Get cached

advertisement
GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM
DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN
Lactobacillus plantarum 1B1
SKRIPSI
MARGARETA MULATSIH KANDI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
MARGARETA MULATSIH KANDI. D14204038. 2008. Gambaran Histologis
Usus Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diberi Ransum Daging Hasil
Fermentasi dengan Lactobacillus plantarum 1B1. Skripsi. Program Studi
Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Drh. Adi Winarto, Ph.D
Daging merupakan komponen esensial untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tubuh yang optimal. Hal ini berkaitan dengan kandungan zat gizi
daging yang lengkap meliputi protein, lemak, air, karbohidrat, mineral, dan vitamin
(Hammes et al., 2003), sehingga daging menjadi rentan terhadap kerusakan yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Salah satu upaya untuk mencegah kerusakan
daging adalah mengolah daging tersebut melalui proses fermentasi dengan
menggunakan bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum. Bakteri asam laktat
selain memiliki manfaat dalam pengawetan pangan, juga memiliki peranan penting
dalam menghasilkan pangan fungsional yang berkaitan erat dengan pemanfaatan
kultur mikroba yang menguntungkan bagi kesehatan atau lebih dikenal dengan istilah
probiotik. Penggunaan probiotik seperti kelompok bakteri asam laktat dapat
meningkatkan status kesehatan dengan cara mendukung perkembangan mikroba
yang menguntungkan dan menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran
pencernaan sehingga mendorong kondisi saluran pencernaan yang baik pada usus
halus dan kolon.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian daging yang
difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1 terhadap morfologi/histologi usus
bagian jejunum dan kolon dengan peubah tinggi vili usus halus bagian jejunum,
tinggi lapisan mukosa, tebal lapisan muskularis, serta diameter usus halus bagian
jejunum dan kolon pada tikus putih (Rattus norvegicus). Penelitian ini dilaksanakan
di tiga laboratorium yaitu Laboraturium Hewan Percobaan Departemen Gizi
Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Laboratorium IPT Rumianansia Besar
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, serta
Laboratorium Histologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2007 sampai Juni 2008.
Penelitian ini menggunakan bahan utama berupa daging sapi bagian knuckle,
kultur starter L. plantarum 1B1 koleksi Laboratorium IPT Ruminansia Besar,
Fakultas Peternakan IPB, dan tikus putih (Rattus norvegicus). Rancangan percobaan
yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) searah dengan tiga perlakuan
masing-masing tiga ekor tikus sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu grup
tikus yang diberi ransum yang mengandung protein kasein dan grup tikus yang diberi
daging fermentasi hingga kadar protein dalam ransum 10% dan 15%. Selain itu
dilakukan pengujian pada grup tikus tanpa perlakuan (tikus awal berumur 21-23 hari)
dan tikus yang diberi daging non-fermentasi (daging panggang) hingga kadar protein
dalam ransum 10% dan 15%, yang dijadikan sebagai bahan perbandingan karena
pemeliharaan tikus dilakukan pada waktu yang berbeda. Peubah yang diamati dalam
penelitian ini adalah tinggi vili pada usus halus (jejunum), tinggi lapisan mukosa,
tebal lapisan muskularis, dan diameter usus (jejunum dan kolon) tikus putih.
Pemberian ransum yang mengandung daging yang difermentasi oleh
Lactobacillus plantarum 1B1 pada tikus tidak berpengaruh terhadap gambaran
histologis tinggi vili jejunum, tinggi mukosa jejunum dan kolon, tebal muskularis
kolon, serta diameter jejunum dan kolon tikus putih (Rattus norvegicus), tetapi
berpengaruh pada tebal muskularis jejunum tikus yang diberi ransum protein daging
fermentasi hingga kadar protein dalam ransum 15%. Pemberian daging yang
difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1 hingga kadar protein dalam ransum
10% secara umum lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan kadar 15%, karena
tidak mengubah morfologi saluran pencernaan (usus) tikus putih. Pemberian daging
yang difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1 dalam ransum tikus secara
umum memiliki potensi menyamai kasein dalam pertumbuhan jaringan usus bagian
jejunum dan kolon. Secara umum Lactobacillus plantarum 1B1 dapat dijadikan
sebagai salah satu kandidat probiotik.
Kata-kata kunci : daging fermentasi, usus tikus putih, gambaran histologis.
ABSTRACT
The Histological Structure of White Rat (Rattus norvegicus) Intestine
Which Fed with Lactobacillus plantarum 1B1 Fermented Beef
On Diet
Kandi, M. M, I. I. Arief and A. Winarto
This research was aimed to know the effects of Lactobacillus plantarum 1B1
fermented beef on histological structure of villous height, mucosal and muscularis
thickness, and diameter of small intestine (jejunum) and large intestine (colon) of
white rats (Rattus norvegicus). The research was conducted within July 2007 to the
middle of June 2008 in three different laboratories. Feeding trial phase consist of five
days adaptation and 30 days treatment. The treatments were 1) 10% protein from
casein on rat’s diet (control), 2) 10% protein from fermented beef on rat’s diet, 3)
15% protein from fermented beef on rat’s diet, 4) 10% protein from non fermented
beef (roast beef) on rat’s diet, and 5) 15% protein from non fermented beef (roast
beef) on rat’s diet, and also rats without treatment as early rats. The data were
analyzed using Completely Randomize Design with three treatments (treatment 1, 2,
and 3). Treatment 4 and 5 were analyzed by description. Compare to the control, rats
which were fed with fermented beef was not significantly different (P>0.05) on
villous height (jejunum), mucosal thickness (jejunum and colon), muscularis
thickness (colon), and diameter (jejunum and colon). The significant result (P<0.05)
was found on jejunum muscular thickness rats which were fed with 15% protein
from fermented beef on diet. On histological findings could be concluded that the
10% protein (fermented beef) on diet show more effective and efficient than 15%. L.
plantarum 1B1 activities in jejunum and colon rats have not clearly seen, but L.
plantarum 1B1 have potency as probiotic. Fermented beef (used Lactobacillus
plantarum 1B1) as a feed protein resource, in general show a similar potency on
intestinal growth to the casein.
Keywords : fermented beef, intestine white rat, histological structure.
GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM
DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN
Lactobacillus plantarum 1B1
MARGARETA MULATSIH KANDI
D14204038
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM
DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN
Lactobacillus plantarum 1B1
Oleh
MARGARETA MULATSIH KANDI
D14204038
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 11 Agustus 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Irma Isnafia Arief, S.Pt. M.Si.
NIP. 132 243 330
Drh. Adi Winarto, Ph.D
NIP. 131 578 835
Dekan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr
NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Juli 1986 di Cilacap Jawa Tengah. Penulis
adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Johanes Agung
Kandiawan dan Ibu Jasmin Sutrisni.
Pendidikan dasar diselesaikan penulis pada tahun 1998 di SDN Sidakaya X
Cilacap, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di
SMPN 1 Cilacap dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun
2004 di SMUN 1 Cilacap. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan
Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004.
Penulis selama mengikuti pendidikan, aktif dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan IPB. Organisasi tersebut diantaranya Persekutuan Mahasiswa
Kristen (PMK) Institut Pertanian Bogor, Persekutuan Oikumene Protestan Katolik
(POPK) Fakultas Peternakan IPB, dan Forum Komunitas Mahasiswa Cilacap.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang dengan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Gambaran Histologis Usus Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diberi
Ransum Daging Hasil Fermentasi dengan Lactobacillus plantarum 1B1”.
Penyusunan skripsi tersebut merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan
Juni 2007 hingga Juni 2008. Penulis tertarik pada penelitian ini karena fermentasi
dengan menggunakan Lactobacillus plantarum 1B1 pada daging selain dapat
menambah diversifikasi produk daging juga dapat memberikan efek kesehatan bagi
yang mengkonsumsinya. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat menambah
wawasan para pembaca mengenai efek penggunaan daging yang difermentasi oleh
Lactobacillus plantarum 1B1 pada saluran pencernaan khususnya usus bagian
jejunum dan kolon.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sehingga
skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan bagi dunia pendidikan.
Bogor, September 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ……………………………………………………………...
i
ABSTRACT ………………………………………………………….........
iii
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………..
iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………......
v
DAFTAR ISI ………………………………………………………….........
vi
DAFTAR TABEL …………………………………………………….........
viii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………....
ix
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………....
x
PENDAHULUAN ………………………………………………………....
1
Latar Belakang …………………………………………………......
Tujuan …………………………………………………………......
1
2
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………...
3
Daging ………………………………………………………….......
Fermentasi …………………………………………………….........
Bakteri Asam Laktat ..........................................................................
Lactobacillus plantarum .......................................................
Pengasapan .........................................................................................
Probiotik ……………………………………………………...........
Usus Halus ..........................…………………………………….......
Kolon .................................................................................................
Tikus Rattus norvegicus ....................................................................
3
3
4
5
7
8
10
12
13
METODE …………………………………………………….....................
15
Lokasi dan Waktu …………………………………………….........
Materi ………………………………………………………….......
Bahan .....................................................................................
Daging Fermentasi dan Daging Non-Fermentasi
(DagingPanggang) .....................................................
Hewan Percobaan .......................................................
Analisis Kimia Daging Fermentasi dan NonFermentasi (Daging Panggang) ..................................
Komposisi Ransum ....................................................
Pengambilan Sampel dan Pembuatan Preparat
Histologi .....................................................................
Alat .........................................................................................
Kandang dan Perlengkapan ........................................
Daging Fermentasi dan Daging Non-Fermentasi
(Daging Panggang) ....................................................
Analisis Kimia Daging Fermentasi dan NonFermentasi (Daging Panggang) ..................................
15
15
15
15
15
15
16
16
16
17
17
17
Pengambilan Sampel dan Pembuatan Preparat
Histologi .....................................................................
Rancangan ..........................................................................................
Prosedur ………………………………………………………........
Pemeliharaan Tikus ………………………………................
Pembuatan Daging Fermentasi ..................................
Pembuatan Daging Non-Fermentasi (Daging
Panggang) ...................................................................
Kadar Air ...................................................................
Kadar Protein .............................................................
Analisa Histologis Usus …………………………….............
Pengukuran Tinggi Vili Jejunum ...............................
Pengukuran Tinggi Mukosa Jejunum dan Kolon .......
Pengukuran Tebal Muskularis Jejunum dan Kolon ...
Pengukuran Diameter Jejunum dan Kolon ................
17
17
18
18
18
19
19
19
21
21
22
22
23
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
24
Pemeliharaan Tikus ............................................................................
Analisa Histologis Usus .....................................................................
Ketinggian Vili Usus Halus Bagian Jejunum ........................
Ketinggian Lapisan Mukosa Usus Halus Bagian
Jejunum...................................................................................
Ketebalan Lapisan Muskularis Usus Halus Bagian Jejunum..
Ketinggian Lapisan Mukosa Kolon .......................................
Ketebalan Lapisan Muskularis Kolon ....................................
Diameter Usus Bagian Jejunum dan Kolon ...........................
Peran Lactobacillus plantarum 1B1 pada Usus ..............................
24
25
25
28
30
32
34
39
40
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………..
42
Kesimpulan ....................................................................................
Saran ...............................................................................................
42
42
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………..
43
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
44
LAMPIRAN ………………………………………………………………
48
DAFTAR TABEL
Nomor
1.
Halaman
Komposisi Asam Amino Daging Sapi dan Daging Fermentasi oleh
L. plantarum................................................................................................
6
2.
Beberapa Mikroorganisme Probiotik..........................................................
8
3.
Spesifitas Beberapa Enzim Proteolitik .......................................................
12
4.
Perhitungan Campuran Ransum Tikus .......................................................
14
5.
Komposisi Ransum Harian .........................................................................
16
6.
Hasil Analisis Protein Kasar Daging Fermentasi dan Non-fermentasi
(Daging Panggang) .....................................................................................
24
7.
Rataan Pertambahan Bobot Badan (PBB) Tikus Putih Tiap Perlakuan .....
25
8.
Rataan dan Standar Deviasi Tinggi Vili Jejunum Tikus Putih Tiap
Perlakuan ....................................................................................................
26
Rataan dan Standar Deviasi Tinggi Lapisan Mukosa Jejunum Tikus
Putih Tiap Perlakuan...................................................................................
29
Rataan dan Standar Deviasi Tebal Lapisan Muskularis Jejunum Tikus
Putih Tiap Perlakuan...................................................................................
31
Rataan dan Standar Deviasi Tinggi Lapisan Mukosa Kolon Tikus Putih
Tiap Perlakuan ............................................................................................
33
Rataan dan Standar Deviasi Tebal Lapisan Muskularis Kolon Tikus Putih
Tiap Perlakuan ............................................................................................
35
Rataan dan Standar Deviasi Diameter Jejunum dan Kolon Tikus Putih
Tiap Perlakuan ............................................................................................
39
9.
10.
11.
12.
13.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
14.
Morfologi Lactobacillus plantarum ...........................................................
5
15.
Mekanisme Penempelan Bakteri pada Sel Epithelial Usus ........................
9
16.
Gambaran Mikroskopik Usus Halus; Duodenum, Jejunum, dan
Ileum ...........................................................................................................
11
17.
Gambaran Mikroskopik Kolon ...................................................................
13
18.
Proses Pengolahan Daging Fermentasi.......................................................
20
19.
Ilustrasi Pengukuran terhadap Parameter Histologis Jejunum ...................
22
20.
Ilustrasi Pengukuran terhadap Parameter Histologis Kolon .......................
23
21.
Ilustrasi Pengukuran terhadap Diameter Usus............................................
23
22.
Grafik Tinggi Vili Usus Tikus Putih Bagian Jejunum Tiap Perlakuan ......
26
23.
Grafik Tinggi Lapisan Mukosa Usus Tikus Putih Bagian Jejunum Tiap
Perlakuan ....................................................................................................
30
Grafik Tebal Lapisan Muskularis Usus Tikus Putih Bagian Jejunum Tiap
Perlakuan ....................................................................................................
32
Grafik Tinggi Lapisan Mukosa Usus Tikus Putih Bagian Kolon Tiap
Perlakuan.....................................................................................................
34
Grafik Tebal Lapisan Muskularis Usus Tikus Putih Bagian Kolon Tiap
Perlakuan.....................................................................................................
36
Gambaran Histologis Usus Halus Tikus Bagian Jejunum Tanpa
Perlakuan, Kontrol, Perlakuan Pemberian Daging Fermentasi 10%
dan 15% serta Perlakuan Pemberian Daging Non-fermentasi 10%
dan 15% ......................................................................................................
37
Gambaran Histologis Usus Tikus Bagian Kolon Tanpa Perlakuan,
Kontrol, Perlakuan Pemberian Daging Fermentasi 10% dan 15%
serta Perlakuan Pemberian Daging Non-fermentasi 10% dan 15% ...........
38
Rataan Diameter Usus Tikus Putih Bagian Jejunum Tiap Perlakuan .........
40
Rataan Diameter Usus Tikus Putih Bagian Kolon Tiap Perlakuan ...........
40
24.
25.
26.
27.
28.
16.
17.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
29.
Tahapan Proses Pembuatan Preparat Histologis.........................................
49
30.
Hasil Analisis Ragam Tinggi Vili Jejunum ................................................
51
31.
Hasil Analisis Ragam Tinggi Mukosa Jejunum .........................................
51
32.
Hasil Analisis Ragam Tebal Muskularis Jejunum......................................
51
33.
Uji Lanjut Tukey Tebal Muskularis Jejunum .............................................
51
34.
Hasil Analisis Ragam Tinggi Mukosa Kolon .............................................
51
35.
Hasil Analisis Ragam Tebal Muskularis Kolon .........................................
52
36.
Hasil Analisis Ragam Diameter Jejunum ...................................................
52
37.
Hasil Analisis Ragam Diameter Kolon.......................................................
52
38.
Perhitungan Komposisi Ransum Harian Tikus...........................................
53
39.
Alat dan Bahan pada Pemeliharaan Tikus ..................................................
54
40.
Alat dan Bahan pada Analisa Histologis Usus ...........................................
55
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging merupakan komponen esensial dalam makanan manusia untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang optimal. Hal ini berkaitan
dengan kandungan zat gizi daging yang lengkap meliputi protein, lemak, air,
karbohidrat, mineral, dan vitamin (Hammes et al., 2003). Oleh karena itu, daging
menjadi sangat rentan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Salah satu upaya untuk mencegah kerusakan daging adalah mengolah daging
tersebut melalui proses fermentasi. Proses fermentasi pada daging melibatkan
berbagai mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan khamir. Bakteri pembentuk
asam yang dikenal sebagai bakteri asam laktat merupakan salah satu kelompok
bakteri yang banyak digunakan dalam fermentasi daging. Pengolahan daging dengan
proses fermentasi juga memiliki beberapa keuntungan antara lain dapat
meningkatkan cita rasa, memperoleh bentuk makanan atau diversifikasi produk dan
dapat memperpanjang umur simpan produk (Wood, 1985).
Bakteri asam laktat seperti Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang
berperan dalam proses pengawetan pangan melalui proses fermentasi dengan
menghasilkan asam laktat dalam jumlah yang tinggi. Lactobacillus plantarum 1B1
yang diisolasi dari daging sapi yang disimpan selama 12 jam postmortem
mempunyai karakteristik mampu hidup dengan baik pada pH 5 sampai 6,5 dan
konsentrasi NaCl 1,5% sampai 2% sehingga dapat diterapkan baik pada daging PSE,
normal, maupun DFD dan sosis fermentasi dengan formulasi garam sampai 2%
(Hidayati, 2006). Produksi asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat
mampu menciptakan kondisi lingkungan yang asam sehingga dapat menghambat
mikroorganisme perusak makanan. Bakteri asam laktat selain memiliki manfaat
dalam pengawetan pangan, juga memiliki peranan penting dalam menghasilkan
pangan fungsional.
Dewasa ini produk pangan fungsional merupakan topik menarik dalam
industri pangan. Suatu produk dapat dikatakan sebagai pangan fungsional selain
berfungsi untuk dapat memenuhi kebutuhan tubuh dari segi nutrisi, produk tersebut
juga mampu berperan dalam meningkatkan kesehatan atau mencegah penyakit.
Pangan fungsional berkaitan erat dengan pemanfaatan kultur mikroba yang
menguntungkan bagi kesehatan atau lebih dikenal dengan istilah probiotik.
Penggunaan probiotik seperti kelompok bakteri asam laktat dapat
meningkatkan status kesehatan dengan cara mendukung perkembangan mikroba
yang menguntungkan dan menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran
pencernaan. Hal ini mendorong kondisi saluran pencernaan yang baik pada usus
halus dan kolon. Probiotik juga mampu menormalkan pergerakan usus sehingga
dapat mencegah konstipasi, meningkatkan pertumbuhan dan daya cerna, dan
menurunkan kolesterol darah. Tamime dan Robinson (1999) menyatakan, bahwa
beberapa manfaat probiotik dalam saluran pencernaan yaitu dapat menstimulir
imunitas saluran usus dan menstimulir gerak peristaltik usus. Probiotik dapat
menyingkirkan patogen yang melekat pada permukaan usus, sehingga dapat
mencegah kerusakan sel, gangguan mekanisme pengaturan sel, dan pertumbuhan dan
perkembangbiakan intraseluler usus. Salminen et al. (1998) menambahkan, bahwa
peningkatan jumlah dan aktivitas bakteri asam laktat dalam kolon juga berhubungan
erat dengan peningkatan kondisi kesehatan karena bakteri asam laktat yang bertindak
sebagai probiotik mampu melakukan kolonisasi, multiplikasi, dan membangun
sistem imun.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian daging yang
difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1 terhadap morfologi/histologi usus
bagian jejunum dan kolon dengan peubah tinggi vili usus halus bagian jejunum,
tinggi lapisan mukosa, tebal lapisan muskularis, serta diameter usus halus bagian
jejunum dan kolon pada tikus putih (Rattus norvegicus).
TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Lawrie (1998), daging didefinisikan sebagai daging mentah dari hewan yang
digunakan sebagai makanan. Rice (1987), mendefinisikan daging sebagai semua
jaringan hewan yang dapat dimakan oleh manusia serta semua produk hasil olahan
yang dibuat dari jaringan tersebut. Definisi daging menurut SNI 01-3947-1995, yaitu
urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging di bagian bibir,
hidung, dan telinga (Dewan Standardisasi Nasional, 1995).
Daging merupakan bahan pangan yang nernilai gizi tinggi, karena dapat
mensuplai protein kira-kira setengah dari kebutuhan manusia, 60% vitamin B12,
30% seng, 20% besi, dan 20% niasin. Protein daging mempunyai nilai biologis yang
tinggi yaitu zat gizi yang mudah dicerna, sehingga daging sapi dinyatakan sebagai
makanan yang kaya akan gizi (Briggs, 1985).
Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme,
termasuk mikroorganisme perusak atau pembusuk. Hal ini disebabkan oleh (1) kadar
air yang tinggi (kira-kira 68-75%), (2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen
dengan kompleksitas yang berbeda, (3) mengandung sejumlah karbohidrat yang
dapat difermentasikan, (4) kaya akan mineral dan kelengkapan untuk pertumbuhan
mikroorganisme (Soeparno, 1994).
Fermentasi
Fermentasi adalah suatu cara pengawetan yang menggunakan mikroba
tertentu untuk menghasilkan asam atau komponen lainnya yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba perusak lainnya (Muchtadi, 1997). Organisme yang
memegang peranan dalam proses fermentasi diantaranya bakteri, khamir, dan
kapang. Bakteri-bakteri yang umum digunakan dalam proses fermentasi diantaranya
bakteri asam laktat, bakteri asam propionat, dan bakteri asam asetat. Buckle et al.
(1987), fermentasi didefinisikan sebagai perubahan kimia dalam bahan pangan yang
disebabkan oleh enzim. Enzim yang berperan dapat dihasilkan oleh mikroorganisme
yang telah ada secara alami ataupun yang ditambahkan ke dalam bahan pangan.
Fermentasi pangan dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan
sumber bakteri yang berperan dalam fermentasi. Pertama, fermentasi spontan yaitu
fermentasi pangan yang dalam pembuatannya hanya mengandalkan starter alami
dalam bahan baku dan tidak melibatkan penambahan starter untuk tujuan khusus.
Bakteri yang berperan aktif dalam proses fermentasi tersebut berkembangbiak secara
spontan karena lingkungan hidupnya sesuai untuk pertumbuhannya. Kedua,
fermentasi tidak spontan atau terkontrol yang terjadi pada pangan yang ditambahkan
bakteri dalam bentuk starter atau kultur untuk tujuan tertentu (Fardiaz, 1992).
Fermentasi oleh bakteri tertentu dapat memberi flavor, bentuk, dan tekstur
yang bagus dari bahan pangan yang difermentasi. Mikroorganisme asam laktat dapat
menyebabkan keasaman yang tinggi, pH, dan potensial redoks yang rendah yang
akan menghambat pertumbuhan organisme lainnya (Buckle et al., 1987). Asam laktat
merupakan produk utama fermentasi, jumlah hasil akhirnya tergantung pada spesies
bakteri asam laktat yang digunakan (Fardiaz, 1992).
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat adalah bakteri yang melakukan penguraian glukosa atau
karbohidrat menghasilkan asam laktat yang akan menurunkan pH serta menimbulkan
rasa asam (Muchtadi, 1997). Bakteri asam laktat dapat dibedakan atas dua kelompok
yaitu
homofermentatif
dan
heterofermentatif.
Bakteri
yang
tergolong
homofermentatif misalnya Streptococcus, Pediococcus, dan beberapa spesies
Lactobacillus. Bakteri asam laktat yang tergolong heterofermentatif misalnya
Leuconostoc dan beberapa spesies Lactobacillus (Rahman et al., 1992).
Bakteri pembentuk asam laktat bervariasi dalam kemampuannya membentuk
asam laktat dan sifat-sifat lainnya. Beberapa galur memproduksi asam sangat cepat,
sedangkan galur lainnya lebih lambat (Rahman et al., 1992). Bakteri asam laktat
yang banyak digunakan dalam fermentasi daging adalah Lactobacillus dan
Pediococcus (Todra et al., 2001).
Bakteri asam laktat dalam produk pangan memiliki peranan dalam
meningkatkan keamanan pangan dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri
pembusuk dan perusak makanan yaitu bakteri Gram positif maupun Gram negatif
(Hugas dan Monfort, 1997). Beberapa spesies spesifik bakteri asam laktat
mempunyai kemampuan melekat pada sel mukosa dan mampu memproduksi respon
imun (Salminen et al., 1998). Lactobacilli dapat menstimuli respon inang yang
memiliki peranan penting dalam mekanisme pertahanan mukosa (Brassart dan
Schiffrin, 2000).
Lactobacillus plantarum
Bakteri Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat dari famili
Lactobacilliceae, genus Lactobacillus, dan subgenus Steptobacterium (Robinson dan
Tamime, 1981), Gram positif, non motil, berukuran 0,6-0,8 µm x 1,2-6,0 µm.
Organisme ini bersifat katalase negatif dan tidak dapat tumbuh pada suhu 45 °C
(Gililland, 1986). Lactobacillus plantarum toleran pada garam, dapat berkembang
dengan konsentrasi garam lebih besar dari 9% (Buchanan dan Gibbons, 1974).
Lactobacillus plantarum dapat memfermentasikan galaktosa, laktosa, maltosa,
manitol, melezitosa, melibiosa, raffinosa, salisin, sorbitol, dan trehalosa (Law, 1997).
Gambar 1. Morfologi Lactobacillus plantarum
Sumber: Paustian, 2006
Bakteri Lactobacillus plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan
asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari
fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu,
sayuran, dan daging (sosis). L. plantarum tampaknya paling banyak berperan dalam
fermentasi, karena suhu fermentasi yang digunakan lebih tinggi. Selain itu,
fermentasi dari Lactobacillus plantarum bersifat homofermentatif sehingga tidak
menghasilkan gas (Buckle et al., 1987).
Bakteri Lactobacillus plantarum merupakan bakteri penghasil hidrogen
peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan
bakteriosin yang merupakan senyawa polipeptida atau protein yang bersifat
bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi
bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan
kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah (Ray, 2004).
Bakteriosin yang berasal dari Lactobacillus plantarum dapat menghambat
Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif (Branen, 1993).
Bakteri Lactobacillus plantarum 1B1 hasil isolasi dari daging sapi yang
disimpan selama 12 jam postmortem mempunyai karakreristik menghasilkan enzim
proteolitik yang dapat mendegradasi protein daging fermentasi menjadi protein yang
sederhana. Selain itu, daging fermentasi tersebut menghasilkan konsentrasi asam
amino yang lebih tinggi daripada daging segar yang dapat dilihat pada Tabel 1.
(Kurniawati, 2007).
Tabel 1. Komposisi Asam Amino Daging Sapi dan Daging Fermentasi oleh
L. plantarum
Peningkatan Kadar Asam
Deskripsi
Kadar Asam Amino (%)
Amino Dendeng
(% bk)
Daging
Dendeng Fermentasi
Fermentasi Giling (%)
Sapi
Giling
Aspartat
1,66
2,56
54,22
Glutamat
3,42
4,79
40,06
Serina
0,79
1,09
37,97
Histidina
0,70
0,91
30
Glisina
0,97
1,41
45,36
Threonina
0,98
1,27
29,59
Arginina
1,57
1,98
26,11
Alanina
1,08
1,60
48,15
Tirosina
0,67
0,79
17,91
Metionina
0,47
0,36
-23,40
Valina
0,90
1,48
64,44
Fenilalanina
0,73
1,07
46,58
I-leusina
0,90
1,29
43,33
Leusina
1,48
2,09
41,22
Lisina
1,45
2,08
43,45
Keterangan: warna hijau menunjukkan jenis asam amino esensial
Sumber: Kurniawati, 2007
Hasil penelitian Hidayati (2006) menunjukkan bahwa, isolat L. plantarum
1B1 mampu hidup dengan baik pada pH 5-6,5 dan konsentrasi NaCl 1,5-2%. Isolat
ini mampu memfermentasi L-arabinosa, galaktosa, D-glukosa, sorbitol, maltosa,
laktosa, suktosa, salisin, dan trehalosa, tetapi tidak mampu memfermentasi D-silosa
dan rhamnosa serta dubius pada manitol dan raffinosa. Kultur L. plantarum 1B1 juga
mampu menghasilkan antimikroba yang menghambat pertumbuhan E. coli, S.
thyphimurium, S. aureus, S. epidermidis, serta memiliki zona hambat yang lebih
besar pada bakteri Gram negatif daripada bakteri Gram positif (Tribowo, 2006).
Pengasapan
Pengasapan
berfungsi
untuk
menghambat
pertumbuhan
bakteri,
memperlambat oksidasi lemak, dan memberi flavor pada daging yang diproses
(Lawrie, 1998). Asap umumnya dibuat dengan cara perlahan menghembuskan serbuk
gergaji yang berasal dari kayu keras. Pengasapan dapat berfungsi sebagai
pengawetan karena dapat menghambat mikroorganisme yang tidak diinginkan
(Girard, 1992).
Komponen-komponen asap dari asap kayu yang meliputi asam asetat, asam
format, dan asam-asam organik yang lain memiliki fungsi antimikroba. Komponen
asam-asam ini menghambat pertumbuhan mikroba dengan berinteraksi dengan
membran sel mikroba, kemudian menetralisir potensi elektrokimia mikroba tersebut
(Girard, 1992).
Formaldehid yang merupakan komponen karbonil telah terbukti memiliki
aktivitas antimikroba. Komponen ini memiliki spektrum aktivitas yang luas dan
merupakan komponen yang paling aktif dalam konstituen-konstituen antimikroba
dari asap kayu. Formaldehid umum digunakan secara langsung sebagai bakteriostat
untuk mencegah Clostridium (Girard, 1992).
Komponen-komponen hidrokarbon memiliki peranan dalam pembentukan
warna bahan pangan yang diasap. Hemiterpenes, sesquiterpenes, dan triterpenes
merupakan
komponen-komponen
terpenes
meningkatkan aroma asap (Ogbadu, 1999).
yang
memiliki
peranan
dalam
Probiotik
Fuller (1992) mengemukakan, bahwa probiotik adalah zat nutrisi tambahan
berupa mikroorganisme hidup yang bermanfaat bagi induk semangnya dengan jalan
meningkatkan keseimbangan populasi mikroba usus. Keseimbangan yang baik dalam
ekosistem mikrobiota usus bisa menguntungkan kesehatan tubuh dan dapat
dipengaruhi oleh konsumsi probiotik setiap hari (Lisal, 2005). Spesies mikroba yang
umum
digunakan
sebagai
probiotik
adalah
Lactobacillus,
Bifidobacteria,
Enterococcus, Saccharomyces, dan Lactococcus (Gibson, 2000). Beberapa
mikroorganisme yang tergolong probiotik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa Mikroorganisme Probiotik
Bakteri Asam Laktat Lainnya
Lactobacilli
Bifidobacteria
L. acidophilus
B. adolescentis
Enterococcus faecium
L. amylovorus
B. animalis
Leuconostoc mesenteroides
L.casei
B. bifidum
L. crispatus
B. breve
L. gasseri
B. infantis
L. johnsonii
B. longum
L. paracasei
L. plantarum
L. reuteri
L. rhamnosus
Sumber: Holsapfel et al., 2001
Karakteristik probiotik yang diinginkan dari satu strain spesifik mencakup:
(a) mempunyai kapasitas untuk bertahan hidup (survive), untuk melakukan
kolonisasi (colonize), serta melakukan metabolisme (metabolize) dalam saluran
cerna, (b) mampu mempertahankan suatu keseimbangan mikroflora usus yang sehat
melalui kompetisi dan inhibisi kuman-kuman patogen, (c) dapat menstimulasi
bangkitnya pertahanan imun, (d) bersifat non-patogenik dan non-toksik, serta (e)
harus mempunyai karakteristik teknologik yang baik, yaitu mampu bertahan hidup
secara optimal dan stabil selama penyimpanan dan penggunaan (storage and use)
dalam bentuk preparat makanan yang didinginkan dan dikeringkan, agar dapat
disediakan secara massal dalam industri (Lisal, 2005). Tannock (1999)
menyimpulkan beberapa manfaat yang diperoleh dari mengkonsumsi probiotik yaitu:
(1) meningkatkan sistem kekebalan tubuh, (2) mengurangi gejala diare, (3)
menurunkan kadar kolesterol dalam darah, (4) mempunyai aktivitas anti
karsinogenik, (5) mengikis sel tumor, dan (6) mengatur tekanan darah.
Prinsip kerja probiotik yaitu 1) mikroorganisme non-endogenous mendesak
mikroorganisme patogen endogenous keluar dari ekosistem saluran pencernaan dan
menggantikan lokasi mikroorganisme patogen (translokasi) di dalam saluran
pencernaan, 2) menyediakan enzim yang mampu mencerna serat kasar, protein,
lemak, dan mendetoksifikasi zat racun atau metabolit, dan 3) menghasilkan asam,
selain itu beberapa mikroba probiotik dapat menghasilkan bahan antimikroba
(bakteriosin). Probiotik dapat diberikan melalui pakan, air minum, dan kapsul.
Pemberian melalui pakan merupakan cara yang terbaik untuk memperoleh jumlah
dan proporsi yang tepat (Gibson dan Roberford, 1995).
Hasil riset membuktikan, bahwa bakteri probiotik bertahan hidup dalam
saluran pencernaan setelah dikonsumsi. Bakteri ini tahan terhadap lisozim, asam
lambung, dan asam ampedu sehingga mampu mencapai usus dalam keadaan hidup.
Bakteri probiotik mampu melekat pada sel-sel epithelial dan memproduksi zat
metabolit yang berperan dalam menjaga dan mempertahankan mikroflora usus.
Kondisi seimbang mikroflora usus memberikan aktivitas menguntungkan dan
menghasilkan efek positif bagi kesehatan (Yukuchi et al., 1992). Mekanisme
penempelan bakteri pada sel epithel usus dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme Penempelan Bakteri pada Sel Epithelial Usus
Sumber: Walker, 2008
Bakteri supaya dapat berkolonisasi pada saluran pencernaan maka pertama
kali harus melekat pada glikokonjugat yang ada pada membran mikrovili.
Glikokonjugat merupakan terminal gula pada sisi rantai oligosakarida yang terletak
pada membran mikrovili. Glikokonjugat ini dapat berupa glikoprotein atau
glikolipid. Spesifik bakteri melekat pada spesifik gula. Bakteri probiotik dapat
melakukan pelekatan pada permukaan usus untuk meningkatkan pertahanan saluran
pencernaan inang. Probiotik dapat melindungi inang dari kolonisasi bakteri yang
bersifat patogen dengan mekanisme yang berbeda-beda, misalnya probiotik juga
mempunyai preferensi pada sebuah reseptor karbohidrat. Jika preferensi untuk
menempel pada gula spesifik, misalnya Bifidobacterium profringins dan E. coli
memiliki preferensi yang sama pada manosa, maka probiotik dapat melakukan
kompetisi dan menghambat kolonisasi E. coli. Penempelan probiotik tersebut dapat
merangsang aktifnya sel-sel epithelial dan fungsi limfosit sehingga dapat
meningkatkan kapasitas perlindungan pada sistem pertahanan mukosa (Walker,
2008).
Terdapat banyak pula kendala dalam penggunaan probiotik, termasuk
kemampuan survival, kolonisasi, dan kompetisi nutrien untuk masuk ke dalam suatu
lingkungan ekosistem yang sudah mengandung beberapa ratus jenis spesies bakteri
lainnya. Lisal (2005) menambahkan, jika bahan yang mengandung probiotik tidak
lagi dimakan, maka bakteri yang ditambahkan itu dengan cepat akan mengalami
wash-out (tidak lagi melekat dan dikeluarkan dari saluran pencernaan). Pendekatan
lain yang dapat mengatasi keterbatasan pemakaian probiotik adalah dengan
penggunaan prebiotik (Lisal, 2005), yaitu suatu unsur makanan yang non-digestible,
yang mempunyai pengaruh menguntungkan bagi inangnya, yang secara selektif
menstimulasi pertumbuhan dan/atau aktivitas metabolik dari satu atau sejumlah
terbatas bakteri dalam kolon sehingga memperbaiki kesehatan induk semangnya
(Gibson, 2000). Prebiotik yang dapat digunakan misalnya non-digestible
oligosaccharide dan resistant starch (pati resisten) (Gibson, 2000).
Usus Halus
Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan yang berfungsi
mencerna dan menyerap zat-zat makanan seperti asam amino, lipid dan
monosakarida (Banks, 1993). Fungsi utama usus halus adalah absorbsi mikronutrien,
mineral dan vitamin. Beda lokasi usus halus, berbeda pula jenis mikronutrien yang
diabsorbsi (Andra, 2007).
Usus halus, secara histologi terdiri dari lapisan mukosa (lamina epithelia,
lamina propria, dan muscularis mucosae), submukosa, muskularis (tunica
muscularis), dan serosa (tunica serosa) (Banks, 1993). Pengamatan terhadap
morfologi/histologi usus seperti tinggi vili, ketebalan dan volume mukosa,
kedalaman celah Liberkuhn, dan parameter sejenis, dapat menjadi gambaran
pertumbuhan saluran pencernaan (Klurfeld, 1999).
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. Gambaran Mikroskopik Usus Halus; (a) Duodenum, (b) Jejunum,
dan (c) Ileum
Sumber: Deltabase, 2006
Usus halus dibagi dalam tiga daerah yaitu duodenum, jejunum, dan ileum
(Gambar 3). Daerah duodenum memiliki lipatan mukosa yang melingkar dan
memiliki banyak vili (Banks, 1993). Duodenum merupakan tempat absorbsi besi dan
folat. Duodenum juga menjadi tempat penting terjadinya pencampuran antara
makanan dengan garam empedu dan enzim pankreas (Andra, 2007). Daerah jejunum
usus halus mirip dengan daerah duodenum. Ukuran vili jejunum lebih langsing, lebih
kecil, dan jumlahnya lebih sedikit daripada duodenum (Banks, 1993). Jejunum
menjadi bagian dari usus halus yang paling banyak mengabsorbsi mikronutrien.
Selain nutrien, obat juga diabsorbsi di sini (Andra, 2007). Daerah ileum usus halus
mirip dengan jejunum. Vili pada ileum membentuk kelompok. Daerah ileum tidak
memiliki lipatan-lipatan mukosa (Banks, 1993). Motilitas makanan yang melewati
ileum lebih lambat daripada jejunum. Neurohormonal seperti glucagon-like peptide 1
dan 2, peptide YY, dan neurotensin yang dilepas oleh ileum terminal berperan
memberikan efek trofik pada mukosa (Andra, 2007). Spesifitas beberapa enzim
proteolitik saluran pencernaan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifitas Beberapa Enzim Proteolitik
Enzim
Lokasi
pH optimum
Kerja utama pada
Tripsin
Usus
7,5-8,5
Ikatan arginil, lisil
Kimotripsin
Usus
7,5-8,5
Pepsin
Lambung
1,5-2,5
Ikatan aromatik amino asil
(Fe, Trp, Tir)
Spesifikasi luas
Karboksipeptidase
Usus
7,5-8,5
Asam amino ujung-C
Aminopeptidase
Mukosa usus
Asam amino ujung-N
Sumber: Montgomery et al., 1993
Rofiq (2003) menyebutkan, nutrisi bahan pakan diserap melalui permukaan
vili usus halus. Morfologi permukaan vili usus halus sangat berperan dalam
menyerap bahan pakan, sehingga morfologi usus halus mempunyai struktur yang
optimal dalam menyerap nutrisi. Struktur tersebut diamati sebagai performans vili
usus halus. Performans vili usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis
bahan pakan, zat kimia pakan, feed aditif, serta gangguan pertumbuhan pertumbuhan
vili usus halus.
Kolon
Kolon merupakan bagian usus besar yang memiliki fungsi penting dalam
menyerap air dan garam serta menyerap asam lemak rantai pendek yang dihasilkan
oleh bakteri (Klurfeld, 1999). Kolon rata-rata menampung 1-1,5 liter cairan dan
elektrolit. Kolon juga sangat mudah beradaptasi. Kolon mampu meningkatkan
kemampuan absorbsinya 3-5 kali lipat atau maksimal 5-6 liter/hari (Andra, 2007).
Kolon pada usus besar memiliki diameter lebih besar daripada usus halus. Membran
mukosa lebih lembut dan lapisan luar tunika muskularis pada kolon lebih tebal
(Banks, 1993).
Makanan sebelum masuk ke kolon terlebih dahulu melewati katup ileocecal
yang terletak pada pertemuan antara ileum dan cecum. Katup ini berfungsi
memperlambat jalannya makanan dari ileum ke kolon. Selain itu, katup ini juga
berperan dalam regulasi dan integrasi motilitas gastrointestinal postprandial serta
mencegah refluks bakteri kolon ke dalam usus halus (Andra, 2007).
Gambar 4. Gambaran Mikroskopik Kolon
Sumber: Deltabase, 2006
Hasil penelitian tentang pengaruh probiotik (Streptococcus thermophillus dan
Lactobacillus helveticus) terhadap mukosa usus tikus membuktikan, bahwa tidak
terdapat perbedaan pertambahan bobot atau ukuran serta bobot usus dan hati pada
tikus. Ukuran vili dan kedalaman celah Liberkuhn pada jejunum tikus lebih besar
pada tikus yang diberi probiotik. Kedalaman celah Liberkuhn dan ketebalan dinding
caecum dan kolon bagian distal menunjukkan adanya peningkatan pada tikus yang
diberi probiotik (Bourlioux, 2005).
Tikus Rattus norvegicus
Tikus putih (Rattus norvegicus) memiliki ciri-ciri panjang total 440 mm,
panjang ekor 205 mm, dan berat 400-500 g (Ballenger, 2001). Tikus putih
merupakan salah satu hewan yang digunakan sebagai hewan model untuk percobaan
laboratorium (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus putih dipakai karena tikus
putih seperti juga manusia, adalah omnivora, dan telah terbukti bahwa kebutuhan
asam amino esensialnya menyamai kebutuhan manusia, khususnya anak-anak. Satu
minggu umur tikus putih ekivalen dengan 30 minggu umur manusia, sehingga
pengaruh zat gizi terhadap pertumbuhan dapat dipelajari dengan cepat pada tikus
putih (Nio, 1989). Galur-galur yang umum yang digunakan sebagai hewan percobaan
di Indonesia yaitu: galur Sprague Dawley, galur Long Evans, dan galur Wistar
(Weihe, 1989).
Tikus laboratorium memiliki beberapa karakteristik yaitu (a) tikus
laboratorium jantan jarang berkelahi, (b) dapat tinggal sendirian dalam kandang asal
dapat melihat dan mendengar tikus lain, (c) tikus ini tenang dan mudah ditangani di
laboratorium, (d) dibandingkan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi
dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih mudah
berkembang biak. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain,
yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat
esofagus bermuara ke dalam lambung dan tidak memiliki kantung empedu (Smith
dan Mangkoewidjojo, 1988). Nutrisi tikus bervariasi, misalnya protein 10%, lemak
8%, campuran mineral 5%, campuran vitamin 1%, selulosa 1%, air 5%, dan pati 81%
(untuk membuat 100%) (AOAC, 1984). Perhitungan campuran ransum tikus dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perhitungan Campuran Ransum Tikus
Bahan-bahan campuran
Jumlah (%)
Protein
X = 1,60 x 100 / % N sampel (10% protein)
Minyak goreng atau lemak
8 – X x % ekstrak eter / 100
Campuran garam atau mineral
5 – X x % kadar abu / 100
Campuran vitamin
1
Agar-agar atau selulosa
1 – X x % kadar serat kasar / 100
Air
5 – X x % kadar air / 100
Sukrosa atau pati jagung
Untuk membuat 100%
Keterangan: X = jumlah zat makanan sumber protein
Sumber : AOAC, 1984
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di tiga laboratorium yaitu Laboraturium Hewan
Percobaan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Laboratorium
IPT Rumianansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan, serta Laboratorium Histologi Departemen Anatomi Fisiologi
dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan
Juni 2007 sampai Juni 2008.
Materi
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam lima
kelompok besar yaitu:
Daging Fermentasi dan Daging Non-fermentasi (Daging Panggang). Bahanbahan yang digunakan dalam pembuatan daging fermentasi diantaranya adalah
daging sapi bagian knuckle yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, garam, starter kultur Lactobacillus plantarum
kode 1B1 milik Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, es batu, serbuk gergaji, dan batok kelapa untuk pengasapan. Bahanbahan yang digunakan dalam pembuatan daging non-fermentasi (daging panggang)
adalah daging sapi (bagian knuckle) dan garam.
Hewan Percobaan. Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tikus putih albino Norway rats (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley lepas sapih
(umur 21-23 hari) berjenis kelamin jantan sebanyak 33 ekor hasil pengembangbiakan
dari Puslitbang Gizi, Departemen Kesehatan Bogor. Sebanyak 33 tikus tersebut
dibagi dalam enam grup, yaitu lima grup (tikus dengan perlakuan) masing-masing
menggunakan enam tikus dan satu grup (tikus tanpa perlakuan atau tikus awal)
menggunakan tiga tikus.
Analisis Kimia Daging Fermentasi dan Non-Fermentasi (Daging Panggang).
Bahan yang digunakan dalam analisis kadar protein adalah daging fermentasi, daging
panggang, selenium, H2SO4 5%, aquades, NaOH 40%, H3BO3, cairan indikator brom
cresol green –methyl red yang berwarna merah muda. Bahan yang digunakan dalam
analisis kadar air adalah daging fermentasi dan daging panggang.
Komposisi Ransum. Komposisi ransum harian tikus percobaan dapat dilihat pada
Tabel 5. Perhitungan komposisi ransum harian tikus dapat dilihat pada Lampiran 10.
Tabel 5. Komposisi Ransum Harian
Protein
Protein
Daging
Daging
NonNonFermentasi Fermentasi
15%
10%
-----------------------------------------(% bb)-----------------------------------Protein
Kasein
10%
(kontrol)
Protein
Daging
Fermentasi
10%
Protein
Daging
Fermentasi
15%
Kasein
12,69
0
0
0
0
Daging
0
45,58
68,37
42,02
63,03
Lemak
7,94
7,94
7,94
7,94
7,94
Campuran
mineral
Campuran
vitamin
Air
4,56
4,56
4,56
4,56
4,56
1
1
1
1
1
3,56
3,56
3,56
3,56
3,56
Selulosa
0,96
0,96
0,96
0,96
0,96
Pati jagung
69,27
36,38
13,61
39,96
18,95
100
100
100
100
100
Jenis Bahan
Jumlah
Pengambilan Sampel dan Pembuatan Preparat Histologi. Pengambilan sampel
dan pembuatan preparat histologi usus (jejunum dan kolon) dilakukan pada 18 tikus,
yaitu masing-masing tiga tikus dalam grup perlakuan yang memiliki pertambahan
bobot badan (PBB) besar pada akhir pemeliharaan tikus dan tiga tikus dari grup tikus
awal. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk membuat preparat histologi usus
yaitu larutan Bouin, alkohol, xylol, parafin, pewarna Hematoxylin dan Eosin,
aquades, NaCl fisiologis, dan mounting media.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam empat kelompok
besar yaitu:
Kandang dan Perlengkapan. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kandang metabolik. Kandang tersebut berukuran 17,5 x 23,75 x 17,5 cm sebanyak 30
kandang (sebanyak enam kandang tiap satu grup tikus perlakuan) yang terbuat dari
stainless steel. Kandang tersebut harus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara
bising, dan bebas dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai harus mudah
dibersihkan dan disanitasi serta terdapat ventilasi yang cukup. Setiap petak kandang
dilengkapi dengan tempat makan, tempat air minum, tempat urin, dan tempat feses.
Daging Fermentasi dan Daging Non-Fermentasi (Daging Panggang). Peralatan
yang digunakan dalam pembuatan daging fermentasi yaitu wadah, pisau, spatula,
food cutter, stuffer, tali pengikat, freezer, dan smoke chamber. Peralatan yang
digunakan dalam pembuatan daging non-fermentasi (daging panggang) yaitu wadah,
food cutter, oven listrik, dan pisau.
Analisis Kimia Daging Fermentasi dan Non-Fermentasi (Daging Panggang).
Peralatan yang digunakan dalam analisis kadar air meliputi cawan petri, oven listrik,
dan timbangan digital. Peralatan yang digunakan dalam analisis kadar protein
meliputi labu Kjeldhal 100 ml, destruktor, destilator, labu Erlenmeyer 125 ml, buret,
dan pipet.
Pengambilan Sampel dan Pembuatan Preparat Histologi. Peralatan yang
digunakan untuk bedah tikus dan pembuatan preparat usus meliputi ethanasia jar,
gunting, pisau bedah, dan papan bedah. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan
preparat histologi meliputi tissue basket, botol sampel, tissue embedding console,
inkubator, refrigerator, microtome, water bath, gelas objek, dan cover glass.
Rancangan
Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap (RAL) searah dengan perlakuan kandungan protein ransum yang berbeda,
masing-masing tiga ekor tikus tiap grup sebagai ulangan. Grup pertama adalah tikus
yang diberi ransum protein kasein sebagai kontrol, grup kedua adalah grup tikus
yang diberi ransum dengan sumber protein dari daging fermentasi hingga kadar
protein dalam ransum adalah 10%, dan grup ketiga adalah grup tikus yang diberi
ransum dengan sumber protein dari daging fermentasi hingga kadar protein dalam
ransum adalah 15%. Model matematika rancangan yang digunakan adalah sebagai
berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2002):
Yij = µ + σi + εij
Keterangan :
Yij : nilai pengamatan pada perlakuan pemberian protein yang berbeda ke-i,
dan ulangan ke-j
µ
:
rataan umum
σi
:
pengaruh perlakuan pemberian sumber protein yang berbeda (kasein dan
daging fermentasi 10% dan 15%)
εij
:
pengaruh acak yang menyebar normal
Pengaruh perlakuan terhadap peubah dapat dilihat dengan melakukan sidik
ragam dibantu dengan perangkat lunak Minitab 14. Jika diperoleh hasil yang nyata
(P<0,05), maka dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Tukey (Steel dan Torrie,
1995). Sebelum dilakukan analisis ragam, dilakukan uji asumsi terlebih dahulu yang
meliputi uji kenormalan, kehomogenan, kebebasan galat, dan keaditifan. Hasil yang
diperoleh dari grup tikus perlakuan daging non-fermentasi (daging panggang) dan
grup tikus tanpa perlakuan (tikus awal berumur 21-23 hari), dihitung rata-ratanya
serta dijadikan sebagai bahan acuan atau perbandingan.
Prosedur
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu pemeliharaan tikus dan analisa
histologis usus.
Pemeliharaan Tikus Putih
Pembuatan Daging Fermentasi. Penelitian ini meliputi tahap pembuatan daging
fermentasi dengan menggunakan kultur starter Lactobacillus plantarum kode 1B1
hasil isolasi dari daging sapi sebagai campuran ransum, yang dapat dilihat pada
Gambar 5. Kultur starter Lactobacillus plantarum 1B1 yang akan dipakai dalam
pembuatan daging fermentasi disuspensikan dahulu dalam larutan susu skim 10%
yaitu sebanyak 2% volume semula dan diinkubasi selama 24 jam untuk mendapat
kultur kerja yang populasinya 106-108 cfu/g adonan. Pembuatan daging fermentasi
ini dilakukan sebanyak tiga kali supaya penyimpanan daging fermentasi tidak lama
sehingga populasi bakteri asam laktat relatif tetap.
Pembuatan Daging Non-Fermentasi (Daging Panggang). Penelitian pendahuluan
ini juga meliputi pembuatan daging non-fermentasi (daging panggang) yang
dilakukan dengan cara daging sapi digiling hingga menyerupai beras, ditambahkan
garam sebanyak 2%, kemudian dipanggang dalam oven bersuhu 120 0C selama 60
menit. Daging ini dihancurkan, dan siap digunakan sebagai campuran ransum.
Kadar Air. Penentuan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven
(AOAC, 1984). Sebanyak kurang lebih dua gram sampel daging fermentasi atau
daging non-fermentasi (daging panggang) segar dalam cawan dimasukkan ke dalam
oven dengan suhu 105 - 110 °C selama delapan jam atau sampai didapatkan berat
yang konstan, lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar Air =
Berat Awal – Berat Akhir (g)
Berat Awal (g)
x 100%
Kadar Protein. Kadar protein diukur dengan menggunakan metode Kjeldahl
(AOAC, 1984). Sebanyak 0,25 gram sampel kering, ditempatkan dalam labu
Kjeldahl 100 ml dan ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat.
Kemudian dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama satu
jam sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml
NaOH 40 %, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang
berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green –Methyl
Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml
dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan dititrasi dengan H2SO4 0,1 N
sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan lagi dengan blanko.
Melalui metode ini diperoleh kadar nitrogen total yang dihitung dengan rumus :
%N =
(S-B) x NHCl x 14
w x 1000
Kadar protein (%) = %N x 6,25
Keterangan: S = volume titran sampel (ml)
B = volume titran blanko (ml)
w = bobot sampel kering (mg)
x 100%
Daging sapi
Trimming
¼ bagian digiling
¾ bagian dipotong
bentuk kubus
(2,5 cm x 2,5 cm)
Dibekukan dalam freezer selama 24 jam
Dimasukkan ke dalam food cutter
Ditambahkan kultur starter L. plantarum sebanyak 2%
Ditambahkan garam sebanyak 2%
Digiling hingga menyerupai beras
Dimasukkan ke dalam selongsong
Conditioning selama 24 jam
Diasap dengan suhu dingin (25 °C) selama empat hari
Daging fermentasi
Gambar 5. Proses Pengolahan Daging Fermentasi
Sumber: Modifikasi Hammes et al., 2003
Penelitian ini menggunakan tikus jantan berumur 21-23 hari, berjumlah 33
ekor yang dibagi kedalam enam grup. Grup pertama adalah tikus yang diberi protein
kasein hingga kadar protein dalam ransum 10% sebagai kontrol sebanyak enam ekor.
Grup kedua adalah grup tikus yang diberi ransum dengan sumber protein dari daging
fermentasi hingga kadar protein dalam ransum 10% sebanyak enam ekor. Grup
ketiga adalah tikus yang diberi ransum dengan sumber protein daging fermentasi
hingga kadar protein dalam ransum 15% sebanyak enam ekor. Grup keempat adalah
grup tikus yang diberi ransum dengan sumber protein dari daging non-fermentasi
(daging panggang) hingga kadar protein dalam ransum 10% sebanyak enam ekor.
Grup kelima adalah grup tikus yang diberi ransum dengan sumber protein dari
daging non-fermentasi (daging panggang) hingga kadar protein dalam ransum 15%
sebanyak enam ekor. Grup keenam adalah grup tikus lepas sapih berumur 21-23 hari
sebelum perlakuan (tikus awal) sebanyak tiga ekor. Grup ke-4 dan ke-5 dijadikan
bahan perbandingan karena pemeliharaan tikus dilakukan pada waktu yang berbeda.
Penelitian dilakukan selama 30 hari. Pertama kali tikus diberikan adaptasi
laboratorium selama 5 hari dengan pakan basal, setelah itu tikus diberi ransum sesuai
dengan perlakuan masing-masing. Ransum dan air minum diberikan ad libitum yang
diganti setiap hari.
Analisa Histologis Usus
Penelitian ini menggunakan tikus sebanyak 18 ekor, yaitu masing-masing tiga
tikus dalam grup perlakuan yang memiliki pertambahan bobot badan (PBB) besar
pada akhir pemeliharaan tikus dan tiga tikus dari grup tikus awal. Pengambilan
sampel usus (jejunum dan kolon) pada tikus diawali dengan pembiusan tikus,
kemudian dilakukan pembedahan mulai dari bagian dada ke arah bagian atas. Bagian
usus (jejunum dan kolon) dipotong ± 3 cm sebagai sampel guna pemeriksaan
histologis. Pembuatan preparat histologis usus tikus menggunakan metode parafin
dan diwarnai dengan Hematoxylin dan Eosin. Tahapan proses pembuatan preparat
histologis yaitu fiksasi, dehidrasi, clearing, embedding, sectioning, staining, dan
mounting (Kiernan, 1990). Tahapan pembuatan preparat histologis usus dapat dilihat
pada Lampiran 1. Pemotretan jaringan dilakukan pada tiap perlakuan dengan
menggunakan mikroskop cahaya berlensa objektif dengan perbesaran 10x.
Pengukuran Tinggi Vili Jejunum. Pengukuran tinggi vili jejunum dilakukan
dengan mengukur panjang area dari ujung hingga pangkal vili (Gambar 6).
Pengukuran ini dilakukan pada semua preparat jejunum (54 preparat) dengan
mikrometer.
Pengukuran Tinggi Mukosa Jejunum dan Kolon. Pengukuran tinggi mukosa
dilakukan dengan mengukur panjang area dari ujung vili sampai muskularis mukosa
pada semua preparat jejunum (54 preparat) dengan mikrometer (Gambar 6).
Pengukuran tinggi mukosa pada kolon dilakukan dengan mengukur panjang area dari
permukaan epitelia sampai muskularis mukosa pada semua preparat kolon (54
preparat) dengan mikrometer (Gambar 7).
Pengukuran Tebal Muskularis Jejunum dan Kolon. Pengukuran ketebalan
lapisan muskularis dilakukan dengan mengukur ketebalan lapis otot dalam dan luar
dengan mikrometer. Pengukuran tersebut dilakukan sesuai dengan perlakuan masingmasing pada semua preparat jejunum (54 preparat) dan kolon (54 preparat) dengan
mikrometer (Gambar 6 dan 7).
(a)
(b)
(c)
Keterangan:
(a) = Tinggi vili
(b) = Tinggi lapisan mukosa
(c) = Tebal lapisan muskularis
Gambar 6. Ilustrasi Pengukuran terhadap Parameter Histologis Jejunum
(d)
(e)
Keterangan:
(d) = Tinggi lapisan mukosa
(e) = Tebal lapisan muskularis
Gambar 7. Ilustrasi Pengukuran terhadap Parameter Histologis Kolon
Pengukuran Diameter Jejunum dan Kolon. Pengukuran diameter dilakukan
dengan mengukur diameter sumbu panjang dan sumbu pendek jejunum dan kolon,
kemudian hasilnya dirata-rata (Gambar 8). Pengukuran tersebut dilakukan pada
semua preparat jejunum (54 preparat) dan kolon (54 preparat) dengan mikrometer.
a
c
d
b
D = (ab+cd)/2
Keterangan:
D = Diameter jejunum atau kolon
a-b = Diameter jejunum atau kolon I
c-d = Diameter jejunum atau kolon II
Gambar 8. Ilustrasi Pengukuran terhadap Diameter Usus
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeliharaan Tikus
Tahap pemeliharaan tikus diawali dengan pembuatan daging fermentasi dan
daging non-fermentasi (daging panggang) terlebih dahulu. Pembuatan daging
fermentasi menggunakan kultur Lactobacillus plantarum 1B1 dan diperoleh total
bakteri asam laktat sebanyak 2,9 x 109 cfu/g dalam daging fermentasi (Pertiwi,
belum dipublikasikan). Hal ini menunjukkan, bahwa proses fermentasi daging
tersebut berjalan dengan optimal. Buchanan dan Gibbons (1974) menyatakan, bahwa
fermentasi optimal terjadi oleh pertumbuhan bakteri asam laktat yang cepat pada
level 106-108 cfu/g setelah 2-5 hari. Penggunaan garam sebanyak 2% dan proses
pengasapan dalam pembuatan daging fermentasi berguna untuk mengontrol proses
fermentasi daging. Hal ini disebabkan garam selain memberikan citrasa, juga
memberikan kondisi yang selektif bagi mikroba (Lawrie, 1998). Hasil penelitian
Hidayati (2006) menunjukkan, bahwa isolat L. plantarum 1B1 mampu hidup dengan
baik pada konsentrasi NaCl 1,5-2%. Girard (1992) menyatakan, bahwa pengasapan
dapat berfungsi sebagai pengawetan karena dapat menghambat mikroorganisme yang
tidak diinginkan seperti Clostridium. Data hasil analisis kadar protein kasar daging
fermentasi dan daging non-fermentasi (daging panggang) dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Analisis Protein Kasar Daging Fermentasi dan Non-fermentasi
(Daging Panggang)
Jenis Sampel
Protein Kasar (% bk)
Daging fermentasi
72,65
Daging non-fermentasi (daging
panggang)
73,23
Hasil analisis protein kasar dijadikan sebagai dasar penyusunan ransum
harian tikus untuk mengetahui efektivitas penyerapan protein dalam bentuk asamasam amino secara in vivo pada tikus percobaan. Kadar protein suatu bahan makanan
juga sering digunakan untuk menentukan mutu kasar suatu bahan makanan
(Winarno, 1997). Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat dikatakan bahwa daging
fermentasi dan daging non-fermentasi (daging panggang) memiliki protein kasar
yang tidak jauh berbeda (relatif sama). Rataan pertambahan bobot badan tikus tiap
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Pertambahan Bobot Badan (PBB) Tikus Putih Tiap
Perlakuan
Perlakuan
Peubah
PBB (g/hari)
Kontrol
PDF 10%
PDF 15%
PNF 10%
PNF 15%
3,90
4,92
4,03
5,39
4,81
Keterangan:
PDF = Protein Daging Fermentasi
PNF = Protein Daging Non-fermentasi (daging panggang)
Pertambahan bobot badan tikus yang diberi daging fermentasi dan nonfermentasi secara deskriptif lebih besar daripada kontrol (Tabel 7). Hal ini dapat
disebabkan konsumsi ransum tikus yang diberi daging fermentasi (10%= 17,37 g/hari
dan 15%= 19,37 g/hari) dan non-fermentasi (10%= 17,86 g/hari dan 15%= 20,15
g/hari) lebih tinggi daripada tikus kontrol (11,05 g/hari) (Abdullah, belum
dipublikasikan). Pemeriksaan terhadap morfologi/histologi usus tikus dilakukan pada
tiga tikus putih yang memiliki pertambahan bobot badan relatif tinggi pada grupnya
(Tabel 7). Pertimbangan ini diharapkan dapat memberikan potensi optimum
gambaran pertumbuhan saluran pencernaan masing-masing perlakuan terutama
perlakuan pemberian daging yang difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1.
Analisa Histologis Usus
Pengukuran terhadap parameter-parameter histologis sangat diperlukan untuk
mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan atau organ makhluk
hidup. Parameter histologis yang diamati pada jaringan usus tikus meliputi tinggi vili
jejunum, tinggi lapisan mukosa jejunum dan kolon, tebal lapisan muskularis jejunum
dan kolon, serta diameter jejunum dan kolon masing-masing perlakuan.
Ketinggian Vili Usus Halus Bagian Jejunum
Vili merupakan penjuluran dari mukosa usus ke arah lumen yang berfungsi
menyerap nutrisi makanan (Banks, 1993) dan untuk memperluas bidang penyerapan
(Hartono, 1992). Morfologi permukaan vili usus halus sangat berperan dalam
menyerap bahan pakan, sehingga morfologi usus halus mempunyai struktur yang
optimal dalam menyerap nutrisi.
Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan tinggi vili bagian
jejunum antara tikus yang diberi ransum kontrol dengan tikus yang diberi sumber
protein daging fermentasi 10% hingga 15% dalam ransumnya. Hal ini dapat
dikatakan, bahwa pemberian daging yang difermentasi oleh Lactobacillus plantarum
1B1 dalam ransum tikus hingga kadar protein dalam ransum 10% dan 15% tidak
mempengaruhi gambaran histologis tinggi vili usus bagian jejunum. Hasil rataan
pengukuran tinggi vili usus tikus bagian jejunum dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan dan Standar Deviasi Tinggi Vili Jejunum Tikus Putih Tiap
Perlakuan
Peubah
Tanpa
Perlakuan
(µm)
perlakuan
Daging fermentasi
Kontrol
(awal)
10%
15%
Daging non-fermentasi
10%
15%
Tinggi
382,7
425,9
377,2
459,0
393,2
471,2
villi
± 63,6
± 43,3
± 18,2
± 17,4
± 98,2
± 7,01
Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, tikus yang diberi ransum
kontrol cenderung memiliki vili yang relatif lebih tinggi daripada tikus yang diberi
protein yang berasal dari daging fermentasi hingga kadar protein dalam ransumnya
10% (Tabel 8). Tikus yang diberi ransum kontrol juga cenderung memiliki
pertumbuhan vili yang lebih baik daripada tikus yang diberi ransum yang
mengandung daging fermentasi (mengacu pada tikus tanpa perlakuan) (Gambar 9).
Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan sumber protein yang digunakan dalam
ransum masing-masing perlakuan. Ransum kontrol menggunakan kasein sebagai
sumber protein yang merupakan protein standar murni yang dapat dicerna dan
diserap secara optimal oleh sistem pencernaan tubuh (hampir mencapai 100%).
Tinggi Vili (µm)
500
400
300
200
100
0
Tanpa perlakuan
(awal)
Keterangan:
10%
Kontrol
Fermentasi
Non-fermentasi
(panggang)
15%
Gambar 9. Grafik Tinggi Vili Usus Tikus Putih Bagian Jejunum Tiap
Perlakuan
Vili pada tikus yang diberi protein daging fermentasi hingga kadar protein
dalam ransumnya 15% relatif lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol dan tikus yang
diberi protein daging fermentasi hingga kadar protein dalam ransumnya 10%
(Gambar 9). Hal ini dapat disebabkan semakin banyak zat-zat makanan dalam
ransum tersebut yang dicerna dan diserap oleh vili dalam bentuk partikel-partikel
nutrien untuk digunakan sel-sel tubuh.
Tikus yang diberi protein daging fermentasi hingga kadar protein dalam
ransum 10% dan 15% cenderung memiliki vili yang lebih rendah daripada tikus yang
diberi protein daging non-fermentasi pada konsentrasi yang sama (Tabel 8 dan
Gambar 9). Hal ini dapat disebabkan konsumsi ransum tikus dengan perlakuan
pemberian daging non-fermentasi atau daging panggang (10%= 17,86 g/hari dan
15%= 20,15 g/hari) dan konsumsi protein pada tikus yang diberi daging nonfermentasi atau daging panggang (10%= 1,79 g/hari dan 15%= 3,02 g/hari)
cenderung lebih banyak daripada tikus dengan perlakuan pemberian daging
fermentasi, yaitu konsumsi ransum 17,37 g/hari (10%) dan 19,37 g/hari (15%) serta
konsumsi protein 1,74 g/hari (10%) dan 2,91 g/hari (15%) (Abdullah, belum
dipublikasikan).
Protein daging fermentasi (hingga kadar protein dalam ransum 10%) yang
digunakan dalam penyusunan ransum tikus memberikan efek histologis yang tidak
berbeda secara statistik dengan tikus yang diberi ransum kontrol pada parameter
tinggi vili jejunum, dapat disebabkan oleh aktivitas Lactobacillus plantarum 1B1.
Bakteri Lactobacillus plantarum 1B1 telah terbukti memiliki aktivitas proteolitik
pada daging fermentasi dengan menghasilkan enzim proteolitik yang dapat memecah
protein daging fermentasi menjadi protein yang lebih sederhana (Kurniawati, 2007).
Lactobacillus plantarum memiliki enzim-enzim proteolitik (protease) yang dapat
mendegradasi otot hingga mengakibatkan peluruhan sarkomer otot (Fadda et al.,
1999). Protease yang dihasilkan oleh L. plantarum tergolong eksoprotease.
Eksoprotease dapat menguraikan protein dari ujung rantai sehingga dihasilkan asam
amino dan sisa peptida (Todra et al., 2001).
Kurniawati (2007) menyebutkan, bahwa pengolahan daging menjadi dendeng
fermentasi giling dengan menggunakan kultur starter L. plantarum 1B1 dapat
menurunkan jumlah pita protein lebih banyak (tujuh buah pita protein yang
terdeteksi) dibandingkan daging sapi (12 buah protein yang terdeteksi) dengan
elektroforesis SDS-PAGE. Hal ini berarti, bahwa sebagian besar protein daging sapi
dapat dipecah atau diurai oleh L. plantarum 1B1.
Lactobacillus plantarum 1B1 telah memecah sebagian besar protein daging,
sehingga mempermudah proses pencernaan secara enzimatis pada lambung dan usus.
Protein-protein dicerna menjadi asam amino penyusunnya oleh enzim-enzim
proteolitik secara umum (Tabel 3) dan peptidase-peptidase yang ada dalam saluran
gastrointestinal (Montgomery et al., 1993). Hal ini mengakibatkan proses absorbsi
partikel-partikel nutrien berlangsung lebih mudah dan cepat (terutama asam amino
dan sejumlah peptida kecil) oleh sel-sel absorptif yang terdapat pada vili usus.
Sejumlah peptida kecil yang diabsorbsi kemudian dihidrolisis oleh sel absorbtif,
sehingga hanya asam amino saja yang terdapat dalam darah portal. Partikel-partikel
nutrien (monosakarida, asam amino, asam lemak, vitamin, dan mineral) diabsorbsi,
kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dan digunakan oleh sel-sel tubuh
(Hartono, 1992). Asam-asam amino tersebut selanjutnya digunakan untuk
membentuk jaringan tubuh (pertumbuhan), dan mengganti sel-sel yang rusak dan aus
(Muchtadi, 1997).
Ketinggian Lapisan Mukosa Usus Halus Bagian Jejunum
Mukosa dari usus halus dikarakterisasi dengan adanya tiga lapisan seluler.
Lapisan pertama yaitu lamina epithelia yang terdiri atas lining cells, sel-sel goblet,
sel-sel endokrin pencernaan, dan sel-sel M (M cells) serta lapisan kedua yaitu lamina
propria yang umumnya dideskripsikan sebagai jaringan kolagen yang lepas yang
mengandung banyak serat retikular, granulosit, dan agranulosit. Lapisan ketiga
merupakan lamina muskularis mukosa yang terdiri dari otot polos lapis dalam yang
tersusun melingkar dan lapis luar longitudinal. Sel-sel mukosa memiliki berbagai
bentuk sel-sel yang mensekresi enzim (Banks, 1993).
Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan ketinggian
mukosa usus bagian jejunum antara tikus yang diberi ransum kontrol dengan tikus
yang diberi sumber protein daging fermentasi 10% hingga 15% dalam ransumnya.
Hal ini dapat dikatakan, bahwa pemberian ransum yang mengandung protein daging
fermentasi hingga kadar protein dalam ransum 10% dan 15% tidak mempengaruhi
gambaran histologis tinggi mukosa usus tikus bagian jejunum. Hasil rataan
pengukuran terhadap tinggi mukosa usus halus tikus bagian jejunum dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan dan Standar Deviasi Tinggi Lapisan Mukosa Jejunum Tikus
Putih Tiap Perlakuan
Peubah
Tanpa
Perlakuan
(µm)
perlakuan
Kontrol
(awal)
Daging fermentasi
10%
15%
Daging non-fermentasi
10%
15%
Tinggi
579,2
670,7
673,5
768,0
701,2
725,0
mukosa
± 79,3
± 50,8
± 53,5
± 22,8
± 79,9
± 81,2
Tikus yang diberi protein daging fermentasi hingga kadar protein dalam
ransumnya 10% relatif memiliki tinggi lapisan mukosa yang sama dengan tikus yang
diberi ransum kontrol (Tabel 9). Hal ini dapat disebabkan proses metabolisme
mukosa usus halus tikus yang berlangsung cepat pada kedua perlakuan tersebut.
Montgomery et al. (1993) menyatakan, bahwa jaringan yang metabolismenya cepat
seperti hati, pankreas, dan mukosa usus cenderung kehilangan proteinnya dengan
cepat.
Meskipun secara statistik tidak berbeda, tikus yang diberi daging fermentasi
hingga kadar protein dalam ransum 15% memiliki lapisan mukosa yang cenderung
lebih tinggi daripada tikus yang diberi ransum kontrol dan daging fermentasi hingga
kadar protein dalam ransum 10% (Tabel 9). Hal ini dapat disebabkan protein yang
dipakai dalam penyusunan ransum semakin banyak, sehingga diduga semakin
banyak pula nutrien (terutama protein) yang dapat dicerna, diserap, dan diedarkan
melalui pembuluh darah dalam bentuk asam amino untuk pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel tubuh termasuk sel-sel mukosa. Asam-asam amino yang
diserap dan diedarkan melalui aliran darah juga dapat dimanfaatkan dalam
pembentukan atau sintesis enzim-enzim pencernaan yang terdapat pada usus.
Gambaran pertumbuhan mukosa usus tikus bagian jejunum tiap perlakuan dapat
dilihat pada Gambar 10 (mengacu pada tikus tanpa perlakuan). Pertumbuhan ini
dapat disebabkan oleh penggunaan ransum yang mengandung protein, karena protein
berfungsi menghasilkan jaringan baru (Siregar, 2004).
Tinggi Mukosa (µm)
1000
800
600
400
200
0
Tanpa perlakuan
(awal)
Keterangan:
10%
Kontrol
Fermentasi
Non-fermentasi
(panggang)
15%
Gambar 10. Grafik Tinggi Lapisan Mukosa Usus Tikus Putih Bagian
Jejunum Tiap Perlakuan
Tikus yang diberi daging non-fermentasi (daging panggang) dalam
ransumnya cenderung memiliki tinggi lapisan mukosa jejunum yang relatif sama
dengan daging fermentasi (Gambar 10). Hal ini dapat disebabkan metabolisme pada
jaringan mukosa jejunum tikus yang diberi perlakuan daging non-fermentasi (daging
panggang) berlangsung dengan cepat, sehingga jaringan tersebut juga cenderung
akan kehilangan proteinnya dengan cepat. Oleh karena itu, protein tidak dapat
disimpan sebagai cadangan protein dalam jaringan ini, sehingga tinggi mukosa
tersebut relatif stabil.
Ketebalan Lapisan Muskularis Usus Halus Bagian Jejunum
Lapisan muskularis usus halus tersusun atas dua lapisan otot yaitu lapis dalam
yang tersusun melingkar dan lapis luar yang tersusun memanjang. Kontraksi dari
lapisan muskularis ini menghasilkan gerak peristaltik (Caceci, 1999). Hasil analisis
ragam menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) ketebalan tunika muskularis bagian
jejunum antara tikus yang diberi ransum kontrol dengan tikus yang diberi sumber
protein daging fermentasi dalam ransumnya. Hal ini berarti pemberian daging yang
difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1 berpengaruh terhadap gambaran
histologis usus tikus yaitu peningkatan ketebalan lapisan muskularis jejunum. Hasil
rataan pengukuran tebal lapisan muskularis usus tikus bagian jejunum selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rataan dan Standar Deviasi Tebal Lapisan Muskularis Jejunum
Tikus Putih Tiap Perlakuan
Tanpa
Perlakuan
Peubah
(µm)
Perlakuan
Kontrol
(awal)
Tebal
59,59
muskularis ± 10,80
Daging fermentasi
10%
15%
Daging non-fermentasi
10%
15%
53,77
72,32
94,71
94,90
105,40
± 7,72b
± 5,12b
± 11,47a
± 20,6
± 16,23
Keterangan : superscript yang berbeda pada perlakuan yang sama menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P<0,05).
Tikus yang diberi daging fermentasi hingga kadar protein dalam ransum 15%
terbukti menghasilkan peningkatan ketebalan tunika muskularis usus halus bagian
jejunum (Tabel 10). Hal ini diduga terjadi pertumbuhan (perbanyakan) sel-sel otot
atau diduga terjadi penebalan pada membran sel-sel otot pada lapisan muskularis
jejunum. Hal ini dapat disebabkan membran sel tersusun dari kurang lebih 50%
protein, 45% lipid, dan 5% karbohidrat. Sekitar 10% protein membran adalah
glikoprotein (Montgomery et al., 1993).
Lapisan muskularis bagian jejunum pada perlakuan pemberian daging
fermentasi semakin menebal hingga pemberian daging fermentasi sampai kadar
protein dalam ransum 15% dibandingkan kontrol (Tabel 10). Lapisan muskularis
yang tebal ini menyebabkan kontraksi dari otot longitudinal dan sirkuler menjadi
kuat sehingga gerakan peristaltik yang dihasilkan dari kontraksi kedua otot ini
menjadi cepat. Gerakan peristaltik tersebut dapat diimbangi dengan proses absorbsi
partikel-partikel nutrien yang cepat oleh vili sehingga terjadi peningkatan bobot
badan (dapat dilihat pada Tabel 7). Pengaruh ini disebabkan protein daging
fermentasi telah dipecah oleh Lactobacillus plantarum 1B1 sehingga proses
pencernaan secara enzimatis dan penyerapan partikel-partikel nutrien pada usus
menjadi lebih mudah dan cepat.
Lapisan muskularis yang lebih tipis (pada tikus kontrol) dapat menyebabkan
kontraksi otot longitudinal dan sirkuler menjadi lemah sehingga gerakan peristaltik
yang dihasilkan lebih lambat. Hal ini dapat mengakibatkan makanan tertahan lebih
lama pada lumen usus dan membutuhkan proses pencernaan enzimatis dan absorbsi
yang lebih lama. Diduga enzim-enzim pencernaan (yang dihasilkan oleh kelenjar
Lieberkuhn dan eksokrin pankreas) bekerja lebih keras dalam memetabolisme zat-zat
makanan sebelum diserap oleh vili. Gambaran pertumbuhan lapisan muskularis usus
halus bagian jejunum masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11
Tebal Muskularis (µm)
(mengacu pada tikus tanpa perlakuan).
a
120
100
b
80
b
60
40
20
0
Tanpa perlakuan
(awal)
Keterangan:
10%
Kontrol
Fermentasi
Non-fermentasi
(panggang)
15%
Gambar 11. Grafik Tebal Lapisan Muskularis Usus Tikus Putih Bagian
Jejunum Tiap Perlakuan
Pemberian ransum yang mengandung daging non-fermentasi (daging
panggang) cenderung menghasilkan lapisan muskularis usus tikus bagian jejunum
lebih tebal daripada ransum yang mengandung daging fermentasi (Gambar 11). Hal
ini dapat disebabkan konsumsi protein pada perlakuan daging non-fermentasi (10%=
1,79 g/hari dan 15%= 3,02 g/hari) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan daging fermentasi (10%= 1,74 g/hari dan 15%= 2,91 g/hari) (Abdullah,
belum dipublikasikan). Lapisan muskularis yang cenderung tebal pada perlakuan
tersebut diduga menghasilkan gerakan peristaltik yang cepat.
Ketinggian Lapisan Mukosa Kolon
Usus besar mempunyai fungsi biologis yang penting, yaitu untuk absorbsi
dan sekresi beberapa elektrolit tertentu dan air, serta pengumpulan dan ekskresi
bahan-bahan sisa pencernaan (Lisal, 2005). Proses penyerapan terakhir berlangsung
di kolon. Natrium, klorida, dan air banyak diserap di sini (Andra, 2007). Proses
fermentasi mikrobiota usus besar juga terjadi di kolon (Lisal, 2005).
Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan ketinggian
mukosa bagian kolon antara tikus yang diberi ransum kontrol dengan tikus yang
diberi sumber protein daging fermentasi 10% hingga 15% dalam ransumnya. Hal ini
dapat dikatakan, bahwa pemberian ransum yang mengandung protein daging
fermentasi sampai kadar protein dalam ransum 10% dan 15% tidak mempengaruhi
gambaran histologis tinggi mukosa bagian kolon. Rataan pengukuran terhadap tinggi
mukosa usus bagian kolon selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rataan dan Standar Deviasi Tinggi Lapisan Mukosa Kolon Tikus
Putih Tiap Perlakuan
Peubah
Tanpa
Perlakuan
(µm)
perlakuan
Kontrol
(awal)
Daging fermentasi
10%
15%
Daging non-fermentasi
10%
15%
Tinggi
366,4
277,7
381,8
393,6
354,8
463,9
mukosa
± 34,7
± 21,8
± 55,2
± 72,5
± 89,7
± 80,8
Meskipun secara statistik tidak berbeda, tikus yang diberi daging fermentasi
hingga kadar protein dalam ransum 10% dan 15% memiliki lapisan mukosa yang
cenderung lebih tinggi daripada tikus yang diberi ransum kontrol (Tabel 11). Hal ini
diduga disebabkan oleh absorbsi produk-produk hasil fermentasi yang dihasilkan dari
metabolisme mikroflora kolon terutama bakteri asam laktat. Substrat utama bagi
fermentasi oleh bakteri dalam kolon adalah karbohidrat yang lolos melewati saluran
cerna bagian proksimal, yang terutama terdiri atas resistant starch, disusul nonstarch polysaccharide, dan non-digestible oligosaccharide. Selain itu, juga protein
yang lolos baik eksogen maupun endogen (seperti enzim-enzim pencernaan). Produk
hasil fermentasi yang dilakukan mikroorganisme kolon ini meliputi H2S, CH4, H2,
CO2, SCFA, laktat, suksinat, etanol, NH2, amina-amina, dan fenol indoles yang dapat
diabsorbsi dan dimetabolisme oleh inang atau diekresikan melalui pernafasan, feses,
dan urin (Lisal, 2005).
Pertiwi (belum dipublikasikan) menyatakan, bahwa tikus yang diberi ransum
dengan daging fermentasi memiliki populasi bakteri asam laktat yang lebih tinggi
(4,6 x 109 cfu/g) dalam feses dibandingkan dengan tikus yang diberi ransum kontrol
(1,3 x 109 cfu/g). Tikus yang diberi daging yang difermentasi oleh Lactobacillus
plantarum 1B1 juga cenderung memiliki populasi bakteri asam laktat yang lebih
banyak pada kolon (1,5 x 108 cfu/g) daripada kontrol (5,0 x 107 cfu/g). Gallaher
(2000) menyebutkan, bahwa hasil fermentasi bakteri asam laktat pada kolon,
terutama asam lemak rantai pendek (ALRP) atau Short Chain Fatty Acid (SCFA)
mempunyai efek potensial yaitu mempunyai efek tropik pada mukosa kolon yang
Tinggi Mukosa (µm)
akan memberi efek terhadap kesehatan inang (Oakenfull, 2001).
500
400
300
200
100
0
Tanpa perlakuan
(awal)
Keterangan:
10%
Kontrol
Fermentasi
Non-fermentasi
(panggang)
15%
Gambar 12. Grafik Tinggi Lapisan Mukosa Usus Tikus Putih Bagian Kolon
Tiap Perlakuan
Pemberian protein daging non-fermentasi (daging panggang) pada ransum
tikus cenderung menghasilkan tinggi lapisan mukosa kolon yang relatif tidak jauh
berbeda dengan tikus yang diberi ransum yang mengandung daging fermentasi pada
(Gambar 12). Hal ini dapat disebabkan populasi bakteri asam laktat dalam feses tikus
yang diberi ransum daging non-fermentasi (1,7 x 109 cfu/g) dan populasi bakteri
asam laktat pada kolon tikus yang diberi daging non-fermentasi (8,3 x 107 cfu/g)
(Pertiwi, belum dipublikasikan) cenderung memiliki populasi relatif tidak jauh
berbeda dengan tikus perlakuan daging fermentasi. Lapisan mukosa yang cenderung
tinggi pada tikus yang diberi daging fermentasi dan daging non-fermentasi (daging
panggang) (Gambar 12) mengindikasikan adanya efisiensi penggunaan karbohidrat
(pati jagung) dan protein (daging) dalam pertumbuhan lapisan mukosa kolon.
Gambaran pertumbuhan lapisan mukosa kolon tiap perlakuan dapat dilihat pada
Gambar 12 (mengacu pada tikus tanpa perlakuan).
Ketebalan Lapisan Muskularis Kolon
Lapisan muskularis usus halus tersusun atas dua lapisan otot yaitu lapis dalam
yang tersusun melingkar dan lapis luar yang tersusun memanjang. Kontraksi dari
lapisan muskularis ini menghasilkan gerak peristaltik (Caceci, 1999).
Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan ketebalan lapisan
muskularis bagian kolon antara tikus yang diberi ransum kontrol dengan tikus yang
diberi sumber protein daging fermentasi 10% hingga 15% dalam ransumnya. Hal ini
dapat dikatakan, bahwa pemberian daging yang difermentasi oleh Lactobacillus
plantarum 1B1 dalam ransum hingga kadar protein dalam ransum 10% dan 15%
tidak mempengaruhi gambaran histologis tebal lapisan muskularis kolon tikus.
Rataan pengukuran terhadap tebal lapisan muskularis usus tikus bagian kolon
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataan dan Standar Deviasi Tebal Lapisan Muskularis Kolon Tikus
Putih Tiap Perlakuan
Peubah
Tanpa
Perlakuan
(µm)
perlakuan
Kontrol
(awal)
Tinggi
181,73
muskularis ± 14,04
Daging fermentasi
10%
15%
Daging non-fermentasi
10%
15%
182,7
257,1
187,66
271,71
288,89
± 38,4
± 47,7
± 13,80
± 8,98
± 13,37
Meskipun secara statistik tidak berbeda, tikus yang diberi daging fermentasi
dalam ransum hingga kadar protein dalam ransum 10% dan 15% cenderung memiliki
lapisan muskularis yang lebih tebal daripada kontrol (Tabel 12). Hal ini diduga
disebabkan penggunaan pati jagung dalam jumlah yang berbeda dalam ransum.
Ransum yang mengandung daging fermentasi menggunakan pati jagung dalam
jumlah lebih sedikit (10%= 36,38 % dan 15%= 13,61%) daripada ransum kontrol
(69,27 %). Pati jagung merupakan bahan yang bersifat fermentable. Howard et al.
(1995) menyatakan bahwa bahan yang bersifat fermentable dapat menyebabkan
atropi muskularis. Oleh karena itu, lapisan muskularis kolon pada tikus yang diberi
ransum daging fermentasi cenderung lebih tebal daripada tikus yang diberi ransum
kontrol. Lisal et al. (2005) menambahkan, bahwa pati jagung yang kaya amilosa
terbukti merupakan bahan yang sangat potensial karena merupakan substrat
terpenting bagi mikroflora kolon.
Lapisan muskularis kolon yang cenderung lebih tebal pada tikus yang diberi
perlakuan pemberian daging fermentasi dapat menghasilkan gerakan peristaltik yang
cepat. Gerakan tersebut diduga dapat diimbangi dengan proses metabolisme bakteri
asam laktat (yang populasinya cenderung lebih banyak) dan mikroflora dalam kolon
dengan pati jagung (yang jumlahnya relatif lebih sedikit) sebagai substrat bagi proses
fermentasi. Lapisan muskularis kolon yang cenderung lebih tipis pada tikus yang
diberi ransum kontrol, dapat menghasilkan gerakan peristaltik yang lebih lambat. Hal
ini diduga disebabkan semakin banyak substrat (pati jagung) yang difermentasi oleh
bakteri asam laktat (populasi relatif lebih sedikit) dan mikroflora dalam kolon,
sehingga proses fermentasi dan absorbsi zat-zat metabolit cenderung membutuhkan
Tebal Muskularis (µm)
waktu yang lebih lama daripada tikus yang memiliki lapisan muskularis yang tebal.
350
300
250
200
150
100
50
0
Tanpa perlakuan
(awal)
Keterangan:
10%
Kontrol
Fermentasi
Non-fermentasi
15%
Gambar 13. Grafik Tebal Lapisan Muskularis Usus Tikus Putih Bagian Kolon
Tiap Perlakuan
Pemberian ransum yang mengandung daging non-fermentasi (daging
panggang) cenderung menghasilkan tebal lapisan muskularis yang relatif sama
dengan tikus yang diberi ransum yang mengandung daging fermentasi (Gambar 13).
Hal ini diduga disebabkan penggunaan pati jagung dalam jumlah yang relatif sama
dengan ransum tikus yang menggunakan daging fermentasi yaitu sebesar 39,96 %
(10%) dan 18,95 % (15%) dan relatif memiliki populasi bakteri asam laktat dalam
kolon yang tidak jauh berbeda dengan perlakuan pemberian daging fermentasi.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 14. Gambaran Histologis Usus Halus Tikus Bagian Jejunum; Tanpa
Perlakuan (a), Kontrol (b), Perlakuan Pemberian Daging
Fermentasi (c) 10% dan (d) 15%, serta Perlakuan Pemberian
Daging Non-fermentasi (e) 10% dan (f) 15% (
= 150 µm)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 15. Gambaran Histologis Usus Tikus Bagian Kolon; Tanpa Perlakuan
(a), Kontrol (b), Perlakuan Pemberian Daging Fermentasi (c) 10%
dan (d) 15%, serta Perlakuan Pemberian Daging Non-fermentasi
(e) 10% dan (f) 15% (
= 100 µm)
Diameter Usus Bagian Jejunum dan Kolon
Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan diameter usus
bagian jejunum dan kolon antara tikus yang diberi ransum kontrol dengan tikus yang
diberi sumber protein daging fermentasi 10% hingga 15% dalam ransumnya. Hal ini
dapat dikatakan, bahwa pemberian daging fermentasi dalam ransum tikus secara
umum tidak berpengaruh pada gambaran histologis usus bagian jejunum dan kolon.
Rataan pengukuran terhadap diameter usus bagian jejunum dan kolon selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan dan Standar Deviasi Diameter Jejunum dan Kolon Tikus
Putih Tiap Perlakuan
Diameter
Tanpa
Perlakuan
(µm)
perlakuan
Kontrol
(awal)
Jejunum
Kolon
Daging fermentasi
Daging non-fermentasi
10%
15%
10%
15%
2569,5
2879,0
2907,0
3446,0
3371,0
3586,0
± 141,2
± 186
± 477
± 186
± 281
± 289
2957,0
2725,0
3122,0
2889,8
3370,0
3093,0
± 270
± 258
± 604
± 258
± 244
± 290
Tikus yang diberi ransum yang mengandung daging fermentasi relatif
memiliki diameter yang lebih besar daripada tikus yang diberi ransum kontrol (Tabel
13). Hal ini disebabkan daging fermentasi dapat dimetabolisme dengan lebih efektif
untuk pertumbuhan jaringan usus (jejunum maupun kolon). Diameter usus ini diduga
berkorelasi dengan banyaknya chyme (pada jejunum) atau sisa makanan yang tidak
terserap (pada kolon). Diduga semakin besar diameter usus bagian jejunum dan
kolon, maka semakin banyak pula chyme dan sisa makanan (yang tidak terserap pada
usus halus) yang dapat ditampung lumen usus. Pertumbuhan usus bagian jejunum
dan kolon tiap perlakuan secara umum dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17
(mengacu pada tikus tanpa perlakuan).
Diameter Jejunum (µm)
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Tanpa perlakuan
(awal)
Keterangan:
10%
Kontrol
Fermentasi
Non-fermentasi
(panggang)
15%
Diameter Kolon (µm)
Gambar 16. Grafik Diameter Usus Tikus Putih Bagian Jejunum Tiap
Perlakuan
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Tanpa perlakuan
Keterangan:
10%
Kontrol
Fermentasi
Non-fermentasi
(panggang)
15%
Gambar 17. Grafik Diameter Usus Tikus Putih Bagian Kolon Tiap Perlakuan
Peran Lactobacilus plantarum 1B1 pada Usus
Peran Lactobacillus plantarum 1B1 pada usus halus tikus bagian jejunum
diduga belum terlihat jelas. Hal ini disebabkan tidak ditemukan adanya kerusakan
pada morfologi usus tikus bagian jejunum antara perlakuan pemberian ransum
daging fermentasi dan ransum kontrol (Gambar 11). Pertiwi (belum dipublikasikan)
menyatakan, bahwa populasi bakteri asam laktat pada jejunum tikus yang diberi
perlakuan pemberian daging fermentasi (1,4 x104 cfu/gram) relatif lebih rendah
dibandingkan tikus yang diberi pakan kontrol (4,0 x 104 cfu/gram). Diduga
Lactobacillus plantarum 1B1 tidak mampu bertahan dalam usus halus tikus bagian
jejunum untuk melakukan pelekatan pada sel-sel epithelial usus.
Peran Lactobacillus plantarum 1B1 pada kolon usus tikus juga diduga belum
terlihat jelas. Hal ini disebabkan tidak ditemukan adanya kerusakan pada morfologi
usus tikus bagian kolon antara perlakuan pemberian ransum daging fermentasi dan
ransum kontrol (Gambar 12). Hasil penelitian Pertiwi (belum dipublikasikan)
menunjukkan, bahwa tikus yang diberi ransum dengan daging fermentasi memiliki
populasi bakteri asam laktat 4,6 x 109 cfu/g dalam feses, tikus yang diberi ransum
kontrol 1,3 x 109 cfu/g dalam feses dan tikus yang diberi ransum daging nonfermentasi (daging panggang) 1,7 x 109 cfu/g dalam feses. Populasi bakteri asam
laktat tikus yang diberi daging yang difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1
sebesar 1,5 x 108 cfu/g dalam kolon, tikus yang diberi ransum kontrol 5,0 x 107 cfu/g
dalam kolon, dan tikus yang diberi ransum daging non-fermentasi (daging panggang)
8,3 x 107 cfu/g dalam kolon. Hal ini mengindikasikan bahwa Lactobacillus
plantarum 1B1 memiliki potensi untuk melakukan kolonisasi dalam kolon dengan
melakukan penempelan pada sel-sel epithelial kolon dan L. plantarum 1B1 dapat
dijadikan sebagai kandidat probiotik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian
ransum
yang
mengandung
daging
fermentasi
dengan
Lactobacillus plantarum 1B1 pada tikus tidak berpengaruh terhadap gambaran
histologis tinggi vili jejunum, tinggi mukosa jejunum dan kolon, tebal muskularis
kolon, serta diameter jejunum dan kolon tikus putih (Rattus norvegicus), tetapi
berpengaruh pada tebal muskularis jejunum tikus yang diberi ransum protein daging
fermentasi hingga kadar protein dalam ransum 15%. Pemberian daging yang
difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1 hingga kadar protein dalam ransum
10% secara umum lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan kadar 15%, karena
tidak mengubah morfologi saluran pencernaan (usus) tikus putih. Pemberian daging
yang difermentasi oleh Lactobacillus plantarum 1B1 dalam ransum tikus secara
umum memiliki potensi menyamai kasein dalam pertumbuhan jaringan usus bagian
jejunum dan kolon. Secara umum Lactobacillus plantarum 1B1 dapat dijadikan
sebagai salah satu kandidat probiotik.
Saran
Pengaruh Lactobacillus plantarum 1B1 secara histologis akan terlihat lebih
nyata pada saluran gastrointestinal jika dalam ransum perlakuan hewan percobaan
ditambahkan bakteri seperti Escherichia coli patogen atau dalam ransum
ditambahkan prebiotik. Hal ini dimaksudkan untuk melihat potensi L. plantarum
dalam menekan populasi bakteri patogen sehingga kerusakan saluran gastrointestinal
hewan percobaan dapat dicegah. Pengaruh L. plantarum 1B1 diduga akan lebih jelas
terlihat jika waktu pemeliharaan hewan percobaan (tikus putih) dilakukan lebih lama.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang dengan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini. Oleh karena
kasih karunia Tuhan yang begitu besar, penulis dapat menyusun skripsi ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua penulis ayahanda Johanes
Agung Kandiawan, ibunda Jasmin Sutrisni, dan kakak-kakak Leonnie Larasati Kandi
serta Aletta Anggraini Kandi. Terima kasih atas doa, perhatian, dan motivasi selama
penelitian, penyusunan skripsi, dan akhir penyusunan skripsi ini. Ucapan terima
kasih tak lupa penulis ucapkan kepada kerabat dan saudara yang turut memberi
semangat selama penyusunan skripsi ini hingga akhir.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada Irma Isnafia Arief.,
S.Pt. M.Si. selaku pembimbing utama dan pembimbing akademik, serta Drh. Adi
Winarto, Ph.D selaku pembimbing anggota atas semua bimbingan, nasehat, saran,
dan perhatian yang telah diberikan pada penulis selama penyusunan skripsi ini.
Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari,
DEA dan Dr. Ir. Komang G. Wiryawan selaku dosen penguji atas segala nasehat dan
saran yang diberikan, serta seluruh dosen Fakultas Peternakan yang turut membantu
penyusunan skripsi ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada teman-teman satu tim
penelitian (Abdullah, Abdur Rokhim, Mohammad Denny Rachmat Ramadhan,
Widimartani Arum Pertiwi, dan Suryani Pratiwi), teknisi dan staf Laboratorium
Ruminansia Besar, Laboratorium Histologi, dan Laboratorium Percobaan Hewan
atas semua kerja sama dan bantuan selama penelitian. Terima kasih penulis ucapkan
kepada teman-teman Teknologi Hasil Ternak angkatan 40 dan 41 serta teman-teman
persekutuan rohani dan organisasi daerah atas kekompakan dan persahabatan yang
terjalin selama ini.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademik
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, September 2008
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Andra.
2007. Usus memendek malnutrisi didapat.
http://www.majalah-farmacia.com. [30 Juni 2008].
Farmacia.
6
(8)
AOAC. 1984. Official Method of Analysis. 12th Edition. Assosiation of Opfficial
Analytical Chemist, Washington DC.
Ballenger,
L.
2001.
Rattus
norvegicus.
Animal
Difersity
Web.
http://animaldifersity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Rattus_norv
egicus.html. [5 Mei 2008].
Banks, W. J. 1993. Applied Veterinary Histology. 3rd Edition. Mosby, Philadelphia.
Bourlioux, P. 2005. Yogurt and Fermented Milks. Syndifrais, Paris.
Branen, A. L. 1993. Antimicrobials in Foods. 2nd Edition. Marcell Dekker Inc., New
York.
Brassart, D. dan E. J. Schiffrin. 2000. Pre-and probiotics. Dalam: M.K. Schimild dan
T. P. Labuza (Editors). Essentials of Functional Foods. An Aspen
Publication, Gaithersburg, Maryland.
Briggs, G. M. 1985. Muscle foods and human health. J. Food Tech. 39 (2) : 54.
Buchanan, R. E. dan N. E. Gibbons. 1974. Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology. The Williams and Wilkins Company, Baltimore.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan: H. P. Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Caceci, T. 1999. Digestive system. http://www.education.vetmed.vt.edu. [9 Juni
2008].
Deltabase. 2006. Digestive system. Deltagen Inc. http://www.deltagen.com. [20 Juni
2008].
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Daging sapi/kerbau. SNI 01-3947-1995.
Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Fadda, S., Y. Sanz, G. Vignolo, M. C. Aristroy, G. Olivier, dan F. Toldra. 1999.
Characterization of muscle sarcoplasmic and myofibrillar protein hydrolysis
caused by Lactobacillus plantarum. J. Appl. Environt. Microbiol. 65(8):
3540-3546.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan dan Gizi. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktotat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fuller, R. 1992. Probiotics The Scientific Basis. Chapman and Hall, Madras.
Gallaher, D. D. 2000. Dietary Fiber and Its Physiological Effects. Dalam: Schmil,
M. K. dan T. P. Labusa. (Editors). Essentials of functional Foods. An Aspen
Publication, Gaithersburg, Maryland.
Gibson, G. 2000. Introduction. Dalam: G. Gibson. dan F. Angus (Editors). LFRA
Ingredients Handbook: Prebiotics and Probiotics. LFRA Limited. Randalls
Road, Leathershead, England.
Gibson, G. R. and M. B. Roberford. 1995. Dietary modulation of the human colonic
microbiota: introducing the concept of probiotics. J. Nutr. 125: 1401-1412.
Gilliland, S. E. 1986. Bacterial Starter Cultures for Food. CRC Press Inc., Boca
Raton, Florida.
Girard, J. P. 1992. Technology of Meat and Meat Product. Ellis Horwood, New
York.
Hammes, W. P., D. Haller, dan G. Ganzle. 2003. Meat Fermented. Dalam : J. P
Girard (Editor). Technology of Meat and Meat Product. Ellis Horwood, New
York.
Hartono. 1992. Histologi Veteriner Jilid II. Laboratorium Histologi. Jurusan
Anatomi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hidayati, N. 2006. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi Lactobacillus plantarum asal
daging fermentasi sebagai kultur starter pembuatan sosis fermentasi. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Howard, M. D., D. T. Gordon, K. A. Garleb, dan M. S. Kerley. 1995. Dietary
fructooligosaccharide, xylooligosaccharide, and gum arabic have variable
effects on cecal and colonic microbiota and epithelial cell proliferation in
mice and rats. J. Nutr. 125: 2604-2609.
Hugas, M. and J. M. Monfort. 1997. Bacterial starter cultures for meat fermentation.
J. Food Chemistry. 59: 547-554.
James, R., C. Lazdunski, dan F. Pattus. 1992. Bacteriocins, Microcins, and
Lantibiotics. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg.
Kiernan, J. K. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice.
2nd Edition. Pergamon Press, England.
Klurfeld, D. M. 1999. Nutritional regulation of gastrointestinal growth.
http://www.bioscience.org. [15 Juni 2001].
Kurniawati, N. 2007. Aktivitas proteolitik dan mutu protein dendeng sapi yang
difermentasi Lactobacillus plantarum hasil isolasi dari daging sapi. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Law, B. A. 1997. Microbiology and Biochemistry of Cheese and Fermented Milk.
2nd Edition. Blackie Academic and Profesional, London.
Lawrie, R. A. 1998. Meat Science. 6th Edition. Terjemahan A. Parakasi dan A.
Yudha. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Lisal, J. S. 2005. Konsep probiotik dan prebiotik untuk modulasi mikrobiota usus
besar. J. Med. Nus. 26(4): 259-262.
Mattjik, A. A., dan M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I. Edisi
kedua. IPB Press, Bogor.
Montgomery, R., R. L. Dryler, T. W. Conway, dan A. A. Spector. 1993.
Biochemistry: A Case Oriented Approach. The C. V. Mosby Co., Lowa.
Muchtadi, T. R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Nio, O. K. 1989. Cara menentukan kualitas protein suatu bahan makanan.
Departemen Kesehatan. http://www.kalbe.co.id.html. [3 Juni 2008].
Oakenfull, D. 2001. Physical Chemistry of Dietary Fiber. Dalam: G. A. Spiller
(Editor). Handbook of Dietary Fiber in Human Nutrition, 3rd Edition. CRC
Press. Bocca Raton.
Ogbadu, L. J. 1999. Traditional Preservaties-Wood Smoke. Academic Press, Canada.
Paustian, T. 2006. Microbiology and bacteriology. http://www.bact.wisc.edu. [3 Juni
2008].
Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahayu, Suliantari dan C. C. Nurwitri. 1992.
Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology. 3rd Edition. CRC Press, New York.
Rice, E. E. 1987. The nutritional concent and value of meat and meat product.
Dalam: J. F. Price dan B. S. Schweigert (Editors). The Science of Meat and
Meat Product. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.
Robinson, R. K., dan A. Y. Tamime. 1981. Microbiology of fermented milk. Dalam:
R. K. Robinson (Editor). Dairy Microbiology. 2nd Edition. The Microbiology
of Milk Products. Applied Science Pub., London.
Rofiq, M. N. 2003. Pengaruh pakan berbahan baku lokal terhadap performans vili
usus halus ayam broiler. http://www.iptek.net.id/ind. [20 Juli 2007].
Salminen, S., M. A. Deighton, Y. Benno, dan S. L. Gorbach. 1998. Lactic acid
bacteria in health disease. Dalam: S. Salminen dan Von Wright (Editors).
Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspects 2nd Edition.
Marcel Dekker Inc., New York.
Siregar, C. T. 2004. Nutrisi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.
Smith, J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakkan, dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tamime, A. Y. dan R. K. Robinson. 1999. Yogurt Science and Technology. 2nd
Edition. Woodhead Publishing, Cambridge.
Tannock, G. W. 1999. Probiotic: A Critical Review. Horizon Press, Norfolk.
Todra, F., Y. Sanz, dan M. Flores. 2001. Meat fermentation technology. Dalam: Y.
H. Hui, W. K. Nip, R. W. Rogers, dan O. A. Young (Editors). Meat Sciende
and Applications. Marcel Dekker Inc., New York.
Tribowo, E. A. 2006. Aktivitas antimikroba Lactobacillus sp. hasil isolasi dari
daging sapi terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Walker, W. A. 2008. Role of nutrients and bacterial colonization in the development
of intestinal host defense. J. Ped. Gastroenterol. Nutr. 30: Suppl 22000pp S2S7.
Weihe, W.H. 1989. The Laboratory Rat. 6th Edition. Bath Press, England.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wood, B. J. B. 1985. Microbiology of Fermented Foods. 2nd Edition. Elsevier
Applied Science Publisher Ltd., London.
Yukuchi, H., T. Goto, dan S. Okogoni. 1992. Fermented Milks, Lactic Drinks and
Functions of Fermented Milk, Chalenges for the Health Science. Elsevier
Applied Science Published Ltd., London.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tahapan Proses Pembuatan Preparat Histologis
Sumber: Modifikasi Kiernan, 1990
Fiksasi
Fiksasi dilakukan dengan larutan Bouin selama 24 jam. Organ visceral (usus)
dicuci terlebih dahulu dengan larutan garam fisiologis, sebelum dimasukkan ke
dalam larutan fiksatif. Organ kemudian dipotong kecil-kecil dengan ketebalan ± 5
mm dan dimasukkan dalam tissue basket. Tiap jejunum dan kolon dipotong dengan
ketebalan ± 5 mm sebanyak dua potong (total 72 potong). Jaringan tersebut
kemudian dimasukkan dalam alkohol 70%.
Dehidrasi
Jaringan dimasukkan dalam rangkaian alkohol dengan konsentrasi meningkat
yaitu alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama 24 jam kemudian dilanjutkan
dengan alkohol absolut I, II, dan III masing-masing selama 1 jam.
Clearing
Penjernihan dilakukan melalui perendaman jaringan dalam xylol sebanyak
tiga kali. Perendaman dalam xylol I selama 1 jam, xylol II dan III selama 30 menit
dengan perendaman xylol III pada 15 menit terakhir dilakukan di dalam inkubator
(60º C).
Embedding
Jaringan usus selanjutnya dimasukkan ke dalam parafin cair untuk proses
infiltrasi. Proses infiltrasi dilakukan dalam inkubator pada suhu ± 60 ºC dengan cara
masing-masing jaringan direndam dalam parafin I, II, dan III secara berurutan
masing-masing selama 30 menit. Jaringan dilakukan embedding setelah proses
infiltrasi selesai. Parafin dimasukkan ke dalam cetakan kemudian jaringan
dimasukkan ke dalamnya dan didinginkan pada cold plate. Tissue parafin block yang
dihasilkan kemudian disimpan dalam refrigerator. Total 36 blok parafin, tiap blok
berisi dua potong jaringan usus.
Sectioning
Pemotongan blok parafin jaringan dikerjakan dengan microtome. Jaringan
tiap blok parafin dipotong dengan ketebalan 4-5 mikron sebanyak tiga sayatan
(sebanyak 3 sayatan tiap potongan usus). Hasil potongan atau sayatan selanjutnya
dipindahkan ke dalam air dan diambil dengan gelas objek. Hasil sayatan yang
menempel pada gelas objek tersebut lalu dimasukkan dalam water bath (40º C)
selama beberapa detik dan diambil lagi dengan gelas objek. Total 18 sayatan tiap
grup tikus (108 sayatan) kemudian dimasukkan dalam kotak preparat dan
dimasukkan dalam inkubator selama 24 jam atau lebih.
Staining
Pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan Hematoxylin-Eosin. Proses
deparafinisasi dan rehidrasi dilakukan sebelum proses pewarnaan. Proses
deparafinisasi dilakukan dengan xylol I, II, dan III secara berurutan selama masingmasing 3 menit. Proses rehidrasi dilakukan dengan alkohol absolut I, II, III, 95%,
90%, 80%, dan 70% secara berurutan masing-masing selama 3 menit kemudian air
kran serta aquades secara berurutan masing-masing selama 5-15 menit. Pewarnaan
inti dengan Hematoxylin dilakukan selama 5 menit. Pencucian dilakukan dengan air
kran dan aquades secara berurutan masing-masing selama 5-10 menit. Pewarnaan
sitoplasma dilakukan dengan Eosin selama 2-3 menit dan pencelupan dalam aquades
dilakukan selama beberapa detik. Proses dehidrasi dilakukan dengan alkohol 70%,
80%, 90%, 95%, dan absolut I secara berurutan selama masing-masing beberapa
detik. Proses dehidrasi dilanjutkan dengan alkohol absolut II selama 1 menit dan
alkohol absolut III selama 3 menit. Proses dehidrasi dengan xylol I, II, dan III
dilakukan secara berurutan masing-masing selama 3 menit. Pewarnaan dilakukan
pada tiap sayatan tissue parafin block.
Mounting
Gelas objek yang mengandung jaringan yang telah diwarnai kemudian diberi
mounting media sebanyak 1-2 tetes. Cover glass diletakkan sedemikian rupa
sehingga seluruh bagian jaringan tertutup.
Mikrofotografi
Pemotretan jaringan dilakukan pada tiap perlakuan dengan menggunakan
mikroskop cahaya. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan lensa objektif
dengan perbesaran 10x. Pengukuran tinggi vili usus halus (jejunum), tinggi lapisan
mukosa, tebal lapisan muskularis, serta diameter usus (jejunum dan kolon) dilakukan
dengan menggunakan mikroskop.
Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Tinggi Vili Jejunum
Keterangan
db
JK
KT
F hitung
Perlakuan
2
10159
5080
Galat
6
6128
1021
Total
8
16287
P
4,97
0,053
Keterangan : berbeda nyata pada P≤ 0,1 antara kontrol dengan daging fermentasi
Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Tinggi Mukosa Jejunum
Keterangan
db
JK
KT
F hitung
Perlakuan
2
18432
9216
Galat
6
11929
1988
Total
8
30361
P
4,64
0,061
Keterangan : berbeda nyata pada P≤ 0,1 antara kontrol dengan daging fermentasi
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Tebal Muskularis Jejunum
Keterangan
db
JK
KT
F hitung
Perlakuan
2
2521,5
1260,8
Galat
6
434,8
72,5
Total
8
2956,4
P
17,40
0,03
Keterangan: menunjukkan perbedaan (P<0,05) antara kontrol dengan daging fermentasi
Lampiran 5. Uji Lanjut Tukey Tebal Muskularis Jejunum
Perlakuan
N
Rataan
Huruf
Kontrol
3
53,77
B
Daging fermentasi 10%
3
72,32
B
Daging fermentasi 15%
3
94,71
A
Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Tinggi Mukosa Kolon
Keterangan
db
JK
KT
F hitung
Perlakuan
2
24420
12210
Galat
6
17548
2925
Total
8
41967
4,17
Keterangan : berbeda nyata pada P≤ 0,1 antara kontrol dengan daging fermentasi
P
0,073
Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Tebal Muskularis Kolon
Keterangan
db
JK
KT
F hitung
Perlakuan
2
10385
5192
Galat
6
7886
1314
Total
8
18271
3,95
P
0,080
Keterangan : berbeda nyata pada P≤ 0,1 antara kontrol dengan daging fermentasi
Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Diameter Jejunum
Keterangan
db
JK
KT
F hitung
Perlakuan
2
613345
306673
Galat
6
592434
98739
Total
8
1205780
3,11
P
0,119
Keterangan : berbeda nyata pada P≤ 0,1 antara kontrol dengan daging fermentasi
Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam Diameter Kolon
Keterangan
db
JK
KT
F hitung
Perlakuan
2
238357
119179
Galat
6
920945
153491
Total
8
1159303
0,78
Keterangan : berbeda nyata pada P≤ 0,1 antara kontrol dengan daging fermentasi
Keterangan :
1. db
: derajat bebas
2. JK
: jumlah kuadrat
3. KT : kuadrat tengah
4. P
: probabilitas
P
0,501
Lampiran 10. Perhitungan Komposisi Ransum Harian Tikus
a. Ransum Kontrol (kasein)
Bahan-bahan campuran
Protein
Jumlah (%)
X = 1,60 x 100 / % N sampel (10% protein)
= 1,60 x 100/ 12,608 = 12,69
Minyak goreng atau lemak
= 8 – X x % ekstrak eter / 100
= 8 – 12,69 x (0,47/ 100) = 7,94
Campuran garam atau mineral
= 5 – X x % kadar abu / 100
= 5 – 12,69 x (3,47/100) =4,56
Campuran vitamin
1
Agar-agar atau selulosa
= 1 – X x % kadar serat kasar / 100
= 1 – 12,69 x (0,32/100) = 0,96
Air
=5 – X x % kadar air / 100
= 5 – 12,69 x (11,35/100) = 3,56
Sukrosa atau pati jagung
Untuk membuat 100%
= 69,27
b. Ransum Protein Daging Fermentasi
Bahan-bahan campuran
Protein Daging Fermentasi 10%
Jumlah (%)
% N = % protein = 21,94 = 3,5104
6,25
6,25
X = 1,60 x 100 / % N sampel (10% protein)
= 1,60 x 100/ 3,5104 = 45, 58
Protein Daging Fermentasi 15%
X = (45,58 x 0,15)/ 0,1 = 68,37
Minyak goreng atau lemak
= 7,94
Campuran garam atau mineral
=4,56
Campuran vitamin
=1
Agar-agar atau selulosa
= 0,96
Air
= 3,56
Sukrosa atau pati jagung
10%
Untuk membuat 100% = 36,38
15%
Untuk membuat 100% = 13,61
c. Ransum Protein Daging Non-Fermentasi (Daging Panggang)
Bahan-bahan campuran
Jumlah (%)
Protein Daging Panggang 10%
% N = % protein = 23,80 = 3,808
6,25
6,25
X = 1,60 x 100 / % N sampel (10% protein)
= 1,60 x 100/ 3,808 = 42,02
Protein Daging Panggang 15%
X = (42,02 x 0,15)/ 0,1 = 63,03
Minyak goreng atau lemak
= 7,94
Campuran garam atau mineral
=4,56
Campuran vitamin
=1
Agar-agar atau selulosa
= 0,96
Air
= 3,56
Sukrosa atau pati jagung
10%
Untuk membuat 100% = 39,94
15%
Untuk membuat 100% = 18,93
Daging fermentasi
Kandang metabolik
Tempat minum dan pakan
Ransum Kontrol
Ransum daging fermentasi
Lampiran 11. Alat dan Bahan pada Pemeliharaan Tikus
Pembiusan tikus
Fiksasi Bouin
Preparat histologi
Pembedahan tikus
Jaringan usus
Tissue parafin block
Mikroskop cahaya
Mikrometer
Lampiran 12. Alat dan Bahan pada Analisa Histologis Usus
Download