PERKEMBANGAN PENELITIAN SUMBER DAYA LAHAN DAN KONTRIBUSINYA UNTUK MENGATASI KEBUTUHAN LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA D. Djaenudin Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 ABSTRAK Ketersediaan sumber daya lahan pertanian potensial makin terbatas akibat terjadinya konversi dan degradasi lahan. Pemetaan tanah secara progresif merupakan suatu pendekatan yang efektif untuk mencari lahan potensial. Wilayah Indonesia terbentuk dari berbagai formasi geologi (litologi), terrain dan iklim. Wilayah pada bagian barat umumnya beriklim basah, sedangkan di bagian timur beriklim kering. Klasifikasi dan pemetaan tanah, serta evaluasi lahan berkembang mengikuti dinamika dan tuntutan kebutuhan lahan untuk pertanian. Teknologi penginderaan jauh dapat mempercepat pemetaan tanah dan evaluasi lahan, khususnya di kawasan timur Indonesia yang sebagian besar mempunyai fasilitas infrastruktur terbatas. Untuk memberikan informasi mengenai potensi lahan yang bersifat kuantitatif, perlu dilakukan evaluasi lahan yang mencakup aspek fisik dan ekonomi. Pemetaan tanah di provinsi kepulauan langsung ke tingkat semidetail atau detail akan lebih memberikan kontribusi terhadap program pembangunan daerah. Kata kunci: Sumber daya lahan, evaluasi lahan, klasifikasi lahan, kesesuaian lahan, pengembangan pertanian, Indonesia ABSTRACT The development of land resources research and its contribution to exceed requisite of agricultural land in Indonesia The availability of potential agricultural land is limited due to land conversion and degradation. Progressive soil mapping is an effective approach to looking for potential land. Indonesian region is formed from various geology formation (lithology), terrain and climate. West parts generally belong to wet climate, while the east mostly have dry climate. Soil classification, mapping, and land evaluation methods have been developing following persecution of agricultural land requisites. Romote sensing technology could quicken soil mapping and land evaluation, especially for east Indonesian regions which have limited infrastructure facilities. To allow information on quantitative land potentiallity, land evaluation should be carried out including physical and economical aspects. Semidetailed even detailed soil mapping for island province will be more contribute to region development program. Keywords: Land resources, land evaluation, soil classification, land suitability, agricultural development, Indonesia P esatnya pembangunan di berbagai sektor yang berkepentingan dengan ruang, berdampak terhadap makin terbatasnya lahan potensial untuk pengembangan komoditas pertanian, karena alih fungsi lahan pertanian produktif ke penggunaan nonpertanian. Alih fungsi lahan terutama terjadi pada lahan sawah beririgasi yang lokasinya strategis. Menurut data Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2005), alih fungsi lahan sawah di Pulau Jawa pada tahun 1999−2002 mencapai 167.150 ha, dan di luar Jawa 396.009 ha. Menurut data terkini, laju konversi lahan pertanian subur ke nonpertanian men- Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 capai tidak kurang dari 110.000 ha/tahun, bahkan ada yang memprakirakan 145.000 ha/tahun (Sinar Tani 2007). Konversi dan alih fungsi lahan pertanian produktif akan selalu terjadi selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mampu mengatasinya. Untuk melindungi eksistensi lahan pertanian, sebagaimana diatur dalam RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi (LPPA), penggunaan lahan khususnya untuk pengembangan pertanian harus dilakukan berdasarkan kesesuaian dan potensinya. Penciutan lahan potensial juga disebabkan oleh erosi dan longsor, serta pencemaran lingkungan. Lahan yang terdegradasi pada tahun 1993 mencapai 18 juta ha (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2005), dan pada tahun 2003 menjadi 23,20 juta ha, atau dalam waktu 10 tahun terjadi peningkatan 5,20 juta ha (Baja 2005). Degradasi sumber daya lahan dan hutan berkisar antara 2,50− 2,80 juta ha/tahun (Sinar Tani 2007). Terjadinya degradasi lahan berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya serta tidak memperhatikan aspek konservasi lahan. Data dan informasi tentang keberadaan lahan, baik yang potensial maupun yang marginal atau suboptimal, termasuk 137 lahan terdegradasi, secara spasial berikut kendala, teknologi, dan manajemen yang diperlukan dapat diketahui melalui penelitian potensi sumber daya lahan, dalam hal ini pemetaan tanah dan evaluasi lahan, yang akurasinya sangat ditentukan oleh tingkat pemetaannya (Rossiter dan Wambeke 1997). Artikel ini mengulas perkembangan penelitian sumber daya lahan dan kontribusinya dalam mengatasi kebutuhan lahan pertanian di Indonesia. PERANAN DATA SUMBER DAYA LAHAN Data potensi sumber daya lahan yang diperlukan untuk perencanaan program pembangunan pertanian tidak hanya dalam bentuk tabular, tetapi juga dalam bentuk spasial. Pemetaan tanah dan evaluasi sumber daya lahan secara progresif merupakan suatu pendekatan yang efektif untuk mencari dan mengetahui lahan potensial maupun yang tidak potensial, berikut kendala dan luas penyebarannya secara spasial. Tahapan kegiatan pemetaan tanah meliputi: 1) analisis landform untuk mendelineasi satuan lahan melalui interpretasi foto udara atau citra landsat, 2) identifikasi dan karakterisasi sifat fisik dan morfologi tanah di lapang, dan 3) analisis sifat fisika, kimia, dan mineral contoh tanah dan air yang representatif di laboratorium. Data hamparan lahan berupa polipedon terdiri atas satuan peta tanah, yang disusun berdasarkan komponen utama landform dan klasifikasi tanah digunakan sebagai unit evaluasi lahan. Data hasil evaluasi lahan yang dilengkapi dengan data penggunaan dan status lahan digunakan sebagai dasar dalam menyusun arahan pengembangan komoditas. Dalam pemetaan tanah, keragaman sifat tanah dan biofisik lingkungannya harus dapat dideskripsi dan didelineasi secara akurat. Data hasil pemetaan tanah pada tingkat dan skala berapa pun, mulai dari tingkat tinjau skala 1 : 250.000 sampai tingkat detail skala 1 : 10.000, sulit untuk diaplikasikan pengguna karena sifatnya masih berupa data dasar (FAO 1999). Untuk mengetahui potensi dan kendala serta kebutuhan input-nya, data hasil pemetaan tanah harus ditindaklanjuti dengan evaluasi lahan. Suatu komoditas pertanian untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal memerlukan kualitas dan karak138 teristik lahan serta manajemen tertentu (FAO 1976; Djaenudin et al. 2003). Sering terjadi suatu komoditas yang diusahakan di suatu wilayah secara vegetatif dapat tumbuh dengan subur, tetapi tidak mampu berproduksi optimal karena persyaratan tumbuh generatifnya tidak terpenuhi oleh lahan dan belum adanya teknologi terapan untuk mengatasi kendala yang dihadapi. Oleh karena itu, pengertian lahan marginal dan pengelolaannya tidak dapat diberlakukan secara umum, bergantung pada jenis komoditas yang diusahakan dalam kaitannya dengan persyaratan tumbuhnya (Djaenudin 1993). Penentuan arahan program pembangunan pertanian harus didasarkan pada kesesuaian dan potensi serta ketersediaan lahan. Oleh karena itu, pengumpulan data penggunaan lahan berikut statusnya merupakan bagian dari kegiatan pemetaan tanah. Dengan diketahuinya sebaran lahan, baik yang potensial maupun yang bermasalah berikut kendala dan kebutuhan input-nya, pengembangan pertanian akan lebih terarah dan efisien. Pengusahaan suatu komoditas dengan teknologi yang sesuai dengan kondisi lahan akan mampu memperoleh hasil yang optimal dan berkualitas prima dengan input yang relatif rendah, sehingga produk yang dihasilkan berdaya saing. Wilayah Indonesia terbentuk dari berbagai formasi geologi (litologi), terrain, dan iklim, yang merupakan faktor utama pembentuk tanah dan sangat menentukan potensinya untuk pertanian. Lapukan batuan akan menghasilkan kualitas tanah dan jenis mineral tertentu sebagai sumber hara alami atau unsur toksik bagi tanaman. Batuan metamorf dari kelompok skis, misalnya, menghasilkan mineral muskovit dan biotit yang merupakan sumber hara kalium. Di lain pihak, batuan ultrabasis dan peridotit yang banyak terdapat di daerah Malili dan Soroako, Sulawesi Selatan, serta di daerah Pomala dan Kolaka, Sulawesi Tenggara, mengandung nikel, kobalt, magnesium, dan logam berat lainnya dalam kadar yang berlebihan, sehingga berpengaruh buruk bagi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki dua kondisi iklim yang berbeda. Kawasan barat Indonesia (KBI) umumnya beriklim basah, yang berdampak terhadap pH tanah yang masam dan kejenuhan basa yang rendah. Sebaliknya, kawasan timur Indonesia (KTI) umumnya beriklim kering, sehingga pH tanahnya netral sampai alkali, dan kejenuhan basanya tinggi. Namun itu semua bergantung pada jenis dan sifat batuannya. Di daerah tropis, suhu udara dan curah hujan sangat berperan dalam proses pelapukan batuan dan pembentukan tanah. Di dataran tinggi dengan suhu udara rendah, proses pelapukan berlangsung lambat, yang di sisi lain berdampak positif karena kesuburan tanah akan ”terawetkan”, namun karena berlereng curam dan tanahnya labil rentan terhadap longsor sehingga penggunaannya sangat terbatas. Potensi terjadinya erosi dan longsor tidak hanya ditentukan oleh lereng, curah hujan, dan penggunaan lahan, tetapi juga oleh tipe mineral liat tanahnya. Tanah dengan tipe mineral liat 2 : 1 dari grup montmorilonit sangat labil dan peka erosi dibandingkan dengan tanah yang tipe mineral liatnya 1 : 1 dari grup kaolinit (Reeuwijk 1983; Wilding et al. 1983). Luas daratan Indonesia mencapai 188,20 juta ha dan yang potensial 94,10 juta ha, yaitu untuk pertanian lahan basah 25,40 juta ha, tanaman semusim lahan kering 25,10 juta ha, dan tanaman tahunan 43,60 juta ha. Dari luas total lahan basah yang potensial, 8,50 juta ha telah menjadi sawah, sehingga yang masih tercadang sekitar 16,90 juta ha, yaitu 3,50 juta ha berupa lahan rawa dan 13,40 juta ha lainnya nonrawa. Lahan potensial untuk pertanian lahan kering tersedia 68,64 juta ha, yaitu untuk tanaman semusim 25,09 juta ha dan untuk tanaman tahunan 43,55 juta ha. Lahan yang masih tersedia untuk ekstensifikasi diperkirakan sekitar 22,39 juta ha, yaitu untuk tanaman semusim 7,08 juta ha dan tanaman tahunan 15,31 juta ha (IAARD 2007). Lahan kering potensial tercadang untuk tanaman semusim di Kalimantan Timur menempati luas 1,89 juta ha dan di Papua 1,69 juta ha. Untuk tanaman tahunan, di Papua tersedia 2,79 juta ha, Kalimantan Tengah 2,66 juta ha, Kalimantan Timur 2,43 juta ha, dan Kalimantan Barat 1,77 juta ha. Data tersebut masih bersifat umum, sehingga untuk mengetahui luas lahan secara pasti perlu dilakukan pemetaan secara detail. Berdasarkan agroekosistemnya, wilayah Indonesia dibedakan atas: 1) dataran rendah, elevasi < 500 m dpl., 2) dataran menengah, elevasi ≥ 500−700 m dpl., dan 3) dataran tinggi, elevasi > 700 m dpl. Agroekosistem dataran rendah mencakup lahan rawa dan nonrawa. Lahan rawa, termasuk gambut, luasnya mencapai Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 25,29 juta ha, dan lahan nonrawa 48,74 juta ha. Penyebarannya yang cukup luas terdapat di Sumatera, Kalimantan, sebagian Sulawesi, dan Papua terutama bagian selatan. Di Pulau Jawa dan Madura, Nusa Tenggara, dan Maluku tidak terdapat rawa gambut yang luas, karena bentukan dataran pantainya ”kaku” dan berlereng sehingga berpengaruh terhadap pembentukan dataran di ”belakangnya”. Agroekosistem lahan rawa dapat dibedakan atas lahan rawa gambut pedalaman, rawa lebak, dan rawa pasang surut. Potensi lahan gambut untuk pertanian sangat bergantung pada jenis vegetasi dan substratumnya atau tanah bagian dasar, serta kondisi daerah hinterland-nya (Djaenudin dan Sudjadi 1987a). Gambut yang mendapat sisipan mineral berpotensi untuk pertanian, yaitu gambut topogen. Gambut yang mengandung bahan sulfidik, jika didrainase berlebihan akan teroksidasi dan membentuk lapisan pirit dan/atau jarosit yang bersifat toksik bagi tanaman. Kasus seperti ini pernah terjadi pada tahun 1983 di lokasi transmigrasi Pangkoh, Kalimantan Tengah. Dalam kondisi ekstrim kering, gambut akan berubah wujud menjadi pasir semu (pseudosand) yang sangat peka terhadap erosi angin. Jika kembali tergenang, gambut akan mengapung sehingga tidak dapat berfungsi sebagai media tumbuh tanaman. Tanah gambut memiliki bulk density yang sangat kecil (< 1) sehingga daya sangganya sangat rendah. Akibatnya, tanaman jenis pepohonan setelah mencapai umur tertentu pertumbuhannya akan miring atau roboh (Djaenudin dan Suwardjo 1987). Gambut pedalaman di bagian kubah (peat dome) tidak pernah mendapat pengkayaan bahan mineral, sehingga tidak berpotensi untuk pertanian. Gambut ini dikenal sebagai gambut ombrogen, dan keberadaannya harus dilestarikan sebagai kawasan lindung dan penyangga serta reservoir air. Menurut Suhardjo et al. (2000), luas rawa lebak di Indonesia mencapai 669.700 ha, yang dari aspek lingkungan sangat berperan sebagai pengendali luapan air banjir, dan dari aspek sumber daya merupakan lahan tercadang. Luas rawa pasang surut yang potensial untuk tambak sekitar 745.500 ha. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2005) yang telah digunakan 538.871 ha, sehingga untuk pengembangan tersedia 206.629 ha. Lahan dataran rendah nonrawa yang luasnya mencapai 48,70 juta ha, terutama Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 terdapat pada landform dataran aluvial, aluvio-koluvial, kipas aluvial, eolian, dan dataran volkan (Desaunettes 1977). Lahan tersebut tidak pernah terkena pengaruh genangan air. Kalaupun terjadi banjir, sifatnya sesaat sehingga air tidak tertahan atau terbentuk rawa. Agroekosistem dataran menengah merupakan wilayah transisi antara dataran tinggi dan dataran rendah, luasnya 61,16 juta ha. Wilayah yang topografinya berombak sampai bergelombang seluas 24,29 juta ha berpeluang untuk pengembangan tanaman tahunan dan/atau tanaman pangan semusim dengan konservasi teras. Sementara itu, wilayah berbukit berlereng curam yang luasnya mencapai 36,87 juta ha diprioritaskan untuk kawasan hutan konservasi atau lindung. Pada agroekosistem dataran tinggi, bentukan terrain-nya dipengaruhi oleh proses volkanik, lipatan, patahan atau angkatan, bergantung pada proses geologi dan litologinya. Luasnya mencapai 53 juta ha. Di daerah pegunungan, terutama yang landform-nya berupa plateau, ditemukan adanya land facet yang topografinya datar atau mendatar dan Gambar 1. Dataran gambut yang akan dibuka untuk pertanian. Gambar 2. Dataran rendah nonrawa. 139 PERKEMBANGAN PENELITIAN SUMBER DAYA LAHAN Gambar 3. Lahan dataran tinggi dan menengah. Gambar 4. Lahan dataran tinggi berlereng curam tidak sesuai untuk pertanian tanaman semusim sensitif terhadap longsor. potensial untuk hortikultura (Kips et al. 1981). Lahan yang terbentuk melalui proses volkanik mempunyai lereng ”tunggal” sehingga mudah dikelola, termasuk untuk membangun jaringan jalan dan irigasi. Pada elevasi > 900 m dpl., akan ditemukan tanah Andisols atau tanah lainnya dari 140 subgroup andic, dengan ciri tanahnya dalam, tekstur ringan, remah dan gembur sehingga mudah diolah. Penciri lainnya adalah retensi fosfat tinggi sehingga tanaman sulit menyerap fosfat. Namun, di balik itu ada keuntungannya, yaitu fosfat dalam tanah ”dapat dihemat” (Djaenudin dan Sudjadi 1987b). Penelitian potensi sumber daya lahan bertujuan untuk: 1) mengetahui kualitas dan karakteristik lahan serta potensinya, 2) menentukan strategi pengembangan wilayah, dan 3) menetapkan teknologi pengelolaannya. Iptek penelitian sumber daya lahan dicirikan oleh perkembangan sistem klasifikasi tanah, teknologi informatika, ilmu tanah, serta dinamika dan tantangan kebutuhan data dan informasi potensi lahan. Klasifikasi tanah dikenalkan Mohr pada tahun 1910 yang didasarkan pada proses pembentukan dan genesisnya (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000). Selanjutnya, pada Kongres Nasional Ilmu Tanah tahun 1961, Soepraptohardjo mengenalkan sistem klasifikasi tanah berdasarkan morfogenetik. Menurut sistem ini, di Indonesia terdapat 21 jenis tanah, dan jenis tanah yang sangat luas penyebarannya adalah Latosol yaitu 84,63 juta ha, Podsolik Merah Kuning 45,79 juta ha, Aluvial dan Regosol 18,01 juta ha, dan Organosol 13,20 juta ha, sedangkan yang luasannya relatif kecil adalah Podsol 2,16 juta ha dan Grumusol 2,12 juta ha (Soepraptohardjo 1961. Podsol merupakan satu-satunya tanah yang tidak berpotensi untuk pertanian. Sebarannya yang paling luas terdapat di Kalimantan Tengah, yaitu mencapai 1,51 juta ha (Subagyo et al. 2000). Sejak tahun 1975, dirintis penggunaan klasifikasi tanah sistem Soil Taxonomy, yang bersifat kuantitatif morfometrik. Menurut sistem klasifikasi tanah ini, di Indonesia terdapat 11 ordo tanah (soil order). Ordo tanah yang sangat luas sebarannya adalah Inceptisols yang mencapai 70,52 juta ha, Ultisols 45,79 juta ha, Entisols 18,01 juta ha, Oxisols 14,11 juta ha, dan Histosols 13,20 juta ha. Berdasarkan penciri sifat fisik, morfologi, kimia, dan mineralnya, setiap ordo diklasifikasikan lagi pada kategori yang lebih rendah, yaitu suborder, greatgroup, subgroup, soil family sampai soil series (Soil Survey Staff 2003). Sistem Soil Taxonomy mempunyai keunggulan untuk keperluan interpretasi dan manajemen, namun implementasinya cukup rumit. Pemetaan tanah di Indonesia dimulai pada tahun 1890 untuk mencari tanah yang potensial untuk perkebunan. Sampai Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 tahun 1942, wilayah Indonesia yang telah dipetakan mencapai 14 juta ha. Pemetaan tanah tingkat tinjau secara intensif dimulai pada tahun 1970-an atau pada awal Repelita I dengan tujuan menyiapkan data potensi lahan untuk mendukung program perluasan areal pertanian. Pada periode 1985−1989 dilakukan pemetaan tanah di seluruh Pulau Sumatera melalui Land Resources Evaluation and Planning Project Fase I (LREPP I) dengan tujuan untuk menyusun basis data tanah bagi keperluan evaluasi lahan. Pemetaan tanah tingkat tinjau mendalam dilakukan untuk pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan daerah tangkapan hujan di sekitar waduk atau danau, antara lain telah dilakukan di DAS Cimanuk, DAS Citarum, DAS Solo bagian atas, dan DAS Sekampung. Pemetaan tanah tingkat semidetail telah dilakukan untuk pembukaan areal perkebunan dan persawahan pasang surut melalui Proyek Pembuatan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pada tahun 1979−1983 pemetaan dilakukan melalui Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT) untuk pembukaan lahan transmigrasi. Pada periode 1991−1997, melalui LREPP II telah dipetakan lokasi prioritas di sebagian wilayah KBI dan seluruh provinsi di KTI. Pemetaan tanah tingkat detail telah dilakukan untuk mendukung Upland Agricultural Conservation Project (UACP) di DAS Brantas hulu dan DAS Jratunseluna pada tahun 1987−1989. Selama periode 1955−2006, luas wilayah yang telah dipetakan pada tingkat tinjau mencapai 67%, sedangkan pada tingkat semidetail dan detail baru sekitar 13%. Peta sumber daya lahan yang meliput seluruh wilayah Indonesia tersedia pada tingkat eksplorasi, skala 1:1000.000. Peta tersebut terdiri atas tiga tema berbentuk atlas, yaitu: 1) Atlas Sumberdaya Tanah, 2) Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian, dan 3) Atlas Pewilayahan Komoditas Pertanian. Informasi yang terdapat pada tiga tema atlas tersebut baru memberikan gambaran awal mengenai potensi sumber daya lahan wilayah Indonesia (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006). Kegiatan pemetaan tanah sebelum tahun 1970-an dilakukan secara konvensional, sedangkan pada periode berikutnya menggunakan analisis terrain melalui interpretasi foto udara. Selanjutnya, pemetaan berkembang dengan menggunakan citra satelit, dan peranan peta topoJurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 grafi diganti dengan peta rupabumi digital dan peta digital elevation model (DEM). Untuk mengantisipasi kebutuhan data potensi sumber daya secara spasial yang makin kompleks, pemetaan tanah harus dapat dilakukan secara cepat, tetapi data yang dihasilkan tetap akurat. Inventarisasi dan identifikasi potensi sumber daya lahan melalui pemetaan tanah akan dapat dilaksanakan secara efisien dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Perekaman data sumber daya lahan dengan menggunakan alat pengindera atau sensor jarak jauh akan menghasilkan data inderaja (Lillesand dan Keifer 1994). Alat tersebut tidak hanya mampu merekam data keadaan permukaan lahan, relief atau topografi dan vegetasi penutup tanah, tetapi juga bagian lapisan bawahnya (land subsurface), yaitu ”tubuh” tanah dan sifat batuannya. Selain itu, perubahan penggunaan lahan yang sangat dinamis dapat dipantau secara akurat. Oleh karena itu, hasil analisis terrain dari data citra landsat dapat mempercepat dan mempermudah pelaksanaan pemetaan tanah dan evaluasi lahan, sehingga menghemat waktu dan biaya. Pengembangan sensor radar optik pada satelit memberikan peluang untuk dapat memprediksi potensi sumber daya lahan di seluruh wilayah Indonesia. Di wilayah yang derajat keawanannya tinggi sehingga kondisinya sering tertutup awan atau sulit dijangkau dan diinvestigasi di lapang, dengan citra dan teknologi penginderaan jauh akan dapat diatasi. Teknologi penginderaan jauh sangat sesuai untuk pemetaan tanah dan evaluasi lahan, terutama di wilayah KTI. Pada kawasan tersebut kendala kondisi wilayah yang sebagian besar masih berupa hutan dan keterbatasan infrastruktur, dengan teknologi penginderaan jauh dapat dieliminasi. Untuk mengetahui koordinat lokasi dan tempat pengamatan di lapang secara pasti digunakan global positioning system (GPS). Contoh pemetaan tanah dan evaluasi lahan dengan menggunakan citra landsat dan teknologi penginderaan jauh disajikan pada Gambar Lampiran 1. Kemudahan lain yang dapat diperoleh dari pemanfaatan citra satelit untuk pemetaan tanah adalah dari aspek cakupan wilayahnya. Setiap lembar atau scane citra mampu meliput wilayah yang sangat luas, yaitu sekitar 3.422.500 ha (185 x 185 km2), sehingga sangat ekonomis digunakan dalam pemetaan tanah. Selain itu untuk wilayah yang belum tersedia peta dasar berskala memadai, citra satelit (landsat) dapat digunakan karena skala citra sangat mudah untuk disesuaikan atau scale adjusted (Hardjowigeno 1981). Agar hasil pemetaan tanah dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan pertanian, harus diikuti dengan evaluasi lahan. Sebelum tahun 1995, evaluasi lahan masih dilakukan secara manual, namun kini dilakukan secara komputerisasi antara lain dengan program automated land evaluation system (ALES) (Rossiter dan Wambeke 1997). ALES mampu mengolah data dalam jumlah banyak secara cepat, dan menyediakan fasilitas untuk evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi. Untuk keperluan evaluasi lahan, pada tahun 2003 Balai Penelitian Tanah telah menerbitkan buku Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan yang memuat kriteria kelas kesesuaian lahan untuk 112 jenis komoditas pertanian, termasuk peternakan dan perikanan yang berbasis lahan (Djaenudin et al. 2003). Kelas kesesuaian lahan secara ekonomi dapat ditetapkan berdasarkan: 1) pendapatan kotor (gross margin, GM); 2) nilai bersih akhir usaha (net present value, NPV), dan 3) rasio keuntungan terhadap biaya (benefit-cost ratio, B/C). Untuk komoditas tanaman tahunan dengan waktu pengusahaan cukup lama, B/C tidak dipakai, tetapi digunakan tingkat pengembalian modal (internal rate of return, IRR). Hasil evaluasi lahan secara ekonomi bersifat kondisional atau bergantung pada situasi dan peluang pasar yang sewaktu-waktu dapat berubah. Namun setiap terjadi perubahan data input dan/atau output, ALES dapat mengantisipasinya secara cepat. Penelitian evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi dengan asumsi menggunakan input tingkat sedang telah dilakukan untuk usaha tani secara time series antara padi sawah, jagung, tembakau, dan kedelai di daerah Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Untuk penanaman jagung secara tumpang sari dengan kacang tanah atau rotasi dengan kacang hijau dilakukan di daerah Paguyaman, Kabupaten Buolemo, Gorontalo (Djaenudin dan Hendrisman 2006). Untuk tanaman pangan dan perkebunan dilakukan di daerah Tanjungbintang, Lampung Selatan (Djaenudin et al. 2006), dan untuk perkebunan lada di Kecamatan Sungai Selan-Koba, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Contoh peta kesesuaian lahan secara ekonomi disajikan pada Gambar Lampiran 2. 141 Pada tahun 2007, penelitian evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi telah dilaksanakan di tiga lokasi, yaitu di Kecamatan Kurik-Semangga Kabupaten Merauke, di dataran Waeapo Kabupaten Buru, dan di dataran Pasahari, Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah. Dari indikator RCR dan BCR, di ketiga lokasi tersebut, tipe penggunaan lahan dengan menanam padi sawah dua kali tanam dilanjutkan dengan jagung atau kedelai satu kali tanam, memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan padi sawah tiga kali tanam, yang berarti tidak ada kesempatan untuk menanam palawija. STRATEGI PEMETAAN TANAH Peluang pengembangan komoditas pertanian di wilayah KBI sangat terbatas, sementara di KTI lahan untuk pengembangan masih berlimpah. Namun data sumber daya lahan yang rinci di sebagian besar wilayah tersebut belum banyak diketahui, sehingga pemetaan tanah harus diarahkan ke kawasan ini. Dibandingkan dengan provinsi lainnya di KTI, di wilayah Maluku dan Papua masih terdapat lahan yang belum dimanfaatkan. DAS Mamberamo di Papua, misalnya, yang luasnya sekitar 7,50 juta ha, sebagian besar belum tersentuh pembangunan pertanian sehingga perlu diteliti potensi dan peluang pengembangannya (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1992). Dengan wilayah yang sangat luas serta infrastruktur dan SDM yang terbatas, strategi penelitian sumber daya lahan di wilayah KTI perlu diarahkan ke lokasi prioritas dan berpotensi. Pendekatan yang efektif dan efisien adalah melalui analisis citra landsat dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, didukung oleh data litologi, iklim, dan tanah yang telah tersedia dengan sistem ekstra- dan interpolasi. Di Indonesia terdapat 75,25 juta ha tanah marginal, yang terdiri atas Ultisols 45,79 juta ha, Oxisols 14,11 juta ha, Histosols 13,20 juta ha, dan Spodosols 2,15 juta ha (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000). Dengan input dan teknologi, tanah marginal dapat ditingkatkan kualitas dan potensinya, kecuali Spodosols yang berupa tanah pasir kuarsa sisa akhir pelapukan. Sebaran tanah marginal yang tersedia dan berpeluang untuk pengembangan komoditas pertanian adalah: 1) Ultisols di Kalimantan dengan luas 21,94 juta ha, di Maluku dan Papua 8,86 juta ha, dan di Sulawesi 4,30 juta ha, 2) Oxisols di Kalimantan luasnya 4,53 juta ha, dan di Maluku dan Papua 2,66 juta ha, dan 3) Histosols di Kalimantan 4,45 juta ha dan di Papua 2,04 juta ha. Telah menjadi kesepakatan bahwa untuk tingkat provinsi, pemetaan harus dilakukan pada tingkat tinjau dan untuk kabupaten pada tingkat semidetail. Namun, dalam implementasinya perlu mempertimbangkan aspek geografis, infrastruktur, dan manfaatnya. Untuk provinsi yang wilayahnya berupa kepulauan, pemetaan langsung ke tingkat semidetail atau detail akan memberikan dukungan yang lebih aplikatif terhadap program pembangunan daerah. KESIMPULAN DAN SARAN Desaunettes, J.R. 1977. Catalogue of Landforms for Indonesia. Examples of Physiographic Approach to Land Evaluation for Agricultural Development. Soil Research Institute, Bogor and FAO, Rome. Djaenudin, D. dan Suwardjo. 1987. Evaluasi lokasi transmigrasi bermasalah di daerah Pangkoh, Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian VI(3): 73−79. Konversi dan degradasi lahan merupakan penyebab utama makin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian. Pemetaan tanah dan evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan yang efektif untuk mengetahui dan mencari lahan pertanian pengganti yang berpotensi secara spasial serta kebutuhan input-nya. Wilayah Indonesia terdiri atas berbagai agroekosistem yang mempunyai kualitas dan potensi lahan yang beragam. Uraian tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor litologi, iklim, dan tanah. Aplikasi teknologi penginderaan jauh dapat mempercepat proses pemetaan tanah dan evaluasi lahan untuk mengatasi kebutuhan data yang mendesak. Hasil evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan arah kebijakan pengembangan komoditas unggulan. Lahan yang masih tersedia dan berpeluang dikembangkan untuk pertanian terdapat di Papua, Maluku, dan Maluku Utara. Untuk melengkapi data potensi lahan yang masih terbatas, pemetaan tanah dan evaluasi lahan pada skala operasional harus lebih diprioritaskan ke wilayah ini. Agar dapat memberikan kontribusi terhadap program pembangunan daerah, pemetaan tanah dan evaluasi lahan di wilayah provinsi kepulauan sebaiknya dilakukan langsung pada tingkat semidetail atau detail. Pemetaan tanah dan evaluasi lahan karena akan menyangkut kepentingan pembangunan daerah, oleh karena itu, kegiatan tersebut seyogianya dijadikan program bersama antara pusat dan daerah. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Baja, S. 2005. The Use of Remote Sensing Technology for Agricultural Development Planning, South Celebes Case Study. Tech. and Applic. Conference Toward Competitive ASEAN, Jakarta 5−6 Agustus 2005. Indonesian Agency for the Assessment and Aplication of Technology, Jakarta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2006. Karakterisasi dan Evaluasi Potensi Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Pengembangan Pertanian di Provinsi Kalimantan Barat. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. 142 Djaenudin, D. dan M. Sudjadi. 1987a. Sumberdaya lahan pertanian tercadang di empat pulau besar dalam menghadapi tahun 2000. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian VI(3): 55−61. Djaenudin, D. and M. Sudjadi. 1987b. Andisols in Indonesia. A Case Study in Two Catenas of Cikajang and Cikole Areas, West Java. p. 463−476. Proc. of the 9th International Soil Classification Workshop, Japan. Djaenudin, D. 1993. Lahan marginal, tantangan, dan pemanfaatannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XII(4): 79−86. Djaenudin, D., H. Marwan, A. Hidayat, dan H. Subagyo. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Djaenudin, D. dan M. Hendrisman. 2006. Evaluasi lahan secara kuantitatif: Studi kasus pada tanaman jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah Paguyaman, Provinsi Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 Gorontalo. Jurnal Tanah dan Lingkungan 7(1): 27−34. Djaenudin, D., M. Hendrisman, dan Z. Zaini. 2006. Penelitian kesesuaian lahan tanaman pangan dan perkebunan: Studi kasus di daerah Tanjung Bintang, Provinsi Lampung. Jurnal Tanah Tropika 12(1): 61−68. FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soils Bulletin No. 12. FAO, Rome. FAO. 1999. Land Evaluation and Farming System Analysis for Land Use Planning. FAO Working Document. 3rd Edition. FAO, Rome. Hardjowigeno, S. 1981. Perkembangan Survei dan Pemetaan Tanah di Indonesia. Seminar Ikatan Surveyor Indonesia di IPB Bogor (unpublished). IAARD. 2007. Prospect and Direction of Agricultural Commodities Development; An Observation of Land Resources Aspect. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, Jakarta. Kips, A., D. Djaenudin, and N. Suharta. 1981. The Land Unit Approach to Land Resources Surveys for Land Use Planning with Particular Reference to the Sekampung Water- Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 shed, Lampung Province, Sumatra, Indonesia. AGOF/INS/78/006. FAO/UNDP Technical Note No.11. Center for Soil Research, Bogor. Lillesand, T.M. and R.W. Keifer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc., USA. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1992. Kemungkinan Pengembangan Daerah Aliran Sungai Mamberamo di Provinsi Irian Jaya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah Indonesia 1905−2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Reeuwijk, Van L.P. 1983. Introduction to Physico-Chemical Aspects. Lecture Note. International Institute for Aerial Survey and Earth Sciences ITC, Enschede the Netherlands. Rossiter, D.G. and A.R. Van Wambeke. 1997. Automated Land Evaluation System ALES Version 4.65d, User’s Manual. Dept. Soil Crop and Atmospheric Science, Cornel Univ. Ithaca NY. Sinar Tani. 2007. RUU Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi. Sinar Tani, 10 Juli, 2007. hlm. 10. Soepraptohardjo, M. 1961. Sistem Klasifikasi Tanah di Balai Penyelidikan Tanah. Kongres Nasional Ilmu Tanah I, Bogor. Soil Survey Staff. 2003. Key to Soil Taxonomy. USDA, Washington DC. Subagyo, H., N. Suharta, dan A. B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Suhardjo, H., Suratman, T. Prihatini, dan S. Ritung. 2000. Lahan Pantai dan Pengembangannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Wilding, L.P., N.E. Smeck, and G.F. Hall. 1983. Pedogenesis and Soil Taxonomy. Concepts and Interactions. Dev. Soil Sci 11A. 143 Legenda Satuan lahan Luas Arahan pengembangan komoditas ha % 1 Rawa pasang surut (tidal swamp), untuk kawasan hutan mangrove, dan berpotensi untuk perikanan air payau 4.215 6,86 2 Rawa belakang (back swamp), untuk pertanian lahan basah padi dan sagu, serta perikanan air tawar 1.437 2,34 3 Teras marin (marine terrace), berpotensi untuk pertanian 3.696 tanaman pangan semusim lahan kering padi gogo, kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau, dan tanaman hortikultura buah-buahan pisang, durian, rambutan, manggis, mangga, serta tanaman perkebunan cengkih, pala, kakao, dan kelapa 6,01 4 Kipas aluvial (alluvial fan) melandai, berpotensi untuk pertanian irigasi (sawah) dan palawija karena terdapat sungai berair sepanjang tahun 7.292 11,86 5 Kaki perbukitan tertoreh (dissected foothill), berpotensi untuk pertanian konservasi tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah (land cover) 7.916 12,88 6 Lungur volkan tertoreh (dissected volcanic ridge), untuk hutan konservasi 8.385 13,64 7 Pegunungan volkan sangat tertoreh (strongly dissected volcanic mountain), untuk hutan lindung 28.523 46,41 Gambar Lampiran 1. Peta arahan pengembangan komoditas. 144 Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 Legenda Indikator ekonomi Kelas kesesuaian lahan secara ekonomi tanaman lada dan masing-masing kisaran nilainya S1 S2 S3 N1 GM (Rp) 21.679.663− 23.910.883 10.841.207− 20.085.883 4.785.833 957.177 NPV (Rp) 101.826.020− 91.953.057 44.789.810− 84.900.940 17.200.622 3.440.124 1,44 < 1,44 B/C (%) 3,34−3,60 2,88−3,16 IRR (%) 220,85−240,91 145,83−206,42 57,74 nr S1 = sangat menguntungkan, S2 = menguntungkan, S3 = marginal menguntungkan, N1 = secara ekonomi tidak menguntungkan, nr = tidak relevan. Gambar Lampiran 2. Peta kesesuaian lahan secara ekonomi. Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008 145