ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR

advertisement
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR
NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986-2008
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh:
FITRIA TISNA KUMALASARI
F.1106031
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini aku persembahkan kepada :
1. Ayah (Alm.) dan Ibu tersayang dan terkasih
2. Kakak dan adikku
3. Semua sahabat
4. Almamaterku
HALAMAN MOTTO
Syukur adalah jalan yang mutlak untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan
dalam hidup anda.
(Marci Shimoff)
Tolong menolonglah kamu dalam hal kebajikan dan bertaqwa, serta jangan tolong
menolong dalam hal dosa dan kejahatan.
(QS. Al Maidah : 2)
Semua impian kita dapat menjadi nyata, jika kita memiliki keberanian untuk
mengejarnya.
(Walt Disney)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor
Non Migas Indonesia ke Jepang Tahun 1986-2008”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi
Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini banyak sekali kendala yang penulis hadapi.
Namun berkat arahan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati
dan ketulusan yang mendalam penulis manghaturkan terima kasih kepada :
1. Dwi Prasetyani, SE, M.Si, selaku pembimbing yang dengan arif dan bijak
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing dan
memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini.
2. Prof. Dr. M.Com, Ak. Bambang Sutopo, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Wahyu Agung Setyo, SE, M.Si terima kasih atas pinjaman referensi–referensi
dan bantuan data-datanya yang diberikan.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Surakarta beserta staff dan karyawan yang telah memberikan ilmu,
bimbingan, arahan dan pelayanan kepada penulis.
6. Kedua orang tua dan keluarga besar yang senantiasa selalu mendoakan,
memberi dorongan dan bimbingan kepada penulis.
7. Teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2006 Non Reguler dan semua
sahabatku terimakasih atas segala bantuan dan dukungannya.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung
maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangankekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai bahan perbaikan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Surakarta,
Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
iii
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v
HALAMAN MOTTO
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTRA ISI
ix
DAFTRA TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………..
1
B. Perumusan Masalah ……………………………………………
6
C. Tujuan Penelitian……………………………………………….
6
D. Manfaat Penelitian……………………………………………...
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori…………………………………………………
8
1. Teori Permintaan dan Penawaran …………….....…………..
8
2 Perkembanagan Teori Perdagangan Internasional…………...
10
2. Manfaat Perdagangan Internasional…………………………
25
3. Ekspor Non Migas…………………………………………...
27
4. Hambatan dalam Perdagangan Internasional………………..
28
5. Definisi dan Ruang Lingkup Ekspor………………………...
32
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor……………………. 35
C. Penelitian Terdahulu……………………………………………
45
D. Kerangka Pemikiran……………………………………………
48
E. Hipotesis………………………………………………………... 49
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………...
50
B. Jenis dan Sumber Data…………………………………………. 50
C. Definisi Variabel Operasional………………………………….. 50
D. Metode Pengumpulan Data…………………………………….. 52
E. Metode Analisis Data………………………………………….. 52
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Variabel………………………………………... 61
B. Analisis Data dan Pembahasan…………………………………
70
1. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap
70
Ekspor Non Migas Indonesia………………………………..
2. Pembahasan Hasil…………………………………………… 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………………………..
82
B. Saran……………………………………………………………
84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
86
DAFTAR TABEL
TABEL
1.1
Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 2005-2007 (juta US$) ......
1.2
Perkembangan Nilai Ekspor non migas Indonesia
Halaman
Tahun 1996-2008 (juta US$) ........................................................
1.3
2
4
Nilai Ekspor ke Jepang, AS, dan Singapura pada Tahun
2004-2008 (juta US$)....................................................................
5
3.2
Ilustrasi Keunggulan Absolut dari Adam Smith............................
14
2.2
Ilustrasi Tingkat Efisiensi Tenaga Kerja David Ricardo ..............
17
2.3
Ilustrasi Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja David Ricardo ......
17
2.4
Perhitungan Efisiensi Tenaga Kerja Relatif ..................................
18
4.1
Perkembangan ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang dari Tahun
1986-2008 (juta US$)....................................................................
4.2
59
Perkembangan Impor Indonesia dari Jepang pada Tahun 1980-2008
(juta US$) .....................................................................................
64
4.3
Perkembangan Inflasi di Jepang dari Tahun 1986-2008 (%) ........
66
4.4
Perkembangan Kurs Yen terhadap Dollar dari Tahun 1986-2008 (yen) 68
4.5
Perkembangan Pendapatan Perkapita Jepang dari Tahun
1986-2008 (dollar) ........................................................................
69
4.6
Tampilan Hasil Estimasi Model Akhir ..........................................
71
4.7
Hasil Perhitungan Koefisien Beta ..................................................
75
4.8
Uji Multikolinearitas......................................................................
76
4.9
Uji Hetero skedastisitas .................................................................
77
4.10 Uji Autokorelasi.............................................................................
78
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Daerah Kritis Ujit………..………………………………………. 54
Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F………………………………………………
56
Gambar 3.3 Daerah Ho Diterima dan Ditolak Uji Autokorelasi (DurbinWatson)……………………………………………………………………….
59
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR NON
MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986-2008
ABSTRAK
Fitria Tisna Kumalasari
F1106031
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh impor, inflasi, kurs
dan pendapatan perkapita negara tujuan yaitu Jepang terhadap ekspor non migas
Indonesia. penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka dengan menggunakan
data time series tahun 1989 sampai 2008. Metode analisis yang digunakan adalah
analisis regresi berganda guna dapat mengukur arah dan besaran pengaruh
beberapa variabel bebas (independent variabel) terhadap perkembangan ekspor
non migas Indonesia (dependent variabel). Pengolahan data data dilakukan
dengan program Econometric Views (E-Views) versi 4.0.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) impor berpengaruh positif dan
signifikan, setiap peningkatan 1% impor akan meningkatkan ekspor non migas
Indonesia ke jepang sebesar 0,322065%; (2) inflasi berpengaruh negative, setiap
kenaikan 1% inflasi akan menurunkan ekspor non migas ke jepang sebesar
0,088218%; (3) kurs berpengaruh positif dan signifikan, setiap peningkatan 1%
kurs akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar
3,029065%; (4) pendapatan perkapita Jepang berpengaruh positif dan signifikan,
setiap peningkatan 1% pendapatan perkapita jepang akan meningkatkan ekspor
non migas Indonesia ke jepang sebesar 3,439601%.
Berdasarkan temuan – temuan tersebut maka diajukan saran - saran. Bagi
pemerintah, hendaknya menjaga kestabilan inflasi. Dan untuk pelaku bisnis
hendaknya menjaga daya saing produk agar dapat bersaing dengan negara lain.
Kata kunci: ekspor non migas, impor, kurs, inflasi, pendapatan perkapita Jepang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara yang menganut sistem
perekonomian terbuka, artinya bahwa negara tersebut melakukan transaksi
ekonomi dengan pihak luar negeri atau yang sering disebut dengan
perdagangan
internasional
yang
tujuan
utamanya
adalah
untuk
meningkatkan kesejahteraan serta memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan selera atau
pola konsumsi antar negara, dan timbulnya perdagangan internasional
terutama sekali karena suatu negara bisa menghasilkan barang tertentu
secara lebih efisien daripada negara lain (Boediono, 1993).
Adanya keterkaitan dan ketergantungan serta persaingan global
menyebabkan kehidupan dalam suatu negara terpengaruh oleh ekonomi
internasional (Hamdy Hadi, 2004). Dengan kata lain dalam era global dan
perdagangan bebas saat ini dapat dikatakan tidak ada lagi negara-negara
yang “autarki”, yaitu negara yang hidup terisolasi tanpa mempunyai
hubungan ekonomi, keuangan maupun perdagangan internasional (ekspor
dan impor).
Ekspor merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat
penting
dan
strategis.
Peningkatan
ekspor
diharapkan
mampu
meningkatkan pendapatan, tenaga kerja dan devisa untuk negara.
Peningkatan ekspor merupakan kegiatan utama untuk menghasilkan devisa
untuk membiayai pembangunan di sektor riil maupun non riil.
Ekspor Indonesia pada awalnya didominasi oleh produk-produk
minyak dan gas bumi (migas). Sejak tahun 1974 sampai tahun 1986
pembiayaan ekonomi Indonesia banyak tergantung dari penerimaan
minyak dan gas bumi. Keadaan yang demikaian menyebabkan
perekonomian Indonesia sangat peka terhadap perubahan harga migas di
pasar Internasional.
Pergeseran ekspor Indonesia terjadi sejak tahun 1989, dengan
kontribusi ekspor non migas lebih besar. Hal ini di sebabkan karena tahun
1982 harga minyak turun hingga 50 persen sehingga pendapatan negara
dari sektor ekspor migas menurun. Ini memicu pemerintah mencari
alternatif sebagai pengganti ekspor migas yang terus merosot. Salah
satunya adalah mengembangkan dan meningkatkan ekspor non migas
(Lestiyono, 2007). Pada tabel 1.1 akan memperlihatkan neraca
perdagangan Indonesia pada tahun 2005-2007.
Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Indonesia tahun 2005-2007 (juta US$)
STahun
u Ekspor
m1.
migas
2. non migas
b
Impor
e 1. migas
r 2. non migas
2005
86.995
20.243
66.753
69.462
16.030
53.431
2006
103.528
22.950
80.578
73.868
16.165
57.703
2007
118.014
24.872
93.142
84.930
18.836
66.094
Sumber: Bank Indonesia
Peran perdagangan internasional Indonesia sangat besar. Hal ini
terlihat pada tabel 1.1 dimana neraca perdagangan Indonesia dari tahun
2005-2007 mengalami surplus. Pada tahun 2005 ekspor Indonesia sebesar
86.995 juta US$ sedangkan impornya 69.462 juta US$ dapat disimpulkan
Indonesia memperoleh surplus sebesar 17.533 juta US$. Pada tahun 2006
ekspor Indonesia sebesar 103.528 juta US$ sedangkan impornya sebesar
73.868 juta US$ dapat disimpulkan Indonesia memperoleh surplus sebesar
29.660 juta US$. Pada tahun 2007 ekspor Indonesia sebesar 118.014 juta
US$ sedangkan impornya sebesar 84.930 juta US$ dapat disimpulkan
Indonesia memperoleh surplus sebesar 33.084 juta US$. Pada neraca
perdagangan Indonesia tahun 2005-2007 ekspor non migas Indonesia slalu
mengalami kenaikan hal ini terbukti pada tahun 2005 sebesar 66.753 juta
US$ dan pada tahun 2007 telah mencapai 93.142 juta US$. Ekspor non
migas masih mendominasi dari nilai total ekspor dalam neraca
perdagangan.
Dengan semakin bertambahnya nilai dan ragam komoditi non
migas yang dapat di ekspor, di harapkan perekonomian Indonesia tidak
lagi tergantung terhadap harga satu komoditi yaitu migas saja. Sehingga
pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik. Komoditikomoditi non migas yang cukup potensial untuk di ekspor dapat
dikelompokan menjadi komoditi primer dan komoditi bukan primer.
Komoditi primer merupakan hasil dari sektor pertanian dan sektor
pertambangan. Sedangkan sektor sektor bukan primer berasal dari sektor
industri. Berikut ini pada tabel 1.2 akan menjelaskan perkembangan nilai
ekspor migas maupun non migas Indonesia pada tahun 1996-2008 (juta
US$).
Tabel 1.2 Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Indonesia Tahun
1996-2008 (juta US$)
Tahun
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Non Migas
Ekspor
38,092.6
41,821.0
40,975.5
38,873.2
47,757.4
43,684.6
45,046.1
47,406.8
55,939.3
66,428.4
79,578.7
92,012.3
107,894.1
Rata-rata (%)
Impor
39,333.0
37,755.7
24,683.2
20,322.2
27,495.3
25,490.3
24,763.1
24,939.8
34,792.5
40,243.2
42,102.6
52,540.6
98,644.4
8.98
9.79
-2.02
-5.13
22.85
-8.53
3.12
5.24
18.00
18.75
19.80
15.62
17.26
Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, BPS (telah diolah)
Pada tabel 1.2 diatas dapat digambarkan bahwa angka ekspor
Indonesia pada tahun 1996 ke 1997 mengalami kenaikan namun pada
tahun-tahun berikutnya angka ekspor tersebut mulai berfluktuasi. Hal itu
dapat dilihat pada rata-rata pertumbuhan ekspor. Rata-rata pertumbuhan
ekspor pada tahun 1998 yaitu -8.6% sedangkan pada tahun 2000 rata-rata
pertumbuhan telah mencapai 27.66% tetapi pada tahun 2001 turun menjadi
-9.34%. Pada tahun 1998 akibat krisis moneter yang terjadi pada tahun
1997 ekspor migas turun drastis yang semula 11.622,5 juta US$ pada
tahun 1998 turun drastis menjadi 7.872,1 juta US$. Sedangkan untuk
ekspor non migas pertumbuhannya tetap stabil yaitu pada tahun 1997
sebesar 41.821 juta US$ dan pada tahun 1998 sebesar 40.975,5 juta US$
bahkan pada beberapa tahun terakhir ini ekspor non migas mengalami
kemajuan yang sangat pesat terbukti pada tahun 2004 ekspor non migas
Indonesia 55.939,3 juta US$ dan untuk tahun 2008 ekspor non migas
Indonesia mencapai 107.894,1 juta US$. Hal ini juga terbukti pada neraca
perdagangan Indonesia yang mengalami kenaikan.
Tujuan ekspor non migas Indonesia menurut negara tujuan adalah
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan
beberapa negara-negara Erpoa lainnya. Tabel 1.3 menunjukkan nilai
ekspor ke Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura pada tahun 2005-2008.
Tabel 1.3 Nilai Ekspor ke Jepang, Amerika Serikat, Singapura pada
Tahun 2004-2008 (juta US$).
rataAmerika
ratarataTahun Jepang
rata (%) Serikat
rata (%) Singapura rata (%)
9,561.80
9,507.90
7,068.60
2005
27.5764 10,682.50 12.35394
7,824.20 10.68953
2006 12,198.60
8,990.40 14.90504
2007 13,092.80 7.330349 11,311.30 5.886263
2008 13,795.50 5.367072 12,531.00 10.78302 10,104.60 12.39322
Sumber: Departemen Perdagangan, diolah.
Pada tabel 1.3 di atas dapat dilihat bahwa Jepang memiliki
kontribusi yang paling besar di bandingkan dengan Amerika Serikat dan
Singapura. Pada tabel 1.3 dapat di lihat bahwa nilai ekspor ke Jepang yang
semula pada tahun 2005 sebesar 9. 561 juta US$ menjadi 13.795,50 juta
US$ dengan rata-rata pertumbuhan 27,6% pada tahun 2006. Amerika
Serikat menduduki peringkat ke dua sebagai negara tujuan utama ekspor
dengan nilai ekspor pada tahun 2005 sebesar 9.507,90 juta US$ dan pada
tahun 2008 sebasar 12.531,00 juta US$. Sedangkan nilai ekspor ke
Singapura pada tahun 2005 sebesar 7.068, juta US$ dan pada tahun 2008
mencapai 10.104,60 juta US$. Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura
merupakan negara-negara tujuan utama ekspor non migas Indonesia. Akan
tetapi
Jepang merupakan
negara
yang paling signifikan
dalam
perkembangan ekspor non migas Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penelitian ini
berjudul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
EKSPOR NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986
SAMPAI 2008”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh impor, kurs, inflasi, dan pendapatan per
kapita Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang?
2. Faktor apakah yang paling dominan mempengaruhi ekspor non
migas Indonesia ke Jepang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh impor, kurs, inflasi, pendapatan per
kapita Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang.
2. Mengetahui faktor apa yang dominan terhadap ekspor non migas
Indonesia ke Jepang.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah:
1. Menambah pengetahuan tentang ekspor non migas di Indonesia.
2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang tertarik dengan
permasalahan ekspor non migas Indonesia.
3. Sebagai masukan untuk instansi terkait.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Permintaan dan Penawaran
Berdasarkan anggapan-anggapan tertentu, perdagangan antar negara dapat
juga dipandang dari segi permintaan dan penawaran. Tegasnya perdagangan
internasional terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran.
Perbedaan penawaran disebabkan oleh perbedaan kualitas dan kuantitas faktorfaktor produksi negara yang satu dengan yang lain. Perbedaan permintaan dapat
disebabkan perbedaan pendapatan dan kesukaan(cita rasa, preferensi)
Approach ini menggunakan beberapa angapan, yaitu sebagai berikut:
1. Pasar dengan persaingan sempurna
2. Tidak ada ongkos pengangkutan.
3. Tingkat teknologi tertentu.
4. Tidak ada perpindahanj kapital
5. Increasing cost of production.
Grafik 1 Timbulnya Perdagangan Internasional
S
B
Y
D1
P
1
2
P4
P
P3
P1
D
2
X
1
2
B 3
Barang x
4
X
0
1
B
3
4
5
Barang y
Keterangan:
Sebelum terjadi perdagangan, maka harga barang x negara A adalah P 1
dan harga barang x di negara B adalah P2. P2 > P1 jadi jelas bahwa dalam situasi
itu negara B tidak dapat menjual barang x-nya di bawah P2. Bila antara negara A
dan B terjadi perdagangan, maka negara B akan mengimpor produksi itu konstan,
maka negara A akan berspesialisasi saja salam barang x. Selanjutnya bila ongkos
produksi barang x itu bertambah atau meningkat (increasing cost of production).
maka harga barang x itupun akan meningkat. Apa yang terjadi di negara B adalah
jumah produksi dalam negeri akan berkurang, sebab sebagaian dari barang x itu
dapat dipenuhi dengan mengimpor dari negara A, sehingga harga di negara B juga
akan menurun (Sobri, .
Proses kesamaan tingkat dua macam harga ini akan berlangsung terus,
sehingga jumlah yang diekspor dari negara A yaitu B1, B4, sedang jumlah yang
diimpor dari negara A oleh negara B adalah K1.K4, dan harga kesetimbangannya
adalah OP.
Bila peranan ongkos angkutan diperhatikan, maka harga di kedua negara
itu tidak sama tingginya. Perbedaannya sebesar ongkos angkut itu sendiri. Bila
P3.P4 ongkos, maka volume perdagangan antara A dan B akan berkurang. Ekspor
dari negara A sebesar B2.B3, dan impor negara B sebesar K3.K2. Jadi, ongkosongkos angkut akan menyebabkan perbedaan harga dan volume perdagangan
menjadi kecil.
2. Pekembangan Teori Perdagangan
Perdaganngan internasional dapat didefinisikan sebagai perdagangan antar
negara atau lintas negara yang mencakup ekspor dan impor. Perdagangan
internasional terjadi karena setiap negara tidak memenuhi semua kebutuhan dari
hasil
produksi
dalam
perdagangan. Hal ini
negaranya
sendiri
sehingga diperlukan transaksi
terjadi karena setiap negara dengan mitra dagangnya
mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya perbedaan kandungan sumberdaya
alam, modal, sumberdaya manusia, teknologi, konfigurasi geografis, struktur
ekonomi dan lain sebagainya. Dari perbedaan tersebut di atas, maka atas dasar
saling menguntungkan, terjadilah proses pertukaran, yang dalam skala luas
dikenal sebagai perdagangan internasional (Halwani, 2003).
Karena setiap negara berbeda dengan negara lainnya di tinjau dari
sumberdaya alamnya, iklimnya, letak geografinya, penduduk, keahliannya, tenaga
kerja, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi dan sosialnya. Hal ini
memungkinkan karena ada barang yang hanya dapat diproduksi di daerah dan
iklim tertentu, atau karena suatu negara mempunyai kombinasi faktor-faktor
produksi lebih baik dari negara lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan
barang yang lebih bersaing (Amir M.S. 2000).
Pada dasarnya, perdagangan internasional bisa terjadi apabila kedua belah
pihak memperoleh manfaat atau keuntungan dalam perdagangan tersebut.
perdagangna internasional menciptakan keuntungan dengan memberikan peluang
pada setiap negara untuk mengkspor barang-barang yang faktor produksinya
langka atau mahaljika diproduksi daklam negari.
Evolusi teori perdagangan internasional dapat dikelompokkan sebagai
berikut: 1) Teori Pra Klasik: Merkantilisme, 2) teori Klasik: Adam smith, David
Ricardo, 3) Teori Modern: teori H-O, 4) Alternative Theory: M Porter, R D’Aveni
dll. Penjabaran masing-masing teori perdaganngan internasional adalah sebagai
berikut:
2.1 Teori Merkantilisme (David Hume)
Menurut paham merkantilisme, tiap negara yang berkeinginan
untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara lain. Sumber
kekayaan negara akan diperoleh melalui surplus perdagangan di luar negeri
yang akan diterima dalam bentuk logam mulia.
Aliran merkantilisme yang tumbuh dan berkembang pada abad
XVI-XVIII di Eropa Barat, sebagai lokomotif utama yang di pacu melalui
peningkatan industri di dalam negeri. Ide pokok merkantilisme adalah
sebagai berikut:
1. Suatu negara akan kaya atau makmur dan kuat bila ekspor lebih besar
daripada impor.
2. Surplus yang di peroleh dari selisih (X-M) atau ekspor netto yang
positif tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya logam mulia
(sebagai alat pembayaran/uang) yang dimiliki Negara.
3. Logam mulia yang melimpah digunakan oleh negara/raja untuk
memperluas perdagangan di luar negeri dengan kolonisasi.
(Hamdy Hadi: 2004)
Merkantilisme menitikberatkan pada 2 kebijakan penting yaitu:
1. Kebijakan merkantilisme dalam usaha untuk memperoleh monopoli
perdagangan, monopoli perdagangan tersebut dapat diperoleh dengan
memiliki armada perdagangan atau armada perang yang kuat.
2. Kebijakan lanjutan adalah usaha untuk memperoleh daerah-daerah
jajahan yang dilakukan melalui ekspansi perdagangan dan penaklukan
atau penundukan daerah-daerah baru di Amerika, Afrika, dan Asia.
Daerah atau negara jajahan ini dijadikan sebagai sumber bahan baku
dan sekaligus pasar, sekaligus sebagai sumber langsung logam mulia.
Negara jajahan menjadi sangat tergantung pada negara penjajah. (Lia
Amalia: 2007)
Kritik David Hume terhadap merkantilisme adalah sebagai berikut:
kekayaan atau kemakmuran suatu negara yang diukur dari banyaknya logam
mulia tidak sepenuhnya benar. Maka jika logam mulia banyak berarti jumlah
uang beredar banyak. Jika jumlah uang beredar banyak sedangkan produksi
tetap atau tidak berubah maka akan terjadi inflasi atau kenaikan harga. Inflasi
akan menaikan harga barang-barang eksporsehingga kuantitas ekspor
menurun. Sementara harga barang impor akan lebih besar dari ekspor terjadi
deficit yang menyebabkan logam mulia yang dimiliki akan berkurang.
Kebijakan merkantilisme pada saat ini masih dijalankan oleh
banyak negara (termasuk negara-negara maju), yaitu kebijakan proteksi
untukmelindungi dan mendorong ekonomi dan industri dalam negara dengan
banyak menggunakan hambatan non-tarif seperti: penerapan syarat-syarat dan
sertifikasi tertentu, ketentuan teknis, peraturan kesehatan/karantina, dikaitkan
dengan isu-isu lingkungan hidu, hak asasi manusia dan lain-lain (Hamdy
Hadi: 2004)
2.2 Teori Keunggulan Mutlak/ Absolute Advantage (Adam Smith)
Menurut teori Keunggulan Mutlak yakni perdagangan internasional akan
terjadi jika setiap negara mampu memproduksi barang tertentu secara lebih
efisien daripada negara lain melalui spesialisasi dan pembagian kerja.
Keunggulan mutlak bisa diperoleh karena adanya perbedaan dalam
kepemilikan factor produksi antara lain sumber daya alam, tenaga kerja,
modal, teknologi dan entrepreneurship.setiap negara akan memperoleh
manfaat perdagangan (gain from trade) karena melakukan spesialisasi
produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan
mutlak, sedangkan untuk produk yang tidak memiliki keunggulan mutlak
sebaiknya impor saja.
Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa suatu negara akan
melakukan spesialisasi terhadap ekspor suatu jenis barang tertentu, dimana
negara tersebut memiliki keunggulan mutlak dan tidak memproduksi atau
malakukan impor jenis barang dimana negara lain yang memproduksi barang
sejenis. Atau denagn kata lain, suatu negara akan mengekspor (mengimpor)
suatu jenis barang. Jika negara tersebut tidak dapat memproduksi secara lebih
efisien atau lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Sehingga teori ini
menekankan bahwa efisiensi dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja,
dalam proses produksi sangat menentukan keunggulan atau daya saing.
Sebagai contoh di dunia nyata ada dua negara yaitu Indonesia
(INA) dan Amerika Serikat (AS) kedua negara tersebut sama-sama
memproduksi dua jenis barang, yakni barang (A) kain dengan harga Pa dan
barang B (komputer) dengan harga Pb tenaga kerja merupakan satu-satunya
input yang digunakan untuk memproduksi dua jenis barang tersebut (kain dan
komputer)
Tabel 2.1 Ilustrasi Keunggulan Absolut dari Adam Smith
Negara
INA
AS
Kemungkinan Produksi
A (Kain)
B (Komputer)
90
60
50
100
Sumber: Tulus Tambunan, 2001
DTDN
A/B
B/A
1,50
0,50
0,67
2,00
Seperti yang ditunjukan pada tabel 2.1, Indonesia dapat
memproduksi maksimum 90 unit kain (A) per satu orang tenaga kerja dan atau
memproduksi maksimum 60 unit komputer (B) per satu orang tenaga kerja.
Rasio ini menunjukan bahwa Indonesia lebih baik dalam memproduksi A
dibandingkan B. Tingkat produktivitas atau efisiensi dalam penggunaan input
(tenaga kerja) di industri A lebih tinggi dibanding industri B. Jika tidak ad
aperdagangan internasional, dua barang tersebut dapat diperdagangkan dipasar
domestikdengan perbandingan sebagai berikut: 1,5A untuk 1B atau 2/3B
untuk 1A. Artinya biaya alternatif (opportunity cost) untuk membuat 1B maka
mengorbankan 1,5A. Dalam harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa) INA = 1,5.
Misalnya, Pb = 100 maka Pa = 66,6. Perbandingan ini disebut dasar tukar
dalam negeri (DTDN). Jadi di Indonesia, B mempunyai harga jual yang lebih
tinggi, karena memproduksi B lebih mahal daripada memproduksi A.
Sebaliknya di AS, A mempunyai harga jual lebih tinggi disbanding B, karena
biaya produksi A lebih mahal daripada biaya produksi B. Di pasar domestik
AS, dasar tukar dalam negeri adalah: 0,5A untuk 1B atau 2B untuk 1A. Dalam
harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa)AS = 0,5. perbedaan rasio harga (biaya
produksi) tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan
absolute atas Amerika Serikat dalam memproduksi kain (A), sebaliknya AS
memiliki keunggulan absolut atas Indonesia dalam memproduksi computer
(B).
Terjadinya perdagangan internasional menyebabkan gains from
trade masing-masing negara sebagai berikut: a) Indonesia memperoleh
keuntungan jika menjual (mengekspor) kain (A) ke Amerika Serikat karena
1A dapat ditukar dengan 2B, dibandingkan hanya 2/3B untuk 1A jika tidak
ada perdangan internasional. Jadi keuntungan Indonesia adalah 1,33B; b)
Amerika Serikat memperoleh keuntungan jika menjual computer (B) ke
Indonesia, karena 1B akan memperoleh 1,5A, dibandingkan hanya 0,5A untuk
1B jika tidak ada perdagangan internasional. Jika keuntungan AS adalah 1A.
Dari contoh tersebut diperoleh bahwa (Pb/Pa) AS  (Pb/Pa) INA,
atau (Pb) INA  (Pb) AS dan (Pa) INA  (Pa) AS. Perbedaan harga tersebut
merupakan syarat terjadinya perdangan internasional. Jika hara dari jenis
barang yang sama tidak berbeda antarnegara, maka tidak ada alasan untuk
melakukan perdagangan internasional, atau masing-masing negara tidak akan
menikmati manfaat perdagangan internasional (Tulus Tambunan,2001).
2.3 Teori Keunggulan Komparatif/ Comparative Adventage (David Ricardo)
Menurut David Ricardo, sekalipun sebuah negara memiliki
keunggulan mutlak pada beberapa barang, tetapi selama negara yang lebih
lemah memiliki keunggulan komparatif pada produksi salah satu barang, maka
perdagangan tetap bisa terjadi. Teori david Ricardo yang juga dikenal dengan
teori cost comparative advantage (labor efficiency) ini menyatakan bahwa
suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika
melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara
tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang jika
negara tersebut berproduksi relative kurang atau tidak efisien.
Sebagai contoh, berdasarkan efisiensi tenaga kerja di Indonesia
untuk memproduksi 1 unit A. Seorang pekerja hanya membutuhkan 1 hari
kerja dan untuk memproduksi 1 unit B diperlukan 2 hari kerja. Di AS untuk
memproduksi 1 unit A dan 1 unit B masing-masing diperlukan waktu 4 dan 3
hari kerja. Atau berdasarkan produktivitas tenaga kerja, di INA 1 hari kerja
dapat menghasilkan1A dan 1/2B, dan di AS 1 hari kerja dapat menghasilkan
1/4A dan 1/3B. Seperti dapat dilihat pada tabel 2.2, DTDN di INA adalah 2A
untuk 1B atau 0,5B untuk 1A, atau (Pb/Pa)INA = 2, sedangkan DTDN di AS
adalah (Pb/Pa)AS = 3/4. Jadi di INA mempunyi harga jual lebih tinggi ddan di
AS yang mempunyai harga jual lebih tinggi adalah A.
Tabel 2.2 Ilustrasi Tingkat Efisiensi Tenaga Kerja David Ricardo
Negara
INA
AS
Produksi: jumlah jam kerja per
satu unit
A
B
1(A) INA = 1
1(B) INA= 2
1 (A) AS = 4
1(B) AS = 3
Biaya Relatif
{1 (A)/1(B) INA =1/2}
{1(A)/1(B) AS = 4/3}
Sumber; Tulus Tambunan, 2001
Tabel 2.3 Ilustrasi Tingkat Produktivitas tenaga Kerja David Ricardo
Negara
INA
AS
Produksi: jumlah jam kerja per
satu unit
A
B
1'(A) INA = 1
1('B) INA= 1/2
1'(A) AS = 1/4
1('B) AS = 1/3
DTDN
(Pb/Pa) INA = 2
(Pb/Pa) AS = 3/4
Sumber; Tulus Tambunan, 2001
Dari contoh pada tabel 2.2 dan 2.3, dengan teori keunggulan
absolut dari Adam Smith, perdagangan antara INA dan AS tidak dapat terjadi
karena artinya hanya INA yang dapat melakukan ekspor. Jika perdagangan
antara kedua negara tersebut tetap dilakukan, misalnya karena AS sangat
membutuhkan kain, maka gain from trade hanya dapat dinikmati Indonesia.
Namun David Ricardo menyatakan bahwa perdagangan tetap dapat
terjadi dengan penjelasan sebagai berikut: berdasarkan tingkat efisiensi tenaga
kerja dalam memproduksi A dan B masing-masing negara, selanjutnya dicari
untuk barang yang mana Indonesia (atau AS) lebih unggul terhadap Amerika
Serikat (atau INA), dalam arti tingkat efisiensi tenaga kerjanya paling tinggi.
Hasil perhitungan efisiensi tenaga kerja relatif dapat dilihat pada tabel 2.4:
Tabel 2.4 Perhitungan Efisiensi Tenaga Kerja Relatif
Negara
INA
AS
Produksi: jumlah jam kerja per satu unit
A
B
1(A) INA/1(A) AS = 1/4
1(B) INA/ 1(B) AS = 2/3
1(A) AS/1(A) INA = 4
1(B) AS/1(B) INA = 3/2
Sumber; Tulus Tambunan, 2001
Dari tabel 2.4 tersebut terlihat bahwa tingkat efisiensi tenaga kerja
di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan AS dalam memproduksi 1
unit A daripada produksi 1 unit B; [1 (A) INA/1(A) AS < 1(B) INA/1(B) AS].
Hal ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi A.
Sebaliknya, tenaga kerja AS lebih efisien dibandingkan tenaga kerja INA
dalam memproduksi 1 unit B daripada memproduksi unit A [1(A) AS/1(A)
INA > 1(B) AS/1(B) INA]. Hal tersebut berarti AS memiliki keunggulan
komparatif dalam produksi B. Berdasarkan perbandingan tersebut, Indonesia
dan Amerika Serikat masing-masing akan melakukan spesialisasi produksi
dan ekspor barang A dan B.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa meskipun Indonesia
memiliki
keunggulan absolut dibandingkan Amerika Serikat untuk barang A(kain) dan
barang B(komputer), perdagangan internasional tetap bisa terjadi dan saling
menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara jika
terdapat perbedaan dalam tingkat efisiensi tenaga kerja (cost comparative
advantage) dan atau produktivitas tenaga kerja (production comnparative
advantage).
2.4 Teori Hecksher-Ohlin/ H-O
Teori Hecksher dan Ohlin (H-O) disebut juga teori proporsi faktor
(factor propotion) atau teori ketersediaan factor (factor endowment). Dasar
pemikiran teori ini adalah perdagangan internasional, misalnya antara
Indonesia dan Amerika Serikat terjadi karena opportunity cost antara kedua
negara tersebut berbeda. Perbedaan biaya alternative tersebut dikarenakan
adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi. Jadi karena factor
endowment yang berbeda, maka sesuai hukum pasar harga faktor produksi
tersebut juga berbeda antara Indonesia dan Amerika.
Jadi menurut teori H-O, suatu negara akan berspesialisasi dalam
produksi dan ekspor barang-barang yang impor utamanya relative sangat
banyak di negara tersebut, serta impor barang yang input utamanya tidak
dimiliki oleh negara tersebut (jumlahnya terbatas). Dalam kasus Indonesia,
negara tersebut akan ekspor produk-produk yang padat karya (tetapi dalam
kategori unskilled workers) atau padat bahan-bahan baku yang berlimpah di
dalam negeri, seperti minyak, batu bara, dan komoditas-komoditas lain. (Tulus
Tambunan: 2001)
Muatan teori H-O yang utama adalah:
1. Dalam perdagangan Internasional yang melandasi keunggulan komperatif
adalah bahwa setiap negara memiliki hadiah alam dari Tuhan yang berbedabeda baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga faktor-factor produksi
tersebut akan memiliki distribusi yang tidak merata secara proporsional.
2. Perbedaan kepemilikan faktor produksi oleh setiap negara akan mendorong
pemakaian faktor produksi dalam kombinasi yang memiliki intensitas yang
berlainan. Setiap negara akan mengekspor barang yang memiliki intensitas
faktor produksi melimpah.
Menurut model Neoklasik ini, perdagangan Internasional tidak
bersumber pada perbedaan tingkat produktivitas atau perkembangan teknologi
antar negara,melainkan pada perbedaan kelimpahan atau kekayaan faktor
produksi. Negara yang memiliki banyak tenaga kerja akan berspesialisasi pada
produksi yang bersifat padat karya terutama komoditi primer, serta
mengimpor produk yang menggunakan faktor produksi yang langka di
negaranya seperti produk manufaktur yang bersifat padat modal
Teori ini mendorong negara berkembang untuk memfokuskan
pengembangan aneka komoditi primer sebagai andalan ekspor yang nantinya
akan ditukarkan dengan produk manufaktur. Sehingga, negara berkembang
akan lebih berpeluang dalam mengembangkan perekonomiannya serta
memperoleh keuntungan maksimal dari hubungan perdagangan Internasional.
Dalam
rumusan
model
kelimpahan
faktor,
suatu
negara
diasumsikan pada awalnya akan beroperasi pada suatu titik tertentu dimana
kurva batas kemungkinan produksi sangat ditentukan oleh kondisi permintaan
domestik.
2.5 Competitive Advantage of Nation
Menurut M Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu
negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar
internasional bila memiliki 4 faktor penentu yaitu:
1. Factor Conditions
Faktor conditions adalah sumber daya yang memiliki oleh suatu
negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini:
a. Human resources (SDM)
b. Physical resources (SDA)
c. Knowledge resources (IPTEK)
d. Capital resources (permodalan) / (SDC)
e. Infrastructure resources (SDI)
2. Demand Condition
Permintaan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu
keunggulan daya saing atau competitive advantage suatu bangsa/perusahaan
produk atau jasa yang dihasilkannya. Adapun yang dimaksud dengan demand
conditions tersebut terdiri atas:
a. Composition of home demand
b. Size and pattern of growth of hoine demand
c. Rapid home market growth
d.
Trend of International demand
3. Related and Supporting Industry
Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan keunggulan daya
saing, maka perlu selalu dijaga keberadaan industri pemasok industri terkait,
terutama dalam menjaga dan memelihara value chain.
4. Firm Strategy, Structure and rivalry
Strategi perusahaan, stuktur organisasi dan modal perusahaan, serta
kondisi persaingan di dalam negari merupakan faktor-faktor yang akan
menentukan dan mempengaruhi competitive advantage perusahaan. Rivalry
yang berat di dalam negeri biasanya justru akan lebih mendorong perusahaan
untuk melakukan pengembangan produk dan teknologi, peningkatan
produktivitas, efisiensi dan efektifitas, serta peningkatan kualitas produk dan
pelayanan.
Selain
keempat
faktor
penentu
dalam
tingkat
persaingan
Internasional tersebut, keunggulan komparatif nasional juga dipengaruhi oleh
faktor kebetulan (penemuan baru, perubahan kurs, konflik keamanan) dan
tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah. Faktor luar lainnya yang penting
dan sangat menentukan secara eksternal adalah faktor sumber daya manusia
yang dibagi menjadi dua yaitu, system pemerintah (government) dan
terdapatnya akses dan kesmpatan dalam melakukan suatu hal yaitu, perubahan
(Hamdi Hadi : 2004).
2.6 Hyper Competitive (Richard D’Aveni)
Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara regional maupun
internasional yang berlangsung hingga saat ini telah menyebabkan persaingan
global yang semakin ketat, bahkan menuju hyper competitive. Hal ini
dibuktikan antara lain oleh adanya persaingan dan ancaman dari korea,
Taiwan, Singapura dan negara lainnya. Persaingan dan ancaman tersebut
dihadapi oleh industri elektronik dan otomotif Jepang, AS dan Eropa yang
selama ini menguasai pasar dunia. Selain itu, persaingan yang sangat ketat
juga terjadi di antara sesama negara yang sedang berkembang, khususnya
untuk produk-produk industri ringan seperti tekstil dan produk tekstil, sepatu,
agro industri, dan lain-lain.
Kondisi persaingan global yang hyper competitive tersebut
memaksa setiap negara/perusahaan untuk menemukan suatu strategi yang
tepat. Strategi yang tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan
operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal,
sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang denagn
disertai keberhasilan dalam mempertahankan atau meningkatkan sustainable
real income secara efekif dan efisien. Strategi ini dikenal atau disebut sebagai
Sustainable Competitive Advantage atau SCA yaitu keunggulan daya saing
berkelanjutan (terus menerus). Akan tetapi, menurut Richard D’Aveni (1994),
pada situasi hyper competitive tidak ada lagi perusahaan atau negara yang
dapat memiliki keunggulan daya saing berkelanjutan.
Sehubungan dengan pendapat Richard D’Aveni ini perlu
dikemukakan beberapa catatan (Hamdi Hady: 2004) sebagai berikut:
Pada situasi hyper competitive, keunggulan daya saing suatu perusahaan atau
negara tetap didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun
dengan periode/jangka waktu yang relatif pendek. Beberapa catatan penting
dari teori ini adalah: (1) Pengertian SCA atau keunggulan daya saing
berkelanjutan harus diartikan sebagai keunggulan yang diperoleh karena
invention dan innovation secara terus menerus, sehingga tetap unggul dari
pesaing; (2) invention dan innovation diperoleh dari hasil research dan
development, baik yang bersifat scientific maupun applied; (3) Sustainable
competitive advantage ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan untuk
dilakukan dalam sektor agro industri karena sumber atau resource base-nya
dapat diperbaharui atau renewable. Sustainable competitive advantage, yang
diperoleh melalui invention dan innovation
Dengan demikian, selama suatu negara masih memiliki sustainable
competitive advantage, maka negara tersebut akan dapat terus mengekspor
produknya, dan tentunya akan lebih baik untuk mengimpor produk lain.
2.7 Competitive Liberalization
Keinginan masing-masing negara untuk dapat bekerja secara
produktif, efisien dan efektif agar dapat bersaing di pasar global pada dekade
terakhir ini telah mendorong terjadinya competitive liberazation terutama di
kawasan Asia Pasifik. Khususnya di bidang perdagangan dan investasi.
Competitive liberazation atau persaingan liberalisasi ini dilakukan
karena masing-masing negara berusaha untuk membuat situasi dan kondisi
ekonominya menjadi menarik bagi investor atau penanam modal asing (Hamdi
Hady; 2004).
Persaingan liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara
yang didasarkan pada comparative advantage dinamis dan atau competitive
advantage menurut diagram diamond Porter’s akan menyebabkan suatu
negara dapat mengekspor atau lebih baik mengimpor dan mengekspor produk
tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih baik mengimpor dan mengekspor produk tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang
menguntungkan bagi masing-masing negara.
3. Manfaat Perdagangan Internasional
Perdagangan dalam istilah ekonomi, diartikan sebagai proses tukar
menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak.
Penggunaan istilah kehendak sukarela tersebut memiliki implikasi yang sangat
mendasar yaitu perdagangan akan terjadi hanya apabila paling tidak ada satu
pihak yang memperoleh keuntungan atau manfaat dan tidak ada pihak lain
yang merasa dirugikan. Atau akan timbul karena salah satu pihak atau kedua
belah pihak melihat adanya manfaat atau keuntungan tambahan yang bisa
diperoleh sebagai hasil dari proses perdagangan tersebut. Hal tersebut tidak
saja berlaku dalam perdagangan lingkup daerah dan nasional saja. Tetapi juga
berlaku pada perdagangan internasional, yang tidak hanya melihat orang per
orang atau kelompok per kelompok dalam satu daerah saja, tetapi sudah
semakin meluas hingga melibatkan penduduk dari suatu negara dengan
penduduk dari negara lain (Boediono: 1994).
Tujuan dilakukannya perdagangan internasional salah satunya
adalah untuk mengatasi hambatan ekonomi yang banyak terjadi pada negaranegara di dunia. Terutama dalam upaya meningkatkan pendapatan dan
memperluas kesempatan kerja. Untuk negara yang sedang berkembang,
perdagangan internasional sangatlah membantu dalam mengatasi masalah
kemiskinan
dan
menurunkan
angka
ketergantungan,
khususnya
ketergantungan akan sumber dana bagi pembangunan, dengan cara
dihasilkannya devisa bagi negara tersebut (Djojohadikusumo, 1985).
Tumbuhnya kegiatan perdagangan internasional suatu negara akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan.
Dan apabila suatu negara mengalami mengalami pertumbuhan ekonomi yang
semakin
tinggi,
maka
akan
meningkatkan
pendapatan
nasionalnya.
Perdagangan internasionaljuga dapat memperluas pasar bagi barang-barang
produksi domestik, yang bila diteruskan akan membawa implikasi pada
perluasan lapangan kerja di dalam negeri dan transfer of technology.
Suatu negara yang melakukan perdagangan internasional dapat
mengadakan realokasi sumberdaya yang dimilikinya secara lebih efisien,
sehingga dapat memproduksi output pada tingkat harga yang lebih rendah
dibandingkan dengan negara lainnya. Ini berdampak pada peningkatan jumlah
barang yang akan diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk, sehingga
kesejahteraan negara tersebut dapat meningkat. Dengan kata lain, adanya
kegiatan perdaganagan internasional dapat memberi sumbangan yang sangat
penting dalam mempertinggi dan menambah efisiensi kegiatan ekonomi suatu
negara. Sehingga akan mendorong suatu suatu negara untuk melakukan
spesialisasi terhadap produk-produk yang dihasilkannya.
4. Ekspor Non Migas
Pengertian ekspor non migas adalah ekspor produk-produk diluar
minyak dan gas bumi yang terdiri produk-produk sektor pertanian, industri
(manufaktur), pertambangan dan lainnya, seperti barang-barang seni
(Departemen Perdagangan RI, 2001).
Komoditi ekspor non migas dikelompokkan menjadi komoditi
primer dan non primer. Komoditi primer merupakan hasil dari sektor- sektor
pertanian dan pertambangan, sedangkan komoditi non primer berasal dari
sektor industri dan lainnya (BPS, 2000).
Kinerja ekspor non migas yang didominasi oleh produk-produk
manufaktur mengindikasikan bahwa proses industrialisasi disuatu negara
berjalan baik. Suatu negara dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan
ekspor non migas khususnya ekspor manufaktur jika pertumbuhan ekspor
rata-rata per tahun tinggi dan komposisinya tidak lagi didominasi oleh barangbarang sederhana (barang baku/barang setengah jadi), melainkan sebagaian
besar sudah berupa produk-produk dengan nilai tambah dari hasil proses
pengolahan yang efisien dan maju sehingga berdaya saing internasional (Tulus
Tambunan, 2001).
5. Hambatan dalam Perdagangan Internasional
Beberapa hambatan dalam perdagangan internasional antara lain:
a.
Tarif/ Bea Masuk
Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang
yang melewati suatu negara (Nopirin; 1995). Ditinjau dari mekanisme
perhitungannya, ada beberapa jenis tarif yakni:
1)
Tarif Ad Valorem (ad valorem tariff)
Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka
presentase tertentu dari nilai-nilai barang-barang yang di impor (misal:
suatu negara memungut tarif 25% atas nilai atau harga dari setiap unit
mobil yang diimpor)
2)
Tarif Spesifik (specific tariff)
Tarif spesifik adalah tarif yang dikenakan sebagai beban tetap unit
barang yang diimpor (misalnya; pungutan US$ 3 untuk setiap bahrel
minyak).
3)
Tarif Campuran (compound tariff)
Tarif campuran adalah gabungan dari kedua tari ad valorem dari tarif
spesifik. Disamping mgenakan pungutan dalam jumlah tertentu, tarif
campuran juga memungut sekian persen lagi.
b.
Kuota
Kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif yang paling
penting. Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor
atau ekspor (Nopirin; 1995). Kuota bisa serupa pembatasan kuantitas
pasokan. Sedangkan kuota impor yang didefinisikan sebagai pembatasan
jumlah volume terhadap barang yang masuk ke dalam negeri. Jenis kuota
impor adalah:
a) Absolute atau unilateral kuota adalah kuota yang besar/kecilnya
ditentukan sendiri sendiri oleh suatu negara tanpa persetujuan dengan
negara lain. Kuota semacam ini sering menimbulkan tindakan balasan
oleh negara lain.
b) Negotiated atau bilateral kuota adalah kuota yang besar/kecilnya
ditentukan berdasarkan perjanjian antara 2 negara atau lebih.
c) Tarif kuota adalah gabungan antara tarif dan kuota. Untuk sejumlah
tertentu barang yang diizinkan masuk (impor) dengan tarif tertentu,
tambahan impor masih diizinkan tetapi dikenakan tarif yang lebih
tinggi.
d) Mixing kuota yakni membatasi penggunaan bahan mentah yang
diimpor dalam proporsi tertentu dalam produksi barang akhir.
Pembatasan ini untuk mendorong berkembangnya industri di dalam
negeri.
Pembatasan barang yang diimpor menyebabkan berkurangnya barang
impor tersebut di pasar dalam negeri, sedangkan permintaan relatif tetap.
Keadaan ini mengakibatkan harga impor di pasar dalam negeri lebih tinggi
daripada pasar dunia.
c.
Subsidi
Subsidi adalah memberikan bantuan atau kemudahan bagi produksi dalam
negeri sehingga hasil produksi dalam negeri menjadi lebih murah dari
produk impor.
d.
Buy Local Legislation
Yaitu adanya undang-undang di suatu negara yang mengharuskan
penduduknya membeli produk dalam negeri.
e.
Penerapan syarat-syarat dan sertifikasi tertentu
Syarat-syarat tertentu sengaja diberlakukan guna menghambat masuknya
produk-produk impor. Seperti misalnya: Eropa dikenal dengan syarat non
CFC, di Amerika ada syarat Ozon Friendly, Negara Timur Tengah
memberlakukan sertifikasi halal, persyaratan sertifikat ISO (Inernational
Standardization Operation) seperti ISO 9001 dan ISO 14000, dan lain-lain.
f.
Reciprocal Requirement
Dalam hal ini, suatu negara hanya mau mengimpor jika negara mitra
dagang tersebut juga mau mengimpor dari negara yang bersangkutan.
g.
Larangan Impor
Adalah bentuk hambatan langsung yang merupakan bentuk yang paling
ekstrim dari segala hambatan impor. Meskipun secara umum perdagangan
luar negeri memberikan manfaat kepada perekonomian dan masyarakat,
dalam prakteknya banyak
negara yang menggunakan kebijakan
menghambat impor, hal ini didasarkan dengan alasan:
a) Mengurangi masalah deflasi dan pengangguran. Dengan adanya
pembatasan ke atas barang-barang dari luar negeri, permintaan
terhadap produksi dalam negeri akan bertambah. Pertambahan
permintaan itu akan menaikkan tingkat kegiatan ekonomi dan
menurunkan pengangguran.
b) Menghapus
defisit
dalam
neraca
pembayaran.
Menciptakan
penghambat impor adalah salah satu langkah yang dapat dijalankan
oleh pemerintah untuk mengatasi defisit dalam neraca pembayaran.
c) Mensukseskan usaha mendiversifikasikan perekonomian. Tujuan ini
terutama dijalankan di negara-negara berkembang yang masih belum
maju yang kegiatan di sektor pertanian dan mengekspor beberapa jenis
bahan mentah. Struktur ekspor seperti itu menyebabkan kegiatan
ekonomi negara-negara itu sangat dipengaruhi oleh perubahanperubahan harga da pasaran luar negeri.
d) Melindungi industri yang baru berkembang. Hal ini dilakukan sebagai
lanjutan dari usaha mendiversifikasikan perekonomian, kegiatankegiatan ekonomi baru, terutama kegiatan di bidang industri, akan
dikembangkan. Kekurangan pengalaman, tenaga kerja yang masih
belum mencapai keterampilan tinggi, pasar yang masih terbatas, dan
beberapa alasan lainnya menyebabkan kegiatan-kegiatan ekonomi
yang baru tersebut masih belum sanggup bersaingdenagn yang ada di
negara lain.
e) Melindungi industri dalam negari yang kedudukannya tercancam.
Sering kali penghambat impor digunakan pula untuk melindungi
tingkat kemakmuran yang sudah dicapai oleh segolongan masyarakat
tertentu. Seringkali harga barang impor lebih murah dari harga barang
dalam negeri, hal ini akan cenderung menurunkan pendapatan
masyarakat, yang dikarenakan harga barang dalam negeri akan ikut
mengalami penurunan. Penurunan pendapatan tersebut dapat dihindari
dengan menggunakan tarif yang tingginya adalah sedemikian rupa
sehingga harga barang yang diimpor tidak berbeda atau lebih tinggi
daripada harga barang yang sama yang dihasilkan di dalam negeri
(Sadono Sukirno: 2002)
6. Definisi dan ruang Lingkup Ekspor
Definisi ekspor adalah:
a. Kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sesuai peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. Daerah pabean adalah: Wilayah
Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang
angkasa diatasnya, serta tempat-tempat tertentu didalamnya berlaku
Undang-Undang No 10 Tahun 1995, tentang Kepabeanan (SK
Menperindag No. 146/MPP/IV/1999).
b. Mengeluarkan barang-barang dari peredaran dalam masyarakat dan
mengirimkan
ke
luar
negeri
sesuai
ketentuan
pemerintah
dan
mengharapkan pembayaran dalam valuta asing (Nopirin, 1995).
c. Kegiatan jual beli yang dilakukan dengan negara/bangsa lain dengan
pembayaran valuta asing (Amir MS, 2000).
Guna memahami proses transaksi ekspor, berikut ini akan
diuraikan empat tahapan international trade process yang mencakup:
a) Sales’s Contract Process
1. Eksportir mempromosikan komoditas yang diekspornya melalui media
promosi seperti pameran dagang, iklan di koran, majalah, radio,
maupun televisi, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, atau
melalui badan-badan khusus urusan promosi ekspor seperti Badan
Pengembang Ekspor Nasional (BPEN), Lembaga Penunjang Ekspor
(LPE), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia), Atase
Perdagangan RI di tiap Kedutaan Besar RI di luar negeri, Atase
Perdagangan asing di tiap Kedutaan Besar di Jakarta, Kamar Dagang
dan Industri negara asing di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di
Indonesia seperti American Chamber of Commerce (AMCHAM),
China External Trade Association (CETRA), Japan External Trade
Organization (JETRO), Korean Trade Agency (KOTRA) dan lain-lain.
Tujuan promosi adalah untuk menarik minat calon importir terhadap
komoditas yang diekspor.
2. Importir yang berminat mengirimkan surat permintaan harga atau
Letter of Inquiry kepada eksportir. Letter of
Inquiry Lazimnya
berisikan permintaan penawaran harga dengan memberitahukan mutu
barang yang diinginkan, kuantumyang ingin dibeli, harga satuan dan
total harga dalam valuta asing (US$ atau lainnya), waktu pengiriman
(shipment date), nama pelabuhan tujuan yang diinginkan.
3. Eksportir memenuhi permintaan importir dengan mengirimkan surat
penawaran harga yang lazim disebut dengan Offersheet. Offersheet
berisiskan keterangan sesuai permintaan importir, seperti uraian
barang, mutu, kuantum, waktu penyerahan, harga dan tempat
penyerahan barang, syarat pembayaran, waktu pengapalan, cara
pengepakan barang, brosur, dan bila perlu contoh barang yang
ditawarkan. Penawaran itu juga menyebutkan apakah penawaran
bersifat free offer ataukah firm offer.
4. Importir, setelah mempelajari dengan seksama offersheet dari
eksportir, menempatkan surat pesanan dalam bentuk ordersheet atau
purchase order kepada eksportir.
5. Eksportir menyiapkan kontrak jual beli ekspor (sale’s contract) sesuai
dengan data dari offersheet dan ordersheet ditambah dengan
keterangan seperti force majeur clause, klaim, syarat pengapalan
seperti partial shipment, transhipment, wessel age, dan lain-lain.
Kontrak tersebut ditandatangani oleh eksportir dan dikirimkan kepada
importir untuk ditandatangani pula sebagai tanda persetujuan atas
sale’s contract itu. Lazimnya sale’s contract dibuatkan dalam rangkap
dua (two original).
6. Importir mempelajari sale’s contract dengan seksama, dan bila
menyetujuinya kemudian ia menandatangani dan mengembalikan
kepada eksportir. Satu original copy ditahan oleh importer sebagai
dokumen asli transaksi yang lazim disebut sebagai sale’s confirmation.
Kedua sale’s confirmation copy yang asli ini mempunyai kekuatan
hukum yang sama.
b) Letter of Credit Opening Process
1. Importir meminta kepada bank devisanya untuk membuka sebuah
Letter of Credit (L/C) sebagai dana yang dipersiapkan untuk melunasi
hutangnya kepada eksportir, sejumlah yang disepakati dalam sale’s
contract dan sesuai dengan syarat-syarat pencairan yang disebut dalam
sale’s contract dan merajuk pada ketentuan dari The Uniform Customs
and Practice of Document Letter of Credit dari kamar Dagang
Internasional. Paris no. 500 atau UPC-DC-500. L/C yang dibuka
adalah untuk dan atas nama eksportir atau orang atau badan usaha lain
yang ditentukan eksportir, sesuai kesepakatan dalam sale’s contract.
Bank devisa yang diminta importir membuka L/C itu disebut opening
bank. Opening bank inilah yang bertanggung jawab melakuakan
pembayaran atas L/C itu kepada eksportir penerima L/C. Importir yang
meminta pembukaan L/C disebut aplicant.
2. Opening bank setelah menyelesaikan jaminan dana L/C dengan
importir, melakuakan pembukaan L/C melalui bank korespondennya di
negara eksportir. Pembukaan L/C dilakukan dengan surat, kawat,
teleks, faksimili, atau media elektronik lainnya yang sah. Penegasan
pembukaan L/C dalam bentuk tertulis itu disebut L/C confirmation
yang diteruskan oleh opening bank kepada bank korespondennya
untuk disampaikan kepada penerima, yaitu eksportir yang disebut
dalam surat itu. Bank koresponden yang diminta opening bank untuk
menyampaikan amanat pembukaan L/C disebut advising bank.
3. Advising bank setelah menelitu keabsahan amanat pembukaan L/C
yang diterimanya dari opening bank meneruskan amanat pembukaan
L/C itu kepada eksportir yang berhak menerima dengan surat
pengantar dari advising bank. Surat pengantar itu disabut L/C Advise,
sedangkan eksportir penerima L/C disebut beneficiery dari L/C itu.
Bila advising bank diminta dengan tertulis oleh opening bank untuk
turut menjamin pembayaran atas L/C tersebut, maka advising bank
juga disebut sebagai confirming bank.
c) Cargo Shipment Process
1. Eksportir setelah menerima L/C confirmation yang sifatnya operatif
(sah sebagai landasan pembayaran) kemudian mempersiapkan barang
ready for export, melakukan booking atau memesan ruangan/tempat
kepada perusahaan pelayaran (shipping company) yang kapalnya akan
berangkat ke pelabuhan tujuan yang dimaksud dalam sale’s contract
serta sesuai dengan waktu pengapalan (shipment date) yang disepakati
dalam sale’s contract tersebut. Eksportir kemudian mengurus
formalitas ekspor seperti mengisi pemberitahuan ekspor barang,
membayar Pajak Ekspor (PE) dan Pajak Ekspor Tambahan (PET)
melalui advising bank, mengurus izin muat kepada Kantor Inspeksi
Bea dan Cukai di pelabuahan muat. Setelah semua formalitas ekspor
selesai, eksportir menyerahkan barang kepada perusahaan pelayaran
selesai, eksportir menyerahkan barang kepada perusahaan pelayaran
(shipping company)
2. Shipping company, setelah selesai melakukan pemuatan barang ke atas
kapal, menyerahkan bukti penerimaan barang, bukti kontrak angkutan,
dan bukti pemilikan barang dalam bentuk Bill of Lading atau transport
document lainnya kepada eksportir yang dalam pengangkutan ini
disebut shipper.
3. Shipping company selanjutnya bertanggung jawab mengangkut muatan
itu sampai ke pelabuhan tujuan, serta menyerahkannya dengan selamat
dan utuh kepada penerima barang yang disebut dalam B/L di
pelabuhan tujuan (destination port) yang juga disebutkan dalam B/L
itu.
4. Importir selaku penerima barang (consignee), bila telah menerima
dokumen pengapalan (shipping document) dari opening bank,
mengurus izin impor (import clearance) kepada pihak Bea Cukai di
pelabuhan tujuan. Kemudian importir menghubungi agen pelayaran
(shipping agent) di pelabuhan tujuan di negaranya untuk menerima
muatan itu.
5. Shipping agent menyerahkan muatan kepada importir segara setelah
pelunasan biaya yang menjadi hak shipping agent bersangkutan.
Dengan ini maka selesailah proses penerimaan barang oleh importir.
d) Shipping Documents Negotiation Process
1. Eksportir, setelah menerima Bill of Lading dari perusahaan pelayaran,
menyiapkan semua dokumen pengapalan yang disyaratkan dalam letter
of Credit seperti faktur, daftar pengepakan, sertifikasi mutu, Surat
Keterangan negara Asal (SKA) dan lain sebagainya seperti wessel
(draft) serta surat pengantar negosiasi dokumen secara lengkap dan
cermat. Semua dokumen pengapalan itu diserahkan eksportir kepada
negotiation bank yang ditentukan dalam L/C untuk memperoleh
pembayaran (payment).
2. Negotiating
bank
meneliti
dengan
seksama
semua
dokumen
pengapalan yang diminta dalam syarat-syarat L/C. Bila semua cocok
baik jumlah, jenis, maupun uraian sebagaimana yang dituntut oleh
L/C, maka negotiating bank akan membayarkan sejumlah yang ditagih
oleh eksportir dari dana L/C yang tersedia.
3. Negotiating bank meneruskan dokumen pengapalan yang sudah
dilunasi itu kepada opening bank yang membuka L/C bersangkutan
sebagai penagihan kembali uang yang sudah dibayarkan oleh
negotiating bank tersebut kepada eksportir.
4. Opening
bank
memeriksa
dengan
seksama
semua
dokumen
pengapalan itu dan bila ternyata sesuai dengan syarat-syarat L/C yang
dibuka maka opening bank kemudian melunasi uang yang sudah
dibayarkan oleh negotiating bank. Pembayaran pelunasan kembali ini
disebut sebagai reimbursement.
5. Opening bank selanjutnya memberitahukan penerimaan dokumen
pengapalan itu kepada importir. Importir akan mengambil dokumen
pengapalan itu kepada opening bank dan menyelesaikan pelunasan
dokumen pengapalan tersebut dengan opening bank bersangkutan.
Setelah itu opening bank akan menyerahkan seluruh dokumen
pengapalan itu kepada importir untuk dipergunakan menerima barang
bersangkutan dari perusahaan pelayaran dan Bea Cukai setempa
(Amir, 2003).
B. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Ekspor
1. Impor
Impor adalah memasukkan barang-barang dari luar negeri sesuai
dengan ketentuan pemerintah ke dalam peredaran dalam masyarakat yang
di bayar dengan menggunakan valuta asing. Salah satu tujuan kegiatan
impor adalah memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang
dengan cara mendatangkan barang yang belum tersedia di dalam negeri
dari luar negeri. Sebelum berlakunya Undang-undang Penanaman Modal
Asing (UU No. 1/1967) dan Undang-undang Penanaman Modal dalam
Negeri (UU No.6/1968) maka pola impor Indonesia berturut-turut terdiri
dari barang konsumsi, bahan baku dan barulah disusul barang modal.
Setelah berlakunya undang-undang tentang PMA dan PMDN di
atas maka pola impor Indonesia telah mengalami perubahan menjadi
berturut-turut terdiri dari barang modal, bahan baku dan di susul dengan
barang konsumsi (Amir M.S, 2003).
Impor
pembangunan.
Indonesia
meningkat
pengembangan
sejalan
kapasitas
dengan
produksi
peningkatan
dalam
negeri
memerlukan impor barang-barang modal yang belum dapat diproduksi di
dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu pembangunan proyek-proyek
prasarana yang di perlukan untuk mendukung kapasitas produksi dalam
negeri yang semakin berkembang juga memerlukan impor.
Impor berdasarkan golongan barang terdiri dari barang
modal, barang konsumsi, dan bahan baku/penolong. Impor yang
khususnya bahan modal, barang konsumsi, dan bahan baku akan
mendorong peningkatan ekspor non migas Indonesia. Beberapa produk
ekspor
masih
memiliki
kandungan
impor
yang
cukup
tinggi.
Perkembangan impor mencerminkan struktur produksi dalam negeri yang
berkembang pesat. Pada tahun 1986/1987 kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi telah dapat mendorong ekspor non migas yang berkembang
dengan pesat. Peningkatan ekspor non migas ini mengakibatkan impor
bahan baku/ penolong meningkat selanjutnya untuk menambah kapasitas
produksi, impor barang-barang modal meningkat pula (Jamli, 1992).
2. Kurs (Exchange Rate)
Kurs adalah perbandingan nilai atau harga antara mata uang sendiri
dengan mata uang negara asing, atau disebut dengan exchange rate. Kurs
(nilai tukar) tergantung dari sistem kurs dan sifat pasar yang
diterapkansuatu negara. Jika sistem kurs yang dianut adalah kurs bebas
maka kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan
permintaandan penawaran. Jika misalnya dollar banyak diminta (karena
impor meningkat)maka harga dollar akan naik. Kenaikan harga dollar akan
mengakibatkan permintaan dollar turun dan impor cenderung turun karena
mahal. Sebaliknya ekspor akan meningkat (terutama yang kandungan
impornya rendah) karena didorong oleh nilai dollar yang tinggi sehingga
menguntungkan (Nopirin; 1987).
Pada teori Purchasing Power Parity (PPP), dasar teorinya bahwa,
perbandingan nilai satu mata uanglain ditentukan oleh daya beli uang
tersebut terhadap komoditi (bareng dan jasa) pada masing-masing negara.
Terdapat dua versi dalam teori PPP yaitu: 1) Teori Purchasing Power
Parity Interpretasi Absolut, teori ini pada dasarnya bahwa perbandingan
nilai satu mata uang dengan mata uang negara lain (kurs) ditentukan oleh
tingkat harga pada masing-masing negara. 2) Teori Purchasing Power
Parity Arti
Relatif,
maksudnya
adalah bahwa PPP
kurs
yang
perhitungannya didasarkan pada perubahan harga. Bila terjadi perubahan
harga di kedua negara, maka kurs tersebut harus mengalami perubahan
juga (Amalia, 2007). PPP menyatakan bahwa semua tingkat harga dari
seluruh negara sama besarnya bila diukur dalam satuan mata uang sama
(Krugman, 1991). Jika kurs yang dipakai adalah stabilisasi kurs (kurs
yang distabilkan), maka pemerintah dapat melakukan intervensi pasar
dengan cara sebagai berikut: apabila tendensi kurs valuta asing akan naik
(nilai mata uang sendiri turun relative terhadap valuta asing) maka
pemerintah akan menjual valuta asing di pasar. Dengan tambahnya
penawaran valuta asing tersebut maka tendensi kurs untuk naik dapat
dicegah, dan sebaliknya.
Kegiatan ekonomi da Kebijakan Pemerintah (fiskal dan moneter)
yang mempengaruhi pendapatan, harga dan bunga akan berpengaruh
terhadap kurs. Disamping faktor-faktor ekonomi, kurs valuta asing juga
dipengaruhi oleh faktor non ekonomi seperti faktor politis dan psikologi
baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar.
Kurs memiliki efek positif terhadap ekspor. Semakin tinggi nilai
kurs maka menyebabkan harga produk ekspor menjadi semakin murah
dimata buyer luar negeri. Misalnya: kurs dari 1$ = Rp 2.500 menjadi 1$ =
Rp 10.000. Jika kita menjual produk dengan harga Rp 1.000.000,
sebelumnya buyer harus membayar 400$ maka setelah nilai kurs naik,
buyer cukup membayar Rp 1.000.000 dengan 100$ adanay haraga yang
semakin murah diminta buyer inilah yang menyebabkan permintaan akan
naik yang selanjutnya ekspor akan meningkat. Dari sisi eksportir, naiknya
inilah kurs (nilai mata uang sendir turun relative terhadap valuta asing)
akan mendorong peningkatan produksi akibat keuntungan yang semakin
meningkat. Harga jual ekspor biasanya ditetapkan dalam dollar, sehingga
jika eksportir penjual produk dengan harga 400$, jika 1$ = Rp 2.500 maka
akan menerima Rp 1.000.000, maka jika nilai rupiah merosot menjadi 1$ =
Rp 10.000, dengan harga yang tetap (400$) maka eksportir akan menerima
pembayaran dalam rupiah sebesar Rp 4.000.000.
Intinya, dengan menurunnya nilai rupiah terhadap dollar maka
ekspor akan meningkat karena baik dilihat dari eksportir dan importir
sama-sama memperoleh keuntungan. Bagi eksportir akan menerima rupiah
yang lebih besar sementara bagi importir harga ekspor menjadi lebih
murah (dalam Dollar). Semua kondisi tersebut berlangsung dengan asumsi
menurunnya nilai tukar rupiah tidak diikuti oleh inflasi dalam negeri yang
lebih besar.
3. Inflasi
Definisi singkat inflasi adalah kecenderungan harga-harga untuk
menaik secara umum dan terus-menerus. Berdasarkan sebab awal
terjadinya, inflasi dibedakan menjadi dua yakni:
a) Demand-pull Inflation, adalah inflasi yang timbul karena kenikan
permintaan total (aggregate demand) yang menyebabkan kenaikan harga
dan juga menaikkan hasil produksi (output) dengan asumsi perekonomian
belum mencapai full employment. Pada inflasi jenis ini, kenaikan harga
barang akhir (output) mendahului kenaikan harga barang-barang input dan
harga-harga faktor produksi (upah dan sebagainnya)
b) Cost-push Inflation, adalah inflasi yang timbul karena kenaikan biaya
produksi. Kenaikan biaya produksi akan menyebabkan produksi turun dan
penawaran total (aggregate supply) berkurang yang pada akhirnya akan
menyebabkan kenaikan harga. Kenaikan biaya produksi dapat berasal dari
kenaikan harga bahan baku industri, perjuangan seriakat buruh yang
berhasil menuntut kenaikan upah dan lain-lain. Kenaiakan biaya produksi
pada gilirannya akan menaikan harga dan turunnya produksi. Jadi, pada
jenis inflasi ini kenaiakn harga barang akhir (output) mengikuti kenaikan
harga-harga barang input/ faktor produksi (Boediono; 1995)
Efek inflasi terhadap output dapat positip maupun negatif. Inflasi
dapat menyebabakan terjadinya kenaikan produksi karena kenaiakn harga
output mendahului harga input/ faktor produksi sehingga keuntungan
produksi naik, kenaikan keuntungan akan merangsang peningkatan
produksi. Kondisi tersebut dapat terjadi sepanjang inflasi masih dapat
ditolerir (inflasi dibawah satu digit). Namun bila laju inflasi cukup tinggi
(hyper inflation), menyebabkan nilai uang riil turun dengan drastis dan
jika diikuti dengan naiknya biaya produksi maka akan berakibat pada
penurunan produksi (output).
Inflasi di dalam negari yang tidak dibarengi dengan tingkat jumlah
uang beredar yang meningkat menyebabkan penawaran uang riil
berkurang sehingga suku bunga akan naik akan naik yang menyebabkan
investasi akan turun. Jika suku bunga naik diikuti oleh naiknya biayabiaya produksi yang lain, seperti upah dan sebagainya maka produksi akan
mengalami penurunan.
4. Produk Domestik Bruto per Kapita
Menurut Edgmand E Michael (1979) bahwa fluktuasi perdagangan
internasional (ekspor-impor) salah satunya dipengaruhi oleh Produk
Domestik Bruto (PDB) per kapita negara pengimpor. Dari negara importir,
peningkatan pendapatan per kapita akan mendorong meningkatnya
permintaan terhadap produk impor (berarti ekspor meningkat jika dilihat
dari negara pengekspor).
Terdapat hubungan positif antara peningkatan PDB per kapita
negara lain dengan ekspor dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi negaranegara di dunia yang semakin tinggi menyebabkan permintaan akan
barang dan jasa juga semakin meningkat. Berubahnya pendapatan luar
negeri dengan sendirinya akan menyebabkan berubahnya permintaan
barang ekspor dalam negeri / income inelasticity of demand. Namun
demikian, untuk komoditi yang termasuk inferior goods, maka kenaikan
pendapat per kapita negara-negara tujuan ekspor justru akan mengurangi
permintaan impor mereka. Dengan kata lain terdapat pengaruh negatif
antara peningkatan pendapatan per kapita negara lain dengan ekspor dalam
negeri (Sobri; 2001).
C. Penelitian Terdahulu
1. Ahmad Adi Nugroho, penelitian ini berjudul Analisis Ekspor Non Migas
Indonesia (2000-2004). Variable X yaitu pendapatan per kapita negara
tujuan, Cadangan devisa negara tujuan ekspor, jarak geografi. Sedangkan
variable Y yaitu ekspor non migas. Teknik pengumpulan data
menggunakan data sekunder. Dari hasil analisis regresi didapat:
pendapatan perkapita negara tujuan berpengaruh positif dan signifikan,
cadangan devisa negara tujuan ekspor berpengaruh positif dan signifikan,
jarak geografi menunjukan nilai koefisien negatif.
2. Yito Lestiyono, penelitian ini berjudul Analisis Pengaruh Kurs, Inflasi,
dan Impor Terhadap Ekspor Non Migas Indonesia tahun 2002-2007.
Variable X yaitu kurs, inflasi dan impor. Sedangkan variable Y yaitu
ekspor non migas Indonesia. Teknik pengumpulan datanya menggunakan
data sekunder. Dari hasil regresi didapat: variable kurs tidak berpengaruh
terhadap ekspor non migas Indonesia, variable inflasi tidak berpengaruh
terhadap ekspor non migas Indonesia, variable impor berpengaruh positif
terhadap ekspor non migas Indonesia.
3. Sekar Ayu Widyawati, penelitian ini berjudul Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Permintaan Ekspor Kakao Indonesia ke Amerika Serikat
tahun 1990-2007. Variable X yaitu GDP negara pengimpor, harga
domestik kakao, harga internasional kakao, harga internasional gula, harga
internasional soybean oil, sedangkan variable Y yaitu ekspor kakao. Hasil
regresi didapat: GDP negara pengimpor (AS) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia ke AS. Harga domestik kakao
berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ekspor kakao Idonesia
ke AS. Harga internasional kakao perpengaru positif dan signifikan
terhadap ekspor kakao Indonesia ke AS. Harga internasional gula memiliki
pengaruh yang tidak signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia ke AS.
Harga internasional soybean oil memiliki pengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia ke AS.
4. Andriyanto,
penelitian
ini
berjudul
Analisis
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi Ekspor Komoditi Utama Industri Kreatif Indonesia ke
Lima Negara Tujuan Ekspor Utama. Variable X yaitu: cadangan devisa
lima negara tujuan ekspor utama, GDP lima negara tujuan ekspor utama ,
kurs lima negara tujuan ekspor. Variable Y yaitu ekspor komoditi utama
industri kreatif Indonesia. Hasil regresi di dapat: perubahan cadangan
devisa lima negara tujuan ekspor utama berpengaruh positif terhadap
perubahan ekspor komoditi utama industri kreatif Indonesia, perubahan
GDP lima negara tujuan ekspor utama berpengaruh positif terhadap
perubahan ekspor komoditi utama industri kreatif Indonesia, perubahan
kurs mata uang lima negara tujuan ekspor utama berpengaruh positif
terhadap perubahan ekspor komoditi utama industri kreatif Indonesia.
5. M. Ridwan dan Wildan Syafitri, penelitian ini berjudul Analisis Faktorfaktor Penentu Perkembangan Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Jepang.
Dari hasil regresi di dapat: perkembangan
penawaran ekapor produk
industri kayu lapis dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh
perubahan variable harga ekspor, harga dalam negeri, kapasitas produksi
dalam negeri, sedangkan harga harga dalam negeri berpengaruh negatif,
telah mendorong meningkatnya penawaran ekspor produk industri
manufaktur Indonesia secara berarti. Sementara fluktuasi nilai tukar riiil
Rupiah terhadap Dollar AS tidak berpengaruh signifikan. Dari sisi
permintaan dapat disimpulkan bahwa fluktuasi variable harga ekspor,
harga kayu lapis di Jepang dan pendapatan negara Jepang berpengaruh
positif dan signifikan terhadap perkembangan permintaan ekspor produk
manufaktur Indonesia. Sementara nilai tukar yen Jepang terhadap Dollar
AS tidak berpengaruh signifikan. Tidak signifikannya pengaruh nilai tukar
Yen terhadap Dollar AS diperkirakan karena dua faktor berikut: a.
Melemahnya karena daya saing produk ekspor kayu lapis Indonesia
dibandingkan di pasar internasional; b. Tidak banyak produk ekspor kayu
lapis yang di ekspor ke Jepang. Hal ini menyebabkan, apresiasi Yen
terhadap Dollar AS tidak banyak mempengaruhi perkembangan nilai total
ekspor produk industri manufaktur Indonesia.
D. Kerangka Pemikiran
Perdagangan mempunyai arti khusus dalam ilmu ekonomi.
Perdagangan diartikan sebagai proses tukar menukar yang di dasarkan atas
kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Pertukaran yang terjadi karena
paksaan, ancaman dan sebagainya tidak termasuk dalam arti perdagangan
yang dimaksud di sini. Masing-masing pihak harus mempunyai kebebasan
untuk menukar untung rugi pertukaran tersebut dari sudut kepentingan
masing-masing. (Nopirin, 1995)
Dalam memenuhi pencapaian tujuan dari perdagangan harus
memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi dari tujuan perdagangan
diantaranya yaitu; impor, kurs, inflasi, pendapatan per kapita negara tujuan
yaitu Jepang.
Impor khususnya yang berupa bahan baku, bahan penolong dan
barang modal akan mendorong peningkatan ekspor. Beberapa produk ekspor
Indonesia masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi. Naiknya
inflasi di dalam negari akan menyebabkan suku bunga naik dan biaya produksi
juga naik sehingga akan mengurangi produksi dan ekspor menurun. Kurs
miliki efek positif terhadap ekspor, semakin tinggi nilai kurs (nilai mata uang
sendiri turun relatif terhadap valuta asing) maka ekspor menjadi murah (dalam
dollar) bagi buyer, sedangkan bagi eksportir akan menerima Rp lebih besar
sehingga akan mendorong peningkatan ekspor. Pendapatan domestik bruto
perkapita negara tujuan ekspor merupakan faktor eksternal yang akan
mempengaruhi ekspor Indonesia. Semakin tinggi PDB perkapita pertumbuhan
ekonomi negara tujuan ekspor maka permintaan terhadap produk-produk
ekspor Indonesia akan meningkat.
Secara sistematis kerangka pemikiran diatas dapat disimpulkan:
1.
2.
3.
4.
Impor
Kurs
Inflasi
Pendapatan per
kapita negara
tujuan yaitu
Jepang
Ekspor non-migas
Indonesia ke
Jepang
E. Hipotesis.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diperkirakan impor, inflasi, kurs dan pendapatan per kapita Jepang
berpengaruh terhadap ekspor non miga Indonesia.
2. Diperkirakan impor merupakan faktor yang paling dominan terhadap
ekspor non migas Indonesia.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan studi mengenai analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi ekspor non migas Indonesia periode tahun 19862008. Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan input data tahun 19862008 beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya (kurs, impor, inflasi
dan pendapatan per kapita Jepang).
B. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
data time series dari tahun 1986-2008, yaitu data-data seperti: ekspor
non migas, kurs, impor, inflasi, dan pendapatan per kapita Amerika
Serikat.
b. Sumber data
Sumber data realisasi ekspor non migas, kurs, impor, dan pendapatan
per kapita Amerika Serikat yang diperoleh dari Bank Indonesia, Badan
Pusat Statistik maupun dalam hal ini data yang di akses melalui
internet.
C. Devinisi Variabel Operasional
Definisi ini diberikan agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran
terhadap suatu variabel yang ada. Variabel-variabel tersebut, yaitu:
a. Variabel Dependen
Ekspor non migas
Ekspor non migas adalah ekspor produk-produk selain minyak dan
gas bumi. Variable ini diukur dengan menjumlahkan seluruh nilai
ekspor komoditi non migas Indonesia selama satu tahun dalam US$,
dengan pencatatan ekspor mengunakan syarat FOB (free on board).
b. Variabel Independen
a. Impor
Impor adalah memasukkan barang dari luar negeri sesuai dengan
ketentuan pemerintah. Variable ini diukur dengan menjumlahkan
seluruh nilai impor Indonesia selama satu tahun, dinyatakan dalam
US$. Komoditi impor terdiri barang konsumsi, bahan baku penolong
dan barang modal.
b. Nilai tukar (Kurs)
Nilai tukar (kurs) adalah perbandingan antara mata uang dalam
negeri dengan mata uang luar negeri. Kurs yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah kurs US$ terhadap Yen. US$ dipilih penulis
karena US$ merupakan hard currency yang paling stabil dan paling
diakui sebagai mata uang untuk transaksi internasional oleh semua
negara.
c. Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum
dan terus menerus dalam satu periode, yang diukur dengan indeks
harga konsumen (IHK). Data inflasi dihitung dari inflasi tahunan di
Indonesia dinyatakan dalam persen.
d. Pendapatan per kapita/GDP per kapita Negara tujuan yaitu Jepang
(YJPNG)
GDP per kapita adalah nilai seluruh produk barang dan jasa yang
diproduksi dalam suatu perekonomian dalam waktu 1 tahun dibagi
jumlah penduduk di negara tersebut. PDB per kapita Jepang diambil
dari International Monetery Fund (IMF), dinyatakan dalam juta US$.
D. Metode Pengumpulan Data
Dikarenakan data yang digunakan adalah data sekunder, yang
sebelumnya telah tersedia di dinas/instansi yang terkait maka metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan
studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencari dan
membaca literatur yang relevan dan berkaitan dengan penelitian skripsi.
Relevansi didasarkan pada data yang telah disajikan oleh institusi yang
bersangkutan dan telah teruji secara empiris, misalnya data yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia dan data
dari International Monetary Funds (IMF).
E. Metode Analisis Data
Model analisis yang digunakan untuk membuktikan hipotesis
penelitian yaitu mengetahui bagaimanakah pengaruh antara kurs, impor,
inflasi dan pendapatan per kapita Amerika Serikat terhadap ekspor non
migas Indonesia ke Jepang. Jadi analisis data-data tersebut dapat
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor non
migas dengan melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen pada periode tersebut.
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan dan
pengaruh antar variabel berupa pendekatan teori ekonomi, teori statistik,
dan teori ekonometrika. Model alat analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model ekonometrika. Pengolahan data di lakukan
dengan program Econometric Views (E-Views).
Model Regresi yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
EKSPORit   0  1 IMPORit   2 KURSit   3 INFLASI it   4YJEPANG it   it
1. Uji statistik
Proses analisa yang akan dilakukan melalui pengujian variabelvariabel independen yang meliputi uji t (uji individual), uji F (uji bersamasama), dan uji R² (uji koefisien determinasi).
a. Uji t (uji secara individu)
Uji t ini merupakan pengujian variabel-variabel secara individu,
dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh masing-masing
variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen, dengan
beranggapan variabel independen lain tetap / konstan. Langkah-langkah
pengujian t test adalah sebagai berikut (Gujarati, 1995)
i. Menentukan hipotesisnya
a) H : 1  0
Berarti suatu variabel independen secara individu tidak
berpengaruh terhadap variabel dependent.
b) Ho : 1  0
Berarti suatu variabel independen secara individu berpengaruh
terhadap variabel dependen.
ii. Melakukan perhitungan nilai t sebagai berikut:
a) Nilai t table = t  / 2 ; N  K …………………………….... (3.1)
Keterangan:
 : derajat signifikansi
N : jumlah sample (banyaknya observasi)
K : banyaknya parameter
b) Nilai t hit =
i
……………………………………… (3.2)
Se ( i )
Keterangan:
i
: koefisien regresi
Se ( i ) : standar error koefisien regresi
iii. Kriteria pengujian
Gambar 3.1 Daerah Kritis Uji t
Ho ditolak
 t/2; N  K
Ho diterima
Ho ditolak
t/2; N  K
iv. Kesimpulan
a.
Apabila nilai – t table < t hit < t table, maka Ho diterima.
Artinya variabel Independen tidak berpengaruh terhadap
variabel dependen secara signifikan.
b.
Apabia nilai t hit > +t table atau t hit < -t table, maka Ho
ditolak.
Artinya variabel independen mampu mempengaruhi variabel
dependen secara signifikan.
b. Uji f (Uji bersama-sama)
Uji f ini merupakan pengujian bersama-sama variabel independen
yang dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen secara
bersama-sama terhadap variabel dependen secara signifikan. Langkahlangkah pengujian adalah sebagai berikut (Gujarati, 1995) :
i.
Menentukan Hipotesis
a) Ho : 1   2  3   4  0
Berarti, semua variabel independen secara individu tidak
berpengaruh terhadap variabel dependen.
b) Ho : 1   2  3   4  0
Berarti, semua variabel independen secara individu berpengaruh
terhadap variabel dependen.
ii.
Melakukan perhitungan nilai F sebagai berikut:
a) Nilai F table = F ; K  1; N  K ………………………… (3.3)
Keterangan:
N : jumlah sample / data
K : banyaknya parameter
b) Nilai F hitung =
R 2 /( K  1)
……………………….. (3.4)
(1  R 2 )( N  K )
Keterangan :
R 2 : Koefisien determinasi
N : jumlah observasi/ sample
K : banyaknya variabel.
iii. Kriteria pengujian
Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F
Ho diterima
Ho ditolak
F ( ; K  1; N  k )
iv. Kesimpulan
a) Apabila nilai F hit < F table, maka Ho diterima dan Ha ditolak,
artinya variabel independen secara bersama-sama tidak
berpengaruh terhadap variabel dependen secara signifikan.
b) Apabila nilai F hit > F table, maka Ho ditolak dan Ha diterima,
artinya variabel independen secara bersama-sama berpengaruh
terhadap variabel dependen secara signifikan.
c. Uji R² (Uji koefisien determinasi)
Nilai R 2 untuk mengetahui berapa persen variasi variabel
dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Uji ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat ketepatan yang paling baik dalam analisis
regresi, yang ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi ( R 2 ) antara
nol dan satu (0 < R 2 < 1). Jika koefisien determinasi 0, artinya variabel
independen tidak mempengaruhi variabel dependen, atau dengan kata lain
model tersebut tidak menjelaskan sedikitpun variasi dalam variabel tidak
bebas. Sedangkan koefisien determinan mendekati 1, artinya variabel
independen semakin mepengaruhi variabel dependen, atau dengan kata
lain model dikatakan lebih baik apabila koefisien determinasinya
mendekati 1.
2. Uji Asumsi Klasik
a. Multikolinieritas
Multikolinieritas merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya
lebih dari satu hubungan linier pasti antara beberapa / semua variabel
independen dari model regresi (Gujarati, 1995). Salah satu asumsi model
klasik yang menjelaskan ada tidaknya hubungan antara beberapa / semua
variabel dalam model regresi. Jika dalam model terdapat multikolinier,
maka model tersebut memiliki kesalahan standar yang besar sehingga
koefisien tidak dapat diukur dengan ketepatan tinggi.
Salah satu metode untuk mengetahui ada tidaknya multikolinier
adalah menggunakan pengujian dengan metode Klein. Metode ini
membandingkan nilai korelasi setiap variabel penjelas ( r 2 xi, xj) dengan
nilai koefisien determinasi ( R 2 y, xi, xj,… xn). Jika R 2 y, xi, xj,…xn <
r 2 xi, xj, maka terjadi masalah multikolinier dalam model, sedangkan jika
danilai R 2 y, xi, xj,…xn > r 2 xi, xj. Maka tidak terjadi masalah
multikolinear.
Cara lain untuk mengetahui ada tidaknya multikolinier adalah
menggunakan pengujian dengan pendekatan Koutsoyiannis. Metode ini
dikembangkan oleh Koutsoyiannis (1977) menggunakan metode cobacoba dalam memasukkan variabel bebas. Dari hasil coba-coba tersebut,
selanjutnya akan diklasifikasikan dalam 3 macam (Aisyah, 2007), yaitu :
1) suatu variabel bebas dikatakan berguna
2) suatu variabel bebas dikatakan tidak berguna
3) suatu variabel bebas dikatakan merusak
b. Heteroskedastisitas
Asumsi dari model regresi linier klasik adalah kesalahan
penggangu mempunyai variasi yang sama. Apabila asumsi tersebut tidak
terpenuhi maka akan terjadi heteroskedastisitas, yaitu suatu keadaan
dimana variasi dari kesalahan penggangu tidak sama untuk semua nilai
variabel bebas. Terdapat beberapa metode yang dipergunakan untuk
mendeteksi heteroskedastisitas dalam model empiris yaitu Uji Park, Uji
Glejser, Uji white, Uji LM ARCH dan Uji Breusch Pagan – Godfeg.
Pengujian heteroskedastisitas dalam penelitian ini akan menggunakan uji
White. Kriteria pengujian dengan membandingkan nilai Obs*R-squared <
x2 tabel, maka tidak signifikan, berarti bahwa tidak terjadi masalah
heteroskedatisitas. Sebaiknya jika Obs*R-squared > x2 tabel maka
signifikan, berarti bahwa terjadi masalah heteroskedatisitas.
c. Autokorelasi
Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana kesalahan variabel
penggangu pada suatu periode tertentu berkorelasi dengan kesalahan
penggangu periode lain. Asumsi ini untuk menegaskan bahwa nilai
variabel dependen hanya diterangkan (secara sistematis) oleh variabel
independen dan bukan oleh variabel gangguan (Gujarati, 1995).
Pada penelitian ini digunakan dua metode untuk menilai apakah
dalam model tersebut terdapat masalah autokorelasi atau tidak, yaitu
metode Durbin-Watson test dan B-G test.
Gambar 3.3 Daerah Ho Diterima dan Ditolak uji Autokorelasi
(Durbin-Watson)
RaguRagu
Raguragu
AutokoreLasi (+)
0
dl
Tidak ada
Autokorelasi
du
2
Autokorelasi (-)
4-du
4-dl
Hipotesis untuk menguji ada tidaknya autokorelasi adalah :
Ho : tidak ada serial autokorelasi baik positif maupun negative.
4
Untuk menguji hipotesis nol tidak ada autokorelasi, terdapat table
Durbin-Watson (DW), dengan criteria hasil perhitungan DW statistic
dibandingkan dengan table (DW), sebagai berikut:
Jika d < dL = Menolak Ho
Jika du < d < 4-du = tidak menolak Ho
Jika dL ≤ d ≤ du atau 4-du ≤ d ≤ 4-dL = pengujian tidak meyakinkan
(inconclusive)
Pengujian lain dapat dilakukan dengan metode Breusch-Godfrey
(BG) Test, dengan kriteria pengujian sebagai berikut jika BG(n-p)*R2 < x2
tabel, maka tidak signifikan, berarti bahwa tidak terjadi masalah
autokorelasi. Disamping itu juga dapat kita lihat dari probabilitasnya, jika
probabilitas >
= 0,05, maka model terhindar dari masalah autokorelasi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Variabel
1. Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang
Salah satu sektor penting ekonomi yang memiliki peran untuk menunjang
pembangunan ekonomi Indonesia adalah perdagangan luar negeri yaitu ekspor
dan impor. Dari kegiatan ekspor diperoleh devisa, sedangkan dari impor akan
diperoleh bahan baku dan barang modal yang diperlukan untuk pembangunan.
Pada tahun 1982 harga minyak turun sehingga pendapatan negara dari sektor
ekspor migas menurun. Ini memicu pemerintah mencari alternatif sebagai
pengganti
ekspor
migas
yang
terus
merosot.
Salah
satunya
adalah
mengembangkan dan meningkatkan ekspor non migas. Jepang merupakan negara
tujuan utama ekspor non migas Indonesia
Pada tabel 4.1 dibawah menjelaskan bahwa perkembangan ekspor non
migas ke Jepang selama tahun 1986-2008 cenderung meningkat. Pertumbuhan
ekspor terbesar pada tahun 1986 yaitu sebesar 1230.435 juta US$. Dan terus
meningkat dan pada tahun 1990 menjadi 3179.995 juta US$. Dan meningkat lagi
pada tahun 2000 menjadi 7554.988 juta US$. Ekspor non migas Indonesia terus
meningkat dan pada tahun 2008 nilai ekspor non migas sebasar 13323.399 juta
US$.
Tabel 4.1 Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang dari Tahun
1986-2008 (juta US$).
Tahun Ekspor
Perkembangan
1230.43
-1986
1843.88
33.27
1987
2689.16
31.43
1988
3633.14
25.98
1989
3179.99
-14.25
1990
3678.48
13.55
1991
3978.52
7.54
1992
5077.96
21.65
1993
5711.35
11.09
1994
6861.02
16.76
1995
7128.92
3.76
1996
7014.52
-1.63
1997
5963.70
-17.62
1998
5790.52
-2.99
1999
7554.98
23.35
2000
6691.72
-12.90
2001
6349.30
-5.39
2002
6720.72
5.53
2003
8238.69
18.42
2004
9744.02
15.45
2005
12178.60
19.99
2006
13287.15
90.83
2007
13323.39
0.27
2008
Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, data diolah.
Sejak tahun 2003 ekspor non migas Indonesia ke Jepang menunjukkan
trend yang positif. Walaupun memiliki trend yang positif tetapi permasalahan
yang terkait langsung dengan ekspor non migas Indonesia antara lain pasarnya
yang sempit. Meskipun Indonesia memiliki banyak sumber daya alam dan jumlah
tenaga kerja yang melimpah, yang merupakan faktor utama keunggulan
komparatif namun ekspor non migas Indonesia pada hal-hal berikut: a) empat
produk ekspor antara lain: furniture, pakaian jadi, kayu lapis dan produk tekstil
yang mempunyai pangsa pangsa pasar 50% dari ekspor total non migas, dimana
bahan baku serta ketergantungan impor masih merupakan kendala yang harus
diantisipasi. b) banyak produk-produk manufaktur yang padat karya yang terpilih
sebagai ekspor unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia
sebagai akibat persaingan yang semakin ketat, terutama dari Cina dan negara
produsen lainnya di Asia yang menghasilkan barang yang sama dengan biaya
produksi lebih murah.
2. Perkembangan Impor dari Jepang
Impor Indonesia meningkat sejalan dengan peningkatan pembangunan.
pengembangan kapasitas produksi dalam negeri memerlukan impor barang-barang
modal yang belum dapat diproduksi di dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu
pembangunan proyek-proyek prasarana yang di perlukan untuk mendukung
kapasitas produksi dalam negeri yang semakin berkembang juga memerlukan
impor.
Impor berdasarkan golongan barang terdiri dari barang modal, barang
konsumsi, dan bahan baku/penolong. Impor yang khususnya bahan modal, barang
konsumsi, dan bahan baku akan mendorong peningkatan ekspor non migas
Indonesia. Beberapa produk ekspor masih memiliki kandungan impor yang cukup
tinggi. Perkembangan impor mencerminkan struktur produksi dalam negeri yang
berkembang pesat. Pada tahun 1986/1987 kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi telah dapat mendorong ekspor non migas yang berkembang
dengan pesat. Peningkatan ekspor non migas ini mengakibatkan impor bahan
baku/ penolong meningkat selanjutnya untuk menambah kapasitas produksi,
impor barang-barang modal meningkat pula.
Tabel 4.2 Perkembangan Impor Indonesia dari Jepang pada Tahun 19862008 (juta USS).
Tahun Impor
Pertumbuhan
3231.88
1986
4418.26
26.85
1987
4214.07
-4.85
1988
4117.68
-2.34
1989
5451.54
24.47
1990
8387.96
35.01
1991
6365.53
-31.77
1992
7615.96
16.42
1993
8340.89
8.69
1994
8830.00
5.54
1995
7459.64
-18.37
1996
8227.24
9.33
1997
4641.43
-77.26
1998
2771.49
-67.47
1999
4979.12
44.34
2000
3622.53
-37.45
2001
4205.37
13.86
2002
4778.20
11.99
2003
8019.75
40.42
2004
10213.92
21.48
2005
9230.55
-10.65
2006
9335.44
1.12
2007
14892.46
37.31
2008
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, data diolah.
Pada tabel 4.2 menjelaskan bahwa perkembangan impor Indonesia dari
Jepang cenderung berfluktuasi. Pada tahun 1986 ekspor non migas Indonesia ke
Jepang sebesar 3231.886 juta US$. Pada tahun berikutnya terus meningkat pada
tahun 1991 ekspor non migas Indonesia ke Jepang mencapai 8387.96 juta US$.
Tahun berikutnya ekspor non migas Indonesia mulai berfluktuasi dan cenderung
menurun pada tahun 1999 impor Indonesia dari Jepang sebesar 2771.49 juta US$.
tapi pada tahun-tahun berikutnya impor cenderung meningkat pada tahun 2005
impor Indonesia dari Jepang mencapai 10213.927 US$ dan pada tahun 2008 telah
mencapai 14892.469 US$.
Berdasarkan data realisasi impor Indonesia tahun 2008, impor Indonesia
didominasi oleh bahan baku penolong (77,01%), barang modal (16,56%), dan
barang konsumsi (6,43%). Dilihat dari komoditinya, impor terbesar Indonesia
adalah mesin-mesin. Ketergantungan impor bahan baku dari penolong yang masih
sangat tinggi tersebut mengakibatkan industri dalam negari relatif rentan terhadap
gejolak ekonomi dunia yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
kelangsungan industri dalam negeri, mengingat beberapa komoditi ekspor non
migas Indonesia masih memerlukan bahan baku dan bahan penolong serta mesinmesin yang harus di impor.
3. Perkembangan Inflasi
Inflasi terutama yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Kenaikan
biaya produksi akan menyebabkan produksi turun dan penawaran total (aggregate
supply) berkurang yang pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga.
Kenaikan biaya produksi dapat berasal dari kenaikan bahan baku industri,
perjuangan serikat buruh yang berhasil menuntut kenaikan upah dan lain-lain.
Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan turunnya
produksi.
4.3 Perkembangan Inflasi Jepang dari Tahun 1980-2008 (%).
Tahun Inflasi
Pertumbuhan
-0.226
1986
0.794
128.46
1987
0.9
11.78
1988
2.676
66.37
1989
3.8
29.58
1990
2.615
-45.32
1991
1.121
-133.27
1992
1.109
-1.08
1993
0.598
-85.45
1994
-0.396
251.01
1995
0.597
166.33
1996
1.879
68.23
1997
0.583
-222.30
1998
-1.062
154.90
1999
-0.488
-117.62
2000
-1.176
58.50
2001
-0.298
-294.63
2002
-0.398
25.13
2003
0.2
299.00
2004
-0.399
150.13
2005
0.3
233.00
2006
0.699
57.08
2007
0.396
-76.52
2008
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, data diolah.
Tingkat Inflasi yang terjadi di Jepang cukup berfluktuatif tapi tetap di
angka kecil. Inflasi yang terjadi di Jepang tertinggi pada angka 2.676% pada tahun
1989. setelah tahun tersebut inflasi tidak pernah berada pada lebih dari 2.676%.
Pada tahun 1999 inflasi mencapai -1.176%.
4. Perkembangan Kurs Yen terhadap Dollar
Nilai tukar yang sering disebut kurs, mempunyai peran penting dalam
rangka tercapainya stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi.
Nilai tukar yang stabil sangat diperlukan untuk tercapainya suatu keadaan yang
kondusif bagi peningkatan kegiatan usaha. Perkembangan kurs suatu negara tidak
terlepas Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif
bagi peningkatan kegiatan dunia usaha. Perkembangan kurs suatu negara tidak
terlepas dari kebijakan yang diambil pemerintah dan juga kondisi ekonomi baik
dalam negeri maupun luar negeri. Nilai tukar suatu negara menunjukkan harga
uang negara tersebut terhadap mata negara lain. Nilai tukar mata uang suatu
negara mengalami apresiasi ketika nilai uangnya meningkat relatif terhadap nilai
mata uang negara lain.
Pada tabel 4.4 menunjukkan data kurs dari tahun 1980 sampai 2008.
Selama periode tahun tersebut cenderung mengalami fluktuasi, tapi cenderung
mengalami penguatan (apresiasi). Pada tahun 1995 kurs yen terhadap dollar
terapresiasi menjadi 94.06 yen per dollar. lonjakan kurs tertinggi terjadi pada
tahun 1995 yang semula kurs dari 94.06 yen per dollar melemah menjadi 108.78
yen per dollar. Setelah tahun tersebut kurs terus melemah dan pada tahun 1998
mencapai 130.90 yen per dollar. dari mulai itu kurs Jepang terus berfluktuasi dan
dan pada tahun 2008 mencapai 118.81 yen terhadap dollar.
Tabel 4.4 Perkembangan Kurs dari Tahun 1980-2008 (Yen).
Tahun Kurs
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Pertumbuhan
168.52
144.64
128.15
137.96
144.79
128.11
126.65
111.2
102.21
94.06
108.78
120.99
130.9
113.91
107.77
121.53
125.39
115.93
108.2
110.22
116.3
112.25
118.81
-16.51
-12.87
7.11
4.72
-13.02
-1.15
-13.89
-8.80
-8.66
13.53
10.09
7.57
-14.92
-5.70
11.32
3.08
-8.16
-7.14
1.83
5.23
-3.61
5.52
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, data diolah.
5. Perkembangan Pendapatan Perkapita Jepang
Negara tujuan ekspor non migas di bedakan menjadi dua yaitu negara
tradisional (pasar utama) dan non tradisional (pasar potensial). Negara tradisional
merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia.
Sedangkan negara non
tradisional yaitu negara-negara tujuan ekspor yang relatif baru yang memiliki
pertumbuhan impor tinggi untuk produk-produk dari Indonesia. Jepang
merupakan dalam negara tradisional (pasar utama).
Tabel 4.5 Perkembangan Pendapatan Perkapita Jepang dari Tahun 19802008 (dollar).
Tahun
Yjpng
Pertumbuhan
16640.27
1986
20066.06
17.07
1987
24243.81
17.23
1988
24162.47
-0.34
1989
24773.8
2.47
1990
28119.23
11.90
1991
30523.48
7.88
1992
34864.32
12.45
1993
38196.39
8.72
1994
41968.58
8.99
1995
36930.26
-13.64
1996
33821.23
-9.19
1997
30526.86
-10.79
1998
34511.71
11.55
1999
36800.44
6.22
2000
32214.33
-14.24
2001
30756.08
-4.74
2002
33134.47
7.18
2003
36058.72
8.11
2004
35633.04
-1.19
2005
34150.33
-4.34
2006
34286.8
0.40
2007
38457.22
10.84
2008
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, data diolah.
Dari tabel di atas, perkembangan pendapatan per kapita mengalami
fluktuasi. Hal ini juga terjadi pada ekspor non migas Indonesia yang mengalami
fluktuasi. pada tahun 1995 pendapatan per kapita tertinggi mencapai 41.968,58
US$. Dengan nilai pertumbuhan paling tinggi pada tahun sebesar 32,14 persen.
Dari tahun 2001 sampai 2008 pendapatan per kapita jepang terus meningkat.
Memacu daya beli masyarakat Jepang untuk membeli barang-barang impor.
Sehingga akan menaikkan impor Jepang dan menaikkan ekspor Indonesia.
B. Analisis Data dan Pembahasan
Guna menganalisis pengaruh variable impor, inflasi, kurs, dan pendapatan
per kapita Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia. Dan mencari variable
yang dominan terhadap ekspor non migas Indonesia, regresi yang digunakan
analisis regresi berganda guna dapat mengukur arah dan besaran pengaruh
beberapa variable independent terhadap perkembangan ekspor non migas sebagai
variable dependent.
Dalam penelitian ini persamaan model regresi adalah sebagai berikut:
EKSPORit   0  1 IMPORit   2 KURSit   3 INFLASI it   4YJEPANG it   it
Model pengolahan data dilakukan dengan program Econometric Views (E-views)
versi4.0:
1. Hasil estimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor non migas
Indonesia:
Tabel 4.6 Tampilan Hasil Estimasi Model Akhir
Dependent Variable: LEKSPOR
Method: Least Squares
Date: 07/08/10 Time: 16:38
Sample: 1986 2008
Included observations: 23
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LIMPOR
LKURS
INFLASI
LYJPNG
-53.49885
0.322065
3.029123
-0.088218
3.439601
18.70333
0.182244
1.251505
0.056568
0.738219
-2.860392
1.767220
2.420384
-1.559496
4.659324
0.0104
0.0941
0.0263
0.1363
0.0002
R-squared
0.843276
Adjusted R-squared
0.808448
S.E. of regression
0.259946
Sum squared resid
1.216297
Log likelihood
1.170773
Durbin-Watson stat
0.875848
Sumber: E-views 4.0, telah di olah.
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
15.52961
0.593937
0.332976
0.579823
24.21288
0.000000
Berdasarkan tabel 4.6 tersebut, hasil estimasi dengan
menggunakan regresi linier berganda dapat dituliskan persamaan regresi
sebagai berikut:
LOGEKSPOR = -53,49885 + 0,322065 LOGIMPOR + 3,029123
LOGKURS – 0,088218 INFLASI + 3,439601 LOGYJPNG
Setelah diperoleh nilai dari persamaan regresi tersebut,
maka di lakukan uji statistik dan uji ekonometrikasebagai berikut:
a) Uji Statistik
1) Uji t
Uji t adalah uji secara individual semua koefisien regrsi
yang bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masingmasing variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil
pengujian terhadap koefisien regresi masing-masing variabel bebas
dengan
= 10 % akan diperoleh sebagai berikut:
1. Jika |thitung| < |ttabel| pada tingkat signifikasi 10% maka Ho
diterima dan Ha ditolak, artinya variable independen tidak
mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.
2. Jika |thitung| > |ttabel| pada tingkat signifikasi 10% maka Ho
ditolak dan Ha diterima, artinya
variable
independen
mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.
Berikut ini adalah hasil pengujian parameter individual
dengan tingkat signifikasi ( = 0,1):
a. Koefisien regresi dari konstanta mempunyai thitung sebesar 2,860392 dan ttabel sebesar
sehingga |2,860392| > |1,714|,
dimana nilai probabilitas 0,0104 < 0,1, maka konstanta
EKSPOR.
b. Koefisien regresi dari IMPOR mempunyai thitung sebesar
1,767220 dan ttabel sebesar 1,714 sehingga |1,767220| < |1,714|,
dimana nilai probabilitas 0,0941 < 0,1, maka Ho ditolak dan Ha
diterima, artinya variabel independen tidak mempengaruhi
variabel dependen secara signifikan pada tingkat singnifikasi
(
). Dengan menganggap variabel independen lainnya
konstan, maka secara individu variabel IMPOR berpengaruh
secara statistik terhadap EKSPOR.
c. Koefisien regresi dari INFLASI mempunyai thitung sebesar 1,559496 dan ttabel sebesar 1,714sehingga |1,559496| > |1,714|,
dimana nilai probabilitas 0,1363 > 0,1, maka Ho diterima dan
Ha ditolak, artinya variabel independen tidak mempengaruhi
variabel dependen secara signifikan pada tingkat singnifikasi
(
). Dengan menganggap variabel independen lainnya
konstan, maka secara individu variabel INFLASI tidak
berpengaruh secara statistik terhadap EKSPOR.
d. Koefisien regresi dari KURS mempunyai thitung sebesar
2,420384 dan ttabel sebesar 1,714 sehingga |2,420384| > |1,714|,
dimana nilai probabilitas 0,0263 < 0,1, maka Ho ditolak dan Ha
diterima, artinya variabel independen mempengaruhi variabel
dependen secara signifikan pada tingkat singnifikasi (
).
Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan,
maka secara individu variabel KURS berpengaruh secara
statistik terhadap EKSPOR.
e. Koefisien regresi dari YJPNG mempunyai thitung sebesar
4,659324 dan ttabel sebesar 1,714 sehingga |4,659324| > |1,714|,
dimana nilai probabilitas 0,0002 < 0,1, maka Ho ditolak dan Ha
diterima, artinya variabel independen mempengaruhi variabel
dependen secara signifikan pada tingkat singnifikasi (
).
Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan,
maka secara individu variabel YJPNG berpengaruh secara
statistik terhadap EKSPOR.
2) Uji F
Uji F adalah uji untuk mengetahui besarnya pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen secara bersamasama, dengan kriteria pegujian sebagai berikut:
1. Jika nilai Fhitung < Ftabel (pada
), maka Ho diterima
dan Ha ditolak, yang berarti bahwa variabel independen secara
bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen
secara signifikan.
2. Jika nilai Fhitung > Ftabel (pada
), maka Ho ditolak
yang berarti bahwa secara bersama-sama variabel independen
berpengaruh terhadap variabel dependen.
Berdasarkan hasil pengolahan diketahui bahwa Fhitung
adalah 24,21288 lebih besar dari Ftabel 4,26, dengan probabilitas
sebesar 0,000000 yang berarti signifikan pada
. Hal ini
berarti bahwa variabel impor, inflasi, kurs, pendapatan perkapita
jepang secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan
terhadap ekspor non migas Indonesia.
3) Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui berapa
persen perubahan variasi variabel independen dapat menjelaskan
perubahan
variabel
dependennya.
Hasil
estimasi
koefisien
determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted R-squared), sebesar
0,808448 yang berarti 80,84% variabel dependen Sedangkan
sisanya sebesar 19,16% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.
4) Koefisien Beta
Untuk menentukan variabel bebas yang paling menentukan
dalam mempengaruhi nilai dependent variabel dalam suatu model
regresi linier, maka digunakanlah koefisien beta (Arief, 1993).
Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Koefisien Beta
Impor
Kurs
Inflasi
Yjpng
Ekspor
Koefisien
Standar Deviasi
Koefisien Beta
0.322065
0.427797
0.232187232
3.029123
0.128792
0.657450205
-0.08822
1.22066
-0.181471734
3.439601
0.223748
1.296953177
0.5933937
Sumber: E-views 4.0, telah diolah.
Hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa variabel
pendapatan per kapita memiliki nilai koefisien beta tertinggi yaitu
1,296953177 adalah merupakan variabel yang paling dominan
dalam penentuan nilai variabel dependent.
b) Uji Ekonometrika/Asumsi Klasik
1) Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana terdapat
hubungan linier sempurna atau pasti diantara variabel-variabel bebas
dalam suatu regresi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan linier
yang pas diantara variabel yang menjelaskan dalam model regresi ini
dapat dilakukan beberapa pengujian. Gejala multikolinier adalah pada
saat R2 sangat tinggi, namun tidak ada satupun dari koefisin regresi
yang signifikan secara statistik melalui uji t. Uji multikolinearitas
dilakukan dengan pendekatan korelasi parsial seperti disarankan oleh
Farar dan Gruber (1967). Pedoman yang digunkan, jika nilai R2a (R2
regresi awal) lebih tinggi dari R2 pada regresi antar variabel bebas,
maka
dalam
model
empirik
tersebut
tidak
dapat
adanya
multikolinearitas.
Tabel 4.8 Uji Multikolinearitas
Variabel
dependen
Log IMPOR
INFLASI
Log KURS
Log YJPNG
R2
Tanda R2 (awal)
0,3874
0,554
0,09
0,767
<
<
<
<
0,843276
0,843276
0,843276
0,843276
Kessimpulan
Tidak ada multikolinearitas
Tidak ada multikolinearitas
Tidak ada Multikolinearitas
Tidak ada multikolinearitas
Sumber: E-views 4.0, data diolah.
Dari data diatas terlihat bahwa R2 pada regresi antara
variabel bebas, dengan menempatkan masing-masing variabel bebas
sebagai variabel dependen, yaitu impor, inflasi, kurs, pendapatan per
kapita Jepang diperoleh nilai R2 lebih kecil dari R2a (regresi awal),
sehingga tidak ada multikolinearitas.
2) Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas muncul dalam fungsi regresi dengan
varian yang tidak sama, sehingga penaksir OLS tidak efisien baik
dalam sampel kecil maupun besar (tapi masih tidak bias dan
konsisten). Pengujian terhadap ada tidaknya heteroskedastisitas dalam
model empirik di lakukan dengan uji LM ARC. Kriteria pengujian
adalah dengan membandingkan nilai Obs*R squared < x2 tabel, maka
tidak
signifikan,
heteroskedastisitas.
berarti
bahwa
tidak
terjadi
masalah
Tabel 4.9 Uji Heteroskedastisitas
ARCH Test:
F-statistic
Obs*R-squared
1.036329
1.083803
Probability
Probability
0.320834
0.297848
Sumber: E views 4.0, diolah
Dari tabel tersebut terlihat bahwa Obs*R squared dengan nilai
1,038303 < x2 tabel 13,4 , berarti dalam model penelitian ini tidak
terjadi masalah heteroskedastisitas.
3) Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi diantara anggotaanggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian
waktu (seperti pada data time series) atau yang tersusun dalam
rangkaian ruang (Gujarati, 1995). Adanya korelasi antara variabel
gangguan sehingga penaksir tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil
maupun sampel besar. Pengujian dilakukan dengan metode BreuschGodfrey Test, dengan kriteria pengujian sebagai berikut: jika BG(np)*R2 < x2 tabel, maka tidak signifikan, berarti bahwa tidak terjadi
masalah autokorelasi. Disamping itu juga dapat kita lihat dari
probabilitasnya, jika probabilitas >
, maka model terhindar
dari masalah autokorelasi.
Tabel 4.10 Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
Sumber: E views 4.0
13.64922
10.24274
Probability
Probability
0.001799
0.555372
Dari hasil autokorelasi diketahui bahwa (n-p)ObsR squared
(R2) dengan nilai 10,24274 < 13,4, berarti dalam model penelitian ini
tidak terjadi masalah autokorelasi. Dilihat dari probabilitasnya juga
lebih besar dari
0,1 (tidak signifikan) berarti model terhindar dari
masalah autokorelasi.
4. Pembahasan Hasil Penelitian
a) Pengaruh Impor terhadap Ekspor Non Migas Indonesia
Kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor
non migas Indonesia ke Jepang. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai
koefisien impor sebesar 0,322065 dengan probabilitas 0,0941 pada tingkat
signifikasi 10% yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1% impor
akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar
0,322065 %
Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa impor, khususnya yang
berupa bahan baku, bahan penolong dan barang modal mendorong
peningkatan ekspor non migas Indonesia. Beberapa produk non migas
Indonesia masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi.
Berdasarkan data realisasi impor Indonesia tahun 2008, impor Indonesia
didominasi oleh bahan baku penolong (77,01%), barang modal (16,56%),
dan barang konsumsi (6,43%). Dilihat dari komoditinya, impor terbesar
Indonesia adalah mesin-mesin. Hal ini mendukung temuan bahwa impor
berpengaruh positif terhadap peningkatan ekspor, karena beberapa
komoditi ekspor non migas Indonesia masih memerlukan bahan baku dan
bahan penolong serta mesin-mesin yang harus di impor.
b) Pengaruh Inflasi terhadap Ekspor Non Migas Indonesia
Inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ekspor
non migas Indonesia ke jepang. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai
koefisien inflasi sebesar -0,088218 dengan probabilitas 0,1363 pada
tingkat signifikasi 10% yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan
1% inflasi maka akan menurunkan ekspor non migas Indonesia ke Jepang
sebesar 0,088218 %
Temuan empirik yang menunjukkan bahwa inflasi di dalam negari
yang tidak dibarengi dengan tingkat jumlah uang beredar yang meningkat
menyebabkan penawaran uang riil berkurang sehingga suku bunga akan
naik akan naik yang menyebabkan investasi akan turun. Jika suku bunga
naik diikuti oleh naiknya biaya-biaya produksi yang lain, seperti upah dan
sebagainya maka produksi akan mengalami penurunan dan ekspor
menurun.
c) Pengaruh Kurs terhadap Ekspor Non Migas Indonesia
Kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas
Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai koefisien kurs sebesar
3,029065 dengan probabilitas 0,0263 pada tingkat signifikasi 10% yang
dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1% kurs akan meningkatkan
ekspor non migas Indonesia sebesar 3,029065 %
Kurs memiliki efek positif terhadap ekspor. Semakin tinggi nilai
kurs (nilai mata uang sendiri turun relatif terhadap valuta asing) maka
menyebabkan harga produk ekspor menjadi semakin murah di mata buyer
luar negeri (importir). Dari sisi eksportir, naiknya nilai kurs (nilai mata
sendiri turun relatif terhadap valuta asing) akan meningkatkan produksi
akibat keuntungan yang semakin meningkat karena rupiah yang diperoleh
lebih besar sehingga mendorong peningkatan ekspor. Intinya dengan
menurunnya nilai rupiah terhadap dollar maka ekspor akan meningkat
karena baik dilihat dari eksportir dan importir sama-sama memperoleh
keuntungan. Bagi eksportir akan menerima rupiah yang lebih besar
sementara bagi importir harga ekspor menjadi lebih murah (dalam dollar).
Semua kondisi tersebut berlangsung dengan asumsi menurunnya nilai
tukar rupiah tidak diikuti oleh inflasi dalam negeri yang lebih besar.
d) Pengaruh Pendapatan Per Kapita Jepang terhadap Ekspor Non Migas
Pendapatan per kapita Jepang berpengaruh positif dan signifikan
terhadap ekspor non migas Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai
koefisien pendapatan per kapita Jepang sebesar 3,439601 dengan
probabilitas 0,0002 pada tingkat signifikasi 10% yang dapat diartikan
bahwa setiap peningkatan 1% pendapatan per kapita Jepang maka akan
meningkatkan ekspor non migas Indonesia sebesar 3,439601%.
Hasil temuan ini sejalan dengan teori dan hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini. Bahwa pendapatan per kapita negara tujuan ekspor
merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi ekspor non migas
Indonesia. Semakin tinggi pendapatan per kapita negara tujuan ekspor
maka permintaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia akan
meningkat
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian empiris terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi ekspor non migas Indonesia, maka dapat kami sampaikan
kesimpulan sebagai berikut:
1 Impor berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas
Indonesia ke Jepang. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa impor,
khususnya yang berupa bahan baku, bahan penolong dan barang modal
mendorong peningkatan ekspor non migas Indonesia. Beberapa produk
non migas Indonesia masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi.
Berdasarkan data realisasi impor Indonesia tahun 2008, impor Indonesia
didominasi oleh bahan baku penolong (77,01%), barang modal (16,56%),
dan barang konsumsi (6,43%)
2. Inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ekspor non
migas Indonesia ke jepang. Temuan empirik yang menunjukkan bahwa
inflasi di dalam negari yang tidak dibarengi dengan tingkat jumlah uang
beredar yang meningkat menyebabkan penawaran uang riil berkurang
sehingga suku bunga akan naik akan naik yang menyebabkan investasi
akan turun. Jika suku bunga naik diikuti oleh naiknya biaya-biaya
produksi yang lain, seperti upah dan sebagainya maka produksi akan
mengalami penurunan dan ekspor menurun.
3. Kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas
Indonesia ke jepang. Semakin tinggi nilai kurs (nilai mata uang sendiri
turun relatif terhadap valuta asing) maka menyebabkan harga produk
ekspor menjadi semakin murah di mata buyer luar negeri (importir). Dari
sisi eksportir, naiknya nilai kurs (nilai mata sendiri turun relatif terhadap
valuta asing) akan meningkatkan produksi akibat keuntungan yang
semakin meningkat karena rupiah yang diperoleh lebih besar sehingga
mendorong peningkatan ekspor.
4. Pendapatan per kapita Jepang berpengaruh positif dan signifikan
terhadap ekspor non migas Indonesia ke jepang. Pendapatan per kapita
negara
tujuan
ekspor
merupakan
faktor
eksternal
yang
akan
mempengaruhi ekspor non migas Indonesia. Semakin tinggi pendapatan
per kapita negara tujuan ekspor maka permintaan terhadap produk-produk
ekspor Indonesia akan meningkat.
5. Pendapatan per kapita adalah variabel yang paling dominan terhadap
ekspor non migas Indonesia ke Jepang. Pendapatan per kapita memiliki
nilai koefisien beta tertinggi yaitu 1,296953177 adalah merupakan variabel
yang paling dominan dalam penentuan nilai variabel dependent.
B. Saran
Berdasarkan studi empiris ini dapat diusulkan beberapa saran:
1. Dalam hal impor pemerintah harus memberikan kemudahan kemudahan
dalam memperoleh bahan baku maupun bahan modal dari luar negeri
supaya perusahaan-perusahaan tersebut dapat mengembangkan produknya.
kemudahan itu seperti keringanan tariff pembebasan bea masuk prosedur
ekspor dan lain-lain. Selain itu perusahaan ekspor diharapkan tidda melulu
mengandalkan bahan baku dari luar negeri yang tujuannya untuk
menghemat pengeluaran atau biaya operasional perusahaan tersebut
dengan mengalihkan bahan-bahan dari negeri sendiri atau meningkatkan
kandunagn bahan baku dari dalam negeri.
2. Pemerintah menjaga kestabilan nilai tukarnya terhadap dollar. Hal
tersebut dilakukan agar stabilnya nilai tukar dapat mendorong masyarakat
maupun pengusaha dalam melakukan kegiatan perdagangan internasional
khususnya dalam kegiatan ekspor. Kestabilan nilai tukar juga agar
memperoleh kepercayaan dari negara lain untuk melakukan kerjasama
serta hubungan bik dengan luar negeri.
3. Gross Domestic Product suatu negara dapat dijadikan indikator bagi
para eksportir Indonesia dalam menentukan sasaran pemasaran ekspor non
migas Indonesia sehingga diharapkan dapat meningkatkan ekspor non
migas Indonesia.
4. Pemerintah harus dapat mencegah terjadinnya inflasi yang tinggi. Salah
satu caranya mengawasi jumlah uang beredar
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M.S. 2000. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta:
Penerbit PPM.
Amir, M.S. 2003. Ekspor-Impor: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit
PPM.
Arief, Sritua. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta: UI Press
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Bank Indonesia. 2009. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Jakarta: Bank
Indonesia.
Boediono. 1995. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE.
Gujarati, Damodar. 1993. Basic Econometric. New York: Mc-Grawhill
Hady, Hamdy. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan
Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Lia, Amalia. 2007. Ekonomi Internasional. Jakarta: Graha Ilmu -UIEUUniversity Press.
Nopirin. 1995. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE.
Siti Aisyah, 2007. Modul Laboratorium Ekonometrika. Surakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
Sobri. 1986. Ekonomi Internasional: Teori, Masalah dan Kebijaksanaannya.
Yogyakarta: BPFE-UII
Sukirno, Sadono. 2002. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: PT
Garfindo Persada.
Raja
Tambunan, Tulus. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
http:// www.depdag.go.id/ statistik ekspor impor Indonesia.
http:// www.imf.go.id
LAMPIRAN
Tahun
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Ekspor
1230,43
1843,88
2689,16
3633,14
3179,99
3678,48
3978,52
5077,96
5711,35
6861,02
7128,92
7014,52
5963,70
5790,52
7554,98
6691,72
6349,30
6720,72
8238,69
9744,02
1217,86
13287,15
13323,39
Impor
3231,88
4418,26
4214,07
4117,68
5451,54
8387,96
6365,53
7615,96
8340,89
8830,00
7459,64
8227,24
4641,43
2771,49
4979,12
3622,53
4205,37
4778,20
8019,75
10213,92
9230,55
9335,44
14892,46
Inflasi
-0.226
0.794
0.9
2.676
3.8
2.615
1.121
1.109
0.598
-0.396
0.597
1.879
0.583
-1.062
-0.488
-1.176
-0.298
-0.398
0.2
-0.399
0.3
0.699
0.396
Kurs
168,52
144,64
128,15
137,96
144,79
128,11
126,65
111,20
102,21
94,06
108,78
120,99
130,90
113,91
107,77
121,53
125,39
115,93
108,20
110,22
116,30
112,25
118,81
Yjpng
16640.266
20066.061
24243.813
24162.471
24773.797
28119.226
30523.477
34864.323
38196.389
41968.581
36930.261
33821.23
30526.859
34511.709
36800.436
32214.328
30756.077
33134.465
36058.717
35633.042
34150.333
34286.798
38457.216
 Uji Regresi Double Log
Dependent Variable: LEKSPOR
Method: Least Squares
Date: 07/08/10 Time: 16:38
Sample: 1986 2008
Included observations: 23
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LIMPOR
LKURS
INFLASI
LYJPNG
-53.49885
0.322065
3.029123
-0.088218
3.439601
18.70333
0.182244
1.251505
0.056568
0.738219
-2.860392
1.767220
2.420384
-1.559496
4.659324
0.0104
0.0941
0.0263
0.1363
0.0002
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.843276
0.808448
0.259946
1.216297
1.170773
0.875848
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
15.52961
0.593937
0.332976
0.579823
24.21288
0.000000
 Uji Multikolinearitas
Dependent Variable: LEKSPOR
Method: Least Squares
Date: 07/08/10 Time: 17:20
Sample: 1986 2008
Included observations: 23
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LIMPOR
2.259346
0.849239
3.746556
0.239677
0.603046
3.543259
0.5529
0.0019
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.374156
0.344354
0.480923
4.857021
-14.75229
0.277508
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
15.52961
0.593937
1.456721
1.555460
12.55468
0.001925
Dependent Variable: LEKSPOR
Method: Least Squares
Date: 07/08/10 Time: 17:22
Sample: 1986 2008
Included observations: 23
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LKURS
47.80944
-3.434777
6.311285
0.671500
7.575230
-5.115079
0.0000
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.554746
0.533543
0.405645
3.455510
-10.83706
0.452029
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
15.52961
0.593937
1.116266
1.215005
26.16404
0.000046
Dependent Variable: LEKSPOR
Method: Least Squares
Date: 07/08/10 Time: 17:22
Sample: 1986 2008
Included observations: 23
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
INFLASI
15.61960
-0.149728
0.135031
0.101026
115.6744
-1.482082
0.0000
0.1532
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.094694
0.051584
0.578416
7.025860
-18.99777
0.219923
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
15.52961
0.593937
1.825893
1.924632
2.196566
0.153170
Dependent Variable: LEKSPOR
Method: Least Squares
Date: 07/08/10 Time: 17:23
Sample: 1986 2008
Included observations: 23
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LYJPNG
-8.519399
2.324785
2.893032
0.279603
-2.944799
8.314595
0.0077
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.767010
0.755915
0.293435
1.808181
-3.389096
0.399323
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
15.52961
0.593937
0.468617
0.567356
69.13249
0.000000
 Uji Heteroskedasitas
ARCH Test:
F-statistic
Obs*R-squared
1.036329
1.083803
Probability
Probability
0.320834
0.297848
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 07/08/10 Time: 18:16
Sample(adjusted): 1987 2008
Included observations: 22 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RESID^2(-1)
0.040536
0.222991
0.022912
0.219047
1.769218
1.018002
0.0921
0.3208
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.049264
0.001727
0.091608
0.167842
22.41691
1.836759
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.052731
0.091687
-1.856082
-1.756897
1.036329
0.320834
 Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
13.64922
10.24274
Probability
Probability
0.001799
0.555372
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 07/08/10 Time: 18:15
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LIMPOR
LKURS
INFLASI
LYJPNG
RESID(-1)
34.76671
-0.171199
-2.320365
0.027971
-0.996255
0.834665
17.14640
0.147149
1.146435
0.044007
0.626714
0.225922
2.027639
-1.163435
-2.023983
0.635596
-1.589648
3.694485
0.0586
0.2607
0.0590
0.5335
0.1303
0.0018
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.445337
0.282200
0.199210
0.674635
7.948803
1.640594
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
1.28E-14
0.235130
-0.169461
0.126755
2.729844
0.054800
Download