BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sedimentasi Waduk Sungai mengalirkan air di atas permukaan bumi dengan membawa serta sedimen yang terdapat dalam air tersebut. Sedimen yang terbawa oleh air tersebut dibedakan menjadi muatan dasar (bed load) dan muatan melayang (suspended load). Muatan dasar adalah material sedimen bergerak di sepanjang dasar sungai sedangkan muatan melayang adalah material sedimen dalam bentuk suspensi karena aliran turbulen pada sungai. Muatan dasar yang selalu bergerak menyebabkan permukaan dasar sungai mengalami kenaikan dan penurunan dasar sungai yang biasa disebut alterasi dasar sungai (alteration bed river). Muatan melayang tidak berpengaruh pada alterasi dasar sungai tetapi dapat mengendap di dasar waduk maupun muara sungai. Hal inilah yang menimbulkan adanya pendangkalan pada waduk. Menurut Garg (1982) deposisi sedimen akan secara otomatis mengurangi kapasitas penyimpanan air pada waduk dan jika proses tersebut berlangsung terus menerus, maka akan menyebabkan waduk terisi penuh dengan sedimen dan menjadi tidak bermanfaat lagi. Pemenuhan waduk sepenuhnya oleh sedimen memerlukan waktu yang panjang. Namun, sebenarnya usia manfaat waduk akan berakhir pada waktu kapasitas simpanan dipenuhi oleh tumpukan sedimen yang cukup besar sehingga waduk tidak dapat berfungsi lagi. 5 6 Perubahan tataguna lahan berupa perambahan hutan dan lahan menyebabkan terjadinya pengurangan luasan penutupan lahan (land covering) atau perluasan lahan terbuka. Pada permukaan lahan yang terbuka jika terjadi hujan deras, maka beberapa lapisan tanah atas pada permukaan lahan terbuka tersebut akan mudah tererosi. Bahan-bahan yang tererosi tersebut akan terangkut oleh limpasan/aliran air permukaan (surface runoff) menuju ke suatu sungai sebagai endapan. Bahan endapan tersebut dapat menimbulkan permasalahan pendangkalan atau pengurangan kapasitas tampung air pada waduk Menurut Poerbandono,dkk (2006) pada daerah aliran sungai ( DAS ), laju erosi dikendalikan oleh kecepatan aliran air dan sifat sedimen, terutama ukuran butirnya. Tegangan yang bekerja pada permukaan tanah atau dasar perairan sebanding dengan kecepatan aliran. Resistensi tanah atau sedimen untuk bergerak sebanding dengan ukuran butirnya. Gaya pembangkit eksternal yang menimbulkan erosi adalah curah hujan dan aliran air pada lereng DAS. Curah hujan yang tinggi dan lereng DAS yang miring merupakan faktor utama pembangkit erosi. Pertahanan DAS terhadap erosi tergantung pada tutupan lahan. Data bahan endapan secara umum dapat digunakan untuk mengevaluasi tingkat bahaya yang terjadi dan pengelolaan permasalahan yang diakibatkan oleh perubahan hubungan curah hujan dan limpasan air permukaan serta angkutan endapan ke bagian daerah tangkapan yang lebih rendah. Sedangkan fenomena pendangkalan pada waduk terjadi sebagai akibat hasil interaksi antara faktor kelebatan curah hujan, kurangnya penutupan lahan dan karakteristik kondisi geofisik lahan pada suatu daerah aliran sungai. (Hardwinarto,2005) 7 Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pengendalian sedimentasi waduk karena pengaruh erosi lahan. Adapun yang akan dibahas yaitu perhitungan laju erosi, penentuan tingkat bahaya erosi, penentuan pengendalian sedimentasi menggunakan metode mekanik dan metode vegetasi. 2.2 Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen- komponen pasat, cair, dan gas, dan mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik (Arsyad,1989). Tanah terbentuk dari hasil kerja interaksi antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi oleh topografi tempat terbantuknya dan waktu. Sebagai produk alami yang heterogen dan dinamik, maka ciri dan perilaku tanah berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan berubah dari waktu ke waktu. Sebagai sumber daya alam, untuk pertanian, tanah mempunyai dua fungsi utama, yaitu yang pertama, sebagai sumber unsur hara bagi tanaman, dan kedua, sebagai matriks tempat akar tanaman berjangkar dan air tanah tersimpan, dan tempat unsur-unsur hara dan air ditambahkan. Fungsi-fungsi tersebut dapat mengalami penurunan bahkan hilang. Keadaan tanah seperti ini disebut sebagai kerusakan tanah atau degradasi tanah. Kerusakan fungsi tanah sebagai sumber unsur hara bagi tanaman dapat diperbaruhi dengan pemupukan. Namun, kerusakan fungsi tanah yang kedua memerlukan waktu yang lama untuk memperbaruhi tanah. Kerusakan tanah atau degradasi tanah terjadi karena empat sebab. Pertama, kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran. Kedua, terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinasi), terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman. Ketiga, penjenuhan tanah oleh air. 8 Keempat, sebab erosi. Kerusakan tanah dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kerusakan tanah akibat hilangnya unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman akibatnya produktivitas tanah sangat rendah. Kerusakan ini terjadi karena perombakan bahan organik dan pelapukan mineral serta pencucian unsur hara yang berlangsung cepat dibawah iklim tropis yang panas dan basah, dan kehilangan unsur hara yang terangkut melalui panen yang tidak ada usaha mengembalikanya. Pembakaran tanaman penutup tanah mempercepat proses pencucian dan pemiskinan. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mencegah kerusakan tanah yaitu dengan pemberian pupuk buatan maupun organik, pergiliran tanaman pokok dengan tanaman leguminosa, dan menghindari pembakaran tanaman. 2.3 Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut oleh media alami, yaitu air dan angin, kemudian akan diendapkan pada suatu tempat yang lain. Terdapat dua macam utama erosi, yaitu erosi normal dan erosi dipercepat. Erosi normal atau juga disebut erosi geologi atau erosi alami merupakan prosesproses pengangkutan tanah yang terjadi pada keadaan vegetasi masih alami. Erosi ini terjadi dengan laju yang lambat sehingga memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara alami. Selain itu, erosi geologi juga menyebabkan terjadinya sebagian bentuk permukaan bumi yang 9 terdapat di alam. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah. Oleh karena itu, erosi yang dipercepat menjadi perhatian utama dalam usaha konservasi tanah. 2.3.1. Proses erosi Menurut Arsyad (1989) proses erosi merupakan kombinasi dari penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah, dan perendaman oleh air yang tergenang serta pemindahan butirbutir tanah oleh percikan hujan dengan penghancuran struktur tanah diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Air hujan yang menimpa tanah terbuka menyebabkan tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir tergantung pada, jumlah dan intensitas hujan, kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas penyimpanan air tanah. Semakin curam dan semakin panjang lereng menyebabkan kekuatan perusak air yang mengalir di atas permukaan tanah menjadi besar. 2.3.2. Penyebaran global daerah erosi Daerah yang paling banyak mengalami erosi umumnya terbatas dalam zone 40°LU - 40°LS. Di dalam zone ini tanah-tanah di daerah tropika adalah yang paling banyak mengalami erosi. Rendahnya curah hujan di daerah beriklim kering menyebabkan erosi oleh air tidak berarti. Erosi juga tidak berarti di daerah beriklim basah yang masih tertutup vegetasi hutan lebat dan rimbun dengan tanah yang stabil selama vegetasinya belum terganggu. Namun, jika vegetasi pelindung hilang, maka curah hujan yang erosif akan menimbulkan erosi yang besar. 10 Di daerah beriklim agak kering, baik dalam keadaan alami maupun dalam keadaan telah terganggu, sering sekali ditandai oleh tanah yang peka erosi dan tegakan vegetasi yang stabil dan tidak merata karena rendahnya kandungan air tanah selama musim kering yang panjang. Curah hujan di daerah agak kering terjadi dalam musim yang singkat dan seringkali dengan intensitas tinggi. Kombinasi antara vegetasi yang jarang dengan curah hujan berintensitas tinggi mengakibatkan laju erosi tinggi bahkan pada tempat yang datar sekalipun. Jadi, ancaman erosi tertinggi adalah di daerah tropika basah yang telah terganggu vegetasinya dan di daerah agak kering, jika dibandingkan dengan erosi di daerah kering dan daerah tropika basah yang belum terganggu vegetasinya. 2.3.3. Macam-macam erosi Menurut Asdak (1995) beberapa tipe erosi yang umum dijumpai di daerah tropis, yaitu erosi percikan, erosi kulit, erosi alur, erosi parit, dan erosi tebing sungai. Erosi percikan adalah proses terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau sebagai air lolos (Asdak,1995). Besarnya erosi dipengaruhi oleh keberadaan tumbuhan bawah atau seresah. Apabila air hujan jatuh di atas seresah, maka energi kinetik air hujan akan tertahan oleh penutup tanah sehingga dapat menurunkan jumlah partikel tanah yang terkelupas. Erosi kulit adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan aliran air permukaan. Sumber tenaga penyebab erosi kulit adalah tenaga kinetis air hujan dengan kecepatan air jatuh antara 0,3 sampai dengan 0,6 m/dt. Bentang lahan dengan komposisi lapisan permukaan tanah atas yang rentan terletak di atas lapisan bawah permukaan yang solid merupakan bentang lahan dengan potensi terjadinya erosi kulit besar. 11 Pada erosi kulit kehilangan lapisan tanah terjadi secara seragam dan dengan tebal yang merata sehingga menyebabkan bentuk erosi kulit tidak segera diketahui. Erosi baru dapat diketahui setelah tanaman mulai ditanam di atas lapisan bawah tanah yang tidak baik bagi pertumbuhan. Erosi alur adalah pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikelpartikel tanah oleh aliran air larian yang terkonsentrasi di dalam saluran-saluran air. Erosi ini terjadi ketika aliran permukaan masuk ke dalam cekungan permukaan tanah, kecepatan aliran permukaan meningkat dan akhirnya terjadi transpor sedimen. Erosi ini terbentuk oleh tanah yang kehilangan daya ikat partikel-partikel tanah sejalan dengan meningkatnya kelembaban tanah. Untuk memperbaikinya dapat dilakukan dengan pengolahan tanah. Erosi parit merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur. Proses pembentukannya sama dengan proses terjadinya erosi alur, tetapi saluran yang terbentuk sudah demikian dalam sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan lahan biasa. Erosi parit yang baru terbentuk berukuran lebar 40 cm dengan kedalaman 25 cm, sedangkan untuk erosi parit yang telah lanjut dapat mencapai kedalaman 30 m. Erosi parit dapat berbentuk V atau U. Erosi parit bentuk V terjadi pada tanah yang relatif dangkal dengan tingkat erodibilitas seragam. Erosi bentuk U terjadi pada tanah dengan tingkat erodibilitas rendah terletak di atas lapisan tanah dengan erodibilitas lebih tinggi. Tanah yang mengalami erosi parit sangat sulit untuk dijadikan lahan pertanian. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha perbaikan sebelum lahan tersebut 12 dapat digunakan. Usaha yang dapat dilakukan untuk menanggulangi erosi parit adalah dengan kombinasi antara bangunan pencegah erosi dan penanaman vegetasi. Erosi tebing adalah pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran air sungai. Proses yang berlangsung pada erosi tebing adalah proses penggerusan oleh aliran sungai dan longsoran tanah pada tebing tanah. Proses penggerusan terjadi karena kecepatan laju aliran sungai yang besar. Terjadinya longsoran tanah pada tebing disebabkan oleh keadaan kelembaban tanah di tebing sungai. Kelembaban tanah yang tinggi membuat beban meningkat lebih besar dari gaya yang mempertahankan tanah pada tempatnya. Bagian tebing sungai yang mempunyai potensi besar terjadi erosi adalah pada tikungan sungai bagian luar karena benturan aliran sungai di tempat tersebut sangat besar. 2.3.4. Faktor-faktor penentu erosi Menurut Arsyad (1989), erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan, dan manusia terhadap tanah. Dari kelima faktor tersebut dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor yang dapat diubah oleh manusia dan faktor yang tidak dapat diubah manusia. Faktor yang dapat diubah oleh manusia meliputi tumbuh-tumbuhan, sebagian sifat-sifat tanah, yaitu kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi, serta satu unsur topografi yaitu panjang lereng. Faktor yang tidak dapat diubah manusia adalah iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng. Faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan tehadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan serta kerusakan erosi. Pada hujan yang intensif dan berlangsung cepat, erosi yang terjadi lebih besar daripada hujan dengan 13 intensitas kecil dalam waktu yang lama. Sifat hujan yang mempengaruhi erosi adalah energi kinetik hujan karena energi tersebut menyebabkan kehancuran agregat-agregat tanah. Kemiringan dan panjang lereng merupakan unsur yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Kemiringan lereng mempengaruhi kecepatan aliran permukaan. Semakin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan semakin besar dan semakin besar pula energi angkut air. Air yang mengalir di permukaan tanah akan berkumpul di ujung lereng. Hal ini berarti lebih banyak air yang mengalir dan semakin besar kecepatannya di bagian bawah lereng. Menurut Asdak (1995), pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah sebagai berikut : 1. Melindungi permukaan tanah dari tumbukan hujan 2. Menurunkan kecepatan dan volume aliran air permuakaan 3. Menahan partikel-partikel tanah melalui sistem perakaran dan seresah 4. Mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air. Menurut Arsyad (1989) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah dan tingkat kesuburan tanah. Menurut Arsyad (1989) manusialah yang menentukan tanah yang diusahakan akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif. Beberapa faktor yang mempengaruhi manusia untuk memperlakukan tanah secara bijaksana antara lain : 1. Luas tanah pertanian yang diusahakan 2. Sistem pengusahaan tanah 14 3. Status penguasaan tanah 4. Tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi 5. Harga hasil usahatani 6. Perpajakan 7. Ikatan hutang 8. Pasar dan sumber keperluan usahatani 9. Infrastruktur dan fasilitas kesejahteraan 2.4 Akibat Erosi Lahan Menurut Arsyad (1989), kerusakan yang disebabkan oleh erosi terjadi di dua tempat, yaitu pada tanah tempat erosi terjadi dan pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut diendapkan. Kerusakan pada tanah tempat erosi terjadi dapat terlihat dari berkurangnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, serta berkurangnya kemantapan struktur tanah. Keadaan ini mengakibatkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan menurunnya produktivitas. Tanah yang tererosi diangkut oleh aliran permukaan akan diendapkan pada tempat dengan aliran yang melambat atau berhenti baik dalam sungai, saluran irigasi, waduk, danau, atau muara sungai. Endapan tersebut akan menyebabkan pendangkalan pada sungai, saluran irigasi, waduk, danau, atau muara sungai. Peningkatan jumlah aliran air di permukaan dan mendangkalnya sungai menyebabkan terjadinya banjir. Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah mengurangi pengisian kembali air bawah tanah. Dengan demikian, peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena sebagai akibat dari erosi. 15 2.5 Laju Erosi Tanah Praktik-praktik bercocok tanam bersifat merubah keadaan penutupan lahan dan mengakibatkan terjadinya erosi permukaan pada tingkat atau besaran yang bervariasi. Besaran erosi yang terjadi ditentukan oleh intensitas dan bentuk aktivitas pengelolaan lahan sehingga diperlukan prediksi erosi. Prediksi erosi merupakan metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan dan laju erosi yang ditoleransi telah ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan. Menurut Asdak (1995) untuk menghitung laju erosi tahunan pada umumnya digunakan pendekatan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978), yaitu sebagai berikut : A=RxKxLxSxCxP (2 – 1) Keterangan : A = Laju erosi tanah (ton/ha/tahun) R = Indeks erosivitas hujan K = Indeks erodibilitas tanah LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng C = Indeks penutupan vegetasi dan P = Indeks pengolahan lahan atau tindakan konservasi tanah 2.5.1. Indeks erosivitas hujan Menurut Asdak (1995) erosivitas hujan adalah tenaga pendorong yang menyebabkan terkelupas dan terangkutnya partikel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah. Energi kinetik adalah faktor utama terkelupasnya partikel-partikel tanah dari agregatnya. Besarnya energi kinetik dipengaruhi oleh laju dan distribusi tetesan air hujan. 16 Menurut Arysad (1989) indeks erosivitas hujan dinyatakan dengan EI30, yaitu interaksi antara energi kinetik hujan (E) dalam ton meter per hektar dan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30) dalam cm per jam. Energi kinetik hujan (E) didapat dari persamaan Wischmeier dan Smith (1978) : E 210 89 log i (2 – 2) Keterangan : E = energi kinetik (ton.m/hektar) i = intensitas hujan (cm/jam) Intensitas hujan maksimum 30 menit diperoleh dari hasil pencatatan grafik hujan pada penakar hujan otomatik. Intensitas hujan maksimum 30 menit ditentukan dari bagian grafik dengan intensitas terbesar selama 30 menit. Sebagai contoh dapat dilihat dari gambar 2.1. Grafik hujan dibagi menjadi beberapa bagian yang berbeda. Pada gambar 2.1 bagian-bagian dari grafik tersebut adalah a-b, b-c, c-d, d-e, e-f, f-g, g-h, i-j, dan j-k. Dari bagian-bagian tersebut diketahui jumlah curah hujan setiap bagian dan waktu dalam menit setiap bagian tersebut. Intensitas maksimum 30 menit atau I30 ditentukan dari bagian dengan intensitas terbesar selama 30 menit, yaitu ditunjukan dalam gambar 2.1 yang ditandai dengan x – x dalam bagian i-j. Dalam contoh pada gambar 2.1 tersebut besarnya jumlah hujan terbesar selama 30 menit adalah 3,6 cm. I30 menjadi 3,6 x 60/30 cm/jam = 7,2 cm/jam. 17 Gambar 2.1 Grafik hujan yang diperoleh dari Penakar Hujan Otomatik Menurut Arsyad (1989) dan Wischmeier dan Smith (1978) harga EI30 diperoleh dengan persamaan sebagai berikut : EI 30 E ( I 30 .10 2 ) Keterangan : EI30 = indeks erosivitas hujan E = energi kinetik (ton.m/hektar) I30 = intensitas hujan maksimum 30 menit (cm/jam) (2 – 3) 18 Menurut Asdak (1995) indeks erosivitas adalah faktor erosivitas curah hujan dan air larian untuk daerah tertentu dalam bentuk indeks erosi rata-rata serta menunjukkan besarnya tenaga curah hujan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi. Indeks erosivitas ini dinyatakan dalam R. Karena terbatasnya penyebaran dan hasil pencatatan penakar hujan otomatik, maka untuk menentukan indeks erosivitas hujan digunakan persamaan yang berbeda dari persamaan sebelumnya. Menurut Asdak (1995) dan Lenvain (1989) persamaan untuk menentukan indeks erosivitas hujan tersebut ditentukan berdasar kajian erosivitas hujan dengan menggunakan data curah hujan dari beberapa tempat di Jawa. Adapun persamaan tersebut adalah sebagai berikut : R 2,21.P 1,36 (2 – 4) Keterangan : R = indeks erosivitas hujan P = curah hujan bulanan (cm) Untuk mendapatkan curah hujan bulanan digunakan metode Thiessen. Menurut SNI 03-2415-1991 metode thiessen ditentukan dengan membuat poligon antar pos hujan pada suatu wilayah DAS kemudian tinggi hujan rata-rata daerah dihitung dari jumlah perkalian antara tiap-tiap luas poligon dan tinggi hujannya dibagi dengan luas seluruh DAS. Metode ini baik digunakan apabila pos hujannya tidak banyak dan tinggi hujannya tidak merata. Rumus yang digunakan untuk menentukan tinggi hujan rata-rata adalah sebagai berikut : P A1 .P1 A2 .P2 ....... An .Pn Atotal Keterangan : P = tinggi hujan rata-rata (mm) P1...Pn = tinggi hujan pada setiap pos (mm) A1..A n = Luas yang dibatasi garis poligon (km 2) (2 – 5) 19 2.5.2. Indeks erodibilitas tanah Menurut Asdak (1995) erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik air hujan. Besarnya erodibilitas tergantung pada topografi, kemiringan lereng, dan besarnya gangguan oleh manusia serta sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, dan kandungan organik dan kimia tanah. Perubahan karakteristik tanah yang dinamis juga berpengaruh pada perubahan nilai erodibilitas tanah. Perubahan erodibilitas tanah yang signifikan berlangsung ketika terjadi hujan karena pada waktu tersebut partikel-partikel tanah mengalami perubahan orientasi dan karakteristik kimia dan fisika. Indeks erodibilitas tanah ( K ) ditentukan dengan mengetahui jenis tanah terlebih dahulu baik dengan percobaan di lapangan maupun dengan analisa tekstur tanah. Jika tidak terdapat data percobaan lapangan maka dapat digunakan persamaan berikut (Arsyad,1989) 100 K 1,292 2,1 M 1,14 10 4 12 a 3,25 b 2 2,5 c 3 (2 – 6) Keterangan : K = erodibilitas tanah M = persentase ukuran butir pasir sangat halus dan debu (100 – persentase liat) Nilai M untuk beberapa klas tekstur tanah yang telah ditentukan dapat dilihat dalam tabel 2.1 (Asdak,1995) a = persentase bahan organik b = kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi tanah (Tabel 2.2) c = klas permeabilitas profil tanah (Tabel 2.3) Tabel 2.1 Nilai M untuk Beberapa Kelas Tekstur Tanah Kelas Tekstur Tanah Lempung berat Lempung sedang Lempung pasiran Nilai M 210 750 1213 20 Kelas Tekstur Tanah Geluh lempung Pasir lempung debuan Geluh lempungan Campuran merata Pasir Pasir geluhan Geluh berlempung Geluh pasiran Geluh Geluh debuan Debu Nilai M 1685 2830 2830 4000 3035 1245 3770 4005 4390 6330 8245 Tabel 2.2 Kode Struktur Tanah Kelas Struktur Tanah (ukuran diameter) Granuler sangat halus (< 1mm) Granuler halus (1 – 2 mm) Granuler sedang sampai kasar (2 – 10 mm) Berbentuk blok, blocky, plat, masif Kode 1 2 3 4 Tabel 2.3 Kode Permeabilitas Profil Tanah Kelas Permeabilitas Sangat lambat Lambat Lambat sampai sedang Sedang Sedang sampai cepat Cepat Kecepatan (cm/jam) < 0,5 0,5 sampai 2,0 2,0 sampai 6,3 6,3 sampai 12,7 12,7 sampai 25,4 > 25,4 Kode 6 5 4 3 2 1 Cara lain untuk menentukan erodibilitas adalah dengan menggunakan nomogram seperti tercantum dalam gambar 2.2 (Arsyad,1989) 21 Gambar 2.2 Grafik erodibilitas Selain menggunakan nomogram dan persamaan 2 – 6, besarnya erodibilitas suatu tanah dapat dilihat dari tabel berikut (Arsyad,1989 dan Asdak,1995) Tabel 2.4 Prakiraan Besarnya Nilai K untuk Beberapa Jenis Tanah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Jenis Tanah Latosol (Haplorthox) Latosol merah (Humox) Latosol merah kuning (Typic haplorthox) Latosol coklat (Typic tropodult) Latosol (Epiaquic tropodult) Regosol (Troporthents) Regosol (Oxic dystropept) Regosol (Typic entropept) Regosol (Typic dystropept) Gley humic (Typic tropoquept) Gley humic (Tropaquept) Gley humic (Aquic entropept) Lithosol (Litic eutropept) Lithosol (Orthen) Nilai K rataan 0,09 0,12 0,26 0,23 0,31 0,14 0,12 – 0,16 0,29 0,31 0,13 0,20 0,26 0,16 0,29 22 No 15 16 17 18 19 20 21 Jenis Tanah Grumosol (Chromudert) Hydromorf abu-abu (Tropofluent) Podsolik (Tropudults) Podsolik Merah Kuning (Tropudults) Mediteran (Tropohumults) Mediteran (Tropaqualfs) Mediteran (Tropudalfs) Nilai K rataan 0,21 0,20 0,16 0,32 0,10 0,22 0,23 2.5.3. Indeks panjang dan kemiringan lereng Menurut Asdak (1995) panjang lereng mengacu pada aliran air permukaan, yaitu berlangsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya deposisi sedimen. Menurut Asdak (1995) dan Schwab (1981) faktor panjang lereng (L) didefinisikan secara matematik sebagai berikut l L 22,1 m (2 – 7) Keterangan : L = panjang lereng (m) l = panjang kemiringan lereng (m) m = angka eksponen yang dipengaruhi oleh interaksi antara panjang lereng dan kemiringan lereng dan dapat juga dipengaruhi oleh karakteristik tanah, tipe vegetasi. Angka eksponen tersebut antara 0,3 untuk lereng panjang dengan kemiringan kurang dari 0,5 % sampai 0,6 untuk lereng pendek dengan kemiringan lebih dari 10%. Angka eksponen rata-rata yang umum dipakai adalah 0,5. Menurut Meinarsari (2002) faktor kemiringan lereng (S) adalah perbandingan antara kehilangan tanah pada suatu kemiringan lereng tertentu terhadap kehilangan tanah pada kemiringan standar 9%. Jika kemiringan lereng tidak sama dengan kemiringan standar maka nilai faktor S harus dikonversikan sesuai kemiringan standar. Adapun persamaan untuk memperoleh faktor S tersebut adalah sebagai berikut S = 0,065 + (0,045 × s) + (0,0065 × s2) (2 – 8) 23 Keterangan : S = kemiringan lereng (%) s = kemiringan lereng aktual (%) Nilai s diperoleh dari rumus berikut : s n 1 Ci 100% untuk kontur tunggal (2 - 9) s n 1 Ci 100% untuk kontur ganda (2 - 10) D 0,5.D Keterangan : s = kemiringan lereng (%) n = jumlah kontur yang terpotong oleh diagonal Ci = kontur interval D = panjang diagonal grid 2.5.4. Indeks penutupan vegetasi dan indeks pengolahan lahan atau tindakan konservasi tanah Indeks penutupan vegetasi (C) dan indeks pengolahan lahan atau tindakan konservasi tanah (P) dapat digabung menjadi faktor CP yang nilainya berdasar tabel di bawah ini (Asdak,1995) Tabel 2.5. Perkiraan Nilai Faktor CP Berbagai Penggunaan Lahan di Jawa No Konservasi dan Pengelolaan Tanaman 1. Hutan: a. Tidak terganggu b. Tanpa tumbuhan bawah, dengan serasah c. Tanpa tumbuhan bawah, tanpa serasah 2. Semak : a. Tidak terganggu b. Sebagian berumput 3. Kebun : a. Kebun-talun b. Kebun-pekarangan 4. Perkebunan : a. Penutupan tanah sempurna b. Penutupan tanah sebagian 5. Rerumputan : a. Penutupan tanah sempurna Nilai CP 0,01 0,05 0,50 0,01 0,10 0,02 0,20 0,01 0,07 0,01 24 No Konservasi dan Pengelolaan Tanaman b. Penutupan tanah sebagian, ditutupi alang-alang c. Alang-alang:pembakaran sekali setahun d. Serai wangi 6. Tanaman pertanian : a. Umbi-umbian b. Biji-bijian c. Kacang-kacangan d. Campuran e. Padi irigasi 7. Perladangan : a. 1 tahun tanam, 1 tahun bero b. 1 tahun tanam, 2 tahun bero 8. Pertanian dengan konservasi a. Mulsa b. Teras bangku c. Contour cropping 2.6 Nilai CP 0,02 0,06 0,65 0,51 0,51 0,36 0,43 0,02 0,28 0,19 0,14 0,04 0,14 Pola Rehalibilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) Dalam Asdak (1995), format yang umum digunakan untuk pola rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) terdiri atas : 1. Arahan penggunaan lahan 2. Arahan RLKT 3. Urutan tingkat kekritisan lahan 2.6.1. Arahan penggunaan lahan Metode yang digunakan dengan memberi skor pada masing-masing karakterisitik DAS yang terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah hujan harian rata-rata. Tabel 2.6 Klasifikasi Faktor Kemiringan Lereng No Kelas Kemiringan Nilai 1. I 0 – 8 % (datar) 20 2. II 8 – 15 % (landai) 40 3. III 15 – 25 % (agak curam) 60 4. IV 25 – 45 % (curam) 80 5. V ≥ 45 % (sangat curam) 100 25 Tabel 2.7 Klasifikasi Faktor Tanah menurut Kepekaannya terhadap Erosi No 1. 2. 3. 4. 5. Kelas I II III IV V Jenis Tanah Aluvial, Planosol, Hidromorf kelabu, Laterik (tidak peka) Latosol (agak peka) Tanah hutan coklat, tanah medeteran (kepekaan sedang) Andosol, Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolic (peka) Regosol, Litosol, Organosol, Renzina (sangat peka) Nilai 15 30 45 60 75 Tabel 2.8 Klasifikasi Faktor Intensitas Hujan Harian Rata-rata No 1. 2. 3. 4. 5. Kelas I II III IV V Intensitas Hujan Harian Rata-rata ≤ 13,6 mm/hari (sangat rendah ) 13,6 – 20,7 mm/hari ( rendah ) 20,7 – 27,7 mm/hari (sedang ) 27,7 – 34,8 mm/hari ( tinggi ) ≥ 34,8 mm/hari ( sangat tinggi ) Nilai 10 20 30 40 50 Penetapan penggunaan lahan dilakukan dengan menjumlahkan nilai ketiga faktor tersebut serta dengan mempertimbangkan keadaan setempat. Hasil yang diperoleh adalah pembagian kawasan menjadi tiga macam, yaitu kawasan lindung, kawasan penyangga, dan kawasan budidaya. 1) Kawasan lindung adalah jika jumlah nilai ≥ 175 dan memenuhi salah satu atau beberapa syarat di bawah ini : a. mempunyai kemiringan lereng > 45 % b. tanah sangat peka terhadap erosi dan mempunyai kemiringan > 15% c. merupakan jalur pengaman sungai, sekuran-kurangnya 100 m di tepi sungai d. merupakan pelindung mata air, yaitu 200 m dari pusat mata air e. berada pada ketinggian ≥ 2000 m dpl. f. guna kepentingan khusus dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung 26 2) Kawasan penyangga adalah jika jumlah nilai 125 – 174 serta memenuhi kriteria umum sebagai berikut : a. keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya pertanian secara ekonomis b. lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga c. tidak merugikan dari segi ekologi/lingkungan hidup. 3) Kawasan budidaya adalah jika jumlah nilai ≤ 124 serta sesuai untuk dikembangkan usaha tani tanaman baik tahunan maupun musiman. Untuk budidaya tanaman tahunan harus memenuhi kriteria umum kawasan penyangga. Untuk tanaman musiman harus terletak di tanah milik, tanah adat, dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman musiman. 2.6.2. Arahan RLKT Arahan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dianalisa berdasarkan data yang bersumber dari peta kemampuan lahan, data lahan kritis, dan data hasil menyigi lapangan. 2.6.3. Tingkat bahaya erosi Dalam Asdak (1995), menurut Hammer (1981), tingkat bahaya erosi (TBE) ditentukan dari perbandingan antara laju erosi potensial (A) dengan laju erosi yang masih dapat ditoleransi (TSL). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : TBE A ton / ha / tahun TSL ton / ha / tahun Keterangan : TBE = tingkat bahaya erosi A = laju erosi potensial TSL = laju erosi yang masih dapat ditoleransi (2 – 11) 27 Nilai laju erosi potensial dihitung dengan menggunakan persamaan USLE. Sedangkan nilai laju erosi yang masih dapat ditoleransi (TSL) ditentukan dengan mengacu pada pedoman penetapan nilai TSL untuk tanah di Indonesia Tabel 2.9 Pedoman Penetapan Nilai TSL untuk Tanah-tanah di Indonesia (Arsyad,1989) No Sifat Tanah dan Substratum 1. 2. Tanah sangat dangkal (< 25 cm) di atas batuan Tanah sangat dangkal (< 25 cm) di atas bahan telah melapuk (tidak terkonsolidasi) Tanah dangkal (25 – 50 cm) di atas bahan telah melapuk Tanah dengan kedalaman sedang (50 – 90 cm) di atas bahan telah melapuk Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat, di atas substrata telah melapuk. Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah berpermeabilitas sedang, di atas substrata telah melapuk Tanah yang dalam (>90 cm) dengan lapisan bawah yang permeabel lambat, di atas substrata telah melapuk 3. 4. 5. 6. 7. 8. Nilai TSL (ton/ha/tahun) 0 4,8 9,6 14,4 16,8 19,2 24 30 Hasil dari perhitungan nilai tingkat bahaya erosi dimasukkan dalam klasifikasi tingkat bahaya erosi sebagai berikut : Tabel 2.10 Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi No 1. 2. 3. 4. 2.7 Nilai Tingkat Bahaya Erosi < 1,00 1,01 – 4,00 4,01 – 10,00 > 10,00 Kategori Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Perencanaan Pengendalian Erosi Mencegah terjadinya erosi di daerah rawan erosi adalah usaha paling efektif untuk menurunkan laju erosi. Mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah adalah cara yang efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadi dan meluasnya erosi permukaan. Namun, usaha-usaha penghijauan tersebut belum bisa berfungsi 28 dengan baik sebelum vegetasi yang ditanam tumbuh. Oleh karena itu diperlukan usaha secara mekanik untuk mengatasi erosi sebelum tanaman pengendali erosi tersebut tumbuh dan berfungsi dengan baik. Menurut Arsyad (1989) pengendalian erosi secara vegetatif dilakukan dengan menggunakan tanaman untuk mengurangi daya rusak dari air hujan yang jatuh, dan mengurangi jumlah serta daya rusak aliran permukaan. Pengendalian cara tersebut berfungsi untuk melindungi tanah terhadap daya perusak butiran hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air permukaan, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan menahan air yang mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pengendalian erosi dengan metode vegetatif antara lain adalah penanaman tanaman yang menutupi tanah secara terus menerus, penanaman dalam strip, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah, sistem pertanian hutan, pemanfaatan sisa-sisa tanaman dalam bentuk mulsa atau pupuk hijau, penanaman rumput pada saluran-saluran pembuangan. Pengendalian erosi dengan metode mekanik dilakukan dengan memberikan perlakuan fisik mekanis pada tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan, dan meningkatkan kapasitas penggunaan lahan. Metode ini berfungsi untuk memperlambat aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, serta penyediaan air bagi tanaman. Beberapa tindakan yang dilakukan dalam metode mekanik ini adalah pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur, guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, pembuatan teras, pembuatan dam penghambat, rorak, dan tanggul, serta perbaikan saluran drainase dan irigasi. 29 2.7.1 Teknik konservasi tanah untuk pengendalian erosi Terdapat beberapa macam teknik konservasi tanah yang dapat dilakukan untuk mengendalikan erosi. Teknik konservasi tanah dilakukan dengan menggabungkan antara metode vegetasi dan mekanik. Menurut Departemen Kehutanan Balai Pengelola DAS Serayu Opak Progo, 2004 teknik konservasi tanah yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut : 1. Budidaya tanaman lorong Tanaman lorong adalah salah satu teknik konservasi tanah dengan cara menanam tanaman pokok pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar secara memotong lereng. Tujuan dari metode tersebut adalah untuk menekan laju erosi dan aliran permukaan, dan meningkatkan produktivitas lahan. Metode ini dilakukan pada lahan kering dengan kemiringan 15 – 40 %. Gambar 2.3 Budidaya tanaman lorong 30 2. Budidaya strip rumput Budidaya strip rumput dilakukan dengan menanam tanaman pokok di antara strip rumput secara berselang-seling dengan bidang yang memotong lereng. Tujuan dari metode ini adalah untuk memperlambat aliran permukaan, mengurangi laju erosi, dan pembentukan teras secara alami. Metode ini dilakukan pada lahan kering di hulu DAS dan di luar kawasan hutan dengan kemiringan lereng antara 15 – 40 %. Gambar 2.4 Budidaya strip rumput 3. Mulsa vertikal Mulsa vertikal adalah penggunaan sisa tanaman (mulsa) untuk tindakan konservasi tanah melalui penimbunan sisa tanaman pada parit teras atau parit yang dirancang mengikuti kontur. Tujuan dari cara ini adalah untuk mengendalikan aliran permukaan, menampung dan mengendalikan sedimen disepanjang teras, pemanfaatan sisa tanaman secara mudah dan efisien serta memperkaya pupuk 31 organik.. Manfaat dari mulsa vertikal adalah dapat mengendalikan erosi dan mengendalikan hilangnya unsur hara. Metode ini diusahakan pada areal usaha tani lahan kering yang tingkat kehilangan unsur haranya sangat tinggi. Gambar 2.5 Mulsa vertikal 4. Teras Teras adalah bangunan konservasi tanah yang dibuat dengan penggalian dan pengurugan tanah membentuk bangunan utama berupa bidang olah, guludan, dan saluran pembuangan air (SPA) yang dilengakapi bangunan terjunan air. Tujuan dari pembuatan teras ini adalah untuk memperkecil aliran permukaan, menekan erosi, meningkatkan peresapan air ke dalam tanah serta menampung dan mengendalikan aliran air ke daeran yang lebih rendah secara aman. Terdapat lima jenis pembuatan teras yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut : 1) Teras datar, yaitu berupa tanggul sejajar kontur dengan dilengkapi saluran di atas dan di bawah tanggul, dibuat pada lokasi dengan kemiringan 3%. 32 Gambar 2.6 Teras datar 2) Teras kredit, dibuat pada lokasi dengan kemiringan 3 – 10 % dengan kedalaman lapisan olah tanah kurang dari 30 cm. Gambar 2.7 Teras kredit 3) Teras gulud, yaitu berupa guludan tanah dan saluran air, pada tiap guludan besar terdapat satu atau lebih guludan kecil yang dibuat sejajar kontur, 33 dilengkapi dengan SPA dan bangunan terjunan air. Dibuat pada lokasi dengan kemiringan lereng 10 – 15 %. Gambar 2.8 Teras gulud 4) Teras bangku, yaitu teras dengan bidang olah yang miring ke belakang, dengan tujuan menampung dan mengalirkan aliran permukaan secara aman dan terkendali serta menurunkan laju erosi dan sedimentasi. Dibuat pada lahan dengan kemiringan 10 - 30 % dan solum tanah lebih dari 30 cm, terutama untuk lahan yang tererosi berat dan terus menerus. Teras bangku sebaiknya ditanami rumput pada tampingan dan guludannya untuk memperkuat agar tidak mudah longsor. Tanaman tersebut sekaligus bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain itu, saluran pembuangan air pun perlu dibuat untuk mengarahkan aliran permukaan agar tidak merusak ketika menuruni lereng. 34 Gambar 2.9 Teras bangku 5) Teras kebun, yaitu teras yang dibuat di sepanjang kontur yang akan ditanami tanaman, sedangkan yang lainnya dibiarkan seperti semula dan ditanami tanaman penutup tanah. Tujuannya untuk mengurangi laju erosi pada tanah yang ditanami. Dibuat pada lahan dengan kemiringan lereng 10 – 30 % dan 50 % apabila tanah cukup stabil. Gambar 2.10 Teras kebun 35 6) Teras individu, sama seperti halnya teras kebun dibuat pada lahan dengan kemiringan 10 – 50 % dengan curah hujan rendah. Gambar 2.11 Teras individu Perencanaan teras dilakukan dengan menggunakan metode US-SCS. Untuk menentukan dimensi teras bangku dan letak saluran teras di lapangan, terlebih dahulu tentukan jarak vertikal atau jarak horizontal. Jarak vertikal adalah jarak arah vertikal dari puncak lereng atau suatu tempat yang ditentukan pada suatu lereng sampai dasar saluran pertama dan dari dasar saluran pertama sampai dasar saluran berikutnya. Jarak horizontal adalah jarak arah horizontal dari titik-titik yang sama seperti jarak vertikal (Arsyad, 1989). Menurut metode US-SCS untuk menentukan jarak vertikal dan horizontal adalah sebagai berikut : VI = 0,3 (XS + Y) Keterangan : VI = jarak vertikal (m) (2 – 12) 36 X Y S = konstanta penyebaran curah hujan berkisar 0,4 untuk curah hujan sekitar 2000 mm/tahun sampai 0,8 untuk curah hujan sekitar 1000 mm/tahun. = konstanta yang dipengaruhi oleh erodibilitas dan penutup tanah berkisar dari 1 untuk tanah yang berkapasitas infiltrasi rendah dan sedikit tanaman sampai 4 untuk tanah yang erodibilitasnya rendah dengan diberi mulsa paling sedikit 3 ton/ha. = kemiringan lereng (%). HI VI 100 S (2 – 13) Keterangan : HI = jarak horizontal (m) VI = jarak vertikal (m) S = kemiringan lereng (%) 5. Parit buntu (rorak) Parit buntu adalah teknik konservasi tanah dengan membuat lubang-lubang buntu untuk menerapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen dari bidang olah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah persediaan air, dan menampung sedimen. Metode ini dilakukan pada teras bangku atau teras gulud jika aliran permukaan masih cukup tinggi. Gambar 2.12 Parit buntu (rorak) 37 6. Dam penahan Dam penahan adalah bangunan yang dibuat secara melintang pada aliran sungai untuk mengurangi kecepatan, debit, dan aliran sungai. Bangunan dam penahan ini dapat bermanfaat untuk mengendalikan aliran sedimen sungai. Dam penahan dapat dibuat dari material yang tersedia di sekitar lokasi pembuatan seperti batu, batangbatang tanaman, kayu, dan dapat pula terbuat dari beton. Gambar 2.13 Dam penahan 2.7.2 Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk pengendalian erosi Menurut Arsyad (1989), tanaman penutup tanah adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan/atau untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah. Tanaman penutup memiliki peranan untuk mengurangi kekuatan dispersi air hujan dan mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan, sehingga mengurangi erosi dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah. Tanaman penutup dapat digolongkan menjadi lima golongan sebagai berikut 38 1. Tanaman penutup tanah rendah, yaitu jenis rumput-rumputan dan tumbuhan merambat atau menjalar : 1) dipergunakan pada pola pertanaman rapat. Contoh : Colopogonium muconoides Desv, Mimosa invisa, Peuraria phaseoloides Benth. 2) dipergunakan dalam barisan. Contoh : Eupathorium triplinerve Vahl ( jukut prasman), Salvia accidentalis Schwartz (langon), Agregatum mexicanum Sims. 3) dipergunakan untuk keperluan khusus dalam perlindungan tebing, talud,terras,dinding saluran-saluran irigasi dan drainase. Contoh : Althenanthera amoena Voss (bayem kremah), Indigofera endecaphylla Jack (dedekan), Agregatum conyzoides L. (babadotan), Erechitites valerinafolia Rasim.(Sintrong), Barreria latifolia Schum (bulu lutung), Oxalis corymbosa DC., Oxalis latifolia HBK., rumput bede (Brachiaria decumbens), akar wangi (Vetiver zizanoides), rumput banggala (Panicum maximum), balaban (Panicum ditachyum), rumput Australia (Paspalum dilatum), rumput gajah (Pennisetum purpureum) 2. Tanaman penutup tanah sedang, yaitu berupa semak : 1) dipergunakan dalam pola pertanaman teratur di antara barisan tanaman utama. Contoh : Cibadium surinamense var asperum Baker, Eupatorium pallessens 2) dipergunakan dalam barisan pagar. Contoh : Lantana camara, Crotalaria anagyroides, Tepohrosia canadida, Tepohrosia vogelii, Desmodium gyroides, Acacia villosa (lamtoro merah), Sesbania grandiflora (Turi), 39 Calliandra callothyrsus (kaliandra merah), Gliricidae maculata (johar cina). 3) ditanam di luar tanaman utama dan merupakan sumber mulsa atau pupuk hijau. Contoh : Leucaena glauca (lamtoro), Lantana sp., Tithonia tagetiflora, Graphtophylum pictum, Cordyline fructicasa, Eupotorium riporium. 3. Tanaman penutup tanah tinggi, yaitu jenis pohon-pohonan 1) dipergunakan dalam pola pertanaman teratur di antara barisan tanaman utama. Contoh : Sengon laut, Australian silk oak, pohon hujan, dadap. 2) ditanam dalam barisan. Contoh : Leucaena glauca 3) dipergunakan khusus untuk melindungi tebing ngarai dan penghutanan kembali (reboisasi). Contoh : Sengon laut, bambu apus, bambu ater, awur duri. 4. Tumbuhan rendah alami 5. Rumput pengganggu. Tanaman jenis ini memiliki sifat yang merugikan karena mengganggu pertumbuhan tanaman pokok dan sulit dibersihkan. Contoh : alang-alang, lampuyangan, kalamento, gelagah.