nilai sosial dalam sûrah al-mâ`ûn: penafsiran modern tentang anak

advertisement
NILAI SOSIAL DALAM SÛRAH AL-MÂ’ÛN: PENAFSIRAN
MODERN TENTANG ANAK YATIM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh:
MAGFIROH
NIM 1110034000096
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
NILAI SOSIAL DALAM SÛRAH AL-MÂ’ÛN: PENAFSIRAN
MODERN TENTANG ANAK YATIM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh:
MAGFIROH
NIM 1110034000096
Di bawah Bimbingan
(Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A)
NIP. 195507252000122001
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S.Th.I) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN )Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 28 April 2014
Magfiroh
ABSTRAK
MAGFIROH,“NILAI SOSIAL DALAM SÛRAH
AL-MÂ’ÛN: PENAFSIRAN MODERN TENTANG ANAK YATIM.” Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Al-Qur‟ân mempunyai perhatian khusus terhadap anak yatim. Perhatian
terhadap anak yatim ini tampak didalam al-Qur‟ân sûrah al-Ma‟ûn. mereka yang
tidak memperhatikan anak yatim di golongkan sebagai pendusta agama. Anak
yatim ialah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum baligh dan hidup
dalam keadaan sendirian tanpa pelindung yang bertanggung jawab terhadap
kelangsungan hidupnya. Nilai Sosial adalah kualitas perilaku, pikiran, dan
karakter yang dianggap masyarakat baik dan benar, hasilnya diinginkan, dan layak
ditiru oleh orang lain. Konteks Modern yaitu penafsiran Modern mulai dari tahun
1297 sampai tahun 2014 seperti Mahmud Syaltût tahun1297, Ahmad Mustafâ alMarâgî tahun 1881 dan Syaikh Muhammad „Abduh tahun 1849, mereka
merupakan para mufasir modern Timur Tengah dan ada pun para mufasir modern
Indonesia yaitu Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah tahun 1908, M. Quraish
Shihab tahun 1944.
Metodologi penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library
Research), dimulai dengan mengumpulkan data dan informasi dari berbagai
buku-buku dan materi pustaka lainnya. Dalam menulis penelitian ini digunakan
metode tafsir tematik yaitu berusaha mencari jawaban al-Qur‟ân tentang suatu
masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang dimaksud, termasuk
dari munasabah sûrah, asbab an-Nuzul sûrah dan berdasarkan pendapat riwayat.
Dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode Deskriptif-Analisis,
yaitu mendeskripsikan nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah al-Mâ‟ûn dan
menganalisa penafsiran dari berbagai mufassir, tentang sûrah al-Mâ‟ûn, kemudian
di ambil suatu kesimpulan dengan pemahaman yang komprehensif. Adapun
teknik penulisan, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQD,
2007.”
Penulis berkesimpulan bahwa nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah alMâ‟ûn yaitu pertama: Pentingnya memahami agama dengan benar, kedua:
Pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim, ketiga: Menyantuni fakir
miskin keempat: Sholat parameter keimanan yang mendalam, kelima: Tolongmenolong.
i
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam,
ungkapan dan ucapan rasa syukur atas terselesaikannya skripsi ini. Shalawat dan
salam semoga tetap terlimpahkan kehadirat Nabi tercinta, sang pelita kegelapan
Muhammad SAW yang dengan petunjuknya telah menghantarkan manusia
menuju jalan yang diridhoi Allah SWT.
Proses penyelesaian skripsi ini memakan waktu yang cukup lama berbagai
macam kendala telah penulis hadapi baik yang bersifat internal maupun eksternal,
bahkan tak jarang penulis juga merasa jenuh dan hampir putus asa. Namun berkat
campur tangan Allah melalui bantuan berbagai macam pihak baik berupa
dorongan, paksaan, dan sindiran akhirnya penulis bisa mempersembahkan buah
karya ilmiah ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis
menyelesaikan skripsi ini. Dengan penuh rasa rendah hati izinkanlah penulis
berucap terima kasih kepada :
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Komaruddin Hidayat,
Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., Ketua Jurusan
Tafsir Hadis Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., Sekretaris Jurusan Tafsir
Hadis Jauhar Azizy, M.A. yang telah memberikan kemudahan kepada
penulis dalam melengkapi persyaratan administrasi selama penyusunan
skripsi ini.
ii
2. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA., selaku pembimbing skripsi yang selalu
memberikan didikannya kepada penulis, bersabar memberikan ilmu dan
bimbingan selama penulis di bawah bimbingannya. Dan juga melalui beliau,
tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru, sehingga penulis ada gairah semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah menambah ilmu pengetahuan
selama menempuh pendidikan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Seluruh guru yang telah mengajarkan Ilmu kepada penulis, semoga Rahmat
Allah senantiasa bersama beliau.
4. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FU
UIN Syarif Hidayatullah serta Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) Jakarta.
5. Orang tua tersayang ayahanda Bakri (alm), ibunda Sa‟adah (almh), teriring
rasa ta‟dzim penulis haturkan terima kasih atas semua pengorbanan yang
telah diberikan. Tak ada yang bisa penulis berikan, hanya doa semoga Allah
SWT mengampuni segala dosa mereka, jadikanlah kuburan mereka taman
selayaknya taman-taman surga-Mu, jauhkan mereka dari siksa dan adzbMu ya Allah serta tempatkanlah mereka selalu di surga-Mu.
6. Seluruh pengurus yayasan yatim piatu Daarunnas yang telah mengasuh dan
membimbing dengan sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan dan
meraih pendidikan Perguruan Tinggi yang telah dicita-citakan semenjak
kecil.
7. Kepada kakak-kakakku tercinta kakak Amamah, kakak Oman, kakak
Suwirat beserta suami kakak Hasanuddin yang selalu memberi semangat,
dorongan, paksaan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
iii
Khususnya buat kakak Oman dan kakak Amamah yang telah memberikan
sumbangsih besar buat penulis.
8. Teman-teman THC angkatan 2010. Khoirunnisa, Ernik Sulistiawati, Afwan
al-Mutha‟ali, Januri, Shalahuddin al-Faruqi dan semua teman-teman yang
tidak bisa penulis cantumkan satu persatu terimakasih torehan memori yang
telah kalian ukir, semoga persahabatan yang kita ukir bukan tetesan embun
yang mudah hilang.
9. Teman-teman HMB (Himpunan Mahasiswa Banten) yang dengan gaya
khasnya memberikan support dan membantu penulis dalam penyusunan
skripsi semoga persahabatan yang telah terjalin akan tetap terjaga.
10. Terakhir pada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, semoga amal baik kalian diterima dan dibalas
Allah SWT. teriring ucapan jazakumullah khairan katsiran.
Seberapa maksimal pun penulis mengerjakan skripsi ini tentu tak akan luput
dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari mereka yang
sudi membaca skripsi ini amat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.
Semoga karya yang kecil ini bisa bermanfaat bagi semua.
Ciputat, 10 April 2014
Penulis
Magfiroh
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .......................................................................................
ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... vii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Identifikasi Masalah .................................................................
6
C. Pembatasan Masalah ................................................................
6
D. Perumusan Masalah .................................................................
6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................
7
F. Tinjauan Pustaka ......................................................................
8
G. Metodologi Penelitian .............................................................. 10
H. Sistematika Penulisan .............................................................. 11
BAB II
PENGERTIAN SEPUTAR SÛRAH AL-MÂ’ÛN .................... 12
A. Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting ................................. 14
B. Tafsir ........................................................................................ 14
1. Asbab an-Nuzul .................................................................. 15
2. Munasabah ......................................................................... 17
3. Gambaran Umum ............................................................... 19
4. Tafsir .................................................................................. 19
a. Mendustakan agama ..................................................... 20
b. Menghardik anak yatim................................................ 20
v
c. Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin .... 21
d. Kecelakaan bagi orang-orang yang shalat.................... 21
e. Lalai terhadap shalatnya ............................................... 21
f. Riya .............................................................................. 22
g. Enggan memberikan bantuan ....................................... 22
5. Terma yatim ....................................................................... 35
BAB III
NILAI DALAM AL-QUR’ÂN .................................................... 36
A. Nilai .......................................................................................... 37
B. Hubungan nilai dan pesan al-Qur‟ân........................................ 47
BAB IV
NILAI-NILAI SOSIAL SÛRAH AL-MÂ’ÛN ........................... 48
A. Pentingnya memahami agama dengan benar ........................... 54
B. Pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim .............. 57
C. Menyantuni fakir miskin .......................................................... 59
D. Shalat parameter keimanan yang mendalam ........................... 68
E. Tolong menolong ..................................................................... 77
BAB V
PENUTUP .................................................................................... 78
A. Kesimpulan .............................................................................. 79
B. Saran ........................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 82
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi huruf Arab latin dalam penulisan skripsi ini
berpedoman pada buku panduan penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, dan
disertasi yang disusun oleh tim penulis CeQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terbitan Tahun 2007.
Konsonan
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
‫ا‬
a
tidak dilambangkan
‫ب‬
b
be
‫ت‬
t
te
‫ث‬
ts
te dan es
‫ج‬
j
je
‫ح‬
h
h dengan garis bawah
‫خ‬
kh
ka dan ha
‫د‬
d
de
‫ذ‬
dz
de dan zet
‫ر‬
r
er
‫ز‬
z
zet
‫س‬
s
es
‫ش‬
sy
es dan ye
‫ص‬
s
es dengan garis bawah
‫ض‬
d
de dengan garis bawah
vii
‫ط‬
t
te dengan garis bawah
‫ظ‬
z
zet dengan garis bawah
‫ع‬
„
koma terbalik keatas, menghadap kekanan
‫غ‬
gh
ge dan ha
‫ف‬
f
f
‫ق‬
q
ki
‫ك‬
k
ka
‫ل‬
l
el
‫م‬
m
em
‫ن‬
n
en
‫و‬
w
ye
‫ه‬
h
a
‫ء‬
,
apostrof
‫ﻱ‬
y
ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebagai berikut :
TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
a
Fathah
i
Kasrah
u
Dammah
viii
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut :
TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
_______
ai
a dan i
_______
au
a dan u
Vokal Panjang(Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :
TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
Keterangan
‫ـــــﺄ‬
â
a dengan topi diatas
‫ـــــﻲ‬
î
i dengan topi diatas
‫ــــــﻮ‬
û
u dengan topi diatas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf
Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijal bukan ar-rijal, al-diwan bukan
ad-diwan.
Syaddah (Tashdid).
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem bahasa tulisan arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
ix
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al-darurah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh :
No
1
Kata Arab
AlihAksara
tarîqah
2
al-jâmi‟ah al-islâmiyyah
3
Wahdat al-wujud
Huruf kapital
Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara
ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat, nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : al-Syâtibî bukan Asy-Syatibi.
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟ân merupakan kitab suci yang memberikan petunjuk kepada
jalan yang lebih lurus, memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin
yang mengerjakan amal saleh. al-Qur‟ân turun dengan membawa segala
kebenaran.1 al-Qur‟ân juga sebagai pedoman manusia dalam menata
kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Agar fungsi tersebut dapat terealisasikan oleh manusia, maka alQur‟ân datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, aturanaturan, prinsip-prinsip, dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun
yang terperinci, yang eksplisit maupun yang implisit, dalam berbagai
persoalan dan bidang kehidupan.
Ironisnya, tanpa kita sadari al-Qur‟ân bersama ayat-ayatnya seringkali
lebih kita jadikan sebagai hiasan dinding belaka dan menjadi lembaranlembaran tidak bermakna. Padahal di hadapan kita banyak sekali problem
yang sudah mengarah pada titik akut dan membutuhkan penyelesain yang
bersifat segera. al-Qur‟ân yang menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi
manusia (hudan li al-nâs) menjadi kabur bersama arogansi manusia.
Agama dan seperangkat doktrin sucinya diturunkan hanya untuk
kemaslahatan manusia. Artinya, transformasi dan aktualisasi nilai-nilai dalam
1
Q.S. al-Isrâ‟ [17]: 9 dan 105.
1
2
beribadah menuntut kesalehan ritual dan mengamalkannya dalam bentuk
kesalehan
yang
aktual,
yaitu
bentuk
kesalehan
yang
selain
menumbuhsuburkan iman dan takwa, juga sebagai penyemai benih-benih
tenggang rasa yang akan melahirkan kesetiakawanan dengan misi utama
tegaknya wahdah al-aqîdah dengan pendekatan sistem kemasyarakatan pada
wahdah al-gâyah (persamaan tujuan) yang selanjutnya akan melahirkan
wahdah al-syu‟ûr
(persamaan rasa). Individu dalam komunitas sosial seperti
ini akan lebih banyak memberi manfaat dari pada menuntut dan menghujat,
lebih banyak berkorban dari pada menerima pertolongan orang lain, lebih
banyak menebar kebajikan dari pada menebar fitnah dan permusuhan.2
Agama sebagai jalan hidup manusia tentunya harus mampu memenuhi
kebutuhan, baik yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual. Itu
artinya disamping mengajarkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya,
agama juga dituntut mengajari manusia bagaimana cara melakukan hubungan
dengan Allah SWT. hubungan dengan Allah SWT inilah yang disebut dengan
sisi batin agama atau spiritualitas agama.3
Di dalam Islam, manusia adalah sentral sasaran ajarannya, baik
hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antar sesama manusia, dan
antar manusia dengan alam. Yang paling komplek adalah hubungan nomor
dua, yaitu hubungan antar sesama manusia. Untuk itu, Islam mengajarkan
konsep-konsep mengenai kedudukan, hak dan kewajiban, serta tanggung
2
Robitoh Widi Astuti, “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân: studi atas sûrah alMâ‟ûn,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, h. 1-2.
3
Jefry Noer, Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Bermoral Melalui
Shalat yang Benar (Jakarta: Kencana, 2006), h. 155-156.
3
jawab manusia. Apa yang dilakukan oleh manusia bukan saja mempunyai
nilai dan konsekuensi di dunia, namun juga sekaligus di akhirat kelak.4
Untuk menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhannya, manusia
dituntut untuk dapat benar-benar memahami dan menjiwai makna dari
pengabdiannya. Suatu pengabdian yang dibangun bukan atas dasar sekedar
rasa takut akan siksaan, sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi pengabdian
yang dibangun atas dasar kebutuhan manusia akan “kehadiran” Allah dalam
hatinya.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah orang yang saleh
secara ritual-spiritual (dimensi vertikal) benar-benar dapat memaknai arti dari
ibadahnya, ataukah hanya
sekedar ibadah fisik yang tanpa makna?. Dan
apakah kesalehan ritual tersebut juga diiringi dengan kesalehan sosial
(dimensi horizontal), sehingga terketuk rasa prihatinnya terhadap umat yang
patut mendapat uluran tangan?. Jika tidak, maka ada yang salah dalam
memahami ajaran agama.5
Akan tetapi, itulah realita yang terjadi dalam kehidupan kita. Ketidak
pedulian terhadap sesama sering kita temukan dalam kehidupan masyarakat,
acuh terhadap problematika kehidupan yang dialami kaum lemah khususnya
anak yatim yang sangat membutuhkan perhatian, mengingat mereka sebagai
generasi penerus bangsa mempunyai posisi yang strategis dalam estafet
perjuangan da‟wah Islam dan perjuangan bangsa, keberadaannya merupakan
aset yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
4
A. Qodry Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam; Persiapan SDM
dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 160.
5
Astuti, “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân: studi atas sûrah al-Mâ‟ûn”, h. 3.
4
Ketidak perdulian terhadap kaum lemah masih sangat melekat oleh
sebagian orang, mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, enggan untuk
mendonasikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan, mereka
lupa bahwasannya setiap harta yang dimilikinya merupakan titipan sementara
dari Allah SWT dan dari harta tersebut terdapat hak-hak fakir miskin.
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan interaksi sosial dengan
manusia lain. Interaksi sosial bukan saja hanya dengan menjalin hubungan
kemasyarakatan lebih dari itu diperlukan untuk saling perduli terhadap
sesama, saling membantu, tidak segan untuk menolong dan menolong orang
lain tidak melihat dari strata sosialnya. Dalam al-Qur‟ân pun ditegaskan
bahwa kita diharuskan untuk saling tolong menolong terhadap sesama namun
dinamikanya berbeda masih banyak orang-orang yang mengabaikan perintah
tersebut.
Sebagaimana diimpikan oleh banyak orang bahwa untuk menanggapi
persoalan umat, sudah saatnya al-Qur‟ân dan al-Sunnah dijadikan sebagai
jawaban atas persoalan umat, al-Qur‟ân sejak semula menegaskan bahwa
perlunya pembinaan kualitas manusia di kalangan umat Islam melalui
kreativitas berfikir dan berkarya secara Qur‟ani.
Penataan kualitas umat tentu saja harus dimulai dari kualitas diri yang
unggul (insân kâmil),yakni keterpaduan antara iman, ilmu, dan amal. Beriman
tidaklah identik dengan pengucapan bentuk rutinisme keagamaan yang tidak
mempunyai pantulan dalam kehidupan masyarakat. 6
6
Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam
al-Qur‟ân (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 41.
5
Demikian pula amal saleh tidak identik dengan bentuk lahiriah
keagamaan semata, tetapi seberapa jauh amal itu dapat mengarahkan
pelakunya ke dalam kecenderungan individu yang selalu baik dan benar dalam
segala tindakan sosialnya sehari-hari, terutama demi mencapai tujuan-tujuan
sosial.7
Tindakan menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi
makan orang miskin, lalai terhadap shalatnya, riya, enggan memberikan
bantuan merupakan sifat-sifat rendah yang tengah dibahas dalam sûrah
pendek Sûrah al-Mâ‟ûn ini merupakan tanda-tanda kekufuran dan kesia-siaan
pada siapapun yang memilikinya. Semua sifat atau karekteristik itu
merupakan cabang dari penolakan pada (kebenaran) hari akhirat yakni Hari
Pembalasan atau Perhitungan. 8
Sûrah Mâ‟ûn ini diawali dengan kalimat Tanya untuk menarik
perhatian pembacanya. Kemudian Allah sendiri yang menjawab pertanyaan
tersebut satu per satu. Tujuannya ialah agar pembaca benar-benar
memperhatikan dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Biasanya
setiap ayat yang didahului dengan pertanyaan mengandung nilai yang sangat
penting untuk segera dipahami dan sekaligus diamalkan.9
Pada akhirnya, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji alQur‟ân sûrah al-Mâ‟ûn guna untuk menggalih nilai-nilai yang terkandung
7
Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam
al-Qur‟ân, h. 42.
8
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsîr Nûrul Qur‟ân: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Cahaya al-Qur‟ân, vol. XX ( Jakarta: al-Huda, 2006), h. 355.
9
T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz „amma
(Jakarta: Bale Kajian Tafsîr al-Qur‟ân, 2001), h. 131.
6
dalam sûrah tersebut agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Penulis akan
membahasnya dengan lebih dalam dan mendetail.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa makna mendustakan agama?
2. Sejauhmana perlakuan yang dianggap meninggalkan anak yatim?
3. Apa batasan tidak menggalakkan pemberian kepada fakir miskin?
4. Apa kaitan riya dengan shalat?
5. Apa nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-Mâ‟ûn?
C. Pembatasan Masalah
Dari sekian banyak masalah yang dipaparkan karena keterbatasan
penulis dalam pengalaman menulis disamping keterbatasan waktu maka
penulis membatasi pembahasan skripsi ini pada masalah yang terakhir yaitu
apa saja nilai-nilai sosial yang bisa digali dari sûrah al-Mâ‟ûn?
D. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah skripsi ini adalah “Nilai Sosial dalam Sûrah
al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim”?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mempunyai beberapa tujuan
terkait pengambilan tema “Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran
Modern Tentang Anak Yatim”,yaitu:
7
1. Di tengah hedonisme kehidupan masyarakat lewat karya ini semoga dapat
menjadi alat penggugah kesadaran antar sesama manusia untuk
menanamkan sifat kepedulian sosial dengan memperhatikan nasib kaum
lemah khususnya anak yatim
2. Manfaatnya untuk menambah Khazanah keilmuan yang ada di Fakultas
Ushuluddin, khususnya dalam bidang Tafsir Hadis
3. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan jenjang strata I (S I) di jurusan
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Tinjauan Pustaka
Mengenai tema ini sudah ada beberapa yang membahasnya. Berikut
ini diantara para peneliti yang membahas kajian ini sejauh penulis ketahui,
diataranya adalah:
Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Robitoh Widi Astuti yang
berjudul “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân” studi atas sûrah al-Mâ‟ûn”
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Sunan Kalijaga
Yogyakarta Tahun 2009. Skripsi tersebut menjelaskan tentang pengertian
pendusta agama dan perbuatan-perbuatan yang menjadi karakteristik pendusta
agama.
Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Nur Baiti yang berjudul
“Ciri utama orang munafik menurut perspektif al-Qur‟ân sûrah al-Mâ‟ûn
ayat 1-7 menurut Tafsîr fi Zhilal al-Qur‟ân” Jurusan Tafsir Hadis Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2003. Skripsi tersebut menjelaskan tentang ciri
8
orang munafik dalam sûrat al-Mâ‟ûn yaitu orang-orang yang tidak perduli
terhadap anak yatim dan orang miskin padahal mereka mengetahui
bahwasannya kita diperintahkan untuk berbuat baik terhadap mereka.
Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Tosin
yang berjudul
“Pemeliharaan Anak Yatim dalam al-Qur‟ân” Jurusan Tafsir Hadis Syarif
Hidayatullah Jakagrta Tahun 2006. Skripsi tersebut menjelaskan tentang ayatayat al-Qur‟an yang berkaitan tentang Pemeliharaan anak yatim dan penulis
hanya membahas tentang jaminan bagi orang yang mengasuh anak yatim,
larangan memakan harta anak yatim, dan hak wali atas harta anak yatim.
Adapun dalam penelitian ini, buku dan skripsi tersebut yang
membedakan dengan penelitian ini, penulis tidak menemukan pembahasan
secara khusus tentang nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah alMâ‟ûn. Agar tidak terjadi duplikasi, penulis ingin mengungkapkan,
menganalisa dan mengaplikasikan Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn:
Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim
G. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis membagi 3 (tiga) bagian antara lain:
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu mengumpulkan data dan informasi
dari berbagai buku-buku dan materi pustaka lainnya. Data yang diperlukan
dalam penelitian ini ada dua sumber,yaitu primer dan sekunder. Sumber
primer yaitu al-Qur‟ân dan terjemahnya pada Q.S. al-Mâ‟ûn [107]: 1-7.
9
Sedangkan sumber sekunder yaitu Tafsîr al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur‟ân,10 Tafsîr al-Azhar,11 Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: alQur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Duafâ‟,12 Tafsîr al-Qur‟ân Tematik:
Tanggung jawab sosial,13 Tafsîr al-Marâgî,14 Tafsîr juz „Amma as-Siraju
„L Wahhaj (Terang Cahaya Juz „Amma),15 Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm
pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân,16 buku Bunga
Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial.17 dan buku lainnya yang
berhubungan dengan pokok pembahasan.
2. Metode Pembahasan
Penelitian ini dalam metode penafsiran, penulis menggunakan
metode tafsir tematik yaitu berusaha mencari jawaban al-Qur‟ân tentang
suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang
dimaksud, termasuk dari munasabah ayat, asbab al-Nuzul ayat dan
berdasarkan pendapat riwayat dalam metode pembahasan, penulis
menggunakan metode Deskriptif, analisis, yaitu mendeskripsikan tentang
Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak
10
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol..
15 ( Jakarta : Lentera Hati, 2002).
11
Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah, Tafsîr al-Azhar, vol. XXX (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1982).
12
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum
dhu‟afâ‟ (Jakarta : Departemen Agama, 2008).
13
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggun jawab Sosial (Jakarta:
Departemen Agama, 2008).
14
Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol.
XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986).
15
M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,
vol. XXX (Jakarta: Penamadani, 2010).
16
Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karim pendekatan Syaltut Dalam Menggali
Esensi al-Qur‟ân (Diponegoro: Diponegoro, 1990).
17
PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: IAIN
Indonesian Social Equity Project, 2006).
10
Yatim dan menganalisa penafsiran dari berbagai mufassir, tentang sûrah
al-Mâ‟ûn, kemudian diambil suatu kesimpulan dengan pemahaman yang
komprehensif dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQD, 2007.18
H. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, Dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama; Pendahuluan, membahas latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan Pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab Kedua; Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting, Mendiskusikan
Asbab
al-Nuzul,
Munasabah,
Gambaran
umum,
tafsir
terdiri
dari:
mendustakan agama, menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi
makan orang miskin, kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, lalai terhadap
shalatnya, riya, enggan memberikan bantuan, terma yatim.
Bab Ketiga; nilai dalam al-Qur‟ân terdiri dari: nilai, hubungan nilai
dengan pesan al-Qur‟ân.
18
Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQD, 2007.
11
Bab Keempat; nilai-nilai sosial surah al-Mâ‟ûn terdiri dari: pentingnya
memahami agama dengan benar, pentingnya penanganan dan pengelolaan
anak yatim, menyantuni fakir miskin, shalat parameter keimanan yang
mendalam, tolong-menolong.
Bab Kelima; Penutup, menjawab permasalahan-permasalahan dalam
skripsi ini dan memberikan saran-saran praktis untuk kelanjutan penelitian
ayat-ayat yatim.
BAB II
PENGERTIAN SEPUTAR SÛRAH AL-MÂ’ÛN
A. Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting
Al-Qur‟ân sûrah al- Mâ‟ûn [107]: 1-7 :

    
    
        
  
 
 
  
 

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Maka Itulah orang
yang menghardik anak yatim. dan tidak mendorong memberi Makan
orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu)
orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. yang berbuat riya. dan
enggan (memberikan) bantuan. (Q.S. al- Mâ‟ûn: 1-7).
Kata (‫ ) يكذ ب‬di dalam Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 1 populer diartikan dengan
“(orang) yang mendustakan agama”, atau dengan kata lain “pendusta agama”.
Mendustakan secara bahasa berarti menganggap bohong.19 menyangkal
adanya pembalasan karena mengingkari pembangkitan.20 mendustakan pahala
dan siksa karena tidak menaati Allah.21
Kata ‫ يدع‬yadu‟-„u mengandung arti menghardik dengan rasa benci
yang amat sangat. Sikap ini muncul dari orang-orang yang pembenci,
sombong, kikir dan bakhil. Orang yang tidak mau sedikitpun mengasuh dan
19
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1985), h. 64.
20
Hasanain Muhammad Makhluf, Kamus al-Qur‟ân. Penerjemah Hery Noer Aly
(Bandung: Gema Risalah Press Bandung, 1987), h. 400.
21
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, al-Bayân: Tafsîr Penjelas al-Qur‟ânul
Karîm (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 1617.
12
13
memberi bantuan kepada anak yatim. Kalau ada anak yatim yang datang
kepadanya, bukan saja tidak diperdulikan, tetapi juga diusir mentah-mentah.22
Kata ( ‫ ) اليتيم‬al-yatîm terambil dari
kata ‫ يتم‬yutm yang berarti
kesendirian atau dapat diartikan dengan anak yang belum dewasa yang
ayahnya telah wafat. Kematian ayah, bagi seorang yang belum dewasa,
menjadikannya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian,
sebatang kara, karena itu ia dinamai yatim.23
kata ( ‫“ )يحض‬yahuddu” (menganjurkan) mengisyaratkan bahwa
mereka yang tidak memilki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit
berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”..24
kata )‫ )مسكيه‬diartikan dengan serba kekurangan (berpenghasilan sangat
rendah). Maka yang disebut miskin adalah kelompok orang yang sama sekali
tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
secara layak. Oleh karena itu mereka harus diperhatikan dan ditolong bukan
sebaliknya.25
Kata )‫ ) مصليه‬dapat diartikan dengan shalat yang tidak sempurna, tidak
khusyu‟, tidak pula memperhatikan syarat dan rukun-rukunnya, atau tidak
menghayati arti dan tujuan hakiki dari ibadah tersebut.26
22
M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,
vol. XXX, h. 779-780.
23
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.
15, h. 547.
24
Shihab, Tafsîr al-Mishbah, h. 547.
25
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum
Dhuafâ‟, h. 46-47.
26
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.
15, h. 549-550.
14
Kata )‫ ( ساهون‬dapat diartikan dengan orang-orang yang meninggalkan
shalat, dan dapat diartikan dengan orang-orang yang bershalat yang tidak
memahami dan memiliki apa rahasia ucapan dan perbuatan yang mereka
lakukan itu.27
Kata (‫ )يزاءون‬yurâ‟ûn
terambil dari kata (‫ )راى‬ra‟â yang berarti
melihat. Dari akar kata yang sama lahir kata riyâ‟ yakni melakukan
pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tak ada yang melihatnya
mereka tidak melakukannya.28
kata ‫ الماعون‬diartikan barang-barang kecil atau kebutuhan sehari-hari
yang berguna.29
B. Tafsir
1. Asbab an-Nuzul
Riwayat yang menyebutkan tentang latar belakang turun sûrah alMâ‟ûn yang mulia ini berkaitan dengan orang-orang munafik, seperti
dalam riwayat berikut:
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Tharif bin Abi Thalhah
yang bersumber dari Ibnu „Abbâs yaitu sehubungan dengan firman-Nya :
“Maka neraka Weil lah bagi orang-orang yang shalat.” Ibnu „Abbâs telah
menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang
munafik karena mereka selalu memamerkan shalat mereka di hadapan
27
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, al-Bayân: Tafsîr Penjelas al-Qur‟ânul
Karîm (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 1617.
28
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishba: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol.
15, h. 550-551.
29
Budi santoso, Kamus al-Qur‟ân: Tiga Bahasa Arab, Indonesia, Inggris (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2008), h. 512.
15
orang-orang mukmin secara riya, sewaktu orang-orang mukmin berada di
antara mereka. Tetapi jika orang-orang mukmin tidak ada, mereka
meninggalkan shalat, juga mereka tidak mau memberikan pinjaman
barang-barang miliknya kepada orang-orang mukmin.30
2. Munasabah antar sûrah:
Dalam kandungan sûrah Quraisy kita dapatkan perintah untuk
ikhlas beribadah kepada Allah SWT yang telah mendirikan ka‟bah sebagai
simbol pemersatu arah sholat. Yaitu tuhan yang disembah itu adalah Allah
yang memberi makan orang-orang yang lapar dan memberi mereka
perasaan aman dan damai bukan seperti tuhan-tuhan berhala yang mereka
sembah yang tidak bisa memberi manfaat maupun mudharat bagi
penyembahnya dalam sûrah al- Mâ‟ûn Allah memberi stigma kepada
orang-orang yang tidak peduli kepada anak yatim dan tidak mau memberi
makan orang miskin karena mereka hanya mengerjakan sholat
mengharapkan pujian hingga mereka diancam api neraka wail.31
Dan ada pula yang menyebutkan bahwa munasabahnya yakni :
Anak-anak yatim dan faqir miskin adalah bagian dari kelompok
masyarakat yang sangat dicintai oleh Rasulullah SWT, bahkan dalam
sebuah hadis dinyatakan bahwa beliau (Rasulullah) sangat dekat dengan
mereka. Perhatian terhadap mereka sangat diutamakan, sebagaimana
tersebut dalam sebuah ayat :
30
M. Yunan Yusuf, Tafsîr Juz „Amma as-Siraju‟l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,
vol. XXX, h. 777.
31
Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol.
XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 433.
16
          
    
   
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: mengurus
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan
mereka, Maka mereka adalah saudaramu. (Q.S. al-Baqarah: 220).
Shalat adalah ibadah yang paling utama yang diperintahkan dalam
syari‟at Islam. Dengan melaksanakannya secara baik dan benar akan
menimbulkan pengaruh positif yang sangat besar dalam aspek kehidupan. Di
akhirat pun merupakan amaliah yang paling pertama memperoleh penilaian
dan menjadi parameter semua amal perbuatan. Agar kita bisa memahami nilainilai yang terkandung di dalam shalat sehingga timbul implikasi positif,
hendaknya kita mengkaji wahyu Allah di dalam al-Qur‟ân.


           
   
            
 
 
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al- Qur‟ân)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Ankabût : 45).
Sebaliknya essensi shalat yang sebenarnya tidak akan tercapai
bilamana kita enggan mempelajari dan mendalami wahyu Allah dalam alQur‟ân. Sebagaimana digambarkan karakter orang-orang munafik yang
melaksanakan shalat dalam keadaan terpaksa dan mengharap pujian dari
manusia.
       
 
    
  
  
     
     
17
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka
berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (Q.S. alNisâ‟: 142).32
3. Gambaran Umum
Nama surah al-mâ‟ûn tidak tunggal, tetapi sangat beragam. Ada yang
menamainya sûrah ini dengan sûrah al-Dîn, sûrah al-Takdzîb, surah al-Yatîm,
sûrah Ara‟aita, sûrah Ara‟aita alladzî, dan yang paling populer adalah sûrah
al-mâ‟ûn.33
Nama sûrah al-mâ‟ûn ini diambil dari kata al-mâ‟ûn yang terdapat
pada ayat ke 7 yang berarti barang-barang yang berguna.34
Sûrah ini menurut mayoritas ulama adalah sûrah Makiyyah.35
Sebagian menyatakan Madaniyyah, dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat
pertama sampai dengan ayat ketiga turun di Mekkah dan sisanya di Madinah.
Ini dengan alasan bahwa yang dikecam oleh ayat keempat dan seterusnya
adalah orang-orang munafik yang baru dikenal keberadaannya setelah hijrah
Nabi Muhammad saw ke Madinah.36
Sûrah al-Mâ‟ûn diturunan kepada Nabi Muhammad SAW Ketika
beliau masih bertempat tinggal di Mekkah. Demikian pendapat banyak ulama.
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa awal sûrah ini turun di Mekkah,
32
T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz
„amma, h. 134-135.
33
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.
15 ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 543.
34
Darwis Abu Ubaidah, Tafsîr al-Asâs, vol. 12 (Jakarta: al-Kautsar, 2012), h. 408.
35
Surah Makiyyah adalah wahyu yang diturunkan sebelum hijrah, meskipun itu turunnya
di Makkah ataupun Madinah.
36
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol.
15, h. 543.
18
sebelum Nabi saw. Berhijrah, sedangkan akhirnya yang berbicara tentang
mereka yang riya (tidak ikhlas) dalam shalatnya turun di Madinah.37
Jumlah ayat sûrah ini menurut Ibnu Abbas, ada 7, jumlah katanya ada
25 dan jumlah hurufnya ada 111 huruf.38 Dan ada juga yang mengatakan
bahwa jumlah ayatnya ada 7.39 Dan jumlah ayat-ayatnya menurut cara
perhitungan mayoritas ulama sebanyak 6 ayat.40
Penulis tidak menemukan alasan-alasan kenapa sûrah al-Mâ‟ûn
dihitung tujuh ayat atau enam ayat. Sehingga bila ada yang bersikukuh bahwa
ayat di dalam sûrah al-Mâ‟ûn ini berjumlah enam, maka tidak harus dianggap
melawan al-Qur‟ân. Dan bagi yang menyatakan tujuh ayat, tidak harus
dianggap mengada-ada. Yang terbaik adalah saling menghormati, karena alQur‟ân sendiri tidak pernah menyatakan soal jumlah ayat di dalam sûrah alMâ‟ûn ini.
Urgensi Mengetahui Sûrah al-Mâ’ûn
1. Kecaman yang sangat keras ditujukan kepada orang-orang yang dikatakan
mendustakan agama. Yakni orang-orang yang tidak perduli terhadap
kehidupan anak yatim dan orang-orang miskin. Anak yatim dan orangorang miskin karena mereka
adalah anggota masyarakat yang harus
mendapat santunan bantuan agar mereka bisa merasakan adanya ukhuwah
islamiyah walaupun mereka adalah bagian dari masyaraka lemah dengan
37
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol.
15, h. 543.
38
M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,
vol. XXX (Jakarta: Penamadani, 2010), h. 777.
39
Ibrâhîm Alî as-Sayyid Alî „Isa, hadis-hadis dan atsar yang berkaitan dengan
Keutamaan sûrah-sûrah al-Qur‟ân (Jakarta: Sahara 2010), h. 427.
40
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol..
15, h. 544.
19
ukhuwah yang kuat kegiatan tatanan masyarakat berjalan secara
berkeadilan dan sejahtera.41
2. sûrah ini mengandung ajakan supaya sholat dimana Syarat pokok dan
tanda
utama
dari
pemenuhan
hakikat
shalat
adalah
keikhlasan
melakukannya demi karena Allah yang dimana maknanya tali kasih
sayang kepada sesama makhluk sehingga merasakan kebutuhan kaum
lemah yang membutuhkan dengan demikian ibadah ritual harus
menghasilkan dampak sosial. Lupa dalam shalat yang
menyangkut
kegiatan formalnya seperti bilangan rakaat, atau bacaannya, dapat
ditoleransi, tetapi lengah terhadap substansinya akan mengundang murka
Allah.42
4. Tafsir
a. Mendustakan agama
Kata al-dîn dalam Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 1 sangat populer diartikan
dengan agama, tetapi dapat juga berarti pembalasan. Kemudian jika
makna kedua ini dikaitkan dengan sikap mereka yang enggan membantu
anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya itu tidak
menghasilkan apa-apa, maka berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka
itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari)
pembalasan. Sikap yang demikian merupakan pengingkaran serta
pendustaan al-dîn. Bukankah yang percaya dan meyakini bahwa kalaulah
41
M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,
vol. XXX, h.786-787.
42
M. Quraish Shihab, al-Lubâb makna, tujuan, Dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan juz
„Amma (Jakarta: Lentera Hati , 2008), h. 307.
20
bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, namun
yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di
akhirat kelak.43
b. Menghardik anak yatim
Menurut
Muhammad
„Abduh,
bahwa
“yadu‟u
al-yatîm”,
menghardik anak yatim yakni mengusir anak yatim, atau mengeluarkan
ucapan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu yang
diperlukan semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan
tiadanya
orang
tua
yang
mampu
membelanya
dan
memenuhi
keperluannya. Juga terdorong oleh kesombongannya karena menganggap
dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi
seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan
keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, maka
ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap
yang memerlukan pertolongan.44
c. Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin
Orang yang tidak mau mengajak orang supaya memberi makan
orang miskin adalah orang yang termasuk mendustakan agama. Karena dia
mengaku menyembah Tuhan, padahal hamba Tuhan tidak diberinya
pertolongan dan tidak diperdulikannya. Dengan ayat ini jelaslah bahwa
sesama manusia
43
harus saling ajak- mengajak supaya menolong anak
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.
15, h. 546.
44
Syaikh Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm (juz „Amma), h. 330-331.
21
yatim dan fakir miskin itu menjadi perasaan bersama, menjadi budipekerti
yang umum.
d. Kecelakaan bagi orang-orang yang shalat
Orang-orang yang shalat, yang secara lahiriah melaksanakan
gerakan dan ucapan yang mereka namakan “shalat”. Sementara mereka
tetap lalai akan shalat mereka. Yakni, hati mereka lalai akan apa yang
mereka baca dan mereka kerjakan.45
e. Lalai terhadap shalatnya
Orang yang melalaikan shalat adalah orang yang mengerjakan
shalat, akan tetapi hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga
pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.46
f. Riya
Orang yang bersifat riya kadang-kadang dia bermuka manis
kepada anak yatim. Kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan
fakir miskin, kadang-kadang kelihatan dia khusyu‟ sembahyang tetapi
semuanya itu dikerjakannya karen riya. Yaitu karena ingin dilihat,
dijadikan reklame. Karena ingin dipuji orang. Hidupnya penuh dengan
kebohongan dan kepalsuan.47
g. Enggan memberikan bantuan
Melarang orang berbuat kebajikan karena tidak tergerak sedikitpun
hatinya untuk membantu orang lain, untuk meringankan kesulitan orang
45
Syaikh Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm (juz „Amma), h. 333.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟an al-Karim Tafsir atas Surah-surah pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 622.
47
Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah, Tafsîr al- Azhar, vol. XXX, h. 282.
46
22
lain. Dia menghalang-halangi kalau ada orang yang akan melakukan
pertolongan tersebut. Dengan berbagai cara dan dalih dia berusaha agar
pertolongan dan bantuan tidak terjadi. Dalam hatinya hanya ada kebencian
terhadap orang-orang yang lemah dan melarat.48
5. Terma Yatim
Kata yatîm jamaknya aitâm atau yatâmâ dalam al-Qur‟ân disebut
sebanyak 23 kali. Dalam bentuk mufrad sebanyak 8 kali, musannâ 2 kali, dan
bentuk jamak sebanyak 14 kali.49
Anak yatim adalah anak yang tidak mempunyai ayah. Anak yang
tidak mempunyai ayah adalah symbol dari kelemahan, karena tidak ada lagi
yang memberinya nafkah, tidak ada lagi yang mendidiknya dan tidak ada
tempat hidupnya bergantung. Inilah bentuk pertama dari orang-orang yang
lemah.50
Ada dua persoalan penting yang dihadapi oleh anak-anak yatim yakni
dimensi psikologis dan dimensi ekonomis. Secara psikologis, anak-anak yatim
adalah anak-anak yang kehilangan orang tua, bapak dan ibu, yang
memberikan perlindungan, rasa aman, cinta dan kasih sayang. Sementara
secara ekonomis, anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan orang
tua yang memberikan nafkah untuk kelangsungan hidup, kesehatan dan
pendidikan. Anak-anak yatim dari kalangan kaum dhu‟afâ kehilangan duaduanya sekaligus, kehilangan dimensi psikologis maupun dimensi ekonomis.
48
M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,
vol. XXX. h. 781.
49
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum
Dhuafâ‟, h. 219.
50
M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,
vol. XXX, h. 779.
23
Sementara anak-anak yatim dari kalangan aghniyâ, yakni orang-orang
berkecukupan secara materi, hanya kehilangan dimensi psikologis saja
sedangkan dari segi ekonomis, mereka memiliki kekayaan peninggalan orang
tua yang dapat menopang kehidupan selanjutnya. bagaimana al-Qur‟ân
menegaskan keharusan orang beriman untuk memberikan perlindungan
terhadap anak-anak yatim berkenaan dengan diri, kehormatan, harta dan hakhak mereka, kelangsungan pendidikan mereka, serta masalah-masalah sosial
yang muncul karena mereka kehilangan orang tua, sebelum mereka mencapai
usia dewasa.51
Dalam permasalahan anak yatim. al-Qur‟ân mempunyai perhatian
khusus terhadap anak yatim, karena kecilnya dan ketidakmampuannya untuk
menjalankan kemaslahatan yang menjamin kebaikan hidupnya di masa depan.
Dengan perhatian ini, umat dapat menghindarkan kejahatan bahaya yang
mengepung mereka, yaitu mereka tidak mengecap pendidikan karena
kehilangan orang tua yang mengasuh, mendidik dan memeliharanya.52
Perhatian ini tampak di dalam al-Qur‟ân semenjak tenggang waktu
pertama wahyu dimulai, hingga tenggang waktu terakhir, yaitu ketika wahyu
hampir selesai dan sempurna. Tampak di dalam salah satu sûrah, ketika
wahyu turun kembali kepada Rasulullah saw. Setelah sekian lama Rasul
menanti turunnya wahyu itu, sehingga terbetik di dalam hatinya bahwa Allah
telah meninggalkan dan membiarkan beliau. Kemudian turunlah wahyu
kepada beliau untuk menjelaskan, bahwa Allah memperhatikan dan tidak
51
PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial, h. 130.
Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qurânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi
al-Qur‟ân, h. 349.
52
24
meninggalkannya atau membiarkannya. Wahyu segera memantapkan keadaan
itu di dalam diri
beliau dan mengingatkannya akan perhatian Allah
terhadapnya, sebelum masa kenabian, yaitu sewaktu beliau seorang yatim
piatu yang sangat membutuhkan kasih sayang dan perlindungan:53
Sebagaimana dalam firamn-Nya:
   
Bukankah Dia mendapatimu sebagai
melindungimu. (Q.S. al-Dluha [93]: 6).
seorang
yatim,
lalu
Dia
Dengan demikain, sejak dini wahyu telah memberikan perasaan ke
dalam hati beliau, bahwa pahitnya keyatiman yang beliau rasakan hendaknya
menjadi pendorong kepada beliau untuk memberikan kasih sayang kepada
anak yatim, memandangnya dengan mata kasih sayang dan melindungi serta
memuliakannya. Beliau diminta untuk mensyukuri nikmat yang dilimpahkan
oleh Allah kepada beliau, ketika Dia mendapatinya sebagai seorang yatim.
lalu melindunginya. Nikmat semacam ini hendaknya beliau syukuri dengan
memberikan kasih sayang kepada anak yatim, sebagaimana Allah telah
memberikan nikmat kasih sayang kepada beliau ketika yatim.54
a. Beberapa Tuntunan al-Qur’ân menyangkut anak yatim
Tuntunan al-Qur‟ân menyangkut anak yatim, dari sisi waktu hadirnya
tuntunan tersebut, dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah
dan periode Madinah .55
53
Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qurânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi
al-Qur‟ân, h. 349.
54
Syaltût, Tafsîr al-Qurânul Karîm, h. 349.
55
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 182.
25
Perlu diketahui bahwa periode Mekkah adalah periode peletakan dasar
tuntunan agama dan uraian menyangkut akidah, sedang periode Madinah
lebih banyak merupakan penerapan syariat agama, karena itu uraian-uraian
pada periode Mekkah sangat esensial dan sangat penting untuk
diperhatikan.56
Ayat pertama yang Nabi saw. Terima dalam konteks uraian tentang
anak-anak yatim dan yang merupakan wahyu kesepuluh yang beliau terima
adalah firmannya-Nya dalam sûrah al-Fajr [89]: 17, yang mengecam
mereka yang tidak memberi perhatian terhadap anak-anak yatim:
.
 
 
     
sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak
yatim.
Allah telah menganugerahi mereka dengan harta benda yang banyak,
tetapi mereka tidak mau melakukan kewajiban menolong anak yatim dan
memperlakukan mereka dengan perlakuan yang baik. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka telah terkena racun dunia.57
Setelah wahyu kesepuluh ini, wahyu tidak kunjung turun kepada Nabi
saw. Namun, setelah selang beberapa waktu, wahyu kesebelas turun, yakni
surah adh-Dhuha [93]: 9 yang merupakan tuntunan kedua yang berkaitan
dengan anak-anak yatim.
56
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ân jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h.
182.
57
Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol.
XXX(Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 266.
26
.     
Bukankah Dia
melindungimu?
mendapatimu
sebagai
seorang
yatim,
lalu
Dia
Janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim
dengan menindas dan menghinanya. Tetapi angkatlah dirinya dengan budi
pekerti yang santun dan didiklah ia dengan akhlak mulia, agar ia menjadi
anggota masyarakat yang baik dan bermanfaat. Sehingga ia tidak akan
menjadi
sampah
masyarakat
yang
menularkan
penyakit
pada
lingkungannya.58
Selanjutnya, wahyu ketiga yang dalam konteks anak yatim adalah
firman-Nya dalam Q.S. al-Balad [90]: 11-16.
    .   .     .    
.
     .     .  
Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. tahukah kamu
Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. (yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan. atau memberi Makan pada hari kelaparan,. (kepada) anak
yatim yang ada hubungan kerabat. atau kepada orang miskin yang sangat
fakir.
Pada ayat-ayat selanjutnya Allah menjelaskan bahwa seharusnya
mereka bersyukur atas segala karunia tersebut. Kemudian memilih jalan
yang baik dan lebih mengutamakan jalan yang bisa mengantarkannya
kepada kebahagiaan. Dengan demikian mereka bisa memanfaatkan
kelebihan karunia nikmat tersebut untuk membebaskan budak-budak belian,
58
Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol.
XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 329.
27
agar perbudakan bisa dihapuskan. Atau untuk menyantuni anak-anak yatim
yang membutuhkan makanan dan pakaian karena ditinggal mati oleh orang
tuanya. Atau memberi makan para fakir miskin yang tidak mampu lagi
berusaha mencari sesuap nasi karena faktor ketuaan atau invalid.59
Wahyu berikut tentang anak yatim yang diterima Nabi saw. Di
Mekkah adalah firman-Nya: (Q.S. al-An‟âm [6]: 152).
            

              
             
. 
 
dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata,
Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu),
dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu ingat.
Dan peringatan serupa ditemukan dalam (Q.S. al-Isrâ‟ [17]: 34).
            
     
dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
59
Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol.
XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 286.
28
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim apabila kamu
mengelola urusannya atau bermuamalat dengannya, sekalipun dengan
perantaraan wali atau orang yang menerima wasiat darinya, kecuali dengan
perlakuan
yang
mengembangkannya,
sebaik-baiknya
serta
lebih
dalam
memelihara
mementingkan
harta
dan
kemaslahatan
dan
membelanjakan harta itu untuk kepentingan pendidikan dan pengajarannya.
Dengan itu diharapkan akan dapat memperbaiki kehidupannya di dunia
maupun di akhirat.60
Ar-Arsyud, adalah masa seseorang mencapai pengalaman dan
pengetahuan. Untuk mencapai masa balignya, ada dua batasan, minimal jika
dia telah bermimpi keluar mani yang merupakan permulaan umur dewasa,
ketika itu ia menjadi kuat, sehingga keluar dari keadaannya sebagai anak
yatim, atau ia termasuk safih (tidak sempurna akal) atau da‟if (lemah).
Maksimal, adalah umur empat puluh tahun. Namun yang dimaksud di sini
ialah yang pertama. Yaitu batas minimal, sebagimana dikatakan oleh AsySya‟bi, Malik dan lainnya hal itu biasanya antara umur 15 sampai 18
tahun.61
larangan “mendekati” semacam ini hanya ada dalam larangan tentang
harta anak yatim dan dalam wasiat larangan mengerjakan perbuatan keji,
baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Sedangkan selain dua
masalah tersebut, larangan itu langsung ditujukan kepada perbuatan yang
dimaksud, bahkan larangan menyekutukan Allah. Umpamanya: lâ tusyriku,
60
Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol.
XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 329.
61
al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, h. 118.
29
lâ taqtulû aulâdakum, wa lâ taqtulû nafsal latî harramallâhu dan lain
sebagainya. Hal ini menunjukkan tingkat perhatian Allah terhadap anak
yatim dan perkaranya. menganiaya yatim setarap dengan melakukan
perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.62
Namun demikian Allah swt memberikan pengecualian, yaitu apabila
untuk pemeliharaan harta itu diperlukan biaya, atau dengan maksud untuk
mengembangkan dan memberdayakannya, maka diperbolehkan bagi orang
yang mengurus anak yatim untuk mengambilnya sebagian dengan cara yang
wajar. Oleh sebab itu, diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk
mengurus harta anak yatim. Wali atau lembaga sangat diperlukan untuk
mengurusi harta anak yatim dan hendaknya diawasi aktivitasnya oleh
pemerintah, agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan terhadap
harta anak yatim tersebut.63
Selanjutnya, sûrah al-Kahfi [18]: 82 berbicara tentang dua anak yatim
yang dipelihara Allah harta peninggalan ayahnya, karena sang ayah
merupakan orang saleh.64
            
              
                
62
Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali
Esensi al-Qur‟ân, h. 350.
63
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum
Dhuafâ‟, h. 227-228.
64
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ân jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h.
184.
30
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu,
dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar
supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
Perode Madinah. Tuntunan al-Qur‟ân dalam periode ini sangat rinci.
Pada periode Madinah ditemukan juga penekanan tentang perlunya menjaga
perasaan anak-anak yatim dan kaum lemah lainnya. Q.S. al-Nisâ‟ [4]: 8
   
         
. 
    
dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang baik
Dalam periode ini juga turun tuntunan kepada para wali atau pengurus
harta anak yatim agar mengembangkan harta siapa pun yang belum mampu
mengurusnya, antara lain anak-anak yatim dan yang berada di tangan para
wali atau pengurus itu. Q.S. al-Nisâ [4]: 5.
     
      
.
     
dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari
hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa seluruh modal tidak boleh
dibiarkan tetap membeku, tanpa bergerak atau berkembang. Sûrah
ini
31
menuntut agar belanja anak yatim diambil dari hasil pengembangan
hartanya, bukan dari harta itu sendiri. Harta-harta itu harus tetap ada. Segala
keperluan anak yatim seperti pakain, makanan, pendidikan, pengobatan dan
sebagainya dapat diambil dari keuntungan harta itu apabila harta tersebut
diusahakan (diinvestasikan). Dan hendaklah mereka berkata lemah lembut
penuh kasih sayang dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.65
Tuntunan lain menyangkut anak yatim ditemukan juga sebelum ayat
diatas, yakni firman-Nya dalam Q.S al-Nisâ‟ [4]: 3.
            
   
      
    
       
.   
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Kadang-kadang
sebagaian
wali
mengawini
anak-anak
yatim
perempuan yang diurusnya dan halal untuk dia kawini, atau jika tidak halal
dikawini olehnya, ia mengawinkan mereka dengan putra-putranya. Kedua
jalan ini ia tempuh guna memakan harta mereka atau mahar yang mereka
miliki dengan ikatan perkawinan. Tatkala ayat di atas diturunkan, para wali
mendengar ancaman yang keras ini dan telinga mereka diketuk, bahwa
65
Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali
Esensi al-Qur‟ân, h. 357.
32
berbuat buruk terhadap harta anak yatim dan mencari-cari alasan untuk
memakannya dengan cara-cara penipuan semacam ini adalah dosa besar,
karena itu, selanjutnya mereka enggan mengawini anak-anak yatim
perempuan, lantaran takut menerima akibat yang buruk.66
Ayat ini mengisyaratkan, bahwa jika mereka tidak menjamin untuk
dapat berbuat adil dalam harta-harta anak-anak yatim perempuan, dalam
mengelola hak mereka dengan baik dan dalam menyerahkan hak-hak
mereka apabila mengawini mereka atau mengawinkan anak-anak mereka
dengan anak-anak yatim itu setelah mengawinkan, maka hendaknya mereka
meninggalkan perkawinan dengan anak-anak yatim. penghindaraan ini
dimaksudkan untuk menjaga diri mereka dari terjatuh ke dalam lembah dosa
yang besar ini.67
Dengan ayat ini, Allah tidak bermaksud menyempitkan manusia
dalam perkara perkawinan, hingga kalian tidak mengawini anak-anak yatim
perempuan yang kalian rasakan sulit, lantaran takut mempergauli mereka
dengan buruk dan takut memakan harta-harta mereka. Mereka benar-benar
mempunyai pintu yang sangat lebar untuk mengawini wanita-wanita yang
kalian senangi.68
Dalam sûrah al-Nisâ‟ [4]: 10 Allah juga berfirman memberi
peringatan kepada para pengelola harta anak yatim:
66
Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali
Esensi al-Qur‟ân, h. 354.
67
Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm, h. 354.
68
Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm, h. 354.
33
         
   
 
. 
 
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Ayat ini mengandung ancaman kepada orang-orang yang memakan
harta anak yatim. mengelola harta anak yatim diharuskan untuk
menjaganya jangan sampai ada kecurangan. Kecurangan terhadap anak
yatim itu berarti memakan api, memenuhi perut sendiri dengan api.
Memakai harta anak yatim, dengan curang, akan membakar pula harta lain
yang bukan harta anak yatim. Hidup dalam kecurangan akan selalu laksana
terbakar, karena keluhan anak yang teraniyaya.69
Dalam ancaman pertama dikatakan, bahwa harta itu akan berupa api,
yang mereka suap dan mereka makan, lalu masuk ke dalam perut mereka.
Mereka akan berpakaian api. Yang masuk perut, ialah makanan ataupun
pangan yang dibawa masuk ke api bernyala ialah badan sendiri, artinya
sandang, pakaian. Mereka terlihat kaya dengan harta anak yatim yang
diambilnya secara zalim, namun sebenarnya mereka telah terbakar dan
menjadi hangus.70
Tersebutlah di dalam salah satu hadis rangkaian kisah Mi‟raj,
bahwasannya Rasulullah saw. Melihat ada orang-orang yang disuruh
memakan batu granit yang telah hangus merah berapi, lalu mereka makan,
69
70
Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah, Tafsîr al- Azhar, vol. XXX, h. 351-352.
Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 352.
34
sehingga merintihlah mereka, sebab perut mereka telah hangus terbakar.
Maka bertanyalah Rasulullah kepada jibril: “apa sebab, maka begini
dahsyatnya siksaan yang mesti diterima oleh orang-orang yang memakan
harta anak yatim dengan zalim.71
Q.S. al-Baqarah [2]: 220
               
            
.      
 
tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak
yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan
jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan
Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan
perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat
mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
Menurut riwayat Abu Daud, an-Nasa‟i, dan al-Hakim dari Ibnu Abas,
karena telah banyak datang ayat-ayat peringatan tentang tata cara
pemeliharaan anak yatim dan pengelolaan hartanya, sehingga memelihara
anak yatim menjadi tidak menyenangkan bahkan menakutkan. Maka
sahabat bertanya kepada Rasulullah, bagaimana sebaiknya memelihara,
sebab memelihara mereka telah diperintahkan, sedang hartanya tidak boleh
termakan dengan jalan yang zalim. Oleh sebab itu Allah berfirman dalam
Q.S. al-Baqarah [2]: 220. Hendaklah memelihara mereka dengan sebaikbaiknya, sebab mereka adalah saudara mu saudara yang seiman dan
bukankah orang yang beriman itu bersaudara? kalau memandang mereka
71
Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 352.
35
sebagai saudara sendiri, tentu kamu telah tahu bagaimana berlaku terhadap
mereka dan harta mereka. Jika rasa persaudaraan sudah tertanam dalam hati
maka penganiayaan terhadap anak yatim tidak akan terjadi. Jangan sampai
makan mereka dipisahkan. Itu adalah
merendahkan, bukan menggauli.
Kalau ada anak yatim tinggal dirumah mu, pandanglah mereka sebagai
anakmu, anak kandung dan anak yatim harus diperlakukan sama tidak boleh
dibeda-bedakan semoga adanya anak yatim dalam rumahmu akan
membawa rizki 72
72
Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 250-251.
BAB III
NILAI DALAM AL-QUR’ÂN
A. Nilai
Dalam ilmu fiqh ukuran baligh jika sudah berusia 9 tahun untuk
perempuan dan 15 tahun untuk laki-laki. Anak yatim yang ditinggal mati
oleh orang tuanya ketika berusia 9 sampai 15 tahun menandakan masih
kurang mampunya dalam menjalankan kemaslahatan hidup yang menjamin
kebaikannya di masa yang akan datang. Pada saat ini usia 9 sampai 15 tahun
masih sangat membutuhkan pengayoman karena ditemukan anak-anak yang
masih berusia 9 sampai 15 tahun tidak stabil kejiwaanya, mereka belum bisa
menjaga diri sendiri dan hartanya jika anak yatim tersebut di tinggalkan harta
oleh kedua orang tuanya.
Mazhab Hanafi mewajibkan wali menyerahkan harta pada umur
dewasa dengan syarat cerdas, mampu dan pada umur 25 tahun walaupun
dalam keadaan tidak cerdas.73
Dalam sosiologi, nilai didefinisikan sebagai konsepsi (pemikiran)
abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk.
Contohnya, orang menganggap menolong adalah perbuatan baik, sedangkan
mencuri adalah perbuatan
buruk. Dengan demikian, perbuatan saling
menolong merupakan sesuatu yang bernilai dalam kehidupan masyarakat.74
73
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum
Dhuafâ‟, h. 231-232.
74
Kun Maryati dan Juju Suryawati, Sosiologi dan Antropologi untuk SMA dan MA Kelas X
kurikulum 2013 (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 131-132.
36
37
Pendapat para ahli tentang pengertian nilai adalah sebagai berikut:
Soerjono Soekanto mendefinisikan nilai sebagai konsepsi abstark
dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk.
B. Simanjuntak merumuskan nilai sebagai ide-ide masyarakat tentang
sesuatu yang baik.
Robert M.Z. Lawang mendefinisikan Nilai adalah gambaran
mengenai apa yang diinginkan, pantas, berharga, dan mempengaruhi perilaku
sosial orang-orang yang memiliki nilai tersebut.75
Nilai erat hubungannya dengan manusia, baik dalam bidang etika
yang mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan manusia sehari-hari,
maupun bidang estetika yang berhubungan dengan persoalan keindahan,
bahkan nilai masuk ketika manusia memahami agama dan keyakinan
beragama. Oleh karena itu nilai berhubungan dengan sikap seseorang sebagai
warga masyarakat, warga suatu bangsa, sebagai pemeluk suatu agama dan
sebagai warga dunia.76
Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam
dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif
yakni memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan
memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai. Kedua
memandang nilai itu subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek
75
Maryati dan Suryawati, Sosiologi dan Antropologi untuk SMA dan MA Kelas X
kurikulum 2013, h. 132.
76
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2006), h. 111-112.
38
yang menilainya. Jadi nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir
tanpa hadirnya penilai. Oleh karena itu nilai melekat dengan subjek penilai.77
B. Hubungan Nilai dan Pesan Al-Qur’ân
Nilai adalah sesuatu yang diinginkan, pantas, berharga, dan
mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Pesan al-Qur‟ân adalah perintah,
nasehat, permintaan, amanat yang disampaikan melalui al-Qur‟ân itu sendiri.
Pesan al-Qur‟an tidak terlepas dari suatu nilai karena setiap pesan al-Qur‟ân
mempunyai nilai yang sangat penting, berharga dan diharapkan dapat segera
dipahami, diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan pribadi dan
berrmasyarakat. Pesan al-Qur‟ân mempunyai nilai yang sangat tinggi karena
pesan tersebut berisi larangan dan anjuran demi kebaikan hidup manusia dan
langsung Allah yang menyatakannya didalam al-Qur‟ân.
Melalui pesan al-Qur‟ân seseorang akan mengetahui apa yang
seharusnya dia lakukan dan tidak dia lakukan, jika seseorang mengamalkan
pesan al-Qur‟ân yang terkandung didalamnya akan menimbulkan dampak
positif bagi kehidupannya, karena pesan al-Qur‟an berisikan sesuatu yang
sangat penting yang dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang dan dapat
mengatur keseimbangan hidup manusia.
Orang yang percaya terhadap pesan al-Qur‟ân ia akan lebih
menghargai diri sendiri dan orang lain, menebarkan damai, mempunyai sifat
kasih sayang terhadap sesama, tidak segan untuk menolong orang lain yang
membutuhkan dan menghindarkan dari perbuatan yang tidak bernilai luhur.
77
Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2006), h. 112.
39
Al-Qur‟ân mampu mengubah pola pikir, sikap dan tingkah laku, baik
individu maupun masyarakat, di mana pun berada. Dalam arti kata bahwa
mulai dari jaman Nabi saw sampai sekarang. Al-Qur‟ân merupakan satusatunya alternatif untuk mengubah sikap dan pola pikir masyarakat.78
Pesan al-Qur’ân
1. Nilai
Pesan al-Qur‟ân mempunyai nilai yang sangat penting untuk
dijadikan gambaran kepada manusia tentang hal-hal yang semestinya
untuk dilakukan dalam kehidupannya.
Contoh nilai dalam al-Qur‟ân:
      
     
.   
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. (Q.S. al-Baqarah: 183).79
Kandungan ayat diatas adalah nilai dari diperintahkannya ibadah puasa
yakni supaya bertakwa kepada Allah sang pencipta langit dan bumi. Dan
dapat memberikan pelajaran bagi kaum hartawan akan pahitnya rasa lapar
seperti yang dirasakan oleh kaum lemah, Dengan demikian diharapkan
mereka mau untuk membantu kaum lemah yang sangat membutuhkan
bantuan.
78
Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum
dalam al-Qur‟ân, h. 41.
79
Q.S. al-Baqarah ayat 183.
40


           
   
 
            
 
 
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al- Qur‟ân)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Ankabût: 45).80
Kandungan ayat diatas adalah nilai dari diperintahkannya ibadah shalat
yakni seseorang dapat tercegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.
Dan dengan memahami subtansi shalatnya seseorang dapat memberikan
kebaikan
terhadap
sesama
yakni
memberikan
bantuan
bagi
yang
membutuhkan.
2. Norma
Norma adalah peraturan-peraturan yang dari situ manusia diharapkan
mematuhinya dalam hubungannya dengan orang lain. Norma tidak hanya
menyediakan petunjuk-petunjuk perilaku yang baik dalam situasi tertentu
tetapi juga memberikan ekspektasi mengenai bagaimana orang lain akan
merespon perilakunya.81
Contoh norma dalam al-Qur‟ân:
               
.      
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
80
Q.S. al-Ankabût ayat 45.
Yusron Razak, Sosilogi Sebuah Pengantar (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama,
2008), h.144.
81
41
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal
kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 188).82
Kandungan ayat diatas adalah norma atau aturan yakni dilarangnya
memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syari‟at
Islam.
            

              
             
. 
 
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka
hendaklah kamu Berlaku adil,Kendatipun ia adalah kerabat(mu),dan
penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu ingat. (Q.S. al-an‟am: 152).83
Kandungan ayat diatas adalah norma atau aturan yakni dilarangnya
memakan harta orang anak yatim dengan cara yang tidak dibenarkan oleh
syari‟at Islam.
.          

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. al-Isrâ‟: 32).84
82
Q.S. Al-Baqarah ayat 188.
Q.S. al-an‟am ayat 152
84
Q.S. al-Isrâ ayat 32
83
42
Kandungan ayat diatas adalah norma atau aturan yakni dilarangnya
mendekati zina karena zina merupakan perbuatan yang keji.
               
 
   
   .   
  
        
   
 
       
  
         
      
          
.           
   

               
 
            
     
        
 
.           
 
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan
itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
43
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri
yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Nisâ‟: 22-24).85
Kandungan ayat diatas adalah norma atau aturan yakni mengenai
perkawinan.
3. Sistem
Sistem adalah seperangkat atau pengaturan unsur yang saling
berhubungan sehingga membentuk satu kesatuan.86
Contoh sistem dalam al-Qur‟ân:
 
 .   .    .    
 
   .    
  .    
. 
 .      .  
 
  . 
.
  .   
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan. dan gununggunung sebagai pasak?. dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. dan
Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. dan Kami jadikan malam sebagai
pakaian. dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. dan Kami bina
di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh. dan Kami jadikan pelita yang
Amat terang (matahari). dan Kami turunkan dari awan air yang banyak
85
Q.S. al-Nisâ‟ ayat 22 -24.
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern
English Press, 1995), h. 1442.
86
44
tercurah. supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuhtumbuhan. dan kebun-kebun yang lebat?. (Q.S. al-Nabâ‟: 6-16).87
              
   
             
            
.
 
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih.(Q.S. al-Baqarah: 178).88
        
.
          
 
wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa
yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan
rezki yang mulia (surga). (Q.S. Al-Nûr: 26).89
4. Konsep
Konsep adalah gambaran mental suatu objek, proses, atau apapun yang
berada di luar biasa, yang dulu digunakan oleh akal budi untuk memahami
masalah-masalah lainnya.90
87
Q.S. al-Nabâ‟ ayat 6-16.
Q.S. al-Baqarah ayat 178.
89
Q.S. Al-Nûr ayat 26.
90
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern
English Press, 1995), h. 764.
88
45
Saat membaca al-Qur‟ân, kita seringkali menemukan berbagai konsep
yang sudah kita kenal sebelumnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Konsepkonsep itu merupakan kunci bagi kita untuk memahami al-Qur‟an. Misalnya
hikmah, kesabaran, kesetiaan, dan konsep berupa sifat-sifat Allah SWT.
Contoh konsep dalam al-Qur‟ân:
a. Konsep penciptaan Manusia didalam al-Qur‟ân
.     
  .   
    
  
        
.            
 
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan
Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta
yang paling baik. (Q.S. al-Mu‟minûn: 12-14).91
b. Konsep penciptaan langit dan bumi didalam al-Qur‟ân
             
    
      
.
             
 
 
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masingmasing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.
(Q.S. al-A‟raf: 54).92
91
92
Q.S. al-Mu‟minûn ayat 12-14.
Q.S. al-A‟raf ayat 54.
46
            
dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan
bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis
edarnya.(Q.S. Al-Anbiyâ‟: 33).93
           
       

  
  
 
    
  
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia
menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut
waktu yang ditentukan. ingatlah Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. (Q.S. al-Zumar: 5).94
   
          
             
.
     
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam
malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan
menurut waktu yang ditentukan. yang (berbuat) demikian Itulah Allah
Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. dan orang-orang yang kamu seru
(sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit
ari. (Q.S. Fathir: 13).95
  .         
   
93
Q.S. Al-Anbiyâ‟ ayat 33.
Q.S. al-Zumar ayat 5.
95
Q.S. Fathir ayat 13.
94
.        
47
          .   
.       
dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah
malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta merta
mereka berada dalam kegelapan. dan matahari berjalan ditempat
peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha
mengetahui. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah,
sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia
sebagai bentuk tandan yang tua. tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan
masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S. Yâsin: 37-40).96
96
Q.S. Yâsin ayat 37-40.
BAB IV
NILAI-NILAI SOSIAL SURAH AL-MÂ’ÛN
Nilai sosial adalah kualitas perilaku, pikiran, dan karakter yang dianggap
masyarakat baik dan benar, hasilnya diinginkan, dan layak ditiru oleh orang lain.97
Nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-Mâ‟ûn ini merupakan
perintah kepada setiap manusia untuk merealisasikannya dalam kehidupan.
Dibawah ini akan dipaparkan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah alMâ‟ûn sebagai berikut:
A. Pentingnya Memahami Agama dengan Benar
Agama adalah hubungan pribadi antara seseorang dengan Tuhan yang
diyakininya, termasuk dalam hubungan itu pandangan dan perasaannya
terhadap yang Maha Kuasa lagi Maha Agung itu.98
Agama adalah hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan satu
kekuatan Yang Maha Dahsyat, dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan
sempurna, dan mendorong jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri
kepada-Nya. Pengabdian itu dilakukan baik karena takut maupun karena
berharap memperoleh kasih-Nya yang khusus, atau bisa juga karena dorongan
kagum dan cinta.99
97
Idianto Muin, Sosiologi SMA/MA Jilid 1 untuk SMA/MA Kelas X (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2006), h. 47.
98
M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama (Jakarta: Mizan, 1999), h.
242.
99
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: al-Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan
Mayarakat, h. 22-23.
48
49
Ada dua pesan pokok agama yakni:
Pertama, memberikan pesan dan ajaran agar seseorang memiliki visi
dan makna hidup yang bersumber dari kesadaran iman. Kita semua berasal
dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sehingga apa pun yang kita perbuat
selama di dunia ini mesti dipertanggungjawabkan kelak.
Kedua, dengan pemahaman dan penghayatan agama, seseorang bisa
tumbuh berkembang menjadi pribadi yang baik, senantiasa menebarkan damai
dan manfaat bagi sesamanya. Rasulullah Muhammad Saw. Bersabda, “
sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak“ Dalam sabdanya
yang lain dikatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik
akhlaknya dan paling banyak memberi manfaat bagi sesamanya”.100
Hakikat pembenaran agama bukanlah ucapan dengan lidah, tetapi
perubahan positif dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan
terhadap saudaranya sesama manusia, terhadap mereka yang membutuhkan
bantuan dan perlindungan. Allah menghendaki terhadap manusia dalam
perkataan dan perbuatannya sejalan sebab kalau tidak, maka itu semua hampa,
tidak berarti dan tidak dipandang-Nya.101
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan mempunyai kewajiban untuk
menyembah, kewajiban ini sesuai dengan tujuan al-Khaliq menciptakan
manusia. Allah SWT berfirman:
100
Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h.
83-84.
101
M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi: al-Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 27.
50
       
  
 
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Q.S. al-dzâriyât (51): 56).
Islam memandang bahwa manusia diciptakan Tuhan dilengkapi
dengan kemampuan untuk mematuhi tata tertib kehidupan sebagai satu
keseluruhan baik materil maupun spiritual. Jika seseorang mengonsentrasikan
pada sisi hidupnya. Dia masih tetap berhubungan dengan pekerjaan untuk
makanannya, untuk kepentingan masyarakat, dan anggota keluarganya.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya
terdapat kajian dan petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu
menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang
seluas-luasnya. Mengajarkan kehidupan yang dinamis dan Menghargai akal
pikiran manusia melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
mengutamakan waktu, persaudaraan, berakhlak mulia, dan sikap-sikap positif
lainnya. Namun kenyataan Islam sekarang menampilkan keadaan Islam yang
jauh dari cita-cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam seperti
shalat, puasa, dan zakat dilakukan hanya sebatas membayar kewajiban saja,
buah dari ibadah tersebut tampak dalam kehidupan beragama di kalangan
masyarakat sering terjadi kesalah pahaman dalam menghayati pesan simbol
dari keagamaan. Akibatnya agama lebih dihayati sebagai pengalaman individu
dan bukan sebagai keberkahan sosial secara umum. Selama ini meningkatnya
jumlah orang mengunjungi tempat-tempat ibadah dan munculnya tokoh-tokoh
51
ulama dalam acara sosial agama, itu hanyalah indikasi permukaan dalam
masyarakat. Hal ini menerangkan tentang perilaku keagamaan yang
sesungguhnya, yaitu nilai-nilai keagamaan menjadi pertimbangan utama
dalam berpikir maupun bertindak oleh individu dan sosial.102
Berbagai pendekatan dalam memahami agama dapat diungkapkan,
karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya dan dapat mengembangkannya dalam kehidupan
sehari-hari, baik itu berupa sikap atau amal perbuatan yang mengacu pada
arah kebijakan yang tidak merugikan satu dengan yang lainnya. Adapun
pedekatan tersebut adalah pendekatan historis, pendekatan sosial budaya,
pendekatan antropologi, dan pendekatan psikologi.
1. Berbagai pendekatan dalam memahami Agama
a. Pendekatan Historis
Pendekatan sejarah ini sangat penting dan dibutuhkan dalam
memahami agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang
konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Melalui
pendekatan sejarah ini seorang diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
b. Pendekatan Sosiologi
Melalui pendekatan sosiologi agama dapat dipahami dengan mudah,
karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.
102
M.Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah , 2006), h. 57-58.
52
c. Pendekatan Teologis Normatif.
Pendekatan teologis erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan
yang didalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam
pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak
dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikit pun dan tampak bersikap ideal.
Dalam kaitan ini agama tampil prima dengan seperangkat cirinya yang
khas.
d. Pendekatan Antropologi
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan melihat
wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan agama sangat akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia, berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya.
e. Pendekatan Psikologi
Dengan pendekatan Psikologi atau ilmu jiwa ini seseorang mengetahui
tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan diamalkan seseorang.
Dapat juga digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke
dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilmu ini
agama dapat menemukan cara yang tepat dan cocok untuk
menanamkannya.103
103
M.Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, h. 58-70.
53
sebagian orang memahami petunjuk-petunjuk agama secara kaku
walaupun itu berkaitan dengan bidang keduniaan dan kemasyarakatan. yaitu,
misalnya, mereka mempertahankan teks ajaran dan makna-makna harfiahnya
tanpa memerhatikan konteks sosial dan perkembangan masyarakat pada masa
petunjuk itu disampaikan. Pola pikir semacam ini akan dapat menyulitkan
umat. Bayangkan saja kalau kita kini hanya mempersiapkan panah beserta
kuda-kuda yang ditambat untuk menghadapi musuh. Apa gerangan yang akan
terjadi bila kita diserang? Jika demikian, kita harus memahami bahwa ada
petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Yang diangkatnya sebagai contoh untuk
masyarakat beliau lima belas abad yang lalu. Petunjuk semacam ini harus
dipahami dalam konteksnya, kemudian disesuaikan dengan konteks kita masa
kini, karena junjungan kita Muhammad saw. Tidak selalu berfungsi sebagai
rasul. Tapi terkadang beliau berfungsi sebagai mufti yang menyampaikan
putusan atau hakim yang memutuskan perkara. Pada saat yang lain, beliau
adalah pemimpin yang menyesuaikan
petunjuknya dengan kondisi
masyarakatnya, bahkan beliau terkadang sebagai seorang manusia biasa yang
memiliki keistimewaan, kecenderungan, serta kepentingan yang dapat berbeda
dengan manusia-manusia lain. Memahami petunjuk-petunjuk beliau atas dasar
pemilahan tersebut, menjadikan agama Islam benar-benar sesuai dengan
waktu dan tempat.104
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa hanya agamalah yang bisa
membuat manusia menjadi orang beriman yang sebenarnya. Hanya agamalah
104
M. Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 2008), h. 47.
54
yang memungkinkannya mengatasi sifat mementingkan diri sendiri dan
egoisme melalui keimanan dan ideologi, dan untuk menciptakan sejenis
kesalehan dan keyakinan di dalam pribadi seseorang, yang dengannya mereka
menerima sepenuhnya isu-isu kecil tentang ideologi mereka sekalipun. pada
saat yang sama, seorang manusia akan memeluk keimanannya dengan
sedemikian menghargai dan memuliakan sehingga hidup tanpanya akan
menjadi sia-sia, ia akan memegangnya erat-erat dengan penuh semangat dan
ketaatan. Keyakinan keagamaan menyebabkan pengaruh-pengaruh positif
yang luar biasa, dipandang dari kemampuannya untuk menciptakan
kebahagiaan dan kegembiraan atau memperbaiki hubungan-hubungan sosial,
atau mengurangi, bahkan menghapuskan sama sekali kesulitan-kesulitan yang
sebelumnya tak terhindarkan di dalam kehidupan.105
Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa
pemahaman dan penghayatan terhadap agama dengan benar akan memberikan
dampak terhadap pribadi yang baik dan memberikan manfaat kepada orang
banyak.
B. Pentingnya Penanganan dan Pengelolaan Anak Yatim
Menyantuni anak yatim adalah suatu keniscayaan yang harus
dilakukan oleh seorang Muslim yang mengaku beriman kepada Allah, sebagai
salah satu bentuk dan realisasi keimanan itu. Dan aturan-aturan dalam
menyantuni anak yatim telah dijelaskan dengan tegas, mendetail, terarah
105
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci (Bandung:
Mizam , 2007), h. 92-94.
55
hingga memberikan rambu-rambu untuk berhati-hati jangan sampai memakan
harta anak yatim secara haram baik dalam ayat maupun dalam hadis Nabi
saw. Para wali anak yatim sangat berperan dalam mengantar mereka, agar
mereka menjadi anak-anak yang saleh, cerdas, berguna, dan bermanfaat bagi
dirinya,
keluarganya,
agama
bangsa
dan
negaranya.
Sesungguhnya
Kebahagiaan yang terindah adalah ketika seseorang dapat membahagiakan
saudaranya yaitu anak yatim.
Anak yatim merupakan kelompok masyarakat yang lemah yang
sangat membutuhkan penanganan dan pengelolaan dari orang-orang
disekitarnya.
Penanganan dan pengelolaan anak yatim dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
1. Hendaklah orang-orang beriman memuliakan mereka dengan memberikan
perlindungan kepada anak-anak yatim dari rasa takut, cemas, dan sedih
karena kehilangan orang tua.
2. Menanggung biaya hidup mereka dengan sebaik-baiknya secara wajar,
layak, dan sederhana sesuai dengan pola hidup yang berlaku pada
masyarakatnya.
3. Menjamin kelangsungan pendidikan anak yatim dengan sebaik-baiknya
sehingga mereka mendapat bekal pendidikan yang cukup untuk bisa hidup
(skill life education) secara mandiri dan bermartabat.
4. Memposisikan anak-anak yatim sebagaimana anak sendiri dengan
mengintegrasikan mereka dalam kehidupan keluarga sehingga mereka
56
tidak kehilangan kehangatan, keintiman, perlindungan, cinta dan kasih
sayang dalam satu keluarga yang utuh. Anak-anak yatim sebaiknya
dipelihara dengan pola asuh sistem keluarga, bukan dengan sistem panti
asuhan. Mereka sebaiknya dijadikan anak angkat oleh setiap keluarga
Muslim yang mampu lahir batin namun jika sistem ini belum
memungkinkan, bisa saja anak-anak yatim itu diasuh dalam sebuah panti
asuhan dengan pola pengasuhan sebagimana layaknya di dalam
keluarga.106
5. Bahwa wali anak-anak yatim, baik orang maupun lembaga yang
menangani dan bertanggung jawab mengurusi anak-anak yatim yang
memiliki harta warisan dari orang tua mereka, tidak dibolehkan
menggunakan, mengalokasikan, dan mengelola harta mereka kecuali
dengan cara dan sistem yang mendatangkan manfaat dan mengembangkan
harta itu sendiri bagi kepentingan anak-anak yatim hingga mereka dewasa.
6. Bahwa cara dan sistem yang mendatangkan manfaat dan mengembangkan
harta anak yatim itu adalah sistem yang sekurang-kurangnya menjamin
keutuhan harta itu sedemikian rupa dengan dokumen dan surat-surat yang
absah dan memiliki kekuatan hukum yang kuat, serta menjadikan harta itu
mendatangkan keuntungan dan bertambah.
7. Bahwa lembaga sosial yang mengurusi anak yatim seperti panti asuhan
atau yayasan amal sosial hendaklah mengembangkan kapasitas pelayanan
sosialnya secara profesional dengan manajemen yang rasional, terbuka,
dan dapat dipertanggung jawabkan di hadapan akuntan publik.
106
PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial, h. 132-133.
57
8. Sekiranya lembaga-lembaga sosial, yang mengurusi anak-anak yatim
tersebut
menawarkan
program
kepada
masyarakat
dan meminta
masyarakat untuk memberikan bantuan finansial, maka penawaran
program tersebut, merupakan janji kepada masyarakat yang harus
dipenuhi dengan sebaik-baiknya karena janji akan dimintai pertanggung
jabawan, baik di dunia maupun di akhirat sebagaimana disebutkan pada
ayat di atas bahwa “ Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung
jawaban “. Singkatnya bahwa lembaga sosial yang bertanggung jawab
atas pengasuhan anak-anak yatim yang mempunyai harta warisan itu harus
dapat mempertanggung jawabkan aset kekayaan anak-anak yatim tersebut
kepada masyarakat luas.107
C. Menyantuni Fakir Miskin
Al-Qur‟ân mewajibkan kepada setiap Muslim untuk berpartisipasi
menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi yang tidak
memiliki kemampuan material, maka paling sedikit partisipasinya diharapkan
dalam bentuk merasakan, memikirkan, dan mendorong pihak lain untuk
berpartisipasi aktif.108
Fakir miskin adalah kelompok orang yang sama sekali tidak memiliki
kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.109
107
PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial, h. 131-132.
M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur‟an: tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat (
Bandung: Mizan, 2007), h. 605.
109
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum
dhu‟afâ‟, h. 47.
108
58
Cara Mengentaskan Kemiskinan:
Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, al-Qur‟ân menganjurkan
banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada
tiga hal pokok.
1. Kewajiban setiap individu.
Jalan pertama dan utama yang diajarkan al-Qur‟ân untuk
pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibakannya atas
setiap individu yang mampu.
Contoh:
Jika ditempat yang satu tidak ditemukan lapangan pekerjaan, alQur‟ân menganjurkan kepada orang tersebut untuk berhijrah mencari
tempat lain sampai ia mendapatkan pekerjaan itu. Sebagaimana firman
Allah SWT.
 
           
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka
bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. (Q.S. al-Nisa‟
[4]: 100)
2. Kewajiban orang lain atau masyarakat.
Kemiskinan merupakan persoalan yang tidak boleh dianggap
sepele karena tanpa adanya pihak yang bertanggung jawab terhadap
permasalahan tersebut akan menimbulkan dampak yang buruk yaitu
kelaparan dan kematian. Agar tidak terjadi hal seperti itu hendaklah setiap
orang untuk mau memperhatikan dan membantu dalam hal penyelesaian
59
kemiskinan. karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap manusia untuk
membantu saudaranya yang kekurangan.
3. Kewajiban pemerintah.
Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal penyelesaian
kemiskinan yaitu dengan mengatur uang pajak dengan baik dan benar agar
dapat digunakan untuk kepentingan Negara salah satunya dalam hal
penyelesaian masalah kemiskina.110
Tanpa adanya keperdulian dari pihak-pihak lain terhadap masalah
kemiskinan maka persoalan kemiskinan akan lebih menimbulkan masalahmasalah lain yaitu jiwa yang akan tergoncang sehingga ada keinginan
untuk
bunuh diri. Sudah saatnya keluarga terdekat, masyarakat dan
pemerintah untuk benar-benar menyelesaikan kemiskinan yaitu dengan
menyantuninya dan menyiapkan lapangan pekerjaan untuk mereka.
D. Sholat Parameter Keimanan yang Mendalam
Sesungguhnya shalat merupakan rukun amal Islam terbesar yang
absolut. Ia merupakan syiar amali agama Islam yang teragung dan
menyatukan setiap ibadah-ibadah lain, termasuk di dalamnya puasa, zakat,
haji, jihad, tilawah al-Qur‟ân, dzikir kepada Allah dan lain sebagainya.111
Karena besarnya kedudukan dan posisi shalat, maka ia tidak boleh
ditinggalkan oleh seorang Muslim bagaimanapun kondisinya, kecuali bagi
110
M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur‟an: tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat (
Bandung: Mizan, 2007), h. 597-604.
111
Muhammad Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam Begini Semestinya Muslim Berperilaku
( Jakarta: Maghfirah, t.t.), h. 686.
60
mereka yang kewajiban shalatnya telah gugur, seperti orang yang hilang akal ,
serta wanita haid dan nifas. Sholat wajib dilakukan baik oleh orang sakit,
sehat, fakir, kaya, dalam kondisi takut, aman, dan lain sebagainya.112
Kalaulah umat islam menghargai shalat dengan sebenarnya dan
melaksanakannya secara sempurna, niscaya ia akan menjadi sebab terbesar
untuk memperbaiki ketimpangan hidup dan kondisi mereka. Sesungguhnya
shalat adalah sebagimana yang Allah swt firmankan:


           
   
            
 
 
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-kitab (al- Quran)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Q.S. al-„Ankabût [29]: 45)
Dasar kekurangan dan rahasia ketidakseimbangan tersebut adalah
banyaknya orang yang menunaikan bahkan kebanyakan dari mereka shalat
hanya sebagai potret dan bentuk rutinitas tanpa esensi. Hal itu bisa dalam
bentuk meremehkan setiap apa yang berhubungan dengan sholat atau
menganggapnya hanya sebagai kebiasaan. Dengan demikian spirit shalat tidak
dapat dihayati, kekhusyukan tidak bisa raih, dan hakikat shalat sebagai
medium komunikasi antara hamba dan Rabb-nya tak mampu pula dipahami.
Shalat seperti itu tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang.
Bahkan terkadang, keluar dari masjid justru langsung melakukan kemaksiatan,
112
Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam, h. 686.
61
terjerembab dalam perbuatan haram, atau berusaha untuk melakukan
pekerjaan yang dimurkai Allah swt.113
Untuk itu, yang wajib bagi setiap muslim adalah memahami hakikat
shalat, beruasaha mengerti rahasia-rahasianya, mewujudkan spriritnya,
menghidupkan shalat sebagaimana mestinya dan beretika dengan etika shalat
guna meraih buah yang terkandung dalam ibadah ini. Karena sesungguhnya
sholat merupakan suatu parameter dari keimanan seseorang.114
1. Shalat suatu rangka pokok dari iman
Di dalam al-Qur‟ân Tuhan telah menegaskan bahwa “shalat”
adalah suatu rangka pokok dari iman, dengan beberapa firman-Nya,
diantaranya Ayat-ayat yang dibawah ini :
 
          
   

 
   
   
           
Alif laam miin. Kitab (al-Qur‟ân) ini tidak ada keraguan padanya:
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa(yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman
kepada kitab (al-Qur‟ân) yang telah diturunkan kepadamu dan KitabKitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat. (Q.S. al-Baqarah [2]: 1-4)
Ayat ini menegaskan, bahwa: “orang-orang yang muttaqien
(mukminin), „ialah: “ mereka yang beriman akan “yang ghaib”, yang tidak
kelihatan pada pandangan matanya: mendirikan sholat dan mengeluarkan
113
Muhammad Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam Begini Semestinya Muslim Berperilaku,
114
Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam, h. 686.
h. 686.
62
sebahagian hartanya untuk kemaslahatan umum kemaslahatan masyarakat,
yang dinamai: “jalan Allah.” Juga menegaskan, bahwa: “mengerjakan
shalat dan mengeluarkan harta untuk yang tersebut, adalah hasil dari
dorongan iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa.” Lihatlah susunan
Ayat. Tuhan meletakkan perkataan “dan mendirikan sholat,” sesudah
perkataan „beriman akan yang ghaib”, dan tuhan meletakkan perkataan
“dan mengeluarkan sebahagian harta untuk kemaslahatan umum,” sesudah
perkataan “mendirikan sholat.” Susunan ini memberi pengertian, bahwa :
iman yang teguh bersemi di lubuk jiwa, menarik kepada sholat. Sholat
yang ditegakkan dengan sempurna dengan khusyu‟ yang menjadi spiritnya
(rohnya), membawa kepada rela mengorbankan sebahagian harta untuk
kepentingan pergaulan hidup bersama.
2. Shalat, syarat diterima iman dan amal
“Tiada diterima sesuatu amal dari seseorang, melainkan dia
mengerjakan shalat.”
Bersabda Nabi SAW:
permulaan amalan yang diperiksa dari amalan seseorang hamba pada
hari kiamat, ialah: shalatnya. Diperhatikan benar-benar shalatnya. Maka
jika betul urusan shalatnya, mendapat kemenanganlah dia. Jika tidak
betul urusan shalatnya, rugi dan sia-sialah urusannya. (H.R. alThabarany dari Anas r.a., al-Targhib l: 210).
Orang
yang
memudah-mudahkan
shalat,
mengenteng-
entengkannya, berarti memudah-mudahkan dan mengenteng-entengkan
63
Islam. Peruntungan seorang manusia dalam Islam adalah menurut
peruntungan yang mereka peroleh dari shalat: kegemaran mereka kepada
Islam, adalah menurut kegemaran mereka kepada shalat.
3. Tidak ada iman tanpa shalat
Seseorang yang mengaku bahwa dirinya beriman tapi tdak
mengerjakan sholat maka keimanannya tersebut tidak dibenarkan oleh
syara‟. Karena seseorang yang berimana akan senantiasa mengerjakan
segala perintah Allah swt termasuk shalat karena shalat merupakan tolak
ukur kepribadian seseorang jika shalatnya benar tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan perbuatan baik lainnya.115
Dalam hal mematuhi ketentuan-ketentuan-Nya, kita sering kali
lupa bahwa ketentuan-ketentuan-Nya adalah sarana mendekatkan diri
kepada-Nya. Ia juga bisa menjadi media pemeliharaan diri kepada-Nya. Ia
juga bisa menjadi media pemeliharaan diri dari dosa dan pelanggaran
sekaligus prasyarat bagi lahirnya kemaslahatan pribadi dan masyarakat.
Ketentuan-ketentuan itu memiliki bentuk formal yang tidak boleh
diabaikan, tetapi pada saat yang sama memiliki substansi yang harus
selalu menyertainya. Tanpa substansi itu, maka pelaksanaan perintah-Nya
tidak memberi bekas di dalam jiwa. Shalat, misalnya, dalam pandangan
hukum agama Islam adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tetapi ia juga memiliki
substansi yang bila diabaikan, maka pelakunya terancam dengan
kecelakaan.
115
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Sholat ( Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 45.
64
Substansi Sholat adalah perwujudan makna kelemahan manusia dan
kebutuhannya kepada Allah. Subtansi itu juga menggambarkan keagungan
dan kebesaran-Nya, yang jika bisa bergabung dalam jiwa manusia, ia
memeroleh kekuatan yang bersumber dari-Nya. Kalau subtansi shalat seperti
itu adanya, wajarlah manusia bermuka dua ketika melakukannya? Mereka
yang berbuat demikian berarti tidak menghayati arti shalatnya dan lalai dari
tujuannya.
Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah
serta mendambakan bantuan-Nya karena sholat berarti do‟a kalau demikian
wajarkah yang butuh ini, menolak membantu sesamanya yang butuh, apalagi
jika dia memiliki kemampuan? Tidakkah dia mengukur dirinya dan
kebutuhannya kepada Tuhan? Jika dia enggan memberi pertolongan, maka
pada hakikatnya dia tidak menghayati arti dan tujuan shalat, seperti yang
diuraikan di atas.116
Berdasarkan
redaksinya,
perintah
shalat
selalu
menggunakan
ungkapan “dirikan atau tegakkan (aqîmu)”, sehingga menurut Sayyid Quthb
maknanya jelas “Hanya shalat yang ditegakkan dengan benar yang akan
mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, karena shalat
itu merupakan hubungan dengan Allah yang di dalamnya orang akan malu
jika ia membawa dosa-dosa besar dan perbuatan keji ketika ia berhadapan
dengan Allah SWT”.
116
padahal,
shalat
itu merupakan
ritual untuk
M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi: al-Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat, h. 25-26.
65
membersihkan diri
dan menyucikannya sehingga tidak sesuai dan
bertentangan dengan kotoran perilaku keji dan kemungkaran.117
Kalau kita memerhatikan perintah shalat dalam al-Qur‟ân, kita akan
menemukan bahwa perintah shalat selalu dimulai dengan kata aqimu (kecuali
dua ayat, atau bahkan Cuma satu ayat). Kata aqîmu biasa diterjemahkan
dengan “mendirikan”, meskipun sebenarnya terjemahan tersebut tidak tepat.
Karena, seperti kata mufasir al-Qurthubiy dalam tafsirnya, aqîmu bukan
terambil dari kata qâma yang berarti “berdiri”, tetapi kata itu berarti
“bersinambung
dan
sempurna”.
Sehingga
perintah
tersebut
berarti
“melaksanakannya dengan baik, khusyuk dan bersinambung sesuai dengan
syarat rukun dan sunnahnya”.118
Kalau demikian, banyak yang shalat, tapi tidak melaksanakannya.
Yang shalat dengan sempurna rukun, syarat, dan sunnahnya pun tidak sedikit
yang tidak menghayati arti dan tujuan shalatnya. Celakalah orang-orang yang
shalat, tetapi lalai akan (makna) shalat mereka, yakni mereka yang riya‟ dan
menghalangi pemberian bantuan (Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 4-7).119
Menurut Ibnu Katsir Shalat yang benar adalah harus menghasilkan dua
hal: meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, serta membangun komunikasi
“zikir” yang berkesinambungan dengan Allah SWT seperti yang tertuang
dalam pernyataan ayat secara berurutan. Abul Aliyah mengemukakan bahwa
dalam shalat yang benar terangkum tiga karakter: keikhlasan yang menyuruh
117
Atabik Luthfi. Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian
Hati ( Jakarta: Gema Insani, 2009), h. 125.
118
M. Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan , 2008), h. 132.
119
M. Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan, h. 132.
66
berbuat yang ma‟ruf, kekhusyuan, dan ketundukan yang menuntut untuk
menghindari perbuatan yang mungkar, serta zikrullah yang mengharuskan
mengikuti aturan-Nya dalam perintah dan larangan.120
Demikian makna sosial yang diisyaratkan dari ayat di atas yang secara
korelasi memiliki hubungan dengan surah Hûd ayat 87.

             
    

          
Mereka (kaum Syu‟aib) berkata, „Apakah shalatmu menyuruh kamu agar
kami meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami dan apa
yang kami perbuat dengan harta kami sesuka hati kami. (Q.S. Hûd ayat 87).
Ternyata shalat yang selalu mewarnai kehidupan Nabi Syu‟aib A.S.
itulah yang menjadi motivasi dia untuk menegakkan amar ma‟ruf dan nahi
mungkar ditengah-tengah kaumnya.
Sungguh satu penegasan sekaligus peringatan Allah SWT bagaimana
seluruh ibadah yang diperintahkan-Nya turut memberi warna dan nilai yang
luhur dalam kehidupan sehari-hari. Sa‟id Hawwa menyimpulkan bahwa
semua ibadah yang diperintahkan seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya
merupakan obat penyembuh dan suplemen makanan yang layak dijadikan
bekal yang mendasar bagi seorang mukmin. Bekal ini harus menjadi prinsip
dalam kehidupannya agar bisa hidup sesuai dengan aturan Allah SWT, karena
hanya dengan aturan Allah-lah kehidupan ini akan terasa nyaman, indah,
damai, dan membawa kebahagiaan bagi semua pihak.121
120
Atabik Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian
Hati, h. 125-126.
121
Atabik Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian
Hati, h. 125-126.
67
Rasulullah SAW bersabda: “Menyebut seseorang yang tidak mampu
menjaga perilaku sosialnya sebagai seorang yang muflis yang akan
dijerumuskan ke dalam neraka, meskipun ia shalat, puasa dan berzakat.” (HR
Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).
Sudah saatnya shalat kita yang sudah berlangsung berpuluh-puluh
tahun lamanya, kita beranjak dari dimensi ritual teoretis menuju dimensi
sosial aplikatif yang memberi kebaikan bagi semua. Saatnya menjadikan
shalat sebagai solusi efektif dalam menghadapi berbagai problematika sosial.
Saatnya menjadikan shalat sebagai upaya menegakkan amar ma‟ruf dan nahi
mungkar sehingga terbangun keseimbangan antara mutu internal shalat
dengan dampak eksternalnya. Inilah makna sosial dari ayat, “ … dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji
dan mungkar.”122
Sholat merupakan suatu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh
ummat islam Allah swt menyebut bahwasannya setelah keimanan kita kepada
yang ghaib kita diperintahkan untuk melaksanakan sholat begitu pentingnya
shalat sehingga perintah sholat dicantumkan setelah perintah beriman kepada
yang ghaib. Sholat merupakan suatu syarat diterimanya iman dan amal, karena
dengan melaksanakan sholat berarti kita telah beriman kepada Allah dengan
demikian kita akan melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah dan menjauhi larangannya serta merasa takut apabila melakukan
perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Sebanyak apapun amal yang telah
diperbuat apabila sholatnya rusak maka amal tersebut tidak diterima oleh
122
125-126.
Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati, h.
68
Allah karena ketika sholat sudah benar maka iman dan amalpun akan benar
pula. Keimanan seseorang dapat terlihat dari sholatnya jika beriman tapi tidak
melaksanakan sholat maka orang tersebut tidak dikatakan beriman karena
tidak ada iman tanpa sholat karena iman bukan hanya diartikan sebagai
pembenaran dalam hati akan tetapi lebih jauh diartikan sebagai melaksanakan
segala yang diperintahkan oleh Allah swt. Banyak yang melaksanakan sholat
akan tetapi tidak mengetahui subtansi sholatnya, mereka tidak memahami apa
yang diperintahkan oleh Allah ketika melihat orang yang sedang
membutuhkan pertolongan
mereka tidak perduli karena mereka hanya
sekedar mengerjakan sholatnya saja akan tetapi tidak mengerti apa subtansi
sholat tersebut Sudah saatnya sholat memberikan dampak positif bagi sosial
dengan perduli terhadap sesama dan dengan demikian sempurnalah keimanan
seseorang karena bukan saja melaksanakan sholat akan tetapi mengetahui
subtansinya dan melaksanakannya.
E. Tolong-menolong
Secara umum, al-Qur‟ân memerintahkan kepada manusia untuk saling
bekerja sama dan tolong menolong dalam mengatasi masalah-masalah sosial
dalam kehidupan masyarakat. Firman Allah dalam sûrah al-Mâ‟idah [5]: 2.
                
.     
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
(Q.S. al-Mâ‟idah ayat 2.)
69
Ayat ini dapat dipahami sebagai perintah kepada semua orang Islam
dalam kehidupan setiap saat, yaitu supaya dalam perilaku sehari-hari, selalu
bekerja sama.123 dan tolong menolong dalam hal kebaikan.124 Termasuk
melaksanakan tanggung jawab dalam mengatasi masalah-masalah sosial di
masyarakat, karena permasalahan sosial sering terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Orang islam diminta peduli kepada orang lain, dengan cara
memberikan atensi atau perhatian, dan solusi, yaitu penyelesaian terhadap
problem di masyarakat, seperti memberikan bantuan yang diperlukan, atau
menyampaikannya kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
penyelesaian masalah tersebut, ataupun memberikan pemikiran tentang jalan
dan cara-cara menyelesaikan masalah sosial tersebut.125
Ayat ini juga melarang umat islam untuk tolong menolong dalam hal
kejelekan, yang bukan hanya tidak membantu penyelesaian masalah sosial
tersebut tetapi bahkan menciptakan dan menambah masalah sosial baru
dimasyarakat. Oleh karena itu tolong menolong harus selalu dipupuk dengan
baik dalam kehidupan masyarakat luas agar terjalin hubungan yang harmonis
antar sesama masyarakat.126
Tolong menolong dalam persaudaraan harus menjadi sifat seorang
mukmin dalam hidup bermasyarakat juga diisyaratkan dalam Q.S. al-Taubah
[9]: 71.
123
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial (Jakarta:
Departemen Agama, 2008), h. 142.
124
UII, al-Qur‟ân dan Tafsîrnya, vol. XXX (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), h.
203.
125
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial, h. 143.
126
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial, h. 143.
70
 
       
    
       
    
.          
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. al-Taubah [9]: 71).
Kalimat yang secara langsung mengisyaratkan bahwa sesama orang
beriman tolong menolong adalah ‫بعضهم اولياء بعض‬, ini berbeda dengan redaksi
yang digunakan ayat 67 sûrah yang sama, ketika menyifati orang munafik
yang menggunakan redaksi ‫( بعضهم من بعض‬sebagian mereka dari sebagaian
yang lain). Perbedaan ini menurut al-Biqâi untuk mengisyaratkan bahwa kaum
mukmin tidak saling menyempurnakan dalam keimananya, karena setiap
orang di antara mereka telah mantap imannya, atas dalil-dalil pasti yang kuat,
bukan berdasar taklid.127
Pendapat yang sedikit berbeda disampaikan oleh Sayyid Qutub yang
menyatakan bahwa walaupun tabiat sifat munafik sama dan sumber ucapan
dan perbuatan itu sama, yaitu ketiadaan iman, kerusakan moral dan lain-lain,
tetapi persamaan itu tidak mencapai tingkat yang menjadikan mereka auliyâ‟.
Untuk mencapai tingkat auliyâ‟ dibutuhkan keberanian, tolong menolong serta
biaya dan tanggung jawab.128
127
Ali Nurdin, Quranic Society (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 277.
Ali Nurdin, Quranic Society, h. 277.
128
71
Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa: orang-orang yang
beriman satu sama lain wajib tolong menolong: masing-masing mereka
menyuruh ma‟ruf, mencegah mungkar, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, menta‟ati Allah dan RasulNya.129
Memberikan pertolongan kepada orang lain merupakan perintah Allah
SWT dan dianjurkan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda :
Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia,
niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang
siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Allah akan
memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. barang siapa menutup aib
seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah
akan menolong seorang hamba, selama hamba itu senantiasa menolong
saudaranya. ( HR. Muslim).
Dari hadis di atas sudah jelas bahwasannya sebagai makhluk sosial
harus saling tolong- menolong terhadap sesama karena niscaya Allah pun
akan menolong kepada siapa saja yang menolong saudaranya yang
membutuhkan.
Allah SWT tidak menyukai terhadap orang yang banyak harta tetapi
kikir dan enggan menolong orang yang kekurangan. Padahal Allah sendiri
sangat pemurah menolong siapa saja dan memberikan rizki kepada siapa saja.
Tetapi mengapa manusia begitu kikir terhadap sesamanya sementara rizki
129
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Sholat, h. 39-45.
72
yang ada padanya hanyalah titipan Allah yang didalamnya terdapat hak orang
miskin dan anak yatim. Karena Allah bersifat pemurah, maka Dia mencintai
orang yang suka membantu orang lain. Rasulullah SWT dalam satu sabdanya
menerangkan bahwa orang yang pemurah dekat dengan Allah, dekat dengan
manusia dan dekat pula dengan surga sebaliknya,orang kikir jauh dari Allah,
jauh dari manusia dan jauh pula dari surga. Oleh sebab itu, Allah mencela
orang yang banyak harta tetapi enggan membantu orang yang memerlukan
pertolongan. Maka, orang yang tidak mau mengulurkan tangan untuk
membantu orang lain, baik dengan harta, tenaga maupun pikirannya termasuk
mendustakan agama.130
Dalam al-Qur‟ân, orang berjiwa pemurah dipandang sebagai manusia
yang berbahagia dalam hidup. Orang demikian adalah orang yang ringan
dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Apabila ada seseorang
yang ringan memberi pertolongan, bukan dikarenakan ia memiliki banyak
harta, tetapi hal tersebut telah menjadi karakternya yang khas. Orang demikian
adalah orang yang tidak dikuasai atau didominasi rasa kikir yang pada
hakikatnya menyusahkan dirinya. Siapa pun tidak disebut pemurah jika jiwa
dan perilakunya masih didominasi sifat kikir. Penolong dan kikir merupakan
dua hal yang bertolak belakang.131
Dalam al-Qur‟ân kaitan ini, tampaknya al-Qur‟ân memandang bahwa
sifat pemurah merupakan sifat yang harus ditumbuh kembangkan, sehingga
manfaatnya dapat dirasakan, yaitu dengan menghilangkan sifat kikir. Sifat
130
T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz „amm,
h. 132-133.
131
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni (Jakarta: Amzah, 2011), h. 136.
73
kikir dalam diri manusia merupakan penyakit jiwa yang tidak sehat. Ia harus
dieliminasi dari jiwa manusia, agar pergaulan hidup berjalan normal dan
harmonis. Kebencian dan kecemburuan akan muncul, justru diarahkan kepada
mereka yang berjiwa kikir.132
Oleh karena itu, Allah mengarahkan agar manusia menghilangkan sifat
kikirnya dengan melatih diri bersifat pemurah, yakni dengan membayar zakat,
berinfak, dan bersedekah. Jika baru sebatas membayar zakat, itu belum
pemurah. Akan tetapi, jika telah sering berinfak atau bersedekah, baru dapat
dikatakan tanda-tanda pemurah. Allah SWT berfirman :
   
  
   
Siapa yang dijaga jiwanya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang
yang beruntung. (QS. al-Hasyr [59]: 9 ).
Di lain tempat Allah berfirman:
 
  
    
  
   
Dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah
orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-Taghabun [64]: 19).
Dua kali Allah menegaskan demikian dalam al-Qur‟ân. Hal ini berarti
penting dipahami bahwa orang penolong yang jiwanya telah dijaga dari sifat
kikir (yang merupakan tabiat aslinya), akan muncul menjadi orang yang
beruntung dalam hidup. Dalam realitas hidup, mereka yang banyak dan besar
infak dan sedekahnya, semakin makmur dan sejahtera hidupnya. Allah SWT
yang membuatnya demikian, karena Dia telah menyatakan :
132
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni , h. 136.
74
        
   
    
  
      
        
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2] : 261).
Dari ayat tersebut al-Qur‟ân menyebutkan dengan mantap menjamin
orang yang pemurah, bahwa ia akan berubah menjadi orang yang beruntung.
Nabi SAW juga menjelaskan.133
Bahwa orang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dari
manusia, dan jauh dari neraka sedangkan orang kikir jauh dari Allah, dari
surga, dari manusia, dan dekat dengan neraka. (H.R. Tirmidzy).
Singkatnya, pemurah itu dekat dengan manusia, sedangkan orang kikir
justru sebaliknya. Pada realitasnya, orang pemurah disenangi masyarakat
karena kemurahannya, sedangkan orang yang kikir dibenci dan dijauhi
masyarakat karena kekikirannya. Tidak hanya itu, bahkan Allah SWT sangat
senang kepada orang dermawan. Sebaliknya, Dia benci kepada orang yang
kikir. Oleh karena itu dikatakan, orang pemurah dekat ke surga, sedangkan
orang kikir dekat ke neraka. 134
133
134
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni , h. 136.
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni, h. 137-138.
75
Sikap murah hati dan kedermawanan dikenal dengan istilah itsâr yang
secara harfiah berarti mengutamakan orang lain. Itsâr, seperti diutarakan
Imam al-Ghazali pada kitab Ihya „Ulûm al-Dîn, berarti kesediaan seseorang
untuk
mendermakan
hartanya
di
jalan
Allah,
meski
ia
sendiri
membutuhkannya.135
Dalam al-Qur‟ân, Allah SWT. memuji orang-orang yang memiliki
sikap dermawan. Firman Allah:
         
      
.  
  
Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. (Q.S. al-Hasyr
[59]: 9)
Itsâr merupakan salah satu bentuk dari kualitas moral (akhlâq alkarîmah) yang sangat tinggi, yang menuntut bukan saja kepedulian, tetapi
juga pengorbanan. Karena itu, menurut Suhrawardi dalam Awarif al-Ma‟rif,
seorang tak mungkin memiliki sifat itu, kecuali yang bersangkutan memiliki
dua sifat berikut ini.
Pertama, ia memiliki hati dan jiwa yang bersih serta keluhuran budi
pekerti. Kedua, ia berpendapat bahwa segala yang ada di muka bumi,
termasuk harta kekayaan yang dimiliki adalah milik Allah SWT. semata.
Untuk itu, ia akan memandang harta kekayaan sebagai titipan tuhan (amanah)
135
Ilyas Ismail, Pilar-pilar Takwa Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan Spiritual
( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), h. 129.
76
yang harus diteruskan dan disampaikan kepada yang lebih berhak
menerimanya. 136
Harta harus dimanfa‟atkan bagi kepentingan umum dan dipergunakan
untuk mengatasi berbagai krisis, melalui pengeluaran zakat, saling menolong
dan menukar kemanfaatan. Inilah sikap terhadap materi menurut pandangan
Syari‟at Islam. Semua harta dari dan milik Allah. Harta harus bermanfaat bagi
semua orang.137
Orang yang pemurah biasanya sangat disenangi masyarakat. Ini berarti
orang tersebut memiliki banyak kemungkinan untuk pengembangan aspekaspek kehidupannya, baik ekonomi, sosial, pergaulan, silaturrahmi, dan
sebagainya. Semua aspek itu akan semakin berkembang ke arah yang semakin
maju yang lebih menguntungkan dirinya.138
Islam mewajibkan kepada para hartawan agar mereka mendistribusikan sebagian kekayaannya kepada fakir miskin
        
     
.
    
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. al-Taubah [9]: 103).
Harta yang kita distribusikan, selain untuk membersihkan harta dari
ketidakhalalan cara-cara meraihnya, juga berdimensi sosial, yakni berderma
136
Ilyas Ismail, Pilar-pilar Takwa Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan
Spiritual, h. 129.
137
Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qurânul Karîm Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan
Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 348-358.
138
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni, h. 137-139.
77
untuk fakir miskin sehingga harta benda itu tidak hanya berputar di kalangan
hartawan. Setiap kekayaan yang kita miliki, harus kita keluarkan zakatnya,
kita dermakan kepada mereka yang kekurangan sehingga harta kita bersih dan
orang yang kekurangan pun ikut terpenuhi kebutuhan hidupnya.139
Memberi kepada orang lain sesungguhnya membuat diri sendiri
menerima sesuatu yang sering jauh lebih besar dan berharga dari yang
diberikan. Tak ada orang yang jatuh miskin karena memberi, dan tak ada
orang yang kehilangan senyum bahagia karena memberi senyuman kepada
sesama. Mari berderma dengan apa saja yang kita punya.140
139
Hasyim Muzadi, Radikalisme Hancurkan Islam (Jakarta: Center for Moderate Muslim
(CMM), 2005), h.107-108.
140
Komaruddin Hidayat, Agama punya seribu Nyawa, h. 105.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas pada judul “Nilai Sosial Dalam Sûrah alMâ’ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim” penulis berkesimpulan,
bahwa nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah tersebut diantara lain:
1.
Pentingnya memahami agama dengan benar
memahami agama dengan benar akan memberikan kebaikan untuk diri
sendiri dan orang lain disekitarnya.
2.
Pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim
ketidakadaan orang tua maka tidak ada lagi pelindung untuk mereka,
oleh karena itu mereka memerlukan penanganan dan pengelolaan seperti
menanggung biaya kehidupannya serta pendidikannya, menjaga hartanya
dan mengelolanya dengan baik dan mengasuhnya dalam pola asuh
sistem keluarga atau pola asuh sistem panti asuhan.
3. Menyantuni fakir miskin
fakir miskin adalah bagian dari kelompok masyarakat yang sangat
dicintai oleh Rasulullah saw. Maka sudah semestinya kita sebagai
ummatnya harus mencintai dan menyantuni mereka.
4.
Shalat parameter keimanan yang mendalam
shalat merupakan parameter keimanan seseorang jika shalatnya dapat
membawa dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dan dapat
78
79
memberikan kebaikan terhadap orang lain maka benarlah shalatnya jika
tidak maka sia-sialah shalatnya.
5. Tolong-menolong
tolong-menolong harus menjadi sifat seorang mukmin dalam hidup
bermasyarakat. Al-Qur‟ân memerintahkan kepada manusia untuk saling
tolong-menolong dalam mengatasi masalah-masalah sosial dalam
kehidupan masyarakat seperti halnya perkara anak yatim dan fakir
miskin,
mengingat
mereka
sangat
membutuhan
perhatian
dan
penanganan dari masyarakat karena kecilnya dan ketidakmampuannya
dalam menjalankan kehidupan.
B. Saran-saran
1. Penelitian ini masih sangat perlu untuk dilanjutkan dan dikembangkan
lebih luas lagi dengan menggali lagi ayat-ayat al-Qur‟ân yang
mengandung
nilai-nilai
sosial
kemasyarakatan
dengan
harapan
menyadarkan kepada khalayak bahwa keperdulian terhadap sesama
haruslah selalu tertanam dalam setiap jiwa manusia.
2. Penulis sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya,
seyogyanya menjadikan karya kecil ini sebagai sarana introspeksi diri.
Siapa tahu kita tidak sadar jika nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah
al-mâ‟ûn ini belum direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
„Abduh, Syekh Muhammad. Tafsir Juz „Amma. Penerjemah Muhammad Bagir.
Bandung: Mizan, 1998.
„Abdulkarim, Haji „Abdulmalik. Tafsîr al- Azhar, Jilid XXX. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1982.
Abdullah, Muhammad Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006.
al-Khalafi, „Abdul „Azhim bin Badawi. al-Wajiz: Ensiklopedi Fiqih Islam dalam
âl-Qur‟ân dan al-Sunnah al-Shahih, terjm, Ma‟ruf Abdul Jalil Jakarta:
Pustaka as-Sunnah, 2006.
al-marâgî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâgî, Jilid XXX. Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 1993.
Astuti, Robitoh Widi. “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân: studi atas sûrah alMâ‟ûn.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009.
Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan
Kaum Dhuafâ‟. Jakarta: Departemen Agama, 2009.
Departemen Agama. Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung Jawab Sosial. Jakarta:
Departemen Agama, 2009.
Ghafur, Abdul Waryono. Tafsîr Sosial .Yogyakarta: Elsaq, 2005.
Hidayat, Komaruddin. Agama punya seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books, 2012.
Ibrâhîm, „Isa Alî al-Sayyid. hadis-hadis dan atsar yang berkaitan dengan
Keutamaan sûrah-sûrah al-Qur‟ân. Jakarta: Sahara, 2010.
Imani, Allamah Kamal Faqih . Tafsir Nûrul Qur‟ân: Sebuah Tafsîr Sederhana
Menuju Cahaya al-Qur‟ân, Jilid XX. Jakarta: al-Huda, 2006.
Ismail, Ilyas. pilar-pilar Takwa Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan
Spiritual. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Isnaini, Muhammad. Ensiklopedia Etika Islam Begini Semestinya Muslim
Berperilaku. Jakarta: Maghfirah, t.t.
Luthfi, Atabik. Tafsîr Tazkiyah Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan
Penyucian Hati. Jakarta: Gema Insani , 2009.
80
81
Makhluf, Muhammad Hasanain. Kamus al-Qur‟ân. Penerjemah Hery Noer Aly.
Bandung: Gema Risalah Press Bandung, 1987.
Maryati, Kun dan Suryawati, Juju. Sosiologi dan Antropologi untuk SMA dan MA
Kelas X kurikulum 2013. Jakarta: Erlangga, 2013.
Muin, Idianto. Sosiologi SMA/MA Jilid 1 untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2006
Muzadi, Hasyim. Radikalisme Hancurkan Islam. Jakarta: Center for Moderate
Muslim (CMM), 2005.
Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Jakarta: CeQD, 2007.
Nawawi, Syauqi Rif‟at. Kepribadian Qur‟âni, Jakarta: Amzah, 2011.
Noer, Jefry. Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Bermoral
Melalui Sholat yang Benar, Jakarta: Kencana, 2006.
Nurdin, Ali. Quranic Society. Jakarta: Erlangga, 2006.
PIC UIN Jakarta. Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: IAIN
Indonesian Social Equity Project, 2006.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1985.
Razak, Yusron. Sosilogi Sebuah Pengantar . Jakarta: Laboratorium Sosiologi
Agama, 2008.
Santoso, Budi. Kamus al-Qur‟ân : Tiga Bahasa Arab, Indonesia, Inggris Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2008.
Setiadi, M. Elly. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2006.
Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pedoman Sholat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Shiddieqy, T.M. Hasbi. al-Bayan: Tafsîr Penjelas al-Qur‟ânul Karîm. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2002.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur‟ân, jilid II. Jakarta: lentera Hati, 2011.
--------. al-Lubâb makna, tujuan, Dan Pelajaran dari Al-Fâtihah dan juz „Amma.
Jakarta: Lentera Hati, 2008.
--------. al-Qur‟ân dan Maknanya, Ciputat: Lentera Hati, 2010.
82
--------. Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama. Jakarta: Mizan, 1999.
--------. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan, 2008.
--------. Menabur Pesan Ilahi : al-Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan Mayarakat.
Jakarta: Lentera Hati, 2006.
--------. Tafsîr al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân, Ciputat:
Lentera Hati, 2000.
--------. wawasan al-Qur‟an: tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat,
Bandung: Mizan, 2007.
Salim Peter, dan Salim,Yenny. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Jakarta:
Modern English Press, 1995.
Syaltût, Mahmud. Tafsîr al-Qur‟ânul Karim pendekatan Syaltut Dalam Menggali
Esensi al-Qur‟ân. Diponegoro: Diponegoro, 1990.
Syihab, Umar. Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum
dalam al-Qur‟ân. Jakarta: Penamadani, 2005.
Teba, Sudirman. Nikmatnya Sholat. Ciputat: Irvan, t.t.
Thalhas, T.H. Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz
„amma. Jakarta: Bale Kajian Tafsîr al-Qur‟ân pase, 2001.
Ubaidah, Darwis Abu. Tafsîr al-Asas, Jilid XII. Jakarta: al-Kautsar, 2012.
UII, al-Qur‟ân dan Tafsîrnya, Jilid XXX. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990.
Yusuf, M. Yunan. Tafsir juz „Amma As-Siraju „L Wahhaj (Terang Cahaya Juz
„Amma), Jilid XXX. Jakarta: Penamadani, 2010.
Download