1 | Antologi Sosiologi, 2016 PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA HAGABEON PADA MASYARAKAT ETNIS BATAK PERANTAUAN (Studi Analisis Deskriptif pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung) Siti Murniyati, Siti Komariah, Syaifullah Syam Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected] Abstrak Masyarakat etnis Batak yang berdomisili di kota Bandung antara lain di Gang Irit, Pasirlayung, Jalan Cikadut, Jalan Sindanglaya dan Jalan Cibiru Hilir adalah masyarakat yang mengalami perubahan sosial pada budaya hagabeon. Masyarakat etnis Batak di kota Bandung tidak lagi berpatokan teguh pada ajaran budaya hagabeon yang mengedepankan banyaknya jumlah anak yang harus berjumlah 17 untuk jenis kelamin laki-laki dan 16 untuk jenis kelamin perempuan. Banyak diantara mereka yang hanya mempunyai anak rata-rata 5-7 orang saja. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran umum berbagai bentuk perubahan sosial budaya hagabeon yang terjadi dahulu hingga saat ini, kemudian menganalisis berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya hagabeon serta menganalisis dampak yang ditimbulkan. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif yang menggambarkan dan melukiskan suatu peristiwa yang terjadi dengan apa adanya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi partisipasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi, studi literature, dan diary methods. Hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung diantaranya masyarakat etnis Batak tidak lagi mementingkan jumlah keturunan tapi pada kesejahteraan keluarga. Perubahan sosial budaya hagabeon yang terjadi pada masyarakat etnis Batak dikarenakan tuntutan ekonomi pada sebuah keluarga sehingga ciri khas dalam keluarga etnis Batak saat ini mulai memudar. Penelitian ini dapat diimplementasikan pada pembelajaran sosiologi yaitu pada materi perubahan sosial. Kata kunci : Perubahan Sosial Budaya Hagabeon, Masyarakat Etnis Batak Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung| 2 Abstract Bataknese society who live in Bandung, on Irit Alley, Pasirlayung, Cikadut street, Sindanglaya street and Cibiru Hilir street is a society who experiencing changes in Hagabeon culture. Bataknese society in Bandung is no longer cling in Hagabeon culture teachings which hold in the high esteem to the large number of children which should be 17 for boys and 16 for girls. There are many of them who have 5 - 7 children in average. The purpose of this research is to know about the life condition of Bataknese society in Bandung, from their daily works to their social relationship with others society, also the implication of this research for sosiology learning. The approach of this research is qualitative approach with descriptive method which illustrated the phenomenon which happens as it happens. The technique of the data collection in this research is using participatory observation, deep interview, documentation study, literature study and diary methods. The result of this research are: There were a Hagabeon social-cultural changes on Bataknese society in Bandung. Bataknese society didn't concern anymore to the number of their children, but they put family weldfare as their priority. Hagabeon social-cultural changes which occur in Bataknese society is because there is an economic demands in their family. This research can be implemented in sosiology learning as a social changes matter. Key word: Hagabeon social cultural changes, Bataknese society 3 |Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung PENDAHULUAN Indonesia dikenal dengan masyarakat yang multikultural, karena kaya akan keragaman etnis, suku, bahasa, budaya, gender agama dan lain-lain. Indonesia juga telah dikenal memiliki beribu pulau dengan kebudayaannya yang berbeda-beda. Kebudayaan antara satu pulau berbeda dengan pulau yang lainnya. Kebudayaan adalah bagian dari manusia yang lahir melalui aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat, oleh karena itu kebudayaan antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya pasti berbeda. Menurut Koentjaraningrat (2009, hlm. 144) “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Jadi dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah segala tindakan yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat dan bernilai positif. Salah satu kebudayaan yang terdapat di Indonesia adalah kebudayaan etnis Batak. Etnis Batak merupakan salah satu etnis Indonesia yang terletak di Sumatera Utara. Hal yang menarik dari etnis Batak yaitu keteguhan dalam memegang nilai-nilai kebudayaannya. Hal ini juga yang mendasari alasan peneliti mengambil objek penelitian pada masyarakat etnis Batak. Contoh nilai kebudayaan yang masih dipegang teguh yaitu rumah adat (Himasari. 2012. Hlm. 800-811) sebagai wujud kebudayaan fisik. Kebudayaan non fisik diantaranya adalah falsafah hidup yang dianut oleh etnis Batak yaitu hagabeon, hamorangan dan hasangapon. Budaya hagabeon adalah budaya yang mengedepankan banyaknya jumlah keturunan dan jenis kelamin yang lengkap dalam kehidupan keluarga etnis Batak. Hagabeon adalah kondisi keluarga yang dikarunia keturunan banyak laki-laki dan perempuan, hingga berusia panjang dan menikmati waktu bersama cucu. Begitu besarnya makna hagabeon sehingga sering dimohonkan melalui ungkapan pesta pernikahan: maranak sapuluh pitu, marboru sapuluh onom yang artinya beranak laki-laki 17 dan beranak perempuan 16 sehingga berjumlah 33 anak. Jumlah ini dianggap jumlah yang ideal menurut budaya hagabeon itu sendiri. Budaya hamorangan adalah budaya mengenai pentingnya mencapai kekayaan dan kegelimangan harta dalam hidup. Sedangkan budaya hasangapon adalah budaya kemuliaan yang harus dicapai oleh etnis Batak melalui keturunan mereka. Ketiga falsafah budaya ini mempunyai keterikatan satu sama lain. Namun pada saat ini, telah terjadi perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak. Masyarakat etnis Batak di kota Bandung tidak lagi berpatokan teguh pada ajaran budaya hagabeon yang mengedepankan banyaknya jumlah anak yang harus berjumlah 17 untuk jenis kelamin laki-laki dan 16 untuk jenis kelamin perempuan. Banyak diantara mereka yang hanya mempunyai anak rata-rata 5-7 orang saja. Karena mereka menganggap ajaran budaya Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung| 4 hagabeon tidak lagi relevan untuk diaplikasikan pada era modern saat ini. Mereka lebih memfokuskan pada kesejahteraan hidup keluarganya karena memperhitungkan tingginya biaya hidup pada zaman modern ini, seperti pendidikan tinggi yang harus mereka berikan kepada keturunannya, sarana dan prasarana yang mendukung anakanak mereka dalam belajar misalnya teknologi yang harus mereka sediakan untuk anakanaknya. Jika anak-anak mereka berhasil dalam belajar dan menempuh pendidikan yang tinggi, sang Ayah dan Ibu akan merasa berhasil dalam pencapaiannya sebagai orang tua. Kemudian gizi dan kesehatan bagi mereka sekeluarga juga menjadi alasan mengapa membatasi jumlah keturunan dalam keluarganya. Semuanya mereka lakukan agar mencapai budaya yang lainnya yaitu budaya hasangapon yang berarti pencapaian kemuliaan hidup melalui keturunan mereka. Mereka juga berpendapat apabila anak mereka dapat bersekolah dengan tinggi, kebutuhan untuk sekolahnya dapat tercukupi dan kesehatan keluarganya terjaga, maka keluarga dari etnis Batak lainnya akan menghormati mereka. Perubahan sosial budaya yang terjadi pada budaya hagabeon tidak mutlak semuanya mereka lakukan. Etnis Batak tetap menganut nilai yang lainnya dalam budaya hagabeon yaitu harus lengkapnya jenis kelamin keturunan mereka, laki-laki dan perempuan. Mereka mempunyai pandangan bahwa anak laki-laki akan tetap menjadi penerus silsilah marga keluarganya, sedangkan anak perempuan tetap dihormati karena nantinya akan melahirkan silsilah marga dari suaminya. Selain itu, sebuah kehormatan besar dari keluarga perempuan yang anak perempuannya dapat melahirkan keturunan bagi keluarga suaminya, dengan begitu keluarga suami akan menaruh hormat yang tinggi pada keluarga istrinya tersebut, inilah arti budaya hasangapon yang mereka anut saat ini. Selain itu, apabila keturunan mereka nantinya sudah bekerja maka diharapkan oleh orang tua dapat memperbaiki taraf kehidupan keluarganya. Orang tua pada keluarga etnis Batak berharap sang anak harus mendapat pekerjaan dan menjalani pola kehidupan yang lebih baik lagi agar budaya hamorangan juga dapat dicapai yaitu kegelimangan harta. Pentingnya penanaman nilai budaya pada kehidupan masyarakat modern dapat dilihat dari penelitian sebelumnya yang dilakukan (Susanti, 2010 hlm.9) yang berjudul Implementasi Nilai Budaya Batak Toba dalam Pembelajaran IPS di MTsN Balige Sumatera Utara yang mengatakan hasilnya bahwa: Nilai-nilai budaya Batak Toba dapat diekplorasi untuk proses pengembangan wawasan kebangsaan peserta didik yaitu dari lagu daerah, ulos, tor-tor dan cerita rakyat karena ada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sedangkan hamorangan (kekayaan), hagabeon (keturunan), hasangapon (kemuliaan) mengajarkan nilai-nilai bekerja keras, gigih dan bertanggung jawab. 5 |Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung Peneliti menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas terlihat keberhasilannya yaitu dari implementasi nilai budaya nenek moyang etnis Batak yang sang guru terapkan dengan memadupadankan pada model pembelajaran yang menyenangkan sehingga membuat peserta didiknya merasa senang dan tujuan dari suatu pembelajaran dapat tercapai. Perbedaan penelitian Susanti dengan penelitian ini adalah fokus masalah yang akan diteliti, seperti pada penelitian Eka Susanti yang mengambil fokus masalah mengenai implementasi nilai-nilai budaya Batak secara universal terhadap pembelajaran IPS, seperti di dalamnya terdapat pembahasan mengenai lagu daerah, tarian tortor, ulos dan cerita daerah, sedangkan pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada nilai budaya hagabeon saja, dimana telah terjadi perubahan sosial yang dilakukan oleh masyarakat etnis Batak. Selain itu, terdapat perbedaan pula pada objek penelitian, dimana dalam penelitian Eka Susanti mengambil objek penelitian siswa pada sebuah sekolah yaitu MTsN di Balige Sumatera Utara, sedangkan penelitian ini mengambil objek penelitian yaitu masyarakat etnis Batak yang bertempat tinggal di kota Bandung. Penelitian ini penting untuk dikaji secara mendalam karena saat ini nilai budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak tanpa disadari telah memudar. Fenomena ini jika terus diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan budaya hagabeon akan benar-benar hilang dari masyarakat etnis Batak, sedangkan budaya hagabeon itu sendiri adalah budaya mendasar yang harus dipegang teguh oleh masyarakat etnis Batak, karena apabila budaya ini hilang masyarakat etnis Batak akan kehilangan jati dirinya pula. Kemudian alasan mengenai pentingnya masalah ini untuk diteliti yaitu untuk menyadarkan masyarakat etnis Batak bahwa tanpa mereka sadari, mereka telah terbawa arus globalisasi yang menyebabkan semakin memudarnya nilai kebudayaan asli mereka sebagai etnis Batak, sehingga diharapkan nantinya mereka dapat berupaya agar budaya hagabeon ini dapat lestari kembali. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis batak (studi analisis deskriptif pada masyarakat etnis batak di kota bandung). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena melihat pada tujuan umum dari penelitian ini yaitu menganalisis perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung tidak dapat diukur dengan menggunakan hitungan. Menurut Bungin (2011, hlm. 6) mengemukakan bahwa “Tahapan penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berfikir kritis ilmiah, yang mana seorang peneliti memulai berfikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena- fenomena sosial, melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya dan kemudian berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati”. Berdasarkan pendapat di Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung| 6 atas, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang tidak menghasilkan angka-angka, tetapi menghasilkan data-data deskriftif yang berupa ucapan dan prilaku dari subjek yang diteliti. Alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena yang diteliti dalam penelitian ini merupakan permasalahan mengenai perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung. Adapun untuk mendapatkan data guna menjawab permasalahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif. Tujuannya adalah untuk menggambarkan secara jelas dan menyeluruh mengenai perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung. Penelitian deskriptif lebih kepada menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dengan apa adanya. Menurut Arikunto (2009, hlm. 234) “penelitian deskriptif sebagai penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dimana nantinya setelah melakukan observasi dilanjutkan dengan wawancara kepada narasumber sehingga didapat data yang kemudian data tersebut akan diolah lagi dengan dideskripsikan secara sistematis, factual serta sesuai dengan fakta- fakta yang telah diabadikan melalui gambar- gambar. Selain itu peneliti juga tidak lupa mencari serta mempertimbangkan data yang diperoleh dari catatan lapangan dan studi literature baik itu dari buku maupun internet. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi partisipasi, studi dokumentasi, studi literatur, dan diary methods. Adapun untuk menguji keabsahan data peneliti menggunakan member chek dan triangulasi. Melalui teknik member chek dan triangulasi data akan lebih valid dan mendalam karena menggambarkan hasil data dari setiap teknik pengumpulan data yang digunakan. Setelah tahap penelitian dilakukan selanjutnya data- data tersebut dianalisis. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah antara lain, data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Perubahan merupakan hal normal yang pasti dialami oleh masyarakat karena masyarakat bersifat dinamis. Begitupula dengan masyarakat etnis Batak di kota Bandung yang telah mengalami perubahan sosial budaya, salah satunya yaitu budaya hagabeon. Menurut salah satu informan selaku sesepuh. Pada zaman dahulu, budaya hagabeon adalah budaya yang mengedepankan banyaknya jumlah anak dan lengkapnya jenis kelamin yaitu lakilaki dan perempuan. Banyaknya jumlah anak dianggap sebagai suatu kekayaan bagi sebuah pasangan karena anak-anak mereka nantinya diharapkan dapat menjadi tempat berlindung mereka di usia senja. Sedangkan mengenai jenis kelamin yaitu adanya laki-laki dan perempuan dikarenakan anak laki-laki dalam adat Batak dianggap sebagai simbol sebuah keluarga karena nantinya anak laki-laki-lah yang dapat meneruskan silsilah marga keluarga tersebut. Penerusan silsilah marga ini-lah yang disebut sebagai suatu kekayaan dan kehormatan bagi keluarga etnis Batak. Keberadaan anak laki-laki dan anak perempuan memang mempunyai tingkatan yang berbeda dalam keluarga etnis Batak, terdapat kewajiban dan hak yang berbeda pula. Sesuai yang telah peneliti paparkan 7 |Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung di atas, kewajiban anak laki-laki adalah meneruskan silsilah marga keluarga. Sedangkan hak dari anak laki-laki akan peneliti coba gambarkan dari sebuah kebiasaan yang unik dalam kehidupan sehari-hari keluarga etnis Batak, dalam kehidupan sehari-hari, anak laki-laki tidak diperbolehkan untuk membantu anak perempuan menyelesaikan pekerjaan rumah. Anak laki-laki hanya diperbolehkan untuk pergi ke sawah membantu orang tua, atau sekedar pergi bermain bersama teman-temannya saat hari libur. Kemudian jika kita temukan dalam upacara adat, anak laki-laki walaupun sebagai adik dari kakak perempuannya, maka tidak diperbolehkan untuk memberikan penghormatan kepada kakak, namun sebaliknya. Kakak-lah yang harus memberikan penghormatan kepada adik laki-laki, karena adik laki-laki dianggap sebagai raja dalam keluarga. Sedangkan bagi anak perempuan dalam kewajiban terlihat saat ia menikah. Anak perempuan harus dapat melahirkan jumlah keturunan yang banyak dan berjenis kelamin yang lengkap bagi suaminya. Merupakan suatu kehormatan bagi keluarga perempuan apabila anaknya dapat melakukan hal demikian. Kemudian mengenai hak, perempuan berhak untuk melarang suami untuk menikah lagi apabila kewajibannya selama menjadi isteri dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Komunikasi antara suami dan istri yang hanya satu arah menjadi hambatan untuk mengambil keputusan bagi keluarga. Itulah sebabnya, pada zaman dahulu tidak kita temukan keluarga etnis Batak yang bercerai dan seorang suami mempunyai isteri dua. Berbeda dengan saat ini, beliau melihat secara rasio bahwa nilai hagabeon dahulu telah mengalami perubahan. Saat ini, hagabeon dipandang secara luas, bukan terletak pada banyaknya jumlah keturunan saja, melainkan keturunan yang sedikit namun dapat disekolahkan setinggi-tingginya, diberikan pendidikan formal, nonformal dan informal dengan baik yang nantinya diharapkan anak dapat berguna bagi nusa bangsa dan agama serta dapat mengangkat derajat orang tua. Selain itu, banyaknya jumlah keturunan jika diterapkan pada kondisi saat ini, dianggap tidak relevan karena dianggap menjadi beban dalam menghidupi kebutuhan rumah tangga. Menurut beliau, pandangan hagabeon dapat dicapai oleh keluarga etnis Batak dapat diukur dari keberhasilan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Bagi beliau, banyaknya jumlah anak jika tidak dididik dengan baik sehingga nantinya hanya menimbulkan aib bagi keluarga maka tidak perlu dilakukan. Namun, apabila jumlah anak sedikit namun mendapat pengajaran yang baik dalam keluarga dan lingkungan sosial sehingga nantinya anak dapat berkembang menjadi manusia yang baik dan dapat membahagiakan orang tua maka keluarga tersebut sudah dapat dikatakan mencapai hagabeon. Mengenai kelengkapan jenis kelamin anak, beliau berbicara pengalamannya, terdapat sanak saudara beliau yang justru tidak memiliki anak, hal ini dipandang oleh beliau secara positif, tidak ada kecanggungan ataupun diskriminasi terhadap saudara beliau. Mereka tetap berkomunikasi dengan baik dan saling menghormati. Faktor pendidikan. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang ternyata mempengaruhi pola pikir seseorang. Jika seseorang tersebut berpendidikan tinggi, maka mereka berpikir bahwa jumlah anak yang banyak tidak menjamin keluarganya akan sejahtera, justru sebaliknya. Mereka beranggapan jumlah anak yang banyak akan mempersulit sebuah keluarga untuk dapat mencapai kesejahteraan. Menurut salah satu informan, beliau seorang tamatan SMA, pernah menduduki bangku perkuliahan sampai semester IV, namun harus terhenti karena biaya. Sesuai dengan pengalaman beliau, banyaknya jumlah keturunan akan mempersulit kehidupan keluarga pada nantinya. Kebutuhan yang banyak akan mempengaruhi keluarga tidak dapat mencapai kesejahteraan yang Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung| 8 diinginkan. Oleh sebab itu, beliau berpandangan bahwa banyaknya jumlah keturunan tidak penting lagi, namun yang lebih penting adalah bagaimana anak dapat disekolahkan setinggi-tingginya serta kesejahteraan keluarga dapat tercapai. Faktor agama. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa pula. Sesuatu yang luar biasa itu misalnya Tuhan, Dewa, God dan lain-lain atau hanya menyebut sifatnya saja, seperti yang Maha Kuasa. Keyakinan ini membawa manusia untuk mencarai kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya. Faktor kondisi keluarga. Menurut informan yang bernama R. Sirait, kondisi keluarga yang harmonis, menjadi alasan bagi keluarga untuk mendapatkan anak yang banyak, agar nantinya diharapkan anak dapat meniru kebiasaan orang tuanya agar kelak anak-anak mereka memiliki keluarga yang harmonis pula. Namun pada keluarga yang tidak harmonis dan kurangnya komunikasi antar pasangan, berpengaruh pada pembatasan jumlah anak. Seperti pengalaman beliau, sewaktu menikah beliau melakukan diskusi dengan suami mengenai jumlah keturunan. Komunikasi yang baik antara informan dengan suami akhirnya mencapai suatu kesepakatan untuk menerima semua titipan Tuhan kepada mereka berdua. Jumlah keturunan mereka ada 11 orang, namun terdapat 3 orang yang meninggal di usia belia dan saat ini hanya berjumlah 8 orang saja. Dahulu, hampir setiap tahun beliau memiliki anak. Namun keadaan ini diterima dengan sukacita oleh mereka. Mereka beranggapan Tuhan mengasihi mereka dengan menitipkan anak kepada mereka untuk dipelihara nantinya. Ketidaksesuaian budaya hagabeon dengan kondisi saat ini. Kebudayaan hagabeon yang menekankan kepada banyaknya jumlah keturunan dan lengkapnya jenis kelamin anak dianggap tidak relevan untuk digunakan pada saat ini. Kebutuhan yang semakin komplek pada saat ini turut mempengaruhi terjadinya perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung. Adapun faktor eksternal yang melatarbelakangi perubahan sosial budaya hagabeon yaitu kebijakan program pemerintah tentang keluarga berencana (KB). Program Keluarga Berencana (KB) merupakan suatu program pemerintah Indonesia sejak tahun 1970 yang bertujuan untuk membatasi jumlah kelahiran guna menciptakan keluarga yang sehat dan sejahtera. Adapun tujuan umum dari program KB adalah untuk mewujudkan masyarakat sejahtera khususnya bagi ibu dan anak serta mengendalikan pertambahan penduduk dari suatu negara sesuai dengan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) yaitu dengan jalan mengendalikan jumlah anak dan kelahiran. Dampak perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung diantaranya, terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Terpenuhinya kebutuhan ekonomi merupakan alasan bagi sebagian besar informan membatasi jumlah keturunan mereka. Mereka beranggapan, pasangan yang mempunyai jumlah keturunan yang sedikit akan lebih mudah dalam pemenuhan kebutuhan hidup dalam keluarganya. Keberlanjutan pendidikan yang berkesinambungan (terjaminnya kebutuhan pendidikan anak). Bagi keluarga yang memiliki jumlah anak sedikit, mereka akan lebih mudah fokus terhadap keberlangsungan pendidikan anaknya. Mereka sudah dapat berpikir jernih bahwa anak mereka harus memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada mereka sebagai orang tua sehingga nantinya, anak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya, karena mereka sudah 9 |Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung berpandangan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi berpengaruh kepada kesejahteraan hidup seseorang nantinya. Sedangkan bagi keluarga yang memiliki jumlah anak yang banyak, maka orang tua tidak dapat fokus kepada pendidikan anaknya, melainkan hanya fokus terhadap pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari saja. Terjaganya kesehatan keluarga. Kesehatan dapat terpenuhi apabila adanya perhatian dari orang tua kepada buah hatinya. Saat ini di tengah gempuran modernisasi banyak sektor yang dapat menghasilkan hal yang bermanfaat bagi banyak orang sekaligus menjadi hal yang berdampak negatif pula. misalnya, saat ini banyak makanan yang lezat tetapi mengandung zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, oleh sebab itu orang tua harus lebih waspada kepada kesehatan anaknya, untuk mengantisipasi hal itu, maka dibutuhkan penanganan lebih, misalnya dalam memilih jajanan yang sehat, kemudian bahan pokok seperti sayur mayur dan buah-buahan yang organik yang tentunya lebih sehat. Adapun dengan mengkonsumsi makanan yang sehat maka kesehatan keluarga akan dapat terjaga dengan baik. Jika terdapat anggota keluarga yang sudah terlanjur sakit, maka akan lebih mudah bagi sebuah pasangan untuk menangani secara maksimal apabila jumlah anaknya sedikit. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bagi keluarga etnis Batak membatasi jumlah anak. Serta memudarnya ciri khas keluarga etnis Batak. Keluarga etnis Batak dikenal memiliki jumlah anak yang banyak. Namun saat ini, keluarga etnis Batak tidak mementingkan kepada jumlah anak yang banyak, melainkan kepada pemenuhan kebutuhan hidup anak. Pada zaman dahulu jumlah anak yang banyak dipandang sebagai suatu ciri khas keluarga etnis Batak, namun saat ini, keluarga etnis Batak tidak dikenal dengan banyaknya jumlah anak melainkan keberhasilan dalam mengasuh anak hingga anak dapat bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. PEMBAHASAN Perubahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia, karena mulai dari lahirnya manusia sampai saat ini pasti akan mengalami perubahan. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Narwoko dan Bagong (2010, hlm. 362) yaitu “masyarakat merupakan sesuatu yang life, karena itu pastilah berkembang dan kemudian berubah”. Tidak terkecuali dengan masyarakat etnis Batak di kota Bandung. Mereka yang hidup akan terusmenerus mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik dan modern sesuai dengan tuntutan jaman. Banyak perubahan yang terjadi pada masyarakat etnis Batak, diantaranya terjadinya perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung. Perubahan sosial budaya hagabeon yang terjadi akibat adanya modernisasi. Modernisasi merupakan perubahan sosial pada masyarakat yang tradisional ke tipe masyarakat yang sudah mengenal teknologi. Menurut Nasution (2009, hlm. 80) modernisasi adalah “suatu proses perubahan ketika masyarakat yang sedang memperbarui dirinya berusaha mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik yang dimiliki masyarakat modern”. Hal ini sesuai dengan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dimana masyarakat etnis Batak berusaha untuk mengikuti perkembangan arus modernisasi dengan membatasi jumlah keturunan mereka. Mereka beranggapan bahwa dengan sedikitnya jumlah keturunan mereka, mereka dapat memperbaiki kualitas hidup keluarga. Anak-anak mereka akan dapat bersekolah setinggitinggi sehingga dapat menjadi manusia yang lebih berhasil dari orang tua. Salah satu ciri masyarakat modern adalah cara berpikir masyarakatnya yang ilmiah. Jika dihubungkan dengan hasil penelitian, maka pada keluarga etnis Batak yang tergolong muda telah berpikir ilmiah sehingga mulai berpikir untuk menjadi keluarga yang sejahtera sampai kepada Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung| 10 anak cucu mereka nantinya. Merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh David McClelland, salah satu pengikut teori ini menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan negara Dunia ke-3 mengalami kemiskinan adalah karena masyarakat di negara Dunia ke-3 tidak memiliki semangat untuk berprestasi (Harrison, 2005). Teori McClelland ini lebih dikenal dengan teori n/Ach (need for achevement). McClelland menjelaskan kebutuhan untuk berprestasi dalam mendukung kemajuan individu maupun masyarakat. Pandangan ini kemudian digunakan untuk menjelaskan mengapa negara Dunia ke-3 hidup dalam kondisi kemiskinan. Indonesia sebagai negara Dunia ke-3 memiliki penduduk dalam kondisi kemiskinan. Semua masyarakat dari berbagai etnis di Indonesia merasakannya tidak terkecuali dengan etnis Batak. Etnis Batak yang dikenal sebagai etnis perantauan, mengharapkan adanya perubahan kualitas hidup yang lebih baik saat mereka merantau ke kota. Namun kenyataan tidak sesuai dengan harapan, banyak masyarakat etnis Batak yang masih hidup dalam kondisi memprihatinkan di kota-kota besar di tanah air khususnya kota Bandung. Menurut McClelland, setiap individu memiliki waktu luang. Hendaknya setiap orang memanfaatkan waktu luangnya tersebut untuk berfikir mengenai bagaimana meningkatkan situasi sekarang ke arah yang lebih baik, dan hendaknya melaksanakan tugas-tugas yang dihadapinya dengan cara yang lebih baik. Orang yang demikian menurut McClelland sebagai orang yang memiliki kebutuhan berprestasi yang kuat. Pendapat ini sesuai dengan hasil temuan peneliti di lapangan, dimana keadaan etnis Batak yang berada pada garis kemiskinan di kota Bandung akhirnya memaksa mereka untuk memikirkan hal yang baru yang dapat memperbaiki tingkat kualitas hidup mereka. Karena tuntutan di kota Bandung yang besar, maka mereka mengalami perubahan sosial budayanya sendiri yaitu budaya hagabeon yang diajarkan oleh leluhur mereka. Pada masyarakat etnis Batak yang berada di kota Bandung, perubahan sosial budaya hagabeon yang terjadi karena sebagian besar dari mereka menganggap anak mereka harus memiliki masa depan yang lebih baik dari orang tuanya. Pembatasan jumlah anak bagi mereka dikarenakan juga mereka ingin anaknya memiliki kesinambungan pendidikan sehingga nantinya diharapkan sang anak memiliki masa depan yang lebih terjamin. Budaya hagabeon adalah budaya yang mengedepankan banyaknya jumlah keturunan dan jenis kelamin yang lengkap dalam sebuah keluarga etnis Batak. Namun karena kondisi tidak memungkinkan untuk memiliki jumah anak yang banyak, maka mereka membatasi jumlah keturunan. Pembatasan jumlah keturunan ini dianggap sah oleh mereka demi memperbaiki taraf kehidupan mereka di kota Bandung. Mereka beranggapan bahwa anak mereka harus memiliki masa depan yang lebih baik dari orang tuanya. Pembatasan jumlah anak bagi mereka dikarenakan juga mereka ingin anaknya memiliki kesinambungan pendidikan sehingga nantinya diharapkan sang anak dapat berprestasi sehingga memiliki masa depan yang lebih cerah. Menurut jurnal yang telah dikutip oleh peneliti yaitu Hanan, Himasari. 2012. “Modernization and cultural transformation: The expansion of Traditional Batak Toba House in Huta Siallagan”. Social and behavioral sciences. 50, hlm. 800-811. Hasil penelitian pada jurnal ini menunjukkan bahwa pada masyarakat Batak Toba saat ini sedang menghadapi dilema akibat adanya arus globalisasi yang masuk ke tanah Sumatera Utara. Fenomena ini menjadi alasan para masyarakat etnis Batak Toba kesulitan untuk mempertahankan tradisi budaya dari leluhurnya, termasuk kesulitan untuk mempertahankan rumah adat mereka. Banyak diantara mereka yang merubah 11 |Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung struktur bangunan rumah yang awalnya bernuansa budaya menjadi bernuansa modern. Mereka beranggapan agar tidak ketinggalan zaman dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Jadi secara umum hasil penelitian ini yaitu pada sebagian besar masyarakat Batak Toba telah memiliki rumah dengan struktur bangunan yang modern. Keadaan ini juga sesuai dengan masyarakat etnis Batak di kota Bandung, dimana karena mereka tidak ingin tergerus oleh arus modernisasi, maka mereka kesulitan untuk mempertahankan budaya leluhurnya yaitu hagabeon. Budaya hagabeon adalah budaya yang mengedepankan banyaknya jumlah keturunan dan lengkapnya jenis kelamin anak. Namun saat ini keluarga etnis Batak di kota Bandung sudah berpikiran luas, mereka tidak memandang seperti hal demikian lagi, mereka memandang hagabeon secara luas, dimana walaupun jumlah keturunan mereka sedikit dan tidak lengkapnya jenis kelamin anak, yang terpenting adalah mereka dapat memberikan pendidikan yang layak bagi anak mereka agar diharapkan nantinya anak mereka dapat mengikuti arus modernisasi saat ini. Merujuk dari jurnal Cleveland, Mark. 2015. “Identity, Culture, dispositions and behavior: A cross-natural examination of globalization and culture change”. Business research. 1, hlm. 1-13. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya globalisasi telah terjadi di seluruh belahan dunia. Mulai dari masyarakat di pedesaan yang masih memiliki nilai budaya yang kental hingga masyarakat di perkotaan. Walaupun begitu, masyarakat tradisional harus dapat mempertahankan nilai-nilai budaya yang dianut. Penelitian ini meneliti tentang bagaimana ras Cina dan orang orang yang tinggal di Canada dapat mengakulturasikan budaya asli dengan arus globalisasi (budaya yang masuk), sehingga hasilnya mereka tetap bisa mempertahankan budaya aslinya. Sesuai dengan jurnal yang dikemukakan oleh Cleveland, Mark. 2015, pada masyarakat etnis Batak yang mengalami perubahan sosial budaya hagabeon di kota Bandung tidak seutuhnya berubah. Perbedaan pandangan antara masingmasing informan mengenai budaya hagabeon-lah yang seolah memunculkan stigma bahwa telah terjadi perubahan sosial budaya hagabeon. Namun peneliti mengamati lebih mendalam, bahwa seluruh informan yang menjadi narasumber, mereka berpendapat bahwa mereka masih memegang budaya hagabeon sebagai pedoman mereka dalam membina rumah tangga. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan dalam memandang budaya hagabeon itu sendiri, ada yang memandang secara luas adapula yang memandang secara sempit. SIMPULAN Terdapat perubahan sosial budaya hagabeon yang terjadi pada kehidupan etnis Batak di kota Bandung. Terutama dalam hal pemaknaan budaya hagabeon itu sendiri, dimana ada pandangan yang menyatakan bahwa banyaknya jumlah anak dipandang sebagai simbol kekayaan suatu keluarga. Namun ada juga yang berpandangan bahwa jumlah keturunan tidak dipandang lagi sebagai simbol kekayaan, melainkan sebagai beban karena akan mempersulit sebuah keluarga untuk mencapai kesejahteraan. Perubahan sosial yang terjadi pada budaya hagabeon diantaranya berpandangan bahwa banyaknya jumlah anak tidak dianggap penting lagi, namun lebih mementingkan pada keberlangsungan hidup anak, dalam arti dapat memberikan pendidikan yang tinggi kepada anak-anak, tidak ada diskriminasi. Anak laki-laki dan anak perempuan harus mendapat pendidikan yang sama, selain itu pembatasan jumlah anak dikarenakan agar nantinya kesejahteraan keluarga dapat lebih dicapai. Selain itu, bagi mereka yang taat beragama, jenis kelamin tidak dianggap sebagai hal yang penting dalam budaya hagabeon, karena mereka berpandangan segala sesuatunya sudah digariskan oleh Siti Murniyati, Dkk Perubahan Sosial Budaya Hagabeon pada Masyarakat Etnis Batak di Kota Bandung| 12 Tuhan dan harus disyukuri sebagai bukti ketaatan kepada Tuhan. Hal ini berbeda dengan pemaknaan budaya hagabeon pada zaman dahulu, dimana banyak etnis Batak yang lebih menaruh perhatian dan kepercayaan kepada ajaran leluhur mereka yang lebih bersifat duniawi, sehingga banyak dari mereka yang akhirnya memilih untuk menikah lagi akibat tidak dikaruniai anak laki-laki. Terdapat faktorfaktor yang melatarbelakangi perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung, baik faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor internal meliputi pengaruh pendidikan, pengaruh agama dan pengaruh kondisi keluarga dan ketidaksesuaian antara nilai budaya hagabeon dengan kondisi saat ini. Sedangkan faktor eksternal yaitu berasal dari kebijakan program pemerintah keluarga berencana (KB). Segala sesuatu yang mengalami pergeseran pasti menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari perubahan sosial DAFTAR RUJUKAN Buku Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek-Edisi Revisi V. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Bungin, B. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana. Harrison, D. (2005) sociology of Modernization and Development. New York: Routledge. Koenjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Narwoko, D. & Bagong, S. (2010). Sosiologi (Teks Pengantar dan Terapan). Jakarta: Kencana. Nasution, Z. (2009). Komunisi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: Rajawali Pers. Jurnal budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak di kota Bandung yaitu terpenuhinya kebutuhan ekonomi, keberlanjutan pendidikan anak dan terjaganya kesehatan keluarga. Serta memudarnya ciri khas keluarga etnis Batak yang dikenal dengan banyaknya jumlah keturunan. Penelitian ini dapat diimplementasikan pada pembelajaran sosiologi di SMA kelas XII. Implementasi terhadap pembelajaran sosiologi mengenai materi perubahan sosial budaya hagabeon masyarakat etnis Batak di kota Bandung diharapkan dapat memberikan contoh kehidupan sehari-hari dalam masyarakat sehingga peserta didik lebih memahami mengenai perubahan sosial khususnya dalam pembelajaran sosiologi. Siswa juga dapat menganalisis faktor yang melatarbelakangi perubahan sosial budaya hagabeon pada masyarakat etnis Batak serta dampak yang ditimbulkan dari adanya perubahan sosial budaya hagabeon sebagai jati diri masyarakat etnis Batak di kota Bandung. Cleveland, Mark. 2015. “Identity, Culture, dispositions and behavior: A crossnatural examination of globalization and culture change”. Business research. 1, hlm. 1-13. Hanan, Himasari. 2012. “Modernization and cultural transformation: The expansion of Traditional Batak Toba House in Huta Siallagan”. Social and behavioral sciences. 50, hlm. 800-811. Susanti, Eka. (2010). “Nilai- nilai Budaya Batak Toba sebagai Sumber Pembelajaran IPS dan Proses Pengembangan Wawasan Kebangsaan”. Vol. 1 (1) hlm. 96-100.