Balance of Power in ASEAN as a Cooperative Regime Security

advertisement
1
Balance of Power in ASEAN as a Cooperative Regime Security
Renny Candradewi Puspitarini Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
[email protected]
ABSTRAK
Balance of power merupakan ide, konsep politis sekaligus strategi kebijakan yang relevan
terhadap kondisi empiris situasi politik internasional yang anarkis yang tertuang dalam
beragam definisi dan pengertian berbeda, kemudian dipelajari menjadi panduan kebijakan
politik luar negeri baik oleh praktisi hubungan internasional—untuk memahami perilaku kolektif
states, maupun statesmen sebagai strategi untuk menyusun perjanjian—agreement dalam usaha
membela kepentingan nasional. Secara khusus, ASEAN sebagai rezim regional menjadi ilustrasi
adanya pengaruh faktor balance of power pada perilaku anggotanya yang secara politis saling
berseberangan tetapi masih mempertahankan konsep sekuriti sebagai alasan mendasar
mendirikan kelompok kerjasama kooperatif maupun satuan organisasi regional yang dijanjikan
mampu menciptakan stabilitas dan keamanan kawasan.
PENDAHULUAN
Balance of power merupakan ide politik dan strategi kebijakan relevan terhadap kondisi empiris
situasi politik internasional yang anarkis dalam beragam definisi dan pengertian berbeda
yang terus dikembangkan menjadi panduan kebijakan politik luar negeri baik oleh praktisi
hubungan internasional untuk memahami perilaku kolektif states maupun statesmen sebagai
strategi untuk menyusun perjanjian—agreement dalam usaha membela kepentingan nasional.
Secara khusus, ASEAN sebagai rezim regional menjadi ilustrasi adanya pengaruh faktor balance
of power pada perilaku anggotanya yang secara politik saling berseberangan tetapi masih
mempertahankan konsep sekuriti sebagai platform fundamental mendirikan kelompok kerjasama
maupun satuan organisasi regional yang dijanjikan mampu menciptakan stabilitas dan keamanan.
ASEAN bisa saja dianggap sebagai usaha regional yang menyediakan keamanan dengan cara
bergerak di antara conventional balance of power politics, yakni dengan menunjukkan maksud,
premis, objektif, dan model operasi. Selanjutnya operasi balance of power cenderung dipandang
dari sudut sebuah policy. Hal demikian menjadikan Balance of Power merupakan alat analisis
atau panduan terhadap kebijakan. Dalam uraian singkat di bawah ini pertama akan disinggung
pengertian balance of power dan sejarahnya. Kedua, dibahas pandangan realisme tentang
balance of power. Ketiga, kelemahan dan strategi yang ditawarkan kondisi balance of power dan
hubungannya dengan cooperative security dan the pursuit of power. Keempat, pembentukan
ASEAN dijelaskan melalui perspektif balance of power.
Definisi dan Sejarah Balance of Power
Pada beragam pengertian, balance of power merupakan konsep yang telah dipegang sepanjang
sejarah, praktisi, dan negarawan—statesmen; sehingga perilaku demikian membawa konsekuensi
pada tingkat beragam pengertian pada setiap orang berbeda. Walaupun demikian tidak terdapat
konsesus resmi definisi balance power secara tepat (Emmers, 2004. p.40-41), beragam
2
pandangan definisi tersebut terletak pada pemahaman pada berbagai istilah yakni sebagai suatu
simbol, situasi, kebijakan, dan sistem (Emmers, 2004. p.41 ). Pengertian yang demikian banyak
dan luas sebagaimana diutarakan oleh Inis Claude (1962: 13) disebabkan konsepnya yang mudah
dipahami serta banyaknya literatur antara lain sebagai berikut (Sheehan, 1996, p.1-2):
1. Masa klasik: distribusi power yang sama di antara Princes of Europe → memungkinkan
bagi salah satu dari mereka untuk mengganggu ketenangan yang lain (Anonymous,
Europe’s Catechism, 1741);
Pada Midieval Era di mana masing-masing kerajaan di Eropa berlomba untuk memperkuat diri;
semakin intensnya kompetisi tersebut, makin intens pula adanya ancaman yang memicu
kapabilitas ketenangan negara lain yang secara geografis berdekatan.
1. Aksi dari negara lain untuk menghambat negara tetangganya untuk menjadi lebih kuat
dan menjaga keseimbangan dan kesejajaran antarnegara tetangganya—terdekatnya
(Fenelon, 1835);
Balance of power sebagai reaksi yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas keamanan regional
antarnegara yang berdekatan.
1. Menjaga keseimbangan: yang lemah seharusnya tidak dihancurkan oleh negara yang
lebih kuat → merupakan prinsip yang membentuk kesatuan pada peta politik sejarah
Eropa Modern (Stubbs, 1886);
Balance of power sebagai kolektif reaksi untuk mencegah terbitnya satu kekuatan dominan yang
berpotensi mendesak yang lemah.
1. Suatu penyusunan hubungan sehingga tidak akan ada negara yang berada pada posisi
lebih kuat di atas negara-negara lainnya (Vattel, 1916);
Seperti halnya poin ketiga yang mana balance of power sebagai kolektif reaksi karena adanya
kesadaran bersama untuk menghindari munculnya negara yang terkuat di antara yang lainnya.
1. Balance of Power beroperasi melalui aliansi-aliansi yang tidak memberi peluang adanya
satu dominan power yang tumbuh lebih kuat sehingga berpotensi mengancam keamanan
yang lain (Palmer and Perkins, 1954);
Balance of power sebagai strategi untuk menciptakan stabilitator regional melalui keikutsertaan
dalam aliansi maupun kelompok kerjasama keamanan yang kolektif.
1. Balance of Power: merujuk pada hubungan aktual antarnegara dimana power terdistribusi
secara paralel pada semua negara (Morgentahu, 1978);
Balance of power merupakan strategi alternatif melakukan atau mempengaruhi distribusi power.
3
1. Balance of Power merujuk pada respon untuk melakukan ukuran (pemantauan dan
pengawasan) yang ekivalen secara individual maupun kolektif guna meningkatkan power
mereka (Claude, 1962);
Balance of power sebagai tool efektif untuk melakukan check and balance posisi dan pemetaan
power yang dimiliki masing-masing negara.
1. Balance of Power merupakan prinsip dasar guna merenggangkan power yang sanggup
mengintervensi pada satu sisi, dimana ada bahaya potensi meletusnya perang, untuk
menjamin bahwa yang kalah—lemah tidak tereliminasi dari sistem dan tidak terserap ke
dalam kolosus yang sedang berkembang (Quester, 1977).
Balance of power merupakan efektif tool untuk mendispersi power guna mengurangi potensi
konflik dan perang.
Dari berbagai pengertian di atas, tentunya menimbulkan permasalahan tentang bagaimana
menggunakan konsep dan istilah balance of power dalam hubungan dan politik internasional.
Salah satu permasalahan intelektual disebabkan oleh power sebagai suatu konsep dan istilah,
adalah interprestasi berbeda pada tiap orang yang berbeda pula. Beberapa diantaranya
mengasumsikan “power” tidak hanya mengandung arti kekuatan militer, tetapi juga mengandung
implikasi kekuatan politik dan ekonomi—oleh realis disebut tradisional power. Bagi yang
lainnya, power tidak hanya menyangkut aktivitas spesifik seperti tersebut di atas, tetapi juga
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku state lain (Sheehan, 2004, p.7.). Berikut penjelasan
lebih luas hubungan balance of power dalam perspektif realis.
Balance of Power dan Realisme
Balance of power menurut sudut pandang realis: memandang masyarakat internasional sebagai
aksi-reaksi yang tidak ekivalen—assymetris: power berhadapan dengan weakness. Basis dasar
asimetris antar-state tersebut dapat diseimbangkan, yakni dengan cara setiap state bertindak
saling mengawasi terhadap posisi masing-masing—check and balance.
Karena politik internasional yang anarkis berlawanan dengan keamanan dan stabilitas jangka
panjang, maka nation-states semestinya memotori terciptanya keseimbangan dalam sistem power,
sehingga dalam jangka absolut, keamanan, stabilitas, power, dan pengaruh dapat kemudian lebih
potensial ditingkatkan. Adalah tugas seorang negarawan—statesmen untuk mendemonstrasikan
dan memprioritaskan kepentingan masing-masing berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi
dengan membuat kebijakan dan penyesuaian berdasarkan tujuan menciptakan stabilitas yang
kondusif. Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa balance of power dan politik luar
negeri yang diciptakan untuk diraih dan dipelihara bukanlah hal yang tidak mungkin, lebih dari
itu, merupakan mekanisme penting untuk menstabilkan komunitas internasional (Sheehan, 1996,
p.8.).
Berkaitan erat dengan power, di dalam balance of power terdapat konsep national interest dan
objectives antara lain tujuan fundamentalnya adalah menolak adanya hegemoni secara regional
maupun global, yang pada intinya untuk mencegah terbitnya hegemoni dengan mengijinkan
4
semua state untuk memelihara identitas, kesatuan, dan independensinya, hingga pada level
optimal mencegah potensi agresi perang, dan lain sebagainya. Teori balance of power maka dari
itu erat kaitannya dan kedudukannya selaras dengan pandangan tradisional realis mengenai
hubungan internasional.secara tidak langsung dimaksudkan untuk menyediakan kondisi
internasional yang stabil dan damai (Emmers, 2004, p.42), sekaligus sebagai faktor penstabil
dalam masyarakat negara-negara yang berdaulat (Morgenthau, 1955. p.185
) Dari pengertian di atas, intinya teori balance of power sebenarnya merupakan konsep penting
dalam menciptakan dan memelihara stabilitas komunitas internasional.
Balance of power dan the pursuit of power
Konsep dan ukuran suatu power bersama dengan kemampuan negara menerjemahkan power
tersebut ke dalam defined national goal, merupakan karakter fundamental pemikiran realis.
Sebagian besar realis beranggapan bahwa hal tersebut merupakan kepentingan state untuk
mendapatkan power semaksimal mungkin dan guna mendapatkannya, harus mempertahankan
dan memelihara power itu. States akan mempunyai tujuan kebijakan tertentu, beberapa di
antaranya berkonflik dengan kebijakan negara-negara lain. Selama selalu ada kekhawatiran dan
kecemasan pada setiap negara di mana posisinya terancam dengan kekuatan yang lain, maka
balance of power menjadi makin relevan sebagai usaha state untuk kemudian berusaha
berhadapan dengan kekuatan yang sejajar. Artinya, dalam balance of power, state akan terus
menerus secara praktikal membuat powernya sejajar dengan tandingannya—the pursuit of power.
Salah satunya, adalah untuk menjaga eksistensinya, setiap negara akan mengandalkan diplomasi
yang didukung oleh kekuatan militer utamanya bagi diri sendiri, jika dibutuhkan dilengkapi oleh
aliansi-aliansi (Emmers, 2004, p.45). Sebagaimana setiap state pasti berusaha untuk paralel
dengan usaha rival, dengan demikian balance of power akan muncul sebagai stabilitator sistem,
dimana power mesti berhadapan dengan power yang setara—matching power.
Dalam menciptakan kondisi internasional yang stabil, balance of power menawarkan strategi
diplomasi yang mencakup empat karakterisktik (Emmers, 2004. p.48.) yaitu collective security,
comprehensive security, cooperative security dan common security. Dalam pembahasan di
bawah ini, akan dibicarakan mengenai alternatif diplomasi yakni cooperative security sebagai
pendekatan guna menjelaskan perilaku negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam internal
rezim ASEAN dalam usaha meningkatkan stabilitas regional dan menolak timbulnya hegemoni,
utamanya berkaitan dengan the potential rising hegemoni, Indonesia saat itu.
Balance of Power dan Cooperative Security
Asumsi realis yang berkaitan dengan konsep sovereignty dan anarki membuat realis berdebat
bahwa tidak ada otoritas superior yang memerintah di atas kedaulatan–sovereignty, kemudian
states yang berdaulat secara independen harus berjuang untuk mengamankan interest masingmasing. Sebagaimana Nicholas Spykman berpendapat bahwa tujuan objektif dari kebijakan luar
negeri suatu negara adalah untuk mengamankan integritas-kesatuan teritorial dan independensi
politik masing-masing. Dari penjelasan tersebut di atas konsep kooperatif sekuriti—cooperative
5
security menjadi hal penting dan dalam hal ini balance of power dijelaskan dengan sudut
pandang kebijakan: balance of power as a policy (Sheehan, 1996. p.53).
Di samping itu, pandangan realis tentang kondisi politik internasional dan balance of power
sebenarnya telah menjadi prediksi beberapa penulis seiring dengan paradigma keamanan politik
yang kemudian berkembang menjadi security dilemma. Security dilemma memandang setiap
negara secara signifikan berkompetisi, berkonflik, dan berselisih menyangkut isu tentang
keamanan nasional. Implikasinya adalah bahwa state kemudian harus melakukan segala cara
yang dibutuhkan untuk bertahan dalam lingkungan anarkis dan ancaman. Menjadikan nature of
the system menjadi arena untuk menentukan keputusan—in decision making process, memaksa
mereka untuk berperan dalam balance of power game supaya berhasil bertahan—survive.
Karakteristik yang demikian merupakan penjelasan sentral mengenai lanjutan balance of power
oleh structural atau neo-realis seperti Kenneth Waltz (1979:118).
Secara rasional maupun irrasional, kondisi internasional yang demikian menjadikan state
cenderung saling curiga satu sama lain yang mana sekutu terdekat bisa menjadi ancaman laten
sebagaimana ancaman visibel dari musuh yang sebenarnya. Secara berbeda, Morgenthau
mengungkapkan bahwa teori balance of power hanya menawarkan solusi parsial bagi
permasalahan anarkis dan perubahan dalam sistem internasional. Perilaku state yang demikian
berdasarkan pandangannya karena state mesti mengikuti supreriority of power sebagaimana
dikutip di bawah ini:
“states involved in the international anarchy must in practice seek, not ‘a balance or equality of
power, but a superiority of power on their own behalf’” (Morgenthau, 1949: 155)
Kelemahan konsep dan teori balance of power secara praktikal antara lain balance of power sulit
untuk dicapai karena state selalu cenderung untuk menjamin secara individual melawan segala
kekuatan yang mengancam dari lawan mereka, dengan cara memperoleh margin safety—
kapasitas maksimal menyaingi atau kapasitas minimal guna mengantisipasi ancaman dari pihak
yang berlawanan (Kissinger, 1994. p.21.).
Konsep balance of power menurut Morgenthau: balance of power menciptakan precarious
stability dalam hubungan antarnegara, suatu yang esensial untuk dikembangkan secara konstan.
Kata “balance” secara khusus mempunyai implikasi “suatu finished produk.” Realitas hubungan
internasional, bagaimanapun juga merupakan kombinasi dari pergerakan dan perubahan, bukan
statis, dimana pergerakan dan perubahan tersebut merupakan fitur karakteristik utama dari suatu
politik internasional. Kekuatan tidak pernah bisa diseimbangkan, disesuaikan maupun
dimanipulasi sebagai suatu respon dari aliran power di dalam suatu sistem. Dalam hal ini,
balance of power bukan menjadi desain tandingan bagi perubahan yang damai, melainkan
influence guna menstabilkan segala perkembangan selama stabilitas itu berlangsung.
Balance of Power in Cooperative Security Regimes: the founding moment of
ASEAN
Teori Balance of Power sebagian besar muncul secara eksklusif dari pemikir Realis yang
meyakini bahwa Balance of Power bersandar pada kapabilitas dan kuantitas power suatu negara,
6
dimana power diasumsikan sebagai akumulasi variabel (komponen-komponen politik, ekonomi,
militer)—disertai intangible dan tangible factors sebagaimana kombinasi hard power & soft
power.
Artikel Ralf Emmers berjudul “Balance of power within and beyond cooperative security
regime: ASEAN & ARF” menafsirkan konsep Balance of Power dalam konteks politik regional
berkaitan dengan momen berdirinya ASEAN sebagai organisasi regional yang memegang nilai
cooperative security (Emmers, 2004. p.54)
Awal berdirinya ASEAN semula sebagai konter positif terhadap berkembangnya the rising star
saat itu, yakni Indonesia. Saat itu Indonesia menjadi ancaman regional yang disegani oleh negara
tetangga di sekitarnya sebab baru merdeka lengkap dengan perangkap susunan politik dan
pengalaman signifikan dalam proses mempertahankan kemerdekaan dari jajahan Eropa serta
barier terhadap perkembangan negara Barat utamanya dalam pengaruh Amerika. Hal ini sesuai
dengan tulisan Emmers:
“Governments enter alliances so as to enhance their power positions and to react to rising
hegemonies in the international system.” (Emmers, 2004: 46)
Hal ini kemudian menjelaskan perilaku negara-negara kawasan di sekitar Indonesia untuk
kemudian bergabung dengan aliansi militer—collective security, sepertihalnya Thailand dan
Philipina yang tergabung dalam SEATO (South East Asia Treaty Organization) yang dipegang
oleh Liberal-kapitalis Amerika. Serta kecenderungan Malaysia dan Singapura bersama dengan
Selandia Baru dan Australia, ikut serta Five Power Defence Arrangements (Emmers, 2004. p.59).
Sedangkan Indonesia, bersikap berseberangan dengan bergabung dengan Poros Jakarta-Peking
dan Nefo—New Emerging Forces yang dimotori oleh China dan komunisme Uni Soviet. Dua
kekuatan yang pada Perang dingin saling berhadapan dan bertentangan.
Relevansi dari politik balance of power adalah kerjasama keamanan yang diciptakan oleh
Malaysia dan Singapura, bernama ASEAN. Kala itu Indonesia adalah sebuah hegemon alami di
Asia Tenggara karena skala dan populasinya (baik dalam kekuatan militernya dalam mencapai
kemerdekaan, kondisi geografis, populasi yang besar, posisi yang strategis, dan sumber daya
alamnya yang melimpah). Kepemimpinan baru di Jakarta menyadarkan adanya ketidakpercayaan
yang dikukuhkan di pusat ASEAN lainnya dalam menanggulangi posisi Indonesia di Asia
Tenggara. Kemudian muncullah kesadaran bagi indonesia bahwasanya ASEAN dapat bekerja
sebagai faktor pemaksa dalam menjalankan politik luar negeri dan secara alami Indonesia pun
menjadi pemimpin dalam asosiasi tersebut.
Selanjutnya, ASEAN sebagai jembatan sekaligus barier regional terhadap ancaman meluasnya
ideologi dan pemahaman politik karena pengaruh komunisme di Indochina dan Uni Soviet yang
berimplikasi konflik politis baik secara internal dan eksternal, hal tersebut adalah konsekuensi
terhadap iklim politik antara komunisme Uni Soviet dan liberalisme Amerika.
Keadaan yang demikian menjadi justifikasi pernyataan balance of power yang berasumsi bahwa
posisi state berangsur-angsur dapat menjadi ancaman bagi eksistensi state yang lain (Sheehan,
7
1996. p.53). Untuk menghindari perang pecah dan instabilitas keamanan regional sekaligus
menjamin pemeliharaan sistem state yang ekivalen sebagai upaya preventif terhadap hegemoni,
maka suatu balancing menjadi mutlak diperlukan dalam beragam diplomasi bilateral dan
regional, utamanya dalam ASEAN. Salah satu strategi balancing yang digunakan ASEAN yakni
cooperative security yang melibatkan aksi diplomasi melalui dialog dan forum regional—
misalnya ASEAN Regional Forum, yang di dalamnya membahas berbagai permasalahan sosial
dan ekonomi utamanya.
Sayangnya strategi cooperative security yang demikian memiliki kelemahan. Sebagaimana yang
diungkapkan terdahulu oleh Morgenthau dimana strategi balance of power menawarkan solusi
parsial semata dan mengandung ketidakpastian dan kurang efektif sebagaimana dikutip:
“Morgenthau refers to its main weaknesses as being ‘its uncertainy, its unreality, and its
inadequacy’” (Emmers, 2004: 47).
Sedangkan pemikir lain, seperti Emmers mengutarakan cooperative security tidak memberikan
aksi secara langsung dan tepat sasaran, disebabkan pertemuan dan diskusi melalui forum yang
terjadi hanya angin semata dan tidak lebih dari ucapan bibir dari diplomasi politik guna
merenggangkan tensi dan ketegangan akibat konflik regional karena salah paham maupun saling
curiga (Wright, 1942. p.445).
“…cooperative security, unlike collective security, lacks of the vehicle of economic or military
sanctions…cooperative security focuses on confidence building and a reventive dimension, albeit
not through problem solving.” (Emmers, 2004: 50)
Dengan demikian strategi cooperative security yang semula dimaksudkan untuk sebagai
kendaraan sosial dan ekonomi menjadi irrelevan karena lemah terhadap pemberian sangsi militer
dan embargo ekonomi yang jelas. Hal tersebut menjadi kelemahan ASEAN yang cenderung
tidak tegas, tidak jelas, dan menjadi tidak netral terhadap berbagai konflik regional. Sebagaimana
konflik yang terjadi antara Kualalumpur-Jakarta mengenai batas teritorial dan perairan terhadap
permasalahan Pulau Sipagan-Ligitan-Ambalat.
SIMPULAN
Balance of power menjadi ide politis sekaligus strategi kebijakan dalam menyediakan alternatifalternatif yang bertujuan menangkal peluang adanya kekuatan dominan / hegemon yang
berpotensi mendesak dan mengancam eksistensi negara-negara yang secara geografis berdekatan
dan bertetangga. Balance of power merupakan panduan perumusan kebijakan politik luar negeri
dan penyusunan perjanjian—agreement dalam kerangka analisis untuk memprediksi perilaku
negara-negara khususnya yang sekawasan dalam melakukan check and balance posisi dan
kekuatan negara satu dengan yang lain. Konsep Balance of Power dapat menjelaskan pendirian
ASEAN, sebagai rezim keamanan dalam usaha menjamin kestabilan kawasan terhadap ancaman
luar dan posisi kuat negara lain, dengan cara menggunakan nilai-nilai balance of power yang
berkaitan dengan keamanan, yakni cooperative (ASEAN), collective (keikutsertaan negara
anggota ASEAN yang lain dalam Nefos, Poros Jakarta-Peking, SEATO dan Five Power Defence
Arrengements) dan comprehensive security (memperluas area kerjasama dalam bidang sosial dan
8
ekonomi. Cooperative security rezim keamanan ASEAN meliputi kewajiban untuk menjaga
kestabilan keamanan masing-masing negara; sementara collective security rezim keamanan
merupakan usaha secara kolektif menjaga kestabilan keamanan kawasan dengan
mengembangkan kepercayaan sebagaimana mengikuti PBB dan organisasi keamanan
internasiaonal—SEATO.
OPINI
Akhirnya, konsep Balance of Power ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan dengan
mengedepankan aspek menentang hegemoni dan membatasi ruang geraknya supaya tidak
mendesak negara lain yang lebih lemah maupun secara signifikan-insignifikan terancam, bukan
lagi untuk menciptakan distribusi power secara paralel antarnegara sebagaimana pengertian
tentang Balance of Power sebelumnya. Alur yang demikian sesuai dengan pemikiran realis di
mana balance of power menjadi strategi keamanan yang secara inheren efektif untuk
menciptakan stabilitas keamanan yang toleran dan favor bagi negara-negara yang berkonflik.
Selain itu, balance of power berhasil menawarkan alternatif bagi strategi politik luar negeri yang
efektif walaupun sebenarnya cenderung tidak adequate. Sementara itu, ASEAN hanya menjadi
wadah dan tool untuk menjangkar dan membatasi ruang gerak Indonesia yang saat itu sangat
potensial menjadi hegemoni di Asia tenggara dikarenakan potensi kekayaan alam, populasi dan
iklim politis kharismatik Soekarno saat itu sehingga yang demikian membuat posisi Indonesia
dalam catur politik internasional, utamanya regional, menjadi ancaman bagi tumbuh
kembangnya iklim politik bilateral dan regional negara tetangga. Oleh karena itu, di Asia
Tenggara balance of power melahirkan upaya preventif yang sukses dalam menghambat
terbitnya hegemoni sebagaimana tujuan fundamental awal teori balance of power, meskipun di
sisi lain tidak diimbangi dengan kekuatan untuk menjalankan sangsi ekivalen terhadap negara
satu sama lain dan kurangnya check and balance yang ideal.
9
DAFTAR PUSTAKA
Emmers, Ralf. 2004. Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and The ARF. New
York: Routledge Publishing. p. 10-39, 40-60.
Fortman, Michel and T.V. Paul, James J. Wirtz. 2004. Balance of Power: Theory and Practive in
the 21st Century. California : Stanford University Press. p. 1, 3, 217, 267, 338
Gilpin, R. 1981 War and Change in World Politics. Cambridge University Press, Cambridge.
Jones, David Martin dan M.L.R. Smith. 2006. ASEAN and East Asian International Relations:
Regional Delusion. Cornwall : MPG Books.
Kaufman, Stuart J, Richard Little, and William C. Wohlforth. 2007. The Balance of Power in
World History. New York : Palgrave Macmillan. p. 1-20.
Morgenthau, Hans J. 1949. Politics among Nations.
Sheehan, Michael. 1996. The Balance of Power: History and Theory. New York : Routledge
Publishing. p. 1-23, 53-96.
Download