GAMBARAN C-REAKTIF PROTEIN PADA PENDERITA

advertisement
GAMBARAN C-REAKTIF PROTEIN PADA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU DI RSUD dr.SOEKARDJO
TASIKMALAYA TAHUN 2016
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan
Pada Program Studi D3 Analis Kesehatan
Oleh :
KIKI SITI AHMARITA
NIM. 13DA277024
PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
GAMBARAN C-REAKTIF PROTEIN PADA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU DI RSUD dr. SOEKARDJO
TASIKMALAYA TAHUN 20161
Kiki Siti Ahmarita2 Dewi Kania3 Atun Farihatun4
INTISARI
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi menular pada paru-paru
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pemeriksaan CReaktif Protein (CRP) merupakan pengukuran konsentrasi CRP dalam
darah. CRP adalah suatu reaktan fase akut yang meningkat
konsentrasinya beberapa jam setelah terjadinya proses peradangan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran CRP
pada Penderita Tuberkulosis Paru di RSUD dr. Soekardjo Tasikmalaya.
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif. Populasi
dalam penelitian ini 30 orang penderita Tuberkulosis Paru di RSUD dr.
Soekardjo Tasikmalaya pada bulan Juli 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 penderita Tuberkulosis
Paru mempunyai hasil CRP positif sebanyak 21 orang (70%) dan CRP
negatif sebanyak 9 orang (30%).
Kata Kunci
: Gambaran, C-Reaktif Protein, Tuberkulosis Paru
Kepustakaan : 17, 2005-2015
Keterangan : 1 judul, 2 nama mahasiswa, 3 nama pembimbing I,
4 nama pembimbing II
iv
THE DESCRIPTION OF C-REACTIVE PROTEIN in PEOPLE WITH
PULMONARY TUBERCULOSIS IN THE PROVINCIAL HOSPITAL
dr. SOEKARDJO TASIKMALAYA 20161
Kiki Siti Ahmarita2 Dewi Kania3 Atun Farihatun4
ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is an infectious disease in the lungs that is
caused by Mycobacterium tuberculosis. Examination of C-Reactive Protein
(CRP) is the measurement of the concentration of CRP in the blood. CRP
is an acute phase reactants increased concentration some hours after the
onset of inflammatory processes.
The purpose of this research is to know the description of CRP in
people with Pulmonary Tuberculosis in the Provincial Hospital dr.
Soekardjo Tasikmalaya.
Research methods used are descriptive. The population in this
research of pulmonary Tuberculosis sufferers are 30 people at the
Provincial Hospital dr. Soekardjo Tasikmalaya in July 2016.
The results showed that Pulmonary Tuberculosis sufferers to 30
have as much positive CRP results 21 people (70%) and CRP as much
negative 9 people (30%).
Keywords
Library
Description
: Description, C-Reactive Protein, Pulmonary Tuberculosis
: 17, 2005-2015
: 1 the title of the, 2 name of student, 3 name of supervisor
I, 4 name of supervisor II
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang paruparu, tetapi juga mengenai organ lainnya seperti kulit, otak dan
tulang.Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan utama di
dunia. Hal tersebut menyebabkan gangguan kesehatan jutaan orang
pertahun dan menduduki peringkat ke dua sebagai penyebab utama
kematian akibat penyakit menular di dunia setelah HIV. Berdasarkan
WHO Global Report 2014, angka Insidens TB saat ini adalah
183/100.000 penduduk, menurun sekitar 10% dari 206/100.000
penduduk
(1990),
sedangkan
angka
prevalensi
TB
adalah
272/100.000 penduduk turun sebesar 33% dari baseline sebesar
442/100.000 dan angka mortalitas TB adalah 25/100.000 penduduk
atau turun sebesar 49% dari 53/100.000. Pada tahun 2014, angka
penemuan kasus TB paru (CDR) tercatat sebesar 69,7 %, sedangkan
angka keberhasilan pengobatan (success rate - SR) sebesar 90%
(Depkes RI, 2014).
Menurut Menkes RI tahun 2014 Indonesia sekarang berada
pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia.
Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Jawa
Barat sendiri merupakan provinsi dengan TB tertinggi (0,7 %) disusul
dengan Papua (0,6 %), DKI (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%)
dan Jawa Tengah (0,4%).
Mycobacterium
tuberculosis
mengandung
berbagai
C-
polisakarida yang dapat menyebabkan hypersensitifitas tipe cepat dan
berlaku sebagai antigen bagi tubuh. Adanya C-polisakarida dari
1
2
mycobacterium dalam tubuh, bisa diketahui dengan pemeriksaan
CRP. CRP adalah suatu protein alphaglobulin yang timbul dalam
darah bila terjadi inflamasi, Protein ini bereaksi dengan C-Polisakarida
yang terdapat pada mycobacterium tuberculosis. Adanya protein ini
adalah suatu reaktan fase akut yaitu indikator non spesifik untuk
inflamasi sama halnya dengan Laju Endap Darah (LED) tetapi LED
berbeda dengan CRP, LED dinilai kurang sensitif dan daripada CRP
karena kenaikan kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses
inflamasi dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED
(Kosasih, 2008).
Pada penderita penyakit dengan Inflamasi, kadar CRP
kembali normal bila pengobatan imunosupresif berhasil, sehingga
parameter
ini
dapat
dipakai
untuk
memantau
keberhasilan
pengobatan. Kadar CRP meningkat pada radang sendi (rheumatoid
arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit
radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit
Hodgkin, SLE, gangguan gula darah dan Tuberkulosis paru. CRP juga
meningkat pada kehamilan, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus
dan pengaruh obat kontrasepsi oral (Frances K. Widman, 2009).
Sebagaimana ayat Al-Qur’an menyatakan bahwa :
Artinya : “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman”. (Qs. Yunnus : 57).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua mahluk yang ada di
bumi ini merupakan ciptaan Allah swt, termasuk penyakit yang ada
dalam dada seperti Tuberkulosis paru. Dan sesungguhnya Allah swt
3
tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan pula obatnya, hanya
saja obat itu dapat diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya
seperti dokter dan ahli kesehatan dan tidak diketahui oleh orang yang
tidak bisa mengetahuinya. Obat suatu penyakit dan keberhasilan
pengobatan dapat diketahui apabila diketahui penyakit apa yang akan
diobati, untuk itu maka dilakukan pemeriksaan Laboratorium salah
satunya seperti pemeriksaan kadar CRP pada penderita tuberkulosis
yang akan diteliti pada penelitian ini.
Ayat tersebut juga berkenaan dengan Hadist Rasulullah SAW
yang menyuruh kita sebagai umatnya untuk berobat, “Berobatlah, hai
hamba Allah karena sesungguhnya Allah SWT tidak mengadakan
penyakit kecuali mengadakan pula obat baginya. Hanya satu penyakit
yang tidak ada obatnya, yaitu penyakit tua.” Hadits riwayat Ahmad
dalam Musnadnya; Riwayat Abu Daud, At Turmudzi, an-Nasa’i dan
Ibnu Majah. Dalam kitab Fath al Qadir, hal 238.
Berdasarkan pengalaman di lapangan penderita TB paru lebih
sering diperiksa LED dibandingkan CRP, padahal CRP dinilai lebih
sensitif dari pada LED. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang gambaran CRP pada penderita TB
Paru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas muncul permasalahan
“Bagaimana gambaran C-Rraktif Protein pada penderita TB Paru?”.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
Gambaran C-Rraktif Protein pada penderita Tuberkulosis Paru (TB
Paru).
4
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan
Menambah
pengetahuan
dan
wawasan
kepada
mahasiswa/i mengenai peran Pemeriksaan C-Reaktif Protein bagi
penderita TB paru, serta sebagai acuan dan gambaran untuk
penelitian selanjutnya.
2. Bagi Peneliti
Menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman
khususnya di bidang Imunoserologi pada kasus penyakit-penyakit
kronis diantaranya Tuberkulosis.
3. Bagi Pasien Tuberkulosis Paru
Memberikan informasi kepada penderita Tuberkulosis Paru
bahwa pemeriksaan C-Reaktif Protein dapat dijadikan sebagai
salah satu pemeriksaan untuk meninjau keberhasilan pengobatan
pada penderita TB Paru.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini berbeda dengan penelitian Rudy Hidana (2014)
di Tasikmalaya yang berjudul ”Gambaran C-Reaktif Protein pada
keturunan Diabetes MellitusTipe 2 Di Puskesmas Sukaraja” dengan
hasil 33,33% positif CRP pada keturunan Diabetes Mellitus tipe 2
(60% CRP Positif keturunan dari Ibu dan 40% CRP Positif keturunan
dari Ayah) dan CRP Negatif sebanyak 66,67%, sedangkan pada
penelitian ini melihat Gambaran CRP pada penderita TB Paru.
Persamaan penelitian ini dengan Rudy Hidana (2014) yaitu
sama-sama melakukan pemeriksaan C-Reaktif Protein pada penderita
suatu penyakit infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Tuberkulosis Paru (TB Paru)
a. Sejarah
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik
yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dia
dihubungkan
dengan
tempat
tinggal
didaerah
urban,
lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan
kerusakan tulang vertebra tulang yang khas TB dari kerangka
tulang yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman
neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan
ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000
SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis
yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan
tampilan TB paru ini.
Bukti yang lain dari Mesir, pada mumi-mumi yang
berasal dari tahun 3500 SM, Jordania (300 SM), scandinavia
(200 SM), Nesperehan (100 SM), Peru (700), United Kingdom
(200-400 SM) masing-masing dengan fosil tulang manusia
yang melukiskan adanya pott’s disease atau abses paru yang
berasal dari tuberkulosis, atau terdapatnya lukisan orangorang
dengan
bongkok
tulang
belakang
karena
sakit
spondilitis TB.
Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman
penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang dan dari
sinilah
diagnosis
secara
mikrobiologis
penatalaksanaannya lebih terarah.
dimulai
dan
Apalagi tahun 1896
Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan
diagnosis yang lebih tepat. Penyakit ini kemudian dinamakan
5
6
Tuberkulosis, dan hampir seluruh tubuh manusia dapat
terserang olehnya tetapi yang paling banyak adalah organ
paru.
Robert
Koch
mengidentifikasi
basil
tahan
asam
M.tuberculosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab
TB. Ia mendemonstrasikan bahwa basil ini bisa dipindahkan
kepada binatang yang rentan, yang akan memenuhi kriteria
postulat Koch yang merupakan prinsip utama dari patogenesis
mikrobial. Selanjutnya ia menggambarkan suatu percobaan
yang memakai guinea pig, untuk memastikan observasinya
yang pertama yang menggambarkan bahwa imunitas didapat
mengikuti infeksi primer sebagai suatu fenomena Koch.
Konsep dari pada Imunitas yang didapat (acquired immunity)
diperlihatkan dengan perkembangan vaksin TB, yaitu vaksin
Bacillus Calmette Guerin (BCG) (Amin Zulkifli dan Bahar Asril,
2009).
b. Pengertian TB Paru
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi menular pada
paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan
organisme
patogen
maupun
saprofit.
Ada
beberapa
mikrobakteri patogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia
yang
patogenik
terhadap
manusia.
Basil
Tuberkel
ini
berukuran 0,3 X 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil
daripada sel darah merah (Sylvia A. Price dan Mary
P.Standridge, 2005).
Allah SWT berfirman dalam surat al-Furqan ayat 2 :
7
Artinya: ”Yang kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi,
dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutubagi-Nya
dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala
sesuatu,dan
Dia
menetapkanukuran-ukurannya
dengan
serapi-rapinya” (QS.Al-Furqan : 2).
Ayat 2 menerangkan wujud kekuasaan Allah di langit
dan di bumi.
Dalam
mengatur alam ini,
Allah tidak
memerlukan bantuan dari siapa pun. Sebab itulah ayat ini
menegaskan bahwa Allah tidak mempunyai anak dan tidak
ada sekutu bagi-Nya dalam mengatur kerajaan langit dan
bumi. Bahkan, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini
telah ditetapkan sistem dan hukumnya secara rapi, indah, dan
harmonis. Maksudnya, Allah telah menetapkan pola atau
ukuran bagi setiap makhluk-Nya. Allah telah menciptakan
berbagai macam makhluk hidup di bumi ini mulai dari yang
bisa dilihat dengan mata telanjang dan ada pula yang hanya
bisa dilihat dengan alat bantu misalnya saja dengan
mikroskop. Salah satu contoh makhluk mikroskopis itu adalah
mikroorganisme. Itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah.
Misalnya saja Mycobacterium Tuberkulosis yang merupakan
bakteri penyebab Tuberkulosis paru yang merupakan makhluk
hidup mikroskopis.
c. Penyebab TB
1) Ciri-ciri Mycobacterium
Bakteri golongan Mycobacterium berbentuk batang
yang agak sulit untuk diwarnai, tetapi sekali berhasil
diwarnai, sulit untuk dihapus dengan zat asam. Oleh
karena itu disebut juga kuman batang tahan asam (BTA).
Kini dikenal empat puluh satu spesies yang diakui oleh
ICSB
(International
Committee
on
Systematic
8
Bacteriology). Sebagian besar adalah saprofit, sebagian
kecil patogen untuk manusia salah satunya adalah
Mycobacterium
tuberculosis.
Sifat
tahan
asam
Mycobacterium tuberculosis karena sifat dinding sel yang
tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak yang terdiri
dari asam lemak mikolat.
Pada Jaringan tubuh kuman tuberkulosis berbentuk
batang halus berukuran 3x0,5um, dapat juga terlihat
seperti berbiji-biji. Pada perbenihan berbentuk kokoid dan
berfilamen. Tidak bersporan dan tidak bersimpai . Pada
pewarnaan cara Zhiel-Neelsen atau Tan. Thiam Hok
kuman berwarna merah dengan latar belakang berwarna
biru. Pada pewarnaan fluorokrom kuman berfluoresensi
dengan warna kuning oranye.
Daya tahan kuman tuberkulosis lebih besar apabila
dibandingkan
dengan
kuman
lainnya
karena
sifat
hidrofobik permukaan sel. Hijau malakhit dapat mebunuh
kuman
lain
tetapi
tidak
membunuh
Mycobacterium
tuberculosis. Pada sputtum kering yang melekat pada
debu dapat tahan hidup 8-10 hari. Pengaruh pemanasan
daya tahannya sama dengan kuman lainnya, jadi dengan
Pasteurisasi kuman tuberkulosis ini sudah dapat dibunuh
(Utji Robert dan Harun hasrul 2012).
2) Unsur-unsur Mycobacterium
a) Lemak (lipid)
Mycobacterium mengandung banyak lemak
seperti lemak kompleks,asam lemak dan lilin. Dalam
sel, lemak tergabung pada protein dan polisakarida.
Lemak berperan pada sifat tahan asam, apabila lema
kuman tuberkulosis dihilangkan dengan eter maka
sifat tahan asam akan hilang.
9
b) Protein
Tiap
type
Mycobacterium
mengandung
beberapa protein yang menimbulkan reaksi tuberkulin.
Protein
yang
terikat
pada
fraksi
lilin
dapat
membangkitkan sensitivitas tuberkulin. Juga dapat
merangsang
pembentukan
bermacam-macam
antibodi.
c) Polisakarida
Mycobacterium
mengandung
bermacam-
macam polisakarida. Peranannya dalam patogenesis
belum
jelas.
hipersensitivitas
Dapat
merangsang
cepat
dan
dapat
timbulnya
mengganggu
beberapa reaksi antigen-antibodi in vitro (Utji Robert
dan Harun hasrul, 2012).
d. Penularan Penyakit
Penyakit Tuberkulosis paru ditularkan melalui udara
(droplet nucei) saat seoran pasien Tuberkulosis batuk,
percikan ludah yang mengandung bakteri tuberkulosis terhirup
oleh orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin,
atau
berbicara
berhadapan
dengan
orang
lain,
basil
tuberkulosis tersembur dan terhisap kedalam paru-paru orang
yang sehat. Penyakit ini menular dari satu orang ke orang
lainnya tergantung pada beberapa faktor antara lain efektifitas
ventilasi lingkungan tempat tinggal, jangka waktu paparan,
tingkat
virulensi
(keganasan)
kuman
Mycobacterium
tuberculosis dan tingkat kekebalan tubuh (Hadianto, 2014).
e. Riwayat terjadinya penyakit
1) Tuberkulosis Primer
Bila penyakit terjadi saat seseorang terpapar
kuman Tuberkulosis untuk pertama kali, atau infeksi saat
10
Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paruparu (Soekidjo, 2011).
2) Tuberkulosis Sekunder
Tuberkulosis pasca primer terjadi bila penyakit
timbul setelah beberapa bulan atau tahun seseorang kena
infeksi primer kemudian sembuh. Misalnya karena daya
tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi
yang buruk (Soekidjo, 2011).
Dari
kompleks
primer
yang
sembuh
terjadi
reaktivasi kuman yang tadinya dormant pada fokus primer,
reinfeksi endogen, tuberkulosis pasca primer penyebaran
kuman dalam tubuh penderita dapat melalui empat cara,
yaitu :
a) Lesi yang meluas
b) Aliran Limfa
c) Melalui
aliran
darah
(hematogen)
yang
dapat
menimbulkan lesi tuberkulosis ekstra paru, antara lain
pleura, selaput, otak, ginjal, dan tulang.
d) Penyebaran milier (Soekidjo, 2011).
f.
Gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat
bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB
paru
tanpa
keluhan
sama
sekali
dalam
pemeriksaan
kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah :
1) Demam, biasanya subfebril menyerupai demam influenza.
Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40410C. Serangan demam dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya
hilang timbulnya dema influenza ini, sehingga pasien
merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam
influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
11
tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberkulosis yang masuk.
2) Batuk/Batuk Darah, Gejala ini banyak ditemukan , batuk
terjadi karena adanya iritasi pada bronkus . Batuk ini
diperlukan
untuk
membuang
produk-produk
radang
keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit
tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang
dalam
berminggu-minggu
jaringan
atau
paru
yakni
berbulan-bulan
setelah
peradangan
bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputtum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada
tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi
pada ulkus dinding bronkus.
3) Sesak Nafas, Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh)
belum
dirasakan
sesak
nafas.
Sesak
nafas
akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
4) Nyeri Dada. Gejala ini agak jarang ditemukan, gejala neri
dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis, terjadi gesekan kedua
pleura
sewaktu
pasien
menarik
atau
melepaskan
nafasnya.
5) Malaise, Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang
menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa
anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat
badan turun). Sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Utji Robert dan
Harun Hasrul, 2012).
12
g. Klasifikasi Tuberkulosis Paru
1) Berdasarkan
hasil
pemeriksaan
dahak
dilakukan
pengambilan spesimen dahak sebanyak 3 kali (SPS)
yaitu:
a) Sewaktu /spot (dahak sewaktu saat kunjungan ke lab)
b) Pagi ( keesokan harinya)
c) Sewaktu /spot (Pada saat mengantarkan dahak pagi)
Tuberkulosis Paru BTA positif
a) Pada BTA positif ditemukan sekurang-kurangnya 3
batang kuman pada satu sediaan
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan
BTA positif
dan
kelainan
radiologi
menunjukan
gambaran tuberkulosis aktif
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan
BTA positif dan biakan positif.
Tuberkulosis paru BTA Negatif
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA
negatif,
gambaran
klinis
dan kelainan radiologi
menunjukan tuberkulosis aktif.
b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA
negatif dan biakan Mycobacterium tuberculosis negatif
(Kemenkes RI, 2009).
2) Berdasarkan Tipe Pasien
Tipe
pasien
ditentukan
berdasarkan
riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a) Kasus Baru
Adalah
pasien
yang
belum
mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan.
13
b) Kasus Kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan
kemudian
sembuh
atau
kembali
lagi
pengobatan
berobat
lengkap,
dengan
hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
c) Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan
> 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai.
d) Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap
positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan
ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
akhir pengobatan.
e) Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA
masih positif setelah selesai pengobatan ulang
dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan
yang baik
f)
Kasus bekas Tuberkulosis
(1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga
negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru
menunjukan lesi Tuberkulosis yang tidak aktif,
atau foto serial menunjukan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung.
(2) Pada
kasus
dengan
gambaran
radiologi
meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT
2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada
14
perubahan
gambaran
radiologi
(Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006).
h. Diagnosis
Menurut Widoyono (2012) untuk menegakkan diagnosis
penyakit tuberkulosis dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain yang
dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun
biayanya mahal dan hasilnya lama. Pemeriksaan penunjang :
1) Pemeriksaa Darah :
a) Leukosit sedikit meninggi
Bertambahnya jumlah leukosit berkaitan dengan
fungsinya sebagai pertahanan tubuh (Kemenkes RI,
2009).
b) LED meningkat
Nilai LED jam pertama dan kedua dapat
digunakann sebagai indikator penyembuhan pasien.
LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED
yang
normal
tidak
menyingkirkan
tuberkulosis
(Kemenkes RI, 2009).
2) Pemeriksaan Bakteriologik
Menurut
Kemenkes
RI
(2014)
Pemeriksaan
bakteriologik dapat dilakuka dengan pemeriksaan sputtum
atau
dahak,
diperiksa
secara
mikroskopik
dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen dengan komposisi : Larutan
Carbol fuchsin 1%, Larutan Asam Akohol 3% dan Larutan
Methylen Blue 0,1%.
Hasil pemeriksaan Mikroskopis dilaporkan dengan
mengacu kepada skala International Union against To
Lung Disease (IUATLD).
15
Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Mengacu
Kepada Skala International Union Against To Lung
Disease (IUATLD)
Apa yang terlihat
Tidak ditemukan BTA pada 100
Lapang pandang
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100
lapang pandang (tuliskan jumlah
BTA yang ditemukan)
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100
lapang pandang
Ditemukan 1-10 BTA setiap 1
lapang pandang (periksa minimal
50 lapang pandang)
Ditemukan > 10 BTA dalam 1
lapang pandang (periksa minimal
20 lapang pandang)
Sumber : Kemenkes RI,2012
Hasil
Apa yang
dituliskan
Negatif
Negatif
Scanty
Tulis
jumlah
BTA
1+
1+
2+
2+
3+
3+
3) Tes Tuberkulin
Tes Tuberkulin dilakukan dengan
Mantoux
tes
(PPD).
Tes
tuberkulin
pemeriksaan
yang
positif
menunjukan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia uji
Tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang
berarti. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, atau apabila kepositifan dari uji yang didapat
besar sekali (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
4) Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan
Radiologik
dilakukan
dengan
pemeriksaan rontgen. Umumnya diganosis tuberkulosis
paru ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis, namun pada kondisi tertentu perlu dilakukan
pemeriksaan rontgen (Kemenkes RI, 2009)
16
5) Tes Serologi
Dilakukan dengan uji IgG yaitu dengan mendeteksi
antibodi
IgG
dengan
antigen
spesifik
untuk
Mycobacterium tuberculosis (Perhimpunan Dokter paru
Indonesia, 2006).
i.
Pengobatan Tuberkulosis
Rasulullah SAW bersabda tentang perintah untuk berobat :
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan
obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit
ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat
dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda`
radhiallahu „anhu).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa
kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis
adalah dengan menerapkan strategi DOTS. DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course) merupakan strategi
pemberian obat jangka pendek dengan pengawasan secara
langsung. DOTS mengandung Lima komponen yaitu :
1) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB
nasional.
2) Penemuan kasus Tuberkulosis dengan pemeriksaan BTA
mikroskopis.
3) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara
langsung,dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed
Therapy).
4) Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku
atau standar (Perhimpunan Dokter paru Indonesia, 2006).
17
Pengobatan paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien. International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) dan WHO
merekomendasikan
panduan
OAT
standar
pengobatan
tuberkulosis terbagi menjadi 2fase yaitu Tahap Intensif (23bulan) dan tahap lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan obat yang
digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan
pengobatan tuberkulosis paru menggunakan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) (Widoyono, 2008).
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006)
Obat yang dipakai yaitu :
1) Jenis Obat Utama (lini1) yang digunakan :
a) Isoniazid (H)
Obat
ini
dikenal
dengan
INH,
bersifat
bakteriosidal, dapat membunuh 90% populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini
sangat
efektif
metabolik
terhadap
aktif,
yaitu
kuman
kuman
dalam keadaan
yang
sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg
BB, lanjutan dengan dosis 10 mg/kg BB.
b) Rifampicine (R)
Bersifat bakteriosidal dapat membunuh kuman
semi dormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh
oleh Isoniazid (H). Dosis diberikan sama untuk
pengobatan harian maupun lanjutan 3 kali seminggu
10 mg/kg BB.
c) Parazinamid (Z)
Bersifat bakteriosidal dapat membunuh kuman
yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis
harian yang dianjurkan 25 mg/Kg BB.
18
d) Streptomisin
Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian
yang dianjurkan 15 mg/kg BB
e) Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian
yang dianjurkan 15 mg/kg BB.
2) Jenis Obat tambahan lainnya (lini 2)
a) Kanamisisn
b) Amikasin
c) Kuinolon
2. Sistem Imun
Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan
yang terdiri atas sistem pertahanan yang terdiri atas sistem imun
non spesifik (natural/innate) dan spesifik (adaptive/acquired).
a. Sistem imun Non Spesifik
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh
terdepan
dalam
menghadapi
serangan
berbagai
mikroorganisme, karena sitem imun spesifik memerlukan
waktu sebelum memberikan responnya. Sitem tersebut
disebut
nonspesifik,
karena
tidak
ditujukan
terhadap
mikroorganisme tertentu.
1) Pertahanan Fisik
Kulit, selaput lendir, silia saluran nafas, batuk dan
bersin dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk
kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar
dan selaput lendir yang rusak oleh karena asap rokok
akan meningkatkan resiko infeksi.
19
2) Pertahanan Larut
a) Pertahanan Biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas,
kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin
dalam semen merupakan bahan yang berperan dalam
pertahanan tubuh. Asam Hidroklorik dalam cairan
lambung, lisosim dan keringat, ludah, air mata dan air
susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman Gram
positif dengan jalan menghancurkan dinding kuman
tersebut. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan
asam neurominik yang mempunyai sifat antibakterial
terhadap E.coli dan stafilokok.
b) Pertahanan Humoral
(1) Komplemen
Komplemen
mengaktifkan
fagosit
dan
membantu destruksi bakteri dan parasit dengan
jalan opsonisasi.
(a) Komplemen
dapat
menghancurkan
sel
membran banyak bakteri (C8-9)
(b) Komplemen dapat berfungsi sebagai faktor
kemotaktik yang mengerahkan makrofag ke
tempat bakteri (C5-6-7)
(c) Komplemen dapat diikat pada permukaan
bakteri yang memudahkan makrofag untuk
mengenal
(opsonisasi)
dan
memakannya
(C3b, C4b). Kejadian-kejadian tersebut diatas
adalah fungsi sistem imun nonspesifik, tetapi
dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun
spesifik.
20
(2) Interferon
Interferon adalah suatu glikoprotein yang
dihasilkan sebagai sel manusia yang mengandung
nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap
infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus
dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang
telah terserang virus tersebut. Disamping itu,
interferon dapat pula mengaktifkan Natural Killer
cell/sel
NK
untuk
membunuh
virus
dan
neoplasma.
(3) C-Reaktive Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang
dibentuk tubuh pada infeksi. Peranannya ialah
sebagai
opsonin
dan
dapat
mengaktifkan
komplemen. CRP termasuk golongan protein yang
kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi
akut sebagai respons imunitas non spesifik.
Sebagai
opsonin,
CRP
mengikat
berbagai
mikroorganisme, protein C pneumokok yang
membentuk
komplemen
digunakan
kompleks
dan
mengaktifkan
jalur
klasik.
Pengukuran
untuk
menilai
aktivitas
CRP
penyakit
inflamasi.
CRP dapat meningkat 1000x atau lebih dan
berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan
bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul
antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada
permukaan bakteri/jamur. Sintesis CRP yang
meningkat meninggikan viskositas plasma dan
laju endap darah. Adanya CRP yang tetap tinggi
menunjukan infeksi yang persisten.
21
c) Pertahanan Selullar
Fagosit/magrofag,
sel
NK
dan
sel
mast
berperan dalam sistem imun nonspesifik selular.
1) Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat
melakukan fagositosis, sel utama yang berperan
pada
pertahanan
nonspesifik
adalah
sel
mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel
polimorfonuklear seperti neutrofil.Kedua golongan
sel tersebut berasal dari sel hemopoetik yang
sama. Fagositosis dini yang efektif pada invasi
kuman, akan dapat mencegah timbulnya penyakit.
Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat
sebagai
berikut
:
Kemotaksis,
menangkap,
membunuh dan mencerna.
2) Natural Killer cell (Sel NK).
Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri sel
limfoid sistem imun spesifik yang ditemukan
dalam sirkulasi. Oleh karena itu disebut juga sel
non B non T atau sel populasi ketiga atau null cell.
Morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan
granul besar, oleh karena itu disebut juga Large
Granular
Lymphocyte/LGL.
Sel
Nk
dapat
menghancurkan sel yang mengandung virus atau
sel
neoplasma.
Interferon
mempercepat
pematangan dan meningkatkan efek sitolitik sel
NK.
3) Sel mast
Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan
juga dalam pertahanan pejamu yang jumlahnya
menurun pada sindrom imunodefisiensi. Sel mast
22
juga berperan pada imunitas terhadap parasit
dalam usus dan terhadap invasi bakteri. Berbagai
faktor nonimun seperti latihan jasmani, tekanan,
trauma, panas an dingin dapat pula mengaktifkan
dan menimbulkan degranulasi sel mast.
b. Sistem Imun Spesifik
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun
spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang
dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul
dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan
mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem
tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang
akhir akan dikenal lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh
karena itu sistem tersebut disebut spesifik.
Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk
mengahancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan,
tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara
antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag.
Komplemen
turut
diaktifkan
dan
ikut
berperan
dalam
menimbulkan inflamasi yang terjadi pada respons imun.
1) Sistem Imun Spesifik Humoral
Berperan dalam sistem imun spesifik humoral
adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel
asal multipoten dalam sumsum tulang. Pada unggas sel
asal tersebut berdeferensiasi menjadi sel B didalam alat
yang disebut bursa Fabricius yang letaknya dekat cloaca.
Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan
berproliferasi dan berdeferensiasi menjadi sel plasma
yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas
dapat ditemukan didalam serum. Fungsi utama antibodi
23
ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri,
virus dan menetralisasi toksin.
2) Sistem Imun spesifik Selular
Berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah
limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah :
a) Membantu sel B dalam memproduksi antibodi
b) Mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi
virus
c) Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
d) Mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
Sel T juga dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi
diferensiasi dan proliferasinya terjadi dalam kelenjar timus
atas pengaruh berbagai faktor asal timus. 90-95% semua
sel timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang
dan meninggalkan timus untuk masuk kedalam sirkulasi
dan kelenjar getah bening. Fungsi utama sistem imun
selular ialah pertahanan terhadap mikroorganisme yang
hidup intraselular seperti virus, jamur, parasit dan
keganasan. Berbeda dengan sel B, sel t terdiri dari
beberapa sel subset seperti sel T naif, Th1, Th2, T
Delayed
type
Hypersensitivity
(Tdth),
Cytotoxic
T
Lymphocyte (CTL) atau T cytotixic atau T cytolytic (Tc)
dan T supresor (Ts) atau T regulator (Tr) (Garna dan
Rengganis, 2010).
3. Hubungan Tuberkulosis dengan Sistem Imun
Respon imun diperlukan untuk 3 hal yaitu pertahanan,
homeostasis dan pengawasan. Yang pertama ditujukan terhadap
infeksi
mikroorganisme,
yang
kedua
terhadap
eliminasi
komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan yang ketiga
dibutuhkan
untuk
menghancurkan
sel-sel
yang
bermutasi
24
terutama yang menjadi ganas. Jadi, respon Imun adalah suatu
sistem agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara
lingkungan diluar dan didalam tubuh (Karnen Garna, 2010).
Pada TB, basil tuberkel menyebabkan reaksi jaringan yang
aneh dalam paru, antara lain :
a. Daerah yang terinfeksi diserang oleh makrofag
b. Daerah
lesi
dikelilingi
oleh
jaringan
fibrotik
untuk
membentuktuberkel.
Proses pembentukan dinding ini membantu membatasi
penyebaran basil tuberkel dalam paru dan oleh karena itu
merupakan bagian dari proses protektif melawan infeksi. Tetapi,
hampir 3% dari seluruh penderita TB jika tidak diobati tidak akan
terbentuk dinding dan basil tuberkel dan akan menyebar keseluruh
paru. Sehingga, sering kali menyebabkan kerusakan jaringan paru
yang hebat dengan pembentukan kavitas abses yang besar
(Guyton dan Hall, 2005).
4. Laju Endap Darah (LED)
a. Definisi
Laju Endap Darah (LED) dalam bahasa inggris
disebut erythrocyte sedimentation rate (ESR) atau blood
sedimentation rate (BSR) merupakan pemeriksaan untuk
menentukan kecepatan eritrosit mengendap dalam darah
yang tidak membeku (darah berisi antikoagulan) pada suatu
tabung dengan posisi vertikal dalam waktu tertentu. LED
umumnya digunakan untuk mendeteksi atau memantau
adanya kerusakan jaringan, inflamasi dan menunjukan adanya
penyakit (bukan tingkat keparahan) baik akut maupun kronis,
sehingga pemeriksaan LED tidak bersifat spesifik. LED
bertujuan untuk pemeriksaan skrining dan memantau berbagai
macam penyakit infeksi, autoimun, keganasan dan berbagai
25
penyakit, LED naik kadarnya setelah 14 hari inflamasi dan
menurun secara lambat sesuai waktu paruhnya (Gilang,
2014).
Laju endap darah mengukur laju pengendapan dalam
mm/jam dari eritrosit pada suatu kolom darah yang telah diberi
antikoagulan. Laju pengendapan yang meningkat menunjukan
peningkatan immunoglobulin atau protein pada fase akut,
yang
menyebabkan
eritrosit
melekat
satu
sama
lain.
Peningkatan LED merupakan penanda nonspesifik dari
adanya radang atau infeksi (David dkk,2005).
Selain
peningkatan
immunoglobulin
dan
protein
peningkatan LED akibat klinis juga dapat dipengaruhi oleh
obat yang sedang dikonsumsi walaupun LED merupakan uji
yang tidak spesifik tetapi dapat mengidentifikasi terjadinya
proses inflamasi (joyce,2007).
b. Penurunan dan Peningkatan LED
Penurunan Laju Endap Darah terjadi pada penyakit
anemia sel sabit mononucleosis infeksius, atritis degeneratif
dan angina pektoris.
Peningkatan Laju endap darah pada kondisi Athritis
reumatoid, MCL Akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hati,
ginjal),
limfosarkoma,
infeksi
bakterial,
hepatitis,
sifilis,
tuberkulosis, SLE, dan kehamilan.
Laju
endap
darah
meningkat
menunjukkan
meningkatnya kadar immunoglobulin atau protein fase akut
yang menyebabkan eritrosit saling melekat satu sama lain.
Peningkatan LED merupakan penanda non spesifik dan
adanya peradangan atau infeksi . LED sangat tinggi (> 100
mm/jam) menunjukkan :
1) Mieloma Multiple
2) Lupus eritematosus sistemik (SLE)
26
3) Artentis temporaris, kanker dan infeksi kronis termasuk
tuberkulosis (David dkk, 2007).
Makna LED dalam klinik,LED yang normal dapat
memberikan petunjuk kemungkinan ada tidaknya penyakit
yang serius. Setidaknya apabila nila LED tidak normal
perlu
dilakukan
pemeriksaan
penunjang
lain
untuk
menentukan diagnostik yang pasti. LED merupakan
pemeriksaan yang tidak spesifik, LED bisa meningkat
pada keadaan patologi seperti adanya peradangan.
Umumnya nilai LED normal pada penyakit-penyakit infeksi
lokal yang kecil atau penyakit akut seperti apendisitis akut,
infeksi selaput lendir dengan reaksi sedikit radang dan
pada lesi-lesi kulit. Akan tetapiu LED sangat meningkat
pada penyakit tuberkulosis , infeksi kronis, demam
reumatik, arthritis dan nefritis (Rukman, 2014).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi LED
1) Faktor Eritrosit
Eritrosit dengan bentuk abnormal atau tidak teratur,
seperti sel sabit atau sferosit, menghambat pembentukan
rouleaux sehingga menurunkan LED (Rukman, 2014)
2) Faktor Plasma
LED dipercepat oleh peningkatan fibrinogen dan
globulin.
Albumin
sedimentasi
dan
sedangkan
lesitin
dapat
menghambat
peningkatan
kolesterol
mempercepat LED (Rukman, 2014)
3) Antikoagulan
Penambahan antikoagulan yang berlebihan dapat
meningkatkan nilai LED. Tiap 1 mg EDTA menghindarkan
membekunya 1ml darah (Gandasoebrata, 2010).
27
4) Waktu
Waktu pemeriksaan LED harus dikerjakan maksimal 2
jam setelah pengambilan darah. Apabila pemeriksaan
dilakukan lebih dari 2 jam maka bentuk eritrosit akan
berubah dan akan mempercepat pengendapan (Ni Wayan
dkk, 2012)
5) Kemiringan
Kemiringan tabung dapat meningkatkan nilai LED.
Kemiringan 30 dapat meningkatkan nilai LED sebanyak 30%
(Gilang, 2013).
6) Suhu
Pemeriksaan harus dilakukan dalam suhu 20-250C.
Lebih rendah dan lebih tinggi suhu dapat mempengaruhi
nilai LED. Apabila darah telah disimpan dalam keadaan
dingin maka darah tersebut harus disesuaikan pada suhu
ruangan terlebih dahulu (Rukman,2014).
5. C - Reaktif Protein
a. Definisi
C - Reaktif Protein (CRP) adalah tipe protein khusus
yang diproduksi hati ketika terjadi cedera akut, peradangan
atau infeksi . CRP terdapat dalam jumlah sedikit pada orang
yang sehat. Dalam tubuh CRP ini berfungsi sebagai
pelengkap dalam mekanisme sistem imunitas tubuh. CRP
mengikat senyawa fosforil kolin pada lapisan kulit terluar
bakteri yang masuk kedalam tubuh, dan mengganggu proses
perkembangan bakteri tersebut. Juga mengikat kolesterol lowdensity lipoprotein colesterol (LDL) dan lemak eterogenik,
yaitu
senyawa
berbahaya
bagi
tubuh
yang
dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pembuluh darah (Kosasih,
2008).
28
Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah
ada sedikit rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas
5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak sekitar 24-48
jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam dan menetap
pada semua keadaan sehat dan sakit, sehingga satu-satunya
penentu konsentrasi CRP di sirkulasi adalah menghitung
sintesa
IL-6 dengan
langsung
intensitas
demikian
proses
menggambarkan secara
patologi
yang
merangsang
produksi CRP. Kadar CRP akan menurun tajam bila proses
peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan dalam
waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai normal kembali
.Kadar CRP stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi variasi
diurnal (Lab Technologist,2009).
b. Tujuan Pemeriksaan CRP
CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang
sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk
memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi yang
dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit
autoimun.
Pada penderita penyakit dengan Inflamasi
kadar CRP kembali normal bila pengobatan imunosupresif
berhasil,
sehingga
parameter
ini
dapat
dipakai
untuk
memantau keberhasilan pengobatan dan perkembangan
penyakit (Frances K. Widman, 2009).
c. Prinsip dan Metode pemeriksaan
Pada penentuan CRP, maka CRP dianggap sebagai
antigen yang akan ditentukan dengan menggunakan suatu
antibodi spesifik yang diketahui (antibodi anti-CRP). Dengan
suatu antisera yang spesifik, CRP (merupakan antigen yang
larut) dalam serum mudah dipresipitasikan.
Jadi pada
dasarnya, penentuan CRP dapat dilakukan dengan cara,
yaitu:
29
1)
Tes presipitasi: Sebagai antigen ialah CRP yang akan
ditentukan, dan sebagai antibodi adalah anti-CRP yang
telah diketahui.
2)
Tes aglutinasi pasif: Antibodi disalutkan pada partikel
untuk menentukan adanya antigen di dalam serum.
3)
Uji ELISA: Dipakai teknik Double Antibody Sandwich
ELISA. Antibodi pertama (antibodi pelapis) dilapiskan
pada fase padat, kemudian ditambahkan serum penderita.
Selanjutnya
ditambahkan
pelacak)
yang
antibodi
berlabel
kedua
enzim.
(antibodi
Akhirnya
ditambahkan substrat, dan reagen penghenti reaksi.
Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif.
4)
Imunokromatografi: Merupakan uji Sandwich imunometrik.
Pada
tes
ini,
antibodi
monoklonal
terhadap
CRP
diimobilisasi pada membran selulosa nitrat di garis
pengikat. Bila ditambahkan serum yang diencerkan
sampai ambang atas titer rujukannya pada bantalan
sampel maka CRP dalam sampel akan diisap oleh
bantalan absorban menuju bantalan konjugat, dan akan
diikat oleh konjugat (antibodi monoklonal) pertama,
berlabel emas koloidal. Selanjutnya CRP yang telah
mengikat konjugat akan diisap oleh bantalan absorban
menuju ke garis pengikat yang mengandung antibodi
monoklonal kedua terhadap CRP (imobile) sehingga
berubah warna menjadi merah. Sisanya yang tidak terikat
pada garis pengikat akan bergerak menuju garis kontrol
yang mengandung antibodi anti tikus yang mengikat sisa
konjugat yang tidak terikat pada garis pengikat. Konjugat
yang tidak terikat dibersihkan dari membran dengan
larutan pencuci yang selanjutnya diisap oleh membran
absorban. Bila kadar CRP lebih tinggi daripada ambang
30
atas titer rujukannya, akan terbentuk warna merah coklat
pada garis pengikat di membran yang intensitasnya
berbanding lurus dengan kadar CRP dalam serum.
Pembacaan hasil secara kuantitatif.
5)
Imunoturbidimetri:
Merupakan
cara
penentuan
yang
kualitatif. CRP dalam serum akan mengikat antibodi
spesifik terhadap CRP membentuk suatu kompleks
immun. Kekeruhan (turbidity) yang terjadi sebagai akibat
ikatan tersebut diukur secara fotometris. Konsentrasi dari
CRP ditentukan secara kuantitatif dengan pengukuran
turbidimetrik (LabTechnologist, 2009).
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar CRP
Kadar CRP meningkat pada radang sendi (rheumatoid
arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus,
penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID),
penyakit
Hodgkin,
SLE,
gangguan
gula
darah
dan
Tuberkulosis paru. CRP juga meningkat pada kehamilan,
pemakaian alat kontrasepsi intrauterus seperti IUD (Intra
Uterin Device) atau spiral, dan pengaruh obat kontrasepsi oral
(Frances K. Widman, 2009).
31
B. Kerangka Konsep
Pasien TB
Faktor-faktor yang
mempengaruhi :
Pasien yang telah di diagnosis
TB Paru
Pemeriksaan CRP
1. Pasien yang
mempunyai penyakit
randang sendi
(rheumatoid arthritis),
demam rematik, kanker
payudara, radang usus,
penyakit radang
panggung (pelvic
inflammatory disease,
PID), penyakit Hodgkin,
SLE, gangguan gula
darah.
2. Ibu hamil
3. pengguna alat
kontrasepsi intrauterus
seperti IUD atau spiral.
4. Mengkonsumsi obat
kontrasepsi oral
(-) Jika tidak
terdapat aglutinasi
(+) Jika terdapat
Aglutinasi
Sumber : (Frances K. Widman, 2009).
Keterangan :
Variabel yang diteliti
Variable yang tidak diteliti
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, dkk. (2011). Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Bina
Aksara.
AL Hikmah. (2010). Al Quran dan Terjemahannya. Bandung : CV Penerbit
Dipenogoro.
Depkes RI. (2014). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
.Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Frances K. Widman. (2009). Tinjauan Klinis Atas pemeriksaan hasil
laboratorium. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gandasoebrata,R. (2010). Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian
Rakyat.
Garna B Karnen, Rengganis Iris. (2010). Imunologi Dasar Edisi IX. Jakrta
: Balai Penerbit FKUI.
Hardianto,M. (2014). Penyakit TB Sering terluputkan, Dianggap hanya
Gangguan Batuk Biasa. Smart Living : Prodia.
Imam As-Syaukani. (2010). Tafsir Fathul Qadir Jilid 6. Kairo : Dar El –
Hadist Kairo.
Kemenkes RI (2014) NO. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB).
Kosasih, E.N., Kosasih, A.S. (2008). Tafsiran Hasil Pemeriksaa
Laboratorium Klinik. Jakarta : Karisma.
Lab Technologist, (2009). Protein C-Reaktif, Laboratorium Kesehatan.
Tersedia dalam : http://labkesehatan.com/2009/11/protein-creaktif.html. [diakses 29 Oktober 2015].
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) Tuberkulosis, Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Tersedia dalam
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html [diakses 29 Oktober
2015].
Soekidjo, Notoatmodjo, (2011). Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka
Cipta.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung :
R&D Alfhabeta.
46
47
Sylvia A. Price dan Mary P.Standridge. (2005). Patofisiologi,Konsep klinis
dan Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Utji Robert dan Harun hasrul (2012). Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta : Karisma Publisher.
Widoyono, (2008). Penyakit Tropis, Epidemologi, Penularan, Pencegahan
dan Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.
Download