- Universitas Udayana

advertisement
KARYA TULIS ILMIAH
SIMULASI INTENSITAS DIFRAKSI PADA CELAH LINGKARAN (CIRCULER
APERTURE) DENGAN METODE SIMPSON
Oleh :
I Gusti Agung Widagda, S.Si, M.Kom
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Halaman Pengesahan
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Judul Karya Tulis
: Simulasi Intensitas Difraksi pada Celah Lingkaran
(Circular Aperture) dengan metode simpson
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------2. Penulis
a. Nama lengkap dengan gelar : I Gusti Agung Widagda, S.Si, M.Kom
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Pangkat/Golongan/NIP
: Penata Tk. I/III-d/197003311997021001
d. Jabatan Fungsional
: Lektor
e. Fakultas/Jurusan
: MIPA/Fisika
f. Universitas
: Udayana
g. Bidang ilmu
: Fisika Komputasi
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------3. Jumlah Penulis
: 1 (satu) orang
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------4. Kerjasama
a. Nama Instansi
:----------------------------------------------------------------------------------------------------------------5. Jangka Waktu Penulisan
: 6 (enam) bulan
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------6. Biaya
:----------------------------------------------------------------------------------------------------------------Jimbaran,
Desember 2015
Mengetahui,
Dekan FMIPA UNUD
Penulis
(Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M.Si.)
NIP. 196606111997021001
(I Gusti Agung Widagda, S.Si, M.Kom)
NIP. 197003311997021001
ii
Simulasi Intensitas Difraksi Pada Celah Lingkaran (Circular Aperture)
dengan Metode Simpson
I G.A. Widagda
RINGKASAN
Pola difraksi dari cahaya yang melewati celah lingkaran yang teramati pada layar
berupa pita terang dan gelap mengikuti persamaan tertentu. Pola-pola difraksi tersebut
sangat berkaitan dengan intensitas difraksi. Persamaan intensitas difraksi pada celah
berbentuk lingkaran mengandung penyelesaian integral dari fungsi berbentuk
eksponensial. Penyelesaian integral dari fungsi eksponensial sangat susah jika
diselesaikan secara analitik. Jika penyelesaian integral tidak dapat dilakukan secara
analitik maka biasanya sebagai alternatif dilakukan penyelesaian secara numerik. Ada
beberapa metode untuk menyelesaikan integral secara numerik seperti : Persegi
Panjang, Trapesium, Simpson. Perhitungan integral pada metode Simpson adalah
dengan membagi daerah di bawah kurva menjadi pita-pita berbentuk fungsi kuadrat
(polinom orde 2). Sedangkan pada metode Persegi Panjang dan Trapesium daerah di
bawah kurva dibagi menjadi pita-pita yang masing-masing berbentuk persegi panjang
dan trapesium (fungsi linear). Sehingga perhitungan integral dari fungsi yang berbentuk
eksponensial seperti pada persamaan intensitas difraksi celah lingkaran akan lebih baik
(lebih mendekati hasil eksak) jika dilakukan dengan metode Simpson daripada metode
Persegi Panjang maupun Trapesium. Perhitungan integral dengan metode Simpson
diimplementasikan dalam bentuk program komputer. Dengan program komputer
tersebut maka disamping dapat menghitung intensitas difraksi maka juga dapat
menampilkan plot grafik 2 dimensi maupun 3 dimensi.
iii
Simulation of Difraction Intensity on Circular Aperture by Using
Simpson Rule
I G.A. Widagda
SUMMARY
The diffraction pattern of light passing through the circular aperture observed
on the screen in the form of a bands of bright and dark to follow the particular
equation. Diffraction patterns are closely related to the intensity of diffraction.
Equation intensity of diffraction at a circular aperture settlement contains the integral
of an exponential function of the form. Completion integral of the exponential function
is very difficult if solved analytically. If the integral settlement can not be done
analytically, it is usually performed as an alternative to the settlement numerically.
There are several methods to resolve the integral numerically as: Rectangle, Trapezoid,
Simpson. Integral calculation on Simpson method is to divide the area under the curve
into bands shaped quadratic function (polynomial of order 2). While the methods
Rectangle and Trapezoid area under the curve is divided into bands, each rectangular
and trapezoidal (linear function). So that the integral calculation of exponential
functions shaped like the circular aperture diffraction intensity equation will be better
(closer to the exact result) if done by Simpson method than the methods Rectangle and
Trapezoid. Simpson integral calculation method implemented in a computer program.
With the computer program that can calculate the intensity of diffraction besides it also
can display two-dimensional plot graphs and 3-dimensional.
iv
KATA PENGANTAR
Kami menghaturkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul
”Simulasi Intesitas Difraksi Pada Celah Lingkaran (Circular Aperture) dengan Metode
Simpson”.
Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian karya tulis ini antara lain :
-Bapak Dekan FMIPA, UNUD
-Bapak Ketua Jurusan Fisika, FMIPA, UNUD
-Bapak Kepala Lab. Fisika Komputasi
-Rekan - rekan dosen Jurusan Fisika, FMIPA, UNUD
-Istri dan anak-anakku
atas bantuan, saran dan kerjasamanya selama penulis menyelesaikan karya tulis ini.
Sebagai akhir kata kami meyakini bahwa karya tulis ini masih banyak
kekurangan. Sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
dari semua pihak demi kesempurnaan hasil karya tulis ini.
Jimbaran, Desember 2015
Penyusun
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
RINGKASAN/SUMMARY
iii
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
I PENDAHULUAN
II TINJAUAN PUSTAKA
1
3
III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
20
IV METODE PENELITIAN
21
V
HASIL DAN PEMBAHASAN
VI SIMPULAN DAN SARAN
VII DAFTAR PUSTAKA
23
26
27
vi
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 2.1
Interferensi Konstruktif dan Destruktif
3
Gambar 2.2
Percobaan Young : Interferensi pada celah ganda
4
Gambar 2.3
Interferensi Konstruktif dan Destruktif pada celah ganda
4
Gambar 2.4
Geometri celah ganda
4
Gambar 2.5
Lintasan cahaya r1,r2 sejajar
5
Gambat 2.6
Intensitas I dari Interferensi celah ganda
8
Gambar 2.7
Perambatan gelombang prinsip Huygen
8
Gambat 2.8
Perambatan cahaya pada celah sempit dan celah agak lebar
8
Gambar 2.9
Difraksi Fraunhofer
9
Gambat 2.10
Difraksi cahaya oleh celah lebar a
9
Gambar 2.11
Difraksi Fraunhofer celah tunggal
10
Gambat 2.12
Intensitas dari pola difraksi Fraunhofer celah tunggal
12
Gambar 2.13
Difraksi Fraunhofer celah lingkaran
13
Gambat 2.14
Intensitas difraksi Fraunhofer celah lingkaran
14
Gambar 2.15
Luas daerah di bawah kurva
15
Gambar 2.16
Metode Persegi Panjang
15
Gambar 2.17
Metode Trapesium
16
Gambar 2.18
Metode Simpson
17
Gambat 4.1
Diagram alir program perhitungan intensitas difraksi celah
lingkaran
Rancangan Gui simulasi intensitas difraksi celah lingkaran
20
21
Gambar 4.2
Gambat 5.1
Gambar 5.2
Gambat 5.3
Gambat 5.4
Gambat 5.5
Hasil Simulasi 3 dimensi intensitas difraksi celah lingkaran,
λ=2Å
Hasil Simulasi 3 dimensi intensitas difraksi celah lingkaran,
λ = 4Å
Hasil Simulasi 3 dimensi intensitas difraksi celah lingkaran,
λ = 6Å
Hasil Simulasi 3 dimensi intensitas difraksi celah lingkaran,
λ = 8Å
Hasil Simulasi 3 dimensi intensitas difraksi celah lingkaran,
λ = 10 Å
23
24
24
25
25
vii
I. PENDAHULUAN
Difraksi adalah deviasi atau pembelokan arah rambat gelombang baik gelombang
cahaya maupun gelombang bunyi. Pola difraksi akan teramati ketika cahaya melewati celah
baik celah tunggal, celah ganda, tiga celah, celah persegi panjang, celah lingkaran (circular
aperture), dan lain-lain. Pola difraksi yang teramati pada layar biasanya berupa pola terang
dan gelap. Pola terang dan gelap tersebut mengikuti fungsi tertentu yang tergantung pada
variabel yaitu : panjang gelombang, lebar celah, jarak celah-layar, kuat medan listrik, dan
lain-lain. Pola difraksi terang dan gelap yang teramati pada medium atau layar juga sangat
bergantung pada intensitas cahaya. Semakin besar intesitas cahaya maka semakin terang pola
yang teramati demikian juga sebaliknya semakin kecil intesitas maka akan menghasilkan pola
yang semakin gelap pada layar. Besarnya intensitas difraksi yang teramati dapat dihitung
secara analitik dengan menggunakan persamaan matematika untuk menyelesaikan model atau
persamaan intensitas difraksi yang ditinjau. Penyelesaian persamaan intensitas difraksi pada
celah tunggal, celah ganda, tiga celah maupun celah persegi panjang masih bisa dilakukan
secara analitik mengingat masih sederhananya kasus yang ditinjau. Jika kita menyelesaikan
persamaan intensitas difraksi pada celah lingkaran maka penyelesaian secara analitik menjadi
sangat rumit dilakukan sebab model persamaan yang dihasilkan berupa kasus integrasi
berhingga dari fungsi yang berbentuk eksponensial. Ketika penyelesaian integrasi secara
analitik sudah tidak bisa atau sangat rumit dilakukan maka sebagai alternatif biasanya
dipergunakan penyelesaian secara numerik. Penyelesaian integrasi secara numerik biasanya
diimplementasikan dalam bentuk program komputer.
Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk menghitung integrasi secara numerik
yaitu : metode Persegi Panjang, metode Trapesium, metode Simpson, dan lain-lain.
Perhitungan integral dari fungsi yang berbentuk linear lebih cocok memakai metode Persegi
Panjang dan Trapesium karena pendekatan yang dipakai oleh kedua metode ini adalah dengan
membagi daerah di bawah kurva atau fungsi menjadi beberapa pita-pita kecil yang berbentuk
segi empat atau trapesium. Namun untuk fungsi yang non linear seperti fungsi polinom,
eksponensial, dan trigonometri maka penyelesaian dengan metode Simpson akan
1
menghasilkan hasil yang lebih baik (lebih mendekati hasil eksak) dibanding metode Persegi
Panjang dan Trapesium karena metode atau pendekatan yang dipakai dalam metode Simpson
adalah dengan membagi daerah di bawah fungsi menjadi pita-pita kecil yang berbentuk fungsi
kuadrat (polinom orde 2). Persamaan intensitas pada kasus difraksi celah lingkaran
mengandung perhitungan integral dari fungsi non linear berupa fungsi eksponensial. Sehingga
penyelesaian intensitas difraksi pada celah lingkaran sangat cocok diselesaikan dengan
metode Simpson.
Penyelesaian integrasi secara numerik biasanya dilakukan dengan bantuan program
komputer. Dengan mengimplementasikan metode Simpson dalam bentuk program komputer
maka semua kasus integrasi termasuk penyelesaian integrasi pada kasus perhitungan
intensitas difraksi celah lingkaran dapat dilakukan. Dengan program komputer kita juga bisa
menampilkan hasil integrasi dalam bentuk kurva atau grafik 2 dimensi maupun 3 dimensi.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Interferensi Gelombang
Interferensi adalah peristiwa penggabungan atau penjumlahan (combination) dua
atau lebih gelombang menjadi sebuah gelombang. Apabila dua buah gelombang dengan
phase yang sama dijumlahkan maka akan menghasilkan interferensi konstruktif dan jika
dua buah gelombang tersebut memiliki phase yang berbeda maka akan menghasilkan
interferensi destruktif seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1. Syarat – syarat interferensi
pada gelombang cahaya yaitu : cahaya bersifat koheren yaitu memiliki phase (ϕ)
konstan dan cahaya bersifat monokromatis yaitu memiliki 1 panjang gelombang, λ =
2π/k.
Gambar 2.1 Interferensi konstruktif dan destruktif
2.1.1 Interferensi Celah Ganda (Double-slit Interference)
Percobaan interferensi cahaya pada celah ganda dilakukan pertama kali oleh
Young
seperti
ditunjukkan
pada
Gambar
2.2.
Sebuah
gelombang
cahaya
(monokromatis) melewati layar 1 yang berisi celah tunggal S0, selanjutnya cahaya
tersebut diteruskan ke layar 2 yang berisi celah ganda S1 dan S2. Celah S1 dan S2 pada
layar 2 berlaku sebagai sumber cahaya koheren. Cahaya yang melewati S 1 dan S2 ini
akan mengalami interferensi dan menghasilkan pola interferensi di layar 3.
3
Gambar 2.2 Percobaan Young : interferensi pada celah ganda
Pita terang dan gelap yang terjadi di layar 3 merupakan pola interferensi yang
dihasilkan oleh dua buah cahaya yang berasal dari celah S1 dan S2. Pita terang
menunjukkan interferensi maximum (konstruktif) sedangkan pita gelap merupakan
interferensi minimum (destruktif). Proses terjadinya interferensi konstruktif dan
destruktif ini ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Interferensi konstruktif dan destruktif celah ganda
Proses interferensi pada celah ganda secara geometri dapat dilihat pada gambar 2.4.
Jarak celah
S1 dan S2 adalah d dan jarak layar ke celah adalah L. Cahaya yang
merupakan hasil interferensi jatuh titik P. Jarak P ke O yaitu y.
Gambar 2.4 Geometri pada celah ganda
4
Cahaya dari celah S2 akan menempuh jarak yang lebih besar jika dibandingkan dengan
cahaya dari S1. Selisih jarak antara cahaya dari celah S1 dan S2 sebesar δ = r2 – r1 . Jarak
tambahan yang ditempuh oleh cahaya S2 ini disebut dengan Beda lintasan (path
difference). Dari hukum Cosinus maka didapatkan :
d 


d 
r  r     d r cos     r 2     d r sin  ..................................(2.1)
2
2

2
2
2
1
2
2
d 


d 
r22  r 2     d r cos     r 2     d r sin  ..................................(2.2)
2
2

2
2
2
Dengan mencari selisih dari persamaan (2.2) dan (2.1) maka didapatkan :
r22  r12  (r2  r1 )(r2  r1 )  2 d r sin  ................................................................(2.3)
Jika diasumsikan L ˃˃ d , yaitu jarak antara celah ke layar L jauh lebih besar dari jarak
antar kedua celah d maka r1 + r2 ≈ 2r, sehingga :
  (r2  r1 )  d sin  ........................................................................................(2.4)
Oleh karena L ˃˃ d maka juga bisa dianggap lintasan cahaya r1 dan r2 adalah sejajar
seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.5
Gambar 2.5 Lintasan cahaya r1,r2 sejajar
Sehingga sebuah gelombang cahaya apakah memiliki phase sama atau berbeda dengan
gelombang yang lainnya dapat ditentukan dari nilai δ -nya. Interferensi konstruktif akan
terjadi jika δ bernilai 0 atau kelipatan bulat dari panjang gelombang λ :
  d sin   m, m  0,  1,  2,  3,... ........................................................(2.5)
Sedangkan interferensi destruktif akan terjadi jika δ bernilai kelipatan ganjil dari λ/2
5
yaitu :
1 3 5
 ,  ,  ,... . Jika dinyatakan dengan persamaan akan menjadi :
2 2 2


1
2
  d sin    m   , m  0,  1,  2,  3,... .............................................(2.6)
Untuk menentukan letak dari pita-pita terang dan gelap (y) dari titik pusat O, maka kita
dapat menganggap bahwa jarak celah d jauh lebih besar dari panjang gelombang λ ( d
˃˃ λ ). Dengan demikian sudut θ dianggap sangat kecil dan berlaku hubungan :
sin   tan 
y
...........................................................................................(2.7)
L
Dengan memasukkan persamaan (2.7) ke dalam persamaan (2.5) maka akan didapatkan
persamaan posisi atau letak pita terang yb yaitu :
yb  m
L
d
.......................................................................................................(2.8)
Dan jika kita memasukkan persamaan (2.7) ke dalam persamaan (2.6) maka akan
didapatkan persamaan posisi atau letak pita gelap yd yaitu :
1L

yd   m  
............................................................................................(2.9)
2 d

Intensitas Interferensi
Intensitas dari cahaya hasil interferensi pada celah ganda seperti diperlihatkan
pada Gambar 2.3 dapat ditentukan dengan vektor atau flux Poynting S. Jika medan
listrik di titik P adalah E merupakan penjumlahan dari medan listrik dari masing –
masing celah E1 dan E2 yaitu : E = E1 + E2 maka :
S  E2  (E1  E2 )2  E12  E22  2E1.E2 ........................................................(2.10)
Intesitas cahaya I di titik P dapat ditentukan dengan mengambil rata-rata waktu (time
average) dari S :
I  S  E1  E2
2
2
 2 E1.E 2 .................................................................(2.11)
Jika medan listrik dari celah S1 dan S2 masing – masing adalah E1 dan E2 :
E1  E0sin(t )................................................................................................(2.12)
E2  E0 sin(wt   )........................................................................................(2.13)
Jika dianggap terjadi interferensi konstruktif maka beda lintasan δ = λ akan bersesuaian
6
dengan pergeseran phase ϕ = 2π sehingga berlaku hubungan :
 

.........................................................................................................(2.14)
 2
atau

2


2

d sin  ...................................................................................(2.15)
Medan listrik total E :

  
E  E1  E2  E0 sin(t )  sin(t   )  2 E0 cos  sin t  ............(2.16)
2
2 
Dari persamaan identitas trigonometri didapatkan hubungan :
       
sin   sin   2 sin
 cos
......................................................(2.17)
 2   2 
Intensitas sebanding dengan rata-rata waktu dari medan listrik kuadrat :

 

 
I  E 2 4 E02 cos 2   sin 2  t    2 E02 cos 2  ..................................(2.18)
2
2

2
atau
 
I  I 0 cos 2  ..............................................................................................(2.19)
2
dimana
 1

sin 2  t    dan I 0  E02
2
2

Dengan memasukkan persamaan (2.15) ke dalam persamaan (2.19) maka didapatkan
Intensitas Interferensi pada celah ganda I adalah :
  d sin  
I  I 0 cos 2 
...................................................................................(2.20)
 

Untuk sudut θ yang kecil maka persaman (2.20) akan menjadi :
 d 
I  I 0 cos 2 
y .......................................................................................(2.21)
 L 
Jika digambarkan dalam grafik maka intesitas I akan tampak seperti Gambar 2.6.
7
Gambar 2.6 Intesitas I dari interferensi celah ganda
2.2
Difraksi Gelombang
Difraksi adalah pembelokan arah rambat gelombang ketika melewati celah atau
obyek. Perambatan gelombang baik pada gelombang cahaya maupun bunyi pada
peristiwa difraksi mengikuti prinsip Huygen yang berbunyi : Setiap titik dari mukamuka gelombang yang tidak terganggu, pada saat tertentu bertindak sebagai sumber
muka -muka gelombang speris kedua. Permukaan gelombang yang baru adalah
merupakan tangen permukaan gelombang speris kedua. Peristiwa perambatan
gelombang ini dapat dilihat dalam Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Perambatan gelombang prinsip Huygen
Cahaya yang melewati celah sempit akan tersebar dan mengalami pembelokan arah
rambat dan akan menghasilkan pola difraksi, sedangkan jika cahaya melewati celah
dengan lebar tertentu tidak akan mengalami pembelokan dan tidak akan menghasilkan
pola difraksi seperti diperlihatkan dalam Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Perambatan cahaya pada celah sempit dan celah agak lebar
8
2.2.1 Difraksi Fraunhofer Celah Tunggal
Difraksi Fraunhofer adalah peristiwa perambatan cahaya yang melewati celah
dengan lebar tertentu dan tidak mengalami pembelokan. Cahaya merambat lurus dan
sejajar satu sama lain. Untuk menghasilkan pola difraksi pada layar maka dipasang
sebuah lensa cembung diantara celah dan layar seperti Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Difraksi Fraunhofer
Jika dalam eksperimen Young celah ganda maka lebar celah dianggap sangat kecil
maka dalam difraksi Fraunhofer celah tunggal kita menganggap celah memiliki lebar
tertentu a. Jika cahaya monokromatik melewati celah tersebut maka cahaya tersebut
akan merambat lurus dan sejajar seperti Gambar 2.10
Gambar 2.10 Difraksi cahaya oleh celah dengan lebar a
Berdasarkan prinsip Huygen maka setiap bagian dari cahaya akan berperan sebagai
sumber cahaya. Masing – masing bagian ini dilambangkan dengan titik-titik sumber.
Jika kita menganggap cahaya tersebut menjadi 2 bagian yaitu : bagian atas dan bagian
bawah. Cahaya bagian atas akan berbeda phase sebesar 1800 dengan bagian bawah. Jika
kita mengandaikan jumlah total sumber titik adalah 100 buah, 50 titik sebagai bagian
bawah dari titik 1 sampai 50 dan titik 51 sampai 100 sebagai bagian atas, maka titik 1
dan titik 51 akan dipisahkan oleh jarak a/2 dan berbeda phase 1800. Demikian juga
antara titik 2 dan 52 serta pasangan titik lainnya yang berjarak a/2. Jadi syarat terjadinya
9
minimum pertama dapat dinyatakan dengan :
a

sin   ....................................................................................................(2.22)
2
2
atau

sin  
a
........................................................................................................(2.23)
Jika dinyatakan dengan persamaan umum untuk difraksi minimum (destruktif) maka
akan menjadi :
a sin   m...................................................................................................(2.24)
Jika kita membandingkan persamaan (2.24) dengan persamaan (2.5) maka didapatkan
bahwa syarat difraksi minimum (destruktif) dari celah tunggal menjadi syarat terjadinya
interferensi maksumum (konstruktif) dimana lebar celah tunggal a diganti dengan jarak
antar celah d.
Intensitas Difraksi Fraunhofer Celah Tunggal
Intensitas cahaya hasil difraksi pada celah tunggal dapat ditentukan dengan
menghitung medan listrik total hasil penjumlahan dari masing-masing sumber titik.
Gambar 2.11 Difraksi Fraunhofer celah tunggal
Gambar 2.11 menunjukkan celah tunggal dibagi menjadi N bagian dan masing – masing
bagian merupakan sumber titik. Lebar masing – masing titik adalah : Δy = a/N. Beda
lintasan antara 2 sumber titik yang berdekatan adalah δ = Δy sin θ. Beda phase Δβ
dinyatakan dengan perbandingan:
  y sin 
 
2 

2
 
y sin  ...........................................................................................(2.25)

Jika muka gelombang dari sumber titik 1 (dihitung dari atas) tiba di titik P pada layar
10
memiliki persamaan medan listrik :
E1  E10sin(t )...............................................................................................(2.26)
Sumber titik 2 yang berdekatan dengan titik 1 memiliki pergeseran phase Δβ sehingga
memiliki persamaan medan listrik :
E2  E10sin(t   ).....................................................................................(2.27)
Jika tiap-tiap sumber titik yang berurutan mempunyai pergeseran phase yang sama
maka sumber titik N akan memiliki persamaan medan listrik :
EN  E10sin(t  ( N  1) )..........................................................................(2.28)
Medan listrik total E akan menjadi :
E  E1  E2  ...EN  E10sin t  sin(t   )  ...sin(t  ( N  1) ........(2.29)
Pergeseran phase total β antara sumber titik N dan sumber titik 1 adalah :
  N 
2

Ny sin  
2

a sin  ..........................................................(2.30)
Dari trigonometri didapatkan persamaan :
cos(   )  cos(   )  2 sin  sin  .........................................................(2.31)
Sehingga
cos(t   / 2)  cos(t   / 2)  2 sin t sin  / 2
cos(t   / 2)  cos(t  3 / 2)  2 sin(t   ) sin  / 2
cos(t  3 / 2)  cos(t  5 / 2)  2 sin(t  2 ) sin  / 2..............(2.32)

cos(t  ( N  1 / 2) )  cos(t  ( N  3 / 2) )  2 sin(t  ( N  1) ) sin  / 2
Jika kita menjumlahkan semua persamaan tersebut maka akan menghasilkan :
cos(t   / 2)  cos(t  ( N  1 / 2) )
 2 sin

sin t  sin(t   )  ...sin(t  ( N  1) .......................(2.33)
2
Dengan memakai persamaan trigonometri (2.31) maka suku di sebelah kiri dalam
persamaan (2.33) akan menjadi :
cos(t   / 2)  cos(t  ( N  1 / 2) )
 2 sin(t  ( N  1) / 2) sin( N / 2)................................................(2.34)
11
Dengan memasukkan persamaan (2.34) ke dalam persamaan (2.33) akan didapatkan :
sin t  sin(t   )  ...sin(t  ( N  1) 

sin(t  ( N  1) / 2) sin  / 2
............................................................(2.35)
sin  / 2
Sehingga medan listrik total persamaan (2.29) akan menjadi :
 sin(  / 2) 
E  E10 
 sin(t  ( N  1) / 2)..................................................(2.36)
 sin( / 2) 
Intensitas I adalah :
2
I E
2
 sin(  / 2) 
E 
sin 2 (t  ( N  1) / 2)

 sin( / 2) 
2
10
1 2  sin(  / 2) 
 E10 

2
 sin( / 2) 
2
I dinyatakan dengan :
2
 sin(  / 2) 
I  sin(  / 2) 
 02 
 I0 


N  sin( / 2) 
 N sin( / 2) 
2
Faktor N2 diperlukan untuk menjamin bahwa I0 adalah intensitas maksimum pusat β = 0
(θ = 0). Jika Δβ → 0 ,
N sin( / 2)  N / 2   / 2
Sehinga intensitas I :
2
2
 sin(  / 2) 
 sin(a sin  /  ) 
I  I0 
 I0 

 ..................................................(2.37)
 sin(  / 2) 
 sin(a sin  /  ) 
Jika kita plot I/I0 sebagai fungsi dari β/2 maka akan didapatkan grafik seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Intensitas dari pola difraksi Fraunhofer celah tunggal
12
2.2.2 Difraksi Fraunhofer Celah Lingkaran
Difraksi pada celah berbentuk lingkaran diperlihatkan pada Gambar 2.13. Kuat
medan listrik oleh elemen luas dA adalah dEp :
Gambar 2.13 Difraksi Fraunhofer celah lingkaran
 E dA 
dE p   A ei ( kr t )
 r 
 E dA 
dE p   A ei ( k ( r0   ) t )
 r0   
Beda lintasan Δ<<r0 , Δ= s sin θ, sehingga kuat medan listrik total Ep :
Ep 
E A i ( kr0 t )
e
eisk sin dA

r0
luas
Jika elemen luas berupa luas persegi panjang dA = x ds
2
 x
2
2
2
2
   s  R , sehingga x  2 R  s
2
Maka
Ep 
2 EA i ( kr0 t )  R isk sin
e
 R e
r0
R2 s2
ds
Jika dimisalkan v = s/R dan γ = kR sin θ
Ep 
2 E A R i ( kr0 t ) 1 i  v
e
1 e
r0
Dari tabel integral :
1 i  v 1 v 2
1 e
1 v 2
dv 
dv
J1 ( )

Dimana J1(γ) merupakan fungsi Bessel jenis pertama orde -1. Bentuk umum fungsi
Bessel adalah :
13

J m ( x)  0 cos(m  x sin  )d
Sehingga
Ep 
2 E A R i ( kr0 t ) J1 ( ) 2 E AR 2 i ( kr0 t ) J1 ( ) 2 E A A i ( kr0 t ) J1 ( )
e

e

e
r0

r0 R

r0 R

Dengan A = πR2 , adalah luas lingkaran. Intesitas I dari pola difraksi yang terbentuk
dapat dinyatakan dengan mengambil nilai real dari rata-rata waktu Ep :
I  Re( E p )
1
2 E 2 A2  J ( ) 
 E p E *p  2 A 2  1 
2
r0 R   
2
2
2
 J ( ) 
I  I 0  1  ..............................................................................................(2.28)
  
dengan I 0 
2 E A2 A2
. Gambar 2.14 memperlihatkan bentuk grafik dari Intentitas I
r02 R 2
(persamaan (2.28) ).
Gambar 2.14 Intensitas difraksi Fraunhofer celah lingkaran
2.3
Integral
Nilai integral dari suatu fungsi f(x) dari x = a sampai x = b dapat dinyatakan
dengan I(a,b) :
b
I (a, b)   f ( x)dx.............................................................................................(2.29)
a
Nilai integral tersebut mengandung arti kita menghitung luas daerah di bawah kurva f(x)
dari a sampai b seperti diperlihatkan pada Gambar 2.15
14
Gambar 2.15 Luas daerah di bawah kurva f(x)
Untuk menghitung integral secara numerik ada beberapa metode yaitu : metode Persegi
Panjang, metode Trapesium, Metode Simpson, dan lain - lain. Pada metode Persegi
panjang perhitungan integral dilakukan dengan menghitung luas di bawah kurva f(x)
dengan cara membagi daerah di bawah kurva tersebut menjadi beberapa pita kecil yang
berbentuk persegi panjang. Sedangkan pada metode Trapesium dengan membagi daerah
di bawah kurva f(x) menjadi pita yang berbentuk trapesium. Dan metode Simpson
dengan daerah di bawah kurva f(x) menjadi pita yang salah satu sisinya berbentuk
fungsi kuadrat (polinom orde 2).
2.3.1 Metode Persegi Panjang (Rectangle Rule)
Dalam metode Persegi panjang untuk menghitung integral atau luas di bawah
kurva f(x) adalah dengan cara membagi daerah di bawah kurva f(x) menjadi beberapa
potongan pita kecil yang masing-masing berbentuk persegi panjang seperti Gambar
2.16.
Gambar 2.16 Metode Persegi Panjang
Jika daerah di bawah kurva f(x) kita bagi menjadi N buah pita, dan lebar masing-masing
potongan pita dinyatakan dengan h maka :
15
h
ba
..........................................................................................................(2.30)
N
Masing – masing potongan pita kita beri nama dengan memberi index k dimana k = 1, 2,
3, ..., N. Misal untuk k = 1 berarti potongan pita ke-1 (pertama), k = 2 berarti pita kedua,
dan seterusnya sampai potongan pita terakhir yaitu pita ke- N. Sehingga luas masing –
masing potongan pita dapat dinyatakan dengan Ak. Jadi A1 menyatakan luas pita
pertama, A2 menyatakan luas pita kedua, dan seterusnya sampai luas pita yang terakhir
AN. Untuk potongan pita ke-k, sisi sebelah kanan akan bernilai a+kh, sedangkan sisi
sebelah kiri akan bernilai a+kh-h atau a+(k-1)h. Sehingga luas pita ke-k atau Ak
merupakan luas persegi panjang dengan panjang h dan lebar f(a+ (k-1)h):
Ak  h f (a  (k  1)h).......................................................................................(2.31)
Luas seluruh daerah di bawah kurva f(x) atau integral I(a,b) adalah :
N
N
k 1
k 1
I (a, b)   Ak  h  f (a  (k  1)h).................................................................(2.32)
2.3.2 Metode Trapesium (Trapezoidal Rule)
Perhitungan integral dengan metode Trapesium adalah dengan cara membagi
daerah di bawah kurva f(x) menjadi beberapa potongan pita kecil yang masing-masing
berbentuk trapesium seperti diperlihatkan pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Metode Trapesium
Dengan cara yang sama seperti metode Persegi panjang maka luas pita ke-k atau Ak
merupakan luas trapesium yang memiliki tinggi h dan panjang sisi-sisi sejajarnya yaitu
f(a+(k-1)h) dan f(a+kh) adalah :
1
Ak  .h[ f (a  (k  1)h)  f (a  kh)]..............................................................(2.33)
2
16
Luas seluruh daerah di bawah kurva f(x) atau integral I(a,b) adalah :
N
1 N
I (a, b)   Ak  h [ f (a  (k  1)h)  f (a  kh)]........................................(2.34)
2 k 1
k 1
2.1.3 Metode Simpson (Simpson’s Rule)
Jika dalam 2 metode sebelumnya baik metode Persegi Panjang maupun
Trapesium kita melakukan pendekatan dengan kurva berbentuk garis lurus maka dalam
metode Simpson ini kita akan menggunakan kurva yang berbentuk fungsi kuadrat
(polinom orde 2) seperti diperlihatkan dalam Gambar 2.18. Kurva kuadrat tersebut
memiliki bentuk persamaan polinom orde 2 yaitu : f(x) = ax2 + bx + c.
Gambar 2.18 Metode Simpson
Tiap kurva kuadrat dibentuk dari 2 buah potongan pita. Jika kita mengambil nilai x yaitu
x = -h, x = 0, dan x = h maka dengan melakukan kurva fitting atau interpolasi kuadrat
terhadap ketiga nilai x tersebut maka didapatkan hubungan yaitu :
f (h)  ah2  bh  c.......................................................................................(2.35)
f (0)  c...........................................................................................................(2.36)
f (h)  ah2  bh  c.........................................................................................(2.37)
Jika kita mencari solusi secara simultan dari ketiga persamaan tersebut maka kita akan
dapat menentukan nilai a, b , dan c. Jika kita menjumlahkan persamaan (2.35) dengan
(2.37) maka akan didapatkan :
a
1 1
1
[ f (h)  f (0)  f (h)]...................................................................(2.38)
2
h 2
2
Dan jika kita mengurangi persamaan (2.35) dengan (2.37) maka akan didapatkan :
17
b
1
[ f (h)  f (h)]....................................................................................(2.39)
2h
Dan dari persaman (2.36) kita mendapatkan
c  f (0)...........................................................................................................(2.40)
Maka luas daerah di bawah kurva kuadrat f(x) = ax2 + bx + c dari –h sampai h adalah :
h
a 3 b 2
2 3

 (ax  bx  c)dx  3 x  2 x  cx   3 ah  2ch.....................................(2.41)
h
h
h
2
Dengan memasukkan nilai a dan c dari persamaan (2.38) dan (2.40) ke dalam
persamaan (2.41) maka didapatkan :
h
 (ax
h
2
1
 bx  c)dx  h [ f (h)  4 f (0)  f (h)].............................................(2.42)
3
Sama seperti metode integral sebelumnya kita membagi daerah di bawah kurva f(x) dari
a sampai b menjadi N buah pita dengan lebar masing – masing potongan pita yaitu h.
Dalam metode Simpson ini kita memakai 2 potongan pita untuk membentuk sebuah
kurva kuadrat seperti terlihat pada Gambar 2.18. Sehingga kurva kuadrat 1 akan
memiliki nilai x = a, x = a+h , dan x = a+2h. Kurva kuadrat 2 akan memiliki nilai x =
a+2h, x = a+3h , dan x = a+4h, dan seterusnya sampai pita kuadrat N/2. Oleh karena
satu kurva kuadrat dibentuk oleh 2 buah potongan pita maka jumlah potongan pita N
harus genap atau secara umum untuk kurva kuadrat ke-k nilai x adalah : x = a + (2k2)h, x = a+ (2k-1)h, dan x = a + 2kh. Sehingga dari persamaan (2.42) luas pita kuadrat
ke-k akan menjadi :
1
Ak  h[ f (a  (2k  2)h)  4 f (a  (2k  1)h)  f (a  2kh)]..........................(2.43)
3
Luas seluruh daerah di bawah kurva f(x) atau integral I(a,b) adalah :
N
1 N
I (a, b)   Ak  h [ f (a  (2k  2)h)  4 f (a  (2k  1)h)  f (a  2kh)]...(2.44)
2 k 1
k 1
18
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dari penelitian adalah untuk :
Membuat program aplikasi komputer yang dapat mensimulasikan perhitungan intensitas
difraksi pada celah yang berbentuk lingkaran dengan metode Simpson serta
menampilkan hasilnya dalam bentuk grafik atau kurva 3 dimensi.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
Program aplikasi komputer yang dihasilkan dapat dipakai untuk menampilkan simulasi
kurva 3 dimensi intesitas cahaya difraksi pada celah berbentuk lingkaran.
19
IV. METODE PENELITIAN
1. Tempat Penelitian : Lab. Fisika Komputasi, jurusan Fisika, FMIPA, UNUD
2. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a.
Komputer NoteBook core i3, 2.30 GHz, 4 GB RAM, OS Windows 7 Ultimate
b.
Perangkat lunak Matlab versi 7.0
3.
Pelaksanaan Penelitian
3.1
Perancangan Diagram Alir (Flow Chart)
Diagram alir dari perhitungan Intensitas Difraksi pada celah lingkaran
diperlihatkan dalam Gambar 4.1.
mulai
Input λ,rx,ry
Hitung Intensitas I(krx,kry)
Tampilkan
grafik
3
dimensi
Intensitas I(krx,rkry)
selesai
Gambar 4.1 Diagram Alir Program Perhitungan Intensitas difraksi Celah Lingkaran
3.2
Perancangan Graphical User Interface (GUI)
Rancangan GUI dari program aplikasi simulasi intensitas difraksi celah
lingkaran diperlihatkan dalam Gambar 4.2 berikut ini :
20
Gambar 4.2 Rancangan GUI Simulasi Intesitas difraksi celah lingkaran
3.3
Implementasi kode program (source code)
Kode program dari perhitungan Intensitas Difraksi pada celah lingkaran
dengan metode Simpson adalah :
function calculate_simpson_pushbutton_Callback(hObject, eventdata, handles)
rx1 = str2num(get(handles.rx1,'String'));
rx2 = str2num(get(handles.rx2,'String'));
ry1 = str2num(get(handles.ry1,'String'));
ry2 = str2num(get(handles.ry2,'String'));
%r1,r2 convert into Angstrom (10^-10 m)
rx1=rx1*1e-10;
rx2=rx2*1e-10;
ry1=ry1*1e-10;
ry2=ry2*1e-10;
num_slice=150; %number of bands
del_rx=(rx2-rx1)/num_slice; %delta r
del_ry=(ry2-ry1)/num_slice; %delta r
lambda=str2num(get(handles.lambda_edit,'String')); %wave length of light
%convert lambda into Angstrom
lambda=lambda*1e-10;
k=(2*pi)/lambda;
m=1; %orde Bessel
21
a=1;
rx=rx1:del_rx:rx2;
x=k*rx;
ry=ry1:del_ry:ry2;
y=k*ry;
axes(handles.axes1);
[rx,ry]=meshgrid(x,y);
ka=sqrt(rx.^2+ry.^2);
Gka=2*pi*a^2.*besselj(m,ka)./(ka);
mesh(x,y,Gka);
xlabel('krx'); ylabel('kry') ; zlabel('I(krx,kry)');
title('Intensitas cahaya Difraksi Fraunhofer');
22
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari persamaan (2.28) didapatkan bahwa Intensitas difraksi celah lingkaran adalah :
2
 J ( ) 
 J (kRsin  ) 
 J (kr) 
I  I0  1   I0  1
 I0  1

 kRsin  
 kr 
  
2
2
2
 J (kr) 
dimana : k 
dan r  R sin 
I (r )  I 0  1


 kr 
2
J1(kr) adalah fungsi Bessel yang dapat dinyatakan dalam bentuk integral yaitu :

J1 (kr)  0 cos(m  kr sin  )d
Penyelesaian dari integral tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode Simpson
(persamaan 2.44) yang dihitung secara numerik dengan program komputer.
Hasil simulasi 3 dimensi perhitungan intensitas difraksi pada celah lingkaran I(krx,kry)
untuk beberapa nilai panjang gelombang λ ( 2 Å, 4 Å, 6 Å, 8 Å , 10 Å) diperlihatkan pada
Gambar 5.1 sampai Gambar 5.5. Plot grafik I(krx,kry) diambil dari rx = -10. 10-10 Å sampai 10.
10-10 Å dan ry = -10. 10-10 Å sampai 10. 10-10 Å.
Gambar 5.1 Hasil simulasi 3 Dimensi Intensitas Difraksi celah lingkaran,λ = 2 Å
23
Gambar 5.2 Hasil simulasi 3 dimensi Intensitas Difraksi celah lingkaran,λ = 4 Å
Gambar 5.3 Hasil simulasi 3 dimensi Intensitas Difraksi celah lingkaran,λ = 6 Å
24
Gambar 5.4 Hasil simulasi 3 dimensi Intensitas Difraksi celah lingkaran,λ = 8 Å
Gambar 5.5 Hasil simulasi 3 dimensi Intensitas Difraksi celah lingkaran,λ = 10 Å
Dari Gambar 5.1 sampai Gambar 5.5 dapat dilihat semakin besar nilai λ maka akan
menghasilkan bentuk grafik atau plot I(krx,kry) yang semakin mengembang (enlarge) dan
demikian sebaliknya jika nilai λ diperkecil maka akan menghasilkan bentuk plot I(krx,kry)
yang semakin menguncup (shrink).
25
VI. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Dari penelitian didapatkan simpulan sebagai berikut :
a. Metode Simpson dapat dipakai untuk menyelesaikan persamaan Intensitas difraksi
pada celah lingkaran
b. Implementasi program komputer dari metode Simpson dapat dipakai untuk
menampilkan grafik 3 dimensi intensitas difraksi celah lingkaran
2. Saran
Perlu dilakukan penelitian untuk membuat program aplikasi komputer yang dapat
menampilkan grafik gabungan 2 dan 3 dimensi serta visualisasi citra pola terang
gelap intensitas difraksi pada celah berbentuk lingkaran.
26
VII. DAFTAR PUSTAKA
Chapra Steven C., Canale Raymond P., Numerical Methods for Engineers, sixth edition ,Mc
Graw-Hill Book Company, New York, 2010
E.Hechts, 2002, Optics, Addison-Wesley Publishing Company, New York.
Nayer Eradat, 2009, Fraunhofer Diffraction: lecture notes for Modern Optics,
http://www.erbion.com/index_files/Modern_Optics/Ch11.pdf [diakses 2 mei 2015]
____,Integrals and Derivatives, www3.nd.edu/~newman/phys_30421/reading/ch5_int.pdf
[diakses 5 Juli 2015]
____,Interference and diffraction,
http://web.mit.edu/8.02t/www/802TEAL3D/visualizations/coursenotes/modules/guide1
4.pdf [diakses 20 Agustus 2015]
____,Integrals and Derivatives, www3.nd.edu/~newman/phys_30421/reading/ch5_int.pdf
[diakses 23 Agustus 2015]
27
Download