Studi Pendahuluan Resistensi Udang Windu Penaeus monodon

advertisement
Aquacultura Indonesiana (2004) 5(1): 109–114
ISSN 0216–0749
Studi Pendahuluan Resistensi Udang Windu Penaeus monodon Terhadap
Whitespot Baculovirus
Hari Suprapto1 dan Muhammad Murjani2
1
PS Perikanan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga
Jl. Mulyorejo Kampus C Surabaya 60115, T/F (031)-599-2785/599-3015
2
Balai Budidaya Air Payau Situbondo
Jl. Pecaron Situbondo
Abstract
Hari Suprapto and Muhammad Murjani. 2004. A Prilimanary study of the black tiger shrimp (Penaeus
monodon) resistance on whitespot baculovirus (WSBV). Aquacultura Indonesiana, 5(3): 109–114. The WSBV
disease caused the decreased shrimp production. The aim of the experiment was to produce the resistant shrimp
against WSBV infection with selective breeding. The normal size of nucleocapsid between 78–90 nm (diameter) and
330–350 nm (length) and founded in the hypertrophied of nucleus and cytoplasm. The protein number of virus for
the artificial infection is W1 (0.234 mg/mL), W2 (0.117 mg/mL), W3 (0.029 mg/mL) and W4 (0.058 mg/mL).
The doses for the artificial infection are 0.029 mg/mL proteins, caused the cumulative mortality 63% and the
SR is 33%. The high mortality occurred in male than in female in the molting shrimp. On WSBV infection caused the
higher production of proPO compared to control shrimp. Production of proPO similar to reactive oxygen species in
which in the fourth weeks relatively higher compared to control shrimp. The higher of proPO production due to
WSBV infection in shrimp, as a proved the shrimp still live till to date. The stimulation of shrimp against WSBV can
increased the production of reactive oxygen species from hemocyte. The results are constant almost 1 month after
infection. Tentatively conclusion is shrimp have raised the resistance against WSBV because the survival rate of
infected shrimp reaches 33 percent.
Keywords: Penaeus monodon; Resistence; WSBV
Abstrak
Penyakit WSBV menyebabkan menurunnya produksi udang. Tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan
resistensi udang terhadap serangan infeksi WSBV melalui seleksi breeding. Ukuran normal virionnya antara 78–90
nm (diameter) dan 330–350 nm ( panjang) dan ditemukan pada pembengkakan inti sel dan sitoplasma. Jumlah protein
dari sediaan virus yang digunakan adalah W1 (0,234 mg/mL), W2 (0,117 mg/mL), W3 (0,029 mg/mL) dan W4 (0,058
mg/mL).
Dosis untuk infeksi 0,029 mg/mL protein menyebabkan kematian kumulatif 63% dan SR 33%. Kematian
banyak terjadi pada jantan dibanding betina pada masa udang molting. Infeksi WSBV menyebabkan produksi
proPO lebih tinggi dibandingkan udang kontrol. Produksi proPO mirip dengan reactive oxygen species di mana
sampai 4 minggu relatif lebih tinggi dibandingkan udang kontrol. Produksi proPO yang tinggi berkaitan dengan
infeksi WSBV pada udang, akan tetapi udang yang terinfeksi WSBV masih hidup hingga saat ini. Stimulasi atau
infeksi udang windu dengan WSBV dapat meningkatkan produksi reactive oxygen species dari hemocyte. Hasilnya
konstan selama hampir 1 bulan setelah infeksi. Kesimpulan sementara adalah resistensi udang yang terkena serangan
WSBV menyebabkan kelulushidupan udang terinfeksi mencapai 33%.
Kata kunci: Penaeus monodon; Resistensi; WSBV
Pendahuluan
White Spot Baculovirus (WSBV) adalah
penyakit yang sangat mematikan bagi udang dan
kematian mutlak terjadi pada 3–6 hari sesudah
infeksi. WSBV menyerang cr ustacea yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi (Flegel et al., 1992;
Lightner, 1994; Takahashi et al., 1994; Chou
et al. 1995). Chen (1992), melaporkan udang
Penaeus chinensis yang terinfeksi di China dengan
mortality rate 5%. Sedangkan Chou et al. (1995)
melaporkan White spot disease di Taiwan
disebabkan oleh baculovirus. Pada tahun 1993,
kematian massal pada kuruma shrimp Penaeus
japonicus juga terjadi di Jepang.Virusnya
yang menyebabkan penyakit
berbentuk
bacilliform
 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2005
109
Aquacultura Indonesiana, Vol. 5, No. 3, Desember 2004 : 109–114
(Takahashi et al., 1994), dan dinamai PRDV
(Penaeid Rod-shaped DNA Virus). Virion berukuran
diameter of 87+7 nm dan 330+20 nm in panjang
(Chou et al., 1995). WSBV juga menyebabkan
kematian udang windu di Indonesia dan diduga
merupakan salah satu penyebab menurunnya
budidaya udang. Ukuran virionnya adalah 78–90 nm
(diameter) and 330–350 nm (panjang) (Suprapto,
2003). Pada udang yang terinfeksi akan menyisakan
sekitar 5–10% yang hidup, dan ini merupakan
fenomena yang sangat menarik, sehingga penelitian
ini dilakukan berdasarkan fenomena di atas untuk
mengetahui mengapa udang bisa resisten terhadap
infeksi WSBV.
Materi dan Metode
Isolasi Virus
campuran tersebut ditutup dengan satu tetes mineral
oil.
Primer yang digunakan yaitu:
F002 GATGAGACAGCCCAAG TTGTTAAAC
R002 CGAAATTCCATCACTGTAATTGCTTG
Sedangkan kontrolnya yaitu:
β–Actin– FCCCAGAGCAAGAGAGGTA
Actin–R3 GCGTATCCTTCGTAGATGGGC
Amplifikasi dilakukan dalam DNA thermal
cycles 95ºC selama 5 min dan kemudian 50 cycles
(95ºC selama 30 detik, 55ºC selama 30 detik dan
72ºC selama 1 menit) dan akhirnya 5 menit
perpanjangan pada suhu 72ºC sesudah 50 cycles.
Hasilnya akan dianalisis pada 1,5% agarose gel
yang mengandung ethidium bromide 0,5 µg/mL.
Infeksi Terhadap Udang dan Pemilihan yang
Resisten
Udang yang terinfeksi WSBV diambil
hepatopancreas (HP) dan saluran pencernaannya
(SP) ditimbang dan digerus dengan mortar.
Kemudian ditambahkan L–15 yang mengandung
Fetal bovine serum (FBS) dengan rasio 9:1,
dipusingkan pada 2,000 g selama 10 min dan
supernatant difiltrasi dengan 0,20 µm. Sediaan virus
disimpan pada suhu –80ºC sampai digunakan untuk
penelitian. Sediaan virus ini tahan disimpan sampai
beberapa tahun pada suhu –80ºC karena pada suhu
penyimpanan tersebut virus masih sangat ganas jika
diinfeksikan pada udang. Pengukuran konsentrasi
homogenat WSBV dilakukan dengan metode
Lowrie (1985).
Jumlah virus yang akan disuntikkan ke
udang harus di atas LD50 atau dalam lethal doses,
sehingga diharapkan hampir semua mati dan kontrol
tidak diberi virus. Sedangkan untuk udang yang
selamat akan dipelihara dan dibuat induk untuk
mendapatkan telur dan ditetaskan lagi. Uji tantang
tersebut diulangi lagi terhadap anak udang yang kita
sebut dengan Generasi Pertama (F1). Anak udang
tersebut dibesarkan kemudian dilakukan lagi uji
tantang dan yang selamat akan dipelihara untuk
dijadikan induk dan anaknya menjadi generasi kedua
(F2) dan proses tersebut dilakukan berulang.
Ekstraksi WSBV DNA dari udang
Hemolymph untuk mengetahui produksi
Reactive oxygen species (ROS) dan aktifitasi
prophenoloxidase (proPO) diambil dari segmen
ke enam udang dengan 26 gauge needle pada 2
mL syringe yang mengandung 0,2 mL
anticoagulant (0,01 M Tris–HCl; 0,25 M Sucrose;
0,1 M Sodium citrate; pH 7,6). Hemolymph yang
diisolasi kemudian disaring pada 300 x g selama 10
min pada suhu 4ºC dan supernatant yang dihasilkan
dibuang, pellet yang didapatkan diencerkan pada L–
15. Hemocyte lysate supernatant (HLS)
dipersiapkan menurut metode Sung et al. (1994),
dan hemocyte lysed dilakukan dengan sonifikasi.
Usus udang diambil dan dicacah kemudian
dihomogenisasi dalam lysis buffer (50 mM Tris–
HCl, 10 mM NaCl, 2% SDS, 10 mM EDTA,
proteinase K 100 µg/mL) selama 3 at 56ÚC). DNA
diekstraksi 1 jam dengan menggunakan phenol
seperti yang diuraikan oleh Sambrook et al. (1989).
DNA dari udang dipakai sebagai template untuk
amplifikasi PCR.
Amplifikasi PCR
Amplifikasi PCR dilakukan dalam 50µl
campuran reaksi yang mengandung 10mM Tris–HCl
(pH 8.0), 50 mM KCl, 1.5 mM MgCl2, 0.1% Triton
X–100, 0.2 mM tiap dNTP, 100 pmolof, 1 unit Taq
DNA polymerase dan 50–100 ng DNA templates,
Isolasi Hemolymph
Produksi Reactive Oxygen Species
Produksi reactive oxygen species diukur
dengan metode nitroblue tetrazolium (NBT) (Song
dan Hiseh, 1994), dengan cara 100 ¼L dari suspensi
 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2005
110
Studi pendahuluan resistensi udang windu Penaeus monodon (Hari Suprapto dan M. Murjani)
Tabel 1. Deteksi WSBV dari udang windu P. monodon
dengan PCR dan TEM yang diinfeksi dengan
WSBV secara buatan.
hemocyte pada L–15 kemudian dipindahkan pada
96 sumuran dan kemudian dilakukan inkubasi selama
30 min pada suhu 37°C. Sesudah inkubasi, NBT
dibuang dan 100 ¼L metanol ditambahkan pada
setiap sumuran. Metanol kemudian diambil dan
sumuran dicuci sebanyak 3 kali dengan 70%
metanol, sesudah kering dilapisi dengan larutan 120
¼L KOH (2M) dan 140 ¼L DMSO untuk
melarutkan cytoplasmic formazan. Optical
density diukur pada 630 nm menggunakan
microplate reader.
Jenis infeksi
PCR
Monodon
Monodon
Monodon
Buatan
Alami
Kontrol
+
+
-
TEM
+
+
-
sitoplasma (Tabel 1). Percobaan penularan virus
WSBV menyebabkan kematian pada P. vannamei,
Penaeus merguiensis dan P. monodon. Partikel
virus berbentuk single atau multiple sperical
inclusion
bodies
yang
menyebabkan
pembengkakan inti sel. Kelulushidupan virus pada
air tambak belum diketahui dengan pasti, tetapi
SEMBV dapat hidup pada air laut selama 5 hari
dengan suhu 28°C, tetapi hasil isolasi virus yang
dsimpan pada suhu –80°C tetap virulen seperti
sediakala. Untuk mengetahui jumlah dosis virus
yang tepat yang digunakan untuk infeksi udang
windu, sediaan virus diukur jumlah proteinnya
(Lowry et al., 1985). Cara ini digunakan untuk
menggantikan TCID 50 yang biasa digunakan untuk
menghitung dosis infeksi virus, untuk penghitungan
dosis infeksi ini kesulitan karena sampai saat ini tidak
ada kultur sel krustasea.
Penggunaan dosis semakin besar (W1)
mortalitas udang windu semakin tinggi (Gambar 1),
begitu berurutan sampai dengan jumlah yang terkecil
(W3). Infeksi yang dilakukan pada udang putih P.
vannamei dengan mortalitas untuk kedua dosis W1
dan W2 mencapai 100%. Dari hasil tersebut dosis
infeksi yang digunakan adalah W3 dengan jumlah
0,029 mg/mL protein, dengan dosis
Aktifitas Prophenoloxidase
Aktifitas prophenoloxidase diukur dengan
menggunakan metode Sung et al. (1994). Sebanyak
50 ¼L HLS dipindah ke dalam 96 sumuran microtitre
plate dan ditambah 100 ¼L L – DOPA (3 – 4
Dihydroxyphenil L–alanine, 1,6 mg/ml pada L–15).
Sesudah 10 min OD diukur pada panjang
gelombang 490 nm menggunakan microplate
reader. Kandungan protein kemudian diukur dengan
metode reaksi Folin (Lowry et al., 1985). Satu unit
aktifitas enzim adalah penambahan absorbance
sebanyak 0,001/min/ng protein.
Hasil dan Pembahasan
Udang windu yang diinfeksi secara buatan
tidak menunjukkan adanya bintik putih seperti pada
udang yang terinfeksi secara alami. Pada infeksi
buatan dengan dosis infeksi virus yang tinggi deposit
kalsium tidak sempat terbentuk pada cuticular
epidermis karena udang terlalu cepat mati. Virion
diketemukan pada pembengkakan inti sel dan di
Kandungan Protein
(mg/mL)
Jenis sampel
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
W1
W2
W3
W4
Dosi s W S BV
Gambar 1. Jumlah protein dari sediaan virus yang digunakan untuk infeksi WSBV pada udang windu. Jumlah dosis
tersebut adalah W1 (0,234), W2 (0,117), W3 (0,029) dan W4 (0,058).
 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2005
111
Aquacultura Indonesiana, Vol. 5, No. 3, Desember 2004 : 109–114
tersebut sampai bulan ke lima jumlah kematian
kumulatif adalah 67% dan SR adalah 33% (Tabel
2). Jumlah jantan yang mati jauh lebih banyak
dibandingkan dengan betina mencapai 35 ekor, pada
umumnya kematian terjadi pada saat molting.
Tabel 2. Udang windu P. monodon yang hidup (SR)
sesudah diinfeksi dengan WSBV, keseluruhan
udang yang diifeksi adalah 50 pasang udang
windu
Dosis yang
digunakan
0,029 ng/mL
Kontrol
Kelulushidupan
(%)
37
100
Lama kematian
(hari)
150
0
Udang yang telah diinfeksi dengan WSBV
terdeteksi virusnya dengan terekspresinya pita pada
hasil PCR,Infeksi dilakukan dengan cara
penyuntikan intramuscular dengan dosis 0,029 mg
per ekor udang (Gambar 2). Proses metabolisme
kalsium tersebut jika terganggu akan menyebabkan
timbulnya bintik putih pada karapaks udang bagian
dalam. Sedangkan kontrol dengan actin–R3 sebagai
kontrol juga muncul dengan band tersendiri. Aktin
sangat berperan pada proses metabolisme kalsium
untuk pembentukan karapaks udang sehingga udang
yang terinfeksi aktin tersebut tidak terekspresikan
pada band kontrol. Udang yang hidup sekarang ini
(F1) sudah terkontaminasi dengan WSBV, dan
kualitas air serta faktor pertumbuhan dijaga
seoptimal mungkin agar udang bisa hidup terus.
Udang yang hidup sesudah terinfeksi oleh WSBV
kemudian diisolasi hemocyte untuk dilakukan
beberapa uji resistensi terhadap virus. Semestinya
jika resisten respiratory burst activity akan
meningkat karena jumlah atau produksi beberapa
killing subctance akan meningkat.
WSBV
Gambar 2. Deteksi WSBV dengan PCR dari P. monodon
Adanya reactive oxygen species dapat diuji
dengan uji NBT telah lama dipakai oleh beberapa
peneliti untuk mengukur immunostimulasi pada
udang. Sung et al. (1996) mencatat bahwa produksi
reactive oxygen (O2 ) yang mendapat perlakuan
dengan pencelupan Vibrio bacterin dan glucan
menjadi meningkat. Tetapi turun ke keadaan semula
setelah 12 jam.
Perbedaan konsentrasi immunostimulan akan
mempengaruhi respon imun dari udang dan yang
tertinggi mencapai 72 jam sesudah perlakuan.
Kesimpulan sederhana adalah stimulasi atau infeksi
udang windu dengan WSBV dapat meningkatkan
produksi reactive oxygen species dari hemocyte
(Tabel 3). Hasil diatas terlihat konstan selama
hampir 1 bulan, untuk sementara hanya akan
diperiksa sampai 1 bulan, karena keterbatasan
jumlah sampel udang.
Tabel 3. Produksi reactive oxygen species dari hemocyte
udang sesudah infeksi dengan WSBV dan
kontrol (tanpa perlakuan)
Perlakuan
OD630 sesudah perlakuan
7d
Infeksi WSBV 2.1
Kontrol
0.1
14 d
21 d
28 d
2.3
2.2
2.1
0.1
0.2
0.1
Pro–phenol oxidase (proPO) merupakan
sistem yang penting di dalam sistem pertahanan diri
krustasea (Soderhall and Cerenius, 1992). Aktifasi
proPO system (diukur dengan aktifitas prophenol
oksidase) telah banyak dipakai oleh beberapa
peneliti untuk mengukur sistem imun dari udang
(Sung et al., 1994; 1996). Infeksi dengan WSBV
akan membuat produksi proPO menjadi lebih tinggi
jika dibandingkan dengan kontrol yang tanpa
stimulasi apapun. Pola produksi proPO mirip dengan
reactive oxygen species di mana sampai minggu
keempat masih agak tinggi dibandingkan dengan
kontrol udang. Tingginya proPO kemungkinan
karena adanya infeksi WSBV dalam tubuh udang
windu, tetapi alasan ini masih harus dibuktikan lebih
lanjut, tetapi yang terpenting adalah bahwa udang
yang diinfeksi dengan WSBV masih bisa hidup
sampai saat ini. Pada Tabel 4 menunjukkan produksi
proPO dari udang windu yang terinfeksi oleh
WSBV. Infeksi dengan WSBV membuat produksi
proPO tinggi selama hampir 1 bulan sesudah infeksi
pertama. Apakah ini disebabkan oleh adanya
WSBV pada tubuh udang
 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2005
112
Studi pendahuluan resistensi udang windu Penaeus monodon (Hari Suprapto dan M. Murjani)
windu, tentunya masih harus diketahui dengan
pasti, misalnya –glucan mempunyai peran penting
didalam pengaktifan proPO system pada arthropoda
(Soderhall, 1982; 1992; 1990; 1998)  –glucan
binding protein (BGBP) melakukan penguatan
untuk aktifasi.
Tabel 4. Produksi proPO dari hemocyte udang windu
sesudah infeksi dengan WSBV dan kontrol
(tanpa perlakuan)
Perlakuan
Phenol oxidase activity
(/min/ng protein)
7d
Infeksi WSBV
Kontrol
31.10
3.00
14 d
21 d
28 d
33.05
32.22 32.20
4.10
3.20
4.10
Pada udang yang sama seperti pada krustase
lain, melanisasi disebabkan oleh reaksi
prophenoloxidase (ProPO) yang menyebabkan
hydroksilasi phenol dan oksidasi dari o–phenol
mejadi quinons, sebagai respon dari invasi material
asing ke dalam tubuh udang selama proses
penyembuhan (Soderhall et al., 1994). Quinons ini
kemudian ditranformasikan menjadi melanin oleh
reaksi non enzymatic. Walaupun aktifitas mikroba
terhadap melanin secara langsung telah banyak
dibahas, tetapi produksi recative oxygen species
misalnya superoxide anginons dan gugus hydroxyl
radicals selama proses quinons generasi juga amat
penting sebagai antimikrobial (Song and Hsieh,
1994). ProPO pada krustase terletak pada granule
hemocytic sebagai pro–enzyme inaktif yang biasa
disebut dengan proPO yang diketahui ikut di dalam
serangkaian reaksi yang dikenal dengan proPO
activating system. Sistem ini secara khusus dapat
diaktifkan dengan –1, 3–glucan (Vargas Albores,
1995), sehingga proPO krustase diakui sebagai
sistem pertahanan diri.
Pada udang ada 2 macam protein yang
terlibat untuk mengenali produk mikroba dan seluler
aktifasinya telah dijelaskan (Vargas Albores, 1995).
Grup yang pertama adalah multivalanet sugar
binding agglutinins juga dinamakan agglutininins
atau lektin. Grup kedua terdiri dari melekul
monovalen dan tidak mengakibatkan agglutinasi
walaupun mampu mengikat residu gula. Aktifitas
agglutinasi telah dideteksi pada plasma P. monodon
(Ratapao and Chulavatnatol, 1990). P. monodon
plasma adalah sebuah molekul glycoprotein dengan
berat 420 kDa dan lektin ini dinamakan monodin
dapat beraksi dengan NANA (N – acethyl
neuraminic acid) dan N–acethyl amino sugars
(GalNAc, GlcNAc dan ManNAc) yang diketahui
dengan studi inhibisi. Monodin diketahui dapat
menyebabkan aglutinasi pada Vibrio vulnificus,
bakteri yang sangat merugikan budidaya udang.
Walaupun secara khusus belum diketahui secara
pasti, tetapi agglutinins ini dapat bereaksi dengan
LPS dari bakteri dan dapat menyebabkan agglutinasi
dari beberapa Vibrio, termasuk V.
parahaemolyticus. Selanjutnya reaksi tersebut
juga bisa dihambat dengan LPS (Vargas Albores,
1993). LPS ” binding agglutinins (LPS – BA)
kelihatannya adalah melekul dengan berat 180–170
kDa yang tersusun dari 41 kDa sebanyak 4 unit.
Protein yang digunakan untuk mengenali
produk mikroba terdapat pada plasma udang dan
mempunyai kemampuan beraksi dengan beta
glucan sehingga dinamakan beta glucan binding
protein (BGBP). BGBP dari krustase yang
pertama kali dilaporkan dari crayfish Pasifastacus
leniusculus (Duvic dan Soderhall, 1990). Antibodi
terhadap crayfish BGBP telah dipakai untuk
mendeteksi protein ini pada crustacea lain
termasuk diantaranya adalah udang (Duvic dan
Soderhall, 1993). BGBP telah dimurnikan dari
Penaeus californiensis, Penaeus vannamei dan
Penaeus stylirostris plasma dengan berat molekul
100–kDa protein monomeric.
Daftar Pustaka
Chen, D. 1992. An overview of the disease situation,
diagnostic techniques, treatments and
preventives used on shrimp farms in China.
Diseases of Cultured Penaeid Shrimp in Asia
and United States, edited by The Oceanic
Institute, Hawaii, pp. 47–55.
Chou, H.Y., C.Y. Huang, C.H. Wang, H.C. Chiang and
C.F. Lou. 1995. Pathogenicity of baculovirus
infection causing white spot syndrome in the
cultured penaeid shrimp in Taiwan. Diseases of
Aquatic and Organisms, 23: 165–173.
Duvic, B. and Soderhall. 1990. Purification and
characterization of a –1, 3–glucan –binding
protein in crustacean blood. Journal of
Biological and Chemical, 269: 29462–29467.
Duvic, B. and Soderhall. 1993. –1, 3–glucan–binding
protein from plasma of the freshwater crayfish
Astacus astacus and Procambarus clarkii.
Journal Crustasean Biology, 13: 403–408.
 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2005
113
Studi pendahuluan resistensi udang windu Penaeus monodon (Hari Suprapto dan M. Murjani)
Flegel, T., D.F. Fegan, S. Kongsom, S. Vutikomudomkit,
S. Sriurairatana, S. Boonyaratpalin, C.
Chantanacookhin, J.E. Vickers and O.D.
McDonalds. 1992. Occurrence, Diagnosis and
Treatment of Shrimp Disease in Thailand. The
Oceanic Institut, Honolulu Hawaii, pp. 57–112.
Lightner, D.V. 1994. A handbook of shrimp pathology
and diagnostic procedure for disease of cultured
penaeid shrimp. Journal of The World
Aquaculture Society, pp. 12–16
Lowry, D.B., P.S. Jackett and P.W. Andrew. 1985.
Activation of macrophage for antimicrobial
activity. Immunology Letter, 11: 195–203.
Ratapao, S. and M. Chulavatnatol. 1990 Monodin, a new
sialic acid specific lectin from black tiger prawn
Penaeus monodon. Comparative Biochemistry
Physiology, 97B: 515–520.
Sambrook, J., E.F. Fritsch and T. Maniatis. 1989
Molecular cloning, a laboratory manual 2nd. Cold
Spring Harbour Laboratory Press., Harbour, New
York, 66 pp.
Song, Y.L. and Y.T. Hsieh. 1994. Immunostimulan of tiger
shrimp Penaeus monodon hemocyte for
generation of microbial substances. Analysis of
Reactive Oxygen Species Develop. and
Comparative Immunology, 18: 201–209.
Sung, H.H., G.H. Kou and Y.L. Song. 1994. Vibriosis
resistance induce by glucan treatment in tiger
shrimp P. monodon. Fish Pathology, 29: 11–17.
Sung, H.H., Y.L. Yans and Y.L.J. Song. 1996.
Enhancement of microbial activity in the tiger
shrimp P. monodon via immunostimulation.
Journal Crustacean Biology, 16: 278–284.
Soderhall, K. and L. Cerenius. 1992. Crustacean
Immunity. Ann. Rev. Fish. Dis., 2: 3–23.
Soderhall, K. 1982. Prophenoloxidase activating system
and melanization–a recognition system of
anthropods. A review. Development Comparative
Immunology, 6: 601–611.
Soderhall, K. 1992. Biochemical and molecular aspects
of cellular communication in arthropods. Biology
Zoology, 59: 141–151.
Soderhall, K., W. Rogener, I. Soderhall, R.P. Newton
and N.A. Ratcliffe. 1998. The properties and
purification of a Blaberus craniifer plasma protein
which enhances the activation of hemocyte
prophenoloxidase by –1–3–glucan. Insect.
Biochem., 18: 323–330.
Soderhall, K., L. Cerrenius and M.W. Johansen. 1994.
The prophenoloxidase activating system and its
role in intervertebrate defense. Ann. NY Acad. Sci.,
712: 155–161.
Suprapto, H. 2003. Electron microscope evidence of
bacilliform virus the causative agent of White spot
disease in tiger shrimp Penaeus monodon in
natural infection. Jurnal Kelautan Undip. 3(2) :
6–8.
Takahashi, Y., T. Itami, M. Kondo, M. Maeda, R. Fujii, S.
Tomonaga, K. Supamattaya and S.
Bonnyaratpalin. 1994. Electrone microscopic
evidence of bacilliform virus infection in Kuruma
shrimp Penaeus japonicus. Fish Pathology, 29:
121–125.
Vargas Albores, F. 1995. The defense system of brown
shrimp Penaeus californiensis: Humoral
recognition cellular responses. Journal marine
Biotechnology, 3: 153–156.
Vargas Albores, F., A. Guzman Murillo and J.L. Ochoa.
1993. A lipopolysaccharide bidning protein
agglutinin isolated from brown shrimp Penaeus
californiensis HOLMES ha emolymph.
Comparative Biochemystry Physiology, 194A:
407–413.
 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2005
114
Download