1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pluralisme, Konflik

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pluralisme, Konflik, dan Politik menjadi sebuah konstelasi isu yang
menarik dalam beberapa waktu terakhir. Konteks masyarakat Indonesia yang
sangat beragam dalam suatu wilayah (Pluralis) menjadi sebuah arena reproduksi
yang sangat ideal bagi terciptanya konflik yang dapat menjurus kepada kekerasan
antar masyarakat. Konflik sendiri akan menjadi bahasan yang selalu hangat dalam
kajian-kajian ilmu sosial terutama dalam sosiologi, karena fenomena konflik
dianggap sebagai sebuah patologi dalam masyarakat. Konflik diibaratkan sebagai
sebuah penyakit dalam masyarakat, dalam masyarakat sekecil apa pun pasti akan
ditemukan konflik baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat
(Poloma, 2007: 106).
Dalam dua dekade terakhir, berbagai media di Indonesia menyajikan
gambaran atas konflik yang dimaknai dari berbagai sisi. Terhitung semenjak awal
reformasi (1998) banyak konflik yang muncul dan melibatkan isu-isu pluralitas
karena minimal melibatkan dua etnis yang berbeda. Meskipun sempat mereda
pada pertengahan tahun 2000-an, namun isu konflik antar etnis kembali muncul
pada awal 2011 dan sepanjang tahun 2012, termasuk salah satunya adalah konflik
yang terjadi di Desa Balinuraga Kec. Way Panji (Lampung Selatan). Penyerangan
yang terjadi di Desa Balinuraga pada akhir Oktober 2012 melibatkan jumlah
massa yang sangat besar yang didominasi oleh masyarakat etnis Lampung, namun
1
secara spesifik konflik yang terjadi adalah antara warga Desa Agom dan
masyarakat Desa Balinuraga.
Masyarakat Desa Agom dengan mayoritas penduduk merupakan
masyarakat asli suku Lampung, sedangkan Desa Balinuraga mayoritas dihuni oleh
masyarakat etnis Bali Nusa hasil program transmigrasi yang dilakukan masa
pemerintahan Orde Baru yaitu pada tahun 1960 hingga 1970-an. Konflik yang
terjadi di Desa Balinuraga sendiri bukan merupakan kejadian pertama di Privinsi
Lampung yang melibatkan masyarakat etnis Asli Lampung dan masyarakat etnis
pendatang (Bali atau Jawa). Beberapa kasus yang tercatat terjadi pasca orde baru
diantaranya konflik yang disebut sebagai konflik “Bungkuk” yang terjadi pada
tahun akhir 1998, serta kasus “Kebondamar” pada awal tahun 2003 di kawasan
Lampung Timur (Nugroho, 2004: 76-77). Hal ini juga membuktikan bahwa
konflik yang terjadi antara masyarakat etnis asli Lampung dan masyarakat etnis
pendatang
bukanlah
sebuah
permasalahan
baru,
namun
lebih
kepada
permasalahan yang telah menjadi lattensi dalam masyarakat di daerah Lampung.
Dalam masa kurun waktu lebih dari 50 tahun terakhir, masyarakat
Lampung Selatan hidup dalam struktur masyarakat yang majemuk baik secara
etnisitas, agama, maupun kemajemukan dalam bentuk kelas-kelas sosial secara
vertikal. Perubahan sosial dan pergeseran struktur masyarakat seringkali menjadi
pemicu terjadinya konflik-konflik sosial dalam masyarakat, tak terlepas halnya
dengan yang terjadi pada konflik di Desa Balinuraga. Konflik ini ditandai dengan
terjadinya pergeseran dalam kelas-kelas kelompok dominan dalam masyarakat,
dimana dalam beberapa tahun terakhir masyarakat pendatang (Bali) mulai
2
menunjukkan dominasi sector ekonomi masyarakat. Namun meskipun demikian,
konflik yang terjadi bahkan menjadi semakin berutal karena sikap arogansi yang
ditunjukkan masyarakat etnis Bali pasca terjadinya pergeseran struktur sosial
masyarakat tersebut.
Masa krisis konflik yang terjadi berupa penyerangan oleh sekelompok
besar massa ke Desa Balinuraga terhitung tanggal 27 Oktober 2012 dan
puncaknya terjadi pada tanggal 29 Oktober 2012. Pada tanggal 27 Oktober 2012
diperkirakan 2000 orang menyerang Desa Balinuraga, namun kelompok massa
penyerang gagal untuk masuk ke Desa Balinuraga, kemudian pada hari berikutnya
(28 Oktober 2012) kelompok massa yang lebih besar –diperkirakan 10.000 orangkembali menyerang Desa Balinuraga namun kelompok massa penyerang kembali
gagal untuk memasuki Desa Balinuraga, pada hari berikutnya kelompok massa
kembali melakukan penyerangan ke Desa Balinuraga dengan jumlah massa yang
dua kali lebih besar dari hari sebelumnya –diperkirakan lebih dari 20.000 orangdan kelompok massa penyerang ini tidak hanya berasal dari satu kelompok
masyarakat, namun berasal dari kelompok masyarakat yang luas dan dengan latar
belakang yang berbeda pula. Penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga
menyajikan fakta yang menarik mengenai proses mobilisasi massa yang mampu
melibatkan jumlah massa yang sangat besar, ditambah lagi dengan konteks
solidaritas masyarakat etnis lokal yang tidak dapat dikatakan tinggi.
Mobilisasi massa menjadi salah satu konteks yang sangat menarik dalam
fenomena konflik yang terjadi di Desa Balinuraga ini, dengan melihat informasi
tentang jumlah penduduk dan massa yang terlibat didalam konflik pada masa
3
krisis tersebut maka dapat dilihat bahwa didalam konflik tersebut terdapat sebuah
mekanisme dan manajemen konflik yang dilakukan oleh salah satu pihak maupun
kedua belah pihak. Dengan kata lain, konflik yang terjadi di Desa Balinuraga ini
bukan merupakan sebuah gerakan spontanitas, dan patut diperhatikan bagaimana
konflik yang terjadi dalam rentan waktu 3 hari namun mampu menggerakkan
lebih dari 20.000 orang untuk ikut serta terlibat didalamnya.
Dalam ranah kajian sosiologis sendiri, para pemerhati konflik memiliki
kecenderungan dan cara pandang masing- masing dalam melihat fenomena
konflik yaitu dari sisi dan/ atau persepektif kultural maupun dari sisi ekonomipolitis yang juga hampir dapat ditemukan disetiap fenomena konflik yang terjadi
dalam masyarakat. Analisis yang didasarkan pada perspektif kultural memang
banyak menghiasi berbagai karya dalam ilmu sosial pada awal dekade 2000-an,
terutama dalam kaitannya dengan konflik-konflik yang melibatkan 2 kelompok
etnis dibeberapa daerah di Indonesia. Dalam perspektif kultural ini, gesekangesekan budaya yang berbeda dalam masyarakat pluralis menyebabkan
penimbunan-penimbunan potensi konflik yang secara berkala akan menjadi
semakin besar dan pada akhirnya dapat berubah menjadi kekerasan massa.
Dalam karya ini, penulis mencoba menggeser analisis konflik yang
sedemikian rupa. Analisis konflik tidak semata-mata mengenai penyebab dan
proses rekonsiliasi yang ideal dalam menyelesaikan konflik. Konflik etnisitas
yang terjadi beberapa waktu terakhir terutama konflik yang terjadi di Desa
Balinuraga menampakkan sisi-sisi menarik yang lain dari sebuah fenomena
konflik sosial yaitu salah satunya adalah tentang mekanisme yang dilakukan oleh
4
aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut untuk melibatkan lebih banyak
massa, serta alasan dari mereka yang kemudian bersedia meleburkan diri kedalam
kelompok massa penyerang.
Analisis konflik yang lebih menekankan pada aspek mekanis ini juga
bukan merupakan sebuah terobosan baru, beberapa buku juga telah disusun
dengan mendasarkan pijakannya pada analisis persepektif ini. Sebuah buku yang
berjudul “Seusai Perang Komunal” yang disusun oleh Patrick Barron (dkk),
membangun sebuah kecurigaan bahwa konflik yang terjadi di Maluku dan Maluku
Utara terjadi karena keterlibatan aktor politik secara intensif. Selain itu, dalam
bukunya yang berjudul “Perang Kota Kecil”, Garry van Klinken juga menekankan
proses analisis konfliknya pada perspektif gerakan sosial (sosial movements),
dimana masing-masing kelompok berkonflik mempersiapkan diri1 untuk saling
berhadapan dengan kelompok lainnya.
Namun meskipun demikian, konflik tidak secara serta- merta muncul
karena alasan politis atau keterlibatan aktor diluar masyarakat tersebut (faktor
pemicu), konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Balinuraga dan masyarakat
Desa Agom di Kec. Kaliada (Lampung Selatan) diduga memang telah terjadi
dalam kurun waktu yang lama. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, konflik yang
terjadi pada akhir tahun 2012 memang diduga dipicu oleh kejadian kecil yang
mungkin ditunggangi oleh kepentingan aktor lain dengan alasan yang mungkin
1
Konteks mempersiapkan diri dalam hal ini meliputi aspek pembentukan identitas, membentuk
eskalasi konflik, polarisasi, Mobilisasi, dan pembentukan aktor. Mengacu pada lima proses konci
dalam analisis Dynamic of Contention (DoC). Klinken, Garry van. (2007). Perang Kota Kecil.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 17-19.
5
bersifat politis, namun dalam tubuh masyarakat sendiri memang telah terjadi
sebuah ketegangan yang cenderung berlangsung sudah cukup lama (faktor
lattensi).
Berangkat dari berbagai asumsi dan informasi diatas, tulisan ini mencoba
untuk menganalisis konflik yang terjadi di Desa Balinuraga, dengan meletakkan
perhatian pada mekanisme yang dilakukan oleh aktor-aktor konflik dalam
memobilisasi massa dengan mempertimbangkan keadaan serta beberapa aspek
kultural masyarakat dan isu- isu yang
digunakan sehingga aktor-aktor baru
memutuskan untuk ikut tergabung didalam kelompok massa penyerang. Untuk
membantu menjelaskan pola mobilisasi masa ataupun keterlibatan aktor dalam
konflik ini, penelitian ini akan menggunakan kerangka teori DoC (Dynamic of
Contention) dan dibingkai melalui metode penelitian Studi Kasus.
1.2 Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, menjadi sangat
menarik untuk melihat motivasi keterlibatan aktor dan mekanisme mobilisasi
massa dalam konflik dan penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga. Dalam
kerangka teori Dynamic of Contention dijelaskan bahwa, dalam menjelaskan pola
mobilisasi massa konflik, menjadi penting untuk sebaiknya menjelaskan
serentetan perubahan sosial yang luas mendahului konflik guna mempermudah
melihat beberapa faktor penting penunjang dalam menjelaskan mobilisasi, seperti
pembentukan aktor serta pembentukan identitas yang terjadi. Sehingga sesusai
dengan focus permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah
utama dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Proses dan Mekanisme Mobilisasi
6
Massa pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 dalam penyerangan yang
terjadi di Desa Balinuraga, Kec. Way Panji (Lampung Selatan)”.
Sebelum menjelaskan tentang proses dan mekanisme mobilisasi massa
dalam penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga, penelitian ini akan mencoba
menjawab dua pertanyaan turunan dalam penelitian ini, yaitu.
1. Bagaimana Struktur dan perubahan sosial masyarakat Lampung
Selatan, khususnya masyarakat Kecamatan Way Panji dan Kecamatan
Kalianda (Lampung Selatan)?
2. Bagaimana relasi sosial masyarakat Kecamatan Way Panji dan
Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan) sebelum terjadinya konflik
dan penyerangan pada tanggal 27 Oktober 2012?
3. Bagaimana proses mobilisasi massa yang dilakukan oleh kedua belah
pihak dalam konflik antara Desa Agom dan Desa Balinuraga
(Lampung Selatan)?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan penelitian, diantaranya:
1. Mengetahui Struktur dan perubahan sosial masyarakat Lampung
Selatan, khususnya masyarakat Kecamatan Way Panji dan Kecamatan
Kalianda (Lampung Selatan).
7
2. Melakukan analisis Konflik dengan melihat relasi sosial masyarakat
Kecamatan Way Panji dan Kecamatan Kalianda (Lampung Selatan)
sebelum terjadinya konflik pada tanggal 27 Oktober 2012.
3. Menemukan motivasi keterlibatan aktor dan menganalisis mekanisme
Mobilisasi massa dalam penyerangan yang terjadi pada tanggal 27, 28,
dan 29 Oktober 2012 di Desa Balinuraga.
1.4 Manfaat Penelitian
1
Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sebuah gambaran pada pembaca tentang perspektif yang lain dalam
melihat dan menganalisis konflik, karena konflik tidak semata
tentang analisis penyebab atau tujuan perumusan konsep
rekonsiliasi yang ideal.
2
Secara
praktis,
penelitian
ini
diharapkan
mampu
untuk
menyadarkan masyarakat secara luas, dan terutama bagi mereka
yang terlibat didalamnya bahwa kerugian secara material maupun
secara mental tidak serta mereta terjadi atas keinginan yang muncul
dalam diri mereka, atau konflik yang dianggap sebagai media
resistensi diri atas ancaman lain diluar diri (konflik natural), namun
didalamnya telah terjadi politisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu yang tujuannya untuk mengguntungkan kelompok sosial
tertentu.
8
1.5 Kerangka Literatur
Dalam kerangka literatur ini, penulis mencoba memberikan gambaran dan
meletakkan posisi penelitian ini dengan penelitian lainnya, dengan tujuan bahwa
ketika posisi penelitian ini dapat dilihat dengan jelas maka ke-unikan dari
penelitian ini sendiri juga akan dapat dilihat oleh pembaca. Dalam kerangka
literature ini, peneliti mencoba melihat perbandingan penelitian ini dengan dua
penelitian lainnya yang telah dilakuakan terlebih dahulu.
Garry Van Klinken (2007) melalui karyanya -Perang Kota Kecilmemberikan serangkaian analisis yang berbeda tentang konflik. Dengan
menggunakan metode Studi Kasus sebagai bingkai analisis berbagai konflik etnis
dan kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia, Klinken dengan sukses
memberikan gambaran bahwa analisis konflik tidak melulu hanya melaui
persepektif sosial- kultural yang beberapa dekade belakangan ini seakan menjadi
satu-satunya cara melihat fenomena konflik.
Klinken melakukan studinya dibeberapa daerah yang mengalami masa
konflik dan kekerasan komunal yang panjang di beberapa bagian Indonesia.
Kalimantan Barat, Poso, Ambon, Maluku Utara, dan Kalimantan Tengah memang
menjadi titik-titik kekerasan komunal antar etnis yang terjadi sebelum ataupun
beberapa tahun pasca reformasi. Pada titik ini, Klinken mencoba memperlihatkan
bahwa meletusnya kekerasan komunal atau konflik etnis dibeberapa daerah
tersebut sangat erat kaitannya dengan “gonjang-ganjing” atau ketidak- stabilan
iklim politik nasional pada masa tersebut. Analisis yang berbasis pada persepektif
ekonomi-politis juga dapat dilihat ketika Klinken berpendapat bahwa kekerasan
9
komunal yang terjadi di beberapa wilayah tersebut merupakan bentuk dari
pengalihan isu yang sedang bergejolak ditingkat nasional, ataupun karena adanya
represi terhadap gejolak etnis yang terjadi selama resim orde baru dengan
menggunakan tangan- tangan aparat maupun militer (Klinken, 2207: 12).
Dalam bukunya ini, Klinken meminjam Teori Dynamic of Contention
karya Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly (2004) sebagai pisau
analisisnya. Dalam mekanisme DoC, McAdam, Tilly dan Tarrow menjelaskan
bahwa terdapat lima proses kunci dalam memahami perseteruan politik yaitu
pembentukan identitas, eskalasi konflik, polarisasi, mobilisasi massa, dan
pembentukan aktor. Dari kelima tahapan penting yang disertakan oleh DoC dalam
memahami perseteruan politik atau dinamika perseteruan tersebut Garry van
Klinken memilih untuk menggunakan masing-masing lensa pada kasus yang
masing-masing berbeda pula, misalnya konsep pembentukan identitas digunakan
dalam melihat kekerasan komual yang terjadi di Kalimantan Barat, Eskalasi
konflik digunakan untuk menganalisis kasus di Poso, Polarisasi digunakan untuk
melihan kasus Maluku Utara dan seterunya, meskipun sebenarnya kelima proses
atau tahapan tersebut dapat ditemukan dalam masing- masing konflik atau
kekerasan komunal yang terjadi.
Keberhasilan Klinken dalam mengaplikasikan teori DoC menjadikan
inspirasi bagi penelitian ini dalam melihat fenomena konflik yang terjadi di Desa
Balinuraga yang melibatkan masyarakat etnis asli Lampung di Desa Agom.
Namun meskipun demikian, perbedaan antara penelitian ini dan karya Klinken
adalah terletak pada bagaimana penelitian ini mencoba melihat kesemua tahap
10
dalam DoC tersebut dalam satu kasus yaitu konflik di Desa Balinuraga, meskipun
pada tahap inipun akan menjadikan proses Mobilisasi massa dalam konflik
sebagai focus utama, sedangkan ke- 4 tahap lainnya dilihat dan dianalisis sebagai
bagian penting untuk dapat melakukan analisis yang komprahensif tentang
mobilisasi massa tanpa ada bagian yang dianggap terlalu jauh atau bahkan
menghindari bagian yang terhilangkan.
Penelitian kedua ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo
yang berjudul “Stereotip Etnik dan Resolusi Konflik Pertanahan di Pedesaan
Lampung (Kasus konflik antar etnik di Desa Bungkuk Kec. Jabung dan di Desa
Kebondamar Kec. Matarambaru Kabupaten Lampung Timur)”. Hartoyo dalam
tulisannya menganalisis tentang konflik “Bungkuk” dan konflik “Kebondamar” di
Lampung Timur yang terjadi pada akhir 1998 dan awal tahun 2003.
Permasalahan utama atau isu utama terjadinya kedua konflik ini adalah
berkaitan tentang pertanahan, dimana pada awalnya jual beli tanah seluas 4 Ha
antara orang etnis asli Lampung dan etnis Jawa. Permasalahan jual beli tersebut
kemudian menjadi isu etnik ketika terjadi pertikaian yang menyebabkan kematian
pada pihak penjual (penjual) yang berasal dari Desa Bungkuk. Kemudian semakin
berkembang sehingga menyebabkan terjadinya penyerangan masyarakat Desa
Bungkuk dan 20 desa lainnya ke desa Sumber Rejo yang berpusat dipasar Karang
Anom. Pada kejadian ini, menelan korban 2 orang meninggal dunia dan kerugian
harta benda diperkirakan sebesar 2,4 milliar rupiah.
11
Kemudian pada kasus yang lain, yaitu konflik “Kebondamar” dimulai
karena isu permasalahan batas lahan antara beberapa pihak yang memiliki lahan di
batas desa, karena sebelumnya desa Kebondamar sendiri termasuk dalam wilayah
Desa Brajamas, sehingga ketika terjadi pemekaran wilayah beberapa warga
mengalami perdebatan tentang batas wilayah. Konflik terjadi ketika terjadi
penyerangan oleh masyarakat etnis lokal di desa Brajamas dan desa Brajafajar ke
Desa Kebondamar yang mayoritas berpenduduk Jawa dan Bali (pendatang).
Konflik ini menyebabkan 5 orang luka- luka, dan kerusakan 76 rumah serta total
kerugian mencapai 3,392 milliar rupiah. (dalam Nugraha, 2004: 76).
Penelitian yang dilakukan oleh Haryanto ini menekankan analisisnya pada
permasalahan ketidak harmonisan yang terpendam dan stereotype yang
berkembang dalam masyarakat tentang etnis lawan, sehingga stereotype tersebut
menjadi propaganda dalam masyarakat untuk berkonflik dengan kelompok
masyarakat etnis lainnya. Selain itu, penelitian ini juga membahas tentang resolusi
konflik yang dibangun berdasarkan pendapat Lewis A. Coser tentang Katup
Penyelamat (Savety- value) dalam konflik dengan melibatkan aparatur Negara,
serta tokoh masyarakat atau para tokoh adat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa,
penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo ini didasarkan pada analisis konflik yang
lebih bersifat Sosial- kultural.
Penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo ini memiliki beberapa kesamaan
dengan penelitian ini –Matinya Pluralisme Karena Naafsu Politik Lokaldiantaranya adalah tentang kesamaan lokasi dan pihak yang terlibat, dimana
konflik dalam penelitian Hartoyo ini juga terjadi di provinsi Lampung dan dengan
12
melibatkan kelompok masyarakat etnis Lokal (Lampung) dengan mereka para
pendatang (Jawa maupun Bali). Hal ini juga yang kemudian memperlihatkan
bahwa fenomena yang terjadi antara masyarakat etnis Bali di Desa Balinuraga dan
desa Agom merupakan sebuah konflik yang telah terjadi diberbagai lokasi dan
berlangsung secara berkala, seakan seperti timbunan yang pada waktunya
memang akan meledak jika tidak disadari dan tidak ditangani dengan benar.
Perbedaan yang paling utama antara penelitian kali ini dan penelitian yang
dilakukan oleh Hartoyo adalah pada persepektif yang digunakan dalam
menganalisis masing- masing fenomena konflik, dimana Hartoyo lebih memilih
menganalisis konflik “Bungkuk” dan konflik “Kebondamar” melalui persepektif
Sosial- cultural, sementara pada penelitian konflik di Desa Balinuraga ini peneliti
memilih untuk menganalisisnya melalui persepektif Ekonomi- Politik.
13
Judul Penelitian, Nama Pengarang, Tahun.
Perang Kota Kecil (Kekerasan Komunal
dan Demokratisasi di Indonesia), by.
Garry Van Klinken: 2007.
PERSAMAAN
Persamaan penelitian ini dengan penelitian
yang dilakukan oleh Garry Van Klinken
adalah pada konsep teori yang digunakan
yaitu Dynamic of Contention, dan samasama menggunakan metode studi kasus
sebagai bingkai fenomena yang dikaji.
Stereotip Etnik dan Resolusi Konflik
Pertanahan di Pedesaan Lampung
(Kasus konflik antar etnik di Desa
Bungkuk Kec. Jabung dan di Desa
Kebondamar
Kec.
Matarambaru
Kabupaten Lampung Timur), by. Hartoyo:
2004.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hartoyo adalah
terletak pada kesamaan lokasi dan aktoraktor yang terlibat, yaitu konflik yang
terjadi di Provinsi Lampung dan
melibatkan masyarakat etnis Lokal dengan
masyarakat etnis Pendatang (baik Jawa
maupun Bali). Selain itu, kesamaan lainya
juga terletak pada pisau analisis yang
sama- sama meminjam pemikiran dari
Lewis A. Coser.
Tabel 1. Kerangka Literatur Penelitian
Sumber: Analisi Peneliti
PERBEDAAN
Perbedaan kedua penelitian ini adalah
terletak pada bagaimana Garry van
Klinken menggunakan masing-masing
lensa (tahapan dalam DoC) untuk
memahami kasus yang berbeda- beda,
sedangkan dalam penelitian ini DoC
digunakan secara utuh untuk melihat satu
kasus yaitu fenomena konflik yang terjadi
di Desa Balinuraga meskipun lebih
menitik beratkan pada mobilisasi massa
sebagai fokus penelitian.
Perbedaan yang paling mencolok dari
kedua penelitian ini adalah dimana
penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo
cenderung menganalisis fenomena konflik
“Bungkuk” dan konflik “Kebondamar”
melalui persepektif sosial- kultural,
penelitian
ini
bahkan
cenderung
mengarahkan analisisnya pada persepektif
ekonomi- politik.
14
1.6. Kerangka Konseptual
1.6.1. Kemajemukan dan Perubahan Sosial Masyarakat
Kemajemukan masyarakat Indonesia bukan merupakan konsep dan istilah
baru dalam ranah perkembangan kajian ilmu sosial, J. S. Furnivall setidaknya
telah membicarakan tentang kemajemukan Indonesia sejak masa penjajahan
Belanda di Indonesia. Menurut Furnivall, masyarakat majemuk atau plural
societies yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih element yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaharuan satu sama lain di dalam kesatuan
politik (dalam Nasikun, 2006: 35).
Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan dua cirinya yang bersifat
unik, secara horizontal Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuankesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama adat serta
perbedaan kedaerahan. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia
ditandai dengan adanya lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Pada
masa penjajahan kondisi ini ditunjukkan dengan bentuk stratifikasi dimana eropa
menjadi orang yang berada dalam golongan kelas penguasa, timur tengah
(tionghoa) sebagai golongan menengah dan pribumi sebagai golongan masyarakat
yang paling dasar (Nasikun, 2006: 34).
Dalam konteks struktur masyarakat dewasa ini, Indonesia lebih disibukkan
dengan struktur masyarakat yang bersifat horizontal dimana kehidupan
masyarakat yang tersegmentasi dalam unit-unit etnisitas saling bersaing untuk
menempati kelas pertama dalam rangkaian struktur yang bersifat vertikal.
Beberapa konflik
yang terjadi antar etnis di
Indonesia menunjukkan
15
kecenderungan ini, di Sampit misalnya, konflik antara suku Dayak dan Maduru
juga disebabkan karena adanya dominasi atas sector-sektor pekerjaan yang ada
dikota tersebut sehingga menyebabkan kecemburuan sosial dari masyarakat etnis
Dayak yang merasa sebagai masyarakat yang lebih berhak atas semua akses
tersebut.
Dalam konteks penelitian ini, perbedaan secara horizontal tersebut
ditunjukkan dengan kehidupan dari masyarakat etnis Lampung, Jawa dan Bali
yang mencoba untuk hidup bersama dalam satu wilayah politis yang disebut
kabupaten dan kemudian kegagalan komunikasi dalam masyarakat plural ini
menyebabkan konflik sebagai konsekuensi yang nyata. Namun berbeda halnya
dengan yang terjadi dengan konflik etnisitas yang terjadi di Sampit, konflik yang
terjadi di Desa Balinuraga tidak dapat sepenuhnya dikatakan bentuk perebutan
posisi kelas sosial dalam masyarakat, namun juga tidak menutup kemungkinan
kemudian bahwa ada beberapa pihak yang menganggap pertarungan ini
merupakan sebuah upaya untuk memperebutkan atau meruntuhkan posisi kelas
penguasa.
Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik sebagai
sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yaitu:
1. Terjadinya suatu segmentasi kedalam bentuk kelompokkelompok yang sering kali memiliki sub kebudayaan yang
berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembagalembaga yang bersidat non komplementer.
3. Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya
terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
16
4. Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara
kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling
ketergantungan di bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik antara kelompok satu dengan
kelompok-kelompok lainnya (Nasikun, 2006: 40-41).
Dari enam kriteria sifat dasar yang dijelaskan diatas, tiga poin terakhir
menunjukkan bahwa adanya konflik dalam masyarakat majemuk merupakan
sebuah konsekuensi dari kehidupan bersama masyarakat yang beragam, tak
terlepas halnya dengan kehidupan bersama yang cenderung dipaksakan dan coba
dibangun oleh masyarakat etnis Lampung, Jawa dan Bali dalam satu wilayah yang
relatif kecil yang pada akhirnya menyebabkan konflik dan penyerangan terhadap
masyarakat etnis Bali di Desa Balinuraga pada Oktober 2012.
Dalam ranah kajian ilmu sosial beberapa ahli sosiologi (pendekatan
konflik) smenganggap bahwa konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi intern
dalam masyarakat dapat merupakan sumber bagi terciptanya perubahanperubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial, oleh para penganut
pendekatan konflik tidak sajadipandang sebagai gejala yang melekat dalam
kehidupan setiap masyarakat, akan tetapi lebih dari pada itu bahkan dianggap
bersumber dari dalam faktor-faktor yang ada dalam masyarakat itu sendiri
(Nasikun, 2006: 21).
Dalam penelitian ini, struktur sosial masyarakat dan perubahan sosialnya
menjadi sangat penting dalam upaya memahami perbedaan yang terjadi, sekaligus
menjadi batu estapet penting sebelum mengulas tentang konflik yang terjadi dan
17
akhirnya menganalisis mobilisasi massa dalam konflik dan penyerangan di Desa
Balinuraga.
1.6.2. Relasi Sosial Antara Masyarakat Desa Balinuraga dan Masyarakat
Desa Agom dalam Bingkai Teori Dynamic Of Contention.
Dynamic of contention (Doc) atau Politik Seteru merupakan seikat
pendekatan dan teori dalam memahami isu-isu gerakan sosial masyarakat. DoC
merupakan sebuah proyek besar yang dikembangkan oleh Doug McAdam, Tilly
dan Tarrow dalam memahami fenomena gerakan sosial yang terjadi di berbagai
konteks di sebagian belahan dunia. Namun lebih dari itu, banyak bagian dari DoC
menyangkut apa yang disebut sebagai “transgressive contention” yaitu
perseteruan yang terjadi di luar batas-batas politik formal dan bisa mencakup
protes- protes yang diwarnai kekerasan (Klinken, 2007: 17), sehingga pada
akhirnya teori ini tidak hanya diaplikasikan di ranah gerakan sosial, namun lebih
luas juga di aplikasikan dalam ranah konflik, baik itu yang berbau demokratisasi
maupun nasionalisme.
McAdam, Tilly, dan Tarrow membangun teori DoC berdasarkan lima
belas studi kasus yang mencakup perseteruan-perseteruan non-Barat di antaranya
protes-protes Tienmen pada tahun 1989, perseteruan non- demokrasi seperti
halnya “Huru- Hara” Hindu- Muslim di India, atau gerakan- gerakan di bawah
kondisi-kondisi Negara yang sedang lemah misalnya pemberontakan “Mau- Mau”
di Kenya. DoC sendiri menitikberatkan permasalah pada kerusuhan yang terjadi
diluar kebiasaan dan berada diluar tubuh sebuah organisasi dan lebih melihat
18
fenomena kerusuhan yang terjadi diranah interaksi kolektif dan tidak dapat
diterapkan dalam konteks satu objek ataupun objek yang homogen.
Dalam karya besarnya –DoC- McAdam, Tilly dan Tarrow menjelaskan
bahwa terdapat kurang lebih 44 mekanisme yang dapat dilakukan dalam
menjelaskan dan menganalisis sebuah perseteruan secara jelas, baik itu yang
bersifat demokratis maupun yang berbau nasionalisme. Namun meskipun
demikian, dalam konsep ini, terdapat 5 mekanisme yang paling penting dan paling
fundamental dalam menjelaskan kerusuhan ataupun perseteruan yang terjadi,
diantaranya:
1. Identity Formation (pembentukan Identitas)- bagaimana suatu identitas
bersama berkembang dalam suatu kelompok?
2. Scale shift (atau escalation/ eskalasi)- bagaimana sebuah konflik yang
muncul kecil mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang
jauh lebih banyak?
3. Polarization (Polarisasi)- bagaimana ruang politis antara pihak-pihak yang
saling berseteru meluas ketika para peserta itu saling menjauh dan begeser
ke arah titik-titik ekstrim?
4. Mobilization (Mobilisasi)- Bagaimana orang yang biasanya acuh tak acuh
dapat digerakkan utuk terjun ke jalan?
5. Actor constitution (pembentukan aktor)- Bagaimana sebuah kelompok
yang sebenarnya tidak terorganisir dengan rapi atau politis berubah
menjadi sebuah aktor pilitik tunggal? (Klinken, 2007: 17-18).
Kelima mekanisme diatas dianggap merupakan yang paling fundamental dan
penting dalam menganalisis perseteruan politik. Namun meskipun demikian,
meskipun DoC sendiri merupakan sebuah kerangka teoritik dengan persepektif
gerakan sosial baru, kerangka teoritik ini juga bukan suatu hal yang baru jika
digunakan pula dalam menganalisis beberapa kerusuhan atau konflik- konflik
yang telah terjadi di Indonesia, Garry van Klinken dalam bukunya “Perang Kota
19
Kecil” juga menggunakan kerangka teoritis ini dalam menganalisis fenomena
konflik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggah, Sulawesi ataupun Maluku.
Dalam penelitian ini –rumusan masalah pertama- Relasi Sosial menjadi
analisis penting yang dapat mengantarkan analisis yang lebih konprehensif dan
mendalam dalam memahami pola mobilisasi konflik yang terjadi di Desa
Balinuraga. Dalam konteks Sosiologis sendiri, Relasi Sosial atau Realasi antar
etnis hanya bisa terjadi ketika setiap kelompok etnik terlibat dalam pertukaran
sosial, kerja sama, persaingan dan konflik, serta ketika keterlibatan setiap
kelompok etnis itu dibatasi oleh factor status, peran, kelompok, jaringan interaksi,
dan institusi sosial (Liliweri, 2005: 135).
Selain itu, Max Weber juga menyatakan bahwa, “suatu relasi sosial
disebut komunal jika dan sejauh relasi tersebut memiliki orientasi sosial, di ikuti
oleh tindakan sosial (yang acap kali subjektif) dari semua pihak yang merasa
menjadi bagian atau milik bersama dalam relasi tersebut. Kemudian, suatu relasi
sosial disebut menjadi asosiasional kalau ada tindakan sosial yang rasional
sebagai motivasi untuk memperoleh pengakuan atas kepentingan bersama”
(Liliweri, 2005: 132-133).
Hubungan dan pola interaksi yang terjadi pasca konflik antara masyarakat
etnis Lokal Lampung dan masyarakat etnis Pendatang (Jawa dan Bali) secara
umum, maupun masyarakat Desa Agom dan masyarakat Desa Balinuraga secara
khusus dapat menjadi sebuah deskripsi panjang dalam analisis fenomena konflik.
dari sebuah deskripsi panjang tersebutlah nantinya akan terlihat secara tersirat
bagaimana prograsifitas konflik itu bertumbuh (eskalasi konflik), serta bagaimana
20
dari pola interaksi dan relasi sosial tersebut muncul batas- batas kesukuan karena
melihat adanya perbedaan yang cukup mencolok antara mereka masyarakat etnis
pendatang dan masyarakat etnis lokal Lampung (pembentukan identitas), dan
pada massa pra-konflik yaitu ketika masing-masing masyarakat mulai
bersinggungan secara panas tentang permasalahan ideologis maupun perebutan
materi maka muncullah aktor-aktor konflik yang pada akhirnya berperan masingmasing dalam kelompok masyarakatnya (pembentukan aktor).
Relasi sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini akan meliputi
beberapa elemen penting yang juga menjadi tahapan penting dalam bingkai teori
DoC yaitu meliputi konteks Pembentukan aktor, Pembentukan Identitas masingmasing kelompok (Identity Formation) dan Eskalasi konflik (Scale Shift).
Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas, dalam memahami proses
mobilisasi massa, terdapat 5 tahap yang juga harus diperhatikan agar dapat
menjadi dasar dalam menganalisis mobilisasi massa dalam konflik. Sedangkan
konsep Relasi Sosial dalam penelitian ini, yang menyangkut ketiga komponen
dalam analisis DoC dimaksudkan agar nantinya tidak terjadi keterputusan analisis
dalam menjelaskan serentetan kasus konflik yang sangat kental dengan nuansa
politis ini.
Pembentukan identitas dalam rentetan konflik komunal sendiri menempati
posisi yang sangat penting untuk melihat mesin ataupun penggerak masingmasing kelompok sosial yang sedang berkonflik. Polleta dan Jasper (2001)
menjelaskan bahwa:
“…kita telah mendefinisikan identitas kolektif sebagai hubungan kognitif,
moral, dan emosional individu dengan komunitas, kategori, praktek, atau
21
lembaga yang lebih luas. Identitas merupakan persepsi akan hubungan
atau status kebersamaan yang mungkin sekedar dibayangkan dan tidak
selalu harus dirasakan bersama-sama secara langsung, dan identitas ini
berbeda dengan identitas pribadi meskipun mungkin bagian dari identitas
pribadi.” (Dalam Klinken, 2007: 107 ).
Identitas sendiri terbentuk berdasarkan interaksi yang melintasi batas-batas
identitas kelompok sosial tersebut dan identitas etnis sendiri terbentuk dan
berkembang berdasarkan persaingan bukan melalui isolasi atau keterasingan.
Literature mengenai identitas sendiri memiliki berbagai persepektif dan sudut
pandang diantaranya yang bersifat sosiologis dan yang bersidat psikologis. Secara
sosiologis, bahasan tentang identitas ditempatkan kuncinya pada kerapatan
jaringan sosial yang mewarnai identitas tersebut (interaksi). Sedangkan secara
psikologis, menempatkan perhatiannya tentang identitas pada titik apa yang
orang-orang ketahui (kognisi), dan dalam hal ini identitas yang dimaksudkan oleh
Doug McAdam, Tilly dan Tarrow dalam DoC adalah persepektif sosiologi yang
lebih menekankan pada titik interaksi jaringan sosial identitas kelompok tersebut.
Sedangkan eskalasi konflik yang dimaksudkan dalam Dynamic Of
Contention adalah tentang proses berkembangnya konflik sehingga melibatkan
lebih banyak orang dari masing-masing kelompok. Berbagai macam media dapat
digunakan sebagai wadah untuk memupuk konflik ini menjadi semakin besar,
baik media formal (organisasi kesukuan, ataupun adat, maupun pemerintah)
dimasing- masing kelompok, ataupun media yang bersifat informal (warung kopi,
dsb).
Pada konsep relasi sosial yang terakhir juga akan dibahas secara singkat
tentang bagaimana pembentukan aktor dalam kelompok berkonflik. Pada titik ini,
22
analisis yang dilakukan oleh peneliti haruslah sangat berhati-hati karena meskipun
tahap ini merupakan tahap paling mudah untuk ditemukan dalam penelitian,
namun menjadi tahap yang paling sulit untuk dibuktikan dan dengan pertanggung
jawaban yang lebih berat juga tentunya. Namun pada tahap ini, DoC melibatkan
beberapa “mekanisme” dasar. Pertama, subjek (masyarakat Desa Agom)
menciptakan organisasi-organisasi mereka sendiri untuk memajukan kepentingan
mereka sendiri, atau mengambil alih organisasi yang sudah ada. Dari organisasi
atau pelembagaan ini, selanjutnya menghasilkan “Reportoire” sandiwara aksi
yang inovatif yang punya efek yang kuat bagi lawannya namun juga berpotensi
besar bagi para pendukungnya. Kemudian terjadinya pembedaan (peralihan
identitas) antara kedua kelompok tersebut menjadi gejala selanjutnya dari
kemunculan aktor dalam konflik.
Sebagai sebuah penutup, penulis menyajikan gambaran tentang relasi
sosial masyarakat di Lampung Selatan terutama disekitar Desa Balinuraga dan
Desa Agom. Paparan tentang relasi sosial pasca konflik ini bertujuan untuk
menggantikan paparan tentang polarisasi konflik yang tadinya ingin dipaparkan
sekaligus sebagai salah satu tahap penting dalam kerangka teori yang disajikan
didalam DoC. Polarisasi sendiri sejauh pengamatan dan observasi yang dilakukan
peneliti dilapangan selama rentan waktu 3 bulan tidak ditemukan. Namun
meskipun demikian dalam konteks lain permasalahan ini, aspek polarisasi konflik
masih memungkinkan untuk dibahas dan diamati lebih lanjut.
23
1.6.3. Mobilisasi Massa dalam konflik Balinuraga dari persepektif Dynamic
Of Contention
Dalam menganalisis konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Balinuraga
dan masyarakat Desa Agom, peneliti mencoba meminjam konsep DoC dalam
menganalisis pola mobilisasi yang dilakukan oleh masing- masing pihak ketika
konflik berlangsung. Dengan permasalahan penelitian yang telah diajukan, maka
peneliti akan memfokuskan perhatian pada mekanisme mobilisasi massa yang
disajikan dalam konsep DoC. Namun meskipun demikian, dalam analisisnya nanti
tidak menutup kemungkinan bahwa peneliti juga sedikit banyak akan membahas
tentang actor constitution atau pembentukan aktor, karena tidak menutup
kemungkinan nantinya ketika mencoba untuk memahami pola mobilisasi massa di
masing- masing pihak yang berseteru nantinya juga akan membahas beberapa
mekanisme lain yang telah ada diatas sebagai sebuah kelengkapan dalam mencoba
menganalisis secara mendalam dan menemukan jawaban penelitian secara utuh.
DoC juga menyatakan bahwa terdapat 5 mekanisme dasar dalam memahami
mobilisasi massa, diantaranya. Pertama, sederetan proses- proses perubahan sosial
yang luas mendahului konflik. Kedua, tiap-tiap pihak melihat ancaman datang
dari pihak yang laindan/ atau melihat kesempatan- kesempatan yang
menguntungkan dririnya sendiri. Ketiga, organisasi- organisasi yang sudah ada
diberi tujuan-tujuan baru. Keempat, organisasi- organisasi melancarkan aksi- aksi
kolektif inovatif untuk menentang pihak lain. Kelima, pada gilirannya hal ini
mengarah pada sebuah eskalasi dalam hal rasa ketidakpastian, yang pada
gilirannya kembali memperbesar ancaman atau kesempatan tadi.
24
Konflik yang terjadi antara masyarakat etnis Bali dan masyarakat etnis
Lampung merupakan sebuah manifestasi dari tumpukan- tumpukan ketegangan
yang telah terjadi bertahun- tahun lamanya antara kedua masyarakat etnis ini.
Dengan menggambarkan historisasi konflik yang terjadi, yang telah digambarkan
dalam rumusan masalah pertama penelitian ini, ditujukan agar gambaran tentang
pola komunikasi antar etnis pra- konflik dapat membantu menganalisis motivasi
gerakan maupun masing- masing aktor dalam menggelola konflik ini.
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif, Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami subyek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Pendekatan kualitatif lebih menekankan
penggunaan diri peneliti sebagai alat, dan kepekaan peneliti dibutuhkan agar
mampu mengungkap gejala sosial pada obyek penelitian dengan mengerahkan
segenap fungsi inderanya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus.
Studi kasus merupakan sebuah strategi penelitian dimana didalamnya peneliti
menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, ataupun
sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti
mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini, kasus
25
yang dilihat jelas sangat dibatasi oleh konteks waktu dan aktifitas, penelitian ini
akan melihat tentang proses pengorganisasian massa dan keteribatan actor politis
dalam konflik di desa Balinuraga, sehingga batasan waktu yang dijadikan acuan
adalah pada masa-masa krisis konflik yang terjadi pada November 2012. Metode
ini dapat mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil seperti
perhimpunan, kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi,
studi kasus dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang bersifat
komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya
menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer atau
kekinian (Bungin, 2010: 20).
Pakar metodologi penelitian, Robert Yin (1996) menyebutkan:
“studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki
fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batas-batas
antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tagas; dan di
mana: multi sumber bukti dimanfaatkan. Ia menambahkan, studi
kasus itu lebih banyak berkutat pada atau berupaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan “how’ (bagaimana) dan “why”
(mengapa), serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan
“what” (apa/apakah), dalam kegiatan penelitian.”
Dengan menggunakan metode Studi kasus diharapkan penelitian ini akan
lebih mudah dalam melakukan analisis yang bersifat menggkorelasikan seuatu
fakta dengan fakta lainya untuk membentuk sebuah pemahaman yang utuh
terhadap permasalahan penelitian.
1.7.1. Lokasi/ Setting Penelitian
Konflik merupakan sebuah fenomena sosial yang unik, meskipun konflik
sendiri dianggap sebuah patologi yang pasti terjadi disetiap masyarakat. Namun
bentuk, intensitas konflik memiliki keunikan masing-masing disetiap tempatnya
26
karena akan sangat berkaitan dengan karakteristik atau keragaman masyarakat,
pola komunikasi yang diterapkan dalam suatu masyarakat, ataupun faktor-faktor
geografis tempat tinggal masyarakat tersebut. Sehingga lokasi dalam kajian
konflik memang seringkali tidak dapat disamakan antara satu dengan yang
lainnya. Lokasi atau setting dari penelitian ini adalah di desa Agom serta di desa
Balinuraga Kec. Kalianda (Lampung Selatan), lokasi ini dipilih karena
karakteristik konfliknya yang memang sangat tajam serta keterlibatan kelompok
massa yang terhitung besar.
1.7.2. Kebutuhan dan Jenis Data
A. Data Primer
Data primer merupakan sumber utama penelitian yang langsung berasal
dari objek dan diolah oleh peneliti. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari
hasil pengamatan langsung peneliti dilapangan maupun hasil dari wawancara
mendalam
dengan
informan
penelitian
yang
telah
ditentukan
dengan
pertimbangan keberimbangan data yang akan didapat untuk melakukan analisis.
B. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari pihak lain
untuk kemudian dapat diolah sesuai instrumen pengumpulan data yang dimiliki
sehingga hasilnya dapat melengkapi data primer. Data sekunder ini terutama
digunakan untuk memperkuat dan untuk memverifikasi data yang telah
didapatkan dari informan utama yang telah ditentukan dan telah melakukan
wawancara mendalam. Data sekunder juga diperoleh melalui studi literatur baik
berupa buku, jurnal, penelitian terdahulu, situs internet serta dokumen-dokumen
27
milik desa yang mendukung dan membantu peneliti untuk memperoleh informasi
berkaitan dengan penelitian ini.
1.7.3. Teknik dan Proses Pengumpulan Data
Bukti dan data dalam penelitian studi kasus bisa berasal dari enam sumber,
yaitu: Dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung, dan
perangkat-perangkat fisik (Yin, 2011: 101). Dari data yang dibutuhkan dalam
metode studi kasus, seperti yang telah dijelaskan diatas, maka teknik
pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi:
1. Masuk dan berada langsung di kedua konteks masyarakat untuk
melakukan
pengamatan
langsung
serta
pengamatan
terhadap
perangkat-perangkat fisik sehingga peneliti mendapatkan gambaran
tentang keadaan masyarakat secara umum.
2. Mengumpulkan arsip-arsip ataupun dokumen yang sekiranya dapat
membantu peneliti dalam menganalisis permasalahan, yang dapat
dikumpulkan dari instansi-instansi terkait.
3. Dalam metode penelitian studi kasus, wawancara merupakan salah satu
instrument penelitian yang paling penting dan paling fundamental.
Wawancara dalam penelitian ini akan diawali dengan menggunakan
teknik wawancara sambil lalu dengan tujuan memetakan informan
penelitian yang sesuai dan memadai untuk memberikan informasi yang
dibutuhkan. Ketika informan-informan penelitian telah jelas dan telah
ditentukan, maka peneliti akan menggunakan teknik wawancara
mendalam untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap.
28
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan, yaitu antara
November 2013 hingga Januari 2014. Seperti yang telah dijelaskan pada beberapa
bagian sebelumnya, meskipun dalam penelitian ini kedua kelompok masyarakat
akan menjadi objek kajian namun dalam pelaksanaannya peneliti lebih
menekankan perhatian pada kelompok massa penyerang atau kelompok massa
etnis Lampung karena mereka adalah kelompok massa yang cenderung
melakukan mobilisasi massa sedangkan masyarakat Desa Balinuraga cenderung
merupakan pihak yang pasif.
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menemukan banyak permasalahan
yang salah satunya menyangkut identitas peneliti yang sebenarnya adalah
masyarakat etnis Bali, yang kemudian akan sangat berpengaruh pada keterbukaan
dan akses dalam mengakses data dilapangan. Pada awal penelitian ini, peneliti
mencoba untuk menyembunyikan identitas asli peneliti untuk memudahkan akses
peneliti masuk kedalam komunitas masyarakat etnis Lampung, serta memudahkan
peneliti dalam menciptakan keterbukaan dengan informan peneleitian. Namun
meskipun demikian, rencana tersebut tidak berjalan dengan baik, karena ketika
peneliti melakukan pertemuan pertama dengan kepala desa Agom untuk
mengajukan izin penelitian dan meminta bantuan untuk tempat tinggal selama
melakukan penelitian, kepala desa tersebut mengarahkan peneliti untuk tinggal
didalam salah satu pondok pesantren Islam yang ada di desa tersebut, dan peneliti
menyadari bahwa ketika rencana tersebut tetap dijalankan cepat atau lambat
identitas asli akan tetap dapat diketahui dan akan semakin berbahaya karena akan
dianggap sebagai bentuk penipuan.
29
Identitas peneliti ini juga dapat berimbas dalam hal keamanan peneiti
selama melakukan penelitian dizona masyarakat etnis Lampung, karena bisa saja
masih ada sebagian masyarakat sendiri yang bermasalah dengan masyarakat etnis
Bali atau masih terbawa suasana konflik yang telah terjadi satu tahun sebelumnya.
Untuk itu peneliti mencoba untuk membangun kedekatan personal dengan kepala
desa Agom agar dapat dijadikan akses utama dalam melakukan penelitian ini, dan
sejauh penelitian ini dilakukan upaya tersebut dapat dikatakan berhasil.
Dengan identitas Bali yang dibawa oleh peneliti ini pula kemudian peneliti
tidak mendapatkan akses tempat tinggal didalam komunitas masyarakat etnis
Lampung, dan akhirnya selama melakukan penelitian ini peneliti tinggal di Desa
Bali Koga dengan juga mempertimbangkan akses dan keterkaitan yang masih
sangat memungkinkan.
Sejak awal penelitian ini akan dilaksanakan peneliti menyadari bahwa
kebutuhan data yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penelitian ini mungkin saja
sangat sensitif bagi pihak-pihak yang terlibat. Untuk itu, data-data yang
didapatkan dalam penelitian ini seringkali berawal dari isu yang didapatkan dalam
konteks penelitian sambil lalu atau observasi lapang, dan kemudian melakukan
melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak yang telah dianggap memumpuni dan
memiliki keterbukaan yang baik.
Dalam mekakukan observasi lapangan seorang peneliti dimungkinkan
untuk melakukan mobilitas yang tinggi dan berani serta memuliki kemampuan
untuk memasuki kantung-kantung massa yang mungkin memiliki informasi
terkait konflik yang terjadi di Desa Balinuraga, seperti warung-warung kopi, atau
30
pangkalan-pangkalan ojek karena mayoritas diantara mereka merupakan
masyarakat etnis Lampung.
Banyaknya jumlah massa dan aktor-aktor yang terlibat dalam penyerangan
yang terjadi di Desa Balinuraga membuat bangunan dan kelengkapan data yang
didapat dan disajikan dalam penelitian ini didapat dari potongan-potongan kecil
yang seringkali mengaitkan atau menjawab permasalahan satu sama lain namun
telah dilakukan konfirmasi atau cross check data dengan pihak-pihak lain yang
lebih berkompeten.
1.7.4. Teknik Pengelolaan Data.
Analisis data dalam studi kasus jarang didefiniskan secara tegas dan
kongkret. Namun, mengambil gagasan dari John W. Creswell tentang teknik
menganalisis dalam penelitian kualitatif maka teknik analisis yang digunakan
dalam penulisan penelitian ini akan melalui tiga tahap utama yaitu:
1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini
melibatkan transkrip wawancara, men-scanning materi, mengetik data
lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut kedalam jenis
yang berbeda dan disesuaikan dengan fokus permasalahan dari penelitian
ini.
2. Membaca keseluruhan data. Langkah pertama adalah membangun
general sense atas informasi yang diperoleh dan merefleksikan
maknanya secara keseluruhan. Gagasan umum apa yang terkandung
dalam gagasan partisipan? Pada tahap ini, para peneliti kualitatif
31
terkadang menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum
tentang data yang diperoleh.
3. Menganalisis lebih detail dengan meng-coding data. Coding merupakan
proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan
sebelum memaknainya (Yin, 2011: 135). Dalam penelitian ini, Coding
analisis dibedakan menjadi 4 bagian yaitu Eskalasi, Pembentukan
Identitas, Pembentukan Aktor, dan Mobilisasi Massa.
32
Download