokkan
kedalam wahyu Madāniyyah171. Penamaan surat Al-Baqarah yang berarti “lembu
betina”, diambil dari legenda yang diuraikan dalam ayat ke 61-67 tentang perintah
Nabi Musa a.s. kepada masyarakat untuk menyembelih sapi (baqarah). Sebagian
besar ayat-ayat dalam surat Al-Baqarah diturunkan pada tahun 1-2 H. surat AlBaqarah secara umum membicarakan masyarakat Yahudi dan perlawanan mereka
terhadap pengikut Muhammad saw.
Sebab turun (asbāb al-nuzūl)172 Al-Baqarah [2]: 221 menjadi polemik
tersendiri di kalangan ahli tafsir (mufassir) Al-Qur‟an dari generasi ke generasi.
Hal ini dipicu oleh adanya dua periwayatan yang berbeda mengenai sebab
turunnya ayat tersebut, yaitu:
Periwayatan pertama, diriwayatkan oleh Ibn al-Munzir, Ibn Abi Hatim
dan al-Wahidi dari Munqatil dia berkata: bahwa QS. [2]: 221 ini turun berkenaan
dengan kasus Murtsid bin Abi Murtsid al-Ghunawi, yang membawa sejumlah
tawanan dari Mekkah ke Madinah, sedang ia dimasa jahiliyah, memiliki hubungan
dengan seseorang permpuan bernama „Anaq, lalu wanita itu mengunjngi Murtsid
dan bertanya: tidakkah engkau masih kosong? Murtsid menjawab: sayang, Islam
171
ّٜ‫ فَب ّعه ثؼساىّٖجطح ٗى٘ثَنخ أٗػطفخ ٍس‬.‫ْخ‬ٝ‫طٍس‬ٞ‫ٍبّعه ثؼساىّٖجطح ٗاّنبُ ثغ‬
Madāniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah,
kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut
Madāniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah. Lihat: Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 104.
172
ٔ‫ْخ ىحنَٔ ظٍِ ٗق٘ػ‬ٞ‫جخ ػْٔ أٍٗج‬ٞ‫بد ثؽججٔ ٍزضَْخ ىٔ أٗ ٍّج‬ٝ‫ٍبّعىذ األ‬
“Asbāb al-nuzūl adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat AlQur‟an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas
terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.” Lihat: Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 60.
93
telah menghalangi di antara kita. Lalu wanita itu bertanya (lagi): tidakkah engkau
bermaksud mengawini aku? Ia menjawab: benar, tetapi aku akan menghadap
Rasulullah saw. untuk meminta izin kepadanya; maka turunlah ayat ini.173
Periwayatan kedua, Al-Wahidi meriwayatkan dari jalur al-Suddi dari
Malik dari Ibnu Abbas r.a., bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin
Rawahah, di mana ia pernah mempunyai hamba perempuan hitam, dan ketika ia
marah kepadanya, maka hamba itu ia tempeleng. Kemudia ia tidak merasa enak
lalu datang menghadap Rasulullah saw. dan menyampaikan kepadanya apa yang
ia alami dengan wanita tadi. Lalu Nabi saw. bertanya kepadanya: bagaimanakah
(ihwal) wanita itu, hai Abdullah? Ia menjawab: dia itu berpuasa, shalat,
memperbagus wudhunya dan mengucapkan syahadat. Kemudian Nabi saw.
bersabda: hai Abdullah, dia adalah mu’minah. Maka Abdullah berkata: demi Dzat
yang mengutusmu dengan benar, aku akan memerdekakannya dan akan
mengawininya.
Lalu
ia
pun
mengawininya.
Maka
orang-orang
lantas
memperolok: Abdullah mengawini perempuan hamba, sedang mereka senang
mengawini perempuan-perempuan musyrikah karena menyukai ketinggian
keturunan mereka, lalu turunlah ayat ini.
Menurut Rasyid Ridha174, meskipun zhahir teks ayat wa lā amanatun
sampai a’jabatkum sepertinya memang diturunkan dalam peristiwa yang berlainan
173
Menurut al-Suyuti, peristiwa tersebut bukanlah sebab turunnya ayat tersebut, tetapi
merupakan sebab turunnya ayat dalam surat An-Nur:
                  
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin[tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.]."
(QS. An-Nur [24]: 5). Lihat: Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 222.
94
dengan peristiwa diturunkannya teks ayat wa lā tankihu al-musyrikati hattā
yu’minna, tetapi sebenarnya ayat ini diturunkan dalam satu peristiwa yang sama.
Al-Alusi175 juga berpendapat demikian. Ia mengulas pendapat Al-Suyuti sendiri
dalam pendahuluan kitabnya, bahwa kasus Abdullah bin Rawahah bisa saja hanya
contoh penafsiran dari teks ayat wa lā amatun…yang dikonstruk dan populer di
kalangan sahabat.176
Menimbang bahwa periwayatan asbāb al-nuzūl kedua adalah munqathi’
dan beberapa pendapat di atas, untuk kebutuhan analisis selanjutnya, penulis
berpegang kepada asbāb al-nuzūl yang pertama.
Secara substansial, dalam tafsir Rawāi’ Al-Bayān karya Ali Al-Shabuni
yang oleh penulis teliti, walaupun bisa dikatakan sebagai tafsir yang muncul di
periode kontemporer177. Tidak terdapat perbedaan yang mendasar atas
penafsirannya tentang masalah “pernikahan beda agama” dengan para penafsir
Al-Qur‟an sebelumnya.
174
Beliau adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di AlQalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menerut
keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu ia
memakai gelar Al-sayyid di depan namanya. Untuk lebih lengkapnya, lihat: Harun Nasution,
Pembaharuan dalam Islam., Bulan Bintang, Jakarta 1992., hlm. 69.
175
Nama lengkap Al-Alusi adalah Abu Sana Syihab Al-Din Al-Sayyid Mahmud Afandi
Al-Alusi Al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jum‟at tanggal 14 Sya‟ban tahun 1217 H di
dekat daerah Kurkh, Iraq. Beliau termasuk ulama besar di Iraq yang ahli ilmu agama. Ia wafat
pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H . Untuk lebih lengkapnya, lihat: Muhammad Yusuf, Studi Kitab
Tafsir., Teras, Yogyakarta 2004., hlm. 153,155.
176
Suhadi, Kawin Lintas Agama, LKiS Yogyakarta 2006. hlm. 26.
177
Periode ini dimulai dari akhir abad ke-19 hingga saat ini. Dimana, sudah sekian lama
pemeluk Islam mengalami penindasan dan penjajahan oleh bangsa Barat yang merupakan kaumkaum imperialis dan kolonis. Akibatnya, kultur kebudayaan dan nilai-nilai sosial mereka dirusak
dan dinodai sedemikian rupa, sehingga identitas sejati dari sebagian Muslim sudah tidak tampak
lagi dalam kehidupan nyata.
95
Setidaknya ada dua term kunci yang penting diurai dalam memahami surat
Al-Baqarah [2]: 221, yakni term lā dan term musyrikāt. Keduanya akan dijelaskan
oleh penulis di bawah ini:
a) Term lā
Huruf lā pada kalimat wa lā tankihu al-musyrikāt dalam tafsir Rawāi’ AlBayān karya Ali Al-Shabuni dimaksudkan sebagai lā al-nahiyyah (lā yang
menunjukan larangan). Oleh karena itu, Ali Al-Shabuni menafsirkan ayat wa lā
tankihu al-musyrikāt dengan wa lā tuzawwajū al-watsaniyyāt (janganlah kamu
mengawini perempuan-perempuan penyembah berhala), dan kemudian Ali AlShabuni menafsirkan kata al-musyrikāt dengan penyebutan seseorang yang
menyembah berhala dan termasuk orang musyrik yaitu seorang hamba yang
beragama selain agama samawi.178
b) Term al-musyrikāt
Mengenai term musyrikāt, para ahli tafsir banyak yang berpolemik dalam
mengidentifikasikan siapa sebenarnya yang dimaksudan kedalam musyrikāt itu?
Generalisasi bahwa setiap pererempuan non-muslim juga termasuk di dalamnya.
Dalam menafsirkan ayat ini, Ali Al-Shabuni memberikan pengecualian dari AlQur‟an surat Al-Maidah [5]: 5, yakni:
           
          
         
178
Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 221.
96
           

“Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.”
Oleh karena itu, sebagian mufasir menjadikan ayat ini sebagai landasan
bahwa perempuan ahl al-kitāb bukan termasuk golongan musyrik. Karena itu,
penarikan makna nash, tekstual, melegitimasi kebolehan laki-laki muslim
mengawini perempuan ahl al-kitāb. Tetapi demikian sebaliknya, perempuan
muslimah tetap tidak boleh dikawini oleh laki-laki ahl al-kitāb.
Akan tetapi para mufasir juga tidak sampai pada satu kata sepakat dalam
mengidentifikasikan apakah ahl al-kitāb itu musyrik atau tidak. Menurut alRazi179, mayoritas ulama menafsirkan lafadz musyrikāt dalam surat Al-Baqarah
[2]: 221 mengacu kepada semua orang musyrik atau kafir termasuk di dalamnya
ahl al-kitāb. Jadi, ahl al-kitāb dalam konteks ayat ini juga dianggap musyrik.
Seperti dalam konteks ayat yang menyatakan bahwa orang Yahudi dan Nasrani itu
179
Namalengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Ali al-Quraisy alTaimy al-Bakry al-Tarastany al-Razy, gelarnya adalah Fakhr al-Din, dan dikenal dengan ibn alKhatib. Nama masyhurnya Fakh al-Razy, beliau dilahirkan di kota Ray pada tanggal 15 Ramadhan
544 H. ayahnya seorang ulama dari kalangan madzhab al-Syafi‟i, bernama Dyiya al-Din Umar
murid al-Imam al-Baghawi.
97
menyekutukan Allah swt.180, kekafiran keduanya juga termasuk syirik dan dosa
manusia akan diampuni kecuali dosa syirik181, syirik di sini di antaranya orang
yang mempercayai trinitas182, dan perkataan Abu Bakar yang menyatakan: “Setiap
orang yang mengingkari risalahnya (Muhammad) adalah kafir.183
Adapun Ali Al-Shabuni sendiri cenderung tidak memasukkan perempuan
ahl al-kitāb ke dalam golongan musyrikāt. Misalnya apa yang termaktub dalam
QS. Al-Maidah [5]: 5:
“…(dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya…”
180
Firman Allah swt.:
              
           
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata:
"Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru
perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai
berpaling?” ( QS. At-Taubah [9]: 30).
181
Firman Allah swt.:
                   

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan
dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya.”
(QS. An-Nisa [4]: 116).
182
Firman Allah swt.:
                   
      
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang
dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak
berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih.” ( QS. Al-Maidah [5]: 73).
183
Suhadi, Op. Cit., hlm. 30.
98
Kemudian Ali Al-Shabuni berpendapat dengan mengambil alasan jumhur
ulama yang menyatakan bahwa term musyrikāt berbeda dengan ahl al-kitāb. Ia
mendasarkan pada fakta (gramatikal) pemisahan penyebutan—dengan huruf
„athaf ―antara term ahl al-kitāb dengan term musyrik pada umumnya dalam AlQur‟an. Sedangkan ‘athaf berfungsi menghubungkan antara dua kata atau dua
kalimat yang berlainan, maka secara zhahiriyah, lafal musyrikāt tidak dapat
mencakup “kitābiyyāt” (perempuan-perempuan ahl al-kitāb).184
Firman Allah swt.:
           
             

“Orang-orang kafir dari ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada
menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan
Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya
(kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar”.185
Pada lanjutan QS. [2]: 221, yaitu:
      
”Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu”.
184
185
Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 225.
QS. Al-Baqarah [2]: 105.
99
Ali Al-Shabuni menafsirkan ayat tersebut adalah suatu isyarat yang halus,
bahwa yang harus diperhatikan dalam mencari jodoh ialah: akhlak dan agama,
bukan kecantikan, ketinggian keturunan dan hartanya.186 Ini berarti bahwa
rendahnya martabat seorang budak mukmin dapat tertutupi dengan keimanannya.
Karena keimanan itu adalah esensi keagungan dan kesempurnaan martabat
manusia. Sedangkan seorang perempuan musyrik dengan segala kecantikan,
erotisme, serta kemuliaan garis keturunan (nasab)-nya tidak dapat menutupi
kekurangan kekafirannya.
Dari penafsiran Ali Al-Shabuni pada ayat di atas, maka secara garis besar
dapat diambil ketentuan hukum mengenai ”pernikahan beda agama”. Berikut ini
penjelasan yang lebih rici:
1. Pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki nonmuslim
Semua
para
ulama
sepakat
bahwa
perempuan
muslimah
tidah
diperbolehkan (haram) menikah dengan laki-laki nonmuslim, baik ahl al-kitāb
maupun musyrik. Pengharan tersebut selain didasarkan pada QS. Al-Baqarah [2]:
221 juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah [60]: 10.
Ali Al-Shabuni menyebutkan yang dimaksud ”laki-laki musyrik” di sini,
ialah semua orang kafir (pemeluk agama nonmuslim), maka mencakup
penyembah berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang murtad dari
186
Rasullah saw. bersabda:
ُ‫ اٍ٘اىِٖ ا‬ٚ‫ اٍ٘اىِٖ فؼؽ‬ٚ‫طزِٕ ٗالرْنحِٕ٘ ػي‬ٝ ُ ‫ حؽِْٖ أ‬ٚ‫الرْنح٘ا اىْؽبء ىحؽِْٖ فؼؽ‬
‫ِ أفضو‬ٝ‫ِ ٗألٍخ ؼ٘زاءذطقبء شاد ز‬ٝ‫ اىس‬ٚ‫ِٖ ٗاُ محِٕ٘ ػي‬ٞ‫رغغ‬
“Janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan karena kecantikannya, karena
barangkali kecantikan mereka justru membinasakan mereka, janganlah kamu mengawini perempuanperempuan karena hartanya, karena barangkali hartanya malah membuat mereka menyimpang, tapi
kawinilah mereka karena agama (mereka), sungguh seorang hamba yang hitam lagi bodoh yang
beragama adalah lebih mulia (daripada yang cantik lagi pandai tetapi tak beragama)”. Lihat: Ali AlShabuni, op. cit., hlm. 224.
100
Islam, maka semuanya itu haram dinikahkan dengan perempuan muslimah,
dengan argumen yaitu: Pertama, orang kafir tidak boleh menguasai orang
Islam187. Kedua, laki-laki kafir dan ahl al-kitāb tidak akan mau mengerti agama
istrinya yang muslimah, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari
ajaran nabinya yang bisa mengajak kepada kekufuran yang akan menjadi sebab
masuk ke neraka, karena laki-laki memiliki kekuasaan dan wewenang atas
perempuan (istrinya), maka dikhawatirkan ia akan memaksa istrinya yang
muslimah itu kepada kekufuran sehingga akan meninggalkan agamanya dan anakanak mereka akan mengikuti agama si ayah, sehingga menjadilah anak-anak
mereka sebagai orang-orang kafir ahli neraka.188
2. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik
Para ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan
perempuan penyembah berhala (musyrik). Perempuan musyrik di sini mencakup
perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah), ateis (zindiqiyyah), perempuan
yang murtad, penyembah api.
Sependapat dengan pendapat para ulama di atas, Ali Al-Shabuni juga
mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrikah, dengan
merujuk kepada firman Allah swt.:
   
187
Firman Allah:
      
“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” QS. An-Nisa [4]: 141.
188
Ali Al-Shabuni, Op. Cit., hlm. 226.
101
”...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir...”.189
Ayat tersebut menurut Ali Al-Shabuni menunjukan diharamkannya
menikah dengan perempuan kafir/musyrikah, yakni perempuan yang tidak
beragama dengan agama samawi. Karena menurut ia pengertian ayat tersebut
ialah
”janganlah kamu pegang teguh tali perkawinan dengan permpuan-
perempuan yang masih musyrik”. Yakni, ”jangan kamu anggap pernikahan
dengan mereka itu, sebab pernikahan itu batil”.190
Ayat tersebut sama dengan ayat:
    
”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman.”191
3. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb
Pada dasarnya
laki-laki
muslim
diperbolehkan (halāl) menikahi
perempuan ahl al-kitāb berdasarkan pengkhususan QS. Al-Maidah [5]: 5.
Pengertian ahl al-kitāb di sini mengacu pada dua agama besar rumpun simetrik
sebelum Islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Ali Al-Shabuni menyebutkan bahwa
para ulama sepakat akan kehalalan mengawini perempuan Nasrani atau Yahudi
dari kalangan ahl al-kitāb dengan syarat ia merdeka (bukan budak) dan yang
menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab, berdasarkan firman
Allah swt. QS. [5]: 5.
189
190
191
QS. Al-Mumtahanah [60]: 10.
Ali Al-Shabuni, Op. Cit.,juz. 2, hlm. 456.
QS. Al-Baqarah [2]: 221.
102
Selanjutnya Ali Al-Shabuni menyatakan kebolehan laki-laki muslim
menikahi perempuan ahl al-kitāb dengan mengambil pendapat dari riwayat
Qatadah, yang menyatakan bahwa dalam menafsirkan surat [2]: 221 tersebut,
bahwa yang dimaksud ”al-musyrikāt” ialah mereka yang non ahl al-kitāb yaitu
perempuan-perempuan musyrikah yang tidak mempunyai kitab samawi.
Ada riwayat dari Umar r.a, bahwa ia pernah berkata:
‫ اىَؽيَخ‬ّٜ‫زعٗط اىْصط‬ٝ‫خ ٗال‬ّٞ‫زعٗط اىْصط‬ٝ ٌ‫اىَؽي‬
”Laki-laki muslim (boleh) mengawini perempuan nasrani dan (sebaliknya) lakilaki nasrani tidak (boleh) mengawini perempuan-perempuan muslimah.”
Adapun sikap Umar r.a. yang tidak menyukai Thalhah dan Hudzaifah
yang mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani ialah karena ia khawatir diikuti
orang-orang Islam lainnya sehingga mereka akan menjauhi perempuanperempuan muslim atau mungkin ada maksud-maksud lain, sehingga Umar r.a.
menyuruh mereka agar melepaskannya. Sikap Umar r.a. seperti ini, menurut Ali
Al-Shabuni ialah demi kemaslahatan kaum muslimin. 192
Berkenaan dengan pernikahan beda agama antara laki-laki muslim dengan
perempuan ahl al-kitāb, ulama (fuqahā empat Madzhab Sunni) berbeda pendapat,
di antaranya adalah sebagai berikut:193
a. Madzhab Hanafi
Para ulama madzhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin
menikah dengan perempuan ahl al-kitāb yang berdomilisi di wilayah yang sedang
192
Ali Al-Shabuni, Op. Cit., juz.1, hlm. 226.
Semua pendapat empat madzhab ini disimpulkan dari: Abdurrahman al-Jaziri, Kitāb
al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Arba’ah, lihat: Suhadi, op. cit., hlm. 40.
193
103
berperang dengan Islam (dār al-harb). Karena mereka tidak tunduk (khādi’ah)
terhadap hukum orang-orang Islam sehingga ia membuka pintu fitnah. Seseorang
suami muslim yang menikah dengan perempuan ahl al-kitāb dikhawatirkan akan
patuh terhadap sikap istrinya yang berjuang memperbolehkan anaknya beragama
dengan selain agamanya. Suami tersebut akan memperdaya dirinya sendiri serta
tidak lagi menghiraukan pengasingan dari pemerintahan negara (Islam) nya.
Beberapa keburukan (mafsadah) semacam inilah yang menjadi konsideran
keharaman. Sedangkan mengawani perempuan Ahl al-Kitāb Dzmi (yang berada di
negara dan perindungan pemerintah Islam) hukumnya hanya makruh, sebab
mereka tunduk pada hukum Islam.
b. Madzhab Maliki
Pendapat madzhab Maliki terbagi menjadi dua, kelompok pertama
memamdang bahwa mengawini perempuan ahl al-kitāb, baik di dār al-harb
maupun dzimmiyyah hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan yang di
dār al-harb kualitasnya lebih berat. Kelompok kedua memandang tidak makruh
mutlak sebab dzahir QS. al-Maidah ayat 5 membolehkan secara mutlak. Tetapi
tetaap saja makruh karna digantungkan kemakruhannya berkait dengan dār alIslām (pemerintahan Islam), sebab perempuan ahl al-kitāb tetap saja boleh minum
khamar, memakan babi, dan pergi ke gereja. Padahal suaminya tidak melakukan
itu semua.
c. Madzhab Syafi’i
Para fuqaha madzab Syafi‟i memandang makruh mengawini perempuan
ahl al-kitāb yang berdomisili di dār al-Islām, dan sangat di makruhkan (tasydīd
104
al-karāhah) bagi yang berada di dār al-harb, sebagaimana pendapat fuqaha
Malikiyah. Ulama Syafi‟iyah mememandang kemakruhan tersebut apabila terjadi
dalam peristiwa berikut:
1) Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak
perempuan ahl al-kitāb tersebut masuk Islam.194
2) Masih ada perempuan muslimah yang shalihah.195
3) Apa bila tidak mengawini perempuan ahl al-kitāb tersebut ia bisa
terperosok kedalam perbuatan zina.
d. Madzhab Hambali
Laki-laki muslim
diperbolehkan dan bahkan tidak dimakruhkan
mengawini ahl al-kitāb berdasarkan keumuman QS. Al-Maidah [5]
ayat 5.
Disyaratkan perempuan ahl al-kitāb tersebut adalah perempuan merdeka (bukan
budak), karena al-muhshanāt yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
perempuan merdeka.
BAB IV
KESIMPULAN
194
Jadi, jika ia mempunyai tujuan mengajak calon istrinya masuk Islam, maka hukumnya
tidak makruh lagi.
195
Jadi, tidak makruh lagi bila ternyata memang sudah tidak ada perempuan muslimah
shalihah yang bias dijadikan istri.
105
Setelah penulis memaparkan secara luas dari persoalan mengenai
”pernikahan beda agama” di atas menurut penafsiran Ali Al-Shabuni dalam
tafsirnya (Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt al-Ahkām fī Al-Qur’ān) dapat ditarik
kesimpulan, bahwa:
1. Ali Al-Shabuni pengarang kitab tafsir Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt alAhkām fī Al-Qur’ān adalah seorang mufasir yang bermazhab Syafi‟i,
walaupun tidak sepenuhnya berpegang dengan madzhabnya.
2. Tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika tartib mush-hafi
hukmi, yaitu suatu sistematika penyusunan kitab tafsir dengan mengambil
tema mengenai ayat-ayat hukum dengan mengikuti tartīb mush-hafi.
Adapun metode yang diterapkan Ali Al-Shabuni dalam tafsir Rawāi’ alBayān yaitu
menghimpun “khusus ayat-ayat ahkām” dengan metode
maudhū’i (tematik) secara ilmiah dengan mengkompromikan antara
sistematika lama dalam hal kebagusannya dan sistematika baru dalam hal
kemudahannya.
3. Tema-tema yang ditentukan oleh Ali Al-Shabuni dalam tafsirnya adalah
mengenai atau yang berkaitan dengan hukum fiqh yang kemudian
dilengkapi dengan ayat-ayat yang mendukung pada tema-tema tersebut.
Karena sebagian besar penafsirannya berorientasi kepada rasio (ra’yu),
maka tafsir Rawāi’ al-Bayān dapat dikategorikan kepada tafsir yang
menggunakan sumber bi al-ra’yi, hal ini dilihat dari cara penafsiran Ali
Al-Shabuni yang sering menguti pendapat beberapa ulama tentang ayat-
106
ayat dimaksud untuk menguatkan penafsirannya, meskipun pada beberapa
penafsirannya menggunakan dalil naql (Al-Qur‟an dan Hadis).
4. Berangkat dari penafsiran ketiga ayat yaitu: QS. Al-Baqarah [2]: 221; QS.
Al-Maidah [5]: 5; dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 10, maka Ali AlSahabuni dalam kitab tafsirnya Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīri Ayāt al-Ahkām
fī Al-Qur’ān, mengambil tiga kandungan hukum yang oleh penulis jadikan
sebagai objek penelitian dalam skripsi ini yaitu:
a. Pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki nonmuslim
Dalam hal ini Ali Al-Shabuni sependapat dengan jumhur ulama yang
menyatakan bahwa haram menikahkan laki-laki kafir (penyembah
berhala dan ahl al-kitāb) dengan perempuan muslimah.
b. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik
Ali Al-Shabuni juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan
perempuan musyrikah (penyembah berhala/ al-watsāniyyah), ateis/
zindiqiyyah, perempuan yang murtad, penyembah api), dengan
merujuk kepada firman Allah swt.:
   
”...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir...”.
Dengan dalil dan penafsirannya tersebut dapat diketahui, bahwa
Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik
menurutnya haram mutlak.
c. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb
107
Ali Alshabuni dengan jelas memperbolehkan (halal) laki-laki muslim
menikahi perempuan ahl al-kitāb (Yahudi dan Nasrani), menurutnya
kebolehan tersebut sesuai dengan dzahir nas QS. Al-Maidah [5]: 5, dan
beliau sepakat dengan ulama fiqh mengenai kehalalannya.
Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., bahwa ketika dia
ditanya tentang hukum seorang laki-laki muslim menikah dengan
perempuan Nasrani atau Yahudi, ia menjawab: ”Allah telah
mengharamkan perempuan-perempuan musyrikah itu bagi laki-laki
mukmin, dan aku tidak tahu syirik apalagi yang lebih hebat selain si
perempuan itu mengatakan: ‟Tuhannya adalah Isa‟ bukankah Isa itu
seorang hamba di antara hamba-hamba Allah yang lain.”
Pendapat Ibnu Umar r.a, ini menurut Ali Al-Shabuni bisa diartikan
sebagai
karahah
(makruh),
bukan
littahrim
(haram).
menurutnya nas Al-Qur‟an jelas menegaskan kehalalannya.
Sebab
108
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar, terjemahan:
Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Abdul Qadir Djaelani, Pertarungan Maraton Yahudi dan Kristen Dengan Islam, Rabitha
Press, Jakarta 2006.
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Minhajul Muslimīn, Dar Al-Fikr, Alih Bahasa:
Rachmat Djatnika, Remaja Rosdakarya, Bandung 1991.
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir (Arab-Indonesia Terlengkap),
Pustaka Progressif, Surabaya 2002.
Ali Mustafa Ya‟qub, Nikah Beda Agama Dalam al-Qur’an dan Hadis, Pustaka
Pirdaus, Jakarta 2006.
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr. 1995.
Asep Muhammad iqbal, Yahudi dan Nasrani Dalam Al-Qur’an: Hubungan Antar
Agama Menurut Syaikh Nawawi Banten, Teraju, Cet: 1, Jakarta 2004.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, Syamil Cipta
Media Bandung 2006.
Fajar, Mitra Press Tim Media, Kamus Ilmiah Populer, Media Center, Cet I,
Bandung 2002.
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung 2007.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan,
Bulan Bintang, Cet: 9, Jakarta 1992.
109
Ibrahim Syuaib Z, Metodologi Kritik Tafsir (al-Dakhīl fī al-Tafsīr), Buku Diktat,
Bandung 2008.
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir, Bulan
Bintang Jakarta 1992.
Huzaimah Tahido Yanggo, Masāil Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer,
Angkasa, Cet: 1, Bandung 2005.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Juz 1. Lentera Hati, Jakarta. 2007
_______________, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat), Mizan, bandung 2007.
Mu‟ammal Hamidy dan Imron A. Maman, Terjemah Tafsīr Ayāt Ahkām AlShabuni, PT. Bina Ilmu, Surabaya 2008.
Muhammad „Ali Al-Shabuni, Tafsir Rawāi’ Al-Bayān fī Tafsīri Ayāt Al-Ahkām
min Al-Qur’ān, Dār al-Fikr, t.t..
Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, PT. Teras,
Cet 1, Yogyakarta 2004.
Moh. Saifulloh Al Aziz S, Fiqh Islam Lengkap: Pedoman Hukum Ibadah Umat
Islam dengan Berbagai Permasalahannya, Terbit Terang, Surabaya 2005.
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung 2000.
____________, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Cet: 2, Bandung 2006.
R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium
Ilmu Hukum), Mandar Maju, Bandung 1997.
110
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta 1994.
Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, LKiS, Yogyakarta
2006.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islām (Hukum Fiqh Islam), Sinar Baru Algensindo,
Bandung, 2007.
Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Mabāhits fi ‘Ulūm Al-Qur’ān, terj: Aunur Rafiq ElMazni, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2006.
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Gunung Djati Bandung, Desember. 2008.
Waryono Abdul Ghafur, Hidup Bersama Al-Qur’an: Jawaban Al-Qur’an
Terhadap Problematika Sosial, Pustaka Rihlah Yogyakarta 2007.
Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito, 1978.
Download