1 Balance of Power in ASEAN as a Cooperative Regime Security Renny Candradewi Puspitarini Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga [email protected] ABSTRAK Balance of power merupakan ide, konsep politis sekaligus strategi kebijakan yang relevan terhadap kondisi empiris situasi politik internasional yang anarkis yang tertuang dalam beragam definisi dan pengertian berbeda, kemudian dipelajari menjadi panduan kebijakan politik luar negeri baik oleh praktisi hubungan internasional—untuk memahami perilaku kolektif states, maupun statesmen sebagai strategi untuk menyusun perjanjian—agreement dalam usaha membela kepentingan nasional. Secara khusus, ASEAN sebagai rezim regional menjadi ilustrasi adanya pengaruh faktor balance of power pada perilaku anggotanya yang secara politis saling berseberangan tetapi masih mempertahankan konsep sekuriti sebagai alasan mendasar mendirikan kelompok kerjasama kooperatif maupun satuan organisasi regional yang dijanjikan mampu menciptakan stabilitas dan keamanan kawasan. PENDAHULUAN Balance of power merupakan ide politik dan strategi kebijakan relevan terhadap kondisi empiris situasi politik internasional yang anarkis dalam beragam definisi dan pengertian berbeda yang terus dikembangkan menjadi panduan kebijakan politik luar negeri baik oleh praktisi hubungan internasional untuk memahami perilaku kolektif states maupun statesmen sebagai strategi untuk menyusun perjanjian—agreement dalam usaha membela kepentingan nasional. Secara khusus, ASEAN sebagai rezim regional menjadi ilustrasi adanya pengaruh faktor balance of power pada perilaku anggotanya yang secara politik saling berseberangan tetapi masih mempertahankan konsep sekuriti sebagai platform fundamental mendirikan kelompok kerjasama maupun satuan organisasi regional yang dijanjikan mampu menciptakan stabilitas dan keamanan. ASEAN bisa saja dianggap sebagai usaha regional yang menyediakan keamanan dengan cara bergerak di antara conventional balance of power politics, yakni dengan menunjukkan maksud, premis, objektif, dan model operasi. Selanjutnya operasi balance of power cenderung dipandang dari sudut sebuah policy. Hal demikian menjadikan Balance of Power merupakan alat analisis atau panduan terhadap kebijakan. Dalam uraian singkat di bawah ini pertama akan disinggung pengertian balance of power dan sejarahnya. Kedua, dibahas pandangan realisme tentang balance of power. Ketiga, kelemahan dan strategi yang ditawarkan kondisi balance of power dan hubungannya dengan cooperative security dan the pursuit of power. Keempat, pembentukan ASEAN dijelaskan melalui perspektif balance of power. Definisi dan Sejarah Balance of Power Pada beragam pengertian, balance of power merupakan konsep yang telah dipegang sepanjang sejarah, praktisi, dan negarawan—statesmen; sehingga perilaku demikian membawa konsekuensi pada tingkat beragam pengertian pada setiap orang berbeda. Walaupun demikian tidak terdapat konsesus resmi definisi balance power secara tepat (Emmers, 2004. p.40-41), beragam 2 pandangan definisi tersebut terletak pada pemahaman pada berbagai istilah yakni sebagai suatu simbol, situasi, kebijakan, dan sistem (Emmers, 2004. p.41 ). Pengertian yang demikian banyak dan luas sebagaimana diutarakan oleh Inis Claude (1962: 13) disebabkan konsepnya yang mudah dipahami serta banyaknya literatur antara lain sebagai berikut (Sheehan, 1996, p.1-2): 1. Masa klasik: distribusi power yang sama di antara Princes of Europe → memungkinkan bagi salah satu dari mereka untuk mengganggu ketenangan yang lain (Anonymous, Europe’s Catechism, 1741); Pada Midieval Era di mana masing-masing kerajaan di Eropa berlomba untuk memperkuat diri; semakin intensnya kompetisi tersebut, makin intens pula adanya ancaman yang memicu kapabilitas ketenangan negara lain yang secara geografis berdekatan. 1. Aksi dari negara lain untuk menghambat negara tetangganya untuk menjadi lebih kuat dan menjaga keseimbangan dan kesejajaran antarnegara tetangganya—terdekatnya (Fenelon, 1835); Balance of power sebagai reaksi yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas keamanan regional antarnegara yang berdekatan. 1. Menjaga keseimbangan: yang lemah seharusnya tidak dihancurkan oleh negara yang lebih kuat → merupakan prinsip yang membentuk kesatuan pada peta politik sejarah Eropa Modern (Stubbs, 1886); Balance of power sebagai kolektif reaksi untuk mencegah terbitnya satu kekuatan dominan yang berpotensi mendesak yang lemah. 1. Suatu penyusunan hubungan sehingga tidak akan ada negara yang berada pada posisi lebih kuat di atas negara-negara lainnya (Vattel, 1916); Seperti halnya poin ketiga yang mana balance of power sebagai kolektif reaksi karena adanya kesadaran bersama untuk menghindari munculnya negara yang terkuat di antara yang lainnya. 1. Balance of Power beroperasi melalui aliansi-aliansi yang tidak memberi peluang adanya satu dominan power yang tumbuh lebih kuat sehingga berpotensi mengancam keamanan yang lain (Palmer and Perkins, 1954); Balance of power sebagai strategi untuk menciptakan stabilitator regional melalui keikutsertaan dalam aliansi maupun kelompok kerjasama keamanan yang kolektif. 1. Balance of Power: merujuk pada hubungan aktual antarnegara dimana power terdistribusi secara paralel pada semua negara (Morgentahu, 1978); Balance of power merupakan strategi alternatif melakukan atau mempengaruhi distribusi power. 3 1. Balance of Power merujuk pada respon untuk melakukan ukuran (pemantauan dan pengawasan) yang ekivalen secara individual maupun kolektif guna meningkatkan power mereka (Claude, 1962); Balance of power sebagai tool efektif untuk melakukan check and balance posisi dan pemetaan power yang dimiliki masing-masing negara. 1. Balance of Power merupakan prinsip dasar guna merenggangkan power yang sanggup mengintervensi pada satu sisi, dimana ada bahaya potensi meletusnya perang, untuk menjamin bahwa yang kalah—lemah tidak tereliminasi dari sistem dan tidak terserap ke dalam kolosus yang sedang berkembang (Quester, 1977). Balance of power merupakan efektif tool untuk mendispersi power guna mengurangi potensi konflik dan perang. Dari berbagai pengertian di atas, tentunya menimbulkan permasalahan tentang bagaimana menggunakan konsep dan istilah balance of power dalam hubungan dan politik internasional. Salah satu permasalahan intelektual disebabkan oleh power sebagai suatu konsep dan istilah, adalah interprestasi berbeda pada tiap orang yang berbeda pula. Beberapa diantaranya mengasumsikan “power” tidak hanya mengandung arti kekuatan militer, tetapi juga mengandung implikasi kekuatan politik dan ekonomi—oleh realis disebut tradisional power. Bagi yang lainnya, power tidak hanya menyangkut aktivitas spesifik seperti tersebut di atas, tetapi juga kemampuan untuk mempengaruhi perilaku state lain (Sheehan, 2004, p.7.). Berikut penjelasan lebih luas hubungan balance of power dalam perspektif realis. Balance of Power dan Realisme Balance of power menurut sudut pandang realis: memandang masyarakat internasional sebagai aksi-reaksi yang tidak ekivalen—assymetris: power berhadapan dengan weakness. Basis dasar asimetris antar-state tersebut dapat diseimbangkan, yakni dengan cara setiap state bertindak saling mengawasi terhadap posisi masing-masing—check and balance. Karena politik internasional yang anarkis berlawanan dengan keamanan dan stabilitas jangka panjang, maka nation-states semestinya memotori terciptanya keseimbangan dalam sistem power, sehingga dalam jangka absolut, keamanan, stabilitas, power, dan pengaruh dapat kemudian lebih potensial ditingkatkan. Adalah tugas seorang negarawan—statesmen untuk mendemonstrasikan dan memprioritaskan kepentingan masing-masing berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi dengan membuat kebijakan dan penyesuaian berdasarkan tujuan menciptakan stabilitas yang kondusif. Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa balance of power dan politik luar negeri yang diciptakan untuk diraih dan dipelihara bukanlah hal yang tidak mungkin, lebih dari itu, merupakan mekanisme penting untuk menstabilkan komunitas internasional (Sheehan, 1996, p.8.). Berkaitan erat dengan power, di dalam balance of power terdapat konsep national interest dan objectives antara lain tujuan fundamentalnya adalah menolak adanya hegemoni secara regional maupun global, yang pada intinya untuk mencegah terbitnya hegemoni dengan mengijinkan 4 semua state untuk memelihara identitas, kesatuan, dan independensinya, hingga pada level optimal mencegah potensi agresi perang, dan lain sebagainya. Teori balance of power maka dari itu erat kaitannya dan kedudukannya selaras dengan pandangan tradisional realis mengenai hubungan internasional.secara tidak langsung dimaksudkan untuk menyediakan kondisi internasional yang stabil dan damai (Emmers, 2004, p.42), sekaligus sebagai faktor penstabil dalam masyarakat negara-negara yang berdaulat (Morgenthau, 1955. p.185 ) Dari pengertian di atas, intinya teori balance of power sebenarnya merupakan konsep penting dalam menciptakan dan memelihara stabilitas komunitas internasional. Balance of power dan the pursuit of power Konsep dan ukuran suatu power bersama dengan kemampuan negara menerjemahkan power tersebut ke dalam defined national goal, merupakan karakter fundamental pemikiran realis. Sebagian besar realis beranggapan bahwa hal tersebut merupakan kepentingan state untuk mendapatkan power semaksimal mungkin dan guna mendapatkannya, harus mempertahankan dan memelihara power itu. States akan mempunyai tujuan kebijakan tertentu, beberapa di antaranya berkonflik dengan kebijakan negara-negara lain. Selama selalu ada kekhawatiran dan kecemasan pada setiap negara di mana posisinya terancam dengan kekuatan yang lain, maka balance of power menjadi makin relevan sebagai usaha state untuk kemudian berusaha berhadapan dengan kekuatan yang sejajar. Artinya, dalam balance of power, state akan terus menerus secara praktikal membuat powernya sejajar dengan tandingannya—the pursuit of power. Salah satunya, adalah untuk menjaga eksistensinya, setiap negara akan mengandalkan diplomasi yang didukung oleh kekuatan militer utamanya bagi diri sendiri, jika dibutuhkan dilengkapi oleh aliansi-aliansi (Emmers, 2004, p.45). Sebagaimana setiap state pasti berusaha untuk paralel dengan usaha rival, dengan demikian balance of power akan muncul sebagai stabilitator sistem, dimana power mesti berhadapan dengan power yang setara—matching power. Dalam menciptakan kondisi internasional yang stabil, balance of power menawarkan strategi diplomasi yang mencakup empat karakterisktik (Emmers, 2004. p.48.) yaitu collective security, comprehensive security, cooperative security dan common security. Dalam pembahasan di bawah ini, akan dibicarakan mengenai alternatif diplomasi yakni cooperative security sebagai pendekatan guna menjelaskan perilaku negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam internal rezim ASEAN dalam usaha meningkatkan stabilitas regional dan menolak timbulnya hegemoni, utamanya berkaitan dengan the potential rising hegemoni, Indonesia saat itu. Balance of Power dan Cooperative Security Asumsi realis yang berkaitan dengan konsep sovereignty dan anarki membuat realis berdebat bahwa tidak ada otoritas superior yang memerintah di atas kedaulatan–sovereignty, kemudian states yang berdaulat secara independen harus berjuang untuk mengamankan interest masingmasing. Sebagaimana Nicholas Spykman berpendapat bahwa tujuan objektif dari kebijakan luar negeri suatu negara adalah untuk mengamankan integritas-kesatuan teritorial dan independensi politik masing-masing. Dari penjelasan tersebut di atas konsep kooperatif sekuriti—cooperative 5 security menjadi hal penting dan dalam hal ini balance of power dijelaskan dengan sudut pandang kebijakan: balance of power as a policy (Sheehan, 1996. p.53). Di samping itu, pandangan realis tentang kondisi politik internasional dan balance of power sebenarnya telah menjadi prediksi beberapa penulis seiring dengan paradigma keamanan politik yang kemudian berkembang menjadi security dilemma. Security dilemma memandang setiap negara secara signifikan berkompetisi, berkonflik, dan berselisih menyangkut isu tentang keamanan nasional. Implikasinya adalah bahwa state kemudian harus melakukan segala cara yang dibutuhkan untuk bertahan dalam lingkungan anarkis dan ancaman. Menjadikan nature of the system menjadi arena untuk menentukan keputusan—in decision making process, memaksa mereka untuk berperan dalam balance of power game supaya berhasil bertahan—survive. Karakteristik yang demikian merupakan penjelasan sentral mengenai lanjutan balance of power oleh structural atau neo-realis seperti Kenneth Waltz (1979:118). Secara rasional maupun irrasional, kondisi internasional yang demikian menjadikan state cenderung saling curiga satu sama lain yang mana sekutu terdekat bisa menjadi ancaman laten sebagaimana ancaman visibel dari musuh yang sebenarnya. Secara berbeda, Morgenthau mengungkapkan bahwa teori balance of power hanya menawarkan solusi parsial bagi permasalahan anarkis dan perubahan dalam sistem internasional. Perilaku state yang demikian berdasarkan pandangannya karena state mesti mengikuti supreriority of power sebagaimana dikutip di bawah ini: “states involved in the international anarchy must in practice seek, not ‘a balance or equality of power, but a superiority of power on their own behalf’” (Morgenthau, 1949: 155) Kelemahan konsep dan teori balance of power secara praktikal antara lain balance of power sulit untuk dicapai karena state selalu cenderung untuk menjamin secara individual melawan segala kekuatan yang mengancam dari lawan mereka, dengan cara memperoleh margin safety— kapasitas maksimal menyaingi atau kapasitas minimal guna mengantisipasi ancaman dari pihak yang berlawanan (Kissinger, 1994. p.21.). Konsep balance of power menurut Morgenthau: balance of power menciptakan precarious stability dalam hubungan antarnegara, suatu yang esensial untuk dikembangkan secara konstan. Kata “balance” secara khusus mempunyai implikasi “suatu finished produk.” Realitas hubungan internasional, bagaimanapun juga merupakan kombinasi dari pergerakan dan perubahan, bukan statis, dimana pergerakan dan perubahan tersebut merupakan fitur karakteristik utama dari suatu politik internasional. Kekuatan tidak pernah bisa diseimbangkan, disesuaikan maupun dimanipulasi sebagai suatu respon dari aliran power di dalam suatu sistem. Dalam hal ini, balance of power bukan menjadi desain tandingan bagi perubahan yang damai, melainkan influence guna menstabilkan segala perkembangan selama stabilitas itu berlangsung. Balance of Power in Cooperative Security Regimes: the founding moment of ASEAN Teori Balance of Power sebagian besar muncul secara eksklusif dari pemikir Realis yang meyakini bahwa Balance of Power bersandar pada kapabilitas dan kuantitas power suatu negara, 6 dimana power diasumsikan sebagai akumulasi variabel (komponen-komponen politik, ekonomi, militer)—disertai intangible dan tangible factors sebagaimana kombinasi hard power & soft power. Artikel Ralf Emmers berjudul “Balance of power within and beyond cooperative security regime: ASEAN & ARF” menafsirkan konsep Balance of Power dalam konteks politik regional berkaitan dengan momen berdirinya ASEAN sebagai organisasi regional yang memegang nilai cooperative security (Emmers, 2004. p.54) Awal berdirinya ASEAN semula sebagai konter positif terhadap berkembangnya the rising star saat itu, yakni Indonesia. Saat itu Indonesia menjadi ancaman regional yang disegani oleh negara tetangga di sekitarnya sebab baru merdeka lengkap dengan perangkap susunan politik dan pengalaman signifikan dalam proses mempertahankan kemerdekaan dari jajahan Eropa serta barier terhadap perkembangan negara Barat utamanya dalam pengaruh Amerika. Hal ini sesuai dengan tulisan Emmers: “Governments enter alliances so as to enhance their power positions and to react to rising hegemonies in the international system.” (Emmers, 2004: 46) Hal ini kemudian menjelaskan perilaku negara-negara kawasan di sekitar Indonesia untuk kemudian bergabung dengan aliansi militer—collective security, sepertihalnya Thailand dan Philipina yang tergabung dalam SEATO (South East Asia Treaty Organization) yang dipegang oleh Liberal-kapitalis Amerika. Serta kecenderungan Malaysia dan Singapura bersama dengan Selandia Baru dan Australia, ikut serta Five Power Defence Arrangements (Emmers, 2004. p.59). Sedangkan Indonesia, bersikap berseberangan dengan bergabung dengan Poros Jakarta-Peking dan Nefo—New Emerging Forces yang dimotori oleh China dan komunisme Uni Soviet. Dua kekuatan yang pada Perang dingin saling berhadapan dan bertentangan. Relevansi dari politik balance of power adalah kerjasama keamanan yang diciptakan oleh Malaysia dan Singapura, bernama ASEAN. Kala itu Indonesia adalah sebuah hegemon alami di Asia Tenggara karena skala dan populasinya (baik dalam kekuatan militernya dalam mencapai kemerdekaan, kondisi geografis, populasi yang besar, posisi yang strategis, dan sumber daya alamnya yang melimpah). Kepemimpinan baru di Jakarta menyadarkan adanya ketidakpercayaan yang dikukuhkan di pusat ASEAN lainnya dalam menanggulangi posisi Indonesia di Asia Tenggara. Kemudian muncullah kesadaran bagi indonesia bahwasanya ASEAN dapat bekerja sebagai faktor pemaksa dalam menjalankan politik luar negeri dan secara alami Indonesia pun menjadi pemimpin dalam asosiasi tersebut. Selanjutnya, ASEAN sebagai jembatan sekaligus barier regional terhadap ancaman meluasnya ideologi dan pemahaman politik karena pengaruh komunisme di Indochina dan Uni Soviet yang berimplikasi konflik politis baik secara internal dan eksternal, hal tersebut adalah konsekuensi terhadap iklim politik antara komunisme Uni Soviet dan liberalisme Amerika. Keadaan yang demikian menjadi justifikasi pernyataan balance of power yang berasumsi bahwa posisi state berangsur-angsur dapat menjadi ancaman bagi eksistensi state yang lain (Sheehan, 7 1996. p.53). Untuk menghindari perang pecah dan instabilitas keamanan regional sekaligus menjamin pemeliharaan sistem state yang ekivalen sebagai upaya preventif terhadap hegemoni, maka suatu balancing menjadi mutlak diperlukan dalam beragam diplomasi bilateral dan regional, utamanya dalam ASEAN. Salah satu strategi balancing yang digunakan ASEAN yakni cooperative security yang melibatkan aksi diplomasi melalui dialog dan forum regional— misalnya ASEAN Regional Forum, yang di dalamnya membahas berbagai permasalahan sosial dan ekonomi utamanya. Sayangnya strategi cooperative security yang demikian memiliki kelemahan. Sebagaimana yang diungkapkan terdahulu oleh Morgenthau dimana strategi balance of power menawarkan solusi parsial semata dan mengandung ketidakpastian dan kurang efektif sebagaimana dikutip: “Morgenthau refers to its main weaknesses as being ‘its uncertainy, its unreality, and its inadequacy’” (Emmers, 2004: 47). Sedangkan pemikir lain, seperti Emmers mengutarakan cooperative security tidak memberikan aksi secara langsung dan tepat sasaran, disebabkan pertemuan dan diskusi melalui forum yang terjadi hanya angin semata dan tidak lebih dari ucapan bibir dari diplomasi politik guna merenggangkan tensi dan ketegangan akibat konflik regional karena salah paham maupun saling curiga (Wright, 1942. p.445). “…cooperative security, unlike collective security, lacks of the vehicle of economic or military sanctions…cooperative security focuses on confidence building and a reventive dimension, albeit not through problem solving.” (Emmers, 2004: 50) Dengan demikian strategi cooperative security yang semula dimaksudkan untuk sebagai kendaraan sosial dan ekonomi menjadi irrelevan karena lemah terhadap pemberian sangsi militer dan embargo ekonomi yang jelas. Hal tersebut menjadi kelemahan ASEAN yang cenderung tidak tegas, tidak jelas, dan menjadi tidak netral terhadap berbagai konflik regional. Sebagaimana konflik yang terjadi antara Kualalumpur-Jakarta mengenai batas teritorial dan perairan terhadap permasalahan Pulau Sipagan-Ligitan-Ambalat. SIMPULAN Balance of power menjadi ide politis sekaligus strategi kebijakan dalam menyediakan alternatifalternatif yang bertujuan menangkal peluang adanya kekuatan dominan / hegemon yang berpotensi mendesak dan mengancam eksistensi negara-negara yang secara geografis berdekatan dan bertetangga. Balance of power merupakan panduan perumusan kebijakan politik luar negeri dan penyusunan perjanjian—agreement dalam kerangka analisis untuk memprediksi perilaku negara-negara khususnya yang sekawasan dalam melakukan check and balance posisi dan kekuatan negara satu dengan yang lain. Konsep Balance of Power dapat menjelaskan pendirian ASEAN, sebagai rezim keamanan dalam usaha menjamin kestabilan kawasan terhadap ancaman luar dan posisi kuat negara lain, dengan cara menggunakan nilai-nilai balance of power yang berkaitan dengan keamanan, yakni cooperative (ASEAN), collective (keikutsertaan negara anggota ASEAN yang lain dalam Nefos, Poros Jakarta-Peking, SEATO dan Five Power Defence Arrengements) dan comprehensive security (memperluas area kerjasama dalam bidang sosial dan 8 ekonomi. Cooperative security rezim keamanan ASEAN meliputi kewajiban untuk menjaga kestabilan keamanan masing-masing negara; sementara collective security rezim keamanan merupakan usaha secara kolektif menjaga kestabilan keamanan kawasan dengan mengembangkan kepercayaan sebagaimana mengikuti PBB dan organisasi keamanan internasiaonal—SEATO. OPINI Akhirnya, konsep Balance of Power ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan dengan mengedepankan aspek menentang hegemoni dan membatasi ruang geraknya supaya tidak mendesak negara lain yang lebih lemah maupun secara signifikan-insignifikan terancam, bukan lagi untuk menciptakan distribusi power secara paralel antarnegara sebagaimana pengertian tentang Balance of Power sebelumnya. Alur yang demikian sesuai dengan pemikiran realis di mana balance of power menjadi strategi keamanan yang secara inheren efektif untuk menciptakan stabilitas keamanan yang toleran dan favor bagi negara-negara yang berkonflik. Selain itu, balance of power berhasil menawarkan alternatif bagi strategi politik luar negeri yang efektif walaupun sebenarnya cenderung tidak adequate. Sementara itu, ASEAN hanya menjadi wadah dan tool untuk menjangkar dan membatasi ruang gerak Indonesia yang saat itu sangat potensial menjadi hegemoni di Asia tenggara dikarenakan potensi kekayaan alam, populasi dan iklim politis kharismatik Soekarno saat itu sehingga yang demikian membuat posisi Indonesia dalam catur politik internasional, utamanya regional, menjadi ancaman bagi tumbuh kembangnya iklim politik bilateral dan regional negara tetangga. Oleh karena itu, di Asia Tenggara balance of power melahirkan upaya preventif yang sukses dalam menghambat terbitnya hegemoni sebagaimana tujuan fundamental awal teori balance of power, meskipun di sisi lain tidak diimbangi dengan kekuatan untuk menjalankan sangsi ekivalen terhadap negara satu sama lain dan kurangnya check and balance yang ideal. 9 DAFTAR PUSTAKA Emmers, Ralf. 2004. Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and The ARF. New York: Routledge Publishing. p. 10-39, 40-60. Fortman, Michel and T.V. Paul, James J. Wirtz. 2004. Balance of Power: Theory and Practive in the 21st Century. California : Stanford University Press. p. 1, 3, 217, 267, 338 Gilpin, R. 1981 War and Change in World Politics. Cambridge University Press, Cambridge. Jones, David Martin dan M.L.R. Smith. 2006. ASEAN and East Asian International Relations: Regional Delusion. Cornwall : MPG Books. Kaufman, Stuart J, Richard Little, and William C. Wohlforth. 2007. The Balance of Power in World History. New York : Palgrave Macmillan. p. 1-20. Morgenthau, Hans J. 1949. Politics among Nations. Sheehan, Michael. 1996. The Balance of Power: History and Theory. New York : Routledge Publishing. p. 1-23, 53-96.