SYATAHAT DALAM PUNCAK EKSTASE ILAHIYAH (Perspektif Hermeneutika Terhadap Buku Tarian Mabuk Allah) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Disusun Oleh: Khairiyanto NIM: 12510083 JURUSAN FILSAFAT AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015 MOTTO puisiku adalah rentetan perjalanan yang jauh, karenanya aku sangat melarang ranting-ranting patah bila puisiku sudah terucapkan! sebab puisiku murni dariku dari seorang yang menanggung rindu dan cinta puisiku adalah Kau adalah kita! Khairi Esa Anwar, 2016 v PERSEMBAHAN Karya (skripsi) ini aku persembahkan untuk: Kepada Allahku dan Muhammadku. Kepada Guruku: Moh. Ridwan, KH. Said Abdullah bin Khusein, Nabiyullah Khidir Balyan, Malkan ibn Faris (yang sering aku jumpai), Nabiyullah Ilyaz, Mansur Al-Hallaj, Syaikhul Akbar Ibn ‘Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi dan Kuswaidi Syafi’ie, Hidayat Rahardja, Moh. Kadir. Kepada kedua orang tuaku: H. Moh. Rai’s dan Hasiyani yang telah melahirkan, mengasuh, menyekolahkan. Salam sungkem dan takdim yang tiada terkira. vi PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tertanggal 22 Januari 1988 Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987. A. Konsonan Tunggal Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan ا ة ت ث ج ح خ د ذ ر ز ش ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل و ٌ و ِ ء ي Alif Bā’ Tā’ Śā’ Jim Hā’ Khā’ Dal Żal Rā’ Zā Sīn Syīn Ṣād Ḍād Ṭā’ Ẓā’ ‘Ayn Gayn Fā’ Qāf Kāf Lām Mīm Nūn Waw Hā’ Hamzah Yā tidak dilambangkan B T Ś J ḥ Kh D Ż R Z S Sy Ṣ Ḍ Ṭ Ẓ …ʽ… G F Q K L M N W H …’… Y Tidak dilambangkan Be Te Es titik atas Je Ha titik di bawah Ka dan Ha De Zet titik di atas Er Zet Es Es dan ye Es titik di bawah De titik di bawah Te titik di bawah Zet titik di bawah Koma terbalik di atas Ge Ef Qi Ka El Em En We Ha Apostrof Ye vii B. Konsonan Rangkap karena Tasydīd ditulis Rangkap يتعدّدة عدّة C. Muta’addidah ‘Iddah Ditulis Ditulis Tā’marbūṭah di Akhir Kata 1. Bila dimatikan, ditulis h: حكًة جسية Ḥikmah Jizyah Ditulis Ditulis 2. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h. كراية األونيبء Ditulis Karāmah al-auliyā’ 3. Bila tā’marbūṭah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis t atau ha زكبة انفطر Ditulis Zakāh al-fiṭri D. Vokal Pendek __َ __َ __َ E. Fathah Kasrah Dammah Ditulis Ditulis Ditulis ( ضربdaraba) ‘( علمalima) ( كتبkutiba) Vokal Panjang 1. Fatāh + alif, ditulis ā (garis di atas) جبههية Ditulis Fathah + alif maqṣūr, ditulis ā (garis di atas) يسعى Ditulis Jāhiliyyah 2. 3. Kasrah + ya’ mati, ditulis ī (garis di atas) يجيد Ditulis Yas’ā Majīd 4. Dammah + wawu mati, ditulis ū (dengan garis di atas) فروض Ditulis Furūd viii F. Vokal Rangkap 1. Fathah + yā’ mati, ditulis ai بيُكى Ditulis 2. Fathah + wau mati, ditulis au قول Ditulis G. Qaul Vokal-vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata, dipisahkan dengan Apostrof ااَتى اعدت نئٍ شكرتى H. Bainakum Ditulis Ditulis Ditulis A’antum U’iddat La’in syakartum Kata Sandang Alif + Lām 1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis alٌانقرا انقيبش Ditulis Ditulis Al-Qur’ān Al-Qiyās 2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, sama dengan huruf qamariyah انشًص Ditulis Al-Syams انسًبء Ditulis Al-samā’ I. Huruf Besar Huruf besar dalam tulisan Latin digunakan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). J. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat dapat ditulis Menurut Penulisnya ذوي انفروض Ditulis Zawi al-furūd أهم انسُة Ditulis Ahl al-sunnah ix KATA PENGANTAR َنَمْحَّرلا ِهللاِر ِ ِبْسِم Alḥamdulillāh Rabbi al-Ᾱlamīn. Segala puji bagi Allah yang senantiasa memberikan nikmat, rahmat, taufīq, hidayah serta inayah-Nya kepada seluruh manusia. Tak lupa shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang senantiasa membimbing umatnya melalui risalah-risalah yang diberikan Allah, sehingga manusia dapat membedakan antara yang ḥaq dan yang bāṭil. Alḥamdulillah sekali lagi peneliti haturkan kepada Allah, karena berkat pertolongan-Nya penulisan dan penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan, meskipun peneliti menyadari masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, peneliti sangat menerima kritik dan saran untuk kebaikan ke depannya dan meminta maaf yang sebesar-besarnya. Penulisan skripsi ini tentunya juga tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT., yang telah memberikan rahmat-Nya kepada manusia dan kepada Nabi Muhammad yang telah membimbing umatnya kepada jalan yang ḥaq. 2. Ayahanda (H. Moh. Ra’is) serta ibunda (Hasiyani) yang senantiasa membimbing dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya, serta tak henti-hentinya mendoakan penulis agar menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat untuk agamanya. Semoga Allah selalu melindungi, merahmati menyertai langkah beliau. 3. Kakak Kusnanto dan Ani, Miftahul Karim dan Hoyyinah yang memotivasi penulis untuk terus belajar. Ponaan penulis: Dian, Aldi, Doni, Afil, dan Ira. 4. Dan para guru: Moh. Ridwan, KH. Husein (Alm), KH. Said Abdullah, Hidayat Rahardja, Moh. Kadir, D. Zawawi Imron, KH. Sahnuki, Kuswaidi Syafi’ie. Dan para beberapa guru yang seringkali penulis rindui kedatangannya: Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, Mohammad Iqbal, Imam Al-Ghazali, Nabiyullah Khidir, Nabiyullah x Ilyas, Mansur Al-Hallaj, serta Keluarga Besar Pon-Pes Mathali’ul Anwar, Gus Ibad (Spesial For Ilahi). 5. Prof. Drs. H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 6. Dr. Alim Ruswantoro, S.Ag., M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 7. Dr. Robby Habiba Abror, S.Ag., M.Hum. Selaku Ketua Jurusan Filsafat Agama dan sekaligus pembimbing akademik. Terimakasih banyak atas nasehat-nasehat dan motivasinya dan supportnya selama ini. 8. Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag. Selaku pembimbing skripsi yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing, membaca dan mengoreksi skripsi. 9. Seluruh dosen jurusan Filsafat Agama khususnya, dan semua dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam yang telah menginspirasi dan memberikan ilmunya kepada penulis. Segenap Staf Tata Usaha, karyawan Fakultas Ushuluddin, Staf Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga. 10. Teman-teman penulis dari Keluarga Santre Pangarangan (Alumni Pon-Pes Mathali’ul Anwar di Yogyakarta), teman-teman Pon-Pes Maulana Rumi Sewon Bantul, teman-teman Pon-Pes Maulana Arabi, teman-teman Jurusan Filsafat Agama 2012, Keluarga Bidikmisi 2012, Kos Wisma Standart, Humaniush, Insyaallah Institute, MPR (Menulis Pinggir Rel). 11. Kak Achmad Mukhlish Amrin dan Mbak Zizi Hefni, Mas As’adi Muhammad dan Mbak Dewi Mustofia, juga Syaiful A’la. Mereka yang selalu tak bosan memotivasi penulis untuk terus berkarya. Kepada semua pihak yang telah memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelasaikan studi S-1 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 12. Hanya beberapa teman yang dapat penulis sebutkan: Nur Rochmah (Jubek), Sri Widayanti Lestari (Pik-Pik), Azna Ulil Maizah (AUM), Nuril Hidayah (Khairil), Maryam (Nyut-nyut), Fina Tri Kurnia (Fino), Ganisa Kurniasih xi (Urni), Ulinnuha Nabila (Abing), Asmiatur Rasyidah (Asmi), Ainur, Cak Rosi, Cak Hilal, Cak Jakfar, Faqih Mahfudz, Cak Yusri, Cak Huri. Hanya doa yang dapat penulis panjatkan sebagai tanda rasa terima kasih penulis yang sebesar-besarnya. Semoga mereka selalu ada dalam lindungan Allah, selalu dirahmati Allah dan jasa-jasa yang telah mereka lakukan mendapat balasan dari Allah dengan balasan yang sebaik-baiknya. Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat membutuhkan kritik serta masukan-masukan untuk kebaikan ke depannya. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat dan berkah bagi agama, dunia dan akhirat. Amin. Yogyakarta, 3 Juni 2015 Penulis KHAIRIYANTO NIM: 12530054 xii ABSTRAK Syatahat sebagai ungkapan para sufi masih menjadi problem dalam keagaaman, utamanya di kalangan ulama’ fiqh. Sebagai sebuah ungkapan yang nyeleneh, ia merupakan hasil dari sufi yang mengalami sebuah ekstase atau di bukanya selubung hijab dirinya. Karenanya, dimensi manusia (nasut) hilang digantikan dimensi ketuhanan (lahut). Dan ia mengalami fana’ sekaligus baqa’ dalam dirinya. Pada proses tersebut, sufi yang mengalami ekstase jelas menemukan kepurnaan dalam dirinya. Utamanya dalam buku Tarian Mabuk Allah karya Kuswaidi Syafi’ie. Sebagai penyair sufi yang memulai kiprahnya melalui puisi, jelas hal ini berbeda dengan sufi penyair yang berkaitan langsung dengan pengalamannya yang di lihatnya, di dengarnya, di rasanya. Untuk itu, di pandang perlu penulis melakukan sebuah pemetaan, baik ciri khas syatahat, kesamaan dan perbedaan. Lebih pada itu, kaitannya dengan kehidupan. Artinya relevansi antara karya yang dihasilkan melalui renungan dengan kehidupannya. Sehingga, tidak ada yang muskil antara karya yang dihasilkan dengan lelaku yang berkaitan dengan kehidupannya. Problematika yang dihadapi dalam kategori Kuswaidi sebagai penyair sufi, jelas sebuah pencarian akan dimensi dirinya. Untuk pengawalan yang intens pada penelitian, sebagai kerangka dalam menentukan objek terhadap yang diteliti. Metode yang digunakan dalam membedah buku tersebut, penulis menggunakan hermeneutika utamanya hermeneutika Hans Georg Gadamer. Metode hermeneutika yang digunakan penulis tidak lain untuk membuka selubung makna yang masih tabu dalam tubuh karya. Metode ini bertujuan untuk memberikan makna yang dikandung dalam karya menjadi suatu nilai tawar bagi pembaca buku Tarian Mabuk Allah. Temuan dari wawancara, dokumentasi sangat membantu penulis dalam menemukan objek penelitian sebagai bentuk pengukuhan dari metode penelitian yang digunakan. Setelah temuan data-data yang konkret, baru penulis melakukan sebuah telaah lebih dalam lagi terhadap buku Tarian Mabuk Allah. Yang jelas, penulis langsung mewancarai pihak yang terkait ketika ada persoalan yang belum sepenuhnya dimengerti. Daripada itu, penulis menemukan relasi antara karya dan kehidupan Maka, temuan penulis bahwa antara karya dan kehidupannya begitu nampak sama, seperti apa yang memang ada dalam karya yang dihasilkan. Problem yang semula menghantui penulis terjawab, meski tidak sepenuhnya bersifat final. xiii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i SURAT PERNYATAAN....................................................................................ii NOTA DINAS PEMBIMBING ..........................................................................iii SURAT PENGESAHAN ....................................................................................iv HALAMAN MOTTO .........................................................................................v HALAMAN PERSEMBAHAN .........................................................................vi PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................vii KATA PENGANTAR ........................................................................................x ABSTRAK ..........................................................................................................xiii DAFTAR ISI .......................................................................................................xiv BAB 1: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1 B. Rumusan Masalah ..................................................................................12 C. Tujuan dan Manfaat ...............................................................................12 D. Tinjauan Pustaka .....................................................................................13 E. Kerangka Teori........................................................................................15 F. Metode Penelitian....................................................................................22 G. Sistematika Pembahasan .........................................................................26 BAB II: BIOGRAFI KUSWAIDI SYAFI’IE A. Latar Belakang Kehidupan ......................................................................27 B. Kiprah Kuswaidi Syafi’ie ........................................................................32 C. Karakter Pemikiran .................................................................................41 D. Karya-karya .............................................................................................51 BAB III: SYATAHAT DALAM WACANA SUFISME A. Makna Syatahat .......................................................................................53 B. Aliran Sufi ...............................................................................................102 C. Pertautan Antara Salik dan Tuhan...........................................................104 BAB IV: EKSPRESI KUSWAIDI SYAFI’IE DALAM TARIAN MABUK ALLAH A. Sekilas Tentang Buku Tarian Mabuk Allah ............................................111 B. Corak Sufistik dalam Buku Tarian Mabuk Allah ...................................132 C. Aspek-aspek Syatahat dalam Tarian Mabuk Allah .................................138 D. Dimensi Kehidupan Kuswaidi Syafi’ie ...................................................180 E. Kritik .......................................................................................................220 xiv BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................................229 B. Saran ........................................................................................................231 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................232 CURICULUM VITAE ........................................................................................238 xv BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut jalan sufi, seseorang yang telah mencapai derajat kesadaran sebelah dalam dan luar dan berupaya mencapai satu titik pemusatan dan keseimbangan berada dalam derajat membantu orang lain dan berupaya merefleksikan derajat pencapaiannya kepada mereka. Karena itu, kita melihat dalam rentang zaman yang panjang para sufi sangat menjaga kebersamaan mereka. Para guru spiritual selalu membimbing secara dekat para pengikut mereka selama dalam tahapan-tahapan proses.1 Kedekatan inilah yang kemudian menjadi hal terpenting dalam diri seorang sufi. Kisah ini dapat ditemukan dalam diri Maulana Jalaluddin Rumi,2 pada saat ia gelisah itulah ke Konya datang seorang darwish, orang suci pengembara dari Tabris. Namanya Shamsiddin. Umurnya dua puluh tahun lebih tua dari Rumi. Kedatangan Shamsiddin dari Tabris memainkan peranan penting bagi kehidupan Rumi.3 Penting untuk kehidupan Rumi selanjutnya, sehingga ia tidak hanya penyair dengan kata-katanya yang mampu memabukkan melainkan dengan pancaran nurani yang begitu mempesona. Nurani Rumi benar-benar disepuh 1 Baca Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme terj. Ibnu Burdah dan Shohihullah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 57. 2 Nama lengkapnya Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakri, lahir di Balkh (sekarang Afghanistan) pada tanggal 6 Rabiul-Awwal tahun 604 H, bertepatan dengan tanggal 30 September 1207. 3 Ini terjadi pada tanggal 26 Jumadil Akhir tahun 642 H, atau 28 November 1244 M. 1 2 menjadi permata yang memancarkan cahaya pada pengikutnya. Tidak dapat diragukan lagi, pengikutnya bertebaran di seluruh dunia sampai saat ini. Shamsiddin adalah seorang yang aneh dan mempesona. Wajahnya tampan, kharismanya luar-biasa, pikiran-pikirannya kritis, radikal, dan brillian. Khotbahkhotbahnya memikat dan dalam isinya. Ia seorang sufi yang tak punya hubungan secuil pun dengan gerakan sufi konvensional. Pemahamannya tentang Tuhan dan manusia, kesadaran kosmik dan ma‟rifat, luar-biasa mendalam. Inilah yang sangat memikat Rumi. Rumi seakan-akan menemukan sesuatu yang telah lama ia cari, dalam diri Shamsiddin. Demikian pula Shamsiddin menjumpai sesuatu, yang telah lama ia cari, pada diri Jalaluddin Rumi.4 Kedekatan antara Rumi dan Shamsiddin merupakan kekuatan yang menjadi suatu tanda bahwa semakin dekat seseorang kepada sang guru, semakin kokoh ajaran yang mendalam dan melekat pada diri sang murid. Semacam ada magnet yang melekatkan keduanya, nampak rencana-rencana yang memang menjadi impian dari setiap penempuh, seperti halnya Rumi. Sehingga kedekatan keduanya memicu konflik atau rasa ketidaksenangan dari beberapa pengikut Rumi, termasuk putranya sendiri, Aleiddin. Tidak hanya terbatas pada wilayah jasmani saja, kedekatan keduanya merupakan transliterasi ruhani. Sehingga kedekatan ruhani menyebabkan kedekatan personal secara jasmani. Dan itu membuat Rumi, ketika Tabris meninggalkannya merasa kehilangan. Kehilangan Tabris membuat pesona Rumi pada Tabris semakin menggelora, membentuk gelombang kerinduan yang 4 Abdul Hadi W.M, Jalaluddin Rumi: Sufi dan Penyair, (pengantar) (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. xviii-xix. 3 mendalam. Kerinduannya pada Tabris membuatnya mengalami sebuah ekstase yang luar biasa pada kehidupannya sebagai sufi. Tabris mendapat tempat yang baik dalam kehidupan Rumi, ia diabadikan dalam tulisan panjang di dalam kitab Mastnawi. Dari petikan kisah tersebut, bagi setiap penempuh di jalan ruhani (salik) diperlukan seorang penuntun yang ajeg untuk mengantarkan dirinya menuju wilayah keilahian. Sepanjang perjalanan seorang penempuh di lorong ruhani, menemukan puncak kedirian yang terbebaskan dari belenggu kesesatan. Tanpa pembimbing, seorang salik akan kebingungan. Sebabnya, guru sufi menjadi pusat sentral untuk menunjukkan jalan ruhani.5 Tujuan pokok dari guru sufi,6 adalah membantu para muridnya untuk menyingkap kebenaran dalam kedirian sebelah dalam, dan agar tercerahkan dalam menghadapi realitas yang carut-marut. Agar itu terpenuhi, sangat penting untuk mengungkap sebab-sebab tidak bahagia. Sebab seluruh perasaan tidak puas dan sebagainya yang paling esensial sebenarnya berakar pada perilaku melanggar batas, tidak patuh, ambisi, harapan-harapan yang tinggi, keinginan dan aspekaspek lain seperti kurangnya menyelami realitas. Setelah proses guru selesai pada murid, dalam arti sang penempuh sudah mengetahui rute jalan yang hakiki. Maka, sang salik menemukan realitas kedirian sesuai dengan kadar kepekaan yang dialaminya. Semakin ia menyelami kedalaman tidak terhingga, semakin pula ia akan menemukan realitas yang semula 5 Baca Zaprulkhan, Pencerahan Sufistik: Menimba Kearifan Hidup Melalui Kisah-kisah Kaum Sufi (Jakarta: Gramedia, 2015), hlm. 181. 6 Baca Abdul Qodir Jaelani, Menapak Jalan Sufi terj. Kamran AI dan M. Nasrullah (Yogyakarta: P_Idea, 2005), hlm. 89. 4 tidak ditemui menjadi suatu nilai riil yang pasti. Tidak ada “kemungkinan” lagi, yang ada hanya realitas sebagaimana ditemukan pada kehidupan nyata seperti dirinya bersentuhan dengan dunia luar. Setiap sang penempuh akan merasakan kenyataan yang pasti dalam setiap perilakunya. Dengan kenyataan inilah, setiap penempuh mengalami ekstase bermacam-macam. Sebagaimana yang dapat ditemui pada kehidupan sufi-sufi sekaliber Rabi‟ah al-Adawiyah, Sayyidah Nafisah, Imam Junayd al-Baghdadi, Mansur al-Hallaj dan para sufi lainnya. Ekstase yang dicapai merupakan bagian perjalanannya. Terlepas dari segala bentuk pencapaian yang dilakukan melalui proses mematangkan diri sepenuhnya. Ada yang menarik untuk dijadikan pembahasan dari sufi yang sudah mencapai ekstase, yaitu ungkapan-ungkapan ekstase mistik yang sangat tinggi.7 Seperti pernyataan Abu Yazid, “Maha Suci Aku” dan pernyataan Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pencapaian yang senantiasa meluap sebagai bentuk ekspresi kemabukan. Dalam tradisi sufi, ungkapan-ungkapan ekspresi ekstase itulah yang kemudian dikenal dengan sebuah istilah syatahat.8 Bagi kaum sufi, fenomena shat sebagai salah satu cara untuk berbicara dengan Tuhan merupakan pengalaman dari Nabi Muhammad. Qur‟an adalah kata-kata dari Tuhan, yang diinternalisasikan untuk membentuk dasar kota kata mistik, yaitu sufisme. Teladan shath secara khusus dapat ditemukan dalam Perkataan Suci (hadist qudsi), yaitu wahyu-wahyu yang tidak terdapat dalam Al7 Baca Dzikrullah Zulkarnain. “Syatahat Kaum Sufi (Sebuah Telaah Psikologis)”, Jurnal SMaRT, Vol. I, No. I, Juni 2015, hlm. 98. Dalam blasemarang.kemenag.go.id, diakses pada 17 Maret 2016, pukul 12:40 WIB. 8 Baca Carl W. Ernst, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme terj. Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati (Yogyakarta: Putra Langit, 2003), hlm. 46-47. 5 Qur‟an dimana Muhammad melaporkan apa yang dikatakan Tuhan padanya. Menurut Louis Massignon banyak dari perkataan suci tersebut bukan merupakan perkataan-perkataan yang berasal dari Muhammad, tapi merupakan hasil pengalaman-pengalaman mistik yang pertama, disebarkan secara umum dengan berkedok sebagai hadist. Itu semua terjadi sebelum adanya standarisasi kumpulan hadist. Penelitian terbaru dari William A. Graham memperlihatkan bahwa bukan itu masalah utamanya. Hampir sebagian besar perkataan suci tersebut ditemukan dalam koneksi hadist yang resmi.9 Dalam hadist yang resmi, ada yang menegaskan tentang kemungkinan terjalin hubungan yang dekat antara Tuhan dan manusia. Bisa juga ungkapan demikian memberikan sepenuhnya pada diri untuk selalu berdampingan dengan Tuhan, dimana keduanya berbuhul pada satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Antara keduanya merupakan wujud tunggal yang puncaknya pada satu kepribadian. Seperti yang diungkapkan oleh Ja‟far al-Shadiq (148/765), dalam penafsirannya tentang pengalaman yang berkenaan dengan perwujudan Tuhan dalam bentuk manusia yang dialami Musa di Gunung Sinai, Ja‟far menemukan kunci dari sifat kalimat suci dalam kata-kata yang digunakan Tuhan untuk mengidentifikasikan Dirinya. Menurut Ja‟far, saat Tuhan bersabda pada Musa, “Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu (inni ana rabbuka)”.10 Seperti yang diungkapkan oleh Abdul Wachid B.S (2005:476), Abdul Hadi W.M (2001:2005): syatahat (ekstasis) merupakan suatu bentuk pengalaman keruhanian seorang sufi yang telah wajd, yaitu seorang yang telah mencapai 9 Baca Carl W Ernst, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme, hlm. 29. Baca Surat Taha, ayat 12, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Departemen RI, 2007), hlm. 314. 10 6 ekstase mistik dalam peringkatnya yang tinggi. Keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang dicapainya memberi peluang kepadanya untuk menangkap suara yang timbul dari kedalaman pengalaman kalbunya berupa ucapan-ucapan yang dalam. Pengalaman dari pengalaman syatahat itu diungkapkan oleh Ja‟far al-Siddiq, sebagaimana pengalaman ketuhanan yang dialami oleh Nabi Musa AS, di Lembah Tuwa. Dalam peristiwa itu, Musa melihat semak terbakar, lalu mendapat perintah dari Tuhan agar melepaskan kedua alas kakinya.11 Argumentasi dalam kata suci tersebut, semacam kredo pembangkitan seorang ke wilayah yang sebelumnya tidak terjamah. Suatu pencapaian pada tingkat tertinggi suatu penyatuan antara manusia dan Tuhan. Internalisasi keduanya dikenal dengan fana’ (kehancuran) dan baqa’ (keabadian). Istilah yang demikian muncul dari transendensi manusia yang hakikatnya mengetahui jalan menuju kehadirat Tuhan. Detak waktu yang dirasakan hanya kehadiran Tuhan semata. Manusia yang mencapai hakikat kedalaman diri, “manunggal” melihat segala sesuatu di dunia hanya sebagai rancangan Tuhan, baik yang terkecil (partikel) dan yang umum (universal). Yang semula dikenal sebagai dialog, nyatanya monolog Tuhan Yang Maha Kuasa. Segala yang ada di dunia ini merupakan rancangan Allah, baik buruk dan baik. Hanya saja, ada semacam batas-batas yang harus dimengerti dan diperhatikan. Hal yang demikian, menjadi tantangan yang besar untuk kemudian dijadikan sebagai aksi nyata ruang diri. Ungkapan-ungkapan 11 yang demikian menggugah (syatahat) suatu hasil Baca Abdul Wachid B.S. “Lukisan Peleburan Cinta yang Erotik: Puisi Sufi di antara Estetika dan Etika Cinta Ilahiyah”, Jurnal Al-Jami’ah, Vol. II, 2005/1426, hlm. 476. Dalam aljamiah.or.id, diakses pada 18 Maret 2016, pukul 02:30 WIB. 7 pengalaman sufi yang mengalami ekstase kemabukan dalam wujud pencapaiannya. Ungkapan-ungkapan yang begitu memukau itu bukan hanya sebatas kata-kata, melainkan memiliki makna yang ditangkap dari pengalaman ruhani dari sufi itu sendiri. Kemudian, syatahat para sufi mendapat kecaman dari beberapa kalangan sufi, ulama‟ fiqh, dan tokoh lainnya. Dengan dasar itulah, penulis ingin mengkaji serta menelaah syatahat dalam buku Tarian Mabuk Allah. Dalam garis besar kajian ini pada tafsir atas buku tersebut. Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah pentingnya, penulis menyertakan juga sejarah jagat raya kesusastraan Indonesia, setelah Hamzah Fanzuri, Azrul Sani, tokoh-tokoh lainnya setelah mereka. Dalam sejarah kesusastraan secara mondial tercatat banyak nama ulama sufi besar yang kemudian berstatus sebagai penyair. Di Arab, misalnya kita bisa menyebut nama Ibn „Arabi, Ibn Faried, Ibn „Atha, Abu al-Atahiyah, dan Maari. Di Persia kita mengenal Jami, Hafiz, Fakhruddin Iraqi, Anshari dan Attar. Di Turki kita menemukan nama Bahauddin Walad, Yunus Emre, Fazil, Haci Bayram Veli dan Esrevoglu. Di Afganistan ada nama Jalaluddin Rumi dan al-Hujwiri. Dan di Indonesia kita „punya‟ Hamzah Fanzuri, Bukhari al-Jauhari dan Raja Ali Haji dan lain sebagainya.12 Lanjutnya, para ulama sufi besar tersebut sesungguhnya tidak pernah berupaya membangun „patung‟ kepenyairan bagi mereka. Sebutan “penyair” yang dilontarkan para kritikus sastra semata merupakan “konsekuensi” dari kemampuan mereka untuk mensosialisasikan keindahan nilai-nilai spiritual yang 12 Baca Kuswaidi Syafi‟ie, “Mencari Sufi Penyair”, dalam buku Tafakkur di Ujung Cinta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 130. 8 mereka gapai dan rasakan lewat penulisan-penulisan puisi. Artinya, puisi-puisi karya ulama sufi penyair itu “hanyalah” merupakan simbol reduktif dari laku dan pengalaman transendental yang telah mereka jalani. Dalam artian, gejolak penyair sufi merupakan gerakan dari beberapa penyair yang hanya menulis puisi berbau sufistik. Penyair sufi merupakan gerakan yang sangat vital saat itu.13 Gerakan ini lahir sebagai bentuk energisitas zaman yang tampil di kalangan sastrawan. Nuansa yang ditawarkan sangat begitu memukau, dengan gaya-gaya tampilan sufistik yang menawarkan keindahan Ilahiah. Namun, perlu digarisbawahi untuk gerakan penyair sufi, tidak lain kerja dari energi esensial di dalam karya berupa puisi. Tidak ada gaya magnet yang mampu menyedot ruang ruhaniah, melainkan sebungkus tawaran kata-kata ideal dari penyair. Seharusnya ada tawaran ruhaniah dari penyair, namun ruang ruhaniah seorang penyair tidak mampu membawa ke dalam puisi yang ditulisnya. Seperti yang diungkapkan oleh Kuswaidi Syafi‟ie (2003:137): upaya membidani lahirnya sufi penyair bukan karena dilatar belakangi oleh tidak adanya puisi-puisi yang berbau sufistik. Tapi lebih di dorong oleh adanya semacam “keterbalikan”: bahwa puisi-puisi sufistik tersebut tidaklah ditulis oleh para spiritualis, melainkan oleh para penyair yang mencoba bersufi-sufi, hingga daya pukau dan sakralitasnya terasa kurang bahkan gamang. Hal itu barangkali bisa kita lihat pada fenomena kepenyairan Sutardji Coulzoum Bachri, Danarto, Ahmadun Yosi Herfanda dan Emha Ainun Nadji. Entah kalau KH. A. Mustofa Bisri. 13 Penyair sufi muncul sebagai gerakan sekitar tahun 1970, yang saat itu muncul penyair sekaliber Sutardji Coulzoum Bachri, Danarto, Abdul Hadi W.M, dan banyak penyair. 9 Alasan tersebut sangat mendasar, ketika khasanah kesusastraan Indonesia yang gemilang dan dianggap penting dalam memberikan nilai pada kesusastraan dunia. Kesusastraan Indonesia dapat bersaing dalam jagat dunia, di antara banyaknya nilai-nilai yang bisa dipetik dan tak jarang banyak puisi-puisi Indonesia diterjemahkan ke dalam banyak bahasa: Inggris, Jerman, China dan lain-lain. Perhatian yang kemudian membuat banyak penyair Indonesia berlombalomba untuk meraih kesuksesan dalam mengusung tema-tema yang beragam — Rendra dengan tema sosialnya, Abdul Hadi dengan puisi sufistiknya dan penyair lainnya. Tak kurang dan tak lebih, penyair Indonesia, utamanya yang mengusung tema sufistik lebih kepada tema, bukan hasil kontemplasi dari lelaku. Sungguh, hal ini menjadi nilai yang akan berdampak pada kurangnya kualitas karya yang hanya sebatas pada kata-kata sufistik yang menjadi warna dalam karya itu sendiri. Sehingga, nilai tawar “kedirian” semakin berkurang, bahkan tidak dapat memberikan daya spiritualitas bagi seseorang yang menempuh di jalan ruhani. Terkesan, mereka hanya memberikan daya pukau tetapi sebenarnya miskin makna dalam arti yang sesungguhnya. Daya tawar hanya kata-kata yang memukai. Kemudian hal tersebut dikritik Kuswaidi dalam esainya. Pemahaman tentang diri punya kesanggupan untuk mengetahui ruang hakiki yang dalam, tidak hanya berbatas pada kata-kata, wacana dan teori yang sebenarnya tidak dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap berbagai persoalan realitas setiap hari. Seperti yang diungkapkan Kuswaidi pada kata pembuka dalam buku Tarian Mabuk Allah, ia menyebutkan: barangkali tak 10 seorang pun di dunia ini yang sanggup mendeskripsikan holistisitas kehidupan secara detail dan hakiki. Berbagai variabel, wacana dan “metafor” yang saling sengkarut saling berjubelan di dalamnya mengikuti orkestrasi “kerunyaman” yang terus menggelombang dan mengelumbung sesuai dengan ritme perjalanan sejarah. Terlalu rumit untuk mengungkapkannya secara total―apalagi seorang seperti saya. Karena ternyata dalam hidup yang sebentar saja, manusia lebih banyak dikelilingi oleh hal-hal yang rahasia, yang tidak diketahui, yang tidak terjangkau oleh potensi pikirannya, yang tidak teraba oleh kemampuan inderawinya, ketimbang oleh hal-hal yang diketahui dan dipahaminya. Sungguh, manusia adalah makhluk yang sangat kerdil untuk menyusuri sepenuhnya ruas-ruas dan ceruk-ceruk belantara kehidupan yang amat luas. Titik tekan yang menguntungkan dan dijadikan patokan, bahwa ada pemberlakuan aktualitas antara karya dan aktivitas diri harus bergandengan. Pada kedua wilayah energisitas yang patut dihidupkan sebagai sikap aktualitasnya dalam memberikan nilai-nilai ruhaniah yang disampaikan lewat karya. Sehingga, hasil karya merupakan ruang pengalaman yang menjadi daya tarik pembaca untuk menelisik kehidupannya. Daya tarik karya, yang dihasilkan penyair, menuliskan pengalaman dirinya karena bersentuhan langsung dengan kenyataan tersebut sulit ditemukan, kecuali pada diri sufi yang menulis pengalaman atau ekstasenya, karena para sufi bersentuhan langsung keadaaan, yaitu: pengalaman. Terlepas dari konteks bagaimana penyair menulis tema tentang sufistik, Kuswaidi lahir sebagai anak kecil yang suci dalam buku Tarian Mabuk Allah. Buku ini lahir dari kegelisahan atau suatu puncak ekstase kepenyairannya yang 11 sudah menemukan dirinya di dalam Dirinya. Sentuhan antara dirinya dengan Tuhan telah membawa ke dimensi Ilahiah. Jiwa yang tersentuh kesucian telah membawa pada ruas terdalam hakikatnya. Membaca Tarian Mabuk Allah, akan menemukan kedalaman makna. Menyelami kedalamannya seperti memasuki dimensi Ilahiat dimana manusia telah purna. Cakupan inilah nampak berbeda dengan penyair yang hanya menulis puisi,. Proses penemuan Ilahiat ditembus oleh Kuswaidi melalui renungan serta kontemplasi dengan jerih payah, sehingga lahir buku tersebut. Dalam buku tersebut Kuswaidi memberikan sumber bagi orang-orang yang dahaga dalam melakukan pencarian terhadap hadirat-Nya. Suatu pengalaman pada rutinitas diri untuk mencapai hakikat yang sebenarnya. Perenungan yang dilakukan oleh Kuswaidi dalam buku Tarian Mabuk Allah, suatu pencapaian yang eksatis yang menyebabkan dirinya hilang dalam bentuk dirinya, menemukan diri, bersatu padu dalam kesyahduan nyanyian Ilahi. Melalui buku Tarian Mabuk Allah, ia mengungkapkan suatu kenyaataan yang sebenarnya merupakan langkah untuk meraih ketunggalan dirinya dengan Allah. Semacam ada ruang besar yang di dalamnya berisi kemanunggalan Allah dengan dirinya. Dalam hal ini, penyatuan dirinya merupakan suatu pencapaian hamba (makhluq) dengan penciptanya (khaliq). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan dua pokok masalah sebagai berikut: 12 1. Bagaimana ekspresi syatahat Kuswaidi Syafi‟ie dalam buku Tarian Mabuk Allah? 2. Bagaimana makna syatahat dan relevansinya dengan kehidupan Kuswaidi Syafi‟ie? C. Tujuan dan Manfaat Tujuan 1. Mengetahui makna dan pengertian syatahat para sufi pada umumnya, utamanya dalam buku Tarian Mabuk Allah yang ditulis Kuswaidi Syafi‟ie. 2. Mengetahui makna syatahat dan relevansi kehidupan Kuswaidi Syafi‟ie. Manfaat 1. Turut memberikan pemahaman syatahat para sufi dan ungkapan Kuswaidi Syafi‟ie sebagai sumbangsih keilmuan terhadap tasawuf, khususnya dalam bidang kesusastraan. 2. Dapat memperkaya khazanah kepustakaan ilmiah yang menyangkut tokoh ruhaniawan dengan puisinya dalam bidang kesusastraan. D. Tinjauan Pustaka Ada dua macam data yang penulis jadikan rujukan dalam penelitian ini. Pertama ialah data primer dan kedua data sekunder. Data primer adalah data karya Kuswaidi Syafi‟ie sendiri. Sedangkan data sekundernya adalah karya yang ditulis oleh orang lain tentang syatahat. 13 Data primer yang penulis pakai adalah buku Tarian Mabuk Allah yang diterbitkan Pustaka Sufi cetakan ketiga tahun 2003 buku ini memuat 99 judul puisi Kuswaidi Syafi‟ie dalam kurun waktu 199714 yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berjudul Dermaga yang memuat 33 puisi, bagian kedua berjudul Samudera yang memuat 33 puisi, sedang bagian yang terakhir bagian ketiga berjudul Pulau Impian yang memuat 33. Sedangkan data sekunder yang penulis pakai antara lain sebuah buku yang membahas Syatahat buku Carl W. Ernst, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme yang diterbitkan oleh Putra Langit, 2003.15 Dalam buku ini, suatu penelitian yang dilakukan oleh Carl W. Ernst menjelaskan syatahat, baik ekspresi ekstatik keimanan-kekafiran dan sebagainya. Secara keseluruhan dalam buku, hasil penelitian terhadap ungkapan para sufi yang mengalami ekstase juga pada nilainilai lainnya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Dzikrullah Zulkarnain dengan judul Syaţaḥat Kaum Sufi (Sebuah Telaah Psikologis), yang dimuat dalam Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015. Dalam penelitian Zulkarnain lebih pada kondisi psikologis yang dialami oleh seorang sufi dan aspek mental yang merupakan suatu nilai yang dapat memberikan efek luar biasa pada kehidupannya. 14 Dalam buku Tarian Mabuk Allah, Kuswaidi Syafi‟ie tidak membubuhkan tahun pembuatan sajak-sajak yang terkumpul dalam buku ini. Nampak dari beberapa sajak dibuat seperti sajak panjang yang tematik. Hal ini dapat dilihat bagaimana Kuswaidi Syafi‟ie lebih menitikberatkan pada tema yang ingin dibahas secara panjang lebar. 15 Buku ini tulisan Carl W. Ernst, dengan judul asli Words of Ectasy in Sufism, diterbitkan oleh State Unversity of New York Press. Diterjemahkan oleh Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati, serta disunting oleh Aning Ayu Kusuma. Diterbitkan Putra Langit, Yogyakarta: 2003. 14 Adapun dalam penelitian Prof. Dr. Ethem Cebecioğlu, salah satu profesor Universitas Ankara Fakultas Teologi dan Tasawuf, yang berjudul Şatahât İbarelerinin Anlaşilmasina Doğru: Metodik Bir Deneme, dimuat dalam Jurnal Tasavvuf: İlmî ve Akademik Araştırma Dergisi, yıl: 7 [2006], sayı: 17. Titik tekan dalam penelitian ini lebih kepada nilai-nilai untuk memahami ungkapan ekstase yang dialami oleh para sufi. Sehingga dalam ungkapan tersebut dapat memastikan kondisi diri dan keimanan, juga tidak menafikan unsur-unsur lain yang kaitannya dengan klaim kafir atasnya. Dalam esai yang ditulis Abdul Wachid B.S, Lukisan Peleburan Cinta yang Erotik: Puisi Sufi di antara Estetika dan Etika Cinta Ilahiyah, yang dimuat di Jurnal Al-Jami‟ah, Vol 43, No 2, 2005/1426. Dalam pandangan Abdul Wachid lebih kepada aspek cinta, sehingga aspek syatahat kurang begitu mendapat perhatian. Hanya saja, ia memberikan analisis yang lebih dalam utamanya bagi salik yang sudah sampai dengan energisitas cinta. Sehingga membantu penulis untuk melacak lebih dalam aspek nilai batin seorang sufi. Juga penelitian Alfaizin yang merupakan tesis, berjudul Sufisme dalam Buku Tarian Mabuk Allah, Tesis Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia UNISMA Malang, 2007. Dalam penelitian ini, Alfaizin lebih kepada tasawuf dalam buku Tarian Mabuk Allah. Penulis menemukan nilai tasawuf yang dikandung dalam diri Kuswaidi Syafi‟ie melalui buku tersebut, termasuk nilai-nilai spiritual yang dialaminya. 15 E. Kerangka Teori Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti “menafsirkan”, dan dari kata hermeneuin ini dapat ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir).16 Istilah Yunani ini mengacu pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Tentu saja peran Hermes untuk menyampaikan pesan tersebut adalah salah satu hal yang memang benar-benar membutuhkan kerja yang aktif, selain menyampaikan perlu juga diolah ketika melakukan penyampaian yang sekiranya dapat dimengerti, dipahami oleh umat manusia. Sangat menjadi riskan, jika penyampai dari pesan tidak memahami isi yang dimaksud dalam pesan tersebut. Maka dari itu, Hermes menerjemahkan bahasa dari Olympus dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Selama abad ke-18 dan terutama abad ke-19, secara bertahap hermeneutika berkembang menjadi bidang baku telaah akademik, terutama bagi para teolog lantaran kebermaknaannya dalam membantu penafsiran biblikal. 16 E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23. 16 Friedrich Schleiermacher (1768-1834) mengajar hermeneutika sebagai mata kuliah khusus, dengan memperkenalkan banyak wawasan dan ciri baru yang dewasa ini masih dinilai penting. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah bahwa kemampuan kita untuk memahami teks dibatasi oleh “lingkaran hermeneutika”. Ini mengacu pada pertalian timbal balik yang terdapat antara bagian-bagian teks (umpamanya, makna setiap kata, frase, dan sebagainya, yang dipertimbangkan dalam sorotan bahasa asal dan tata bahasanya) dan teks keseluruhan yang dipertimbangkan sebagai satu keutuhan yang maknawi (yang acapkali membutuhkan umpamanya pemahaman latar belakang kultural dan psikologis).17 Hermeneutika berakar kata dari bahasa Yunani, yang berarti maknanya tafsir. Juga hermeneutika diasumsikan pada interpretasi: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran.18 Hermeneutika sering dikontekskan dengan mitos Dewa Hermes, di Yunani kuno. Sebagai salah satu dewa yang menyampaikan pesan dari Gunung Olympus, untuk disampaikan kepada manusia dengan bahasa yang dapat dimengerti. Hal ini sebagai kisah yang dijadikan patokan awal hermeneutika sendiri. Kisah Hermes memiliki landasan filosofis ini, dijadikan acuan oleh para filosofi seperti, Heidegger, Dilhtey, dan filosofi hermeneutika lainnya. Hal ini menjadi suatu simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan. 17 Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (The Tree of Philosophy) terj. Mohammad Shodiq, cet 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 228. 18 Baca Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, cet. 4 (Yogyakarta: Qalam, 2007), hlm. 18-19. 17 Sampai saat ini, hermeneutika sangat penting dijadikan kerangka teoretis dari banyak kalangan. Selain itu, peran hermeneutika begitu banyak memberikan sumbangan besar bagi perkembangan keilmuan. Baik sebagai telaah karya lama, terutama bagi teks yang sudah bertahun-tahun secara kesadaran alamiah mengalami masa yang harus sesuai dengan konteks zaman. Bahkan, penafsiran terhadap Al-Qur‟an,19 dan kitab suci lainnya begitu penting. Mengingat perannya yang mengungkap makna teks sampai pada makna hakikat arti yang sesungguhnya. Langkah yang dilakukan penggunaan hermeneutika, metode teks untuk mencari hakikat makna yang gelap dan kabur menjadi jelas. Sehingga, bisa dijadikan patokan dalam bidang keilmuan. Interpretasi terhadap bahasa dasarnya kabur, menjadi jelas. Bukti ini begitu penting bagi perkembangan keilmuan yang terus-menerus bergerak ke arah kontekstualisasi zaman. Selanjutnya, tugas berat ini berada pada pembaca yang harus mengistilahkan makna sesuai dengan nilai historis di dalam bentuk teks itu sendiri. Kendati demikian, teks yang mulai ditinggalkan oleh penulisnya, secara tidak langsung harus dikontekskan sebagaimana kemajuan zaman. Seperti AlQur‟an yang notabenanya mengacu pada historisitas di zaman Nabi Muhammad. Kalau dipandang dengan dasar sesuai konjungsi dari Al-Qur‟an sangat tidak sesuai dengan konteks masa kini. Akan tetapi, perlunya mencari makna dalam AlQur‟an sesuai dengan makna kontekstual zaman begitu penting. Tugas ini bukan cuma sekedar tugas yang hanya ada pada wilayah dasar pelestarian makna 19 Bandingkan dengan tulisan Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, cet. 5 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2011), hlm. 21. 18 hermeneutika. Melainkan tugas yang sangat otentik yang memiliki wilayah kesadaran untuk memjawab perihal kesadaran otentik banyak hal. Dari ragam hermeneutika yang ditawarkan oleh beberapa tokoh hermeneutik, penulis menggunakan hermeneutika Hans-Georg Gadamer untuk menelaah buku Tarian Mabuk Allah, karya yang ditulis Kuswaidi Syafi‟ie. Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Ia belajar filsafat pada universitas di kota asalnya, antara lain pada Nikolai Hartman dan Martin Heidegger, serta mengikuti kuliah pada Rudolf Bultmann, seorang teolog Protestan yang cukup terkenal.20 Meski sebagai pendatang yang lambat, ia dapat mendobrak pola pemikiran hermeneutika tokoh sebelumnya. Bukunya yang sangat terkenal, yang disebut sebuah adikaryanya: Truth and Method (1960). Seperti yang dikatakan Dr. Stephen Palmquis: buku ini, yang kadang-kadang dijuluki “Kitab Suci” filsafat hermeneutika Jerman, memperkirakan perdebatan tajam historis antara periode filsafat Pencerahan dan Romantik. Filsafat Pencerahan berpegang pada pandangan yang naif bahwa akal dapat memecahkan semua masalah manusia, asalkan kita mau membuang semua praduga dan memandang alam dari sudut pandang kebenaran universal yang obyektif. Sedang Filsafat Romantik menolak “prasangka terhadap prasangka” ini, menggantinya dengan prasangka demi tradisi dan, bersama dengan ini, suatu penghormatan baru terhadap mitos. Jadi para Romantik memandang alam dari sudut pandang kebenaran individual yang subyektif. 20 E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, hlm. 67. 19 Seperti yang dikemukakan oleh Gadamer sendiri, bahwa dengan sekedar mengatakan “tidak” terhadap sudut pandang lawan, gerakan ini melakukan kesalahan dasar yang sama dengan kesalahan Pencerahan: para filsuf di kedua tradisi tersebut cenderung tetap tak sadar akan perasangka mereka. Filsafat hermeneutik melampaui kedua gerakan itu dengan mengklaim bahwa memiliki suatu prasangka tidak terelakkan. Lebih lanjut Gadamer menambahkan, kalau perasangka adalah buruk hanya bila merupakan hasil dari melihat bukti secara tergesa-gesa. Perasangka yang didasarkan pada rasa percaya kepada otoritas yang sah bukan hanya tidak buruk, melainkan juga merupakan langkah-niscaya dalam pemerolehan segala pengetahuan.21 Hans Georg Gadamer dalam bukunya Truth and Method, mengatakan: di dalam analisis hermeneutik romantik bahwa pemahaman romantik bahwa pemahaman tidak didasarkan pada “perolehan batin” orang lain, pada penggabungan langsung satu orang dengan yang lain. Untuk memahami apa yang dikatakan seseorang, sebagaimana telah kita katakan, adalah menyetujui objeknya, bukan memperoleh sisi batin dari orang lain dan mengalami lagi pengalamanpengalamannya. Kita menekankan bahwa pengalaman makna yang terjadi di dalam pemahaman selalu memasukkan aplikasi. Sekarang kita mencatat seluruh proses ini bersifat linguistik. Ini tidak berarti bahwa masalah-masalah aktual pemahaman dan usaha untuk menguasainya adalah sebuah seni—pokok perhatian hermeneutika— yang secara tradisional berkaitan dengan ruang bahasa dan 21 Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (The Tree of Philosophy), hlm. 230-231. 20 retorika. Bahasa adalah dasar menengah di mana pemahaman dan persetujuan yang berkaitan dengan objeknya terjadi dua orang.22 Gadamer melihat bahwa fenomena hermeneutika pada dasarnya sama sekali bukan suatu masalah metode. Dengan demikian, tujuan penelitiannya bukan pula suatu Methodenlehre yang sekedar masalah merumuskan logika yang dipakai dalam bidang kegiatan mengetahui. Tujuannya juga bukan menyusun suatu teori umum interpretasi. 23 Dalam hal ini, Gadamer membahas secara panjang lebar empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutik. Empat konsep tersebut adalah: bildung atau kebudayaan, sensus communis atau „pertimbangan praktis yang baik‟, pertimbangan dan taste atau selera.24 Dengan begitu, penulis meringkas empat konsep Gadamer atas buku Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, yang ditulis oleh E. Sumaryono. Ringkasan ini, hanya diambil pokokpokoknya saja, mengingat beberapa hal yang jadi pertimbangan. 1) Bildung Bildung adalah konsep yang meliputi seni, sejarah, Weltanschauung (pandangan dunia), pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan, ekspresi atau ungkapan, style atau gaya dan simbol, yang kesemuanya itu kita mengerti saat ini sebagai istilah-istilah di dalam sejarah. Istilah-istilah atau termterm tersebut termasuk dalam aturan-aturan pengetahuan tentang hidup dan kemanusiaan. Lebih kepada nilai-nilai batin seorang yang sedang menemukan puncaknya. 22 Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode terj. Ahmad Saidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 465-466. 23 W. Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 93. 24 E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, hlm. 71-75. 21 2) Sensus Communis Sensus communis mempunyai arti kesetaraan arti dengan ekspresi bahasa Perancis le bon sens, yaitu pertimbangan praktis yang baik. Menurut pengertiannya yang mendasar, istilah tersebut adalah pandangan yang mendasari komunitas dan karenanya sangat penting untuk hidup. Hidup di dalam komunitas dalam kelompok masyarakat memperkembangkan suatu pandangan tentang kebaikan yang benar dan umum. 3) Pertimbangan Pertimbangan sifatnya adalah universal, namun bukan berarti berlaku umum. Seperti halnya sensus communis yang dianggap sebagai „harta‟ universal, kemanusiaan namun juga tidak digunakan secara umum. Pertimbangan juga bersifat universal, tetap hanya sedikit orang saja yang kiranya memiliki sebagaimana mestinya. Pertimbangan dan sensus communis termasuk dalam interpretasi ilmu-ilmu tentang hidup. Bila melalui sensus communis orang memperkembangkan pandangan tentang kebaikan umum atau cinta kemanusiaan, maka atas pertimbangan tersebut orang dapat memilah-milah macam peristiwa. 4) Taste atau selera Menurut Gadamer selera sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannya tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu sebabnya. Tetapi selera tahu pasti tentang hal itu. Semakin selera dinyatakan pasti maka semakin dirasakan hambar. Berdasarkan fakta, selera bertentangan dengan yang tidak menimbulkan selera (karena tidak ada rasanya atau hambar). 22 Atas yang demikian itu, menguak teks pencapaian dalam Tarian Mabuk Allah, sebagai jalan untuk memasuki gerbang kepasifan teks yang perlu ditelaah dan dianalisis lebih dalam. Dengan bantuan hermeneutika, maka kepelikan dalam teks bisa terkuak. Hermeneutika sebagai petunjuk teknis untuk menemukan makna yang berkelindan di dalamnya, meski hal itu bukan suatu pencapaian final untuk menentukan teks tersebut sudah selesai, melainkan sebentuk pintu untuk memasuki wilayah yang sebelumnya belum dikuak, inilah hikmah dari hermeneutika. F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan kepustakaan (liberary reseach). Secara garis besar metode penelitian ini terbagi menjadi dua bagian. Untuk itu, penulis akan menyebutkan metode penelitian yang dilakukan, utamanya dalam persoalan data. Pertama, sumber data. Kedua, pengolahan dan analisis data. 1. Metode Pengumpulan Data Seorang peneliti dalam rangka pelaksanaan pengumpulan data harus menentukan sumber-sumber data serta lokasi di mana sumber data tersebut ditemukan dan diteliti.25 Pada hal ini, penulis mengumpulkan data melalui dua macam hal, antara lain: a. Wawancara Metode ini digunakana untuk mengadakan wawancara dengan pihak responden primer (tokoh yang diteliti) serta 25 Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma: Yogyakarta, 2005), hlm. 139. 23 responden sekunder, yaitu: keluarga, guru, maupun dari beberapa kenalan tokoh yang sedang diteliti. b. Metode ini digunakan peneliti untuk mengetahui karyakarya secara lengkap, dan menganalisisnya agar dapat diketahui benang merah pemikiran Kuswaidi Syafi‟ie. Langkah-langkah peneliti dalam mengumpulkan data dengan: 1. Membaca teks sastra (puisi) secara seksama dan berulang-ulang. 2. Mengambil dan mencatat data sesuai dengan aspek kajian. 3. Mengklasifikan data sesuai dengan aspek kajian. 2. Sumber Data Sumber data penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini ialah sebuah buku antologi puisi Kuswaidi Syafi‟ie yang berjudul Tarian Mabuk Allah yang diterbitkan Pustaka Sufi, Yogyakarta cetakan ketiga 2003. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data berbentuk buku, artikel, esai serta tulisan-tulisan lepas yang dimuat di surat kabar dan majalah, utamanya tulisan Kuswaidi Syafi‟ie di Koran Sindo yang mendukung terhadap pembahasan ini. 24 3. Metode Pengolahan Data a) Deskriptif Menjelaskan ekspresi ekstase yang dicapai Kuswaidi Syafi‟ie dalam buku Tarian Mabuk Allah dengan terma pemaknaan yang lebih dalam, lugas, serta memaparkan lebih luas dengan koridor yang berlaku terhadap teks sebagai bahan mentah menjadi hidup. Dari penjelasan yang demikian itu, penulis menggunakan bahasa yang dapat dimengerti dengan patokan dasar dalam ungkapanungkapan estetik dalam teks buku tersebut. b) Interpretasi Hal yang mendasar dalam penelitian ini adalah interpretasi yang mana dalam hal ini, kajian terhadap teks Tarian Mabuk Allah disarikan makna yang sekiranya pas untuk mengungkapkan secara gamblang. Karena dalam karya ini penuh dengan simbol-simbol, metafora, bahkan ungkapan-ungkapan yang tidak dapat ditangkap begitu saja. Sebabnya, interpretasi sangat membantu untuk memecahkan persoalan yang menjadi duduk perkara dalam sebuah teks yang masih belum bisa berdiri tanpa adanya bantuan interpretasi. Sehingga, sesuatu yang berhubungan dengan perkara teks, interpretasi mendorong untuk menyelesaikannya. Utamanya, agar tidak ditemukan subtansi yang yang belum dikena. Artinya, yang padat dan dalam bisa terkuak dengan bantuan metode interpretasi. 25 Menjelaskan ekspresi ekstase yang dicapai oleh Kuswaidi Syafi‟ie dengan terma pemaknaan yang lebih dalam, lugas, serta memaparkan lebih luas dengan ketentuan koridor yang berlaku terhadap teks sebagai bahan mentah menjadi hidup. Dari penjelasan yang demikian itu, penulis menggunakan bahasa yang dapat dimengerti dengan patokan dasar dalam ungkapan-ungkapan estetik dalam teks Tarian Mabuk Allah. c) Kesinambungan Historis Pada aspek ini, penulis memberikan suatu anasir pada pemikiran, pengaruh, serta pengaruh pada lingkungan. Utamanya di bidang sastra dan tasawuf, juga sebuah kenyataan yang sedang dialami dan relevansinya dengan kehidupan yang dijalaninya. Kesinambungan ini suatu langkah untuk melacak sampai jauh, bagaimana Kuswaidi Syafi‟ie dipengaruhi oleh beberapa tokoh sebelumnya juga beberapa spiritualis di zamannya. Hal ini membantu penulis untuk menemukan aspek nilai kehidupan yang sedang dilakoni Kuswaidi Syafi‟ie. G. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam skripsi ini dapat disistematikan penyajiannya sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan. Di dalamnya berisi subbab lainnya yaitu, latar belakang masalah mengenai pentingnya penelitian ini. Rumusan masalah, 26 tujuan penelitian dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian dan dilanjutkan dengan sistematika pembahasan. Bab kedua membahas biografi Kuswaidi Syafi‟ie yang memuat subbab perjalanan hidup, pendidikan, karya serta karakter pemikirannya. Bab ketiga membahas makna syatahat secara umum serta wacana sufisme, juga aliran sufi. Bab keempat menguraikan makna syatahat dalam Tarian Mabuk Allah dan relevansinya dengan kehidupan Kuswaidi Syafi‟ie dan kritik. Bab kelima menyimpulkan uraian di atas dalam bentuk penutup yang berisi kesimpulan serta saran penulis berdasarkan pada hasil pembahasan yang dilakukan selama proses awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian yang dilakukan ini menghasilkan sebuah tahapan terakhir, dengan sebuah kesimpulan bahwa syatahat merupakan nilai yang dialami oleh para sufi. Utamanya syatahat dalam buku Tarian Mabuk Allah sebagai cerminan dari nilai ekstase yang dialami oleh Kuswaidi atau proses untuk mengalami.1 Meski, ini bukan sebuah kesimpulan akhir dari suatu penelitian, paling tidak ada kajian lebih lanjut tentang syatahat dan kajian teks (hermeneutika) secara umum. Sebab selama ini, kajian syatahat para sufi masih terbilang sedikit. Lebih urgen lagi, penulis menemukan sebuah kecenderungan yang berbeda sekaligus sama ketika membaca buku ini dikaji pada kerja syatahat-nya. Kecenderungan yang ditemukan oleh penulis, jelas bermuara kepada suatu pencapaian yang dilakukan oleh Kuswaidi dalam mengungkapkan sesuatu. Hasilnya, penulis menemukan nilai-nilai atau corak yang berbeda dengan berbagai penyair sebelumnya, semasanya, dan sesudahnya. Seperti yang sudah ditulis di bab-bab sebelumnya, Kuswaidi memiliki corak pandang yang berbeda dari penyair Madura lainnya. Ia ingin memberikan corak segar dalam bidang perpuisian yang pernah ditulis oleh penyair Madura secara umum. Ia lebih dipengaruhi oleh panyair Timur Tengah daripada penyair sebelumnya. Ini terlihat bagaimana penggunaan idiom yang sangat khas cara 11 Bandingkan dengan corak pandangan antara sufi penyair dan penyair sufi. 229 230 ungkap penyair Timur Tengah, juga ia lebih banyak menyerap suatu pelajaran pengalaman yang dialami oleh para sufi Timur Tengah. Utamanya ia lebih dekat pada Jalaluddin Maulana Rumi, Muhyiddin Ibn ‘Arabi, dan Mohammad Iqbal. Pengaruh ketiga sosok tersebut sangat kental dalam buku Tarian Mabuk Allah ini. Baik cara pengungkapan dan cara menganalisis sebuah tema pokok sebagai judul utama dari sub judul dalam buku ini. Bahkan dalam sudut pandang yang kokoh, buku ini begitu kental dengan cara berpikir ketiga tokoh tersebut dan ini sangat penting untuk membedah lebih jauh buku ini dalam sudut pandang apapun. Utamanya, pada impian Kuswaidi dalam sebuah petualangannya. Barangkali dalam dimensi syatahat tidak jauh berbeda dengan yang pernah dialami oleh sufi lainnya. Hanya saja, konteks Kuswaidi memulai dirinya dari menjadi penyair sufi menuju realitas kesufiannya yang sebenarnya. Dan kenyataannya banyak pengaruh dari para sufi sebelumnya ketika berpapasan dengan buku ini sebagai sebuah karya master piece Kuswaidi dalam bidang puisi. Sehingga, penulis tidak menemukan kesulitan dalam hal ini. Inilah eksperimen paling mengagumkan oleh penyair dan yang paling penting, ia meneruskan dirinya untuk meniti di lorong ruhani sesuai dengan ramalannya dalam buku ini. Dalam hal ini, penulis menemukan nilai inti penelitian yang dilakukan, antara lain: 1. Syatahat para sufi merupakan pengaruh dari psikologisnya yang tidak sadar akan keadaan dirinya, ketika mengalami ekstase. Ekstase yang 231 dimaksud tidak lain dari upaya pengenalan dirinya kepada Tuhan, dimana telah disingkapkan selubung rahasia pada dirinya. 2. Syatahat dalam buku Tarian Mabuk Allah sebagai sebentuk nilai dari hasil renungan Kuswaidi untuk menyelam ke dasar ilahiat secara total, karena perenungan merupakan hal yang urgen untuk menemukan Tuhan dalam segala apapun, sehingga muncul sebuah keyakinan bahwa asal mula sesuatu itu dari Tuhan. Tidak hanya pada itu saja, syatahat yang dialami oleh Kuswaidi mempunyai relevansi pada kehidupan seharinya sebagai seorang sufi. Tidak menutupkemungkinan, pengalaman tersebut merupakan langkah untuk menemukan jati dirinya yang sebenarnya. B. Saran Dalam hal ini, penulis mengakui sebuah keterbatasannya ketika menganalisis syatahat secara umum dan khususnya dalam buku Tarian Mabuk Allah. Hasil yang dicapai belum sepenuhnya maksimal dan final. Hal yang utama diperhatikan, tidak ada penelitian yang sifatnya final, apalagi dalam skripsi ini masih terbilang sedikit pada pembahasan syatahat-nya sedang dalam bidang hermeneutikanya sudah bukan barang yang baru. Karena penulis belum menemukan kajian syatahat pada penyair sufi atau sufi penyair yang berada di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abbas, Qasim Muhammad, Abu Yazīd al-Bustamī: al-Majmū‟ah al-şū fiyyah alKāmilah, Damascus: Al-Mada, 2004. —————, Al-Hallaj: I‟māl al-Kāmilah, Beirut: Riad al-Rayyes Books, 2002. ‘Abdul Qodir al-Jailani, Syekh, Menapak Jalan Sufi, terj. Kamran Al dan M. Nasrullah, Yogyakarta: P_Idea, 2005. —————, Menyingkap Kegaiban, terj. Syamsu Basaruddin dan Ilyasi Hasan, cet. 2, Bandung: Mizan, 1985. Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, Vol 1-4, terj. Khairon Nahdiyyin, cet. 2, Yogyakarta: LKiS, 2012. Al-Badawī, Abdurrahman, Syatahatalūfiyyah, Kuwait: Walakah al-Matb ū’ah, 1960. Alfaizin, Sufisme dalam Buku Tarian Mabuk Allah, Tesis Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia UNISMA Malang, 2007. Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan. Bandung: Mizan Bandung, 1993. Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina, 1997. Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim, Roh, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001. Al-Tūsī, Sarraj, Al-Lumma‟ fi al-Tasawwuf, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: Departemen RI, 2007. Ahmala (dkk.), Hermeneutika Transendental, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. ‘Arabi, Ibn, Futuhat Al-Makkiyah, Jil. 1, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Alilmiyah, 2011. Armstrong, Amatullah, Khazanah Istilah Sufi Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. M.S. Nashrullah dan Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 1996. As-Sulami, Abi Abdirrahman, Al-Moqodimmah Fi Al-Tasawwuf, Lebanon:Beirut, 1999. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000. 232 233 Bakker, Anton, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989. Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn „Arabi terj. Moh. Khozim dan Suhadi, Yogyakarta: LKiS, 2002. E. Palmer, Richard, Hermeneutika Teori Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Baru Mengenai Interpretasi, Ernst, Carl W, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme, terj. Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati, Yogyakarta: Putra Langit, 2003. Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur‟ani: Antara Kontektualisasi, Yogyakarta: Qalam, 2007. Teks, Konteks, dan —————, Hermeneutika Al-Qur‟an: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: Qalam, 2007. Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987. Feild, Reshad, Lorong Tersembunyi (Kematian dan Cinta yang Tak Sudah), terj. S. Levi Soeroto, Jakarta: Serambi, 2005. Fitzgerald, dkk, Jalan Sang Salik di Musim Semi (Empat Sajak Sufi Klasik), terj. Koes Adiwidjajanto dan Wahyudi, Surabaya: Risalah Gusti, 2003. Gazalba, Sidi, Ilmu, Filsafat dan Islam Tentang Manusai dan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Georg Gadamer, Hans, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Saidah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Haeri, Fadhlalla, Jenjang-jenjang Sufisme, terj. Ibn Burdah dan Shohifullah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. —————, Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku: Kata-kata Ali bin Abi Thalib, terj. Tholib Anis, cet. 3, Bandung: Pustaka Hidayah, 2005. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Musa Karya Offset Jakarta, 1983. Hasan Enver, Ishrat, Metafisika Iqbal, terj. M. Fauzi Arifin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Hadi W.M, Abdul, Rumi: Sufi dan Penyair, Bandung: Pustaka, 1985. 234 —————, Kembali Ke Akar Kembali Ke Sumber (Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. —————, Tasawwuf yang Tertindas, Jakarta: Paramadina, 2001. —————, Hamzah Fanzuri: Risalah Tasawuf dan Puisi Pujangga, Bandung: Mizan, 1995. Hosein Nasr, Sayyed, Ensikplopedi Tematis Filsafat Islam (buku satu dan dua), ter. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003. Ibrahim Bazuri Ilahi, Syaik, Menyingkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj “Anal Haq”, terj. HR. Bandoso dan Jobar Ajob, Jakarta: Rajawali, 1993. Ismail, Faizal, Percikan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Bina Usaha, 1984. Ismail, Ilyas (dkk.), Ensikplopedi Tasawuf, Jilid 3, Bandung: Angkasa, 2008. Jalaluddin Rumi, Maulana, Masnawi Senandung Cinta Abadi Jalaluddin Rumi, terj. Abdul Hadi W.M, cet. 2, Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013. Jumantoro, Totok dkk, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo: Amzah, 2005. Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan (Pengantar Epistemologi Islam), Bandung: Mizan, 2003. Lings, Martin, Syaik Ahmad Al-Alawi Wali Sufi Abad 20, terj. Abdul Hadi W.M, Bandung: Mizan, 1983. Luthfi Ghozali, Muhammad, Percikan Samudera Hikmah: Syarah Hikam Ibn Atho‟illah As-Sakandari, Jakarta: Siraja Prenada Media Grup, 2011. Mohammad Iqbal, Javid Nama, Ziarah Abadi, terj. Dewi Candraningrum, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000. Miftahul Luthfi Muhammad, Omda, Menjadi Diri Sendiri, Surabaya: Dis, 2012. Muhammad Abbas, Qasim, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu‟ah as-Shufiyah alKamilah, Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr, 2004. Muhammad Ath Thair, Musthafa, Menyingkap Alam Ruh, terj. A. Rofiq Zainul Mun’im, Yogyakarta: Cahaya Hikmah, 2004. —————, Mushthafa, Dirasah Tahliliyyah li al-Ghaibiyyat wa Khawariq al„Adat, Kairo: Univ. al-Azhar, 1971. 235 Nasution, Harun, Filsafat Agama. Jakarta: Magenta Bhakti Guna, Jakarta, 1973. —————, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UIP, 2011. Nur, Muhammad, Wahdah Al-Wujud Ibn „Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra, Makasar: Chamran Press, 2012. Baca W.S. Rendra, Memberi Makna Pada Hidup yang Fana, Jakarta: Pabelan Jayakarta, 1999. Salam, Aprinus, Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS, Yogyakarta, 2004. Schimmel, Annemarie, Dunia Rumi (Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi), ter. Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002. —————, Rahasia Wajah Suci Ilahi. Bandung: Mizan, Anggota IKAPI Bandung, 1997. —————, Dimensi Mistik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Sudardi, Bani, Sastra Sufistik. Solo: PT Tiga Serangkai, 2003. Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1999. Syafi’ie, Kuswaidi, Menapak Lorong Aulia, Yogyakarta: Ittaqa Press, 1994. —————, Memanjat Bukit Cahaya, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000. —————, Pohon Sidrah, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. —————, Tarian Mabuk Allah, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003. —————, Tafakkur di Ujung Cinta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. —————, Sepotong Rindu untuk Kanjeng Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. —————, Pesona Pantai Keabadian, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2015. Takeshita, Masataka, Manusia Sempurna Menurut Konsepsi Ibn „Arabi, Moh. Hefni MR, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 236 Ulum Mahfud, Miftakhul, Hubungan Perawatan Kaki Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Kejadian Ulkus Diabetik Di RSUD Dr. Moewardi, Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012. Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat (The Tree of Philosophy), terj. Mohammad Shodiq, cet 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Poespoprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2004. Pradopo, Rachmat Djoko, Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Yogyakarta, 2002. Wachid B.S, Abdul, Religiositas Alam: Dari Surealisme ke Spiritualisme, Yogyakarta: Gama Media, 2002. Wahedi, Set, Aufa, Menulis Itu Pahit, Sumenep: Paelan, 2015. Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresssif, 1997. Zaprulkhan, Pencerahan Sufisti (Menimba Kearifan Hidup Melalui Kisah-kisah Kaum Sufi, Jakarta: Gramedia, 2015. Rujukan Jurnal: Religi Jurnal Studi Agama-agama, Vol. X, No. 2 Juli 2004. Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 1 Maret 2006. Dalam id.portalgaruda.org, diakses pada 17 Maret 2016, pukul 13:30 WIB. Junal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 3, No. 2, Desember 2006. Dalam ejournal.iain-palangkaraya.ac.id, diakses pada 18 Maret 2016, pukul 02:30 WIB. Jurnal Komunitas Rumah Lebah, No. 3, 2012. Jurnal Al-Hikmah, Vol. XIV, No. 1. 2013. Dalam id.portalgaruda.org, diakses pada 17 Maret 2016, pukul 15:45 WIB. Jurnal Ahkam, Vol. XIV, No. 1, Januari 2014. Dalam id.portalgaruda.org, diakses pada 17 Maret 2016, pukul 13:15 WIB. Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014. Dalam jurnal.radenfatah.ac.id, diakses pada 17 Maret 2016, pukul 16:15 WIB. 237 Jurnal Religi, Vol. X, No. 1, Januari 2014. Dalam digilib.uin-suka.ac.id, diakses pada 18 Maret 2016, pukul 01:30 WIB. Jurnal Ibda’, Vol. 13, No. 1, Januari-Juni 2015. Dalam ejournal.iainpurwokerto.ac.id, diakses pada 18 Maret 2016, pukul 02:01 WIB. Jurnal SmaRT, Vol. 01, No. 01, Juni 2015. Dalam blasemarang.kemenag.go.id, diakses pada 17 Maret 2016, pukul 12:40 WIB. Jurnal Tasavvuf: İlmî ve Akademik Araştırma Dergisi, Vol. 7, 2006, sayı: 17 Rujukan Majalah: Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.9/2014, September 2014. Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.12/2014, Desember 2014. Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.2/2015, Februari 2015. Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.3/2015, Maret 2015. Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.5/2015, Mei 2015. Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.6/2015, Juni 2015. Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.7/2015, Juli 2015. Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.9/2015, September 2015. Horison Majalah Sastra, tahun XLIX, No.12/2015, Desember 2015. CURICULUM VITAE Nama Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Kewarnegaraan Alamat No. HP Email Nama Ora Tua Alamat Orang Tua : Khairiyanto : Sumenep, 02 Maret 1992 : Laki-laki : Islam : Indonesia : Dusun Sarota’ Poteran, RT/RW 001/007, Desa Poteran, Kec. Talango, Kab. Sumenep, Madura, Jawa Timur : 087850246263 : [email protected] Ayah : Buahmo (H. Moh. Ra’is) Ibu : Hasiyani : Dusun Sarota’ Poteran, RT/RW 001/007, Desa Poteran, Kec. Talango, Kab. Sumenep, Madura, Jawa Timur Riwayat Pendidikan Formal : a. b. c. d. Riwayat Pendidikan Non MI. Fathul Ulum SMP Yayasan Abdullah (Yas’a) SMA Yayasan Abdullah (Yas’a) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : a. Pon-Pes Mathali’ul Anwar b. Program Ma’had Aly 238 : 1999-2005 : 2005-2008 : 2008-2011 : 2012-2016 : 2005-2012 : 2011-2012