ANALISIS TEORITIK PENCERMINAN KONSEP HABEAS CORPUS ACT DALAM REGULASI KETENTUAN-KETENTUAN KUHAP SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI PRINSIP NEGARA HUKUM (STATE LAW) YANG BERSIFAT UNIVERSAL DAN KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DAN BERMARTABAT (DUE PROCESS OF LAW) Penulisan Hukum (Skripsi) Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Tugas Memenuhi Syarat Guna memperoleh Derajat Sarjana Strata-1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : RIRIN SETIAWATI NIM. E. 1106174 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 i PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum ( Skripsi ) ANALISIS TEORITIK PENCERMINAN KONSEP HABEAS CORPUS ACT DALAM REGULASI KETENTUAN-KETENTUAN KUHAP SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI PRINSIP NEGARA HUKUM (STATE LAW) YANG BERSIFAT UNIVERSAL DAN KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DAN BERMARTABAT (DUE PROCESS OF LAW) Disusun oleh : RIRIN SETIAWATI NIM : E1106174 Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing KRISTIYADI, S.H,M.Hum NIP. 195812251986011001 ii PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi ) ANALISIS TEORITIK PENCERMINAN KONSEP HABEAS CORPUS ACT DALAM REGULASI KETENTUAN-KETENTUAN KUHAP SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI PRINSIP NEGARA HUKUM (STATE LAW) YANG BERSIFAT UNIVERSAL DAN KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DAN BERMARTABAT (DUE PROCESS OF LAW) Disusun oleh : RIRIN SETIAWATI NIM : E1106174 Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : H ar i : Selasa Tanggal : 23 Maret 2010 TIM PENGUJI 1. 2. 3. Bambang Santoso, SH, M.Hum NIP. 19620209 198903 1 001 Ketua Edy Herdyanto, SH, M.H NIP. 19570629 198503 1 002 Sekretaris Kristiyadi, SH. M.Hum NIP. 19581225 198601 1 001 Anggota : ............................................... : ............................................... : ............................................... MENGETAHUI Dekan, Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP : 196109301986011001 iii MOTTO “Sesungguhnya Allah AWT tidak mengubah keadaan suatu sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q. S. Ar Ra’du: 11) “Pelajarilah ilmu untuk ketentraman, ketetapan hati dan kelembutan jiwa, tunduk dan rendahkan dirimu kepada orang yang kepadanya kamu belajar pula. Hendaklah kiranya kamu menjadi ulama yang bertabiat besar agar tidaklah ilmu itu tegak dengan sebab kejahilanmu”. ( Umar bin Khattab) “Suatu angan, cita-cita dan kehendak yang besar tidak akan pernah terwujud tanpa diawali suatu tindakan yang terkadang dianggap kecil dan tidak penting”. (Penulis) “Hidup dengan kejujuran dan harga diri walaupun dibungkus dengan kesengsaraan dan kesulitan lebih ternilai daripada hidup dengan kemewahan dan kemapanan yangdibungkus dengan kulit korupsi dan ketidakjujuran”. (Penulis) “ Hidup adalah perjuangan, berjuanglah demi keberhasilan”. (Penulis) iv PERSEMBAHAN Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih kepada : 1. Allah SWT Sang Pencipta Alam Semesta atas segala karunia, rahmat, dan nikmat yang telah diberikan-Nya. 2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi suri teladan yang baik bagi umatnya. 3. Kedua Orangtua Ku tercinta Bapak Hartono dan Ibu mulyati yang telah membesarkan, mendidik ,membiayai ,mendoakan , dan ,mengasihi aku selalu. 4. Kakak-kakakku tercinta Hari setyawan dan Santi Febrianti. 5. Adikku tercinta Rina Setiawati. 6. Seluruh keluarga besarku atas segala perhatian dan dukungannya. 7. Sahabat-sahabatku. 8. Indonesia Tanah kelahiranku dimana aku hidup dan mengabdi. 9. Almamterku Universitas Sebelas Maret Surakarta. v ABSTRAKSI RIRIN SETIAWATI NIM E.1106174. ANALISIS TEORITIK PENCERMINAN KONSEP HABEAS CORPUS ACT DALAM REGULASI KETENTUANKETENTUAN KITAB UNDANG-UNDNG HUKUM ACARA PIDANA SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI PRINSIP NEGARA HUKUM (STATE LAW) YANG BERSIFAT UNIVERSAL DAN KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DAN BERMARTABAT (DUE PROCESS OF LAW). Fakultas Hukum Universitas Sebelas maret Surakarta. Penulisan Hukum (skripsi) 2010. Penelitian dalam rangka Penulisan Hukum ini memiliki tujuan :1. Untuk mengetahui secara teoritik tentang pencerminan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi dari prinsip Negara hukum yang bersifat universal. 2. Untuk mengetahui konsekuensi hukum yang potensial ditimbulkan dari pencerminan konsep habeas corpus act dalam ketentuan-ketentuan KUHAP dengan upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat (Due Process of Law) Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangan-undangan (statue aprroach). Jenis penelitian yang diterapkan adalah penelitian deskriptif. Jenis data adalah data data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Dalam analisis data digunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pencerminan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi prinsip negara hukum di Indonesia dilaksanakan melalui nilai-nilai dalam pelaksanaan sistem peradilan pindana yang ada di Indonesia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP. 2. Konsekuensi dalam pelaksanaan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP dalam pelaksanaan prinsip negara hukum yang berkeadilan dan bermartabah di Indonesia memberikan azas-azas dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana yang sangat mengakui dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusi khususnya di bidang hukum baik dalam proses penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan proses peradilan vi KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, berkah, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis mampu menyelesaikan tugas penulisan hukum dengan judul “ANALISIS TEORITIK PENCERMINAN KONSEP HABEAS CORPUS ACT DALAM REGULASI KETENTUAN-KETENTUAN KUHAP SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI PRINSIP NEGARA HUKUM (STATE LAW) YANG BERSIFAT UNIVERSAL DAN KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DAN BERMARTABAT (DUE PROCESS OF LAW)” Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syaratsyarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penulisan hukum ini, penulis mengalami banyak hambatan dan permasalahan baik secara langsung maupun tidak langsung menyangkut penyelesaian penulisan hukum ini. Namun berkat bimbingan, bantuan moral maupun materiil, serta saran dari berbagai pihak yang tidak henti-hentinya memberi semangat dan selalu mendukung penulis.Maka tidak ada salahnya dengan kerendahan hati dan perasaan yang tulus dari sanubari yang paling dalam, penulis memberikan penghargaan berupa ucapan terima kasih atas berbagai bantuan yang telah banyak membantu Penulis selama melaksanakan studi sampai terselesaikannya penyusunan penulisan hukum ini, maka pada kesempatan kali ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang kepada : 1. Bapak Prof. DR. Dr. Syamsulhadi, SpKj selaku Rektor Universitas Sebelas Maret. 2. Bapak Moh. Jamin, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. vii 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Acara. Yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum Selaku Pembimbing Skripsi yang telah sabar dan tidak lelah memberikan bimbingan,dukungan,nasihat, motivasi demi kemajuan Penulis. 5. Bapak Lego Karjoko, S.H, M.H. selaku Pembimbing Akademik Penulis yang selalu memberi wejangan selama belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 6. Bapak Waluya, S.H, M.Si selaku Pembimbing KMM di Kejaksaan Negeri Sragen yang telah mendampingi penulis dalam menempuh kegiatan tersebut. 7. Bapak Bambang Santoso, S.H, M.Hum, selaku dosen Hukum acara pidana yang telah memberikan dasar-dasar hukum acara pidana. 8. Bapak Harjono, S.H, M.H, yang tidak henti-hentinya memajukan program non reguler. 9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 10. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum UNS Surakarta. 11. Seluruh staf dan pegawai jajaran Kejaksaan Negeri Sragen yang telah banyak membantu dan memberi banyak pengalaman kepada penulis. 12. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Hartono dan Ibu Mulyati terima kasih atas doa , nasihat , dukungan , serta kasih sayang selama ini menyertaiku sehingga aku memperoleh keberhasilan.Aku berharap agar mampu membahagiakan serta memberikan yang terbaik dari yang kumiliki kepada kalian.Semoga kasih illahi menyertai kita.Amin. 13. Kakak-kakakku Hari Setyawan dan Santi Febrianti terima kasih atas perhatiannya semoga dapat menjadi contoh yang baik buat adik-adiknya serta selalu menyayangi Bapak dan Ibu. viii 14. Adikku Rina Setiawati yang rajin bersih-bersih terima kasih membuat penulis selalu ceria ,belajar yang giat dan patuh kepada Bapak Ibu. 15. Keponakanku Kenez yang lucu , ngangenin dan centil terimakasih atas canda tawanya. 16. Keluarga Besar Penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan baik moril maupun materiil. 17. Soulmateku Tikka Farida, S.H dan Deden Andriani, S.H yang selalu ada di saat penulis suka maupun duka,terima kasih atas dorongan dan kebersamaannya selama ini, penulis bukan apa-apa tanpa kalian. 18. Kekasihku yang jauh dimata dekat dihati Ishar terima kasih atas segala perhatian dan pengertiannya selama ini. . 19. Teman-teman seperjuanganku yang berjuang pantang menyerah demi sebuah toga : Winda , Shenny , Berlian , Mega, Adi dll. 20. Teman-teman kuliah seperjuanganku: Aby , Anung ,Ajay , Entud , Setom , Gepeng , Dina, Kumala dll, maaf penulis tidak dapat menulis satu persatu. dan seluruh teman-teman Angkatan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, FH UNS bersama kalianlah aku berkembang dan berkumpul. 21. Teman-Teman ku : Nina ,Cemplok , Sinta , Debora Hartatik , Surya , Nita ,Lisa ,Lely, Winda ,Tyas , Anton , Mas Ridwan , Eko Wahyudi , Hendrik Rakery , Mas Kasto , Anul , Angga , Pras , Mas Dody , Mas Supri , terima kasih atas motivasi dan canda tawanya. 22. My Hot Wheels AD 6954 JB, AD 8411 AU yang setia mengantar penulis kemana-mana. 23. Pasukan Pengamanan Kampus (PASPAMPUS) : Bapak Harno dan Crew, Mas Pardi, mas Wahyono, mas Eko, serta kerabat kerja yang komitmen terhadap kenyamanan Kampus. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh ix karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima dengan senang hati Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan Pengetahuan dan Pengembangan Hukum pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya. Dan semoga pihak-pihak yang telah membantu Penulisan Hukum ini, atas amal baik mereka semoga mendapat pahala dari Allah SWT. Amin. Surakarta, Januari 2010 Penulis x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v ABSTRAK ...................................................................................................... vi KATA PENGANTAR .................................................................................... viii DAFTAR ISI.................................................................................................... xii BAB I BAB II BAB III : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................. 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian .............................................................. 7 E. Metode Penelitian ............................................................... 8 F. Sistematika Penulisan ......................................................... 12 : TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori.................................................................... 14 B. Penelitian Yang Relevan .................................................... 32 C. Kerangka Pemikiran ........................................................... 33 : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ................................................................... 35 B. Pembahasan ........................................................................ 54 xi BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 58 B. Saran ................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke 3 dikatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Sehingga tidak heran apabila di Indonesia dalam segala sesuatunya harus menjunjung supermasi hukum yang berlaku di negara Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 45. Suatu negara dikatakan sebagai Negara hukum memiliki beberapa unsur yang dipergunakan sebagai tolok ukur untuk menetapkannya. Dalam hal ini dikenal adanya pendapat para ahli hukum yang menyebutkan mengenai unsur-unsur negara hukum tersebut. Diantaranya para ahli hukum tersebut antara lain F.J, Stahl yang mengemukakan mengenai unsur-unsur Negara hukum meliputi:1) Adanya jaminan hak asasi manusia, 2) Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, 3) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, 4) Adanya peradilan administrasi, Selanjutnya menurut Docery unsur-unsur negara hukum meliputi: 1. Supermasi hukum (supremacy of the law) artinya yang berdaulat atau yang mempunyai kekuasaan tertinggi adalah hukum; 2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law), artinya setiap orang hanya memandang bahwa setiap orang mempunyai derajat yang sama dalam menghadapi hukum. 3. Terjaminnya hak asasi manusia dalam undang-undang dan undang-undang dasar (Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2008: 42). xiii Indonesia yang menyatakan diri sebagai Negara hukum sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke 3, secara normatif telah memenuhi unsur-unsur dari Negara hukum sebagaimana telah dinyatakan menurut pandangan ahli hukum tersebut. Dalam hukum pidana khususnya hukum acara pidana sejak tahun 1981, atau tepatnya sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana aau yang kemudian dikenal dengan Kitab Unadng-Undang Hukum Acara Pidana yang disingkat dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana secara normative telah mengetahui adanya prinsip-prinsip “rule of law” dalam penegakan hukum dalam hukum pidana. Menyikapi pernyataan tersebut diatas, M. Yahya Harahap berpendapat bahwa Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam kaitannya dengan perindungan hak-hak asasi manusia telah menetapkan beberapa hal yaitu: 1) KUHAP telah memuat asas keseimbangan antara kepentingan perlindungan hak kemanusiaan tersangka/terdakwa pada hak segi dan mempertahankan perlindungan kepentingan-kepentingan masyarakat pada segi lain, 2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tegas memberi legalisasi hukum atas beberapa hak asasi kemanusiaan/…. Terdakwa, 3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah menegaskan mengenai pembatasan penangkapan dan penahanan, 4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengatur tentang kedudukan dan hak penasehat hokum. Sekalipun kedudukan penasehat hukum bersifat pasif pada tahap penyidikan. Penasehat hukum sudh dapat mendampingi dan melihat sesuai pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik (M. Yahya Harahap, 1993: 24). Selanjutnya oleh Yahya Harahap dikatakan bahwa hampir semua yang disuarakan oleh masyarakat sudah tertampung dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Baik yang menyangkut ganti rugi dan rehabilitasi dari adanya pra peradilan sebagai suatu lembaga habeas corpus yang mereka anut. Sebagaimana dikatakan bahwa habeas corpus act adalah xiv merupakan naskah yang ditandatangani oleh Raja Charles II di Inggris yang merupakan salah satu catatan sejarah tentang hak-hak asasi manusia. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapatan AV Dicey dan Sir L. Jennings (dalam Bambang Poernomo, 1988: 61) yang menerangkan bahwa semua kekuasaan negara bersumber pada hukum, dan hukum itu sendiri berlandaskan pada nilai-nilai yang tinggi dari kemanusiaan yang berisfat pribadi manusia. Hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan mencerminkan norma-norma yang bernghormati martabat manusia yang mengakui hak azasi manusia. Norma-norma yang mengandung nilai-nilai luhur menjunjung tinggi martabat manusia dan menjadi hak azasi manusia berkembang terus sesuai dengan tuntutan hati nurani manusia yang terhimpun dalam ikatan perkumpulan masyakat yang bertindak berdasarkan kepentingan sosial yang bersifat dualistis (M. Nasroen dalam Bambang Poernomo, 1988 : 61). Dalam pelaksanaan peradilan pidana di Indoensia tidak akan lepas dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hukum acara pidana dan hak azasi manusia dalam konsep Negara hukum mempunyai konsepsi yang bersifat universal, sepert adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak azasi, legalitas dari tindakan negara/ pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas. Dalam pelaksanaan konsepsi negara hukum atau “State Law” beserta sendir-sendinya membawa konsekuensi adanya keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi tersebut dalam berbagai hukum, khususnya hukum pidana dan hukum acara pidana. Dengan adanya sendir-sendi tersebut, maka akan dapat menicptakan asas-asas yang dapat menjadi dasar bagi hukum acara pidana yang bersangkutan, terlepas dari system hukum yang dianut. Asas-asas yang menjadi dasar dalam pelaksanaan prinsip negara hukum pada dasarnya bersifat universal dan selalu dikaitkan dengan sendi yang utama yait jaminan dan perlindungan terhadap martabat serta hak asasi xv manusia. Sedangka hak asasi manusia di negara Indonesia mempunyai makna yang selalu diletakkan dalam kerangkan pandangan hidup dan budaya serta cita-cita hukum dari bangsa dan Negara Indonesia. Di Indonesi hak azasi manusia atau yang disebut dengan kewajiban warga Negara telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang bersumber pada Pancasila. Berkaitan dengan pelaksanaan hukum acara pidana, pemberian jaminan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang dalam hal ini mempunyai sifat yang universal, maka deklarasi maupun konpensasikonpensasi internasional yang diterima dan disahkan oleh Sidang Umum PBB dapat digunakan untuk mengukur nilai hukum acara pidana ini. Pada dasarnya perumusan hak azasi manusia di dalam undang-undang pada umumnya bersifat untuk landasan bekerjanya para petugas hukum. Hak azasi manusia tidak dirumuskan secara khusus, akan tetapi implisit tersimbul dalam beberapa penjelasan undang-undang dan jiwa yang terkandung dari konsideran serta penjelasan undang-undang, sebagaimana dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Karena kita tahu bahwa normanorma yang disusun secara khusus mengenai martabat manusia dan hak azasi manusia telah dikukuhkan dalam sebuah deklarasi yang diakui oleh bangsabangsa di dunia, yang tercermin dalam “The Universal Declaration of Human Right 1986”. Dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan kemerdekaan dalam bidang kehakiman yang ada di Indoensia perlu adanya penerapan prinsip-prinsip pengakuan terhadap hak azasi manusia sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam kesepakatankesepatan yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia. Salah satu bentuk kesepakatan yang memberikan jaminan terhadap pengakuan martabat dan hak azasi manusia dalam pelaksanaan peradilan yaitu adanya konsep habeas corpus act yang muncul di Inggris pada tahun 1679 yang berkaitan dengan proses penahanan seseorang untuk diperiksa yang harus disertai dengan bukti yang sah menurut hukum. xvi Meskipun demikian dalam suatu proses peradilan seringkali Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang sebenarnya telah memberikan jaminan perlindungan HAM bagi tersangka, dan telah pula memenuhi persyaratan sebagai dasar hukum penyelenggaraan peradilan pidana yang adil (due process of law), namun ternyata Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana justru tidak mengatur akibat atau konsekuensi yuridis berupa pembatalan, penyidikan, dakwaan, atau penolakan bahan pembuktian apabila .terjadi pelanggaran hak-hak yuridis tersangka. Hal ini dapat dilihat dari beberapa banyak kasus pemeriksaan peradilan yang dilakukan di Indonesia yang seringkali masih banyak terdapat pelanggaran hak asasi manusia. Seperi adanya pemaksaan dalam proses pereadilan pidana merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan peradilan di Indonesia. Dengan adanya konsep habeas corpus act yang diterapkan dalam regulasi ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di Indonesia diharapkan akan dapat mewujudkan pelaksanan peradilan di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi prinsip negara hukum dalam rangka mwewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat di Indonesia. Dengan demikian hakikat dari negara hukum yang ada di Indonesia akan dapat terwujud secara utuh. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam kesempatan in penulis ingin mengangkat permasalah tersebut di atas, sebagai bagan pembahasan dalam penelitian ini. Untuk itu dalam penelitian ini penulis memberikan judul penelitian ini : “ANALISIS TEORITIK PENCERMINAN KONSEP HABEAS CORPUS ACT DALAM REGULASI KETENTUAN-KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDNG HUKUM ACARA PIDANA SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI PRINSIP NEGARA HUKUM (STATE LAW) YANG BERSIFAT UNIVERSAL DAN KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DAN BERMARTABAT (DUE PROCESS OF LAW)” xvii B. Rumusan Masalah Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pencerminan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi dari prinsip negara hukum (State Law) yang bersifat universal ? 2. Apakah konsekuensi hukum yang potensial ditimbulkan dari pencerminan konsep habeas corpus act dalam ketentuan regulasi KUHAP dengan upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat (Due Process of Law) ? C. Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan objektif a. Untuk mengetahui secara teoritik tentang pencerminan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi dari prinsip negara hukum yang bersifat universal. b. Untuk mengetahui konsekuensi hukum yang potensial ditimbulkan dari pencerminan konsep habeas corpus act dalam ketentuanketentuan KUHAP dengan upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat (Due Process of Law). 2. Tujuan subjektif a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis xviii guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya tentang penerapan konsep habeas corpus act dalam ketentuan-ketentuan KUHAP mewujudkan penegakan hukum di Indonesia. c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya. D. Manfaat Penelitian Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis a. Mengetahui deskripsi secara teoritik tentang pencerminan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi dari prinsip Negara hukum yang bersifat universal. b. Mengetahui deskripsi tentang kaitan pencerminan konsep habeas corpus act dalam ketentuan-ketentuan KUHAP dengan upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat (Due Process of Law). 2. Manfaat praktis a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan mengimplementasikan ilmu yang diperoleh. xix penulis dalam b. Memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya, yang berkaitan dengan pencerminan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi dari prinsip Negara hukum yang bersifat universal dalam upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat (Due Process of Law). c. Memberikan sebagai acuan untuk penelitian yang akan datang yang relevan dengan penelitian ini. E. Metode Penelitian Metode adalah cara seorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi. Maka dalam penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu penelitian ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian normatif menurut Soerjono Soekanto adalah suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka penyusunan teori baru. Penelitian yang penulis susun adalah termasuk penelitian yang bersifat normatif dengan pembahasan terutama pada pencerminan konse habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi dari prinsip negara hukum (rule of law) yang bersifat universal dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat. xx Pelaksanaan penelitian normatif ini tidak terbatas hanya sampai pengumpulan dan penyusunan data saja, tetapi juga meliputi analisa dan interpretasi data yang pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang dapat didasarkan penelitian data itu. 2. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki (2005 : 93), menerangkan bahwa pendekatan dalam penelitian hukum merupakan cara peneliti untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicara pernyelesaiannya. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundangan-undangan (statue aprroach). Di mana penekatan ini dalam mencoba menyelesaikan permasalahan yang dihadapi mengacupa peraturan perundanga-undangan yang berlaku. 3. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1982: 10). Di dalam penelitian deskriptif, kegiatan tidak hanya terbatas pada pengumpulan data dan penggunaannya, tetapi yang lebih penting adalah analisis dan interpretasi atas data yang telah didapat agar diketahui maksudnya. 4. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi: bukubuku, literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, hasil xxi penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang. 5. Sumber Data Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian normatif adalah sumber data sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku-buku laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Bahan hukum primer Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV. 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 5) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah dan internet. xxii 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah: Studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundangundangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet. 7. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya yang digunakan adalah tahap analisis data. Tahap ini dilakukan untuk mencapai tujuan dari penelitian yaitu untuk mendapatkan jawaban dari penelitian yang diteliti. Metode analisis data yang digunakan adalah analisa kualitatif, adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskripsi-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya nyata, yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1986: 250). Dalam penelitian ini model analisis yang digunakan adalah interaktif, yaitu proses analisis dengan menggunakan tiga komponen yang terdiri dari reduksi data, sajian data, dan kemudian penarikan kesimpulan (verifikasi) yang diaktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus antara tahap-tahap tersebut (HB. Soetopo, 1998: 40). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan di bawah ini: xxiii Pengumpulan data Reduksi data Sajian data Penarikan kesimpulan F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan tinjauan hukum tentang Komparasi Hukum, Pembuktian, Pidana Indonesia khususnya pidana formil dan tinjauan mengenai sistem hukum. Sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis akan pemikiran. xxiv menampilkan bagan kerangka BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam hal ini penulis akan membahasa dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya: mengenai pencerminan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi dari prinsip Negara hukum (Rule of Law) yang bersifat universal dan kaitan pencerminan konsep habeas corpusact dalam ketentuan regulasi KUHAP dengan upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartaban (Due Process of Law) BAB IV : PENUTUP Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xxv BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Negara Hukum a. Konsep Negara Hukum di Indonesia Pada dasarnya bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dan bukan kerajaan. Dan menurut konstitusi ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 69). “ Negara hukum merupakan negara yang di dalam sistem pemerintahannya terdapat pengakuan terhadap prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang”(Jimly Asshiddiqie, 2006 : 69). Dalam konsep negara hukum yang ada di Indonesia prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan tersebut diatur dengan UndangUndang Dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945, serta didalamnya terdapat jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, serta terdapat jaminan persamaan setiap warga negara dalam hukum, termasuk jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 69). b. Paham Negara Hukum di Indonesia Dalam negara hukum menganut pahak bahwa komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara adalah hukum. Di mana sesungguhnya yang menjadi pemimpin dalam penyelenggaraan negara itu adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the Rule of Law, and not of Man, yang sejalan dengan pengertian nomocrative, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, nomos. (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 69). xxvi14 Dalam paham negara hukum harus terdapat jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsil demokrasi. Karena prinsip supermasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinisp demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 70). Di Indonesia di symposium mengenai Negara hukum yang diadakan di Jakarta pada tahun 1966, pada awal berdirinya orde baru yang berusaha menyusun berbagai konsep terkait dengan upaya melanksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Simposiun tersebut menghasilkan ciri-ciri mengenai hukum sebagai berikut : 1) Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandug persamaan dalam bidang politik, hokum, social, ekonomi dan kebidayaan. 2) Peraturan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan tau kekuatan apapun juga. 3) Adanya pembatasan kekuasaan. 4) Adanya legalitas (Sekretariat Negara dan Mahkaman Konstitusi, 2008: 42). c. Prinsip Negara Hukum di Indonesia Prinisp negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan Undang-Undang Dasar. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat. xxvii 2. Tinjauan Tentang Hukum Acara Pidana a. Pengertian Hukum Acara Pidana Menurut Bambang Poernomo (1988: 16), menerangkan bahwa hukum acara pidana secara spesifik merupakan peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan pengadilan dan eksekusi putusan hakim. Peraturan hukum acara mengenai prosedur beracara perkara pidana ini menjadi bahan materi penyusunanb Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sedangkan pengertian hukum acara pidana dalam arti yang luas yaitu di samping memuat peraturan hukum tentang penyidikan, penyelidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan pengadilan, eksekusi putusan hakim, juga termasuk peraturan hukum tentang susunan peradilan, wewenang pengadilan, serta peraturanperaturan kehakiman lainnya yang ada kaitannya dengan urusan perkara pidana. Dalam perkembangannya pengertian terhadap hukum acara pidana tidak hanya mengatur mengenai peraturan eksekusi putusan penghukuman (pidana), akan tetapi dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana). Pengertian hukum acara pidana yang makin diperluas itu mengatur tentang alternatif jenis pidana, ukuran memperingan atau memperberat pidana dan cara menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana. Pengertian hukum menurut kepustakaan dari hukum acara pidana dijelaskan bahwa hukum acara pidana merupakan hukum pidana formil sebagai pasangan hukum pidana materiil. Hukum pidana formil mengatur bagaimana cara negara dengan mempergunakan alat- xxviii alatnya dapat melaksanakan wewenang untuk menjatuhkan pidana atau membebaskannya (R. Soesilo, 1964: 8). Simons (dalam Bambang Poernomo, 1988: 15), menerangkan bahwa hukum materiil (hukum pidana) mengatur tentang laranganlarangan atau kewajiban dan syarat-syarat perbuatan pidana bagi barangsiapa melanggarnya dapat dipidana dan ditentukan alternatif ancaman pidana apaya yang dapat dijatuhkan. Berdasarkan pengertian mengenai hukum acara pidana di atas, maka dapat diberikan batasan unsur yang esensial dari hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut : 1) Hukum acara pidana telah mulai dilaksanakan sekalipun masih pada tingkat timbul dugaan atau sangkaan terjadi perbuatan pidana. Dalam unsur esesial ini mengandung pengertian bahwa hukum acara pidana sebagai usaha untuk mencari kebenaran atas setiap peristiwa yang diduga atau disangka sungguhkan merupakan perbiatan pidana.hukum acara pidana mencari kebenaran siapakah orangnya yang diduga atau disangka menjadi pembuat dari perbuatan pidana yang terjadi, dan jika ada alasan melakukan penggeledahan/penyitaan dan atau penangkapan/ penhanan yang dianggap perlu. 2) Hukum acara pidana sebagai peraturan undang-undang mengatur kewenangan bertindak bagi alat-alat perlengkapan negara apabila terjadi perbuatan pidana. Dugaan atau sangkaan yang beralasan, kebenaran pada tingkat penyidikan dan penuntutan terhadap dakwaan melakukan perbuatan pidana harus diuji menurut hukum pada sidang pengadilan untuk mencapati kebenaran hukun harus bertindak menurut batas-batas aturan hukum acara pidana. Kebenaran menurut hukum acara pidana bukan semata-mata menjadi alas untuk diterapkannya hukum pidana, melainkan juga xxix dalam hal tertentu menjadi alatu untuk tidak perlu menerapkan hukum pidana. Hakekat fungsi hukum acara pidana berawal pada tugas mencari dan menemukan kebenaran menurut hukum. Hakekat mencari dan menemukan ”kebenaran hukum” sebagai tugas dalam memberikan suatu ”putusan hakim” dan tugas ”melaksanakan (eksekusi) putusan hakim”. Merupakan fungsi hukum acara pidana (V. Bemmelen dalam Bamabang Poernomo, 1988: 17). b. Sumber Hukum Acara Pidana Sumber Hukum Acara Pidana terdiri atas Sumber Hukum Acara Pidana yang sudah dikodifikasi, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Sumber Hukum Acara Pidana yang belum dikodifikasikan, misalnya Undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). c. Asas-asas Hukum Acara Pidana 1) Asas praduga tak bersalah (Prasumption of Innocence) Setiap orang dianggap tidak bersalah, sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. 2) Asas legalitas Penuntut hukum wajib menuntut setiap perkara pidana yang diajukan kepadanya. xxx 3) Asas oportunitas Penuntut umum diberikan kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara pidana demi kepentingan umum sehingga suatu perkara pidana dapat dikesampingkan (deponir) untuk kepentingan umum. 4) Sidang pemeriksaan terbuka untuk umum. 5) Tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. 6) Peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan murah. 7) Asas Accusatoir Kedudukan tersangka atau terdakwa sebagai subjek dalam pemeriksaan perkara pidana Hal ini berlainan dengan asas Ingisitor, dimana tersangka dijadikannya objek dalam pemeriksaan pendahuluan. d. Fungsi Hukum Acara Pidana Tugas dan fungsi pokok hukum acara pidana dalam pertumbuhannya dalam meliputi empat tugas pokok, yaitu : 1) Mencari dan menemukan kebenaran, 2) Mengadakan tindakan penuntutan secara benar dan tepat, 3) Memberikan suatu keputusan hakim, 4) Melaksanakan (eksekusi) putusan hakim. e. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara Pidana Tahap perkara pidana dari sudaut pemeriksaan perkara pidana dibagi atas: xxxi 1) Pemeriksaan pendahuluan atau sering disebut dengan istilah ”vooronderzoek” dan, Pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan untuk menyiapkan hasil interogasi secara tertulis dari tersangka dan pengumpulan bahan yang menjadi barang bukti atau alat bukti dalam suatu rangkaian bekas perkara, serta kelengkapan pemeriksaan lainnya sebagai syarat untuk dapat menyerahkan perkara kepada pengadilan. Dalam pemeriksanaan pendahuluan biasanya diikuti dengan kegiatan : a) Penyelidikan Penyelidikan merupakan awal wewenang pemeriksaan perkara dan upaya yang mendahului dari pada tugas penyidikan. Dimana pengertian tindakan penelidikan menurut KUHAP adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga seabgai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. b) Penyidikan Menurut KUHAP menerangkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuatterang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. c) Penuntutan Penuntutan merupakan tindakan berlanjut setelah selesai penyidikan dan tidak ada alasan penghentian penyidikan karena kurang bukti atau bukan perbuatan pidana, atau pengehntian penuntutan demi kepentingan hukum. Menurut xxxii Pasa 1 (7) KUHAP menerangkan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidng pengadilan. 2) Pemeriksaan akhir dalam sidang pengadilan yang juga disebut ”eind onderzoek”. Pemeriksan sidang pengadilan merupakan kelanjutan bagian akhir perkara pidana untuk menguji hasil pemeriksaan pendahuluan yang agar diperoleh bahan final melalui pencocokan antara halikhwal yang dituduhkan dengn hal-ikhwal dari data-data atau fakta-fakta yang terungkap di muka sidang pengadilan. 3. Tinjauan Tentang Konsep Habeas Corpus Act a. Sejarah Habeas Corpus Act Munculnya konsep habeas corpus pada dasarnya diawali dari adanya pengakuan hak asasi manusia di Inggris. Di mana Inggris sering disebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumendokumen tersebut adalah sebagai berikut : 1) Magna Charta Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja xxxiii John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja. Isi Magna Charta adalah sebagai berikut : a) Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris. b) Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi berikut : (1) Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk. (2) Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah. (3) Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya. (4) Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, kesalahannya. xxxiv raja berjanji akan mengoreksi 2) Petition of Right Pada dasarnya Petition of Rights berisi pertanyaanpertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut : (5) Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan. (6) Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya. (7) Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai. 3) Hobeas Corpus Act Hobeas Corpus Act adalah undang-undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah sebagai berikut : (1) Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah penahanan. (2) Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum. b. Pengertian Habeas Corpus Act Menurut Curtis R. Reitz pengertian habeas corpus dalam tulisannya yang berjudul ”Principle of Habeas Corpus”menerangkan bahwa habeas corpus merupakan perintah hakim yang berasal dari abad pertengahan, yang memerintahkan orang yang menguasai tahanan untuk menampulkan sosok tahanan tersebut dihadapan xxxv seorang hakim. Fungsinya yang sangat dikenal adalah bahwa perintah itu mengizinkan hakim untuk memutus apakan kustodian tersebut diberikan wewenang oleh hukum untuk melakukan penahanan terhadap seseorang. Bilamana hakim berpendapat bahwa penahanan itu melanggar undang-undang, maka tahanan itu harus dilepaskan segera. Dengan demikian setiap penahanan yang dianggap tidak legal dapat dimintakan pemeriksaannya melalui perintah habeas corpus dari hakim. Seseorang yang ditahan dalam kasus pidana segera dapat meminta keputusan penahanannya hakim termasuk untuk jangka meninjau waktu sah atau tidak penahanannya dan kemungkinan dilepaskan dengan jaminan (bail). Habeas Corpus tidak saja dapat dimintakan dalam proses penyidikan, tetapi dapat juga diminta setelah putusan dijatuhkan untuk meninjau apakah lamanya hukuman yang dijatuhkan oleh hakims ah menurut hukum. Di Eropa Kontinental tugas tersebut diserahkan kepada Hakim Komisaris, yaitu hakim karier yang khusus diangkat untuk menjadi hakim komisarus untuk jangka waktu tertentu. Setiap orang yang ditahan oleh polisi atau jaksa memiliki hak untuk dihadapkan kepada hakim komisaris dalam waktu 24 jam. Hakim komisaris inilah yang memeriksa alat-alat bukti yang berhasil dikumpulkan oleh polisi apakan cukup sah untuk menimbulkan dugaan yang keras bahwa telah terjadi satu tindak pidana baha orang itulah yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelakunya. c. Gagasan Munculnya Konsep Habeas Corpus Act Dalam Peradilan Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak xxxvi asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benarbenar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benarbenar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia. Surat perintah habeas corpus ini dilekuarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah habeas corpus (the writ of habeas corpus) adalah sebagai berikut: “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”. d. Prinsip Dasar Habeas Corpus Act Prinsip dasar habeas corpus ini memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. xxxvii Hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi saat itu dimana sering terjadi perkosaan hak asasi tersangka atau terdakwa oleh penyidik dan jaksa penuntut umum, karena tidak adanya suatu lembaga atau mekanisme yang dapat menilai dan menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Seorang tersangka atau terdakwa yang ditangkap atau ditahan, seolah-olah berada dalam suatu “ruangan gelap” dan tidak berdaya sama sekali (helpless). Begitu memprihatikannya kondisi yang ada pada saat itu, bagaimana tidak berdayanya seseorang yang tiba-tiba direnggut kemerdekaannya dan dijebloskan dalam sel penjara tanpa surat perintah penahanan tanpa sempat didengan dan diperiksa terlebih dahulu, dan sama sekali tidak bisa berhubungan dengan dunia luar termasuk keluarga, atau dengan perkataan lain, dengan serta merta menjadi incommunicado. Sehingga pada saat itu perlunya suatu forum terbuka yang padamemberikan hak berupa upaya hukum pada seseorang untuk melawan atau menggugat tindakan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penguasa. Padahal sistem peradilan yang ada menganut asas praduga tidak bersalah, yang artinya setiap orang yang disangka atau diduga keras telah melakukan tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya oleh suatu putusan pengadilan melalui sidang peradilan yang terbuka, bebas dan tidak memihak. Maka orang tersebut haruslah dijunjung dan dilindungi hak asasinya. Namun pada kenyataannya dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru disangka atau diduga melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau penuntut umum seringkali langsung saja menggunakan upaya paksa (dwang middelen) tanpa dipenuhinya syarat-syarat formil terutama syarat-syarat materiil dalam hal penangkapan maupun penahanan. xxxviii Pada dasarnya prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka atau terdakwa untuk melakukan tuntutan ataupun gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia. Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya ataupula atas kuasanya merupakan suatu forum yang terbuka, yang dipimpin seorang hakim atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya di muka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya dalam Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum. Sebab dalam forum itu pihak penyidik atau penuntut umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan adanya alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi kejahatannya. xxxix Disamping itu, melalui forum praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjungjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup dan sewenang-wenang dalam menahan orang ataupun memperpanjang penahanan juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui forum terbuka masyarakat juga dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim praperadilan yang memerdekakannya 4. Tinjauan tentang Sistem Hukum a. Konsep Negara Hukum (Rule of Law) Pada dasarnya gagasan mengenai konsep negara hukum (rule of law) dikemukakan oleh dikembangkan oleh para ahli baik oleh Plato, Aristoteles, John Lock, Montesque dan sebagainya masih bersifat samarsamar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep Rechsstaat yang dikembangkan oleh Frederich Julius Stahl di Eropa Contiental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah: 1) Perlindungan hak-hak asasi manusia 2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3) Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan; dan xl 4) Peradilan administrasi dalam perselisihan. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule of Law) yang dikembangkan oleh A.V Dicey, yang lahir dalam naungan system hukum Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of Law sebagai berikut. 1) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power) 2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun orang pejabat. 3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan. Lebih lanjut H. Abdul Latief mengemukakan bahwa Negara hukum pada prinsipnya mengandung unsur-unsur: 1) Pemerintahan dilakukan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) dimana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh Undang-Undang Dasar atau UndangUndang. 2) Dalam Negara itu hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh penguasa yang bersangkutan. 3) Kekuasaan pemerintah dalam Negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan, tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga kenegaraan tersebut. 4) Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan pemerintah dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak yang diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak. xli Munculnya “unsur peradilan administrasi dalam perselisihan” pada konsep rechsstaat menunjukan adanya hubungan historis antara negara hukum Eropa Kontinental dengan hukum Romawi. Philipus M. Hadjon menberikan pendapat berikut ini: “Konsep rechsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “Civil Law” atau ”Modern Roman Law”, sedangkan konsep Rule Of Law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “Common Law”. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan Karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada Zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasi kepada pejabatpejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengkata. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem continental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administraf “ dan inti dari “droit administraf“ adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat, di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi Negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi).” Dalam perkembangannya konsep negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat di antaranya:” 1) Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat 2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan; 3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 5) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan xlii tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif; 6) Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah; 7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. b. Pengertian Sistem Hukum Dalam suatu sistem terdapat ciri-ciri tertentu, yaitu terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan, saling mengalami ketergantungan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegrasi. Prof. Subekti, S.H. (dalam Seminar Hukum Nasional IV Maret 1979 di Jakarta) berkaitan dengan hukum menjelaskan bahwa “suatu sistem adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”. Setiap sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya. Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Dengan demikian, sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan fungsional. Jadi, hukum adalah suatu sistem. Artinya suatu susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. xliii B. Kerangka Pemikiran Hak Asasi Manusia Konsep Habeas Corpus Hak Asasi Manusia Dalam Bidang Peradilan Regulasi Ketentuanketentuan KUHAP Pelaksanan Prinsip Negara Hukum “Rule of Law” Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan Bermartabat (Due Process of Law) Gambar 1. Skematik Keraka Pemikiran xliv Penjelasan kerangka pemikiran : Dalam rangka mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat (due process of law) yang ada di Indonesia pada dasarnya pelaksanaan acara peradilan pidana diatur melalui ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses peradilan perkara pidana. Dimana melalui Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diharapkan akan mampu mencari dan menemukan kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan secara benar dan tepat, memberikan suatu keputusan hakim, dan melaksanakan (eksekusi) putusan hakim yang dapat dilaksanakan dengan secara adil dan tetap menjunjung martabat manusia dengan adanya pengkuan terhadap hak-hak asasi manusia pada setiap tahapan proses peradilan. Konsep habeas courpus act yang mampu memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan dalam proses peradilan, habeas corpus act juga memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan adanya penerapan konsep habeas corpus dalam proses peradilan yang diatur melalui ketentuan-ketetuan yang ada pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana merupakan bentuk implementasi dari pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum (rule of law) yang bersifat universal karena konsep ini memang elah diakui oleh bangsa-bangsa di dunia. Dengan adanya pemberlakuan konsep habeas corpus dalam regulasi ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diharapkan akan tercipta pengakuan terhadap supremasi hukum, jaminan terhadap hak- xlv hak azasi manusia dalam proses peradilan, persamaan dalam hukum, asas legalitas, sehingga pelaksanaan hukum yang ada di negara Indonesia dapat terwujud sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan mampu mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat. xlvi BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pencerminan Konsep Habeas Corpus Act Dalam Regulasi Ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Sebagai Implementasi Dari Prinsip Negara Hukum (State Law) yang bersifat universal. Dalam sistem hukum yang baik, berusaha untuk membatasi tindakan yang merugikan masyarakat demi rasa aman masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat merasa tidak aman, terjadilah tindakantindakan main hakim sendiri atau yang sering dikenal dengan take the law into their own hands. Tindakan main hakim sendiri adalah perwujudan gagalnya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan jaminan rasa aman kepada masyarakat, baik terhadap keamanan jiwa maupun harta bendanya. Oleh karena itu, untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, tugas menciptakan keamanan masyarakat itu diserahkan kepada negara melalui Sistem Peradilan Pidana. Konsepsi Sistem Peradilan Pidana adalah teori yang berkenaan dengan upaya pengendalian kejahatan melalui kerjasama dan koordinasi antara lembaga penegak hukum, yang oleh undang-undang diberi tugas untuk itu. Seperti kepolisian dalam penyidikan, kejaksaan dalam penuntutan, Mahkamah Agung (pengadilan) dalam peradilan, Lembaga Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan HAM) dalam pemasyarakatan, dan Advokat dalam pemberian bantuan hukum. Namun, koordinasi antara lembaga penegak hukum sering terjadi tidak sebagaimana yang diharapkan. Kita mengetahui bahwa lembaga-lembaga tersebut masingmasing secara administratif berdiri sendiri. Di mana semua komponen ini seharusnya bekerja secara terpadu (integrated). 35 xlvii Di Indonesia perlindungan dan perlakuan yang sama di depan hukum merupakan bentuk hak asasi yang paling sulit dijalankan dalam Sistem Peradilan Pidana. Seorang tersangka, terdakwa atau terpidana, merupakan pihak yang rentan atas pelanggaran HAM. Pemerintah, yang berdasarkan undang-undang wajib memenuhi HAM tersebut, seringkali tidak mampu melakukan perlindungan apapun ketika dituntut untuk memenuhi kewajibannya. Hukum acara pidana merupakan ketentuan mengenai proses peradilan pidana. Oleh karena itu, kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjalani proses peradilan pidana sampai menjalani hukumannya, diatur juga dalam hukum acara pidana. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka melindungi HAM. Melalui sejumlah prosedur hukum itulah, hakim dapat tiba pada kesimpulan apakah seseorang secara faktual dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang hukum pidana materil. Sementara itu, hak untuk menuntut tanggung jawab terhadap pelanggaran atas hak asasi seorang tersangka, terdakwa maupun terpidana, dijamin melalui lembaga seperti Habeas Corpus di Australia dan Inggris, lembaga Praperadilan di Indonesia, atau lembaga Rechter-Commisaris di Belanda. Ciri-ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana ialah: a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan penasihat hukum); b. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara; d. Penggunaan hukum sebagai administrasi keadilan. xlviii instrumen untuk memantapkan Tujuan pokok gabungan fungsi Sistem Peradilan Pidana adalah untuk menegakkan, melaksanakan (menjalankan) dan memutuskan hukum pidana. Dengan demikian, kegiatan Sistem Peradilan Pidana didukung dan dilaksanakan oleh 4 (empat) fungsi utama : a. Fungsi pembuatan undang-undang (law making function). Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah atau badan lain berdasarkan delegated legislation. Sedapat mungkin, hukum yang diatur dalam undang-undang, tidak kaku (not rigid), fleksibel, dan akomodatif terhadap kondisi-kondisi perubahan sosial (enough to accomodate changing social conditions). b. Fungsi penegakan hukum (law enforcement function) Tujuan objektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social order) : 1) Penegakan hukum secara aktual (the actual law enforcement) meliputi tindakan : a) Penyelidikan-penyidikan (investigation); b) Penangkapan (arrest)-penahanan (detention); c) Persidangan pengadilan (trial); d) Pemidanaan (punishment) guna memperbaiki tingkah laku individu terpidana (correcting the behavior of individual offender). 2) Efek preventif (preventive effect) Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat) melakukan tindak pidana. Kehadiran dan eksistensi polisi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dimaksudkan sebagai upaya pencegahan. Dengan demikan, kehadiran dan keberadaan polisi dianggap mengandung preventive effect yang memiliki daya cegah (detterent effort) anggota masyarakat melakukan tindak kriminal. xlix c. Fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan (Function of Adjudication) Fungsi ini merupakan subfungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim serta pejabat pengadilan yang terkait. Melalui fungsi inilah ditentukan : 1) Kesalahan terdakwa (the determination of guilty); 2) Penjatuhan hukuman (the imposition of punishment). d. Fungsi memperbaiki terpidana (The Function of Punishment) Fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan Sosial terkait, dan Lembaga Kesehatan Mental. Tujuan umum semua lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana : merehabilitasi pelaku pidana (to rehabilitate the offender) agar dapat menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and productive life). Selain adanya kebutuhan akan keterpaduan Sistem Peradilan Pidana, suatu sistem berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Hal ini sejalan dengan tujuan akhir dari politik kriminal yaitu perlindungan masyarakat dalam kerangka kebijaksanaan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau politik sosial. Manfaat lain yang terutama dari kebutuhan akan keterpaduan Sistem Peradilan Pidana adalah terciptanya perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia dalam proses pidana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan negara hukum kesejahteraan (welfare state) harus didukung oleh kebijaksanaan penegakan hukum pidana melalui Sistem Peradilan Pidana, terutama melalui hukum acara pidana (hukum pidana formal). l Pada dasarnya regulasi dalam ketentuan KUHAP diatur kewenangan para fungsionaris dalam peradilan pidana seperti penyidik, penuntut umum, advokat dan hakim serta hak-hak dan atau kewenangan dari saksi, ahli, Terdakwa dan masyarakat. Dalam pasal 108 ayat (1) ditentukan bahwa: “ setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis”. Pada saat yang sama, dalam ayat (3) ditentukan bahwa: “ setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik”. Dengan demikian, sejak awal KUHAP mengakui legal standing dari masyarakat dengan rumusan “berhak”, artinya kewajiban untuk aparatur penegak hukum bila hak itu digunakan. Kaedah ini berangkat dari satu konsep bahwa peradilan pidana adalah untuk melindungi masyarakat atau kepentingan umum. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya penyidik menghormati, menjunjung tinggi dan mentaati hak asasi manusia (vide, penjelasan Pasal 5 jo Pasal 4 UU 2002:2 tentang Kepolisian, bab IV Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 TH.1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP atau “Kepmenkeh-1982”). Dalam Kepmenkeh 1982 itu ditegaskan bahwa: “ dalam hubungan dengan Hukum Acara Pidana Baru (maksudnya KUHAP), yang memberi jaminan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang dalam hal ini mempunyai sifat universal, maka deklarasi maupun konvensi-konvensi internasional seperti “the Universal declaration of Human Rights” yang disahkan oleh sidang umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, serta “the International Convenant on Civil and Political Rights” beserta optional protocol-nya yang diterima li dan disahkan oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966, dapat digunakan untuk mengukur nilai Hukum Acara Pidana baru ini”. Dari uraian kaedah hukum di atas dapat disimpulkan bahwa pihakpihak yang diakui secara hukum dalam proses peradilan pidana ialah negara dengan fungsi-fungsinya (penyidikan, penuntutan dan penghakiman serta pemasyarakatan), Terdakwa beserta ahli warisnya dan Advokatnya serta masyarakat apakah sebagai korban, ahli atau sebagai pemberi informasi. Sebagai pihak dalam proses peradilan pidana fungsionaris itu diakui serta dilindungi oleh hukum HAM khusnya yang dikenai tindakan-tindakan paksa yang telah menjadi bagian Hukum Acara Pidana itu. Sebagaimana diketahui KUHAP diciptakan guna merealisasikan hukum pidana. Tujuan dari hukum pidana ialah untuk menemukan kebenaran materil. Dalam bahasa teori hukum, tujuan pidana ialah tercapainya keadilan substantif bukan keadilan formal. Satu proses, disebut sebagai hanya sampai pada keadilan formal bila proses itu berjalan terbatas pada formalitas (bentuk-bentuk) dari kewenangan dari aparatur itu. John Rawls (2003:51) mengatakan bahwa suatu keadilan dikatakan sebagai keadilan formal bila sekedar obedience to system. Namun bila tidak sekedar obedience to the system tapi honoring of legitimate expectations, maka keadilan formal itu akan berubah menjadi keadilan substantif atau materil. Dalam peradilan pidana, pihak-pihak dalam perkara pidana yaitu Jaksa Penuntut Umum yang mewakili masyarakat dan pesakitan (tersangka dan terdakwa) yang dapat didampingi Advokat dalam menemukan keadilan sustantif itu mengikuti sistem tertentu dan doktrin serta asas-asas tertentu. KUHAP, seperti telah disebutkan sebelumnya, pada dasarnya menganut konsep non adversary sistem dengan dominasi asas inkuisitoir dalam pemeriksaan pendahuluan. Namun dalam perkembangannya konsep HAM juga diadopsi menjadi bagiannya. Oleh karena itu dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan KUHAP disebutkan secara eksplisit bahwa para penegak lii hukum mempunyai kewajiban untuk memperhatikan hak asasi manusia. Dalam perspektif itu, masyarakat dalam berhadap-hadapan dengan kekuasaan negara mendapatkan perlindungan dari Hukum Hak Asasi manusia, utamanya dalam menilai keseimbangan dalam proses peradilan pidana seperti dalam dua perkara diuraikan di atas. Dalam Pasal 2 UU 1986:2 tentang Peradilan Umum ditentukan bahwa Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan adalah untuk menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan (vide, ps 3 ayat UU 2004:4). Warga negara memiliki hak melaporkan tindak pidana bila mengetahui suatu tindak pidana (pasal 108 ayat (1) KUHAP) dan merupakan kewajiban pada penegak hukum bila hak tersebut digunakan. Secara konstitusional ditentukan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 45 bahwa sumber daya alam dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu adalah tidak sesuai dengan hukumnya bila dalam mencari keadilan itu dihalang-halangi atau terhalang hanya karena masalah formalitas belaka. Bila tidak ada hukumnya maka adalah kewajiban pengadilan menemukannya (vide, Pasal 27 UU 1970 jo Pasal 28 UU 2004:4). Karena menemukan hukum itu sudah diatur dalam perundangundangan maka sudah dengan sendirinya tidak akan menegasikan asas legalitas. Dengan kata lain bila hal itu dilakukan maka meminjam istilah John Rawls melaksanakan legimate expectation yang merupakan kewajiban dari peradilan itu. Secara teoritis H.L.A Hart (1961: 77-89) telah merumuskan hal ini dengan mengatakan “the union of primary rule and secondary rule”. Artinya, bila dibiarkan warga negara yang mencari keadilan terhalang hanya karena formalitasnya tidak eksplisit, tidak jelas dan kabur dst maka hal tersebut berarti negara telah memisahkan primary rule dan secondary rule itu. liii Dengan begitu, keadilan akan tidak tercapai hanya karena aparatur dalam proses pendahuluan telah menjadi barrier. Pada saat yang sama dengan tidak dijalankannya kewajiban hukum sesuai ketentuannya maka aparat penegak hukum dapat dianggap telah melakukan impunity terhadap pelaku tindak pidana bahkan mungkin “delict by omission” sebagaimana diatur dalam hukum HAM. Dengan demikian, dengan melihat prima facie evidence yang dalam KUHAP disebut dengan bukti permulaan yang cukup. sebagaimana Lagi pula, pada saat yang sama secara substansial berdasarkan teori hukum tentang keadilan,mereka adalah juga korban yang mewakili dirinya sendiri dan masyarakat yang lain sekaligus. Dua putusan perkara ini adalah dalam tahap proses Praperadilan. Praperadilan itu bila dilihat dari sejarah pembentukannya dimaksudkan sebagai habeas corpus yang sudah dikenal dalam berbagai sistem hukum tidak saja di Barat termasuk dalam KUHAP. Namun, menjadi permasalahan adalah ternyata dalam rumusan pasal-pasal KUHAP tidak mencerminkan secara sempurna konsep habeas corpus tersebut. Akibatnya, sebagaimana terlihat dari dua perkara di atas, bahkan membedakan apakah praperadilan itu akan mengkuti hukum acara perdata, hukum administrasi negara atau hukum pidana saja terlihat tumpang tindih. Akibatnya, dalam menggunakan istilah Praperadilan ada yang menyebutnya sebagai gugatan, permohonan, class action, pengawasan horisontal aparatur, dan seterusnya. Semua ini terjadi bukan semata-mata cara melihat dari aparatur itu tetapi juga karena sejak awal terdapat keraguraguan (ambiguity) pembuat KUHAP tentang praperadilan antara akan mengikutinya sebagai habeas corpus atau tidak. Bila melihat sejarah pembentukannya memang terlihat tarik-menarik itu, masyarakat seperti organisasi profesi menghendaki agar memuat dengan kuat soal HAM-nya termasuk lembaga praperadilan namun pemerintah tidak begitu setuju. Sehingga masalah HAM dalam KUHAP dalam banyak hal menjadi terbatas sebagai retorika daripada sungguh-sungguh berarti (substantif). liv KUHAP mengatur kewenangan pengadilan untuk mengadili antara lain dalam proses Praperadilan (vide, bab X bagian kesatu). Substansinya ialah pada keabsahan dari upaya paksa penangkapan dan penahanan, serta sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Upaya paksa dalam peradilan pidana adalah merupakan negasi terhadap hak yang bersifat fundamental namun dilegitimasi oleh kekuatan UU. Artinya selama UU diterapkan secara penuh maka selama itu pula dapat dibenarkan negasi terhadap fundamental rights ini. Ketentuan ini adalah sejalan dengan legisme dalam hukum kita. Selain itu, tentang penghentian penyidikan dan penuntutan yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini serta permintaan ganti-rugi dan rehabilitasi akibat tidak sahnya upaya paksa adalah merupakan bagian pemeriksaan Praperadilan. Namun substansi Praperadilan ini tetap tidak simetris dengan substansi dari Habeas Corpus, sekalipun bila melihat sejarah pembentukannya dimaksudkan sebagai Habeas Corpus. Secara konseptual, habeas corpus adalah pranata hukum praperadilan untuk mengimbangi kewenangan dari penegak hukum khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang mempengaruhi perlindungan HAM termasuk upaya paksa itu sebagaimana secara eksplisit disebut demikian dalam hukum acara pidana. Selain itu, pada saat yang sama sebagai sarana “yang berkepentingan dalam proses peradilan pidana” untuk dapat mengakses pengadilan guna terwujudnya keadilan sesuai dengan tujuan dari peradilan pidana itu. Berdasarkan itu maka dalam hal penegak hukum merasa tidak perlu untuk membawa suatu kasus ke pengadilan padahal dari sudut hukum dan keadilan hal tersebut sangat tidak benar maka praperadilan dapat menjadi sarana agar kasus itu sampai kepengadilan demi kepastian hukum dan guna ditemukannya keadilan. Dengan demikian berdasarkan konsep habeas corpus, praperadilan seharusnya tidak dibatasi hanya kepada saksi yang menjadi korban saja, akan tetapi termasuk masyarakat luas, guna mendapatkan keadilan dalam proses peradilan pidana. lv Berdasarkan konsep habeas corpus act dalam sistem peradilan Anglo Saxon memberikan jaminan fundamental tehadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Konsep habes corpus act pada dasarnya merupakan suatu jaminan serta pengamanan atas kemerdekaan pribadi melalui prosedur sederhana, langsung dan terbuka yang dapat dipergunakan oleh siapapun juga. Melalui habeas corpus act, maka seseorang melalui surat perintah pengadilan dapat menuntut pejabat yang melakukan penahanan untuk membuktikan bahwa penahanan tersebut tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam penerapannya peradilan yang menerapkan konsep habeas corpus act tidak hanya ditujukan untuk kpada penahaman yang terkait dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi. Seperti dalam pelaksanaan praperadilan dan peradilan yang ada di negara Indonesia seringkali terdapat unsur paksaan. Hal ini seringkali menimbulkan pengabaian terhadap hakhak asasi manusia. Terkait dengan permasalahan ini, Adnan Buyung Nasution menerangkan bahwa terdapat beberapa kelemahan/kekurangan daam pra peradilan di Indoensia, diantaranya yaitu : a. Tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepannya oleh lembaga pra peradilan. Misalnya tidakan penggeledahan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surattidak dijelakan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran. Dalam Pasa 95 ayat (1) KUHAP telah mengkomodir pengajuan ganti rugi terhadap tindakan-tindakan lain aparat penegak hukum yang tidak sah untuk dilakukan. Tindakan yang dimaksud alam penjelasan pasal ini diartikan seabgai lvi pemasukan rumah, penggeledahan danpenyitaan. Sehingga review atas upaya paksa lain secara tidak langsung juga dilakukan walaupun setelah proses peradilan atas perkara pidana yang bersangkutan selesai. Namun hal ni tentunya menimbulkan pendapat bahwa pemulihan atas pembatasan hak milik seseorang melalui upaya paksa ini memakan waktu yng terlalu lama dan bukan tidak mungkin menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan jika diperiksa melalui praperadilan sebelum pemeriksaan pokok perkara selesai dilaksanakan. b. Praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, tanpa adanya perminataan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Sehingga apabila permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau penahanan nyata-nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka sidang praperadilan tidak dapat diadakan. Sebenarnya hal in isedikit banyak dapat diatasi apabila diatur suatu tata cara seperti halnya pelaksanaan penggeledehan, penyitaan dan pemeriksaan surat. (Pasal 32-49 KUHAP) yang mengharuskan penyidik untuk melaporkan tindakan upaya paksa yang dilakukannya apabila penggeledehan, penyitaan dan pemeriksaan surat dilakukan pada kedaan yang mendesak (tanpa surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri). Sehingga walaupun tidak ada permintaan praperadilan, penangkapan aparat. Selain itu dapat ditambahkan pengaturan mengenai sanksi apabila proses pelaporan tidak dilakukan atau setidak-tidaknya diatur menjadi salah satu syarat sahnya penangkapan dan penahanan. c. Dalam praktek pemeriksaan pra peradilan selama ini, hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi atau tidaknya syarat-syarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penangpakan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), dan samna sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya. lvii Padahal syarat materiil inilah yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum. Hakim pada praperadilan seolah-oleh tidak peduli apakah tindakan penyidikan atau jaksa penuntut umum yang melakukan penangkapan telah memenuhi syarat-syarat materiil, yaitu adanya ”dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan ”bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh hakim karena umumnya hakim praperadilan menganggap bahwa itu bukan menjadi tugas dan wewenangna, melainkan sudah memasuki materi pemeriksaan perkara yang menjadi wewenang hakim dalam sidang pengadilan negeri. Demikian juga dalam hal penahanan, hakim tidak menilai apakah tersangka atau terdakwa yang ”diduga keras” melakukan tindak pidana berdasarkan ”bukti yang cukup” benar-benar ada alasan yang kongkrit dan nyata yang menimbulkan kekhawatiran bahwa yang bersangkutan ”akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi perbuatannya”. Para hakim umumnya menerima saja bahwa adanya kekhawatiran tersebut semata-mata merupakan urusan penilan subjektif dari pihak penyidik atau penuntut umum, atau dengan lain perkara yang menyerahkan semata-mata kepada hak diskresi dari pihak penyidik dan penuntut umum. 2. Konsekuensi Konsep Habeas Corpus Act dalam Ketentuan Regulasi KUHAP dengan Upaya Mewujudkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan Bermartabat (Due Process of Law) Dalam konsekuensi konsep Habeas Corpus Act terlihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang sering disebut KUHAP yang diberlakukan mulai tahun 1981 untuk menggantikan hukum acara pidana yang terdapat dalam HIR 1941 lviii (het Herziene Inlandsh Reglement diterjemahkan sebagai Reglemen Indonesia yang dibaharui, disingkat RIB). Apa yang ingin diganti oleh bangsa Indonesia dari HIR melalui KUHAP dalam proses pembentukan KUHAP (1969-1981) menunjukkan bahwa yang ingin diperjuangkan adalah pemahaman untuk melihat proses peradilan pidana itu sebagai berlandaskan proses hukum yang adil (due process of law), dimana hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana dilindungi serta dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil rights) dan karena itu bagian dari hak asasi manusia. Ada sepuluh asas yang ditegaskan dalam Penjelasan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Kesepuluh asas ini dapat dibedakan menjadi 7 (tujuh) asas umum dan 3 (tiga) asas khusus, yaitu : a. Asas-asas umum : 1) Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun; 2) Praduga tidak bersalah; 3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; 4) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum; 5) Hak pengadilan terdakwa di muka pengadilan; 6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; 7) Peradilan yang terbuka untuk umum. b. Asas-asas khusus : 1) Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undangundang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis); 2) Hak seorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; lix 3) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusanputusannya. Asas pertama tentang “perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi”, tidak saja terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi juga tercantum dalam bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Asas ini serupa dengan yang terdapat dalam Pasal 6 dan 7 UDHR dan Pasal 16 ICCPR. Baik tersangka, terdakwa dan aparat penegak hukum adalah sama-sama warga negara yang mempunyai hak, kedudukan dan kewajiban yang sama di hadapan hukum, yakni sama-sama bertujuan mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Setiap orang, apakah ia tersangka atau terdakwa, berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa adanya diskriminasi. Asas kedua tentang “praduga tak bersalah”, Unsur-unsur dalam asas ini adalah prinsip utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law), yang mencakup : a. Bahwa kesalahan seseorang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan yang jujur atau fair trail , berimbang dan tidak memihak (impartiality); b. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara; c. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka untuk umum; d. Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya, tanpa campur tangan pemerintah atau kekuasaan sosial politik manapun. Asas ketiga, adalah tentang “hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi”. Hak ini sebenarnya mengandung dua asas, yaitu : a. Hak waga negara untuk memperoleh kompensasi (yang berbentuk uang) dan rehabilitasi (yang berupa pemulihan nama baiknya). b. Kewajiban pejabat penegak hukum mempertanggungjawabkan (accountability) perilakunya selama tahap pra-ajudikasi. lx Prinsip yang terkandung pula dalam asas ini adalah bahwa negara dapat pula meminta mempertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukan terhadap warga negaranya. Asas keempat adalah tentang “hak untuk mendapat bantuan hukum”. Apabila seorang warga negara berhak untuk diperlakukan sama di muka hukum dan para pejabat hukum harus memberlakukannya dengan praduga bahwa ia tidak bersalah, dengan akibat bahwa apabila terjadi kesewenangan ia akan memperoleh kompensasi dan atau rehabilitasi, maka doktrin “equality of arms” juga harus ditaati. Negara, melalui aparat kepolisian dan kejaksaan, selalu mempunyai kesempatan yang lebih besar dibanding dengan kesempatan yang dimiliki tersangka dan terdakwa (yang kemungkinan besar berada dalam tahanan). Hak untuk membela diri telah diperoleh melalui asas praduga tidak bersalah, akan tetapi doktrin “equality of arms” ini didasarkan pada keadaan tersangka dan terdakwa yang sangat tidak seimbang (disadvantage) menghadapi negara. Asas inipun menuntut adanya profesi advokat yang bebas (an independent legal profession). Kebebasan profesi advokat ini harus diartikan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti seorang advokat apabila ia membela seorang klien yang “tidak disukai” masyarakat atau negara. Asas kelima, merupakan “hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan”, yang harus diperhatikan bahwa pengadilan tidak dapat memeriksa suatu perkara tindak pidana apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan oleh jaksa. Dengan berpedoman pada proses hukum yang adil, bagaimanapun kuatnya bukti-bukti yang dimiliki polisi atau penuntut umum, akan tetapi “sudut pandang” tersangka atau terdakwa selalu masih harus didengar dan dipertimbangkan. Apabila tersangka atau terdakwa tidak dapat hadir atau dihadirkan, maka suatu proses peradilan pidana yang tetap juga dijalankan, telah melanggar “hak untuk membela diri” dan “praduga tidak bersalah” seorang warga negara. Meskipun KUHAP tidak memuat asas ini secara jelas dalam ketentuan-ketentuannya, tetapi penafsiran bahwa peradilan “in absentia” tidak dimungkinkan dalam lxi KUHAP dapat terbaca dari beberapa pasal (misalnya pasal-pasal 145 (5), 154 (5), 155 (1), 203 dan 205). Pengecualian hanya terdapat dalam perkara pelanggaran lalu-lintas (Pasal 214 (1)). Apa yang tidak boleh ditafsirkan dari asas kehadiran ini, adalah bahwa kehadiran terdakwa pada sidang pengadilan dimaksudkan untuk “mempermalukan” terdakwa di muka umum. Tujuannya hanyalah untuk memberi kesempatan terdakwa mengajukan pembelaan, dengan diperlakukan sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia. Asas keenam menegaskan adanya “peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana”. Di sini kita lihat ada dua asas, yaitu : i. Peradilan yang bebas dari pengaruh siapapun; ii. Bahwa cara proses peradilan pidana haruslah cepat dengan sederhana. Kebebasan peradilan (independent judiciary) adalah titik pusat dari konsep negara hukum yang menganut paham “rule of law”, di mana hukum ditegakkan secara tidak berpihak (impartial). Peradilan yang bebas tidak akan mengijinkan adanya “show trials” di mana terdakwa tidak diberikan kesempatan yang layak untuk membela diri dan di mana orang sudah dapat menduga bahwa putusan hakim akan mempersalahkan terdakwa tanpa menghiraukan pembuktian ataupun pembelaan. Keinginan mempunyai proses peradilan pidana yang cepat dan sederhana, merupakan tuntutan yang logis dari setiap tersangka dan terdakwa. Asas ini dimaksudkan untuk mengurangi sampai seminimal mungkin penderitaan tersangka maupun terdakwa. Apalagi bilamana tersangka atau terdakwa berada dalam tahanan, maka ia berhak menuntut diadili dalam jangka waktu yang wajar. Tidak boleh ada kelambatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh penegak hukum (Pasal 50 KUHAP). Asas ketujuh adalah tentang “peradilan yang terbuka untuk umum” disini adalah adanya “public hearing” dan dimaksudkan untuk mencegah adanya “secret hearing”, dimana masyarakat tidak dapat mengawasi apakah pengadilan secara seksama telah melindungi hak-hak terdakwa. Tidak pernah asas ini boleh diartikan untuk menjadikan lxii peradilan itu suatu “show case” atau dimaksudkan sebagai “instrument of deterrence”, baik dengan cara mempermalukan terdakwa (prevensi khusus) ataupun menakut-nakuti masyarakat atau “potential offenders” (prevensi umum). Perkecualian dari asas ini haruslah dilakukan dengan undang-undang dan dengan syarat bahwa dasarnya adalah kepentingan umum yang berlaku dalam negara demokrasi. Asas kedelapan tentang “dasar undang-undang dan kewajiban adanya surat perintah dalam pelanggaran atas hak-hak individu warga negara”. Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak-hak individu warga negara” adalah pelanggaran atas hak kemerdekaan (individual freedom of the citizen) yang dijamin oleh UUD 1945. Jaminan kontitusional ini hanya boleh dilanggar berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang dan oleh pejabat negara yang diberi wewenang oleh undangundang pula. Pelanggaran yang berupa: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan itu, hanya boleh dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP. Hak individu warga negara ini dapat kita lihat dalam Pasal 3 UDHC, yaitu “the right to life, liberty and security”. Tidak akan ada artinya hak-hak warga negara ini, bilamana secara sewenang-wenang negara dapat (melalui aparatnya): membunuh (extrajudicial execution), menangkap, menahan, menyiksa, menggeledah dan menyita barang seorang warga negara. Ini jelas bukan perbuatan yang sah dalam suatu negara hukum. Asas kesembilan tentang “hak seorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya”, asas ini merupakan salah satu unsur dasar dalam hak warga negara atas “liberty and security”. Kelima unsur dasar ini menurut Paul Sieghart adalah : a. “no one shall be arrested or detained except on grounds, and by procedures, established by law” (asas kedelapan); b. “when anyone is arrested, he must be told why” (asas kesembilan); c. “he must then be brought promptly before a judicial officer” (asas keenam dan lembaga praperadilan dalam KUHAP); lxiii d. “and either released or tried within a reasonable time” (asas keenam); e. “he must always be entitled to test the legality of his detention by proceedings before a court” (praperadilan dan asas keenam). Kelima unsur dasar yang dikemukakan di atas merupakan suatu konsep dari mana berbagai hak tersangka dapat dikembangkan, baik melalui undang-undang, putusan pengadilan (yurisprudensi tentang hukum acara pidana) maupun cara-cara yang baik dalam penegakan hukum (behoorlijk rechtshandhaving, decent law enforcement). Asas kesembilan di atas adalah bagian dari pemahaman yang benar tentang “due process of law” (proses hukum yang adil) dimana salah satu unsurnya (lihat asas kedua) adalah: “tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya”. Bagaimana seorang tersangka dapat dengan baik “membela” dirinya dalam interogasi oleh penyidik bilamana dia tidak diberitahu dengan jelas alasan penangkapannya. Asas kesembilan ini juga menjelaskan mengapa penasihat hukum sejak saat penangkapan berhak untuk melihat berkas perkara yang disusun oleh penyidik sebagai dasar pengajuan perkara kepada jaksa/penuntut umum. Asas kesepuluh membawa kita kepada tahap purna-ajudikasi (post-adjudication) dan tidak lagi menyangkut seorang tersangka atau terdakwa, tetapi seorang terpidana. Asas bahwa pengadilan berkewajiban mengendalikan pelaksanaan putusannya, dapat hanyalah dilihat sejauh kewajiban pengawasan. Pada umumnya hakim (pengadilan) mengambil sikap bahwa tanggungjawabnya berakhir dengan diberikannya putusan. Sikap semacam ini tidaklah benar, karena khususnya dalam hal pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) ketepatan putusan pengadilan tersebut masih perlu diuji. Mempelajari asas-asas di atas tidak dapat dilepaskan dari “desain prosedur” (procedural design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP. Sistem ini dapat dibagi dalam tiga tahap : a. Tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication); lxiv b. Tahap ajudikasi (adjudication); c. Tahap purna ajudikasi (post-adjudication). Urutan di atas adalah jelas, tetapi yang sering tidak terlihat jelas (tidak transparan) adalah tahap mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Suatu desain prosedur yang memberikan dominasi kepada tahap pra-ajudikasi tidak menguntungkan perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Karena apabila sidang pengadilan (tahap ajudikasi) mendasarkan diri terutama pada data dan bukti yang dikumpulkan dalam tahap penyidikan (tahap pra-ajudikasi), maka pengadilan akan sangat tergantung pada apa yang disampaikan oleh polisi dan jaksa tentang perkara pidana tersebut. Terdakwa dan pembelanya akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Bukti-bukti baru, kesaksian a de charge dan setiap pendapat terdakwa terhadap setiap peristiwa atau fakta dalam perkaranya, selalu akan dinilai oleh hakim dengan memperbandingkannya terhadap pandangan jaksa atau penuntut umum (berdasarkan pemeriksaan oleh kepolisian). Suatu penafsiran melalui Pasal 191 dan Pasal 197 KUHAP dapat dilakukan. Dari ayat (1) masing-masing pasal tersebut haruslah ditafsirkan bahwa tahap ajudikasi (sidang pengadilan) yang harus “dominan” dalam seluruh proses, karena baik dalam hal putusan bebas maupun putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan. Meskipun rumusan pasal-pasal KUHAP tidak secara jelas merupakan rumusan HAM untuk tersangka dan terdakwa, namun sikap batin (spirit) peraturan perundang-undangan ini menolak pelanggaran HAM dalam setiap tahap dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) kita. Desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana kita yang ditata melalui KUHAP harus memberikan kedudukan “pusat” lxv (dominan) kepada tahap ajudikasi sidang pengadilan. Hanya dalam tahap ajudikasi ini terdakwa dengan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai pihak yang bersamaan derajatnya berhadapan dengan jaksa/penuntut umum. Pengadilan wajib menjamin sepenuhnya hak-hak kedua belah pihak, hak penuntut umum adalah mendakwa dan hak terdakwa adalah membela dirinya terhadap dakwaan. Suatu proses hukum yang adil (fair trial) dengan majelis hakim yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunal) adalah sangat penting untuk rasa aman masyarakat, tidak kalah penting dari usaha menanggulangi kejahatan itu sendiri. Perlu selalu diingat, bahwa adalah dalam kemampuan kita masing-masing untuk mencegah diri kita melakukan kejahatan, tetapi kita tidak mungkin dapat melepaskan diri kita dari risiko diajukan sebagai tersangka dan terdakwa. Kesepuluh asas di atas, haruslah dilaksanakan dengan baik oleh pihak pemerintah baik oleh aparat maupun pejabat pemerintahan agar terwujudnya perlindungan HAM dan proses penegakan hukum yang adil bagi setiap warga negara Indonesia. Proses pelaksanaannya berawal dari pihak kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga swadaya masyarakat serta dibantu pula oleh pengacara atau advokat di dalam mendampingi tersangka/terdakwa, dari tahap penangkapan, penahanan, penuntutan, putusan pengadilan dan sampai pelaksanaan putusan pengadilan. B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diurakan di atas, maka dapat ditarik pembahasan dalam penelitian ini bahwa dalam pembentukan sistem hukum yang baik, pemerintah selalu berusaha untuk membatasi tindakan yang merugikan masyarakat demi rasa aman masyarakat itu sendiri. Namun kenyataan yang terjadi tindakan mainhakim sendiri juga seringkali masih terjadi di masyarakat kita. Kondisi ini dikarenakan oleh pengabaian hukum, lxvi ketidakhormatan pada hukum, ketidakpercayaan pada hukum, dan penyalahgunaan hukum yang sering terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, tugas menciptakan keamanan masyarakat itu diserahkan kepada negara melalui Sistem Peradilan Pidana. Dengan adanya sistem peradilan pidana mempunyai tujuan baik secara jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Di mana tujuan adanya sistem peradilan jangka pendek untuk adalah untuk resosialisasi, sedangkan tujuan jangka menengah untuk pemberantasan kejahatan dan tujuan jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem peradilan di Indonesia senantiasa berkembang sesuai dengan kondisi yang ada di mayarakat. Perkembangan sistem peradilan pidana dapat dilihat dari bentuk-bentuk hukuman, tambahan jenis hak untuk pelaku dan korban, dan reformasi penegakan hukum. Perkembangan ini dapat dilihat dari berubahnya kebiasaan, ide politik dan kondisi ekonomi. Sistem peradilan pidana merupakan usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Keberhasilan dari sistem inidapat terwujud apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapatkan pidana. Di Indonesia setiap warga negara mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang sama di depan hukum. Karena hal tersebut merupakan bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Dalam pengakuan terhadap hak di bidang hukum ini di jalankanoleh sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia. Berkaitan dengan pelaksanaan konsep habeas corpus yang ada dalam sistem peradilan di Indonesia menjelaskan bahwa seorang tersangka, terdakwa atau terpidana, merupakan pihak yang rentan atas lxvii pelanggaran HAM. Untuk itu pemerintah yang berdasarkan undang-undang wajib memenuhi HAM tersebut, seringkali tidak mampu melakukan perlindungan apapun ketika dituntut untuk memenuhi kewajibannya. Konsep habeas corps dalam sistem peradilan yang ada di Indonesia diimplementasikan dalam ketentuan-ketentuan dalam regulasi Hukum Acara Pidan yang tertuang dalam KUHAP. Hukum acara pidana sebagai ketentuan mengenai proses peradilan pidana merangkan perlunya kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjalani proses peradilan pidana sampai menjalani hukumannya, diatur juga dalam hukum acara pidana. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka melindungi HAM. Dengan demikian bahwa dapat diketahui penerapakan konsep habeas corpus act dapat dilihat dalam regulasi KUHAP melalui sejumlah prosedur hukum itulah, hakim dapat tiba pada kesimpulan apakah seseorang secara faktual dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang hukum pidana materil. Dengan demikian dapat diketahu bahwa sistem peradilan pidana sangat erat kaitannya dengan hak tersangka dan terdakwa yang harus dilindungi berkenaan dengan adanya perlakuan dari penegak hukum dalam melakukan tindakan upaya paksa, mulai dari tahap pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan), penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim, upaya hukum, sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Untuk itu sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem yang harus memiliki struktur yang berfungsi secara koheren, koordinatif dan integratif untuk mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Dengan demikian adanya sistem peradilan pidana yang terpadu dengan baik yang akan meningkatkan efktivitas sistem ini dalam mendukung lxviii penerapan konsep habeas corpus act dalam implementasi dari prinsip negara hukum yang ada di Indonesia. Selain itu dalam implementasi konsephabeas corpus act mempunyai konsekuensi dalam ketentuan regulasi KUHAP dalam rangka upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan bermartabat di di Indonesia menuntut adanya azas-azas umum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang menyangkut tentang adanya perlakuan yang sama di muka hukum tanpa adanya diskriminasi apapu, adanya azas praduga tak bersalah, adanya hak untuk memperoleh kompensasi dan rehabilitasi, adanya hak untuk mendapatkan bantuan hukum, adanya hak pengadilan terdakwa di muka pengadilan, adanya peradailan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana, serta adanya peradilan yang terbuka untuk umum. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem peradilan pidana yang ada di Indoensia menjunjung tinggi terhadap hak asasi manusia sebagai penerapan konsep habeas corpus act secara universal. Selain itu dalam sistem peradilan pidana di Indonesia azas-azas khusus yang pada dasarnya menjunjung tinggi terhadap hak-hak asasi manusia. Diantaranya ditunjukkan dengan apabila terdapat pelanggaran terhada hak-hak individu seperti dalam penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah secara tertulis, adanya pengakuan hak seorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadanya, dan adanya kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. Azas-azas khusus ini merupakan wujud pemberlakuan konsep pengakuan hak-hak asasi manusia di bidang hukum sesuai dengan konsep habeas corpus act yang menerangkan bahwa apabila seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah penahanan dan alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum. lxix Dengan demikian dapat diketahui bahwa penerapan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai implementasi prinsip-prinsip negara hukum yang universia dapat dilaksanakan melalui pembentukan sistem peradilan pindana yang ada di Indonesia. Di mana dalam sistem peradilan pidana tersebut terdapat nilai-nilai yang menjunjung tinggi terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia di bidang hukum khususnya terdakwa dalam proses hukum di Indonesia. lxx BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis dapat menarik kesimpulan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Pencerminan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuanketentuan KUHAP sebagai implementasi prinsip negara hukum di Indonesia dilaksanakan melalui nilai-nilai dalam pelaksanaan sistem peradilan pindana yang ada di Indonesia yang didasarkan pada ketentuanketentuan yang ada dalam KUHAP. 2. Konsekuensi dalam pelaksanaan konsep habeas corpus act dalam regulasi ketentuan-ketentuan KUHAP dalam pelaksanaan prinsip negara hukum yang berkeadilan dan bermartabah di Indonesia memberikan azas-azas dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana yang sangat mengakui dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusi khususnya di bidang hukum baik dalam proses penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan proses peradilan. B. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian ini, maka penulis ingin memberikan sedikit saran yang berkaitan dengan pembahasan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu : 1. Diperlukan implementasi konsep habeas corpus act sebagai bentuk pengakuan hak asasi manusia khusunya dalam peradilan yang telah diakui oleh masyarakat dunia kedalam regulasi sistem peradilan yang ada di negara Indonesia seperti pada ketentuan-ketentuan dalam KUHAP untuk dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya guna menjamin adanya lxxi pengakuan hak asasi manusia dalam pelaksanaan proses peradilan yang ada di negara Indonesia sehingga pelaksanaan prinsip negara hukum yang selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia selalu dapat dijaga. 2. Sebagai bentuk negara hukum, di Indonesia diperlukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia yang sedang menjalankan proses peradilan baik mulai dari proses pemeriksaan polisi, sampai dengan penjatuhan sanksi dan pelaksanaan sanksi hukuman, pada dasarnya orang tersebut tetap mempunyai hak asasi yang sesungguhnya tidak dapat dirampas oleh siapa saja. Sehingga dengan adanya jaminan semacam ini, maka tidak akan ada orang yang merasa di tindas meskipun mereka sedang menjalankan proses peradilan. 3. Dibutuhkan kesadaran bagi para penegak hukum untuk tidak dapat memperlakukan setiap individu yang sedang menjalankan proses peradilan sehingga tetap menghargai hak-hak dari orang tersebut. lxxii