143 UJI EKSTRAK AIR DAUN KETAPANG

advertisement
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
UJI EKSTRAK AIR DAUN KETAPANG (Terminalia catappa L.) SEBAGAI
PEMBERSIH ALAMI DENGAN METODE CLEAN IN PLACE (CIP)
The Assessment Of Ketapang (Terminalia catappa L.) Leaves Water Extract As Natural
Cleaning Agent Using Clean In Place (CIP) Method
Evi Triana* dan Novik Nurhidayat
Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Raya Bogor Km.46, Cibinong 16911
* [email protected], HP 08164869409
Abstrak
Prevalensi keracunan makanan di Indonesia masih cukup tinggi. Kontaminasi makanan
berperanan besar pada kejadian keracunan makanan dan penyakit infeksi. Masalah ini
perlu mendapat perhatian, karena penderita dapat mengalami gangguan pencernaan dan
penyerapan gizi, bahkan dapat berakhir dengan kematian. Kontaminasi makanan kerap
terjadi karena sanitasi pengelolaan makanan tidak memenuhi syarat kesehatan. Oleh karena
itu, pengolahan makanan terutama industri makanan dan minuman harus memperhatikan
aspek sanitasi dan hygiene untuk menghasilkan pangan yang bermutu dan aman.
Salah satu aplikasi sanitasi utama dalam lingkungan industri adalah clean in place (CIP).
Bahan pembersih yang umum digunakan adalah deterjen. Namun penggunaan deterjen
yang berlebihan dan tidak terkontrol, berdampak buruk pada lingkungan. Untuk mengatasi
masalah tersebut dibutuhkan bahan alami sebagai alternatif deterjen. Tanaman ketapang
(Terminalia catappa L) telah dilaporkan memiliki potensi sebagai pembersih dan
antimikroba karena senyawa-senyawa aktif yang dimilikinya. Oleh karena itu dilakukan
penelitian untuk menguji potensi ekstrak air daun ketapang sebagai pembersih alami
dengan metode CIP.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air daun ketapang mengandung saponin,
alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan triterpenoid. Daya bersih ekstrak air daun ketapang
lebih baik dibandingkan deterjen 2% dan akuades. Ekstrak air daun ketapang 20, 15 dan
10% dapat meluruhkan pengotor organik berturut-turut sebesar 69,65; 43,3 dan 19,15%.
Sementara potensi meluruhkan bakteri berturut-turut sebesar 95,05; 58,45 dan 23,95%.
Analisis statistik menunjukkan bahwa ekstrak air daun ketapang 15 dan 20% memiliki
aktivitas yang setara namun lebih tinggi dibandingkan ekstrak 10%, deterjen 2% dan
akuades. Oleh karena itu disimpulkan bahwa bahan pembersih yang memiliki daya bersih
yang paling efektif adalah ekstrak air daun ketapang 15%.
Kata kunci: ekstrak air daun ketapang (Terminalia catappa L.), pembersih alami, clean in
place (CIP), pengotor organik, antibakteri
Abstract
The prevalence of food poisoning in Indonesia is constantly high. Food contamination
plays a major role in the incidence of food poisoning and infection. It is a major concern
because patients experiencing gastrointestinal disorder, nutrient intake, and even death.
Food contamination mostly happen due to food handling sanitary do not meet food safety
requirements. Therefore, to produce high quality and safety food, food handling, especially
in food and beverage industries should consider hygiene and sanitary aspects.
The main sanitary application in such industries is clean in place (CIP), using detergent as
the most common cleaning agent. However, uncontrolled and excessive use of detergent
would cause adverse effects on environment. Developing natural cleaning agent as
detergent alternative should be carried out to overcome this issue. Ketapang (Terminalia
catappa L) leaves have been reported to have potential cleaning and antimicrobial
143
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
properties because of its bioactive compounds. Therefore a study has been conducted to
examine ketapang leaves water extract as natural cleaning agent using clean in place (CIP)
method.
The results showed that ketapang leaves extract contain saponins, alkaloids, flavonoids,
tanins, steroids dan triterpenoids. The cleaning potensial of ketapang leaves extracts is
hingher than detergent 2% ad aquadestilata. Ketapang leaves water extracts of 20,15 and
10% are capable to remove organic impurities for 69,65; 43,3 and 19,15%. Meanwhile,
they are capable to remove bacteria for 95,05; 58,45 dan 23,95%. Statistical analyses (α
0.05) showed that ketapang leaves water extract have equal activities, but higher than the
extract of 10%, detergent 2% and aquadestilata. Therefore, it was concluded that the most
effective cleaning materials is ketapang leaves water extract 15%.
Keywords: Ketapang (Terminalia catappa L) leaves water extract, clean in place (CIP),
natural cleaning agent, organic impurities, antibacteria.
PENDAHULUAN
Prevalensi keracunan makanan di Indonesia masih cukup tinggi. Dari seluruh kasus
dan insiden keracunan nasional yang terlapor di Sentra Informasi Keracunan Nasional
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, keracunan makanan dan minuman menduduki
peringkat tertinggi berdasarkan kategori penyebab. Pada Tahun 2014 tercatat 1449 kasus
dan 85 insiden keracunan makanan telah dilaporkan (Badan Pengawas Obat dan Makanan
a, 2015). Sedangkan pada bulan Juli hingga September 2015, terdapat 32 insiden
keracunan. Keracunan akibat pangan mendominasi sebanyak 25 insiden. Total korban
keracunan bulan Juli hingga September 2015 adalah 1142 korban dengan 12 korban
meninggal (Badan Pengawas Obat dan Makanan b, 2015).
Kontaminasi makanan mempunyai peranan yang sangat besar pada kejadian
keracunan makanan dan penyakit infeksi/menular. Kontaminasi sering terjadi karena
sanitasi pengelolaan makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, sehingga makanan
tidak layak dikonsumsi karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Mikroorganisme
adalah salah satu kontaminan yang harus diwaspadai karena keberadaannya dalam
makanan sering tidak disadari hingga menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan,
misalnya kerusakan makanan. Diperkirakan sekitar 80% penyakit bawaan
makanan/keracunan makanan disebabkan oleh kontaminasi mikroba (Purawidjaja, 1992).
Sifat patogenik beberapa mikroba menjadi isu penting dalam pengolahan dan penanganan
bahan makanan. Escherichia coli sering kali menyebabkan infeksi, sedangkan Clostridium
botulinum, dan Staphylococcus aureus memproduksi toksin, sehingga dapat menyebabkan
keracunan. Sebanyak 70% kasus diare yang terjadi di negara-negara berkembang
diakibatkan oleh makanan, yang merupakan ancaman serius terutama terhadap balita.
Masalah ini perlu mendapat perhatian, karena penderita dapat mengalami gangguan
pencernaan dan penyerapan zat gizi, dan yang lebih memprihatinkan, kadang berakhir
dengan kematian. Oleh karena itu hygiene dan sanitasi pengelolaan makanan sangat
penting untuk diperhatikan karena makanan dapat menjadi media penularan penyakit
(Marwanti, 2010).
Keamanan pangan merupakan karakteristik yang sangat penting karena setiap
orang berhak memperoleh pangan yang bermutu dan aman. Kualitas makanan sangat
ditentukan oleh proses pengolahan makanan. Sampai saat ini telah banyak upaya dilakukan
144
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
untuk meningkatkan sanitasi dan hygiene makanan, khususnya melalui peningkatan
kualitas kebersihan tempat dan fasilitas pengolahan makanan.
Salah satu aplikasi sanitasi utama dalam lingkungan industri adalah clean in place
(CIP). Clean in place merupakan suatu rangkaian proses sirkulasi larutan pencuci dan
disinfeksi pada komponen peralatan dan perpipaan dalam suatu jalur yang tidak
memerlukan atau dengan minimum pembongkaran, menggunakan sistem pompa dan spray
(Spreer, 1998; International Association for Food Protection, 2002; Trisnanto, 2008).
Bahan pembersih yang umum digunakan pada proses CIP adalah deterjen. Untuk
memenuhi kebutuhan bahan pembersih, produksi deterjen terus meningkat setiap tahun.
Namun penggunaan deterjen yang semakin meningkat dan tidak dikontrol dengan baik
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius (Connel & Miller, 2005).
Bahan aktif deterjen yaitu alkil benzene sulfonate (ABS) dapat membentuk buih
(Sanchez-Peinado et al., 2008) yang menutupi permukaan air. Difusi oksigen oleh air
terhambat, sehinga oksigen terlarut dalam perairan menurun. ABS juga bersifat
toksik/teratogen karena dapat menghambat fungsi asam nukleat. Selain itu kandungan
fosfat yang tinggi (STPP) pada deterjen dapat menyebabkan eutrofikasi, sehingga
pertumbuhan alga sangat cepat (blooming). Kondisi itu menghalangi penetrasi sinar
matahari dan terjadi penurunan kadar nutrien dan oksigen terlarut. Persaingan konsumsi
nutrien dan oksigen yang rendah oleh mikroba yang berlimpah menyebabkan kematian
masal mikroba dan biota perairan, sehingga terjadi peningkatan bakteri anaerob pada
proses dekomposisi. Bakteri anaerob banyak yang menghasilkan toksin, sehingga
menyebabkan kadar toksin pada perairan sangat tinggi. Dengan timbulnya berbagai
dampak tersebut, perlu dikembangkan bahan pembersih yang berasal dari bahan alam yang
lebih ramah lingkungan sebagai alternatif deterjen, atau setidaknya mengurangi
penggunaan deterjen.
Salah satu bahan aktif alami yang potensial adalah saponin, karena memiliki
kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik (Robinson, 1995). Tumbuhan ketapang telah
lama dikenal mengandung saponin dengan kadar tinggi. Selain itu, ketapang juga
mengandung senyawa metabolit sekunder lain yang memiliki sifat antibakteri, yaitu
alkaloid, flavonoid, tanin, terpenoid, kuinon, fenol, dan fitosterol (Ahmed et al., 2005;
Hidayati, 2012). Berdasarkan kandungan bahan aktifnya, tumbuhan ini sering
dimanfaatkan sebagai astringen pada disentri dan sariawan, obat diare, obat luar pada
erupsi kulit, dan penyakit liver/hati. Daunnya juga sering digunakan oleh perternak ikan
dalam pembiakan ikan, karena mempunyai khasiat antibakteri (Heyne, 1987; Thomson &
Evan, 2006; Wahjuningrum, et al., 2008).
Kandungan senyawa-senyawa aktif dan potensi daya bersih dan antibakteri pada
daun ketapang tersebut menyebabkan daun ketapang memiliki prospek untuk
dikembangkan sebagai bahan pembersih alami. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk
mengkaji potensi ekstrak air daun ketapang sebagai pembersih alami terhadap pengotor
organik dan bakteri dari permukaan plastik dengan metode CIP. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan produk pembersih yang lebih ramah
lingkungan.
145
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
METODE PENELITIAN
Pembuatan ekstrak air daun ketapang
Untuk membuat ekstrak 20%, 15% dan 10% (b/v), sebanyak masing-masing 200
gr, 150 gr, dan 100 gr serbuk simplisia daun ketapang berukuran 40 mesh diseduh dengan
1000 ml akuades 70 ºC, didiamkan 15 menit, kemudian disentrifugasi dan disaring.
Uji Fitokimia berdasarkan metode Harborne (2006)
a.
Uji Alkaloid
Sebanyak 0,5 gr sampel diberi 5 tetes NH3 dan 5 ml kloroform, disaring, kemudian
ditambahan 10 tetes H2SO4 2M, dikocok. Lapisan asam dipindahkan ke dalam tabung
reaksi lain, kemudian diteteskan pada plat menjadi 3 bagian. Masing-masing bagian
ditambahkan pereaksi Meyer dan Dragendorf. Hasil positif bila terbentuk endapan putih
dengan pereaksi Meyer, dan endapan merah hingga jingga dengan Dragendorf.
b.
Uji Flavonoid
Sebanyak 0,5 gr sampel ditambah 10 ml air, dididihkan selama 5 menit, kemudian
disaring. Ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan serbuk magnesium (Mg), HCl : etanol (1:1)
dan amil alkohol. Campuran dikocok kuat-kuat. Hasil positif bila terbentuk warna merah,
kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.
c.
Uji Saponin
Sebanyak 0,5 gr sampel ditambah 10 ml air, didihkan selama 5 menit, kemudian
disaring. Sebanyak 5 ml filtrat dikocok dalam tabung reaksi selama 10 detik. Adanya
saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih stabil selama 10 menit.
d.
Uji Tanin
Sebanyak 0,5 gr sampel ditambah 10 ml air, dididihkan selama 5 menit, kemudian
disaring. Filtrat ditetesi FeCl3 1 %. Hasil positif bila terbentuk warna hitam kehijauan.
e.
Uji Steroid dan Triterpenoid
Sebanyak 0,5 gr sampel ditambahkan 2 ml kloroform, 10 tetes asetat anhidrat dan 3
tetes H2SO4 pekat. Hasil positif untuk steroid bila larutan menjadi merah kemudian
berubah menjadi biru atau hijau, serta merah atau ungu untuk triterpenoid.
Penyiapan pengotor organik
Sebanyak 25 gr tanah, 25 gr tempe dan 25 gr minyak jelantah dicampur kemudian
diblender dan ditambah akuades steril hingga 500 ml. Campuran diinkubasi selama 24 jam
untuk mengembangbiakan mikroba.
Pembuatan larutan deterjen
LAS (linier alkilbenzen sulfonat) sebanyak 200 gr dilarutkan dengan akuades,
diaduk searah dengan kuat, kemudian ditambah 25 gr STPP (sodium tripolifosfat) dan 10
gr NaOH. Setelah larut, ditambahkan akuades hingga mencapai volume 500 ml, diaduk
hingga homogen. Deterjen yang terbentuk didiamkan selama 24 jam. Dari deterjen stok,
dibuat deterjen 2%v/v untuk perlakuan.
146
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
Persiapan preparat uji dan alat percobaan
Preparat uji yang digunakan adalah lempengan plastik berukuran 4x4 cm dan tebal
0,5 mm. Alat percobaan untuk CIP berupa rangkain pipa paralon sepanjang 20 cm dengan
penutup di kedua ujungnya. Masing-masing ujung paralon dihubungkan dengan kondensor
menggunakan selang sebagai tempat aliran air masuk dan keluar.
Proses pencucian dengan metode clean in place (CIP)
Perlakuan terdiri dari 5 macam bahan pembersih dan 2 ulangan, yaitu: (1) akuades;
(2) deterjen 2%; (3) ekstrak daun ketapang 10%; (4) ekstrak daun ketapang 15%; (5)
ekstrak daun ketapang 20%.
Preparat plastik yang telah direndam dalam pengotor organik selama 15 menit,
dimasukkan ke dalam alat percobaan. Untuk pembilasan (rinse) dialirkan 1000 ml air
selama 5 menit. Untuk pencucian (cleaning) dialirkan 1000 ml bahan pembersih selama 5
menit. Untuk tahap bilas akhir (final rinse) dialirkan 1000 ml air selama 5 menit.
Uji daya bersih
Uji daya bersih terbagi dalam dua kelompok pengujian, yaitu :
1. Peluruhan pengotor organik dan bakteri pada proses pencucian.
Sebanyak 200 µl air pencucian (cleaning) dari tiap perlakuan diukur kekeruhannya
menggunakan microplate reader pada λ 595 nm untuk mendeteksi pengotor organik
yang luruh, dan pada λ 490 nm untuk mendeteksi mikroba yang luruh/terbawa pada
proses pencucian. Pengukuran dilakukan tiga kali.
2. Pengamatan mikroba yang masih tersisa pada preparat setelah proses CIP
Pengamatan dilakukan dengan mewarnai bakteri dengan kristal violet. Preparat plastik
yang telah melalui pembilasan akhir (final rinse) dikeringanginkan, kemudian
direndam dalam 10 ml kristal violet 1% selama 15 menit. Selanjutnya dicuci dengan
akuades, dikeringanginkan, kemudian dilarutkan dengan 10 ml alkohol 70%.
Sebanyak 200 µl larutan alkohol tersebut diukur absorbannya (3 kali) pada λ 490 nm.
Analisis data secara statistik
Data dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA berupa RAL (Rancangan
Acak Lengkap) satu faktor dengan dua kali ulangan pada tingkat kepercayaan 95% dan
taraf α 0,05. Adanya perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peluruhan pengotor organik pada proses pencucian (cleaning)
Berdasarkan data pada Gambar 1, diharapkan jenis dan konsentrasi bahan
pembersih berpengaruh terhadap kemampuan meluruhkan pengotor organik dari
permukaan plastik. Semakin tinggi persentase peluruhan pengotor organik dari permukaan
plastik, air pencucian semakin keruh. Nilai peluruhan pengotor organik dari permukaan
plastik pada proses pencucian (cleaning) menunjukkan ada perbedaan aktivitas peluruhan
di antara jenis dan konsentrasi bahan pembersih yang digunakan. Aktivitas akuades dan
deterjen 2% adalah -2,85% dan -5,6% (Gambar 1). Data tersebut menunjukkan bahwa
akuades dan deterjen 2% tidak memiliki kemampuan untuk menarik/meluruhkan pengotor
147
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
organik yang menempel pada permukaan plastik. Sedangkan ekstrak daun ketapang 10%,
15%, 20%, mampu meluruhkan secara berturut-turut sebesar 19,15%; 43,3%; dan 69,65%.
Dengan demikian ekstrak air daun ketapang memiliki potensi daya bersih lebih tinggi
daripada akuades dan deterjen 2%. Namun hasil analisis data secara statistik menunjukkan
nilai signifikansi kelompok perlakuan 0,253 > 0,05. Berarti aktivitas peluruhan pengotor
organik dari permukaan plastik di antara kelima bahan pembersih tidak berbeda secara
nyata. Dengan demikian semua bahan pembersih tersebut memiliki potensi daya bersih
yang setara terhadap pengotor organik.
Gambar 1. Diagram peluruhan pengotor organik pada proses pencucian
Kandungan senyawa aktif dalam ekstrak daun ketapang diharapkan berpengaruh
terhadap kemampuan membersihkan pengotor organik dari suatu obyek. Hasil uji fitokimia
menunjukkan bahwa ekstrak air daun ketapang mengandung alkaloid, flavonoid, tanin,
saponin, steroid dan triterpenoid (Tabel 1). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Hidayati
(2012) bahwa daun ketapang (Terminalia catappa L.) mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid, tanin, terpenoid, resin dan saponin. Diantara senyawa aktif yang telah
teridentifikasi tersebut, yang paling berperan dalam membersihkan pengotor organik
adalah saponin karena merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat serta memiliki
kemampuan membentuk buih bila dikocok dengan air (Robinson, 1995). Buih timbul
karena penurunan tegangan permukaan pada cairan, sehingga kotoran dapat terlepas
(Ilyani, 2002). Sifat saponin ini serupa dengan surfaktan yang digunakan sebagai bahan
aktif deterjen. Ketika molekul surfaktan berada dalam air, gugus hirofobik (non-polar)
berikatan dengan pengotor dan cenderung menjauh dari molekul air, sedangkan gugus
hidrofilik berikatan kuat dengan molekul air (ikatan antar molekul polar), sehingga
tegangan permukaan air menurun (Hargreaves, 2003). Oleh karena itu, pengotor organik
yang diikat oleh surfaktan dapat terlepas dari permukaan plastik, teremulsi dan luruh ke
dalam air pencucian.
148
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
Tabel . Kandungan senyawa aktif pada daun ketapang
Pengujian
Fraksi polar
Alkaloid
1. Mayer
+
2. Dragendroff
+
Flavonoid
+++
Tanin
+++
Saponin
++
Steroid
+
Triterpenoid
+
Keterangan:
+
= mengandung senyawa (intensitas warna rendah)
++
= mengandung senyawa (intensitas warna cukup tinggi)
+++ = mengandung senyawa (intesitas warna tinggi)
= tidak mengandung senyawa
Namun demikian, pada penelitian ini, daya bersih ekstrak air daun ketapang dalam
meluruhkan pengotor organik setara dengan akuades yang tidak memiliki zat aktif dan
deterjen 2%. Kondisi ini mungkin disebabkan kadar kandungan bahan aktif, terutama
saponin yang terdapat dalam ekstrak 10%, 15% dan 20% belum cukup tinggi, sehingga
kemampuannya dalam meluruhkan bahan organik dari permukaan plastik hanya setara
dengan deterjen 2% dan akuades.
Peluruhan bakteri pada proses pencucian (cleaning)
Sebagaimana pada data peluruhan pengotor organik, diharapkan ada pengaruh dari
jenis dan konsentrasi bahan pembersih terhadap kemampuan meluruhkan bakteri dari
permukaan plastik. Diagram pada Gambar 2. menggambarkan bahwa perlakuan
berpengaruh terhadap nilai kekeruhan air pencucian (cleaning). Nilai-nilai tersebut
menunjukkan ada perbedaan aktivitas/daya bersih di antara kelima bahan pembersih yang
digunakan.
Aktivitas peluruhan bakteri menggunakan akuades, deterjen 2%, ekstrak air daun
ketapang 10%, 15%, dan 20% berturut-turut sebesar -5,2%; -2,8%; 23,95%; 58,45%; dan
95,05%. Semakin tinggi persentase peluruhan bakteri dari permukaan plastik, air
pencucian semakin keruh. Nilai peluruhan bakteri yang negatif dari akuades dan deterjen
2% menunjukkan bahwa akuades tidak memiliki aktivitas antibakteri sehingga tidak
mampu meluruhkan/mengeliminasi bakteri dari permukaan plastik. Sedangkan deterjen,
walaupun memiliki aktivitas sebagai surfaktan yang dapat berfungsi sebagai antibakteri,
namun aktivitas antibakteri tersebut sangat rendah, sehingga bakteri yang luruh belum
dapat terdeteksi atau dianggap tidak ada jika dibandingkan dengan nilai bahan pembersih
lainnya. Nilai yang lebih tinggi dari ekstrak daun ketapang dibandingkan dengan deterjen
2% dan akuades menunjukkan potensi membunuh/meluruhkan bakteri. Hal ini disebabkan
dalam ekstrak daun ketapang terdapat berbagai metabolit sekunder yang memiliki aktivitas
antibakteri. Hasil analisis fitokimia simplisia daun ketapang menunjukkan bahwa ekstrak
149
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
air daun ketapang mengandung senyawa aktif berupa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin,
triterpenoid dan steroid (Tabel 1).
Gambar 2. Diagram peluruhan mikroba pada proses pencucian
Walaupun diagram pada Gambar 2 mengindikasikan ekstrak 10%, 15%, 20%
memiliki daya bersih lebih kuat dibandingkan dengan akuades dan deterjen 2%, namun
hasil analisis data secara statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan daya bersih
yang nyata diantara perlakuan (bahan pembersih) pada α 0,05. Pada pengujian ANOVA,
nilai signifikansi kelompok perlakuan 0,302 > 0,05. Berarti jenis dan konsentrasi bahan
pembersih tidak berpengaruh nyata terhadap daya bersih/peluruhan mikroba dari
permukaan plastik. Dengan demikian diasumsikan bahwa semua bahan pembersih yang
digunakan memiliki potensi daya bersih yang setara terhadap mikroba. Hal tersebut
mungkin disebabkan senyawa aktif dalam ekstrak air daun ketapang belum cukup efektif
untuk mengeliminir bakteri sehingga kemampuannya dalam meluruhkan bakteri hanya
setara dengan akuades dan deterjen 2%.
Populasi mikroba yang masih tersisa pada permukaan plastik setelah proses CIP
Sebagai uji konfirmasi efektivitas bahan pembersih yang digunakan pada tahap
pencucian (cleaning), dilakukan pengamatan terhadap kebersihan permukaan plastik
setelah proses CIP. Hasil yang diharapkan adalah semakin tinggi persentase peluruhan
mikroba pada tahap pencucian, permukaan plastik semakin bersih dari cemaran mikroba,
karena mikroba yang tertinggal pada permukaan plastik semakin sedikit.
Data menunjukkan bahwa persentase mikroba yang masih tertinggal pada
permukaan plastik setelah proses CIP dengan menggunakan akuades, deterjen 2%, ekstrak
10%, 15% dan 20% berturut-turut sebesar 3,1%; -3,5%; 3,22%; 0,05% dan 0,2% (Gambar
3). Nilai terendah ditunjukkan oleh deterjen, yang berarti bakteri yang masih tersisa pada
permukaan plastik adalah yang paling sedikit atau tidak terdeteksi. Data ini bertentangan
dengan data peluruhan mikroba pada air pencucian, dimana nilai peluruhan bakteri sangat
rendah. Sehingga diharapkan mikroba yang masih tersisa pada permukaan plastik setelah
proses CIP masih banyak. Pertentangan nilai ini mungkin disebabkan oleh posisi preparat
plastik yang tidak stabil selama proses pencucian, karena bobotnya yang ringan dan tipis,
sehingga kemungkinan terjadi penumpukan/pelekatan di antara preparat-preparat plastik
tersebut. Hal ini menyebabkan proses pencucian tidak efektif, karena bahan pembersih
150
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
deterjen tidak dapat kontak langsung dengan seluruh permukaan plastik. Kemungkinan
bakteri-bakteri justru luruh pada saat pembilasan akhir (final rinse). Sehingga saat
pengamatan permukaan, bakteri yang masih tersisa pada permukaan plastik sangat sedikit
atau tidak terdeteksi. Nilai yang ditunjukkan oleh akuades hampir setara dengan ekstrak
10%. Dengan demikian diasumsikan bahwa daya bersih ekstrak 10% setara dengan
akuades. Hal ini mungkin disebabkan kadar bahan aktif pada ekstrak 10% masih sangat
rendah, sehingga daya bersihnya belum optimal. Sedangkan nilai dari ekstrak 15% sedikit
lebih rendah daripada ekstrak 20%, dan jauh lebih rendah daripada akuades dan ekstrak
10%. Berarti daya bersih ekstrak 15% sedikit lebih tinggi daripada ekstrak 20%, dan jauh
lebih tinggi daripada ekstrak 10% dan akuades. Data tersebut mengkonfirmasi data
peluruhan bakteri pada air pencucian, dimana nilai bakteri yang luruh oleh bahan
pembersih ekstrak 20% dan 15% lebih tinggi daripada ekstrak 10% dan akuades.
Secara umum, ekstrak daun ketapang menunjukkan potensi mengeliminasi
/meluruhkan bakteri dari permukaan plastik. Potensi tersebut disebabkan adanya senyawasenyawa aktif (metabolit sekunder) dalam daun ketapang. Hasil analisis fitokimia simplisia
daun ketapang menunjukkan bahwa ekstrak air daun ketapang mengandung senyawa aktif
berupa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid dan steroid (Tabel 1). Hasil uji ini
mengkonfirmasi hasil uji penapisan fitokimia yang dilakukan oleh Hidayati (2012), dimana
ekstrak air daun ketapang mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, terpenoid, resin
dan saponin. Senyawa-senyawa aktif tersebut memiliki aktivitas antibakteri.
Saponin memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi
membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sifat aktif permukaan dari
saponin mengakibatkan tegangan permukaan dinding sel bakteri menurun sehingga
merusak permeabialitas membran (Robinson, 1995; Harborne, 2006). Saponin berdifusi
melalui membran luar dan dinding sel yang rentan, kemudian mengikat membran
sitoplasma sehingga mengganggu/mengurangi kestabilan membran sel. Kondisi tersebut
menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari dalam sel (Zablotowicz et al., 1996;
Madduluri et al., 2013).
Gambar 3. Diagram peluruhan mikroba yang masih tersisa pada preparat
setelah proses CIP
Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan secara signifikan berbeda nyata pada taraf
α = 0,05
151
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
Flavonoid menghambat sintesis asam nukleat dengan cara berinterkalasi atau
membentuk ikatan hidrogen dengan asam nukleat, sehingga menghambat pembentukan
DNA dan RNA. Flavonoid juga menghambat metabolisme energi karena menghambat
sitokrom C reduktase, sehingga penggunaan oksigen terhambat. Hal tersebut mencegah
pembentukan energi yang dibutuhkan untuk biosintesis makromolekul (Cushnie et al.,
2005). Selain itu, flavonod dapat menghambat fungsi membran sel dengan cara
mengganggu permebealitas membran sel dan menghambat ikatan enzim seperti ATPase
dan phospholipase (Li et al., 2003).
Alkaloid bersifat antibakteri karena mengganggu komponen penyusun
peptidoglikan, sehingga lapisan dinding sel bakteri tidak terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel. Mekanisme lain adalah sebagai interkelator DNA dan
menghambat enzim topoisomerase sel bakteri (Karou & Savadogo, 2005).
Tanin juga mempunyai target pada polipeptida dinding sel sehingga pembentukan
dinding sel menjadi kurang sempurna. Akibatnya pertumbuhan mikroorganisme terganggu
(Smith et al., 2005), bahkan dapat menyebabkan sel bakteri lisis karena tekanan osmotik
maupun fisik (Chung et al., 1998). Selain itu tanin memiliki kemampuan menghambat
enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase sehingga menginaktivasi fungsi
materi genetik (Akiyama et al., 2001; Smith et al., 2005; Nuria et al., 2009).
Mekanisme steroid sebagai antibakteri berhubungan dengan membran lipid dan
sensitivitas terhadap komponen steroid yang menyebabkan kebocoran pada liposom
(Akiyama et al., 2001). Steroid dapat berinteraksi dengan membran fosfolipid sel yang
bersifat permeabel terhadap senyawa-senyawa lipofilik sehingga menyebabkan integritas
membran menurun serta morfologi membran sel berubah yang menyebabkan sel rapuh dan
lisis (Ahmed, 2007).
Walaupun hasil analisis data secara statistik terhadap aktivitas peluruhan pengotor
organik dan bakteri menunjukkan bahwa kelima jenis bahan pembersih memiliki daya
bersih setara terhadap pengotor organik dan mikroba, namun data konfirmasi menunjukkan
bahwa jenis dan konsentrasi bahan pembersih ternyata berpengaruh nyata terhadap daya
bersih, yang dibuktikan oleh banyaknya bakteri yang masih tersisa pada permukaan plastik
setelah proses pembersihan dengan metode CIP. Setelah dianalisis dengan uji beda,
terbukti bahwa ekstrak 10% memiliki potensi daya bersih yang setara dengan akuades.
Sedangkan ekstrak 15% dan 20% memiliki potensi yang setara, namun lebih tinggi
daripada akuades dan ekstrak 10%. Dengan demikian berarti ekstrak 15% memiliki daya
bersih yang paling efektif terhadap pengotor organik dan bakteri dibandingkan keempat
bahan pembersih lainnya.
Dengan demikian, perlu dikembangkan pembuatan produk pembersih berbahan
dasar ekstrak air daun ketapang sebagai alternatif pengganti deterjen dalam mengeliminasi
pengotor organik dan bakteri pada industri makanan dan minuman, sehingga dapat
menjamin keamanan pangan dan lebih ramah lingkungan.
152
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
PENUTUP
Kesimpulan
Ekstrak air daun ketapang mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, steroid
dan triterpenoid. Ekstrak tersebut memiliki potensi daya bersih terhadap pengotor organik
dan mikroba. Data menunjukkan bahwa nilai peluruhan pengotor organik dan bakteri
berbeda-beda berdasarkan jenis dan konsentrasi bahan pembersih.
Aktivitas daya bersih terhadap pengotor organik dan mikroba dari kelima bahan
pembersih setara secara statistik. Namun data konfirmasi menunjukkan bahwa jenis dan
konsentrasi bahan pembersih berpengaruh nyata terhadap daya bersih, yang dibuktikan
oleh banyaknya bakteri yang masih tersisa pada permukaan plastik setelah proses
pembersihan dengan metode CIP. Berdasarkan analisis uji beda, ekstrak air daun ketapang
10% memiliki potensi daya bersih yang setara dengan akuades. Sedangkan ekstrak 15%
dan 20% memiliki potensi yang setara, namun lebih tinggi daripada akuades, deterjen 2%
dan ekstrak 10%. Dengan demikian berarti ekstrak air daun ketapang 15% memiliki daya
bersih yang paling efektif terhadap pengotor organik dan bakteri dibandingkan keempat
bahan pembersih lainnya. Dengan demikian, ekstrak air daun ketapang direkomendasikan
untuk dikembangkan sebagai bahan/agen pembersih alami pengganti deterjen.
Saran
Jenis dan konsentrasi bahan pembersih merupakan beberapa diantara parameter-parameter
yang menentukan efektivitas proses pembersihan secara clean in place (CIP). Penelitian
lanjutan dapat dilakukan untuk mengkaji lamanya waktu kontak dan temperature bahan
pembersih selama proses clean in place (CIP).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, B. 2007. Chemistry of Natural Products. New Delhi: Department of
Pharmaceutical Chemistry Faculty of Science Jamia Hamdard.
Ahmed, S. M., Vrushabendra, S. B., Gopkumar R. D. & Chandrashekara, V. M. 2005.
Anti-diabetic Activity of Terminalia catappa Linn. Leaf Extracts in Alloxan-induced
Diabetic Rats. Iranian Journal of Pharmacology & Therapeutics, 4: 36-39.
Akiyama, H., Fujii, K., Yamasaki, O., Oono, T. & Iwatsuki, K. 2001. Antibacterial Action
of Several Tannin Against Staphylococcus aureus. Journal Antimicrobial Chemistry,
48: 487-491.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) a. 2015. Data Keracunan. (Online).
(http://ik.pom.go.id/v2015/, diakses tanggal 11 Januari 2016).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) b. 2015. Berita Keracunan Bulan JuliSeptember 2015. (Online). (http://ik.pom.go.id/v2015/berita-keracunan/beritakeracunan-bulan juli-september-2015, diakses tanggal 11 Januari 2016).
Chung, K. T., Lu, Z. & Chou, M. W. 1998. Mechanism of Inhibitions of Tannic Acid and
Related Compounds on The Growth of Intestinal Bacteria. Food and Chemistry
Toxicology, 36: 1053-1060.
Connel, D. W. & Miller, G. J. 1995. Kimia Dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: UI
Press.
153
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
Cushnie, T. P., Lamb, T. & Andrew J. 2005. Antimicrobial Activity of Flavonoids.
Intational Journal Antimicrobial Agents, 26: 343-356
Harborne, J. B. 2006. Metode Fitokimia. Edisi Kedua. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Hargreaves T. 2003. Chemical Formulation: An Overview of Surfactant-based
Preparations Used in Everyday Life. Cambridge: RSC Paperbacks.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 3. Edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Hidayati, N. 2012. Studi Potensi Biofingisida Ekstrak Daun Ketapang Terhadap
Pertumbuhan Jamur Phitophthora capsici pada Cabe Rawit. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: Institut Teknologi Surabaya.
Karou, D. & Savadogo, A. 2005. Antibacterial Activity of Alkaloids from Sida acuta.
African Journal Biotechnology, 4(12): 1452-1457.
Li, H., Wang, Z. & Liu, Y. 2003. Review in The Studies on Tannins Activity of Cancer
Prevention and Anticancer. Zhong-Yao-Cai. 26(6): 444-448.
Ilyani, A. S. 2002. Kiat Memilih Deterjen: Banyak Busa Belum Tentu Lebih Bersih.
Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
International Association for Food Protection. 2002. Pocket Guide To Dairy Sanitation.
[terhubung berkala]. (Online). (http://www.foodprotection.org, diakses tanggal 28
Maret 2015).
Madduluri, S., Rao, K. & Sitaram, B. 2013. In vitro Evaluation of Antibacterial Activity of
Five Indegenous Plants Extract Against Five Bacterial Pathogens of Human.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science, 5(4): 679-684.
Marwanti. 2010. Keamanan Pangan dan Penyelenggaraan Makanan. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Nuria, M. C., Faizaitun & Sumantri, A. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
Daun Jarak Pagar (Jatropha Curcas L) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus
ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, dan Salmonella typhi ATCC 1408.
Mediagro, 5(2): 26Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi ke-6. Terj: K.
Padmawinata. Bandung: ITB-Press
Sanches-Peinado, M. D. M., Gonzalez –Lopez, J., Rodelas, B., Pozo, C. & MartinezToledo, M. V. 2008. Effect of Linear Alkylbenzene Sulfonates on The Growth of
Aerobic Heterotrophic Cultivable Bacteria Isolated from an Agriculture Soil.
Ecotoxicology, 17: 549-557.
Smith, A. H., Zoetendal, E. & Mackie, R. I. 2005. Bacterial Mechanisms to Overcome
Inhibitory Effects of Dietary Tannins. Journal of Microbial Ecology, 50: 197-205.
Spreer, E. 1998. Milk and Dairy Product Technology. USA: Marcel Dekker, Inc.
Purawijaya, T. 1992. Keracunan Makanan di Indonesia: Materi Pelatihan Singkat
Keamanan Pangan, Standart dan Peraturan Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi
IPB
Thomson, L. A. J. & Evans, B. 2006. Terminalia catappa. [terhubung berkala]. (Online).
(http://www.traditionaltree.org, diakses tanggal 28 maret 2015).
154
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016,
Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan
Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 26 Maret 2016
Trisnanto, S. 2008. Sanitasi dan Hygiene pada Proses Minuman RTD. Dalam: Food
Review Vol. III No. 2. Bogor: PT. Media Pangan Indonesia.
Wahjuningrum, D. N. Ashry & N. Nuryati. 2008. Pemanfatan Ekstrak Daun Ketapang
(Terminalia catappa L.) untuk Pencegahan dan Pengobatan Ikan Patin
(Pangasionodon hypophthalmus) yang Terinfeksi Aeromonas hydrophyla. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 71(1): 79-94.
Zablotowitcz, R. M., Hoagland, R. E. & Wagner, S. C. 1996. Effect of Saponin on the
Growth and Activity of Rizophere Bacteria. USA: CRC Press.
155
Download