NILAI SOSIAL DALAM SÛRAH AL-MÂ’ÛN: PENAFSIRAN MODERN TENTANG ANAK YATIM SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh: MAGFIROH NIM 1110034000096 PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M NILAI SOSIAL DALAM SÛRAH AL-MÂ’ÛN: PENAFSIRAN MODERN TENTANG ANAK YATIM SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh: MAGFIROH NIM 1110034000096 Di bawah Bimbingan (Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A) NIP. 195507252000122001 PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S.Th.I) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN )Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 28 April 2014 Magfiroh ABSTRAK MAGFIROH,“NILAI SOSIAL DALAM SÛRAH AL-MÂ’ÛN: PENAFSIRAN MODERN TENTANG ANAK YATIM.” Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Al-Qur‟ân mempunyai perhatian khusus terhadap anak yatim. Perhatian terhadap anak yatim ini tampak didalam al-Qur‟ân sûrah al-Ma‟ûn. mereka yang tidak memperhatikan anak yatim di golongkan sebagai pendusta agama. Anak yatim ialah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum baligh dan hidup dalam keadaan sendirian tanpa pelindung yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidupnya. Nilai Sosial adalah kualitas perilaku, pikiran, dan karakter yang dianggap masyarakat baik dan benar, hasilnya diinginkan, dan layak ditiru oleh orang lain. Konteks Modern yaitu penafsiran Modern mulai dari tahun 1297 sampai tahun 2014 seperti Mahmud Syaltût tahun1297, Ahmad Mustafâ alMarâgî tahun 1881 dan Syaikh Muhammad „Abduh tahun 1849, mereka merupakan para mufasir modern Timur Tengah dan ada pun para mufasir modern Indonesia yaitu Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah tahun 1908, M. Quraish Shihab tahun 1944. Metodologi penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research), dimulai dengan mengumpulkan data dan informasi dari berbagai buku-buku dan materi pustaka lainnya. Dalam menulis penelitian ini digunakan metode tafsir tematik yaitu berusaha mencari jawaban al-Qur‟ân tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang dimaksud, termasuk dari munasabah sûrah, asbab an-Nuzul sûrah dan berdasarkan pendapat riwayat. Dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode Deskriptif-Analisis, yaitu mendeskripsikan nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah al-Mâ‟ûn dan menganalisa penafsiran dari berbagai mufassir, tentang sûrah al-Mâ‟ûn, kemudian di ambil suatu kesimpulan dengan pemahaman yang komprehensif. Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQD, 2007.” Penulis berkesimpulan bahwa nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah alMâ‟ûn yaitu pertama: Pentingnya memahami agama dengan benar, kedua: Pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim, ketiga: Menyantuni fakir miskin keempat: Sholat parameter keimanan yang mendalam, kelima: Tolongmenolong. i KATA PENGANTAR Al-hamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam, ungkapan dan ucapan rasa syukur atas terselesaikannya skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kehadirat Nabi tercinta, sang pelita kegelapan Muhammad SAW yang dengan petunjuknya telah menghantarkan manusia menuju jalan yang diridhoi Allah SWT. Proses penyelesaian skripsi ini memakan waktu yang cukup lama berbagai macam kendala telah penulis hadapi baik yang bersifat internal maupun eksternal, bahkan tak jarang penulis juga merasa jenuh dan hampir putus asa. Namun berkat campur tangan Allah melalui bantuan berbagai macam pihak baik berupa dorongan, paksaan, dan sindiran akhirnya penulis bisa mempersembahkan buah karya ilmiah ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Dengan penuh rasa rendah hati izinkanlah penulis berucap terima kasih kepada : 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., Ketua Jurusan Tafsir Hadis Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Jauhar Azizy, M.A. yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam melengkapi persyaratan administrasi selama penyusunan skripsi ini. ii 2. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA., selaku pembimbing skripsi yang selalu memberikan didikannya kepada penulis, bersabar memberikan ilmu dan bimbingan selama penulis di bawah bimbingannya. Dan juga melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru, sehingga penulis ada gairah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah menambah ilmu pengetahuan selama menempuh pendidikan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seluruh guru yang telah mengajarkan Ilmu kepada penulis, semoga Rahmat Allah senantiasa bersama beliau. 4. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FU UIN Syarif Hidayatullah serta Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) Jakarta. 5. Orang tua tersayang ayahanda Bakri (alm), ibunda Sa‟adah (almh), teriring rasa ta‟dzim penulis haturkan terima kasih atas semua pengorbanan yang telah diberikan. Tak ada yang bisa penulis berikan, hanya doa semoga Allah SWT mengampuni segala dosa mereka, jadikanlah kuburan mereka taman selayaknya taman-taman surga-Mu, jauhkan mereka dari siksa dan adzbMu ya Allah serta tempatkanlah mereka selalu di surga-Mu. 6. Seluruh pengurus yayasan yatim piatu Daarunnas yang telah mengasuh dan membimbing dengan sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan dan meraih pendidikan Perguruan Tinggi yang telah dicita-citakan semenjak kecil. 7. Kepada kakak-kakakku tercinta kakak Amamah, kakak Oman, kakak Suwirat beserta suami kakak Hasanuddin yang selalu memberi semangat, dorongan, paksaan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. iii Khususnya buat kakak Oman dan kakak Amamah yang telah memberikan sumbangsih besar buat penulis. 8. Teman-teman THC angkatan 2010. Khoirunnisa, Ernik Sulistiawati, Afwan al-Mutha‟ali, Januri, Shalahuddin al-Faruqi dan semua teman-teman yang tidak bisa penulis cantumkan satu persatu terimakasih torehan memori yang telah kalian ukir, semoga persahabatan yang kita ukir bukan tetesan embun yang mudah hilang. 9. Teman-teman HMB (Himpunan Mahasiswa Banten) yang dengan gaya khasnya memberikan support dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi semoga persahabatan yang telah terjalin akan tetap terjaga. 10. Terakhir pada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga amal baik kalian diterima dan dibalas Allah SWT. teriring ucapan jazakumullah khairan katsiran. Seberapa maksimal pun penulis mengerjakan skripsi ini tentu tak akan luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari mereka yang sudi membaca skripsi ini amat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga karya yang kecil ini bisa bermanfaat bagi semua. Ciputat, 10 April 2014 Penulis Magfiroh iv DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................................ i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................. 6 C. Pembatasan Masalah ................................................................ 6 D. Perumusan Masalah ................................................................. 6 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 7 F. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 8 G. Metodologi Penelitian .............................................................. 10 H. Sistematika Penulisan .............................................................. 11 BAB II PENGERTIAN SEPUTAR SÛRAH AL-MÂ’ÛN .................... 12 A. Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting ................................. 14 B. Tafsir ........................................................................................ 14 1. Asbab an-Nuzul .................................................................. 15 2. Munasabah ......................................................................... 17 3. Gambaran Umum ............................................................... 19 4. Tafsir .................................................................................. 19 a. Mendustakan agama ..................................................... 20 b. Menghardik anak yatim................................................ 20 v c. Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin .... 21 d. Kecelakaan bagi orang-orang yang shalat.................... 21 e. Lalai terhadap shalatnya ............................................... 21 f. Riya .............................................................................. 22 g. Enggan memberikan bantuan ....................................... 22 5. Terma yatim ....................................................................... 35 BAB III NILAI DALAM AL-QUR’ÂN .................................................... 36 A. Nilai .......................................................................................... 37 B. Hubungan nilai dan pesan al-Qur‟ân........................................ 47 BAB IV NILAI-NILAI SOSIAL SÛRAH AL-MÂ’ÛN ........................... 48 A. Pentingnya memahami agama dengan benar ........................... 54 B. Pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim .............. 57 C. Menyantuni fakir miskin .......................................................... 59 D. Shalat parameter keimanan yang mendalam ........................... 68 E. Tolong menolong ..................................................................... 77 BAB V PENUTUP .................................................................................... 78 A. Kesimpulan .............................................................................. 79 B. Saran ........................................................................................ 79 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 82 vi PEDOMAN TRANSLITERASI Pedoman transliterasi huruf Arab latin dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada buku panduan penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim penulis CeQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan Tahun 2007. Konsonan Huruf Arab Huruf Latin Keterangan ا a tidak dilambangkan ب b be ت t te ث ts te dan es ج j je ح h h dengan garis bawah خ kh ka dan ha د d de ذ dz de dan zet ر r er ز z zet س s es ش sy es dan ye ص s es dengan garis bawah ض d de dengan garis bawah vii ط t te dengan garis bawah ظ z zet dengan garis bawah ع „ koma terbalik keatas, menghadap kekanan غ gh ge dan ha ف f f ق q ki ك k ka ل l el م m em ن n en و w ye ه h a ء , apostrof ﻱ y ye Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut : TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan a Fathah i Kasrah u Dammah viii Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut : TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan _______ ai a dan i _______ au a dan u Vokal Panjang(Madd) Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut : TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan ـــــﺄ â a dengan topi diatas ـــــﻲ î i dengan topi diatas ــــــﻮ û u dengan topi diatas Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijal bukan ar-rijal, al-diwan bukan ad-diwan. Syaddah (Tashdid). Syaddah atau tasydid yang dalam sistem bahasa tulisan arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata ix sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al-darurah”, demikian seterusnya. Ta Marbutah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh : No 1 Kata Arab AlihAksara tarîqah 2 al-jâmi‟ah al-islâmiyyah 3 Wahdat al-wujud Huruf kapital Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : al-Syâtibî bukan Asy-Syatibi. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‟ân merupakan kitab suci yang memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus, memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh. al-Qur‟ân turun dengan membawa segala kebenaran.1 al-Qur‟ân juga sebagai pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Agar fungsi tersebut dapat terealisasikan oleh manusia, maka alQur‟ân datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, aturanaturan, prinsip-prinsip, dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang terperinci, yang eksplisit maupun yang implisit, dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan. Ironisnya, tanpa kita sadari al-Qur‟ân bersama ayat-ayatnya seringkali lebih kita jadikan sebagai hiasan dinding belaka dan menjadi lembaranlembaran tidak bermakna. Padahal di hadapan kita banyak sekali problem yang sudah mengarah pada titik akut dan membutuhkan penyelesain yang bersifat segera. al-Qur‟ân yang menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-nâs) menjadi kabur bersama arogansi manusia. Agama dan seperangkat doktrin sucinya diturunkan hanya untuk kemaslahatan manusia. Artinya, transformasi dan aktualisasi nilai-nilai dalam 1 Q.S. al-Isrâ‟ [17]: 9 dan 105. 1 2 beribadah menuntut kesalehan ritual dan mengamalkannya dalam bentuk kesalehan yang aktual, yaitu bentuk kesalehan yang selain menumbuhsuburkan iman dan takwa, juga sebagai penyemai benih-benih tenggang rasa yang akan melahirkan kesetiakawanan dengan misi utama tegaknya wahdah al-aqîdah dengan pendekatan sistem kemasyarakatan pada wahdah al-gâyah (persamaan tujuan) yang selanjutnya akan melahirkan wahdah al-syu‟ûr (persamaan rasa). Individu dalam komunitas sosial seperti ini akan lebih banyak memberi manfaat dari pada menuntut dan menghujat, lebih banyak berkorban dari pada menerima pertolongan orang lain, lebih banyak menebar kebajikan dari pada menebar fitnah dan permusuhan.2 Agama sebagai jalan hidup manusia tentunya harus mampu memenuhi kebutuhan, baik yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual. Itu artinya disamping mengajarkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, agama juga dituntut mengajari manusia bagaimana cara melakukan hubungan dengan Allah SWT. hubungan dengan Allah SWT inilah yang disebut dengan sisi batin agama atau spiritualitas agama.3 Di dalam Islam, manusia adalah sentral sasaran ajarannya, baik hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antar sesama manusia, dan antar manusia dengan alam. Yang paling komplek adalah hubungan nomor dua, yaitu hubungan antar sesama manusia. Untuk itu, Islam mengajarkan konsep-konsep mengenai kedudukan, hak dan kewajiban, serta tanggung 2 Robitoh Widi Astuti, “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân: studi atas sûrah alMâ‟ûn,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, h. 1-2. 3 Jefry Noer, Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Bermoral Melalui Shalat yang Benar (Jakarta: Kencana, 2006), h. 155-156. 3 jawab manusia. Apa yang dilakukan oleh manusia bukan saja mempunyai nilai dan konsekuensi di dunia, namun juga sekaligus di akhirat kelak.4 Untuk menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhannya, manusia dituntut untuk dapat benar-benar memahami dan menjiwai makna dari pengabdiannya. Suatu pengabdian yang dibangun bukan atas dasar sekedar rasa takut akan siksaan, sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi pengabdian yang dibangun atas dasar kebutuhan manusia akan “kehadiran” Allah dalam hatinya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah orang yang saleh secara ritual-spiritual (dimensi vertikal) benar-benar dapat memaknai arti dari ibadahnya, ataukah hanya sekedar ibadah fisik yang tanpa makna?. Dan apakah kesalehan ritual tersebut juga diiringi dengan kesalehan sosial (dimensi horizontal), sehingga terketuk rasa prihatinnya terhadap umat yang patut mendapat uluran tangan?. Jika tidak, maka ada yang salah dalam memahami ajaran agama.5 Akan tetapi, itulah realita yang terjadi dalam kehidupan kita. Ketidak pedulian terhadap sesama sering kita temukan dalam kehidupan masyarakat, acuh terhadap problematika kehidupan yang dialami kaum lemah khususnya anak yatim yang sangat membutuhkan perhatian, mengingat mereka sebagai generasi penerus bangsa mempunyai posisi yang strategis dalam estafet perjuangan da‟wah Islam dan perjuangan bangsa, keberadaannya merupakan aset yang tidak dapat diabaikan begitu saja. 4 A. Qodry Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam; Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 160. 5 Astuti, “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân: studi atas sûrah al-Mâ‟ûn”, h. 3. 4 Ketidak perdulian terhadap kaum lemah masih sangat melekat oleh sebagian orang, mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, enggan untuk mendonasikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan, mereka lupa bahwasannya setiap harta yang dimilikinya merupakan titipan sementara dari Allah SWT dan dari harta tersebut terdapat hak-hak fakir miskin. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan interaksi sosial dengan manusia lain. Interaksi sosial bukan saja hanya dengan menjalin hubungan kemasyarakatan lebih dari itu diperlukan untuk saling perduli terhadap sesama, saling membantu, tidak segan untuk menolong dan menolong orang lain tidak melihat dari strata sosialnya. Dalam al-Qur‟ân pun ditegaskan bahwa kita diharuskan untuk saling tolong menolong terhadap sesama namun dinamikanya berbeda masih banyak orang-orang yang mengabaikan perintah tersebut. Sebagaimana diimpikan oleh banyak orang bahwa untuk menanggapi persoalan umat, sudah saatnya al-Qur‟ân dan al-Sunnah dijadikan sebagai jawaban atas persoalan umat, al-Qur‟ân sejak semula menegaskan bahwa perlunya pembinaan kualitas manusia di kalangan umat Islam melalui kreativitas berfikir dan berkarya secara Qur‟ani. Penataan kualitas umat tentu saja harus dimulai dari kualitas diri yang unggul (insân kâmil),yakni keterpaduan antara iman, ilmu, dan amal. Beriman tidaklah identik dengan pengucapan bentuk rutinisme keagamaan yang tidak mempunyai pantulan dalam kehidupan masyarakat. 6 6 Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟ân (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 41. 5 Demikian pula amal saleh tidak identik dengan bentuk lahiriah keagamaan semata, tetapi seberapa jauh amal itu dapat mengarahkan pelakunya ke dalam kecenderungan individu yang selalu baik dan benar dalam segala tindakan sosialnya sehari-hari, terutama demi mencapai tujuan-tujuan sosial.7 Tindakan menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, lalai terhadap shalatnya, riya, enggan memberikan bantuan merupakan sifat-sifat rendah yang tengah dibahas dalam sûrah pendek Sûrah al-Mâ‟ûn ini merupakan tanda-tanda kekufuran dan kesia-siaan pada siapapun yang memilikinya. Semua sifat atau karekteristik itu merupakan cabang dari penolakan pada (kebenaran) hari akhirat yakni Hari Pembalasan atau Perhitungan. 8 Sûrah Mâ‟ûn ini diawali dengan kalimat Tanya untuk menarik perhatian pembacanya. Kemudian Allah sendiri yang menjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Tujuannya ialah agar pembaca benar-benar memperhatikan dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Biasanya setiap ayat yang didahului dengan pertanyaan mengandung nilai yang sangat penting untuk segera dipahami dan sekaligus diamalkan.9 Pada akhirnya, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji alQur‟ân sûrah al-Mâ‟ûn guna untuk menggalih nilai-nilai yang terkandung 7 Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟ân, h. 42. 8 Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsîr Nûrul Qur‟ân: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur‟ân, vol. XX ( Jakarta: al-Huda, 2006), h. 355. 9 T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz „amma (Jakarta: Bale Kajian Tafsîr al-Qur‟ân, 2001), h. 131. 6 dalam sûrah tersebut agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Penulis akan membahasnya dengan lebih dalam dan mendetail. B. Identifikasi Masalah 1. Apa makna mendustakan agama? 2. Sejauhmana perlakuan yang dianggap meninggalkan anak yatim? 3. Apa batasan tidak menggalakkan pemberian kepada fakir miskin? 4. Apa kaitan riya dengan shalat? 5. Apa nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-Mâ‟ûn? C. Pembatasan Masalah Dari sekian banyak masalah yang dipaparkan karena keterbatasan penulis dalam pengalaman menulis disamping keterbatasan waktu maka penulis membatasi pembahasan skripsi ini pada masalah yang terakhir yaitu apa saja nilai-nilai sosial yang bisa digali dari sûrah al-Mâ‟ûn? D. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah skripsi ini adalah “Nilai Sosial dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim”? E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mempunyai beberapa tujuan terkait pengambilan tema “Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim”,yaitu: 7 1. Di tengah hedonisme kehidupan masyarakat lewat karya ini semoga dapat menjadi alat penggugah kesadaran antar sesama manusia untuk menanamkan sifat kepedulian sosial dengan memperhatikan nasib kaum lemah khususnya anak yatim 2. Manfaatnya untuk menambah Khazanah keilmuan yang ada di Fakultas Ushuluddin, khususnya dalam bidang Tafsir Hadis 3. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan jenjang strata I (S I) di jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Tinjauan Pustaka Mengenai tema ini sudah ada beberapa yang membahasnya. Berikut ini diantara para peneliti yang membahas kajian ini sejauh penulis ketahui, diataranya adalah: Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Robitoh Widi Astuti yang berjudul “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân” studi atas sûrah al-Mâ‟ûn” Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2009. Skripsi tersebut menjelaskan tentang pengertian pendusta agama dan perbuatan-perbuatan yang menjadi karakteristik pendusta agama. Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Nur Baiti yang berjudul “Ciri utama orang munafik menurut perspektif al-Qur‟ân sûrah al-Mâ‟ûn ayat 1-7 menurut Tafsîr fi Zhilal al-Qur‟ân” Jurusan Tafsir Hadis Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2003. Skripsi tersebut menjelaskan tentang ciri 8 orang munafik dalam sûrat al-Mâ‟ûn yaitu orang-orang yang tidak perduli terhadap anak yatim dan orang miskin padahal mereka mengetahui bahwasannya kita diperintahkan untuk berbuat baik terhadap mereka. Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Tosin yang berjudul “Pemeliharaan Anak Yatim dalam al-Qur‟ân” Jurusan Tafsir Hadis Syarif Hidayatullah Jakagrta Tahun 2006. Skripsi tersebut menjelaskan tentang ayatayat al-Qur‟an yang berkaitan tentang Pemeliharaan anak yatim dan penulis hanya membahas tentang jaminan bagi orang yang mengasuh anak yatim, larangan memakan harta anak yatim, dan hak wali atas harta anak yatim. Adapun dalam penelitian ini, buku dan skripsi tersebut yang membedakan dengan penelitian ini, penulis tidak menemukan pembahasan secara khusus tentang nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah alMâ‟ûn. Agar tidak terjadi duplikasi, penulis ingin mengungkapkan, menganalisa dan mengaplikasikan Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim G. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, penulis membagi 3 (tiga) bagian antara lain: 1. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu mengumpulkan data dan informasi dari berbagai buku-buku dan materi pustaka lainnya. Data yang diperlukan dalam penelitian ini ada dua sumber,yaitu primer dan sekunder. Sumber primer yaitu al-Qur‟ân dan terjemahnya pada Q.S. al-Mâ‟ûn [107]: 1-7. 9 Sedangkan sumber sekunder yaitu Tafsîr al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân,10 Tafsîr al-Azhar,11 Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: alQur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Duafâ‟,12 Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab sosial,13 Tafsîr al-Marâgî,14 Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj (Terang Cahaya Juz „Amma),15 Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân,16 buku Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial.17 dan buku lainnya yang berhubungan dengan pokok pembahasan. 2. Metode Pembahasan Penelitian ini dalam metode penafsiran, penulis menggunakan metode tafsir tematik yaitu berusaha mencari jawaban al-Qur‟ân tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang dimaksud, termasuk dari munasabah ayat, asbab al-Nuzul ayat dan berdasarkan pendapat riwayat dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode Deskriptif, analisis, yaitu mendeskripsikan tentang Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak 10 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.. 15 ( Jakarta : Lentera Hati, 2002). 11 Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah, Tafsîr al-Azhar, vol. XXX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). 12 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum dhu‟afâ‟ (Jakarta : Departemen Agama, 2008). 13 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggun jawab Sosial (Jakarta: Departemen Agama, 2008). 14 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986). 15 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, vol. XXX (Jakarta: Penamadani, 2010). 16 Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karim pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân (Diponegoro: Diponegoro, 1990). 17 PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: IAIN Indonesian Social Equity Project, 2006). 10 Yatim dan menganalisa penafsiran dari berbagai mufassir, tentang sûrah al-Mâ‟ûn, kemudian diambil suatu kesimpulan dengan pemahaman yang komprehensif dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. 3. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQD, 2007.18 H. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, Dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab Pertama; Pendahuluan, membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan Pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab Kedua; Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting, Mendiskusikan Asbab al-Nuzul, Munasabah, Gambaran umum, tafsir terdiri dari: mendustakan agama, menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, lalai terhadap shalatnya, riya, enggan memberikan bantuan, terma yatim. Bab Ketiga; nilai dalam al-Qur‟ân terdiri dari: nilai, hubungan nilai dengan pesan al-Qur‟ân. 18 Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQD, 2007. 11 Bab Keempat; nilai-nilai sosial surah al-Mâ‟ûn terdiri dari: pentingnya memahami agama dengan benar, pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim, menyantuni fakir miskin, shalat parameter keimanan yang mendalam, tolong-menolong. Bab Kelima; Penutup, menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini dan memberikan saran-saran praktis untuk kelanjutan penelitian ayat-ayat yatim. BAB II PENGERTIAN SEPUTAR SÛRAH AL-MÂ’ÛN A. Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting Al-Qur‟ân sûrah al- Mâ‟ûn [107]: 1-7 : Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Maka Itulah orang yang menghardik anak yatim. dan tidak mendorong memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. yang berbuat riya. dan enggan (memberikan) bantuan. (Q.S. al- Mâ‟ûn: 1-7). Kata ( ) يكذ بdi dalam Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 1 populer diartikan dengan “(orang) yang mendustakan agama”, atau dengan kata lain “pendusta agama”. Mendustakan secara bahasa berarti menganggap bohong.19 menyangkal adanya pembalasan karena mengingkari pembangkitan.20 mendustakan pahala dan siksa karena tidak menaati Allah.21 Kata يدعyadu‟-„u mengandung arti menghardik dengan rasa benci yang amat sangat. Sikap ini muncul dari orang-orang yang pembenci, sombong, kikir dan bakhil. Orang yang tidak mau sedikitpun mengasuh dan 19 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), h. 64. 20 Hasanain Muhammad Makhluf, Kamus al-Qur‟ân. Penerjemah Hery Noer Aly (Bandung: Gema Risalah Press Bandung, 1987), h. 400. 21 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, al-Bayân: Tafsîr Penjelas al-Qur‟ânul Karîm (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 1617. 12 13 memberi bantuan kepada anak yatim. Kalau ada anak yatim yang datang kepadanya, bukan saja tidak diperdulikan, tetapi juga diusir mentah-mentah.22 Kata ( ) اليتيمal-yatîm terambil dari kata يتمyutm yang berarti kesendirian atau dapat diartikan dengan anak yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat. Kematian ayah, bagi seorang yang belum dewasa, menjadikannya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian, sebatang kara, karena itu ia dinamai yatim.23 kata ( “ )يحضyahuddu” (menganjurkan) mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memilki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”..24 kata ) )مسكيهdiartikan dengan serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Maka yang disebut miskin adalah kelompok orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Oleh karena itu mereka harus diperhatikan dan ditolong bukan sebaliknya.25 Kata ) ) مصليهdapat diartikan dengan shalat yang tidak sempurna, tidak khusyu‟, tidak pula memperhatikan syarat dan rukun-rukunnya, atau tidak menghayati arti dan tujuan hakiki dari ibadah tersebut.26 22 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, vol. XXX, h. 779-780. 23 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol. 15, h. 547. 24 Shihab, Tafsîr al-Mishbah, h. 547. 25 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Dhuafâ‟, h. 46-47. 26 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol. 15, h. 549-550. 14 Kata ) ( ساهونdapat diartikan dengan orang-orang yang meninggalkan shalat, dan dapat diartikan dengan orang-orang yang bershalat yang tidak memahami dan memiliki apa rahasia ucapan dan perbuatan yang mereka lakukan itu.27 Kata ( )يزاءونyurâ‟ûn terambil dari kata ( )راىra‟â yang berarti melihat. Dari akar kata yang sama lahir kata riyâ‟ yakni melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tak ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya.28 kata الماعونdiartikan barang-barang kecil atau kebutuhan sehari-hari yang berguna.29 B. Tafsir 1. Asbab an-Nuzul Riwayat yang menyebutkan tentang latar belakang turun sûrah alMâ‟ûn yang mulia ini berkaitan dengan orang-orang munafik, seperti dalam riwayat berikut: Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Tharif bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu „Abbâs yaitu sehubungan dengan firman-Nya : “Maka neraka Weil lah bagi orang-orang yang shalat.” Ibnu „Abbâs telah menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik karena mereka selalu memamerkan shalat mereka di hadapan 27 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, al-Bayân: Tafsîr Penjelas al-Qur‟ânul Karîm (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 1617. 28 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishba: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol. 15, h. 550-551. 29 Budi santoso, Kamus al-Qur‟ân: Tiga Bahasa Arab, Indonesia, Inggris (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), h. 512. 15 orang-orang mukmin secara riya, sewaktu orang-orang mukmin berada di antara mereka. Tetapi jika orang-orang mukmin tidak ada, mereka meninggalkan shalat, juga mereka tidak mau memberikan pinjaman barang-barang miliknya kepada orang-orang mukmin.30 2. Munasabah antar sûrah: Dalam kandungan sûrah Quraisy kita dapatkan perintah untuk ikhlas beribadah kepada Allah SWT yang telah mendirikan ka‟bah sebagai simbol pemersatu arah sholat. Yaitu tuhan yang disembah itu adalah Allah yang memberi makan orang-orang yang lapar dan memberi mereka perasaan aman dan damai bukan seperti tuhan-tuhan berhala yang mereka sembah yang tidak bisa memberi manfaat maupun mudharat bagi penyembahnya dalam sûrah al- Mâ‟ûn Allah memberi stigma kepada orang-orang yang tidak peduli kepada anak yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin karena mereka hanya mengerjakan sholat mengharapkan pujian hingga mereka diancam api neraka wail.31 Dan ada pula yang menyebutkan bahwa munasabahnya yakni : Anak-anak yatim dan faqir miskin adalah bagian dari kelompok masyarakat yang sangat dicintai oleh Rasulullah SWT, bahkan dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa beliau (Rasulullah) sangat dekat dengan mereka. Perhatian terhadap mereka sangat diutamakan, sebagaimana tersebut dalam sebuah ayat : 30 M. Yunan Yusuf, Tafsîr Juz „Amma as-Siraju‟l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, vol. XXX, h. 777. 31 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 433. 16 Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu. (Q.S. al-Baqarah: 220). Shalat adalah ibadah yang paling utama yang diperintahkan dalam syari‟at Islam. Dengan melaksanakannya secara baik dan benar akan menimbulkan pengaruh positif yang sangat besar dalam aspek kehidupan. Di akhirat pun merupakan amaliah yang paling pertama memperoleh penilaian dan menjadi parameter semua amal perbuatan. Agar kita bisa memahami nilainilai yang terkandung di dalam shalat sehingga timbul implikasi positif, hendaknya kita mengkaji wahyu Allah di dalam al-Qur‟ân. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al- Qur‟ân) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Ankabût : 45). Sebaliknya essensi shalat yang sebenarnya tidak akan tercapai bilamana kita enggan mempelajari dan mendalami wahyu Allah dalam alQur‟ân. Sebagaimana digambarkan karakter orang-orang munafik yang melaksanakan shalat dalam keadaan terpaksa dan mengharap pujian dari manusia. 17 Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (Q.S. alNisâ‟: 142).32 3. Gambaran Umum Nama surah al-mâ‟ûn tidak tunggal, tetapi sangat beragam. Ada yang menamainya sûrah ini dengan sûrah al-Dîn, sûrah al-Takdzîb, surah al-Yatîm, sûrah Ara‟aita, sûrah Ara‟aita alladzî, dan yang paling populer adalah sûrah al-mâ‟ûn.33 Nama sûrah al-mâ‟ûn ini diambil dari kata al-mâ‟ûn yang terdapat pada ayat ke 7 yang berarti barang-barang yang berguna.34 Sûrah ini menurut mayoritas ulama adalah sûrah Makiyyah.35 Sebagian menyatakan Madaniyyah, dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai dengan ayat ketiga turun di Mekkah dan sisanya di Madinah. Ini dengan alasan bahwa yang dikecam oleh ayat keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang baru dikenal keberadaannya setelah hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah.36 Sûrah al-Mâ‟ûn diturunan kepada Nabi Muhammad SAW Ketika beliau masih bertempat tinggal di Mekkah. Demikian pendapat banyak ulama. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa awal sûrah ini turun di Mekkah, 32 T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz „amma, h. 134-135. 33 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol. 15 ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 543. 34 Darwis Abu Ubaidah, Tafsîr al-Asâs, vol. 12 (Jakarta: al-Kautsar, 2012), h. 408. 35 Surah Makiyyah adalah wahyu yang diturunkan sebelum hijrah, meskipun itu turunnya di Makkah ataupun Madinah. 36 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol. 15, h. 543. 18 sebelum Nabi saw. Berhijrah, sedangkan akhirnya yang berbicara tentang mereka yang riya (tidak ikhlas) dalam shalatnya turun di Madinah.37 Jumlah ayat sûrah ini menurut Ibnu Abbas, ada 7, jumlah katanya ada 25 dan jumlah hurufnya ada 111 huruf.38 Dan ada juga yang mengatakan bahwa jumlah ayatnya ada 7.39 Dan jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan mayoritas ulama sebanyak 6 ayat.40 Penulis tidak menemukan alasan-alasan kenapa sûrah al-Mâ‟ûn dihitung tujuh ayat atau enam ayat. Sehingga bila ada yang bersikukuh bahwa ayat di dalam sûrah al-Mâ‟ûn ini berjumlah enam, maka tidak harus dianggap melawan al-Qur‟ân. Dan bagi yang menyatakan tujuh ayat, tidak harus dianggap mengada-ada. Yang terbaik adalah saling menghormati, karena alQur‟ân sendiri tidak pernah menyatakan soal jumlah ayat di dalam sûrah alMâ‟ûn ini. Urgensi Mengetahui Sûrah al-Mâ’ûn 1. Kecaman yang sangat keras ditujukan kepada orang-orang yang dikatakan mendustakan agama. Yakni orang-orang yang tidak perduli terhadap kehidupan anak yatim dan orang-orang miskin. Anak yatim dan orangorang miskin karena mereka adalah anggota masyarakat yang harus mendapat santunan bantuan agar mereka bisa merasakan adanya ukhuwah islamiyah walaupun mereka adalah bagian dari masyaraka lemah dengan 37 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol. 15, h. 543. 38 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, vol. XXX (Jakarta: Penamadani, 2010), h. 777. 39 Ibrâhîm Alî as-Sayyid Alî „Isa, hadis-hadis dan atsar yang berkaitan dengan Keutamaan sûrah-sûrah al-Qur‟ân (Jakarta: Sahara 2010), h. 427. 40 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.. 15, h. 544. 19 ukhuwah yang kuat kegiatan tatanan masyarakat berjalan secara berkeadilan dan sejahtera.41 2. sûrah ini mengandung ajakan supaya sholat dimana Syarat pokok dan tanda utama dari pemenuhan hakikat shalat adalah keikhlasan melakukannya demi karena Allah yang dimana maknanya tali kasih sayang kepada sesama makhluk sehingga merasakan kebutuhan kaum lemah yang membutuhkan dengan demikian ibadah ritual harus menghasilkan dampak sosial. Lupa dalam shalat yang menyangkut kegiatan formalnya seperti bilangan rakaat, atau bacaannya, dapat ditoleransi, tetapi lengah terhadap substansinya akan mengundang murka Allah.42 4. Tafsir a. Mendustakan agama Kata al-dîn dalam Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 1 sangat populer diartikan dengan agama, tetapi dapat juga berarti pembalasan. Kemudian jika makna kedua ini dikaitkan dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya itu tidak menghasilkan apa-apa, maka berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan. Sikap yang demikian merupakan pengingkaran serta pendustaan al-dîn. Bukankah yang percaya dan meyakini bahwa kalaulah 41 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, vol. XXX, h.786-787. 42 M. Quraish Shihab, al-Lubâb makna, tujuan, Dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan juz „Amma (Jakarta: Lentera Hati , 2008), h. 307. 20 bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, namun yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di akhirat kelak.43 b. Menghardik anak yatim Menurut Muhammad „Abduh, bahwa “yadu‟u al-yatîm”, menghardik anak yatim yakni mengusir anak yatim, atau mengeluarkan ucapan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu yang diperlukan semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan tiadanya orang tua yang mampu membelanya dan memenuhi keperluannya. Juga terdorong oleh kesombongannya karena menganggap dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, maka ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap yang memerlukan pertolongan.44 c. Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin Orang yang tidak mau mengajak orang supaya memberi makan orang miskin adalah orang yang termasuk mendustakan agama. Karena dia mengaku menyembah Tuhan, padahal hamba Tuhan tidak diberinya pertolongan dan tidak diperdulikannya. Dengan ayat ini jelaslah bahwa sesama manusia 43 harus saling ajak- mengajak supaya menolong anak M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol. 15, h. 546. 44 Syaikh Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm (juz „Amma), h. 330-331. 21 yatim dan fakir miskin itu menjadi perasaan bersama, menjadi budipekerti yang umum. d. Kecelakaan bagi orang-orang yang shalat Orang-orang yang shalat, yang secara lahiriah melaksanakan gerakan dan ucapan yang mereka namakan “shalat”. Sementara mereka tetap lalai akan shalat mereka. Yakni, hati mereka lalai akan apa yang mereka baca dan mereka kerjakan.45 e. Lalai terhadap shalatnya Orang yang melalaikan shalat adalah orang yang mengerjakan shalat, akan tetapi hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.46 f. Riya Orang yang bersifat riya kadang-kadang dia bermuka manis kepada anak yatim. Kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang-kadang kelihatan dia khusyu‟ sembahyang tetapi semuanya itu dikerjakannya karen riya. Yaitu karena ingin dilihat, dijadikan reklame. Karena ingin dipuji orang. Hidupnya penuh dengan kebohongan dan kepalsuan.47 g. Enggan memberikan bantuan Melarang orang berbuat kebajikan karena tidak tergerak sedikitpun hatinya untuk membantu orang lain, untuk meringankan kesulitan orang 45 Syaikh Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm (juz „Amma), h. 333. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟an al-Karim Tafsir atas Surah-surah pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 622. 47 Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah, Tafsîr al- Azhar, vol. XXX, h. 282. 46 22 lain. Dia menghalang-halangi kalau ada orang yang akan melakukan pertolongan tersebut. Dengan berbagai cara dan dalih dia berusaha agar pertolongan dan bantuan tidak terjadi. Dalam hatinya hanya ada kebencian terhadap orang-orang yang lemah dan melarat.48 5. Terma Yatim Kata yatîm jamaknya aitâm atau yatâmâ dalam al-Qur‟ân disebut sebanyak 23 kali. Dalam bentuk mufrad sebanyak 8 kali, musannâ 2 kali, dan bentuk jamak sebanyak 14 kali.49 Anak yatim adalah anak yang tidak mempunyai ayah. Anak yang tidak mempunyai ayah adalah symbol dari kelemahan, karena tidak ada lagi yang memberinya nafkah, tidak ada lagi yang mendidiknya dan tidak ada tempat hidupnya bergantung. Inilah bentuk pertama dari orang-orang yang lemah.50 Ada dua persoalan penting yang dihadapi oleh anak-anak yatim yakni dimensi psikologis dan dimensi ekonomis. Secara psikologis, anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan orang tua, bapak dan ibu, yang memberikan perlindungan, rasa aman, cinta dan kasih sayang. Sementara secara ekonomis, anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan orang tua yang memberikan nafkah untuk kelangsungan hidup, kesehatan dan pendidikan. Anak-anak yatim dari kalangan kaum dhu‟afâ kehilangan duaduanya sekaligus, kehilangan dimensi psikologis maupun dimensi ekonomis. 48 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, vol. XXX. h. 781. 49 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Dhuafâ‟, h. 219. 50 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, vol. XXX, h. 779. 23 Sementara anak-anak yatim dari kalangan aghniyâ, yakni orang-orang berkecukupan secara materi, hanya kehilangan dimensi psikologis saja sedangkan dari segi ekonomis, mereka memiliki kekayaan peninggalan orang tua yang dapat menopang kehidupan selanjutnya. bagaimana al-Qur‟ân menegaskan keharusan orang beriman untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yatim berkenaan dengan diri, kehormatan, harta dan hakhak mereka, kelangsungan pendidikan mereka, serta masalah-masalah sosial yang muncul karena mereka kehilangan orang tua, sebelum mereka mencapai usia dewasa.51 Dalam permasalahan anak yatim. al-Qur‟ân mempunyai perhatian khusus terhadap anak yatim, karena kecilnya dan ketidakmampuannya untuk menjalankan kemaslahatan yang menjamin kebaikan hidupnya di masa depan. Dengan perhatian ini, umat dapat menghindarkan kejahatan bahaya yang mengepung mereka, yaitu mereka tidak mengecap pendidikan karena kehilangan orang tua yang mengasuh, mendidik dan memeliharanya.52 Perhatian ini tampak di dalam al-Qur‟ân semenjak tenggang waktu pertama wahyu dimulai, hingga tenggang waktu terakhir, yaitu ketika wahyu hampir selesai dan sempurna. Tampak di dalam salah satu sûrah, ketika wahyu turun kembali kepada Rasulullah saw. Setelah sekian lama Rasul menanti turunnya wahyu itu, sehingga terbetik di dalam hatinya bahwa Allah telah meninggalkan dan membiarkan beliau. Kemudian turunlah wahyu kepada beliau untuk menjelaskan, bahwa Allah memperhatikan dan tidak 51 PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial, h. 130. Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qurânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 349. 52 24 meninggalkannya atau membiarkannya. Wahyu segera memantapkan keadaan itu di dalam diri beliau dan mengingatkannya akan perhatian Allah terhadapnya, sebelum masa kenabian, yaitu sewaktu beliau seorang yatim piatu yang sangat membutuhkan kasih sayang dan perlindungan:53 Sebagaimana dalam firamn-Nya: Bukankah Dia mendapatimu sebagai melindungimu. (Q.S. al-Dluha [93]: 6). seorang yatim, lalu Dia Dengan demikain, sejak dini wahyu telah memberikan perasaan ke dalam hati beliau, bahwa pahitnya keyatiman yang beliau rasakan hendaknya menjadi pendorong kepada beliau untuk memberikan kasih sayang kepada anak yatim, memandangnya dengan mata kasih sayang dan melindungi serta memuliakannya. Beliau diminta untuk mensyukuri nikmat yang dilimpahkan oleh Allah kepada beliau, ketika Dia mendapatinya sebagai seorang yatim. lalu melindunginya. Nikmat semacam ini hendaknya beliau syukuri dengan memberikan kasih sayang kepada anak yatim, sebagaimana Allah telah memberikan nikmat kasih sayang kepada beliau ketika yatim.54 a. Beberapa Tuntunan al-Qur’ân menyangkut anak yatim Tuntunan al-Qur‟ân menyangkut anak yatim, dari sisi waktu hadirnya tuntunan tersebut, dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah .55 53 Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qurânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 349. 54 Syaltût, Tafsîr al-Qurânul Karîm, h. 349. 55 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 182. 25 Perlu diketahui bahwa periode Mekkah adalah periode peletakan dasar tuntunan agama dan uraian menyangkut akidah, sedang periode Madinah lebih banyak merupakan penerapan syariat agama, karena itu uraian-uraian pada periode Mekkah sangat esensial dan sangat penting untuk diperhatikan.56 Ayat pertama yang Nabi saw. Terima dalam konteks uraian tentang anak-anak yatim dan yang merupakan wahyu kesepuluh yang beliau terima adalah firmannya-Nya dalam sûrah al-Fajr [89]: 17, yang mengecam mereka yang tidak memberi perhatian terhadap anak-anak yatim: . sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. Allah telah menganugerahi mereka dengan harta benda yang banyak, tetapi mereka tidak mau melakukan kewajiban menolong anak yatim dan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah terkena racun dunia.57 Setelah wahyu kesepuluh ini, wahyu tidak kunjung turun kepada Nabi saw. Namun, setelah selang beberapa waktu, wahyu kesebelas turun, yakni surah adh-Dhuha [93]: 9 yang merupakan tuntunan kedua yang berkaitan dengan anak-anak yatim. 56 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ân jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 182. 57 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX(Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 266. 26 . Bukankah Dia melindungimu? mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia Janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim dengan menindas dan menghinanya. Tetapi angkatlah dirinya dengan budi pekerti yang santun dan didiklah ia dengan akhlak mulia, agar ia menjadi anggota masyarakat yang baik dan bermanfaat. Sehingga ia tidak akan menjadi sampah masyarakat yang menularkan penyakit pada lingkungannya.58 Selanjutnya, wahyu ketiga yang dalam konteks anak yatim adalah firman-Nya dalam Q.S. al-Balad [90]: 11-16. . . . . . . Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. atau memberi Makan pada hari kelaparan,. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Pada ayat-ayat selanjutnya Allah menjelaskan bahwa seharusnya mereka bersyukur atas segala karunia tersebut. Kemudian memilih jalan yang baik dan lebih mengutamakan jalan yang bisa mengantarkannya kepada kebahagiaan. Dengan demikian mereka bisa memanfaatkan kelebihan karunia nikmat tersebut untuk membebaskan budak-budak belian, 58 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 329. 27 agar perbudakan bisa dihapuskan. Atau untuk menyantuni anak-anak yatim yang membutuhkan makanan dan pakaian karena ditinggal mati oleh orang tuanya. Atau memberi makan para fakir miskin yang tidak mampu lagi berusaha mencari sesuap nasi karena faktor ketuaan atau invalid.59 Wahyu berikut tentang anak yatim yang diterima Nabi saw. Di Mekkah adalah firman-Nya: (Q.S. al-An‟âm [6]: 152). . dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan peringatan serupa ditemukan dalam (Q.S. al-Isrâ‟ [17]: 34). dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. 59 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 286. 28 Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim apabila kamu mengelola urusannya atau bermuamalat dengannya, sekalipun dengan perantaraan wali atau orang yang menerima wasiat darinya, kecuali dengan perlakuan yang mengembangkannya, sebaik-baiknya serta lebih dalam memelihara mementingkan harta dan kemaslahatan dan membelanjakan harta itu untuk kepentingan pendidikan dan pengajarannya. Dengan itu diharapkan akan dapat memperbaiki kehidupannya di dunia maupun di akhirat.60 Ar-Arsyud, adalah masa seseorang mencapai pengalaman dan pengetahuan. Untuk mencapai masa balignya, ada dua batasan, minimal jika dia telah bermimpi keluar mani yang merupakan permulaan umur dewasa, ketika itu ia menjadi kuat, sehingga keluar dari keadaannya sebagai anak yatim, atau ia termasuk safih (tidak sempurna akal) atau da‟if (lemah). Maksimal, adalah umur empat puluh tahun. Namun yang dimaksud di sini ialah yang pertama. Yaitu batas minimal, sebagimana dikatakan oleh AsySya‟bi, Malik dan lainnya hal itu biasanya antara umur 15 sampai 18 tahun.61 larangan “mendekati” semacam ini hanya ada dalam larangan tentang harta anak yatim dan dalam wasiat larangan mengerjakan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Sedangkan selain dua masalah tersebut, larangan itu langsung ditujukan kepada perbuatan yang dimaksud, bahkan larangan menyekutukan Allah. Umpamanya: lâ tusyriku, 60 Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 329. 61 al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, h. 118. 29 lâ taqtulû aulâdakum, wa lâ taqtulû nafsal latî harramallâhu dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan tingkat perhatian Allah terhadap anak yatim dan perkaranya. menganiaya yatim setarap dengan melakukan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.62 Namun demikian Allah swt memberikan pengecualian, yaitu apabila untuk pemeliharaan harta itu diperlukan biaya, atau dengan maksud untuk mengembangkan dan memberdayakannya, maka diperbolehkan bagi orang yang mengurus anak yatim untuk mengambilnya sebagian dengan cara yang wajar. Oleh sebab itu, diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk mengurus harta anak yatim. Wali atau lembaga sangat diperlukan untuk mengurusi harta anak yatim dan hendaknya diawasi aktivitasnya oleh pemerintah, agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan terhadap harta anak yatim tersebut.63 Selanjutnya, sûrah al-Kahfi [18]: 82 berbicara tentang dua anak yatim yang dipelihara Allah harta peninggalan ayahnya, karena sang ayah merupakan orang saleh.64 62 Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 350. 63 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Dhuafâ‟, h. 227-228. 64 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ân jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 184. 30 Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". Perode Madinah. Tuntunan al-Qur‟ân dalam periode ini sangat rinci. Pada periode Madinah ditemukan juga penekanan tentang perlunya menjaga perasaan anak-anak yatim dan kaum lemah lainnya. Q.S. al-Nisâ‟ [4]: 8 . dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik Dalam periode ini juga turun tuntunan kepada para wali atau pengurus harta anak yatim agar mengembangkan harta siapa pun yang belum mampu mengurusnya, antara lain anak-anak yatim dan yang berada di tangan para wali atau pengurus itu. Q.S. al-Nisâ [4]: 5. . dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dari ayat ini dapat diketahui bahwa seluruh modal tidak boleh dibiarkan tetap membeku, tanpa bergerak atau berkembang. Sûrah ini 31 menuntut agar belanja anak yatim diambil dari hasil pengembangan hartanya, bukan dari harta itu sendiri. Harta-harta itu harus tetap ada. Segala keperluan anak yatim seperti pakain, makanan, pendidikan, pengobatan dan sebagainya dapat diambil dari keuntungan harta itu apabila harta tersebut diusahakan (diinvestasikan). Dan hendaklah mereka berkata lemah lembut penuh kasih sayang dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.65 Tuntunan lain menyangkut anak yatim ditemukan juga sebelum ayat diatas, yakni firman-Nya dalam Q.S al-Nisâ‟ [4]: 3. . dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Kadang-kadang sebagaian wali mengawini anak-anak yatim perempuan yang diurusnya dan halal untuk dia kawini, atau jika tidak halal dikawini olehnya, ia mengawinkan mereka dengan putra-putranya. Kedua jalan ini ia tempuh guna memakan harta mereka atau mahar yang mereka miliki dengan ikatan perkawinan. Tatkala ayat di atas diturunkan, para wali mendengar ancaman yang keras ini dan telinga mereka diketuk, bahwa 65 Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 357. 32 berbuat buruk terhadap harta anak yatim dan mencari-cari alasan untuk memakannya dengan cara-cara penipuan semacam ini adalah dosa besar, karena itu, selanjutnya mereka enggan mengawini anak-anak yatim perempuan, lantaran takut menerima akibat yang buruk.66 Ayat ini mengisyaratkan, bahwa jika mereka tidak menjamin untuk dapat berbuat adil dalam harta-harta anak-anak yatim perempuan, dalam mengelola hak mereka dengan baik dan dalam menyerahkan hak-hak mereka apabila mengawini mereka atau mengawinkan anak-anak mereka dengan anak-anak yatim itu setelah mengawinkan, maka hendaknya mereka meninggalkan perkawinan dengan anak-anak yatim. penghindaraan ini dimaksudkan untuk menjaga diri mereka dari terjatuh ke dalam lembah dosa yang besar ini.67 Dengan ayat ini, Allah tidak bermaksud menyempitkan manusia dalam perkara perkawinan, hingga kalian tidak mengawini anak-anak yatim perempuan yang kalian rasakan sulit, lantaran takut mempergauli mereka dengan buruk dan takut memakan harta-harta mereka. Mereka benar-benar mempunyai pintu yang sangat lebar untuk mengawini wanita-wanita yang kalian senangi.68 Dalam sûrah al-Nisâ‟ [4]: 10 Allah juga berfirman memberi peringatan kepada para pengelola harta anak yatim: 66 Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 354. 67 Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm, h. 354. 68 Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm, h. 354. 33 . Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Ayat ini mengandung ancaman kepada orang-orang yang memakan harta anak yatim. mengelola harta anak yatim diharuskan untuk menjaganya jangan sampai ada kecurangan. Kecurangan terhadap anak yatim itu berarti memakan api, memenuhi perut sendiri dengan api. Memakai harta anak yatim, dengan curang, akan membakar pula harta lain yang bukan harta anak yatim. Hidup dalam kecurangan akan selalu laksana terbakar, karena keluhan anak yang teraniyaya.69 Dalam ancaman pertama dikatakan, bahwa harta itu akan berupa api, yang mereka suap dan mereka makan, lalu masuk ke dalam perut mereka. Mereka akan berpakaian api. Yang masuk perut, ialah makanan ataupun pangan yang dibawa masuk ke api bernyala ialah badan sendiri, artinya sandang, pakaian. Mereka terlihat kaya dengan harta anak yatim yang diambilnya secara zalim, namun sebenarnya mereka telah terbakar dan menjadi hangus.70 Tersebutlah di dalam salah satu hadis rangkaian kisah Mi‟raj, bahwasannya Rasulullah saw. Melihat ada orang-orang yang disuruh memakan batu granit yang telah hangus merah berapi, lalu mereka makan, 69 70 Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah, Tafsîr al- Azhar, vol. XXX, h. 351-352. Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 352. 34 sehingga merintihlah mereka, sebab perut mereka telah hangus terbakar. Maka bertanyalah Rasulullah kepada jibril: “apa sebab, maka begini dahsyatnya siksaan yang mesti diterima oleh orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan zalim.71 Q.S. al-Baqarah [2]: 220 . tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Menurut riwayat Abu Daud, an-Nasa‟i, dan al-Hakim dari Ibnu Abas, karena telah banyak datang ayat-ayat peringatan tentang tata cara pemeliharaan anak yatim dan pengelolaan hartanya, sehingga memelihara anak yatim menjadi tidak menyenangkan bahkan menakutkan. Maka sahabat bertanya kepada Rasulullah, bagaimana sebaiknya memelihara, sebab memelihara mereka telah diperintahkan, sedang hartanya tidak boleh termakan dengan jalan yang zalim. Oleh sebab itu Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 220. Hendaklah memelihara mereka dengan sebaikbaiknya, sebab mereka adalah saudara mu saudara yang seiman dan bukankah orang yang beriman itu bersaudara? kalau memandang mereka 71 Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 352. 35 sebagai saudara sendiri, tentu kamu telah tahu bagaimana berlaku terhadap mereka dan harta mereka. Jika rasa persaudaraan sudah tertanam dalam hati maka penganiayaan terhadap anak yatim tidak akan terjadi. Jangan sampai makan mereka dipisahkan. Itu adalah merendahkan, bukan menggauli. Kalau ada anak yatim tinggal dirumah mu, pandanglah mereka sebagai anakmu, anak kandung dan anak yatim harus diperlakukan sama tidak boleh dibeda-bedakan semoga adanya anak yatim dalam rumahmu akan membawa rizki 72 72 Amrullah, Tafsîr al- Azhar, h. 250-251. BAB III NILAI DALAM AL-QUR’ÂN A. Nilai Dalam ilmu fiqh ukuran baligh jika sudah berusia 9 tahun untuk perempuan dan 15 tahun untuk laki-laki. Anak yatim yang ditinggal mati oleh orang tuanya ketika berusia 9 sampai 15 tahun menandakan masih kurang mampunya dalam menjalankan kemaslahatan hidup yang menjamin kebaikannya di masa yang akan datang. Pada saat ini usia 9 sampai 15 tahun masih sangat membutuhkan pengayoman karena ditemukan anak-anak yang masih berusia 9 sampai 15 tahun tidak stabil kejiwaanya, mereka belum bisa menjaga diri sendiri dan hartanya jika anak yatim tersebut di tinggalkan harta oleh kedua orang tuanya. Mazhab Hanafi mewajibkan wali menyerahkan harta pada umur dewasa dengan syarat cerdas, mampu dan pada umur 25 tahun walaupun dalam keadaan tidak cerdas.73 Dalam sosiologi, nilai didefinisikan sebagai konsepsi (pemikiran) abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk. Contohnya, orang menganggap menolong adalah perbuatan baik, sedangkan mencuri adalah perbuatan buruk. Dengan demikian, perbuatan saling menolong merupakan sesuatu yang bernilai dalam kehidupan masyarakat.74 73 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Dhuafâ‟, h. 231-232. 74 Kun Maryati dan Juju Suryawati, Sosiologi dan Antropologi untuk SMA dan MA Kelas X kurikulum 2013 (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 131-132. 36 37 Pendapat para ahli tentang pengertian nilai adalah sebagai berikut: Soerjono Soekanto mendefinisikan nilai sebagai konsepsi abstark dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk. B. Simanjuntak merumuskan nilai sebagai ide-ide masyarakat tentang sesuatu yang baik. Robert M.Z. Lawang mendefinisikan Nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, pantas, berharga, dan mempengaruhi perilaku sosial orang-orang yang memiliki nilai tersebut.75 Nilai erat hubungannya dengan manusia, baik dalam bidang etika yang mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan manusia sehari-hari, maupun bidang estetika yang berhubungan dengan persoalan keindahan, bahkan nilai masuk ketika manusia memahami agama dan keyakinan beragama. Oleh karena itu nilai berhubungan dengan sikap seseorang sebagai warga masyarakat, warga suatu bangsa, sebagai pemeluk suatu agama dan sebagai warga dunia.76 Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif yakni memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai. Kedua memandang nilai itu subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek 75 Maryati dan Suryawati, Sosiologi dan Antropologi untuk SMA dan MA Kelas X kurikulum 2013, h. 132. 76 Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2006), h. 111-112. 38 yang menilainya. Jadi nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai. Oleh karena itu nilai melekat dengan subjek penilai.77 B. Hubungan Nilai dan Pesan Al-Qur’ân Nilai adalah sesuatu yang diinginkan, pantas, berharga, dan mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Pesan al-Qur‟ân adalah perintah, nasehat, permintaan, amanat yang disampaikan melalui al-Qur‟ân itu sendiri. Pesan al-Qur‟an tidak terlepas dari suatu nilai karena setiap pesan al-Qur‟ân mempunyai nilai yang sangat penting, berharga dan diharapkan dapat segera dipahami, diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan pribadi dan berrmasyarakat. Pesan al-Qur‟ân mempunyai nilai yang sangat tinggi karena pesan tersebut berisi larangan dan anjuran demi kebaikan hidup manusia dan langsung Allah yang menyatakannya didalam al-Qur‟ân. Melalui pesan al-Qur‟ân seseorang akan mengetahui apa yang seharusnya dia lakukan dan tidak dia lakukan, jika seseorang mengamalkan pesan al-Qur‟ân yang terkandung didalamnya akan menimbulkan dampak positif bagi kehidupannya, karena pesan al-Qur‟an berisikan sesuatu yang sangat penting yang dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang dan dapat mengatur keseimbangan hidup manusia. Orang yang percaya terhadap pesan al-Qur‟ân ia akan lebih menghargai diri sendiri dan orang lain, menebarkan damai, mempunyai sifat kasih sayang terhadap sesama, tidak segan untuk menolong orang lain yang membutuhkan dan menghindarkan dari perbuatan yang tidak bernilai luhur. 77 Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2006), h. 112. 39 Al-Qur‟ân mampu mengubah pola pikir, sikap dan tingkah laku, baik individu maupun masyarakat, di mana pun berada. Dalam arti kata bahwa mulai dari jaman Nabi saw sampai sekarang. Al-Qur‟ân merupakan satusatunya alternatif untuk mengubah sikap dan pola pikir masyarakat.78 Pesan al-Qur’ân 1. Nilai Pesan al-Qur‟ân mempunyai nilai yang sangat penting untuk dijadikan gambaran kepada manusia tentang hal-hal yang semestinya untuk dilakukan dalam kehidupannya. Contoh nilai dalam al-Qur‟ân: . Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. al-Baqarah: 183).79 Kandungan ayat diatas adalah nilai dari diperintahkannya ibadah puasa yakni supaya bertakwa kepada Allah sang pencipta langit dan bumi. Dan dapat memberikan pelajaran bagi kaum hartawan akan pahitnya rasa lapar seperti yang dirasakan oleh kaum lemah, Dengan demikian diharapkan mereka mau untuk membantu kaum lemah yang sangat membutuhkan bantuan. 78 Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟ân, h. 41. 79 Q.S. al-Baqarah ayat 183. 40 Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al- Qur‟ân) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Ankabût: 45).80 Kandungan ayat diatas adalah nilai dari diperintahkannya ibadah shalat yakni seseorang dapat tercegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan dengan memahami subtansi shalatnya seseorang dapat memberikan kebaikan terhadap sesama yakni memberikan bantuan bagi yang membutuhkan. 2. Norma Norma adalah peraturan-peraturan yang dari situ manusia diharapkan mematuhinya dalam hubungannya dengan orang lain. Norma tidak hanya menyediakan petunjuk-petunjuk perilaku yang baik dalam situasi tertentu tetapi juga memberikan ekspektasi mengenai bagaimana orang lain akan merespon perilakunya.81 Contoh norma dalam al-Qur‟ân: . Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa 80 Q.S. al-Ankabût ayat 45. Yusron Razak, Sosilogi Sebuah Pengantar (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), h.144. 81 41 (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 188).82 Kandungan ayat diatas adalah norma atau aturan yakni dilarangnya memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syari‟at Islam. . Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil,Kendatipun ia adalah kerabat(mu),dan penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (Q.S. al-an‟am: 152).83 Kandungan ayat diatas adalah norma atau aturan yakni dilarangnya memakan harta orang anak yatim dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syari‟at Islam. . Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. al-Isrâ‟: 32).84 82 Q.S. Al-Baqarah ayat 188. Q.S. al-an‟am ayat 152 84 Q.S. al-Isrâ ayat 32 83 42 Kandungan ayat diatas adalah norma atau aturan yakni dilarangnya mendekati zina karena zina merupakan perbuatan yang keji. . . . Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan 43 menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Nisâ‟: 22-24).85 Kandungan ayat diatas adalah norma atau aturan yakni mengenai perkawinan. 3. Sistem Sistem adalah seperangkat atau pengaturan unsur yang saling berhubungan sehingga membentuk satu kesatuan.86 Contoh sistem dalam al-Qur‟ân: . . . . . . . . . . . Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan. dan gununggunung sebagai pasak?. dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh. dan Kami jadikan pelita yang Amat terang (matahari). dan Kami turunkan dari awan air yang banyak 85 Q.S. al-Nisâ‟ ayat 22 -24. Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1995), h. 1442. 86 44 tercurah. supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuhtumbuhan. dan kebun-kebun yang lebat?. (Q.S. al-Nabâ‟: 6-16).87 . Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.(Q.S. al-Baqarah: 178).88 . wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). (Q.S. Al-Nûr: 26).89 4. Konsep Konsep adalah gambaran mental suatu objek, proses, atau apapun yang berada di luar biasa, yang dulu digunakan oleh akal budi untuk memahami masalah-masalah lainnya.90 87 Q.S. al-Nabâ‟ ayat 6-16. Q.S. al-Baqarah ayat 178. 89 Q.S. Al-Nûr ayat 26. 90 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1995), h. 764. 88 45 Saat membaca al-Qur‟ân, kita seringkali menemukan berbagai konsep yang sudah kita kenal sebelumnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Konsepkonsep itu merupakan kunci bagi kita untuk memahami al-Qur‟an. Misalnya hikmah, kesabaran, kesetiaan, dan konsep berupa sifat-sifat Allah SWT. Contoh konsep dalam al-Qur‟ân: a. Konsep penciptaan Manusia didalam al-Qur‟ân . . . Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. al-Mu‟minûn: 12-14).91 b. Konsep penciptaan langit dan bumi didalam al-Qur‟ân . Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masingmasing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. al-A‟raf: 54).92 91 92 Q.S. al-Mu‟minûn ayat 12-14. Q.S. al-A‟raf ayat 54. 46 dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.(Q.S. Al-Anbiyâ‟: 33).93 Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. ingatlah Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. al-Zumar: 5).94 . Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. yang (berbuat) demikian Itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. (Q.S. Fathir: 13).95 . 93 Q.S. Al-Anbiyâ‟ ayat 33. Q.S. al-Zumar ayat 5. 95 Q.S. Fathir ayat 13. 94 . 47 . . dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S. Yâsin: 37-40).96 96 Q.S. Yâsin ayat 37-40. BAB IV NILAI-NILAI SOSIAL SURAH AL-MÂ’ÛN Nilai sosial adalah kualitas perilaku, pikiran, dan karakter yang dianggap masyarakat baik dan benar, hasilnya diinginkan, dan layak ditiru oleh orang lain.97 Nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-Mâ‟ûn ini merupakan perintah kepada setiap manusia untuk merealisasikannya dalam kehidupan. Dibawah ini akan dipaparkan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah alMâ‟ûn sebagai berikut: A. Pentingnya Memahami Agama dengan Benar Agama adalah hubungan pribadi antara seseorang dengan Tuhan yang diyakininya, termasuk dalam hubungan itu pandangan dan perasaannya terhadap yang Maha Kuasa lagi Maha Agung itu.98 Agama adalah hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan satu kekuatan Yang Maha Dahsyat, dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna, dan mendorong jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pengabdian itu dilakukan baik karena takut maupun karena berharap memperoleh kasih-Nya yang khusus, atau bisa juga karena dorongan kagum dan cinta.99 97 Idianto Muin, Sosiologi SMA/MA Jilid 1 untuk SMA/MA Kelas X (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 47. 98 M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama (Jakarta: Mizan, 1999), h. 242. 99 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: al-Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan Mayarakat, h. 22-23. 48 49 Ada dua pesan pokok agama yakni: Pertama, memberikan pesan dan ajaran agar seseorang memiliki visi dan makna hidup yang bersumber dari kesadaran iman. Kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sehingga apa pun yang kita perbuat selama di dunia ini mesti dipertanggungjawabkan kelak. Kedua, dengan pemahaman dan penghayatan agama, seseorang bisa tumbuh berkembang menjadi pribadi yang baik, senantiasa menebarkan damai dan manfaat bagi sesamanya. Rasulullah Muhammad Saw. Bersabda, “ sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak“ Dalam sabdanya yang lain dikatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya dan paling banyak memberi manfaat bagi sesamanya”.100 Hakikat pembenaran agama bukanlah ucapan dengan lidah, tetapi perubahan positif dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudaranya sesama manusia, terhadap mereka yang membutuhkan bantuan dan perlindungan. Allah menghendaki terhadap manusia dalam perkataan dan perbuatannya sejalan sebab kalau tidak, maka itu semua hampa, tidak berarti dan tidak dipandang-Nya.101 Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan mempunyai kewajiban untuk menyembah, kewajiban ini sesuai dengan tujuan al-Khaliq menciptakan manusia. Allah SWT berfirman: 100 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 83-84. 101 M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi: al-Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 27. 50 Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. al-dzâriyât (51): 56). Islam memandang bahwa manusia diciptakan Tuhan dilengkapi dengan kemampuan untuk mematuhi tata tertib kehidupan sebagai satu keseluruhan baik materil maupun spiritual. Jika seseorang mengonsentrasikan pada sisi hidupnya. Dia masih tetap berhubungan dengan pekerjaan untuk makanannya, untuk kepentingan masyarakat, dan anggota keluarganya. Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat kajian dan petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Mengajarkan kehidupan yang dinamis dan Menghargai akal pikiran manusia melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengutamakan waktu, persaudaraan, berakhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainnya. Namun kenyataan Islam sekarang menampilkan keadaan Islam yang jauh dari cita-cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam seperti shalat, puasa, dan zakat dilakukan hanya sebatas membayar kewajiban saja, buah dari ibadah tersebut tampak dalam kehidupan beragama di kalangan masyarakat sering terjadi kesalah pahaman dalam menghayati pesan simbol dari keagamaan. Akibatnya agama lebih dihayati sebagai pengalaman individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara umum. Selama ini meningkatnya jumlah orang mengunjungi tempat-tempat ibadah dan munculnya tokoh-tokoh 51 ulama dalam acara sosial agama, itu hanyalah indikasi permukaan dalam masyarakat. Hal ini menerangkan tentang perilaku keagamaan yang sesungguhnya, yaitu nilai-nilai keagamaan menjadi pertimbangan utama dalam berpikir maupun bertindak oleh individu dan sosial.102 Berbagai pendekatan dalam memahami agama dapat diungkapkan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya dan dapat mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu berupa sikap atau amal perbuatan yang mengacu pada arah kebijakan yang tidak merugikan satu dengan yang lainnya. Adapun pedekatan tersebut adalah pendekatan historis, pendekatan sosial budaya, pendekatan antropologi, dan pendekatan psikologi. 1. Berbagai pendekatan dalam memahami Agama a. Pendekatan Historis Pendekatan sejarah ini sangat penting dan dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang konkret dan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Melalui pendekatan sejarah ini seorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. b. Pendekatan Sosiologi Melalui pendekatan sosiologi agama dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. 102 M.Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Amzah , 2006), h. 57-58. 52 c. Pendekatan Teologis Normatif. Pendekatan teologis erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil prima dengan seperangkat cirinya yang khas. d. Pendekatan Antropologi Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan agama sangat akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia, berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. e. Pendekatan Psikologi Dengan pendekatan Psikologi atau ilmu jiwa ini seseorang mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan diamalkan seseorang. Dapat juga digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilmu ini agama dapat menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.103 103 M.Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, h. 58-70. 53 sebagian orang memahami petunjuk-petunjuk agama secara kaku walaupun itu berkaitan dengan bidang keduniaan dan kemasyarakatan. yaitu, misalnya, mereka mempertahankan teks ajaran dan makna-makna harfiahnya tanpa memerhatikan konteks sosial dan perkembangan masyarakat pada masa petunjuk itu disampaikan. Pola pikir semacam ini akan dapat menyulitkan umat. Bayangkan saja kalau kita kini hanya mempersiapkan panah beserta kuda-kuda yang ditambat untuk menghadapi musuh. Apa gerangan yang akan terjadi bila kita diserang? Jika demikian, kita harus memahami bahwa ada petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Yang diangkatnya sebagai contoh untuk masyarakat beliau lima belas abad yang lalu. Petunjuk semacam ini harus dipahami dalam konteksnya, kemudian disesuaikan dengan konteks kita masa kini, karena junjungan kita Muhammad saw. Tidak selalu berfungsi sebagai rasul. Tapi terkadang beliau berfungsi sebagai mufti yang menyampaikan putusan atau hakim yang memutuskan perkara. Pada saat yang lain, beliau adalah pemimpin yang menyesuaikan petunjuknya dengan kondisi masyarakatnya, bahkan beliau terkadang sebagai seorang manusia biasa yang memiliki keistimewaan, kecenderungan, serta kepentingan yang dapat berbeda dengan manusia-manusia lain. Memahami petunjuk-petunjuk beliau atas dasar pemilahan tersebut, menjadikan agama Islam benar-benar sesuai dengan waktu dan tempat.104 Yang perlu diperhatikan adalah bahwa hanya agamalah yang bisa membuat manusia menjadi orang beriman yang sebenarnya. Hanya agamalah 104 M. Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 2008), h. 47. 54 yang memungkinkannya mengatasi sifat mementingkan diri sendiri dan egoisme melalui keimanan dan ideologi, dan untuk menciptakan sejenis kesalehan dan keyakinan di dalam pribadi seseorang, yang dengannya mereka menerima sepenuhnya isu-isu kecil tentang ideologi mereka sekalipun. pada saat yang sama, seorang manusia akan memeluk keimanannya dengan sedemikian menghargai dan memuliakan sehingga hidup tanpanya akan menjadi sia-sia, ia akan memegangnya erat-erat dengan penuh semangat dan ketaatan. Keyakinan keagamaan menyebabkan pengaruh-pengaruh positif yang luar biasa, dipandang dari kemampuannya untuk menciptakan kebahagiaan dan kegembiraan atau memperbaiki hubungan-hubungan sosial, atau mengurangi, bahkan menghapuskan sama sekali kesulitan-kesulitan yang sebelumnya tak terhindarkan di dalam kehidupan.105 Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa pemahaman dan penghayatan terhadap agama dengan benar akan memberikan dampak terhadap pribadi yang baik dan memberikan manfaat kepada orang banyak. B. Pentingnya Penanganan dan Pengelolaan Anak Yatim Menyantuni anak yatim adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh seorang Muslim yang mengaku beriman kepada Allah, sebagai salah satu bentuk dan realisasi keimanan itu. Dan aturan-aturan dalam menyantuni anak yatim telah dijelaskan dengan tegas, mendetail, terarah 105 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci (Bandung: Mizam , 2007), h. 92-94. 55 hingga memberikan rambu-rambu untuk berhati-hati jangan sampai memakan harta anak yatim secara haram baik dalam ayat maupun dalam hadis Nabi saw. Para wali anak yatim sangat berperan dalam mengantar mereka, agar mereka menjadi anak-anak yang saleh, cerdas, berguna, dan bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, agama bangsa dan negaranya. Sesungguhnya Kebahagiaan yang terindah adalah ketika seseorang dapat membahagiakan saudaranya yaitu anak yatim. Anak yatim merupakan kelompok masyarakat yang lemah yang sangat membutuhkan penanganan dan pengelolaan dari orang-orang disekitarnya. Penanganan dan pengelolaan anak yatim dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Hendaklah orang-orang beriman memuliakan mereka dengan memberikan perlindungan kepada anak-anak yatim dari rasa takut, cemas, dan sedih karena kehilangan orang tua. 2. Menanggung biaya hidup mereka dengan sebaik-baiknya secara wajar, layak, dan sederhana sesuai dengan pola hidup yang berlaku pada masyarakatnya. 3. Menjamin kelangsungan pendidikan anak yatim dengan sebaik-baiknya sehingga mereka mendapat bekal pendidikan yang cukup untuk bisa hidup (skill life education) secara mandiri dan bermartabat. 4. Memposisikan anak-anak yatim sebagaimana anak sendiri dengan mengintegrasikan mereka dalam kehidupan keluarga sehingga mereka 56 tidak kehilangan kehangatan, keintiman, perlindungan, cinta dan kasih sayang dalam satu keluarga yang utuh. Anak-anak yatim sebaiknya dipelihara dengan pola asuh sistem keluarga, bukan dengan sistem panti asuhan. Mereka sebaiknya dijadikan anak angkat oleh setiap keluarga Muslim yang mampu lahir batin namun jika sistem ini belum memungkinkan, bisa saja anak-anak yatim itu diasuh dalam sebuah panti asuhan dengan pola pengasuhan sebagimana layaknya di dalam keluarga.106 5. Bahwa wali anak-anak yatim, baik orang maupun lembaga yang menangani dan bertanggung jawab mengurusi anak-anak yatim yang memiliki harta warisan dari orang tua mereka, tidak dibolehkan menggunakan, mengalokasikan, dan mengelola harta mereka kecuali dengan cara dan sistem yang mendatangkan manfaat dan mengembangkan harta itu sendiri bagi kepentingan anak-anak yatim hingga mereka dewasa. 6. Bahwa cara dan sistem yang mendatangkan manfaat dan mengembangkan harta anak yatim itu adalah sistem yang sekurang-kurangnya menjamin keutuhan harta itu sedemikian rupa dengan dokumen dan surat-surat yang absah dan memiliki kekuatan hukum yang kuat, serta menjadikan harta itu mendatangkan keuntungan dan bertambah. 7. Bahwa lembaga sosial yang mengurusi anak yatim seperti panti asuhan atau yayasan amal sosial hendaklah mengembangkan kapasitas pelayanan sosialnya secara profesional dengan manajemen yang rasional, terbuka, dan dapat dipertanggung jawabkan di hadapan akuntan publik. 106 PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial, h. 132-133. 57 8. Sekiranya lembaga-lembaga sosial, yang mengurusi anak-anak yatim tersebut menawarkan program kepada masyarakat dan meminta masyarakat untuk memberikan bantuan finansial, maka penawaran program tersebut, merupakan janji kepada masyarakat yang harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya karena janji akan dimintai pertanggung jabawan, baik di dunia maupun di akhirat sebagaimana disebutkan pada ayat di atas bahwa “ Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawaban “. Singkatnya bahwa lembaga sosial yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak-anak yatim yang mempunyai harta warisan itu harus dapat mempertanggung jawabkan aset kekayaan anak-anak yatim tersebut kepada masyarakat luas.107 C. Menyantuni Fakir Miskin Al-Qur‟ân mewajibkan kepada setiap Muslim untuk berpartisipasi menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi yang tidak memiliki kemampuan material, maka paling sedikit partisipasinya diharapkan dalam bentuk merasakan, memikirkan, dan mendorong pihak lain untuk berpartisipasi aktif.108 Fakir miskin adalah kelompok orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.109 107 PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial, h. 131-132. M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur‟an: tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat ( Bandung: Mizan, 2007), h. 605. 109 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum dhu‟afâ‟, h. 47. 108 58 Cara Mengentaskan Kemiskinan: Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, al-Qur‟ân menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok. 1. Kewajiban setiap individu. Jalan pertama dan utama yang diajarkan al-Qur‟ân untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibakannya atas setiap individu yang mampu. Contoh: Jika ditempat yang satu tidak ditemukan lapangan pekerjaan, alQur‟ân menganjurkan kepada orang tersebut untuk berhijrah mencari tempat lain sampai ia mendapatkan pekerjaan itu. Sebagaimana firman Allah SWT. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. (Q.S. al-Nisa‟ [4]: 100) 2. Kewajiban orang lain atau masyarakat. Kemiskinan merupakan persoalan yang tidak boleh dianggap sepele karena tanpa adanya pihak yang bertanggung jawab terhadap permasalahan tersebut akan menimbulkan dampak yang buruk yaitu kelaparan dan kematian. Agar tidak terjadi hal seperti itu hendaklah setiap orang untuk mau memperhatikan dan membantu dalam hal penyelesaian 59 kemiskinan. karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap manusia untuk membantu saudaranya yang kekurangan. 3. Kewajiban pemerintah. Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal penyelesaian kemiskinan yaitu dengan mengatur uang pajak dengan baik dan benar agar dapat digunakan untuk kepentingan Negara salah satunya dalam hal penyelesaian masalah kemiskina.110 Tanpa adanya keperdulian dari pihak-pihak lain terhadap masalah kemiskinan maka persoalan kemiskinan akan lebih menimbulkan masalahmasalah lain yaitu jiwa yang akan tergoncang sehingga ada keinginan untuk bunuh diri. Sudah saatnya keluarga terdekat, masyarakat dan pemerintah untuk benar-benar menyelesaikan kemiskinan yaitu dengan menyantuninya dan menyiapkan lapangan pekerjaan untuk mereka. D. Sholat Parameter Keimanan yang Mendalam Sesungguhnya shalat merupakan rukun amal Islam terbesar yang absolut. Ia merupakan syiar amali agama Islam yang teragung dan menyatukan setiap ibadah-ibadah lain, termasuk di dalamnya puasa, zakat, haji, jihad, tilawah al-Qur‟ân, dzikir kepada Allah dan lain sebagainya.111 Karena besarnya kedudukan dan posisi shalat, maka ia tidak boleh ditinggalkan oleh seorang Muslim bagaimanapun kondisinya, kecuali bagi 110 M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur‟an: tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat ( Bandung: Mizan, 2007), h. 597-604. 111 Muhammad Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam Begini Semestinya Muslim Berperilaku ( Jakarta: Maghfirah, t.t.), h. 686. 60 mereka yang kewajiban shalatnya telah gugur, seperti orang yang hilang akal , serta wanita haid dan nifas. Sholat wajib dilakukan baik oleh orang sakit, sehat, fakir, kaya, dalam kondisi takut, aman, dan lain sebagainya.112 Kalaulah umat islam menghargai shalat dengan sebenarnya dan melaksanakannya secara sempurna, niscaya ia akan menjadi sebab terbesar untuk memperbaiki ketimpangan hidup dan kondisi mereka. Sesungguhnya shalat adalah sebagimana yang Allah swt firmankan: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-kitab (al- Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Q.S. al-„Ankabût [29]: 45) Dasar kekurangan dan rahasia ketidakseimbangan tersebut adalah banyaknya orang yang menunaikan bahkan kebanyakan dari mereka shalat hanya sebagai potret dan bentuk rutinitas tanpa esensi. Hal itu bisa dalam bentuk meremehkan setiap apa yang berhubungan dengan sholat atau menganggapnya hanya sebagai kebiasaan. Dengan demikian spirit shalat tidak dapat dihayati, kekhusyukan tidak bisa raih, dan hakikat shalat sebagai medium komunikasi antara hamba dan Rabb-nya tak mampu pula dipahami. Shalat seperti itu tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Bahkan terkadang, keluar dari masjid justru langsung melakukan kemaksiatan, 112 Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam, h. 686. 61 terjerembab dalam perbuatan haram, atau berusaha untuk melakukan pekerjaan yang dimurkai Allah swt.113 Untuk itu, yang wajib bagi setiap muslim adalah memahami hakikat shalat, beruasaha mengerti rahasia-rahasianya, mewujudkan spriritnya, menghidupkan shalat sebagaimana mestinya dan beretika dengan etika shalat guna meraih buah yang terkandung dalam ibadah ini. Karena sesungguhnya sholat merupakan suatu parameter dari keimanan seseorang.114 1. Shalat suatu rangka pokok dari iman Di dalam al-Qur‟ân Tuhan telah menegaskan bahwa “shalat” adalah suatu rangka pokok dari iman, dengan beberapa firman-Nya, diantaranya Ayat-ayat yang dibawah ini : Alif laam miin. Kitab (al-Qur‟ân) ini tidak ada keraguan padanya: petunjuk bagi mereka yang bertaqwa(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur‟ân) yang telah diturunkan kepadamu dan KitabKitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (Q.S. al-Baqarah [2]: 1-4) Ayat ini menegaskan, bahwa: “orang-orang yang muttaqien (mukminin), „ialah: “ mereka yang beriman akan “yang ghaib”, yang tidak kelihatan pada pandangan matanya: mendirikan sholat dan mengeluarkan 113 Muhammad Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam Begini Semestinya Muslim Berperilaku, 114 Isnaini, Ensiklopedia Etika Islam, h. 686. h. 686. 62 sebahagian hartanya untuk kemaslahatan umum kemaslahatan masyarakat, yang dinamai: “jalan Allah.” Juga menegaskan, bahwa: “mengerjakan shalat dan mengeluarkan harta untuk yang tersebut, adalah hasil dari dorongan iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa.” Lihatlah susunan Ayat. Tuhan meletakkan perkataan “dan mendirikan sholat,” sesudah perkataan „beriman akan yang ghaib”, dan tuhan meletakkan perkataan “dan mengeluarkan sebahagian harta untuk kemaslahatan umum,” sesudah perkataan “mendirikan sholat.” Susunan ini memberi pengertian, bahwa : iman yang teguh bersemi di lubuk jiwa, menarik kepada sholat. Sholat yang ditegakkan dengan sempurna dengan khusyu‟ yang menjadi spiritnya (rohnya), membawa kepada rela mengorbankan sebahagian harta untuk kepentingan pergaulan hidup bersama. 2. Shalat, syarat diterima iman dan amal “Tiada diterima sesuatu amal dari seseorang, melainkan dia mengerjakan shalat.” Bersabda Nabi SAW: permulaan amalan yang diperiksa dari amalan seseorang hamba pada hari kiamat, ialah: shalatnya. Diperhatikan benar-benar shalatnya. Maka jika betul urusan shalatnya, mendapat kemenanganlah dia. Jika tidak betul urusan shalatnya, rugi dan sia-sialah urusannya. (H.R. alThabarany dari Anas r.a., al-Targhib l: 210). Orang yang memudah-mudahkan shalat, mengenteng- entengkannya, berarti memudah-mudahkan dan mengenteng-entengkan 63 Islam. Peruntungan seorang manusia dalam Islam adalah menurut peruntungan yang mereka peroleh dari shalat: kegemaran mereka kepada Islam, adalah menurut kegemaran mereka kepada shalat. 3. Tidak ada iman tanpa shalat Seseorang yang mengaku bahwa dirinya beriman tapi tdak mengerjakan sholat maka keimanannya tersebut tidak dibenarkan oleh syara‟. Karena seseorang yang berimana akan senantiasa mengerjakan segala perintah Allah swt termasuk shalat karena shalat merupakan tolak ukur kepribadian seseorang jika shalatnya benar tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perbuatan baik lainnya.115 Dalam hal mematuhi ketentuan-ketentuan-Nya, kita sering kali lupa bahwa ketentuan-ketentuan-Nya adalah sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Ia juga bisa menjadi media pemeliharaan diri kepada-Nya. Ia juga bisa menjadi media pemeliharaan diri dari dosa dan pelanggaran sekaligus prasyarat bagi lahirnya kemaslahatan pribadi dan masyarakat. Ketentuan-ketentuan itu memiliki bentuk formal yang tidak boleh diabaikan, tetapi pada saat yang sama memiliki substansi yang harus selalu menyertainya. Tanpa substansi itu, maka pelaksanaan perintah-Nya tidak memberi bekas di dalam jiwa. Shalat, misalnya, dalam pandangan hukum agama Islam adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tetapi ia juga memiliki substansi yang bila diabaikan, maka pelakunya terancam dengan kecelakaan. 115 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Sholat ( Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 45. 64 Substansi Sholat adalah perwujudan makna kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah. Subtansi itu juga menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya, yang jika bisa bergabung dalam jiwa manusia, ia memeroleh kekuatan yang bersumber dari-Nya. Kalau subtansi shalat seperti itu adanya, wajarlah manusia bermuka dua ketika melakukannya? Mereka yang berbuat demikian berarti tidak menghayati arti shalatnya dan lalai dari tujuannya. Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendambakan bantuan-Nya karena sholat berarti do‟a kalau demikian wajarkah yang butuh ini, menolak membantu sesamanya yang butuh, apalagi jika dia memiliki kemampuan? Tidakkah dia mengukur dirinya dan kebutuhannya kepada Tuhan? Jika dia enggan memberi pertolongan, maka pada hakikatnya dia tidak menghayati arti dan tujuan shalat, seperti yang diuraikan di atas.116 Berdasarkan redaksinya, perintah shalat selalu menggunakan ungkapan “dirikan atau tegakkan (aqîmu)”, sehingga menurut Sayyid Quthb maknanya jelas “Hanya shalat yang ditegakkan dengan benar yang akan mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, karena shalat itu merupakan hubungan dengan Allah yang di dalamnya orang akan malu jika ia membawa dosa-dosa besar dan perbuatan keji ketika ia berhadapan dengan Allah SWT”. 116 padahal, shalat itu merupakan ritual untuk M. Quraish Shihab. Menabur Pesan Ilahi: al-Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, h. 25-26. 65 membersihkan diri dan menyucikannya sehingga tidak sesuai dan bertentangan dengan kotoran perilaku keji dan kemungkaran.117 Kalau kita memerhatikan perintah shalat dalam al-Qur‟ân, kita akan menemukan bahwa perintah shalat selalu dimulai dengan kata aqimu (kecuali dua ayat, atau bahkan Cuma satu ayat). Kata aqîmu biasa diterjemahkan dengan “mendirikan”, meskipun sebenarnya terjemahan tersebut tidak tepat. Karena, seperti kata mufasir al-Qurthubiy dalam tafsirnya, aqîmu bukan terambil dari kata qâma yang berarti “berdiri”, tetapi kata itu berarti “bersinambung dan sempurna”. Sehingga perintah tersebut berarti “melaksanakannya dengan baik, khusyuk dan bersinambung sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya”.118 Kalau demikian, banyak yang shalat, tapi tidak melaksanakannya. Yang shalat dengan sempurna rukun, syarat, dan sunnahnya pun tidak sedikit yang tidak menghayati arti dan tujuan shalatnya. Celakalah orang-orang yang shalat, tetapi lalai akan (makna) shalat mereka, yakni mereka yang riya‟ dan menghalangi pemberian bantuan (Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 4-7).119 Menurut Ibnu Katsir Shalat yang benar adalah harus menghasilkan dua hal: meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, serta membangun komunikasi “zikir” yang berkesinambungan dengan Allah SWT seperti yang tertuang dalam pernyataan ayat secara berurutan. Abul Aliyah mengemukakan bahwa dalam shalat yang benar terangkum tiga karakter: keikhlasan yang menyuruh 117 Atabik Luthfi. Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati ( Jakarta: Gema Insani, 2009), h. 125. 118 M. Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan , 2008), h. 132. 119 M. Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan, h. 132. 66 berbuat yang ma‟ruf, kekhusyuan, dan ketundukan yang menuntut untuk menghindari perbuatan yang mungkar, serta zikrullah yang mengharuskan mengikuti aturan-Nya dalam perintah dan larangan.120 Demikian makna sosial yang diisyaratkan dari ayat di atas yang secara korelasi memiliki hubungan dengan surah Hûd ayat 87. Mereka (kaum Syu‟aib) berkata, „Apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami dan apa yang kami perbuat dengan harta kami sesuka hati kami. (Q.S. Hûd ayat 87). Ternyata shalat yang selalu mewarnai kehidupan Nabi Syu‟aib A.S. itulah yang menjadi motivasi dia untuk menegakkan amar ma‟ruf dan nahi mungkar ditengah-tengah kaumnya. Sungguh satu penegasan sekaligus peringatan Allah SWT bagaimana seluruh ibadah yang diperintahkan-Nya turut memberi warna dan nilai yang luhur dalam kehidupan sehari-hari. Sa‟id Hawwa menyimpulkan bahwa semua ibadah yang diperintahkan seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya merupakan obat penyembuh dan suplemen makanan yang layak dijadikan bekal yang mendasar bagi seorang mukmin. Bekal ini harus menjadi prinsip dalam kehidupannya agar bisa hidup sesuai dengan aturan Allah SWT, karena hanya dengan aturan Allah-lah kehidupan ini akan terasa nyaman, indah, damai, dan membawa kebahagiaan bagi semua pihak.121 120 Atabik Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati, h. 125-126. 121 Atabik Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati, h. 125-126. 67 Rasulullah SAW bersabda: “Menyebut seseorang yang tidak mampu menjaga perilaku sosialnya sebagai seorang yang muflis yang akan dijerumuskan ke dalam neraka, meskipun ia shalat, puasa dan berzakat.” (HR Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad). Sudah saatnya shalat kita yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, kita beranjak dari dimensi ritual teoretis menuju dimensi sosial aplikatif yang memberi kebaikan bagi semua. Saatnya menjadikan shalat sebagai solusi efektif dalam menghadapi berbagai problematika sosial. Saatnya menjadikan shalat sebagai upaya menegakkan amar ma‟ruf dan nahi mungkar sehingga terbangun keseimbangan antara mutu internal shalat dengan dampak eksternalnya. Inilah makna sosial dari ayat, “ … dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.”122 Sholat merupakan suatu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh ummat islam Allah swt menyebut bahwasannya setelah keimanan kita kepada yang ghaib kita diperintahkan untuk melaksanakan sholat begitu pentingnya shalat sehingga perintah sholat dicantumkan setelah perintah beriman kepada yang ghaib. Sholat merupakan suatu syarat diterimanya iman dan amal, karena dengan melaksanakan sholat berarti kita telah beriman kepada Allah dengan demikian kita akan melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangannya serta merasa takut apabila melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Sebanyak apapun amal yang telah diperbuat apabila sholatnya rusak maka amal tersebut tidak diterima oleh 122 125-126. Luthfi, Tafsîr Tazkiyah: Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati, h. 68 Allah karena ketika sholat sudah benar maka iman dan amalpun akan benar pula. Keimanan seseorang dapat terlihat dari sholatnya jika beriman tapi tidak melaksanakan sholat maka orang tersebut tidak dikatakan beriman karena tidak ada iman tanpa sholat karena iman bukan hanya diartikan sebagai pembenaran dalam hati akan tetapi lebih jauh diartikan sebagai melaksanakan segala yang diperintahkan oleh Allah swt. Banyak yang melaksanakan sholat akan tetapi tidak mengetahui subtansi sholatnya, mereka tidak memahami apa yang diperintahkan oleh Allah ketika melihat orang yang sedang membutuhkan pertolongan mereka tidak perduli karena mereka hanya sekedar mengerjakan sholatnya saja akan tetapi tidak mengerti apa subtansi sholat tersebut Sudah saatnya sholat memberikan dampak positif bagi sosial dengan perduli terhadap sesama dan dengan demikian sempurnalah keimanan seseorang karena bukan saja melaksanakan sholat akan tetapi mengetahui subtansinya dan melaksanakannya. E. Tolong-menolong Secara umum, al-Qur‟ân memerintahkan kepada manusia untuk saling bekerja sama dan tolong menolong dalam mengatasi masalah-masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Firman Allah dalam sûrah al-Mâ‟idah [5]: 2. . Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. al-Mâ‟idah ayat 2.) 69 Ayat ini dapat dipahami sebagai perintah kepada semua orang Islam dalam kehidupan setiap saat, yaitu supaya dalam perilaku sehari-hari, selalu bekerja sama.123 dan tolong menolong dalam hal kebaikan.124 Termasuk melaksanakan tanggung jawab dalam mengatasi masalah-masalah sosial di masyarakat, karena permasalahan sosial sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Orang islam diminta peduli kepada orang lain, dengan cara memberikan atensi atau perhatian, dan solusi, yaitu penyelesaian terhadap problem di masyarakat, seperti memberikan bantuan yang diperlukan, atau menyampaikannya kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penyelesaian masalah tersebut, ataupun memberikan pemikiran tentang jalan dan cara-cara menyelesaikan masalah sosial tersebut.125 Ayat ini juga melarang umat islam untuk tolong menolong dalam hal kejelekan, yang bukan hanya tidak membantu penyelesaian masalah sosial tersebut tetapi bahkan menciptakan dan menambah masalah sosial baru dimasyarakat. Oleh karena itu tolong menolong harus selalu dipupuk dengan baik dalam kehidupan masyarakat luas agar terjalin hubungan yang harmonis antar sesama masyarakat.126 Tolong menolong dalam persaudaraan harus menjadi sifat seorang mukmin dalam hidup bermasyarakat juga diisyaratkan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 71. 123 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial (Jakarta: Departemen Agama, 2008), h. 142. 124 UII, al-Qur‟ân dan Tafsîrnya, vol. XXX (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), h. 203. 125 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial, h. 143. 126 Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab Sosial, h. 143. 70 . Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Taubah [9]: 71). Kalimat yang secara langsung mengisyaratkan bahwa sesama orang beriman tolong menolong adalah بعضهم اولياء بعض, ini berbeda dengan redaksi yang digunakan ayat 67 sûrah yang sama, ketika menyifati orang munafik yang menggunakan redaksi ( بعضهم من بعضsebagian mereka dari sebagaian yang lain). Perbedaan ini menurut al-Biqâi untuk mengisyaratkan bahwa kaum mukmin tidak saling menyempurnakan dalam keimananya, karena setiap orang di antara mereka telah mantap imannya, atas dalil-dalil pasti yang kuat, bukan berdasar taklid.127 Pendapat yang sedikit berbeda disampaikan oleh Sayyid Qutub yang menyatakan bahwa walaupun tabiat sifat munafik sama dan sumber ucapan dan perbuatan itu sama, yaitu ketiadaan iman, kerusakan moral dan lain-lain, tetapi persamaan itu tidak mencapai tingkat yang menjadikan mereka auliyâ‟. Untuk mencapai tingkat auliyâ‟ dibutuhkan keberanian, tolong menolong serta biaya dan tanggung jawab.128 127 Ali Nurdin, Quranic Society (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 277. Ali Nurdin, Quranic Society, h. 277. 128 71 Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa: orang-orang yang beriman satu sama lain wajib tolong menolong: masing-masing mereka menyuruh ma‟ruf, mencegah mungkar, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menta‟ati Allah dan RasulNya.129 Memberikan pertolongan kepada orang lain merupakan perintah Allah SWT dan dianjurkan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda : Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba, selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya. ( HR. Muslim). Dari hadis di atas sudah jelas bahwasannya sebagai makhluk sosial harus saling tolong- menolong terhadap sesama karena niscaya Allah pun akan menolong kepada siapa saja yang menolong saudaranya yang membutuhkan. Allah SWT tidak menyukai terhadap orang yang banyak harta tetapi kikir dan enggan menolong orang yang kekurangan. Padahal Allah sendiri sangat pemurah menolong siapa saja dan memberikan rizki kepada siapa saja. Tetapi mengapa manusia begitu kikir terhadap sesamanya sementara rizki 129 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Sholat, h. 39-45. 72 yang ada padanya hanyalah titipan Allah yang didalamnya terdapat hak orang miskin dan anak yatim. Karena Allah bersifat pemurah, maka Dia mencintai orang yang suka membantu orang lain. Rasulullah SWT dalam satu sabdanya menerangkan bahwa orang yang pemurah dekat dengan Allah, dekat dengan manusia dan dekat pula dengan surga sebaliknya,orang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia dan jauh pula dari surga. Oleh sebab itu, Allah mencela orang yang banyak harta tetapi enggan membantu orang yang memerlukan pertolongan. Maka, orang yang tidak mau mengulurkan tangan untuk membantu orang lain, baik dengan harta, tenaga maupun pikirannya termasuk mendustakan agama.130 Dalam al-Qur‟ân, orang berjiwa pemurah dipandang sebagai manusia yang berbahagia dalam hidup. Orang demikian adalah orang yang ringan dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Apabila ada seseorang yang ringan memberi pertolongan, bukan dikarenakan ia memiliki banyak harta, tetapi hal tersebut telah menjadi karakternya yang khas. Orang demikian adalah orang yang tidak dikuasai atau didominasi rasa kikir yang pada hakikatnya menyusahkan dirinya. Siapa pun tidak disebut pemurah jika jiwa dan perilakunya masih didominasi sifat kikir. Penolong dan kikir merupakan dua hal yang bertolak belakang.131 Dalam al-Qur‟ân kaitan ini, tampaknya al-Qur‟ân memandang bahwa sifat pemurah merupakan sifat yang harus ditumbuh kembangkan, sehingga manfaatnya dapat dirasakan, yaitu dengan menghilangkan sifat kikir. Sifat 130 T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz „amm, h. 132-133. 131 Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni (Jakarta: Amzah, 2011), h. 136. 73 kikir dalam diri manusia merupakan penyakit jiwa yang tidak sehat. Ia harus dieliminasi dari jiwa manusia, agar pergaulan hidup berjalan normal dan harmonis. Kebencian dan kecemburuan akan muncul, justru diarahkan kepada mereka yang berjiwa kikir.132 Oleh karena itu, Allah mengarahkan agar manusia menghilangkan sifat kikirnya dengan melatih diri bersifat pemurah, yakni dengan membayar zakat, berinfak, dan bersedekah. Jika baru sebatas membayar zakat, itu belum pemurah. Akan tetapi, jika telah sering berinfak atau bersedekah, baru dapat dikatakan tanda-tanda pemurah. Allah SWT berfirman : Siapa yang dijaga jiwanya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-Hasyr [59]: 9 ). Di lain tempat Allah berfirman: Dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-Taghabun [64]: 19). Dua kali Allah menegaskan demikian dalam al-Qur‟ân. Hal ini berarti penting dipahami bahwa orang penolong yang jiwanya telah dijaga dari sifat kikir (yang merupakan tabiat aslinya), akan muncul menjadi orang yang beruntung dalam hidup. Dalam realitas hidup, mereka yang banyak dan besar infak dan sedekahnya, semakin makmur dan sejahtera hidupnya. Allah SWT yang membuatnya demikian, karena Dia telah menyatakan : 132 Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni , h. 136. 74 Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2] : 261). Dari ayat tersebut al-Qur‟ân menyebutkan dengan mantap menjamin orang yang pemurah, bahwa ia akan berubah menjadi orang yang beruntung. Nabi SAW juga menjelaskan.133 Bahwa orang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dari manusia, dan jauh dari neraka sedangkan orang kikir jauh dari Allah, dari surga, dari manusia, dan dekat dengan neraka. (H.R. Tirmidzy). Singkatnya, pemurah itu dekat dengan manusia, sedangkan orang kikir justru sebaliknya. Pada realitasnya, orang pemurah disenangi masyarakat karena kemurahannya, sedangkan orang yang kikir dibenci dan dijauhi masyarakat karena kekikirannya. Tidak hanya itu, bahkan Allah SWT sangat senang kepada orang dermawan. Sebaliknya, Dia benci kepada orang yang kikir. Oleh karena itu dikatakan, orang pemurah dekat ke surga, sedangkan orang kikir dekat ke neraka. 134 133 134 Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni , h. 136. Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni, h. 137-138. 75 Sikap murah hati dan kedermawanan dikenal dengan istilah itsâr yang secara harfiah berarti mengutamakan orang lain. Itsâr, seperti diutarakan Imam al-Ghazali pada kitab Ihya „Ulûm al-Dîn, berarti kesediaan seseorang untuk mendermakan hartanya di jalan Allah, meski ia sendiri membutuhkannya.135 Dalam al-Qur‟ân, Allah SWT. memuji orang-orang yang memiliki sikap dermawan. Firman Allah: . Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. (Q.S. al-Hasyr [59]: 9) Itsâr merupakan salah satu bentuk dari kualitas moral (akhlâq alkarîmah) yang sangat tinggi, yang menuntut bukan saja kepedulian, tetapi juga pengorbanan. Karena itu, menurut Suhrawardi dalam Awarif al-Ma‟rif, seorang tak mungkin memiliki sifat itu, kecuali yang bersangkutan memiliki dua sifat berikut ini. Pertama, ia memiliki hati dan jiwa yang bersih serta keluhuran budi pekerti. Kedua, ia berpendapat bahwa segala yang ada di muka bumi, termasuk harta kekayaan yang dimiliki adalah milik Allah SWT. semata. Untuk itu, ia akan memandang harta kekayaan sebagai titipan tuhan (amanah) 135 Ilyas Ismail, Pilar-pilar Takwa Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan Spiritual ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), h. 129. 76 yang harus diteruskan dan disampaikan kepada yang lebih berhak menerimanya. 136 Harta harus dimanfa‟atkan bagi kepentingan umum dan dipergunakan untuk mengatasi berbagai krisis, melalui pengeluaran zakat, saling menolong dan menukar kemanfaatan. Inilah sikap terhadap materi menurut pandangan Syari‟at Islam. Semua harta dari dan milik Allah. Harta harus bermanfaat bagi semua orang.137 Orang yang pemurah biasanya sangat disenangi masyarakat. Ini berarti orang tersebut memiliki banyak kemungkinan untuk pengembangan aspekaspek kehidupannya, baik ekonomi, sosial, pergaulan, silaturrahmi, dan sebagainya. Semua aspek itu akan semakin berkembang ke arah yang semakin maju yang lebih menguntungkan dirinya.138 Islam mewajibkan kepada para hartawan agar mereka mendistribusikan sebagian kekayaannya kepada fakir miskin . Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. al-Taubah [9]: 103). Harta yang kita distribusikan, selain untuk membersihkan harta dari ketidakhalalan cara-cara meraihnya, juga berdimensi sosial, yakni berderma 136 Ilyas Ismail, Pilar-pilar Takwa Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan Spiritual, h. 129. 137 Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qurânul Karîm Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 348-358. 138 Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟âni, h. 137-139. 77 untuk fakir miskin sehingga harta benda itu tidak hanya berputar di kalangan hartawan. Setiap kekayaan yang kita miliki, harus kita keluarkan zakatnya, kita dermakan kepada mereka yang kekurangan sehingga harta kita bersih dan orang yang kekurangan pun ikut terpenuhi kebutuhan hidupnya.139 Memberi kepada orang lain sesungguhnya membuat diri sendiri menerima sesuatu yang sering jauh lebih besar dan berharga dari yang diberikan. Tak ada orang yang jatuh miskin karena memberi, dan tak ada orang yang kehilangan senyum bahagia karena memberi senyuman kepada sesama. Mari berderma dengan apa saja yang kita punya.140 139 Hasyim Muzadi, Radikalisme Hancurkan Islam (Jakarta: Center for Moderate Muslim (CMM), 2005), h.107-108. 140 Komaruddin Hidayat, Agama punya seribu Nyawa, h. 105. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis di atas pada judul “Nilai Sosial Dalam Sûrah alMâ’ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim” penulis berkesimpulan, bahwa nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah tersebut diantara lain: 1. Pentingnya memahami agama dengan benar memahami agama dengan benar akan memberikan kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain disekitarnya. 2. Pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim ketidakadaan orang tua maka tidak ada lagi pelindung untuk mereka, oleh karena itu mereka memerlukan penanganan dan pengelolaan seperti menanggung biaya kehidupannya serta pendidikannya, menjaga hartanya dan mengelolanya dengan baik dan mengasuhnya dalam pola asuh sistem keluarga atau pola asuh sistem panti asuhan. 3. Menyantuni fakir miskin fakir miskin adalah bagian dari kelompok masyarakat yang sangat dicintai oleh Rasulullah saw. Maka sudah semestinya kita sebagai ummatnya harus mencintai dan menyantuni mereka. 4. Shalat parameter keimanan yang mendalam shalat merupakan parameter keimanan seseorang jika shalatnya dapat membawa dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dan dapat 78 79 memberikan kebaikan terhadap orang lain maka benarlah shalatnya jika tidak maka sia-sialah shalatnya. 5. Tolong-menolong tolong-menolong harus menjadi sifat seorang mukmin dalam hidup bermasyarakat. Al-Qur‟ân memerintahkan kepada manusia untuk saling tolong-menolong dalam mengatasi masalah-masalah sosial dalam kehidupan masyarakat seperti halnya perkara anak yatim dan fakir miskin, mengingat mereka sangat membutuhan perhatian dan penanganan dari masyarakat karena kecilnya dan ketidakmampuannya dalam menjalankan kehidupan. B. Saran-saran 1. Penelitian ini masih sangat perlu untuk dilanjutkan dan dikembangkan lebih luas lagi dengan menggali lagi ayat-ayat al-Qur‟ân yang mengandung nilai-nilai sosial kemasyarakatan dengan harapan menyadarkan kepada khalayak bahwa keperdulian terhadap sesama haruslah selalu tertanam dalam setiap jiwa manusia. 2. Penulis sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya, seyogyanya menjadikan karya kecil ini sebagai sarana introspeksi diri. Siapa tahu kita tidak sadar jika nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah al-mâ‟ûn ini belum direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. DAFTAR PUSTAKA „Abduh, Syekh Muhammad. Tafsir Juz „Amma. Penerjemah Muhammad Bagir. Bandung: Mizan, 1998. „Abdulkarim, Haji „Abdulmalik. Tafsîr al- Azhar, Jilid XXX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. Abdullah, Muhammad Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006. al-Khalafi, „Abdul „Azhim bin Badawi. al-Wajiz: Ensiklopedi Fiqih Islam dalam âl-Qur‟ân dan al-Sunnah al-Shahih, terjm, Ma‟ruf Abdul Jalil Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006. al-marâgî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâgî, Jilid XXX. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993. Astuti, Robitoh Widi. “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân: studi atas sûrah alMâ‟ûn.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Dhuafâ‟. Jakarta: Departemen Agama, 2009. Departemen Agama. Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung Jawab Sosial. Jakarta: Departemen Agama, 2009. Ghafur, Abdul Waryono. Tafsîr Sosial .Yogyakarta: Elsaq, 2005. Hidayat, Komaruddin. Agama punya seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books, 2012. Ibrâhîm, „Isa Alî al-Sayyid. hadis-hadis dan atsar yang berkaitan dengan Keutamaan sûrah-sûrah al-Qur‟ân. Jakarta: Sahara, 2010. Imani, Allamah Kamal Faqih . Tafsir Nûrul Qur‟ân: Sebuah Tafsîr Sederhana Menuju Cahaya al-Qur‟ân, Jilid XX. Jakarta: al-Huda, 2006. Ismail, Ilyas. pilar-pilar Takwa Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan Spiritual. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Isnaini, Muhammad. Ensiklopedia Etika Islam Begini Semestinya Muslim Berperilaku. Jakarta: Maghfirah, t.t. Luthfi, Atabik. Tafsîr Tazkiyah Tadabur ayat-ayat untuk Pencerahan dan Penyucian Hati. Jakarta: Gema Insani , 2009. 80 81 Makhluf, Muhammad Hasanain. Kamus al-Qur‟ân. Penerjemah Hery Noer Aly. Bandung: Gema Risalah Press Bandung, 1987. Maryati, Kun dan Suryawati, Juju. Sosiologi dan Antropologi untuk SMA dan MA Kelas X kurikulum 2013. Jakarta: Erlangga, 2013. Muin, Idianto. Sosiologi SMA/MA Jilid 1 untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006 Muzadi, Hasyim. Radikalisme Hancurkan Islam. Jakarta: Center for Moderate Muslim (CMM), 2005. Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Jakarta: CeQD, 2007. Nawawi, Syauqi Rif‟at. Kepribadian Qur‟âni, Jakarta: Amzah, 2011. Noer, Jefry. Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Bermoral Melalui Sholat yang Benar, Jakarta: Kencana, 2006. Nurdin, Ali. Quranic Society. Jakarta: Erlangga, 2006. PIC UIN Jakarta. Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: IAIN Indonesian Social Equity Project, 2006. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985. Razak, Yusron. Sosilogi Sebuah Pengantar . Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008. Santoso, Budi. Kamus al-Qur‟ân : Tiga Bahasa Arab, Indonesia, Inggris Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008. Setiadi, M. Elly. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2006. Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pedoman Sholat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983. Shiddieqy, T.M. Hasbi. al-Bayan: Tafsîr Penjelas al-Qur‟ânul Karîm. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur‟ân, jilid II. Jakarta: lentera Hati, 2011. --------. al-Lubâb makna, tujuan, Dan Pelajaran dari Al-Fâtihah dan juz „Amma. Jakarta: Lentera Hati, 2008. --------. al-Qur‟ân dan Maknanya, Ciputat: Lentera Hati, 2010. 82 --------. Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama. Jakarta: Mizan, 1999. --------. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan, 2008. --------. Menabur Pesan Ilahi : al-Qur‟ân dan Dinamika Kehidupan Mayarakat. Jakarta: Lentera Hati, 2006. --------. Tafsîr al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân, Ciputat: Lentera Hati, 2000. --------. wawasan al-Qur‟an: tafsir tematik atas pelbagai persoalan umat, Bandung: Mizan, 2007. Salim Peter, dan Salim,Yenny. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Jakarta: Modern English Press, 1995. Syaltût, Mahmud. Tafsîr al-Qur‟ânul Karim pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân. Diponegoro: Diponegoro, 1990. Syihab, Umar. Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟ân. Jakarta: Penamadani, 2005. Teba, Sudirman. Nikmatnya Sholat. Ciputat: Irvan, t.t. Thalhas, T.H. Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz „amma. Jakarta: Bale Kajian Tafsîr al-Qur‟ân pase, 2001. Ubaidah, Darwis Abu. Tafsîr al-Asas, Jilid XII. Jakarta: al-Kautsar, 2012. UII, al-Qur‟ân dan Tafsîrnya, Jilid XXX. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990. Yusuf, M. Yunan. Tafsir juz „Amma As-Siraju „L Wahhaj (Terang Cahaya Juz „Amma), Jilid XXX. Jakarta: Penamadani, 2010.