BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Komunikasi, Masyarakat dan Kebudayaan Menurut Dewey, masyarakat tidak hanya berada (eksis) dan berkelanjutan (continues) oleh karena transmisi dan komunikasi diantara anggota – anggotanya, tetapi lebih dari itu masyarakat menjadi ada karena masyarakat ada di dalam transmisi dan komunikasi itu (masyarakat yang menghidupkan transmisi dan komunikasi). Dan itu terjadi lebih dikarenakan ada pertukaran tanda – tanda verbal dari kata – kata yang telah diberi makna yang sama oleh komunikasi dalam proses komunikasi (Liliweri, 2009:179). Robert C. Park (1938), komunikasi menciptakan atau membuat segala kesinambungan menjadi lebih pasti, bahwa sebuah consensus dan pengertian bersama di antara individu – individu sebagai anggota kelompok sosial akan mudah menghasilkan tidak saja unit – unit sosial tetapi juga unit – unit cultural dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan kebudayaan dalam hal ini adat istiadat menjadi harapan atau menjadi factor perekat bersama (Liliweri, 2009: 180). Kebudayaan juga disebut communicable knowledge (Harris dalam Purwasito, 2015:317), artinya bahwa kebudayaan merupakan proses pembelajaran yang dipelajari oleh setiap anggota masyarakat lewat partisipasi dan pertukaran dalam kelompok social sebagaimana termanifestasi dalam institusi dan artifacts. Dalam penelitian mengenai Reyog dan warok sebagai media komunikasi identitas Ponorogo mengambil kajian komunikasi dalam konteks budaya dan pada level kajian komunikasi masyarakat. Level kajian komunikasi masyarakat menurut Purwasito (2015) adalah menyelidiki fenomena komunikasi social yang merupakan komunikasi antar kelompok maupun antar persona, tetapi dalam konteks masyarakat yang luas. Dalam wilayah ini, tidak saja mempelajari 14 15 tentang bagaimana proses komunikasi (situasi, tindak dan peristiwa komunikatif) antarkultur yang berlangsung tetapi juga mempelajari hasil – hasil reproduksi budaya dari masyarakat multicultural tersebut. Budaya yang telah berakar dalam diri seorang individu merupakan hasil dari proses komunikasi. Budaya dan komunikasi adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan seperti kata Edward T. Hall “Culture is communication and communication is culture”. Komunikasi adalah salah satu dimensi yang paling penting. Hall menyimpulkan: “Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya.” (Hall, 1990: 186). Pentingnya komunikasi dan budaya terungkap dari pemaparan Tracy berikut: “Communicating with the other may be the key to our survival, and the identity and attrubutes of the other are rooted in culture. Central, then, to the issue of intercultural communication is the concept of what constitutes a culture” (Tracy, 2001: 14). Berkomunikasi dengan lainnya mungkin menjadi kunci bagi kelangsungan hidup manusia, identitas dan atribut lainnya yang berakar pada budaya. Intinya, untuk masalah komunikasi antarbudaya adalah konsep apa yang membentuk budaya. Philipsen dalam Gudykunst menyatakan fungsi komunikasi dalam budaya adalah untuk menjaga keseimbangan yang sehat antara kekuatan individualisme dan masyarakat, untuk memberikan rasa identitas bersama yang tetap mempertahankan martabat individu, kebebasan, dan kreativitas (Gudykunst,2003:5). Maka, kebudayaan perlu disosialisasikan melalui proses komunikasi dan komunikasi berpijak dari pengalaman ( budaya ) orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Dengan memperhatikan pembahasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa komunikasi dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Penegasan ini bisa dilihat dalam ulasan Milton J. Bennet berikut (Bennett. 1998: 53) : “ The galaxies of the universe are controled by the same laws. This is not true of the cultural worlds created by humans, each of which operates according to its own internal dynamic, its own principles, and its own laws-written and unwritten. Even 16 time and space are unique to each culture. There are, however, some common threads that run through all cultures, for we all share the same basic roots. Communication underlies everything. Although we tend to regard language as the main channel of communication, there is general agreemet among experts in semiotics that anywhere from 80 to 90 percent of the information we receive is not only communicated nonverbally but occurs outside our awareness.” Alam semesta ini dikontrol oleh hukum yang sama. Ternyata hal ini tidak benar bila dilihat dari dunia budaya yang diciptakan oleh manusia, yang masing-masing bertindak sesuai dengan dinamika internalnya sendiri, prinsip sendiri, dan hukum tertulis-tidak tertulis sendiri. Bahkan ada waktu dan ruang yang unik untuk masing-masing budaya. Namun demikian, ada benang merah yang bisa menghubungkan semua budaya, karena semua berbagi akar dasar yang sama. Komunikasi yang mendasari segalanya. Meskipun kita cenderung menganggap bahasa sebagai saluran utama komunikasi, ada kesepakatan umum di antara para ahli semiotika bahwa dari 80 sampai 90 persen informasi yang diterima tidak hanya berupa komunikasi nonverbal, tetapi kadang terjadi di luar kesadaran. Konsep budaya menurut Antony Giddens terdiri atas nilai yang diberikan para anggota dalam group, dan norma yang mereka anut serta “The material Good” yang mereka ciptakan. Nilai merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, sedangkan norma adalah prinsip atau aturan pasti dimana orang atau anggota berharap untuk dapat mematuhinya. Norma bergerak pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan social anggotanya (Giddens, 1990:31-32). a. Pengaruh Budaya pada Encoding Bahasa Verbal dan Tingkah laku nonverbal Budaya memiliki pengaruh yang besar pada bahasa verbal. Setiap bahasa merupakan sebuah sistem simbol unik yang menunjukkan apa dianggap penting oleh budayanya. Katakata tertentu mungkin ada dalam beberapa bahasa dan tidak terdapat dalam bahasa lain, hal ini mencerminkan cara kebudayaan tersebut melambangkan dunia mereka. Beberapa kebudayaan dan bahasa sering menggunakan self referent dengan cara yang berbeda, misalnya dalam bahasa Inggris kata I dan you bisa digunakan untuk berbagai jenis peran, posisi, atau status. 17 Budaya tidak hanya mempengaruhi kosakata bahasa, tetapi juga fungsi atau pragmatiknya. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa dalam bahasa budaya individualistis, kata ganti dapat dihilangkan dari kalimat. Studi-studi lain juga menunjukkan perbedaan budaya dalam beberapa aspek lain dari komunikasi, termasuk komunikasi ingroup dan outgroup, penggunaan permintaan maaf, pengungkapan diri, pujian, dan kritik interpersonal. Budaya juga mempengaruhi struktur dari proses pemikiran melalui hipotesis SapirWhorf. Meskipun beberapa penelitian telah menentang hipotesis ini selama bertahun-tahun, namun mereka mendapat dukungan yang cukup besar dalam kaitannya dengan pengaruh tata bahasa dan aspek sintaksis bahasa terhadap pemikiran. Penelitian tentang bilingual juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara budaya dengan bahasa, mereka menemukan bahwa individu yang berbicara dalam 2 bahasa bisa mengakses kedua sistem budaya dari bahasa yang mereka gunakan tersebut. Budaya juga bisa mempengaruhi beberapa tingkah laku non verbal. Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa ekspresi wajah marah, jijik, takut, bahagia, sedih, dan terkejut itu secara budaya dimiliki oleh semua orang, dan disampaikan dengan berbagai macam cara yang berbeda sesuai dengan kebudayaannya masing-masing. Terdapat banyak perbedaan budaya dalam gesture, tatapan dan perhatian visual, ruang interpersonal, postur tubuh, suara, dan karakteristik vokal. Budaya mempengaruhi semua aspek encoding pesan dalam komunikasi. Proses encoding bisa terjadi secara verbal melalui bahasa, atau non verbal melalui ekspresi wajah, gesture, postur tubuh, ruang, atau parameter non verbal lainnya, semua proses encoding itu dipengaruhi oleh budaya. Itu berarti bahwa cara sebuah pesan yang dikodekan menjadi sinyal-sinyal dan bagaimana sinyal dikirim oleh encoder dalam proses komunikasi sangat dipengaruhi oleh budaya. Keakuratan komunikasi bergantung pada kemampuan decoder untuk menguraikan sinyal yang membawa pesan. Pada gilirannya, kemampuan ini tergantung pada keberadaan decoder memahami nilai budaya yang terjadi dalam proses encoding. 18 b. Pengaruh Budaya pada Proses Decoding 1) Filter budaya, etnosentrisme, emosi, dan pertimbangan nilai Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia melalui filter budaya sendiri. Filter etnosentris merupakan salah satu mekanisme bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi. Saat tumbuh dewasa, kita mempelajari aturan-aturan budaya tentang encoding komunikatif yang tepat pada tingkah laku verbal dan non verbal. Ketika masih kecil, aturan-aturan tersebut secara konstan terus diperkuat oleh orang tua, teman, guru, dan agen enkulturasi lainnya. Beberapa peraturan juga ditransmisikan dan diperkuat oleh organisasi dan lembaga. Seiring dengan bertambahnya usia, kita butuh untuk kembali diingatkan tentang aturan-aturan ini, dan untuk menggunakannya dibutuhkan sedikit usaha secara sadar. Usaha-usaha ini menghasilkan sesuatu yang unik, yaitu terciptanya cara-cara yang khas secara budaya dalam melakukan komunikasi verbal dan non verbal. Kita juga belajar bagaimana caranya melihat sinyal dan menginterpretasikan pesan, yaitu dengan mempelajari aturan-aturan budaya tentang decoding yang tepat. Karena kita mempunyai sebuah aturan encoding dan decoding yang sama dengan orang-orang dari budaya kita, maka kita dapat mengembangkan harapan yang sama dalam berkomunikasi. Aturan-aturan dan harapan ini membentuk sebuah dasar pemahaman yang tidak harus selalu diucapkan ketika kita berkomunikasi dengan orang dewasa lain yang berasal dari budaya yang sama. Selain harapan dalam melakukan komunikasi, kita juga mempelajari reaksi emosional yang berhubungan dengan harapan-harapan tersebut. Reaksi ini dapat berupa penerimaan dan kesenangan, bisa juga berupa kemarahan, permusuhan, dan frustrasi. Emosi kita juga sangat terkait dengan pertimbangan nilai yang sering kita buat tanpa berpikir panjang. Pertimbangan ini bersifat alami karena berasal dari pola asuh kita. Emosi dan nilai-nilai berfungsi sebagai pedoman yang membantu kita dalam membentuk pendapat tentang orang lain dan diri kita sendiri. 19 Jadi, aturan decoding dan pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan emosi dan nilai, membentuk dasar dari filter yang kita gunakan untuk melihat dunia. Ketika kita semakin terenkulturasi, berarti kita menambahkan lapisan filter tersebut. Filter ini seperti lensa yang memungkinkan kita untuk melihat dunia dengan cara tertentu. Setelah beranjak dewasa, kita telah mempunyai filter yang sama dengan orang lain dalam kelompok budaya kita. Filter-filter itu kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dan tak terlihat dari diri kita, dan merupakan bagian dari komposisi psikologis kita sebagai hasil dari proses enkulturasi yang kita lakukan. 2) Budaya dan Stereotip Stereotip adalah generalisasi tentang orang, terutama tentang karakteristik psikologis atau sifat kepribadian yang mendasarinya. Stereotip merupakan sebuah produk dari proses psikologis, yang termasuk dalam stereotip adalah perhatian selektif, pertimbangan, pembentukan konsep dan kategorisasi, atribusi, emosi, dan memori. Stereotip merupakan alat bantu mental yang sangat penting, yang membantu kita mengorganisasikan informasi. Stereotip membantu kita berinteraksi dengan orang lain, dan mempunyai peran yang sangat penting dalam komunikasi. Proses-proses psikologis merupakan bagian dari konsep diri kita. Proses ini memperkuat pengetahuan budaya yang telah kita pelajari dari proses enkulturasi, dan kemudian memperkuat rasa diri kita. Ketika kita mengkonfirmasi stereotip kita, maka kita juga memperkuat konsep diri kita. Stereotip merupakan bagian integral dari proses psikologis, dan terkait erat dengan emosi, nilai-nilai, dan inti diri kita. 3) Budaya dan Sosial Kognisi Budaya mempengaruhi interpretasi kita terhadap tindakan orang lain, yaitu, atribusi kita tentang orang lain. Misalnya orang Amerika, mereka cenderung untuk menarik kesimpulan tentang keadaan internal orang lain menurut dugaan yang mendasari atau menyebabkan sebuah tingkah laku. Bias ini dikenal sebagai fundamental attribution 20 error/kesalahan atribusi yang fundamental (Ross, 1977). Penelitian lintas budaya telah menunjukkan bahwa bias ini tidak ditemukan dalam budaya lain. Miller (1984) membandingkan penjelasan yang diberikan oleh orang Amerika dengan orang Hindu India tentang tindakan orang lain. Miller menemukan bahwa memberikan penjelasan disposisional merupakan hal yang biasa bagi untuk orang Amerika tapi tidak bagi orang Hindu. Orang Hindu biasa memberikan penjelasan tentang tugas-tugas, peran sosial, dan karakteristik situasi khusus lainnya. Sebagai kesimpulan dari penjelasan tentang peran budaya dalam proses decoding, yang pertama yaitu terdapat hubungan erat antara aturan-aturan budaya yang mengatur encoding dan decoding, dan kedua yaitu adanya pengaruh budaya dalam perkembangan etnosentrisme, stereotip, dan kognisi sosial. Aturan decoding budaya sangat berkaitan dengan emosi dan pertimbangan nilai, yang secara kolektif membentuk konsep diri kita. Karena komunikasi melibatkan proses peralihan dari encoder ke decoder, maka kita perlu memahami peran budaya dalam proses ini, baik dalam komunikasi intracultural maupun intercultural/antar budaya. Komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan, karena yang satu mempengaruhi yang lain. Budaya tercermin dalam praktik komunikasi, di saat yang sama praktik komunikasi tersebut membentuk kehidupan berbudaya. Lima prinsip yang berlaku pada komunikasi sosial budaya (Wood, 2012:138-146): a. Komunikasi mengungkapkan dan menopang budaya Pola komunikasi merefleksikan nilai dan perpektif budaya. Komunikasi merupakan cermin dari nilai – nilai suatu budaya dan sarana utama untuk tetap menyatukan nilai – nilai suatu budaya dan saran utama b. Budaya terdiri dari komponen material dan immaterial Budaya terdiri dari elemen – elemen material yang merupakan objek berwujud dan zat fisik yang telah disesuaikan oleh intervensi manusia objek yang menciptakan 21 budaya, mencerminkan nilai, kebutuhan, tujuan dan kesibukannya. Budaya juga mencangkup komponen immaterial. Empat aspek immaterial yang paling penting dari suatu budaya adalah kepercayaan, nilai, norma dan bahasa. Kepercayaan adalah konsepsi dari apa yang benar, factual atau sah. Nilai adalah pandangan umum mengenai apa yang baik, benar, berharga dan penting dengan memperhatikan perilaku dan keberadaan. Kalau kepercayaan berhubungan dengan apa yang orang piker benar, nilai berhubungan dengan apa yang seharusnya atau apa yang berharga dalam hidup. Norma adalah aturan informal yang menangkap bagaiman anggota suatu budaya bertindak sekaligus bagaiaman mereka berpikir dan merasa. Norma mendefinisikan apa yang dianggap normal atau pantas dalam situasi tertentu. Bahasa membentuk bagaimana kita berpikir menenai dunia dan diri sendiri. c. Budaya dibentuk oleh kekuatan historis dan geografis Pola kehidupan budaya tidaklah acak atau sewenang – wenang. Kebanyakan tumbuh dari sejarah dan lokasi geografis suatu masyarakat. Pengaruh sejarah membentuk pola komunikasi pada kelompok sosial. d. Kita mempelajari budaya pada proses berkomunikasi Dalam hal ini kita mempelajari kepercayaan, nilai, norma dan bahasa pada masyarakat melalui interkasi dengan orang lain. Mengobservasi bagaimana orang lain berkomunikasi, kita mempelajari bahasa dan apa artinya. Hal ini memungkinkan kita berpartisipasi pada dunia makna yang sama dalam masyarakat. e. Budaya bersifat dinamis Prinsip terakhir dari budaya adalah dinamis, artinya mereka berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Untuk bertahan, buadaya harus beradaptasi dengan dunia alami dan dengan aktifitas manusia. 22 Keempat sumber adaptasi budaya atau perubahan yaitu pertama, reka cipta, kreasi alat, ide dan praktik, kedua, difusi, ketiga, bencana budaya dan keempat adalah komunikasi. 2. Teori Media Sebuah pandangan yang umum dinilai menandai lahirnya teori media dan melihat media sebagai media adalah buah karya pemikiran dari Marshall McLuhan pada tahun 1960-an, yang dikenal sebagai Teori Media Klasik. Meskipun sebenarnya gagasan Mc Luhan sangat dipengaruhi oleh pengajarnya yaitu Harold Adam Innis yang mengajarkan bahwa media komunikasi adalah intisari peradaban dan bahwa sejarah diarahkan oleh media yang menonjol pada masanya. Berbagai metafora telah diciptakan untuk mengartikan aspek-aspek media. Sebagai contoh, Denis McQuail mengacu pada delapan metafora: media merupakan jendela (windows) yang memungkinkan kita untuk melihat lingkungan kita lebih jauh, penafsir (interpreters) yang membantu kita memahami pengalaman, landasan (platforms) atau pembawa yang menyampaikan informasi, komunikasi interaktif (interactive communication) yang meliputi opini audiens, penanda (signposts) yang memberi kita instruksi dan petunjuk, penyaring (filters) yang membagi pengalaman dan focus pada orang lain, cermin (mirrors) yang merefleksikan diri kita, dan penghalang (barners) yang menutupi kebenaran. Joshua Meyrowitz menggambarkan tiga metafora yang mewakili berbagai sudut pandang mengenai media-media sebagai vessel, media sebagai bahasa (language), dan media sebagai lingkungan (environment). Metafora yang pertama—“media sebagai vessel”—adalah gagasan bahwa media adalah pembawa pesan (content) yang netral. Kebanyakan teori yang dihadirkan dalam bab ini menggunakan metafora pertama. Metafora yang kedua adalah “media sebagai bahasa”. Pada metafora ini, masingmasing media memiliki unsur-unsur struktural atau tata kalimat, seperti sebuah bahasa. Media cetak, misalnya, memiliki rancangan halaman, gaya huruf tertentu, dan sebagainya. 23 Media-media lain mungkin memiliki berbagai unsur komposisi suara dan visual yang dapat memengaruhi konsumen dalam berbagai cara. Pengaruh sebuah media sangat bergantung pada fitur-fitur struktural ini. Metafora yang ketiga adalah “media sebagai lingkungan”, metafora ini dilandasi oleh gagasan bahwa kita hidup dalam lingkungan yang penuh dengan berbagai informasi yang disebarkan oleh keberadaan media dengan beragam kecepatan, ketepatan, kemampuan melakukan interaksi, persyaratan fisik, dan kemudahan belajar. Lingkungan media tersebut membentuk pengalaman pada manusia dengan cara-cara yang signifikan dan sering kali tanpa disadari (Littlejohn and Foss, 2009: 407). McLuhan adalah seorang Profesor Bahasa Inggris di University of Toronto, dan seorang garda depan dalam menginterpretasi media, dan pemaknaannya secara sistemik. Ia mengemukakan bahwa cara pandang masyarakat selalu dibentuk oleh bentuk alami media yang disampaikan dari mulut ke mulut, daripada isi pesan yang terkandung dalam media tersebut. McLuhan (1964; 11-19) dengan teori “the medium is the message” yang terkenal beranggapan bahwa teknologi yang mempengaruhi perubahan budaya. Media dapat dibentuk dan mempunyai kekuatan control. Konten atau penggunaan media yang berbeda akan menjadi pembeda pada proses pembentukannya. McLuhan mengibaratkan “content” dari media seperti sepotong daging yang dibawa oleh pencuri untuk mengalihkan perhatian anjing penjaga. Efek dari media begitu kuat dan intens, karena media adalah “content”. Marshall McLuhan meramalkan, ketika memasuki abad ke -21, manusia telah selesai menyerahkan seluruh tubuhnya kepada teknologi. Jika demikian yang terjadi maka dunia akan gembos menciut (implosion), dan manusia beserta kebudayaannya pun tenggelam di dalam pusar teknologi yang dahsyat. Untuk menghindari dari malapetaka teknologi, McLuhan mewanti – wanti manusia agar mendengarkan pesan teknologi, karena teknologi adalah media, dan media adalah pesan (McLuhan, 1964:23-35,63-67 dalam Margareta, 2010). 24 Berdasarkan penelitiannya, McLuhan (1962, 1964) menganggap media komunikasi sebagai perluasan dari, dan sekaligus menggantikan, fungsi penginderaan manusia dalam proses komunikasi. Hal tersebut mirip dengan perkembangan teknologi transportasi, yang berawal dari penemuan roda, sebagai perluasan dari dan untuk menggantikan fungsi kaki dalam mengatasi jarak. Jadi, sebagaimana indera pendengaran dalam berkomunikasi diperluas menjadi dan diganti oleh sistem bunyi-bunyian bermakna, misalnya tetabuhan, demikianlah fungsi indera penglihatan diperluas dan digantikan oleh teknologi keberaksaraan dalam berbagai bentuk tulisan. Sedangkan kehadiran TI, yang diawali dengan penemuan elektronik, merupakan perluasan dari indera pendengaran, penglihatan, dan perabaan sekaligus. Artinya, media komunikasi elektronis merupakan perluasan sekaligus pengganti fungsi seluruh sistem penginderaan manusia yang paling berperan untuk berkomunikasi. McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa “Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”. Inti dari teori McLuhan adalah determinisme teknologi. Maksudnya adalah penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya yang mengubah kebudayaan manusia. Jika Karl Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi, maka menurut McLuhan eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan moda komunikasi. Dalam bahasan Em Griffin (2003: 344) disebutkan, “Nothing remains untouched by communication technology”. Determinasi teknologi juga merupakan keberadaan media komunikasi massa dilihat sebagai fenomena yang dibentuk oleh perkembangan masyarakat. Teknologi mengubah konfigurasi masyarakat, mulai dari masyarakat agraris, industrial sampai ke masyarakat 25 informasi. Dalam perubahan tersebut teknologi komunikasi berkembang sebagai upaya manusia untuk mengisi pola-pola hubungan dalam setiap konfigurasi baru. Perkembangan teknologi yang mempengaruhi kegiatan komunikasi, pertaliannya dapat dilihat pada dua tingkat, pertama secara struktural, yaitu faktor teknologi yang mengubah struktur masyarakat, untuk kemudian membawa implikasi dalam perubahan struktur model komunikasi. Kedua, perubahan model komunikasi secara kultural membawa implikasi pula pada perubahan cara-cara pemanfaatan informasi dalam masyarakat. Dengan begitu determinasi teknologi dalam konteks komunikasi dapat dilihat dalam urutan berpikir dari perubahan struktur masyarakat, struktur model komunikasi dalam masyarakat, dan cara pemanfaatan informasi. Selain itu ada pula pandangan dengan urutan sebaliknya dari pemanfaatan informasi, membawa perubahan masyarakat, dan untuk kemudian mempengaruhi perkembangan teknologi. Pandangan ini menempatkan media massa dapat membentuk masyarakat melalui realitas psikhis dan realitas empiris sehingga terdapat daya kreatif person maupun kolektifitas. Dengan kapabilitas dan daya kreatif secara personal atau kolektif dapat melahirkan (invention) dan memperkembangkan (innovation) teknologi dalam masyarakat. McLuhan juga menjabarkan tentang teori yang dia kemukakan ini , yakni sejarah kehidupan manusia ke dalam empat periode, dimana transisi antar periode tadi tidaklah bersifat bersifat gradual atau evolusif, akan tetapi lebih disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi. a. The Tribal Age. Menurut McLuhan, pada era purba atau era suku zaman dahulu, manusia hanya mengandalkan indera pendengaran dalam berkomunikasi. Komunikasi pada era itu hanya mendasarkan diri pada narasi, cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. Jadi, telinga adalah “raja” ketika itu, “hearing is believing”, dan kemampuan visual manusia belum banyak 26 diandalkan dalam komunikasi. Era primitif ini kemudian tergusur dengan ditemukannya alfabet atau huruf. b. The Age of Literacy. Semenjak ditemukannya alfabet atau huruf, maka cara manusia berkomunikasi banyak berubah. Indera penglihatan kemudian menjadi dominan di era ini, mengalahkan indera pendengaran. Manusia berkomunikasi tidak lagi mengandalkan tuturan, tapi lebih kepada tulisan. c. The Print Age. Sejak ditemukannya mesin cetak menjadikan alfabet semakin menyebarluas ke penjuru dunia. Kekuatan kata-kata melalui mesin cetak tersebut semakin merajalela. Kehadiran mesin cetak, dan kemudian media cetak, menjadikan manusia lebih bebas lagi untuk berkomunikasi. d. The Electronic Age. Era ini juga menandai ditemukannya berbagai macam alat atau teknologi komunikasi. Manusia kemudian menjadi hidup di dalam apa yang disebut sebagai “global village”. Media massa pada era ini mampu membawa manusia mampu untuk bersentuhan dengan manusia yang lainnya, kapan saja, di mana saja, seketika itu juga. McLuhan membagi media menjadi dua jenis, yaitu “media panas” (hot media) serta “media dingin” (cool media). Media panas adalah media yang tidak menuntut perhatian besar dari pendengar, pembaca atau penonton (audiensi) media bersangkutan. Menurut McLuhan, media panas merupakan komunikasi definisi tinggi (high difinition communication) yang menyediakan data sensoris lengkap yang dapat di terima indra manusia; dalam menggunakan media ini audiensi tidak dituntut untuk menggunakan daya imajinasinya, atau dengan kata lain sangat sedikit sekali daya imajinasi yang dibutuhkan. 27 Dengan demikian, partisipasi audiensi dalam media panas sangatlah rendah karena makna dari informasi yang diterima audiensi sudah sangat lengkap dan jelas. Film adalah salah satu contoh media panas. Ketika seseorang menonton film di bioskop misalnya, ia hanya duduk, menonton film bahkan sambil makan atau minum, tidak ada upaya keras untuk menerima dan memahami informasi dari media tersebut. Media panas memberikan audiensi apa yang dibutuhkannya dalam hal ini, hiburan. Media dingin merupakan media definisi rendah yang membutuhkan partisipasi audiensi yang cukup besar, dengan kata lain media dingin merupakan komunikasi definisi rendah yang menuntut partisipasi aktif dari penonton, pendengan dan pembaca. Tidak banyak yang dapat diberikan dari media jenis ini kepada audiensi, dan audiensi harus memenuhi sendiri hal-hal yang tidak disediakan media dingin. Audiensi harus menciptakan makna melalui indranya dan secara imajinatif melibatkan dirinya. Menurut McLuhan, percakapan tatap muka atau percakapan melalui telepon adalah contoh media dingin yang menuntut mereka yang terlibat untuk memberikan makna terhadap suara atau kata-kata yang di ucapkan dan juga imajinasi visual ketika menggunakan media tersebut. Selain film, McLuhan menggolongkan radio, buku, foto serta kuliah sebagai media panas sedangkan televisi, seminar dan film kartun sebagai media dingin. Bagi sebagian orang pembagian jenis media oleh McLuhan ini cukup membingungkan, namun justru gagasan ini menjadi bagian penting dari teori tentang media yang diajukan McLuhan. Pandangan menimbulkan kontroversi di kalangan sarjana. Bagaimana mungkin beberapa media tersebut, misalnya televisi, digolongkan sebagai media dingin, sedangkan radio dikategorikan sebagai media panas. Namun sebagian kalangan menilai hal ini disebabkan tingkat golongan kala itu yang masih rendah. Selain itu, jika audiensi aktif menggunakan remote control ketika menonton televisi maka ia telibat dalam media dingin. 28 McLuhan menggolongkan radio sebagai media panas karena kebanyakan orang menggunakan radio untuk mengiringi aktivitas lain. Untuk menjelaskan gagasannya mengenai media panas dan dingin ini, McLahun mengambil contoh pada debat calon presiden AS pada tahun 1960 antara John F. Kennedy dan Richard Nixon. McLuhan menemukan bahwa audiensi yang menonton debat melalui televisi akan memenangkan Kennedy karena media tersebut mampu menunjukkan dengan baik karekter dan pesona yang dimilikinya. Adapun audiensi yang mengikuti debat melalui radio yang dimenangkan Nixon, karena media tersebut mampu menutupi kelemahan Nixon yang mudah berkeringat. 3. Hegemoni Kebudayaan dikonstruksikan dalam beragam aliran makna dan mencangkup berbagai macam ideologi dan bentuk cultural. Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) satu dari pemikir politik terpenting setelah Marx. Teori ini merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure (basissuprastruktur) sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional. Teori hegemoni dibangun di atas pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik sehingga orang yang dikuasai mau mematuhi penguasa dengan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Bahkan mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka yang boleh jadi mereka sadari ataupun tidak disadari yang Gramsci maksud sebagai “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensual . Teori hegemoni dari Gramci yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramci ketika dipenjara yang akhirnya dibukukan dengan judul “Selection from The Prissons Notebook” yang banyak dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama “New Gramcian”. 29 Teori hegemoni kurang memusatkan perhatian pada faktor ekonomi dan struktur ideologi yang mengunggulkan kelas tertentu, tetapi lebih menekankan ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang dijalankan penguasa untuk mempertahankan status quonya melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk sikap hidup mereka dalam masyarakat dan alam pikiran mereka. Menurut Gramsci, kekuasaan yang dapat lama bertahan memerlukan suatu sistem kerja baik berupa tindakan kekerasan yang bersifat memaksa maupun bersifat lunak, membujuk. Oleh karena itu, kekuasaan yang terjadi dapat diteruskan dengan diawalinya oleh dominasi dan lama kelamaan digantikan oleh hegemoni (Gramsci, 1971: 65). Banyak cara yang membentuk hegemoni terjadi dalam kehidupan masyarakat bahkan dalam bentuk yang paling persuasive sehingga bentuknya tidak dianggap serius, angker, dan bersifat politis. Menurut Sugiono, penjelasan Gramsci yang mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supermasi lain yang ia namakan “dominasi” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik. Menurut Gramsci, terdapat dua perangkat kerja agar kekuasaan dapat diteruskan, abadi dan langgeng. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau yang bernuansa law enforcement yang biasanya dilakukan oleh pranata negara melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga. Perangkat karja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) seperti LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan kelompok-kelompok kepentingan (Sugiono, 1999:3). Gramsci mengatakan bila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuasaan memaksa atau “dominasi” maka stabilitas dan keamanan memang tercapai dan gejolak perlawanan tidak terlihat karena rakyat memang tidak berdaya dan tidak mampu berbuat apa-apa. Namun hal ini tidak dapat berlangsung secara terus menerus, sehingga para penguasa yang menyadari keadaan ini secara perlahan-lahan menggantikannya dengan perangkat kerja yang kedua, yaitu “hegemoni”. Dengan demikian, terdapat dua cara 30 Supermasi kelompok (penguasa) atau kelas sosial yaitu dominasi atau penindasan dan kepemimpinan intelektual dan moral atau hegemoni (Hendarto,1993: 74). Gramci juga menyebutkan bahwa hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Terdapat berbagai cara yang digunakan, misalnya melalui institusi yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Gramsci juga melihat kenyataan bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat kelompok yang memerintah dan yang diperintah. Persoalan bagi yang memerintah adalah bagaimana menciptakan kepatuhan dan meniadakan perlawanan dari yang diperintah. Jalan yang ditempuh Gramsci untuk mewujudkan hal itu adalah penguasa mempergunakan cara lewat dominasi atau penindasan dalam bentuk kekuatan (force) dan hegemoni yakni memegang kendali kepempimpinan intelektual dan moral yang diterima secara sukarela lewat kesadaran (Billah, 1996: 43). Dua dari para teoretikus kritis terkemuka, Raymond Wiliams dan Stuart Hall, mengingatkan kita bahwa hegemoni dalam konteks politik manapun memang rapuh. Hegemoni mensyaratkan pembaruan dan modifikasi melalui penegasan dan penegasan kembalik kekuasaan. Hall menunjukan bahwa “yang menentukan bagi konsep itu adalah bahwa hegemoni bukanlah suatu keadaan ‘yang sudah pasti’ dan permanen, melainkan ia harus secra aktif dimenangkan dan direbut; hegemoni dapat juga leyap” (1977:333 dalam Lull,1998:41). Suatu system kekuasaan yang didasarkan pada konsesus yang diciptakan/ diajarkan dalam Negara disebut Gramsci sebagai “hegemonic”. Sebagai seorang marxis yang percaya bahwa kapitalisme menciptakan bentuk – bentuk kontradiksi tertentu, maka menurut Gramsci system hegemonic demikin tadi harus berupaya terus – menerus untuk mengarahkan oposisi yang antagonis menjadi kesaling sesuaian (Gramsci, 1975:801-2 dalam Peter, 2002: 203). 31 Gramsci menyampaikan bahwa dominasi yang dilakukan oleh penguasa pada kenyataannya dapat merubah materi menjadi suatu keindahan. Hal ini materi bukan hanya berupa benda akan tetapi juga dapat berupa jasa/budaya. Perubahan materi yang indah tersebut diharapkan dapat mempesona pihak yang dikuasai dalam hal ini masyarakat. Gramsci beranggapan kondisi seseorang atau kelompok yang sudah terpesona, dapat menghilangkan daya kritis. Hilangnya daya kritis tersebut secara tidak langsung dapat melemahkan pihak yang dikuasai, sehingga dapat dengan mudah menyampaikan identitas yang diinginkan. 4. Komunikasi dan Komodifikasi Budaya Media telah menjadi sarana utama bagi kebanyakan dari kita untuk mengalami dan belajar tetang berbagai aspek dunia di sekitar kita. Dalam satu decade terakhir kita terbiasa hidup dalam budaya media atau masyarakat media. Budaya media jelas telah mencangkup dua pengertian budaya ini, baik ketika kita berbicara tentang produk media sebagai ekspresi kreatif maupun budaya media yang menjadi bagian dari bagaimana kita menjalani hidup atau menghabiskan waktu luang sehari – hari (Subandy, 2014: 1-3). Para pengkaji media dan budaya kritis telah menggunakan beberapa pendekatan untuk memahami arti penting sosio cultural media dalam kehidupan sehari – hari: media sebagai pembentuk, cermin, pengemas, guru, ritual atau bahkan ‘Tuhan’ (Subandy, 2014:3). Komodifikasi merupakan titik awal untuk menteorisasikan ekonomi politik komunikasi. Komodifikasi mendeskripsikan cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan obyek dan proses, dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Komodifikasi merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. Beberapa pandangan para ahli yang mengasumsikan mengenai komodifikasi diantaranya, menurut Barker (2004: 517), komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan 32 dengan kapitalisme. Obyek, kualitas dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah terjual dipasar. Komodifikasi dapat dikatakan gejala kapitalisme untuk memperluas pasar, meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dilakukan dengan membuat produk atau jasa yang disukai oleh konsumen. Barang dikemas dan dibentuk sedemikian rupa sehingga disukai oleh konsumen. Sedangkan ciri dari komodifikasi itu sendiri adalah adanya perubahan format yang menyesuaikan dengan keinginan konsumen. Konsumen atau khalayak menjadi tujuan utama, dengan menjangkau khalayak diharapkan bisa mendatangkan keuntungan. Vincent Mosco (2009) dalam Subandy (2014;19) mengupas kembali apa yang disebut oleh Marx sebagai “kulit bawang” penampilan komoditas yang menyingkapkan system produksi. Dalam pandangan Mosco (2009), proses komodifikasi memiliki dua arti penting bagi penelitian komunikasi. Pertama, proses dan teknologi komunikasi telah berkontribusi pada proses umum komodifikasi dalam ekonomi secara keseluruhan. Kedua, proses komodifikasi yang bekerja dalam masyarakat secara keseluruhan mempenetrasi proses komunikasi dan institusi, sehingga perbaikan dan kontradiksi dalam proses komodifikasi sosial mempengaruhi komunikasi sebagai praktik sosial. Salah satu prespektif paling menantang dan membangkitkan minat yang muncul dari prespektif kajian media dan budaya kritis adalah “komodifikasi budaya”. Perspektif komodifikasi budaya memandang media sebagai industrsi budaya, industry yang mengomodifikasikan budaya atau industry tempat berlangsungnya proses komodifikasi. Beberapa ahli mencoba mendefinisikan komodifikasi budaya sebagai, “Studi tentang apa yang terjadi ketika budaya diproduksi dan disebarkan secara missal dalam berkompetisi secara langsung dengan budaya – budaya yang berbasis lokal”. Menurut pandangan ini, media adalah industri yang mengkhususkan diri dalam produksi dan distribusi komoditas budaya (Subandy, 2014: 25). Media telah menjadi sarana utama bagi kebanyakan dari kita untuk mengalami dan belajar tentang berbagai aspek dunia di sekitar kita. Para pengkaji media dan budaya kritis telah menggunakan beberapa pendekatan untuk memahami arti penting sosio cultural media 33 dalam kehidupan sehari – hari, pada penelitian ini pendekatan yang dipakai adalah media sebagai representasi. Sesungguhnya isi media tidak mencerminkan peristiwa secara netral dan secara sempurna. Media terlebih dahulu menyeleksi apa yang akan dimasukkan dalam berita dan media menyajikan unsur – unsur yang mereka masukkan itu dengan cara – cara khusus. Jadi, media tidak menyajikan kepada kita sebuah cermin yang utuh melainkan susunan representasi dunia yang sudah diseleksi dan dikemas sedemikian rupa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh stuart Hall (1982: 64): “Representation is a very different nation from reflection. It implies the active work of selecting and presenting, of structuring and shaping.” (Subandy, 2014: 5). Model representasi sirkular media berguna untuk memahami arti penting media secara socio-kultural. Oleh karena itu, model sirkular tentang representasi dan pengaruh media bisa menjadi titik pijak untuk memahami proses terus menerus berlangsungnya representasi media secara sektif dan bagaimana hal tersebut dipengaruhi oleh kemasan dan kharakter masyarakat (Subandy, 2014: 6). Gambar II.1 Model Representasi Sirkular Media SOCIETY MEDIA REPRESENTATION Sumber: Hodkinson (2011:6) dalam Subandy, (2014: 6) 34 5. Identitas Budaya Pengetian Identitas sendiri menurut Chirs Barker adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan individu dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan individu dengan orang lain. Dilihat dari bentuknya, Setidaknya ada tiga bentuk identitas, yakni identitas budaya, identitas sosial dan identitas pribadi. Identitas budaya merupakan ciri yang mencul karena seseorang itu merupakan anggota dari sebuah etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran tentang penerimaan tradisi, sifat bawaan, Identitas sosial terbentuk akibat dari keanggotaan seseorang itu dalam suatu kelompok kebudayaan. Tipe kelompok itu antara lain, umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, dan tempat, identitas sosial merupakan identitas yang diperoleh melalui proses pencarian dan pendidikan dalam jangka waktu lama. Identitas pribadi didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seseorang (Barker, 2004:172). Dalam hal ini, konteks budaya muncul serta mempengaruhi pembentukan identitas yang ada pada diri individu sehingga membangun sebuah identitas yang dapat diklasifikasikan secara individual, komunal, serta societal (masyarakat) (Hecht dalam Littlejohn, 2011: 102-103). Konsep komunikasi dikatakan sebagai joining point dalam hubungan individu dengan masyarakat. Ini memperjelas bahwa dalam interaksi ataupun hubungan yang dilakukan oleh setiap individu di dalam suatu lingkungan, hal tersebut akan melibatkan sejumlah aspek yang ada pada diri individu dan lingkungannya. Baik itu dalam kapasitas kognisi, pemikiran, perilaku, maupun spiritual. Hect menguraikan identitas melebihi pengertian sederhana akan dimensi diri dan dimensi yang digambarkan. Kedua dimensi tersebut berinteraksi dalam rangkaian empat tingkatan. Tingkatan pertama adalah personal layer, yang terdiri dari rasa akan keberadaan diri anda dalam situasi sosial. Tingkatan kedua adalah enactment layer atau pengetahuan orang lain tentang diri anda berdasarkan pada apa yang anda lakukan, apa yang anda miliki, dan bagaimana anda bertindak. Penampilan anda adalah simbol – simbol aspek yang lebih mendalam tentang identitas anda serta orang lain akan mengidefinisikan dan memahami anda melalui penampilan tersebut (Littlejohn and Foss, 2009:131). 35 Tingkatan ketiga dalam identitas anda adalah relational atau siapa diri anda dalam kaitannya dengan individu lain. Tingkatan keempat dalam identitas adalah tingkatan communal, yang diikat pada kelompok atau budaya yang lebih besar. Meskipun budaya – budaya akan menekankan tingkatan identitas yang berbeda, keempat tingkatan tersebut selalu hadir. Semuanya saling tercangkup (Littlejohn and Foss, 2009:132). Gudykunst menjelaskan identitas budaya sebagai bagian dari komunikasi; mengutip dari Martin J.N dan Nakayama T.K dalam bukunya berjudul Intercultural Communication in Context (1997) Gudykunst menjelaskan bahwa dalam perpektif komunikasi, ditekankan bahwa seseorang tidak dapat membuat identitasnya sendiri, sebagai gantinya mereka akan membangun identitasnya melalui komunikasi dengan yang lain (Gudykunst, 2003:210). Pusat kajiannya adalah bahwa identitas muncul dimana terjadi pertukaran pesan antar manusia. Menurut Collier dalam bukunya Cultural Identity and Intercultural Communication (1997), menjelaskan bahwa identitas etnik adalah sebuah negosiasi, pemerkokoh dan persaingan melalui komunikasi. selain itu, Colllier juga menjelaskan bagaimana “Property” diri sendiri dari identitas etnik merupakan peraturan dan bangunan melalui komunikasi (Gudykunst, 2003:210). Collier menyebutkan bahwa identitas juga merupakan ekspresi melalui bentuk symbol, norma, dan label. Dalam konteks budaya Indonesia, Andrik Purwasito dalam bukunya “komunikasi Multikultural” mengatakan subkultural merupakan budaya local yang berlatar belakang etnisitas. Makrokultural bersifat kebangsaan (cultural nasional), yang dikat oleh ikatan politis, ekonomi, dan ikatan budaya. Sedangkan di atasnya lagi ada superkultural yakni budaya yang bersifat global. Sedangkan mikrokultural dapat dicontohkan sebagaiman dalam istilah Sosiologi, yaitu Peer Group, yaitu kelompok pertemanan yang didasarkan atas kesamaan usia. (Purwasito, 2015:139-14) Secara etimologis, kata identitas berasal dari kata Identity, yang berarti: a. Kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain. 36 b. Kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara dua orang atau dua benda. c. Kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda. Pada tataran teknis, pengertian etimologis di atas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata ‘identik’, misalnya menyatakan sesuatu itu mirip satu dengan yang lain. Oleh karena itu, pada tataran hubungan antarmanusia mungkin lebih tepat yang kita maksudkan bukan sekedar istilah identik, melainkan identitas yang berarti: a. Membuat sesuatu menjadi identik atau sama, misalnya mempertimbangkan sesuatu itu sama artinya dengan melihat peluang (mengidentifikasi satu minat dibandingkan minat yang lain). b. Mengakui keberadaan sesuatu yang dilihat, diketahui, digambarkan, atau yang kita klaim, apakah dia manusia atau benda (mengidentifikasi sebuah spesimen biologis). c. Menghubungkan, atau membuat sesuatu menjadi lebih dekat (mengidentifikasi pikiran madzhab yang mempengaruhi dia). d. Kaum psikoanalisis menggunakan istilah identify untuk menerangkan rincian aspekaspek psikologis yang dimiliki seseorang dan membandingkannya dengan aspekaspek psikologis yang dimiliki orang lain. e. Meletakkan seseorang ke dalam tempat orang lain, sekurang-kurangnya meletakkan atau mempertukarkan pikiran, perasaan, masalah, dan rasa simpatik (empati). Pengertian identitas pada tataran hubungan antarmanusia akan mengantarkan kita untuk memahami sesuatu yang lebih konseptual, yakni tentang bagaimana meletakkan seseorang ke dalam tempat orang lain (komunikasi yang empatik), atau sekurangkurangnya meletakkan atau berbagi (to share) pikiran, perasaan, masalah, dan rasa simpatik (empati) dalam sebuah proses komunikasi antarbudaya. Pada tataran inilah, identitas harus dipahami sebagai cara mengidentifikasi (melalui pemahaman terhadap identitas) atau merinci sesuatu yang dilihat, didengar, diketahui, atau yang digambarkan, termasuk mengidentifikasi sebuah spesimen biologis (merinci ciri atau karakteristik fisik), bahkan 37 mengidentifikasi pikiran seseorang dengan mahdzab yang mempengaruhi, merinci aspekaspek psikologis. Kebanyakan orang – dengan cara yang amat sederhana – menunjukkan identitas orang lain berdasarkan peran mereka dalam suatu masyarakat. Dalam ranah sosiologi, peran diartikan sebagai satu set harapan budaya terhadap sebuah posisi tertentu. Terdapat pembedaan yang tegas antara hubungan peran sebagai sebuah identitas dengan struktur kebudayaan dan struktur sosial. Karena itu, kita harus jeli membedakan antara peran yang diharapkan sebagai bagian dari struktur budaya suatu masyarakat dengan tampilan peran yang merupakan bagian dari struktur sosial suatu masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur budaya adalah pola-pola persepsi, berpikir dan perasaan, sednagkan struktur sosial adalah pola-pola perilaku sosial. Dalam kehidupan manusia dapat digambarkan seperti berikut: Struktur budaya pola persepsi, berpikir, perasaan identitas budaya Struktur sosial pola-pola perilaku sosial identitas social Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa identitas itu ditentukan oleh struktur budaya maupun struktur sosial. Identitas kebudayaan kita dikembangkan melalui proses yang meliputi beberapa tahap: a. Identitas budaya yang tak disengaja Pada tahap ini, identitas budaya terbentuk secara tidak disengaja atau tidak disadari. Anda terpengaruh oleh budaya dominan hanya karena Anda merasa budaya milik Anda kurang akomodatif, sehingga Anda ikut-ikutan membentuk identitas baru. b. Pencarian Identitas Budaya Pencarian identitas budaya meliputi sebuah proses penanjakan, bertanya,dan uji coba atas sebuah identitas lain, di mana Anda terus mencari dan belajar tentang itu dengan melakukan penelitian mendalam, bertanya pada keluarga atau teman, atau bahkan melacaknya secara ilmiah. c. Identitas Budaya yang Diperoleh 38 Bentuk identitas yang dirincikan oleh kejelasan dan keyakinan terhadap penerimaan diri melalui interaksi kebudayaan sehingga membentuk identitas. d. Konformitas: Internalisasi Proses pembentukan juga identitas dapat diperoleh melalui internalisasi yang membentuk konformitas. Jadi, proses internalisasi berfungsi untuk membuat norma-norma yang Anda miliki menjadi sama dengan norma-norma yang dominan, atau membuat norma yang Anda miliki berasimilasi ke dalam kultur dominan. e. Resistensi dan Separatisme Resistensi dan Separatisme adalah pembentukan identitas sebuah kultur dari sebuah komunitas tertentu sebagai suatu komunitas yang berperilaku eksklusif untuk menolak norma-norma kultur dominan. f. Integrasi Pembentukan dengan cara seseorang atau sekelompok orang mengembangkan identitas baru yang merupakan hasil integrasi pelbagai budaya dari komunitas ata masyarakat asal. B. Penelitian Yang Relevan Reyog sebagai bentuk dari seni pertunjukan dan merupakan karya manusia yang sarat dengan filosofi yang melingkupinya. Warok sebagai sosok yang lekat dengan kesenian reyog, telah mengundang banyak peneliti untuk mengkaji mengenai kedua bentuk budaya tersebut dari berbagai sisi. Dalam hal ini, peneliti mengambil beberapa penelitian terdahulu sebagai bahan referensi untuk menjawab permasalahan penelitian. 39 TABEL II.1 Penelitian yang Relevan Nama Peneliti Metode Penelitian Kurnianto, Rido Dinamika Pemikiran mendeskripsikan Deskriptif dan Nurul Iman. Islam Warok dinamika pemikiran Islam Kualitatif 2009 Ponorogo warok Ponorogo. Azizah, 2008 Judul Penelitian Rida. Peranan Warok Reog Ponorogo dalam Pewarisan Nilai Moral dan Budaya bagi Masyarakat di Kabupaten Ponorogo. Tujuan Penelitian (1) sejarah Warok dalam Deskriptif Reog Ponorogo, (2) Kualitatif kriteria seseorang yang berstatus sebagai seorang Warok, (3) perilaku warok yang menggambarkan nilainilai moral di masyarakat, (4) peranan Warok dalam mewariskan nilai-nilai moral dan budaya bagi masyarakat di Kabupaten Ponorogo. Hasil Penelitian dua tipologi pemikiran Islam yang diwakili oleh Kiai Ma’shum melalui seni reyog dan Kiai Syukri melalui warok kanuragan berdampak secara signifikan terhadap pengembangan seni reyog pada sati sisi, dan peningkatan keberagamaan warok kanuragan pada sisi yang lain.. (1) sejarah munculnya Warok dalam Reog Ponorogo ada dua versi. (2) kriteria seseorang yang berstatus sebagai seorang Warok dapat dikelompokkan menjadi dua. (3) perilaku Warok yang menggambarkan nilai-nilai moral di masyarakat antara lain diekspresikan dengan Hasta Brata (delapan laku kepemimpinan), bergaya hidup sederhana yang tidak memikirkan kepentingan duniawi dan selalu mengutamakan kepentingan masyarakat disamping kepentingannya sendiri. Selain itu Warok selalu bersikap jujur, sopan santun dan berhati-hati dalam 40 Puspito Hadi 2007 Mistisme Ponorogo berucap dan bertingkah laku, berani membela kebenaran, tidak sombong, rendah hati, selalu berfikir jernih dan berani bertanggung jawab, (4) peranan Warok dalam mewariskan nilai moral dan budaya bagi masyarakat di Kabupaten Ponorogo yaitu: sebagai teladan dan panutan bagi masyarakat; sebagai pemimpin, guru serta pembimbing; sebagai pengajar/pelatih, baik dalam membuat perlengkapan reog maupun melatih tari reog; dan sebagai penggerak massa untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan sekaligus sebagai pengarah, penunjuk, dan pembimbing. Warok Mendeskripsikan Studi Deskriptif kehidupan warok Ponorogo yang kehidupan mistime warok Kualitatif diwarnai oleh batin dan kejiwaan Ponorogo dengan hidup berngelmu. Ngelmu merupakan pengtrapan pelaku. dalam mempertebal ajaran warok Ponorogo berlaku amalan – amalan atau lelaku yang berhubungan dengan spiritualnya. Japa Mantra, Tapa Brata, Dan Bandha Donyo hanya sarana untuk mencapai kebenaran sejati. Ujung – ujungnya adalah bisa memperoleh Emating Manpatitus, Manunggaling Kawulo Gusti, Sangkan Paraning Dumadi, yaitu yang berarti akhir kehidupan yang penuh kedamaian. Mistisme warok 41 Oktyawan, Dwi Makna simbolik Surya. 2015 upacara ritual dalam kesenian reog ponorogo di desa kauman, kecamatan kauman, kabupaten ponorogo mendeskripsikan makna kualitatif simbolik yang terkandung di dalam upacara ritual pada kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman, kecamatan Kauman, kabupaten Ponorogo. Ponorogo lebih menekankan pada aspek hidup yang ideal (urip utomo). Unsure yang terpenting dalam ajaran mistisme Warok Ponorogo adalah konsep “ Mangerang Gesang “ yang mempunyai arti hidup seperti Tuhan pada skala kecil. Hal ini dikarenakan menurut paham mistis yang dianut pada dasarnya manusia ada karena kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Mistik pada warok Ponorogo cenderung pada mistis yang bersifat kejawen. (1) Makna simbolik upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo adalah sebagai doa kepada Tuhan agar selalu diberi perlindungan, keselamatan dan kelancaran agar tidak terjadi halanganhalangan dalam suatu pementasan Reog Ponorogo. (2) Upacara ritual ini dipimpin oleh sesepuh desa yang mampu dan bisa, pemimpin upacara selain sebagai sesepuh desa biasanya sudah memiliki jiwa yang kuat sehingga hal-hal yang bersifat duniawi sudah ditinggalkan. Sesepuh yang melakukan ritual ini memiliki pantangan yang tidak boleh dilakukan yaitu tidak boleh sombong (menyepelekan cikal bakal pendiri desa) karena apabila dilanggar akan ada gangguan dalam pertunjukan kesenian Reog itu sendiri. (3) Sarana 42 Yulianto, Andhika 2013 Komodifikasi Dwi. Pertunjukan Festival Reog Ponorogo (Dinamika Perubahan Pertunjukan Reog Ponorogo dalam Industri Pariwisata). untuk mengetahui proses Studi kasus komodifikasipertunjukan Reog untuk festival sebagaiakibat adanya industri pariwisata. upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo ini terdiri dari menyan, wedang kopi pahitan, wedang gulo asem, parem, sego kokoh,rokok grendho, kembang kanthil,arang, wedang kembang telon dan Dhadak Merak. 1) komodifikasi di Kabupaten Ponorogo telah menjadikan keberadaan reog menjadi semakin terkenal. 2) Reog telah memunculkan penyederhanaan versi besar reog, versi Bantarangin yang dipatenkan dalampertunjukan festival reog. 3) munculnya rambu-rambu yang harus ditaati dalam setiap pementasan reog 4) Proses industri pariwisata dalam reogPonorogo telah melahirkan kelas antar pemain, dimana pemain reog tergabung dalam paguyuban yang fokus dalam festival dengan pemain yang tergabung dalam paguyuban reog obyog yang tampil saat acara (tanggapan) hajatan di Kabupaten Ponorogo. 5) Munculnya industri pariwisata dalam reog telah memunculkan kreasi-kreasi antara kelompok reog dengan kelompok reog lain 43 Sururil Mukarromah dan Shinta Devi. 2012 Mobilisasi Massa Peran Kesenian Reog Deskriptif Partai Melalui Seni Ponorogo dalam menarik Kualitatif Pertujukan Reog Di massa Ponorogo Tahun 1950-1980. Kemampuan seni Reog Ponorogo pada masa orde lama dimanfaatkan partai Politik untuk memperkenalkan partai. Keberhasilan itu dibuktikan pada hasil pemilu tahun 1955, ketika Partai Komunis Indonesia dan PNI muncul sebagai partai dengan pengikut terbanyak. Keberhasilan partai politik dalam menarik massa berdampak pada popularitas kelompok kesenian Reog. Namun pada masa orde baru, kondisi menjadi terbalik, yaitu pemerintah Orde Baru melakukan pembubaran terhadap kelompok seni Reog yang pernah dimanfaatkan oleh PKI. Mengetahui nilai-nilai Penelitian Nilai-nilai kesenian reog Ponorogo aksiologis yang pustaka, apabila dilihat dari konsep nilai Max terkandung dalam Analisis data Scheler, meliputi : a. nilai-nilai kesenian reog Ponorogo yang keruhanian yaitu memuat unsur-unsur dan relevansi nilai-nilai digunakan batiniah kesenian reog Ponorogo hermeneutika b. Nilai spiritual yaitu memuat hal-hal dengan pembangunan dan heuristika. yang melahirkan gairah dan getaran jiwa karakter bangsa c. Nilai kehidupan yaitu memuat unsurunsur lahiriah yang berkaitan dengan keperluan hidup keseharian d. Nilai kesenangan yaitu memuat unsur-unsur pada pembiasan hidup positif Nilai kesenian reog Ponorogo khususnya nilai warok dapat ditransformasikan dalam upaya Asmoro Achmadi 2012 Reog ponorogo dalam tinjauan aksiologi Relevansinya dengan pembangunan karakter bangsa 44 Khoirurrosyidin. Dinamika Peran Pertama, untuk 2014 Warok Dalam mengetahui faktor-faktor Politik Di Ponorogo kesejarahan dan filosofi seni buday reog dan sosok warok dalam politik di Ponorogo, Kedua, untuk mengetahui proses metamorfosa peran warok dari elit budaya ke elit politik, ketiga, untuk mengetahui peran politik warok baik dalam konteks masa lalu maupun dalam era kekinian. Untung Prasetyo dan Sarwititi Sarwoprasodjo 2011 Komodifikasi Upacara Tradisional Seren Taun dalam Pembentukan Identitas Komunitas 1.Menganalisis hubungan komodifikasi upacara tradisional Seren Taun dengan motif melaksanakanupacaratradisional Seren Taun warga Kampung Budaya Sindangbarang. 2. Menganalisis hubungan motif melaksanakan upacaratradisional Seren membangun karakter bangsa. Nilai warok tersebut adalah ketangguhan, pemberani, pantang menyerah, dan patriotik. Deskriptif peran warok dalam kehidupan politik kualitatif dapat diuraikan: Pertama peran politik warok sebagai stabilisator politik. Kedua, peran politik warok sebagai eksekutor/eksekutif. Ketiga, peran warok sebagai legislator. Keempat, peran warok sebagai sumber mendapatkan pertimbangan. Kelima, peran warok mengalami penurunan dari peran mendasar yang benar benar dibutuhkan masyarakat ke peran yang sifatnya simbolik. Dilain pihak, warok lebih sebagai simbolik leader. Sekedar simbol tanpa diikuti substansi perannya. Warok juga telah menjadi komoditas politik. Pendekatan Hubungan antara komodifikasi upacara kuantitatif tradisional Seren Taun dengan dilakukan pembentukan identitas komunitas melalui metode Kampung Budaya Sindangbarang survai menunjukan hubungan yang signifikan. Semakin rendah proses komodifikasi upacara tradisional Seren Taun maka semakin kuat pembentukan identitas komunitas. Hal ini dapat dijelaskan karena terdapat hubungan yang signifikan pula antara komodifikasi 45 Taun dengan perilaku melaksanakan upacara tradisional Seren Taun wargaKampung Budaya Sindangbarang dalam pembentukan identitas komunitas. Agata maccarrone- An analysis of Menganalisa culture as a tourism kompleksitas analisa konsep literature upacara tradisional Seren Taun dengan motif dan perilaku melaksanakan upacara tradisional Seren Taun. Diketahui bahwa proses komodifikasi upacara tradisional Seren Taun Kampung Budaya Sindangbarang cenderung rendah, sehingga motif dan perilaku melaksanakan upacara tradisional Seren Taun cenderung tinggi. Hal ini disebabkan warga Kampung Budaya Sindangbarang tetap memandang upacara tradisional Seren Taun sebagai fasilitas mereka untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan YME dan dewi kesuburan, membina solidaritas dan kekerabatan antar warga, melestarikan kelembagaan komunitas, dan melestarikan kesenian tradisional Sunda. Walaupun tidak dipungkiri bahwa pemerintah daerah pun memiliki tujuan tersendiri dengan adanya upacara tradisional Seren Taun. Tujuan tersebut yaitu mengagendakan upacara Seren Taun sebagai objek wisata budaya sehingga menjadikan Desa Pasireurih lebih dikenal dan kondusif untuk meningkatkan pembangunan. Penggabungan antara representasi symbol budaya yang tangibility dan 46 eaglen 2009 Roxanne Burton 2011 Sebastian commodity budaya yang dikombinasikan dengan karakter produk, proses pemasaram, dan focus pada level teori produk dari Kotler dan Armstrong. E. Globalisation and Cultural Identity in Caribbean Society: The Jamaican Case Globalization bagaimana kelanjutan dari Dekriptive proses sinsetis atau kualitatif bagaimana pengolongan budaya karibia yang dilakukan oleh kekuatan diluar? Dan apa aspek penting dari identitas karabia? Dan dapatkah penelitian mengenai identitas budaya karabia dalam mengahadapi persaingan global akan berdampak pada kehidupan social karabia seperti strategi ekonomi? And Menganalisa mengenai - intangibility, beragam interpretasi dan makna, terjadinya ambiguitas status kepemilikan pembeli dan fleksibilitas untuk memuaskan kebutuhan konsumen sementara berfungsi sebagai unit identifikasi bagi masyarakat. Sebagai produk budaya menyajikan konfigurasi unik dengan membangun empat dimensi berbeda yang menyoroti proses pemasaran kebutuhan untuk pertimbangan khusus dalam budaya. Penelitian juga harus dipertimbangkan sebagai platform untuk masa depan penyelidikan pada subjek dan sebagai material pendukung dalam pendidikan. Dalam penyelesaiannya, argument yang paling utama adalah bagaiamana identitas budaya Jamaica adalah salah satu yang terkena dampak negative dari globalisasi. Hal ini dikarenakan dari latar belakang sejarah yang telah tersedia atau biasa disebut “fluidity”. Fluiditas ini menciptakan ruang untuk eksternal nilai dan perilaku yang dapat diadopsi, berdasarkan nilai instrumental dan sejauh mana mereka akan sejalan dengan perilaku budaya dan nilai-nilai dasar. Hal ini nantinya akan memainkan peran penting mengenai identitas individu. Dua tahap dalam melestarikan identitas 47 Andrei Labeș 2014 Cultural Dilemmas Nataša Uroševic 2012 Cultural identity and cultural tourism – between the local and the global (a case study of pula, croatia) Identity kontradiksi antara globalisasi dan identitas budaya. Hipotesa mengenai parawisata budaya adalah alternative dari pariwisata massa yang akan mengembangkan model terbaik untuk mengembangkan kebudayaan lokal dan konsep global. Metode kuantitatif dan kualitatif budaya dalam konteks global, yaitu; polarization dan redistribution. Jika kita ingin menghidupkan budaya lokal di abad 20 ini, maka kita perlu untuk sepenuhnya memberikan perhatian total pada nilai- nilai yang ada. Contohnya nilai universal dan aturan dalam perdagangan international. Bagi masyrakat yang sering melakukan perjalan ke berbagai Negara, maka akan bisa memahami globalisasi dari sudut pandang di luar budaya dirinya sendiri. Pengembangan pemahaman ini adalah salah satu tujuan utama dari sebuah pendekatan baru untuk globalisasi. Produk – produk yang kompetitif perlu dikembangkan sebagai bagian dari identitas budaya yang khas. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kekhasan dan untuk meningkatkan karakteristik unik. Ini berarti bahwa prioritas perencanaan yang paling utama adalah “identity holders”. Seperti pusat kota tua, warisan budaya dan industri budaya, memperpanjang waktu penyelenggaraan event rute budaya dan lain – lain. 48 Reyog dan warok sebagai kesenian daerah dari Ponorogo membawa para peneliti dari berbagai bidang keilmuan tertarik untuk mengupasnya lebih dalam. Berdasarkan dari tabel penelitian relevan (lihat II.1) terlihat bahwa telah terjadi pergeseran makna dan nilai dari kesenian reyog dan warok. Kebudayaan reyog, khususnya di Desa Kauman Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo menurut Oktyawan, Dwi Surya (2015) masih terdapat ritual sebelum pertunjukan berlangsung. Upacara tersebut memiliki makna simbolik doa kepada Tuhan agar selalu diberi perlindungan, keselamatan dan kelancaran agar tidak terjadi halangan – halangan dalam suatu pementasan. Ulasan yang menarik mengenai reyog juga telah dilakukan oleh Yulianto, Andhika Dwi (2013), bahwa telah terjadi komodifikasi pada pertunjukan reyog sebagai bentuk proses industri pariwisata yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Ponorogo. Hasil penelitian yang ditemukan Suriril (2012), reyog menjadi alat mobilisasi massa partai pada tahun 1950 – 1980. Berdasarkan tinjauan aksiologis, Asmoro (2012) menemukan bahwa reyog Ponorogo memiliki nilai – nilai yang sesuai dengan konsep Max Scheler meliputi; nilai keruhanian, nilai spiritual, nilai kehidupan, nilai kesenangan, nilai kesenian. Warok sebagai sosok yang erat kaitannya dengan reyog juga menarik banyak peneliti. Peranan dari sosok warok juga telah berubah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2008) menemukan sejarah munculnya warok terdapat dua versi. Sedangkan, criteria seseorang yang berstatus sebagai warok dapat dikelompokkan menjadi dua. Kurnianto (2009) juga menemukan bahwa sekarang ini terdapat dua tipologi pemikiran islam mengenai Reyog dan warok. Unsur mistisme warok bersifat kejawen. Ritual mistisme sebelum pertunjukan reyog masih ada dan dipercaya masyarakat. Dari sejumlah penelitian terdahulu yang peneliti paparkan mengenai reyog dan warok, ada ketertarikan mengenai bagaimana reyog dan warok tersebut menjadi media komunikasi dari identitas Ponorogo secara keseluruhan. Dalam membedah mengenai reyog dan warok sebagai media komunikasi identitas Ponorogo, maka peneliti merujuk juga pada penelitian relevan yang lain. Untung Prasetyo dan Sarwititi Sarwoprasodjo dalam pene- 49 litiannya menyatakan bahwa terjadi hubungan signifikan antara komodifikasi upacara tradisional Seren Taun dengan motif dan perilaku melaksanakan upacara tradisional Seren Taun. Pada penelitian yang lain menyatakan bahwa, ada hubungan antara pembentukan identitas budaya dengan arus globalisasi yang terjadi saat ini. C. Kerangka berpikir Bhineka Tunggal Ika merupakan ideologi Negara Indonesia yang secara eksplisit mengakui adanya perbedaan budaya, adat istiadat, suku bangsa dan agama. Ideologi ini memiliki makna mendalam dalam menentukan karakter Negara Indonesia sebagai masyarakat plurar dan toleran. Berdasarkan dari pengertian Bhineka Tunggal Ika, maka Indonesia merupakan Negara kesatuan yang mengakui keaslian identitas daerah masing – masing dengan tetap memiliki satu jiwa yang sama. Pengakuan pemerintah Indonesia akan identitas daerah tersebut tertuang dalam kebijakan otonomi daerah. Perubahan undang – undang mengenai otonomi daerah, membawa angin segar bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Setiap daerah berlomba – lomba untuk dapat menonjolkan potensi daerahnya lewat pengukuhan identitas daerah. Identitas daerah ini menjadi representasi dari keadaan sosial masyarakat dan sebagai bentuk jati diri wilayah tersebut. Ponorogo merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki potensi budaya yang beragam. Gajah – gajahan, wayang kulit, wayang orang, odrat merupakan beberapa kesenian rakyat yang sampai sekarang masih berkembang di Ponorogo. Akan tetapi, dominasi kesenian reyog saat kita memasuki wilayah Kabupaten Ponorogo begitu kental terasa. Hal ini tercermin dari gerbang masuk ke Ponorogo yang merupakan relief pemain reyog lengkap dengan pemain gamelan sebagai pengiringnya. Beberapa patung di tengah perempatan kota juga sarat dengan kesenian reyog. Reyog sebagai bentuk kesenian rakyat yang mempertunjukan tari kolosal terus berkembang dalam setiap masanya. Keunikan dari reyog pada prosesnya mengaburkan asal usul cerita dari terbentuknya kesenian itu sendiri. Versi Legenda, sejarah dan mitos berbaur 50 menjadi satu yang pada akhirnya melahirkan bergam versi asal usul reyog yang kesemuanya dianggap benar di mata masyarakat. Pemerintah daerah Ponorogo selaku pemegang wilayah melihat reyog sebagai suatu asset budaya yang harus dipertahankan. Reyog dianggap mampu untuk mewakili keseluruhan ide identitas dari Kabupaten Ponorogo. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk melakukan upaya penyeragaman dari kesenian reyog baik dari cerita asal usul, atribut identitas pemain, music gamelan pengiring tarian sampai dengan alur cerita reyog itu sendiri. Terbitnya beberapa kebijakan daerah yang mengatur mengenai kesenian reyog dan tokoh warok merupakan usaha pemerintah menghegemoni kebudayaan. Bentuk – bentuk hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah daerah lewat beberapa kebijakannya sampai saat ini secara sadar dilaksanakan oleh masyarakat Ponorogo. olahan hegemoni tersebut, membawa reyog menjadi bentuk komoditas, dimana reyog telah berubah dari fungsinya sebagai bentuk nilai tukar yang sarat berhubungan dengan nilai – nilai ekonomis. Hal ini merupakan kelajutan usaha pemerintah dalam mengkomodifikasi kesenian reyog dan tokoh warok. Dalam mempertahankan kesenian reyog sebagai identitas Ponorogo, media komunikasi menjadi sebuah jembatan dalam menyampaikan tujuan dari pesan tersebut. Bagaimana simbol – simbol yang sudah dimodifikasi tersebut dapat disosialisasikan kepada masyarakat. Identitas yang terbentuk dari sebuah kelompok maupun daerah tidak serta merta muncul secara instan. Proses terbentuknya identitas tersebut memerlukan daya dukung yang kuat yaitu media. Kajian teori media dalam komunikasi memandang “media adalah pesan”. Jadi pesan yang timbul dari sumber informasi adalah media itu sendiri. Hal ini dengan tujuan agar identitas Ponorogo sebagai Bumi Reyog tetap terjaga. 51 Secara sederhana kerangka berpikir dalam penelitian ini tertuang sebagai berikut: KOMUNIKATOR Pemerintah Kabupaten Ponorogo PESAN Identitas Ponorogo sebagai Bumi Reyog HEGEMONI KOMODIFIKASI Lewat kebijakan daerah yang menghegemoni kesenian reyog dan tokoh warok Kesenian Reyog dan Warok MEDIA KOMUNIKASI REYOG DAN WAROK IDENTITAS PONOROGO BERBASIS REYOG DAN WAROK