BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Entrepreneurship atau Kewirausahaan
2.1.1.1
Pengertian Entrepreneurship atau Kewirausahaan
kewirausahaan pada hakikatnya adalah sifat, ciri-ciri, dan watak seseorang yang
memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif.
Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda.
Menurut
Agung Nur Fajar, (2004) Model Pengembangan Kewirausahaan dan
Proyeksi Jumlah Wirausaha Baru Di Indonesia 2005 – 2020, ( ON LINE ), www.elearningsmecda.com, 8 desember 2006. Pengertian mengenai kewirausahaan telah cukup
lama menjadi kontroversi, khususnya di kalangan peneliti (Carland dan Carland, 1992).
Beberapa pakar memandang wirausaha sebagai individu yang menciptakan usaha. Seperti
pendapat John Kao (1990) yang menyatakan bahwa: “Entrepreneurship is the attempt to
create value through: (1) recognition of business opportunity, (2) the management of risk
taking appropriate to the opportunity, (3) communicative and management skill to mobilize
human, financial and material resources necessary to bring a project to fruition”. Menurut
John Kao, kewirausahaan adalah bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis, dan
wirausahawan adalah seorang pengusaha yang jeli, ulet, hati-hati dan terampil dalam
menjalankan serta mengembangkan usahanya. Sedangkan Timmons (1995) memandang
kewirausahaan sebagai tindakan kreatif atau suatu kemampuan melihat dan memanfaatkan
8
9
peluang, bahkan pada saat semua orang tidak melihat adanya peluang. Kewirausahaan
adalah kesatuan terpadu dari semangat, nilai-nilai dan prinsip serta sikap, kiat, seni dan
tindakan nyata yang sangat perlu, tepat dan unggul dalam menangani dan mengembangkan
perusahaan atau kegiatan lain yang mengarah pada pelayanan terbaik kepada pelanggan
dan pihak-pihak lain yang berkepentingan termasuk masyarakat, bangsa dan negara.
Seorang wirausaha adalah seseorang yang menciptakan sebuah bisnis baru dan
mengambil risiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan
cara mengidentifikasikan peluang dan menggabungkan sumber daya yang diperlukan untuk
mendirikannya
Ringkasan mengenai profil wirausahaan :
1. Menyukai Tanggung Jawab
Wirausaha merasa bertanggung jawab secara pribadi atas hasil perusahaan tempat
mereka terlibat. Mereka lebih menyukai dapat mengendalikan sumber–sumber daya
mereka sendiri dan menggunakan sumber–sumber daya tersebut untuk mencapai citacita yang telah ditetapkan sendiri.
2. Lebih Menyukai Risiko Menengah
Wirausahaan bukanlah seorang pengambil risiko secara asal tanpa perhitungan,
melainkan seorang yang mengambil risiko yang diperhitungkan. Tidak seperti penjudi,
wirausahawan jarang berjudi. Wirausahawan melihat sebuah bisnis dengan tingkat
pemahaman risiko pribadinya. Cita–cita mungkin tampak tinggi bahkan mustahil tercapai
menurut persepsi orang lain, tetapi wirausahawan melihat situasi itu dari sudut pandang
yang berbeda dan percaya bahwa sasaran mereka masuk akal dan dapat dicapai. Mereka
biasanya melihat peluang di daerah yang sesuai dengan pengetahuan, latar belakang
dan pengalamannya yang akan meningkatkan kemungkinan keberhasilannya. Paul
10
Hawken, mitra pendiri Smith dan Hawken, sebuah perusahan yang bergerak dalam
penjualan alat taman lewat pos, menjelaskan : wirausahawan yang baik adalah
penghindar risiko besar pengambil risiko. Mereka terlihat sebagai pengambil resiko
karena mereka melihat pasar dengan cara yang berbeda dengan cara kita melihat;
mereka melihat produk atau jasa yang sesuai dengan perubahan kebudayaan. Segera
setelah mereka menciptakannya, mereka secara sistematis menghilangkan semua faktor
risiko dan akan berlindung dari risiko sewaktu masuk ke pasar. Mereka menjadi
penghapus resiko.
3. Keyakinan Atas Kemampuan Mereka Untuk Berhasil
Wirausahawan umumnya memiliki banyak keyakinan atas kemampuan untuk berhasil.
Mereka cenderung optimis terhadap peluang keberhasilan dan optimisme mereka
biasanya berdasarkan kenyataan.
4. Hasrat Untuk Mendapatkan Umpan Balik Langsung
Wirausahawan ingin mengetahui sebaik apa mereka bekerja dan terus–menerus mencari
pengukuhan.
5. Tingkat Energi Yang Tinggi
Wirausahawan lebih energitik dibandingkan orang kebanyakan. Energi ini merupakan
faktor penentu mengingat luar biasanya bisnis yang diperlukan untuk mendirikan suatu
perusahaan. Kerja keras dalam waktu yang lama merupakan sesuatu yang biasa.
6. Orientasi Ke Depan
Wirausahawan memiliki indera yang kuat dalam mencari peluang. Mereka melihat ke
depan dan tidak begitu mempersoalkan apa yang telah dikerjakan kemarin, melainkan
lebih mempersoalkan apa yang akan dikerjakan besok. Bila manajer tradisional
memperhatikan pengelolahan sumber daya yang ada, wirausahawan lebih tertarik
mencari dan menempatkan peluang.
11
7. Menilai Prestasi Lebih Tinggi Dari Pada Uang.
Salah satu kesalahan pengertian yang paling umum mengenai wirausahawan adalah
anggapan bahwa mereka sepenuhnya terdorong oleh keinginan menghasilkan uang.
Sebaliknya, prestasi tampak sebagai motivasi utama wirausahawan. Uang hanyalah cara
untuk ” menghitung skor ” pencapaian sasaran atau simbol prestasi. Seorang peneliti
bisnis mengatakan yang membuat wirausahawan bergerak maju lebih kompleks dan
lebih luhur dari sekedar uang. Kewirausahawan lebih mengenai menjalankan sendiri apa
yang diinginkan tentang sesuatu yang tampaknya tidak mungkin.
2.1.1.2
Disiplin Ilmu Kewirausahaan
Ilmu kewirausahaan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai,
kemampuan (ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapai tantangan hidup untuk
memperoleh peluang dengan berbagai resiko yang mungkin dihadapainya. Dalam konteks
bisnis, Menurut Thomas W. Zimmerer (1996) yang dikutib oleh Suryana (2003,p7) ”
Entrepreneurship is the result of a discipline, systematic process of applying creativity and
innovations to need and opportunities in the marketplace “ . Kewirausahaan adalah hasil dari
suatu displin, proses sistematis penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi
kebutuhan dan peluang di pasar. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena
berisi body of knowledge yang utuh dan nyata (distinctive) ada objek, konsep dan
metodenya.
2.1.1.3
Objek Studi Kewirausahaan
Objek studi kewirausahaan adalah nilai–nilai dan kemampuan (ability) seseorang
yang diwujudkan dalam bentuk perilaku. Menurut Soeparman Soemahamidjaya (1997) yang
12
dikutib oleh Suryana (2003,p9), kemampuan seseorang yang menjadi objek kewirausahaan
meliputi :
1. Kemampuan merumuskan tujuan hidup atau usaha. Dalam merumuskan tujuan hidup
atau usaha tersebut perlu perenungan, koreksi, yang kemudian berulang-ulang di baca
dan diamati sampai memahami apa yang menjadi kemauannya.
2. Kemampuan memotivasi diri untuk melahirkan suatu tekad kemauan yang menyala–
nyala.
3. Kemampuan untuk berinisiatif, yaitu mengerjakan sesuatu yang baik tanpa menunggu
perintah orang lain, yang dilakukan berulang–ulang sehingga menjadi kebiasaan
berinisiatif.
4. Kemampuan berinovasi, yang melahirkan kreativitas (daya cipta) setelah dibiasakan
berulang–ulang akan melahirkan motivasi. Kebiasaan inovatif adalah desakan dalam diri
untuk selalu mencari berbagai kemungkinan baru atau kombinasi baru apa saja yang
dapat dijadikan piranti dalam menyajikan barang dan jasa bagi kemakmuran masyarakat.
5. Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang modal (capital goods).
6. Kemampuan untuk mengatur waktu dan membiasakan diri untuk selalu tepat waktu
dalam segala tindakannyan melalui kebiasaan yang selalu tidak menunda pekerjaan.
7. Kemampuan mental yang dilandasi dengan agama.
8. Kemampuan untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah dari pengalaman baik
maupun yang menyakitkan.
2.1.1.4
Ciri–Ciri, Watak Kewirausahaan dan Karakteristik Kewirausahaan
Menurut Geoffrey G. Meredith (2005,pp5-6) Ciri-ciri dan watak kewirausahaan,
sebagai berikut :
13
Tabel 2.1
Ciri-ciri dan Watak Kewirausahaan
CIRI–CIRI
1. Percaya diri
WATAK
Keyakinan,
ketidakketergantungan/kemandirian,
individualitas, dan optimisme.
2. Berorientasi pada tugas dan hasil
Kebutuhan untuk berprestasi, berorientasi pada
laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras
mempunyai dorongan kuat, energik dan inisiatif.
3. Pengambilan risiko
Kemampuan untuk mengambil risiko yang wajar
dan suka tantangan.
4. Kepimpinan
Perilaku sebagai pemimpin, bergaul. dengan
orang lain, menanggapi saran–saran dan kritik.
5. Berorientasi ke masa depan
Pandangan ke depan, perspektif.
Sumber : Geoffrey G. Meredith, et al. Kewirausahaan teori dan praktek
Dari beberapa ciri-ciri kewirausahaan diatas, ada beberapa nilai hakiki penting dari
kewirausahaan, yaitu :
1. Percaya Diri (Self - Confidence)
Menurut Soesarsono Wijandi 1988 yang dikutip oleh Suryana (2003,pp20-23)
Kepercayaaan diri merupakan suatu panduan sikap dan keyakinan seseorang dalam
menhadapi tugas atau pekerjaan. Dalam praktik sikap dan kepercayaan ini merupakan
sikap dan keyakinan untuk memulai, melakukan dan menyeleasikan suatu tugas atau
pekerjaan yang dihadapi. Oleh sebab itu, kepercayaan diri memiliki nilai keyakinan,
optimisme, individualitas dan ketergantungan. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri
cenderung memiliki keyakinan akan kemampuan untuk mencapai keberhasilan.
14
2. Berorientasi Tugas dan Hasil
Seseorang yang selalu mengutamakan tugas dan hasil, adalah orang yang selalu
mengutamakan nilai motif berprestasi, berorientaso pada laba, ketekunan dan
ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan yang kuat, energik dan berinisiatif.
Berinisiatif artinya selalu ingin mencari dan memulai. Untuk memulai diperlukan niat dan
tekad yang kuat, serta karsa yang besar. Sekali sukses atau berprestasi, maka sukses
berikutnya akan menyusul, sehingga usahanya semakin maju dan semakin berkembang.
Dalam kewirausahaan, peluang hanya diperoleh apabila ada inisiatif. Perilaku ini biasanya
diperoleh
melalui
pelatihan
dan
pengalaman
yang
bertahun–tahun,
dan
pengembangannya diperoleh dengan cara disiplin diri, berpikir kritis, tanggap, bergairah,
dan semangat berprestasi.
3. Keberanian Mengambil Risiko
Menurut Angelita S. Bajaro yang dikutip oleh Surayana (2003,p21), “ seorang wirausaha
yang berani menanggung risiko adalah orang yang selalu ingin jadi pemenang dan
memenangkan dengan cara yang baik “. Wirausaha adalah orang yang lebih menyukai
usaha-usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan atau kegagalan
daripada usaha yang kurang menantang.
4. Kepemimpinan
Seorang wirausaha yang berhasil selalu memiliki sifat kepemimpinan, kepeloporan dan
keteladanan. Ia selalu ingin bergaul untuk mencari peluang, terbuka untuk menerima
kritik dan saran yang kemudian dijadikan peluang. Sifat kepemimpinan harus
dikembangkan sendiri karena memiliki perbedaan sifat pada setiap orang. Suatu
pedoman bagi pemimpin yang baik ialah “ perlakukan orang-orang lain sebagaimana
ingin diperlakukan “. Berusaha memandang suatu keadaan daris sudut pandang orang
lain akan ikut mengembangkan sebuah sikap teposliro.
15
5. Berorientasi Ke Masa Depan
Orang yang berorientasi ke masa depan adalah orang yang memiliki perspektif dan
pandangan ke masa depan. Karena memiliki pandangan yang jauh ke masa depan, maka
ia selalu berusaha untuk berkarsa dan berkarya. Kuncinya pada kemampuan untuk
membuat menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan yang sudah ada
sekarang. Meskipun dengan resiko yang mungkin terjadi, ia tetap tabah untuk mencari
peluang dan tantangan demi pembaharuan masa depan. Pandangan yang jauh ke
depan, membuat wirausaha tidak cepat puas dengan karsa dan karya yang sudah ada
sekarang. Oleh sebab itu, ia selalu mempersiapkan dengan mencari suatu peluang
Delapan karakteristik menurut M. Scarborough dan Thomas W. Zimmerer yang
dikutib oleh Suryana (2003,p14) , yang meliputi :
1. Desire for responbility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab atas usaha–usaha yang
dilakukannya. Seorang yang memiliki rasa tanggung jawab akan selalu mawas diri.
2. Preference for moderate risk, yaitu lebih memilih resiko yang moderat, artinya
menghindari resiko yang rendah dan menghindari resiko yang tinggi.
3. Confidence in their ablity to success, yaitu percaya akan kemampuan dirinya untuk
berhasil.
4. Desire for immediate feedback, yaitu selalu menghendaki umpan balik yang segera.
5. High level of energy, yaitu memiliki semangat dan kerja keras untuk mewujudkan
keinginannya demi masa depan yang lebih baik.
6. Future orientation, yaitu berorientasi ke masa depan, perspektif, dan berwawasan jauh
ke depan.
7. Skill at organizing, yaitu memiliki ketrampilan dalam mengorganisasikan sumber daya
untuk menciptakan nilai tambah.
8. Value of achievement over money, yaitu selalu menilai prestasi dengan uang.
16
2.1.1.5
Falsafah Wirausaha
Kejarlah tujuan–tujuan yang berhubungan dengan kemampuan–kemampuan dan
ketrampilan–ketrampilan anda. Terimalah diri anda sebagaimana adanya dan cobalah
tekankan kekuatan–kekuatan anda dan kurangilah kelemahan–kelemahan anda. Jika anda
secara jujur dan agresif mengejar tujuan–tujuan ini, anda akan mendapat hasil–hasil yang
positif. Berorientasi kepada tujuan akan mendorong munculnya sifat–sifat anda yang paling
baik. Lakukan hal–hal yang penting bagi anda dan yang dapat anda kerjakan dengan paling
baik.
Kebanyakan orang tidak menyadari luasnya bidang dimana mereka dapat
menentukan tindakan–tindakannya. Mencapai kesempurnaan merupakan sesuatu yang ideal
dalam mengejar tujuan tetapi bukan merupakan sasaran yang realistik bagi kebanyakan
wirausaha. Hasil–hasil yang dapat diterima lebih penting dari pada hasil–hasil yang
sempurna. Berusaha mencapai suatu hasil secara sempurna demi suatu tujuan dalam jangka
waktu yang terlalu lama hanya akan menghambat perkembangan dan pertumbuhan pribadi
anda.
2.1.2
Etika Bisnis
2.1.2.1
Etika dan Norma Bisnis
Etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku pengusaha berdasarkan nilai–nilai
moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat keputusan dan komitmen untuk
melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar. Oleh karena itu, perilaku
etika berperan melakukan ‘ apa yang benar ‘ dan ‘ baik ’ untuk menentang apa yang ‘ salah ’
dan apa yang ‘ buruk ’. Selain etika dan perilaku yang tidak kalah pentingnya dalam bisnis
adalah norma etika. Ada tiga tingkatan norma etika, yaitu :
1. Hukum
17
Hukum berlaku bagi masyarakat secara umum yang mengatur mana perbuatan yang
boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Hukum hanya mengatur standar
perilaku minimum.
2. Kebijakan dan Prosedur Organisasi
Kebijakan dan prosedur organisasi memberi arahan khusus bagi setiap orang dalam
organisasi dalam mengambil keputusan sehari–harinya. Para karyawan akan bekerja
sesuai dengan kebijakan dan prosedur perusahaan atau organisasi.
3. Moral Sikap Mental Individual
Sikap mental individual sangat penting untuk menghadapi suatu keputusan yang tidak
diatur oleh aturan formal. Nilai moral dan sikap mental individual biasanya berasal dari
keluarga, agama, dan sekolah. Sebagian lagi yang menentukan etika perilaku adalah
pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Kebijakan dan aturan perusahaan sangat penting
terutama untuk membantu, mengurangi mempertinggi pemahaman karyawan tentang
etika perilaku.
2.1.2.2
Etika dan Agama
Selain hubungan antara manusia dengan penciptanya, tiap agama juga
memberikan pada pemeluknya pandangan tentang dunia, termasuk instruksi moral, nilai dan
komitmen agama, dengan demikian tidak hanya bersangkutan dengan suatu sistem formal
untuk hubungan antara manusia dengan penciptanya, tetapi juga aturan untuk hubungan
antara manusia dengan penciptanya, tetapi juga aturan hubungan sosial antara manusia.
Banyak orang berpendapat bahwa harus moralitas harus didasarkan pada agama,
baik dalam arti bahwa tanpa agama orang akan tidak memiliki insentif untuk bermoral atau
dalam arti bahwa hanya agama yang dapat memberikan pendoman bagi kita dalam hidup
18
bermasyarakat ini. Terdapat pula pendapat bahwa moralitas seharusnya didasarkan pada
perintah Tuhan.
Pendapat para ahli filsafat sampai sekarang adalah bahwa moralitas tidak perlu
sepenuhnya bergantung pada agama. Walaupun keinginan untuk masuk ke surga atau
ketakutan untuk masuk neraka mungkin mendorong orang untuk bertingkah laku yang
bermoral, hal ini tidak merupakan alasan satu-satunya dan bahkan bukan alasan yang
penting umum mendorong manusia bermoral. Sering kita bertindak yang bermoral karena
kebiasaan saja, atau karena memang kita orang yang bermoral. Kita sering termotivasi untuk
melakukan apa yang benar secara moral hanya karena perhatian kita pada orang lain atau
hanya karena berpendapat bahwa itu tindakan benar. Sering penerimaan oleh teman-teman
kita, kebutuhan untuk memenuhi hati nurani kita sendiri, dan kebutuhan untuk menghindari
pelanggaran hukum, mungkin memotivasi kita untuk bertindak yang bermoral.
Perintah untuk bermoral dari tiap agama pada lazimnya umum dan mungkin sulit
untuk diterjemahkan menjadi kebijakan yang tegas untuk tiap permasalahan dalam hidup.
Perintah agama tidak melarang kita untuk analisa moral. Bahkan setiap agama
menganjurkan penganutnya untuk menggunakan akalnya, untuk berfilsafat moral untuk
memperoleh jawaban yang rasional dalam kehidupan.
Bahwa agama mempengaruhi norma moral dan nilai-nilai kebanyakan orang tidak
perlu diragukan lagi. Dalam kehidupan bermasyarakat, maka dipahami ada banyak agama
yang berbeda prinsip-prinsip moralnya, bahkan dalam agama yang sama ada banyak aliran
yang juga seringberbeda dalam masalah-masalah moral. Oleh karena itu sulit untuk
membenarkan suatu prinsip moral hanya dengan mendasarkan diri pada agama, karena hal
ini hanya akan diterima oleh mereka yang agamanya sama atau bahkan yang sama aliran
dalam agama itu. Di lain pihak, tiap agama berpendapat bahwa akal manusia perlu
digunakan untuk memahami apa yang benar dan apa yang salah, dan oleh karena itu, untuk
19
mendukung prinsip-prinsip etika dalam hidup bermasyarakat yang majemuk tersebut, maka
akal
manusia
selayaknya
menjadi
tumpuan
untuk
berpikir
dalam
menyelesaikan
permasalahan moral dalam masyarakat yang majemuk.
Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara norma moral dengan agama.
Agama memberikan banyak pengaruh positf bagi filsafat moral. Dapat dikatakan bahwa
semua agama menganjurkan manusia untuk berpikir, untuk menggunakan akal dalam
kehidupan untuk berfilsafat moral dalam kehidupan bermasyarakat.
2.1.2.3
Prinsip – Prinsip Etika dan Perilaku Bisnis
Secara universal, ada sepuluh prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu :
1. Kejujuran (honesty)
Yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur, sungguh–sungguh, terbuka, terus terang : tidak
curang, tidak mencuri, tidak menggelapkan, dan tidak berbohong.
2. Integritas (integrity)
Yaitu memegang prinsip, melakukan kegiatan yang terhormat, tulus hati, berani dan
penuh pendirian atau keyakinan, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat dan saling
percaya.
3. Memelihara janji (promise keeping)
Yaitu selalu mentaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen, patuh, jangan
mengintegrasikan persetujuan dalam bentuk teknikal atau legalistik dengan dalih
ketidakrelaan.
4. Kesetiaan (fidelity)
Yaitu hormat dan loyal kepada keluarga teman, karyawan dan negara; jangan
menggunakan atau memperlihatkan informasi yang diperoleh dalam kerahasiaan; begitu
juga dalam suatu konteks profesional, jaga atau lindungi kemampuan untuk membuat
20
keputusan profesional yang bebas dan teliti, hindari hal yang tidak pantas dan konflik
kepentingan.
5. Kewajaran atau keadilan (fairness)
Yaitu berlaku adil dan berbudi luhur; bersedia untuk mengakui kesalahan; dan
perlihatkan komitmen keadilan, persamaan perlakuan individual dan toleran terhadap
perbedaan, jangan bertindak melampaui batas atau mengambil keuntungan yang tidak
pantas dari kesalahan atau kemalangan orang lain.
6. Suka membantu orang lain (caring for others)
Yaitu saling membantu, berbaik hati, belas kasihan, tolong – menolong, kebersamaan
dan menghindari segala sesuatu yang membahayakan orang lain.
7. Hormat kepada orang lain (respect for others)
Yaitu menghormati martabat manusia, menghormati kebebasan dan hak untuk
menentukan nasib sendiri bagi semua orang, bersopan santun, jangan merendahkan diri
seseorang, jangan mempermalukan seseorang dan jangan merendahkan martabat orang
lain.
8. Kewarganegaraan yang bertanggung Jawab (responsibility citizenship)
Yaitu selalu mentaati hukum atau aturan, penuh kesadaran sosial, menghormati proses
demokrasi dalam mengambil keputusan.
9. Mengejar keunggulan (pursuit of excellence)
Yaitu mengejar keunggulan dalam segala hal, baik dalam pertemuan personal maupun
pertanggungjawaban profesinal, tekun, dapat dipercaya atau diandalkan, rajin, getol dan
penuh
komitmen,
melakukan
semua
tugas
dengan
yang
terbaik
berdasarkan
kemampuan, mengembangkan dan mempertahankan tingkat kompetensi yang tinggi.
10. Dapat dipertanggungjawabkan (accountability)
21
Yaitu memiliki tanggung jawab, menerima tanggung jawab atas keputusan dan
konsekuensinya, dan selalu memberi contoh.
2.1.2.4
Bisnis Harus Berlaku Etis
Jika tidak diragukan lagi perkaitan erat antara bisnis dan etika, masih bisa
dipertanyakan datar bagi perkaitan itu. Mengapa Bisnis harus berlaku etis? Tekanannya disini
pada kata ” harus ”. Dengan kata lain, mengapa bisnis tidak bebas untuk berlaku etis atau
tidak? Tentu saja, berulang kali terjadi hal-hal yang tidak etis dalam dunia bisnis. Hal yang
tidak dapat disangkal, tapi juga tidak menjadi fokus perhatian kita. Pertanyaan buka tentang
kenyataan faktual, melainkan tentang normativitas : seharusnya bagaimana dan apa yang
menjadi dasar keharusan itu?
Bertanya mengapa bisnis harus berlaku etis, sebenarnya sama dengan bertanya,
mengapa manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis disini hanya merupakan suatu
bidang khusus dari kondisi manusia yang umum atas pertanyaan dalam bentuk lebih umum
ini, dalam sejarah pemikiran yang sudah lama diberikan tiga jawaban. Jawaban pertama,
berasal dari agama, jawaban kedua muncul dalam filsafat modern, jawaban ketiga sudah
ditemukan dalam filsafat Yunani kuno secara singkat kita mempelajari jawaban ini dan
menerapkannya pada situasi bisnis.
2.1.3
Perbedaan Antara Agama, Religi dan Kepercayaan
Menurut Koentjaraningrat (2004,pp144–149) bahwa religi adalah bagian dari
kebudayaan. Ada pendiri yang mengatakan bahwa suatu sistem religi merupakan suatu
agama, hanya bagi penganutnya. Sistem religi Islam merupakan agama hanya bagi anggota
umat Islam. Sistem religi Hindu Darma merupakan suatu agam bagi orang Bali. Ada juga
22
pendirian orang lain, yaitu bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui
oleh negara kita.
Konsep religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu :
1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religieus.
2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang
sifat–sifat Tuhan. Tentang wujud dari alam gaib (supernatural); serta segala nilai, norma
dan ajaran dari religi yang bersangkutan.
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan
dengan Tuhan, dewa–dewa, atau makhluk–makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut dalam sub 2 dan
yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut dalam sub 3.
Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain
menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat. Emosi keagamaan merupakan suatu
getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Karena getaran jiwa yang disebut emosi
keagamaan dapat dirasakan oleh seseorang individu dalam keadaan sendiri, maka suatu
aktivitas religius dapat dilakukan seorang diri dalam keadaan sunyi senyap. Seorang bisa
mendoa, bersujud , atau melakukan salat sendiri dengan penuh khidmat, dan dalam keadaan
terhinggap oleh emosi keagamaan ia akan membayangkan Tuhan, dewa, ruh atau lainnya.
Saat ini ada kecondongan untuk membedakan antara dua istilah tersebut. Istilah
agama dipakai untuk menyebut agama–agama yang resmi diakui oleh negara kita, dan
kepercayaan untuk semua sistem yang berada di luar kategori itu. Agama yang bisa kita
pakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam negara kita yaitu Islam,
Protestan, katholik, Hindu-Darma, Budha Darma, religi yang bisa kita pakai kalau berbicara
tentang sistem–sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, seperti Konghucu, Sevent
23
Day Advent, gereja Pinkster, hindu dan segala macam gerakan kebatinan dan sebagainya,
yaitu komponen kedua dalam tiap agama maupun religi.
2.1.4
Iman dan Agama
2.1.4.1
Pengertian Iman
Dalam pengertian keagamaan, kata “ iman “ lebih dimengerti sebagai : yakin,
percaya dalam hati, pasti tentang sesuatu, pasti tentang Tuhan dan wahyu-Nya. Itu berarti
menerima kebenaran tertentu dan apa saja yang berkaitan dengan kebenaran itu, yang
dalam hal ini adalah kebenaran tentang Tuhan. Umumnya iman dipahami sebagai berada
didalam hati, dan tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali oleh Tuhan saja. Bisa jadi
seseorang yang perkataannya tidak baik, jorok, tidak sopan, tetapi hatinya baik. Begitu pula
orang yang perbuatan dan perilakunya tidak baik, bisa jadi hatinya tetap baik. Ini
memperlihatkn bahwa perbuatan itu tidak berpengaruh terhadap hati, dan sebaliknya,
keadaan hati itu tidak berpengaruh terhadap perbuatan, karena masing–masing tidak ada
sambungan sama sekali. Akan tetapi, secara terminologis (istilah), kata “ iman “ terdapat
dalam sebuah “ Sabda Nabi “, yang artinya : kesatuan, keselarasan, keserasian antara kata
hati, ucapan dan perbuatan. Iman dalam arti kedua ini yang kita maksudkan sebagai arti
utama dari iman. Di sini iman di maksudkan sebagai sikap hati, dan bukan hanya sebagai
keyakinan dalam hati. Dengan sikap hati itu manusia mempercayakan dirinya sebulat–
bulatnya kepada Tuhan, mengandalkan Tuhan sepenuh–penuhnya. Dalam arti ini iman searti
dengan penyerahan diri. Dengan penyerahan dimaksud seluruh hidupnya (hati, ucapan dan
perbuatan) sesuai dengan bimbingan imannya. Iman dalam arti yang kedua ini bisa
berkonotasi positf tetapi bisa juga berkonotasi negatif. Berkonotasi positif, misalnya beriman
kepada Tuhan, beriman kepada ketentuan Tuhan, beriman kepada ajaran Tuhan; sementara
berkonotasi negatif, misalnya beriman kepada dukun, beriman kepada tahayul, beriman
24
kepada setan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kata iman yang kita maksudkan di sini
adalah dalam konotasi yang positif.
Dalam hubungan manusia dengan Tuhan dapat dikatakan bahwa iman merupakan
jawaban manusia atas pewahyuan Tuhan. Secara umum agama–agama mengakui bahwa
Tuhan telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia. Justru karena telah mewahyu diriNyalah, maka Tuhan, dari tidak dikenal menjadi dikenal dan dapat disembah oleh manusia.
Perbedaan terdapat pada pemahaman bagaimana Tuhan itu mewahyukan diri-Nya. Namun,
dapat dipahami bahwa pewahyuan Tuhan tentang diri-Nya dan cinta kasih-Nya kepada
manusia perlu dijawab atau ditanggapi oleh manusia. Jawaban atau tanggapan yang tepat
atas pewahyuan Tuhan itu adalah iman. Ini adalah ungkapan cinta manusia kepada Tuhan,
yang telah lebih dahulu mencintai manusia. Penyerahan diri dalam semangat cinta, sebagai
tanggapan manusia atas pewahyuan Tuhan, selalu bersikap pribadi, yang berlangsung secara
bebas dan bertanggung jawab. Sebagai jawaban manusia atas pewahyuan Tuhan, iman tidak
dapat dilihat sebagai hasil usaha manusia. Iman terutama adalah inisiatif Tuhan sendiri.
Wahyu yang sampai kepada manusia membuka dan menggerakkan hati manusia untuk
menerimanya, mengakui dan mengimaninya. Dalam prakteknya timbulnya iman dalam
seseorang adalah pewahyuan, yang dalam arti sekarang, karena pewartaan.
Menurut Huxley Aldous (2001,pp353-355), KATA ” iman ” (faith) memiliki berbagai
arti, sehingga penting untuk membedakannya. Dalam beberapa konteks, kata iman dipakai
sebagai sinonim untk kata ” percaya ” (rust), seperti kita kita berkata bahwa kita percaya
pada keahlian diagnosa Dr. X atau integritas pengacara Y. Analog dengan ini adalah ” iman ”
kita pada otoritas - kepercayaan bahwa apa yang dikatakan beberapa orang tentang subjek–
subjek tertentu adalah mungkin benar, karena kualifikasi mereka yang khusus. Pada
kesempatan lain ” iman ” berarti kepercayaan pada dalil yang kita sendiri tak memiliki
kesempatan untuk memverifikasinya jika kita memiliki kecenderungan, kesempatan dan
25
kemampuan yang diperlukan. Iman dalam arti lain yakni ” iman ” adalah sebuah prasyarat
dari semua pengetahuan yang sistematis, semua tindakan yang bertujuan dan semua
kehidupan yang berketurunan.
” keimanan agama ”. Penggunaan ini benar, bukan karena jenis keimanan yang
lain tidak berdasar pada agama karena keimanan itu adalah tentang urusan–urusan yang
bersifat sekular, tetapi karena dukungan pada dalil yang dikenal tak dapat diversikasi ini
terdapat di dalam agama, sebagai tambahan yang khas bagi keimanan sebagai kepercayaan,
keimanan pada otoritas dan keimanan pada dalil–dalil yang tak terverifikasi namus dapat
diverifikasi. Ini adalah jenis keimanan yang menurut parateolog Kristen, membenarkan dan
menyelamatkan.
Menurut AM Hardjana ( 2000,p65), dalam menghayati iman dalam arti bagaimana
orang beragama mewujudkan iman kepada Tuhan dalam Kehidupan nyata, dapat dibedakan
antara iman ekstrinsik dan iman intrinsik. Iman ekstrinsik, luar, adalah iman yang tidak
menyatu dengan pribadi orang yang beragama. Baginya iman merupakan perkara luar yang
tidak mempengaruhi cara berpikir, berkehendak dan berperilakunya. Iman intrinsik, orang
yang beriman ekstrinsik bukan menghayati tetapi mempergunakan iman demi kepentingan
pribadi. Dia menganut agama dengan pamrih, karena kepentingan: pribadi, ekonomi, sosial,
yang ada diluar kepentingan iman. Iman Intrinsik adalah orang yang tidak memanfaatkan
iman, tetapi menghayati iman. Alasan mereka untuk memeluk iman tidak terletak diluar,
tetapi didalam
pribadi mereka. Iman menjadi norma hidup mereka yang paling utama.
Dalam hidup beragama, memang terslib motif-motif lain, sepert motif pribadi, ekonomis dan
sosial. Tetapi motif-motif itu diletakkan dan dikendalikan oleh iman.
Yang diambil dari makalah (ONLINE) www.te.ugm.ac.id Iman adalah sikap batin.
Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan
terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata "sama" itu) ada
26
pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses
pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin
mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi
pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3)
tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan.
Jika
pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.
2.1.4.2
Pengertian Agama
Agama pada dasarnya adalah sikap manusia yang seharusnya kepada Tuhan.
Agama mengungkapkan diri dalam sembah dan bakti sepenuh hati kepada Tuhan. Berbeda
dengan iman yang didasarkan pada pewahyuan Tuhan, agama sebenarnya meruoakan hasil
usaha manusia, yang dikembangkan dalam rangka mengatur berbagai hal yang berkaitan
dengan pengungkapan iman. Dengan demikian agama tidak sama dengan iman, karena
seseorang yang beragama baru merupakan sebuah awal dari perjalanan panjang yang harus
dilaluinya mengarungi dunia rohani yang tiada batasnya. Disebut tiada batasnya karena
perjalanan rohani terutama berkaitan dengan sesuatu yang transenden atau gaib. Iman
merupakan jawaban atau tanggapan manusia atas pewahyuan Tuhan; sedangkan bagaimana
jawaban manusia ini dikembangkan, disebarluaskan, dan diteruskan turun–temurun dalam
berbagai aktivitas kerohanian, itulah yang diatur oleh agama. Jadi agama lebih merupakan
wadah atau lembaga yang mempersatukan dan mengatur berbagai aktivitas berkaitan
dengan pengungkapan dan penghayatan iman kepada Tuhan. Dengan pengertian ini tidak
berarti agama hanya berkaitan dengan hal yang vertikal saja sementara aspek horizontalnya
diabaikan. Agama adalah institusi atau ruang tempat dan penghayatan dimensi sosial dari
iman kepada Tuhan.
27
2.1.5
Nilai-Nilai Religi dalam Penghayatan Iman Di Kehidupan Nyata
2.1.5.1
Iman Dalam Kehidupan
Hidup manusia tidak mungkin berjalan wajar tanpa iman. Dalam segala hal kita
membutuhkan iman. Kita mengendalikan pada konsistensi dan kesanggupan alam, dunia,
manusia, masyarakat dan dunia. Iman didasarkan atas kepercayaan, trust. Tanpa ada alasan
yang masuk akal dan kuat, kita tidak takut berjalan menapak di jalan aneh bila tanpa alasan
kuat setiap kali sebelum menapik dijalan kita menanyakan apakah jalan dapat kita lewati dan
setiap melangkah selalu memeriksa apakah jalannya memang dapat kita lewati dan tidak
tiba-tiba amblas ke dasar bumi. Tanpa banyak berpikir kita membaringkan diri ditempat
tidur. Kita tidak akan memeriksa terlebih dahulu tanpa perlu melihat apakah tempat tidur kita
masih mampu menerima tubuh kita atau tidak.
Iman berlaku dalam pergaulan kita dengan orang lain. Tanpa alasan kuat ita
berhubungan dengan orang lain, tanpa takut untuk dicelakakan. Tanpa alasan kuat kita
terlibat dalam masyarakat tanpa kekwatiran, jangan-jangan dibohongi. Tanpa adanya iman
antar manusia, sulit dibayangkan apa mungkin diadakan usaha dagang, pendidikan,
perkawinan, dan lain-lain.
2.1.5.2
Mencintai Dengan Tulus
Pesan sangat dalam dari setiap agama adalah kasih. Tuhan mengasihi umat-Nya,
dan tetap mau mengasihinya. Orang berdosa sekali pun tidak akan dibinasakan-Nya. Tuhan
senantiasa menantikan umat-Nya yang bertobat dan datang kepada-Nya, untuk kembali ke
jalan Tuhan, ke jalan yang benar. Tuhan telah menunjukkan kasih-Nya kepada manusia
dengan berbagai bentuk dan rasul-Nya, bahkan melalui berbagai peristiwa dan kejadian
hidup kita sehari – hari. Begitu besarnya cinta Tuhan kepada kita, sehingga kita kadang tidak
menyadarinya atau bahkan tidak mampu memahaminya. Seperti halnya kita tidak bisa
28
melihat udara, padahal kita dikelilingi oleh udara, yang memberikan kehidupan kepada kita.
Sedemikian besar kasih Tuhan kepada kita, sehingga tanda–tanda kasih-Nya yang begitu
banyak dan begitu besar menjadi luput dari perhatian kita. Bahwa kita bisa hidup, dan masih
hidup hingga sekarang, sesungguhnya merupakan suatu tanda cintakasih Tuhan yang amat
besar kepada kita.
2.1.5.3
Menahan dan Mengendalikan Diri
Mencintai atau mengasihi dengan tulus hati merupakan hal sangat esensial dalam
penghayatan iman semua umat beragama. Kedamaian, kebagiaan, bahkan keselamatan
terjadi justru karena adanya cinta. Maka setiap agama senantiasa berjuang agar cintakasih
menjadu nafas hidup segenap umat beriman. Namun, perlu segera ditambahkan bahwa tidak
cukup hanya mencintai atau mengasihi, tetapi juga mengendalikan diri. Bahkan dapat
dikatakan bahwa orang yang sanggup mengendalikan dirinya, termasuk menahan dan
mengendalikan diri dari berbagai hambatan untuk menghayati cinta yang sesungguhnya.
Dengan pengendalian diri berarti kita membiarkan Tuhan menggerakkan, membimbing dan
mengarahkan hidup kita dan bukan digerakkan oleh keinginan hawa nafsu kita sendiri.
Dengan menahan dan mengendalikan diri kita semakin mampu hidup sesuai dengan
kehendak Tuhan dengan segala tuntutan-Nya.
2.1.5.4
Rendah Hati dan Mau Mengampuni
Berhadapan dengan Tuhan sesungguhnya kita tidak ada apa–apanya. Kita hanya
bisa hidup dan bergerak karena Tuhan, yang dengan berbagai cara telah memberi kita
kekuatan untuk hidup. Tidak alasan bagi manusia untuk menyombongkan diri. Di hadapan
Tuhan kita semua sama, yang hanya mengandalkan dan bergantung pada-Nya. Untuk itu
manusia harus berlaku rendah hati, baik di hadapan Tuhan, maupun di hadapan sesama.
29
Kita juga bukan tanpa dosa di hadapan Tuhan, tapi karena Tuhan begitu baik pada kita,
maka kita tetap bisa selamat dan bahagia. Sebagai orang beriman, kita harus saling
memaafkan atau mengampuni satu sama lain, karena Tuhan sendiri terus menerus mau
mengampuni kita.
Kalau dilihat dari coraknya, tidakan mengampuni memiliki kekhususan di antara
berbagai ungkapan cinta lainnya. Ada hambatan cukup besar dalam mewujudkannya.
Dibutuhkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa, dan tentu iman yang kuat. Kita
mengampuni karena kita mengajarkan kita demikian. Dalam hal memperoleh pengampunan
dari Tuhan, dari kita dituntut pertobatan, berupa niat dan komitmen untuk mau hidup
kembali dengan baik. Ampun dan tobat adalah dua hal yang diharapkan semakin nyata
dalam hidup kita.
2.1.5.5
Setia Pada Kebenaran
Jalan Tuhan adalah jalan kebenaran. Diatas jalan kebenaranlah kaum beriman
hendaknya melangkah. Panggilan umat beriman adalah panggilan untuk membela
kebenaran, terutama dengan berusaha hidup benar di hadapan Tuhan. Hidup benar
dihadapan Tuhan berarti hidup sesuai kehendak Tuhan, yang sifatnya kekal dan tidak luntur
oleh berlalunya zaman. Kebenaran Tuhan adalah kebenaran kebenaran utama, dan
kebenaran lain hanya ambil bagian dari kebenaran yang utama itu. Namun Tuhan telah
memberi manusia kekuatan akal budi, yang merupakan bagian dari kemampuan yang
dimiliki-Nya dalam kepenuhan. Dengan akal budinya manusia mampu memikirkan dan
mengetahui yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Kemampuan ini dapat
kita gunakan dalam melakukan penilaian terhadap sesuatu, yang membuat kita yakin bahwa
sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, dan kemudian dapat melakukan tindakan
30
keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Dengan bantuan rahmat Tuhan, kta semakin
mampu mengenal kebenaran dan bisa dengan setia menghayatinya.
2.1.5.6
Berlaku Arif dan Bijaksana
Hidup arif dan bijaksana adalah suatu cara hidup yang terpancar dari iman.
Kearifan adalah suatu bentuk kesalehan hidup yang tumbuh dan berkembang dari semangat
menghayati iman secara mendalam. Orang arif atau saleh adalah orang yang baik, yang
mampu memperlihatkan perilaku terpuji dalam menjalankan hidupnya sehari–hari. Kesalehan
hidup merupakan tempat subur bagi berkembangnya iman, dan sebaliknya, iman yang
terhayati dengan baik akan mendorong kesalehan hidup. Maka orang yang ingin hidup saleh
harus memperjuangkannya dengan cara menghayati imannya dalam seluruh situasi nyata
kehidupannya. Kesalehan atau kearifan hanya tumbuh dalam kedekatan hubungan dengan
Tuhan, yang senantiasa dijadikan sumber inspirasi dalam menata dan menjalankan
kehidupan sehari–hari.
Kebijaksanaan merupakan suatu keutamaan atau kebijakan budi yang dimiliki oleh
mereka yang sudah sedemikian membiarkan dirinya dibimbing oleh Tuhan, yang mau
memelihara dan mendengarkan serta mentaati bisikan hati nuraninya. Orang bijaksana
mengakui keterbatasan pengetahuannya, dan membiarkan kebijaksanaan memberinya
pemahaman mendalam tentang makna kehidupan. Kebijaksanaan akan membimbing kita
bagaiman sebaiknya hidup dan bertindak di tempat dan waktu tertentu, atau mengatasi
masalah–masalah tertentu dengan tepat dan baik. Hidup arif dan bijaksana merupakan suatu
pertanda kedalamaan kecerdasan spiritual yang berhasil dikembangkan oleh seorang
beriman.
31
2.2
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan bagian dari suatu penelitian sebagai rangkuman
dan juga merupakan hasil tinjauan pustaka yang akan memiliki keterkaitan dengan teori–
teori yang ada, konsep dan hasil penelitian dengan masalah yang akan ditelitinya. Maka
kerangka pemikiran adalah suatu bentuk pendekatan dalam penelitian untuk memecahkan
suatu masalah yang menggambarkan variabel dan hubungan variabel dalam penelitian
tersebut.
Entrepreneur adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan
sumber daya. Jadi, dimana seorang entrepreneur merupakan motor penggerak roda dalam
suatu usaha yang digelutinya. Dan kesuksesan perusahaan merupakan keinginan yang ingin
dicapainya dan bentuk wujud kesuksesan perusahaan adalah target perusahaan yang telah
berhasil dan besarnya asset perusahaan.
Dalam penelitian tersebut, penulis ingin melakukan penelitian adakah hubungan
antara nilai-nilai religi dalam penghayatan iman dengan ciri-ciri entrepreneurship seorang
entrepreneur. Penulis melakukan survei kepada beberapa entrepreneur yang berbeda
sebagai objek penelitian.
Survei dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner yang berisikan daftar
pertanyaan yang telah disusun sesuai dengan rancangan penulis. Dan kuesioner kan
diberikan kepada entrepreneur, yakni kepada pemilik usaha tersebut.
32
ENTREPRENEUR
Nilai-Nilai Religi Dalam
Ciri – ciri
Penghayatan Iman Di
Entrepreneurship atau
Kehidupan Nyata
Kewirausahaan
1. Mencintai dengan tulus.
1. Percaya diri
2. Menahan dan
2. Berorientasi pada tugas dan
mengendalikan diri.
3. Rendah hati dan mau
mengampuni.
hasil
3. Pengambilan resiko
4. Kepemimpinan
4. Setia pada kebenaran.
5. Berorientasi ke masa depan
5. Berlaku arif dan bijaksana
Sumber : penulis
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Download