1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu obat anti kanker baru yang sekarang banyak digunakan adalah
Suberoylanilide Hydroxamic Acid (SAHA, Vorinostat®). Sebagai anti kanker,
SAHA bekerja secara epigenetik melalui penghambatan enzim histon
deasetilase (Marks & Breslow, 2010).
Uji praklinik selama penemuan dan perkembangan SAHA sebagai anti
kanker melaporkan bahwa SAHA yang dipejankan ke induk mencit bunting
dapat menembus plasenta sebanyak 50% lalu masuk ke dalam janin. Oleh
karena itu, Food and Drug Administration (FDA) menggolongkan SAHA ke
dalam obat yang berpengaruh terhadap kehamilan pada kategori D yang
berarti pemberian SAHA pada masa kehamilan dapat menyebabkan
meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan
kerusakan janin yang bersifat irreversibel (tidak dapat membaik kembali).
Apabila SAHA dapat masuk ke dalam janin maka pengaturan ekspresi gen
pada janin dapat terganggu oleh aktivitas SAHA sebagai penghambat histon
deasetilase (HD) yang menyebabkan organogenesis terganggu (Yuniarti dkk,
2013).
Mekanisme epigenetik adalah perubahan ekspresi gen tanpa mengubah
urutan basa nitrogen pada DNA. Perubahan hanya terjadi pada gugus-gugus
1
2
yang menempel pada asam amino yang terdapat pada N terminal histon tail.
Mekanisme ini meliputi pengaturan pola ekspresi gen yang terkoordinasi
termasuk pada ekspresi gen yang terlibat dalam proses spesifikasi dan
diferensiasi sel. Terdapat 3 jenis mekanisme epigenetik yaitu: metilasi DNA,
modifikasi protein histon yang berupa asetilasi, metilasi, fosforilasi, sumoilasi,
ubikuitinasi, dan pengaturan via non-coding RNA. Salah satu mekanisme
epigenetik yang menentukan apakah suatu gen aktif atau nonaktif adalah
keseimbangan antara asetilasi dan deasetilasi protein histon. Ketika histon
dalam keadaan deasetilasi (dikatalis oleh enzim histon deasetilase yang
melepas gugus asetil dari histon), kromatin berada dalam keadaan menutup
dan hal ini menghambat faktor transkripsi berinteraksi dengan DNA sehingga
transkripsi tidak terjadi dan menonaktifkan gen supresor tumor. Penghambat
HD bekerja dengan menghambat aktivitas enzim
histon deasetilase dan
menjaga histon tetap dalam keadaan terasetilasi sehingga mengaktifkan gen
karena kromatin membuka dan memungkinkan faktor transkripsi berinteraksi
dengan DNA (Juliandi dkk, 2010; Hsieh & Gage, 2004).
SAHA adalah penghambat HD yang menyebabkan gugus asetil tidak
terlepas dari histon (histon tetap dalam keadaan terasetilasi) sehingga bekerja
selektif dengan meningkatkan ekspresi beberapa gen supresor tumor seperti
BCL7a,
PTPRG,
dan
thrombospondin.
Gen
BCL7a,
PTPRG,
dan
thrombospondin adalah gen yang menginduksi apoptosis, fase istirahat siklus
sel, dan penghambatan angiogenesis dan metastasis sel kanker (Ma dkk,
3
2009). Dengan demikian, memblokir histon deasetilase merupakan salah satu
mekanisme untuk menghambat pertumbuhan dan mencegah perkembangan
kanker.
Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa keturunan yang lahir dari
induk mencit bunting yang diberi SAHA selama prenatal yaitu pada
pertengahan kebuntingan lebih cenderung memiliki jenis kelamin jantan
daripada betina. Pada kelompok mencit yang diberi SAHA, persentase anak
mencit lahir jantan lebih besar daripada anak mencit lahir betina (jantan
SAHA: 92%; jantan kontrol: 46,4%) (Yuniarti dkk, 2013). Dari penelitian
Giavinni & Minegola (2014) menyatakan bahwa pemberian penghambat HD
berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan tulang seperti
penurunan massa tulang, abnormalitas, dan malformasi pada skeletal.
Penghambat HD juga berpengaruh terhadap neuron pada korteks otak
(Yuniarti, 2013).
Senyawa lain yang bekerja melalui mekanisme epigenetik yakni Bisphenol
A
(BPA)
diketahui
dapat
menyebabkan
gangguan
spermatogenesis,
menurunkan kadar testosteron, menaikkan resiko terjadinya kanker prostat dan
gangguan fertilitas yang bersifat transgenerasi pada anak mencit jantan yang
dilahirkan (Ho dkk, 2006). Obat anti kanker juga diketahui menyebabkan
toksisitas pada organ reproduksi seperti toksisitas pada testis yang meliputi
atrofi testis dan aspermatogenesis. Selain itu dapat menyebabkan penurunan
4
bobot testis, abnormalitas sperma, dan perubahan histopatologi testis (Kato
dkk, 2001).
Dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas mengindikasikan adanya
kemungkinan pengaruh SAHA terhadap perkembangan organ reproduksi anak
mencit jantan yang dilahirkan mengingat bahwa SAHA adalah obat anti
kanker yang bekerja melalui mekanisme epigenetik sebagai penghambat HD.
Penelitian mengenai efek SAHA pada perkembangan organ reproduksi anak
mencit jantan yang dilahirkan adalah penting untuk mengidentifikasi
kemungkinan efek samping yang muncul akibat pemakaian anti kanker SAHA
yaitu efek pada toksisitas reproduksi terhadap kecenderungan orientasi jenis
kelamin anak mencit yang dilahirkan ke arah ketidaksempurnaan gen.
Kelainan genetis ini dikenal dengan nama Sindrom Klinefelter yang
manifestasinya antara lain kekurangan hormon androgen, hipogonadotisme,
dan kelainan spermatogenesis. Gangguan yang dapat dialami oleh penderita
Sindrom Klinefelter termasuk ginekomastia, testis dengan ukuran kecil,
azoospermia, dan infertilitas (Smyth & Bremner, 1998).
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap guideline
terapi kanker. SAHA memiliki potensi membahayakan janin sehingga SAHA
bukan obat lini pertama pada terapi kanker untuk pasien kanker yang hamil
atau pasien kanker yang berencana hamil.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah
SAHA
sebagai
anti
kanker
yang
bekerja
melalui
penghambatan histon deasetilase yang diberikan selama prenatal
mempengaruhi perkembangan organ reproduksi anak mencit jantan
yang dilahirkan?
2. Apakah
SAHA
sebagai
anti
kanker
yang
bekerja
melalui
penghambatan histon deasetilase yang diberikan selama prenatal
mempengaruhi persentase jenis kelamin anak jantan yang dilahirkan,
pertumbuhan testis, kadar testosteron, dan histopatologi testis anak
mencit yang dilahirkan?
C. Pentingnya penelitian diusulkan
Penelitian
penghambat
ini
histon
diusulkan
untuk
deasetilase
mengetahui
SAHA
selama
pengaruh
prenatal
pemberian
terhadap
perkembangan organ reproduksi anak mencit jantan yang dilahirkan meliputi
pertumbuhan testis, kadar testosteron, histopatologi testis, dan persentase jenis
kelamin anak mencit yang dilahirkan. Selain itu sebagai upaya lanjutan untuk
mendapatkan bukti rasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
tentang penggunaan SAHA sebagai obat anti kanker pada kondisi kebuntingan
dalam lingkup toksisitas reproduksi anak mencit jantan yang dilahirkan.
6
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian penghambat histon deasetilase
SAHA selama prenatal terhadap perkembangan organ reproduksi anak
mencit jantan yang dilahirkan.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian penghambat histon deasetilase
SAHA selama prenatal terhadap persentase jenis kelamin anak jantan
yang
dilahirkan,
pertumbuhan
testis,
kadar
testosteron,
dan
histopatologi testis anak mencit jantan yang dilahirkan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Suberoylanilide Hydroxamic Acid (SAHA)
Suberoylanilide Hydroxamic Acid (SAHA) (dengan struktur kimia pada
Gambar 1) memiliki nama umum
-hydroxy-
-phenyl-octanediamide
dengan nama dagang Vorinostat® dan Zolinza™ dalam sediaan 00 mg.
SAHA yang diperoleh dari Cayman Chemical ini memiliki nomor item
10009929. Obat anti kanker ini memiliki bobot molekul sebesar 264,3 dengan
rumus kimia
disimpan ≥
0
. Kemurnian zat ini hingga ≥ 9 % dan tetap stabil
tahun pada - 00 C (Anonim, 2013).
7
Gambar 1. Struktur kimia SAHA (Anonim, 2013)
SAHA merupakan salah satu anggota dari kelas terbesar suatu senyawa
yang menghambat enzim histon deasetilase. Penghambat HD memiliki
spektrum yang luas dari aktivitas epigenetik. SAHA digunakan sebagai terapi
pada Cutaneous T Cell Lymphoma (CTCL) ketika penyakit tersebut menjadi
persisten, memburuk, atau timbul kembali setelah pemakaian obat lain, hal ini
juga telah diakui oleh Food and Drug Admisnistration (FDA) (Dokmanovic,
2007).
2. Epigenetik
Berbagai macam proses yang terjadi pada level selular, termasuk di
dalamnya yaitu perkembangan suatu organisme, agar terjadi pada waktu yang
tepat, memerlukan ketepatan pengaturan secara spasial dan temporal ekspresi
gen-gen yang terlibat. Pola ekspresi gen yang terkoordinasi ini termasuk
ekspresi gen yang terlibat dalam proses spesifikasi dan diferensiasi sel diatur
oleh sebuah mekanisme penting intrinsik (di dalam sel) yaitu mekanisme
pengaturan epigenetik yang didefinisikan sebagai perubahan ekspresi gen
tanpa mengubah urutan basa nitrogen pada DNA. Mekanisme epigenetik yang
8
umum terjadi adalah metilasi CpG pada DNA dan modifikasi asam amino
pada N terminal histon tail, lebih khususnya asetilasi histon yang reversibel
(Jones & Baylin, 2007). Dengan demikian, bagian epigenetik digunakan pada
banyak studi, walaupun hanya perubahan transient pada modifikasi histon
atau pada regulasi gen yang diawasi. Hal ini juga berlaku untuk terapi
epigenetik karena harus ditampilkan apakah generasi sel anak dapat sembuh
terutama dipengaturan klinis. Mungkin akan sulit untuk menunjukkan apakah
sel-sel kanker yang belum matang diinduksi untuk membedakan yang
berdasarkan pada fenomena epigenetik atau apakah mereka telah dibunuh oleh
efek sitotoksik. Ini menjadi semakin jelas bahwa pembentukan kanker
mungkin tidak hanya disebabkan oleh mutasi genetik tetapi juga karena
perubahan dalam pola modifikasi epigenetik. Berbeda dengan mutasi genetik
yang pada dasarnya tidak dapat diubah, perubahan epigenetik berpotensi
reversibel (Yoo & Jones, 2006).
Terdapat 3 jenis mekanisme epigenetik yaitu: metilasi DNA, modifikasi
protein histon yang berupa asetilasi, metilasi, fosforilasi, sumoilasi,
ubikuitinasi, dan pengaturan via non-coding RNA. Salah satu mekanisme
epigenetik yang menentukan apakah suatu gen aktif atau nonaktif adalah
keseimbangan antara asetilasi dan deasetilasi protein histon. Histon terasetilasi
yakni suatu keadaan di mana gugus asetil menempel pada protein histon
sehingga membuat kromatin terbuka. Hal ini mempermudah faktor transkripsi
untuk menempel DNA sehingga menyebabkan terjadinya transkripsi pada gen
9
dan mengaktifkan gen. Ketika histon dalam keadaan deasetilasi (dikatalisis
oleh enzim histon deasetilase yang melepas gugus asetil dari histon), kromatin
berada dalam keadaan menutup dan hal ini menghambat faktor transkripsi
berinteraksi dengan DNA sehingga transkripsi tidak terjadi dan menonaktifkan
gen. Penghambat HD bekerja dengan menghambat aktivitas enzim histon
deasetilase dan menjaga histon tetap dalam keadaan terasetilasi sehingga
mengaktifkan gen karena kromatin membuka dan memungkinkan faktor
transkripsi berinteraksi dengan DNA (Juliandi dkk, 2010; Hsieh & Gage,
2004).
Gambar 2. Asetilasi Histon (Anonim, 2015)
3. Penghambatan Histon Deasetilase
Histon yang terdeasetilasi adalah suatu keadaan dimana gugus asetil lepas
dari protein histon. Hal ini menyebabkan kromatin menutup sehingga faktor
transkripsi sulit menempel pada DNA. Apabila faktor transkripsi sulit
10
menempel pada DNA, maka pada gen tersebut tidak terjadi transkripsi dan gen
menjadi tidak aktif. Dengan adanya penghambatan HD, maka menjaga agar
gugus asetil tetap menempel pada DNA sehingga kromatin membuka dan
membuat gen tersebut menjadi aktif. Pada umumnya, molekul kecil
penghambat HD ini menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi terhadap
perubahan sel jika dibandingkan dengan sel normal (Parsons dkk, 1997).
4. SAHA sebagai anti kanker
Beberapa studi menyatakan bahwa enzim HD berpengaruh pada
perkembangan kanker dan potensial sebagai agen terapi. Studi pada sel kanker
dan jaringan tumor memperlihatkan adanya perubahan pada level asetilasi dan
ekspresi enzim HD (Bolden dkk, 2006). SAHA adalah penghambat HD yang
menyebabkan gugus asetil tidak terlepas dari histon (histon tetap dalam
keadaan terasetilasi) sehingga meningkatkan ekspresi beberapa gen supresor
tumor seperti BCL7a, PTPRG, dan thrombospondin. Gen BCL7a, PTPRG, dan
thrombospondin adalah gen yang menginduksi apoptosis, fase istirahat siklus
sel, dan penghambatan angiogenesis dan metastasis sel kanker (Ma dkk,
2009). Dengan demikian, memblokir histon deasetilase merupakan salah satu
mekanisme untuk menghambat pertumbuhan dan mencegah perkembangan
kanker.
SAHA merupakan penghambat HD pertama yang disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) pada Oktober 2006 untuk perawatan Cutaneous T
11
Cell Lymphoma (CTCL) untuk pasien yang menerima 2 atau lebih terapi
sistemik utama. Penghambat HD dapat mempengaruhi regulasi epigenetik dari
kromatin dengan mengubah keseimbangan antara aktivitas enzim HD dan
HAT yang menghasilkan hiperasetilasi histon. Penghambat HD juga
menginduksi apotosis melewati baik jalur intrinsik maupun ekstrinsik.
5. Bisphenol A (BPA)
Bisphenol A (BPA) digunakan sebagai sintetik monomer pada industri
plastik polikarbonat, resin polistiren, dan bahan untuk pembuatan gigi. BPA
sebagai senyawa estrogenik bisa lepas dari wadahnya karena faktor panas,
suasana asam atau basa yang kemudian terikut pada waktu kita makan.
Kandungan BPA dapat ditemukan pada urin dan serum wanita hamil, jaringan
plasenta, dan bahkan urin bayi yang baru lahir. Pada cairan amniotik,
konsentrasi BPA ditemukan 5x lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi
BPA dalam serum ibu. BPA dapat melewati plasenta dan kemudian
terakumulasi pada embrio. BPA mempengaruhi jaringan reproduksi dan otak
sehingga
banyak
penyakit
yang
dapat
ditimbulkan,
salah
satunya
mempengaruhi perkembangan janin (Vandenberg dkk, 2007).
BPA bekerja melalui mekanisme epigenetik yang diketahui juga dapat
menyebabkan pengaktifan atau penghambatan salah satu reseptor hormon
yakni steroid. Dengan aksinya sebagai agonis dan antagonis reseptor steroid,
12
BPA mampu mengacaukan pengaturan hormon. Hal ini dapat menyebabkan
gangguan spermatogenesis, menurunkan kadar testosteron, menaikkan resiko
terjadinya kanker prostat dan gangguan fertilitas yang bersifat transgenerasi
pada anak mencit jantan yang dilahirkan (Ho dkk, 2006).
6. Perkembangan organ reproduksi
Pada tahap awal perkembangan embrio mamalia (selama pertengahan
kebuntingan), phenotype reproduksi janin bersifat bipotent karena genital
ridge belum mengalami diferensiasi dan dapat berkembang menjadi testis
ataupun ovarium. Sebelum terjadi sex determination, bipotent gonad terdiri
dari sel-sel somatik yang bisa berkembang menjadi sel Sertoli pada jantan
maupun sel folikel pada betina. Gen WT1 dan SF1 diekspresikan untuk
menjaga perkembangan bipotent gonad pada jantan maupun pada betina
(Harley dkk, 2003). Selanjutnya, pengambilan keputusan bipotent gonad akan
berkembang menjadi testis atau ovarium ditentukan oleh ada atau tidaknya
gen Sex-determining Region pada kromosom Y (gen SRY) (Jost dkk, 1973).
Penentuan jenis kelamin laki-laki (jantan) diawali oleh ekspresi gen SRY ini
yang terjadi pada 6 bulan kehamilan pada manusia yang setara dengan hari
kebuntingan ke-11,5 pada mencit. Proses selanjutnya adalah pembentukan
testis dan diferensiasi menjadi fenotip jenis kelamin jantan. Oleh karena itu,
ekspresi SRY diduga menjadi awal munculnya genetic cascade yang
menghasilkan diferensiasi testis. Gen SOX9 diekspresikan di dalam sel Sertoli
13
jantan segera setelah ekspresi SRY, yang mengindikasikan bahwa SOX9 adalah
downstream target dari SRY (Loffler & Koopman 2002; Knower dkk, 2003;
Polanco & Koopman, 2007).
Pada mencit jantan, gen SRY diekspresikan secara selektif di genital ridge
dan juga di otak (Mayer dkk, 2000). Pada manusia laki-laki, SRY
diekspresikan di bagian hipotalamus dan kortek (Mayer dkk, 1998). SRY
diketahui berperan mempengaruhi fungsi otak secara langsung, mengaktifkan
gen P450 aromatase yang mengatur ekspresi enzim aromatase yang
mengkatalis konversi estradiol menjadi testosteron di dalam otak (Loffler &
Koopman, 2002) menyebabkan maskulinisasi pelepasan gonadotropin dan
sexual behavior hingga individu memasuki usia dewasa.
Deasetilasi spesifik gen SRY oleh histon deasetilase subtipe 3
menyebabkan delokalisasi SRY ke dalam sitoplasma (Thevenet dkk, 2004).
Pemberian Trichostatin A (TSA), sebuah penghambat histon deasetilase yang
poten, secara in vitro tidak hanya mengubah lokalisasi, namun juga
meningkatkan ekspresi gen SRY (Thevenet dkk, 2004).
Sangat menarik untuk meneliti lebih lanjut apakah pemberian SAHA yang
merupakan penghambat histon deasetilase poten selama prenatal dapat
mengubah lokalisasi SRY dan meningkatkan ekspresi SRY dan downstreamnya SOX9. Peningkatan ekspresi SRY akan mendorong perkembangan bipotent
gonad ke arah perkembangan (pembentukan) testis daripada ovarium, yang
selanjutnya berdiferensiasi menjadi fenotip jenis kelamin jantan.
14
7. Testis
Testis (dapat dilihat pada Gambar 3) terdapat di dalam kantong luar yang
disebut skrotum. Pada semua spesies testis berkembang di dekat ginjal, yakni
di daerah krista genitalis primitif. Testis dibungkus oleh kapsula fibrosa tebal
yang disebut tunika albugenia. Pada bagian posterior jaringan ikat ini
mengalami penebalan yang disebut mediastinum testis. Dari mediastenum
testis ini terbentuk sekat-sekat yang membagi lobus secara radier menjadi
lobuli testis. Sekat ini disebut septula testis. Di dalam lobuli testis ini terdapat
banyak saluran yang berliku-liku, disebut tubulus seminiferus, tempat
berlangsungnya proses spermatogenesis. Saluran ini kemudian bergabung di
bagian mediastinum testis tempat terdapatnya rete testis. Rete testis ini
berhubungan langsung dengan duktus eferen yang akan membentuk bagian
kaput epididimis. Testis merupakan kelenjar campuran, yakni kelenjar
eksokrin juga sekaligus sebagai kelenjar endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin
testis berfungsi menghasilkan sel sperma. Fungsi ini sesungguhnya dilakukan
oleh saluran-saluran dalam lobuli testis yang disebut tubulus seminiferus. Di
dalam tubulus seminiferus, sel-sel spermatogenik berkembang ke arah lumen
dengan bantuan “inang” yakni sel Sertoli. Sebagai kelenjar endokrin testis
memiliki sel Leydig pada jaringan ikat di antara tubulus seminiferus. Sel ini
memproduksi testoteron, hormon yang bertanggung jawab pada proses
spermiogenesis yang mengkonversi bentuk spermatid menjadi spermatozoon
(Akbar, 2010).
15
Gambar 3. Potongan testis, epididimis dan bagian pertama dari vas deferens
(Akbar, 2010)
8. Hormon Testosteron
Testis menghasilkan hormon androgen yang merupakan hormon kelamin
pria seperti testosteron, dihidrotestosteron, dan androsteron. Testosteron
jumlahnya lebih banyak dari yang lainnya sehingga dapat dianggap sebagai
hormon testikuler terpenting, walaupun sebagian besar testosteron diubah
menjadi hormon dihidrotestosteron yang lebih aktif pada jaringan target
(Hafez, 1968). Hormon testosteron banyak berpengaruh terhadap bagianbagian tubuh yang bersangkutan.
Pengaruh hormon testosteron antara lain mempengaruhi pertumbuhan,
perkembangan, dan aktivitas sekresi alat kelamin jantan seperti prostat,
kelenjar vesikula, kelenjar bulbourethral, vas deferens, kelenjar Cowper,
16
penis, dan skrotum, mempengaruhi pertumbuhan karakteristik kelamin
sekunder, mempengaruhi tingkah laku seksual pada hewan jantan, mendorong
adanya diferensiasi syaraf pada pejantan dewasa, menstimulasi metabolisme
di dalam tubuh pejantan, mendorong pertumbuhan dan sekresi kelenjar
asesoris pada hewan jantan, memperpanjang hidup sel-sel spermatozoa di
dalam saluran epididimis, meningkatkan retensi nitrogen di dalam tubuh,
menstimulasi pertumbuhan tulang dan urat daging, mengurangi depresi lemak
dalam
tubuh,
dan
memperbaiki
pigmentasi
pada
bulu
serta
kulit
(Hardjopranjoto, 1995; Hafez, 1968).
Testosteron merupakan steroid dengan suatu gugus –OH pada posisi 17.
Hormon ini disintesis dari kolesterol dalam sel Leydig. Sekresi testosteron di
bawah kendali Luteinizing Hormon (LH) dan mekanisme LH merangsang sel
Leydig melibatkan peningkatan pembentukan AMP siklik. Hormon ini juga
dibentuk dalam korteks adrenal. Efek psikis testosteron sulit ditentukan pada
manusia. Pada hewan percobaan, adanya androgen dapat meningkatkan libido
(Ganong, 1983).
9. Spermatogenesis
Spermatogenesis
adalah
proses
pembentukan
dan
pematangan
spermatozoa yang terjadi di tubulus seminiferus yang terdapat pada testis
(tahapan
spermatogenesis
dapat
dilihat
pada
Gambar
4).
Inisiasi
spermatogenesis membutuhkan Follicle-Stimulating Hormon (FSH) dan
17
testosteron untuk mempertahankan kualitas spermatogenesis (Heffner &
Schust, 2008). FSH berfungsi untuk pemacu testis dan memacu proses
spermatogenesis,
yaitu
pembentukan
spermatogonia
sampai
menjadi
spermatid. Selain itu, FSH juga merangsang sel Sertoli dalam pembentukan
protein pengikat androgen atau Androgen Binding Protein (ABP). ABP
berperan dalam pengangkutan testosteron ke dalam tubulus seminiferus dan
epididimis. Mekanisme ini penting untuk mencapai kadar testosteron yang
dibutuhkan untuk terjadinya spermatogenesis. Selain membentuk ABP, sel
Sertoli juga membentuk inhibin. Inhibin adalah suatu hormon nonsteroid yang
mempunyai mekanisme umpan balik untuk menghambat produksi FSH yang
berlebihan (Susetyarini, 2003).
Spermatogenesis melibatkan dua proses, yaitu mitosis dan meiosis. Sel
benih (stem cell) yang dikenal sebagai spermatogonia akan mengalami mitosis
dan kemudian dapat membentuk spermatogonia tipe A dan B. Spermatogonia
tipe A adalah sel benih, sedangkan spermatogonia tipe B selanjutnya akan
bermigrasi secara apikal dari basal lamina dan mengalami profase meiotik
pertama dan disebut sebagai spermatosit primer. Selama profase meiotik
pertama, melibatkan beberapa proses yaitu reduplikasi kromosomal, sinapsis,
crossing-over, dan rekombinasi homologus. Selesainya pembelahan meiotik
pertama akan menghasilkan spermatosit sekunder, yang selanjutnya secara
cepat akan terjadi pembelahan meiotik kedua. Produk yang dihasilkan dari
18
pembelahan meiotik kedua merupakan spermatid yang haploid (Junqueira &
Carneiro, 2005).
Spermatid berukuran kecil, berbentuk bulat dengan nukleus dan
sitoplasma, serta terletak secara apikal dalam tubulus seminiferus. Spermatid
akan berubah menjadi spermatozoa dan proses tersebut dikenal dengan
spermiogenesis. Pematangan spermatid menjadi spermatozoa mengakibatkan
ukuran nukleus akan mengecil dan ekor akan muncul. Ekor tersebut
mengandung struktur mikrotubular yang akan menggerakan sperma. Material
kromatin pada nukleus sperma akan memadat dan hampir seluruh sitoplasma
akan hilang. Pada kepala sperma, terdapat akrosom yang bertindak seperti
lisosom dan mengandung enzim proteolitik yang penting untuk penetrasi
ovum. Proses spermiogenesis tersebut terjadi di dalam lipatan pada sitoplasma
sel-sel Sertoli (Ganong, 1983; Junqueira & Carneiro, 2005; Porterfield &
White, 2007).
Sel Sertoli berhubungan erat dengan spermatogenesis, salah satunya
bertanggung jawab untuk menyediakan nutrien. Contohnya, kebutuhan
glukosa untuk energi. Untuk mendapatkan glukosa yang dapat digunakan
secara efisien oleh sperma yang sedang mengalami meiosis, membutuhkan
serangkaian proses yang dipengaruhi oleh stimulasi hormon (FSH dan
testosteron). Spermatozoa akan dilepaskan dari sel Sertoli untuk kemudian
berada bebas di dalam lumen tubulus (Ganong, 1983; Junqueira & Carneiro,
2005; Porterfield & White, 2007). Siklus epitel seminiferus adalah rangkaian
19
perubahan pematangan pada daerah epitel germinativum, akibat timbulnya
dua tahap perkembangan sel kelamin yang berurutan (Junquera dan Carneiro,
2005).
Pada mencit, siklus epitel seminiferus terdiri dari 12 stadia. Waktu yang
diperlukan untuk satu siklus epitel seminiferus pada mencit antara 201 –203
jam (8-9 hari). Dengan demikian waktu seluruhnya yang diperlukan untuk
proses spermatogenesis yang terdiri dari empat siklus epitel seminiferus,
adalah berkisar antara 34,5-35,5 hari (Rugh, 1968). Proses spermatogenesis ini
baru dimulai secara aktif pada hari ke-9 setelah lahir.
Durasi dari suatu siklus spermatogenesis berbeda untuk tiap spesies. Pada
mamalia, satu siklus spermatogenesis membutuhkan paling tidak 8-17 hari.
Pada tikus yang temasuk ordo rodentia seperti mencit, satu siklus
spermatogenesis terjadi selama 12-13 hari, sedangkan pada manusia terjadi
selama 16 hari. Satu siklus spermatogenesis pada tiap spesies juga memiliki
jumlah tahapan yang berbeda tergantung dari kriteria morfologi. Siklus
spermatogenesis pada tikus memiliki 14 tahapan, pada kera memiliki 12
tahapan, dan pada manusia terdapat 6 tahapan. Sementara itu, perkembangan
dan diferensiasi dari spermatogonia A hingga menjadi sperma matang
membutuhkan setidaknya 4 kali siklus spermatogenesis. Karena dari itu,
durasi total dari spermatogenesis membutuhkan 50 hari pada tikus, 37-43 hari
pada berbagai spesies kera, dan 64 hari pada manusia (Nieschlag dkk, 2010).
20
Gambar 4. Diagram siklus spermatogenesis rodentia. Empat belas tahapan dari siklus
spermatogenesis, dinotasikan I-XIV, ditunjukkan pada kolom vertikal. Pengembangan sel
germinal ditunjukkan pada kolom horizontal. A1-4, spermatogonia tipe A1-4; In, spermatogonia
intermediet; B, spermatogonia tipe B; Pl, spermatosit preleptoten; L, spermatosit leptoten; Z,
spermatosit zygoten; PS, spermatosit pakiten; Di, spermatosit pakiten diploid; II, spermatosit
sekunder. Proses spermiogenesis ditunjukkan 1-19 (Neill, 2006).
F. Landasan Teori
SAHA sebagai anti kanker bekerja secara epigenetik sebagai penghambat
HD. Penghambat HD bekerja dengan menghambat aktivitas enzim histon
deasetilase dan menjaga histon tetap dalam keadaan ter-asetilasi sehingga
mengaktifkan gen karena kromatin membuka dan memungkinkan faktor
transkripsi berinteraksi dengan DNA (Juliandi dkk, 2010; Hsieh & Gage,
2004). Uji praklinik selama penemuan dan perkembangan SAHA sebagai anti
kanker melaporkan bahwa SAHA yang dipejankan ke induk mencit bunting
dapat menembus plasenta sebanyak 50% lalu masuk ke dalam janin.
Pada tahap awal perkembangan embrio mamalia (selama pertengahan
kebuntingan), fenotip reproduksi janin bersifat bipotent karena genital ridge
belum mengalami diferensiasi dan dapat berkembang menjadi testis ataupun
21
ovarium. Gen WT1 dan SF1 diekspresikan untuk menjaga perkembangan
bipotent gonad pada jantan maupun pada betina (Harley dkk, 2003).
Selanjutnya, pengambilan keputusan bipotent gonad akan berkembang
menjadi testis atau ovarium ditentukan oleh ada atau tidaknya gen Sexdetermining Region pada kromosom Y (gen SRY) (Jost dkk, 1973). Pemberian
SAHA selama pertengahan masa kebuntingan mencit dapat meningkatkan
ekspresi gen SRY dan downstreamnya gen SOX9.
Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa peningkatan ekspresi gen
SRY dari keturunan yang dilahirkan oleh induk mencit bunting yang diberi
SAHA selama pertengahan kebuntingan (prenatal) lebih cenderung memiliki
jenis kelamin jantan daripada betina. Hal ini mengindikasikan adanya
kemungkinan pengaruh SAHA terhadap perkembangan organ reproduksi pada
anak mencit jantan yang dilahirkan (Yuniarti, 2013). Namun, fenotip
mengenai hal ini belum diketahui dan masih belum pasti sehingga perlu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh SAHA ini terhadap perkembangan
organ reproduksi anak mencit jantan yang dilahirkan. Tujuan penelitian ini
adalah mengidentifikasi kemungkinan efek samping yang muncul akibat
pemakaian SAHA yaitu kemungkinan munculnya gangguan endokrin dan efek
pada toksikologi reproduksi terhadap kecenderungan orientasi jenis kelamin
anak mencit yang dilahirkan ke arah ketidaksempurnaan gen. Kelainan genetis
ini dikenal dengan nama Klinefelter Syndrome yang salah satu manifestasinya
22
antara lain kekurangan hormon androgen (testosteron), hipogonadotisme, dan
kelainan spermatogenesis.
G. Hipotesis
1. Pemberian penghambat histon deasetilase SAHA selama prenatal
mempengaruhi perkembangan organ reproduksi anak mencit jantan yang
dilahirkan
2. Pemberian penghambat histon deasetilase SAHA selama prenatal
mempengaruhi persentase jenis kelamin anak jantan yang dilahirkan,
pertumbuhan
testis,
kadar
testosteron,
dan
histopatologi
testis.
23
Download