anomali pemakai bahasa indonesia

advertisement
ANOMALI
PEMAKAI
BAHASA
INDONESIA
Kesalahan Berbahasa Indonesia
Ridwan Arifin, M.Hum.
Juli 2012
1
Kata Pengantar
“Kebanggaan pada Bahasa Indonesia Menurun”, suatu artikel di KOMPAS 28
November tahun lalu ini membuat saya peduli, khawatir, waspada bahkan mungkin
siaga tiga. Mengapa demikian? Saya melihat pada 2028 tepat satu abad Sumpah
Pemuda, masyarakat lebih cenderung akan menggunakan bahasa asing bahkan
penggunaan bahasa Indonesia semakin tidak sesuai kaidah menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan EYD.
Ini terbukti dari beberapa kesalahan yang dibuat dari presiden, pemerintah,
pejabat pusat maupun daerah, media cetak dan elektronik, hingga dosen, guru,
mahasiswa/i serta pelajar. Kesalahan penggunaan Bahasa Indonesia ini mulai dari
kesalahan fonologis, semantis, morfologis, sintaksis hingga penulisan ejaan sesuai
dengan KBBI. Pemakai Bahasa Indonesia dimanjakkan dengan kesalahan yang kerap
dilakukan baik lisan maupun tulisan karena ini sudah menjadi suatu kebiasaan mereka.
Buku ini memuat kesalahan terburuk penggunaan Bahasa Indonesia dalam
kegiatan sehari-hari oleh para pemakai Bahasa Indonesia dengan penjelasan deskriptif
dan komprehensif. Beberapa artikel juga diambil dari Koran KOMPAS yang ditulis oleh
sejumlah linguis/ munsyi, penerjemah, sastrawan, penyusun kamus serta pengamat
bahasa. Mereka ialah (alm.) Prof. Dr. Jos Daniel Parera, Prof. Dr. Benny H. Hoed, Sori
Siregarr, André Möller dan lain-lain.
Semoga buku ini dapat menjadi acuan teoretis atau rujukan dalam pemakaian
Bahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan, penelitian linguistik dan pengajaran serta
pemelajaran Bahasa Indonesia. Buku ini ditujukkan untuk kalangan peneliti, dosen,
mahasiswa/i, guru, pelajara dan masyarakat umum.
Alhasil, pada Kongres Bahasa Indonesia berikutnya, kita dapat mendengar
bahwa bahasa Indonesia sudah menjadi kebanggaan bangsa Indonesia dan pengguna
bahasa Indonesia di seluruh universitas di Indonesia. Terutama mahasiswa/i yang
mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia di universitas di Australia, Selandia Baru,
Belanda atau Swedia.
Penyusun
Agustus 2009
2
Daftar Isi
A. Kesalahan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah, Media Massa, Tokoh
Masyarakat, Dosen, Guru, Mahasiswa, Pelajar.
1. Kosakata media massa………………………………………………..
2. Selebriti, selebritis, atau selebritas? …………………………………
3. Nol atau kosong? ……………………………………………………...
4. Inisiatif disita? ………………………………………………………….
5. Mencoba mendomestikasi bahasa asing? …………………………..
6. Peringatan atau pengingatan?………………………………………..
7. Bahasa Indonesia yang terlupakan ………………………………….
8. Penyimpangan makna kata remedial .……………………………….
9. Nopember atau November? .…………………………………………
10. Kesalahan penggunaan bahasa asing .……………………………..
11. Penulisan gelar dokter medis.………………………………………...
12. Mengapa koridor ………………………………………………………
13. Berita Banjir di TV ……………………………………………………..
14. Penggunan Bahasa Indonesia di Bus TransJakarta……………….
15. Warta…………………………………………………………………….
16. Bunyi Sengau…………………………………………………………..
17. Penggertakan…………………………………………………………..
18. Kekeliruan Penyerapan Bahasa Asing……………………………...
19. Pleonasme ……………………………………………………………..
20. Anomali Pemakai Bahasa Indonesia………………………………..
21. Lebih Baik Pekan Raya Jakarta……………………………………...
22. KTP Elektronis Bukan Elektronik…………………………………….
23. Apakah Korupsi Termasuk Budaya?...............................................
4
6
8
10
12
15
17
18
19
20
21
22
23
24
25
27
29
31
33
35
36
37
39
B. Artikel Bahasa ditulis oleh beberapa munsyi di koran KOMPAS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Wan telah kehilangan kejantanan ……………………………………………
Duren ……………………………………………………………………………
Laporan dan Cerita …………………………………………………………….
Salah satu rumah menangis ………………………………………………….
Nya Kondusif …………………………………………………………………...
Trotoar …………………………………………………………………………..
Simpati dan Simpatetik ………………………………………………………..
Kopitiam ………………………………………………………………………...
Ng(eh) …………………………………………………………………………..
43
45
47
49
51
53
55
57
59
C.
D.
E.
F.
Kesalahan Berbahasa di Media Televisi …………………………………
Lampiran
Daftar Rujukan
Tentang Penulis
60
3
Kesalahan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah, Media
Massa, Tokoh Masyarakat, Dosen, Guru, Mahasiswa
dan Pelajar
4
Kosakata Media Massa
Lagi-lagi tentang penggunaan kosakata Bahasa Indonesia. Kali ini, berurusan
dengan kawan-kawan di media massa. Perlu diingat, acara televisi seharusnya tidak
hanya sekedar ‗tontonan‘ melainkan ‗tuntunan‘. Banyak judul acara di televisi
menggunakan bahasa asing. Mungkin, Bahasa Inggris lebih ‗tinggi‘ kedudukannya dari
pada Bahasa Indonesia, bagi penganut inferior complex yakni seseorang yang
menganggap atau memandang orang/ bahasa asing lebih tinggi dari pada dirinya, atau
lebih bergengsi dan menarik pemirsa serta cepat dipahami penonton.
Memang bukan masalah yang besar, akan tetapi menjadi suatu ancaman bagi
kita jika Bahasa Indonesia disalahgunakan, mengingat Bahasa Indonesia menjadi mata
kuliah atau pelajaran atau mata kuliah di Negeri Belanda, Australia dan beberapa
negara lainnya. Padahal, menurut Dendy Sugono Kepala Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, kosakata Bahasa Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi ketiga (2001) memuat 78.000 lema bahkan dalam pengembangan istilah, melalui
kerja sama Mabbim telah menghasilkan 340.000 istilah dan, melalui kerja sama dengan
Microsoft, telah dialihkan sekitar 250.000 kata dan istilah asing ke dalam Bahasa
Indonesia. Mengapa kita belum dapat menggunakan kosakata Bahasa Indonesia
dengan tepat dan benar?
Masih ingatkah dengan acara berita berjudul Warta Berita? Sepintas tidak ada
masalah dengan judulnya tapi ini suatu pemborosan kata (redundancy). Padahal, kata
warta dalam KBBI Edisi IV berarti berita atau kabar. Jadi, dapat diartikan frasa warta
berita menjadi berita berita. Setali tiga uang, masih rendahnya pemahaman
penggunaan kosakata juga terjadi dalam kata deportasi dalam acara Big Brother
Indonesia. Kata deportasi digunakan bagi peserta yang gagal dan keluar disebabkan
tidak dapat bertahan dengan peserta lain dalam satu rumah. Dalam KBBI Edisi IV, kata
deportasi memiliki arti pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar
suatu negeri sbg hukuman, atau krn orang itu tidak berhak tinggal di situ;
sementera mendeportasi ialah memulangkan ke negara asal. Memang kita harus sangat
berhati-hati dalam memilih kosakata untuk sebuah judul atau suatu istilah dalam
permainan untuk dapat menarik pemirsa.
5
Lucunya, televisi juga menghadirkan suatu suguhan yang tidak semestinya
dihadirkan di rumah melalui acara Termehek-mehek. Kosakata Bahasa Indonesia tidak
mengenal lema ini. Pun ungkapan ini tidak ditemukan dalam KBBI. Faktanya, acara ini
menunjukkan suatu pemecahan masalah dengan ribut-ribut atau perkelahian tanpa
melalui musyawarah. Begitu juga dengan acara berjudul Wara-wiri yang tidak
menggunakan kosakata Bahasa Indonesia. Acara ini sangat tidak jelas maksud dan
tujuannya sama sekali seperti judulnya. Ungkapan Wara-wiri yang sebenarnya berasal
dari Bahasa Jawa, sangatlah kurang pas untuk digunakan, tetapi seharusnya Wira-wiri
yang memiliki makna berjalan hilir-mudik atau mondar-mandir.
Intinya, sampai kapan kosakata Bahasa Indonesia tidak digunakan sesuai
dengan kaidah bahasa? Penggunaan kosakata asing sudah berlebihan dan sering
dijumpai dalam acara televisi seperti Kick Andy, Today‘s Dialogue, Jakarta Lawyer‘s
Club, Just Alvin, Breaking News dan lebih parah lagi acara berjudul pesbukers.
18 Agustus 2011
6
Selebritas
―Kualitas Acara Masih Buruk‖, merupakan judul suatu artikel di KOMPAS 5 Juli
2009 dan ini berdasarkan hasil survei ―rating‖ publik keempat yang digelar Yayasan
Sains Etika dan Teknologi pada April – Mei 2009. Hasilnya, acara Kick Andy (Metro TV)
dianggap berkualitas. Sebaliknya, program terburuk didominasi sinetron, talk show dan
reality show. Saya setuju, karena pemirsa dijadikan tolok ukur dalam survei ini.
Selain beberapa program terburuk ini, banyak pula tayangan informasi dan gosip
tentang orang-orang terkenal atau pemain sinetron dalam acara Kabar-Kabari, Halo
Selibriti, Kasak-kusuk, Insert (informasi selebriti) dan sebagainya yang lebih tidak
berkualitas. Tak heran, hampir semua stasiun TV menulis kata selebriti atau selebritis
untuk status seseorang yang diwawancarai. Bahkan penulisan kata artis pun kerap
terjadi dan ditujukkan baik untuk pemain sineron/film maupun musisi/penyanyi. Ada
pula tayangan terbaru di salah satu stasiun TV swasta yakni Realgi atau Realiti Religi
serta Selebriti Anak. Setali tiga uang, penggunaan kata serapan reality menjadi realiti.
Lama-lama saya bingung sendiri terhadap fenomena kata serapan asing ini.
Menurut kaidah penerjemahan, ini disebut penerjemahan fonologis atau phonology
translation yang ditulis Newmark dalam bukunya The Handbook of Translation 1989.
The word in the target language is not found out equivalent so the translator decides to
create the new word in which the sound phonologically and graphologically is adapted
from the source language, artinya jika kata dalam teks sasaran tidak ditemukan
padanannya maka penerjemah menciptakan kata baru sesuai dengan bentuk fonologis
atau bunyi yand diadaptasi dalam bahasa sumber.
Jika memang demikian, nomina (noun) quality diterjemahkan menjadi kualitas,
quantity menjadi kuantitas, commodity menjadi komoditas, stability menjadi stabilitas.
Maka, kata-kata dalam bahasa Inggris yang memiliki sufiks -ity akan berubah sufiks
dalam bahasa Indonesia menjadi -tas. Mengapa celebrity menjadi selebriti atau
selebritis?
7
Akan tetapi, apakah bahasa Indonesia mempunyai morfem terikat derivasional
atau derivational bound morpheme -tas? Andai saja morfem ini termasuk ke dalam
sufiks, jadi secara morfologis, kata celebrity dapat dialih eja menjadi selebritas alih-alih
selebrti atau selebritis. Ternyata, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003:237-238)
edisi ketiga terbitan Pusat Bahasa, bahasa Indonesia memiliki sufiks yang diserap dari
kata asing yakni -isme, -(is)sasi, -logi dan -tas.
Tetapi saya semakin bingung ketika membuka KBBI (2002:1019) edisi ketiga
terbitan Pusat Bahasa. Mengapa KBBI menuliskan lema selebriti? Apa yang menjadi
alasan sehingga Pusat Bahasa memasukkan lema selebriti? Setali tiga uang,
kenyataanya KBBI dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Pusat
Bahasa.
Kesimpulannya, sebagai penerjemah saya lebih ‗nyaman‘ menggunakan kata
selebritas dengan alasan mengikuti kaidah penerjemahan dengan teknik phonology
translation. Selain itu, semua nomina yang bersufiks -ity dialihejakan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi -tas bila sesuai dengan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Mudahmudahan para pembuat acara di stasiun TV lebih memerhatikan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar sesuai kaidah. Amin!
Juli 2009
8
NOL dan Tanda Baca
Masi perlukah pelajaran matematika hingga tingkat kuliah di jurusan bahasa atau
lainnya yang bukan ilmu pasti? Haruskah setiap pembawa acara televisi, kuis atau
pembaca berita belajar lagi bahasa Indonesia? Atauhkah bahasa Indonesia merupakah
hal yang mudah sehingga disepelekan?
Saya cukup bingung saat menonton acara di televisi berupa kuis ketika seorang
pembawa acara kuis tersebut berkata ― …silakan langsung telpon ke kosong delapan
satu delapan kosong tujuh kosong kosong…‖. Pembawa acara tersebut selalu berkata
‗kosong‘ berulang-ulang untuk menyebut nomor telepon atau kode area 021, 022, 031
dengan kosong dua satu, kosong dua dua, kosong tiga satu.
Kesal rasanya ingin menegur langsung pembawa acara seperti ini. Setali tiga
uang, ketika saya mendengar pembaca berita di beberapa stasiun TV swasta
menyebutkan kata kosong dalam menyebutkan bilangan indeks saham dan nomor
telepon.
Alih-alih, menyebut suatu bilangan dengan kosong, seharusnya menyebut
dengan ‗nol‘ karena ini suatu bilangan matematika. Kosong adalah sebutan untuk suatu
ruangan.
Dalam KBBI edisi ketiga (2003:597) kosong berarti tidak berisi, tidak
berpenghuni, hampa, tidak mengadung arti dan masih ada enam arti lainnya.
Parahnya lagi, masi perlukah tanda baca dalam memakai bahasa Indonesia?
Pertanyaan itu muncul setelah saya membaca sekian banyak koran, majalah serta teks
berjalan (running text) di televisi. Penggunaan tanda baca masih terlihat sangat kurang
yang pada akhirnya dapat menimbulkan kebingungan dan ketaksaan suatu kalimat oleh
pembaca. Judul koran dan majalah di setiap artikel yang dimuat tidak konsisten dalam
penggunaan tanda baca. Padahal, tanda baca sangatlah penting karena dapat
memengaruhi intonasi pembaca ketika membaca. Jika salah intonasi maka cenderung
pula salah makna.
9
Saya mengambil satu koran yakni KOMPAS, hanya bagian utama koran itu bukan
Klasika, Olahraga atau Bisnis dan Keuangan, pada tanggal 19 Desember 2008. Dari
halaman 1 hingga halaman 16 terdapat beberapa judul artikel yang belum konsisten
dalam menggunakan tanda baca. Beberapa judul menggunakan tanda baca seperti
―Longsor di Kediri, 900 Keluarga Terisolasi.‖(hal.1), ―Janganlah Kasihani Kami…‖(hal.1),
―TNI-Polri
Antisipasi
Terorisme.‖
(hal.2)
serta
―Presiden:
Jangan
Malu
Jadi
Pramuka.‖(hal.12).
Akan tetapi, beberapa judul artikel tidak menggunakan tanda baca seperti ‖Disita
3,6 Ton Bahan Narkotika di Tangerang.‖(hal.1), ―Siapa Tukang Sepatu Zaidi.‖(hal.11)
dan ―Tinjau Ulang Perjanjian Bilateral.‖(hal.13).
Mengapa kalimat ―Disita 3,6 Ton Bahan Narkotika di Tangerang.‖ tidak
menggunakan tanda koma setelah kata disita? Jika tidak menggunakan tanda koma,
makna kalimat menjadi berubah. Apa yang disita? Siapa yang menyita? Siapa yang
disita oleh 3,6 Ton Bahan Narkotika di Tangerang? Apakah 3,6 Ton Bahan Narkotika di
Tangerang bisa menyita sesuatu? Andai saja ditulis ―Disita, 3,6 Ton Bahan Narkotika di
Tangerang.‖, maka akan terlihat jelas apa yang disita.
Dalam kalimat Tanya ―Siapa tukang sepatu Zaidi‖ seharusnya dibubuhi tanda
tanya karena ini merupakan kalimat Tanya menjadi ―Siapa tukang sepatu Zaidi?‖
bukankah kita sudah belajar dari SD mengenai tanda tanya?
―Tinjau Ulang Perjanjian Bilateral‖ harus dibubuhi tanda seru. Karena ini adalah
kalimat seru. Lihat saja sebelum kata tinjau yang tidak dituliskan subjek kalimat
tersebut.
Mari kita tingkatkan mutu berbahasa Indonesia kita, supaya identitas bangsa
tidak dilupakan dan tidak mudah disepelekan. Karena dalam tulisan terlihat semua
unsur bahasa: dari tata bahasa, diksi, ejaan, makna hingga kohesi dan koherensi.
Desember 2008
10
Inisiatif Disita
Jika bangsa ini ingin menjadi bangsa yang maju di Asia Tenggara seperti
Singapura, Thailand dan Malaysia, bangsa ini perlu memiliki inisiatif yang tinggi untuk
bekerja keras secara optimal dan optimistis dalam mengatasi masalah kemiskinan,
pendidikan, ekonomi, pidana dan sebagainya.
Kata ‗inisiatif‘ berasal dari bahasa Inggris ‗Initiative‘ yang berarti prakarsa dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga tahun 2003. Dalam bahasa Inggris
‗initiative‘ berarti the ability to decide on your own without waiting for somebody to tell
you what to do, kemampuan dalam mengambil keputusan sendiri tanpa menunggu
orang lain memberitahu harus melakukan apa dan bagaimana, Oxford Advanced
Dictionary 2000. Kata ‗inisiatif‘ berada dalam kelompok kata benda seperti asal kata
aslinya ‗initiative‘ sebagai noun dalam bahasa Inggris.
Permasalahnnya adalah sering sekali kita mendengar dari teman-teman, media
cetak dan elektronik, pemerintah serta masyarakat yang menggunakan kata inisiatif
sebagai ajektiva atau kata sifat. Sebagai contoh, ―Pemain bola TIMNAS PSSI tidak
inisiatif dalam menyerang.‖, ―Pemerintah kurang inisisatif dalam menurunkan harga
angkutan umum‖ atau dalam pergaulan sehari-hari ―kamu sendiri yang harus inisiatif
dong!‖.
Seharusnya, kata tersebut digunakan menjadi ―Inisiatif pemerintah dalam
menurunkan harga angkutan umum sangat kurang.‖ atau ―Pemain bola TIMNAS PSSI
belum memiliki inisiatif dalam menyerang.‖ Frasa nominal inisiatif pemerintah
merupakan subyek dalam kalimat itu dan berstruktur kata benda utama (noun head)
inisiatif dan kata benda pemerintah, jadi inisiatif bukan kelompok kata sifat. Inisiatif
adalah kepunyaan/ posesif untuk kata pemerintah, seperti dalam keputusan
pemerintah, mobil dinas pemerintah, kebijakan pemerintah dan sejenisnya.
Masalah mengenai sintaksis kerap terjadi di media cetak dan elektronik. Tulisan
seperti ―Disita 3,6 Ton Bahan Narkotika di Tangerang.‖ dalam judul utama KOMPAS 19
Desember 2008 sepintas mudah dimengerti tetapi logika saya tidak demikian. Ini adalah
bentuk kalimat pasif dan 3,6 Ton Bahan Narkotika bukan sebagai subyek melainkan
objek. Pertanyaannya adalah apa yang disita? dan siapa yang menyita? Mengapa tidak
ditulis ―3,6 Ton Bahan Narkotika Disita di Tangerang‖? atau ―3,6 Ton Bahan Narkotika
Disita BNP di Tangerang‖? Ini akan lebih jelas siapa yang menyita dan apa yang disita.
Jika ingin ditulis seperti judul semula, ya tentu mudah dan bisa saja. Cukup dengan
menambahkan tanda baca koma setelah kata Disita menjadi ―Disita, 3,6 Ton Bahan
Narkotika di Tangerang.‖ Apakah penggunaan tanda baca sudah mulai dilupakan?
11
Mari bersama-sama kita tingkatkan inisiatif dalam berbahasa Indonesia yang baik
dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia serta logika berbahasa. Karena
berbahasa adalah berlogika, bukan begitu?
31 Januari 2009
12
(Mencoba) Mendomestikasi Bahasa Asing
Bentuk ‗neokolonialisme‘ terjadi bukan hanya dalam bidang perekonomian dan
bisnis, tetapi terjadi terhadap bahasa Indonesia. Cita-cita bangsa ini yang juga
tercantum dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lama-kelamaan akan sirna. Tidak
akan ada lagi yang namanya ‗Berbahasa satu, bahasa Indonesia.‘ Buktinya apa? Banyak
murid dan mahasiswa/i tidak menyukai pelajaran bahasa Indonesia terbukti dari nilai
Ujian Nasional yang lebih rendah ketimbang matematika dan bahasa Inggris. Selain itu,
guru yang mengajar bahasa Indonesia di kelas baik dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi masih kurang baik dan kurang menarik minat mereka. Pasalnya,
pengajaran yang diberikan guru masih konvensional yakni mencatat di papan tulis dan
memberikan tugas atau latihan di LKS.
Hal yang paling ingin digarisbawahi adalah mengenai penggunaan bahasa asing
(bahasa Inggris, Mandarin, Perancis dll.) yang berlebihan oleh media: mulai dari iklan
televisi, judul film, percakapan dalam film, serta pemerintah atau pejabat. Lihat saja
papan iklan besar di pinggir jalan seperti penggunaan kata untuk istilah properti: ‗Real
Estate‘, ‗Residence‘, ‗Mansion‘, ‗Pent House‘, ‗City Resort‘ yang mungkin masih kurang
tepat
dalam
penggunaannya
atau
salah
konsep.
Seharusnya
kata
tersebut
diterjemahkan secara fonologis menjadi ‗Rel Estat‘, ‗Residen‘, ‗Regensi‘, ‗Mensyen‘,
‗Resot‘ atau terjemahkan secara literal atau harfiah menjadi perumahan, kompleks,
kota, bukit, bumi, taman, kemudian diikuti nama daerah di mana perumahan itu
dibangun seperti ‗Bumi Sawangan‘, ‗Regensi Pamulang‘, ‗Taman Bukit Baranang‘ dan
lain-lain.
Jadi,
jika
tidak
begitu
menguasai
bahasa
asing,
lebih
baik
pemasar
menggunakan bahasa Indonesia, sehingga tidak terjadi kesalahan konsep yang
memalukan dalam menggunakan bahasa asing.
Parahnya lagi, ada kalimat ‗Let the taste out‘ di papan iklan rokok di sisi jalan
dan ini merupakan kesalahan yang fatal. Karena kata ‗Let‘ dalam bahasa Inggris harus
diikuti nomina kemudian verba seperti ‗Let me go‘, sedangkan kata ‗out‘ merupakan
preposisi.
Mengapa
tidak
menggunakan
bahasa
Indonesia?
Atau
dapat
saja
13
diterjemahkan menjadi ‗Rasakan nikmatnya!‘, ‗Cobalah kenimatannya!‘, ‗Dapatkan
rasanya!‘, ‗Biarkan rasa berbicara!‘, ‗Rasa adalah segalanya!‘. Mudah dan indah bukan,
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?
Penggunaan bahasa asing yang berlebihan juga dapat kita lihat dalam acara
televisi seperti ‗Extravaganza‘, ‗City View‘, ‗Dorce Show‘, ‗Kick Andy‘, ‗Breaking News‘,
‗Expedition‘, ‗Happy Show‘, ‗Deal or No Deal‘ bukannya ‗Berita terbaru‘ atau ‗Berita
Terkini‘, ‗Bincang dengan Dorce‘, ‗Ekspedisi‘, ‘Setuju atau Batal‘. Begitu juga dengan
judul film di bioskop seperti ‗Get Married‘, ‗Eiffel I‘m in Love‘, ‗Me vs. High heels‘, ‗High
school musical‘, ‗Soul‘ yang kualitasnya masih lebih baik dari film Indonesia dengan
judul berbahasa Indonesia seperti ‗Daun di atas Bantal‘, ‗Laskar Pelangi‘, ‗Ayat-Ayat
Cinta‘ dsb.
Identitas bangsa dicirikan dengan budaya dan bahasa bangsa tersebut. Semakin
banyak bahasa itu digunakan, maka semakin terlihat identitas bangsa tersebut.
Bayangkan jika bahasa Indonesia sudah jarang digunakan, berarti bangsa ini sudah
hilang identitasnya. Jepang, Inggris, Cina, Arab, Jerman, Perancis adalah bangsa yang
bahasanya digunakan hampir di seluruh dunia dan konsisten terhadap penggunaan tata
bahasa, susunan kata dan kosa kata.
Selain itu, banyak toko besar menggunakan pula nama asing, seperti ‗Giant‘,
‗Hyperstore‘, ‗Hypermart‘, ‗Town square‘, ‗Mall‘, ‗Plaza‘, ‗City‘ dan banyak lagi. Lelah dan
kesal rasanya jika setiap hari ada istilah atau kata-kata asing baru yang digunakan oleh
pemasar, media dan pemerintah.
Kalangan pemerintah juga menggunakan bahasa asing seperti ‗busway‘,
‗monorail‘, ‗waterway‘, ‗flyover‘, ‗underpass‘. Mereka seharusnya menerjemahkannya
menjadi jalan susun bawah tanah atau jasunbata, jembatan layang, transjakarta, kereta
Jakarta dsb. Bangsa ini belum sepakat bahwa bahasa Inggris adalah bahasa kedua
seperti di Singapura, Malaysia, India, Hongkong melainkan masih bahasa asing.
14
Ini merupakan tugas penerjemah, pemerintah, anggota DPR, pusat bahasa,
pengajar, dosen, media, peserta didik serta peneliti untuk dapat mendomestikasi
(domesticating) bahasa asing dengan tujuan meneruskan cita-cita Sumpah Pemuda
1928, meningkatkan nasionalisme seperti negara Jepang, Korea Selatan, Rusia serta
memperkaya kosa kata bahasa Indonesia yang diserap atau diterjemahkan dari bahasa
asing ke bahasa Indonesia sehingga kita memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
keempat atau kelima yang lebih lengkap, mewakili dan komprehensif, bukannya
‗foreignisation‘ forenisasi atau asingnisasi. Apa gunanya Kamus Kata Serapan Asing
yang disusun oleh J.S. Badudu?
18 Desember 2008
15
Pengingatan Pengeboman
Bom yang ditemukan oleh Tim Densus 88 di Jati Asih Bekasi membuat semua
pihak merasa lega dan berterima kasih pada POLRI. Bom ini telah disiapkan oleh para
teroris dan diduga untuk mengebom Istana Negara Jakarta pada saat peringatan hari
kemerdekaan Indonesia.
Memang, saya cukup setia menonton tayangan tentang perburuan teroris di
televisi. Namun, dalam teks berjalan, tiba-tiba terdapat tulisan ―Peringatan: TVone tidak
mengadakan penarikan undian…‖, ini membuat perhatian saya terhadap berita
perburuan teroris sedikit terpecah. Mengapa demikian?
Kata peringatan sama-sama dipakai di dua kalimat yang berbeda. Pertama,
‗…peringatan hari kemerdekaan RI,‖ dan kedua ‗Peringatan: TVone tidak…‖ Kata
peringatan yang pertama berarti mengenang, mengadakan suatu perayaan atau
memuliakan suatu peristiwa. Sementara peringatan yang kedua berarti teguran atau
nasihat.
Saya kurang setuju penggunaan peringatan yang kedua. Sebagai teguran atau
nasihat, sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga terbitan Pusat Bahasa,
sebaiknya kita memakai nomina pengingatan yang diturunkan dari verba mengingatkan
dengan arti mengingat akan; memberi ingat; memberi nasihat (teguran dsb.) bukannya
peringatan.
Sehingga, TVone (baca:Tivi wan) adalah pengingat permirsa untuk tidak tertipu
dalam penarikan undian yang nyatanya tidak diadakan stasiun TV tersebut. Artinya,
permirsa diingatkan oleh TVone. Bersyukurlah bahwa stasiun TV ini mengingatkan
pemirsanya.
Jika ingin suatu perayaan atau mengenang peristiwa, maka gunakanlah morfem
-per. Jadi, rakyat Indonesia memperingati peringatan hari kemerdekaan RI ke-64.
Artinya, hari kemerdekaan RI ke-64 diperingati oleh rakyat Indonesia tanpa bom. Jelas
bukan?
Setelah bom meledak di dua hotel di Mega Kuningan awal Juli lalu, semua media
elektronik ramai memberitakan situasi pascaledakan secara langsung. Beberapa
16
pewarta di lapangan bertelewicara kepada rekannya di studio: ―Pemboman terjadi di
kawasan Mega Kuningan ini dilakukan oleh….‖
Penulis Cerpen Sori Siregarr mengatakan ―Berbahasa Indonesia saja kita masih
centang-perenang.‖ Terbukti banyaknya penggunaan kata pemboman oleh berbagai
media di Indonesia. Kata dasar bom sebagai nomina menjadi verba mengebom dengan
mengalami proses morfofonemik, yakni sebuah morfem yang dapat bervariasi
bentuknya.
Contohnya, prefiks me- menjadi menge- terutama untuk kata bersuku satu,
berkelas kata seperti nomina pengecatan, pengeboran, pengelasan, dan pengecoran
dengan asal kata cat, bor, las, dan cor. Jadi, reportase di televisi seharusya
Pengeboman di Mega Kuningan dilakukan oleh jaringan Noordin M. Top.
Akhrinya, peringatan hari kemerdekaan RI ke-64 dapat diperingati dengan aman
tanpa pengingatan dari stasiun televisi untuk tidak tertipu oleh penipuan undian
berhadiah.
Mudah-mudahan
kelompok
Noordin
dibumihanguskan oleh Densus 88 secepatnya. Amin!
Agustus 2009
M.
Top
di
Indonesia
dapat
17
Bahasa Indonesia yang terlupakan
Berselang dua minggu dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2009, pengguna bahasa
Indonesia masih belum memerhatikan kaidah sesuai dengan EYD terutama pemerintah
dan media elektronik. Bahkan cenderung menggunakan bahasa asing.
Saya cukup menyesalkan beberapa media elektronik yang menyebut dunia
entertain berulang-ulang dalam acara infotainmen terutama di Trans TV, ketimbang
dunia hiburan yang aslinya dunia entertainment. Selain itu penulisan gelar untuk dokter
medis pada peliputan haji di TV One ditulis ‗Dr.‘ terkadang ‗DR.‘ Padahal ini gelar
doktoral jenjang S-3 dan ‗DR.‘ diperuntukkan honoris causa bukannya menuliskan ‗dr.‘
untuk bidang medis. Di Trans 7, acara Mister Tukul episode Bali, terdapat tulisan
Holand yang salah ejaan melainkan Holland dan masih banyak lagi tulisan yang salah
dalam acara ini.
Setali tiga uang, ketua Komisi III DPR mengatakan fact finding ditujukan untuk
TIM 8 sebagai pencari fakta yang bahasa Inggrisnya fact finder. Parahnya lagi, tanggal
15 November 2009, di kawasan Kota Tua berlaku Car Free Day di mana sepeda motor,
bajaj, bemo, bis, truk dan jenis lainnya bisa melewati kawasan ini karena hari bebas
mobil. Bahkan mobil pribadi pun dapat bebas melewati kawasan Kota Tua, karena hari
bebas kendaraan bukannya hari bebas dari kendaraan. Semoga semua pihak dapat
lebih mencintai (lagi) bahasa Indonesia. Amiiin!
KOMPAS, 28 November 2009
18
Penyimpangan Makna Kata REMEDIAL
Ujian Nasional yang akan tetap dilaksanakan bulan Maret 2010 mendatang
mengakibatkan banyak murid merasa terbebani dan stress. Padahal, gugatan tentang
Ujian Nasional ini sudah dimenangkan oleh Mahkamah Agung untuk melarang UN.
Buktinya banyak murid yang mengikuti ujian harian di sekolah harus ujian ulang karena
nilai mereka di bawah SKM. Akhirnya guru pun menyuruh murid yang tidak lulus untuk
ikut remedial. Kata remedial sudah mengalamai penyimpangan makna yang jauh dari
aslinya.
Tahukah Anda arti dari remedial? Dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia John
M. Enchols dan Hassan Sadilly, remedial berarti yang berhubungan dengan perbaikan.
Contohnya remedial measures usaha-usaha/tindakan-tindakan perbaikan atau remedial
reading perbaikan membaca. Ini tidak dimaksudkan untuk ujian di bawah SKM yang
diulang seperti yang terjadi di setiap sekolah saat ini.
Selain itu, dalam Oxford Dictionary 2009 remedial yang merupakan kelas kata
sifat, berarti giving or intended as a remedy dan provided or intended for children with
learning difficulties atau pemberian perbaikan dan diperuntukkan bagi anak yang
memiliki kesulitan belajar. Kita bisa golongkan suatu bimbingan belajar merupakan
tempat remedial bagi murid setelah jam belajar di sekolah.
Parahnya lagi, dalam KBBI edisi ketiga remedial yang sudah diserap menjadi
bahasa Indonesia memiliki arti berhubungan dengan perbaikan dan pengajaran ulang
bagi murid yang hasil belajarnya jelek.
Kalau memang boleh, saya menyarankan para pendidik baik di sekolah
maupun di Depdiknas untuk menggunakan (kembali) kata Her atau Retake (baca: ritek)
pada suatu ujian berupa susulan atau ujian ulang dikarenakan nilai yang di bawah
standar kelulusan ketimbang remedial. Her berarti ujian kembali atau ujian ulang
seperti halnya Retake/ makeup exam yang memiliki arti take (a test or examination)
again atau mengambil (tes atau ujian) ulang.
Kita berharap untuk lebih memerhatikan (lagi) penggunaan bahasa Indonesia
kita agar tidak terkesan centang-perenang, bukan begitu?
30 November 2009
19
Mana yang baku, Nopember atau November?
Saya malu dengan penggunaan bahasa Indonesia yang dipakai oleh penutur asli
Indonesia khususnya pemerintah, media cetak dan elektronik serta masyarakat luas.
Sepertinya mereka masih harus belajar (lagi) bahasa Indonesia agar tidak salah tulis
dan bingung berbicara bahasanya sendiri.
Masih terjadi kebingungan dengan kata baku antara bulan Nopember dan
November. Penulisan Nopember terjadi dalam surat resmi di kantor pemerintahan dan
pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS). Jika membuka KBBI edisi keempat, anda
akan bersua dengan lema November sebagai bentuk baku.
Setali tiga uang. Masih ada pewarta yang menuliskan dan mengucapkan
mensukseskan, mensosialisasikan, menyontek, memperhatikan dsb. Dalam EYD dan
kaidah bahasa Indonesia, setiap kata diawali huruf S, T, K dan P seperti sapu, tukar,
koreksi dan paku mendapat prefiks me- akan bernasalisasi/ sengau (m, ny, atau ng)
menjadi menyapu, menukar, mengoreksi dan memaku. Kecuali kata serapan asing
seperti syah, tranformasi, kredit, prediksi menjadi mensyahkan, mentranformasi,
mengkredit, memprediksi. Jadi kita tidak akan lagi salah mengucap dan menulis
melainkan menyukseskan, menyosialisasikan, mencontek dan memerhatikan.
Rakyat harus menyukseskan PEMILU. PEMILU memang sudah lewat, tapi
PILKADA akan menjadi menu rutin di daerah di Indonesia dengan cara memberikan
tanda contreng untuk pilihan kita. Contreng atau centang? Dalam KBBI, yang diterima
sebagai kata baku adalah centang atau conteng. Lalu mengapa muncul kata contreng
untuk sosialisasi melalui iklan PEMILU?
30 November 2009
20
Kesalahan Penggunaan Bahasa Asing
Semakin lama saya semakin bingung dengan masyarakat Indonesia yang
cenderung lebih senang menggunakan bahasa Asing ketimbang bahasa Indonesia.
Padahal, pendekar bahasa Indonesia sekaligus munsyi, Anton M. Moeliono,
menyarankan Rembuk Nasional daripada National Summit dan Dian Purba menegaskan
alih-alih Tour d‘Indonesia, lebih baik Jelajah Indonesia (KOMPAS, 4 Desember 2009)..
Ketika menuju daerah Blok M, saya dikejutkan dengan 3 kesalahan penggunaan
bahasa asing sekaligus. Di depan saya melintas mobil dinas PLN dengan tulisan
berbahasa Inggris Say No to Theft Energy. Selain itu, saya melewati sebuah warnet
terpampang tulisan besar Game Online. Mengapa bukan Energy Theft dan Online
Game? Bukannya pola bahasa Inggris itu M-D (Menerangkan-Diterangkan)?
Parahnya lagi, ketika bis Transjakarta berhenti di halte Monas, pengumuman
tentang pemberhentian berikutnya yang berbahasa Inggris terdengar seperti ini Checks
your belonging and step carefully. Dengarkan baik-baik kata Check! Yang pernah saya
pelajari, setiap kata perintah tidak perlu akhiran -s atau -es. Contohnya Open the door!
Close the window! Check your belongings! Saya ingin pinjam istilah untuk gejala ini dari
Remy Sylado: nginggris!
Begitu juga dengan Tour d‘Indonesia yang salah. Prima Sulistya W. (pebahasa Perancis)
menjelaskan bahwa apostrof dalam bahasa Perancis hanya digunakan apabila preposisi
bertemu dengan kata yang diawali dengan vokal atau huruf h. Jadi, kalau masih belum
siap berbahasa asing, gunakan dan cintai bahasa Indonesia! Mengapa harus gengsi?
Jakarta, 28 Desember 2009
KOMPAS, 13 Januari 2010
21
Penulisan Gelar Dokter Medis
Saya memberangsangkan diri menanggapi tulisan Bapak Dharma K Widya di
KOMPAS Minggu 27 Desember 2009 mengenai Singkatan Penulisan Gelar Bermasalah.
Saya setuju dengan beliau bahwa penggunaan bahasa Indonesia masih banyak yang
belum sesuai dengan EYD.
Tetapi Saya kurang setuju dengan tulisan berikut. Penulisan gelar untuk dokter
medis yaitu ―Dr.‖ bukan kesalahan pengguna semata tetapi juga beberapa ketentuan
yang salah serta menyarankan Mendiknas untuk merevisinya karena yang berlaku
secara internasional yaitu penulisan ―Dr.‖ dengan memiliki dua arti: dokter medis dan
doktor (S-3).
Menurut saya, dokter medis di beberapa negara biasanya ditulis dengan ―Dr.
Med.‖ (Medical Doctor). Di Indonesia, pasien di rumah sakit, Puskesmas atau klinik
menyebutnya bahkan memanggilnya dokter bukan doktor. Cobalah untuk menggeledah
mengancar Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga halaman 272 maka tersua jelas
lema dokter. Anda sendiri menyebut seorang dokter medis dengan doktor. Seorang
doktor kadang-kadang dipanggil dengan menyebut kata ‖doktor‖ di depan namanya.
Untuk lebih jelas, penulisan singkatan dr. atau Dr. pun tertera di halaman 1325.
Sesuai dengan buku Prof. Dr. Benny H. Hoed, ini merupakan penerjemahan
menggunakan teknik padanan budaya (cultural equivalent) halaman 78. Seperti A level
Exam diterjemahkan Ujian SPMB. Mengapa Mendiknas yang harus merevisi ketentuan
ini? Bukannya ini tanggung jawab Pusat Bahasa?
28 Desember 2009
22
Mengapa Koridor?
Saya salut dengan pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta yang membangun
jalur khusus bus dengan nama Busway. Saya tergolong kerap menumpangi bus
Transjakarta koridor I, II dan III. Cukup bayar sekali dengan harga Rp 3.500,- setelah
pukul 07.00 pagi, saya dapat berkeliling Jakarta.
Kehadiran moda transportasi terintegrasi di Jakarta yang cukup modern yang
lebih dikenal dengan Busway ketimbang bus Transjakarta, terkesan terbengkalai.
Buktinya, koridor VIII, IX dan X belum juga dioperasikan. Lihat koridor III (Kali Deres –
Harmoni) yang terdapat portal busway tidak berfungsi di pagi hari serta kondisi jalan
yang kurang mulus. Bagaimana dengan koridor-koridor berikutnya? Sepertinya di
daerah sudah mulai mencoba sistem transportasi seperti di Jakarta, sebut saja
Transpakuan Bogor.
Setiba di rumah, saya lantas melacak kata koridor di Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi ketiga. Tersua kata koridor berkelas kata nomina yang berarti (1) lorong
di rumah; lorong yang menghubungkan gedung satu dengan yang lain; (2) tanah (jalan
sempit) yang menghubungkan daerah terkurung; (3) tanah yang menghubungkan dua
bagian negara; (4) jalur lalu lintas yang dimiliki suatu negara yang memintas negara
lain.
Memang, pada kenyataannya sistem transportasi ini diadopsi dari Bogota. Tetapi,
apakah kata koridor juga dicaplok begitu saja dari Bogota? Koridor diserap dari bahasa
Inggris corridor. Oxford Advanced Learner‘s Dictionary edisi ketujuh bolehlah
dibuka.Corridor di kamus tebal ini tertulis (1) a long narrow passage in a building or
train, with doors that open into rooms on either side; (2) a long narrow strip of land
belonging to one country that passes through the land of another country.
Terjemahannya kurang lebih seperti ini (1) lorong sempit dan panjang di sebuah
gedung atau kereta, dengan pintu-pintu di setiap sisinya; (2) jalan sempit yang panjang
di suatu negara yang menghubungkan negara lain.
Jadi, mengapa harus koridor? Apakah bus ini menghubungkan dua negara?
Apakah bus ini mengantar anda ke tempat terkurung? Entahlah. Tanyakan rumput yang
bergoyang! Kata koridor yang digunakan untuk pengistilahan rute atau jalur telah
beralih maknanya jauh dari konsep atau fitur semantiknya. Kalau begitu, mengapa tidak
menggunakan kata Rute atau Jalur. Sehingga, mudah-mudahan di tahun 2010 ini,
pemerintah provinsi khusus Jakarta segera meresmikan jalur Busway Rute VIII, IX dan
X.
23
Selain kecepatan dan ketepatan waktu bus Transjakarta yang dibenahi,
kecermatan dan ketepatan penggunaan bahasa Indonesia perlu diperhatikan. Jangan
lagi ―naik busway‖ tapi ―naik bus Transjakarta‖. Jangan ada lagi tulisan atau ucapan
―jalur busway‖ melainkan ―jalur Transjakarta‖. Mungkinkah? Wallahu alam.
21 Januari 2010
Berita Banjir di TV
Pemberitaan banjir dalam beberapa siaran berita di televisi seolah mengingatkan
warga Jakarta untuk waspada dan berhati-hati. Pada 12 Februari 2010, debit air di
bendungan Katulampa meningkat sehingga warga di Jakarta khususnya daerah yang
sering terkena banjir mulai berbenah.
Baik TVone maupun Metro TV menginformasikan bahwa beberapa rumah di
kawasan Kalibata, Rawajati, Bukit Duri, Kampung Melayu dikepung banjir. Bahkan di
daerah hulu, yakni Bogor, sudah direndam banjir karena curah hujan di Bogor
meningkat. Banjir di Jakarta disebabkan banjir kiriman dari Bogor. Tetapi, warga sekitar
Kanal Banjir Timur (KBT), yang telah dicanangkan pemerintah, tidak terkena
dampaknya. Kurang lebih seperti ini berita yang disampaikan oleh para pewarta kita.
Saya menyesalkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan tersebut.
Mengapa harus menggunakan kata ‗direndam‘ dan ‗dikepung‘? Bukankah ‗dilanda‘ atau
‗digenangi‘ lebih tepat? Apa maksudnya ‗banjir kiriman‘? Apakah ada pelaku yang
‗mengirim‘ banjir? Sampai saat ini saya masih dibuat bingung dengan arti Banjir Kanal
Timur (BKT) yang sudah lama dibangun Pemprov Jakarta. Jadi mana yang benar KBT
atau BKT? Wallahu ‗alam.
14 Februari 2010
24
Penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris di Bus TransJakarta
Pada hari Sabtu pagi, 17 Desember 2011 saya menumpang bus TransJakarta
koridor 9 dari halte Slipi menuju halte Stasiun Cawang. Tiba-tiba saya melihat tulisan
tertempel besar di kaca jendela bus TransJakarta bertuliskan ―Area Khusus Wanita‖
dengan terjemahan ―Ladie‘s Area‖. Dengan cepat saya mengeluarkan telepon seluler
untuk mengabadikan pemandangan indah ini. Terdapat kesalahan penulisan bahasa
Inggris yang seharusnya ditulis ―Ladies‘ Area‖. Parahnya, penerjemahan yang sepadan
untuk frasa ini bukan ―Area Khusus Wanita‖, melainkan menjadi ―Daerah Kewanitaan‖.
Sepertinya perlu diperhatikan lagi jika ingin membuat peraturan dengan dua bahasa.
Sepatutnya, penerjemahana ―Area Khusus Wanita‖ selayaknya diterjemahkan dengan
mudah menjadi ―Area for Ladies‖.
Setelah turun dari bus, saya melihat tulisan ―Antrian Khusus Wanita‖ dengan
terjemahan ―Line for Ladie‘s‖. Terdapat 2 kesalahan fatal baik bahasa sumber (bahasa
Indonesia) maupun bahasa sasaran (bahasa Inggris). Kata Antrian seharusnya ditulis
Antrean dan kata Ladie‘s seharusnya ditulis Ladies. Sungguh memalukan terdapat
banyak kesalahan dari penggunaan bahasa di bus TransJakarta. Belum lagi penggunaan
kata Koridor untuk nama tujuan atau rute bus ini. Dalam KBBI edisi IV Koridor adalah
(1) lorong dalam rumah; lorong yg menghubungkan gedung yang satu denag gedung
lain; (2) tanah (jalan) sempit yang menghubungkan daerah terkurung dengan contoh
beberapa
traktor
dikerahkan
untuk
membuat
koridor
yang
akan
dilalui
pasukan; (3) tanah yang menghubungkan dua bagian negara; (4) jalur lalu lintas yang
dimiliki suatu negara yang memintas negara lain. Sebaiknya, kata Koridor diganti
dengan kata Rute yang lebih dapat mewakili maksud dan tujuan pembuat proyek bus
TransJakarta ini.
Dimuat di Harian KOMPAS 31-12-2011
25
Warta
Lagi-lagi tentang penggunaan kosakata Bahasa Indonesia. Kali ini, berurusan
dengan kawan-kawan di media massa. Perlu diingat, acara televisi seharusnya tidak
hanya sekedar ‗tontonan‘ melainkan ‗tuntunan‘. Banyak judul acara di televisi
menggunakan bahasa asing. Mungkin, Bahasa Inggris lebih ‗tinggi‘ kedudukannya dari
pada Bahasa Indonesia, bagi seseorang yang menganggap atau memandang orang/
bahasa asing lebih tinggi dari pada dirinya, atau lebih bergengsi dan menarik pemirsa
serta cepat dipahami penonton.
Padahal, menurut Dendy Sugono Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, kosakata Bahasa Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga
(2001) memuat 78.000 lema bahkan dalam pengembangan istilah, melalui kerja sama
Mabbim telah menghasilkan 340.000 istilah dan melalui kerja sama dengan Microsoft,
telah dialihkan sekitar 250.000 kata dan istilah asing ke dalam Bahasa Indonesia.
Mengapa kita belum dapat menggunakan kosakata Bahasa Indonesia dengan tepat dan
benar?
Masih ingatkah dengan acara berita berjudul Warta Berita? Sepintas tidak ada
masalah dengan judulnya tapi ini suatu pengulangan kata yang sama atau redundancy.
Padahal, kata warta dalam KBBI Edisi IV berarti berita atau kabar. Jadi, dapat diartikan
frasa warta berita menjadi berita berita. Setali tiga uang, masih rendahnya pemahaman
penggunaan kosakata juga terjadi dalam kata deportasi dalam acara Big Brother
Indonesia. Kata deportasi digunakan bagi peserta yang gagal dan keluar disebabkan
tidak dapat bertahan dengan peserta lain dalam satu rumah. Dalam KBBI Edisi IV, kata
deportasi memiliki arti pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar
suatu negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ,
sementera mendeportasi ialah memulangkan ke negara asal. Memang kita harus sangat
berhati-hati dalam memilih kosakata untuk sebuah judul atau suatu istilah dalam
permainan untuk dapat menarik pemirsa.
Lucunya, televisi juga menghadirkan suatu suguhan yang tidak semestinya
dihadirkan di rumah melalui acara Termehek-mehek. Kosakata Bahasa Indonesia tidak
mengenal lema ini. Pun ungkapan ini tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa
26
Indonesia. Faktanya, acara ini menunjukkan suatu pemecahan masalah dengan ributribut atau perkelahian tanpa melalui musyawarah. Begitu juga dengan acara berjudul
Wara-wiri yang tidak dikenal dalam kosakata Bahasa Indonesia. Acara ini sangat tidak
jelas maksud dan tujuannya sama sekali seperti judulnya. Ungkapan Wara-wiri yang
sebenarnya berasal dari Bahasa Jawa, sangatlah kurang pas untuk digunakan,
seharusnya para tim kreatif menggunakan kata Wira-wiri yang memiliki makna berjalan
hilir-mudik atau mondar-mandir.
Intinya, sampai kapan kosakata Bahasa Indonesia tidak digunakan sesuai
dengan kaidah bahasa? Penggunaan kosakata asing sudah berlebihan dan sering
dijumpai dalam acara televisi seperti Kick Andy, Today‘s Dialogue, Jakarta Lawyer‘s
Club, Just Alvin, Breaking News dan lebih parah lagi acara berjudul pesbukers.
4 Februari 2012
27
Bunyi Sengau
Seperti yang ditulis Kasijanto Sastrodinomo, KOMPAS 26 Agustus 2011, Simulfiks
ng hanya terjadi dalam cakapan lisan yang tak-baku dan, karena itu, cukup alasan
untuk diasingkan dari ragam resmi. Ada kalanya ng dianggap merusak tatanan bahasa
yang baik dan benar. Beliau mencontohkan kata ngacir, ngablak, ngakak pengaruh dari
Bahasa Betawi serta kata ngopi, ngrujak, ngeh, ngumpul, dan ngumar yang mendapat
pengaruh dari Bahasa Jawa.
Lanjut beliau, simulfiks diwujudkan dengan penyengauan bunyi pertama suatu
bentuk dasar, dan berfungsi membentuk verba (memverbalkan nomina), adjektiva atau
kelas kata lain. Namun, Saya akan memberikan alasan dan contoh lain dari pengaruh
bunyi sengau (nasal) ini. Terlepas dari Bahasa Betawi dan Bahasa Jawa, bunyi sengau
juga sering digunakan oleh banyak orang dalam bahasa lisan. Tidak hanya bunyi /ng/,
bahkan bunyi /m/, /n/, dan /ny/ juga sering terdengar di obrolan yang kurang serius
bahkan rapat resmi. Parahnya, kita juga sering mendengar kata kerja yang
ditambahkan akhiran [-i], kebanyakan menjadi [-in].
Marilah sadari bersama bahwa kita lebih nyaman dengan kata berbunyi /ng/
seperti ngetik, ngonsep, ngoleksi. Awalnya, kata dasar verba ini diawali huruf [K]
seperti ketik, konsep, koleksi serta ditambah awalan [me-] yang seharusnya mengetik,
mengonsep, mengoleksi. Demikian dengan bunyi /m/ yang muncul dan sering
diucapkan seperti maku, milih, minjam, meras. Asal kata tersebut adalah paku, pilih,
pinjam, peras dan jika ditambah dengan prefiks [me-] seharusnya menjadi memaku,
memilih, meminjam dan memeras. Gejala ini bermula dari verba yang diawalai dengan
huruf [P].
Kata dasar yang diawali huruf [T] tutup, tagih, tunjuk, tembak juga mengalami
hal serupa. Orang lebih senang ngomong kata nutup, nagih, nunjuk, nembak dengan
bunyi sengau /n/ ketimbang menutup, menagih, menunjuk dan menembak, jika kata
dasarnya diberikan imbuhan [me-]. Jangan heran, kata nyapu, nyambung, nyiram,
nyemprot juga lebih sering diucapkan oleh kita ketika ngobrol. Bunyi /ny/ timbul pada
kata kerja yang diawali huruf [S] seperti sapu, sambung, siram, semprot ditambah
28
awalan
[me-]
yang
selayaknya
menjadi
menyapu,
menyambung,
menyiram,
menyemprot.
Tak jarang orang sering ngucapin kata kerja yang mengalami afiksasi dengan
prefiks [me-] dan sufiks [-i] atau [-kan] menjadi kata kerja berbunyi /ng/,/ny/,/m/,/n/
dan akhiran [-in]. Kata musingin, ngembaliin, nidurin, nyambungin merupakan bentuk
verba terafiksasi yang sering terdengar di lisan orang Indonesia sebagai pemakai
Bahasa Indonesia.
Itulah ciri bahasa lisan kita yang dipengaruhi bunyi sengau dan Bahasa Betawi
plus Bahasa jawa. Rumusnya yakni kata diawali huruf [K,T,S,P] menjadi bunyi
/m,n,ny,ng/. Singkatnya, jika verba diawali huruf [P] maka akan timbul bunyi sengau
/M/, jika verba diawali huruf [T] maka bunyi nasal /n/ akan muncul, jika kata kerja
diawali huruf [K] timbullah bunyi /ng/, dan bunyi /ny/ diucapkan jika verba diawali
huruf [S].
12 Maret 2012
29
Penggertakan
Pembahasan perihal bullying di TVRI yang dibawakan oleh aktor senior Slamet
Rahardjo tanggal 25 Maret 2012 malam cukup menarik. Lantaran, Arswendo
Atmowiloto menjadi salah satu pembicara di acara tersebut serta wakil dari Komisi X
DPR RI bahkan para orang tua murid korban bullying. Mereka berdiskusi panjang lebar
dan Komisi X akan membuat Undang-undang tentang bullying di sekolah.
Orang lebih senang menyebut bullying untuk istilah seorang anak yang terancam
dan terintimidasi oleh sekelompok anak lainnya yang lebih berani dan berkuasa. Kata
bullying berasal dari kata bully yang berarti penggertak dan orang yang mengganggu
orang lemah. Jadi, bullying ialah adanya gertakan atau ancaman yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain.
Dalam ilmu psikologi, istilah bullying sendiri memiliki makna lebih luas, mencakup
berbagai bentuk penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti orang lain
sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tak berdaya (Yayasan Semai Jiwa Amini,
2006). Bullying terdiri dari 3 bentuk: fisik, verbal dan psikologis.
Dalam ilmu linguistik, penggunaan bullying merupakan gejala dan istilah yang
saya pinjam dari bang Remy Silado yakni Nginggris. Padahal, kata bullying memiliki
banyak arti dalam Bahasa Indonesia seperti ancaman, intimidasi, ejekan, cemoohan,
pengucilan, pemukulan, penendangan, peloncoan, pemalakan dan sejenisnya. Nah,
kata bullying dapat diartikan penggertakan yang berasal dari kata gertak (bully). Dalam
KBBI edisi IV tahun 2008 gertak berarti suara keras (entakan kaki, ancaman, dsb.)
untuk menakut-nakuti. Sedangkan gertakan merupakan bentuk dari perbuatan
menggertak. Jadi, alangkah bijaknya jika kita gunakan kata penggertakan untuk
menerjemahkan kata bullying.
Istilah Penggertakan dapat mewakili bentuk ancaman atau intimidasi dalam
bentuk fisik, verbal dan psikologis. Biasanya penggertakan bermula dari ejekan dan
cemoohan yang berkelanjutan menjadi ancaman, intimidasi dan pengucilan yang
parahnya lagi berkembang menjadi pemukulan, penendangan atau kegiatan menyakiti
fisik. Penggertakan berawal dari sebuah paham fasisme yang berkembang di Italia di
bawah Benito Mussolini tahun 1922. Bahkan, seorang penulis asal Inggris, Virginia
30
Woolf menulis bahwa Adolf Hitler dengan Nazi di tahun 1934 mencerminkan seorang
penggertak yang brutal brutal bullies.
26 Maret 2012
31
Kekeliruan Penyerapan Bahasa Asing
Setiap datang tahun baru, kita acapkali menentukan resolusi untuk masa
mendatang sebagai janji besar untuk lebih baik dan sukses. Namun, kata resolusi tidak
dapat diserap langsung begitu saja ke dalam bahasa Indonesia lalu diterjemahkan
sebagai janji besar atau visi serta kegiatan di masa datang yang lebih baik dari tahun
sebelumnya. Penyerapan dan penerjemahan tidak serta-merta mengubah kata, frasa
atau kalimat saja melainkan dengan memperhatikan konsep kata, frasa atau kalimat
serta pesan yang ingin disampaikan. Kata Resolution sebagai bahasa sumber (Bahasa
Inggris) perlu ditinjau kembali ketika diserap dan diterjemahkan ke dalam bahasa
sasaran (Bahasa Indonesia).
Resolution memiliki beberapa makna berdasarkan Oxford Advanced Learner‘s
Dictionary 8th edition. Pertama, Resolution memiliki arti a formal statement of an
opinion agreed on by a committee or a council, especially by means of a vote atau
keputusan dan kebulatan pendapat yang disetujui oleh anggotanya dalam suatu
pertemuan, rapat, terutama melalui musyawarah atau pengambilan suara terbanyak.
Kedua Resolution berarti the act of solving or settling a problem atau cara atau langkah
dalam menyelesaikan masalah. Ketiga Resolution memiliki arti the quality of being
resolute or determined atau sifat dalam menentukan sesuatu dan keempat arti
resolution ialah a firm decision to do or not to do atau kurang lebih suatu kebulatan
keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Tetapi tersua dalam KBBI edisi IV bahwa resolusi berarti putusan atau kebulatan
pendapat berupa permintaan atau tuntutan yg ditetapkan oleh rapat (musyawarah,
sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal. Artinya, kata
resolusi kurang pas untuk dipakai sebagai janji besar atau suatu perubahan yang
dilakukan di tahun berikutnya. Terdapat makna yang cukup jelas berbeda antara
bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Setali tiga uang, kata koridor sudah sangat terkenal dan kental di masyarakat
karena menjadi nama rute untuk Bus TransJakarta. Padahal, kata ini berasal dari
corridor yang memiliki arti a long narrow strip of land that follows the course of an
important road or river atau jalan darat sempit dan panjang yang terdapat lajur
32
khususnya di darat atau sungai. Berbeda dengan KBBI edisi IV, kata koridor berarti
lorong dalam rumah; lorong menghubungkan gedung satu dengan gedung lain atau
tanah (jalan) sempit menghubungkan daerah terkurung atau tanah menghubungkan
dua bagian negara dan jalur lalu lintas yg dimiliki suatu negara yg memintas negara
lain.
Parahnya, media cetak dan elektronik sudah menyerap mentah-mentah kata
evacuation menjadi evakuasi. Seiring banyak kecelakaan transportasi yang terjadi di
Indonesia, tulisan seperti ‗evakuasi korban‘, ‗evakuasi mobil yang tercebur ke sungai‘,
‗evakuasi bus yang terperosok ke jurang‘, ‗evakuasi kereta api batu bara‘ dan ‗evakuasi
jenazah‘. Padahal, kata evakuasi memiliki makna pengungsian dan pemindahan
penduduk dari daerah berbahaya. Untuk mobil, bus, kereta, pesawat dan jenazah
disarankan menggunakan kata pemindahan, pengangkatan, penyingkiran dsb.
9 Maret 2012
33
Pleonasme
Lagi-lagi perihal bahasa lisan. Para pemakai Bahasa Indonesia baik dalam
percakapan sehari-hari maupun dalam acara resmi sering kali memakai kata yang
mubazir (berlebihan) dan memiliki arti sama. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV
menerangkan pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan), yang
sebenarnya tidak perlu.
Contoh terbaru dapat tersua dalam kalimat ―kalau misalnya pemerintah
memutuskan kenaikan harga BBM menjadi…‖ Kata kalau memiliki maksud makna yang
sama dengan kata misalnya. Sama halnya dengan beberapa pejabat publik atau
masyarakat yang senang sekali berbicara diulang-ulang secara tidak sadar. Ketika
menjelaskan serangan wabah penyakit baru, mereka menerangkan bahwa ―Tomcat
adalah merupakan jenis serangga yang….‖. Padahal, kata adalah sama dengan
merupakan. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional 2008,
adalah bersinonim dengan ialah, merupakan, sama dengan, yakni dan yaitu.
Saking senangnya seseorang setelah memenangkan ajang penghargaan musik
tahunan, dia langsung bilang, ―kami berterima kasih pada…., kami sangat bersyukur
sekali….‖ Kata senang diulang dengan kata sekali. Fenomena pemborosan ini sering
terjadi ketika kita tak sadarkan diri atau ketidakpahaman kita terhadap suatu makna
kata. Parahnya, ada beberapa kata yang tanpa sadar dan tanpa dipahami, sering kita
ulang seperti misalnya, contohnya seperti, hanya cuma, alternatif lain, agar supaya,
warta berita dan warga masyarakat.
Menuju DKI 1 atau Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) DKI Jakarta
segera dilkasanakan Juli 2012 mendatang. Media melaporkan ada 6 pasang bakal calon
Gubernur DKI Jakarta ini yang akan mendaftar di KPUD Jakarta. Dalam hal ini, Bakal
Calon dimaksudkan untuk pasangan yang belum resmi mendaftar di KPUD dan Calon
dimaksudkan untuk pasangan yang sudah resmi mendaftar di KPUD. Tersua dalam
Tesaurus Bahasa Indonesia bahwa sinonim kata Calon ialah aspiran, bakal, jago, kader,
kadet, kandidat, magang, peserta, bahan, bakal, benih, bibit dan sosok. Terbukti, dalam
Bahasa Indonesia, kata Calon bersinonim dengan kata Bakal. Mengapa harus menyebut
bakal calon? Apakah seorang laki-laki yang akan menikah juga disebut bakal calon
34
suami? Setelah tunangan, apakah baru disebut calon suami? Tidak perlu berlebihan dan
pemborosan kata yang diucapkan. Dengan kata calon atau bakal ataupun kandidat
dapat digunakan dengan aman dan nyaman. Tidak ada pemborosan, mubazir dan
berlebihan. Semoga setiap Pemilukada dan Pemilu 2014 tidak akan terjadi 2 putaran
untuk menghemat atau mencegah pemborosan biaya, bukan begitu?
5 April 2012
35
Anomali Pemakai Bahasa Indonesia
Akhir-akhir ini Bapak Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum dan Ham
(Wamenkumham) sangat aktif melakukan inspeksi mendadak atau sidak yang
meninmbulkan pro dan kontra. Namun sayang, penyebutan akronim Wamen untuk
Wakil Menteri banyak yang keliru. Para Jurnalis (wartawan, reporter, pembaca berita,
kontributor dsb.) bahkan kita, acap kali mengucapkan 'WAMEN' dengan bunyi /e/ dalam
kata 'eja', 'lebar', 'paten'. Padahal, bunyi /e/ untuk kata 'WAMEN' harusnya seperti /e/
dalam kata 'emas', 'beras', 'jelas' atau dikenal e pepet, karena Wa untuk wakil dan Men
untuk Menteri.
Diperparah lagi dengan berita demonstrasi kenaikan harga BBM. Banyak judul
berita menuliskan DEMO MAKIN BRUTAL DAN ANARKIS. Kenyataannya, anarkis ialah
(nomina orang) penganut paham kekerasan/ kekacauan, orang yang melakukan
kekacauan di suatu negara. Sementara, kata anarkistis yakni (kata sifat) bersifat anarki.
Asalnya dari kata anarki berarti (nomina) kekacauan di suatu negara. Untuk suatu
paham/ ajaran menentang setiap kekuatan negara disebut anarkisme. Jadi, sebaiknya
untuk penulisan judul berita atau apapun bentuknya diharapkan ―DEMO MAKIN BRUTAL
DAN ANARKISTIS‖
Dalam suatu percakapan, sering terdengar "Do you speak BAHASA?" Mengapa
orang lebih suka menyebut Bahasa Indonesia dengan "Bahasa"? Seharusnya "Do you
speak Indonesian?" Nyatanya, arti Bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer,
digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri; percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik;
sopan santun (KBBI Edisi IV). Bahasa diterjemahkan ke Bahasa Inggris menjadi
―language‖ (berdasar Indonesian-English dictionary by John M Echols 3rd edition p.41)
contoh: English = Bahasa Inggris, Russian = Bahasa Rusia dsb. Nah, jadi pakailah "I
speak Indonesian" ketimbang "I speak Bahasa".
9 April 2012
36
Lebih Baik Pekan Raya Jakarta
Mengapa lebih senang menyebut 'JAKARTA FAIR' daripada 'PEKAN RAYA
JAKARTA (PRJ)'? Perhelatan terbesar di Indonesia ini dibuka oleh Presiden RI pada
malam hari tanggal 14 Juni 2012. Berkali-kali Ketua Panitia PRJ Ibu Dra. Hartati
Murdaya mengucapkan Jakarta Fair, bahkan logo PRJ menjadi JAKARTA FAIR 2012.
Setali tiga uang, mengapa namanya Tour d' Singkarak? Padahal, perhelatan akbar
lomba balap sepeda ini berlokasi di Sumatera Barat, Indonesia, bukan di Prancis.
Pada Kenyataannya, lomba balap sepeda di Prancis disebut Tour d' France,
makanan terkenal dari Italia dikenal Pizza, Spaghetti, minuman alkohol Jepang terkenal
di dunia ialah Sake, seni tari singa dan naga dari China dikenal luas dengan Barong Sai,
dan festival sejenis pengucapan syukur dan terima kasih di AS dan Kanada dinamakan
Thanksgiving.
Perlu diingat, suatu negara maju bukan berhasil karena bahasa asingnya, tapi
justru mempertahankan bahasa dan budayanya sendiri.
Di sisi lain, saya sangat bangga dan salut buat Provinsi Bali yang sedang
mengadakan perhelatan Pesta Kesenian Bali 2012, tanpa meng-Inggris-kan nama
acaranya. Sebaiknya, untuk makanan, minuman, kesenian, musik, tarian tradisional asli
asal Indonesia tidak diterjemahkan. Melainkan menggunakan teknik Penjelasan Konsep
atau penjelasan bedasar konteks (Contextual Conditioning). Seperti gado-gado,
ketoprak, gamelan, Kecak, jangan diterjemahkan. Untuk Tari Kecak Bali menjadi Fire
Dance dan Wayang Kulit Jawa menjadi Shadow Puppets. Biarlah nama-nama tersebut
mendunia dengan bahasa dan budaya aslinya.
15 Juni 2012
37
KTP Elektronis Bukan Elektronik
Tanggal 5 Juli 2012 saya membaca tulisan di Surat Pembaca Kompas oleh FS.
Hartono tentang Bahasa Tutur Politisi yang menyatakan ‗…yang benar KTP-E bukan EKTP seperti tertera dalam undangan yang
saya terima dari kantor kecamatan.‖
Memang inilah bukti bahwa masih rendahnya kualitas berbahasa pemerintah di
Indonesia.
Setali tiga uang, bahasa dalam Peraturan Presiden dan Peraturan pemerintah
dinilai kurang konsisten. Ihwal penyerapan bahasa asing, saya menemukan bahwa
antara satu peraturan dengan peraturan lainnya memiliki istilah yang berbeda.
Kenyataannya, kata itu berasal dari bahasa sumber yang sama.
Buktinya, bahasa E-KTP tidak hanya yang ditulis di undangan, dalam Peraturan
Pemerintah No.38 Tahun 2009 tentang Tarif dan Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP), tertulis ―…Paspor biasa Elektronis (e-Passport) 48...‖. Namun di Peraturan
Presiden No.67 Tahun 2011 tentang Administrasi Kependudukan di bagian Menimbang
berbunyi ―…pemberlakukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik secara nasional...‖.
Saya sangat terkejut dengan penulisan dua kata berbeda dalam dua peraturan itu yakni
elektronis dan elektronik. Padahal, bahasa sumber dari kata tersebut berasal dari kata
yang sama electronic. Dalam Oxford Learner‘s Dictionary A.S. Hornby tahun 2000,
tersua lema electronic halaman 405 dengan penjelasan (of a device) having or using
many small parts such as microchips…yang kurang lebih berarti (dalam sebuah alat)
memiliki atau menggunakan banyak bagian kecil seperti mikrocip. Sementara itu, di
dalam KBBI IV 2008 di halaman 363 memang terdapat 2 lema berbeda pula elektronik
dan elektronis.
Elektronik berarti alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektrnonika; hal atau
benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika.
Selain itu, makna Elektronis ialah berhubungan dengan elektron; ada hubungannya
atau bersangkutan dengan elektronika. Jadi, apakah padanan yang tepat untuk
Electronic Passport dan Electronic pada KTP? Saya juga jadi ingat tulisan Alfons Taryadi
yang sampai puyeng beliau mencari kata Sia-sia di KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat.
38
Akhirnya, setelah saya memperhatikan kelas kata (part of speech), elektronik
berkelas kata nomina dan elektronis berkelas kata ajektiva. Dengan begitu, sudah jelas
bahwa E-Paspport dan istilah E-KTP dapat dipadankan dengan Paspor Elektronis dan
KTP Elektronis untuk KTP-E karena berdasarkan pola DM (diterangkan-menerangkan).
Bagaimana dengan Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang Jasa Pemerintah Pasal 58 perihal Tahapan Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi?
Apakah KBBI IV 2008 juga mencatat lema konsultansi? Ternyata tidak ada kata
konsultansi melainkan konsultan dan konsultasi. Lantas, siapa yang wajib bertanggung
jawab, pendekar bahasa di Pusat Bahasa atau Anggota DPR RI?
11 Juli 2012
39
Apakah Korupsi Termasuk Budaya?
Salah satu artikel di KOMPAS 15 Juli 2012, tersua tulisan Korupsi Telah Menjadi
Budaya. Dengan segera saya membacanya kalimat demi kalimat. Entah ini bentuk
kutipan dalam suatu diskusi atau dari Anggota Komisi III DPR. Saya bergegas
membuka lagi buku-buku terkait budaya dan kebudayaan.
Setelah melakukan pengecekan makna budaya dan kebudayaan sekaligus
budaya ditinjau dari ilmu antropologi, saya menyarankan bahwa Korupsi tidak
termasuk ke dalam kategori budaya dan kebudayaan Bangsa Indonesia. Namun
sejarah mencatat, kegiatan korupsi di Indonesia memang sudah ada sejak zaman
penjajahan Belanda terutama era VOC tahun 1602. Akan tetapi, saya lebih
melakukan pendekatan dari segi bahasa, konteks kebudayaan serta ihwal
penerjemahan.
Kata budaya dan kebudayaan dalam Bahasa Inggris disebut culture. Budaya dan
Kebudayaan memiliki makna yang berbeda. Dalam Oxford Advanced Learner‘s
Dictionary, 8th edition tahun 2010, kata culture dijelaskan sebagai the customs and
beliefs, art, way of life and social organization of a particular country or group atau
diterjemahkan dengan adat istiadat dan keyakinan, seni, cara pandang hidup serta
organisasi sosial dalam suatu kelompok/ bangsa tertentu. Selain itu, lebih dijabarkan
lagi sebagai art/music/literature seni/musik/kesusasteraan serta beliefs/attitudes
keyakinan/tingkah laku.
Kata culture juga berasal dari bahasa Latin cultura berarti pertumbuhan,
penyuburan dengan kata kerja colere yang bermakna mengolah, mengerjakan. Kata
culture pun berasal dari kata di era Middle English yang merujuk kepada
penyuburan lahan pertanian.
Tidak hanya itu, belum puas rasanya saya ingin membuktikan bahawa Korupsi
bukan termasuk kategori budaya dan kebudayaan Bangsa Indonesia, saya merujuk
ke KBBI Edisi Keempat tahun 2008. Budaya yakni pikiran, akal budi, hasil sementara
40
Kebudayaan ialah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia (seperti
kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat).
Akhrinya saya mengutip tulisan Prof.Koentjaraningrat pakar Kebudayaan dan
Antropologi. Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Antropologi
Bab V halaman 180,
beliau menjelaskan sangat detil bahwa budaya memiliki arti yang terbatas hanya
kepada hal-hal yang indah seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara
kesusasteraan dan filsfat. Namun, definisi ilmu antropologi jauh lebih luas sifat dan
ruang lingkupnya. Dalam Ilmu ini, kebudayaan dan budaya diartikan sama yakni
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pernah ada
2 orang sarjana antropologi mengumpulakan paling sediki 160 buah definisi
kebudayaan yang kemudian mereka analisa dan dicari latar belakang, prinsip dan
intinya.
Malahan, lanjut beliau, ada tiga wujud kebudayaan. Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat terkait dengan sistem sosial
masyarakat (social system). Wujud terakhir kebudayaan ialah sebagai benda-benda
hasil karya manusia.
Sekali lagi, saya dapat menyimpulkan bahwa budaya dan kebudayaan Bangsa
Indonesia ialah bukan korupsi. Pasalnya, budaya merupakan perwujudan yang pasti
bermanfaat baik untuk kelompok masyarakat. Kata kuncinya ialah manfaat baik dan
sistem
sosial
dalam
kelompok
masyarakat.
Apakah
korupsi
mengandung
unsur/konteks budaya dan kebudayaan? Apakah korupsi perwujudan dari 3 wujud
kebudayaan?
41
Diharapkan tidak ada lagi konsep bahwa korupsi telah menjadi budaya. Banyak
masyarakat juga berasumsi bahwa merokok, macet dan banjir sudah menjadi
budaya di Indonesia. Sungguh ironis.
15 Juli 2012
42
Artikel Rubrik Bahasa
dari koran KOMPAS
43
Wan Telah Kehilangan Kejantanan
Jos Daniel Parera
Masih perlukah kepekaan jender dalam bahasa? Pertanyaan ini muncul dari
seorang kawan saya. Saya tak tahu apakah dia mau berkelakar atau bersungguh. Ia
membaca
dalam
sebuah
berita:
―Ratna
Sarumpaet
sebagai
seorang
seniman…menentang keras…‖
Jadi, Ratna laki-laki?
Tentu Saya Jawab ―bukan‖. Ia seorang perempuan.
Mengapa ia disebut seniman dan bukan seniwati?
Ya, begitulah orang Indonesia. Sekarang sedang gencar perjuangan emansipasi
wanita dan kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Bahasa pun ikut
beremansipasi dan bersederajat. Akan tetapi, para pemakai bahasa, khususnya kaum
lelaki, sering kurang peka terhadap perkembangan ini dalam berbahasa. Perhatikan saja
pengingatan Metro TV: ―Wartawan Metro TV tidak menerima uang atau pemberian apa
pun…dalam tugas jurnalistik.‖ Pengingatan itu pun tidak peka jender. Bukankah
pewarta Metro TV terdiri dari laki-laki dan perempuan alias wartawan dan wartawati?
Kalau mau singkat sebut saja pewarta.
Ada ancaman bom di Bank Indonesia. Ternyata para pegawai perempuan di sana
tidak gentar karena mereka tidak berlarian keluar dari gedung BI. ―Para karyawan Bank
Indonesia berlarian ke luar gedung,‖ demikian isi berita televisi. Mengapa tidak dipakai
―para pegawai Bank Indonesia?‖ Tidak heran jika kita di jalan menjumpai ―Bus
Karyawan‖ yang membwa pegawai perempuan alias karyawati. Aneh tapi nyata, bus
karyawan berisikan karyawati. Pada tahun enam puluhan malahan terdapat bus
pegawai untuk pegawai negeri sipil.
Tertulis pengumuman: penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran…untuk
perguruan tinggi…‖ Jadi, perguruan tinggi tersebut tidak menerima mahasiswi. Seperti
sekolah tinggi filsafat dan teologi Gereja Katolik yang hanya menerima calon pastor
atau iman atau room saja!
Orang
Indonesia
menerima
emansipasi
dan
kesetaraan
Lapuan
dan
mempraktikannya dalam berbahasa. Secara frase memang ditemukan pengusaha dan
44
wanita pengusaha, pelacur dan wanita pelacur, polisi dan polisi wanita (dan bukan
wanita polisi).
Di sini saya tidak menggunakan kepekaan kelamin atau kepekaan seks sebagai
padanan kepekaan jender. Kata kelamin dalam bahasa melayu berarti ‗pasangan suami
istri‘.
Akhirnya pada Rabu 28 Maret yang lalu pecatur Irene Kharisma Sukandar dan
peboling Putty Insavilla meraih predikat atlet putri terbaik pada acara penganugerahan
tahunan olahragawan terbaik. Bukankah mereka berdua olahragawati?
Pertanyaan yang muncul ialah apakah akhiran -wan dalam bahasa Indonesia
masih mampu berfungsi dan berdaya sebagai pembeda jender laki-laki dan perempuan
dengan akhiran -wati. Ternyata pemakai bahasa Indonesia kurang peka terhadap
pembedaan jender secara morfologis. Itulah ciri khas bahasa Indonesia.
KOMPAS, 7 April 2007
45
Duren
Jos Daniel Parera
Sebagian besar orang Indonesia bagian barat mengenal duren dan menyukai
buah duren. Pada musim duren tampak banyak ibu yang muda-muda mencicipi duren
di pinggir jalan. Sekarang duren malah dapat diperoleh di pasar swalayan yang besar.
Ada duren Aceh, ada duren Bangkok. Akan tetapi, duren yang satu ini tidak dijual di
pinggir jalan, di pasar-pasar tradisional, atau di pasar swalayan. Duren apa itu?
Duren ini sangat digemari ibu-ibu dan malah oleh para remaja putrid. Nah, ini
dia duren alias duda keren. Makin banyak terjadi perceraian para artis muda, makin
bertambah pula duren yang satu ini. Duren asli berbau kurang enak, tetapi isinya
sedap. Duran tidak asli alias manusia pasti berbau harum penuh wewangian dan isi
kantongnya sudah pasti tebal (mudah-mudahan begitu). Akan tetapi, terdapat duren
tiga yang bukan duren berbiji tiga, melainkan duda keren tiga anak.
Dari segi bahasa, orang Indonesia cenderung menyenangi kata berdua suku. Di
samping duren, terdapat kata jablai (jarang dibelai), pede (percaya diri), curhat
(mencurahkan isi hati), dan tentu saja masih banyak lagi. Mudah diingat, gampang
diucapkan, dan enak didengar.
Nama koran dan majalah yang berdua suku lebih digemari: Kompas, Tempo,
Matra, Kalam, Basis, Nova dan Gadis. Nama koran dan majalah yang lebih dari satu
suku kata akan dikenal dengan satu kata yang berdua suku: Media (Indonesia), Sinar
(Harapan), Sindo dari Seputar Indonesia. Rasanya orang Indonesia kurang sreg
mengucapkan yang panjang-panjang: Pembaruan, Republika, Suara Karya, atau Berita
Yudha. Kata informasi dijadikan info, demonstrasi dijadikan demo, selebritis dijadikan
seleb. Kecenderungan ini tentu memerlukan penelitian apakah konstansi saya
berterima.
Nama presiden pun lebih disukai yang berdua suku: Bung Karno, Pak Harto, Pak
Beje (BJ Habibie), Gus Dur, dan Ibu Mega. Nama Presiden SBY agak canggung dieja
karena kepanjangan, malah nama wapres lebih dikenal dengan nama Pak Jusuf atau
Pak Kalla. Nama ketua DPR RI pun lebih disenangi yang berdua suku:Pak Akbar
(Tandjung) dan Pak Agung (Laksono) daripada Pak Harmoko.
46
Nama orang, nama tempat atau nama apa saja berdua suku akan lebih laku bagi
penutur bahasa Indonesia. Singkatan dan akronim yang disukai pun cenderung berdua
suku. Oleh karena itu, calon pemimpin Indonesia harus bersiap-siap dengan nama yang
berdua suku. Itulah ciri khas bahasa Indonesia, yakni bahasa dengan kosakata dasar
alias Naturname (kata orang Jerman) berdua suku. Termasuk duren tadi. Jadi, kembali
ke alam.
KOMPAS, 25 Mei 2007
47
Laporan dan Cerita
Jos Daniel Parera
Ketika membaca berita ―Anggota Kongres AS Disambut Warga‖ pada harian ini
yang terbit tanggal 28 November lalu, saya agak terkejut dengan sambungan berita
yang berbunyi: ―Dalam pertemuan itu, Suebu melaporkan hasil pelaksanaan otsus di
Papua…‖ Pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya ialah mengapa dikatakan
melaporkan pelaksanaan otsus.
Secara leksikal melapor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III
bermakana ‗member tahu, mengadu‘, sedangkan melaporkan berarti ‗memberitahukan‘.
Namun, secara istilah dan sekarang menjadi pegertian umum masyarakat, melaporkan
ialah ‗mengadu kepada yang berhak menerima laporan dan berlanjut dengan saran
tindak atau berharap aka ada tindakan lanjutan‘. Lapor dan melapor bermula dengan
fakta bermasalah dan berujung pada tindakan.
Dalam kehidupan sehari-hari, warga melapor kepada polisi atau instansi yang
berhak dan berwewenang dan tentu saja mengharapkan tindakan lanjutan. Komandan
upacara melapor kepada inspektur upacara dengan ungkapan ―Laporan…‖dan inspektur
upacara akan mengakhirinya dengan ―Kerjakan!‖ atau ―Kembali ke tempat!‖. Setiap ada
laporan, pasti ada tindak lanjut. Pertanyaan saya lebih lanjut ialah apakah anggota
Kongres AS itu berhak menerima laporan tentang pelaksanaan otsus dan apakah akan
ada tindak lanjut.
Mungkin akan lebih tepat dikatakan bahwa Gubernur Barnabas Suebu bercerita
tentang pelaksanaan otsus di papua kepada anggota Kongres AS. Pernyataan lebih
manis dan mengena adalah kalimat lanjutan berita itu: ‖Agus Alue dan Ketua Presidium
Dewan
Papua
Tom
Beanal,
sebagai
pembanding,
menyampaikan
kelemahan
pelaksanaan otsus di Papua.‖
Penggunaan makna lapor secara cermat terdapat dalam berita harian ini terbitan
1 Desember lalu pada halaman 4: ―Kemarin ada tiga demonstrasi di Kejagung, yaitu
kasus Tangerang, Kutai Timur, dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Saya lapor
kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung setuju, akan kami sikapi,‖ papar Kemas. Laporan
akan berakhir dengan saran tindak dan tindak lanjut dari penerima laporan.
48
Rakyat member laporan, tetapi tidak ada tindak lanjut. Mungkin penerima
laporan yang berwewenang menganggap laporan itu sebagai cerita belaka. Jadi,
pemberi laporan sebaiknya juga secara langsung mengakhiri laporannya dengan saran
tindak yang konkret. Pada kalangan tertentu (khususnya pemerintah) laporan bisa
diturunkan menjadi cerita (gosip, dan seterusnya) dan cerita biasanya dinaikkan
menjadi laporan.
Pilihan kata atau diksi dalam penulisan harus dilakukan secara cermat karena
bahasa menggambarkan pikiran seseorang. Tepatlah nasihat orang tua-tua kita dengan
ungkapan ―Berjalan peliharalah kaki, berbicara peliharalah lidah‖. Apalagi, salah satu
televisi menyiarkan acara ―Silat Lidah‖. Semoga kita selalu memelihara lidah kita karena
lidah tidak bertulang.
KOMPAS, 14 Desember 2007
49
Salah Satu Rumah Menangis
André Möller
Penyusun Kamus Swedia-Indonesia
Di koran Kompas edisi ―daring‖ (dalam jaringan), kalimat seperti ini dapat dibaca
beberapa jam menjelang pemilihan umum Amerika Serikat: ―Rumah yang pernah
ditempati oleh salah satu calon presiden AS, Barrack Obama di kawasan Taman Amir
Hamzah, Jakarta Pusat sedang berduka.‖ Ini kalimat pertama dalam suatu artikel. Tak
jarang pembaca tak sempat membaca semua artikel di koran dan, karena itu, ia maraca
cukup hanya membaca judul berita dan satu atau dua kalimat pertama.
Kira-kira apa yang terjadi di benak pembaca jika dia berhenti membaca artikel
tadi setelah kalimat pertama? Kendala bahasa pertama yang muncul setelah
meletakkan koran ialah salah satu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu
berarti ‗satu di antara yang ada‘. Jika ucapan salah satu digunakan, pasti ada lebih dari
satu hal, barang, atau orang yang terlibat dalam pembahasan. Calon presiden AS
memang ada dua, tapi setahu saya hanya satu di antaranya yang pernah bertempat
tinggal di Jakarta, yaitu Pak Obama. Dengan demikian, salah satu dalam kalimat di atas
tidak ada fungsinya sama sekali.
Tentu bukan hanya Kompas yang melakukan kekeliruan seperti ini. Sebaliknya
kegalatan sejenis cukup biasa terjadi pada koran lain. Masalah ini juga mirip dengan
soal kebahasan lain, yaitu perbandingan. Cukup sering saya membaca mengenai hal-hal
lebih besar, lebih banyak pilihannya, lebih keren, dan seterusnya, tapi tak jarang tidak
disebut apa yang jadi patokan perbandingan. Lebih banyak pilihannya daripada apa?
Lebih keren daripada apa? Siapa yang sudi membeli sepeda motor baru hanya karena
lebih keren jikalau belum tahu lebih keren daripada siapa?
Kembali ke laptop. Rintangan kebahasaan kedua dalam kalimat itu (selain
pemakaian tanda koma, tapi masalah itu bisa kita abaikan sekarang) adalah pertanyaan
sapa yang sedang berduka. Siapa ya? Menurut logika kalimat di atas, yang sedang
beruka ialah rumah yang pernah ditempati Pak Obama. Saya meragukan kemampuan
sebuah rumah mengungkapkan perasaan begitu. Kalaupun bisa, kira-kira apa yang
ditangisi rumah? Atap bocor gara-gara hujan yang kelewatan? Salah satu kacanya
50
pecah? Tumbuhan di halamannya tidak berkembang dengan subur? Merindu pada si
Barrack semasa dia kecil? Tidak. Rumah di atas sedang berduka karena sang pemilik
meninggal dunia, seperti dinyatakan dalam kalimat kedua artikel yang sedang dibahas.
Saya masih meragukannya, tapi sudahlah.
Terpeleset kulit pisang dalam bahasa gampang sekali dan itu sering terjadi
dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Berhubungan dengan hari kasih
sayang beberapa tahun silam, dikatakan bahwa sebuah toko sepeda motor memasang
papan besar di jendelanya: ―Hadiah langsung bagi pembeli cewek hari ini!‖ wah, siapa
yang mau membeli cewek? Kira-kira apa hadiahnya? Ngomong-ngomong, tentu sebuah
took tidak bisa memasang papan!
Dua contoh terakhir di atas ini bisa dibilang salah mengacu, kurang jelas,
atau malah menyesatkan. Apakah arti ―Bebas rokok‖ yang tertulis pada sebuah papan?
Apakah lingkungan disekitarnya daerah yang bebas dari asap rokok dan semua
kegiatan yang berhubungan dengannya, ataukah ini daerah yang pemiliknya
menyambut dengan gembira kegiatan rokok-merokok? Apakah daerahnya harusnya
bebas dari rokok atau bebas dari larangan merokok?
KOMPAS, 14 November 2008
51
Nya Kondusif
Sori Siregarr
Penulis Cerpen
Ketika menjawab seorang anggota DPR dalam pertemuan di Gedung DPR
Senayan, putra Abu Dujana antara lain mengatakan, ―Sudah itu bapaknya jatuh dari
motor dan meletakkan tangannya di belakang,‖ sambil memeragakan apa yang ia
maksud dengan meletakkan tangannya di belakang itu. Putra Abu Dujana mengatakan
―bapaknya‖, padahal sebenarnya yang ia maksud ―bapak saya‖.
Dalam sebuah acara TV tentang liburan sekolah, seorang anak tampak asyik
bermain di sebuah tempat hiburan. Ketika reporter televisi bertanya siapa yang
mengantarkannya ke situ, anak itu menjawab, ―Bapaknya‖, bukan ―Bapak Saya‖.
Kalau anak-anak menyebutkan suku kata nya sebagai kata ganti saya, kita data
paham. Mereka belum mempelajari tata bahasa Indonesia sebagaimana mestinya. Jika
yang menyebut nya orang terpelajar atau sebuah instansi resmi, toleransi tampaknya
tak dapat diberikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa,
nya adalah bentuk varian dari ia/dia sebagai penunjuk pemilik, tujuan, dan penunjuk
anaphora. Yakni, rumahnya, membakarnya, olehnya.
Karena itu, jawaban teman saya, ―Bukan, itu istri saya‖, benar saat petugas
kelurahan bertanya, ―Itu istrinya? Dalam pertemuan resmi atau tak resmi pembawa
acara sering mengatakan, ―Terima Kasih atas kehadirannya‖, tanpa menyadari bahwa
sebenarnya ia berterima kasih bukan kepada tamu yang hadir dalam ruangan
pertemuan, tetapi kepada pihak ketiga yang entah berada di mana.
Karena banyak orang tak mengetahui penempatan suku kata nya di tempat yang
seharusnya, maka nya tidak dianggap sebagai varian ia/dia. Akibatnya, tidaklah
mengherankan dalam surat jawaban kepada pihak yang memintanya menjadi sponsor
sebuah kegiatan, sebuah departemen menuliskan ―Terima kasih pengertiannya.‖
Nya juga sering dipakai oleh orang-orang yang tak mengetahui beda jamak dan
tunggal. Di media cetak pernah ditemukan kalimat seperti ini: ―para pengungsi
meninggalkan rumahnya.‖ Reporter televisi juga tak mau kalah menyalahgunakan nya
sebagai bentuk varian ia/dia dalam bentuk jamak itu.
52
Yang tak kalah menarik adalah penggunaan kata kondusif. Seorang reporter
televisi di Makasar menjawab rekannya di studio di Jakarta dengan mengatakan
―kondusif‖. Pertanyaan yang diajukan rekannya di Jakarta: bagaimana keadaan di
Makasar setela bentrokan mahasiswa dengan aparat keamnana dalam demonstrasi pagi
itu.
Seorang wartawan media cetak seenaknya menulis, ―Keadaan di Aceh saat ini
kondusif‖. Apa yang mereka maskud dengan kondusif? Aman? Tertib? Pulih?
Kata kondusif sendiri sebenarnya diambil begitu saja dari bahasa Inggris dengan
hanya menugbah ejannya. Namun, maknanya telah jauh bergeser. Kamus InggrisIndonesia susunan John M Echols dan Hassan Sadily menjelaskan conducive adalah
kata sifat yang berarti ‗mendatangkan‘, ‗menghasilkan‘, dan ‗mengakibatkan‘. Contoh:
Exercise is condusive to good health ‗latihan mendatangkan kesehatan yang baik.‘
Apa artinya? Kita masih lemah berbahasa. Tampaknya ―menguasai bahasa
Inggris lisan atau tulisan‖ sebagai salah satu syarat diterima bekerja benar-benar tak
masuk akal. Adakah orang seperti itu di negeri ini? Berbahasa Indonesia saja kita masih
sering centang-perenag.
KOMPAS, 7 September 2007
53
TROTOAR
Benny H. Hoed
Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Sehari-hari kita menyebutkan trotoar. Berasal dari bahasa Perancis trottoir.
Masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Belanda yang lebih dulu menyerap
kata tersebut. Maknanya ‗bagian tepi jalan dengan lebar tertentu dan ditinggikan yang
dibuat khusus pejalan kaki‘. Asal kata ini sebenarnya verba trotter yang berarti ‗(untuk
kuda) berlari-lari kecil‘. Memang asal mulanya di Perancis trottoir berfungsi sebagai
jalan untuk kuda berjalan di tepi jalan raya. Kemudian berkembang fungsinya mejadi
jalan untuk pejalan kaki. Padanan kata ini dalma bahasa Inggris adalah pavement
(Britania) atau Sidewalk (Amerika).
Di Indonesia kata trotor bermakna sama dengan trottoir, pavement atau
sidewalk, yakni ‗jalan khusus untuk pejalan kaki‘. Saya tidak tahu apakah sudah atau
belum diatur dalam Undang-Undang Lalu-lintas bahwa setiap jalan yang digunakan
untuk kendaraan bermotor harus dilengkapi dengan jalan khusus untuk pejalan kaki.
Dalam kenyataan tidak semua jalan dalm kota, yang disediakan untuk kendaraan
bermotor, dilengkapi trotoar. Akibatnya pejalan kaki juga mengisi jalan tersebut. Di sini
pejalan kaki harus bersaing dengan kendaraan bermotor. Maka, tak heran jika
membaca berita pejalan kaki terserempet mobil atau sepeda motor.
Harus diakui bahwa pemerintah daerah telah menyediakan jalan khusus untuk
pejaln kaki, seperti halnya jalur atau jembatan penyebrangan. Namun, sialnya, jalan
khusus yang bernama trotoar tidak jarang (atau makin sering) digunakan oleh
kendaraan roda dua, terutama sepeda motor. Jadi, bahkan di jalurnya sendiri pejalan
kaki bisa terserempet atau tertabrak sepeda motor.
Lebih repot lagi, jalna yang bernama trotoar itu makin banyak yang ditempati
oleh
para
pedagang,
semula
mereka
mangkal,
kemudian
mendirikan
tenda
semipermanen, dan ujungnya bangunan permanen. Bagi oknum pemda para pedagang
lebih penting daripada pejalan kaki. Soalnya pedagang bisa dimintai ―pajak‖ tak resmi,
sedangkan pejalan kaki tidak. Jadilah pejalan kaki manusia terusir dari wilayahnya.
54
Setelah menjadi lahan bagi para pedagang, jalan khusus pejalan kaki ini beralih
dengan nama menjadi kaki lima. Asal nama baru itu tidak pernah jelas. Bagi saya itu
tak terlalu penting. Yang penting kata trotoar jadi hilang karena fungsinya berubah:
dari jalan menjadi lahan. Sekarang para pedagang itu sudah menerima label khusus,
yakni pedagang kaki lima. Padahal bagi saya mereka adalah penyerobot trotoar, yakni
jalan khusus pejalan kaki. Malangnya penyerobotan itu seakan ―direstui‖ oleh oknum
pemda karena mendatangkan rezeki.
Keadaan ini tidak akan bisa diperbaiki jika tidak ada ketegasan bertindak dari
pemerintah daerah, tidak semata-mata terhadap penyerobot trotoar, tetapi terutama
terhadap oknum yang mengais rezeki dari para penyerobot itu. Kalau tidak, makin
banyak trotoar yang menjadi kaki lima. Padahal, kita berkeyakinan bahwa kota di
Indonesia harus nyaman bagi penduduknya. Para pejalan kaki seharunya tidak lagi
menjadi ―paria‖. Ini tantangan untuk pejabat pemda dari walikota, bupati, sampai
gubernur. Masih mungkinkah? Wallahualam.
KOMPAS, 2 MEI 2008
55
Simpati dan Simpatetik
Lie Charlie
Sarjana Bahasa Indonesia
Karl Bertens pernah menulis di rubric ini bahwa penutur bahasa Indonesia
kurang mahir memperbedakan kata kerja dan kata sifat yang berasal dari bahasa liyan,
padahal perkara ini penting dalam penyusunan kalimat. Bertens memberi contoh kata
sifat seperti hipnotis yang hampir selalu dipergunakan sebgai kata kerja, sedangkan
bentuk kata kerja yang benar adalah hipnosis.
Penutur bahasa Indonesia juga kebingungan menggunakan kata simpati dan
simpatetik, baik sebagai kata benda maupun kata sifat. Perlu diketahui dari bahasa apa
sebuah kata diturunkan, barulah kemudian ktia dapa menentukan bentuk alih eja yang
benar dan golongan katanya. Simpati dapat dikatakan hasil alih eja sympathy, dan,
sesuai dengan golongan kata asalnya, merupakan kata benda. Asal-usul simpatik tidak
jelas, mengingat dalam bahasa Inggris tidak ada bentuk sympathic yang dapat
dialihejakan menjadi simpatik ke dalam bahasa Indonesia.
Kata sifat dari Kata sifat dari sympathy adalah sympathetic. Nah, apabila
dialihejakan ia akan menjadi simpatetik. Inilah kata sifat yang seyogyanya didapat.
Bagaiman dengan kata simpatisan? Seandainya ada bentuk simpatis, bentuk simpatisan
dapat direka-reka sebagai turunannya yang telah diimbuh akhiran -an sebagai
pembentuk kata kerja. Jadi, simpatisan sebenarnya juga bentuk yang keliru. Mungkin -
thy dalam kata sympathy terdengar seperti bunyi -ty dalam, misalnya university,
sehingga dialihejakan menjadi -tis (simpatis).
Bahasa Indonesia memang tidak mengenal unsure morfemik yang secara khusus
mencirikan kata sifat. Dalam bahasa Inggris, umpamanya, kata-kata yang berakhiran -
ive atau -ic selalu merupakan kata sifat. Fasilitas bahasa berupa akhiran ini lazim
dipakai untuk mengubah kata benda atau kata kerja menjadi kata sifat: communication
atau communicate menjadi communicative; dan drama menjadi dramatic.
Soal yang juga membuat kita bertanya-tanya adalah bentuk hasil pengalihejaan
yang berujung -is dan -ik. Masalahnya, Pedoman Umum Pembentukan Istilah sendiri
memberi alihann yang sedikit rancu sebab akhiran liyan -isch yang berasal dari bahasa
56
Belanda disebut dapat dialihejakan menjadi baik -is (economish, logisch, praktisch
menjadi ekonomis, logis dan praktis) maupun -ik (ballistisch, electronisch, mechanisch
menjadi balistik, elektronik, mekanik).
Khusu untuk kasus -ik dan -is ini sebaiknya kita mengacu kepada bahasa Inggris
saja karena panduannya lebih jelas, yakni bahwa -ic bahasa Inggris merupakan kata
sifat dialihejakan menjadi -ik dalam bahasa Indonesia. Kata-kata ballisctic, electronic,
mechanic dengan demikian beralih eja menjadi balistik, elektronik, mekanik; sedangkan
-ic atau -ics bahasa Inggris berupa kata benda dialihejakan menjadi -ika
(logic,
dialectics, menjadi logika, dialektika).
Tidak tahu mengapa kata-kata berujung –is lebih digemari daripada –ik. Katakata dilematis atau harmonis lebih sering dipakai dibandingkan dengan dilematik atau
harmonic yang benar (bila acuannya bahasa Inggris). Sedemikian digandrunginya ujung
kata –is ini sehingga sudah dianggap seolah-olah akhiran bahasa Indonesia, padahal
bukan. Maka, lahirlah kata agamis, misalnya, yang rancu.
KOMPAS, 6 JUNI 2008
Kumpulan artikel rubrik bahasa Indonesia dari berbagai media massa
57
Kopitiam
Samsudin Berlian, Pemerhati Makna Kata
Baru saja Mahkamah Agung mengesahkan keputusan Pengadilan Niaga Medan
bahwa kopitiam adalah merek milik eksklusif seorang pengusaha Jakarta, yang
langsung saja memerintahkan semua pengusaha kopitiam berhenti memakai nama itu
untuk tempat usaha mereka.
Kopitiam adalah gabungan menarik dua kata yang melibatkan banyak budaya.
Kopi menempuh
perjalanan
panjang
dari
Arab qahwah,
Turkikahveh,
Italia caffè, sampai Belanda koffie, sebelum diserap Melayu. Belanda menguasai Malaka
sejak pertengahan abad ke-17.
Tiam kata Hokkien untuk toko. Bagian besar imigran Cina di Asia Tenggara
berasal dari Provinsi Hokkien [Mandarin: Fujian] dan sudah ratusan tahun bahasa dan
adat istiadat Hokkien di antara mereka bercampur dengan Melayu. Jadi, kopitiam tak
lain tak bukan tak lebih tak kurang berarti ‘kedai kopi‘.
Pelanggan tradisional kopitiam hanya laki-laki yang berkumpul untuk makan,
minum, main catur atau kartu, mengobrol, dan bertukar berita jauh dekat. Masih kita
kenal ungkapan ‖obrolan warung kopi‖. Kopitiam adalah pusat sosial yang penting di
zaman ketika orang buta huruf banyak dan di rumah tidak tersedia sumber berita.
Kopitiam termasuk institusi publik pertama yang menyajikan koran, radio, dan televisi.
Ini beda dengan konsep cafeteria yang dikembangkan di Amerika, yang kini lebih
berarti restoran swalayan.
Kopitiam mulai berkembang pada akhir abad ke-19 sebagai kedai kopi etnik khas
imigran Cina di Singapura, Malaysia, Sumatera belahan utara, dan Kalimantan Barat.
Konsep kedai kopi sendiri berkembang luas di Asia Tenggara, juga di kalangan Melayu
dan India, dengan sajian khas menurut selera dan tradisi masing-masing.
Bahkan, sebetulnya konsep warung kopi dikenal di seluruh dunia setelah khasiat
minuman pelawan tidur ini pertama kali disadari di Etiopia dan kemudian menyebar dari
Arab ke seluruh dunia sejak abad ke-15.
Di kedai kopilah, mulai abad ke-17 sampai awal abad ke-20 di Eropa, berkumpul
filsuf, sastrawan, dan seniman, baik tenar maupun rudin, yang karya-karyanya
58
mengubah wajah dunia atau yang tersapu tanpa bekas bersama debu sejarah. Di situ
pulalah pembangkang dan pelarian politik tanpa kenal kantuk berkomplot dan
bersekongkol menuju kemuliaan atau tiang gantungan.
Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kopitiam dalam dua generasi terakhir
mulai lebih bergengsi dan mengembangkan konsep modern, pelayanan lebih
terstandar, menu dan pelanggan lebih multietnik dan multikultural, pun mencakup
perempuan dan orang asing. Sebagian besar masih datang bukan hanya untuk makan
minum melainkan terutama untuk bercengkerama dalam keakraban.
Penulis ini mohon diri sekarang untuk pergi ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual mendaftarkan Warteg.
Sudah terbayang nikmatnya bagian laba yang akan disetorkan semua pengusaha
warteg Nusantara setelah Mahkamah Agung mengesahkannya. Tidak perlu lagi susahpayah menulis di rubrik Bahasa ini hanya demi sepeser uang kopi.
Kumpula KOMPAS, 9 Mar 2012n
59
Ng(eh)
Kasijanto Sastrodinomo, Dosen pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
Bolak-balik saya baca Ngeh, kumpulan esai dramawan Putu Wijaya, tetapi tak
ketemu sepotong kalimat pun yang menjelaskan arti judul buku itu. Penulis bunga
rampai tak menyertakan alasan mengapa tajuk bukunya berbunyi begitu. Kata
pengantar Jakob Sumardjo juga tak menyinggung maksud sesorah itu. Hanya ada
semacam isyarat: buku itu layaknya kamus untuk memahami pemikiran kebudayaan
versi sang dramawan. Maknanya, sebagai ‖kamus‖, Ngeh akan membawa pembacanya
mengerti akan belantara soal kebudayaan.
Maka, di sini relevan menengok ngeh pada bahasa Betawi yang berarti ‘mengerti‘
atau ‘memahami‘, seperti kalimat ‖Gua baru ngeh setelah die jelasin maksudnye‖, atau
‘Saya baru paham setelah dia menjelaskan maksudnya‘ dalam ragam formal.
Pada Kamus Bahasa Betawi-Indonesia suntingan Bundari, putra asli Betawi, lema kata
itu
tertulis engeh,
sementara
dalam Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
Pusat
Bahasa disurat engah. Kalau begitu, ngeh atau ngah merupakan pemendekan dua kata
itu sehingga menonjolkan bentuk ng. Bahasa Betawi kaya dengan bentuk ini,
semisal ngablak, ngacir, ngakak.
Lain halnya penjelasan tentang ng dalam ilmu bahasa. Menurut Harimurti
Kridalaksana dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia, ng adalah simulfiks,
bukan prefiks (awalan), meski keduanya adalah jenis imbuhan. Simulfiks diwujudkan
dengan penyengauan bunyi pertama suatu bentuk dasar, dan berfungsi membentuk
verba (memverbalkan nomina), adjektiva atau kelas kata lain. Contoh: rujak (nomina)
menjadingrujak (verba); kendur (adjektiva) menjadi ngendur.
Simulfiks ng hanya terjadi dalam cakapan lisan yang tak-baku dan, karena itu,
cukup alasan untuk diasingkan dari ragam resmi. Ada kalanya ng dianggap merusak
tatanan bahasa yang baik dan benar. Dalam menulis skripsi, misalnya, mahasiswa
sangat
dianjurkan
bentuk ng karena
menghindari—kalaupun
dianggap
tak
ilmiah.
tak
bisa
Kalimat
dilarang—penggunaan
‖Sejak
abad
ke-
19, ngudud dan ngopi sambil ngobrol telah meluas di pedesaan Jawa‖ yang ditulis
dalam skripsi sejarah sosial bisa menjadi masalah di meja ujian.
60
Namun, sulit rasanya menghindari ng sepenuhnya. Kelenturan adaptasinya
dengan
berbagai
jenis
kata
dasar,
termasuk
kata
asing
dan
singkatan,
membuat ng sangat mangkus membentuk kalimat bahasa Indonesia. Semasa menjadi
ketua LHI (Lembaga Humor Indonesia) pada 1980-an, Arwah Setiawan sering
mengkritik, ‖Tampilan lawak di televisi kita kurang ngel-ha-i.‖ Kalimat itu lebih efektif
ketimbang ragam resmi yang terasa panjang: ‖Tampilan lawak di televisi kita kurang
memenuhi patokan versi LHI.‖ Patokan yang dia maksud adalah bahwa lawakan itu
mestilah serius dan cerdas, bukan cengèngèsan belaka.
Iseng-iseng saya pernah bertanya kepada petugas musala di kampus mengapa
namanya Ngumar,
bukan Umaryang
jamak
dikenal.
Jawabannya
menarik,
‖Lebih njawani dan santai.‖ Baginya, Umar terlalu anggun karena menyangkut nama
sahabat Nabi. Jadi, mengikuti jalan pikiran lelaki asal Kebumen itu, ng adalah tafsir
budaya akulturatif dari suatu ‖narasi besar‖ yang universal.
KOMPAS, 26 Agu 2011
Download