GAMBARAN C-REAKTIF PROTEIN PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RSUD dr.SOEKARDJO TASIKMALAYA TAHUN 2016 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan Pada Program Studi D3 Analis Kesehatan Oleh : KIKI SITI AHMARITA NIM. 13DA277024 PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 GAMBARAN C-REAKTIF PROTEIN PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RSUD dr. SOEKARDJO TASIKMALAYA TAHUN 20161 Kiki Siti Ahmarita2 Dewi Kania3 Atun Farihatun4 INTISARI Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi menular pada paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pemeriksaan CReaktif Protein (CRP) merupakan pengukuran konsentrasi CRP dalam darah. CRP adalah suatu reaktan fase akut yang meningkat konsentrasinya beberapa jam setelah terjadinya proses peradangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran CRP pada Penderita Tuberkulosis Paru di RSUD dr. Soekardjo Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif. Populasi dalam penelitian ini 30 orang penderita Tuberkulosis Paru di RSUD dr. Soekardjo Tasikmalaya pada bulan Juli 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 penderita Tuberkulosis Paru mempunyai hasil CRP positif sebanyak 21 orang (70%) dan CRP negatif sebanyak 9 orang (30%). Kata Kunci : Gambaran, C-Reaktif Protein, Tuberkulosis Paru Kepustakaan : 17, 2005-2015 Keterangan : 1 judul, 2 nama mahasiswa, 3 nama pembimbing I, 4 nama pembimbing II iv THE DESCRIPTION OF C-REACTIVE PROTEIN in PEOPLE WITH PULMONARY TUBERCULOSIS IN THE PROVINCIAL HOSPITAL dr. SOEKARDJO TASIKMALAYA 20161 Kiki Siti Ahmarita2 Dewi Kania3 Atun Farihatun4 ABSTRACT Pulmonary tuberculosis is an infectious disease in the lungs that is caused by Mycobacterium tuberculosis. Examination of C-Reactive Protein (CRP) is the measurement of the concentration of CRP in the blood. CRP is an acute phase reactants increased concentration some hours after the onset of inflammatory processes. The purpose of this research is to know the description of CRP in people with Pulmonary Tuberculosis in the Provincial Hospital dr. Soekardjo Tasikmalaya. Research methods used are descriptive. The population in this research of pulmonary Tuberculosis sufferers are 30 people at the Provincial Hospital dr. Soekardjo Tasikmalaya in July 2016. The results showed that Pulmonary Tuberculosis sufferers to 30 have as much positive CRP results 21 people (70%) and CRP as much negative 9 people (30%). Keywords Library Description : Description, C-Reactive Protein, Pulmonary Tuberculosis : 17, 2005-2015 : 1 the title of the, 2 name of student, 3 name of supervisor I, 4 name of supervisor II v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang paruparu, tetapi juga mengenai organ lainnya seperti kulit, otak dan tulang.Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Hal tersebut menyebabkan gangguan kesehatan jutaan orang pertahun dan menduduki peringkat ke dua sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular di dunia setelah HIV. Berdasarkan WHO Global Report 2014, angka Insidens TB saat ini adalah 183/100.000 penduduk, menurun sekitar 10% dari 206/100.000 penduduk (1990), sedangkan angka prevalensi TB adalah 272/100.000 penduduk turun sebesar 33% dari baseline sebesar 442/100.000 dan angka mortalitas TB adalah 25/100.000 penduduk atau turun sebesar 49% dari 53/100.000. Pada tahun 2014, angka penemuan kasus TB paru (CDR) tercatat sebesar 69,7 %, sedangkan angka keberhasilan pengobatan (success rate - SR) sebesar 90% (Depkes RI, 2014). Menurut Menkes RI tahun 2014 Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Jawa Barat sendiri merupakan provinsi dengan TB tertinggi (0,7 %) disusul dengan Papua (0,6 %), DKI (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%) dan Jawa Tengah (0,4%). Mycobacterium tuberculosis mengandung berbagai C- polisakarida yang dapat menyebabkan hypersensitifitas tipe cepat dan berlaku sebagai antigen bagi tubuh. Adanya C-polisakarida dari 1 2 mycobacterium dalam tubuh, bisa diketahui dengan pemeriksaan CRP. CRP adalah suatu protein alphaglobulin yang timbul dalam darah bila terjadi inflamasi, Protein ini bereaksi dengan C-Polisakarida yang terdapat pada mycobacterium tuberculosis. Adanya protein ini adalah suatu reaktan fase akut yaitu indikator non spesifik untuk inflamasi sama halnya dengan Laju Endap Darah (LED) tetapi LED berbeda dengan CRP, LED dinilai kurang sensitif dan daripada CRP karena kenaikan kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED (Kosasih, 2008). Pada penderita penyakit dengan Inflamasi, kadar CRP kembali normal bila pengobatan imunosupresif berhasil, sehingga parameter ini dapat dipakai untuk memantau keberhasilan pengobatan. Kadar CRP meningkat pada radang sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, gangguan gula darah dan Tuberkulosis paru. CRP juga meningkat pada kehamilan, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral (Frances K. Widman, 2009). Sebagaimana ayat Al-Qur’an menyatakan bahwa : Artinya : “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Qs. Yunnus : 57). Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua mahluk yang ada di bumi ini merupakan ciptaan Allah swt, termasuk penyakit yang ada dalam dada seperti Tuberkulosis paru. Dan sesungguhnya Allah swt 3 tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan pula obatnya, hanya saja obat itu dapat diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya seperti dokter dan ahli kesehatan dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya. Obat suatu penyakit dan keberhasilan pengobatan dapat diketahui apabila diketahui penyakit apa yang akan diobati, untuk itu maka dilakukan pemeriksaan Laboratorium salah satunya seperti pemeriksaan kadar CRP pada penderita tuberkulosis yang akan diteliti pada penelitian ini. Ayat tersebut juga berkenaan dengan Hadist Rasulullah SAW yang menyuruh kita sebagai umatnya untuk berobat, “Berobatlah, hai hamba Allah karena sesungguhnya Allah SWT tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obat baginya. Hanya satu penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu penyakit tua.” Hadits riwayat Ahmad dalam Musnadnya; Riwayat Abu Daud, At Turmudzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah. Dalam kitab Fath al Qadir, hal 238. Berdasarkan pengalaman di lapangan penderita TB paru lebih sering diperiksa LED dibandingkan CRP, padahal CRP dinilai lebih sensitif dari pada LED. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran CRP pada penderita TB Paru. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas muncul permasalahan “Bagaimana gambaran C-Rraktif Protein pada penderita TB Paru?”. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui Gambaran C-Rraktif Protein pada penderita Tuberkulosis Paru (TB Paru). 4 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pendidikan Menambah pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa/i mengenai peran Pemeriksaan C-Reaktif Protein bagi penderita TB paru, serta sebagai acuan dan gambaran untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi Peneliti Menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman khususnya di bidang Imunoserologi pada kasus penyakit-penyakit kronis diantaranya Tuberkulosis. 3. Bagi Pasien Tuberkulosis Paru Memberikan informasi kepada penderita Tuberkulosis Paru bahwa pemeriksaan C-Reaktif Protein dapat dijadikan sebagai salah satu pemeriksaan untuk meninjau keberhasilan pengobatan pada penderita TB Paru. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini berbeda dengan penelitian Rudy Hidana (2014) di Tasikmalaya yang berjudul ”Gambaran C-Reaktif Protein pada keturunan Diabetes MellitusTipe 2 Di Puskesmas Sukaraja” dengan hasil 33,33% positif CRP pada keturunan Diabetes Mellitus tipe 2 (60% CRP Positif keturunan dari Ibu dan 40% CRP Positif keturunan dari Ayah) dan CRP Negatif sebanyak 66,67%, sedangkan pada penelitian ini melihat Gambaran CRP pada penderita TB Paru. Persamaan penelitian ini dengan Rudy Hidana (2014) yaitu sama-sama melakukan pemeriksaan C-Reaktif Protein pada penderita suatu penyakit infeksi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Tuberkulosis Paru (TB Paru) a. Sejarah Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra tulang yang khas TB dari kerangka tulang yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini. Bukti yang lain dari Mesir, pada mumi-mumi yang berasal dari tahun 3500 SM, Jordania (300 SM), scandinavia (200 SM), Nesperehan (100 SM), Peru (700), United Kingdom (200-400 SM) masing-masing dengan fosil tulang manusia yang melukiskan adanya pott’s disease atau abses paru yang berasal dari tuberkulosis, atau terdapatnya lukisan orangorang dengan bongkok tulang belakang karena sakit spondilitis TB. Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang dan dari sinilah diagnosis secara mikrobiologis penatalaksanaannya lebih terarah. dimulai dan Apalagi tahun 1896 Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat. Penyakit ini kemudian dinamakan 5 6 Tuberkulosis, dan hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnya tetapi yang paling banyak adalah organ paru. Robert Koch mengidentifikasi basil tahan asam M.tuberculosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB. Ia mendemonstrasikan bahwa basil ini bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan, yang akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip utama dari patogenesis mikrobial. Selanjutnya ia menggambarkan suatu percobaan yang memakai guinea pig, untuk memastikan observasinya yang pertama yang menggambarkan bahwa imunitas didapat mengikuti infeksi primer sebagai suatu fenomena Koch. Konsep dari pada Imunitas yang didapat (acquired immunity) diperlihatkan dengan perkembangan vaksin TB, yaitu vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG) (Amin Zulkifli dan Bahar Asril, 2009). b. Pengertian TB Paru Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi menular pada paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteri patogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia. Basil Tuberkel ini berukuran 0,3 X 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah (Sylvia A. Price dan Mary P.Standridge, 2005). Allah SWT berfirman dalam surat al-Furqan ayat 2 : 7 Artinya: ”Yang kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutubagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu,dan Dia menetapkanukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS.Al-Furqan : 2). Ayat 2 menerangkan wujud kekuasaan Allah di langit dan di bumi. Dalam mengatur alam ini, Allah tidak memerlukan bantuan dari siapa pun. Sebab itulah ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam mengatur kerajaan langit dan bumi. Bahkan, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini telah ditetapkan sistem dan hukumnya secara rapi, indah, dan harmonis. Maksudnya, Allah telah menetapkan pola atau ukuran bagi setiap makhluk-Nya. Allah telah menciptakan berbagai macam makhluk hidup di bumi ini mulai dari yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan ada pula yang hanya bisa dilihat dengan alat bantu misalnya saja dengan mikroskop. Salah satu contoh makhluk mikroskopis itu adalah mikroorganisme. Itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Misalnya saja Mycobacterium Tuberkulosis yang merupakan bakteri penyebab Tuberkulosis paru yang merupakan makhluk hidup mikroskopis. c. Penyebab TB 1) Ciri-ciri Mycobacterium Bakteri golongan Mycobacterium berbentuk batang yang agak sulit untuk diwarnai, tetapi sekali berhasil diwarnai, sulit untuk dihapus dengan zat asam. Oleh karena itu disebut juga kuman batang tahan asam (BTA). Kini dikenal empat puluh satu spesies yang diakui oleh ICSB (International Committee on Systematic 8 Bacteriology). Sebagian besar adalah saprofit, sebagian kecil patogen untuk manusia salah satunya adalah Mycobacterium tuberculosis. Sifat tahan asam Mycobacterium tuberculosis karena sifat dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak yang terdiri dari asam lemak mikolat. Pada Jaringan tubuh kuman tuberkulosis berbentuk batang halus berukuran 3x0,5um, dapat juga terlihat seperti berbiji-biji. Pada perbenihan berbentuk kokoid dan berfilamen. Tidak bersporan dan tidak bersimpai . Pada pewarnaan cara Zhiel-Neelsen atau Tan. Thiam Hok kuman berwarna merah dengan latar belakang berwarna biru. Pada pewarnaan fluorokrom kuman berfluoresensi dengan warna kuning oranye. Daya tahan kuman tuberkulosis lebih besar apabila dibandingkan dengan kuman lainnya karena sifat hidrofobik permukaan sel. Hijau malakhit dapat mebunuh kuman lain tetapi tidak membunuh Mycobacterium tuberculosis. Pada sputtum kering yang melekat pada debu dapat tahan hidup 8-10 hari. Pengaruh pemanasan daya tahannya sama dengan kuman lainnya, jadi dengan Pasteurisasi kuman tuberkulosis ini sudah dapat dibunuh (Utji Robert dan Harun hasrul 2012). 2) Unsur-unsur Mycobacterium a) Lemak (lipid) Mycobacterium mengandung banyak lemak seperti lemak kompleks,asam lemak dan lilin. Dalam sel, lemak tergabung pada protein dan polisakarida. Lemak berperan pada sifat tahan asam, apabila lema kuman tuberkulosis dihilangkan dengan eter maka sifat tahan asam akan hilang. 9 b) Protein Tiap type Mycobacterium mengandung beberapa protein yang menimbulkan reaksi tuberkulin. Protein yang terikat pada fraksi lilin dapat membangkitkan sensitivitas tuberkulin. Juga dapat merangsang pembentukan bermacam-macam antibodi. c) Polisakarida Mycobacterium mengandung bermacam- macam polisakarida. Peranannya dalam patogenesis belum jelas. hipersensitivitas Dapat merangsang cepat dan dapat timbulnya mengganggu beberapa reaksi antigen-antibodi in vitro (Utji Robert dan Harun hasrul, 2012). d. Penularan Penyakit Penyakit Tuberkulosis paru ditularkan melalui udara (droplet nucei) saat seoran pasien Tuberkulosis batuk, percikan ludah yang mengandung bakteri tuberkulosis terhirup oleh orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap kedalam paru-paru orang yang sehat. Penyakit ini menular dari satu orang ke orang lainnya tergantung pada beberapa faktor antara lain efektifitas ventilasi lingkungan tempat tinggal, jangka waktu paparan, tingkat virulensi (keganasan) kuman Mycobacterium tuberculosis dan tingkat kekebalan tubuh (Hadianto, 2014). e. Riwayat terjadinya penyakit 1) Tuberkulosis Primer Bila penyakit terjadi saat seseorang terpapar kuman Tuberkulosis untuk pertama kali, atau infeksi saat 10 Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paruparu (Soekidjo, 2011). 2) Tuberkulosis Sekunder Tuberkulosis pasca primer terjadi bila penyakit timbul setelah beberapa bulan atau tahun seseorang kena infeksi primer kemudian sembuh. Misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk (Soekidjo, 2011). Dari kompleks primer yang sembuh terjadi reaktivasi kuman yang tadinya dormant pada fokus primer, reinfeksi endogen, tuberkulosis pasca primer penyebaran kuman dalam tubuh penderita dapat melalui empat cara, yaitu : a) Lesi yang meluas b) Aliran Limfa c) Melalui aliran darah (hematogen) yang dapat menimbulkan lesi tuberkulosis ekstra paru, antara lain pleura, selaput, otak, ginjal, dan tulang. d) Penyebaran milier (Soekidjo, 2011). f. Gejala Klinis Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah : 1) Demam, biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40410C. Serangan demam dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya dema influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya 11 tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. 2) Batuk/Batuk Darah, Gejala ini banyak ditemukan , batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus . Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam berminggu-minggu jaringan atau paru yakni berbulan-bulan setelah peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputtum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. 3) Sesak Nafas, Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. 4) Nyeri Dada. Gejala ini agak jarang ditemukan, gejala neri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis, terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya. 5) Malaise, Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun). Sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Utji Robert dan Harun Hasrul, 2012). 12 g. Klasifikasi Tuberkulosis Paru 1) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak dilakukan pengambilan spesimen dahak sebanyak 3 kali (SPS) yaitu: a) Sewaktu /spot (dahak sewaktu saat kunjungan ke lab) b) Pagi ( keesokan harinya) c) Sewaktu /spot (Pada saat mengantarkan dahak pagi) Tuberkulosis Paru BTA positif a) Pada BTA positif ditemukan sekurang-kurangnya 3 batang kuman pada satu sediaan b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukan gambaran tuberkulosis aktif c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA positif dan biakan positif. Tuberkulosis paru BTA Negatif a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukan tuberkulosis aktif. b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan Mycobacterium tuberculosis negatif (Kemenkes RI, 2009). 2) Berdasarkan Tipe Pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a) Kasus Baru Adalah pasien yang belum mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. 13 b) Kasus Kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan kemudian sembuh atau kembali lagi pengobatan berobat lengkap, dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. c) Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai. d) Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. e) Kasus kronik Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik f) Kasus bekas Tuberkulosis (1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukan lesi Tuberkulosis yang tidak aktif, atau foto serial menunjukan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. (2) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada 14 perubahan gambaran radiologi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). h. Diagnosis Menurut Widoyono (2012) untuk menegakkan diagnosis penyakit tuberkulosis dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama. Pemeriksaan penunjang : 1) Pemeriksaa Darah : a) Leukosit sedikit meninggi Bertambahnya jumlah leukosit berkaitan dengan fungsinya sebagai pertahanan tubuh (Kemenkes RI, 2009). b) LED meningkat Nilai LED jam pertama dan kedua dapat digunakann sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis (Kemenkes RI, 2009). 2) Pemeriksaan Bakteriologik Menurut Kemenkes RI (2014) Pemeriksaan bakteriologik dapat dilakuka dengan pemeriksaan sputtum atau dahak, diperiksa secara mikroskopik dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dengan komposisi : Larutan Carbol fuchsin 1%, Larutan Asam Akohol 3% dan Larutan Methylen Blue 0,1%. Hasil pemeriksaan Mikroskopis dilaporkan dengan mengacu kepada skala International Union against To Lung Disease (IUATLD). 15 Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Mengacu Kepada Skala International Union Against To Lung Disease (IUATLD) Apa yang terlihat Tidak ditemukan BTA pada 100 Lapang pandang Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang (tuliskan jumlah BTA yang ditemukan) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang Ditemukan 1-10 BTA setiap 1 lapang pandang (periksa minimal 50 lapang pandang) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang (periksa minimal 20 lapang pandang) Sumber : Kemenkes RI,2012 Hasil Apa yang dituliskan Negatif Negatif Scanty Tulis jumlah BTA 1+ 1+ 2+ 2+ 3+ 3+ 3) Tes Tuberkulin Tes Tuberkulin dilakukan dengan Mantoux tes (PPD). Tes tuberkulin pemeriksaan yang positif menunjukan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia uji Tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). 4) Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan Radiologik dilakukan dengan pemeriksaan rontgen. Umumnya diganosis tuberkulosis paru ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, namun pada kondisi tertentu perlu dilakukan pemeriksaan rontgen (Kemenkes RI, 2009) 16 5) Tes Serologi Dilakukan dengan uji IgG yaitu dengan mendeteksi antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis (Perhimpunan Dokter paru Indonesia, 2006). i. Pengobatan Tuberkulosis Rasulullah SAW bersabda tentang perintah untuk berobat : “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu „anhu). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS. DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) merupakan strategi pemberian obat jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. DOTS mengandung Lima komponen yaitu : 1) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional. 2) Penemuan kasus Tuberkulosis dengan pemeriksaan BTA mikroskopis. 3) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung,dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy). 4) Pengadaan OAT secara berkesinambungan 5) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku atau standar (Perhimpunan Dokter paru Indonesia, 2006). 17 Pengobatan paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) dan WHO merekomendasikan panduan OAT standar pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2fase yaitu Tahap Intensif (23bulan) dan tahap lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan pengobatan tuberkulosis paru menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Widoyono, 2008). Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) Obat yang dipakai yaitu : 1) Jenis Obat Utama (lini1) yang digunakan : a) Isoniazid (H) Obat ini dikenal dengan INH, bersifat bakteriosidal, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif metabolik terhadap aktif, yaitu kuman kuman dalam keadaan yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, lanjutan dengan dosis 10 mg/kg BB. b) Rifampicine (R) Bersifat bakteriosidal dapat membunuh kuman semi dormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid (H). Dosis diberikan sama untuk pengobatan harian maupun lanjutan 3 kali seminggu 10 mg/kg BB. c) Parazinamid (Z) Bersifat bakteriosidal dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/Kg BB. 18 d) Streptomisin Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB e) Etambutol (E) Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB. 2) Jenis Obat tambahan lainnya (lini 2) a) Kanamisisn b) Amikasin c) Kuinolon 2. Sistem Imun Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri atas sistem pertahanan yang terdiri atas sistem imun non spesifik (natural/innate) dan spesifik (adaptive/acquired). a. Sistem imun Non Spesifik Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sitem imun spesifik memerlukan waktu sebelum memberikan responnya. Sitem tersebut disebut nonspesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. 1) Pertahanan Fisik Kulit, selaput lendir, silia saluran nafas, batuk dan bersin dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh karena asap rokok akan meningkatkan resiko infeksi. 19 2) Pertahanan Larut a) Pertahanan Biokimia Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam semen merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam Hidroklorik dalam cairan lambung, lisosim dan keringat, ludah, air mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman Gram positif dengan jalan menghancurkan dinding kuman tersebut. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neurominik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E.coli dan stafilokok. b) Pertahanan Humoral (1) Komplemen Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi. (a) Komplemen dapat menghancurkan sel membran banyak bakteri (C8-9) (b) Komplemen dapat berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang mengerahkan makrofag ke tempat bakteri (C5-6-7) (c) Komplemen dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag untuk mengenal (opsonisasi) dan memakannya (C3b, C4b). Kejadian-kejadian tersebut diatas adalah fungsi sistem imun nonspesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun spesifik. 20 (2) Interferon Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan sebagai sel manusia yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang telah terserang virus tersebut. Disamping itu, interferon dapat pula mengaktifkan Natural Killer cell/sel NK untuk membunuh virus dan neoplasma. (3) C-Reaktive Protein (CRP) CRP adalah suatu protein fase akut yang dibentuk tubuh pada infeksi. Peranannya ialah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respons imunitas non spesifik. Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein C pneumokok yang membentuk komplemen digunakan kompleks dan mengaktifkan jalur klasik. Pengukuran untuk menilai aktivitas CRP penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 1000x atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur. Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan laju endap darah. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukan infeksi yang persisten. 21 c) Pertahanan Selullar Fagosit/magrofag, sel NK dan sel mast berperan dalam sistem imun nonspesifik selular. 1) Fagosit Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, sel utama yang berperan pada pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti neutrofil.Kedua golongan sel tersebut berasal dari sel hemopoetik yang sama. Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman, akan dapat mencegah timbulnya penyakit. Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut : Kemotaksis, menangkap, membunuh dan mencerna. 2) Natural Killer cell (Sel NK). Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu disebut juga sel non B non T atau sel populasi ketiga atau null cell. Morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granul besar, oleh karena itu disebut juga Large Granular Lymphocyte/LGL. Sel Nk dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma. Interferon mempercepat pematangan dan meningkatkan efek sitolitik sel NK. 3) Sel mast Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan juga dalam pertahanan pejamu yang jumlahnya menurun pada sindrom imunodefisiensi. Sel mast 22 juga berperan pada imunitas terhadap parasit dalam usus dan terhadap invasi bakteri. Berbagai faktor nonimun seperti latihan jasmani, tekanan, trauma, panas an dingin dapat pula mengaktifkan dan menimbulkan degranulasi sel mast. b. Sistem Imun Spesifik Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk mengahancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag. Komplemen turut diaktifkan dan ikut berperan dalam menimbulkan inflamasi yang terjadi pada respons imun. 1) Sistem Imun Spesifik Humoral Berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten dalam sumsum tulang. Pada unggas sel asal tersebut berdeferensiasi menjadi sel B didalam alat yang disebut bursa Fabricius yang letaknya dekat cloaca. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan berproliferasi dan berdeferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan didalam serum. Fungsi utama antibodi 23 ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan menetralisasi toksin. 2) Sistem Imun spesifik Selular Berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah : a) Membantu sel B dalam memproduksi antibodi b) Mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus c) Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis d) Mengontrol ambang dan kualitas sistem imun Sel T juga dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan proliferasinya terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. 90-95% semua sel timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan meninggalkan timus untuk masuk kedalam sirkulasi dan kelenjar getah bening. Fungsi utama sistem imun selular ialah pertahanan terhadap mikroorganisme yang hidup intraselular seperti virus, jamur, parasit dan keganasan. Berbeda dengan sel B, sel t terdiri dari beberapa sel subset seperti sel T naif, Th1, Th2, T Delayed type Hypersensitivity (Tdth), Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) atau T cytotixic atau T cytolytic (Tc) dan T supresor (Ts) atau T regulator (Tr) (Garna dan Rengganis, 2010). 3. Hubungan Tuberkulosis dengan Sistem Imun Respon imun diperlukan untuk 3 hal yaitu pertahanan, homeostasis dan pengawasan. Yang pertama ditujukan terhadap infeksi mikroorganisme, yang kedua terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan yang ketiga dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi 24 terutama yang menjadi ganas. Jadi, respon Imun adalah suatu sistem agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara lingkungan diluar dan didalam tubuh (Karnen Garna, 2010). Pada TB, basil tuberkel menyebabkan reaksi jaringan yang aneh dalam paru, antara lain : a. Daerah yang terinfeksi diserang oleh makrofag b. Daerah lesi dikelilingi oleh jaringan fibrotik untuk membentuktuberkel. Proses pembentukan dinding ini membantu membatasi penyebaran basil tuberkel dalam paru dan oleh karena itu merupakan bagian dari proses protektif melawan infeksi. Tetapi, hampir 3% dari seluruh penderita TB jika tidak diobati tidak akan terbentuk dinding dan basil tuberkel dan akan menyebar keseluruh paru. Sehingga, sering kali menyebabkan kerusakan jaringan paru yang hebat dengan pembentukan kavitas abses yang besar (Guyton dan Hall, 2005). 4. Laju Endap Darah (LED) a. Definisi Laju Endap Darah (LED) dalam bahasa inggris disebut erythrocyte sedimentation rate (ESR) atau blood sedimentation rate (BSR) merupakan pemeriksaan untuk menentukan kecepatan eritrosit mengendap dalam darah yang tidak membeku (darah berisi antikoagulan) pada suatu tabung dengan posisi vertikal dalam waktu tertentu. LED umumnya digunakan untuk mendeteksi atau memantau adanya kerusakan jaringan, inflamasi dan menunjukan adanya penyakit (bukan tingkat keparahan) baik akut maupun kronis, sehingga pemeriksaan LED tidak bersifat spesifik. LED bertujuan untuk pemeriksaan skrining dan memantau berbagai macam penyakit infeksi, autoimun, keganasan dan berbagai 25 penyakit, LED naik kadarnya setelah 14 hari inflamasi dan menurun secara lambat sesuai waktu paruhnya (Gilang, 2014). Laju endap darah mengukur laju pengendapan dalam mm/jam dari eritrosit pada suatu kolom darah yang telah diberi antikoagulan. Laju pengendapan yang meningkat menunjukan peningkatan immunoglobulin atau protein pada fase akut, yang menyebabkan eritrosit melekat satu sama lain. Peningkatan LED merupakan penanda nonspesifik dari adanya radang atau infeksi (David dkk,2005). Selain peningkatan immunoglobulin dan protein peningkatan LED akibat klinis juga dapat dipengaruhi oleh obat yang sedang dikonsumsi walaupun LED merupakan uji yang tidak spesifik tetapi dapat mengidentifikasi terjadinya proses inflamasi (joyce,2007). b. Penurunan dan Peningkatan LED Penurunan Laju Endap Darah terjadi pada penyakit anemia sel sabit mononucleosis infeksius, atritis degeneratif dan angina pektoris. Peningkatan Laju endap darah pada kondisi Athritis reumatoid, MCL Akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hati, ginjal), limfosarkoma, infeksi bakterial, hepatitis, sifilis, tuberkulosis, SLE, dan kehamilan. Laju endap darah meningkat menunjukkan meningkatnya kadar immunoglobulin atau protein fase akut yang menyebabkan eritrosit saling melekat satu sama lain. Peningkatan LED merupakan penanda non spesifik dan adanya peradangan atau infeksi . LED sangat tinggi (> 100 mm/jam) menunjukkan : 1) Mieloma Multiple 2) Lupus eritematosus sistemik (SLE) 26 3) Artentis temporaris, kanker dan infeksi kronis termasuk tuberkulosis (David dkk, 2007). Makna LED dalam klinik,LED yang normal dapat memberikan petunjuk kemungkinan ada tidaknya penyakit yang serius. Setidaknya apabila nila LED tidak normal perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain untuk menentukan diagnostik yang pasti. LED merupakan pemeriksaan yang tidak spesifik, LED bisa meningkat pada keadaan patologi seperti adanya peradangan. Umumnya nilai LED normal pada penyakit-penyakit infeksi lokal yang kecil atau penyakit akut seperti apendisitis akut, infeksi selaput lendir dengan reaksi sedikit radang dan pada lesi-lesi kulit. Akan tetapiu LED sangat meningkat pada penyakit tuberkulosis , infeksi kronis, demam reumatik, arthritis dan nefritis (Rukman, 2014). c. Faktor-faktor yang mempengaruhi LED 1) Faktor Eritrosit Eritrosit dengan bentuk abnormal atau tidak teratur, seperti sel sabit atau sferosit, menghambat pembentukan rouleaux sehingga menurunkan LED (Rukman, 2014) 2) Faktor Plasma LED dipercepat oleh peningkatan fibrinogen dan globulin. Albumin sedimentasi dan sedangkan lesitin dapat menghambat peningkatan kolesterol mempercepat LED (Rukman, 2014) 3) Antikoagulan Penambahan antikoagulan yang berlebihan dapat meningkatkan nilai LED. Tiap 1 mg EDTA menghindarkan membekunya 1ml darah (Gandasoebrata, 2010). 27 4) Waktu Waktu pemeriksaan LED harus dikerjakan maksimal 2 jam setelah pengambilan darah. Apabila pemeriksaan dilakukan lebih dari 2 jam maka bentuk eritrosit akan berubah dan akan mempercepat pengendapan (Ni Wayan dkk, 2012) 5) Kemiringan Kemiringan tabung dapat meningkatkan nilai LED. Kemiringan 30 dapat meningkatkan nilai LED sebanyak 30% (Gilang, 2013). 6) Suhu Pemeriksaan harus dilakukan dalam suhu 20-250C. Lebih rendah dan lebih tinggi suhu dapat mempengaruhi nilai LED. Apabila darah telah disimpan dalam keadaan dingin maka darah tersebut harus disesuaikan pada suhu ruangan terlebih dahulu (Rukman,2014). 5. C - Reaktif Protein a. Definisi C - Reaktif Protein (CRP) adalah tipe protein khusus yang diproduksi hati ketika terjadi cedera akut, peradangan atau infeksi . CRP terdapat dalam jumlah sedikit pada orang yang sehat. Dalam tubuh CRP ini berfungsi sebagai pelengkap dalam mekanisme sistem imunitas tubuh. CRP mengikat senyawa fosforil kolin pada lapisan kulit terluar bakteri yang masuk kedalam tubuh, dan mengganggu proses perkembangan bakteri tersebut. Juga mengikat kolesterol lowdensity lipoprotein colesterol (LDL) dan lemak eterogenik, yaitu senyawa berbahaya bagi tubuh yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pembuluh darah (Kosasih, 2008). 28 Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam dan menetap pada semua keadaan sehat dan sakit, sehingga satu-satunya penentu konsentrasi CRP di sirkulasi adalah menghitung sintesa IL-6 dengan langsung intensitas demikian proses menggambarkan secara patologi yang merangsang produksi CRP. Kadar CRP akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai normal kembali .Kadar CRP stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi variasi diurnal (Lab Technologist,2009). b. Tujuan Pemeriksaan CRP CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Pada penderita penyakit dengan Inflamasi kadar CRP kembali normal bila pengobatan imunosupresif berhasil, sehingga parameter ini dapat dipakai untuk memantau keberhasilan pengobatan dan perkembangan penyakit (Frances K. Widman, 2009). c. Prinsip dan Metode pemeriksaan Pada penentuan CRP, maka CRP dianggap sebagai antigen yang akan ditentukan dengan menggunakan suatu antibodi spesifik yang diketahui (antibodi anti-CRP). Dengan suatu antisera yang spesifik, CRP (merupakan antigen yang larut) dalam serum mudah dipresipitasikan. Jadi pada dasarnya, penentuan CRP dapat dilakukan dengan cara, yaitu: 29 1) Tes presipitasi: Sebagai antigen ialah CRP yang akan ditentukan, dan sebagai antibodi adalah anti-CRP yang telah diketahui. 2) Tes aglutinasi pasif: Antibodi disalutkan pada partikel untuk menentukan adanya antigen di dalam serum. 3) Uji ELISA: Dipakai teknik Double Antibody Sandwich ELISA. Antibodi pertama (antibodi pelapis) dilapiskan pada fase padat, kemudian ditambahkan serum penderita. Selanjutnya ditambahkan pelacak) yang antibodi berlabel kedua enzim. (antibodi Akhirnya ditambahkan substrat, dan reagen penghenti reaksi. Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif. 4) Imunokromatografi: Merupakan uji Sandwich imunometrik. Pada tes ini, antibodi monoklonal terhadap CRP diimobilisasi pada membran selulosa nitrat di garis pengikat. Bila ditambahkan serum yang diencerkan sampai ambang atas titer rujukannya pada bantalan sampel maka CRP dalam sampel akan diisap oleh bantalan absorban menuju bantalan konjugat, dan akan diikat oleh konjugat (antibodi monoklonal) pertama, berlabel emas koloidal. Selanjutnya CRP yang telah mengikat konjugat akan diisap oleh bantalan absorban menuju ke garis pengikat yang mengandung antibodi monoklonal kedua terhadap CRP (imobile) sehingga berubah warna menjadi merah. Sisanya yang tidak terikat pada garis pengikat akan bergerak menuju garis kontrol yang mengandung antibodi anti tikus yang mengikat sisa konjugat yang tidak terikat pada garis pengikat. Konjugat yang tidak terikat dibersihkan dari membran dengan larutan pencuci yang selanjutnya diisap oleh membran absorban. Bila kadar CRP lebih tinggi daripada ambang 30 atas titer rujukannya, akan terbentuk warna merah coklat pada garis pengikat di membran yang intensitasnya berbanding lurus dengan kadar CRP dalam serum. Pembacaan hasil secara kuantitatif. 5) Imunoturbidimetri: Merupakan cara penentuan yang kualitatif. CRP dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris. Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan pengukuran turbidimetrik (LabTechnologist, 2009). d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar CRP Kadar CRP meningkat pada radang sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, gangguan gula darah dan Tuberkulosis paru. CRP juga meningkat pada kehamilan, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus seperti IUD (Intra Uterin Device) atau spiral, dan pengaruh obat kontrasepsi oral (Frances K. Widman, 2009). 31 B. Kerangka Konsep Pasien TB Faktor-faktor yang mempengaruhi : Pasien yang telah di diagnosis TB Paru Pemeriksaan CRP 1. Pasien yang mempunyai penyakit randang sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, gangguan gula darah. 2. Ibu hamil 3. pengguna alat kontrasepsi intrauterus seperti IUD atau spiral. 4. Mengkonsumsi obat kontrasepsi oral (-) Jika tidak terdapat aglutinasi (+) Jika terdapat Aglutinasi Sumber : (Frances K. Widman, 2009). Keterangan : Variabel yang diteliti Variable yang tidak diteliti Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, dkk. (2011). Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Bina Aksara. AL Hikmah. (2010). Al Quran dan Terjemahannya. Bandung : CV Penerbit Dipenogoro. Depkes RI. (2014). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis .Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Frances K. Widman. (2009). Tinjauan Klinis Atas pemeriksaan hasil laboratorium. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gandasoebrata,R. (2010). Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat. Garna B Karnen, Rengganis Iris. (2010). Imunologi Dasar Edisi IX. Jakrta : Balai Penerbit FKUI. Hardianto,M. (2014). Penyakit TB Sering terluputkan, Dianggap hanya Gangguan Batuk Biasa. Smart Living : Prodia. Imam As-Syaukani. (2010). Tafsir Fathul Qadir Jilid 6. Kairo : Dar El – Hadist Kairo. Kemenkes RI (2014) NO. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Kosasih, E.N., Kosasih, A.S. (2008). Tafsiran Hasil Pemeriksaa Laboratorium Klinik. Jakarta : Karisma. Lab Technologist, (2009). Protein C-Reaktif, Laboratorium Kesehatan. Tersedia dalam : http://labkesehatan.com/2009/11/protein-creaktif.html. [diakses 29 Oktober 2015]. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Tersedia dalam http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html [diakses 29 Oktober 2015]. Soekidjo, Notoatmodjo, (2011). Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung : R&D Alfhabeta. 46 47 Sylvia A. Price dan Mary P.Standridge. (2005). Patofisiologi,Konsep klinis dan Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC. Utji Robert dan Harun hasrul (2012). Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Karisma Publisher. Widoyono, (2008). Penyakit Tropis, Epidemologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.