syatahat dalam puncak ekstase ilahiyah skripsi

advertisement
SYATAHAT DALAM PUNCAK EKSTASE ILAHIYAH
(Perspektif Hermeneutika Terhadap Buku Tarian Mabuk Allah)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Disusun Oleh:
Khairiyanto
NIM: 12510083
JURUSAN FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
MOTTO
puisiku adalah rentetan perjalanan yang jauh,
karenanya aku sangat melarang ranting-ranting patah bila puisiku
sudah terucapkan!
sebab puisiku murni dariku dari seorang yang menanggung rindu
dan cinta
puisiku adalah Kau adalah kita!
Khairi Esa Anwar, 2016
v
PERSEMBAHAN
Karya (skripsi) ini aku persembahkan untuk:
 Kepada Allahku dan Muhammadku.
 Kepada Guruku: Moh. Ridwan, KH. Said Abdullah bin
Khusein, Nabiyullah Khidir Balyan, Malkan ibn Faris (yang
sering aku jumpai), Nabiyullah Ilyaz, Mansur Al-Hallaj, Syaikhul
Akbar Ibn ‘Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi dan Kuswaidi
Syafi’ie, Hidayat Rahardja, Moh. Kadir.
 Kepada kedua orang tuaku: H. Moh. Rai’s dan Hasiyani yang
telah melahirkan, mengasuh, menyekolahkan. Salam sungkem dan
takdim yang tiada terkira.
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tertanggal 22 Januari 1988
Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
‫ا‬
‫ة‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫ش‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫و‬
ٌ
‫و‬
ِ
‫ء‬
‫ي‬
Alif
Bā’
Tā’
Śā’
Jim
Hā’
Khā’
Dal
Żal
Rā’
Zā
Sīn
Syīn
Ṣād
Ḍād
Ṭā’
Ẓā’
‘Ayn
Gayn
Fā’
Qāf
Kāf
Lām
Mīm
Nūn
Waw
Hā’
Hamzah
Yā
tidak dilambangkan
B
T
Ś
J
ḥ
Kh
D
Ż
R
Z
S
Sy
Ṣ
Ḍ
Ṭ
Ẓ
…ʽ…
G
F
Q
K
L
M
N
W
H
…’…
Y
Tidak dilambangkan
Be
Te
Es titik atas
Je
Ha titik di bawah
Ka dan Ha
De
Zet titik di atas
Er
Zet
Es
Es dan ye
Es titik di bawah
De titik di bawah
Te titik di bawah
Zet titik di bawah
Koma terbalik di atas
Ge
Ef
Qi
Ka
El
Em
En
We
Ha
Apostrof
Ye
vii
B.
Konsonan Rangkap karena Tasydīd ditulis Rangkap
‫يتعدّدة‬
‫عدّة‬
C.
Muta’addidah
‘Iddah
Ditulis
Ditulis
Tā’marbūṭah di Akhir Kata
1. Bila dimatikan, ditulis h:
‫حكًة‬
‫جسية‬
Ḥikmah
Jizyah
Ditulis
Ditulis
2. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua itu
terpisah, maka ditulis dengan h.
‫كراية األونيبء‬
Ditulis
Karāmah al-auliyā’
3. Bila tā’marbūṭah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan
dammah ditulis t atau ha
‫زكبة انفطر‬
Ditulis
Zakāh al-fiṭri
D.
Vokal Pendek
__َ
__َ
__َ
E.
Fathah
Kasrah
Dammah
Ditulis
Ditulis
Ditulis
‫( ضرب‬daraba)
‫‘( علم‬alima)
‫( كتب‬kutiba)
Vokal Panjang
1. Fatāh + alif, ditulis ā (garis di atas)
‫جبههية‬
Ditulis
Fathah + alif maqṣūr, ditulis ā (garis di atas)
‫يسعى‬
Ditulis
Jāhiliyyah
2.
3. Kasrah + ya’ mati, ditulis ī (garis di atas)
‫يجيد‬
Ditulis
Yas’ā
Majīd
4. Dammah + wawu mati, ditulis ū (dengan garis di atas)
‫فروض‬
Ditulis
Furūd
viii
F.
Vokal Rangkap
1. Fathah + yā’ mati, ditulis ai
‫بيُكى‬
Ditulis
2. Fathah + wau mati, ditulis au
‫قول‬
Ditulis
G.
Qaul
Vokal-vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata, dipisahkan
dengan Apostrof
‫ااَتى‬
‫اعدت‬
‫نئٍ شكرتى‬
H.
Bainakum
Ditulis
Ditulis
Ditulis
A’antum
U’iddat
La’in syakartum
Kata Sandang Alif + Lām
1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis alٌ‫انقرا‬
‫انقيبش‬
Ditulis
Ditulis
Al-Qur’ān
Al-Qiyās
2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, sama dengan huruf qamariyah
‫انشًص‬
Ditulis
Al-Syams
‫انسًبء‬
Ditulis
Al-samā’
I.
Huruf Besar
Huruf besar dalam tulisan Latin digunakan sesuai dengan Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD).
J.
Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat dapat ditulis
Menurut Penulisnya
‫ذوي انفروض‬
Ditulis
Zawi al-furūd
‫أهم انسُة‬
Ditulis
Ahl al-sunnah
ix
KATA PENGANTAR
َ‫نَمْحَّرلا ِهللاِر‬
ِ
‫ِبْسِم‬
Alḥamdulillāh Rabbi al-Ᾱlamīn. Segala puji bagi Allah yang senantiasa
memberikan nikmat, rahmat, taufīq, hidayah serta inayah-Nya kepada seluruh
manusia. Tak lupa shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW., yang senantiasa membimbing umatnya melalui risalah-risalah
yang diberikan Allah, sehingga manusia dapat membedakan antara yang ḥaq dan
yang bāṭil.
Alḥamdulillah sekali lagi peneliti haturkan kepada Allah, karena berkat
pertolongan-Nya penulisan dan penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan,
meskipun peneliti menyadari masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya.
Oleh karena itu, peneliti sangat menerima kritik dan saran untuk kebaikan ke
depannya dan meminta maaf yang sebesar-besarnya. Penulisan skripsi ini
tentunya juga tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu peneliti haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Allah SWT., yang telah memberikan rahmat-Nya kepada manusia dan kepada
Nabi Muhammad yang telah membimbing umatnya kepada jalan yang ḥaq.
2.
Ayahanda (H. Moh. Ra’is) serta ibunda (Hasiyani) yang senantiasa
membimbing dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, melakukan
yang terbaik untuk anak-anaknya, serta tak henti-hentinya mendoakan penulis
agar menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat untuk agamanya. Semoga
Allah selalu melindungi, merahmati menyertai langkah beliau.
3.
Kakak Kusnanto dan Ani, Miftahul Karim dan Hoyyinah yang memotivasi
penulis untuk terus belajar. Ponaan penulis: Dian, Aldi, Doni, Afil, dan Ira.
4.
Dan para guru: Moh. Ridwan, KH. Husein (Alm), KH. Said Abdullah,
Hidayat Rahardja, Moh. Kadir, D. Zawawi Imron, KH. Sahnuki, Kuswaidi
Syafi’ie. Dan para beberapa guru yang seringkali penulis rindui
kedatangannya: Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Maulana Jalaluddin
Rumi, Mohammad Iqbal, Imam Al-Ghazali, Nabiyullah Khidir, Nabiyullah
x
Ilyas, Mansur Al-Hallaj, serta Keluarga Besar Pon-Pes Mathali’ul Anwar,
Gus Ibad (Spesial For Ilahi).
5.
Prof. Drs. H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. Selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
6.
Dr. Alim Ruswantoro, S.Ag., M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
7.
Dr. Robby Habiba Abror, S.Ag., M.Hum. Selaku Ketua Jurusan Filsafat
Agama dan sekaligus pembimbing akademik. Terimakasih banyak atas
nasehat-nasehat dan motivasinya dan supportnya selama ini.
8.
Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag. Selaku pembimbing skripsi yang
senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing, membaca dan mengoreksi
skripsi.
9.
Seluruh dosen jurusan Filsafat Agama khususnya, dan semua dosen Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam yang telah menginspirasi dan memberikan
ilmunya kepada penulis. Segenap Staf Tata Usaha, karyawan Fakultas
Ushuluddin, Staf Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
10. Teman-teman penulis dari Keluarga Santre Pangarangan (Alumni Pon-Pes
Mathali’ul Anwar di Yogyakarta), teman-teman Pon-Pes Maulana Rumi
Sewon Bantul, teman-teman Pon-Pes Maulana Arabi, teman-teman Jurusan
Filsafat Agama 2012, Keluarga Bidikmisi 2012, Kos Wisma Standart,
Humaniush, Insyaallah Institute, MPR (Menulis Pinggir Rel).
11. Kak Achmad Mukhlish Amrin dan Mbak Zizi Hefni, Mas As’adi Muhammad
dan Mbak Dewi Mustofia, juga Syaiful A’la. Mereka yang selalu tak bosan
memotivasi penulis untuk terus berkarya. Kepada semua pihak yang telah
memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelasaikan studi S-1 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
12. Hanya beberapa teman yang dapat penulis sebutkan: Nur Rochmah (Jubek),
Sri Widayanti Lestari (Pik-Pik), Azna Ulil Maizah (AUM), Nuril Hidayah
(Khairil), Maryam (Nyut-nyut), Fina Tri Kurnia (Fino), Ganisa Kurniasih
xi
(Urni), Ulinnuha Nabila (Abing), Asmiatur Rasyidah (Asmi), Ainur, Cak
Rosi, Cak Hilal, Cak Jakfar, Faqih Mahfudz, Cak Yusri, Cak Huri.
Hanya doa yang dapat penulis panjatkan sebagai tanda rasa terima kasih
penulis yang sebesar-besarnya. Semoga mereka selalu ada dalam lindungan Allah,
selalu dirahmati Allah dan jasa-jasa yang telah mereka lakukan mendapat balasan
dari Allah dengan balasan yang sebaik-baiknya. Akhirnya, penulis menyadari
bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat
membutuhkan kritik serta masukan-masukan untuk kebaikan ke depannya.
Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat dan berkah bagi agama, dunia dan
akhirat. Amin.
Yogyakarta, 3 Juni 2015
Penulis
KHAIRIYANTO
NIM: 12530054
xii
ABSTRAK
Syatahat sebagai ungkapan para sufi masih menjadi problem dalam
keagaaman, utamanya di kalangan ulama’ fiqh. Sebagai sebuah ungkapan yang
nyeleneh, ia merupakan hasil dari sufi yang mengalami sebuah ekstase atau di
bukanya selubung hijab dirinya. Karenanya, dimensi manusia (nasut) hilang
digantikan dimensi ketuhanan (lahut). Dan ia mengalami fana’ sekaligus baqa’
dalam dirinya. Pada proses tersebut, sufi yang mengalami ekstase jelas
menemukan kepurnaan dalam dirinya.
Utamanya dalam buku Tarian Mabuk Allah karya Kuswaidi Syafi’ie.
Sebagai penyair sufi yang memulai kiprahnya melalui puisi, jelas hal ini berbeda
dengan sufi penyair yang berkaitan langsung dengan pengalamannya yang di
lihatnya, di dengarnya, di rasanya. Untuk itu, di pandang perlu penulis melakukan
sebuah pemetaan, baik ciri khas syatahat, kesamaan dan perbedaan. Lebih pada
itu, kaitannya dengan kehidupan. Artinya relevansi antara karya yang dihasilkan
melalui renungan dengan kehidupannya. Sehingga, tidak ada yang muskil antara
karya yang dihasilkan dengan lelaku yang berkaitan dengan kehidupannya.
Problematika yang dihadapi dalam kategori Kuswaidi sebagai penyair sufi, jelas
sebuah pencarian akan dimensi dirinya. Untuk pengawalan yang intens pada
penelitian, sebagai kerangka dalam menentukan objek terhadap yang diteliti.
Metode yang digunakan dalam membedah buku tersebut, penulis
menggunakan hermeneutika utamanya hermeneutika Hans Georg Gadamer.
Metode hermeneutika yang digunakan penulis tidak lain untuk membuka
selubung makna yang masih tabu dalam tubuh karya. Metode ini bertujuan untuk
memberikan makna yang dikandung dalam karya menjadi suatu nilai tawar bagi
pembaca buku Tarian Mabuk Allah.
Temuan dari wawancara, dokumentasi sangat membantu penulis dalam
menemukan objek penelitian sebagai bentuk pengukuhan dari metode penelitian
yang digunakan. Setelah temuan data-data yang konkret, baru penulis melakukan
sebuah telaah lebih dalam lagi terhadap buku Tarian Mabuk Allah. Yang jelas,
penulis langsung mewancarai pihak yang terkait ketika ada persoalan yang belum
sepenuhnya dimengerti.
Daripada itu, penulis menemukan relasi antara karya dan kehidupan Maka,
temuan penulis bahwa antara karya dan kehidupannya begitu nampak sama,
seperti apa yang memang ada dalam karya yang dihasilkan. Problem yang semula
menghantui penulis terjawab, meski tidak sepenuhnya bersifat final.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i
SURAT PERNYATAAN....................................................................................ii
NOTA DINAS PEMBIMBING ..........................................................................iii
SURAT PENGESAHAN ....................................................................................iv
HALAMAN MOTTO .........................................................................................v
HALAMAN PERSEMBAHAN .........................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................x
ABSTRAK ..........................................................................................................xiii
DAFTAR ISI .......................................................................................................xiv
BAB 1: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................12
C. Tujuan dan Manfaat ...............................................................................12
D. Tinjauan Pustaka .....................................................................................13
E. Kerangka Teori........................................................................................15
F. Metode Penelitian....................................................................................22
G. Sistematika Pembahasan .........................................................................26
BAB II: BIOGRAFI KUSWAIDI SYAFI’IE
A. Latar Belakang Kehidupan ......................................................................27
B. Kiprah Kuswaidi Syafi’ie ........................................................................32
C. Karakter Pemikiran .................................................................................41
D. Karya-karya .............................................................................................51
BAB III: SYATAHAT DALAM WACANA SUFISME
A. Makna Syatahat .......................................................................................53
B. Aliran Sufi ...............................................................................................102
C. Pertautan Antara Salik dan Tuhan...........................................................104
BAB IV: EKSPRESI KUSWAIDI SYAFI’IE DALAM TARIAN MABUK
ALLAH
A. Sekilas Tentang Buku Tarian Mabuk Allah ............................................111
B. Corak Sufistik dalam Buku Tarian Mabuk Allah ...................................132
C. Aspek-aspek Syatahat dalam Tarian Mabuk Allah .................................138
D. Dimensi Kehidupan Kuswaidi Syafi’ie ...................................................180
E. Kritik .......................................................................................................220
xiv
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................229
B. Saran ........................................................................................................231
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................232
CURICULUM VITAE ........................................................................................238
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut jalan sufi, seseorang yang telah mencapai derajat kesadaran
sebelah dalam dan luar dan berupaya mencapai satu titik pemusatan dan
keseimbangan berada dalam derajat membantu orang lain dan berupaya
merefleksikan derajat pencapaiannya kepada mereka. Karena itu, kita melihat
dalam rentang zaman yang panjang para sufi sangat menjaga kebersamaan
mereka. Para guru spiritual selalu membimbing secara dekat para pengikut mereka
selama dalam tahapan-tahapan proses.1
Kedekatan inilah yang kemudian menjadi hal terpenting dalam diri
seorang sufi. Kisah ini dapat ditemukan dalam diri Maulana Jalaluddin Rumi,2
pada saat ia gelisah itulah ke Konya datang seorang darwish, orang suci
pengembara dari Tabris. Namanya Shamsiddin. Umurnya dua puluh tahun lebih
tua dari Rumi. Kedatangan Shamsiddin dari Tabris memainkan peranan penting
bagi kehidupan Rumi.3
Penting untuk kehidupan Rumi selanjutnya, sehingga ia tidak hanya
penyair dengan kata-katanya yang mampu memabukkan melainkan dengan
pancaran nurani yang begitu mempesona. Nurani Rumi benar-benar disepuh
1
Baca Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme terj. Ibnu Burdah dan Shohihullah
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 57.
2
Nama lengkapnya Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakri,
lahir di Balkh (sekarang Afghanistan) pada tanggal 6 Rabiul-Awwal tahun 604 H, bertepatan
dengan tanggal 30 September 1207.
3
Ini terjadi pada tanggal 26 Jumadil Akhir tahun 642 H, atau 28 November 1244 M.
1
2
menjadi permata yang memancarkan cahaya pada pengikutnya. Tidak dapat
diragukan lagi, pengikutnya bertebaran di seluruh dunia sampai saat ini.
Shamsiddin adalah seorang yang aneh dan mempesona. Wajahnya tampan,
kharismanya luar-biasa, pikiran-pikirannya kritis, radikal, dan brillian. Khotbahkhotbahnya memikat dan dalam isinya. Ia seorang sufi yang tak punya hubungan
secuil pun dengan gerakan sufi konvensional. Pemahamannya tentang Tuhan dan
manusia, kesadaran kosmik dan ma‟rifat, luar-biasa mendalam. Inilah yang sangat
memikat Rumi. Rumi seakan-akan menemukan sesuatu yang telah lama ia cari,
dalam diri Shamsiddin. Demikian pula Shamsiddin menjumpai sesuatu, yang telah
lama ia cari, pada diri Jalaluddin Rumi.4
Kedekatan antara Rumi dan Shamsiddin merupakan kekuatan yang
menjadi suatu tanda bahwa semakin dekat seseorang kepada sang guru, semakin
kokoh ajaran yang mendalam dan melekat pada diri sang murid. Semacam ada
magnet yang melekatkan keduanya, nampak rencana-rencana yang memang
menjadi impian dari setiap penempuh, seperti halnya Rumi. Sehingga kedekatan
keduanya memicu konflik atau rasa ketidaksenangan dari beberapa pengikut
Rumi, termasuk putranya sendiri, Aleiddin.
Tidak hanya terbatas pada wilayah jasmani saja, kedekatan keduanya
merupakan transliterasi ruhani. Sehingga kedekatan ruhani menyebabkan
kedekatan personal secara jasmani. Dan itu membuat Rumi, ketika Tabris
meninggalkannya merasa kehilangan. Kehilangan Tabris membuat pesona Rumi
pada Tabris semakin menggelora, membentuk gelombang kerinduan yang
4
Abdul Hadi W.M, Jalaluddin Rumi: Sufi dan Penyair, (pengantar) (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1985), hlm. xviii-xix.
3
mendalam. Kerinduannya pada Tabris membuatnya mengalami sebuah ekstase
yang luar biasa pada kehidupannya sebagai sufi. Tabris mendapat tempat yang
baik dalam kehidupan Rumi, ia diabadikan dalam tulisan panjang di dalam kitab
Mastnawi.
Dari petikan kisah tersebut, bagi setiap penempuh di jalan ruhani (salik)
diperlukan seorang penuntun yang ajeg untuk mengantarkan dirinya menuju
wilayah keilahian. Sepanjang perjalanan seorang penempuh di lorong ruhani,
menemukan puncak kedirian yang terbebaskan dari belenggu kesesatan. Tanpa
pembimbing, seorang salik akan kebingungan. Sebabnya, guru sufi menjadi pusat
sentral untuk menunjukkan jalan ruhani.5
Tujuan pokok dari guru sufi,6 adalah membantu para muridnya untuk
menyingkap kebenaran dalam kedirian sebelah dalam, dan agar tercerahkan dalam
menghadapi realitas yang carut-marut. Agar itu terpenuhi, sangat penting untuk
mengungkap sebab-sebab tidak bahagia. Sebab seluruh perasaan tidak puas dan
sebagainya yang paling esensial sebenarnya berakar pada perilaku melanggar
batas, tidak patuh, ambisi, harapan-harapan yang tinggi, keinginan dan aspekaspek lain seperti kurangnya menyelami realitas.
Setelah proses guru selesai pada murid, dalam arti sang penempuh sudah
mengetahui rute jalan yang hakiki. Maka, sang salik menemukan realitas kedirian
sesuai dengan kadar kepekaan yang dialaminya. Semakin ia menyelami
kedalaman tidak terhingga, semakin pula ia akan menemukan realitas yang semula
5
Baca Zaprulkhan, Pencerahan Sufistik: Menimba Kearifan Hidup Melalui Kisah-kisah
Kaum Sufi (Jakarta: Gramedia, 2015), hlm. 181.
6
Baca Abdul Qodir Jaelani, Menapak Jalan Sufi terj. Kamran AI dan M. Nasrullah
(Yogyakarta: P_Idea, 2005), hlm. 89.
4
tidak ditemui menjadi suatu nilai riil yang pasti. Tidak ada “kemungkinan” lagi,
yang ada hanya realitas sebagaimana ditemukan pada kehidupan nyata seperti
dirinya bersentuhan dengan dunia luar.
Setiap sang penempuh akan merasakan kenyataan yang pasti dalam setiap
perilakunya. Dengan kenyataan inilah, setiap penempuh mengalami ekstase
bermacam-macam. Sebagaimana yang dapat ditemui pada kehidupan sufi-sufi
sekaliber Rabi‟ah al-Adawiyah, Sayyidah Nafisah, Imam Junayd al-Baghdadi,
Mansur al-Hallaj dan para sufi lainnya. Ekstase yang dicapai merupakan bagian
perjalanannya.
Terlepas dari segala bentuk pencapaian yang dilakukan melalui proses
mematangkan diri sepenuhnya. Ada yang menarik untuk dijadikan pembahasan
dari sufi yang sudah mencapai ekstase, yaitu ungkapan-ungkapan ekstase mistik
yang sangat tinggi.7 Seperti pernyataan Abu Yazid, “Maha Suci Aku” dan
pernyataan Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pencapaian yang senantiasa meluap
sebagai bentuk ekspresi kemabukan. Dalam tradisi sufi, ungkapan-ungkapan
ekspresi ekstase itulah yang kemudian dikenal dengan sebuah istilah syatahat.8
Bagi kaum sufi, fenomena shat sebagai salah satu cara untuk berbicara
dengan Tuhan merupakan pengalaman dari Nabi Muhammad. Qur‟an adalah
kata-kata dari Tuhan, yang diinternalisasikan untuk membentuk dasar kota kata
mistik, yaitu sufisme. Teladan shath secara khusus dapat ditemukan dalam
Perkataan Suci (hadist qudsi), yaitu wahyu-wahyu yang tidak terdapat dalam Al7
Baca Dzikrullah Zulkarnain. “Syatahat Kaum Sufi (Sebuah Telaah Psikologis)”, Jurnal
SMaRT, Vol. I, No. I, Juni 2015, hlm. 98. Dalam blasemarang.kemenag.go.id, diakses pada 17
Maret 2016, pukul 12:40 WIB.
8
Baca Carl W. Ernst, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme terj. Heppi Sih Rudatin dan Rini
Kusumawati (Yogyakarta: Putra Langit, 2003), hlm. 46-47.
5
Qur‟an dimana Muhammad melaporkan apa yang dikatakan Tuhan padanya.
Menurut Louis Massignon banyak dari perkataan suci tersebut bukan merupakan
perkataan-perkataan yang berasal dari Muhammad, tapi merupakan hasil
pengalaman-pengalaman mistik yang pertama, disebarkan secara umum dengan
berkedok sebagai hadist. Itu semua terjadi sebelum adanya standarisasi kumpulan
hadist. Penelitian terbaru dari William A. Graham memperlihatkan bahwa bukan
itu masalah utamanya. Hampir sebagian besar perkataan suci tersebut ditemukan
dalam koneksi hadist yang resmi.9
Dalam hadist yang resmi, ada yang menegaskan tentang kemungkinan
terjalin hubungan yang dekat antara Tuhan dan manusia. Bisa juga ungkapan
demikian memberikan sepenuhnya pada diri untuk selalu berdampingan dengan
Tuhan, dimana keduanya berbuhul pada satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Antara keduanya merupakan wujud tunggal yang puncaknya pada
satu kepribadian. Seperti yang diungkapkan oleh Ja‟far al-Shadiq (148/765),
dalam penafsirannya tentang pengalaman yang berkenaan dengan perwujudan
Tuhan dalam bentuk manusia yang dialami Musa di Gunung Sinai, Ja‟far
menemukan kunci dari sifat kalimat suci dalam kata-kata yang digunakan Tuhan
untuk mengidentifikasikan Dirinya. Menurut Ja‟far, saat Tuhan bersabda pada
Musa, “Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu (inni ana rabbuka)”.10
Seperti yang diungkapkan oleh Abdul Wachid B.S (2005:476), Abdul
Hadi W.M (2001:2005): syatahat (ekstasis) merupakan suatu bentuk pengalaman
keruhanian seorang sufi yang telah wajd, yaitu seorang yang telah mencapai
9
Baca Carl W Ernst, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme, hlm. 29.
Baca Surat Taha, ayat 12, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Departemen RI,
2007), hlm. 314.
10
6
ekstase mistik dalam peringkatnya yang tinggi. Keadaan-keadaan ruhani (ahwal)
yang dicapainya memberi peluang kepadanya untuk menangkap suara yang timbul
dari kedalaman pengalaman kalbunya berupa ucapan-ucapan yang dalam.
Pengalaman dari pengalaman syatahat itu diungkapkan oleh Ja‟far al-Siddiq,
sebagaimana pengalaman ketuhanan yang dialami oleh Nabi Musa AS, di Lembah
Tuwa. Dalam peristiwa itu, Musa melihat semak terbakar, lalu mendapat perintah
dari Tuhan agar melepaskan kedua alas kakinya.11
Argumentasi dalam kata suci tersebut, semacam kredo pembangkitan
seorang ke wilayah yang sebelumnya tidak terjamah. Suatu pencapaian pada
tingkat tertinggi suatu penyatuan antara manusia dan Tuhan. Internalisasi
keduanya dikenal dengan fana’ (kehancuran) dan baqa’ (keabadian). Istilah yang
demikian muncul dari transendensi manusia yang hakikatnya mengetahui jalan
menuju kehadirat Tuhan. Detak waktu yang dirasakan hanya kehadiran Tuhan
semata.
Manusia yang mencapai hakikat kedalaman diri, “manunggal” melihat
segala sesuatu di dunia hanya sebagai rancangan Tuhan, baik yang terkecil
(partikel) dan yang umum (universal). Yang semula dikenal sebagai dialog,
nyatanya monolog Tuhan Yang Maha Kuasa. Segala yang ada di dunia ini
merupakan rancangan Allah, baik buruk dan baik. Hanya saja, ada semacam
batas-batas yang harus dimengerti dan diperhatikan. Hal yang demikian, menjadi
tantangan yang besar untuk kemudian dijadikan sebagai aksi nyata ruang diri.
Ungkapan-ungkapan
11
yang
demikian
menggugah
(syatahat)
suatu
hasil
Baca Abdul Wachid B.S. “Lukisan Peleburan Cinta yang Erotik: Puisi Sufi di antara
Estetika dan Etika Cinta Ilahiyah”, Jurnal Al-Jami’ah, Vol. II, 2005/1426, hlm. 476. Dalam
aljamiah.or.id, diakses pada 18 Maret 2016, pukul 02:30 WIB.
7
pengalaman
sufi
yang
mengalami
ekstase
kemabukan
dalam
wujud
pencapaiannya. Ungkapan-ungkapan yang begitu memukau itu bukan hanya
sebatas kata-kata, melainkan memiliki makna yang ditangkap dari pengalaman
ruhani dari sufi itu sendiri.
Kemudian, syatahat para sufi mendapat kecaman dari beberapa kalangan
sufi, ulama‟ fiqh, dan tokoh lainnya. Dengan dasar itulah, penulis ingin mengkaji
serta menelaah syatahat dalam buku Tarian Mabuk Allah. Dalam garis besar
kajian ini pada tafsir atas buku tersebut. Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah
pentingnya, penulis menyertakan juga sejarah jagat raya kesusastraan Indonesia,
setelah Hamzah Fanzuri, Azrul Sani, tokoh-tokoh lainnya setelah mereka.
Dalam sejarah kesusastraan secara mondial tercatat banyak nama ulama
sufi besar yang kemudian berstatus sebagai penyair. Di Arab, misalnya kita bisa
menyebut nama Ibn „Arabi, Ibn Faried, Ibn „Atha, Abu al-Atahiyah, dan Maari. Di
Persia kita mengenal Jami, Hafiz, Fakhruddin Iraqi, Anshari dan Attar. Di Turki
kita menemukan nama Bahauddin Walad, Yunus Emre, Fazil, Haci Bayram Veli
dan Esrevoglu. Di Afganistan ada nama Jalaluddin Rumi dan al-Hujwiri. Dan di
Indonesia kita „punya‟ Hamzah Fanzuri, Bukhari al-Jauhari dan Raja Ali Haji dan
lain sebagainya.12
Lanjutnya, para ulama sufi besar tersebut sesungguhnya tidak pernah
berupaya membangun „patung‟ kepenyairan bagi mereka. Sebutan “penyair” yang
dilontarkan para kritikus sastra semata merupakan “konsekuensi” dari
kemampuan mereka untuk mensosialisasikan keindahan nilai-nilai spiritual yang
12
Baca Kuswaidi Syafi‟ie, “Mencari Sufi Penyair”, dalam buku Tafakkur di Ujung Cinta
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 130.
8
mereka gapai dan rasakan lewat penulisan-penulisan puisi. Artinya, puisi-puisi
karya ulama sufi penyair itu “hanyalah” merupakan simbol reduktif dari laku dan
pengalaman transendental yang telah mereka jalani.
Dalam artian, gejolak penyair sufi merupakan gerakan dari beberapa
penyair yang hanya menulis puisi berbau sufistik. Penyair sufi merupakan gerakan
yang sangat vital saat itu.13 Gerakan ini lahir sebagai bentuk energisitas zaman
yang tampil di kalangan sastrawan. Nuansa yang ditawarkan sangat begitu
memukau, dengan gaya-gaya tampilan sufistik yang menawarkan keindahan
Ilahiah. Namun, perlu digarisbawahi untuk gerakan penyair sufi, tidak lain kerja
dari energi esensial di dalam karya berupa puisi. Tidak ada gaya magnet yang
mampu menyedot ruang ruhaniah, melainkan sebungkus tawaran kata-kata ideal
dari penyair. Seharusnya ada tawaran ruhaniah dari penyair, namun ruang
ruhaniah seorang penyair tidak mampu membawa ke dalam puisi yang ditulisnya.
Seperti yang diungkapkan oleh Kuswaidi Syafi‟ie (2003:137): upaya
membidani lahirnya sufi penyair bukan karena dilatar belakangi oleh tidak adanya
puisi-puisi yang berbau sufistik. Tapi lebih di dorong oleh adanya semacam
“keterbalikan”: bahwa puisi-puisi sufistik tersebut tidaklah ditulis oleh para
spiritualis, melainkan oleh para penyair yang mencoba bersufi-sufi, hingga daya
pukau dan sakralitasnya terasa kurang bahkan gamang. Hal itu barangkali bisa
kita lihat pada fenomena kepenyairan Sutardji Coulzoum Bachri, Danarto,
Ahmadun Yosi Herfanda dan Emha Ainun Nadji. Entah kalau KH. A. Mustofa
Bisri.
13
Penyair sufi muncul sebagai gerakan sekitar tahun 1970, yang saat itu muncul penyair
sekaliber Sutardji Coulzoum Bachri, Danarto, Abdul Hadi W.M, dan banyak penyair.
9
Alasan tersebut sangat mendasar, ketika khasanah kesusastraan Indonesia
yang gemilang dan dianggap penting dalam memberikan nilai pada kesusastraan
dunia. Kesusastraan Indonesia dapat bersaing dalam jagat dunia, di antara
banyaknya nilai-nilai yang bisa dipetik dan tak jarang banyak puisi-puisi
Indonesia diterjemahkan ke dalam banyak bahasa: Inggris, Jerman, China dan
lain-lain. Perhatian yang kemudian membuat banyak penyair Indonesia berlombalomba untuk meraih kesuksesan dalam mengusung tema-tema yang beragam —
Rendra dengan tema sosialnya, Abdul Hadi dengan puisi sufistiknya dan penyair
lainnya.
Tak kurang dan tak lebih, penyair Indonesia, utamanya yang mengusung
tema sufistik lebih kepada tema, bukan hasil kontemplasi dari lelaku. Sungguh,
hal ini menjadi nilai yang akan berdampak pada kurangnya kualitas karya yang
hanya sebatas pada kata-kata sufistik yang menjadi warna dalam karya itu sendiri.
Sehingga, nilai tawar “kedirian” semakin berkurang, bahkan tidak dapat
memberikan daya spiritualitas bagi seseorang yang menempuh di jalan ruhani.
Terkesan, mereka hanya memberikan daya pukau tetapi sebenarnya miskin makna
dalam arti yang sesungguhnya. Daya tawar hanya kata-kata yang memukai.
Kemudian hal tersebut dikritik Kuswaidi dalam esainya.
Pemahaman tentang diri punya kesanggupan untuk mengetahui ruang
hakiki yang dalam, tidak hanya berbatas pada kata-kata, wacana dan teori yang
sebenarnya tidak dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap berbagai
persoalan realitas setiap hari. Seperti yang diungkapkan Kuswaidi pada kata
pembuka dalam buku Tarian Mabuk Allah, ia menyebutkan: barangkali tak
10
seorang pun di dunia ini yang sanggup mendeskripsikan holistisitas kehidupan
secara detail dan hakiki. Berbagai variabel, wacana dan “metafor” yang saling
sengkarut saling berjubelan di dalamnya mengikuti orkestrasi “kerunyaman” yang
terus menggelombang dan mengelumbung sesuai dengan ritme perjalanan sejarah.
Terlalu rumit untuk mengungkapkannya secara total―apalagi seorang seperti
saya. Karena ternyata dalam hidup yang sebentar saja, manusia lebih banyak
dikelilingi oleh hal-hal yang rahasia, yang tidak diketahui, yang tidak terjangkau
oleh potensi pikirannya, yang tidak teraba oleh kemampuan inderawinya,
ketimbang oleh hal-hal yang diketahui dan dipahaminya. Sungguh, manusia
adalah makhluk yang sangat kerdil untuk menyusuri sepenuhnya ruas-ruas dan
ceruk-ceruk belantara kehidupan yang amat luas.
Titik tekan yang menguntungkan dan dijadikan patokan, bahwa ada
pemberlakuan aktualitas antara karya dan aktivitas diri harus bergandengan. Pada
kedua wilayah energisitas yang patut dihidupkan sebagai sikap aktualitasnya
dalam memberikan nilai-nilai ruhaniah yang disampaikan lewat karya. Sehingga,
hasil karya merupakan ruang pengalaman yang menjadi daya tarik pembaca untuk
menelisik kehidupannya. Daya tarik karya, yang dihasilkan penyair, menuliskan
pengalaman dirinya karena bersentuhan langsung dengan kenyataan tersebut sulit
ditemukan, kecuali pada diri sufi yang menulis pengalaman atau ekstasenya,
karena para sufi bersentuhan langsung keadaaan, yaitu: pengalaman.
Terlepas dari konteks bagaimana penyair menulis tema tentang sufistik,
Kuswaidi lahir sebagai anak kecil yang suci dalam buku Tarian Mabuk Allah.
Buku ini lahir dari kegelisahan atau suatu puncak ekstase kepenyairannya yang
11
sudah menemukan dirinya di dalam Dirinya. Sentuhan antara dirinya dengan
Tuhan telah membawa ke dimensi Ilahiah. Jiwa yang tersentuh kesucian telah
membawa pada ruas terdalam hakikatnya.
Membaca Tarian Mabuk Allah, akan menemukan kedalaman makna.
Menyelami kedalamannya seperti memasuki dimensi Ilahiat dimana manusia telah
purna. Cakupan inilah nampak berbeda dengan penyair yang hanya menulis puisi,.
Proses penemuan Ilahiat ditembus oleh Kuswaidi melalui renungan serta
kontemplasi dengan jerih payah, sehingga lahir buku tersebut. Dalam buku
tersebut Kuswaidi memberikan sumber bagi orang-orang yang dahaga dalam
melakukan pencarian terhadap hadirat-Nya. Suatu pengalaman pada rutinitas diri
untuk mencapai hakikat yang sebenarnya.
Perenungan yang dilakukan oleh Kuswaidi dalam buku Tarian Mabuk
Allah, suatu pencapaian yang eksatis yang menyebabkan dirinya hilang dalam
bentuk dirinya, menemukan diri, bersatu padu dalam kesyahduan nyanyian Ilahi.
Melalui buku Tarian Mabuk Allah, ia mengungkapkan suatu kenyaataan yang
sebenarnya merupakan langkah untuk meraih ketunggalan dirinya dengan Allah.
Semacam ada ruang besar yang di dalamnya berisi kemanunggalan Allah dengan
dirinya. Dalam hal ini, penyatuan dirinya merupakan suatu pencapaian hamba
(makhluq) dengan penciptanya (khaliq).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan dua pokok
masalah sebagai berikut:
12
1. Bagaimana ekspresi syatahat Kuswaidi Syafi‟ie dalam buku Tarian
Mabuk Allah?
2. Bagaimana makna syatahat dan relevansinya dengan kehidupan Kuswaidi
Syafi‟ie?
C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan
1. Mengetahui makna dan pengertian syatahat para sufi pada
umumnya, utamanya dalam buku Tarian Mabuk Allah yang
ditulis Kuswaidi Syafi‟ie.
2. Mengetahui makna syatahat dan relevansi kehidupan
Kuswaidi Syafi‟ie.

Manfaat
1. Turut memberikan pemahaman syatahat para sufi dan
ungkapan Kuswaidi Syafi‟ie sebagai sumbangsih keilmuan
terhadap tasawuf, khususnya dalam bidang kesusastraan.
2. Dapat memperkaya khazanah kepustakaan ilmiah yang
menyangkut tokoh ruhaniawan dengan puisinya dalam
bidang kesusastraan.
D. Tinjauan Pustaka
Ada dua macam data yang penulis jadikan rujukan dalam penelitian ini.
Pertama ialah data primer dan kedua data sekunder. Data primer adalah data karya
Kuswaidi Syafi‟ie sendiri. Sedangkan data sekundernya adalah karya yang ditulis
oleh orang lain tentang syatahat.
13
Data primer yang penulis pakai adalah buku Tarian Mabuk Allah yang
diterbitkan Pustaka Sufi cetakan ketiga tahun 2003 buku ini memuat 99 judul
puisi Kuswaidi Syafi‟ie dalam kurun waktu 199714 yang terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama berjudul Dermaga yang memuat 33 puisi, bagian kedua berjudul
Samudera yang memuat 33 puisi, sedang bagian yang terakhir bagian ketiga
berjudul Pulau Impian yang memuat 33.
Sedangkan data sekunder yang penulis pakai antara lain sebuah buku yang
membahas Syatahat buku Carl W. Ernst, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme yang
diterbitkan oleh Putra Langit, 2003.15 Dalam buku ini, suatu penelitian yang
dilakukan oleh Carl W. Ernst menjelaskan syatahat, baik ekspresi ekstatik
keimanan-kekafiran dan sebagainya. Secara keseluruhan dalam buku, hasil
penelitian terhadap ungkapan para sufi yang mengalami ekstase juga pada nilainilai lainnya.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Dzikrullah Zulkarnain dengan
judul Syaţaḥat Kaum Sufi (Sebuah Telaah Psikologis), yang dimuat dalam Jurnal
SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015. Dalam penelitian Zulkarnain lebih pada
kondisi psikologis yang dialami oleh seorang sufi dan aspek mental yang
merupakan suatu nilai yang dapat memberikan efek luar biasa pada kehidupannya.
14
Dalam buku Tarian Mabuk Allah, Kuswaidi Syafi‟ie tidak membubuhkan tahun
pembuatan sajak-sajak yang terkumpul dalam buku ini. Nampak dari beberapa sajak dibuat seperti
sajak panjang yang tematik. Hal ini dapat dilihat bagaimana Kuswaidi Syafi‟ie lebih
menitikberatkan pada tema yang ingin dibahas secara panjang lebar.
15
Buku ini tulisan Carl W. Ernst, dengan judul asli Words of Ectasy in Sufism, diterbitkan
oleh State Unversity of New York Press. Diterjemahkan oleh Heppi Sih Rudatin dan Rini
Kusumawati, serta disunting oleh Aning Ayu Kusuma. Diterbitkan Putra Langit, Yogyakarta:
2003.
14
Adapun dalam penelitian Prof. Dr. Ethem Cebecioğlu, salah satu profesor
Universitas Ankara Fakultas Teologi dan Tasawuf, yang berjudul Şatahât
İbarelerinin Anlaşilmasina Doğru: Metodik Bir Deneme, dimuat dalam Jurnal
Tasavvuf: İlmî ve Akademik Araştırma Dergisi, yıl: 7 [2006], sayı: 17. Titik tekan
dalam penelitian ini lebih kepada nilai-nilai untuk memahami ungkapan ekstase
yang dialami oleh para sufi. Sehingga dalam ungkapan tersebut dapat memastikan
kondisi diri dan keimanan, juga tidak menafikan unsur-unsur lain yang kaitannya
dengan klaim kafir atasnya.
Dalam esai yang ditulis Abdul Wachid B.S, Lukisan Peleburan Cinta yang
Erotik: Puisi Sufi di antara Estetika dan Etika Cinta Ilahiyah, yang dimuat di
Jurnal Al-Jami‟ah, Vol 43, No 2, 2005/1426. Dalam pandangan Abdul Wachid
lebih kepada aspek cinta, sehingga aspek syatahat kurang begitu mendapat
perhatian. Hanya saja, ia memberikan analisis yang lebih dalam utamanya bagi
salik yang sudah sampai dengan energisitas cinta. Sehingga membantu penulis
untuk melacak lebih dalam aspek nilai batin seorang sufi.
Juga penelitian Alfaizin yang merupakan tesis, berjudul Sufisme dalam
Buku Tarian Mabuk Allah, Tesis Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia UNISMA
Malang, 2007. Dalam penelitian ini, Alfaizin lebih kepada tasawuf dalam buku
Tarian Mabuk Allah. Penulis menemukan nilai tasawuf yang dikandung dalam
diri Kuswaidi Syafi‟ie melalui buku tersebut, termasuk nilai-nilai spiritual yang
dialaminya.
15
E. Kerangka Teori
Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti
“menafsirkan”, dan dari kata hermeneuin ini dapat ditarik kata benda hermeneia
yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti
interpreter (penafsir).16 Istilah Yunani ini mengacu pada tokoh mitologis yang
bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan
pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang
mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius
dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa
di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia.
Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman
tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia.
Tentu saja peran Hermes untuk menyampaikan pesan tersebut adalah salah
satu hal yang memang benar-benar membutuhkan kerja yang aktif, selain
menyampaikan perlu juga diolah ketika melakukan penyampaian yang sekiranya
dapat dimengerti, dipahami oleh umat manusia. Sangat menjadi riskan, jika
penyampai dari pesan tidak memahami isi yang dimaksud dalam pesan tersebut.
Maka dari itu, Hermes menerjemahkan bahasa dari Olympus dengan bahasa yang
dapat dimengerti oleh manusia.
Selama abad ke-18 dan terutama abad ke-19, secara bertahap
hermeneutika berkembang menjadi bidang baku telaah akademik, terutama bagi
para teolog lantaran kebermaknaannya dalam membantu penafsiran biblikal.
16
E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
hlm. 23.
16
Friedrich Schleiermacher (1768-1834) mengajar hermeneutika sebagai mata
kuliah khusus, dengan memperkenalkan banyak wawasan dan ciri baru yang
dewasa ini masih dinilai penting. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah
bahwa kemampuan kita untuk memahami teks dibatasi oleh “lingkaran
hermeneutika”. Ini mengacu pada pertalian timbal balik yang terdapat antara
bagian-bagian teks (umpamanya, makna setiap kata, frase, dan sebagainya, yang
dipertimbangkan dalam sorotan bahasa asal dan tata bahasanya) dan teks
keseluruhan yang dipertimbangkan sebagai satu keutuhan yang maknawi (yang
acapkali membutuhkan umpamanya pemahaman latar belakang kultural dan
psikologis).17
Hermeneutika berakar kata dari bahasa Yunani, yang berarti maknanya
tafsir. Juga hermeneutika diasumsikan pada interpretasi: pemberian kesan,
pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran.18 Hermeneutika
sering dikontekskan dengan mitos Dewa Hermes, di Yunani kuno. Sebagai salah
satu dewa yang menyampaikan pesan dari Gunung Olympus, untuk disampaikan
kepada manusia dengan bahasa yang dapat dimengerti.
Hal ini sebagai kisah yang dijadikan patokan awal hermeneutika sendiri.
Kisah Hermes memiliki landasan filosofis ini, dijadikan acuan oleh para filosofi
seperti, Heidegger, Dilhtey, dan filosofi hermeneutika lainnya. Hal ini menjadi
suatu simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil
tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan.
17
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (The Tree of Philosophy) terj. Mohammad Shodiq,
cet 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 228.
18
Baca Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi, cet. 4 (Yogyakarta: Qalam, 2007), hlm. 18-19.
17
Sampai saat ini, hermeneutika sangat penting dijadikan kerangka teoretis
dari banyak kalangan. Selain itu, peran hermeneutika begitu banyak memberikan
sumbangan besar bagi perkembangan keilmuan. Baik sebagai telaah karya lama,
terutama bagi teks yang sudah bertahun-tahun secara kesadaran alamiah
mengalami masa yang harus sesuai dengan konteks zaman.
Bahkan, penafsiran terhadap Al-Qur‟an,19 dan kitab suci lainnya begitu
penting. Mengingat perannya yang mengungkap makna teks sampai pada makna
hakikat arti yang sesungguhnya. Langkah yang dilakukan penggunaan
hermeneutika, metode teks untuk mencari hakikat makna yang gelap dan kabur
menjadi jelas. Sehingga, bisa dijadikan patokan dalam bidang keilmuan.
Interpretasi terhadap bahasa dasarnya kabur, menjadi jelas. Bukti ini begitu
penting bagi perkembangan keilmuan yang terus-menerus bergerak ke arah
kontekstualisasi zaman.
Selanjutnya, tugas berat ini berada pada pembaca yang harus
mengistilahkan makna sesuai dengan nilai historis di dalam bentuk teks itu
sendiri. Kendati demikian, teks yang mulai ditinggalkan oleh penulisnya, secara
tidak langsung harus dikontekskan sebagaimana kemajuan zaman. Seperti AlQur‟an yang notabenanya mengacu pada historisitas di zaman Nabi Muhammad.
Kalau dipandang dengan dasar sesuai konjungsi dari Al-Qur‟an sangat tidak
sesuai dengan konteks masa kini. Akan tetapi, perlunya mencari makna dalam AlQur‟an sesuai dengan makna kontekstual zaman begitu penting. Tugas ini bukan
cuma sekedar tugas yang hanya ada pada wilayah dasar pelestarian makna
19
Bandingkan dengan tulisan Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema
Kontroversial, cet. 5 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2011), hlm. 21.
18
hermeneutika. Melainkan tugas yang sangat otentik yang memiliki wilayah
kesadaran untuk memjawab perihal kesadaran otentik banyak hal. Dari
ragam
hermeneutika yang ditawarkan oleh beberapa tokoh hermeneutik, penulis
menggunakan hermeneutika Hans-Georg Gadamer untuk menelaah buku Tarian
Mabuk Allah, karya yang ditulis Kuswaidi Syafi‟ie.
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Ia belajar filsafat
pada universitas di kota asalnya, antara lain pada Nikolai Hartman dan Martin
Heidegger, serta mengikuti kuliah pada Rudolf Bultmann, seorang teolog
Protestan yang cukup terkenal.20 Meski sebagai pendatang yang lambat, ia dapat
mendobrak pola pemikiran hermeneutika tokoh sebelumnya. Bukunya yang
sangat terkenal, yang disebut sebuah adikaryanya: Truth and Method (1960).
Seperti yang dikatakan Dr. Stephen Palmquis: buku ini, yang kadang-kadang
dijuluki “Kitab Suci” filsafat hermeneutika Jerman, memperkirakan perdebatan
tajam historis antara periode filsafat Pencerahan dan Romantik. Filsafat
Pencerahan berpegang pada pandangan yang naif bahwa akal dapat memecahkan
semua masalah manusia, asalkan kita mau membuang semua praduga dan
memandang alam dari sudut pandang kebenaran universal yang obyektif. Sedang
Filsafat Romantik menolak “prasangka terhadap prasangka” ini, menggantinya
dengan prasangka demi tradisi dan, bersama dengan ini, suatu penghormatan baru
terhadap mitos. Jadi para Romantik memandang alam dari sudut pandang
kebenaran individual yang subyektif.
20
E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, hlm. 67.
19
Seperti yang dikemukakan oleh Gadamer sendiri, bahwa dengan sekedar
mengatakan “tidak” terhadap sudut pandang lawan, gerakan ini melakukan
kesalahan dasar yang sama dengan kesalahan Pencerahan: para filsuf di kedua
tradisi tersebut cenderung tetap tak sadar akan perasangka mereka. Filsafat
hermeneutik melampaui kedua gerakan itu dengan mengklaim bahwa memiliki
suatu prasangka tidak terelakkan. Lebih lanjut Gadamer menambahkan, kalau
perasangka adalah buruk hanya bila merupakan hasil dari melihat bukti secara
tergesa-gesa. Perasangka yang didasarkan pada rasa percaya kepada otoritas
yang sah bukan hanya tidak buruk, melainkan juga merupakan langkah-niscaya
dalam pemerolehan segala pengetahuan.21
Hans Georg Gadamer dalam bukunya Truth and Method, mengatakan: di
dalam analisis hermeneutik romantik bahwa pemahaman romantik bahwa
pemahaman tidak didasarkan pada “perolehan batin” orang lain, pada
penggabungan langsung satu orang dengan yang lain. Untuk memahami apa yang
dikatakan seseorang, sebagaimana telah kita katakan, adalah menyetujui objeknya,
bukan memperoleh sisi batin dari orang lain dan mengalami lagi pengalamanpengalamannya. Kita menekankan bahwa pengalaman makna yang terjadi di
dalam pemahaman selalu memasukkan aplikasi. Sekarang kita mencatat seluruh
proses ini bersifat linguistik. Ini tidak berarti bahwa masalah-masalah aktual
pemahaman dan usaha untuk menguasainya adalah sebuah seni—pokok perhatian
hermeneutika— yang secara tradisional berkaitan dengan ruang bahasa dan
21
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (The Tree of Philosophy), hlm. 230-231.
20
retorika. Bahasa adalah dasar menengah di mana pemahaman dan persetujuan
yang berkaitan dengan objeknya terjadi dua orang.22
Gadamer melihat bahwa fenomena hermeneutika pada dasarnya sama
sekali bukan suatu masalah metode. Dengan demikian, tujuan penelitiannya bukan
pula suatu Methodenlehre yang sekedar masalah merumuskan logika yang dipakai
dalam bidang kegiatan mengetahui. Tujuannya juga bukan menyusun suatu teori
umum interpretasi.
23
Dalam hal ini, Gadamer membahas secara panjang lebar
empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutik. Empat konsep
tersebut adalah: bildung atau kebudayaan, sensus communis atau „pertimbangan
praktis yang baik‟, pertimbangan dan taste atau selera.24 Dengan begitu, penulis
meringkas empat konsep Gadamer atas buku Hermeneutika Sebuah Metode
Filsafat, yang ditulis oleh E. Sumaryono. Ringkasan ini, hanya diambil pokokpokoknya saja, mengingat beberapa hal yang jadi pertimbangan.
1) Bildung
Bildung adalah konsep yang meliputi seni, sejarah, Weltanschauung
(pandangan dunia), pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan,
ekspresi atau ungkapan, style atau gaya dan simbol, yang kesemuanya itu kita
mengerti saat ini sebagai istilah-istilah di dalam sejarah. Istilah-istilah atau termterm tersebut termasuk dalam aturan-aturan pengetahuan tentang hidup dan
kemanusiaan. Lebih kepada nilai-nilai batin seorang yang sedang menemukan
puncaknya.
22
Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode terj. Ahmad Saidah (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 465-466.
23
W. Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 93.
24
E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, hlm. 71-75.
21
2) Sensus Communis
Sensus communis mempunyai arti kesetaraan arti dengan ekspresi bahasa
Perancis le bon sens, yaitu pertimbangan praktis yang baik. Menurut
pengertiannya yang mendasar, istilah tersebut adalah pandangan yang mendasari
komunitas dan karenanya sangat penting untuk hidup. Hidup di dalam komunitas
dalam kelompok masyarakat memperkembangkan suatu pandangan tentang
kebaikan yang benar dan umum.
3) Pertimbangan
Pertimbangan sifatnya adalah universal, namun bukan berarti berlaku
umum. Seperti halnya sensus communis yang dianggap sebagai „harta‟ universal,
kemanusiaan namun juga tidak digunakan secara umum. Pertimbangan juga
bersifat universal, tetap hanya sedikit orang saja yang kiranya memiliki
sebagaimana mestinya. Pertimbangan dan sensus communis termasuk dalam
interpretasi ilmu-ilmu tentang hidup. Bila melalui sensus communis orang
memperkembangkan pandangan tentang kebaikan umum atau cinta kemanusiaan,
maka atas pertimbangan tersebut orang dapat memilah-milah macam peristiwa.
4) Taste atau selera
Menurut Gadamer selera sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannya
tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas
sesuatu, kita tidak tahu sebabnya. Tetapi selera tahu pasti tentang hal itu. Semakin
selera dinyatakan pasti maka semakin dirasakan hambar. Berdasarkan fakta, selera
bertentangan dengan yang tidak menimbulkan selera (karena tidak ada rasanya
atau hambar).
22
Atas yang demikian itu, menguak teks pencapaian dalam Tarian Mabuk
Allah, sebagai jalan untuk memasuki gerbang kepasifan teks yang perlu ditelaah
dan dianalisis lebih dalam. Dengan bantuan hermeneutika, maka kepelikan dalam
teks bisa terkuak. Hermeneutika sebagai petunjuk teknis untuk menemukan
makna yang berkelindan di dalamnya, meski hal itu bukan suatu pencapaian final
untuk menentukan teks tersebut sudah selesai, melainkan sebentuk pintu untuk
memasuki wilayah yang sebelumnya belum dikuak, inilah hikmah dari
hermeneutika.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kepustakaan (liberary reseach). Secara garis
besar metode penelitian ini terbagi menjadi dua bagian. Untuk itu, penulis akan
menyebutkan metode penelitian yang dilakukan, utamanya dalam persoalan data.
Pertama, sumber data. Kedua, pengolahan dan analisis data.
1. Metode Pengumpulan Data
Seorang peneliti dalam rangka pelaksanaan pengumpulan data
harus menentukan sumber-sumber data serta lokasi di mana
sumber data tersebut ditemukan dan diteliti.25
Pada hal ini, penulis mengumpulkan data melalui dua macam hal,
antara lain:
a. Wawancara
Metode ini digunakana untuk mengadakan wawancara
dengan pihak responden primer (tokoh yang diteliti) serta
25
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma: Yogyakarta, 2005),
hlm. 139.
23
responden sekunder, yaitu: keluarga, guru, maupun dari
beberapa kenalan tokoh yang sedang diteliti.
b. Metode ini digunakan peneliti untuk mengetahui karyakarya secara lengkap, dan menganalisisnya agar dapat
diketahui benang merah pemikiran Kuswaidi Syafi‟ie.
Langkah-langkah peneliti dalam mengumpulkan data
dengan:
1. Membaca teks sastra (puisi) secara seksama dan
berulang-ulang.
2. Mengambil dan mencatat data sesuai dengan aspek
kajian.
3. Mengklasifikan data sesuai dengan aspek kajian.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini ialah
sebuah buku antologi puisi Kuswaidi Syafi‟ie yang berjudul Tarian
Mabuk Allah yang diterbitkan Pustaka Sufi, Yogyakarta cetakan
ketiga 2003. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah
data-data berbentuk buku, artikel, esai serta tulisan-tulisan lepas
yang dimuat di surat kabar dan majalah, utamanya tulisan
Kuswaidi Syafi‟ie di Koran Sindo yang mendukung terhadap
pembahasan ini.
24
3. Metode Pengolahan Data
a) Deskriptif
Menjelaskan ekspresi ekstase yang dicapai Kuswaidi Syafi‟ie
dalam buku Tarian Mabuk Allah dengan terma pemaknaan yang
lebih dalam, lugas, serta memaparkan lebih luas dengan koridor
yang berlaku terhadap teks sebagai bahan mentah menjadi hidup.
Dari penjelasan yang demikian itu, penulis menggunakan bahasa
yang dapat dimengerti dengan patokan dasar dalam ungkapanungkapan estetik dalam teks buku tersebut.
b) Interpretasi
Hal yang mendasar dalam penelitian ini adalah interpretasi yang
mana dalam hal ini, kajian terhadap teks Tarian Mabuk Allah
disarikan makna yang sekiranya pas untuk mengungkapkan secara
gamblang. Karena dalam karya ini penuh dengan simbol-simbol,
metafora, bahkan ungkapan-ungkapan yang tidak dapat ditangkap
begitu saja. Sebabnya, interpretasi sangat membantu untuk
memecahkan persoalan yang menjadi duduk perkara dalam sebuah
teks yang masih belum bisa berdiri tanpa adanya bantuan
interpretasi. Sehingga, sesuatu yang berhubungan dengan perkara
teks, interpretasi mendorong untuk menyelesaikannya. Utamanya,
agar tidak ditemukan subtansi yang yang belum dikena. Artinya,
yang padat dan dalam bisa terkuak dengan bantuan metode
interpretasi.
25
Menjelaskan ekspresi ekstase yang dicapai oleh Kuswaidi Syafi‟ie
dengan terma pemaknaan yang lebih dalam, lugas, serta
memaparkan lebih luas dengan ketentuan koridor yang berlaku
terhadap teks sebagai bahan mentah menjadi hidup. Dari
penjelasan yang demikian itu, penulis menggunakan bahasa yang
dapat dimengerti dengan patokan dasar dalam ungkapan-ungkapan
estetik dalam teks Tarian Mabuk Allah.
c) Kesinambungan Historis
Pada aspek ini, penulis memberikan suatu anasir pada pemikiran,
pengaruh, serta pengaruh pada lingkungan. Utamanya di bidang
sastra dan tasawuf, juga sebuah kenyataan yang sedang dialami dan
relevansinya dengan kehidupan yang dijalaninya. Kesinambungan
ini suatu langkah untuk melacak sampai jauh, bagaimana Kuswaidi
Syafi‟ie dipengaruhi oleh beberapa tokoh sebelumnya juga
beberapa spiritualis di zamannya. Hal ini membantu penulis untuk
menemukan aspek nilai kehidupan yang sedang dilakoni Kuswaidi
Syafi‟ie.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam skripsi ini dapat disistematikan
penyajiannya sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan. Di dalamnya berisi subbab lainnya yaitu,
latar belakang masalah mengenai pentingnya penelitian ini. Rumusan masalah,
26
tujuan penelitian dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian dan dilanjutkan
dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas biografi Kuswaidi Syafi‟ie yang memuat subbab
perjalanan hidup, pendidikan, karya serta karakter pemikirannya.
Bab ketiga membahas makna syatahat secara umum serta wacana sufisme,
juga aliran sufi.
Bab keempat menguraikan makna syatahat dalam Tarian Mabuk Allah
dan relevansinya dengan kehidupan Kuswaidi Syafi‟ie dan kritik.
Bab kelima menyimpulkan uraian di atas dalam bentuk penutup yang
berisi kesimpulan serta saran penulis berdasarkan pada hasil pembahasan yang
dilakukan selama proses awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian yang dilakukan ini menghasilkan sebuah tahapan terakhir,
dengan sebuah kesimpulan bahwa syatahat merupakan nilai yang dialami oleh
para sufi. Utamanya syatahat dalam buku Tarian Mabuk Allah sebagai cerminan
dari nilai ekstase yang dialami oleh Kuswaidi atau proses untuk mengalami.1
Meski, ini bukan sebuah kesimpulan akhir dari suatu penelitian, paling tidak ada
kajian lebih lanjut tentang syatahat dan kajian teks (hermeneutika) secara umum.
Sebab selama ini, kajian syatahat para sufi masih terbilang sedikit.
Lebih urgen lagi, penulis menemukan sebuah kecenderungan yang berbeda
sekaligus sama ketika membaca buku ini dikaji pada kerja syatahat-nya.
Kecenderungan yang ditemukan oleh penulis, jelas bermuara kepada suatu
pencapaian yang dilakukan oleh Kuswaidi dalam mengungkapkan sesuatu.
Hasilnya, penulis menemukan nilai-nilai atau corak yang berbeda dengan berbagai
penyair sebelumnya, semasanya, dan sesudahnya.
Seperti yang sudah ditulis di bab-bab sebelumnya, Kuswaidi memiliki
corak pandang yang berbeda dari penyair Madura lainnya. Ia ingin memberikan
corak segar dalam bidang perpuisian yang pernah ditulis oleh penyair Madura
secara umum. Ia lebih dipengaruhi oleh panyair Timur Tengah daripada penyair
sebelumnya. Ini terlihat bagaimana penggunaan idiom yang sangat khas cara
11
Bandingkan dengan corak pandangan antara sufi penyair dan penyair sufi.
229
230
ungkap penyair Timur Tengah, juga ia lebih banyak menyerap suatu pelajaran
pengalaman yang dialami oleh para sufi Timur Tengah. Utamanya ia lebih dekat
pada Jalaluddin Maulana Rumi, Muhyiddin Ibn ‘Arabi, dan Mohammad Iqbal.
Pengaruh ketiga sosok tersebut sangat kental dalam buku Tarian Mabuk
Allah ini. Baik cara pengungkapan dan cara menganalisis sebuah tema pokok
sebagai judul utama dari sub judul dalam buku ini. Bahkan dalam sudut pandang
yang kokoh, buku ini begitu kental dengan cara berpikir ketiga tokoh tersebut dan
ini sangat penting untuk membedah lebih jauh buku ini dalam sudut pandang
apapun.
Utamanya, pada impian Kuswaidi dalam sebuah petualangannya.
Barangkali dalam dimensi syatahat tidak jauh berbeda dengan yang pernah
dialami oleh sufi lainnya. Hanya saja, konteks Kuswaidi memulai dirinya dari
menjadi penyair sufi menuju realitas kesufiannya yang sebenarnya. Dan
kenyataannya banyak pengaruh dari para sufi sebelumnya ketika berpapasan
dengan buku ini sebagai sebuah karya master piece Kuswaidi dalam bidang puisi.
Sehingga, penulis tidak menemukan kesulitan dalam hal ini. Inilah eksperimen
paling mengagumkan oleh penyair dan yang paling penting, ia meneruskan
dirinya untuk meniti di lorong ruhani sesuai dengan ramalannya dalam buku ini.
Dalam hal ini, penulis menemukan nilai inti penelitian yang dilakukan,
antara lain:
1. Syatahat para sufi merupakan pengaruh dari psikologisnya yang tidak
sadar akan keadaan dirinya, ketika mengalami ekstase. Ekstase yang
231
dimaksud tidak lain dari upaya pengenalan dirinya kepada Tuhan,
dimana telah disingkapkan selubung rahasia pada dirinya.
2. Syatahat dalam buku Tarian Mabuk Allah sebagai sebentuk nilai dari
hasil renungan Kuswaidi untuk menyelam ke dasar ilahiat secara total,
karena perenungan merupakan hal yang urgen untuk menemukan
Tuhan dalam segala apapun, sehingga muncul sebuah keyakinan
bahwa asal mula sesuatu itu dari Tuhan. Tidak hanya pada itu saja,
syatahat yang dialami oleh Kuswaidi mempunyai relevansi pada
kehidupan
seharinya
sebagai
seorang
sufi.
Tidak
menutupkemungkinan, pengalaman tersebut merupakan langkah untuk
menemukan jati dirinya yang sebenarnya.
B. Saran
Dalam hal ini, penulis mengakui sebuah keterbatasannya ketika
menganalisis syatahat secara umum dan khususnya dalam buku Tarian Mabuk
Allah. Hasil yang dicapai belum sepenuhnya maksimal dan final. Hal yang utama
diperhatikan, tidak ada penelitian yang sifatnya final, apalagi dalam skripsi ini
masih terbilang sedikit pada pembahasan syatahat-nya sedang dalam bidang
hermeneutikanya sudah bukan barang yang baru. Karena penulis belum
menemukan kajian syatahat pada penyair sufi atau sufi penyair yang berada di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Qasim Muhammad, Abu Yazīd al-Bustamī: al-Majmū‟ah al-şū fiyyah alKāmilah, Damascus: Al-Mada, 2004.
—————, Al-Hallaj: I‟māl al-Kāmilah, Beirut: Riad al-Rayyes Books, 2002.
‘Abdul Qodir al-Jailani, Syekh, Menapak Jalan Sufi, terj. Kamran Al dan M.
Nasrullah, Yogyakarta: P_Idea, 2005.
—————, Menyingkap Kegaiban, terj. Syamsu Basaruddin dan Ilyasi Hasan,
cet. 2, Bandung: Mizan, 1985.
Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, Vol 1-4, terj. Khairon
Nahdiyyin, cet. 2, Yogyakarta: LKiS, 2012.
Al-Badawī, Abdurrahman, Syatahatalūfiyyah, Kuwait: Walakah al-Matb ū’ah,
1960.
Alfaizin, Sufisme dalam Buku Tarian Mabuk Allah, Tesis Fakultas Bahasa dan
Sastra Indonesia UNISMA Malang, 2007.
Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan. Bandung: Mizan Bandung, 1993.
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina, 1997.
Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim, Roh, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Al-Tūsī, Sarraj, Al-Lumma‟ fi al-Tasawwuf, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah,
1960.
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: Departemen RI, 2007.
Ahmala (dkk.), Hermeneutika Transendental, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
‘Arabi, Ibn, Futuhat Al-Makkiyah, Jil. 1, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Alilmiyah, 2011.
Armstrong, Amatullah, Khazanah Istilah Sufi Kunci Memasuki Dunia Tasawuf,
terj. M.S. Nashrullah dan Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 1996.
As-Sulami, Abi Abdirrahman, Al-Moqodimmah Fi Al-Tasawwuf, Lebanon:Beirut,
1999.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.
232
233
Bakker, Anton, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1989.
Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn „Arabi terj. Moh. Khozim dan
Suhadi, Yogyakarta: LKiS, 2002.
E. Palmer, Richard, Hermeneutika Teori
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Baru Mengenai Interpretasi,
Ernst, Carl W, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme, terj. Heppi Sih Rudatin dan Rini
Kusumawati, Yogyakarta: Putra Langit, 2003.
Faiz,
Fakhruddin, Hermeneutika Qur‟ani: Antara
Kontektualisasi, Yogyakarta: Qalam, 2007.
Teks,
Konteks,
dan
—————, Hermeneutika Al-Qur‟an: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta:
Qalam, 2007.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1987.
Feild, Reshad, Lorong Tersembunyi (Kematian dan Cinta yang Tak Sudah), terj.
S. Levi Soeroto, Jakarta: Serambi, 2005.
Fitzgerald, dkk, Jalan Sang Salik di Musim Semi (Empat Sajak Sufi Klasik), terj.
Koes Adiwidjajanto dan Wahyudi, Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
Gazalba, Sidi, Ilmu, Filsafat dan Islam Tentang Manusai dan Agama, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Georg Gadamer, Hans, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Saidah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Haeri, Fadhlalla, Jenjang-jenjang Sufisme, terj. Ibn Burdah dan Shohifullah,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
—————, Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku: Kata-kata Ali bin Abi
Thalib, terj. Tholib Anis, cet. 3, Bandung: Pustaka Hidayah, 2005.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Musa Karya Offset
Jakarta, 1983.
Hasan Enver, Ishrat, Metafisika Iqbal, terj. M. Fauzi Arifin, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Hadi W.M, Abdul, Rumi: Sufi dan Penyair, Bandung: Pustaka, 1985.
234
—————, Kembali Ke Akar Kembali Ke Sumber (Esai-esai Sastra Profetik
dan Sufistik), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
—————, Tasawwuf yang Tertindas, Jakarta: Paramadina, 2001.
—————, Hamzah Fanzuri: Risalah Tasawuf dan Puisi Pujangga, Bandung:
Mizan, 1995.
Hosein Nasr, Sayyed, Ensikplopedi Tematis Filsafat Islam (buku satu dan dua),
ter. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003.
Ibrahim Bazuri Ilahi, Syaik, Menyingkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj
“Anal Haq”, terj. HR. Bandoso dan Jobar Ajob, Jakarta: Rajawali, 1993.
Ismail, Faizal, Percikan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Bina Usaha, 1984.
Ismail, Ilyas (dkk.), Ensikplopedi Tasawuf, Jilid 3, Bandung: Angkasa, 2008.
Jalaluddin Rumi, Maulana, Masnawi Senandung Cinta Abadi Jalaluddin Rumi,
terj. Abdul Hadi W.M, cet. 2, Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013.
Jumantoro, Totok dkk, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo: Amzah, 2005.
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan (Pengantar Epistemologi
Islam), Bandung: Mizan, 2003.
Lings, Martin, Syaik Ahmad Al-Alawi Wali Sufi Abad 20, terj. Abdul Hadi W.M,
Bandung: Mizan, 1983.
Luthfi Ghozali, Muhammad, Percikan Samudera Hikmah: Syarah Hikam Ibn
Atho‟illah As-Sakandari, Jakarta: Siraja Prenada Media Grup, 2011.
Mohammad Iqbal, Javid Nama, Ziarah Abadi, terj. Dewi Candraningrum,
Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000.
Miftahul Luthfi Muhammad, Omda, Menjadi Diri Sendiri, Surabaya: Dis, 2012.
Muhammad Abbas, Qasim, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu‟ah as-Shufiyah alKamilah, Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr, 2004.
Muhammad Ath Thair, Musthafa, Menyingkap Alam Ruh, terj. A. Rofiq Zainul
Mun’im, Yogyakarta: Cahaya Hikmah, 2004.
—————, Mushthafa, Dirasah Tahliliyyah li al-Ghaibiyyat wa Khawariq al„Adat, Kairo: Univ. al-Azhar, 1971.
235
Nasution, Harun, Filsafat Agama. Jakarta: Magenta Bhakti Guna, Jakarta, 1973.
—————, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UIP, 2011.
Nur, Muhammad, Wahdah Al-Wujud Ibn „Arabi dan Filsafat Wujud Mulla
Shadra, Makasar: Chamran Press, 2012.
Baca W.S. Rendra, Memberi Makna Pada Hidup yang Fana, Jakarta: Pabelan
Jayakarta, 1999.
Salam, Aprinus, Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS, Yogyakarta, 2004.
Schimmel, Annemarie, Dunia Rumi (Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi), ter.
Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002.
—————, Rahasia Wajah Suci Ilahi. Bandung: Mizan, Anggota IKAPI
Bandung, 1997.
—————, Dimensi Mistik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Sudardi, Bani, Sastra Sufistik. Solo: PT Tiga Serangkai, 2003.
Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Pustaka
Filsafat, 1999.
Syafi’ie, Kuswaidi, Menapak Lorong Aulia, Yogyakarta: Ittaqa Press, 1994.
—————, Memanjat Bukit Cahaya, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000.
—————, Pohon Sidrah, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
—————, Tarian Mabuk Allah, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
—————, Tafakkur di Ujung Cinta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
—————, Sepotong Rindu untuk Kanjeng Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
—————, Pesona Pantai Keabadian, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2015.
Takeshita, Masataka, Manusia Sempurna Menurut Konsepsi Ibn „Arabi, Moh.
Hefni MR, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
236
Ulum Mahfud, Miftakhul, Hubungan Perawatan Kaki Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 Dengan Kejadian Ulkus Diabetik Di RSUD Dr. Moewardi, Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012.
Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat (The Tree of Philosophy), terj. Mohammad
Shodiq, cet 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Poespoprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Pradopo, Rachmat Djoko, Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press Yogyakarta, 2002.
Wachid B.S, Abdul, Religiositas Alam: Dari Surealisme ke Spiritualisme,
Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Wahedi, Set, Aufa, Menulis Itu Pahit, Sumenep: Paelan, 2015.
Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progresssif, 1997.
Zaprulkhan, Pencerahan Sufisti (Menimba Kearifan Hidup Melalui Kisah-kisah
Kaum Sufi, Jakarta: Gramedia, 2015.
Rujukan Jurnal:
Religi Jurnal Studi Agama-agama, Vol. X, No. 2 Juli 2004.
Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 1 Maret 2006. Dalam id.portalgaruda.org, diakses pada
17 Maret 2016, pukul 13:30 WIB.
Junal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 3, No. 2, Desember 2006. Dalam
ejournal.iain-palangkaraya.ac.id, diakses pada 18 Maret 2016, pukul 02:30
WIB.
Jurnal Komunitas Rumah Lebah, No. 3, 2012.
Jurnal Al-Hikmah, Vol. XIV, No. 1. 2013. Dalam id.portalgaruda.org, diakses
pada 17 Maret 2016, pukul 15:45 WIB.
Jurnal Ahkam, Vol. XIV, No. 1, Januari 2014. Dalam id.portalgaruda.org, diakses
pada 17 Maret 2016, pukul 13:15 WIB.
Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014. Dalam jurnal.radenfatah.ac.id, diakses pada
17 Maret 2016, pukul 16:15 WIB.
237
Jurnal Religi, Vol. X, No. 1, Januari 2014. Dalam digilib.uin-suka.ac.id, diakses
pada 18 Maret 2016, pukul 01:30 WIB.
Jurnal
Ibda’,
Vol.
13,
No.
1,
Januari-Juni
2015.
Dalam
ejournal.iainpurwokerto.ac.id, diakses pada 18 Maret 2016, pukul 02:01
WIB.
Jurnal SmaRT, Vol. 01, No. 01, Juni 2015. Dalam blasemarang.kemenag.go.id,
diakses pada 17 Maret 2016, pukul 12:40 WIB.
Jurnal Tasavvuf: İlmî ve Akademik Araştırma Dergisi, Vol. 7, 2006, sayı: 17
Rujukan Majalah:
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.9/2014, September 2014.
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.12/2014, Desember 2014.
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.2/2015, Februari 2015.
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.3/2015, Maret 2015.
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.5/2015, Mei 2015.
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.6/2015, Juni 2015.
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.7/2015, Juli 2015.
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.9/2015, September 2015.
Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.12/2015, Desember 2015.
CURICULUM VITAE
Nama
Tempat/Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Agama
Kewarnegaraan
Alamat
No. HP
Email
Nama Ora Tua
Alamat Orang Tua
: Khairiyanto
: Sumenep, 02 Maret 1992
: Laki-laki
: Islam
: Indonesia
: Dusun Sarota’ Poteran, RT/RW 001/007, Desa
Poteran, Kec. Talango, Kab. Sumenep, Madura,
Jawa Timur
: 087850246263
: [email protected]
Ayah : Buahmo (H. Moh. Ra’is)
Ibu
: Hasiyani
: Dusun Sarota’ Poteran, RT/RW 001/007, Desa
Poteran, Kec. Talango, Kab. Sumenep, Madura,
Jawa Timur
Riwayat Pendidikan Formal :
a.
b.
c.
d.
Riwayat Pendidikan Non
MI. Fathul Ulum
SMP Yayasan Abdullah (Yas’a)
SMA Yayasan Abdullah (Yas’a)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
:
a. Pon-Pes Mathali’ul Anwar
b. Program Ma’had Aly
238
: 1999-2005
: 2005-2008
: 2008-2011
: 2012-2016
: 2005-2012
: 2011-2012
Download