Dinamika dan Konfigurasi Kepentingan di Balik

advertisement
BAB II
Tinjuan Teoritis
2. 1
Pemaknaan Burung di Masyarakat
Pemaknaan terhadap burung mencakup beberapa dimensi yang beragam,
antara lain dimensi ekonomi, dimensi ekologis, dimensi sosio-kultural, dan
dimensi estetika. Secara ekonomi, burung dimaknai sebagai komoditas yang
memiliki nilai ekonomi dan dapat diperdagangkan seperti halnya barang-barang
produksi. Nilai ekonomi burung dalam konteks ini dapat dilihat dari dua aspek.
Pertama, nilai ekonomi burung untuk kepentingan perdagangan bagi komunitas
penggemar burung. Hobi memelihara burung menunjukkan kecenderungan
peningkatan dari tahun ke tahun. Temuan Jepson dan Ladle menunjukkan bahwa
satu dari lima rumahtangga di lima kota besar di Indonesia, yaitu Medan,
Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta memilih memelihara burung sebagai
satwa peliharaan. Kuantitas pemeliharaan burung sebagai satwa peliharaan
merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan beberapa satwa peliharaan
lainnya seperti ikan, anjing, kucing dan kuda (Jepson and Ladle, 2005). Angka ini
diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin maraknya kegiatankegiatan yang memiliki daya tarik bagi para komunitas penggemar burung dan
semakin tingginya harga jual burung di pasaran. Beberapa jenis burung yang
banyak diperdagangkan untuk kepentingan hobi antara lain murray batu, anis
merah, anis kembang, cucak rawa, cucak hijau, cendet dan kenari. Murrai Batu
misalnya merupakan jenis burung yang paling banyak digemari oleh komunitas
penggemar burung meskipun keberadaannya di alam semakin terancam1.
Kedua, nilai ekonomi burung dari pemanfaatan burung untuk kepentingan
bahan makanan. Pemanfaatan burung untuk kepentingan dijual dagingnya sebagai
bahan makanan paling mudah ditemukan di masyarakat. Jenis burung yang
biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan ini adalah burung dara (merpati),
beberapa jenis burung laut (pelikan), selain jenis dari unggas (Mackinnon, 1984;
1
Bagian ini didapatkan dari keterangan salah seorang aktivis NGO’s yang konsern pada
pelestarian burung di Indonesia (Birdlife Indonesia atau sekarang menjadi Burung Indonesia) pada
salah satu media massa yaitu Harian Kompas, Minggu, Tanggal 19 Februari 2006.
www.kompas.com. Diakses pada Tanggal 3 November 2007
Alikondra, 1993). Burung yang dimanfaatkan untuk bahan makanan bisa
didapatkan dari kegiatan peternakan burung atau melalui kegiatan penangkapan di
alam. Kegiatan penangkapan langsung di alam merupakan hal yang paling banyak
ditemukan dalam rangka pemanfaatan daging burung untuk kepentingan bahan
makanan.
Burung juga memiliki peran secara ekologis. Pada masyarakat tertentu
peran ekologis burung berada pada posisi yang penting. Di Indonesia, peranan
burung secara ekologis dapat dilihat pada pemanfaatan burung sebagai “musuh
alami” dari beberapa jenis hama tertentu di sawah. Burung elang misalnya adalah
predator alami terhadap jenis hama tikus dan ular di sawah. Beberapa jenis burung
lainnya yang memiliki peran ekologis sebagai “musuh alami” di sawah adalah
Cangak, Mandar, Sri Gunting, Bentet dan Sikatan. Burung-burung tersebut
berperan sebagai musuh alami bagi serangga.
Di beberapa Negara maju, keberadaan burung dimanfaatkan sebagai biomonitoring terhadap perubahan lingkungan. Burung dalam konteks ini dilihat
keberadaanya untuk mengetahui apakah lingkungan tersebut mengalami
perubahan kualitas atau tidak. Di Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Inggris
misalnya burung dimanfaatkan untuk bio-monitoring terhadap terjadinya
pencemaran lingkungan. Jika burung tertentu menghilang dari habitat alaminya
yang biasa dipergunakan untuk kehidupan seharinya-harinya, maka dapat
disimpulkan terjadi perubahan pada lingkungan tersebut, yang biasanya adalah
pencemaran lingkungan (Furness and Greenwood, 1993).
Sementara itu, secara sosio-kultural pemaknaan terhadap burung dapat
ditelaah dari keberadaan burung sebagai bagian dari entitas kultural masyarakat.
Di Indonesia, bagi sebagian etnis burung memiliki keterkaitan dengan entitas
kultural. Pada komunitas Dayak Laut misalnya, burung memiliki dimensi magis
dalam tradisi kultural mereka. Beberapa jenis burung tertentu dianggap sebagai
bagian dari simbol ritual religius mereka. Mereka memaknai beberapa jenis
burung yaitu Raja Udang, Trogon, Jay dan Pelatuk sebagai representasi dari para
menantu dewa-dewa yang mereka sembah. Keberadaan bebera jenis burung
tersebut sangat dijaga dan dilestarikan oleh komunitas tersebut. Di sisi lain,
komunitas Dayak Laut juga meyakini bahwa jenis burung yang disebutkan
sebelumnya memberikan simbol-simbol tertentu bagi kepentingan kehidupan
mereka. Salah satunya adalah komunitas Dayak Laut mempercayai bahwa
kegiatan pembukaan hutan tidak dapat dilakukan jika mendengar suara burung
tertentu. Hal ini dilakukan karena suara burung tersebut memberikan pertanda
bagi keselamatan mereka (Welty, 1979).
Demikian juga yang berkembang pada sebagian masyarakat Jawa. Pada
masyarakat Jawa yang memiliki tradisi kultural keraton yang masih kuat, burung
dijadikan sebagai simbol status sosial, simbol ketenangan dan keindahan serta
simbol kesempurnaan dalam hidup. Bagi masyarakat Jawa hidup menjadi
sempurna jika seseorang telah memiliki harta (simbol kekayaan), tahta (simbol
kekuasaan), wanita (simbol pasangan hidup), turangga (simbol dari kendaraan
atau tunggangan) dan kukila (simbol dari satwa peliharaan)2. Burung dalam
konteks ini adalah bagian dari simbolisasi kukila. Dengan memiliki satwa
peliharaan maka kesempurnaan hidup seseorang menjadi lengkap setelah
memiliki empat hal lain yang disebutkan sebelumnya. Pemaknaan terhadap
kesempurnaan hidup ini lebih banyak dilekatkan dengan kalangan priyayi atau
bangsawan keraton karena memang aspek-aspek yang menjadi prasyarat
kesempuranaan hidup lebih mungkin dicapai oleh kalangan masyarakat dari kelas
priyayi atau bangsawan. Sedangkan bagi kaum masyarakat kebanyakan, mereka
lebih banyak disibukkan dengan urusan pemenuhan harta sehingga tidak memiliki
kesempatan untuk menyempurnakan aspek-aspek lainnya dalam mencapai
kesempuranaan.
Namun demikian, dalam perkembangannya dimensi sosio-kultural dari
burung berkembang tidak hanya berkaitan dengan filosofi kesempurnaan hidup
pada masyarakat Jawa. Saat ini perkembangan pemeliharaan burung melibatkan
hampir sebagian lapisan masyarakat, baik dari kalangan kelas atas, menengah, dan
bawah, termasuk juga kalangan non priyayi atau bangsawan. Pemaknaan terhadap
dimensi sosio-kultural burung pun berkembang tidak pada konteks sebagai
simbolisasi status sosial akan tetapi lebih pada hobi untuk mendapatkan kepuasan
2
Kukila merupakan simbolisasi dari satwa peliharaan, namun demikian dalam banyak hal
pemaknaan terhadap kukila dilekatkan dengan burung sebagai satwa peliharaan. Jenis burung yang
banyak dimaknai sebagai simbol kesempurnaan hidup adalah perkutut yang memang popular
dikalangan masyarakat Jawa (Muchtar dan Nurwatha, 2001).
psikologis dengan mendengarkan dan menikmati keindahan suara, warna dan
gerak gerik burung. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Jepson dan Ladle,
yang menemukan bahwa kegemaran memelihara burung saat ini dilakukan oleh
hampir semua lapisan masyarakat di kota, mulai dari tingkat pendidikan rendah
hingga tingkat pendidikan tinggi. Hobi memelihara burung menjadi pilihan paling
digemari dibandingkan dengan memelihara jenis satwa lainnya (Jepson and Ladle,
2005).
Dimensi lain berkaitan dengan peran burung adalah dimensi estetika, yaitu
menjadikan burung sebagai simbol dari kreativitas karya seni tertentu. Di
kalangan seniman Bali, nilai estetika dari burung cukup besar dalam
menginspirasi para seniman dalam menghasilkan karya. Burung menjadi salah
satu inspirasi untuk menggambarkan tentang keindahan. Terdapat sejumlah
komunitas seniman di Bali yang selalu menjadikan burung sebagai sumber
inspirasi pada setiap hasil karya seni lukisnya. Pemaknaan seperti ini tidak hanya
memberikan dampak psikologis berupa kepuasan bagi para seniman tersebut, akan
tetapi juga menjadi media komunikasi non-verbal untuk menjaga dan melestarikan
keberadaan burung (Surata, 1993).
2. 2
Masyarakat Jawa: Genealogi Sistem Kultural Masyarakat Jawa
Genealogi sistem kultural masyarakat Jawa berkembang sejak masa zaman
pra sejarah hingga konteks kekinian. Namun demikian, kajian mengenai sistem
kultural masyarakat Jawa mulai marak dilakukan sejak berkembangnya sistem
kerajaan di Jawa. Sistem kerajaan yang berkembang awal di Jawa adalah
kerajaan-kerajaan yang berada di bawah pengaruh sistem nilai Hindhu dan Budha.
Pada masa ini Jawa dapat dikelompokkan menjadi dua tipologi kerajaan, yaitu
kerajaan yang berkembang di daerah pesisir dan menjadi pusat kegiatan ekonomi
perdagangan dan kerajaan di pedalaman. Kedua kerajaan tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda dalam sistem kulturalnya. Kerajaan yang berkembang
di daerah pesisir pada umumnya adalah daerah perdagangan dengan basis jalur
transportasi laut. Kerajaan pesisir biasanya memiliki pelabuhan laut yang
dimanfaatkan untuk jalur transportasi perdagangan. Di kerajaan pesisir pada
umumnya tidak memiliki daerah pedesaan yang luas dan penduduk petani yang
jumlahnya besar. Salah satu contoh kerajaan yang termasuk dalam tipologi
kerajaan di daerah pesisir adalah kerajaan Sriwijaya (Koentjaraningrat, 1994).
Sementara itu, untuk kerajaan yang berkembang di daerah pedalaman
terdapat di daerah yang relatif subur. Kerajaan ini biasanya didasarkan atas sektor
pertanian, dengan penduduk petani yang jumlahnya relatif besar. Mereka hidup di
desa-desa sekita kerajaan dengan menjadikan sektor pertanian sebagai sistem pola
nafkah utama dalam rumahtangga. Kerajaan di pedalaman memiliki tradisi
membangun simbol-simbol religi untuk penghormatan kepada dewa-dewa dalam
bentuk candi yang letaknya biasanya agak berjauhan dengan area kerajaan. Candicandi tersebut dipergunakan sebagai tempat peribadatan atau sebagai tempat
persemayaman dari para raja setelah meninggal. Perawatan candi dibebankan
kepada masyarakat yang terdapat di sekitar candi, sebagai kompensasinya
masyarakat di desa tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar pajak seperti
desa lainnya. Desa-desa yang berada di sekitar candi dan dibebaskan dari pajak ini
dinamakan sebagai desa mardeka atau merdekan (Koentjaraningrat, 1994).
Pada masa perkembangan kerajaan Hidhu-Budha di Jawa, raja memiliki
kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat, tidak hanya dalam aspek
kekuasaan politik akan tetapi juga dalam aspek sosio-kultural dan mistis. Pada
masa ini raja diasosiasikan sebagai representasi dari dewa-dewa, sehingga
membuat kedudukannya menjadi sangat absolut di segala aspek kehidupan. Titah
(pembicaraan atau perintah raja) dipahami layaknya perintah dari dewa-dewa.
Raja menjadi tokoh yang menjadi pusat dari alam semesta, di mana di dalamnya
dibebani oleh tugas-tugas keagamaan yang berat. Raja selalu dianggap memiliki
kesaktian yang berasal dari dewa-dewa, di mana kesaktian tersebut disebarkan
kepada orang-orang yang berada di sekitarnya karena hubungan perkawinan,
kekerabatan atau karena tugas kerajaan. Sementara itu, posisi rakyat adalah
sebagai abdi dhalem (orang yang tunduk dan patuh pada perintah raja) dari raja.
Rakyat mempunyai kewajiban memberikan upeti kepada raja sebagai bentuk
ketundukan dan kepatuhan terhadap raja. Kepatuhan yang terbentuk pada rakyat
dipahami sebagai bentuk pengabdian masyarakat kepada raja, tidak sebagai
kewajiban yang membebani (Koentjaraningrat, 1994; Soemardjan, 1986).
Pada masa kerajaan Hidhu-Budha sistem kultural yang berkembang pasa
masyarakat Jawa lebih banyak yang bersifat mistis, yaitu adanya kepercayaan
terhadap hal-hal yang bersifat supranatural. Kepercayaan terhadap adanya
kesakten (kesaktian), pengagungan dan penghormatan terhadap tempat-tampat
tertentu yang dianggap keramat menjadi ciri khas sistem kultural yang
berkembang pada masyarakat Jawa (Koentjaraningrat, 1994; Kuntowijoyo, 1987
dan 2006 ; Astiyanto, 2006)
Perkembangan selanjutnya pada masyarakat Jawa adalah masuknya nilainilai Islam yang kemudian menjadi awal perkembangan kerajaan Islam di Jawa.
Kerajaan Islam berkembang setelah menaklukkan kerajaan-kerajaan HindhuBudha yang berkembang lebih awal di tanah Jawa. Seperti halnya perkembangan
kerajaan Hindhu-Budha, kerajaan Islam berkembang juga di daerah pesisir dan
pedalaman. Kerajaan Islam di pesisir pada umumnya menjadi pusat kegiatan
ekonomi dan perdagangan yang berbasiskan pada pelabuhan. Sementara itu,
kerajaan Islam di pedalaman masih mempertahankan struktur mata pencaharian
yang menggantungkan diri pada sektor pertanian (Koentjaraningrat, 1994&1974).
Sistem kultural yang berkembang pada masa kerajaan Islam, dalam
beberapa hal menggeser nilai-nilai yang melembaga pada masa kerajaan HindhuBudha. Posisi sakral raja menjadi pusat dari alam semesta tidak lagi
dipertahankan. Hal ini memberikan dampak terhadap konteks absolutisme yang
berkembang pada raja-raja zaman Hindhu-Budha. Raja hanya menjadi penguasa
politik kekuasaan, tidak lagi menjadi simbol dari religiuisme yang disembah dan
diagungkan-agungkan oleh masyarakat kebanyakan (abdi dhalem). Meskipun
demikian, ternyata masih terdapat nilai-nilai Hindhu-Budha yang bertahan pada
masa Islam, yaitu nilai-nilai Islam yang dipengaruhi nilai-nilai kejawen, yaitu
sistem nilai yang meyakini adanya kekuatan-kekuatan supranatural (mistis) di
alam (Koentjaraningrat, 1994&1974; Suseno, 2001).
Kolonialisme masuk ke Indonesia, termasuk juga di Jawa dan memberikan
pengaruh yang besar terhadap perubahan struktur sosial dan sistem kultural
masyarakat Jawa. Kolonialisme masuk dengan membawa nilai-nilai yang
cenderung bersifat kapitalistik. Hal ini ditandai dengan masuknya sistem
perdagangan kolonial yang bersifat eksploitatif, tanaman komersial serta sistem
perkebunan sebagai representasi dari investasi modal (lihat Soemardjan, 1986;
Burger, 1983). Menurut Booke masuknya nilai-nilai komersial pada masyarakat
Jawa memberikan dampak terhadap terbentuknya dualisme ekonomi di Jawa, dan
Indonesia secara umum. Ekonomi kapitalistik ala barat tidak dapat berintegrasi
dengan sistem ekonomi tradisional ala Jawa. Sebagai akibatnya di masyarakat
berkembang dua sistem ekonomi sekaligus, yaitu sistem kapitalistik kolonial dan
sistem tradisional masyarakat pribumi (Sajogyo, 1982). Sudut pandang lain
mengenai dampak dari masuknya sistem kapitalistik dalam sistem tradisional
masyarakat Jawa dikemukakan oleh Geertz yang menyatakan bahwa masuknya
perkebunan tebu di Jawa melahirkan bentuk adaptasi kelembagaan masyarakat
Jawa, tepatnya masyarakat yang bergantung pada padi-sawah, dalam bentuk
gejala perumitan kelembagaan atau dikenal dengan istilah ”agricultural
involution” (Geertz, 1976). Dalam pandangan lainnya Geertz mengemukakan
bahwa sistem kultural masyarakat Jawa dapat dibedakan ke dalam dua tipologi
komunitas, yaitu sistem kultural yang dimiliki oleh para santri dan sistem kultural
para ”abangan”. Santri dalam konteks ini dilekatkan pada komunitas yang
memiliki pengaruh nilai-nilai Islam yang sangat kuat. Dalam pandangan sistem
nilai dikalangan santri hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural seperti
berkembang pada masyarakat Jawa masa kerajaan Hindhu-Budha sudah mulai
ditinggalkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang mereka anut.
Sementara itu, tradisi kaum ”abangan” justru sebaliknya, mereka tetap
mempertahankan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural meskipun mereka
sudah menyatakan diri sebagai orang Islam. Keislaman yang mereka ikrarkan
pada dasarnya merupakan bentuk akulturasi dengan sistem nilai Jawa tradisional
warisan nenek moyang mereka (Kuntowijoyo, 1987; Koentjaraningrat, 1994)).
Masuknya kolonialisme, dalam perkembangannya berdampak pada pola
hubungan
feodalistik
yang
merupakan
warisan
kerajaan-kerajaan
Jawa.
Runtuhnya sistem feodalisme sangat terlihat pada pola hubungan agraria di Jawa.
Pada masa ini sistem upeti dan privilege bagi kaum bangsawan Jawa digantikan
dengan sistem pajak tanah, tanam paksa dan sistem investari modal asing. Ketiga
sistem tersebut diinstroduksikan dalam waktu berbeda-beda. Sebagai implikasinya
adalah berkembang nilai-nilai komersial di Jawa, tidak hanya pada pola hubungan
produksi akan tetapi pada aspek-aspek lain kehidupan (Soemardjan, 1986; Burger;
1983; Husken; 1998; Husken dan White, 1989).
Nilai komersial pada sistem kultural masyarakat Jawa semakin
berkembang seiring dengan masuknya paradigma developmentalisme yang
dijadikan sebagai pendekatan dalam pembangunan di Indonesia. Kebijakankebijakan pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu, menitikberatkan pada
masuknya introduksi teknologi dan moda produksi modern yang cenderung
bersifat kapitalistik. Sebagai akibatnya nilai-nilai ekonomi uang semakin terlihat
berkembang pada sistem kultural masyarakat Jawa (Husken, 1998; Temple,
1994).
Konteks di atas menunjukkan geneologi sistem kultural masyarakat Jawa
dikaitkan dengan masuknya kekuatan-kekuatan politik kekuasaan yang ada di
Jawa, di mana kekuatan politik kekuasaan tersebut memberikan pergeseran
terhadap sistem kultural tradisional masyarakat Jawa. Sudut pandang yang
berbeda dalam menelaah tentang sistem kultural masyarakat Jawa dapat dilihat
dari konstruksi teoritis Kluckhon dalam melihat orientasi nilai budaya yang
berkembang pada masyarakat Jawa. Sistem kultural masyarakat Jawa dapat dilihat
dari tiga aspek penting yaitu sistem kultural yang berkaitan dengan hakekat hidup,
hakekat hubungan dengan sesama manusia dan hakekat hubungan dengan alam
(Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al, 2003).
Hakekat hidup bagi masyarakat Jawa dimaknai sebagai ”nasib” yang harus
diterima dan dijalankan apapun kondisinya. Hidup merupakan ketentuan yang
telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia, di mana manusia tidak memiliki
kekuatan untuk merubahnya. Manusia hanya diberikan kemampuan untuk
menerimanya dalam menjalankan. Nilai-nilai seperti merupakan representasi dari
istilah ”nrimo ing pandum” yang sering dilekatkan pada masyarakat Jawa, yaitu
sebuah pemaknaan yang memiliki pengertian senantiasa menerima keadaan yang
telah diberikan oleh tuhannya (Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al, 2003).
Hakekat hubungan dengan sesama manusia pada masyarakat Jawa
menekankan adanya keselarasan, kedamaian dan kebersamaan yang kuat. Hal ini
direpresentasikan oleh sikap hormat dan ”tepa slira” atau tenggang rasa satu
dengan lainnya (Suseno, 2001). Pemahaman dasar mengenai kebersamaan,
keselarasan dan prinsip saling menghormati dan menghargai pada masyarakat
Jawa terbentuk atas konstruksi pemaknaan bahwa kehidupan di dunia ini
dijalankan secara bersama-sama, di mana antara satu orang dengan yang lainnya
akan selalu saling membutuhkan satu sama lain. Kehidupan di dunia ini tidak akan
dapat berjalan normal tanpa adanya kerjasama antar satu orang dengan yang
lainnya. Untuk itu, maka sistem kultural masyarakat Jawa dalam konteks
hubungan dengan sesama manusia meghindari terjadinya konflik dalam
kehidupan. Konflik merupakan sesuatu hal yang harus dihindari dalam hidup
bermasyarakat dan berhubungan satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan agar
hidup dapat berjalan dengan normal, saling bisa mengisi, membantu dan
menghormati satu dengan lainnya. Konstruksi sosial mengenai hekakat hubungan
sesama manusia pada masyarakat Jawa yang mengedepankan nilai-nilai
kebersamaan dapat dilihat pada nilai-nilai guyub rukun dan gotong-royong
(Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et .al, 2003).
Hakekat hubungan dengan alam, bagi masyarakat Jawa alam merupakan
anugerah dari tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan. Alam merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa
hakekat hubungan dengan alam menempatkan manusia untuk senantiasa selaras
dengan alam. Pandangan yang bersifat eksploitatif terhadap alam seperti yang
berkembang pada nilai-nilai kapitalistik tidak sesuai dengan pandangan
masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan bagi masyarakat Jawa keberadaan alam
sangat penting dalam kehidupan, di mana jika terjadi kerusakan pada alam pada
akhirnya mereka meyakini bahwa hal tersebut akan memberikan dampak yang
tidak baik terhadap kehidupan manusia (Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al,
2003).
Sistem orientasi nilai yang dijelaskan di atas merupakan konseptualisasi
normatif mengenai masyarakat Jawa kebanyakan dalam memandang kehidupan
dalam berbagai dimensi. Meskipun bukan merupakan representasi universal dari
masyarakat Jawa, namun demikian konseptualisasi mengenai orientasi nilai
masyarakat Jawa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat di atas masih relevan
untuk menelaah konteks kekinian masyarakat Jawa. Arus perubahan sosial yang
cukup signifikan terjadi di Jawa karena berbagai macam konfigurasi sosial, baik
kepentingan politik, ekonomi dan juga kultural, masyarakat Jawa secara normatif
masih mempertahankan sejumlah nilai-nilai dasar dalam kehidupan. Inti
kebudayaan masyarakat Jawa sebagai sebuah sistem kultural masih bertahan dan
unik mencirikan ke-Jawa-annya.
2. 3
Teori Sosiologi Interpretatif: Peran Aktif Aktor
Teori sosiologi interpretatif berkembang sebagai kritik teori terhadap teori
sosiologi strukturalisme. Teori sosiologi interpretatif mengkritik pandangan
strukturalisme mengenai peran aktor. Dalam pandangan strukturalisme aktor
dimaknai pasif memainkan perannya dalam struktur sosial, di mana tindakan
sosial aktor dikendalikan atau sangat ditentukan oleh struktur sosial yang berada
di atasnya. Aktor tidak memiliki peran melalui keberadaan dirinya dalam
menentukan tindakan sosial yang dilakukan. Aktor hanya menjalankan perannya
sesuai dengan tuntutan dari struktur sosialnya. Pandangan teori sosiologi
interpretatif memaknai sebaliknya mengenai peran aktor. Aktor merupakan pelaku
aktif dalam memainkan perannya dalam struktur sosial dan melakukan tindakan
sosial. Tindakan sosial aktor dilakukan secara sadar melibatkan proses berpikir di
tingkat aktor, hingga membentuk struktur sosial. Dalam konteks ini keberadaan
tindakan sosial aktor tidak dimakni sebagai sesuatu hal yang telah ditentukan oleh
struktur sosial, di mana aktor hanya tinggal menjalankannya saja (Poloma, 2004;
Slaterry,2003; Ritzer dan Goodman, 2004; Calhoun, et.al, 2002 dan Turner,
1998).
Teori
sosiologi
interpretatif
lahir
dari
tradisi
pemikiran
yang
menggabungkan antara sosiologi dengan psikologi, yang kemudian dikenal
dengan disiplin psiko-sosial. Kajian sosiologi interpretatif menekankan pada
analisis tingkat mikro level atau sampai pada meso level. Konsepsi teori sosiologi
interpretatif tidak masuk pada ranah makro sosiologi (makro struktur), yang
berkembang lebih awal dalam disiplin ilmu sosiologi dan merupakan kajian dari
sosiologi strukturalisme. Konsepsi teoritis dari sosiologi interpretatif menekankan
pada konstruksi sosial yang terbentuk pada struktur sosial sebagai hasil dari proses
interaksi sosial antar aktor, di mana di dalamnya berlangsung pertukaran makna
dan simbol-simbol .
Perkembangan teori sosiologi interpretatif melahirkan sejumlah konsepsi
teori yang saling menguatkan satu sama lain. Di antara konsepsi teori yang
dikategorikan sebagai teori sosiologi interpretatif adalah dramaturgi dari Ervin
Goffman, etnometodologi dari Harold Garfinkel, dan interaksionisme simbolis
dari Herbert Blummer. Ketiga konsepsi teori sosiologi interpretatif tersebut samasama menfokuskan kajiannya pada peran aktif aktor dalam konstruksi sosial di
masyarakat melalui proses interaksi sosial dan interpretasi terhadap makna dan
simbol (Poloma, 2004).
Pandangan Goffman mengenai dramaturgi pada dasarnya menjelaskan
bahwa aktor dalam struktur sosial memainkan peran-peran tertentu. Pemaknaan
terhadap suatu peran akan menjadi ada ketika dikaitkan dengan peran aktor-aktor
lainnya. Dalam proses memainkan perannya dalam struktur sosial, aktor tidak
hanya mengikuti ketentuan yang telah ada, akan tetapi juga melalui proses
berpikir dan menginterpretasikan peran aktor lainnya sehingga secara keseluruhan
hubungan peran antar aktor tersebut membentuk struktur sosial. Dalam konteks
ini, hal yang dipertukarkan untuk saling diinterpretasikan di tingkat aktor bisa
berupa simbol-simbol atau bahasa sebagai simbol yang paling konkrit. Dramaturgi
dari Goffman mengasosiasikan peran-peran aktor dalam sebuah struktur sosial
seperti pertunjukkan drama, di mana setiap aktor memainkan peran masingmasing dan peran itu akan bermakna ketika dikaitkan dengan peran-peran lainnya.
Menurut Goffman paran aktor dalam kehidupan keseharian melakukan tindakan
sosial dapat dibedakan ke dalam tipologi. Pertama, adalah tindakan aktor ketika
berada di ”depan panggung” (front region), di mana dalam posisi seperti ini aktor
dituntut untuk memerankan hal yang bersifat normatif (ideal) sesuai dengan peran
yang dia dapatkan dalam struktur sosial tertentu. Aktor menutupi dirinya dari
tindakan-tindakan sosial yang tidak sesuai dengan tuntutan perannya. Kedua,
adalah belakang panggung” (back stage), di mana aktor dapat memerankan
dirinya tidak selalu sesuai dengan konteks ideal yang seharusnya dilakukan.
Keberaaan aktor baik di depan panggung maupun di belakang panggung tidak
hanya dalam konteks memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam struktur
sosial, akan tetapi terdapat proses berpikir dan menginterpretasikan diri atas
perannya di dalam struktur sosial (Poloma, 2004; Calhoun, et.al, 2002; Ritzer dan
Goodman, 2004).
Etnometodologi dari Garfinkel dikategorikan sebagai studi empiris
mengenai bagaimana orang menangkap pengalaman dunia sosialnya sehari-hari.
Secara empiris konsepsi teori ini mempelajari tentang konstruksi realitas yang
dibuat seseorang di saat interaksi sehari-hari berlangsung (Poloma, 2004).
Etnomotologi menolak pandangan bahwa realitas sosial yang ada dalam
masyarakat merupakan sesuatu yang berada ”di luar”, yakni berupa ketentuan
yang telah tetap dan bersifat universal di mana aktor dalam realitas sosial tersebut
hanya menerima saja. Bagi kaum yang menjadi pendukung aliran etnometodologi,
realitas sosial bersifat inheren dalam masyarakat, di mana di dalamnya terdapat
proses interpretasi atas makna-makna yang dipertukarkan dalam interaksi sosial
sehingga kemudian terbentuk konstruksi sosial mengenai nilai dan struktur sosial.
Realitas sosial dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat subyektif, tidak obyektif
seperti konsepsi teori dari kaum strukturalisme (Poloma, 2004; Slaterry,2003;
Ritzer dan Goodman, 2004; dan Turner, 1998). Etnometodologi menekankan pada
kajian simbol yang berbentuk bahasa untuk memahami konstruksi pemaknaan
mengenai realitas sosial yang dibangun oleh hubungan antar aktor. Meskipun
demikian, etnometodologi tidak sama dengan hermeunetik yang hanya
menfokuskan konstruksi sosial pada kajian bahasa (lihat Ricoeur,2006) . Dalam
etnometodologi bahasa hanya merupakan salah satu bentuk simbol yang
diinterpretasikan, akan tetapi terdapat simbol-simbol lain selain bahasa.
Interaksionisme simbolis tidak memiliki perbedaan yang begitu mendasar
dengan konsepsi teori sosiologi interpretatif yang dikemukakan sebelumnya.
Pandangan Interaksionisme Simbolis menekankan pada interpretasi makna yang
dilakukan oleh aktor dalam interaksi sosial. Pandangan ini juga memposisikan diri
sebagai kritik teori terhadap pandangan strukturalisme. Konsepsi teori
interaksionisme simbolis memiliki asumsi dasar bahwa interaksi antar aktor
menghasilkan sebuah konstruksi sosial melalui pertukaran makna dan simbol.
Blummer (1969) sebagai salah satu tokoh penting yang melahirkan pandangan
interaksionisme simbolis menyatakan bahwa konsepsi teori ini bertumpu pada tiga
premis yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada
”sesuatu” itu pada mereka
2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi berlangsung
Pandangan teori interaksionisme simbolis menolak adanya realitas
obyektif, di mana terhadap realitas dipahami sebagai sesuatu yang sudah inheren
dan bersifat universal pada sistem sosial apapun. Menurut teori interaksionisme
simbolis, makna pada realitas sosial, baik itu benda maupun tindakan sosial
manusia, tidak bersifat inheren tergantung pada konstruksi pemaknaan yang
dibangun dalam proses interaksi sosial antar aktor, di mana setting sosial (dimensi
ruang dan waktu) memberikan pengaruh terhadap terbentuknya konstruksi
pemaknaan yang dihasilkan (Poloma, 2004). Konstruksi pemaknaan melibatkan
aktor dalam proses memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan
mentransformasi makna dalam hubungannya dengan situasi di mana dia
ditempatkan dan arah tindakannya. Konstruksi makna dari proses interpretasi
merupakan hal yang terus diorgansisasikan oleh aktor untuk kepentingan pengarah
bagi tindakan sosialnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini Blummer menjelaskan
bahwa manusia adalah aktor yang sadar dan refleksif yang menyatukan obyekobyek yang diketahuinya melalui proses self indication, yaitu proses komunikasi
yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya,
memberinya makna dan menentukan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut
(Poloma, 2004).
Pandangan mengenai aktor yang bersifat kreatif juga dikemukakan dalam
penjelasan teori strukturasi agen-struktur yang dikemukakan oleh Giddens. Dalam
pandangan Giddens aktor memiliki kesadaran kreatif dalam melakukan tindakan
sosial. Perbedaan Giddens dengan beberapa tokoh sosiologi interpretatif adalah
penjelasan mengenai struktur sosial, di mana dalam teori agen dan strukturnya
Giddens juga memberikan penjelasan mengenai keberadaan struktur dalam
memberikan pengaruh terhadap tindakan aktor. Menurut Giddens, aktor (peran
aktor atau agency) memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan
keberadaan struktur sosial yang diistilahkan dengan dualitas. Konsep dualitas ini
pada dasanya menekankan adanya hubungan antara konteks mikro-makro yang
selama ini menjadi perdebatan teoritis antara interaksionisme dan strukturalisme.
Giddens membangun konsepsi teori yang menjembatani perdebatan antara kedua
pendekatan tersebut. Aktor bertindak berdasarkan kesadaran yang dimiliki (aktif)
namun demikian di lain pihak kesadaran tersebut ”dibatasi” oleh keberadaan
struktur sosial yang mengarahkan tindakan aktor. Struktur sosial berposisi sebagai
kekuatan inheren yang membangun kesadaran aktor dalam melakukan tindakan
sosial (Ritzer dan Goodman, 2004; Turner, 1998).
Teori sosiologi interpretatif secara eksplisit tidak menyediakan penjelasan
yang memadai untuk menjelaskan konsep perubahan. Kekuatan penyebab
perubahan dan arah perubahan sosial dalam masyarakat tidak mendapatkan
perhatian dalam kerangka teori ini. Namun demikian, jika ditelaah lebih jauh lagi
sebenarnya teori sosiologi interpretatif dapat dipergunakan untuk memberikan
penjelasan mengenai fenomena perubahan sosial. Hal ini dapat ditelaah dari
pemahaman teori ini yang menyatakan bahwa pada dasarnya konstruksi sosial
merupakan sebuah proses yang terus-menerus disempurnakan dalam interaksi
sosial (Poloma, 2004). Artinya, konstruksi sosial merupakan sesuatu hal yang
bersifat dinamis dalam konteks terjadi penyempurnaan-penyempurnaan (di
dalamnya terdapat proses perubahan atau pergeseran) terhadap hal tersebut. Hal
ini juga semakin dikuatkan dengan adanya pemahaman teori dalam sosiologi
interpretatif yang menyatakan bahwa konstruksi sosial bersifat kontekstual dalam
dimensi ruang dan waktu tertentu. Pernyataan ini menjelaskan bahwa dalam
setting ruang dan waktu tertentu konstruksi sosial yang terbentuk akan berbeda
satu sama lain (unik atau tidak universal). Jika pemahaman ini ditarik dalam
kerangka adanya perkembangan waktu, maka konstruksi sosial dalam teori ini
dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamis (berubah atau bergeser).
2. 4
Kerangka Teoritis
Burung memiliki dimensi makna yang sangat beragam tergantung pada
setting sosial dan konteks munculnya pemaknaan. Pemaknaan terhadap burung
meliputi dimensi ekonomi, sosio-kultural, ekologi dan estetika (keindahan).
Dimensi pemaknaan burung secara ekonomi dapat dilihat dari pemanfaatan
burung sebagai komoditas yang diperdagangkan untuk kepentingan para
penggemar burung dan bahan makanan. Saat ini tingkat kegemaran memelihara
burung menunjukkan pergeseran yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat
dari hasil kajian Jepson dan Ladle di lima kota besar di Indonesia (empat
diantaranya terdapat di Jawa) yang menunjukkan bahwa burung merupakan satwa
peliharaan yang paling digemari dibandingkan dengan jenis satwa peliharaan
lainnya, seperti kucing, ikan, anjing, dan kuda (Jepson and Ladle, 2005). Hal ini
memberikan dampak terhadap semakin meningkatnya perdagangan burung di
Indonesia, baik yang dilakukan di pasar-pasar burung maupun di luar pasar
burung. Jenis burung yang saat ini marak diperdagangkan antara lain jenis burung
kakak tua dan beberapa jenis berkicau seperti cucak rawa, anis merah, dan murrai
batu. Potensi keuntungan ekonomi yang cukup besar dari perdagangan burung
menjadi salah satu faktor penting yang menjadi penarik semakin maraknya
perdagangan burung di Indonesia. Pemanfaatan burung secara ekonomi dapat
dilihat juga dari pemanfaatan burung untuk kepentingan bahan makanan.
Pemaknaan burung sebagai bahan makanan lebih dahulu terbentuk dibandingkan
dengan pemanfaatan burung sebagai ”komoditas” perdagangan. Di Indonesia
terdapat jenis burung tertentu yang dagingnya dimanfaatkan sebagai bahan
makanan yang diperjualbelikan, seperti misalnya, burung merpati atau beberapa
jenis burung laut (pelikan) (Mackinnon, 1984).
Burung dalam dimensi sosio-kultural dimaknai sebagai bagian dari entitas
kultural komunitas tertentu. Komunitas Dayak Laut misalnya memaknai beberapa
jenis burung tertentu sebagai simbol dari mistis dan religiusitas, di mana burung
ditempatkan sebagai representasi dari dewa-dewa yang mereka sembah (Welty,
1979). Sementara itu, bagi kalangan masyarakat Jawa, jenis burung tertentu
menjadi simbol dari status sosial dan kesempurnaan dalam hidup. Memelihara
burung menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, di mana burung merupakan
representasi dari kukila dalam filosofi kesempurnaan hidup masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa, khususnya yang memiliki tradisi kultural tradisional yang
masih kuat, memiliki filosofi tentang kesempurnaan hidup, yaitu meliputi harta
(kekayaan),
tahta
(kekuasaan),
wanita
(pasangan/istri),
(kendaraan/tunggangan) serta kukila (Muchtar dan Nurwatha, 2001).
turangga
Sedangkan secara ekologis, pemaknaan terhadap burung dapat dilihat dari
pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring terhadap perubahan lingkungan. Di
beberapa negara maju pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring sudah banyak
dilakukan, seperti untuk mengidentifikasi tingkat pencemaran lingkungan dan
pencemaran pestisida (Furness and Greenwood, 1993). Di Indonesia, secara
tradisional peran burung sebagai bio-monitoring dapat dilihat pada pemanfaatan
burung sebagai ”musuh alami” dari beberapa jenis serangga di kegiatan pertanian.
Hal ini menjadi local knowledge yang dimanfaatkan oleh petani, di mana burungburung tertentu dibiarkan mendatangi areal pertaninya untuk memakan hama
serangga (Mackinnon, 1984). Dari dimensi estetika burung dimanfaatkan oleh
kalangan seniman sebagai obyek karya seni (lukisan) mereka (Surata, 1993).
Dalam konteks sosio-kultural pemaknaan burung yang berkembang pada
masyarakat Jawa menempatkan burung sebagai bagian dari entitas kultural
masyarakat Jawa. Secara historis, memelihara burung di kalangan priyayi
(bangsawan) menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan sebagai simbol status
sosial mereka. Jenis burung yang populer adalah jenis burung perkutut, yang
menjadi simbol dari ketenangan dan kewibawaan. Akan tetapi kecenderungan
yang berkembang dalam konteks kekinian, pemaknaan burung di kalangan
masyarakat Jawa lagi hanya sebatas pada pemaknaan sosio-kultural yang bersifat
tradisional. Dimensi sosio-kultural burung dalam konteks kekinian membentuk
konstruksi pemaknaan yang menempatkan burung sebagai hobi untuk pengisi
waktu luang saat beristirahat. Burung menjadi simbol dari ketenangan dan
keindahan dengan mendengarkan keindahan suara burung. Fenomena ini tidak
hanya melibatkan masyarakat Jawa dari kalangan kelas atas (bangsawan/priyayi)
seperti masa lalu, akan tetapi melibatkan masyarakat Jawa dari berbagai lapisan3.
Di samping itu, pada kalangan masyarakat Jawa saat ini juga mulai berkembang
konstruksi pemaknaan burung secara ekonomi, di mana burung dijadikan sebagai
komoditas perdagangan yang menguntungkan. Semakin meningkatnya tingkat
kegemaran memelihara burung pada masyarakat Jawa menjadi salah satu faktor
3
Meskipun bersifat multi-strata, yaitu melibatkan hamper sebagian besar dari lapisan masyarakat
Jawa, akan tetapi secara faktual sebagian besar masyarakat Jawa yang terlibat dalam kegemaran
hobi memelihara burung masih didominasi oleh msyarakat lapisan atas dan menengah (Jepson and
Ladle, 2005)
penting yang menjadikan maraknya perdagangan burung. Burung saat ini menjadi
dimaknai sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dengan potensi
keuntungan ekonomi yang cukup menjanjikan. Hal ini menunjukkan terbentuknya
kecenderungan komersialisasi terhadap burung. Nilai-nilai komersial pada
masyarakat Jawa sebenarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Masuknya
kolonialisme yang memperkenalkan (secara paksa) nilai-nilai kapitalitik melalui
moda produksi kapitalistik membentuk nilai-nilai komersial pada hubunganhubungan sosial di pedesaaan (Husken, 1998; Soemardjan, 1986 dan Sajogyo,
1982 dan Penny, 1982&1990). Nilai-nilai komersial tidak hanya berkembang pada
pola hubungan sosial, akan tetapi pada tindakan-tindakan sosial tertentu seperti
kerja.4
Pergeseran konstruksi pemaknaan pada komunitas penggemar burung di
Jawa dalam konteks ini dipahami sebagai adanya pergeseran terhadap konstruksi
pemaknaan burung di tingkat komunitas penggemar burung. Berkembangnya
nilai-nilai komersial terhadap burung merupakan hasil dari interpretasi makna
dalam proses interaksi sosial antar komunitas penggemar burung yang dalam
perkembangannya tidak hanya menjadikan burung sebagai bagian dari kehidupan
untuk mengisi waktu luang, akan tetapi memiliki potensi ekonomi yang cukup
menjanjikan. Semakin maraknya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
komunitas penggemar burung menjadi salah satu bentuk daya tarik yang
menempatkan burung tidak lagi hanya dipandang sebagai simbol keindahan
dengan mendengarkan suara, warna dan gerak-geriknya. Akan tetapi burung
menjadi komoditas yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan, baik
sebagai penghasilan alternatif atau utama.
Dalam perkembangannya, pemaknaan lain yang berkembang terhadap
burung di masyarakat, tepatnya komunitas penggemar burung adalah pemaknaan
konservasi terhadap burung. Dalam konteks ini burung menjadi salah satu
perhatian satwa yang harus mulai diupayakan pelestariannya seiring dengan
semakin terancamnya beberapa jenis burung tertentu karena kegiatan perburuan
4
Sebelum masuknya nilai-nilai komersial dari kolonialisme barat, pemaknaan terhadap kerja
bersifat sosio-kultural, di mana kerja dilakukan secara bersama-sama antar sesama warga (dikenal
dengan istilah gotong royong) yang kemudian bergeser menjadi sistem upah. (Husken, 1998;
Soemardjan, 1986)
dan perdagangan burung. Secara tradisional, sebenarnya dimensi pemaknaan
konservasi terhadap burung sudah terbentuk yaitu ketika dikaitkan dengan tradisitradisi kultural komunitas tertentu. Burung dilestarikan dan dijaga keberadaannya
karena menjadi bagian dari entitas kultural komunitas tersebut (lihat Welty, 1979;
Muchtar dan Nurwatha, 2001).
Konstruksi pemaknaan di tingkat komunitas penggemar burung dipahami
sebagai sesuatu hal yang bersifat dinamis. Semakin berkembangnya komunitas
penggemar burung, di mana di dalamnya juga berkembang sejumlah kepentingan
yang berkaitan dengan burung merupakan faktor mendasar yang membentuk
kedinamisan pemaknaan dalam komunitas penggemar burung. Komunitas
penggemar burung sebagai aktor menjadi representasi dari berbagai bentuk
kepentingan pada komunitas penggemar burung. Dalam praksis sosial tindakan
sosial aktor merupakan representasi dari kepentingan yang terdapat pada
komunitas penggemar burung. Tindakan sosial aktor dalam konteks dapat
dipahami
sebagai
proses
kreatif
aktor
(kesadaran
aktor)
dalam
menginterpretasikan sejumlah kondisi secara terus menerus, namun juga dapat
dipahami sebagai bentuk kesadaran aktor struktur sosial yang menjadi bagian dari
sistem sosialnya. Atau dengan kata lain, tindakan sosial aktor pada komunitas
penggemar burung dapat dipahami sebagai dualitas antara kesadaran aktor dan
tekanan struktur. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Giddens dalam teorinya
mengenai struktur dan agensi, di mana antara aktor sebagai agen dengan struktur
sosial tidak ditelaah secara terpisah satu sama lain dalam kerangka yang
berlawanan (Ritzer dan Goodman, 2004; Turner, 1998)
Download