ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986-2008 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta Disusun Oleh: FITRIA TISNA KUMALASARI F.1106031 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 HALAMAN PERSEMBAHAN Karya ini aku persembahkan kepada : 1. Ayah (Alm.) dan Ibu tersayang dan terkasih 2. Kakak dan adikku 3. Semua sahabat 4. Almamaterku HALAMAN MOTTO Syukur adalah jalan yang mutlak untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan dalam hidup anda. (Marci Shimoff) Tolong menolonglah kamu dalam hal kebajikan dan bertaqwa, serta jangan tolong menolong dalam hal dosa dan kejahatan. (QS. Al Maidah : 2) Semua impian kita dapat menjadi nyata, jika kita memiliki keberanian untuk mengejarnya. (Walt Disney) KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang Tahun 1986-2008”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penyusunan skripsi ini banyak sekali kendala yang penulis hadapi. Namun berkat arahan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam penulis manghaturkan terima kasih kepada : 1. Dwi Prasetyani, SE, M.Si, selaku pembimbing yang dengan arif dan bijak telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing dan memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof. Dr. M.Com, Ak. Bambang Sutopo, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Wahyu Agung Setyo, SE, M.Si terima kasih atas pinjaman referensi–referensi dan bantuan data-datanya yang diberikan. 5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta staff dan karyawan yang telah memberikan ilmu, bimbingan, arahan dan pelayanan kepada penulis. 6. Kedua orang tua dan keluarga besar yang senantiasa selalu mendoakan, memberi dorongan dan bimbingan kepada penulis. 7. Teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2006 Non Reguler dan semua sahabatku terimakasih atas segala bantuan dan dukungannya. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangankekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai bahan perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Surakarta, Juni 2010 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI iv HALAMAN PERSEMBAHAN v HALAMAN MOTTO vi KATA PENGANTAR vii DAFTRA ISI ix DAFTRA TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………….. 1 B. Perumusan Masalah …………………………………………… 6 C. Tujuan Penelitian………………………………………………. 6 D. Manfaat Penelitian……………………………………………... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori………………………………………………… 8 1. Teori Permintaan dan Penawaran …………….....………….. 8 2 Perkembanagan Teori Perdagangan Internasional…………... 10 2. Manfaat Perdagangan Internasional………………………… 25 3. Ekspor Non Migas…………………………………………... 27 4. Hambatan dalam Perdagangan Internasional……………….. 28 5. Definisi dan Ruang Lingkup Ekspor………………………... 32 B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor……………………. 35 C. Penelitian Terdahulu…………………………………………… 45 D. Kerangka Pemikiran…………………………………………… 48 E. Hipotesis………………………………………………………... 49 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………... 50 B. Jenis dan Sumber Data…………………………………………. 50 C. Definisi Variabel Operasional………………………………….. 50 D. Metode Pengumpulan Data…………………………………….. 52 E. Metode Analisis Data………………………………………….. 52 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Variabel………………………………………... 61 B. Analisis Data dan Pembahasan………………………………… 70 1. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap 70 Ekspor Non Migas Indonesia……………………………….. 2. Pembahasan Hasil…………………………………………… 78 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan…………………………………………………….. 82 B. Saran…………………………………………………………… 84 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 86 DAFTAR TABEL TABEL 1.1 Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 2005-2007 (juta US$) ...... 1.2 Perkembangan Nilai Ekspor non migas Indonesia Halaman Tahun 1996-2008 (juta US$) ........................................................ 1.3 2 4 Nilai Ekspor ke Jepang, AS, dan Singapura pada Tahun 2004-2008 (juta US$).................................................................... 5 3.2 Ilustrasi Keunggulan Absolut dari Adam Smith............................ 14 2.2 Ilustrasi Tingkat Efisiensi Tenaga Kerja David Ricardo .............. 17 2.3 Ilustrasi Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja David Ricardo ...... 17 2.4 Perhitungan Efisiensi Tenaga Kerja Relatif .................................. 18 4.1 Perkembangan ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang dari Tahun 1986-2008 (juta US$).................................................................... 4.2 59 Perkembangan Impor Indonesia dari Jepang pada Tahun 1980-2008 (juta US$) ..................................................................................... 64 4.3 Perkembangan Inflasi di Jepang dari Tahun 1986-2008 (%) ........ 66 4.4 Perkembangan Kurs Yen terhadap Dollar dari Tahun 1986-2008 (yen) 68 4.5 Perkembangan Pendapatan Perkapita Jepang dari Tahun 1986-2008 (dollar) ........................................................................ 69 4.6 Tampilan Hasil Estimasi Model Akhir .......................................... 71 4.7 Hasil Perhitungan Koefisien Beta .................................................. 75 4.8 Uji Multikolinearitas...................................................................... 76 4.9 Uji Hetero skedastisitas ................................................................. 77 4.10 Uji Autokorelasi............................................................................. 78 DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Daerah Kritis Ujit………..………………………………………. 54 Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F……………………………………………… 56 Gambar 3.3 Daerah Ho Diterima dan Ditolak Uji Autokorelasi (DurbinWatson)………………………………………………………………………. 59 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986-2008 ABSTRAK Fitria Tisna Kumalasari F1106031 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh impor, inflasi, kurs dan pendapatan perkapita negara tujuan yaitu Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia. penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka dengan menggunakan data time series tahun 1989 sampai 2008. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda guna dapat mengukur arah dan besaran pengaruh beberapa variabel bebas (independent variabel) terhadap perkembangan ekspor non migas Indonesia (dependent variabel). Pengolahan data data dilakukan dengan program Econometric Views (E-Views) versi 4.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) impor berpengaruh positif dan signifikan, setiap peningkatan 1% impor akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar 0,322065%; (2) inflasi berpengaruh negative, setiap kenaikan 1% inflasi akan menurunkan ekspor non migas ke jepang sebesar 0,088218%; (3) kurs berpengaruh positif dan signifikan, setiap peningkatan 1% kurs akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar 3,029065%; (4) pendapatan perkapita Jepang berpengaruh positif dan signifikan, setiap peningkatan 1% pendapatan perkapita jepang akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar 3,439601%. Berdasarkan temuan – temuan tersebut maka diajukan saran - saran. Bagi pemerintah, hendaknya menjaga kestabilan inflasi. Dan untuk pelaku bisnis hendaknya menjaga daya saing produk agar dapat bersaing dengan negara lain. Kata kunci: ekspor non migas, impor, kurs, inflasi, pendapatan perkapita Jepang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, artinya bahwa negara tersebut melakukan transaksi ekonomi dengan pihak luar negeri atau yang sering disebut dengan perdagangan internasional yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan serta memenuhi kebutuhan dalam negeri. Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan selera atau pola konsumsi antar negara, dan timbulnya perdagangan internasional terutama sekali karena suatu negara bisa menghasilkan barang tertentu secara lebih efisien daripada negara lain (Boediono, 1993). Adanya keterkaitan dan ketergantungan serta persaingan global menyebabkan kehidupan dalam suatu negara terpengaruh oleh ekonomi internasional (Hamdy Hadi, 2004). Dengan kata lain dalam era global dan perdagangan bebas saat ini dapat dikatakan tidak ada lagi negara-negara yang “autarki”, yaitu negara yang hidup terisolasi tanpa mempunyai hubungan ekonomi, keuangan maupun perdagangan internasional (ekspor dan impor). Ekspor merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat penting dan strategis. Peningkatan ekspor diharapkan mampu meningkatkan pendapatan, tenaga kerja dan devisa untuk negara. Peningkatan ekspor merupakan kegiatan utama untuk menghasilkan devisa untuk membiayai pembangunan di sektor riil maupun non riil. Ekspor Indonesia pada awalnya didominasi oleh produk-produk minyak dan gas bumi (migas). Sejak tahun 1974 sampai tahun 1986 pembiayaan ekonomi Indonesia banyak tergantung dari penerimaan minyak dan gas bumi. Keadaan yang demikaian menyebabkan perekonomian Indonesia sangat peka terhadap perubahan harga migas di pasar Internasional. Pergeseran ekspor Indonesia terjadi sejak tahun 1989, dengan kontribusi ekspor non migas lebih besar. Hal ini di sebabkan karena tahun 1982 harga minyak turun hingga 50 persen sehingga pendapatan negara dari sektor ekspor migas menurun. Ini memicu pemerintah mencari alternatif sebagai pengganti ekspor migas yang terus merosot. Salah satunya adalah mengembangkan dan meningkatkan ekspor non migas (Lestiyono, 2007). Pada tabel 1.1 akan memperlihatkan neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2005-2007. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Indonesia tahun 2005-2007 (juta US$) STahun u Ekspor m1. migas 2. non migas b Impor e 1. migas r 2. non migas 2005 86.995 20.243 66.753 69.462 16.030 53.431 2006 103.528 22.950 80.578 73.868 16.165 57.703 2007 118.014 24.872 93.142 84.930 18.836 66.094 Sumber: Bank Indonesia Peran perdagangan internasional Indonesia sangat besar. Hal ini terlihat pada tabel 1.1 dimana neraca perdagangan Indonesia dari tahun 2005-2007 mengalami surplus. Pada tahun 2005 ekspor Indonesia sebesar 86.995 juta US$ sedangkan impornya 69.462 juta US$ dapat disimpulkan Indonesia memperoleh surplus sebesar 17.533 juta US$. Pada tahun 2006 ekspor Indonesia sebesar 103.528 juta US$ sedangkan impornya sebesar 73.868 juta US$ dapat disimpulkan Indonesia memperoleh surplus sebesar 29.660 juta US$. Pada tahun 2007 ekspor Indonesia sebesar 118.014 juta US$ sedangkan impornya sebesar 84.930 juta US$ dapat disimpulkan Indonesia memperoleh surplus sebesar 33.084 juta US$. Pada neraca perdagangan Indonesia tahun 2005-2007 ekspor non migas Indonesia slalu mengalami kenaikan hal ini terbukti pada tahun 2005 sebesar 66.753 juta US$ dan pada tahun 2007 telah mencapai 93.142 juta US$. Ekspor non migas masih mendominasi dari nilai total ekspor dalam neraca perdagangan. Dengan semakin bertambahnya nilai dan ragam komoditi non migas yang dapat di ekspor, di harapkan perekonomian Indonesia tidak lagi tergantung terhadap harga satu komoditi yaitu migas saja. Sehingga pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik. Komoditikomoditi non migas yang cukup potensial untuk di ekspor dapat dikelompokan menjadi komoditi primer dan komoditi bukan primer. Komoditi primer merupakan hasil dari sektor pertanian dan sektor pertambangan. Sedangkan sektor sektor bukan primer berasal dari sektor industri. Berikut ini pada tabel 1.2 akan menjelaskan perkembangan nilai ekspor migas maupun non migas Indonesia pada tahun 1996-2008 (juta US$). Tabel 1.2 Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 1996-2008 (juta US$) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Non Migas Ekspor 38,092.6 41,821.0 40,975.5 38,873.2 47,757.4 43,684.6 45,046.1 47,406.8 55,939.3 66,428.4 79,578.7 92,012.3 107,894.1 Rata-rata (%) Impor 39,333.0 37,755.7 24,683.2 20,322.2 27,495.3 25,490.3 24,763.1 24,939.8 34,792.5 40,243.2 42,102.6 52,540.6 98,644.4 8.98 9.79 -2.02 -5.13 22.85 -8.53 3.12 5.24 18.00 18.75 19.80 15.62 17.26 Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, BPS (telah diolah) Pada tabel 1.2 diatas dapat digambarkan bahwa angka ekspor Indonesia pada tahun 1996 ke 1997 mengalami kenaikan namun pada tahun-tahun berikutnya angka ekspor tersebut mulai berfluktuasi. Hal itu dapat dilihat pada rata-rata pertumbuhan ekspor. Rata-rata pertumbuhan ekspor pada tahun 1998 yaitu -8.6% sedangkan pada tahun 2000 rata-rata pertumbuhan telah mencapai 27.66% tetapi pada tahun 2001 turun menjadi -9.34%. Pada tahun 1998 akibat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 ekspor migas turun drastis yang semula 11.622,5 juta US$ pada tahun 1998 turun drastis menjadi 7.872,1 juta US$. Sedangkan untuk ekspor non migas pertumbuhannya tetap stabil yaitu pada tahun 1997 sebesar 41.821 juta US$ dan pada tahun 1998 sebesar 40.975,5 juta US$ bahkan pada beberapa tahun terakhir ini ekspor non migas mengalami kemajuan yang sangat pesat terbukti pada tahun 2004 ekspor non migas Indonesia 55.939,3 juta US$ dan untuk tahun 2008 ekspor non migas Indonesia mencapai 107.894,1 juta US$. Hal ini juga terbukti pada neraca perdagangan Indonesia yang mengalami kenaikan. Tujuan ekspor non migas Indonesia menurut negara tujuan adalah negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan beberapa negara-negara Erpoa lainnya. Tabel 1.3 menunjukkan nilai ekspor ke Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura pada tahun 2005-2008. Tabel 1.3 Nilai Ekspor ke Jepang, Amerika Serikat, Singapura pada Tahun 2004-2008 (juta US$). rataAmerika ratarataTahun Jepang rata (%) Serikat rata (%) Singapura rata (%) 9,561.80 9,507.90 7,068.60 2005 27.5764 10,682.50 12.35394 7,824.20 10.68953 2006 12,198.60 8,990.40 14.90504 2007 13,092.80 7.330349 11,311.30 5.886263 2008 13,795.50 5.367072 12,531.00 10.78302 10,104.60 12.39322 Sumber: Departemen Perdagangan, diolah. Pada tabel 1.3 di atas dapat dilihat bahwa Jepang memiliki kontribusi yang paling besar di bandingkan dengan Amerika Serikat dan Singapura. Pada tabel 1.3 dapat di lihat bahwa nilai ekspor ke Jepang yang semula pada tahun 2005 sebesar 9. 561 juta US$ menjadi 13.795,50 juta US$ dengan rata-rata pertumbuhan 27,6% pada tahun 2006. Amerika Serikat menduduki peringkat ke dua sebagai negara tujuan utama ekspor dengan nilai ekspor pada tahun 2005 sebesar 9.507,90 juta US$ dan pada tahun 2008 sebasar 12.531,00 juta US$. Sedangkan nilai ekspor ke Singapura pada tahun 2005 sebesar 7.068, juta US$ dan pada tahun 2008 mencapai 10.104,60 juta US$. Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura merupakan negara-negara tujuan utama ekspor non migas Indonesia. Akan tetapi Jepang merupakan negara yang paling signifikan dalam perkembangan ekspor non migas Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penelitian ini berjudul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR NON MIGAS INDONESIA KE JEPANG TAHUN 1986 SAMPAI 2008”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh impor, kurs, inflasi, dan pendapatan per kapita Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang? 2. Faktor apakah yang paling dominan mempengaruhi ekspor non migas Indonesia ke Jepang? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaruh impor, kurs, inflasi, pendapatan per kapita Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang. 2. Mengetahui faktor apa yang dominan terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang. D. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah: 1. Menambah pengetahuan tentang ekspor non migas di Indonesia. 2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang tertarik dengan permasalahan ekspor non migas Indonesia. 3. Sebagai masukan untuk instansi terkait. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Permintaan dan Penawaran Berdasarkan anggapan-anggapan tertentu, perdagangan antar negara dapat juga dipandang dari segi permintaan dan penawaran. Tegasnya perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan penawaran disebabkan oleh perbedaan kualitas dan kuantitas faktorfaktor produksi negara yang satu dengan yang lain. Perbedaan permintaan dapat disebabkan perbedaan pendapatan dan kesukaan(cita rasa, preferensi) Approach ini menggunakan beberapa angapan, yaitu sebagai berikut: 1. Pasar dengan persaingan sempurna 2. Tidak ada ongkos pengangkutan. 3. Tingkat teknologi tertentu. 4. Tidak ada perpindahanj kapital 5. Increasing cost of production. Grafik 1 Timbulnya Perdagangan Internasional S B Y D1 P 1 2 P4 P P3 P1 D 2 X 1 2 B 3 Barang x 4 X 0 1 B 3 4 5 Barang y Keterangan: Sebelum terjadi perdagangan, maka harga barang x negara A adalah P 1 dan harga barang x di negara B adalah P2. P2 > P1 jadi jelas bahwa dalam situasi itu negara B tidak dapat menjual barang x-nya di bawah P2. Bila antara negara A dan B terjadi perdagangan, maka negara B akan mengimpor produksi itu konstan, maka negara A akan berspesialisasi saja salam barang x. Selanjutnya bila ongkos produksi barang x itu bertambah atau meningkat (increasing cost of production). maka harga barang x itupun akan meningkat. Apa yang terjadi di negara B adalah jumah produksi dalam negeri akan berkurang, sebab sebagaian dari barang x itu dapat dipenuhi dengan mengimpor dari negara A, sehingga harga di negara B juga akan menurun (Sobri, . Proses kesamaan tingkat dua macam harga ini akan berlangsung terus, sehingga jumlah yang diekspor dari negara A yaitu B1, B4, sedang jumlah yang diimpor dari negara A oleh negara B adalah K1.K4, dan harga kesetimbangannya adalah OP. Bila peranan ongkos angkutan diperhatikan, maka harga di kedua negara itu tidak sama tingginya. Perbedaannya sebesar ongkos angkut itu sendiri. Bila P3.P4 ongkos, maka volume perdagangan antara A dan B akan berkurang. Ekspor dari negara A sebesar B2.B3, dan impor negara B sebesar K3.K2. Jadi, ongkosongkos angkut akan menyebabkan perbedaan harga dan volume perdagangan menjadi kecil. 2. Pekembangan Teori Perdagangan Perdaganngan internasional dapat didefinisikan sebagai perdagangan antar negara atau lintas negara yang mencakup ekspor dan impor. Perdagangan internasional terjadi karena setiap negara tidak memenuhi semua kebutuhan dari hasil produksi dalam perdagangan. Hal ini negaranya sendiri sehingga diperlukan transaksi terjadi karena setiap negara dengan mitra dagangnya mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya perbedaan kandungan sumberdaya alam, modal, sumberdaya manusia, teknologi, konfigurasi geografis, struktur ekonomi dan lain sebagainya. Dari perbedaan tersebut di atas, maka atas dasar saling menguntungkan, terjadilah proses pertukaran, yang dalam skala luas dikenal sebagai perdagangan internasional (Halwani, 2003). Karena setiap negara berbeda dengan negara lainnya di tinjau dari sumberdaya alamnya, iklimnya, letak geografinya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi dan sosialnya. Hal ini memungkinkan karena ada barang yang hanya dapat diproduksi di daerah dan iklim tertentu, atau karena suatu negara mempunyai kombinasi faktor-faktor produksi lebih baik dari negara lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan barang yang lebih bersaing (Amir M.S. 2000). Pada dasarnya, perdagangan internasional bisa terjadi apabila kedua belah pihak memperoleh manfaat atau keuntungan dalam perdagangan tersebut. perdagangna internasional menciptakan keuntungan dengan memberikan peluang pada setiap negara untuk mengkspor barang-barang yang faktor produksinya langka atau mahaljika diproduksi daklam negari. Evolusi teori perdagangan internasional dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Teori Pra Klasik: Merkantilisme, 2) teori Klasik: Adam smith, David Ricardo, 3) Teori Modern: teori H-O, 4) Alternative Theory: M Porter, R D’Aveni dll. Penjabaran masing-masing teori perdaganngan internasional adalah sebagai berikut: 2.1 Teori Merkantilisme (David Hume) Menurut paham merkantilisme, tiap negara yang berkeinginan untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara lain. Sumber kekayaan negara akan diperoleh melalui surplus perdagangan di luar negeri yang akan diterima dalam bentuk logam mulia. Aliran merkantilisme yang tumbuh dan berkembang pada abad XVI-XVIII di Eropa Barat, sebagai lokomotif utama yang di pacu melalui peningkatan industri di dalam negeri. Ide pokok merkantilisme adalah sebagai berikut: 1. Suatu negara akan kaya atau makmur dan kuat bila ekspor lebih besar daripada impor. 2. Surplus yang di peroleh dari selisih (X-M) atau ekspor netto yang positif tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya logam mulia (sebagai alat pembayaran/uang) yang dimiliki Negara. 3. Logam mulia yang melimpah digunakan oleh negara/raja untuk memperluas perdagangan di luar negeri dengan kolonisasi. (Hamdy Hadi: 2004) Merkantilisme menitikberatkan pada 2 kebijakan penting yaitu: 1. Kebijakan merkantilisme dalam usaha untuk memperoleh monopoli perdagangan, monopoli perdagangan tersebut dapat diperoleh dengan memiliki armada perdagangan atau armada perang yang kuat. 2. Kebijakan lanjutan adalah usaha untuk memperoleh daerah-daerah jajahan yang dilakukan melalui ekspansi perdagangan dan penaklukan atau penundukan daerah-daerah baru di Amerika, Afrika, dan Asia. Daerah atau negara jajahan ini dijadikan sebagai sumber bahan baku dan sekaligus pasar, sekaligus sebagai sumber langsung logam mulia. Negara jajahan menjadi sangat tergantung pada negara penjajah. (Lia Amalia: 2007) Kritik David Hume terhadap merkantilisme adalah sebagai berikut: kekayaan atau kemakmuran suatu negara yang diukur dari banyaknya logam mulia tidak sepenuhnya benar. Maka jika logam mulia banyak berarti jumlah uang beredar banyak. Jika jumlah uang beredar banyak sedangkan produksi tetap atau tidak berubah maka akan terjadi inflasi atau kenaikan harga. Inflasi akan menaikan harga barang-barang eksporsehingga kuantitas ekspor menurun. Sementara harga barang impor akan lebih besar dari ekspor terjadi deficit yang menyebabkan logam mulia yang dimiliki akan berkurang. Kebijakan merkantilisme pada saat ini masih dijalankan oleh banyak negara (termasuk negara-negara maju), yaitu kebijakan proteksi untukmelindungi dan mendorong ekonomi dan industri dalam negara dengan banyak menggunakan hambatan non-tarif seperti: penerapan syarat-syarat dan sertifikasi tertentu, ketentuan teknis, peraturan kesehatan/karantina, dikaitkan dengan isu-isu lingkungan hidu, hak asasi manusia dan lain-lain (Hamdy Hadi: 2004) 2.2 Teori Keunggulan Mutlak/ Absolute Advantage (Adam Smith) Menurut teori Keunggulan Mutlak yakni perdagangan internasional akan terjadi jika setiap negara mampu memproduksi barang tertentu secara lebih efisien daripada negara lain melalui spesialisasi dan pembagian kerja. Keunggulan mutlak bisa diperoleh karena adanya perbedaan dalam kepemilikan factor produksi antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, modal, teknologi dan entrepreneurship.setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan (gain from trade) karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, sedangkan untuk produk yang tidak memiliki keunggulan mutlak sebaiknya impor saja. Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi terhadap ekspor suatu jenis barang tertentu, dimana negara tersebut memiliki keunggulan mutlak dan tidak memproduksi atau malakukan impor jenis barang dimana negara lain yang memproduksi barang sejenis. Atau denagn kata lain, suatu negara akan mengekspor (mengimpor) suatu jenis barang. Jika negara tersebut tidak dapat memproduksi secara lebih efisien atau lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Sehingga teori ini menekankan bahwa efisiensi dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja, dalam proses produksi sangat menentukan keunggulan atau daya saing. Sebagai contoh di dunia nyata ada dua negara yaitu Indonesia (INA) dan Amerika Serikat (AS) kedua negara tersebut sama-sama memproduksi dua jenis barang, yakni barang (A) kain dengan harga Pa dan barang B (komputer) dengan harga Pb tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang digunakan untuk memproduksi dua jenis barang tersebut (kain dan komputer) Tabel 2.1 Ilustrasi Keunggulan Absolut dari Adam Smith Negara INA AS Kemungkinan Produksi A (Kain) B (Komputer) 90 60 50 100 Sumber: Tulus Tambunan, 2001 DTDN A/B B/A 1,50 0,50 0,67 2,00 Seperti yang ditunjukan pada tabel 2.1, Indonesia dapat memproduksi maksimum 90 unit kain (A) per satu orang tenaga kerja dan atau memproduksi maksimum 60 unit komputer (B) per satu orang tenaga kerja. Rasio ini menunjukan bahwa Indonesia lebih baik dalam memproduksi A dibandingkan B. Tingkat produktivitas atau efisiensi dalam penggunaan input (tenaga kerja) di industri A lebih tinggi dibanding industri B. Jika tidak ad aperdagangan internasional, dua barang tersebut dapat diperdagangkan dipasar domestikdengan perbandingan sebagai berikut: 1,5A untuk 1B atau 2/3B untuk 1A. Artinya biaya alternatif (opportunity cost) untuk membuat 1B maka mengorbankan 1,5A. Dalam harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa) INA = 1,5. Misalnya, Pb = 100 maka Pa = 66,6. Perbandingan ini disebut dasar tukar dalam negeri (DTDN). Jadi di Indonesia, B mempunyai harga jual yang lebih tinggi, karena memproduksi B lebih mahal daripada memproduksi A. Sebaliknya di AS, A mempunyai harga jual lebih tinggi disbanding B, karena biaya produksi A lebih mahal daripada biaya produksi B. Di pasar domestik AS, dasar tukar dalam negeri adalah: 0,5A untuk 1B atau 2B untuk 1A. Dalam harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa)AS = 0,5. perbedaan rasio harga (biaya produksi) tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan absolute atas Amerika Serikat dalam memproduksi kain (A), sebaliknya AS memiliki keunggulan absolut atas Indonesia dalam memproduksi computer (B). Terjadinya perdagangan internasional menyebabkan gains from trade masing-masing negara sebagai berikut: a) Indonesia memperoleh keuntungan jika menjual (mengekspor) kain (A) ke Amerika Serikat karena 1A dapat ditukar dengan 2B, dibandingkan hanya 2/3B untuk 1A jika tidak ada perdangan internasional. Jadi keuntungan Indonesia adalah 1,33B; b) Amerika Serikat memperoleh keuntungan jika menjual computer (B) ke Indonesia, karena 1B akan memperoleh 1,5A, dibandingkan hanya 0,5A untuk 1B jika tidak ada perdagangan internasional. Jika keuntungan AS adalah 1A. Dari contoh tersebut diperoleh bahwa (Pb/Pa) AS (Pb/Pa) INA, atau (Pb) INA (Pb) AS dan (Pa) INA (Pa) AS. Perbedaan harga tersebut merupakan syarat terjadinya perdangan internasional. Jika hara dari jenis barang yang sama tidak berbeda antarnegara, maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional, atau masing-masing negara tidak akan menikmati manfaat perdagangan internasional (Tulus Tambunan,2001). 2.3 Teori Keunggulan Komparatif/ Comparative Adventage (David Ricardo) Menurut David Ricardo, sekalipun sebuah negara memiliki keunggulan mutlak pada beberapa barang, tetapi selama negara yang lebih lemah memiliki keunggulan komparatif pada produksi salah satu barang, maka perdagangan tetap bisa terjadi. Teori david Ricardo yang juga dikenal dengan teori cost comparative advantage (labor efficiency) ini menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang jika negara tersebut berproduksi relative kurang atau tidak efisien. Sebagai contoh, berdasarkan efisiensi tenaga kerja di Indonesia untuk memproduksi 1 unit A. Seorang pekerja hanya membutuhkan 1 hari kerja dan untuk memproduksi 1 unit B diperlukan 2 hari kerja. Di AS untuk memproduksi 1 unit A dan 1 unit B masing-masing diperlukan waktu 4 dan 3 hari kerja. Atau berdasarkan produktivitas tenaga kerja, di INA 1 hari kerja dapat menghasilkan1A dan 1/2B, dan di AS 1 hari kerja dapat menghasilkan 1/4A dan 1/3B. Seperti dapat dilihat pada tabel 2.2, DTDN di INA adalah 2A untuk 1B atau 0,5B untuk 1A, atau (Pb/Pa)INA = 2, sedangkan DTDN di AS adalah (Pb/Pa)AS = 3/4. Jadi di INA mempunyi harga jual lebih tinggi ddan di AS yang mempunyai harga jual lebih tinggi adalah A. Tabel 2.2 Ilustrasi Tingkat Efisiensi Tenaga Kerja David Ricardo Negara INA AS Produksi: jumlah jam kerja per satu unit A B 1(A) INA = 1 1(B) INA= 2 1 (A) AS = 4 1(B) AS = 3 Biaya Relatif {1 (A)/1(B) INA =1/2} {1(A)/1(B) AS = 4/3} Sumber; Tulus Tambunan, 2001 Tabel 2.3 Ilustrasi Tingkat Produktivitas tenaga Kerja David Ricardo Negara INA AS Produksi: jumlah jam kerja per satu unit A B 1'(A) INA = 1 1('B) INA= 1/2 1'(A) AS = 1/4 1('B) AS = 1/3 DTDN (Pb/Pa) INA = 2 (Pb/Pa) AS = 3/4 Sumber; Tulus Tambunan, 2001 Dari contoh pada tabel 2.2 dan 2.3, dengan teori keunggulan absolut dari Adam Smith, perdagangan antara INA dan AS tidak dapat terjadi karena artinya hanya INA yang dapat melakukan ekspor. Jika perdagangan antara kedua negara tersebut tetap dilakukan, misalnya karena AS sangat membutuhkan kain, maka gain from trade hanya dapat dinikmati Indonesia. Namun David Ricardo menyatakan bahwa perdagangan tetap dapat terjadi dengan penjelasan sebagai berikut: berdasarkan tingkat efisiensi tenaga kerja dalam memproduksi A dan B masing-masing negara, selanjutnya dicari untuk barang yang mana Indonesia (atau AS) lebih unggul terhadap Amerika Serikat (atau INA), dalam arti tingkat efisiensi tenaga kerjanya paling tinggi. Hasil perhitungan efisiensi tenaga kerja relatif dapat dilihat pada tabel 2.4: Tabel 2.4 Perhitungan Efisiensi Tenaga Kerja Relatif Negara INA AS Produksi: jumlah jam kerja per satu unit A B 1(A) INA/1(A) AS = 1/4 1(B) INA/ 1(B) AS = 2/3 1(A) AS/1(A) INA = 4 1(B) AS/1(B) INA = 3/2 Sumber; Tulus Tambunan, 2001 Dari tabel 2.4 tersebut terlihat bahwa tingkat efisiensi tenaga kerja di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan AS dalam memproduksi 1 unit A daripada produksi 1 unit B; [1 (A) INA/1(A) AS < 1(B) INA/1(B) AS]. Hal ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi A. Sebaliknya, tenaga kerja AS lebih efisien dibandingkan tenaga kerja INA dalam memproduksi 1 unit B daripada memproduksi unit A [1(A) AS/1(A) INA > 1(B) AS/1(B) INA]. Hal tersebut berarti AS memiliki keunggulan komparatif dalam produksi B. Berdasarkan perbandingan tersebut, Indonesia dan Amerika Serikat masing-masing akan melakukan spesialisasi produksi dan ekspor barang A dan B. Jadi dapat disimpulkan, bahwa meskipun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan Amerika Serikat untuk barang A(kain) dan barang B(komputer), perdagangan internasional tetap bisa terjadi dan saling menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara jika terdapat perbedaan dalam tingkat efisiensi tenaga kerja (cost comparative advantage) dan atau produktivitas tenaga kerja (production comnparative advantage). 2.4 Teori Hecksher-Ohlin/ H-O Teori Hecksher dan Ohlin (H-O) disebut juga teori proporsi faktor (factor propotion) atau teori ketersediaan factor (factor endowment). Dasar pemikiran teori ini adalah perdagangan internasional, misalnya antara Indonesia dan Amerika Serikat terjadi karena opportunity cost antara kedua negara tersebut berbeda. Perbedaan biaya alternative tersebut dikarenakan adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi. Jadi karena factor endowment yang berbeda, maka sesuai hukum pasar harga faktor produksi tersebut juga berbeda antara Indonesia dan Amerika. Jadi menurut teori H-O, suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan ekspor barang-barang yang impor utamanya relative sangat banyak di negara tersebut, serta impor barang yang input utamanya tidak dimiliki oleh negara tersebut (jumlahnya terbatas). Dalam kasus Indonesia, negara tersebut akan ekspor produk-produk yang padat karya (tetapi dalam kategori unskilled workers) atau padat bahan-bahan baku yang berlimpah di dalam negeri, seperti minyak, batu bara, dan komoditas-komoditas lain. (Tulus Tambunan: 2001) Muatan teori H-O yang utama adalah: 1. Dalam perdagangan Internasional yang melandasi keunggulan komperatif adalah bahwa setiap negara memiliki hadiah alam dari Tuhan yang berbedabeda baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga faktor-factor produksi tersebut akan memiliki distribusi yang tidak merata secara proporsional. 2. Perbedaan kepemilikan faktor produksi oleh setiap negara akan mendorong pemakaian faktor produksi dalam kombinasi yang memiliki intensitas yang berlainan. Setiap negara akan mengekspor barang yang memiliki intensitas faktor produksi melimpah. Menurut model Neoklasik ini, perdagangan Internasional tidak bersumber pada perbedaan tingkat produktivitas atau perkembangan teknologi antar negara,melainkan pada perbedaan kelimpahan atau kekayaan faktor produksi. Negara yang memiliki banyak tenaga kerja akan berspesialisasi pada produksi yang bersifat padat karya terutama komoditi primer, serta mengimpor produk yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya seperti produk manufaktur yang bersifat padat modal Teori ini mendorong negara berkembang untuk memfokuskan pengembangan aneka komoditi primer sebagai andalan ekspor yang nantinya akan ditukarkan dengan produk manufaktur. Sehingga, negara berkembang akan lebih berpeluang dalam mengembangkan perekonomiannya serta memperoleh keuntungan maksimal dari hubungan perdagangan Internasional. Dalam rumusan model kelimpahan faktor, suatu negara diasumsikan pada awalnya akan beroperasi pada suatu titik tertentu dimana kurva batas kemungkinan produksi sangat ditentukan oleh kondisi permintaan domestik. 2.5 Competitive Advantage of Nation Menurut M Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 faktor penentu yaitu: 1. Factor Conditions Faktor conditions adalah sumber daya yang memiliki oleh suatu negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini: a. Human resources (SDM) b. Physical resources (SDA) c. Knowledge resources (IPTEK) d. Capital resources (permodalan) / (SDC) e. Infrastructure resources (SDI) 2. Demand Condition Permintaan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu keunggulan daya saing atau competitive advantage suatu bangsa/perusahaan produk atau jasa yang dihasilkannya. Adapun yang dimaksud dengan demand conditions tersebut terdiri atas: a. Composition of home demand b. Size and pattern of growth of hoine demand c. Rapid home market growth d. Trend of International demand 3. Related and Supporting Industry Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing, maka perlu selalu dijaga keberadaan industri pemasok industri terkait, terutama dalam menjaga dan memelihara value chain. 4. Firm Strategy, Structure and rivalry Strategi perusahaan, stuktur organisasi dan modal perusahaan, serta kondisi persaingan di dalam negari merupakan faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi competitive advantage perusahaan. Rivalry yang berat di dalam negeri biasanya justru akan lebih mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan produk dan teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektifitas, serta peningkatan kualitas produk dan pelayanan. Selain keempat faktor penentu dalam tingkat persaingan Internasional tersebut, keunggulan komparatif nasional juga dipengaruhi oleh faktor kebetulan (penemuan baru, perubahan kurs, konflik keamanan) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah. Faktor luar lainnya yang penting dan sangat menentukan secara eksternal adalah faktor sumber daya manusia yang dibagi menjadi dua yaitu, system pemerintah (government) dan terdapatnya akses dan kesmpatan dalam melakukan suatu hal yaitu, perubahan (Hamdi Hadi : 2004). 2.6 Hyper Competitive (Richard D’Aveni) Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara regional maupun internasional yang berlangsung hingga saat ini telah menyebabkan persaingan global yang semakin ketat, bahkan menuju hyper competitive. Hal ini dibuktikan antara lain oleh adanya persaingan dan ancaman dari korea, Taiwan, Singapura dan negara lainnya. Persaingan dan ancaman tersebut dihadapi oleh industri elektronik dan otomotif Jepang, AS dan Eropa yang selama ini menguasai pasar dunia. Selain itu, persaingan yang sangat ketat juga terjadi di antara sesama negara yang sedang berkembang, khususnya untuk produk-produk industri ringan seperti tekstil dan produk tekstil, sepatu, agro industri, dan lain-lain. Kondisi persaingan global yang hyper competitive tersebut memaksa setiap negara/perusahaan untuk menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi yang tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang denagn disertai keberhasilan dalam mempertahankan atau meningkatkan sustainable real income secara efekif dan efisien. Strategi ini dikenal atau disebut sebagai Sustainable Competitive Advantage atau SCA yaitu keunggulan daya saing berkelanjutan (terus menerus). Akan tetapi, menurut Richard D’Aveni (1994), pada situasi hyper competitive tidak ada lagi perusahaan atau negara yang dapat memiliki keunggulan daya saing berkelanjutan. Sehubungan dengan pendapat Richard D’Aveni ini perlu dikemukakan beberapa catatan (Hamdi Hady: 2004) sebagai berikut: Pada situasi hyper competitive, keunggulan daya saing suatu perusahaan atau negara tetap didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun dengan periode/jangka waktu yang relatif pendek. Beberapa catatan penting dari teori ini adalah: (1) Pengertian SCA atau keunggulan daya saing berkelanjutan harus diartikan sebagai keunggulan yang diperoleh karena invention dan innovation secara terus menerus, sehingga tetap unggul dari pesaing; (2) invention dan innovation diperoleh dari hasil research dan development, baik yang bersifat scientific maupun applied; (3) Sustainable competitive advantage ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agro industri karena sumber atau resource base-nya dapat diperbaharui atau renewable. Sustainable competitive advantage, yang diperoleh melalui invention dan innovation Dengan demikian, selama suatu negara masih memiliki sustainable competitive advantage, maka negara tersebut akan dapat terus mengekspor produknya, dan tentunya akan lebih baik untuk mengimpor produk lain. 2.7 Competitive Liberalization Keinginan masing-masing negara untuk dapat bekerja secara produktif, efisien dan efektif agar dapat bersaing di pasar global pada dekade terakhir ini telah mendorong terjadinya competitive liberazation terutama di kawasan Asia Pasifik. Khususnya di bidang perdagangan dan investasi. Competitive liberazation atau persaingan liberalisasi ini dilakukan karena masing-masing negara berusaha untuk membuat situasi dan kondisi ekonominya menjadi menarik bagi investor atau penanam modal asing (Hamdi Hady; 2004). Persaingan liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara yang didasarkan pada comparative advantage dinamis dan atau competitive advantage menurut diagram diamond Porter’s akan menyebabkan suatu negara dapat mengekspor atau lebih baik mengimpor dan mengekspor produk tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih baik mengimpor dan mengekspor produk tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan bagi masing-masing negara. 3. Manfaat Perdagangan Internasional Perdagangan dalam istilah ekonomi, diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Penggunaan istilah kehendak sukarela tersebut memiliki implikasi yang sangat mendasar yaitu perdagangan akan terjadi hanya apabila paling tidak ada satu pihak yang memperoleh keuntungan atau manfaat dan tidak ada pihak lain yang merasa dirugikan. Atau akan timbul karena salah satu pihak atau kedua belah pihak melihat adanya manfaat atau keuntungan tambahan yang bisa diperoleh sebagai hasil dari proses perdagangan tersebut. Hal tersebut tidak saja berlaku dalam perdagangan lingkup daerah dan nasional saja. Tetapi juga berlaku pada perdagangan internasional, yang tidak hanya melihat orang per orang atau kelompok per kelompok dalam satu daerah saja, tetapi sudah semakin meluas hingga melibatkan penduduk dari suatu negara dengan penduduk dari negara lain (Boediono: 1994). Tujuan dilakukannya perdagangan internasional salah satunya adalah untuk mengatasi hambatan ekonomi yang banyak terjadi pada negaranegara di dunia. Terutama dalam upaya meningkatkan pendapatan dan memperluas kesempatan kerja. Untuk negara yang sedang berkembang, perdagangan internasional sangatlah membantu dalam mengatasi masalah kemiskinan dan menurunkan angka ketergantungan, khususnya ketergantungan akan sumber dana bagi pembangunan, dengan cara dihasilkannya devisa bagi negara tersebut (Djojohadikusumo, 1985). Tumbuhnya kegiatan perdagangan internasional suatu negara akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan. Dan apabila suatu negara mengalami mengalami pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, maka akan meningkatkan pendapatan nasionalnya. Perdagangan internasionaljuga dapat memperluas pasar bagi barang-barang produksi domestik, yang bila diteruskan akan membawa implikasi pada perluasan lapangan kerja di dalam negeri dan transfer of technology. Suatu negara yang melakukan perdagangan internasional dapat mengadakan realokasi sumberdaya yang dimilikinya secara lebih efisien, sehingga dapat memproduksi output pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Ini berdampak pada peningkatan jumlah barang yang akan diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk, sehingga kesejahteraan negara tersebut dapat meningkat. Dengan kata lain, adanya kegiatan perdaganagan internasional dapat memberi sumbangan yang sangat penting dalam mempertinggi dan menambah efisiensi kegiatan ekonomi suatu negara. Sehingga akan mendorong suatu suatu negara untuk melakukan spesialisasi terhadap produk-produk yang dihasilkannya. 4. Ekspor Non Migas Pengertian ekspor non migas adalah ekspor produk-produk diluar minyak dan gas bumi yang terdiri produk-produk sektor pertanian, industri (manufaktur), pertambangan dan lainnya, seperti barang-barang seni (Departemen Perdagangan RI, 2001). Komoditi ekspor non migas dikelompokkan menjadi komoditi primer dan non primer. Komoditi primer merupakan hasil dari sektor- sektor pertanian dan pertambangan, sedangkan komoditi non primer berasal dari sektor industri dan lainnya (BPS, 2000). Kinerja ekspor non migas yang didominasi oleh produk-produk manufaktur mengindikasikan bahwa proses industrialisasi disuatu negara berjalan baik. Suatu negara dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan ekspor non migas khususnya ekspor manufaktur jika pertumbuhan ekspor rata-rata per tahun tinggi dan komposisinya tidak lagi didominasi oleh barangbarang sederhana (barang baku/barang setengah jadi), melainkan sebagaian besar sudah berupa produk-produk dengan nilai tambah dari hasil proses pengolahan yang efisien dan maju sehingga berdaya saing internasional (Tulus Tambunan, 2001). 5. Hambatan dalam Perdagangan Internasional Beberapa hambatan dalam perdagangan internasional antara lain: a. Tarif/ Bea Masuk Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati suatu negara (Nopirin; 1995). Ditinjau dari mekanisme perhitungannya, ada beberapa jenis tarif yakni: 1) Tarif Ad Valorem (ad valorem tariff) Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka presentase tertentu dari nilai-nilai barang-barang yang di impor (misal: suatu negara memungut tarif 25% atas nilai atau harga dari setiap unit mobil yang diimpor) 2) Tarif Spesifik (specific tariff) Tarif spesifik adalah tarif yang dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor (misalnya; pungutan US$ 3 untuk setiap bahrel minyak). 3) Tarif Campuran (compound tariff) Tarif campuran adalah gabungan dari kedua tari ad valorem dari tarif spesifik. Disamping mgenakan pungutan dalam jumlah tertentu, tarif campuran juga memungut sekian persen lagi. b. Kuota Kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif yang paling penting. Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor (Nopirin; 1995). Kuota bisa serupa pembatasan kuantitas pasokan. Sedangkan kuota impor yang didefinisikan sebagai pembatasan jumlah volume terhadap barang yang masuk ke dalam negeri. Jenis kuota impor adalah: a) Absolute atau unilateral kuota adalah kuota yang besar/kecilnya ditentukan sendiri sendiri oleh suatu negara tanpa persetujuan dengan negara lain. Kuota semacam ini sering menimbulkan tindakan balasan oleh negara lain. b) Negotiated atau bilateral kuota adalah kuota yang besar/kecilnya ditentukan berdasarkan perjanjian antara 2 negara atau lebih. c) Tarif kuota adalah gabungan antara tarif dan kuota. Untuk sejumlah tertentu barang yang diizinkan masuk (impor) dengan tarif tertentu, tambahan impor masih diizinkan tetapi dikenakan tarif yang lebih tinggi. d) Mixing kuota yakni membatasi penggunaan bahan mentah yang diimpor dalam proporsi tertentu dalam produksi barang akhir. Pembatasan ini untuk mendorong berkembangnya industri di dalam negeri. Pembatasan barang yang diimpor menyebabkan berkurangnya barang impor tersebut di pasar dalam negeri, sedangkan permintaan relatif tetap. Keadaan ini mengakibatkan harga impor di pasar dalam negeri lebih tinggi daripada pasar dunia. c. Subsidi Subsidi adalah memberikan bantuan atau kemudahan bagi produksi dalam negeri sehingga hasil produksi dalam negeri menjadi lebih murah dari produk impor. d. Buy Local Legislation Yaitu adanya undang-undang di suatu negara yang mengharuskan penduduknya membeli produk dalam negeri. e. Penerapan syarat-syarat dan sertifikasi tertentu Syarat-syarat tertentu sengaja diberlakukan guna menghambat masuknya produk-produk impor. Seperti misalnya: Eropa dikenal dengan syarat non CFC, di Amerika ada syarat Ozon Friendly, Negara Timur Tengah memberlakukan sertifikasi halal, persyaratan sertifikat ISO (Inernational Standardization Operation) seperti ISO 9001 dan ISO 14000, dan lain-lain. f. Reciprocal Requirement Dalam hal ini, suatu negara hanya mau mengimpor jika negara mitra dagang tersebut juga mau mengimpor dari negara yang bersangkutan. g. Larangan Impor Adalah bentuk hambatan langsung yang merupakan bentuk yang paling ekstrim dari segala hambatan impor. Meskipun secara umum perdagangan luar negeri memberikan manfaat kepada perekonomian dan masyarakat, dalam prakteknya banyak negara yang menggunakan kebijakan menghambat impor, hal ini didasarkan dengan alasan: a) Mengurangi masalah deflasi dan pengangguran. Dengan adanya pembatasan ke atas barang-barang dari luar negeri, permintaan terhadap produksi dalam negeri akan bertambah. Pertambahan permintaan itu akan menaikkan tingkat kegiatan ekonomi dan menurunkan pengangguran. b) Menghapus defisit dalam neraca pembayaran. Menciptakan penghambat impor adalah salah satu langkah yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk mengatasi defisit dalam neraca pembayaran. c) Mensukseskan usaha mendiversifikasikan perekonomian. Tujuan ini terutama dijalankan di negara-negara berkembang yang masih belum maju yang kegiatan di sektor pertanian dan mengekspor beberapa jenis bahan mentah. Struktur ekspor seperti itu menyebabkan kegiatan ekonomi negara-negara itu sangat dipengaruhi oleh perubahanperubahan harga da pasaran luar negeri. d) Melindungi industri yang baru berkembang. Hal ini dilakukan sebagai lanjutan dari usaha mendiversifikasikan perekonomian, kegiatankegiatan ekonomi baru, terutama kegiatan di bidang industri, akan dikembangkan. Kekurangan pengalaman, tenaga kerja yang masih belum mencapai keterampilan tinggi, pasar yang masih terbatas, dan beberapa alasan lainnya menyebabkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang baru tersebut masih belum sanggup bersaingdenagn yang ada di negara lain. e) Melindungi industri dalam negari yang kedudukannya tercancam. Sering kali penghambat impor digunakan pula untuk melindungi tingkat kemakmuran yang sudah dicapai oleh segolongan masyarakat tertentu. Seringkali harga barang impor lebih murah dari harga barang dalam negeri, hal ini akan cenderung menurunkan pendapatan masyarakat, yang dikarenakan harga barang dalam negeri akan ikut mengalami penurunan. Penurunan pendapatan tersebut dapat dihindari dengan menggunakan tarif yang tingginya adalah sedemikian rupa sehingga harga barang yang diimpor tidak berbeda atau lebih tinggi daripada harga barang yang sama yang dihasilkan di dalam negeri (Sadono Sukirno: 2002) 6. Definisi dan ruang Lingkup Ekspor Definisi ekspor adalah: a. Kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Daerah pabean adalah: Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang angkasa diatasnya, serta tempat-tempat tertentu didalamnya berlaku Undang-Undang No 10 Tahun 1995, tentang Kepabeanan (SK Menperindag No. 146/MPP/IV/1999). b. Mengeluarkan barang-barang dari peredaran dalam masyarakat dan mengirimkan ke luar negeri sesuai ketentuan pemerintah dan mengharapkan pembayaran dalam valuta asing (Nopirin, 1995). c. Kegiatan jual beli yang dilakukan dengan negara/bangsa lain dengan pembayaran valuta asing (Amir MS, 2000). Guna memahami proses transaksi ekspor, berikut ini akan diuraikan empat tahapan international trade process yang mencakup: a) Sales’s Contract Process 1. Eksportir mempromosikan komoditas yang diekspornya melalui media promosi seperti pameran dagang, iklan di koran, majalah, radio, maupun televisi, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, atau melalui badan-badan khusus urusan promosi ekspor seperti Badan Pengembang Ekspor Nasional (BPEN), Lembaga Penunjang Ekspor (LPE), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia), Atase Perdagangan RI di tiap Kedutaan Besar RI di luar negeri, Atase Perdagangan asing di tiap Kedutaan Besar di Jakarta, Kamar Dagang dan Industri negara asing di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti American Chamber of Commerce (AMCHAM), China External Trade Association (CETRA), Japan External Trade Organization (JETRO), Korean Trade Agency (KOTRA) dan lain-lain. Tujuan promosi adalah untuk menarik minat calon importir terhadap komoditas yang diekspor. 2. Importir yang berminat mengirimkan surat permintaan harga atau Letter of Inquiry kepada eksportir. Letter of Inquiry Lazimnya berisikan permintaan penawaran harga dengan memberitahukan mutu barang yang diinginkan, kuantumyang ingin dibeli, harga satuan dan total harga dalam valuta asing (US$ atau lainnya), waktu pengiriman (shipment date), nama pelabuhan tujuan yang diinginkan. 3. Eksportir memenuhi permintaan importir dengan mengirimkan surat penawaran harga yang lazim disebut dengan Offersheet. Offersheet berisiskan keterangan sesuai permintaan importir, seperti uraian barang, mutu, kuantum, waktu penyerahan, harga dan tempat penyerahan barang, syarat pembayaran, waktu pengapalan, cara pengepakan barang, brosur, dan bila perlu contoh barang yang ditawarkan. Penawaran itu juga menyebutkan apakah penawaran bersifat free offer ataukah firm offer. 4. Importir, setelah mempelajari dengan seksama offersheet dari eksportir, menempatkan surat pesanan dalam bentuk ordersheet atau purchase order kepada eksportir. 5. Eksportir menyiapkan kontrak jual beli ekspor (sale’s contract) sesuai dengan data dari offersheet dan ordersheet ditambah dengan keterangan seperti force majeur clause, klaim, syarat pengapalan seperti partial shipment, transhipment, wessel age, dan lain-lain. Kontrak tersebut ditandatangani oleh eksportir dan dikirimkan kepada importir untuk ditandatangani pula sebagai tanda persetujuan atas sale’s contract itu. Lazimnya sale’s contract dibuatkan dalam rangkap dua (two original). 6. Importir mempelajari sale’s contract dengan seksama, dan bila menyetujuinya kemudian ia menandatangani dan mengembalikan kepada eksportir. Satu original copy ditahan oleh importer sebagai dokumen asli transaksi yang lazim disebut sebagai sale’s confirmation. Kedua sale’s confirmation copy yang asli ini mempunyai kekuatan hukum yang sama. b) Letter of Credit Opening Process 1. Importir meminta kepada bank devisanya untuk membuka sebuah Letter of Credit (L/C) sebagai dana yang dipersiapkan untuk melunasi hutangnya kepada eksportir, sejumlah yang disepakati dalam sale’s contract dan sesuai dengan syarat-syarat pencairan yang disebut dalam sale’s contract dan merajuk pada ketentuan dari The Uniform Customs and Practice of Document Letter of Credit dari kamar Dagang Internasional. Paris no. 500 atau UPC-DC-500. L/C yang dibuka adalah untuk dan atas nama eksportir atau orang atau badan usaha lain yang ditentukan eksportir, sesuai kesepakatan dalam sale’s contract. Bank devisa yang diminta importir membuka L/C itu disebut opening bank. Opening bank inilah yang bertanggung jawab melakuakan pembayaran atas L/C itu kepada eksportir penerima L/C. Importir yang meminta pembukaan L/C disebut aplicant. 2. Opening bank setelah menyelesaikan jaminan dana L/C dengan importir, melakuakan pembukaan L/C melalui bank korespondennya di negara eksportir. Pembukaan L/C dilakukan dengan surat, kawat, teleks, faksimili, atau media elektronik lainnya yang sah. Penegasan pembukaan L/C dalam bentuk tertulis itu disebut L/C confirmation yang diteruskan oleh opening bank kepada bank korespondennya untuk disampaikan kepada penerima, yaitu eksportir yang disebut dalam surat itu. Bank koresponden yang diminta opening bank untuk menyampaikan amanat pembukaan L/C disebut advising bank. 3. Advising bank setelah menelitu keabsahan amanat pembukaan L/C yang diterimanya dari opening bank meneruskan amanat pembukaan L/C itu kepada eksportir yang berhak menerima dengan surat pengantar dari advising bank. Surat pengantar itu disabut L/C Advise, sedangkan eksportir penerima L/C disebut beneficiery dari L/C itu. Bila advising bank diminta dengan tertulis oleh opening bank untuk turut menjamin pembayaran atas L/C tersebut, maka advising bank juga disebut sebagai confirming bank. c) Cargo Shipment Process 1. Eksportir setelah menerima L/C confirmation yang sifatnya operatif (sah sebagai landasan pembayaran) kemudian mempersiapkan barang ready for export, melakukan booking atau memesan ruangan/tempat kepada perusahaan pelayaran (shipping company) yang kapalnya akan berangkat ke pelabuhan tujuan yang dimaksud dalam sale’s contract serta sesuai dengan waktu pengapalan (shipment date) yang disepakati dalam sale’s contract tersebut. Eksportir kemudian mengurus formalitas ekspor seperti mengisi pemberitahuan ekspor barang, membayar Pajak Ekspor (PE) dan Pajak Ekspor Tambahan (PET) melalui advising bank, mengurus izin muat kepada Kantor Inspeksi Bea dan Cukai di pelabuahan muat. Setelah semua formalitas ekspor selesai, eksportir menyerahkan barang kepada perusahaan pelayaran selesai, eksportir menyerahkan barang kepada perusahaan pelayaran (shipping company) 2. Shipping company, setelah selesai melakukan pemuatan barang ke atas kapal, menyerahkan bukti penerimaan barang, bukti kontrak angkutan, dan bukti pemilikan barang dalam bentuk Bill of Lading atau transport document lainnya kepada eksportir yang dalam pengangkutan ini disebut shipper. 3. Shipping company selanjutnya bertanggung jawab mengangkut muatan itu sampai ke pelabuhan tujuan, serta menyerahkannya dengan selamat dan utuh kepada penerima barang yang disebut dalam B/L di pelabuhan tujuan (destination port) yang juga disebutkan dalam B/L itu. 4. Importir selaku penerima barang (consignee), bila telah menerima dokumen pengapalan (shipping document) dari opening bank, mengurus izin impor (import clearance) kepada pihak Bea Cukai di pelabuhan tujuan. Kemudian importir menghubungi agen pelayaran (shipping agent) di pelabuhan tujuan di negaranya untuk menerima muatan itu. 5. Shipping agent menyerahkan muatan kepada importir segara setelah pelunasan biaya yang menjadi hak shipping agent bersangkutan. Dengan ini maka selesailah proses penerimaan barang oleh importir. d) Shipping Documents Negotiation Process 1. Eksportir, setelah menerima Bill of Lading dari perusahaan pelayaran, menyiapkan semua dokumen pengapalan yang disyaratkan dalam letter of Credit seperti faktur, daftar pengepakan, sertifikasi mutu, Surat Keterangan negara Asal (SKA) dan lain sebagainya seperti wessel (draft) serta surat pengantar negosiasi dokumen secara lengkap dan cermat. Semua dokumen pengapalan itu diserahkan eksportir kepada negotiation bank yang ditentukan dalam L/C untuk memperoleh pembayaran (payment). 2. Negotiating bank meneliti dengan seksama semua dokumen pengapalan yang diminta dalam syarat-syarat L/C. Bila semua cocok baik jumlah, jenis, maupun uraian sebagaimana yang dituntut oleh L/C, maka negotiating bank akan membayarkan sejumlah yang ditagih oleh eksportir dari dana L/C yang tersedia. 3. Negotiating bank meneruskan dokumen pengapalan yang sudah dilunasi itu kepada opening bank yang membuka L/C bersangkutan sebagai penagihan kembali uang yang sudah dibayarkan oleh negotiating bank tersebut kepada eksportir. 4. Opening bank memeriksa dengan seksama semua dokumen pengapalan itu dan bila ternyata sesuai dengan syarat-syarat L/C yang dibuka maka opening bank kemudian melunasi uang yang sudah dibayarkan oleh negotiating bank. Pembayaran pelunasan kembali ini disebut sebagai reimbursement. 5. Opening bank selanjutnya memberitahukan penerimaan dokumen pengapalan itu kepada importir. Importir akan mengambil dokumen pengapalan itu kepada opening bank dan menyelesaikan pelunasan dokumen pengapalan tersebut dengan opening bank bersangkutan. Setelah itu opening bank akan menyerahkan seluruh dokumen pengapalan itu kepada importir untuk dipergunakan menerima barang bersangkutan dari perusahaan pelayaran dan Bea Cukai setempa (Amir, 2003). B. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Ekspor 1. Impor Impor adalah memasukkan barang-barang dari luar negeri sesuai dengan ketentuan pemerintah ke dalam peredaran dalam masyarakat yang di bayar dengan menggunakan valuta asing. Salah satu tujuan kegiatan impor adalah memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dengan cara mendatangkan barang yang belum tersedia di dalam negeri dari luar negeri. Sebelum berlakunya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU No. 1/1967) dan Undang-undang Penanaman Modal dalam Negeri (UU No.6/1968) maka pola impor Indonesia berturut-turut terdiri dari barang konsumsi, bahan baku dan barulah disusul barang modal. Setelah berlakunya undang-undang tentang PMA dan PMDN di atas maka pola impor Indonesia telah mengalami perubahan menjadi berturut-turut terdiri dari barang modal, bahan baku dan di susul dengan barang konsumsi (Amir M.S, 2003). Impor pembangunan. Indonesia meningkat pengembangan sejalan kapasitas dengan produksi peningkatan dalam negeri memerlukan impor barang-barang modal yang belum dapat diproduksi di dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu pembangunan proyek-proyek prasarana yang di perlukan untuk mendukung kapasitas produksi dalam negeri yang semakin berkembang juga memerlukan impor. Impor berdasarkan golongan barang terdiri dari barang modal, barang konsumsi, dan bahan baku/penolong. Impor yang khususnya bahan modal, barang konsumsi, dan bahan baku akan mendorong peningkatan ekspor non migas Indonesia. Beberapa produk ekspor masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi. Perkembangan impor mencerminkan struktur produksi dalam negeri yang berkembang pesat. Pada tahun 1986/1987 kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi telah dapat mendorong ekspor non migas yang berkembang dengan pesat. Peningkatan ekspor non migas ini mengakibatkan impor bahan baku/ penolong meningkat selanjutnya untuk menambah kapasitas produksi, impor barang-barang modal meningkat pula (Jamli, 1992). 2. Kurs (Exchange Rate) Kurs adalah perbandingan nilai atau harga antara mata uang sendiri dengan mata uang negara asing, atau disebut dengan exchange rate. Kurs (nilai tukar) tergantung dari sistem kurs dan sifat pasar yang diterapkansuatu negara. Jika sistem kurs yang dianut adalah kurs bebas maka kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaandan penawaran. Jika misalnya dollar banyak diminta (karena impor meningkat)maka harga dollar akan naik. Kenaikan harga dollar akan mengakibatkan permintaan dollar turun dan impor cenderung turun karena mahal. Sebaliknya ekspor akan meningkat (terutama yang kandungan impornya rendah) karena didorong oleh nilai dollar yang tinggi sehingga menguntungkan (Nopirin; 1987). Pada teori Purchasing Power Parity (PPP), dasar teorinya bahwa, perbandingan nilai satu mata uanglain ditentukan oleh daya beli uang tersebut terhadap komoditi (bareng dan jasa) pada masing-masing negara. Terdapat dua versi dalam teori PPP yaitu: 1) Teori Purchasing Power Parity Interpretasi Absolut, teori ini pada dasarnya bahwa perbandingan nilai satu mata uang dengan mata uang negara lain (kurs) ditentukan oleh tingkat harga pada masing-masing negara. 2) Teori Purchasing Power Parity Arti Relatif, maksudnya adalah bahwa PPP kurs yang perhitungannya didasarkan pada perubahan harga. Bila terjadi perubahan harga di kedua negara, maka kurs tersebut harus mengalami perubahan juga (Amalia, 2007). PPP menyatakan bahwa semua tingkat harga dari seluruh negara sama besarnya bila diukur dalam satuan mata uang sama (Krugman, 1991). Jika kurs yang dipakai adalah stabilisasi kurs (kurs yang distabilkan), maka pemerintah dapat melakukan intervensi pasar dengan cara sebagai berikut: apabila tendensi kurs valuta asing akan naik (nilai mata uang sendiri turun relative terhadap valuta asing) maka pemerintah akan menjual valuta asing di pasar. Dengan tambahnya penawaran valuta asing tersebut maka tendensi kurs untuk naik dapat dicegah, dan sebaliknya. Kegiatan ekonomi da Kebijakan Pemerintah (fiskal dan moneter) yang mempengaruhi pendapatan, harga dan bunga akan berpengaruh terhadap kurs. Disamping faktor-faktor ekonomi, kurs valuta asing juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi seperti faktor politis dan psikologi baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar. Kurs memiliki efek positif terhadap ekspor. Semakin tinggi nilai kurs maka menyebabkan harga produk ekspor menjadi semakin murah dimata buyer luar negeri. Misalnya: kurs dari 1$ = Rp 2.500 menjadi 1$ = Rp 10.000. Jika kita menjual produk dengan harga Rp 1.000.000, sebelumnya buyer harus membayar 400$ maka setelah nilai kurs naik, buyer cukup membayar Rp 1.000.000 dengan 100$ adanay haraga yang semakin murah diminta buyer inilah yang menyebabkan permintaan akan naik yang selanjutnya ekspor akan meningkat. Dari sisi eksportir, naiknya inilah kurs (nilai mata uang sendir turun relative terhadap valuta asing) akan mendorong peningkatan produksi akibat keuntungan yang semakin meningkat. Harga jual ekspor biasanya ditetapkan dalam dollar, sehingga jika eksportir penjual produk dengan harga 400$, jika 1$ = Rp 2.500 maka akan menerima Rp 1.000.000, maka jika nilai rupiah merosot menjadi 1$ = Rp 10.000, dengan harga yang tetap (400$) maka eksportir akan menerima pembayaran dalam rupiah sebesar Rp 4.000.000. Intinya, dengan menurunnya nilai rupiah terhadap dollar maka ekspor akan meningkat karena baik dilihat dari eksportir dan importir sama-sama memperoleh keuntungan. Bagi eksportir akan menerima rupiah yang lebih besar sementara bagi importir harga ekspor menjadi lebih murah (dalam Dollar). Semua kondisi tersebut berlangsung dengan asumsi menurunnya nilai tukar rupiah tidak diikuti oleh inflasi dalam negeri yang lebih besar. 3. Inflasi Definisi singkat inflasi adalah kecenderungan harga-harga untuk menaik secara umum dan terus-menerus. Berdasarkan sebab awal terjadinya, inflasi dibedakan menjadi dua yakni: a) Demand-pull Inflation, adalah inflasi yang timbul karena kenikan permintaan total (aggregate demand) yang menyebabkan kenaikan harga dan juga menaikkan hasil produksi (output) dengan asumsi perekonomian belum mencapai full employment. Pada inflasi jenis ini, kenaikan harga barang akhir (output) mendahului kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah dan sebagainnya) b) Cost-push Inflation, adalah inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi akan menyebabkan produksi turun dan penawaran total (aggregate supply) berkurang yang pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga. Kenaikan biaya produksi dapat berasal dari kenaikan harga bahan baku industri, perjuangan seriakat buruh yang berhasil menuntut kenaikan upah dan lain-lain. Kenaiakan biaya produksi pada gilirannya akan menaikan harga dan turunnya produksi. Jadi, pada jenis inflasi ini kenaiakn harga barang akhir (output) mengikuti kenaikan harga-harga barang input/ faktor produksi (Boediono; 1995) Efek inflasi terhadap output dapat positip maupun negatif. Inflasi dapat menyebabakan terjadinya kenaikan produksi karena kenaiakn harga output mendahului harga input/ faktor produksi sehingga keuntungan produksi naik, kenaikan keuntungan akan merangsang peningkatan produksi. Kondisi tersebut dapat terjadi sepanjang inflasi masih dapat ditolerir (inflasi dibawah satu digit). Namun bila laju inflasi cukup tinggi (hyper inflation), menyebabkan nilai uang riil turun dengan drastis dan jika diikuti dengan naiknya biaya produksi maka akan berakibat pada penurunan produksi (output). Inflasi di dalam negari yang tidak dibarengi dengan tingkat jumlah uang beredar yang meningkat menyebabkan penawaran uang riil berkurang sehingga suku bunga akan naik akan naik yang menyebabkan investasi akan turun. Jika suku bunga naik diikuti oleh naiknya biayabiaya produksi yang lain, seperti upah dan sebagainya maka produksi akan mengalami penurunan. 4. Produk Domestik Bruto per Kapita Menurut Edgmand E Michael (1979) bahwa fluktuasi perdagangan internasional (ekspor-impor) salah satunya dipengaruhi oleh Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita negara pengimpor. Dari negara importir, peningkatan pendapatan per kapita akan mendorong meningkatnya permintaan terhadap produk impor (berarti ekspor meningkat jika dilihat dari negara pengekspor). Terdapat hubungan positif antara peningkatan PDB per kapita negara lain dengan ekspor dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi negaranegara di dunia yang semakin tinggi menyebabkan permintaan akan barang dan jasa juga semakin meningkat. Berubahnya pendapatan luar negeri dengan sendirinya akan menyebabkan berubahnya permintaan barang ekspor dalam negeri / income inelasticity of demand. Namun demikian, untuk komoditi yang termasuk inferior goods, maka kenaikan pendapat per kapita negara-negara tujuan ekspor justru akan mengurangi permintaan impor mereka. Dengan kata lain terdapat pengaruh negatif antara peningkatan pendapatan per kapita negara lain dengan ekspor dalam negeri (Sobri; 2001). C. Penelitian Terdahulu 1. Ahmad Adi Nugroho, penelitian ini berjudul Analisis Ekspor Non Migas Indonesia (2000-2004). Variable X yaitu pendapatan per kapita negara tujuan, Cadangan devisa negara tujuan ekspor, jarak geografi. Sedangkan variable Y yaitu ekspor non migas. Teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder. Dari hasil analisis regresi didapat: pendapatan perkapita negara tujuan berpengaruh positif dan signifikan, cadangan devisa negara tujuan ekspor berpengaruh positif dan signifikan, jarak geografi menunjukan nilai koefisien negatif. 2. Yito Lestiyono, penelitian ini berjudul Analisis Pengaruh Kurs, Inflasi, dan Impor Terhadap Ekspor Non Migas Indonesia tahun 2002-2007. Variable X yaitu kurs, inflasi dan impor. Sedangkan variable Y yaitu ekspor non migas Indonesia. Teknik pengumpulan datanya menggunakan data sekunder. Dari hasil regresi didapat: variable kurs tidak berpengaruh terhadap ekspor non migas Indonesia, variable inflasi tidak berpengaruh terhadap ekspor non migas Indonesia, variable impor berpengaruh positif terhadap ekspor non migas Indonesia. 3. Sekar Ayu Widyawati, penelitian ini berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Kakao Indonesia ke Amerika Serikat tahun 1990-2007. Variable X yaitu GDP negara pengimpor, harga domestik kakao, harga internasional kakao, harga internasional gula, harga internasional soybean oil, sedangkan variable Y yaitu ekspor kakao. Hasil regresi didapat: GDP negara pengimpor (AS) berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia ke AS. Harga domestik kakao berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ekspor kakao Idonesia ke AS. Harga internasional kakao perpengaru positif dan signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia ke AS. Harga internasional gula memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia ke AS. Harga internasional soybean oil memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia ke AS. 4. Andriyanto, penelitian ini berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Utama Industri Kreatif Indonesia ke Lima Negara Tujuan Ekspor Utama. Variable X yaitu: cadangan devisa lima negara tujuan ekspor utama, GDP lima negara tujuan ekspor utama , kurs lima negara tujuan ekspor. Variable Y yaitu ekspor komoditi utama industri kreatif Indonesia. Hasil regresi di dapat: perubahan cadangan devisa lima negara tujuan ekspor utama berpengaruh positif terhadap perubahan ekspor komoditi utama industri kreatif Indonesia, perubahan GDP lima negara tujuan ekspor utama berpengaruh positif terhadap perubahan ekspor komoditi utama industri kreatif Indonesia, perubahan kurs mata uang lima negara tujuan ekspor utama berpengaruh positif terhadap perubahan ekspor komoditi utama industri kreatif Indonesia. 5. M. Ridwan dan Wildan Syafitri, penelitian ini berjudul Analisis Faktorfaktor Penentu Perkembangan Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Jepang. Dari hasil regresi di dapat: perkembangan penawaran ekapor produk industri kayu lapis dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh perubahan variable harga ekspor, harga dalam negeri, kapasitas produksi dalam negeri, sedangkan harga harga dalam negeri berpengaruh negatif, telah mendorong meningkatnya penawaran ekspor produk industri manufaktur Indonesia secara berarti. Sementara fluktuasi nilai tukar riiil Rupiah terhadap Dollar AS tidak berpengaruh signifikan. Dari sisi permintaan dapat disimpulkan bahwa fluktuasi variable harga ekspor, harga kayu lapis di Jepang dan pendapatan negara Jepang berpengaruh positif dan signifikan terhadap perkembangan permintaan ekspor produk manufaktur Indonesia. Sementara nilai tukar yen Jepang terhadap Dollar AS tidak berpengaruh signifikan. Tidak signifikannya pengaruh nilai tukar Yen terhadap Dollar AS diperkirakan karena dua faktor berikut: a. Melemahnya karena daya saing produk ekspor kayu lapis Indonesia dibandingkan di pasar internasional; b. Tidak banyak produk ekspor kayu lapis yang di ekspor ke Jepang. Hal ini menyebabkan, apresiasi Yen terhadap Dollar AS tidak banyak mempengaruhi perkembangan nilai total ekspor produk industri manufaktur Indonesia. D. Kerangka Pemikiran Perdagangan mempunyai arti khusus dalam ilmu ekonomi. Perdagangan diartikan sebagai proses tukar menukar yang di dasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Pertukaran yang terjadi karena paksaan, ancaman dan sebagainya tidak termasuk dalam arti perdagangan yang dimaksud di sini. Masing-masing pihak harus mempunyai kebebasan untuk menukar untung rugi pertukaran tersebut dari sudut kepentingan masing-masing. (Nopirin, 1995) Dalam memenuhi pencapaian tujuan dari perdagangan harus memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi dari tujuan perdagangan diantaranya yaitu; impor, kurs, inflasi, pendapatan per kapita negara tujuan yaitu Jepang. Impor khususnya yang berupa bahan baku, bahan penolong dan barang modal akan mendorong peningkatan ekspor. Beberapa produk ekspor Indonesia masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi. Naiknya inflasi di dalam negari akan menyebabkan suku bunga naik dan biaya produksi juga naik sehingga akan mengurangi produksi dan ekspor menurun. Kurs miliki efek positif terhadap ekspor, semakin tinggi nilai kurs (nilai mata uang sendiri turun relatif terhadap valuta asing) maka ekspor menjadi murah (dalam dollar) bagi buyer, sedangkan bagi eksportir akan menerima Rp lebih besar sehingga akan mendorong peningkatan ekspor. Pendapatan domestik bruto perkapita negara tujuan ekspor merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi ekspor Indonesia. Semakin tinggi PDB perkapita pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor maka permintaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia akan meningkat. Secara sistematis kerangka pemikiran diatas dapat disimpulkan: 1. 2. 3. 4. Impor Kurs Inflasi Pendapatan per kapita negara tujuan yaitu Jepang Ekspor non-migas Indonesia ke Jepang E. Hipotesis. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diperkirakan impor, inflasi, kurs dan pendapatan per kapita Jepang berpengaruh terhadap ekspor non miga Indonesia. 2. Diperkirakan impor merupakan faktor yang paling dominan terhadap ekspor non migas Indonesia. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan studi mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor non migas Indonesia periode tahun 19862008. Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan input data tahun 19862008 beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya (kurs, impor, inflasi dan pendapatan per kapita Jepang). B. Jenis dan Sumber Data a. Jenis data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series dari tahun 1986-2008, yaitu data-data seperti: ekspor non migas, kurs, impor, inflasi, dan pendapatan per kapita Amerika Serikat. b. Sumber data Sumber data realisasi ekspor non migas, kurs, impor, dan pendapatan per kapita Amerika Serikat yang diperoleh dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik maupun dalam hal ini data yang di akses melalui internet. C. Devinisi Variabel Operasional Definisi ini diberikan agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran terhadap suatu variabel yang ada. Variabel-variabel tersebut, yaitu: a. Variabel Dependen Ekspor non migas Ekspor non migas adalah ekspor produk-produk selain minyak dan gas bumi. Variable ini diukur dengan menjumlahkan seluruh nilai ekspor komoditi non migas Indonesia selama satu tahun dalam US$, dengan pencatatan ekspor mengunakan syarat FOB (free on board). b. Variabel Independen a. Impor Impor adalah memasukkan barang dari luar negeri sesuai dengan ketentuan pemerintah. Variable ini diukur dengan menjumlahkan seluruh nilai impor Indonesia selama satu tahun, dinyatakan dalam US$. Komoditi impor terdiri barang konsumsi, bahan baku penolong dan barang modal. b. Nilai tukar (Kurs) Nilai tukar (kurs) adalah perbandingan antara mata uang dalam negeri dengan mata uang luar negeri. Kurs yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kurs US$ terhadap Yen. US$ dipilih penulis karena US$ merupakan hard currency yang paling stabil dan paling diakui sebagai mata uang untuk transaksi internasional oleh semua negara. c. Inflasi Inflasi adalah kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam satu periode, yang diukur dengan indeks harga konsumen (IHK). Data inflasi dihitung dari inflasi tahunan di Indonesia dinyatakan dalam persen. d. Pendapatan per kapita/GDP per kapita Negara tujuan yaitu Jepang (YJPNG) GDP per kapita adalah nilai seluruh produk barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu perekonomian dalam waktu 1 tahun dibagi jumlah penduduk di negara tersebut. PDB per kapita Jepang diambil dari International Monetery Fund (IMF), dinyatakan dalam juta US$. D. Metode Pengumpulan Data Dikarenakan data yang digunakan adalah data sekunder, yang sebelumnya telah tersedia di dinas/instansi yang terkait maka metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencari dan membaca literatur yang relevan dan berkaitan dengan penelitian skripsi. Relevansi didasarkan pada data yang telah disajikan oleh institusi yang bersangkutan dan telah teruji secara empiris, misalnya data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia dan data dari International Monetary Funds (IMF). E. Metode Analisis Data Model analisis yang digunakan untuk membuktikan hipotesis penelitian yaitu mengetahui bagaimanakah pengaruh antara kurs, impor, inflasi dan pendapatan per kapita Amerika Serikat terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang. Jadi analisis data-data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor non migas dengan melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen pada periode tersebut. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan dan pengaruh antar variabel berupa pendekatan teori ekonomi, teori statistik, dan teori ekonometrika. Model alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika. Pengolahan data di lakukan dengan program Econometric Views (E-Views). Model Regresi yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: EKSPORit 0 1 IMPORit 2 KURSit 3 INFLASI it 4YJEPANG it it 1. Uji statistik Proses analisa yang akan dilakukan melalui pengujian variabelvariabel independen yang meliputi uji t (uji individual), uji F (uji bersamasama), dan uji R² (uji koefisien determinasi). a. Uji t (uji secara individu) Uji t ini merupakan pengujian variabel-variabel secara individu, dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh masing-masing variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen, dengan beranggapan variabel independen lain tetap / konstan. Langkah-langkah pengujian t test adalah sebagai berikut (Gujarati, 1995) i. Menentukan hipotesisnya a) H : 1 0 Berarti suatu variabel independen secara individu tidak berpengaruh terhadap variabel dependent. b) Ho : 1 0 Berarti suatu variabel independen secara individu berpengaruh terhadap variabel dependen. ii. Melakukan perhitungan nilai t sebagai berikut: a) Nilai t table = t / 2 ; N K …………………………….... (3.1) Keterangan: : derajat signifikansi N : jumlah sample (banyaknya observasi) K : banyaknya parameter b) Nilai t hit = i ……………………………………… (3.2) Se ( i ) Keterangan: i : koefisien regresi Se ( i ) : standar error koefisien regresi iii. Kriteria pengujian Gambar 3.1 Daerah Kritis Uji t Ho ditolak t/2; N K Ho diterima Ho ditolak t/2; N K iv. Kesimpulan a. Apabila nilai – t table < t hit < t table, maka Ho diterima. Artinya variabel Independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen secara signifikan. b. Apabia nilai t hit > +t table atau t hit < -t table, maka Ho ditolak. Artinya variabel independen mampu mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. b. Uji f (Uji bersama-sama) Uji f ini merupakan pengujian bersama-sama variabel independen yang dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen secara signifikan. Langkahlangkah pengujian adalah sebagai berikut (Gujarati, 1995) : i. Menentukan Hipotesis a) Ho : 1 2 3 4 0 Berarti, semua variabel independen secara individu tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. b) Ho : 1 2 3 4 0 Berarti, semua variabel independen secara individu berpengaruh terhadap variabel dependen. ii. Melakukan perhitungan nilai F sebagai berikut: a) Nilai F table = F ; K 1; N K ………………………… (3.3) Keterangan: N : jumlah sample / data K : banyaknya parameter b) Nilai F hitung = R 2 /( K 1) ……………………….. (3.4) (1 R 2 )( N K ) Keterangan : R 2 : Koefisien determinasi N : jumlah observasi/ sample K : banyaknya variabel. iii. Kriteria pengujian Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F Ho diterima Ho ditolak F ( ; K 1; N k ) iv. Kesimpulan a) Apabila nilai F hit < F table, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen secara signifikan. b) Apabila nilai F hit > F table, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen secara signifikan. c. Uji R² (Uji koefisien determinasi) Nilai R 2 untuk mengetahui berapa persen variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Uji ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketepatan yang paling baik dalam analisis regresi, yang ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi ( R 2 ) antara nol dan satu (0 < R 2 < 1). Jika koefisien determinasi 0, artinya variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen, atau dengan kata lain model tersebut tidak menjelaskan sedikitpun variasi dalam variabel tidak bebas. Sedangkan koefisien determinan mendekati 1, artinya variabel independen semakin mepengaruhi variabel dependen, atau dengan kata lain model dikatakan lebih baik apabila koefisien determinasinya mendekati 1. 2. Uji Asumsi Klasik a. Multikolinieritas Multikolinieritas merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya lebih dari satu hubungan linier pasti antara beberapa / semua variabel independen dari model regresi (Gujarati, 1995). Salah satu asumsi model klasik yang menjelaskan ada tidaknya hubungan antara beberapa / semua variabel dalam model regresi. Jika dalam model terdapat multikolinier, maka model tersebut memiliki kesalahan standar yang besar sehingga koefisien tidak dapat diukur dengan ketepatan tinggi. Salah satu metode untuk mengetahui ada tidaknya multikolinier adalah menggunakan pengujian dengan metode Klein. Metode ini membandingkan nilai korelasi setiap variabel penjelas ( r 2 xi, xj) dengan nilai koefisien determinasi ( R 2 y, xi, xj,… xn). Jika R 2 y, xi, xj,…xn < r 2 xi, xj, maka terjadi masalah multikolinier dalam model, sedangkan jika danilai R 2 y, xi, xj,…xn > r 2 xi, xj. Maka tidak terjadi masalah multikolinear. Cara lain untuk mengetahui ada tidaknya multikolinier adalah menggunakan pengujian dengan pendekatan Koutsoyiannis. Metode ini dikembangkan oleh Koutsoyiannis (1977) menggunakan metode cobacoba dalam memasukkan variabel bebas. Dari hasil coba-coba tersebut, selanjutnya akan diklasifikasikan dalam 3 macam (Aisyah, 2007), yaitu : 1) suatu variabel bebas dikatakan berguna 2) suatu variabel bebas dikatakan tidak berguna 3) suatu variabel bebas dikatakan merusak b. Heteroskedastisitas Asumsi dari model regresi linier klasik adalah kesalahan penggangu mempunyai variasi yang sama. Apabila asumsi tersebut tidak terpenuhi maka akan terjadi heteroskedastisitas, yaitu suatu keadaan dimana variasi dari kesalahan penggangu tidak sama untuk semua nilai variabel bebas. Terdapat beberapa metode yang dipergunakan untuk mendeteksi heteroskedastisitas dalam model empiris yaitu Uji Park, Uji Glejser, Uji white, Uji LM ARCH dan Uji Breusch Pagan – Godfeg. Pengujian heteroskedastisitas dalam penelitian ini akan menggunakan uji White. Kriteria pengujian dengan membandingkan nilai Obs*R-squared < x2 tabel, maka tidak signifikan, berarti bahwa tidak terjadi masalah heteroskedatisitas. Sebaiknya jika Obs*R-squared > x2 tabel maka signifikan, berarti bahwa terjadi masalah heteroskedatisitas. c. Autokorelasi Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana kesalahan variabel penggangu pada suatu periode tertentu berkorelasi dengan kesalahan penggangu periode lain. Asumsi ini untuk menegaskan bahwa nilai variabel dependen hanya diterangkan (secara sistematis) oleh variabel independen dan bukan oleh variabel gangguan (Gujarati, 1995). Pada penelitian ini digunakan dua metode untuk menilai apakah dalam model tersebut terdapat masalah autokorelasi atau tidak, yaitu metode Durbin-Watson test dan B-G test. Gambar 3.3 Daerah Ho Diterima dan Ditolak uji Autokorelasi (Durbin-Watson) RaguRagu Raguragu AutokoreLasi (+) 0 dl Tidak ada Autokorelasi du 2 Autokorelasi (-) 4-du 4-dl Hipotesis untuk menguji ada tidaknya autokorelasi adalah : Ho : tidak ada serial autokorelasi baik positif maupun negative. 4 Untuk menguji hipotesis nol tidak ada autokorelasi, terdapat table Durbin-Watson (DW), dengan criteria hasil perhitungan DW statistic dibandingkan dengan table (DW), sebagai berikut: Jika d < dL = Menolak Ho Jika du < d < 4-du = tidak menolak Ho Jika dL ≤ d ≤ du atau 4-du ≤ d ≤ 4-dL = pengujian tidak meyakinkan (inconclusive) Pengujian lain dapat dilakukan dengan metode Breusch-Godfrey (BG) Test, dengan kriteria pengujian sebagai berikut jika BG(n-p)*R2 < x2 tabel, maka tidak signifikan, berarti bahwa tidak terjadi masalah autokorelasi. Disamping itu juga dapat kita lihat dari probabilitasnya, jika probabilitas > = 0,05, maka model terhindar dari masalah autokorelasi. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Variabel 1. Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang Salah satu sektor penting ekonomi yang memiliki peran untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia adalah perdagangan luar negeri yaitu ekspor dan impor. Dari kegiatan ekspor diperoleh devisa, sedangkan dari impor akan diperoleh bahan baku dan barang modal yang diperlukan untuk pembangunan. Pada tahun 1982 harga minyak turun sehingga pendapatan negara dari sektor ekspor migas menurun. Ini memicu pemerintah mencari alternatif sebagai pengganti ekspor migas yang terus merosot. Salah satunya adalah mengembangkan dan meningkatkan ekspor non migas. Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor non migas Indonesia Pada tabel 4.1 dibawah menjelaskan bahwa perkembangan ekspor non migas ke Jepang selama tahun 1986-2008 cenderung meningkat. Pertumbuhan ekspor terbesar pada tahun 1986 yaitu sebesar 1230.435 juta US$. Dan terus meningkat dan pada tahun 1990 menjadi 3179.995 juta US$. Dan meningkat lagi pada tahun 2000 menjadi 7554.988 juta US$. Ekspor non migas Indonesia terus meningkat dan pada tahun 2008 nilai ekspor non migas sebasar 13323.399 juta US$. Tabel 4.1 Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia ke Jepang dari Tahun 1986-2008 (juta US$). Tahun Ekspor Perkembangan 1230.43 -1986 1843.88 33.27 1987 2689.16 31.43 1988 3633.14 25.98 1989 3179.99 -14.25 1990 3678.48 13.55 1991 3978.52 7.54 1992 5077.96 21.65 1993 5711.35 11.09 1994 6861.02 16.76 1995 7128.92 3.76 1996 7014.52 -1.63 1997 5963.70 -17.62 1998 5790.52 -2.99 1999 7554.98 23.35 2000 6691.72 -12.90 2001 6349.30 -5.39 2002 6720.72 5.53 2003 8238.69 18.42 2004 9744.02 15.45 2005 12178.60 19.99 2006 13287.15 90.83 2007 13323.39 0.27 2008 Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, data diolah. Sejak tahun 2003 ekspor non migas Indonesia ke Jepang menunjukkan trend yang positif. Walaupun memiliki trend yang positif tetapi permasalahan yang terkait langsung dengan ekspor non migas Indonesia antara lain pasarnya yang sempit. Meskipun Indonesia memiliki banyak sumber daya alam dan jumlah tenaga kerja yang melimpah, yang merupakan faktor utama keunggulan komparatif namun ekspor non migas Indonesia pada hal-hal berikut: a) empat produk ekspor antara lain: furniture, pakaian jadi, kayu lapis dan produk tekstil yang mempunyai pangsa pangsa pasar 50% dari ekspor total non migas, dimana bahan baku serta ketergantungan impor masih merupakan kendala yang harus diantisipasi. b) banyak produk-produk manufaktur yang padat karya yang terpilih sebagai ekspor unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia sebagai akibat persaingan yang semakin ketat, terutama dari Cina dan negara produsen lainnya di Asia yang menghasilkan barang yang sama dengan biaya produksi lebih murah. 2. Perkembangan Impor dari Jepang Impor Indonesia meningkat sejalan dengan peningkatan pembangunan. pengembangan kapasitas produksi dalam negeri memerlukan impor barang-barang modal yang belum dapat diproduksi di dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu pembangunan proyek-proyek prasarana yang di perlukan untuk mendukung kapasitas produksi dalam negeri yang semakin berkembang juga memerlukan impor. Impor berdasarkan golongan barang terdiri dari barang modal, barang konsumsi, dan bahan baku/penolong. Impor yang khususnya bahan modal, barang konsumsi, dan bahan baku akan mendorong peningkatan ekspor non migas Indonesia. Beberapa produk ekspor masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi. Perkembangan impor mencerminkan struktur produksi dalam negeri yang berkembang pesat. Pada tahun 1986/1987 kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi telah dapat mendorong ekspor non migas yang berkembang dengan pesat. Peningkatan ekspor non migas ini mengakibatkan impor bahan baku/ penolong meningkat selanjutnya untuk menambah kapasitas produksi, impor barang-barang modal meningkat pula. Tabel 4.2 Perkembangan Impor Indonesia dari Jepang pada Tahun 19862008 (juta USS). Tahun Impor Pertumbuhan 3231.88 1986 4418.26 26.85 1987 4214.07 -4.85 1988 4117.68 -2.34 1989 5451.54 24.47 1990 8387.96 35.01 1991 6365.53 -31.77 1992 7615.96 16.42 1993 8340.89 8.69 1994 8830.00 5.54 1995 7459.64 -18.37 1996 8227.24 9.33 1997 4641.43 -77.26 1998 2771.49 -67.47 1999 4979.12 44.34 2000 3622.53 -37.45 2001 4205.37 13.86 2002 4778.20 11.99 2003 8019.75 40.42 2004 10213.92 21.48 2005 9230.55 -10.65 2006 9335.44 1.12 2007 14892.46 37.31 2008 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, data diolah. Pada tabel 4.2 menjelaskan bahwa perkembangan impor Indonesia dari Jepang cenderung berfluktuasi. Pada tahun 1986 ekspor non migas Indonesia ke Jepang sebesar 3231.886 juta US$. Pada tahun berikutnya terus meningkat pada tahun 1991 ekspor non migas Indonesia ke Jepang mencapai 8387.96 juta US$. Tahun berikutnya ekspor non migas Indonesia mulai berfluktuasi dan cenderung menurun pada tahun 1999 impor Indonesia dari Jepang sebesar 2771.49 juta US$. tapi pada tahun-tahun berikutnya impor cenderung meningkat pada tahun 2005 impor Indonesia dari Jepang mencapai 10213.927 US$ dan pada tahun 2008 telah mencapai 14892.469 US$. Berdasarkan data realisasi impor Indonesia tahun 2008, impor Indonesia didominasi oleh bahan baku penolong (77,01%), barang modal (16,56%), dan barang konsumsi (6,43%). Dilihat dari komoditinya, impor terbesar Indonesia adalah mesin-mesin. Ketergantungan impor bahan baku dari penolong yang masih sangat tinggi tersebut mengakibatkan industri dalam negari relatif rentan terhadap gejolak ekonomi dunia yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan industri dalam negeri, mengingat beberapa komoditi ekspor non migas Indonesia masih memerlukan bahan baku dan bahan penolong serta mesinmesin yang harus di impor. 3. Perkembangan Inflasi Inflasi terutama yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi akan menyebabkan produksi turun dan penawaran total (aggregate supply) berkurang yang pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga. Kenaikan biaya produksi dapat berasal dari kenaikan bahan baku industri, perjuangan serikat buruh yang berhasil menuntut kenaikan upah dan lain-lain. Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan turunnya produksi. 4.3 Perkembangan Inflasi Jepang dari Tahun 1980-2008 (%). Tahun Inflasi Pertumbuhan -0.226 1986 0.794 128.46 1987 0.9 11.78 1988 2.676 66.37 1989 3.8 29.58 1990 2.615 -45.32 1991 1.121 -133.27 1992 1.109 -1.08 1993 0.598 -85.45 1994 -0.396 251.01 1995 0.597 166.33 1996 1.879 68.23 1997 0.583 -222.30 1998 -1.062 154.90 1999 -0.488 -117.62 2000 -1.176 58.50 2001 -0.298 -294.63 2002 -0.398 25.13 2003 0.2 299.00 2004 -0.399 150.13 2005 0.3 233.00 2006 0.699 57.08 2007 0.396 -76.52 2008 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, data diolah. Tingkat Inflasi yang terjadi di Jepang cukup berfluktuatif tapi tetap di angka kecil. Inflasi yang terjadi di Jepang tertinggi pada angka 2.676% pada tahun 1989. setelah tahun tersebut inflasi tidak pernah berada pada lebih dari 2.676%. Pada tahun 1999 inflasi mencapai -1.176%. 4. Perkembangan Kurs Yen terhadap Dollar Nilai tukar yang sering disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil sangat diperlukan untuk tercapainya suatu keadaan yang kondusif bagi peningkatan kegiatan usaha. Perkembangan kurs suatu negara tidak terlepas Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi peningkatan kegiatan dunia usaha. Perkembangan kurs suatu negara tidak terlepas dari kebijakan yang diambil pemerintah dan juga kondisi ekonomi baik dalam negeri maupun luar negeri. Nilai tukar suatu negara menunjukkan harga uang negara tersebut terhadap mata negara lain. Nilai tukar mata uang suatu negara mengalami apresiasi ketika nilai uangnya meningkat relatif terhadap nilai mata uang negara lain. Pada tabel 4.4 menunjukkan data kurs dari tahun 1980 sampai 2008. Selama periode tahun tersebut cenderung mengalami fluktuasi, tapi cenderung mengalami penguatan (apresiasi). Pada tahun 1995 kurs yen terhadap dollar terapresiasi menjadi 94.06 yen per dollar. lonjakan kurs tertinggi terjadi pada tahun 1995 yang semula kurs dari 94.06 yen per dollar melemah menjadi 108.78 yen per dollar. Setelah tahun tersebut kurs terus melemah dan pada tahun 1998 mencapai 130.90 yen per dollar. dari mulai itu kurs Jepang terus berfluktuasi dan dan pada tahun 2008 mencapai 118.81 yen terhadap dollar. Tabel 4.4 Perkembangan Kurs dari Tahun 1980-2008 (Yen). Tahun Kurs 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pertumbuhan 168.52 144.64 128.15 137.96 144.79 128.11 126.65 111.2 102.21 94.06 108.78 120.99 130.9 113.91 107.77 121.53 125.39 115.93 108.2 110.22 116.3 112.25 118.81 -16.51 -12.87 7.11 4.72 -13.02 -1.15 -13.89 -8.80 -8.66 13.53 10.09 7.57 -14.92 -5.70 11.32 3.08 -8.16 -7.14 1.83 5.23 -3.61 5.52 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, data diolah. 5. Perkembangan Pendapatan Perkapita Jepang Negara tujuan ekspor non migas di bedakan menjadi dua yaitu negara tradisional (pasar utama) dan non tradisional (pasar potensial). Negara tradisional merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia. Sedangkan negara non tradisional yaitu negara-negara tujuan ekspor yang relatif baru yang memiliki pertumbuhan impor tinggi untuk produk-produk dari Indonesia. Jepang merupakan dalam negara tradisional (pasar utama). Tabel 4.5 Perkembangan Pendapatan Perkapita Jepang dari Tahun 19802008 (dollar). Tahun Yjpng Pertumbuhan 16640.27 1986 20066.06 17.07 1987 24243.81 17.23 1988 24162.47 -0.34 1989 24773.8 2.47 1990 28119.23 11.90 1991 30523.48 7.88 1992 34864.32 12.45 1993 38196.39 8.72 1994 41968.58 8.99 1995 36930.26 -13.64 1996 33821.23 -9.19 1997 30526.86 -10.79 1998 34511.71 11.55 1999 36800.44 6.22 2000 32214.33 -14.24 2001 30756.08 -4.74 2002 33134.47 7.18 2003 36058.72 8.11 2004 35633.04 -1.19 2005 34150.33 -4.34 2006 34286.8 0.40 2007 38457.22 10.84 2008 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, data diolah. Dari tabel di atas, perkembangan pendapatan per kapita mengalami fluktuasi. Hal ini juga terjadi pada ekspor non migas Indonesia yang mengalami fluktuasi. pada tahun 1995 pendapatan per kapita tertinggi mencapai 41.968,58 US$. Dengan nilai pertumbuhan paling tinggi pada tahun sebesar 32,14 persen. Dari tahun 2001 sampai 2008 pendapatan per kapita jepang terus meningkat. Memacu daya beli masyarakat Jepang untuk membeli barang-barang impor. Sehingga akan menaikkan impor Jepang dan menaikkan ekspor Indonesia. B. Analisis Data dan Pembahasan Guna menganalisis pengaruh variable impor, inflasi, kurs, dan pendapatan per kapita Jepang terhadap ekspor non migas Indonesia. Dan mencari variable yang dominan terhadap ekspor non migas Indonesia, regresi yang digunakan analisis regresi berganda guna dapat mengukur arah dan besaran pengaruh beberapa variable independent terhadap perkembangan ekspor non migas sebagai variable dependent. Dalam penelitian ini persamaan model regresi adalah sebagai berikut: EKSPORit 0 1 IMPORit 2 KURSit 3 INFLASI it 4YJEPANG it it Model pengolahan data dilakukan dengan program Econometric Views (E-views) versi4.0: 1. Hasil estimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor non migas Indonesia: Tabel 4.6 Tampilan Hasil Estimasi Model Akhir Dependent Variable: LEKSPOR Method: Least Squares Date: 07/08/10 Time: 16:38 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LIMPOR LKURS INFLASI LYJPNG -53.49885 0.322065 3.029123 -0.088218 3.439601 18.70333 0.182244 1.251505 0.056568 0.738219 -2.860392 1.767220 2.420384 -1.559496 4.659324 0.0104 0.0941 0.0263 0.1363 0.0002 R-squared 0.843276 Adjusted R-squared 0.808448 S.E. of regression 0.259946 Sum squared resid 1.216297 Log likelihood 1.170773 Durbin-Watson stat 0.875848 Sumber: E-views 4.0, telah di olah. Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.52961 0.593937 0.332976 0.579823 24.21288 0.000000 Berdasarkan tabel 4.6 tersebut, hasil estimasi dengan menggunakan regresi linier berganda dapat dituliskan persamaan regresi sebagai berikut: LOGEKSPOR = -53,49885 + 0,322065 LOGIMPOR + 3,029123 LOGKURS – 0,088218 INFLASI + 3,439601 LOGYJPNG Setelah diperoleh nilai dari persamaan regresi tersebut, maka di lakukan uji statistik dan uji ekonometrikasebagai berikut: a) Uji Statistik 1) Uji t Uji t adalah uji secara individual semua koefisien regrsi yang bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masingmasing variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil pengujian terhadap koefisien regresi masing-masing variabel bebas dengan = 10 % akan diperoleh sebagai berikut: 1. Jika |thitung| < |ttabel| pada tingkat signifikasi 10% maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya variable independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. 2. Jika |thitung| > |ttabel| pada tingkat signifikasi 10% maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variable independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Berikut ini adalah hasil pengujian parameter individual dengan tingkat signifikasi ( = 0,1): a. Koefisien regresi dari konstanta mempunyai thitung sebesar 2,860392 dan ttabel sebesar sehingga |2,860392| > |1,714|, dimana nilai probabilitas 0,0104 < 0,1, maka konstanta EKSPOR. b. Koefisien regresi dari IMPOR mempunyai thitung sebesar 1,767220 dan ttabel sebesar 1,714 sehingga |1,767220| < |1,714|, dimana nilai probabilitas 0,0941 < 0,1, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan pada tingkat singnifikasi ( ). Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan, maka secara individu variabel IMPOR berpengaruh secara statistik terhadap EKSPOR. c. Koefisien regresi dari INFLASI mempunyai thitung sebesar 1,559496 dan ttabel sebesar 1,714sehingga |1,559496| > |1,714|, dimana nilai probabilitas 0,1363 > 0,1, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan pada tingkat singnifikasi ( ). Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan, maka secara individu variabel INFLASI tidak berpengaruh secara statistik terhadap EKSPOR. d. Koefisien regresi dari KURS mempunyai thitung sebesar 2,420384 dan ttabel sebesar 1,714 sehingga |2,420384| > |1,714|, dimana nilai probabilitas 0,0263 < 0,1, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan pada tingkat singnifikasi ( ). Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan, maka secara individu variabel KURS berpengaruh secara statistik terhadap EKSPOR. e. Koefisien regresi dari YJPNG mempunyai thitung sebesar 4,659324 dan ttabel sebesar 1,714 sehingga |4,659324| > |1,714|, dimana nilai probabilitas 0,0002 < 0,1, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan pada tingkat singnifikasi ( ). Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan, maka secara individu variabel YJPNG berpengaruh secara statistik terhadap EKSPOR. 2) Uji F Uji F adalah uji untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara bersamasama, dengan kriteria pegujian sebagai berikut: 1. Jika nilai Fhitung < Ftabel (pada ), maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang berarti bahwa variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen secara signifikan. 2. Jika nilai Fhitung > Ftabel (pada ), maka Ho ditolak yang berarti bahwa secara bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil pengolahan diketahui bahwa Fhitung adalah 24,21288 lebih besar dari Ftabel 4,26, dengan probabilitas sebesar 0,000000 yang berarti signifikan pada . Hal ini berarti bahwa variabel impor, inflasi, kurs, pendapatan perkapita jepang secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia. 3) Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui berapa persen perubahan variasi variabel independen dapat menjelaskan perubahan variabel dependennya. Hasil estimasi koefisien determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted R-squared), sebesar 0,808448 yang berarti 80,84% variabel dependen Sedangkan sisanya sebesar 19,16% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. 4) Koefisien Beta Untuk menentukan variabel bebas yang paling menentukan dalam mempengaruhi nilai dependent variabel dalam suatu model regresi linier, maka digunakanlah koefisien beta (Arief, 1993). Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Koefisien Beta Impor Kurs Inflasi Yjpng Ekspor Koefisien Standar Deviasi Koefisien Beta 0.322065 0.427797 0.232187232 3.029123 0.128792 0.657450205 -0.08822 1.22066 -0.181471734 3.439601 0.223748 1.296953177 0.5933937 Sumber: E-views 4.0, telah diolah. Hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa variabel pendapatan per kapita memiliki nilai koefisien beta tertinggi yaitu 1,296953177 adalah merupakan variabel yang paling dominan dalam penentuan nilai variabel dependent. b) Uji Ekonometrika/Asumsi Klasik 1) Multikolinearitas Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan linier sempurna atau pasti diantara variabel-variabel bebas dalam suatu regresi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan linier yang pas diantara variabel yang menjelaskan dalam model regresi ini dapat dilakukan beberapa pengujian. Gejala multikolinier adalah pada saat R2 sangat tinggi, namun tidak ada satupun dari koefisin regresi yang signifikan secara statistik melalui uji t. Uji multikolinearitas dilakukan dengan pendekatan korelasi parsial seperti disarankan oleh Farar dan Gruber (1967). Pedoman yang digunkan, jika nilai R2a (R2 regresi awal) lebih tinggi dari R2 pada regresi antar variabel bebas, maka dalam model empirik tersebut tidak dapat adanya multikolinearitas. Tabel 4.8 Uji Multikolinearitas Variabel dependen Log IMPOR INFLASI Log KURS Log YJPNG R2 Tanda R2 (awal) 0,3874 0,554 0,09 0,767 < < < < 0,843276 0,843276 0,843276 0,843276 Kessimpulan Tidak ada multikolinearitas Tidak ada multikolinearitas Tidak ada Multikolinearitas Tidak ada multikolinearitas Sumber: E-views 4.0, data diolah. Dari data diatas terlihat bahwa R2 pada regresi antara variabel bebas, dengan menempatkan masing-masing variabel bebas sebagai variabel dependen, yaitu impor, inflasi, kurs, pendapatan per kapita Jepang diperoleh nilai R2 lebih kecil dari R2a (regresi awal), sehingga tidak ada multikolinearitas. 2) Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas muncul dalam fungsi regresi dengan varian yang tidak sama, sehingga penaksir OLS tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (tapi masih tidak bias dan konsisten). Pengujian terhadap ada tidaknya heteroskedastisitas dalam model empirik di lakukan dengan uji LM ARC. Kriteria pengujian adalah dengan membandingkan nilai Obs*R squared < x2 tabel, maka tidak signifikan, heteroskedastisitas. berarti bahwa tidak terjadi masalah Tabel 4.9 Uji Heteroskedastisitas ARCH Test: F-statistic Obs*R-squared 1.036329 1.083803 Probability Probability 0.320834 0.297848 Sumber: E views 4.0, diolah Dari tabel tersebut terlihat bahwa Obs*R squared dengan nilai 1,038303 < x2 tabel 13,4 , berarti dalam model penelitian ini tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. 3) Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi diantara anggotaanggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (seperti pada data time series) atau yang tersusun dalam rangkaian ruang (Gujarati, 1995). Adanya korelasi antara variabel gangguan sehingga penaksir tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun sampel besar. Pengujian dilakukan dengan metode BreuschGodfrey Test, dengan kriteria pengujian sebagai berikut: jika BG(np)*R2 < x2 tabel, maka tidak signifikan, berarti bahwa tidak terjadi masalah autokorelasi. Disamping itu juga dapat kita lihat dari probabilitasnya, jika probabilitas > , maka model terhindar dari masalah autokorelasi. Tabel 4.10 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared Sumber: E views 4.0 13.64922 10.24274 Probability Probability 0.001799 0.555372 Dari hasil autokorelasi diketahui bahwa (n-p)ObsR squared (R2) dengan nilai 10,24274 < 13,4, berarti dalam model penelitian ini tidak terjadi masalah autokorelasi. Dilihat dari probabilitasnya juga lebih besar dari 0,1 (tidak signifikan) berarti model terhindar dari masalah autokorelasi. 4. Pembahasan Hasil Penelitian a) Pengaruh Impor terhadap Ekspor Non Migas Indonesia Kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai koefisien impor sebesar 0,322065 dengan probabilitas 0,0941 pada tingkat signifikasi 10% yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1% impor akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia ke jepang sebesar 0,322065 % Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa impor, khususnya yang berupa bahan baku, bahan penolong dan barang modal mendorong peningkatan ekspor non migas Indonesia. Beberapa produk non migas Indonesia masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi. Berdasarkan data realisasi impor Indonesia tahun 2008, impor Indonesia didominasi oleh bahan baku penolong (77,01%), barang modal (16,56%), dan barang konsumsi (6,43%). Dilihat dari komoditinya, impor terbesar Indonesia adalah mesin-mesin. Hal ini mendukung temuan bahwa impor berpengaruh positif terhadap peningkatan ekspor, karena beberapa komoditi ekspor non migas Indonesia masih memerlukan bahan baku dan bahan penolong serta mesin-mesin yang harus di impor. b) Pengaruh Inflasi terhadap Ekspor Non Migas Indonesia Inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke jepang. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai koefisien inflasi sebesar -0,088218 dengan probabilitas 0,1363 pada tingkat signifikasi 10% yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1% inflasi maka akan menurunkan ekspor non migas Indonesia ke Jepang sebesar 0,088218 % Temuan empirik yang menunjukkan bahwa inflasi di dalam negari yang tidak dibarengi dengan tingkat jumlah uang beredar yang meningkat menyebabkan penawaran uang riil berkurang sehingga suku bunga akan naik akan naik yang menyebabkan investasi akan turun. Jika suku bunga naik diikuti oleh naiknya biaya-biaya produksi yang lain, seperti upah dan sebagainya maka produksi akan mengalami penurunan dan ekspor menurun. c) Pengaruh Kurs terhadap Ekspor Non Migas Indonesia Kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai koefisien kurs sebesar 3,029065 dengan probabilitas 0,0263 pada tingkat signifikasi 10% yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1% kurs akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia sebesar 3,029065 % Kurs memiliki efek positif terhadap ekspor. Semakin tinggi nilai kurs (nilai mata uang sendiri turun relatif terhadap valuta asing) maka menyebabkan harga produk ekspor menjadi semakin murah di mata buyer luar negeri (importir). Dari sisi eksportir, naiknya nilai kurs (nilai mata sendiri turun relatif terhadap valuta asing) akan meningkatkan produksi akibat keuntungan yang semakin meningkat karena rupiah yang diperoleh lebih besar sehingga mendorong peningkatan ekspor. Intinya dengan menurunnya nilai rupiah terhadap dollar maka ekspor akan meningkat karena baik dilihat dari eksportir dan importir sama-sama memperoleh keuntungan. Bagi eksportir akan menerima rupiah yang lebih besar sementara bagi importir harga ekspor menjadi lebih murah (dalam dollar). Semua kondisi tersebut berlangsung dengan asumsi menurunnya nilai tukar rupiah tidak diikuti oleh inflasi dalam negeri yang lebih besar. d) Pengaruh Pendapatan Per Kapita Jepang terhadap Ekspor Non Migas Pendapatan per kapita Jepang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai koefisien pendapatan per kapita Jepang sebesar 3,439601 dengan probabilitas 0,0002 pada tingkat signifikasi 10% yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1% pendapatan per kapita Jepang maka akan meningkatkan ekspor non migas Indonesia sebesar 3,439601%. Hasil temuan ini sejalan dengan teori dan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Bahwa pendapatan per kapita negara tujuan ekspor merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi ekspor non migas Indonesia. Semakin tinggi pendapatan per kapita negara tujuan ekspor maka permintaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia akan meningkat BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian empiris terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor non migas Indonesia, maka dapat kami sampaikan kesimpulan sebagai berikut: 1 Impor berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa impor, khususnya yang berupa bahan baku, bahan penolong dan barang modal mendorong peningkatan ekspor non migas Indonesia. Beberapa produk non migas Indonesia masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi. Berdasarkan data realisasi impor Indonesia tahun 2008, impor Indonesia didominasi oleh bahan baku penolong (77,01%), barang modal (16,56%), dan barang konsumsi (6,43%) 2. Inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke jepang. Temuan empirik yang menunjukkan bahwa inflasi di dalam negari yang tidak dibarengi dengan tingkat jumlah uang beredar yang meningkat menyebabkan penawaran uang riil berkurang sehingga suku bunga akan naik akan naik yang menyebabkan investasi akan turun. Jika suku bunga naik diikuti oleh naiknya biaya-biaya produksi yang lain, seperti upah dan sebagainya maka produksi akan mengalami penurunan dan ekspor menurun. 3. Kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke jepang. Semakin tinggi nilai kurs (nilai mata uang sendiri turun relatif terhadap valuta asing) maka menyebabkan harga produk ekspor menjadi semakin murah di mata buyer luar negeri (importir). Dari sisi eksportir, naiknya nilai kurs (nilai mata sendiri turun relatif terhadap valuta asing) akan meningkatkan produksi akibat keuntungan yang semakin meningkat karena rupiah yang diperoleh lebih besar sehingga mendorong peningkatan ekspor. 4. Pendapatan per kapita Jepang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia ke jepang. Pendapatan per kapita negara tujuan ekspor merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi ekspor non migas Indonesia. Semakin tinggi pendapatan per kapita negara tujuan ekspor maka permintaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia akan meningkat. 5. Pendapatan per kapita adalah variabel yang paling dominan terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang. Pendapatan per kapita memiliki nilai koefisien beta tertinggi yaitu 1,296953177 adalah merupakan variabel yang paling dominan dalam penentuan nilai variabel dependent. B. Saran Berdasarkan studi empiris ini dapat diusulkan beberapa saran: 1. Dalam hal impor pemerintah harus memberikan kemudahan kemudahan dalam memperoleh bahan baku maupun bahan modal dari luar negeri supaya perusahaan-perusahaan tersebut dapat mengembangkan produknya. kemudahan itu seperti keringanan tariff pembebasan bea masuk prosedur ekspor dan lain-lain. Selain itu perusahaan ekspor diharapkan tidda melulu mengandalkan bahan baku dari luar negeri yang tujuannya untuk menghemat pengeluaran atau biaya operasional perusahaan tersebut dengan mengalihkan bahan-bahan dari negeri sendiri atau meningkatkan kandunagn bahan baku dari dalam negeri. 2. Pemerintah menjaga kestabilan nilai tukarnya terhadap dollar. Hal tersebut dilakukan agar stabilnya nilai tukar dapat mendorong masyarakat maupun pengusaha dalam melakukan kegiatan perdagangan internasional khususnya dalam kegiatan ekspor. Kestabilan nilai tukar juga agar memperoleh kepercayaan dari negara lain untuk melakukan kerjasama serta hubungan bik dengan luar negeri. 3. Gross Domestic Product suatu negara dapat dijadikan indikator bagi para eksportir Indonesia dalam menentukan sasaran pemasaran ekspor non migas Indonesia sehingga diharapkan dapat meningkatkan ekspor non migas Indonesia. 4. Pemerintah harus dapat mencegah terjadinnya inflasi yang tinggi. Salah satu caranya mengawasi jumlah uang beredar DAFTAR PUSTAKA Amir, M.S. 2000. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta: Penerbit PPM. Amir, M.S. 2003. Ekspor-Impor: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit PPM. Arief, Sritua. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta: UI Press Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. Bank Indonesia. 2009. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia. Boediono. 1995. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE. Gujarati, Damodar. 1993. Basic Econometric. New York: Mc-Grawhill Hady, Hamdy. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. Lia, Amalia. 2007. Ekonomi Internasional. Jakarta: Graha Ilmu -UIEUUniversity Press. Nopirin. 1995. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE. Siti Aisyah, 2007. Modul Laboratorium Ekonometrika. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Sobri. 1986. Ekonomi Internasional: Teori, Masalah dan Kebijaksanaannya. Yogyakarta: BPFE-UII Sukirno, Sadono. 2002. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: PT Garfindo Persada. Raja Tambunan, Tulus. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. http:// www.depdag.go.id/ statistik ekspor impor Indonesia. http:// www.imf.go.id LAMPIRAN Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Ekspor 1230,43 1843,88 2689,16 3633,14 3179,99 3678,48 3978,52 5077,96 5711,35 6861,02 7128,92 7014,52 5963,70 5790,52 7554,98 6691,72 6349,30 6720,72 8238,69 9744,02 1217,86 13287,15 13323,39 Impor 3231,88 4418,26 4214,07 4117,68 5451,54 8387,96 6365,53 7615,96 8340,89 8830,00 7459,64 8227,24 4641,43 2771,49 4979,12 3622,53 4205,37 4778,20 8019,75 10213,92 9230,55 9335,44 14892,46 Inflasi -0.226 0.794 0.9 2.676 3.8 2.615 1.121 1.109 0.598 -0.396 0.597 1.879 0.583 -1.062 -0.488 -1.176 -0.298 -0.398 0.2 -0.399 0.3 0.699 0.396 Kurs 168,52 144,64 128,15 137,96 144,79 128,11 126,65 111,20 102,21 94,06 108,78 120,99 130,90 113,91 107,77 121,53 125,39 115,93 108,20 110,22 116,30 112,25 118,81 Yjpng 16640.266 20066.061 24243.813 24162.471 24773.797 28119.226 30523.477 34864.323 38196.389 41968.581 36930.261 33821.23 30526.859 34511.709 36800.436 32214.328 30756.077 33134.465 36058.717 35633.042 34150.333 34286.798 38457.216 Uji Regresi Double Log Dependent Variable: LEKSPOR Method: Least Squares Date: 07/08/10 Time: 16:38 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LIMPOR LKURS INFLASI LYJPNG -53.49885 0.322065 3.029123 -0.088218 3.439601 18.70333 0.182244 1.251505 0.056568 0.738219 -2.860392 1.767220 2.420384 -1.559496 4.659324 0.0104 0.0941 0.0263 0.1363 0.0002 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.843276 0.808448 0.259946 1.216297 1.170773 0.875848 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.52961 0.593937 0.332976 0.579823 24.21288 0.000000 Uji Multikolinearitas Dependent Variable: LEKSPOR Method: Least Squares Date: 07/08/10 Time: 17:20 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LIMPOR 2.259346 0.849239 3.746556 0.239677 0.603046 3.543259 0.5529 0.0019 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.374156 0.344354 0.480923 4.857021 -14.75229 0.277508 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.52961 0.593937 1.456721 1.555460 12.55468 0.001925 Dependent Variable: LEKSPOR Method: Least Squares Date: 07/08/10 Time: 17:22 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LKURS 47.80944 -3.434777 6.311285 0.671500 7.575230 -5.115079 0.0000 0.0000 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.554746 0.533543 0.405645 3.455510 -10.83706 0.452029 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.52961 0.593937 1.116266 1.215005 26.16404 0.000046 Dependent Variable: LEKSPOR Method: Least Squares Date: 07/08/10 Time: 17:22 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C INFLASI 15.61960 -0.149728 0.135031 0.101026 115.6744 -1.482082 0.0000 0.1532 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.094694 0.051584 0.578416 7.025860 -18.99777 0.219923 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.52961 0.593937 1.825893 1.924632 2.196566 0.153170 Dependent Variable: LEKSPOR Method: Least Squares Date: 07/08/10 Time: 17:23 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LYJPNG -8.519399 2.324785 2.893032 0.279603 -2.944799 8.314595 0.0077 0.0000 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.767010 0.755915 0.293435 1.808181 -3.389096 0.399323 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 15.52961 0.593937 0.468617 0.567356 69.13249 0.000000 Uji Heteroskedasitas ARCH Test: F-statistic Obs*R-squared 1.036329 1.083803 Probability Probability 0.320834 0.297848 Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 07/08/10 Time: 18:16 Sample(adjusted): 1987 2008 Included observations: 22 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C RESID^2(-1) 0.040536 0.222991 0.022912 0.219047 1.769218 1.018002 0.0921 0.3208 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.049264 0.001727 0.091608 0.167842 22.41691 1.836759 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.052731 0.091687 -1.856082 -1.756897 1.036329 0.320834 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 13.64922 10.24274 Probability Probability 0.001799 0.555372 Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 07/08/10 Time: 18:15 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LIMPOR LKURS INFLASI LYJPNG RESID(-1) 34.76671 -0.171199 -2.320365 0.027971 -0.996255 0.834665 17.14640 0.147149 1.146435 0.044007 0.626714 0.225922 2.027639 -1.163435 -2.023983 0.635596 -1.589648 3.694485 0.0586 0.2607 0.0590 0.5335 0.1303 0.0018 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.445337 0.282200 0.199210 0.674635 7.948803 1.640594 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 1.28E-14 0.235130 -0.169461 0.126755 2.729844 0.054800