SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009 ANALISIS KONSUMSI BAHAN BAKAR PADA PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (STUDI KASUS DI PT. INDONESIA POWER SEMARANG) Bambang Winardi Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, Indonesia Email : [email protected] ABSTRACT Power plant system consists of generation, transmission, and distribution. One of power plants is steam generator. The main components in steam generator are boiler, steam turbine, condenser and synchronous generator. Rankine cycle is used for steam generator teoritically. Steam generator usually is used for handling basic load, because starting time is too long round about 6 – 8 hours. In generation, the biggest operation cost is the cost of fuel consumption. The cost of fuel oil expensively causing the cost of electric power product is also expensive. Spesific fuel comsumption (SFC) is often used for getting the performance of efficiency of generation unit. Therefore, it’s important to understand specific fuel consumption. One of the effort which done is by replacing main fuel of power plant. The result of analysis showed that the influences of increase of unit generated (load) cause the decrease of specific fuel consumption, the decrease of heat rate, the increase of thermal efficiency, and the increase of mass rate flow. The mass rate flow of HSD is the smallest, meanwhile coal is the biggest. Beside that, the increase of unit generated causes the fuel cost saving from replacement more bigger. Keywords :steam generator, rankine cycle, specific fuel consumption, thermal efficiency, cost saving I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan listrik di Indonesia, antara lain ketersediaan energi primer, harga bahan bakar, teknologi, dan budaya masyarakat. Sedangkan, usaha – usaha yang dapat dilakukan guna mendapatkan biaya operasi yang ekonomis adalah dengan pergantian pemakaian bahan bakar, pengoptimalan efisiensi dan pemeliharaan pembangkit yang sudah ada. Dari beberapa usaha tersebut diatas pergantian pemakaian bahan bakar merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk dilakukan. Hal ini disebabkan distribusi bahan bakar untuk suatu PLTU mencapai 75 % dari total biaya operasi. Harga bahan bakar minyak yang mahal, mengharuskan PT PLN mengkaji ulang semua Pembangkit Listrik Tenaga termal yang menggunakan minyak sebagai bahan bakar utama pembangkit uapnya. Selain itu, besarnya subsidi pemerintah ke PT. PLN dalam penyediaan listrik setiap tahunnya terutama pembangkit listrik berbahan bakar minyak. Oleh karena itu, perlunya pergantian bahan bakar sehingga biaya produksi energi listrik lebih ekonomis. II. DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Konsumsi Spesifik Bahan Bakar, Heatrate (Tara Kalor) ,dan Efisiensi Termal Gambar 1 Bagan batasan pengukuran Berdasarkan SPLN No. 80 tahun 1989, persamaan yang digunakan untuk menghitung konsumsi spesifik bahan bakar adalah sebagai berikut: 1. Pemakaian bahan bakar spesifik brutto ( SFC B ) SFC B = Q ……(1) f kWh B 2. Pemakaian bahan bakar netto ( SFC N ) SFC N = Qf kWh B − kWh PS ……(2) Sedangkan, persamaan yang digunakan untuk menghitung tara kalor (heat rate) sebagai berikut: A1-34 SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009 1. Tara kalor brutto ( HR B ) M f x LHV …..(3) kWh B 2. Tara kalor netto ( HR N ) HR N = M f x LHV Sedangkan, persamaan guna efisiensi termal adalah sebagai berikut: η th = …..(4) kWh B − kWh PS menghitung 859,845 Tara kalor ………(5) Besarnya efisiensi termal tergantung beban, makin tinggi beban makin besar efisiensinya. Efisiensi termal unit ( η th ) adalah presentase keluaran energi terhadap masukan kalor. 2.2 Perhitungan Prakiraan Efisiensi Biaya Bahan Bakar PLTU Berbagai Bahan Bakar Langkah – langkah untuk menghitung prakiraan efisiensi biaya bahan bakar PLTU berbagai bahan bakar adalah sebagai berikut: Efisiensi boiler didefinisikan sebagai perbandingan antara laju energi yang dibutuhkan air menjadi uap panas lanjut (superheated) dengan laju aliran energi bahan bakar. Persamaan efisiensi boiler (pemanas) adalah: Qbahan bakar = o η boiler MWh PS 2500 2700 Heatrate Bruto 2600 Heatrate Netto Power (Heatrate Netto) 2450 2500 2400 y = 4934.5x-0.1503 2400 100 2300 150 2350 50 Power (Heatrate Bruto) (a) Grafik Efisiensi Thermal Brutto dan Netto Tabel 1 Data masukan dan perhitungan konsumsi spesifik bahan bakar MWh Brutto y = 5977.3x -0.1782 2550 (6) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Pengaruh Penambahan Beban Terhadap Konsumsi Spesifik Bahan Bakar (SFC) Perhitungan konsumsi spesifik bahan bakar (SFC) ditunjukkan oleh tabel 1 sebagai berikut: Beban 2800 2600 Beban ......(7) MFO terpakai (liter) 2650 0 muap ( hsup erheater − hair umpan masuk eco−inlet ) Q bahanbakar LHV bahanbakar Grafik Heatrate (tara kalor) konsumsi bahan bakar 2300 Langkah selanjutnya adalah menghitung laju aliran massa bahan bakar: m= 4.2 Analisis Pengaruh Penambahan Beban Terhadap Efisiensi Termal Grafik hubungan beban terhadap heatrate (tara kalor) dan efsiensi termal ditunjukkan gambar 3 adalah sebagai berikut di bawah: Heatrate (kCal/ kWh) kalor output η= x 100 % kalor input Quap η Boiler = Qbahan bakar Terlihat bahwa konsumsi spesifik bahan bakar brutto dan netto saat beban 80 MW adalah 0,2819 liter/ kWh dan 0,3030 liter/ kWh. Sedangkan, saat beban 140 MW adalah 0,2557 liter/ kWh dan 0,2705 liter/ kWh. Semakin bertambahnya beban atau daya yang dibangkitkan oleh generator sinkron maka konsumsi spesifik bahan bakar semakin menurun. Artinya, jumlah konsumsi spesifik bahan bakar per kWh yang dikonsumsi pada beban yang relatif kecil lebih besar daripada beban yang relatif besar. Alasannya adalah PLTU yang beroperasi baik pada beban rendah maupun pada beban tinggi mempunyai kWh pemakaian sendiri yang relatif rata – rata sama yaitu 147,94 kWh guna menjalankan peralatan – peralatan bantu pembangkit seperti motor pompa (boiler feed pump), dsb. atau kebutuhan listrik kantor seperti penerangan, komputer dan lain – lain. Produksi Uap (ton/ jam) SFC brutto (liter/ kWh) SFC netto (liter/ kWh) 80 2010 140 566753 203 0.2819 0.3030 90 2160 144.70 581350 230 0.2691 0.2884 95 2310 134.40 601705 262,625 0.2604 0.2765 100 2400 140.00 619956 280 0.2583 0.2743 140 3320 180.60 849221 380,33 0.2557 0.2705 35 34.5 34 36 Effisiensi Termal (%) HRB = A1-35 y = 17.425x0.1503 35 33.5 33 34 32.5 33 y = 14.385x 0.1782 32 32 31.5 Eff Thermal bruto Eff Thermal netto Power (Eff Thermal netto) Power (Eff Thermal bruto) 31 30.5 31 30 0 50 100 30 150 Beban (b) Gambar 3 Grafik heatrate dan efisiensi termal (a)Heatrate terhadap fungsi beban (b) Efisiensi termal terhadap fungsi beban Pada gambar 3 (a), terlihat bahwa tara kalor (heatrate) bruto dan netto saat beban 80 MW adalah 2631.533694 kKal/ kWh dan 2828.546912 kKal/ kWh. Sedangkan, saat beban 140 MW adalah 2387.227486 kKal/ kWh dan 2524.557322 kKal/ kWh. Semakin bertambahnya beban atau daya yang dibangkitkan oleh generator sinkron maka tara kalor (heatrate) semakin menurun. Artinya, jumlah kalor yang ditambahkan, biasanya dalam kKal, untuk menghasilkan satu satuan jumlah 35 SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009 kerja, biasanya dalam kiloWatt-jam (kWh) semakin menurun. Tara kalor (heatrate) berbanding terbalik dengan efisiensi termal berdasarkan persamaan 5, artinya makin rendah makin baik. Besarnya laju aliran massa uap lanjut (superheated) yang ada dalam boiler mengalami perubahan setiap saat. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan laju aliran massa bahan bakar yang berbeda – beda setiap saat mengikuti besarnya perubahan beban/ daya yang dibangkitkan generator. Dari tabel 1 terlihat bahwa pada saat beban 80 MW, uap yang diproduksi (laju aliran massa) uap sebesar 203 ton/ kg, sedangkan saat beban 140 MW, uap yang diproduksi (laju aliran massa uap) sebesar 380,33 ton/ kg. Selain itu, laju aliran massa bahan bakar juga mengalami perubahan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan daya yang dibangkitkan. Pada saat beban 80 MW laju aliran massa bahan bakar berdasarkan tabel 1 sebesar 22.557,33 kg/ jam sedangkan pada saat beban 140 MW berdasarkan tabel 1 adalah sebesar 35.810,52 kg/ jam. Akibat yang ditimbulkan dari peristiwa ini adalah efisiensi termal atau efisiensi siklus juga mengalami perubahan setiap saat sesuai dengan perubahan beban. Dari gambar 3 (b) terlihat bahwa efisiensi termal yang optimal untuk efisiensi termal bruto adalah sebesar 36.02 % dan untuk efisiensi termal netto sebesar 34.06 % saat daya yang dibangkitkan 140 MW. Sedangkan, efisiensi terendah untuk efisiensi termal bruto adalah sebesar 32.67 % dan untuk efisiensi termal netto sebesar 30.39 % saat daya yang dibangkitkan 80 MW. Efisiensi termal atau siklus 36.02 % berarti kerja yang dihasilkan turbin sebesar 36.02 % dari kalor yang ditambahkan. Kesimpulannya, besarnya efisiensi termal tergantung beban, makin tinggi beban makin besar efisiensinya. 4.3 Prakiraan Efisiensi Biaya Bahan Bakar Tabel 2 adalah data – data masukan yang digunakan untuk memudahkan dalam perhitungan dan analisis. Tabel 2 Parameter masukan untuk beban 140 MW Parameter Daya Output Generator Laju Aliran Massa Uap Uap keluar superheater Temperatur Tekanan Air umpan masuk economizer Temperatur Tekanan Efisiensi Boiler Nilai 140000 380330 Satuan kW kg/ jam 537.4867 83 C bar 226.002 83 82.50% C bar persen Hasil perhitungan laju aliran massa dapat ditampilkan dalam grafik adalah seperti terlihat pada gambar 3 dibawah: A1-36 Gambar 3 Laju aliran massa HSD, MFO, LNG, dan batubara untuk beban 140 MW Berdasarkan gambar 4, terlihat bahwa laju aliran massa bahan HSD adalah yang terkecil yaitu sebesar 27.560,385 kg/ jam. Hal ini dikarenakan nilai kalor bawah HSD untuk satuan massa yang sama adalah lebih besar dibanding MFO, LNG dan batubara. Nilai kalor bawah batubara adalah yang terendah, yaitu sebesar 4925 kKal/ kg, sehingga laju aliran massanya adalah yang terbesar, yaitu sebesar 56.239,973 kKal/ kg dibandingkan yang lainnya. Dengan menggunakan program, hasil perhitungan biaya bahan bakar per jam dapat ditampilkan dalam grafik adalah seperti terlihat pada gambar 9 dibawah: Gambar 4 Biaya per jam bahan bakar HSD, MFO, LNG, dan batubara untuk beban 140 MW Pada gambar 4 diatas menunjukkan besarnya biaya beberapa bahan bakar untuk daya yang sama 140 MW. Biaya bahan bakar HSD adalah yang tertinggi, yaitu sebesar Rp. 261,166 juta/ jam. Sedangkan, biaya bahan bakar batubara adalah yang terkecil sebesar Rp. 42,18 juta/ jam. Biaya bahan bakar yang lainnya, MFO sebesar Rp. 202,487 juta/ jam ; LNG sebesar Rp. 21,879 juta/ jam. Besarnya biaya bahan bakar ini berhubungan erat dengan nilai laju aliran massa dan harga bahan bakar masing – masing bahan bakar. Sedangkan biaya tahunan beberapa bahan bakar untuk daya dan lama operasi yang sama. Jika diasumsikan lama operasi dalam 1 tahun adalah 320 hari, maka biaya operasi dapat ditampilkan. Dengan menggunakan program, hasil perhitungan biaya bahan bakar per tahun dapat ditampilkan dalam grafik adalah seperti terlihat pada gambar 6 dibawah: 36 SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009 Gambar 6 Biaya per tahun bahan bakar HSD, MFO, LNG, dan batubara untuk beban 140 MW Pada gambar 6 terlihat bahwa biaya operasi tahunan menggunakan bahan bakar HSD dan MFO jauh lebih besar dibandingkan menggunakan LNG dan batu bara. Biaya bahan bakar bakar HSD hanya berkisar Rp. 2,005 Triliyun per tahun, dan biaya bahan bakar MFO berkisar Rp. 1,555 Triliyun per tahun. Sedangkan, biaya bahan bakar batubara berkisar Rp. 323,942 Milyar per tahun dan biaya bahan bakar LNG berkisar Rp. 168,029 Milyar per tahun. Dengan demikian dapat dilihat biaya penghematan biaya bahan bakar pada tabel 3 sebagai berikut : Tabel 3 Selisih biaya bahan bakar minyak (HSD dan MFO) terhadap LNG dan batubara untuk Beban 140 MW Selisih Biaya Bahan Bakar Bahan Bakar (Milyar/ tahun) LNG BATUBARA HSD 1837,726 1681,812 MFO 1387,069 1231,155 Besarnya biaya bahan bakar per kWh (Rp./ kWh) daya output generator. Untuk daya yang sama, biaya bahan bakar HSD dan MFO masih berada diatas biaya tarif rumah tangga. Sedangkan, biaya bahan bakar LNG dan batubara masih berada di bawah tarif listrik rumah tangga. Rupiah per kWh terkecil adalah LNG sebesar Rp. 156,277 per kWh, sedangkan HSD adalah yang terbesar sebesar Rp. 1.865,471 per kWh. Berdasarkan gambar 7 diatas, terlihat bahwa secara operasional PLTU yang beroperasi dengan menggunakan bahan bakar minyak (HSD dan MFO) mengalami kerugian. Hal ini nampak jelas dari selisih harga yang sangat besar antara biaya bahan bakar HSD dan MFO produksi energi listrik dibandingkan harga jual listrik rumah tangga. Perbandingan prakiraan biaya penghematan bahan bakar berbagai beban ditunjukkan oleh tabel 4, meliputi beban 80 MW, 90 MW, 95 MW, 100 dan 140 MW. Tabel 4 Besar penghematan (Rp. Milyar/ tahun) berbagai jenis bahan bakar dan beban BEBAN 80 90 95 100 140 Besarnya penghematan (Milyar/ tahun) MFO MFO HSD HSD LNG BATUBARA LNG BATUBARA 777.694 690.277 1030.366 942.949 871.323 773.381 1154.414 1056.473 990.242 878.934 1311.971 1200.663 1051.672 933.459 1393.36 1275.146 1387.069 1231.155 1837.726 1681.812 A1-37 V. KESIMPULAN Dari hasil perhitungan dan pembahasan tugas akhir dengan judul Analisis Bahan Bakar Yang Digunakan Pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Studi Kasus di PT Indonesia Power UBP Semarang) maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap, semakin besar daya yang dibangkitkan maka semakin besar pula laju aliran massa bahan bakar. Laju aliran massa bahan bakar saat beban 80 MW adalah sebesar 22.557,33 liter/ jam. Sedangkan, saat beban 140 MW sebesar 35.810,52 liter/ jam. 2. Konsumsi spesifik bahan bakar semakin menurun seiring dengan penambahan beban/ daya yang dibangkitkan. Konsumsi bahan bakar bruto dan netto saat beban 80 MW adalah 0,28196667 liter/ kWh dan 0,30307647 liter/ kWh. Sebaliknya, saat beban 140 MW adalah 0,25578946 liter/ kWh dan 0,27050424 liter/ kWh. 3. Semakin besar daya yang dibangkitkan maka efisiensi termal semakin besar. Sebaliknya, tara kalor (heatrate) semakin menurun. Efisiensi termal bruto dan netto terbesar adalah 36,01 % dan 34,06 % saat beban 140 MW. Sedangkan, efisiensi termal bruto dan netto terkecil adalah 32,67 % dan 30,398 % saat beban 80 MW. 4. Semakin besar daya yang dibangkitkan pembangkit, maka besarnya biaya penghematan dengan cara pergantian bahan bakar semakin besar. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] Abduh, Syamsir, dan Widadi, J.P. “Mencegah Terjadinya Monopoli dengan Menggunakan Metode Price – Cost dalam Pasar Listrik”, Makalah Seminar Nasional Ketenagalistrikan 2005 – Semarang. Abdul Wahid, Muh.,”Perbandingan Biaya Pembangkitan Pembangkit Listrik di Indonesia”. Bellman, D.K., “Power Plant Efficiency Outlook”, NPC Global Oil and Gas Study, July 18, 2007. El – Wakil, M.M. “Instalasi Pembangkit Daya”, Jilid 1, Erlangga, Jakarta, 1992. Kadir, Abdul. “Pembangkit Tenaga Listrik”, UI – Press, Universitas Indonesia, Jakarta, 1996. Kadir, Abdul. “Pemrograman Database dengan Delphi 7 Menggunakan Access ADO”, Andi, Yogyakarta, 2005. Klein, Joel B.,”The Use Of Heatrates in Production Cost Modeling And Market Modeling”, Electricity Analysis Office, California Energy Commision, April 1998. 37